POLA PEMBERIAN SUSU FORMULA DAN KONSUMSI ZAT GIZI ANAK USIA DI BAWAH DUA TAHUN (BADUTA) PADA KELUARGA IBU BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA
Djuwita Andini
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN DJUWITA ANDINI. Pola Pemberian Susu Formula dan Konsumsi Zat Gizi Anak di bawah Dua Tahun (Baduta) pada Keluarga Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan KATRIN ROOSITA. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pola pemberian susu formula dan konsumsi zat gizi anak usia di bawah dua tahun (baduta) pada keluarga ibu bekerja dan ibu tidak bekerja di Kota Bogor. Tujuan khususnya yaitu 1). Membandingkan karakteristik keluarga dan anak baduta pada kelompok ibu bekerja dan kelompok ibu tidak bekerja; 2). Membandingkan pengetahuan gizi ibu pada kedua kelompok; 3). Mempelajari pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI pada kedua kelompok; 4). Mengetahui kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu formula dan makanan terhadap tingkat konsumsi zat gizi pada anak baduta dari kedua kelompok; dan 5). Menganalisis hubungan karakteristik keluarga, karakteristik anak, dna pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI dan susu formula. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di Kelurahan Bantarjati dan Kelurahan Tegal Gundil, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Pemilihan lokasi Kecamatan dan Kelurahan ditentukan secara purposive. Pemilihan RW pada kedua kelurahan tersebut dilakukan secara random. Waktu penelitian dari bulan Juni sampai Agustus 2005. Responden penelitian adalah ibu yang memiliki anak berumur 13-23 bulan yang memberikan susu formula dan bersedia diwawancarai. Contoh penelitian adalah anak baduta yang dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan status pekerjaan ibu yaitu kelompok ibu bekerja dan ibu tidak bekerja. Pengambilan contoh dilakukan secara purposive. Jumlah contoh dari masing-masing kelurahan adalah 15 orang dari keluarga ibu bekerja dan 15 orang dari keluarga ibu tidak bekerja, sehingga jumlah contoh keseluruhan adalah 60 orang. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi langsung. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dikategorikan dan diolah menggunakan tabulasi silang dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia dengan Microsoft Excel dan SPSS 10.0 for Windows. Uji statistik yang digunakan adalah uji beda t, uji beda Mann Whitney, dan uji korelasi Rank Spearman. Data konsumsi pangan yang diperoleh dikonversikan dari ukuran rumah tangga ke satuan gram dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) (Hardinsyah & Briawan, 1994). Kemudian dihitung kandungan Energi dan zat gizinya dengan menggunakan Microsoft Excel dengan program Food Processor. Kontribusi konsumsi energi dan zat gizi ASI, susu formula dan makanan terhadap konsumsi zat gizi dan kecukupan zat gizi diperoleh berdasarkan perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari ASI, susu formula dan makanan dengan pangan total dan kecukupan gizi. Berdasarkan hasil penelitian, pada kelompok ibu tidak bekerja sebesar 53,3% contoh merupakan anak pertama, 40% contoh merupakan anak ke-2 atau ke-3. Pada kelompok ibu bekerja sebesar 23,3% contoh merupakan anak pertama, 73,3% contoh merupakan anak ke-2 atau ke-3. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan urutan anak antara kedua kelompok (p<0,05). Sebesar 90% contoh di kedua kelompok dilahirkan dengan bantuan dokter/bidan, tidak ada perbedaan penolong kelahiran contoh pada kedua kelompok. Umur responden ibu bekerja adalah 30-39 tahun (70%), dan responden ibu tidak bekerja berumur 20-29 tahun (60%), terdapat perbedaan umur ibu pada kedua kelompok (p<0,01). Sebesar 66,7% responden ibu bekerja dan 43,3% responden ibu tidak bekerja
merupakan lulusan perguruan tinggi, tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan ibu pada kedua kelompok. Tingkat pengetahuan gizi 53,3% responden ibu tidak bekerja dan 76,7% responden ibu bekerja termasuk kategori baik, terdapat perbedaan tingkat pengetahuan gizi ibu pada kedua kelompok (p<0,05). Keluarga contoh baik kelompok ibu tidak bekerja (96,7%) dan kelompok ibu bekerja (96,7%) sudah berada di atas batas kemiskinan penduduk perkotaan di Jawa Barat (Rp 135.598,00/kapita/bulan). Hasil uji beda menunjukkan tingkat pendapatan keluarga contoh tidak berbeda. Sebesar 76,7% keluarga ibu tidak bekerja dan 80% keluarga ibu bekerja merupakan keluarga kecil (≤4 orang), tidak terdapat perbedaan besar keluarga pada kedua kelompok contoh. Proporsi terbesar contoh kelompok ibu tidak bekerja (90%) dan ibu bekerja (80%) mendapat kolostrum. Sebanyak 76,7% contoh kelompok ibu tidak bekerja dan 50% contoh kelompok ibu bekerja mendapat minuman pralaktal, terdapat perbedaan praktek pemberian minuman pralaktal antara kedua kelompok contoh (p<0,05). Lebih dari separuh contoh di kedua kelompok sudah tidak memperoleh ASI lagi. Pola pemberian ASI kelompok ibu tidak bekerja berada pada kategori sedang (63,3%), sedangkan kelompok ibu bekerja berada pada kategori baik (63,3%). Ada perbedaan pola pemberian ASI antara kedua kelompok contoh (p<0,05). Proporsi terbesar contoh ibu tidak bekerja (36,7%) dan contoh ibu bekerja (40%) mendapat susu formula pada usia kurang dari satu bulan. Jika dibandingkan dengan aturan pada kemasan susu formula, pengenceran dan frekuensi pemberian susu formula kepada contoh di kelompok ibu tidak bekerja (66,7% dan 63,3%) dan kelompok ibu bekerja (63,3% dan 66,7%) adalah tidak tepat. Cara membersihkan botol yang dilakukan oleh responden ibu tidak bekerja (80%) dan responden ibu bekerja (83,3%) adalah dengan merebus botol susu. Pola pemberian susu formula pada kelompok ibu tidak bekerja (60%) dan kelompok ibu bekerja (56,7%) termasuk kategori sedang. Tidak ada perbedaan usia pemberian susu formula, ketepatan pengenceran, ketepatan frekuensi pemberian, cara membersihkan botol, dan kategori pola pemberian susu formula antara kedua kelompok. Sebesar 80% contoh kelompok ibu tidak bekerja dan 83,3% contoh kelompok ibu bekerja mendapat MPASI pada umur kurang dari enam bulan. Jenis MPASI yang pertama diberikan responden ibu tidak bekerja (46,7%) dan responden ibu bekerja (40%) adalah bubur bayi instan. Pola pemberian MPASI kelompok ibu tidak bekerja (56,7%) dan kelompok ibu bekerja (66,7%) berada pada kategori sedang. Tidak terdapat perbedaan usia pemberian MPASI, jenis MPASI pertama, dan kategori pola pemberian MPASI antara kedua kelompok contoh. Konsumsi total energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi di kedua kelompok baduta contoh sudah memenuhi angka kecukupan yang dianjurkan dan sebagian besar baduta contoh termasuk kategori cukup (>70% AKG). Berdasarkan uji beda Mann Whitney tidak ada perbedaan kategori tingkat kecukupan energi pada kedua kelompok. Pada kedua kelompok contoh, rata-rata konsumsi energi dan vitamin A dari makanan lebih besar daripada konsumsi dari ASI dan susu formula. Rata-rata konsumsi protein, vitamin C, kalsium, dan zat besi dari susu formula lebih besar daripada konsumsi ASI dan makanan. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan konsumsi zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi) total, konsumsi zat gizi dari ASI, susu formula dan makanan pada kedua kelompok contoh. Kontribusi energi, protein, dan vitamin A dari makanan terhadap konsumsi dan kecukupan lebih besar daripada kontribusi ASI dan susu formula. Tetapi kontribusi vitamin C, kalsium, dan zat besi dari susu formula terhadap konsumsi dan kecukupan lebih besar daripada ASI dan makanan. Kontribusi zat gizi dari ASI, susu formula, dan makanan terhadap konsumsi total dan kecukupan tidak ada perbedaan menurut uji beda t pada kedua kelompok.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pola Pemberian Susu Formula dan Konsumsi Zat Gizi Anak Usia di bawah Dua Tahun (Baduta) pada Keluarga Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja adalah karya saya sendiri di bawah arahan dosen pembimbing Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan Katrin Roosita, SP., M.Si belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2006 Djuwita Andini NRP A54101039
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 17 September 1983. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Muhammad Junus dan Alma Riani. Pendidikan di Sekolah Dasar (SD) ditempuh dari tahun 1989 sampai 1995 di SD Al-Mukhlisin Jakarta. Kemudian penulis melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri 21 Semarang dan tamat pada tahun 1998. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan ke SMU Negeri 4 Semarang dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA) dan Forum Keluarga Mushola GMSK (FKMG) periode tahun 2002/2003 dan 2003/2004. Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Gizi dan Kesehatan, Sistem Pangan dan Gizi, dan Manajemen Sumberdaya Keluarga. Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Penulis juga aktif dalam mengikuti perlombaan karya tulis. Pada tahun 2004 penulis dan tim mendapat Juara 1 dalam Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Bidang Pendidikan Tingkat IPB dan finalis LKTM Bidang Pendidikan Tingkat Wilayah B.
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi berjudul “Pola Pemberian Susu Formula dan Konsumsi Zat Gizi Anak Usia di bawah Dua Tahun (Baduta) pada Keluarga Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja”. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materiil. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan Katrin Roosita, SP., MSi sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan arahan selama penulisan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS sebagai dosen penguji dan Ir. Eddy S. Mudjajanto, MS sebagai dosen pemandu seminar yang telah memberikan saran dan masukan bagi penulis. 3. Anfamedhiarifda dan Tria Anggita sebagai pembahas seminar, telah banyak memberikan masukan untuk skripsi penulis. 4. Papa dan Mama tercinta atas doa dan kasih sayangnya; abang, adik dan nenekku tersayang atas dukungannya selama ini. 5. Keluarga kecilku selama di Bogor yang telah mengisi hari-hariku dengan cahaya keimanan. 6. Kecamatan Bogor Utara, Kelurahan Bantarjati dan Tegal Gundil, Puskesmas Tegal Gundil, dan para kader posyandu atas izin dan bantuan yang diberikan selama pengumpulan data. 7. Ibu Megawati Simanjuntak, SP yang telah membantu pengolahan data. 8. Seluruh dosen dan pegawai di Departemen GMSK yang telah membantu, dan membimbing penulis selama menjadi mahasiswa di Departemen GMSK. 9. Teman-temanku tersayang, Dedet, Wulan, Vidya, Ruri, Ema, Tias, Tutut, Rian (Alm), Ratnasari, Indria, Vijay, Gamasakers 38 lainnya dan Alih Jenjang 40 atas persahabatan, kebersamaan, bantuan dan semangat selama kuliah dan dalam pembuatan skripsi serta seminar penulis. Semoga Allah memperkuat ukhuwah diantara kita.
10. Ria Mariana Mustofa dan Khairunisa, S. P. (Mba Nisa) yang telah menemani, mendukung dan menyemangati penulis pada detik-detik seminar dan sidang. 11. Teman-teman seperjuangan di jurusan, fakultas, PAI, TPI, dan 4saik atas persaudaraan, kerjasama, bantuan, semangat dan pengertian selama ini. Semoga Allah mempertemukan kita kembali di surga-Nya. 12. Teman-teman di Pondok Adinda Balio (Dwi, Mba Neno, Mba Desy, Mba Elmi, Mba Siwi, Hani, Vidya, Rosita, Sari, Santi, Nurul, dan Selly) atas persahabatan, bantuan, dan pengertian selama ini. 13. Teman-teman GMSK 34-41, MUB 37-41, teman-teman yang telah hadir pada seminar penulis, dan semua teman-teman mahasiswa IPB yang telah membantu penulis selama ini. Penulis sadari skripsi ini masih terdapat kekurangan, namun penulis sangat berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Amin.
Bogor, Februari 2006
Djuwita Andini
POLA PEMBERIAN SUSU FORMULA DAN KONSUMSI ZAT GIZI ANAK USIA DI BAWAH DUA TAHUN (BADUTA) PADA KELUARGA IBU BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Djuwita Andini A54101039
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul
: POLA PEMBERIAN SUSU FORMULA DAN KONSUMSI ZAT GIZI ANAK USIA DI BAWAH DUA TAHUN (BADUTA) PADA KELUARGA IBU BEKERJA DAN IBU TIDAK BEKERJA
Nama
: Djuwita Andini
NRP
: A54101039
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS NIP. 131 404 218
Katrin Roosita, SP., M.Si NIP. 132 232 457
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus :
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
xiii
PENDAHULUAN................................................................................................ Latar Belakang .......................................................................................... Tujuan Penelitian ...................................................................................... Kegunaan Penelitian .................................................................................
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... Anak Baduta.................................................................................................... Makanan Anak Baduta.................................................................................... Air Susu Ibu (ASI) .................................................................................... Minuman Pralaktal .................................................................................... Susu Formula ............................................................................................ Makanan Pendamping ASI (MPASI)........................................................ Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Susu Formula........................ Karakteristik Ibu ....................................................................................... Karakteristik Keluarga .............................................................................. Karakteristik Anak .................................................................................... Akses Informasi Ibu .................................................................................. Pengetahuan Gizi Ibu ...............................................................................
4 4 4 5 6 7 11 12 12 14 15 15 16
KERANGKA PEMIKIRAN ..............................................................................
17
METODE PENELITIAN ................................................................................... Desain, Tempat dan Waktu ............................................................................. Cara Pemilihan Contoh ................................................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data.................................................................. Pengolahan dan Analisis Data......................................................................... Definisi Operasional .......................................................................................
19 19 19 19 20 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................
27
KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................................
74
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
77
LAMPIRAN.........................................................................................................
82
x
DAFTAR TABEL No.
Uraian
Halaman
1.
Komposisi Kolostrum, ASI, dan Susu Formula.............................................
6
2.
Penggolongan Susu Bayi (infant formula) ....................................................
9
3. Standar Komposisi Susu Bayi .......................................................................
9
4.
Pola Makanan Balita menurut Umur (bulan) .................................................
12
5.
Kategori dari Variabel Karakteristik Keluarga ..............................................
21
6.
Kategori dari Variabel Karakteristik Anak Baduta........................................
21
7.
Sebaran Orang Tua Contoh menurut Umur ...................................................
28
8. Sebaran Orang Tua Contoh menurut Tingkat Pendidikan ............................
29
9.
Sebaran Contoh menurut Pekerjaan Utama Ayah..........................................
30
10. Sebaran Contoh menurut Pekerjaan Ibu.........................................................
31
11. Sebaran Contoh menurut Tingkat Pendapatan Keluarga ...............................
31
12. Sebaran Pendapatan Keluarga Contoh menurut Batas Kemiskinan ..............
32
13. Sebaran Contoh menurut Besar Keluarga ......................................................
32
14. Sebaran Contoh menurut Umur dan Jenis Kelamin.......................................
33
15. Sebaran Contoh menurut Jarak Kelahiran dan Urutan Anak .........................
34
16. Sebaran Contoh menurut Riwayat Kelahiran.................................................
35
17. Sebaran Contoh menurut Akses Informasi Ibu ..............................................
36
18. Sebaran Contoh menurut Sumber Informasi Gizi Dan Kesehatan Anak.......
37
19. Sebaran Contoh menurut Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu...............................
38
20. Sebaran Contoh menurut Pemberian Minuman Pralaktal..............................
39
21. Sebaran Contoh menurut Pemberian Kolostrum............................................
40
22. Sebaran Contoh menurut Berdasarkan Waktu Pemberian ASI......................
41
23. Sebaran Contoh menurut Cara Pemberian ASI..............................................
41
24. Sebaran Contoh menurut Pemberian ASI Saat Ini.........................................
42
25. Sebaran Contoh menurut Lama dan Frekuensi Menyusui .............................
43
26. Sebaran Contoh menurut Penggunaan Pompa Payudara ...............................
43
27. Sebaran Contoh menurut Pemberian ASI Saat Anak Sakit ...........................
44
xi
No.
Uraian
Halaman
28. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian ASI ...............................
44
29. Sebaran Contoh menurut Waktu Pemberian Susu Formula...........................
45
30. Sebaran Contoh menurut Sumber Informasi Susu Formula ..........................
46
31. Sebaran Contoh menurut Ketepatan Frekuensi Pemberian Susu Formula ....
47
32. Sebaran Contoh menurut Penggunaan Sendok Takar....................................
47
33. Sebaran Contoh menurut Ketepatan Pengenceran .........................................
48
34. Sebaran Contoh menurut Cara Membersihkan Botol Susu............................
48
35. Sebaran Contoh menurut Pemberian Sisa Air Susu Formula ........................
50
36. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian Susu Formula ...............
50
37. Sebaran Contoh menurut Umur Pemberian MPASI ......................................
51
38. Sebaran Contoh menurut Jenis MPASI Pertama ...........................................
52
39. Sebaran Contoh menurut Kategori Jenis MPASI Pertama ............................
53
40. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian MPASI .........................
53
41. Sebaran Contoh menurut Praktek Pemberian Makanan Saat Anak sulit Makan ...................................................................................
54
42. Sebaran Contoh menurut Kategori Tingkat Kecukupan ................................
58
43. Sebaran Contoh menurut Tingkat Kecukupan Zat Gizi dan Kontribusi terhadap Kecukupan.......................................................................................
59
44. Sebaran Contoh menurut Konsumsi Pangan dan Kontribusi Zat Gizi terhadap Konsumsi.........................................................................................
60
45. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Pola Pemberian ASI ..................
63
46. Hubungan Karakteristik Anak dengan Pola Pemberian ASI ........................
66
47. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian ASI ....................
67
48. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Pola Pemberian Susu Formula ...
71
49. Hubungan Karakteristik Anak dengan Pola Pemberian Susu Formula .........
72
50. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian Susu Formula .....
73
xii
DAFTAR GAMBAR No.
Uraian
Halaman
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Pemberian ASI, Susu Formula, dan MPASI serta Kontribusi terhadap Tingkat Konsumsi Zat Gizi Anak Baduta....................................................................................................
18
xiii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Uraian
Halaman
1. Hasil Mann Whitney Test karakteristik keluarga, karakteristik contoh, tingkat pengetahuan gizi ibu, kategori akses informasi, dan kategori pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI.............................................
82
2. Hasil Independent Sample t Test pola pemberian ASI, susu formula, dan Makanan Pendamping ASI (MPASI).......................................................
83
3. Hasil Independent Sample t Test konsumsi pangan anak baduta...................
84
4. Hasil Independent Sample t Test kecukupan zat gizi anak baduta.................
85
5. Hasil korelasi Rank Spearman antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI dan susu formula....
86
PENDAHULUAN Latar Belakang Keluarga merupakan institusi pertama yang sangat berperan dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Undang-undang (UU) No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa orang tua mempunyai tanggung jawab dan kewajiban untuk memberikan hak tumbuh kembang bagi anakanaknya. Anak-anak merupakan aset bagi masa depan bangsa, karena mereka merupakan bibit generasi yang akan melanjutkan pembangunan. Oleh karena itu pada masa pertumbuhannya anak harus dipersiapkan dengan baik agar dihasilkan sumberdaya manusia yang berpotensi dan berkualitas. Masa janin (pre-natal) sampai dengan usia remaja merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM. Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan periode yang paling kritis bagi pertumbuhan dan perkembangan ditinjau dari aspek gizi, kesehatan, dan psikologi. Kekurangan gizi pada periode kritis tersebut terutama pada masa bayi sampai umur dua tahun dapat mengakibatkan terganggunya perkembangan mental dan kemampuan motorik anak. Kekurangan energi dan protein dalam periode kritis ini dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak (Syarief, 1997). Bayi memerlukan makanan yang cukup dengan zat gizi yang baik untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama dan tetap berguna sampai berumur dua tahun. ASI mengandung semua zat gizi untuk membangun dan menyediakan energi dalam susunan yang diperlukan bayi. Selain itu ASI juga mengandung zat kekebalan yang dibutuhkan bayi untuk menjaga kesehatan tubuhnya agar tidak terganggu oleh berbagai penyakit termasuk penyakit infeksi. Dengan menerima ASI bayi dapat berinteraksi dengan ibunya, sehingga mendukung perkembangan psikologisnya.
