POLA PENGASUHAN DAN KESEHATAN ANAK PADA KELUARGA MADURA PERANTAUAN DENGAN STATUS IBU BEKERJA DI SIDOARJO DAN SEKITARNYA. Anik Andayani* Abstract This article attempts to describe the pattern of children’s upbringing among Madurese families that have working mothers. In particular, the description is focused on the way working mothers bring up their children so as to ensure the safety, health, and welfare. The educational background of the mothers significantly influenced the pattern of children’s upbringing. Those with higher educational background had better strategies and took more control of the upbringing. Mothers who worked in formal sectors showed higher ability in taking care of their children’s health. They carried out better preparation of their children’s meals and prioritized on breastfeeding, and had better knowledge of children’s health as well. Meanwhile, mothers working in informal sectors had to face more challenges in taking care of their children’s health. Working in dirty places like traditional markets, these mothers had to worry about the impact of their working environment on their children’s health. Key words: formal sector, informal sector, educational background, time limitation, breastfeeding A.
Pedahuluan Merantau nampaknya telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Madura dari abad ke-18, meskipun pada masa sebelum kerajaan Majapahit telah dilakukan pengiriman pekerja dalam pembangunan Trowulan oleh Arya Wiraraja. Huub de Jonge (1989: 4-5; kutip dari biljmer, 1978) mencatat bahwa setelah Giri (Gresik) runtuh, Surabaya menjadi ibu kota Pantai Utara Jawa. Surabaya menjadi kota pelabuhan laut yang terpenting. Setiap hari hampir tiga ribu kapal melalui jalur Surabaya dan Madura. Dengan perkembangan itu, Surabaya dihuni lebih dari duajuta orang dan setiap tahun ribuan pekerja pendatang dari tempat-tempat jauh, termasuk Madura dan sebagian besar wilayah dihuni dari kelompok etnis Madura. Dorongan untuk berpindah itu terjadi karena perubahan ekologi di pulau tersebut. Meskipun secara ekologi merupakan kelanjutan dari pantai utara Jawa, proses pembukaan hutan telah mengakibatkan erosi dan tanah-tanah tersebut tandus. Pembukaan hutan ini dilakukan karena pertambahan penduduk, pertanian, perladangan dan perkebunan. Perubahan ekologis tersebut akhirnya turut menentukan pola mata pencaharian masyarakat Madura, yaitu sebagai masyarakat peladang dan pembuat garam (Jonge, 1989: 5-10). Lebih dari itu, masyarakat Madura memiliki kecenderungan untuk berpindah lebih besar daripada masyarakat Jawa misalnya, dari catatan demografi, meskipun terjadi fluktuasi pertambahan penduduk, Madura sebenarnya pernah mengalahkan tingkat kepadatan dibandingkan Jawa antara tahun 1867-1940, separuh diantaranya *
Dra. Anik Andayani, M.Si. adalah staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
1
tinggal di Sumenep. Namun demikian, kepadatan tersebut berkurang akibat migrasi keluar. Sejak pertengahan abad ke - 19, terdapat 833.000 orang Madura yang bertempat tinggal di pulau sendiri. Bagian terbesar penduduk pantai utara Jawa Timur berasal dari Madura dan kira-kira sepertiga penduduk Surabaya dan Gresik adalah orang Madura (Jonge: 23; kurip dari 1858: 324-325). Di tempat asalnya orang Madura bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan (pencari ikan), tetapi di kota-kota Jawa berubah mata pencahariaii menjadi kuli, penjaja, pedagang kecil atau tukang (Jonge, 1989: 23-24). Di Pantai Utara bagian Timur antara Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Banyuwangi, pola migrasi tersebut disebabkan oleh pembukaan perkebunan pasca Agrarische Wet, leberalisasi ekonomi pada masa colonial, karena orang Madura rnerupakan petani yang tekun. Pola migrasi tersebut berlanjut menjadi proses asimilasi dengan penduduk asli (Jawa) dan membentuk budaya local Pedalungan, orang-orang yang tidak lagi mengaku beretnis Madura, tetapi berbahasa Jawa dan Madura dengan logat berbeda. Orang pedalungan, tidak lagi memiliki ikatan kekerabatan dengan Pulau Madura. Di Surabaya, sebagaimana dicatat oleh von Faber (1933) dalam Oud Soerabaia, orang Madura bekerja sebagai tukang dan penjual. Segala kebiasaan dari madura dilakukan pula di tempat baru, seperti otok-otok, arisan khas Madura. Tempat tinggal mereka dalam satu wilayah pemukiman, sehingga wilayah Surabaya Utara hingga kecamatan Semampir terdapat sejumlah kampong Madura. Meski dari sejak dulu mengembangkan model keluarga batih, di tempat baru mereka tidak lagi tinggal dengan bertetangga sesame kerabatnya. Hal itu berkaitan dengan lahan terbatas. Sejak awal abad keduapuluh, terutama sesudah masa kemerdekaan, terjadi penyebaran orang-orang Madura keluar Surabaya, mulai dari Kabupaten Gresik, kemudian Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto hingga keluar Jawa Timur, memasuki Jawa Tengah dan Yogyakarta. Mereka memasuki pasar-pasar dan bekerja sebagai pedagang. Selain sebagai pedagang di pasar, tidak jarang mereka ditemui berdagang keliling, antara lain berdagang sayur, besi tua, sate, soto Madura. Orang Madura rnerupakan pekerja keras, tidak saja kaum laki-laki, bergitu pula kaum perempuannya. Kaum perempuannya turut berdagang untuk meningkatkan pendapat keluarganya. Pedagang perempuan Madura ini dikenal dengan mbuk, bekerja baik secara mandiri maupun mendmpingi suaminya berdagang. Ketika berdagang, tidak jarang mereka membawa anak-anak. Keadaan yang demikian mungkin tidak terjadi ditempat asalnya, dengan konsep tenan lajang (Kuntowijoyo, 1980) mereka bisa menitipkan anak-anaknya pada kerabatnya. B. 1.