2
Kesadaran masyarakat untuk memberikan ASI ekslusif pada bayi masih rendah. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003, bayi yang diberi ASI sampai empat bulan sebanyak 55,1 persen dan bayi yang diberi ASI sampai enam bulan sebanyak 39,5 persen. Pemberian ASI eksklusif sampai empat bulan sebanyak 52 persen (Anonymous, 2004). Susu formula merupakan salah satu Pengganti Air Susu Ibu (PASI) disebut demikian karena pada prosesnya susu formula diolah dan zat gizinya didekatkan dengan kandungan zat gizi ASI (Muchtadi, 2002). Dewasa ini puluhan macam susu formula beredar di pasaran. Menurut Berg (1986) faktor lain yang mempengaruhi merosotnya kegiatan menyusui adalah tingkat pendidikan, ekonomi, pengetahuan, struktur keluarga dan peranan ibu yang berubah serta sikap komersialisme pengusaha susu formula. Anak-anak balita di perkotaan rata-rata memperoleh ASI selama hampir 21,2 bulan. Namun jika dibarengi dengan pemberian makanan tambahan, lama pemberian ASI menurun menjadi 16,6 bulan (BPS, 1999). Menurunnya lama menyusui anak pada ibu-ibu di perkotaan menyebabkan waktu penyapihan yang lebih dini. Penyapihan yang lebih dini itu dapat berakibat negatif terhadap status gizi anak apabila makanan anak yang disapih itu tidak diperhatikan. Hal ini berkaitan dengan makin menurunnya jumlah air susu ibu dan tidak diimbangi dengan makin bertambahnya makanan pendamping air susu ibu. Menurut Suhardjo (1989) penyapihan dini terjadi antara lain karena ibu harus meninggalkan rumah untuk bekerja mencari nafkah atau karena aspek sosial budaya tertentu. Ibu memegang peranan penting dalam menyediakan makanan bagi seluruh anggota keluarga. Pemberian makan (feeding) pada anak usia dini melibatkan interaksi antara ibu atau pengasuh dengan anak yang bersangkutan. Ibu yang bekerja di luar rumah memiliki waktu yang lebih sedikit untuk mengasuh anak dibanding ibu yang tidak bekerja. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk mengetahui pola pemberian susu formula dan konsumsi zat gizi anak usia di bawah dua tahun (baduta) pada keluarga ibu bekerja dan ibu tidak bekerja di kota Bogor.
3
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pola pemberian susu formula dan konsumsi zat gizi anak baduta pada keluarga ibu bekerja dan ibu tidak bekerja di Kota Bogor. Tujuan Khusus 1. Membandingkan karakteristik keluarga dan anak baduta pada kelompok ibu bekerja dan kelompok ibu tidak bekerja. 2. Membandingkan akses sumber informasi dan pengetahuan gizi ibu pada kedua kelompok. 3. Mempelajari pola pemberian ASI pada kedua kelompok. 4. Mempelajari pola pemberian susu formula pada kedua kelompok. 5. Mempelajari pola pemberian makanan pendamping ASI pada kedua kelompok. 6. Mengetahui kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu formula dan makanan terhadap tingkat konsumsi zat gizi anak baduta pada kedua kelompok. 7. Menganalisis
hubungan
karakteristik
keluarga,
karakteristik
anak,
dan
pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI dan susu formula. Kegunaan Penelitian Penelitian ini menghasilkan informasi tentang pola pemberian susu formula dan konsumsi zat gizi anak baduta pada keluarga ibu bekerja dan ibu tidak bekerja di Kota Bogor. Informasi tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dan pihak terkait (stakeholder) lainnya bagi peningkatan gizi anak khususnya anak baduta. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran konsumen untuk memperhatikan penggunaan susu formula secara tepat.
TINJAUAN PUSTAKA Anak Baduta Anak di bawah dua tahun (baduta) merupakan tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat dari semua siklus kehidupan manusia. Pada masa ini anak mengalami peningkatan berat badan dan tinggi badan yang cepat dari keadaan semasa lahir. Selain itu usia baduta merupakan saat yang menentukan kecerdasan anak di masa mendatang. Pertumbuhan otak dimulai sejak masa janin dan pada usia dua tahun mencapai sekitar 90-95 persen tumbuh kembang otak (Hardinsyah & Martianto, 1992). Usia baduta merupakan tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling rawan terhadap berbagai kekurangan zat gizi dan gangguan penyakit. Oleh karena itu dibanding tahap perkembangan lainnya, kecukupan gizi anak baduta per kilogram berat badan lebih tinggi. Kekurangan konsumsi pangan dan gizi pada masa ini dapat mengakibatkan berbagai kemungkinan penyakit akibat gizi kurang. Kekurangan energi dan protein dalam waktu yang lama mengakibatkan pertumbuhan anak terhambat seperti berat badan dan tinggi badan yang rendah (Hardinsyah & Martianto, 1992). Makanan Anak Baduta Air susu ibu (ASI) merupakan makanan utama yang harus diberikan pada bayi sejak lahir sampai berumur dua tahun. Pemberian ASI secara eksklusif (tanpa makanan/minuman yang lain) sangat dibutuhkan oleh bayi sampai berumur enam bulan. Setelah enam bulan dimana produksi ASI menurun dan tidak mencukupi kebutuhan gizi bayi, merupakan saat pemberian makanan tambahan tetapi pemberian ASI tetap dilakukan. Pemerintah telah menetapkan aturan pemberian makanan pada bayi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang pemberian ASI eksklusif, dan produk Pengganti Air Susu Ibu (PASI) dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) nomor 237/Menkes/SK/IV/1997 (Anonymous, 2004).
5
Air Susu Ibu (ASI) ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi. ASI mengandung semua zat gizi dalam susunan dan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi selama enam bulan (Roesli, 2004). Menurut As’ad (2002) jika dibandingkan dengan susu lainnya, ASI memiliki beberapa keunggulan seperti : (1) Tidak memberatkan fungsi saluran pencernaan dan ginjal; (2) Mengandung beberapa zat antibodi, sehingga mencegah terjadinya infeksi; (3) Mengandung laktoferin untuk mengikat zat besi; (4) Tidak mengandung beta laktoglobulin yang dapat menyebabkan alergi; (5) Ekonomis dan praktis, tersedia setiap waktu pada suhu yang ideal, dalam keadaan segar dan bebas dari kuman; (6) Berfungsi menjarangkan kehamilan. Pemberian ASI dapat menumbuhkan kasih sayang dan ikatan emosional antara ibu dan bayinya, yang akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang dan kecerdasan anak di kemudian hari (Sulistijani & Herlianty, 2003). Selain itu dengan menyusui dapat mengurangi resiko terkena kanker payudara, memperpanjang masa tidak subur setelah melahirkan (Muchtadi, 2002). Keuntungan yang lainnya adalah pemberian ASI dapat
meningkatkan
pertambahan tinggi badan anak-anak. Penambahan tinggi badan secara nyata lebih besar pada anak-anak yang mendapat ASI lebih lama dibandingkan anak-anak yang disapih lebih dini (Simondon et al., 2001). Eckhardt et al. (2001) juga menyatakan bahwa pemberian ASI secara penuh selama minimal empat bulan pertama dapat meningkatkan pertumbuhan fisik bayi. Praktek pemberian ASI. Sebaiknya ASI diberikan segera setelah bayi lahir, umumnya 30 menit setelah lahir (Sulistijani & Herlianty, 2003). Depkes RI (1996) pun menyatakan pemberian ASI yang baik yaitu diberikan secara tidak terjadwal sesuai dengan keinginan bayi dan disusui dengan kedua payudara secara bergantian tiap kali menyusui. Tetapi akan lebih baik lagi jika bayi disusui secara terjadwal sehingga bayi akan terbiasa untuk makan secara teratur. Anak sebaiknya disusui dengan kedua payudara karena payudara yang “dilupakan” bisa berhenti menghasilkan ASI, dan menimbulkan pembengkakan payudara.
6
Kolostrum. Kolostrum adalah ASI yang agak kental berwarna kekuningkuningan yang keluar pada minggu pertama setelah melahirkan. Kolostrum mengandung lebih banyak protein (terdapat sekitar 10% protein dalam kolostrum dan hanya sekitar 1% dalam air susu putih), lebih banyak mengandung imunoglobulin A (Ig A), laktoferin dan sel-sel darah putih yang sangat penting untuk pertahanan tubuh bayi terhadap serangan penyakit (infeksi). Kolostrum lebih sedikit mengandung lemak dan laktosa; lebih banyak mengandung karoten dan vitamin A serta mineral natrium (Na) dan seng (Zn) (Muchtadi, 2002). Perbandingan antara komposisi ASI, kolostrum dan susu formula dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kolostrum, ASI dan Susu Sapi Zat Gizi Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (g) Fosfor (g) Besi (g) Vitamin A (SI) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niacin (mg) Asam askorbat (mg)
Kolostrum (1-5 hari) 100 g 58 2.7 2.9 5.3 31 14 0.09 296 0.015 0.029 0.075 4.4
ASI (100 g) 77 1.1 4.0 9.5 33 14 0.1 240 0.01 0.04 0.2 5
Susu Susu Sapi (100 g) 65 3.5 3.5 4.9 118 93 140 0.03 0.17 0.1 1
Sumber : Winarno (1995)
Minuman Pralaktal Minuman pralaktal adalah jenis minuman yang diberikan kepada bayi baru lahir sebelum ASI keluar, seperti air kelapa, air tajin, air teh, dan madu. Hal ini sering mengganggu keberhasilan menyusui secara eksklusif (Depkes, 2000). Selain itu sebagian besar rumah sakit memberikan makanan pralaktal berupa susu formula, susu sapi, atau air gula. Roesli (2001) menyebutkan kerugian pemberian makanan pralaktal bagi bayi dan ibu adalah sebagai berikut : (1) Bayi tidak mau lagi menghisap dari payudara ibunya karena cairan lain telah menghentikan rasa laparnya. Hal ini menyebabkan payudara ibu tidak distimulasi untuk mengeluarkan ASI dengan baik. Jika ASI tidak
7
dikeluarkan dengan baik, maka ASI akan keluar lebih lama dan akan memungkinkan ibu menderita mastitis; (2) Bayi dapat mengalami diare, karena cairan tersebut mungkin tercemar; (3) Bayi kemungkinan menderita alergi karena pernah diberi susu formula atau susu sapi; (4) Bayi mengalami kebingungan puting bila makanan pralaktal diberikan dengan botol susu; (5) Ibu akan lebih sering mengalami kesukaran menyusui dan cenderung lebih cepat berhenti menyusui. Pemberian Minuman Pralaktal. Umumnya ibu memberian minuman pralaktal kepada bayinya sebagai pengganti ASI karena ASI belum keluar, payudara bengkak sehingga tidak bisa menyusui, puting luka, dan ASI kurang. Roesli (2001) menyatakan bahwa pemberian makanan pralaktal dengan anjuran bidan adalah hal yang sering dikemukakan dan menjadi kebiasaan di sebagian besar rumah sakit. Petugas kesehatan biasanya takut bayi akan lapar atau kekurangan air dalam beberapa hari karena ASI dianggap masih sedikit. Padahal pemberian makanan pralaktal akan membuat bayi tidak mau menghisap dari payudara ibunya karena bayi sudah kenyang. Hruschka et al. (2003) menambahkan bahwa pemberian makanan pralaktal ini dapat menyebabkan penundaan permulaan menyusui, dan meningkatkan resiko penghentian ASI secara total. Susu Formula Ruang lingkup produk Pengganti Air Susu Ibu (PASI) dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.237/Menkes/SK/IV/1997 adalah makanan yang dipasarkan atau dinyatakan sebagai makanan bayi dan digunakan sebagai pengganti ASI baik secara keseluruhan maupun sebagian. Produknya meliputi susu formula bayi, susu formula lanjutan dan makanan pendamping ASI yang diberikan dengan menggunakan botol atau dot (Depkes, 1997). Menurut Soekarto (2005), istilah PASI saat ini sudah tidak digunakan lagi dan diganti dengan istilah susu formula. Definisi susu formula bayi menurut Depkes (1997) adalah produk makanan yang formulanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi dari lahir sampai usia antara 4 dan 6 bulan sesuai dengan karakteristik fisiknya. Sedangkan susu formula lanjutan adalah produk makanan yang formulanya dimaksudkan untuk bayi setelah berumur 6 bulan.
8
Muchtadi (2002) menyatakan susu formula adalah susu bayi yang berasal dari susu sapi yang telah diformulasikan sedemikian rupa sehingga komposisinya mendekati ASI. Susu formula dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu susu formula adaptasi, susu formula awal, dan susu formula lanjutan. Susu formula adaptasi (adapted formula), adapted berarti disesuaikan dengan keadaan fisiologis bayi. Komposisinya sangat mendekati ASI sehingga cocok untuk digunakan untuk bayi baru lahir sampai berumur 4 bulan. Contohnya adalah Vitalac, Nutrilon, Nan, Bebelac, Dumex sb, dan Enfamil. Susu formula awal (Complete starting formula), memiliki susunan zat gizi yang lengkap dan dapat diberikan sebagai formula permulaan. Kadar protein dan mineral susu formula ini lebih tinggi dari susu formula adaptasi. Rasio antar fraksi-fraksi proteinnya tidak disesuaikan dengan rasio yang terdapat dalam ASI. Cara pembuatan complete starting formula lebih mudah daripada adapted formula, maka harganya lebih murah. Biasanya bayi diberi adapted formula sampai berumur tiga bulan, kemudian dilanjutkan dengan susu formula ini. Contohnya adalah SGM 1, Lactogen 1, dan New Camelpo. Susu formula lanjutan (follow-up formula), diberikan bagi bayi berumur 6 bulan ke atas. Kandungan protein dan mineralnya lebih tinggi daripada susu formula sebelumnya. Rasio fraksi proteinnya tidak mengikuti rasio yang terdapat dalam ASI. Contohnya adalah Lactogen 2, SGM 2, Chilmil, Promil dan Nutrima. Produsen susu bayi juga membuat susu formula khusus (special formula atau formula diit) untuk diberikan pada bayi (anak kecil) dengan kelainan metabolisme tertentu. Produk susu ini tidak dianjurkan untuk diberikan pada bayi sehat, sebab susunan zat gizinya justru menjauhi susunan yang terdapat pada ASI. Penggolongan susu bayi berdasarkan kondisi bayi, waktu pemberian, keadaan protein, dan berdasarkan rasa, dapat dilihat pada Tabel 2.
9
Tabel 2. Penggolongan Susu Bayi (infant formula) Pengggolongan 1. Berdasarkan kondisi bayi : a. Keadaan normal b. Keadaan khusus 1). Diare 2). Prematur 3). Alergi protein susu 2. Berdasarkan waktu pemberian : a. Susu formula awal b. Susu formula lanjutan 3. Berdasarkan keadaan protein : a. Casein predominant b. Whey adapted 4. Berdasarkan “rasa” : a. Mendekati rasa ASI b. Manis
Contoh Nan, Lactogen, SGM, Nutrilon, S-26 LLM, Almiron, Bebelac FL Enfalac, Nenatal Nutri-soya, Prosobec Lactogen 1, SGM 1, Morinaga, S-26, Nutrilon Lactogen 2, SGM 2, Chilmil, Promil, Nutrima Lactogen, SGM, Lactona, Camelpo Vitalac, Nan, Nutrilon, Enfamil, S-26 Lactogen 1, Nan, Vitalac, S-26, Nutrilon Lactogen 2, SGM
Sumber : Muchtadi (2002)
Menurut Muchtadi (2002), untuk menjamin mutu gizi susu bayi, ditetapkan standar mutu untuk masing-masing jenis susu bayi. Pada Tabel 3 disajikan standar komposisi susu bayi (bubuk) yang berisi persyaratan minimum atau maksimum untuk masing-masing komponen zat gizi, yang terkandung dalam susu bayi menurut Codex Alimentarius dan ESPGAN. Tabel 3. Standar Komposisi Susu Bayi (untuk setiap 100 Kkal) Komponen
Infant Formula (a)
Adapted Infant Formula (b) 64-72 Kcal/100 ml
Follow-up Infant Formula (c) 60-85 Kcal/100 ml
1.8 g
1.8-2.8 g
3.05-5.5 g
3.3-6.0 g 300 mg
4.0-6.0 g
3.0-6.0 g 300 mg
8-12 g
8-12 g
Komposisi vitamin sama dengan Infant Formula
75-150 ug 1-2 ug 0.5 mg
Energi Protein, min Lemak Asam linoleat Karbohidrat Vitamin Vit A Vit D Vit E, min. Vit K1, min. Vit C, min. Vit B1, min. Vit B2, min. Nikotinamid, min. Vit B6, min. Asam folat, min.
250 IU-500 IU 40 IU-80 IU 0.7 IU 4 ug 8 mg 40 ug 60 ug 250 ug 35 ug 4 ug
Vitamin larut air tidak dispesifikasi
10
Tabel 3. (Lanjutan) Komponen Vitamin As. Pantotenat, min. Vit B12, min. Biotin, min. Choline, min.
Infant Formula (a)
Adapted Infant Formula (b)
Follow-up Infant Formula (c)
300 ug 0.15 ug 1.5 ug 7 mg
Mineral 1.0-3.7 mEq/L 1.76 mEq/L 20 mg-60 mg Natrium (Na) 2.0-5.2 mEq/L (Total Na, K dan Cl, 80 mg-200 mg Kalium (K) 1.7-4.3 mEq/L max. 50 mEq/L) 55 mg-150 mg Chlorida (Cl) 90 mg 60 mg 50 mg Kalsium (Ca), min. 60 mg 30 mg 25 mg Fosfor (P), min. 6 mg 6 mg 6 mg Magnesium (Mg), min. 1.0-2.0 mg 0.1-0.2 mg 0.15 mg Besi (Fe), min. 5 ug 5 ug 5 ug Iod (I), min. 30 ug 60 ug Tembaga (Cu), min. 0.5 ug 0.3 ug 0.5 ug Seng (Zn), min. 5 ug 5 ug Mangan (Mn), min. Sumber : (a) Codex Stan. 72-1981 (FAO/WHO) dalam Muchtadi (2002) (b) ESPGAN Committee on Nutrition (1977) dalam Muchtadi (2002) (c) ESPGAN Committee on Nutrition (1981) dalam Muchtadi (2002)
Pemberian Susu Formula. Pemberian PASI kepada bayi hanya diperbolehkan apabila ibu tidak bisa memberikan ASI karena keadaan tertentu yaitu ibu meninggal, ibu sakit keras atau indikasi medis (Depkes, 1985). Menurut Sulistijani dan Herlianty (2003), pemberian PASI dapat dimengerti jika disebabkan oleh masalah pada pihak ibu seperti : ibu menderita infeksi, luka puting (mastitis); ibu mengalami gangguan jiwa atau epilepsi; ibu sedang menjalani terapi obat yang tidak aman bagi bayi. Biasanya susu formula diberikan sebagai makanan tambahan dan sebagai pengganti ASI (PASI). Susu formula sebagai makanan tambahan karena anak menangis terus atau karena ibu merasa ASInya kurang, sedangkan susu formula sebagai pengganti ASI (PASI) karena ASI tidak keluar atau anaknya tidak mau ASI, karena sudah disapih, karena ditinggal bekerja, karena anjuran dari para paramedis atau karena diberi susu formula oleh bidan (Fitrisia, 2002). Pemberian susu formula harus dilakukan dengan tepat. Masalah kesehatan dapat timbul apabila orang tua tidak membaca petunjuk yang tertulis pada kemasan, misalnya agar susu kaleng lebih irit. Bila susu diberikan dalam keadan encer, maka
11
bayi akan mengalami kekurangan gizi, namun bila pemberian berlebihan maka akan menyebabkan obesitas serta beban bagi kerja ginjal dan pencernaan (Depkes, 1994). Botol susu bayi dan dot botol dapat mudah terkontaminasi. Botol sebaiknya terbuat dari gelas (bukan plastik) dan bertanda mililiter yang jelas. Dot botol harus tahan terhadap proses pendidihan. Semua peralatan makan/minum bayi setelah dicuci, disterilisasi dengan cara pendidihan selama 5-10 menit. Kemudian ditiriskan, dikeringkan dan disimpan dalam keadaan tertutup. Jika cara pendidihan tidak mungkin dilakukan, maka peralatan dapat dicuci dengan air panas lalu dibilas dengan air minum (air matang yang telah dingin) atau larutan garam (Muchtadi, 2002). Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan pada bayi yang telah berusia 6 bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan gizi bayi. Pemberian makanan pendamping dilakukan secara berangsur untuk mengembangkan kemampuan bayi mengunyah dan menelan serta menerima bermacam-macam makanan dengan berbagai tekstur dan rasa (Sulistijani & Herlianty, 2003). Perbedaan waktu pemberian MP-ASI tidak mempengaruhi pertumbuhan bayi baik berat badan maupun tinggi badan (WHO, 2002). Namun menurut Baker et al. (2004), pemberian MP-ASI secara dini (kurang dari 4 bulan) dapat meningkatkan berat badan bayi. Pemberian MP-ASI. Pemberian MP-ASI yang terlalu dini (<6 bulan) akan berdampak pada terganggunya sistem metabolisme atau pencernaan karena bayi belum siap mencerna makanan selain ASI dan asupan gizi yang diberikan tidak sesuai dengan
kebutuhannya.
Sebaliknya,
penundaan
pemberian
makanan
dapat
menghambat pertumbuhan jika energi dan gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak mencukupi lagi kebutuhannya (Pudjiadi, 2000). Pemberian makanan pendamping harus bertahap dan bervariasi, mulai dari bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Sulistijani & Herlianty, 2003). Pola makanan balita menurut Depkes (2000) ada pada Tabel 4.
12
Tabel 4. Pola Makanan Balita Menurut Umur (bulan) Umur (bulan) 0-4 4-6 6-9 9-12 12-24 Keterangan :
ASI
Makanan Lumat Halus
Makanan Lumat
Makanan Lunak
Makanan Padat
Makanan lumat halus adalah makanan yang dihancurkan terbuat dari tepung dan tampak homogen. Misalnya adalah bubur susu, bubur sumsum, biskuit ditambah air panas, pepaya saring, pisang saring, dll. Makanan lumat adalah makanan yang dihancurkan atau disaring tampak kurang merata. Misalnya adalah pepaya dihaluskan dengan sendok, pisang dikerik dengan sendok, nasi tim saring, bubur kacang ijo saring, kentang pure. Makanan lunak adalah makanan yang dimasak dengan banyak air dan tampak berair. Misalnya adalah bubur nasi, bubur ayam, bubur kacang ijo, bubur manado. Makanan padat adalah makanan lunak yang tidak nampak berair, seperti lontong, nasi tim, kentang rebus, biskuit. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Susu Formula Karakteristik Ibu Pendidikan dan pengetahuan ibu. Tingkat pendidikan ibu sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan khususnya tingkat pendidikan ibu mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita & Fallah, 2004). Faktor pendidikan ibu mempengaruhi pengasuhan gizi anak
baik dalam
penyediaan pangan yang cukup secara kuantitas maupun kualitasnya, juga perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Salah satu pengasuhan gizi anak adalah pemberian ASI pada anak balita. Hasil kajian Susenas 1995 dan 2003, secara nasional pemberian
13
ASI terutama pada bayi di bawah satu tahun menurun dari 46,5% tahun 1995 menjadi 31,1% pada tahun 2003. Berdasarkan lamanya pemberian ASI saja sampai usia 6 bulan relatif masih rendah dan tidak ada peningkatan dari tahun 1995 ke tahun 2003 yaitu sekitar 15-17% (Atmarita & Fallah, 2004). Pendidikan ibu di samping modal utama dalam perekonomian rumah tangga juga berperan dalam penyusunan pola makan untuk keluarga. Pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap pemberian ASI. Menurut Syarief dan Husaini (2000) dalam Fitrisia (2002), proporsi pemberian ASI pada ibu yang berpendidikan tinggi lebih rendah dibandingkan yang berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari jenis pendidikan yang dialami atau lamanya mengikuti pendidikan formal atau non formal. Pada umumnya tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya. Pendidikan akan menentukan besar kecilnya penggunaan pendapatan keluarga untuk pengadaan pangan sehari-hari (Sayogyo et al., 1994). Bhandari et al. (2000) menambahkan bahwa pendidikan ibu yang rendah merupakan penghalang utama praktek pengasuhan anak yang baik. Pengasuhan yang dimaksud adalah pemberian makanan pada anak, perilaku perawatan kesehatan anak, dan perilaku higienitas. Status pekerjaan ibu. Peningkatan partisipasi wanita dalam memasuki lapangan kerja di luar rumah dari waktu ke waktu semakin meningkat. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), laju peningkatan partisipasi pekerja wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Tenaga kerja wanita meningkat dari 1,8 persen per tahun sebelum krisis ekonomi menjadi 4,2 persen pada tahun 1997-1998 (Martianto & Ariani, 2004). Masuknya wanita dalam dunia kerja akan mengubah peran ibu dalam mengasuh anak. Turut sertanya ibu bekerja untuk mencari nafkah khususnya ibu yang masih menyusui anaknya menyebabkan bayi tidak dapat menyusui dengan baik dan teratur. Maka susu sapi atau susu formula merupakan satu-satunya jalan keluar dalam pemberian makanan bagi bayi yang ditinggalkan di rumah. Dalam penelitian Enoch dan Djumadias (1998) dalam Fitrisia (2002), alasan penyapihan terutama karena ibu bekerja atau sibuk di luar rumah sebesar 21,6%.
14
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh RSCM, ibu yang bekerja dapat berpengaruh terhadap produksi ASI. Meskipun pada ibu telah diajarkan cara mempertahankan produksi ASI dengan cara memompa ASI pada saat di tempat kerja serta dengan menyusui bayi lebih sering pada malam hari, ternyata jumlah ibu yang ASInya masih cukup sampai bayi berumur 6 bulan lebih sedikit jika dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Kondisi ini diduga akibat beban fisik ibu karena pekerjaan sehingga tidak dapat mempertahankan produksi ASI (Suradi, 1986). Karakteristik Keluarga Besar keluarga. Besar keluarga mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga. Semakin besar jumlah keluarga yang tidak ditunjang oleh tingkat pendapatan yang baik maka pangan bagi setiap anak akan berkurang. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang kurang mampu sangat rawan terhadap masalah gizi kurang. Anak paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Suhardjo, 1989). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Latief, Atmarita, Minarto, Jahari dan Tilden (2002) bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga, maka semakin berkurang kontribusi energi, protein dan lemak terhadap total konsumsi pangan. Faktor besar keluarga juga diduga erat kaitannya dengan perhatian ibu dalam pengasuhan anak. Jumlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam mengasuh anaknya. Menurut Sukarni (1989), jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari dua tahun, perhatian dan waktu ibu terhadap pengasuhan kepada anak yang pertama akan berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak tersebut masih memerlukan perawatan khusus. Pendapatan keluarga. Hal ini akan mempengaruhi pola pengeluaran dalam rumah tangga terutama untuk konsumsi pangan anggota rumah tangga, yaitu bayi dan anak balita (Roedjito, 1987).
Pada golongan pendapatan tinggi terdapat
kecenderungan peningkatan penggunaan PASI dan memulai pemberian makanan pendamping yang lebih awal. Faktor pendapatan keluarga sangat menentukan pola
15
menyusui beralih dari ASI ke susu buatan (Haryono, 1977 ; Bantje & Yambi, 1983 dalam Fitrisia, 2002). Semakin meningkatnya pendapatan dan kekayaan terdapat kecenderungan pangan yang dikonsumsi lebih beragam dan lebih banyak (Arimond & Ruel, 2004). Semakin bertambahnya pendapatan keluarga, pembelian susu formula semakin menunjukkan peningkatan yang cukup besar dan menyusui anak mengalami penurunan yang sangat cepat. Contoh ini dapat dilihat dari 60% ibu di Gujarat yang memiliki penghasilan rendah menyusui anaknya hingga berumur 6 bulan. Persentase ini menurun dengan tajam ketika pendapatan meningkat dan hanya 8% saja dari ibu yang pendapatannya tinggi menyusui anaknya (Berg, 1986). Karakteristik Anak Urutan anak. Menurut Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung lebih diperhatikan oleh orang tua dibandingkan anak yang lahir kemudian. Hal ini diduga dapat mempengaruhi pola pemberian makan yang dilakukan oleh ibu kepada anak. Akses Informasi Ibu Menurut Madanijah (2003), pengetahuan ibu selain dipengaruhi oleh pendidikan ibu, pendidikan ayah dan keadaan sosial ekonomi keluarga (pendapatan keluarga), juga dipengaruhi oleh akses terhadap informasi. Engle, Manon, dan Hadad (1997), menyatakan bahwa perolehan informasi bisa didapat dari membaca surat kabar, mendengarkan radio, menonton televisi, dan kemudian memahami informasi tersebut. Tucker dan Sanjur (1988) dalam Engle, Manon, dan Hadad (1997), menyatakan bahwa pengetahuan ibu tentang zat gizi tertentu, frekuensi membaca, juga berhubungan positif dengan asupan makanan dan status antropomentri. Menurut Satoto (1990), kurangnya kesempatan “belajar” atau untuk mengembangkan diri dari para ibu merupakan unsur yang menghambat ibu dalam melaksanakan pengasuhan anak semaksimal mungkin. Kesempatan tersebut mungkin memang benar-benar tidak tersedia (karena ketersediaan dana yang minim), atau sebaliknya justru ada dan tersedia tetapi para ibu karena kesibukannya (selaku pencari
16
nafkah ataupun karena terlalu banyak anak) tidak ada waktu untuk menggunakan kesempatan yang tersedia ini untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mengasuh anak. Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Menurut Harper, Deaton dan Driskel (1986), terdapat kecenderungan pengaruh pengetahuan gizi ibu terhadap tingkat konsumsi pangan anak dan keluarga. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu, maka tingkat konsumsi pangan anak dan keluarga akan semakin baik. Tingkat pengetahuan gizi ibu yang baik akan mempermudah pelaksanaan tanggung jawab seorang ibu yaitu berupa pemilihan jenis pangan yang mengandung zat gizi yang baik untuk keluarganya. Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan dapat diperoleh dari media massa, dokter/bidan, keluarga atau teman. Selain itu perlu dilakukan penyuluhan gizi dan kesehatan anak secara rutin. Albernaz et al. (2003) menyatakan bahwa konsultasi tatap muka yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih adalah cara yang efektif untuk mengurangi waktu pengenalan MP-ASI secara dini dan meningkatkan durasi/lama menyusui.
KERANGKA PEMIKIRAN Anak usia di bawah dua tahun (baduta) termasuk kelompok usia yang rawan karena merupakan masa pertumbuhan yang cepat dan menentukan kualitas manusia pada usia remaja dan dewasa. Asupan gizi melalui makanan sangat mempengaruhi pertumbuhan sel otak yang berlangsung sejak masa janin sampai mencapai klimaksnya pada usia di bawah dua tahun. Konsumsi pangan anak baduta dipengaruhi oleh karakteristik keluarga dan karakteristik anak. Selain itu juga dipengaruhi oleh sumber informasi gizi dan kesehatan, dan pengetahuan gizi ibu. Karakteristik keluarga meliputi umur, tingkat pendidikan, dan pekerjaan orangtua; besar keluarga, dan pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga menentukan kualitas dan kuantitas makanan anak. Tingkat pengetahuan orangtua khususnya ibu dapat mempengaruhi pengetahuan dan sikap dalam menentukan makanan yang dikonsumsi oleh anak. Besar keluarga juga akan mempengaruhi distribusi makanan dalam keluarga. Sedangkan yang termasuk faktor anak adalah umur, jenis kelamin, urutan anak dan riwayat kelahiran. Konsumsi pangan anak baduta meliputi ASI, susu formula, dan makanan. Jumlah dan jenis konsumsi pangan tersebut akan memberikan kontribusi terhadap tingkat konsumsi zat gizi anak baduta. Alur keterkaitan faktor-faktor di atas dijabarkan dalam kerangka pemikiran pada Gambar 1.
18
Akses sumber informasi gizi dan kesehatan
Karakteristik Keluarga Umur orangtua Pendidikan orangtua Pekerjaan orangtua Besar keluarga Pendapatan keluarga
Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan Anak Riwayat kelahiran
Pengetahuan gizi ibu
Pola pemberian ASI
Pola pemberian susu formula
Pola pemberian MPASI
Konsumsi zat gizi anak baduta
Keterangan : : Hubungan yang diteliti
: Variabel yang diteliti
Gambar 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Pemberian ASI, Susu Formula dan MPASI serta Kontribusi terhadap Tingkat Konsumsi Zat Gizi Anak Baduta
METODE Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross sectional study dengan membandingkan dua kelompok anak baduta dengan status pekerjaan ibu yang berbeda. Penelitian dilakukan di dua tempat yaitu Kelurahan Bantarjati dan Kelurahan Tegal Gundil, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan kecamatan ditentukan secara purposive berdasarkan data dari Dinas Keluarga Berencana Kota Bogor tahun 2004 bahwa Kecamatan Bogor Utara memiliki jumlah ibu bekerja paling banyak. Pemilihan kelurahan dilakukan secara purposive berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bogor bahwa Kelurahan Bantarjati dan Tegal Gundil memiliki estimasi jumlah balita terbanyak pada tahun 2005. Untuk memenuhi kebutuhan jumlah responden didapatkan sebanyak 5 RW dari 17 RW yang terpilih secara random pada Kelurahan Tegal Gundil dan sebanyak 8 RW dari 16 RW di Kelurahan Bantarjati. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2005. Cara Pemilihan Contoh Responden penelitian adalah ibu yang memiliki anak berumur 13-23 bulan yang memberikan susu formula dan bersedia diwawancarai. Sedangkan contoh penelitian ini adalah anak baduta tersebut. Contoh kemudian dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan status pekerjaan ibu yaitu kelompok ibu bekerja dan ibu tidak bekerja. Pengambilan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria berumur 1323 bulan, rutin mengkonsumsi susu formula dan sehat. Data contoh diperoleh dari data balita sasaran MOPPING UP Polio 2005. Jumlah contoh dari masing-masing Kelurahan adalah 15 orang dari keluarga ibu bekerja dan 15 orang dari keluarga ibu tidak bekerja, sehingga jumlah contoh keseluruhan adalah 60 orang. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner dan observasi langsung. Data sekunder diperoleh dari posyandu setempat berupa data
20
penimbangan berat badan balita, serta data keadaan keadaan umum lokasi penelitian dan data demografi penduduk dari Kantor Kelurahan setempat. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah : 1. Karakteristik keluarga meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan besar keluarga. 2. Karakteristik anak baduta meliputi umur, jenis kelamin, urutan anak, jarak kelahiran dan riwayat kelahiran. 3. Akses sumber informasi gizi dan kesehatan. 4. Pengetahuan gizi ibu meliputi pengetahuan tentang ASI, susu formula dan MPASI yang diperoleh dengan cara memberikan 10 pertanyaan. 5. Pola pemberian ASI yaitu waktu pemberian ASI pertama, pemberian kolostrum, frekuensi dan lama pemberian ASI, cara pemberian ASI, penggunaan pompa payudara, dan pemberian minuman pralaktal. 6. Pola pemberian susu formula yaitu waktu pemberian susu formula pertama, cara pembuatan susu formula, ketepatan pengenceran, ketepatan frekuensi pemberian dan sterilisasi botol susu. 7. Pola pemberian MP-ASI yaitu waktu pemberian MPASI pertama dan jenis MPASI pertama. 8. Data konsumsi pangan anak baduta yang didapatkan dengan metode recall 1x24 jam. Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan SPSS 10.0 for Windows. Proses pengolahan meliputi editing, coding, entry dan analisis. Data dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia. Data karakteristik keluarga dikategorikan sebagaimana terlihat pada Tabel 5. Data karakteristik anak baduta dikategorikan seperti pada Tabel 6.
21
Tabel 5. Kategori dari Variabel Karakteristik Keluarga No 1
Variabel Umur orangtua
2
Tingkat pendidikan orangtua
3
Pekerjaan orangtua
4
Pendapatan keluarga
5
Besar keluarga
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3.
Kategori <20 tahun 20-29 tahun 30-39 tahun ≥ 40 tahun tidak tamat SD : <6 tahun tamat SD : 6 tahun tamat SLTP : 9 tahun tamat SMU : 12 tahun perguruan tinggi : >12 tahun buruh pedagang PNS/ABRI pegawai swasta pekerjaan lainnya/dll < Rp 150.000 Rp 150.000-Rp 449.999 Rp 450.000-Rp 749.999 Rp 750.000-Rp 999.999 > Rp 1.000.000 kecil : ≤ 4 orang sedang : 5-6 orang besar : ≥ 7 orang (BKKBN, 1998).
Tabel 6. Kategori dari Variabel Karakteristik Anak Baduta No
Variabel
1.
Umur
2.
Jenis kelamin
3.
Urutan anak
4.
Jarak kelahiran
5.
Riwayat kelahiran anak • Umur kelahiran • Tempat persalinan • Penolong persalinan • Jenis persalinan anak
Kategori 1. 2. 1. 2. 1. 2. 3. 1. 2. 3. • • • • • • • • • • •
13-18 bulan 19-23 bulan Laki-laki Perempuan Anak pertama Anak kedua dan ketiga Anak kempat dan seterusnya <2 tahun ≥2 tahun hamil pertama cukup bulan (9 bulan) tidak cukup bulan (< 9 bln) Rumah sendiri Klinik bersalin / bidan / puskesmas Rumah sakit Anggota keluarga sendiri/orang biasa lainya Dukun bayi/paraji Bidan/dokter Lahir normal/biasa Dioperasi Divakum
22
Akses Informasi Gizi dan Kesehatan Akses informasi ibu merupakan jumlah sumber informasi tentang gizi dan kesehatan anak yang diperoleh ibu. Sumber informasi yang dimaksud meliputi media massa (TV, radio, majalah/tabloid, surat kabar), tenaga kesehatan (dokter atau bidan), keluarga (orangtua, mertua, saudara), teman (tetangga, rekan kerja), dan kader posyandu. Nilai skor 1 diberikan jika ibu mendapat informasi dan skor 0 jika tidak mendapat informasi dari masing-masing sumber informasi tersebut. Akses informasi ibu dibagi dalam tiga kategori, yaitu kurang (0-2 info), sedang (3-4 info), dan baik (56 info). Pembagian kategori berdasarkan interval kelas (Slamet, 1993). IK = (Smaks-Smin) JK Keterangan : IK : Interval Kelas Smaks : Skor Maksimum Smin : Skor Minimum JK : Jumlah Kategori Pengetahuan Gizi Ibu Data pengetahuan gizi ibu tentang ASI, susu formula dan MP-ASI dilakukan dengan cara memberikan skor pada 10 pertanyaan, skor 1 jika jawaban benar dan skor 0 jika jawaban salah. Jumlah skor dihitung lalu dibagi total skor kemudian dikali 100%, hasilnya dikelompokkan menjadi tiga yaitu : baik (>80% jawaban benar), sedang (60-80% jawaban benar), kurang (<60% jawaban benar) (Khomsan, 2000). Pola Pemberian ASI Pola pemberian ASI meliputi pemberian kolostrum, waktu pertama kali menyusui, cara menyusui, praktek menyusui saat ini dan pemberian makanan pralaktal. Pengukuran pola pemberian ASI berdasarkan penilaian terhadap tujuh pertanyaan dengan total skor 7-28. Pola pemberian ASI dibagi dalam tiga kategori, yaitu kurang (7-14), sedang (15-21), dan baik (22-28). Pembagian kategori berdasarkan interval kelas (Slamet, 1993).