Kajian Pustaka. Masyarakat Madura dan kebudayaannya. Tidak banyak yang membahas tentang kebudayaan Madura, balikan selalu ada usaha untuk menyamakan dalam satu "entitas" antara masyarakat Madura dan Jawa, meski pada kenyataannya berbeda. Penyanianaan tidak bisa dilepaskan dari hubungan yang erat antara masyarakat Madura dan Jawa, dalam beberapa abad piilau Madura menjadi daerah vassal dari kerajaan - kerajaan di Jawa. Tinjauan antropologis berbeda, masyarakat Madura merupakan etnik terpisah dari masyarakat Jawa. Lingkungan (ekologis) Pulau Madura telah memberikan pengaruhnya dalam kebudayaannya. Men unit Meggers yang dikutip A.Adi Sukadana *
Dra. Anik Andayani, M.Si. adalah staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
2
(1983: 17), dalam pandangan deterministic anthropogeography lingkungan menentukan kebudayaan. Perkembangan atau bentuk kebudayaan yang dikembangkan oleh manusia itu mutlak ditentukan oleh lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan alam, seperti iklim, tanah, dan topografi, tetapi dibantah oleh penganut pandangan possiblisme yang melihat bahwa lingkungan hanya memberikan kemungkinan-kemungkinan yang mempengaruhi karakteristik kebudayaan. Perbedaan kondisi geografi hanya sebagai sumber variasi kebudayaan, bukan detenninan. Kuntowijoyo, dalam disertasinya, menyebutkan baliwa kebudayaan madnra, organisasi social dan ekspresi religiusnya lebih dibentuk oleh kehendak ekologis yang mengarah pada hubungan social individual-centerred dengan karakteristik ekosistem tegal. Masyarakat madura mengembangkan nuclear family (Kuntowijoyo, 1980: 324-325), keluarga batih, sedangkan konsep keluarga somah senyatanya tidak ada, hanya ada dalam bangunan tanean Ignjang (pekarangan panjang). Mereka tinggal dalain kelornpok-kelompok berpencar (Jonge, 1989: 13). Konsekuensinya bentuk desa tidak dibatasi atas dasar wilayah, kerja bakti sebagai salah satii dasar bangunan solidaritas tidak ada (Kuntowijoyo, 1980: 325). Pada tingkat terttentu, sejarah dan susunan keluarag yang bermukim di tanean lanjang dapat diketahui dari cara pekarangan itu dibangun. Anak perempuan yanga telah menikah tetap tinggal di pekarangan orang tuanya. Anak laki-laki yang sudah menikah pindah ke pekarangan isteri atau mertuanya. Tanean lanjang itu mencerminkan uxorilokalitas dan matrilokalitas. Rumah pertama yang terletak di Barat laut merupakan rumah asal dan menjadi tempat terpenting. Rumah ini dihuni oleh orang tua. Di rumah-rumah berikutnya, sebagai badan yang terrletak dibawah kepala, tinggal anak perempuan yang telah menikah dengan suaminya menurut urutan umur. Yang menentukan urutan sebenarnya adalah hari perkawinan, tetapi jarang seorang anak perempuan lebih muda menikah lebih dahulu daripada perempuan yang lebih tua. Biasanya orang tua sudah mencarikan calon ketika anaknya masih sangat muda. Setelah orang tuanya meninggal, mereka berpindah tempat, anak perempuan terrtua menempati rumah kediaman orang tuanya, dan seterusnya. Menantu laki-laki yang pertama menjadi kepala tanean lanjang (Jonge, 1989: 15). 2. Migrasi orang Madura : Pindah dan Pengelompokan Etnis. Ketika melakukan migrasi, sebenarnya seseorang atau keluarga juga memperhatikan apakah ada kesesuaian antara tempat asal dan tempat yang baru, setidaknya apakah seseorang dapat menyesuaiakan diri ditemapt bam. Hal serupa dikemukakan oleh Barret A.Lee, R.S. dan james W Kanan (1994: 249-270), pengambilan keputusan untuk berpindali itu berhubungan dengan konteks-konteks yang melingkupinya. Konteks-konteks tersebut antara lain adalah status individu dan konteks obyektif dari lingkungan masyarakatnya. Konteks atau tepatnya. kondisi obyektif dari lingkungan sosial dilihat dala dua hal, pertama lingkungan social dan kualitas fisiknya. Lingkungan social mencakup antara lain masalah komposisi ras atau suku, tingkat pendapatan, tingkat kejahatan dan hubungan antar tetangga, sedangkan kualitas fisik anatara lain kepadatan, pengaturan jalan dan tipe perkatnpungan. Berpangkal dari situlah, orang memikirkan untuk berpindah atau tidak. Bila melihat dari dugaan perkembangan pada selanjutnya tidak memungkinkan, maka meraka melakukan tindakan berpindah. *
Dra. Anik Andayani, M.Si. adalah staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
3
Persoalannya apakah berpindah secara permanent atau temporal tidak sekedar pada saat berpindah (migrasi). Penyesuaian di tempat asal ini juga menjadi titik kunci dari perilaku migrasi. Seperti yang dilakukan oleh brown dan Moore (1970, ada dua pilihan dalam proses pengambilan keputusan, pertama adalah menyesuaikan kebutuhan individu/rumah tangga atau kedua, merestruktur lingkungan yang berhubungan dengan rtimah tangga, sehingga lebih memuaskan kebutuhan - kebutuhan mereka. Salah satu dari pilihan ini mengakibatkan keputusan untuk tidak bermigrasi. Penyesuaian mengubah harapan subyektif untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan pada masa sekarang dibandingkan di lokasi pilihan. Penyesuaian dalam jangka panjang bila mempengaruhi persepsi individu akan nilai-nilai yang berhubungan dengan migrasi (de Jong dan Fawcett, 1981:58). Penyesuaian ini tidak satu