23
Pola Pemberian Susu Formula Pola pemberian susu formula meliputi waktu pertama pemberian susu formula, ketepatan frekuensi pemberian, penggunaan sendok takar, ketepatan pengenceran, cara membersihkan botol susu, dan pemberian susu yang bersisa. Pengukuran pola pemberian susu formula berdasarkan penilaian terhadap enam pertanyaan dengan total skor 6-24. Pola pemberian susu formula dibagi dalam tiga kategori, yaitu kurang (6-12), sedang (13-18), dan baik (19-24). Pembagian kategori berdasarkan interval kelas (Slamet, 1993). Pola Pemberian MP-ASI Pola pemberian MPASI meliputi waktu pertama pemberian MPASI dan jenis MPASI. Pengukuran pola pemberian MPASI berdasarkan penilaian terhadap dua pertanyaan dengan total skor 2-8. Pola pemberian MPASI dibagi dalam tiga kategori, yaitu kurang (2-4), sedang (5-6), dan baik (7-8). Pembagian kategori berdasarkan interval kelas (Slamet, 1993). Data Konsumsi Pangan Anak Baduta Data konsumsi pangan anak usia 13-23 bulan diperoleh dengan recall 1x24 jam, data yang terkumpul diolah dengan menggunakan Food Processor kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk tingkat konsumsi zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, dan kalsium). Tingkat konsumsi zat gizi dihitung dengan membandingkan konsumsi aktual dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata yang dianjurkan menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII. Tingkat konsumsi zat gizi digolongkan dalam dua kategori (Latief et al., 2000), yaitu kurang (<70% AKG) dan cukup (≥70% AKG). Tingkat konsumsi zat gizi =
Konsumsi aktual x 100% AKG yang dianjurkan
Jumlah ASI yang dikonsumsi anak baduta didekati dari nilai rata-rata konsumsi ASI anak baduta per hari yang dipublikasikan oleh WHO (2000). Rata-rata konsumsi ASI bagi anak baduta (12-23 bulan) adalah 549 g/hari. Konsumsi energi, protein, vitamin A, vitamin C, dan kalsium dari ASI juga menggunakan estimasi dari
24
WHO (2000). Konsumsi susu formula dihitung dengan cara menanyakan takaran bubuk susu dan volume pengenceran yang dilakukan oleh responden. Jumlah takaran bubuk susu dikonversi ke dalam gram, kemudian dihitung kandungan zat gizinya berdasarkan informasi nilai gizi pada kemasan susu formula. Kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu formula dan makanan (selain ASI dan susu formula) terhadap konsumsi pangan diperoleh berdasarkan perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari ASI, susu formula dan makanan dengan konsumsi pangan total. Sedangkan kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu formula dan makanan (selain ASI dan susu formula) terhadap kecukupan zat gizi diperoleh berdasarkan perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari ASI, susu formula dan makanan dengan kecukupan gizi. Kontribusi = Konsumsi zat gizi dari ASI/susu formula/makanan x 100% Konsumsi pangan total Analisis statistik inferensia yang dilakukan adalah uji beda t dan Mann Whitney untuk mengetahui perbedaan variabel penelitian antara keluarga ibu bekerja dan tidak bekerja. Variabel karakteristik keluarga, karakteristik baduta contoh, kategori akses informasi gizi dan kesehatan ibu, tingkat pengetahuan gizi ibu, kategori pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI serta tingkat konsumsi zat gizi digunakan uji beda Mann Whitney. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan variabel pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI; kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu formula dan makanan terhadap konsumsi pangan total dan tingkat konsumsi zat gizi anak baduta digunakan uji beda t. Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan pengetahuan gizi ibu terhadap pola pemberian ASI dan susu formula.
25
Definisi Operasional Akses sumber informasi gizi dan kesehatan adalah jumlah sumber informasi tentang gizi dan kesehatan anak yang diperoleh ibu, meliputi media massa (TV, radio, majalah/tabloid, surat kabar), tenaga kesehatan (dokter atau bidan), keluarga (orangtua, mertua, saudara), teman (tetangga, rekan kerja), dan kader posyandu. Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari keluarga inti (ayah, ibu, dan anak) dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama dan menjadi tanggungan kepala keluarga. Contoh adalah anak usia di bawah dua tahun (baduta) yang berusia 13-23 bulan yang mengkonsumsi susu formula secara rutin dan sehat. Konsumsi pangan baduta adalah jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi anak baduta yang diukur dengan metode recall selama 1x24 jam. Konsumsi zat gizi adalah konsumsi pangan yang kemudian dikonversi ke dalam kandungan zat gizi dengan menggunakan DKBM yang meliputi energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium dan zat besi. Pendapatan keluarga adalah jumlah pendapatan anggota keluarga dalam satu bulan terakhir dan dibagi dengan seluruh tanggungan keluarga. Pendapatan diukur dalam pendapatan per kapita (Rp/kap/bln). Pendidikan orang tua adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh ayah dan ibu contoh Pengetahuan gizi ibu adalah tingkat pengetahuan ibu tentang pola pemberian dan konsumsi ASI, susu formula, dan MPASI yang diketahui dari kemampuan menjawab 10 pertanyaan yang berkaitan dengan ASI, susu formula, dan MPASI. Pola pemberian ASI adalah praktek-praktek pemberian ASI yang diterapkan oleh ibu kepada anak, meliputi pemberian minuman pralaktal, pemberian kolostrum, waktu pemberian ASI pertama, cara menyusui serta praktek menyusui saat ini. Pola pemberian susu formula adalah praktek pemberian susu formula yang dilakukan oleh ibu kepada anak, meliputi : waktu pemberian susu formula pertama, alasan pemberian susu formula, sumber informasi tentang susu formula, frekuensi pemberian susu formula, penggunaan sendok takar dan ketepatan takaran, cara membersihkan botol susu dan pemberian susu formula yang bersisa.
26
Pola pemberian MPASI adalah praktek pemberian MPASI yang diterapkan responden kepada contoh, meliputi waktu pemberian MPASI dan jenis MPASI pertama. Susu formula adalah susu formula lanjutan (follow up) yang diberikan kepada anak berumur di atas enam bulan sampai 3 tahun. Riwayat kelahiran adalah riwayat proses kelahiran contoh meliputi umur kelahiran, tempat persalinan, penolong persalinan, dan jenis persalinan. Responden adalah ibu bekerja dan tidak bekerja yang memiliki anak baduta (12-3 bulan) yang memberikan susu formula. Tingkat konsumsi zat gizi adalah perbandingan antara zat gizi yang dikonsumsi dengan angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan per orang per hari dikalikan 100%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Tegal Gundil Letak Geografis. Kelurahan Tegal Gundil terletak di ketinggian 251-300 m di atas permukaan laut. Luas wilayahnya 198 ha, terbentang dari utara ke selatan menyusuri tepian Sungai Ciparigi di barat dan Sungai Cibuluh di timur. Batas wilayah Kelurahan Tegal Gundil sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Cibuluh, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Tegal Lega, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Bantarjati, dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tanah Baru. Seluruh wilayah terbagi ke dalam 17 RW dan 86 RT. Pemanfaatan seluruh wilayah terbagi atas : perumahan dan pekarangan (169 ha), ladang tegalan (18,6 ha), perkantoran (2,5 ha), tanah pemakaman (3,46 ha), dan lain-lain (3,94 ha). Penduduk dan Mata Pencaharian. Seluruh penduduk di Kelurahan Tegal Gudil berjumlah 24.156 jiwa, terdiri atas pria 12.09 jiwa dan wanita 12.147 jiwa. Jumlah balita usia 0-4 tahun sebanyak 1.856 jiwa. Ditinjau dari mata pencaharian, penduduk Tegal Gundil lebih banyak yang bekerja di sektor swasta dengan rincian sebagai berikut : 1) buruh/swasta : 1572 orang, 2) PNS : 770 orang, 3) pedagang : 293 orang, 4) dokter : 30 orang, 5) tukang ojek : 200 orang, 6) becak : 5 orang, 7) TNI/POLRI : 212 orang, 8) pengusaha : 121 orang, 9) BUMN/BUMD : 109 orang. Ditinjau dari latar belakang pendidikan penduduk relatif tinggi, hal ini terlihat dari gambaran latar belakang pendidikan adalah sebagai berikut : 1) tidak tamat SD : 299 KK, 2) tamat SD-SLTP : 1.138 KK, 3) tamat SLTA ke atas : 4.989 KK. Kelurahan Bantarjati Letak Geografis. Kelurahan Bantarjati yang mempunyai luas 170 ha merupakan dataran rendah dengan ketinggian dari permukaan laut ± 300 m. Kelurahan Bantarjati berbatasan dengan kelurahan Cibuluh di sebelah utara, Kelurahan Tegal Gundil di sebelah timur, Kelurahan Babakan di sebelah selatan dan di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Tanah Sareal.
28
Penduduk dan Mata Pencaharian. Kelurahan Bantarjati terdiri dari 16 RW dan 73 RT dengan jumlah kepala keluarga sebesar 4.494 KK dan jumlah penduduk sebanyak 19.137 jiwa. Jumlah balita umur 0-12 bulan sebesar 312 jiwa, yang berumur 13 bulan-4 tahun sebesar 537 jiwa. Mata pencaharian penduduk Kelurahan Bantarjati sebagaian besar di sektor jasa 98%, industri 1,4%, dan pertanian 0,6%. Karakteristik Keluarga Umur Orangtua Menurut Pudjiadi (2000), umur bagi seorang ibu merupakan faktor yang turut menentukan dalam produksi ASI. Ibu yang berumur antara 19-23 tahun umumnya menghasilkan ASI yang lebih banyak dibandingkan ibu yang berumur tiga puluhan. Sebaran contoh menurut umur orangtua disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Sebaran Orang Tua Contoh menurut Umur
Umur (tahun) < 20 th 20-29 th 30-39 th ≥ 40 th
Ayah Ibu Tidak Ibu Bekerja Bekerja (n=30) (n=30) n % n % 11 36,7 4 13,3 15 50,0 21 70,0 4 13,3 5 16,7
Ibu Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 18 60,0 12 40,0 -
Ibu Bekerja (n=30) n 8 21 1
% 26,7 70,0 3,3
p
0,089a) 0,004b)**
a) ayah; b) ibu ** Nyata pada taraf kepercayaan 99%
Tabel 7 menunjukkan bahwa proporsi terbanyak umur ayah pada kedua kelompok berada pada umur 30-39 tahun. Rata-rata umur ayah pada kelompok ibu tidak bekerja adalah 33 tahun dan rata-rata umur ayah kelompok ibu bekerja adalah 36 tahun. Hasil analisis statistik uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa usia ayah pada kedua kelompok tidak berbeda. Sebanyak 70% responden ibu bekerja berumur 30-39 tahun, sedangkan 60% responden ibu tidak bekerja berumur 20-29 tahun. Rata-rata umur responden ibu tidak bekerja adalah 28 tahun dan responden ibu bekerja adalah 32 tahun. Usia ibu pada kedua kelompok berbeda nyata (p<0,01).
29
Pendidikan Ayah dan Ibu Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya atau jenis pendidikan yang dialami baik formal maupun informal. Menurut Suhardjo (1996), tingkat pendidikan seseorang umumnya dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pendidikan terutama pendidikan ibu berpengaruh terhadap kualitas tumbuh kembang anak. Di samping itu menurut Khomsan (2002) ibu yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih respon dalam mencari informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam pengasuhan anak. Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat bahwa ayah dan ibu pada kedua kelompok contoh mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi. Lebih dari separuh ayah (60%) dan ibu (66,7%) pada kelompok ibu bekerja merupakan lulusan perguruan tinggi. Sementara pada kelompok ibu tidak bekerja, pendidikan ayah (43,3%) dan ibu (46,7%) adalah lulusan SMU. Rata-rata lama pendidikan ayah dan ibu pada kelompok ibu tidak bekerja adalah 13 tahun, sedangkan pada kelompok ibu bekerja rata-rata lama pendidikan ayah dan ibu adalah 14 tahun. Hasil analisis statistik uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan ayah dan ibu pada kedua kelompok. Tabel 8. Sebaran Orang Tua Contoh menurut Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan - Tidak tamat SD - Tamat SD - Tamat SLTP - Tamat SMU - Perguruan Tinggi a) ayah; b) ibu
Ayah Ibu Tidak Ibu Bekerja Bekerja (n=30) (n=30) n % n % 2 6,7 3 10,0 4 13,3 13 43,3 8 26,7 12 40,0 18 60,0
Ibu Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 2 6,7 1 3,3 14 46,7 13 43,3
Ibu Bekerja (n=30) n 1 1 1 7 20
% 3,3 3,3 3,3 23,3 66,7
p
0,153a) 0,120b)
30
Pekerjaan Ayah dan Ibu Jenis pekerjaan ayah dan ibu menentukan jumlah pendapatan yang diterima keluarga. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Kurangnya pendapatan akan berakibat buruk pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli untuk konsumsi pangan keluarga yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi (Berg, 1986). Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa sebagian besar ayah bekerja sebagai pegawai swasta, PNS/TNI/POLRI, pedagang, dan buruh. Jenis pekerjaan ayah yang paling banyak adalah sebagai pegawai swasta, yaitu sebesar 56,7% pada kelompok ibu tidak bekerja dan 46,7% pada kelompok ibu bekerja. Selain itu terdapat 13,3% ayah kelompok ibu tidak bekerja dan 20% ayah kelompok ibu bekerja yang bekerja pada sektor jasa informal sebagai wiraswasta, pemain orgen/piano, sopir angkot, dan tukang becak. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara jenis pekerjaan ayah baduta contoh pada kedua kelompok. Tabel 9. Sebaran Contoh menurut Pekerjaan Utama Ayah Jenis Pekerjaan Ayah Buruh Pedagang PNS/TNI/POLRI Pegawai swasta Jasa
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 2 6,6 2 6,6 5 16,7 17 56,7 4 13,3
Ibu Bekerja (n=30) n % 2 6,6 1 3,3 7 23,3 14 46,7 6 20,0
p=0,511
Pekerjaan ibu dalam membantu mencari nafkah terutama pekerjaan yang mengharuskan ibu keluar rumah dengan jam kerja tertentu mengakibatkan proses menyusui tidak teratur. Hal ini merupakan alasan penggantian ASI dengan susu formula (Winarno, 1995). Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bekerja sebagai pegawai swasta, PNS/TNI/POLRI, dan buruh. Sebesar 23,3% ibu bekerja sebagai pegawai swasta. Selain itu sebesar 6,7% ibu bekerja di sektor jasa formal sebagai dokter gigi dan guru di sekolah swasta, dan jasa informal sebagai penyapu jalan.
31
Tabel 10. Sebaran Contoh menurut Pekerjaan Ibu (n=30) Jenis Pekerjaan Ibu Buruh PNS/TNI/POLRI Pegawai swasta Jasa
n 4 8 14 4
% 6,7 13,3 23,3 6,7
Tingkat Pendapatan Keluarga Besarnya pendapatan per kapita per bulan keluarga mempengaruhi daya beli keluarga terhadap pangan yang berkualitas. Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa pendapatan keluarga per kapita per bulan kelompok ibu tidak bekerja berkisar antara Rp 50.000,00-Rp 1.333.333,00 dengan rata-rata Rp 416.771,00. Pendapatan per kapita per bulan keluarga kelompok ibu bekerja berkisar antara Rp 187.500,00-Rp 1.666.667,00 dengan rata-rata Rp 768.472,00. Pendapatan
perkapita per bulan
keluarga ibu bekerja lebih besar daripada keluarga ibu tidak bekerja. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa pendapatan keluarga per kapita per bulan antara kedua kelompok ini berbeda nyata (p<0,01). Tabel 11. Sebaran Contoh menurut Tingkat Pendapatan Keluarga Tingkat Pendapatan Keluarga (Rp/kap/bln) < Rp 150.000 Rp 150.000-Rp 449.999 Rp 450.000-Rp 749.999 Rp 750.000-Rp 999.999 ≥ Rp 1.000.000
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n 1 18 9 2
% 3,3 60,0 30,0 6,7
Ibu Bekerja (n=30) n 5 8 9 8
% 16,7 26,7 30,0 26,7
p
0,000**
** Nyata pada taraf kepercayaan 99%
Batas kemiskinan penduduk perkotaan di Jawa
Barat (BPS, 2003) yaitu
sebesar Rp 135.598,00 (perkapita/bulan). Jika dibandingkan dengan batas kemiskinan tersebut maka sebagian besar (96,7% pada kedua kelompok contoh) pendapatan keluarga contoh berada di atas batas kemiskinan (Tabel 12). Secara statistik, uji beda Mann Whitney menunjukkan tingkat pendapatan keluarga contoh dari kedua kelompok tidak ada perbedaan.
32
Tabel 12. Sebaran Pendapatan Keluarga Contoh menurut Batas Kemiskinan Tingkat Pendapatan (Rp/kap/bln) Tinggi (≥ Rp 135.598) Rendah (< Rp 135.598)
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n 29 1
Ibu Bekerja (n=30)
% 96,7 3,3
n 29 1
% 96,7 3,3
p 1,000
Besar Keluarga Faktor besar keluarga diduga erat kaitannya dengan perhatian ibu dalam pengasuhan anak. Jumlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam mengasuh anaknya. Berdasarkan Tabel 13, sebesar 76,7% keluarga ibu tidak bekerja dan 80% keluarga ibu bekerja termasuk dalam keluarga kecil (≤4 orang) karena memiliki jumlah anak 1-2 orang. Uji beda Mann Whitney menyimpulkan tidak terdapat perbedaan besar keluarga baduta contoh dari kedua kelompok. Menurut Latief, Atmarita, Miniarto, Jahari dan Tilden (2000), besar keluarga atau banyaknya jumlah anggota keluarga berkaitan dengan masalah pangan dan gizi. Semakin besar jumlah anggota keluarga, maka semakin berkurang peluang tercukupinya energi, protein dan lemak. Tabel 13. Sebaran Contoh menurut Besar Keluarga Besar Keluarga Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5-6 orang) Besar (≥ 7 orang)
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n 23 6 1
Ibu Bekerja (n=30)
% 76,7 20 3,3
n 24 6 -
% 80 20 -
p 0,710
Karakteristik Anak Baduta Umur dan Jenis Kelamin Anak di bawah dua tahun (baduta) merupakan tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat dari semua siklus kehidupan manusia. Pada masa ini terjadi peningkatan berat badan dan tinggi badan serta pertumbuhan otak telah mencapai 90-95 persen (Hardinsyah & Martianto, 1992). Pada Tabel 14 diketahui
33
bahwa sebesar 56,7% contoh pada kelompok ibu tidak bekerja berumur 18-23 bulan. Pada kelompok ibu bekerja sebesar 70% contoh berumur 12-17 tahun. Jenis kelamin contoh pada kedua kelompok sebagian besar adalah perempuan, yaitu 60% pada kelompok ibu tidak bekerja dan 50% pada kelompok ibu bekerja. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan usia baduta contoh pada kedua kelompok (p<0,05). Jumlah contoh kelompok ibu bekerja yang berumur 12-17 bulan lebih banyak daripada contoh ibu tidak bekerja. Namun jenis kelamin baduta contoh pada kedua kelompok tidak berbeda. Distribusi contoh menurut umur dan jenis kelamin ditampilkan pada Tabel 14. Tabel 14. Sebaran Contoh menurut Umur dan Jenis Kelamin Karakteristik Contoh Umur (bulan) 12-17 18-23 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n %
Ibu Bekerja (n=30) n %
p
13 17
43,3 56,7
21 9
70 30
0,039*
12 18
40 60
15 15
50 50
0,440
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%
Jarak dan Urutan Kelahiran Salah satu faktor yang mempengaruhi pemberian ASI adalah adanya kehamilan ibu. Jumlah dan jarak kelahiran antar anak yang terlalu dekat mengakibatkan berkurangnya kesempatan ibu menyusui bayi untuk waktu yang lebih lama. Kehamilan juga mengakibatkan berkurangnya jumlah ASI yang diproduksi bahkan mungkin terhenti sama sekali (Sajogyo et al., 1994). Sebaran contoh menurut jarak kelahiran dan urutan anak secara rinci dapat dilihat pada Tabel 15. Pada kelompok ibu tidak bekerja sebesar 36,7% contoh memiliki jarak kelahiran ≥2 tahun dari anak sebelumnya dan hanya 10% contoh berjarak <2 tahun. Sebesar 53,3% contoh dari kelompok ibu tidak bekerja merupakan anak pertama, sebesar 40% contoh merupakan anak ke-2 atau ke-3 .
34
Pada kelompok ibu bekerja jarak kelahiran 66,7% contoh adalah ≥2 tahun. Sebesar 23,3% contoh merupakan anak pertama, dan sebesar 73,3% contoh merupakan anak ke-2 atau ke-3. Uji statistik menyimpulkan bahwa jarak kelahiran dan urutan anak baduta contoh berbeda antara kelompok ibu tidak bekerja dengan kelompok ibu bekerja (p<0,05). Jumlah contoh kelompok ibu tidak bekerja yang merupakan anak pertama lebih banyak daripada contoh kelompok ibu bekerja. Tabel 15. Sebaran Contoh menurut Jarak Kelahiran dan Urutan Anak Karakteristik Contoh
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n %
Jarak kelahiran < 2 th ≥ 2 th anak pertama Urutan anak Anak pertama Anak ke-2 atau ke-3 Anak ke-4 dst
Ibu Bekerja (n=30) n %
3 10 16
10 36,7 53,3
3 20 7
10 66,7 23,3
16 12 2
53,3 40 6,7
7 22 1
23,3 73,3 3,3
p 0,045*
0,044*
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%
Menurut Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung lebih diperhatikan oleh orangtua dibandingkan anak yang lahir kemudian. Hal ini diduga dapat mempengaruhi pola pemberian makanan yang dilakukan oleh ibu kepada anak. Menurut Sukarni (1989), jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari dua tahun, perhatian dan waktu ibu terhadap pengasuhan kepada anak yang pertama akan berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak pertama tersebut masih memerlukan perawatan khusus. Riwayat Kelahiran Riwayat kelahiran terutama jika melahirkan melalui operasi dapat menyebabkan tertundanya pemberian ASI. Hal ini menurut Welford (2001) karena adanya luka jahitan sehingga perut terasa perih, serta lebih lemas jika dibandingkan dengan melahirkan secara normal. Berdasarkan Tabel 16 riwayat kelahiran contoh pada kedua kelompok sebagian besar secara normal yaitu 73,3% pada ibu tidak bekerja dan 63,3% pada ibu bekerja. Terdapat sebesar 23,3% contoh dari ibu tidak
35
bekerja dan 33,3% contoh dari ibu bekerja yang dilahirkan melalui operasi. Hasil uji beda Mann Whitney menyimpulkan tidak terdapat perbedaan jenis persalinan baduta contoh dari kedua kelompok. Menurut Fikawati dan Safiq (2003), penolong kelahiran sangat berperan dalam menentukan keberhasilan menyusui. Jika penolong kelahiran segera memberikan bayi kepada ibu maka interaksi ibu dan anak akan segera terjadi, dengan demikian ibu akan percaya diri untuk segera menyusui dan tidak perlu memberi minuman/makanan pralaktal. Penolong kelahiran bayi pada kedua kelompok umumnya adalah bidan atau dokter dan hanya sebagian kecil yang melahirkan dengan bantuan paraji (Tabel 16). Hasil uji beda Mann Whitney menyimpulkan tidak terdapat perbedaan penolong kelahiran dan tempat kelahiran baduta contoh dari kedua kelompok. Tabel 16. Sebaran Contoh menurut Riwayat Kelahiran Riwayat Kelahiran Contoh Jenis persalinan Dioperasi/cesar Divakum Normal/Spontan Penolong persalinan Keluarga/orang biasa lainnya Dukun bayi/paraji Bidan/dokter Tempat anak dilahirkan Rumah sendiri Klinik bersalin/bidan/puskesmas Rumah sakit
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n %
Ibu Bekerja (n=30) n %
7 1 22
23,3 3,3 73,3
10 1 19
33,3 3,3 63,3
3 27
10 90
3 27
10 90
3 14 13
10 46,7 43,3
4 11 15
13,3 36,7 50
p
0,397
1,000
0,763
Sumber Informasi Gizi dan Kesehatan Akses informasi yang dipaparkan dalam penelitian ini adalah jumlah sumber informasi gizi dan kesehatan anak yang diperoleh melalui media massa, tenaga kesehatan (dokter atau bidan), keluarga, teman (tetangga, rekan kerja), dan kader posyandu. Engel, Manon dan Hadad (1997) menyatakan bahwa perolehan informasi
36
bisa didapat dari membaca surat kabar, mendengarkan radio, menonton televisi, dan kemudian memahami informasi tersebut. Pada Tabel 17 akses informasi ibu tentang gizi dan kesehatan anak memiliki proporsi terbesar pada kategori sedang (50% responden ibu tidak bekerja dan 58,3% responden ibu bekerja). Masih terdapat responden yang berada di kategori kurang, hal ini diduga karena ibu menerima informasi hanya dari sumber yang menurutnya dapat dipercaya seperti dokter/bidan dan orangtua. Berdasarkan uji beda Mann Whitney, tidak terdapat perbedaan akses informasi ibu pada kedua kelompok. Tabel 17. Sebaran Contoh menurut Akses Informasi Ibu Kategori Akses Informasi Ibu Baik (5-6 sumber info) Sedang (3-4 sumber info) Kurang (0-2 sumber info)
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 26,7 8 50,0 15 23,3 7
Ibu Bekerja (n=30) n % 25,0 7 58,3 20 16,7 3
p 0,587
Tabel 18 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dari kedua kelompok memperoleh informasi gizi dan kesehatan anak melalui dokter atau bidan. Sebesar 73,3% responden ibu tidak bekerja dan 83,3% responden ibu bekerja memperoleh informasi gizi dan kesehatan anak dari keluarga. Hal ini mungkin dikarenakan sebagian besar responden relatif masih muda dan contoh merupakan anak pertama atau kedua, sehingga pengalaman dalam mengasuh masih kurang. Bagi para ibu bekerja, rekan kerja yang lebih tua atau yang dianggap lebih berpengalaman dalam mengasuh anak juga turut membantu dalam perolehan informasi gizi dan kesehatan anak. Media massa juga berperan dalam memperluas wawasan ibu, terutama televisi, majalah dan tabloid tentang anak dan keluarga. Responden memperoleh informasi dari majalah atau tabloid anak dan keluarga dengan cara berlangganan, pinjam atau beli tapi tidak rutin. Responden yang menonton acara televisi mengenai ibu, anak, dan keluarga masih sedikit, justru iklanlah yang menambah wawasan ibu terutama iklan susu formula. Sebagian besar responden ibu tidak bekerja mengikuti
37
kegiatan di posyandu secara rutin, berbeda dengan ibu bekerja yang tidak dapat menghadiri kegiatan posyandu. Tabel 18. Sebaran Contoh menurut Sumber Informasi Gizi dan Kesehatan Anak Sumber Informasi Gizi dan Kesehatan Dokter / bidan Keluarga (ibu, mertua, saudara) Teman (teman, tetangga, rekan kerja) Media massa (cetak/elektronik) Kader posyandu Seminar/talk show
Ibu Tidak Bekerja n % 100 30 73,3 22 53,3 16 73,3 22 60 18 -
Ibu Bekerja n % 93,3 28 83,3 25 80,0 24 83,3 25 26,7 8 16,7 5
Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan ibu tentang pemberian makanan pada anak baduta merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seorang ibu dalam praktek pemberian ASI, susu formula dan MPASI yang benar. Ketidaktahuan dan ketidakpahaman tentang gizi merupakan salah satu alasan tidak terpenuhinya kebutuhan gizi anak. Sebaran contoh menurut tingkat pengetahuan gizi ibu dapat dilihat pada Tabel 19. Sebanyak 53,3% responden ibu tidak bekerja dan 76,7% responden ibu bekerja mempunyai tingkat pengetahuan gizi yang baik. Meskipun demikian terdapat 6,7% ibu dari kelompok ibu tidak bekerja yang berada pada kategori kurang. Pertanyaan yang dijawab salah oleh responden adalah pengertian ASI eksklusif, usia anak diperkenalkan MPASI, usia anak diberikan makanan seperti orang dewasa, frekuensi pemberian ASI, waktu pemberian ASI setelah melahirkan, dan manfaat kolostrum. Hasil analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat pengetahuan gizi ibu antara kelompok ibu tidak bekerja dengan kelompok ibu bekerja (p<0,05). Jumlah ibu bekerja yang berada pada kategori baik lebih banyak daripada ibu tidak bekerja. Menurut Madanijah (2003), pengetahuan ibu selain dipengaruhi oleh pendidikan ibu, pendidikan ayah, dan pendapatan keluarga, juga dipengaruhi oleh akses terhadap informasi. Semakin tinggi pendidikan ibu akan meningkatkan wawasan ibu termasuk tentang gizi dan kesehatan anak. Umumnya, ibu dan ayah
38
yang berpendidikan tinggi memungkinkan memperoleh pendapatan yang tinggi, sehingga memperbanyak jumlah media yang dibaca atau didengar dan frekuensi yang lebih sering yang pada akhirnya akan meningkatkan wawasan dan pengetahuan ibu. Tabel 19. Sebaran Contoh menurut Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Tingkat Pengetahuan Ibu Tidak Bekerja (n=30) Gizi Ibu n % Baik 16 53,3 Sedang 12 40 Kurang 2 6,7
Ibu Bekerja (n=30) n % 23 76,7 7 23,3 -
p 0,047*
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%
Pola Pemberian ASI Pola pemberian ASI adalah praktek-praktek pemberian ASI yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan cara dan situasi pemberian ASI. Pola pemberian ASI yang diteliti meliputi pemberian minuman pralaktal, pemberian kolostrum, waktu pemberian ASI pertama, cara menyusui serta praktek menyusui saat ini. Pemberian Minuman Pralaktal Kebiasaan memberi minuman pralaktal pada bayi baru lahir merupakan kebiasaan salah karena tidak mendorong ibu untuk memproduksi ASI. Menurut Azwar (2003), kebiasaan ini merupakan pemicu kurang berhasilnya pemberian ASI eksklusif. Tabel 20 menunjukkan sebanyak 76,7% contoh pada kelompok ibu tidak bekerja dan 50% contoh pada ibu bekerja mendapat minuman pralaktal setelah dilahirkan. Uji beda t menunjukkan terdapat perbedaan praktek pemberian minuman pralaktal antara kedua kelompok (p<0,05). Jumlah contoh kelompok ibu tidak bekerja yang mendapatkan minuman pralaktal lebih banyak daripada contoh kelompok ibu bekerja. Penyebab terbanyak pemberian minuman pralaktal ini adalah diberikan oleh tenaga kesehatan yang menolong kelahiran contoh dan biasanya ibu mendapat paket susu formula dari tenaga kesehatan. Pemberian susu formula sebagai minuman
39
pralaktal dapat dimengerti jika proses persalinan dengan cara operasi karena ibu masih merasa sakit dan belum bisa bangun dari tempat tidur (Welford, 2001). Akan tetapi jika proses persalinan secara normal maka pemberian susu formula sebagai minuman pralaktal telah melanggar Kepmenkes No.237/Menkes/SK/IV/1997 tentang aturan pemasaran susu formula. Tabel 20. Sebaran Contoh menurut Pemberian Minuman Pralaktal Pemberian minuman pralaktal Diberikan Tidak diberikan Nilai p Jenis Minuman Pralaktal - Susu formula - Madu - Pisang - Air putih Alasan pemberian - Diberikan oleh tenaga kesehatan - Ibu khawatir bayi kurang minum - Ibu belum pulih dari persalinan - Mengikuti saran orangtua/paraji
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30) n % n % 23 76,7 15 50 7 23,3 15 50 0,0032* 20 1 1 1
87,1 4,3 4,3 4,3
15 -
100 -
18 2 1 2
78,3 8,7 4,3 8,7
13 2 -
86,7 13,3 -
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%
Menurut Roesli (2001) pemberian minuman pralaktal dengan anjuran bidan/dokter adalah hal yang sering ditemukan dan menjadi kebiasaan di sebagian besar rumah sakit. Petugas kesehatan biasanya takut bayi kekurangan cairan dalam beberapa hari setelah lahir karena ASI dianggap masih sedikit. Justru sebaliknya, pemberian makanan pralaktal akan membuat bayi tidak mau mengisap dari payudara ibunya karena bayi sudah kenyang. Menurut Fikawati dan Safiq (2003), faktor luar misalnya nasihat dari tenaga kesehatan, orangtua, mertua dan tetangga memiliki pengaruh yang kuat dalam pemberian makanan pralaktal. Sebesar 8,7% contoh pada kelompok ibu tidak bekerja mendapat madu setelah dilahirkan. Pemberian ini dianjurkan oleh orangtua responden dan paraji.
40
Pemberian Kolostrum Manfaat kolostrum bagi kekebalan tubuh bayi memang tidak diragukan lagi, tetapi sosialisasi di masyarakat masih belum optimal. Meskipun sebagian besar responden memberikan kolostrum kepada contoh, masih ada 10% contoh dari ibu tidak bekerja dan 20% contoh dari ibu bekerja yang tidak diberikan kolostrum (Tabel 21). Responden yang tidak memberikan kolostrum beralasan karena cairan kolostrum dapat menyebabkan penyakit bagi bayi, ada pula yang memberikan kolostrum ke wajah bayi agar bayi terhindar dari koreng, dan kolostrum sengaja dibuang untuk membersihkan ASI agar ASI tidak basi. Responden yang memberikan kolostrum pun tidak semuanya benar-benar mengetahui manfaat kolostrum. Sebesar 74,1% responden ibu tidak bekerja dan 83,3% responden bekerja memberikan kolostrum untuk kekebalan tubuh contoh. Namun ada 25,9% responden ibu tidak bekerja yang memberikan kolostrum karena mengikuti anjuran bidan/dokter, orangtua, dan maraji dan 16,7% responden ibu bekerja yang memberikan kolostrum karena bagus untuk bayi. Hasil uji beda t menunjukkan tidak terdapat perbedaan praktek pemberian kolostrum kepada baduta contoh dari kedua kelompok. Tabel 21. Sebaran Contoh menurut Pemberian Kolostrum Pemberian Kolostrum Diberikan Tidak diberikan
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 27 90 3 10
Ibu Bekerja (n=30) n % 24 80 6 20
p 0,286
Waktu Pemberian ASI Pertama Menyusui segera setelah melahirkan dalam waktu kurang dari 30 menit merupakan salah satu cara untuk mencegah pemberian minuman/makanan pralaktal. Interaksi segera antara ibu dan bayi berkaitan erat dengan kesuksesan menyusui berikutnya (Fikawati & Safiq, 2003). Di samping itu menurut Depkes (1996) daya isap bayi pada saat itu merupakan yang paling kuat untuk merangsang produksi ASI. Berdasarkan Tabel 22 waktu tercepat contoh mulai disusui oleh ibunya adalah kurang dari 30 menit (6,7% contoh dari ibu tidak bekerja dan 30% contoh dari ibu
41
bekerja). Waktu terlama adalah lebih dari 24 jam yaitu 36,7% contoh dari ibu tidak bekerja dan 30% contoh dari ibu bekerja, karena contoh dilahirkan melalui operasi atau ASI baru keluar setelah satu hari pasca kelahiran. Sebagian besar contoh pada kedua kelompok, disusui pertama kali pada waktu 1-24 jam setelah dilahirkan. Hasil uji beda t menunjukkan waktu pemberian ASI pertama kepada baduta contoh tidak berbeda antara kedua kelompok. Tabel 22. Sebaran Contoh menurut Waktu Pemberian ASI Waktu Pemberian ASI ≤ 30 menit 1 jam 1-24 jam > 24 jam
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 2 6,7 6 20,0 11 36,7 11 36,7
Ibu Bekerja (n=30) n % 9 30,0 1 3,3 11 36,7 9 30,0
p 0,194
Cara Menyusui Cara menyusui yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi penggunaan kedua payudara, frekuensi dan lama menyusui. Pada Tabel 23 dapat diketahui bahwa 70% contoh pada ibu tidak bekerja dan 83,3% contoh pada ibu bekerja disusui dengan kedua payudara secara bergantian. Uji beda t menunjukkan bahwa cara contoh disusui tidak berbeda antara kedua kelompok. Menurut Roesli (2001) bahwa anak sebaiknya disusui dengan kedua payudara karena payudara yang “dilupakan” bisa berhenti menghasilkan ASI, dan menimbulkan pembengkakan payudara. Sedangkan responden yang menyusui hanya dengan satu payudara beralasan bahwa ada bisul di salah satu puting, puting tidak keluar, ASI sedikit, responden lebih suka menyusui pada satu posisi saja, dan contoh hanya mau disusui pada satu payudara. Tabel 23. Sebaran Contoh menurut Cara Pemberian ASI Penggunaan kedua payudara Keduanya digunakan Hanya sebelah
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 21 70 9 30
Ibu Bekerja (n=30) n % 25 83,3 5 16,7
p 0,229
42
Tabel 24 menunjukkan bahwa 63,3% contoh pada kelompok ibu tidak bekerja dan 56,7% contoh pada kelompok ibu bekerja sudah tidak mendapatkan ASI lagi. Padahal menurut Krisnatuti dan Yenrina (2002), ASI tetap harus diberikan kepada anak paling tidak sampai usia 24 bulan walaupun anak telah menerima makanan pendamping ASI. Alasan yang dikemukakan oleh responden bermacam-macam di antaranya ibu sudah hamil lagi, anak bingung puting sehingga lebih memilih susu formula, ibu bekerja, ASI sudah tidak keluar, ibu sakit dan menjalani operasi sehingga ASI dihentikan. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan praktek pemberian ASI saat ini oleh ibu di kedua kelompok kepada baduta contoh. Tabel 24. Sebaran Contoh menurut Pemberian ASI Saat Ini Pemberian ASI saat ini Masih diberikan Tidak diberikan
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 11 36,7 19 63,3
Ibu Bekerja (n=30) n % 13 43,3 17 56,7
p 0,605
Dari 36,7% responden ibu tidak bekerja dan 43,3% responden ibu bekerja yang masih memberikan ASI sampai saat penelitian, frekuensi pemberian ASI sehari sebagian besar responden di kedua kelompok adalah kurang dari 8 kali per hari (Tabel 25). Hal ini disebabkan karena anak mendapat susu formula dan MPASI sehingga ASI sudah bukan menjadi makanan utama. Proporsi terbanyak lama setiap kali menyusui pada responden ibu tidak bekerja adalah lebih dari 30 menit (45,5%), sedangkan pada responden ibu bekerja memiliki proporsi yang sama (38,5%) pada waktu kurang dari 15 menit dan lebih dari 30 menit. Bagi responden yang bekerja, kesempatan menyusui ketika pulang dari kerja yaitu malam hari sampai esok pagi sebelum berangkat kerja. Biasanya responden baik yang bekarja maupun yang tidak waktu menyusui paling lama adalah ketika menyusui pada saat anak akan tidur malam sampai anak terlelap. Sebesar 63,3% responden ibu tidak bekerja yang sudah tidak memberikan ASI lagi mempunyai riwayat menyusui dengan frekuensi dalam sehari adalah lebih dari 8 kali (68,4%) dan proporsi lama pemberian ASI terbanyak adalah 15-30 menit
43
(42,1%). Sebesar 56,7% responden ibu bekerja mempunyai riwayat menyusui dengan frekuensi kurang dari 8 kali sehari (58,8%) dan proporsi lama pemberian ASI terbanyak 15 menit sampai lebih dari 30 menit (35,3%) Tabel 25. Sebaran Contoh menurut Lama dan Frekuensi Menyusui Pemberian ASI Lama menyusui sekarang <15 menit 15-30 menit >30 menit Frekuensi menyusui sekarang <8 kali/hari ≥8 kali/hari
Ibu Tidak Bekerja (n=11) n %
Ibu Bekerja (n=13) n %
2 4 5
18,2 36,4 45,4
5 3 5
38,5 23,0 38,5
6 5
54,5 45,5
10 3
76,9 23,1
Tabel 26 menunjukkan bahwa sebanyak 50% responden ibu tidak bekerja dan 60% responden ibu bekerja pernah menggunakan pompa payudara. Pompa ini digunakan oleh responden untuk memasukkan ASI ke dalam botol, merangsang ASI untuk keluar karena ASI sedikit, membuang ASI karena payudara ibu terasa penuh/bengkak, ada pula yang disebabkan karena puting ibu terluka. Tabel 26. Sebaran Contoh menurut Penggunaan Pompa Payudara Penggunaan pompa payudara Pernah Tidak pernah
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 15 50 15 50
Ibu Bekerja (n=30) n % 18 60 12 40
Tabel 27 menggambarkan praktek pemberian ASI saat contoh sedang sakit dan jika menolak diberikan ASI. Sebesar 96,7% contoh di kedua kelompok tetap diberikan ASI ketika contoh sedang sakit. Sebanyak 46,7% responden ibu tidak bekerja dan 33,3% responden ibu bekerja menyatakan memberikan susu formula jika contoh menolak diberikan ASI. Seharusnya ibu tetap memberikan ASI di lain waktu karena ASI merupakan makanan terbaik bagi anak daripada susu formula. Uji beda t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok mengenai praktek pemberian ASI ketika baduta contoh sedang sakit dan ketika menolak diberikan ASI.