atau dua kali saja, tetapi terus -menerus berkembang sesuai dengan pemenuhan kebutuhan mereka, bahkan penyesuaian yang berhasil akan diturunkan kegenerasi berikutnya melalui proses pembelajaran. Bila suatu saat penyesuaian ini mengalami kegagalan, maka memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai (tujuan) migrasi dan harapan mencapai nilai tersebut, kemudian secra bersama-sama memberikan dorongan perilaku migrasi. Hal ini mengakibatkan individu tersebut memutuskan untuk melakukan migrasi, sedangkan penyesuaian yang telah dilakukan di tempat asal membantu mereka menyesuaiakan di tempat yang baru kelak. Perpindahan ke daerah baru selanjutnya menuntut adanya penyesuaian. Ada dua dimensi penyesuaian migrant yang mendasar adalah pekerjaan dan perumahan. Pekerjaan dipilih karena di negara berkembang pada umumnya didasari atas keinginan mendapatkan pekerjaan atau mencari pekerjaan lebih baik. Laquian berpendapat bahwa perumahan atau pemiikinan ternyata juga penting dalam penyesuaian. Pemukiman squatter membantu migrant untuk menyesuaikan pada kehidupan kota melalui kemampuan mengakumulasi capital. Penyesuaian tergantung pada perbedaan antar migrant dan pendiiduk asli. Karakteristik seorang migrant, seperti: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, daerah asal, agama dan bahasa ibu membantu mempengaruhi proses penyesuaian (Speare Jr, 1983: 23-29). Menurut teori segregasi yang dikemukakan oleh Hendershot (1970), para migrant akan memilih tempat tinggal dimana tetangga atau teman-teman dari daerah asal tetap menetap. Upaya mencari perlindungan dengan memilih bertempat tinggal berdekatan dengan orang orang dari daerah asal sama yang menganut norma san nilai budaya sama (Mantra dan Malo, 1985: 18-20). Oleh karenanya, bisa dipahami kemudian - kota-kota di Indonesia masih terdapat kampong atas dasar etnis. Pada kasus orang Madura, karena jumlah orang Madura perantauan besar di Surabaya, maka terdapat sejumlah kantong pemukiman orang Madura seperti dijelaskan von Faber dalam Oud Surabaya (1933) dan Nieuw Surabaya (1940) sejak industri di Surabaya berkembang, pemukiman orang Madura sudah ada. Kebiasaan ditempat asal masih dilakukan tetapi pola pemukiman tidak digiuiakan lagi. 3. Pola Pengasuhan dan Kesehatan Anak Di dalam konsep WHO, kesehatan anak harus diawali dari sejak dalam kandungan, artinya kalau hendak berbicara kesehatan anak, maka terlebih dahulu harus pula memaparkan kesehatan ibu berikut bayi yang dkandungnya. Pada sejumlah negara berkembang Anne Tinker dan Marjorie A. Koblinsky (1993; 1-10) dalam Making Motherhood Safe mencatat bahwa lebih dari 15r0 juta wanita hamil di negara*
Dra. Anik Andayani, M.Si. adalah staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
4
negara tersebut setiap tahunnya diperrkirakan 500.000 di antaranya meninggal atau seminggu sesudahnya karena masalah kesehatan ibunya. Kematian seorang wanita pada usia produktif sering berhubungan dengan kondisi ekonomi dan sosial keluarga dan masyarakatnya. Banyak wanita hamil kurang menerima perawatan yang sehat oleh ahli obsetrik. Hal ini disebabkan oleh manajemen komplikasi kehamilan dan kesehatan kurang layak. Pada pertemuan WHO tahun 1992 tentang Inisiatif penyelamatan Ibu telah membantu mentransfomasikan usaha-usaha tersebut dari atingkat advokasi ke aksi, mulai dari (1) infonnasi dan pendidikan untuk mempromosikan praktek-praktek kesehatan untuk menyelamatkan ibu, (2) pelayanan keluarga berencana dan penolakkan pengguguran kandungan yang kurang aman dan pelayanna am an untuk penghentian kehamilan yang sah, (3) bantuan ahli selama hamil hingga melahirkan, dan terakhir (4) pelayanan dan transportasi untuk komplikasi-komplikasi dan keadaan-keadaan yang mendesak lainnya. Kondisi ibu anak ini sangat tidak beruntung pada masyarakat industri, seperti di Indonesia. Mengutip dari Gailey (1987), Bagong Suyanto dan Sudarso (1996: 164165) melihat bahwa proses industrialisasi sangat kapitalistik dan gender hierarchies, maka pada saat yang bersamaan sesungguhnya juga terjadi proses eksploitasi, subordinasi, dan marginalisasi posisi perempuan. Di dalam sistem yang kapitalistik, secara rinci perempuan umumnya berada di dalam posisi sebagai obyek sistem eksploitasi tiga lapis. Pertama, pada tingkat global sebagai mayoritas warga masyarakat negara pinggiran, kaum perempuan akan menjadi korban kesenjangan dan ketidak adilan sistem internasional. Kedua, pada tingkat produksi, sebagai bagian terbesar lapisan bawah dari sistem stratifikasi kerja industrial, kaum perempuan menjadi korban pertama dari kesenjangan hubungan-hubungan industri kapitalis. Ketiga , pada tingkat societal, kaum perempuan harus mengalami perlakuan tidak adil dari struktur dan ideology gender yang telah berabad lamanya. Dengan demikian mudah bagi orang untuk menjawab mana yang didahuhukan apakah seorang ayah atau ibu yang harus diperhatikan manakala sakit. Sistem industri lebih memberikan fasilitas pada ayahnya yang bekerja daripada ibu atau istrinya yang merawat suami. Di dalam kondisi yang kurang menguntungkan, dengan dalih membantu suami untuk memperoleh tambahan pendapatan, tidak saja diperkotaan, tetapi terjadi di pedesaan, wanita bekerja di sector non-farm, seperti pada kasus di Sulawesiu Selatan (Suratiyah, Haerani dan Nurleni, 1994). Di pedesaan, pekerjaan tersebut sering masih bisa dilakukan di rumah sambil mengasuh anaknya atau berada di sekitar lingkungan rumah, sehingga masih bisa membawa anaknya dan mengasuhnya. Artinya, meskipun curahan waktu kerja yang kurang lebih sama dengan suaminya, perempuan masih bisa mengasuh anaknya. Pola lain dilakukan para bakul, meskipun curahan qaktu kerjanya lama, yaitu mulai jam 03.00 sampai jam 15.00, wanita di pedesaan jawa hanya menggimakan dua hari dalam semingga saja, selbihnya tingga dan bekerja di rumah atau lingkungan sekitamya (Abdullah, 1991: 16-19). Peran demikian dikenal dengan peran ganda wanita, yaitu bekerja di sector domestic dan public demi meningktakan kesejahteraan keluarga. Kondisi pedesaan sudah barang tentu berbeda dengan diperkotaan, bila memasuki sector formal, maka isteri akan meninggalkan pekerjaan domestiknya, termasuk mengasuh anak, dan menyerahkan pada pihak-pihak lain yang terlibat di *
Dra. Anik Andayani, M.Si. adalah staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
5
dalam keluarga. Pada sector informal, isteri dapat mengatur waktu sedemikian rupa, sehingga tetap dapat mengasuh anaknya. Hal ini sudah barang tentu berbeda dalam setiap budayanya. Jan Widenbank (1999: 11-13) mencatat bahwa ada perbedaan dalam pengasuhan anak pada ibu bekerja di Inggris dan Perancis. Dalam pengasuhan anak dibedakan dalam 2 tahap : pertama ketika anak belum sekolah dan sesudah sekolah. Ketika anak memasuki usia sekolah, pada saat ibu bekerja, waktu sebagian dihabiskan di sekolah, sisa waktu dilihat pada siapa sang anak diasuh. Di Inggris sebelum anak memasuki usia sekolah pengasuhan akan diserahkan kepada neneknya, penitipan anak atau pengasuh sementara. Namun di Perancis sebagian anak diserahkan kepada pengasuh sementara dan penitipan anak. Pada anak usia sekolah, di Inggris ibu masih mendominasi pola pengasuhan anak, tetapi di Perancis justru diserahkan pada pengasuh. Meskipun pengasuhan diserahkan kepada keluarga, anak tetap menjadi tanggung jawab ibunya daripada ayahnya (Widdenbank, 1999: 17), sehingga ketika anak sakit, maka ibu merasa bertanggung jawab dalam merawatnya, bahkan harus mere!akan tidak bekerja sementara waktu. Di Indonesia, Pujiwati Sayogo (1985: 122130; 221-260) pertama kali menggambarkan peran ganda wanita, khususnya di pedesaan Jawa barat dan pengaruhnya pada pengambilan keputusan, termasuk dalam perawatan anak, namun tidak menggambarkan bagaimana pola pengasuhan anak dan kepada siapa anak diasuh pada waktu ibu bekerja. Atas hendar dini Habsjah (1995: 463-418) dengan tanpa membedakan dari asal etnisnya menggambarkan dengan baik bagaimana pola pengasuhan anak dan keterlibatan keluarga dan orang lain pada perkampungan kumuh di Jakarta. Dengan pendekatan kualitatif, mengambil subyek penelitian keluarga dengan status ibu rumah tangga, penelitian itu menyebutkan bahwa, meski menjadi tanggung jawabnya karena suami bekerja dengan waktu yang tidak tentu, para ibu di kampung tersebut secara bergantian mengasuh anaknya. Ketika sudah bisa berjalan, anak dilepas sambil diawasi oleh ibu dan kakaknya. Sementara itu nenek si anak dalam keluarga juga terlibat dalam merawat anak sehari-hari. Kematian anak sering terjadi ketika si nenek berpendapat bahwa sakit tersebut disebabkan oleh roh halus dan obatnya ke tenaga non medik, dukun. Dominasi kuat dari nenek itu telah berlangsung selama 50 tahun dan belum berubah hingga penelitian tersebut dilakukan. C.
Metode Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di kabupaten Sidoarjo dan sekitarnya. Pemilihan kabupaten didasari atas struktur masyarakat tersebut telah mengalami pergeseran dari struktur mata penncaharian dari pertanian menjadi industri. Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai teknik. Pertama, untuk mengetahui kualitas kesehatan keluarga Madura Perantauan, peneliti mengumpulkan melalui sumber data sekunder, seperti data Puskesmas tentang penderita dan jenis penyakit dan peserta imunisasi. Data lzin diperoleh dari Sidoarjo dalam angka 2005. Peneliti juga melakukan wawancara untuk informasi kesehatan pada petugas kesehatan di kecamatan yang memiliki jumlah keluarga Madura perantauan yang besar jumlahnya. Teknik pengumpulan data berikutnya adalah pengamatan dan wawancara mendalam. Kedua teknik dilakukan pada sejumlah keluarga Madura perantauan,
*
Dra. Anik Andayani, M.Si. adalah staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
6
terutama berkaitan dengan pengambilan keputusan didalam keluarga, pola pengasuhan dan usaha menjaga kesehatan anak. Teknik analisis diawali dari analisis domain, yaitu pengelompokkan dari proses unityzing berdasarkan keyword yang ditemukan dalam life history. Langkah berikutnya adalah analisis kategorial yang menjabarkan ciri-ciri masing-masing domain dan taksonomi yang menjelaskan hubungan antar domain, sehingga pada akhirnya dapat memaparkan strategi dan cara pengasuhan dan menjaga kesehatan anak pada keluarga Madura Perantauan (Spardly, 1979). D. 1.