44
Tabel 27. Sebaran Contoh menurut Pemberian ASI saat Anak Sakit Ibu Tidak Bekerja (n=30) n %
Pemberian ASI Jika anak sakit - Tetap diberi ASI - Tidak diberi ASI Jika anak menolak ASI - Tetap diberi ASI - Diberikan susu formula
Ibu Bekerja (n=30) n %
p
29 1
96,7 3,3
29 1
96,7 3,3
1,000
16 14
53,3 46,7
20 10
66,7 33,3
0,300
Berdasarkan Tabel 28, pola pemberian ASI 33,3% responden tidak bekerja dan 63,3% responden bekerja termasuk kategori baik. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola pemberian ASI antara kelompok ibu tidak bekerja dengan kelompok ibu bekerja (p<0,05). Hal ini diduga karena tingkat pengetahuan gizi ibu juga berbeda. Tabel 28. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian ASI Kategori Pola Pemberian ASI Baik (skor 22-28) Sedang (skor 15-21) Kurang (skor 7-14)
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 10 33,3 19 63,3 1 3,3
Ibu Bekerja (n=30) n % 19 63,3 9 30,0 2 6,7
p 0,044*
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%
Pola pemberian ASI yang baik adalah apabila ibu memberikan ASI pertama segera setelah melahirkan sehingga mencegah pemberian minuman pralaktal, ibu memberikan kolostrum, menyusui dengan kedua payudara, dan anak masih mendapatkan ASI sampai berusia 24 bulan. Pola pemberian ASI pada kategori sedang dan kurang berarti tidak memenuhi salah satu atau lebih dari indikator di atas. Pola Pemberian Susu Formula Pola pemberian susu formula adalah pemberian susu formula yang dilakukan oleh ibu kepada anak, meliputi usia contoh saat diberikan susu formula, alasan pemberian susu formula, sumber informasi tentang susu formula, frekuensi pemberian susu formula, penggunaan sendok takar dan ketepatan takaran, cara membersihkan botol susu dan pemberian air susu formula yang bersisa. Menurut
45
Winarno (1995), ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberian susu formula yaitu : peralatan makanan yang digunakan, cara pembersihan alat, serta cara pemberian susu formula. Waktu Pemberian Susu Formula Pertama Berdasarkan Tabel 29 sebanyak 36,7% contoh dari ibu tidak bekerja dan 40% contoh dari ibu bekerja diberikan susu formula saat contoh berumur kurang dari 1 bulan. Susu
formula dapat diberikan kepada bayi, setelah berumur sekurang-
kurangnya 4 bulan atau apabila memungkinkan 6 bulan (Krisnatuti & Yenrina, 2002). Pemberian susu formula sejak dini merupakan penyebab kegagalan pemberian ASI eksklusif. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan waktu pemberian susu formula antara kedua kelompok. Tabel 29. Sebaran Contoh menurut Waktu Pemberian Susu Formula Pertama Usia anak diberi susu formula pertama <1 bulan 1-3 bulan 4-6 bulan >6 bulan
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 11 36,7 2 6,7 8 26,6 9 30,0
Ibu Bekerja (n=30) n % 12 40,0 10 33,4 4 13,3 4 13,3
p 0,104
Alasan Pemberian Susu Formula Alasan responden ibu tidak bekerja memberikan susu formula adalah agar anak sehat, pintar dan bertambah berat badannya (23,3%), ASI sedikit/kurang sehingga anak masih lapar (16,7%), anak menolak ASI (13,3%), dan ibu sakit (6,7%). Sedangkan responden ibu bekerja beralasan karena ibu bekerja (50%), ASI sedikit/kurang sehingga anak masih lapar (20%), membiasakan anak minum susu jika ibu mulai bekerja (10%), anak bingung puting dan rewel (6,7%), ibu sakit (3,3%), ibu hamil lagi (3,3%). Pemberian susu formula kepada bayi hanya diperbolehkan apabila ibu tidak bisa memberikan ASI karena keadaan tertentu yaitu ibu meninggal, ibu sakit keras atau indikasi medis (Depkes, 1985); ibu menderita infeksi, luka puting (mastitis), ibu mengalami gangguan jiwa atau epilepsi (Sulistijani & Herlianty, 2003).
46
Sumber Informasi Susu Formula Tabel 30 menerangkan bahwa sumber informasi yang paling banyak mendorong responden untuk menggunakan jenis susu formula tertentu adalah dari keluarga (56,7% responden tidak bekerja dan 53,3% responden bekerja). Selain itu kemasan produk susu formula turut mempengaruhi responden dalam menggunakan susu formula. Bagi ibu bekerja, rekan kerja turut membantu dalam memilih jenis susu formula. Dari penelusuran informasi lebih lanjut, sebagian besar responden yang melahirkan di tempat pelayanan kesehatan mengatakan bahwa mereka mendapatkan bingkisan susu formula bayi dari pihak yang membantu persalinan tersebut. Responden merasa sayang jika susu formula tersebut tidak diberikan kepada contoh. Tabel 30. Sebaran Contoh menurut Sumber Informasi Susu Formula Sumber info susu formula Keluarga Dokter/bidan Teman/rekan kerja Media massa
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 17 56,7 8 26,7 5 16,6
Ibu Bekerja (n=30) n % 16 53,3 8 26,7 3 10 3 10
Frekuensi Pemberian Susu Formula Frekuensi pemberian susu formula saat ini pada kedua kelompok contoh adalah kurang dari 8 kali per hari (73,3%) dan lebih dari 8 kali sehari (26,7%). Padahal menurut informasi aturan penyajian susu formula yang tertera di kemasan, susu formula hanya diberikan sebanyak 2-3 atau 3-4 kali per hari. Berdasarkan perbandingan praktek pemberian dengan aturan di kemasan susu formula, sebesar 63,3% responden ibu tidak bekerja dan 66,7% responden ibu bekerja tidak tepat dalam frekuensi pemberian susu formula kepada contoh. Menurut Depkes RI (1994) bila pemberian berlebihan maka akan menyebabkan obesitas serta beban kerja ginjal dan pencernaan. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan ketepatan frekuensi pemberian susu formula antara kedua kelompok.
47
Tabel 31. Sebaran Contoh menurut Ketepatan Frekuensi Pemberian Susu Formula Ketepatan Frekuensi pemberian susu formula Tepat (2-4x perhari) Tidak Tepat (>4x perhari)
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 11 36,7 19 63,3
Ibu Bekerja (n=30) n % 10 33,3 20 66,7
p 1,000
Cara Penyajian Susu Formula Dalam pembuatan susu fomula sebaiknya menggunakan sendok takar yang tersedia di dalam kemasan untuk menghindari pemberian bubuk susu berlebih atau malah kurang. Tabel 32 menjelaskan bahwa sebanyak 73,3% responden ibu tidak bekerja dan 100% responden ibu bekerja menggunakan sendok takar. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa ada perbedaan penggunaan sendok takar susu formula antara kedua kelompok (p<0,01). Jumlah responden ibu bekerja yang menggunakan sendok takar lebih banyak daripada responden ibu tidak bekerja. Tabel 32. Sebaran Contoh menurut Penggunaan Sendok Takar Penggunaan sendok takar Ya Tidak
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 22 73,3 8 26,7
Ibu Bekerja (n=30) n % 30 100 -
p 0,002**
** Nyata pada taraf kepercayaan 99%
Responden yang tidak menggunakan sedok takar dikarenakan tidak terdapat sendok takar di dalam kemasan susu formula sehingga mereka menggunakan sendok teh atau sendok makan sebagai pengganti sendok takar. Dari penelusuran informasi lebih lanjut ada responden yang menggunakan sendok takar dari merek susu sebelumnya. Dari 14 merek susu formula yang digunakan responden, hanya 4 merek yang tidak menyertakan sendok takar di dalam kemasannya. Selain frekuensi pemberian, ketepatan dalam menakar banyaknya bubuk susu dan volume air yang diberikan responden juga penting untuk diteliti. Dari Tabel 33 dapat diketahui bahwa 66,7% responden ibu tidak bekerja dan 63,3% responden ibu bekerja tidak mengikuti aturan penyajian di kemasan produk susu secara tepat sehingga mengencerkan dengan tidak tepat. Sebesar 56,7% responden ibu tidak bekerja dan 53,4% responden ibu bekerja memberikan takaran bubuk susu sebanyak
48
≥4 sendok. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan ketepatan pengenceran susu formula antara kedua kelompok. Pemberian susu formula jika terlalu kental dapat menimbulkan diare, tetapi jika terlalu encer kurang mengandung zat gizi yang diperlukan. Oleh karena itu dalam pemberian susu formula sebaiknya mengikuti aturan takaran yang ada pada kemasan, agar dapat mencampur susu dalam takaran yang tepat (Arisman, 2002). Menurut Krisnatuti dan Yenrina (2002), untuk memilih produk susu formula harus diperhatikan beberapa hal, antara lain kandungan zat gizi, komponen-komponen yang terkandung di dalamnya, metode pengolahan yang tertera dalam label, dan diperhatikan pula masa kadaluwarsanya sehingga aman untuk dikonsumsi oleh bayi. Tabel 33. Sebaran Contoh menurut Ketepatan Pengenceran Ketepatan Pengenceran Tepat Tidak tepat
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 10 33,3 20 66,7
Ibu Bekerja (n=30) n % 11 36,7 19 63,3
p 0,791
Cara Membersihkan Alat Salah satu hal yang penting diperhatikan dalam memberikan susu formula adalah cara membersihkan botol susu karena botol dan dot susu mudah terkontaminasi kuman. Tabel 34 menjelaskan bahwa sebanyak 80% responden tidak bekerja dan 83,3% responden bekerja merebus botol dan dot susu walaupun tidak setiap kali memberikan susu. Hal ini disebabkan jumlah botol yang dimiliki tidak banyak sehingga setelah dicuci hanya dikocok-kocok dengan air panas atau direndam air panas. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan praktek perebusan botol susu pada kedua kelompok. Tabel 34. Sebaran Contoh menurut Cara Membersihkan Botol Susu Merebus botol Direbus Tidak
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 24 80 6 20
Ibu Bekerja (n=30) n % 25 83,3 5 16,7
p 0,744
49
Menurut Muchtadi (2002), semua alat makan/minum sebaiknya segera dicuci setelah digunakan, menggunakan air dingin dan sabun atau deterjen dengan memakai sikat botol. Setelah itu disterilisasi dengan air mendidih selama 5-10 menit, tiriskan dan keringkan. Kemudian disimpan dalam keadaan tertutup sampai saatnya digunakan. Proses sterilisasi ini dilakukan sedikitnya satu atau dua kali sehari. Apabila sterilisasi ini tidak mungkin dilakukan, alat makan/minum dapat dicuci menggunakan air panas lalu dibilas dengan air matang yang telah dingin atau larutan garam. Setelah ditiriskan dan dikeringkan, peralatan ditaruh dalam keadaan tertutup. Tetapi tetap usahakan untuk melakukan pendidihan minimal sekali dalam sehari. Peran serta ayah dalam memberikan susu formula turut meringankan beban ibu dan mempererat ikatan emosional dengan anak. Sebanyak 96,7% ayah pada ibu tidka bekerja dan 86,7% ayah pada ibu bekerja terbiasa membuatkan susu formula/susu botol pada contoh. Pemberian susu oleh ayah ini biasanya dilakukan pada malam hari saat anak merasa haus. Pemberian Sisa Air Susu Formula Terkadang anak tidak segera menghabiskan susu formula. Responden yang memberikan sisa air susu formula sebanyak 53,3% ibu tidak bekerja dan 43,3% responden bekerja (Tabel 35). Mereka memberikan sisa air susu dengan tenggang waktu yang menurut responden masih bisa diberikan yaitu jika masih kurang dari 2-3 jam. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pemberian sisa air susu formula antara kedua kelompok. Menurut Muchtadi (2002), air susu formula yang tersisa hanya dapat tahan selama 1-2 jam dalam keadaan tertutup pada suhu ruang, kecuali bila disimpan dalam lemari es. Sedangkan menurut Arisman (2002) sisa air susu yang tidak disimpan di dalam lemari es seharusnya tidak digunakan lagi (bila disimpan di lemari es masih bisa digunakan paling lama 4 jam). Responden yang langsung membuang sisa air susu khawatir jika sisa air diberikan dapat menyebabkan anak sakit karena susu sudah basi atau sudah tidak bagus lagi untuk diminum, ada pula yang beralasan karena anak yang sudah tidak mau lagi karena susu sudah dingin.
50
Tabel 35. Sebaran Contoh menurut Pemberian Sisa Air Susu Formula Pemberian sisa air susu formula Diberikan Tidak diberikan
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 16 53,3 14 46,7
Ibu Bekerja (n=30) n % 13 43,3 17 56,7
p 0,087
Tabel 36 menyajikan kategori pola pemberian susu formula. Sebagian besar responden (60% responden tidak bekerja dan 56,7% responden bekerja) termasuk kategori sedang dan tidak ada responden yang masuk dalam kategori kurang. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pola pemberian susu formula pada kedua kelompok. Tabel 36. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian Susu Formula Kategori Pola Pemberian Susu Formula Baik (skor 19-24) Sedang (skor 13-18) Kurang (skor 6-12)
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 12 40 18 60 -
Ibu Bekerja (n=30) n % 13 43,3 17 56,7 -
p 0,795
Pola pemberian susu formula yang baik adalah apabila susu formula diberikan saat usia anak di atas 6 bulan, mengikuti aturan penyajian baik frekuensi maupun cara pengenceran sesuai dengan yang ada di kemasan, merebus botol dan dot susu, dan tidak memberikan sisa air susu setelah 3 jam. Pola pemberian ASI pada kategori sedang dan kurang berarti tidak memenuhi salah satu atau lebih dari indikator di atas. Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) Pola pemberian MPASI adalah praktek pemberian MPASI yang diterapkan responden kepada contoh yang berkaitan dengan cara dan situasi pemberian MPASI. Pola pemberian MPASI yang diteliti meliputi waktu pemberian MPASI pertama dan jenis MPASI pertama. Waktu Pemberian MPASI Pertama Berdasarkan Tabel 37 diketahui sebanyak 80% contoh kelompok ibu tidak bekerja dan 83,3% contoh kelompok ibu bekerja sudah diberikan MP-ASI sejak
51
berumur kurang dari 6 bulan. Uji beda t menunjukkan tidak ada perbedaan umur contoh pada pemberian MPASI pertama pada kelompok ibu tidak bekerja dengan kelompok ibu bekerja. Orang yang berperan dalam pemberian MP-ASI lebih dini umumnya (36%) adalah tenaga kesehatan (bidan/dokter). Sedangkan sisanya karena pengaruh media massa dan membaca informasi pada kemasan produk MPASI (24%), mengikuti saran orangtua (20%), membaca dari buku dan Kartu Menuju Sehat (KMS) (20%). Menurut Masoara (2001) hal tersebut terjadi karena adanya kekhawatiran ibu dalam beberapa hari setelah melahirkan merasa ASI tidak mencukupi sehingga mereka memberikan MP-ASI lebih dini. Sebaran sampel berdasarkan umur bayi mulai diberi MP-ASI dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37. Sebaran Contoh menurut Umur Pemberian MPASI Pertama Umur anak diberi MPASI <6 bulan ≥6 bulan
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 24 80 6 20
Ibu Bekerja (n=30) n % 25 83,3 5 16,7
p 0,785
Alasan pemberian MP-ASI lebih cepat karena menurut responden sudah waktunya MPASI diberikan (51%). Alasan yang lainnya adalah : anak menangis terus karena lapar (32,6%), untuk memperkenalkan/membiasakan anak untuk makan (14,3%), dan agar berat badan anak meningkat (2%). Berbagai alasan ini menunjukkan ketidaktahuan ibu tentang pemberian makanan yang tepat kepada bayi. Pemberian MPASI yang terlalu dini (<6 bulan) akan berdampak pada terganggunya sistem metabolisme atau pencernaan karena bayi belum siap mencerna makanan selain ASI dan asupan gizi yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhannya. Sebaliknya, penundaan pemberian makanan dapat menghambat pertumbuhan jika energi dan zat gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak mencukupi lagi kebutuhannya (Pudjiadi, 2000).
52
Jenis MPASI Pemberian makanan pendamping harus bertahap dan bervariasi, mulai dari bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Sulistijani & Herlianty, 2003). Menurut Depkes (2000), makanan bayi berumur 4-6 bulan adalah makanan lumat halus seperti bubur susu, bubur sumsum, biskuit ditambah air panas, pepaya saring, pisang saring, dll. Tabel 38 menunjukkan bahwa MP-ASI yang banyak diberikan adalah bubur bayi komersial dan biskuit bayi (46,7% contoh kelompok ibu tidak bekerja dan 40% contoh kelompok ibu bekerja). Jenis makanan ini diberikan kepada bayi mungkin karena pembuatannya praktis dan bisa cepat diberikan. Selain itu promosi bubur bayi dan biskuit bayi komersial sangat gencar di masyarakat. Tabel 38. Sebaran Contoh menurut Jenis MPASI Pertama Jenis MPASI pertama Bubur bayi komersial Biskuit bayi komersial Pisang dilumatkan Sari buah Bubur nasi saring
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 14 46,7 10 33,3 5 16,7 1 3,3 -
Ibu Bekerja (n=30) n % 12 40 10 33,4 5 16,6 1 3,3 2 6,7
Tabel 39 menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan jenis MPASI pertama pada kedua kelompok contoh berdasarkan uji beda Mann Whitney. Walaupun saat ini makanan bayi komersial banyak dijumpai di pasaran, sebaiknya ibu menyiapkan sendiri MPASI dengan menggunakan bahan pangan lokal. Menurut Krisnantuti dan Yenrina (2002), MPASI menggunakan bahan pangan lokal memiliki beberapa keuntungan yaitu harga yang murah dan mudah didapat, kandungan zat gizi yang lengkap, serta bentuk dan rasanya lebih bervariasi.
53
Tabel 39. Sebaran Contoh menurut Kategori Jenis MPASI Pertama Kategori Jenis MPASI pertama Instan/komersial Alami/buatan sendiri
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 24 80,0 6 20,0
Ibu Bekerja (n=30) n % 22 73,3 8 26,7
p 0.545
Tabel 40 menyajikan kategori pola pemberian MPASI. Sebagian besar responden (56,7% responden tidak bekerja dan 66,7% responden bekerja) termasuk kategori sedang. Hal ini diduga disebabkan karena sebagian besar responden memiliki akses informasi gizi dan kesehatan anak yang cukup baik dan tingkat pengetahuan gizi yang baik. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pola pemberian susu formula pada kedua kelompok. Tabel 40. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian MPASI Pertama Kategori Pola Pemberian MPASI Baik (skor 7-8) Sedang (skor 5-6) Kurang (skor 2-4)
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 8 26,7 17 56,7 5 16,7
Ibu Bekerja (n=30) n % 5 16,7 20 66,7 5 16,7
p 0,522
Kesulitan Makan pada Anak Pola makanan anak usia 13-23 bulan adalah makanan padat seperti orang dewasa. Ada kalanya anak sulit makan atau memilih makanan tertentu saja sehingga ibu khawatir asupan gizi anak berkurang. Sebanyak 56,7% responden tidak bekerja dan 40% responden bekerja memberikan ASI atau susu formula saat anak sulit makan. Kelemahan dari pemberian ini adalah anak sudah terlanjur kenyang meminum susu formula sehingga nafsu makannya berkurang. Padahal kebutuhan zat gizi tidak bisa dipenuhi hanya dari susu formula. Sebesar 33,3% responden tidak bekerja dan 43,3% responden bekerja memilih memberikan makanan jajanan jika anak susah makan. Makanan jajanan yang biasanya diberikan adalah biskuit, coklat, bakso, roti, lontong isi, dan kue.