Pembahasan Pola Pengasuhan Anak Pola pengasuhan anak pada keluarga Madura perantauan dengan status ibu bekerja sangat variasi. Pertama, diasuh sendiri sambil bekerja. Pada keluarga yang status pekerjaannya pedagang, semisal pedagang buah, sepatu dan sandal dan memiliki anak balita {preschool) yang berusia di sekitar 15 bulan, 3 tahun, maka anak tersebut diajak ke tempat kerja. Di tempat kerja pola pengasuhan dilakukan bergantian antara ibu dan bapaknya. Fenomena ini sejalan dengan studi yang diakukan oleh Suratiyah, Haerani dan Nurleni (1994), bahwa perempuan seringkali bekerja sambil mengasuh anaknya. Walau keluarga migran, baik orang tua laki-laki dan perempuannya berdagang sepakat bergantian mengawasi di tempat kerja tetapi balita lebih banyak digendong ibunya. Selain menyusui, ibunya juga menyuapi, mengantarkan buang air kecil dan besar dan mendiamkan saat menangis. Peran yang demikian itu, menurut Abdullah (1991:16-19), dikenal dengan "peran ganda" perempuan, yaitu bekerja di sektor domestik (pengasuh anak) dan publik (berdagang). Perempuan semacam ini jelas mengalami ketidakadilan gender. Kedua, diasuh kakak perempuanya. Keluarga yang masih mempunyai anak kecil yang sudah sekolah (TK dan SD) dan juga mempunyai anak yang sudah dewasa (sekolah SMP ke atas), maka pola pengasuhan anak dilakukan kakaknya. Fenomena itu menegaskan hasil penelitian Jan Windebank (1999: 11-13), bahwa pola pengasuhan anak itu harus dibedakan menjadi dua tahap: pada saat anak sebelum masuk sekolah dan pada usia sekolah. Ketika ibu migran Madura bekerja, dan memiliki anak yang berusia sekolali (TK dan SD), maka sebagian waktu anak telah dihabiskan di sekolah, sisa waktunya tergantung ada tidaknya kakak (saudara tua) di keluarga tersebut. Keluarga migran yang memiliki anak yang berusia 12 tahun ke atas maka pola pengasuhan anaknya dibebankan pada kakak perempuannya. Ketiga, dititipkan kerabatnya. Ketika orang tua migran bekerja dan tidak mungkin membawa anaknya ke tempat kerja karena anaknya sudah usia sekolah, juga memiliki anak yang agak besar tetapi masih meragukan, maka pola pengasuhan anak di samping dibebankan pada kakaknya juga dititipkan pada suadaranya. Hal ini sejaJan dengan teori segregasi yang dikemukakan oleh Hendershot (1970) bahwa para migran memilih tempat tinggal di mana tetangga, teman-teman dan suadaranya dari asal daerah. Para migran Madura mengikuti alur migrasi dari Madura karena diajak atau dibantu tetangga, teman dan saudaranya menuju ke tempat-ternpat di lingkungan pasar, misalnya pasar Turi, pasar Wonokromo dan menuju tempat untuk berdagang yang lebih permanen di pasar induk Sidoarjo, pasar di Aloha dan pasar di Warn. Pasar
*
Dra. Anik Andayani, M.Si. adalah staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
7
Turi dan Wonokromo, yang merupakan basis orang Madura dijadikan tempat sementara selanjutnya ke pasar di Sidoarjo. Tujuan utama para migran membuat segregasi selain untuk jaringan pekerjaan juga memudahkan dalam pengasuhan anak. Mereka merasa nyaman bila meninggalkan anaknya di lingkungan yang sama-sama berasal dari daerah yang sama, Madura lebih-lebih sama-sama dan desa yang sama. Mereka sudah mengenal orang satu dan lainnya. Namun, keluarga migran Madura lebih memilih bentuk keluarga kecil (nuclear family). Mereka tidak membangun keluarga besar (extended family ), salah satu keluarga bertempat tinggal di Medaeng dan satu keluarga lainnya di Geluran. Namun, mereka tetap menjalankan hubungan fungsional, saling membantu dalam pekerjaan dan mengasuh anak. Keempat, diasuh pembantu. Bagi keluarga migran yang mempunyai pekerjaan formal dan penghasilan yang memadai maka pola pengasuhan anak dibantu oleh seorang pembantu rumah tangga (baby syster) atau dalam istilah Jan Windebank (1999), disebut "pengasuh sementara" (childminder). Pagi sebelum berangkat bekerja, ibunya memandikan dan mengajak sebentar setelah itu pola pengasuhan dilakukan oleh pembantu. Pembantu yang memberikan makan dan kebutuhan lainnya, yakni memberikan susu formula. Setelah ibunya pulang dan kerja, pola pengasuhan diserahkan ke ibunya. Namun, terdapat juga ibu migran yang membuka praktek kerja di rumah, maka pola pengasuhan dilakukan dua orang pembantu dan ibunya. Pada pola pengasuhan semacam ini juga tak terlepas dari ketidakadilan gender. Ibunya yang juga berkerja bergantian dengan pembantunya mengasuh anak, sementara orang tua laki-laki hanya fokus pada pekerjaan. Kelima, ibu dan grandparents (kakek-neneknya). Pola pengasuhan anak keluarga migran ada yang mengikuti pola pada usia dini (0 bill an sampai 7 bulan) dilakukan oleh kakek-neneknya dan ibunya sendiri. Mereka yang mengambil pola ini biasanya dilakukan oleh migran yang hamil tua dan tidak melahirkan di kota justru dipulangkan ke desa. Pada usia dini, anak belum masuk usia sekolah dirawat oleh saudara-sudaranya di desa. Setelah cukup umur mereka dibawah ke tempat merantau lagi karena ibunya harus mulai kerja dari masa cutinya. Keenam, by self. Keluarga migran yang memikili anak usia 8 tahun ke atas, maka anak-anak mereka dibiarkan mengurus dirinya sendiri karena sudah dianggap mampu. Keluarga migran berpandangan bahwa mereka sudah menggunakan waktu yang panjang di sekolahan atau kampus. Pagi hari sampai siang hari mereka di sekolah, setelah itu siang hari sampai malam hari mereka di rumah atau bermain dengan teman-teman sebayanya. Baru malam hari mereka bertemu dengan orang tuanya, sepulang dari tempat kerjanya. Kalau di rumah waktu dihabisan untuk melihat televisi dan sesekali keluar rumah guna bermain dengan temannya, misalnya sepedaan, bemain sepak bola, dan seterusnya. Pola pengasuhan semacam itu membuat anak terlalu bebas atau "liar". Tak ada jaminan mereka menggunakan waktunya untuk belajar. Tak ada jaminan mereka tidak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Lebih-lebih bila mereka tinggal di lingkungan keras semisal di daerah Pulo Wonokromo, Bunggurasih, Joyoboyo yang dikenal "daerah hitam", tempat pengangguran yang suka mabuk-mabuk, tempat preman yang suka mencopet dan memperkosa. Adalah beralasan bila beberapa keluarga migran merasa khawatir terhadap perkembangan anaknya. Migran Madura *
Dra. Anik Andayani, M.Si. adalah staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
8
lebih memilih tempat-tempat ramai, kampung kumuh (slum area) alasan dekat dengan tempat kerja dan murah. Migran tidak mengharapkan anaknya kembali ke kampung halaman grandparents (kakek-neneknya) di Madura. Pendek kata, soal bahasa migran menyesuaikan dengan lingkungan sosialnya, persis yang dikemukakan oleh Barret A. Lee, R.S. Oropesa dan James W. Kanan (1994). Daya adaptasi terhadap lingkungan sosial ini juga nampak pada keterbukaan migran dalam mengasuh anaknya. Anak migran leluasa bergaul dengan anak-anak Jawa. Keluarga migran Madura dalam mengasuh anak mengutamakan dua tradisi atau culture utama. Pertama, culture lokaI (Jawa/Madura). Anak-anak migran diajari norma atau nilai sopan santun. Selain itu, dalam pergaulan sosial, anak migran Madura diajari supaya tidak berbicara keras orang tua apalagi memaki pada orang yang lebih tua. Kedua, culture Islam. Pendidikan pondok pesantren dan sekolah yang berlabel Islami lebih diutamakan untuk pendidikan anak kaum migran Madura. Senada dengan disertasi Kuntowijoyo (1980) bahwa masyarakat Madura mengutamakan ekspresi religius. Pengaruh lingkungan industri seperti Sidoarjo dan Surabaya yang lebih mengutamakan pendidikan untuk memperoleh lapangan pekerjaan dan bukan kesalehan beragama tidak membuat keluarga migran berpaling pada pendidikan Islami.. Keluarga punya pandangan bahwa pendidikan Islam tidak cukup kalau hanya diajarkan di sekolahan, tetapi perlu juga dididik di musholla dan masjid. Kultur semacam itu bercermin dari kebiasaan orang tua mereka waktu di desa (Madura) dan kultur lokal seperti Sidoarjo dan Surabaya juga rnemiliki kebiasaan yang sama, yakni mengharuskan anak-anaknya mengaji di musholah atau masjid, yang terkenal dengan istilah TPA (taman pelajaran Al Qur'an). 2. Usaha Menjaga Kesehatan Anak Pola pengasuhan anak pada keluarga Madura perantau dengan status ibu bekerja sangat tergantung pada pendidikan, pekerjaan, pola migrasi (segregasi). Pada keluarga pedagang yang memiliki pendidikan rendah, terdapat anaknya yang tidak diimunisasi. Sementara keluarga yang memiliki pendidikan yang cukup tinggi rata-rata mengimunisasi anaknya. Anak migran Madura diimunisasi secara lengkap di puskesmas atau posyandu seperti anjuran pemerintah. Keluarga pedagang migran Madura relatif mengabaikan kesehatan reproduksi, sebagian ada yang mengikuti program keluarga berencana (KB) dan sebagian tidak ikut program keluarga berencana. Keluarga yang tidak ikut KB ada yang memiliki anak 6 orang, 5 anak, tiga anak, dan paling sedikit 1 anak. Beberapa alasan tidak ikut KB selain memang ada yang mengalami masalah dalam hal kesuburan reproduksi, dan karena pantangan agama. Yang mengerikan adalah beberapa ibu-ibu migran Madura dilarang suaminya ikut KB, sehingga terdapat anak yang lahir tak dihendaki. Migran perempuan yang sudah berusia 37 tahun dan sudah memiliki empat anak, karena tidak ikut KB harus melahirlah anak kelima yang memiki selisih 10 tahun dengan kakaknya (anak nomor empat). Sementara keluarga yang ikut KB, paling banyak memiliki anak 3 orang, dan paling sedikit 1 orang. Inisiatif ikut keluarga berencana didorong karena kesulitan ekonomi. Dengan kata lain, keputusan tentang kesehatan reproduksi masih didominasi oleh laki-laki. Fenomena semacam itu mirip dengan apa yang oleh Gailey (1987) disebut gender hierarchies. Perempuan *
Dra. Anik Andayani, M.Si. adalah staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