54
Tabel 41. Sebaran Contoh menurut Praktek Pemberian Makanan Saat Anak Sulit Makan Jika anak susah makan Dibiarkan Dikasih ASI atau susu Dikasih makanan jajanan Lainnya
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n % 1 3,3 17 56,7 10 33,3 2 106,7
Ibu Bekerja (n=30) n % 2 6,7 12 40 13 43,3 3 10
Konsumsi Pangan Anak Baduta Konsumsi Energi Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total energi contoh sebesar 1250,7 kkal/hari. Rata-rata konsumsi energi dari ASI sebesar 98,8 kkal/hari atau menyumbang 9,8%; dari susu formula sebesar 516,7 kkal/hari, menyumbang 37,5%; dari makanan sebesar 636,2 kkal/hari, menyumbang 52,8%. Rata-rata tingkat konsumsi energi contoh sebesar 141,9%. Kontribusi energi dari ASI terhadap tingkat konsumsi adalah 7,9%, susu formula sebesar 41,0% dan makanan sebesar 51,1%. Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total energi contoh sebesar 1358,1 kkal/hari. Rata-rata konsumsi energi dari ASI sebesar 93,9 kkal/hari, menyumbang 8,4%; dari susu formula sebesar 583,1 kkal/hari, menyumbang 40,2%; dari makanan sebesar 681,1 kkal/hari, menyumbang 51,4%. Rata-rata tingkat konsumsi energi contoh sebesar 152,6%. Kontribusi energi dari ASI terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 7,4%, susu formula sebesar 41,6% dan makanan sebesar 51,0%. Konsumsi Protein Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total protein contoh sebesar 44,5 g/hari. Rata-rata konsumsi protein dari ASI sebesar 1,7 g/hari atau menyumbang 5,9%; dari susu formula sebesar 21,5 g/hari atau menyumbang 45,1%; dari makanan sebesar 21,3 g/hari atau menyumbang 49,1%. Rata-rata tingkat konsumsi protein contoh sebesar
202,7%. Kontribusi protein dari ASI terhadap
55
tingkat konsumsi adalah sebesar 3,7%, dari susu formula sebesar 48,0% dan dari makanan sebesar 48,3%. Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total protein contoh sebesar 47,1 g/hari. Rata-rata konsumsi protein dari ASI sebesar 1,6 g/hari atau menyumbang 5,4%; dari susu formula sebesar 23,3 g/hari atau menyumbang 45,4%; dari makanan sebesar 22,2 g/hari atau menyumbang 49,2%. Rata-rata tingkat konsumsi protein contoh sebesar
210,9%. Kontribusi protein dari ASI terhadap tingkat konsumsi
adalah sebesar 3,6%, dari susu formula sebesar 48,4% dan dari makanan sebesar 48,0%. Konsumsi Vitamin A Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin A contoh sebesar 839,3 RE/hari. Rata-rata konsumsi vitamin A dari ASI sebesar 105,4 RE/hari atau menyumbang 17,3%; dari susu formula sebesar 210,8 RE/hari atau menyumbang 22,5%; dari makanan sebesar 523,2 RE/hari atau menyumbang 60,2%. Rata-rata tingkat konsumsi vitamin A contoh sebesar 249,8%. Kontribusi vitamin A dari ASI terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 12,1%, dari susu formula sebesar 23,5% dan dari makanan sebesar 64,4%. Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin A contoh sebesar 976,4 RE/hari. Rata-rata konsumsi vitamin A dari ASI sebesar 101,1 RE/hari atau menyumbang 14,7%; dari susu formula sebesar 251,5 RE/hari atau menyumbang 27,9%; dari makanan sebesar 623,8 RE/hari atau menyumbang 57,4%. Rata-rata tingkat konsumsi vitamin A contoh sebesar 287,3%. Kontribusi vitamin A dari ASI terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 10,5%, dari susu formula sebesar 23,2% dan dari makanan sebesar 64,4%. Konsumsi Vitamin C Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin C contoh sebesar 97,2 mg/hari. Rata-rata konsumsi vitamin C dari ASI sebesar 4,06 mg/hari atau menyumbang 7,5%; dari susu formula sebesar 57,3 mg/hari atau menyumbang 61,2%; dari makanan sebesar 35,9 mg/hari atau menyumbang 31,3%. Rata-rata tingkat konsumsi vitamin C contoh sebesar 220,6%. Kontribusi vitamin C dari ASI
56
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 4,2%, dari susu formula sebesar 59,5% dan dari makanan sebesar 36,3%. Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin C contoh sebesar 87,5 mg /hari. Rata-rata konsumsi vitamin C dari ASI sebesar 3,9 mg/hari atau menyumbang 6,6%; dari susu formula sebesar 65,5 mg/hari atau menyumbang 66,0%; dari makanan sebesar 18,2 mg/hari atau menyumbang 27,4%. Rata-rata tingkat konsumsi vitamin C contoh sebesar 195,2%. Kontribusi vitamin C dari ASI terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 4,8%, dari susu formula sebesar 72,6% dan dari makanan sebesar 22,6%. Konsumsi Kalsium Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total kalsium contoh sebesar 888,80 mg/hari. Rata-rata konsumsi kalsium dari ASI sebesar 53,13 mg/hari atau menyumbang 13,8%; dari susu formula sebesar 626,7 mg/hari atau menyumbang 46,9%; dari makanan sebesar 209,0 mg/hari atau menyumbang 39,3%. Rata-rata tingkat konsumsi kalsium contoh sebesar
201,4%. Kontribusi kalsium dari ASI
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 6,0%, dari susu formula sebesar 69,7% dan dari makanan sebesar 24,3%. Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total kalsium contoh sebesar 929,7 mg /hari. Rata-rata konsumsi kalsium dari ASI sebesar 51,0 mg/hari atau menyumbang 9,9%; dari susu formula sebesar 742,9 mg/hari atau menyumbang 62,5%; dari makanan sebesar 135,8 mg/hari atau menyumbang 27,6%. Rata-rata tingkat konsumsi kalsium contoh sebesar
199,9%. Kontribusi kalsium dari ASI
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 6,1%, dari susu formula sebesar 77,8% dan dari makanan sebesar 16,1%. Konsumsi Zat Besi Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total zat besi contoh sebesar 13,6 mg/hari. Rata-rata konsumsi zat besi dari ASI sebesar 0 mg/hari, dari susu formula sebesar 9,03 mg/hari atau menyumbang 62,9%; dari makanan sebesar 4,6 mg/hari atau menyumbang 37,1%. Rata-rata tingkat konsumsi zat besi contoh
57
sebesar 223,6%. Kontribusi zat besi dari ASI terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 0%, dari susu formula sebesar 66,1% dan dari makanan sebesar 33,9%. Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total zat besi contoh sebesar 14,05 mg /hari. Rata-rata konsumsi zat besi dari ASI sebesar 0 mg/hari, dari susu formula sebesar 9,94 mg/hari atau menyumbang 62,6%; dari makanan sebesar 4,1 mg/hari atau menyumbang 37,4%. Rata-rata tingkat konsumsi zat besi contoh sebesar 222,4%. Kontribusi zat besi dari ASI terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 0%, dari susu formula sebesar 69,2% dan dari makanan sebesar 30,8%. Konsumsi total energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi pada kedua kelompok contoh sudah memenuhi angka kecukupan yang dianjurkan dan sebagian besar contoh termasuk kategori cukup. Berdasarkan uji beda Mann Whitney tidak ada perbedaan kategori tingkat kecukupan energi pada kedua kelompok (Tabel 42). Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan konsumsi total, konsumsi ASI, susu formula dan makanan pada seluruh zat gizi (protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi) di kedua kelompok contoh (Tabel 44). Demikian pula untuk kontribusi energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi dari ASI, susu formula, dan makanan terhadap konsumsi total dan tingkat konsumsi tidak ada perbedaan menurut uji beda t pada kedua kelompok contoh (Tabel 43 dan 44). Contoh pada kelompok ibu tidak bekerja memiliki kontribusi terbesar terhadap tingkat konsumsi energi, protein, dan vitamin A yang berasal dari makanan. Kontribusi terbesar terhadap tingkat konsumsi vitamin C, kalsium, dan zat besi berasal dari susu formula. Sedangkan contoh pada kelompok ibu bekerja memiliki kontribusi terbesar terhadap tingkat konsumsi energi dan vitamin A yang berasal dari makanan. Kontribusi terbesar terhadap tingkat konsumsi protein, vitamin C, kalsium, dan zat besi berasal dari konsumsi susu formula.
58
Tabel 42. Sebaran Contoh menurut Kategori Tingkat Konsumsi *) Tingkat Konsumsi Energi - Kurang (<70% AKG) - Cukup (≥70% AKG) Protein - Kurang (<70% AKG) - Cukup (≥70% AKG) Vitamin A - Kurang (<70% AKG) - Cukup (≥70% AKG) Vitamin C - Kurang (<70% AKG) - Cukup (≥70% AKG) Kalsium - Kurang (<70% AKG) - Cukup (≥70% AKG) Zat Besi - Kurang (<70% AKG) - Cukup (≥70% AKG)
Ibu Tidak Bekerja (n=30) n %
Ibu Bekerja (n=30) n %
p
2 28
6,7 93,3
30
100
0,154
1 29
3,3 96,7
1 29
3,3 96,7
1,000
7 23
23,3 76,7
3 27
10 90
0,169
30
100
30
100
1,000
9 21
30 70
5 25
16,7 83,3
0,226
1 29
3,3 96,7
1 29
3,3 96,7
1,000
Tabel 43. Sebaran Contoh menurut Tingkat Konsumsi Zat Gizi dan Kontribusi terhadap Tingkat Konsumsi Responden Energi - Ibu tidak bekerja - Ibu bekerja - Uji beda t Protein - Ibu tidak bekerja - Ibu bekerja - Uji beda t Vitamin A - Ibu tidak bekerja - Ibu bekerja - Uji beda t Vitamin C - Ibu tidak bekerja - Ibu bekerja - Uji beda t Kalsium - Ibu tidak bekerja - Ibu bekerja - Uji beda t Zat Besi - Ibu tidak bekerja - Ibu bekerja - Uji beda t
Tingkat Konsumsi (%)
Kontribusi terhadap Tingkat Konsumsi (%) Susu Formula Makanan ASI*)
141,9 152,6 p=0,326
7,9 7,4 p=0,991
41,0 41,6 p=0,596
51,1 51,0 p=0,341
202,7 210,9 p=0,680
3,7 3,6 p=0,991
48,0 48,4 p=0,773
48,3 48,0 p=0,617
249,8 287,3 p=0,707
12,1 10,5 p=0,991
23,5 23,2 p=0,727
64,4 66,3 p=0,766
220,6 195,2 p=0,589
4,2 4,8 p=0,991
59,5 72,6 p=0,780
36,3 22,6 p=0,280
201,4 199,9 p=0,971
6,0 6,1 p=0,991
69,7 77,8 p=0,707
24,3 16,1 p=0,138
223,6 222,4 p=0,974
0,00 0,00 -**)
66,1 69,2 p=0,852
33,9 30,8 p=0,691
*)
Konsumsi ASI dihitung berdasarkan estimasi WHO (2000), dengan kandungan energi=69 kkal/100mL, protein=10,5 g/L, vitamin A=500 μg RE/L, vitamin C=40 mg/L, kalsium=280 mg/L, zat besi=0,30 mg/L.
**)
Uji beda t pada konstribusi ASI tidak ada karena nilai standar deviasinya adalah 0 (nol).
59
60
Hubungan Berbagai Variabel dengan Pola Pemberian ASI dan Susu Formula Karakteristik Keluarga dengan Pola Pemberian ASI Umur Ibu. Pada Tabel 45 dapat dilihat responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian ASI yang baik berada pada rentang umur 20-29 tahun (16,7%) dan 30-39 tahun (16,7%). Sedangkan pada responden ibu bekerja pada rentang umur 20-29 tahun (16,7%) dan 30-39 tahun (46,7%). Pada keluarga ibu tidak bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara umur ibu dengan pola pemberian ASI. Hal ini berarti ada kecenderungan semakin bertambah umur ibu yang tidak bekerja maka semakin baik pula pola pemberian ASI yang dilakukan. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan negatif yang tidak nyata antara umur ibu dengan pola pemberian ASI. Jadi terdapat kecenderungan semakin bertambah umur ibu yang bekerja maka pola pemberian ASI yang dilakukan menjadi kurang. Menurut Pudjiadi (2000), umur bagi seorang ibu merupakan faktor yang turut menentukan dalam produksi ASI. Ibu yang berumur antara 19-23 tahun umumnya menghasilkan ASI yang lebih banyak dibandingkan ibu yang berumur tiga puluhan. Pendidikan Ibu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi terbanyak responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian ASI yang baik berpendidikan tamat SMU (23,3%) dan hanya 6,7% yang berpendidikan lulusan perguruan tinggi. Sedangkan pada kelompok ibu bekerja proporsi terbanyak yang memiliki pola pemberian ASI yang baik merupakan lulusan perguruan tinggi (40,0%). Uji Rank Spearman pada Tabel 43 menjelaskan bahwa adanya hubungan negatif yang tidak nyata antara pendidikan ibu dengan pola pemberian ASI pada kedua kelompok contoh. Dapat dikatakan terdapat kecenderungan semakin tinggi pendidikan ibu yang tidak bekerja maupun yang bekerja maka pola pemberian ASI yang dilakukan semakin kurang. Pendapatan Keluarga. Berdasarkan Tabel 45 terlihat bahwa proporsi terbesar pendapatan keluarga responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian ASI yang baik berada pada kategori Rp 150.000-Rp 449.999 sebanyak 20,0% dan hanya
61
3,3% yang berpendapatan ≥Rp 1.000.000. Proporsi terbesar pendapatan keluarga responden ibu bekerja yang memiliki pola pemberian ASI yang baik berada pada kategori Rp 750.000-Rp 999.999 sebanyak 20,0% dan pada kategori ≥Rp 1.000.000 sebanyak 16,7%. Pada keluarga ibu tidak bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang tidak nyata antara pendapatan keluarga dengan pola pemberian ASI. Dengan kata lain ada kecenderungan pada ibu tidak bekerja, semakin tinggi pendapatan keluarga maka pola pemberian ASI semakin kurang. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara pendapatan keluarga dengan pola pemberian ASI. Hal ini berarti pada ibu yang bekerja terdapat kecenderungan semakin tinggi pendapatan maka semakin baik pola pemberian ASI. Besar Keluarga. Proporsi terbesar responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian ASI yang baik berada pada kategori keluarga kecil (26,7%) dan hanya 6,7% yang merupakan keluarga sedang. Proporsi terbesar responden ibu bekerja yang memiliki pola pemberian ASI yang baik merupakan keluarga kecil (46,7%) dan hanya 16,7% yang merupakan keluarga sedang. Pada keluarga ibu tidak bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara besar keluarga dengan pola pemberian ASI. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang nyata antara besar keluarga dengan pola pemberian ASI (p<0,05). Hal ini berarti semakin kecil keluarga tersebut diikuti dengan semakin baik pola pemberian ASInya. Hasil ini tidak sesuai dengan teori dimana jumlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam mengasuh anaknya (Sukarni, 1989).
62
63
Karakteristik Anak dengan Pola Pemberian ASI Urutan Anak. Pada Tabel 46 terlihat bahwa proporsi terbesar contoh dari kelompok ibu tidak bekerja (20,0%) dan kelompok ibu bekerja (50,0%) yang mendapat pola pemberian ASI yang baik merupakan anak ke-2 atau ke-3. Terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara urutan contoh pada keluarga ibu tidak bekerja dengan pola pemberian ASI. Pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang nyata antara urutan anak dengan pola pemberian susu formula (p<0,05). Hal ini berarti semakin awal urutan anak maka semakin baik pola pemberian ASI. Menurut Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung lebih diperhatikan oleh orang tua dibandingkan anak yang lahir kemudian. Jarak Kelahiran. Hasil penelitian menunjukkan contoh yang memiliki jarak kelahiran lebih dari dua tahun dengan anak sebelumnya mendapat pola pemberian ASI yang baik, yaitu sebanyak 23,3% dari kelompok ibu tidak bekerja dan 46,7% dari kelompok ibu bekerja. Terdapat hubungan positif yang nyata antara jarak kelahiran contoh keluarga ibu tidak bekerja dengan pola pemberian ASI (p<0,05). Pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara jarak kelahiran contoh dengan pola pemberian ASI. Hal ini berarti semakin jauh jarak kelahiran anak maka semakin baik pola pemberian ASI yang dilakukan. Menurut Sajogyo et al. (1994), jarak kelahiran antar anak yang tidak berdekatan akan meningkatkan kesempatan ibu untuk menyusui bayinya dalam waktu yang lebih lama. Tempat Kelahiran. Contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang dilahirkan di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinim bersalin, puskesmas, dan bidan) sebesar 26,7% yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik, tetapi terdapat 3,3% yang berada pada kategori kurang. Contoh dari kelompok ibu bekerja yang dilahirkan di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, dan bidan) sebesar 53,3% yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik, tetapi terdapat 6,6% yang berada pada kategori kurang. Hasil uji Rank Spearman menunjukkan adanya hubungan negatif yang tidak nyata antara tempat kelahiran dengan pola pemberian ASI pada kedua kelompok contoh. Hal ini menunjukkan
64
adanya kecenderungan tidak selamanya tempat kelahiran di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, dan bidan) menjamin anak mendapatkan pola pemberian ASI yang baik. Penolong Persalinan. Jumlah contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang dilahirkan dengan bantuan dokter atau bidan yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik (26,7%) lebih sedikit dari contoh yang berada pada kategori sedang (60,0%). Sebaliknya, jumlah contoh pada kelompok ibu bekerja yang dilahirkan dengan bantuan dokter atau bidan yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik (56,7%) lebih banyak dari contoh yang berada pada kategori sedang (26,7%). Pada keluarga ibu tidak bekerja terdapat hubungan negatif yang tidak nyata antara penolong persalinan dengan pola pemberian ASI. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang tidak nyata. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan tidak selamanya penolong kelahiran dari tenaga kesehatan (dokter atau bidan) menjamin anak mendapatkan pola pemberian ASI yang baik. Jenis Persalinan. Jumlah contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang dilahirkan secara normal yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik (30,0%) lebih sedikit dari contoh yang berada pada kategori sedang (40,0%). Sebaliknya, jumlah contoh pada kelompok ibu bekerja yang dilahirkan secara normal yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik (50,0%) lebih banyak dari contoh yang berada pada kategori sedang (10,0%). Berdasarkan uji Rank Spearman, terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara jenis persalinan dengan pola pemberian ASI. Pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang nyata antara jenis persalinan dengan pola pemberian ASI (p<0,01). Hal ini berarti jenis persalinan secara normal mendukung pola pemberian ASI yang baik.
65
66
Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian ASI Tabel 47 menunjukkan bahwa sebesar 13,3% responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian ASI yang baik, memiliki pengetahuan gizi yang baik pula. Namun jumlah ini lebih sedikit dari responden yang berpengetahuan gizi sedang (16,7%) dan terdapat 3,3% responden yang berpengetahuan gizi kurang. Sedangkan responden ibu bekerja yang memiliki pengetahuan gizi yang baik, sebesar 46,7% memiliki pola pemberian ASI pada kategori baik, sebesar 26,7% pada kategori sedang, dan 3,3% pada kategori kurang. Terdapat hubungan negatif yang tidak nyata antara pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI pada kedua kelompok contoh. Hal ini diduga walaupun pengetahuan gizi ibu sudah baik belum tentu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tabel 47. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian ASI Pola Pemberian ASI Ibu Tidak Bekerja (n=30)
Pengetahuan Gizi Ibu
Baik Sedang Kurang Nilai Korelasi
Baik n 4 5 1
% 13,3 16,7 3,3
Sedang n % 12 40,0 6 20,0 1 3,3 r=-0.137 p=0.470
Ibu Bekerja (n=30)
Kurang n 1 -
% 3,3 -
Baik n 14 5 -
Sedang
% n % 46,7 8 26,7 16,7 1 3,3 r=-0.078 p=0.682
Kurang n 1 1 -
% 3,3 3,3
Karakteristik Keluarga dengan Pola Pemberian Susu Formula Umur Ibu. Pada Tabel 48 dapat dilihat responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian susu formula yang baik berada pada rentang umur 20-29 tahun (16,7%) dan 30-39 tahun (23,3%). Sedangkan pada responden ibu bekerja pada rentang umur 20-29 tahun (6,7%) dan 30-39 tahun (36,7%). Pada keluarga ibu tidak bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang nyata antara umur ibu dengan pola pemberian susu formula (p<0,05). Pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara umur ibu dengan pola pemberian susu formula. Hal ini berarti semakin bertambah umur ibu maka semakin baik pula pola pemberian susu formula yang dilakukan.