9
migran Madura belum mempunyai hak penuh atas kesehatan dirinya, masih dikuasai laki-laki. Keluarga pedagang migran Madura ini juga kurang perhatian soal kesehatan anak, terutama berkenaan dengan kesehatan fisik. Mereka yang hidup di daerah kumuh (slum area), rumah kos-kosan (kontrakan) ditandai dengan penampilan anak yang kusut, terkena penyakit kulit, pakaian yang kotor, kurus ( tidak cukup gizi). Anak-anak mereka juga rentan terkena penyakit batuk-batuk dan pilek {influenza). Dengan lingkungan yang tidak sehat, seperti kebiasaan memelihara unggas (burung dara, ayam, puyuh), keluarga migran ini rentan terkena bahaya flu burung. Tetapi keluarga yang memiliki pekerjaan bagus (bidan dan notaris) ditandai dengan anak yang sehat atau tidak kekurangan gizi. Walau begitu, keluarga migran Madura sudah memiliki kepedulian terhadap kesehatan anaknya terutama soal makanan di luar rumah. Mereka melarang anaknya membeli makanan yang berbahaya seperti tempura dan jenis minuman yang tidak heginis. Mereka juga mengutamakan pemberian air susu ibu (ASI) ketimbang susu formula, selain alasan susu formula mahal juga adanya tradisi di lingkungan mereka untuk memberikan ASI. Alasan lainnya, pemberian ASI dapat diberikan ke bayi mereka karena jenis pekerjaan berdagang memungkinkan anaknya dibawa ke tempat bekerja. Ibu-ibu pedagang mengajak anaknya yang masih usia menyusui ke tempat kerja, sementara yang sudah tidak menyusui diasuh oleh kakak-kakaknya. Demikian pula perhatian terhadap asupan gizi anak kurang diperhatikan, tanpa strategi khusus untuk mempersiapkan makanan bergizi anaknya. Ada kecendenmgan kuat di kalangan migran ketika hamil tua dan hampir mendekati melahirkan untuk membawa mereka pulang kampung, tempat orang tuanya tinggal. Namun, pola melahirkan yang kembali ke kampung halaman atau desa itu bukannya tanpa resiko kesehatan. Walau dalam penelitian ini beluni ditemukan kasus yang fatal, penelitian Atashendartini Habsjah (1995) mensinyalir kematian balita banyak dijumpai di desa karena persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi. Hal senada juga dikemukakan oleh Anne Tinker dan Maijorie A. Koblinsky (1993), di negara berkembang (developing countries) rentan menghadapi kematian bayi karena pemahaman yang salah soal kesehatan bayi dan ibu hamil. Keluarga migran Madura masih melihat kesehatan bayi dari aspek bayi yang sudah lahir dan menganggap remeh akan pentingnya kesehatan bayi di dalam kandungan dan proses persalinan. E.
Penutup Keluarga Madura perantauan memiliki variasi pola pengasuhan anak, khususnya bagi ibu yang bekerja. Antara lain melakukan pola pengasuhan sendiri sambil bekerja. Di tempat kerja pola pengasuhan dilakukan bergantian antara ibu dan bapaknya. Artinya ada kesepakatan untuk bekerja sama dalam pengasuhan anak, sehingga sang ibu melakukan peran ganda, bekerja dan mengasuh anak sekaligus. Pola pengasuhan anak dengan menggantungkan pada kakak perempuan adalah varian lain akibat konstriiksi social tentang kehamsan kakak perempuan mengasuh adiknya, karena anak laki-laki di pondok pesantrenkan. Akibatnya terjadi eksploitasi terhadap anak perempuan yang kehilangan masa kanak-kanaknya. Bahkan sang ibu dapat memanfaatkan jaringan kekerabatan maupun teman yang berasal dari daerah yang sama untuk membantu mengasuh anaknya. Alternatif lain adalah dititipkan *
Dra. Anik Andayani, M.Si. adalah staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
10
nenek/kakeknya di daerah asal. Hal ini dilakukan ketika hamil tua, alasannya di perantauan tidak banyak waktu untuk mengasuh anak, karena bekerja dan bersama neneknya akan lebih ada jaminan keamanan. Untuk menghindari kesulitan secara ekonomi maupun sosial, maka keputusan yang dipilih adalah membentuk keluarga kecil. Demikian pula dengan pendidikan fonnal tidak penting, kecuali pendidikan agama. Bagi ibu bekerja di sektor formal, pola pengasuhan lebih teratur walaupun menggunakan tenaga pembantu atau dititipkan dengan kerabat dekat (nenek/kakek/saudara) atau diasuh sendiri setelah bekerja. Artinya ibu melakukan peran ganda yang tidak hanya dilakukan oleh ibu-ibu yang bekerja sebagai pedagang di pasar ataupun penjual makanan. Pada keluarga ini pendidikan formal penting, tetapi juga pendidikan agama yang selalu menjadi pegangan utama setiap keluarga Madura. Mereka mendidik keluarga dalam budaya etnis Madura dan agama Islam, demikian pula dalam pengasuhan anak. Pola-pola pengasuhan anak pada keluarga Madura yang memiliki ibu bekerja dalam penelitian ini mengupayakan pengasuhan anak dapat dilakukan sendiri, atau dipercayakan kepada orang yang dapat mengasuh anak dengan baik, terjaga keamanannya, kesehatannya, dan kesejahteraannya. Kendala yang sering di hadapi adalah waktu, ibu harus dibagi untuk bekerja dan mengasuh anak atau setidaknya memperhatikan perkembangan anak. Ekonomi juga menjadi kendala lain bagi ibu-ibu dalam pengasuhan anak, kesulitan ekonomi menjadikan mereka harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga termasuk anak. Pendidikan ibu yang bekerja, berpengaruh terhadap pola pengasuhan anak. Mereka yang berpendidikan lebih tinggi mempunyai strategi lebih baik dalam pola pengasuhan anak, walaupun diserahkan orang lain tetapi tetap ada kontrol dari sang ibu Salah satu faktor yang mempengaruhi startegi ibu bekerja dalam menjaga kesehatan anaknya adalah tingkat pendidikan. Bagi ibu yang memiliki pendidikan rendah, maka keseliatan anak dijaga bukan dengan metode-metode klinis melainkan dengan metode-metode tradisional. Mereka lebih percaya kepada dukun atau orang yang dianggap pintar untuk mengobati anak yang sakit. Alasan lain adalah ekonomi, bagi keluarga dengan ekonomi mapan akan menggunakan metode-metode medis, rumah sakit atau dokter spesialis, tetapi mereka yang ekonomi rendah lebih memilih ke dukun atau Puskesmas, karena murah dan tidak jauh dari tempat bekerja. Kesehatan reproduksi adalah bagian tak terpisahkan dari pemeliharaan keseliatan anak. Pada keluarga Madura perantauan kesehatan reproduksi tidak menjadi prioritas utama, keputusan reproduksi masih didominasi oleh laki-laki. Keluarga Berencana bukan merupakan prioritas untuk diikuti, akibatnya ibu bekerja akan mengalami kendala waktu dan tenaga yang terbagi antara mengasuh anak dan bekerja. Bagi ibu bekerja di kantor (formal), lebih dapat menjaga kesehatan anaknya lebih baik ketika ibu sedang bekerja. Persiapan sebelum berangkat bekerja selalu didahului dengan mempersiapkan menu untuk anak, baik yang usia pra sekolali maupun usia sekolali. ASI lebih diutamakan dibanding susu formula yang harganya juga lebih mahal dan kualitasnya tidak lebih baik disbanding ASI. Keluarga Madura Perantauan yang ibu bekerja di sektor formal lebih memiliki banyak pengetahuan tentang bagaimana menjaga kesehatan anak, tetapi bagi ibu bekerja di sektor informal mereka *
Dra. Anik Andayani, M.Si. adalah staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
11
harus menjaga kesehatan anak ekstra berat. Apabila tempat bekerja di pasar, maka ada kemungkinan tempat kumuh yang ada di lingkungannya akan mempengaruhi kesehatan anak, tetapi ini harus menjadi perhatian ibu-ibu yang bekerja dan mengasuh anak.
Daftar Pustaka Abdullah, Irwan.1991. Wanita Bakul di Pedesaan Jawa. Yogyakarta : PPK-UGM Gardner, Robert W. 1981. Microlevel on the Migration Decision Process. Dalam Gordon F. De Jong dan Robert W. Gardner. Migration Decision Making. Multidisciplinary Approaches to Microlevel Studies in Develop and Developing Countries, New York : Pergamon Press. Goldscheider, Calvin. 1983. The Adjusment of Migrant in Large Cities of Less Development Countries. Some Coparative Observations. Dalam Goldscheider. Urban Migrants in Developin Nations. Patterns and Problems of Adjusment. Boulder, Colorado :Westview Press. Jong, Gordon F. De, dan James T. Faecett. 1981. Motivations for Migration : An Assessment and a Value – Expectancy Research Model. Dalam Gordon F. De Jong dan Robert W. Gerdner. Magration Decision Making. Multidisciplinary Approaches to Micholevel Studies in Developed and Developing countries. New York : Pergamon. Jonge, Huub de. 1989. Madura dalam Empat /aman : Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam. Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Jakarta : Gramedia. Habsjah, Atashendartini. 1995. Sekelumit Kehidupan Kaum Perempuan Beserta Anaknya di Beberapa RT Kiimuh Jakarta Dalam T.O. Ihromi. Kajian Wanita dalam Pembangunan , Jakarta : YOI. Lee, Bernet A., R. S. Oropesa, dan James W. Kanan. 1994. Neighborhood Context and Residential Mobility Demography. Vol. 31 no. 2. Lee Everett S. 1995. - UGM
Teori Migrasi. Diterjehkan oleh Hans Daeng Yogyakarta : PPK
Mantra, Ida Bagoes., dan Manasse Malo. 1985. Mobilitas Sirkuler Penduduk ke Enam Kota Besar di Indonesia. Yogyakarta : PPK-UGM. Sayogyo, Pudjiwati. 1985. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Jakarta ; Rajawali
*
Dra. Anik Andayani, M.Si. adalah staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
12
Speare J., Alden. 1984. "Methodological Issues in the Study of Migrant Adjusment. dalam Calvin Goldscheider. Urban Migrants in Developing Nations. Petterns and Problems of Adjasment. Boulder Colorado : Westview Press. Suratiyah, Ken., Siti Haerani dan Nurleni. 1994. Marginalisasi Pekerja Wanita di Pedesaan. Studi Kasus Pada Industri Rumah Tangga Pangan di Sulawesi Selatan. Yogyakarta : PPK-UGM. Windebank, Jan. 1999. Political motherhood and the social construction of mothering : A comparison of the child care strategis of French and British working mothers. Journal of Social Policy. Vol. 28, Part 1
*
Dra. Anik Andayani, M.Si. adalah staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
13