67
Pendidikan Ibu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi terbanyak responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian susu formula yang baik berpendidikan tamat SMU (20,0%) dan lulusan perguruan tinggi (20,0%). Sedangkan pada kelompok ibu bekerja proporsi terbanyak yang memiliki pola pemberian susu formula yang baik merupakan lulusan perguruan tinggi (36,7%). Uji Rank Spearman menjelaskan bahwa adanya hubungan positif yang tidak nyata antara pendidikan ibu dengan pola pemberian susu formula pada kedua kelompok contoh. Dapat dikatakan terdapat kecenderungan semakin tinggi pendidikan ibu yang tidak bekerja maupun yang bekerja maka pola pemberian susu formula yang dilakukan semakin baik. Hal ini diduga tingkat pendidikan ibu yang baik diikuti dengan pengetahuan mengenai pola pemberian susu formula. Pendapatan Keluarga. Berdasarkan Tabel 48 terlihat bahwa proporsi terbesar pendapatan keluarga responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian susu formula yang baik berada pada kategori Rp 150.000-Rp 449.999 sebanyak 20,0%, pada kategori Rp 450.000-Rp 749.999 sebesar 16,7% dan hanya 3,3% yang berpendapatan ≥Rp 1.000.000. Proporsi terbesar pendapatan keluarga responden ibu bekerja yang memiliki pola pemberian susu formula yang baik berada pada kategori ≥Rp 1.000.000 sebanyak 20,0%. Pada keluarga ibu tidak bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara pendapatan keluarga dengan pola pemberian susu formula. Dengan kata lain ada kecenderungan pada ibu tidak bekerja, semakin tinggi pendapatan keluarga maka pola pemberian susu formula semakin baik. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang nyata antara pendapatan keluarga dengan pola pemberian susu formula (p<0,05). Hal ini berarti pada ibu yang bekerja semakin tinggi pendapatan maka semakin baik pola pemberian susu formula. Besar Keluarga. Proporsi terbesar responden ibu tidak bekerja yang memiliki pola pemberian susu formula yang baik berada pada kategori keluarga kecil (30,0%), sebesar 6,7% merupakan keluarga sedang, dan 3,3% merupakan keluarga besar. Proporsi terbesar responden ibu bekerja yang memiliki pola pemberian susu formula
68
yang baik merupakan keluarga kecil (30,0%) dan hanya 13,3% yang merupakan keluarga sedang. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara besar keluarga dengan pola pemberian susu formula pada kedua kelompok contoh. Hal ini berarti terdapat kecenderungan semakin kecil keluarga tersebut semakin baik pola pemberian susu formula nya. Karakteristik Anak dengan Pola Pemberian Susu Formula Urutan Anak. Pada Tabel 49 terlihat bahwa proporsi terbesar contoh dari kelompok ibu tidak bekerja (20,0%) dan kelompok ibu bekerja (36,7%) yang mendapat pola pemberian susu formula yang baik merupakan anak ke-2 atau ke-3. Terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara urutan contoh pada kelompok ibu tidak bekerja dan kelompok ibu bekerja dengan pola pemberian susu formula. Hal ini berarti semakin awal urutan anak maka semakin baik pola pemberian susu formula. Menuru Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung lebih diperhatikan oleh orang tua dibandingkan anak yang lahir kemudian. Jarak Kelahiran. Hasil penelitian menunjukkan contoh yang memiliki jarak kelahiran lebih dari dua tahun dengan anak sebelumnya mendapat pola pemberian susu formula yang baik, yaitu sebanyak 20,0% dari kelompok ibu tidak bekerja dan 36,7% dari kelompok ibu bekerja. Terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara jarak kelahiran contoh keluarga ibu tidak bekerja dan kelompok ibu bekerja dengan pola pemberian susu formula. Hal ini berarti semakin jauh jarak kelahiran anak maka semakin baik pola pemberian susu formula yang dilakukan. Tempat Kelahiran. Contoh dari kelompok ibu tidka bekerja yang dilahirkan di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, dan bidan) sebesar 40,0% yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik, dan tidak ada contoh yang berada pada kategori kurang. Contoh dari kelompok ibu bekerja yang dilahirkan di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, dan bidan) sebesar 36,6% yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik, dan terdapat 6,7% yang dilahirkan di rumah sendiri. Hasil uji Rank Spearman menunjukkan adanya hubungan positif yang tidak nyata antara
69
tempat kelahiran dengan pola pemberian susu formula pada kedua kelompok contoh. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan tempat kelahiran di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, dan bidan) mendorong anak mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik. Penolong Persalinan. Proporsi terbesar contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang dilahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan (dokter atau bidan) yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik sebesar 40,0%. Contoh yang dilahirkan dengan bantuan paraji berada pada kategori sedang (10,0%). Jumlah contoh pada kelompok ibu bekerja yang dilahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan (dokter atau bidan) yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik sebesar 36,7%, jumlah yang berada pada kategori sedang lebih banyak yaitu sebesar 53,3%. Terdapat 6,7% contoh yang dilahirkan dengan bantuan paraji yang memiliki pola pemberian susu formula yang baik. Pada keluarga ibu tidak bekerja terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara penolong persalinan dengan pola pemberian susu formula. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan negatif yang tidak nyata. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan tidak hanya penolong kelahiran dari tenaga kesehatan yang mendorong anak mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik. Jenis Persalinan. Jumlah contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang dilahirkan secara normal yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik lebih sedikit (30,0%) dari contoh yang berada pada kategori sedang (43,3%). Demikian pula pada kelompok ibu bekerja, contoh yang dilahirkan secara normal yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik lebih sedikit (26,7%) dari contoh yang berada pada kategori sedang (36,7%). Selain itu terdapat 6,7% contoh kelompok ibu tidak bekerja dan 16,7% contoh dari kelompok ibu bekerja yang dilahirkan dengan operasi cesar, juga mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik. Berdasarkan uji Rank Spearman, terdapat hubungan negatif yang tidak nyata antara jenis persalinan dengan pola pemberian susu formula pada kedua kelompok contoh. Hal ini berarti tidak hanya jenis persalinan secara normal yang mendukung pola pemberian susu formula yang baik.
70
71
72
Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian Susu Formula Tabel 50 menunjukkan bahwa sebesar 23,3% responden ibu tidak bekerja yang memiliki pengetahuan gizi yang baik, memiliki pola pemberian susu formula pada kategori baik. Namun jumlah ini lebih sedikit dari responden yang berada pada kategori sedang (30,0%). Sedangkan responden ibu bekerja yang memiliki pengetahuan gizi yang baik, sebesar 40,0% memiliki pola pemberian susu formula pada kategori baik, sebesar 36,7% pada kategori sedang. Terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian susu formula. Hal ini berarti ada kecenderungan semakin baik pengetahuan gizi ibu maka pola pemberian susu formula menjadi semakin baik. Tabel 50. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian Susu Formula Pola Pemberian Susu Formula Ibu Tidak Bekerja (n=30)
Pengetahuan Gizi Ibu
Baik Sedang Kurang Nilai Korelasi
Baik n 7 5 -
Sedang
% n 23,3 9 16,7 7 2 r=0.203
Ibu Bekerja (n=30)
Kurang
% n 30,0 23,3 6,7 p=0.282
% -
Baik n 12 1 -
% 40,0 3,3 -
Sedang n % 11 36,7 6 20,0 r=0.343 p=0.063
Kurang n -
% -
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar contoh pada kelompok ibu tidak bekerja dan sebagian kecil contoh pada kelompok ibu bekerja merupakan anak pertama. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan urutan anak dan jarak kelahiran antara kedua kelompok contoh (p<0,05). Tidak ada perbedaan penolong kelahiran, jenis persalinan, dan tempat kelahiran antara kedua kelompok contoh. Hal ini disebabkan hampir seluruh contoh dilahirkan di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, bidan, puskesmas) yang proses kelahirannya dibantu oleh dokter atau bidan, dengan persalinan secara normal/spontan. Sebagian besar responden ibu bekerja dan sebagian kecil responden ibu tidak bekerja berumur 30-39 tahun. Rata-rata umur responden ibu tidak bekerja adalah 28 tahun dan responden ibu bekerja adalah 32 tahun, terdapat perbedaan umur ibu pada kedua kelompok (p<0,01). Tingkat pendidikan lebih dari separuh responden ibu bekerja dan hampir separuh responden ibu tidak bekerja adalah lulusan perguruan tinggi. Rata-rata lama pendidikan ibu pada kelompok ibu tidak bekerja adalah 13 tahun, sedangkan pada kelompok ibu adalah 14 tahun. Tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan ibu pada kedua kelompok contoh. Tingkat pengetahuan gizi separuh responden ibu tidak bekerja dan sebagian besar responden ibu bekerja termasuk kategori baik, terdapat perbedaan tingkat pengetahuan gizi ibu pada kedua kelompok (p<0,05). Rata-rata pendapatan keluarga kelompok ibu bekerja (Rp/kap/bln) adalah Rp 768.472,00 sedangkan pada kelompok ibu tidak bekerja adalah Rp 416.771,00. Hasil uji beda menunjukkan ada perbedaan yang signifikan rata-rata pendapatan keluarga antara kedua kelompok contoh (p<0,01). Tidak terdapat perbedaan besar keluarga pada kedua kelompok contoh karena sebagian besar keluarga responden merupakan keluarga kecil (≤4 orang). Faktor yang berhubungan dengan pemberian susu formula pada kelompok ibu bekerja adalah pendapatan keluarga, pada kelompok ibu tidak bekerja adalah umur ibu. Faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI pada kelompok ibu bekerja
74
adalah besar keluarga, urutan anak, dan jenis persalinan. Sedangkan pada kelompok ibu tidak bekerja adalah jarak kelahiran. Pola pemberian ASI kelompok ibu bekerja nyata lebih baik daripada kelompok ibu tidak bekerja (p<0,05). Namun, tidak terdapat perbedaan pola pemberian susu formula antara kelompok ibu tidak bekerja dengan ibu bekerja Pola pemberian MPASI pada kedua kelompok contoh berada pada kategori sedang sehingga tidak terdapat perbedaan pola pemberian MPASI antara kedua kelompok contoh. Konsumsi total energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi di kedua kelompok baduta contoh sudah memenuhi angka kecukupan yang dianjurkan dan sebagian besar baduta contoh termasuk kategori cukup. Berdasarkan uji beda Mann Whitney tidak ada perbedaan kategori tingkat konsumsi energi pada kedua kelompok. Pada kedua kelompok contoh, rata-rata konsumsi energi dan vitamin A dari makanan lebih besar daripada konsumsi dari ASI dan susu formula. Rata-rata konsumsi protein, vitamin C, kalsium, dan zat besi dari susu formula lebih besar daripada konsumsi ASI dan makanan. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan konsumsi zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi) total, konsumsi zat gizi dari ASI, susu formula dan makanan pada kedua kelompok contoh. Kontribusi energi, protein, dan vitamin A dari makanan terhadap konsumsi dan tingkat konsumsi lebih besar daripada kontribusi ASI dan susu formula. Tetapi kontribusi vitamin C, kalsium, dan zat besi dari susu formula terhadap konsumsi dan tingkat konsumsi lebih besar daripada ASI dan makanan. Kontribusi zat gizi dari ASI, susu formula, dan makanan terhadap konsumsi total dan kecukupan tidak ada perbedaan menurut uji beda t pada kedua kelompok.
75
Saran 1. Perlu diadakan kampanye gerakan sadar ASI kepada masyarakat agar konsumsi ASI oleh bayi dan anak baduta semakin bertambah. 2. Perlu dilakukan pelatihan tatalaksana pemberian ASI kepada tenaga kesehatan (dokter dan bidan) dan kader posyandu agar mendukung para ibu untuk menyusui secara optimal. 3. Perlu dilakukan penyuluhan tentang pemberian susu formula yang baik kepada masyarakat agar tidak menghambat praktek pemberian ASI. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai : (1) pola pemberian susu formula anak baduta di wilayah kota dan desa, (2) riil konsumsi ASI (bukan berdasarkan estimasi) selanjutnya dianalisis kontribusi dari ASI, susu formula, dan makanan terhadap zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi).
DAFTAR PUSTAKA Albernaz, E., C.G. Victoria, H. Haisma, A. Wright, & W.A. Coward. 2003. Lactation counselling increases breast-feeding duration but not breast milk intake as measured by isotopic methods. Journal of Nutrition, 133, 205-209. Anonymous. 2004. Sumberdaya manusia mendatang tergantung ASI eksklusif. 12 Oktober.http://www.republika.co.id/. Arimond, M. & M.T. Ruel. 2004. Dietary diversity is asociated with child nutritional status : evidence from 11 demographic and health surveys. American Society for Nutrition Sciences. http://www.nutrition.org As’ad, S. 2002. Gizi-Kesehatan Ibu dan Anak. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Atmarita & T.S. Fallah. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Dalam Prosiding WNPG VIII. LIPI, Jakarta. Azwar, A. 2003. Pelaksanaan Pemberian ASI Eksklusif di Indonesia. Warta Kesehatan Masyarakat, Ed.6, Juni, hlm.1-3. _________. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. Dalam Prosiding WNPG VIII. LIPI, Jakarta. Baker, J.L., K.F. Michaelsen, K.M. Rasmussen, & T.I.A. Sorensen. 2004. Maternal prepregnant body mass index, duration of breastfeeding, and timing of complementary food introduction are associated with infant weight gain. American Society for Clinical Nutrition. http://www.ajcn.org Berg, A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional (Z.D.Noer, penerjemah). Rajawali, Jakarta. Besar, D. S. 2001. Ibu Menyusui dan Bekerja. Makalah disajikan dalam seminar Telaah Mutakhir Tentang ASI, Bali, 19 Oktober. Bhandari, N., S. Mazumder, R. Bahl, J. Martines. R.E. Black, & M.K. Bhan. 2000. An educational intervention to promote appropriate complementary feeding practices and physical growth in infants and young children in rural Haryana, India. American Society for Nutrition Sciences. http://www.nutrition.org. BPS. 1999. Indikator Sosial Wanita Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
77
BPS. 2003. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta. Depkes. 1985. Buku Pedoman Penggunaan Pengganti Air Susu Ibu, Jakarta. ______. 1994. Hasil Pentaloka ASI Eksklusif. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, Jakarta. ______. 1996. Panduan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Jakarta. ______. 1997. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 237/Menkes/SK/IV/1997. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. ______. 2000. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat, Jakarta. Eckhardt, C.L., J. Rivera, L.S. Adair, & R. Martorell. 2001. Full breast-feeding for at least four months has differential effects on growth before and after six months of age among children in a Mexican community. American Society for Nutritional Sciences. http://www.nutrition.org Engle, P.L., P. Menon, L. Hadad. 1997. Care and Nutrition : Concepts and Measurement. International Food Policy Research Institute, Washington D.C. Fikawati, S. & A. Syafiq. 2003. Hubungan antara Menyusui Segera (Immediate Breastfeeding) dan Pemberian ASI Eksklusif sampai dengan 4 Bulan. Jurnal Kedokteran Trisakti, 22 (2), 47-53. Fitrisia, D.W. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibu dalam Pemberian Susu Formula pada Bayi Umur 0-12 Bulan. Skripsi Sarjana. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Hardinsyah, & D. Martianto. 1992. Gizi Terapan. Depdikbud, Dikti, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Harper, B.J. Deaton & Y.A. Driskel. 1986. Gizi dan Pertanian (Suhardjo, penerjemah). UI Press, Jakarta. Hruschka, D. J., D.W. Sellen, A.D. Stein & R. Martorell. 2003. Delayed onset of lactation and risk of ending full breast-feeding early in rural Guatemala. American Society for Nutritional Sciences. http://www.nutrition.org Hurlock, E.B. 2000. Perkembangan Anak (Jilid 2). Erlangga, Jakarta.
78
Joint FAO/WHO Food Standards Programme. Codex Alimentarius Commissio. 1994. Codex Alimentarius Volume Four. Foods for Special Dietary Uses (Including Foods for Infant and Children). FAO-WHO, Rome. Latief, D., Atmarita, Minarto, A.B. Jahari & R. Tilden. 2000. Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama krisis Ekonomi. Dalam Prosiding WNPG VII. LIPI, Jakarta. Karmini, M., Briawan, D. 2004. Acuan Label Gizi. Dalam Prosiding WNPG VIII. LIPI, Jakarta. Khomsan, A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. __________. 2002. Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. __________. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Krisnatuti, D & Yenrina, R. 2002. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Puspa Swara, Jakarta. Madanijah, S. 2003. Model Pendidikan ”KELUARGA-SEHAT” bagi Ibu serta Dampaknya terhadap Perilaku Ibu, Lingkungan Pembelajaran, Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Usia Dini. Disertasi Doktor IPB, Bogor. Martianto, D. & M. Ariani. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir. Dalam Prosiding WNPG VIII. LIPI, Jakarta. Masoara. 2001. Sindrom ASI Kurang. Makalah disajikan dalam Seminar telaah Mutakhir Tentang ASI, Bali, 19 Oktober 2001. Muchtadi, D. 2002. Gizi Untuk Bayi : ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Pudjiadi, S. 2000. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta. Roesli, U. 2001. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif. Elex Media Komputindo, Jakarta. Roesli, U. 2004. Mengenal ASI Eksklusif. Trubus Agriwidya, Jakarta.
79
Satoto. 1990. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Disertasi Doktor, Undip, Semarang. Sayogyo, Goenardi, S. Rusli, S. S. Harjadi, M. Khumaidi. 1994. Menuju Gizi Baik yang Merata di Pedesaan dan di Kota. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Soekarto, P. 2005. Jalan panjang menyukseskan program asi eksklusif 6 bulan. Majalah Warta Konsumen, Ed. Februari, hlm. 10-14. Simondon, K.B., F. Simondon, R. Costes, V. Delaunay & A. Diallo. 2001. Breastfeeding is associated with improved growth in length, but not weight, in rural Senegalese toddlers. American Journal of Clinical Nutrition,73, 959-967. http://www.ajcn.org. Slamet. 1993. Analisis Kuantitatif untuk Data Sosial. Dabara Publisher, Solo. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Pusat Antar Universitas. IPB, Bogor. _______. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Kerjasama Bumi Aksara dan PAU Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Sulistijani, D.A. & Herlianty, M.P. 2003. Menjaga kesehatan Bayi dan Balita. Puspa Swara, Jakarta. Sukarni, M. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Supariasa, I.D.N., B. Bakri, & I. Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Suradi, R. 1986. Peranan Lingkungan untuk Menunjang Keberhasilan Laktasi. Dalam Gizi Ibu dan Bayi : Peningkatan Mutu (Samsudin & Tjokronegoro, A. Ed.) FKUI, Jakarta. Syarief, H. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia Berkualitas. Orasi ilmiah Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Welford, H. 2001. Ibu dan Anak (D. A. Pitaloka, penerjemah). Dalam D. Pangemanan (Ed.). Menyusui Bayi Anda, Dian Rakyat, Jakarta. WHO. 2002. Complementary Feeding of Young Children in Developing Countries. New York.
80
WHO. 2002. Growth of healthy infants and the timing, type, and frequency of complementary foods. American Journal of Clinical Nutrition. http://www.ajcn.org. Winarno, F. G. 1995. Gizi dan Makanan pada Bayi dan Anak. Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
82
Lampiran 1. Hasil Mann Whitney Test karakteristik keluarga, karakteristik contoh, tingkat pengetahuan gizi ibu, kategori akses informasi, dan kategori pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI
Karakteristik Keluarga No. Variabel penelitian 1. Usia ayah 2. Usia ibu 3. Pendidikan ayah 4. Pendidikan ibu 5. Pekerjaan ayah 6. Pendapatan keluarga (batas kemiskinan) 7. Besar keluarga
p 0.089 0.004** 0.153 0.120 0.511 1.000 0.710
Karakteristik Anak Baduta No. Variabel penelitian 1. Usia contoh 2. Jenis kelamin 3. Urutan anak 4. Jarak lahir 5. Tempat lahir 6. Penolong kelahiran 7. Jenis persalinan
p 0.039* 0.440 0.044* 0.045* 0.763 1.000 0.397
No. 1. 2. 3. 4. 5.
p 0.044* 0.795 0,522 0.587 0.047*
Variabel penelitian Kategori pola pemberian ASI Kategori pola pemberian susu formula Kategori pola pemberian MPASI Kategori akses informasi Tingkat pengetahuan gizi ibu
Keterangan : * Nyata pada taraf kepercayaan 95%
83
Lampiran 2. Hasil Independent Sample t Test pola pemberian ASI, susu formula, dan Makanan Pendamping ASI (MPASI)
No. 1.
Variabel penelitian Tingkat pendapatan keluarga (Rp/kap/bln)
p 0,000**
Pola Pemberian ASI No. Variabel penelitian 1. Pemberian kolostrum 2. Umur bayi waktu pertama kali ibu menyusui 3. Penggunaan kedua payudara 4. Tindakan ibu jika anak menolak ASI 5. Pemberian ASI jika anak sedang sakit 6. Pemberian ASI saat ini 7. Pemberian makanan pralaktal
p 0.286 0.194 0.229 0.300 1.000 0.605 0.032*
Pola Pemberian Susu Formula No. Variabel penelitian 1. Usia anak saat diberi susu formula 2. Ketepatan frekuensi pemberian susu formula 3. Penggunaan sendok takar 4. Ketepatan pengenceran 5. Perebusan botol 6. Pemberian susu yang bersisa
p 0.104 1.000 0.028* 0.791 0.744 0.087
Pola Pemberian MPASI No. Variabel penelitian 1. Usia anak saat diberi MPASI 2. Jenis MPASI pertama
p 0.785 0.744
Keterangan : * Nyata pada taraf kepercayaan 95% ** Nyata pada taraf kepercayaan 99%
84
Lampiran 3. Hasil Independent Sample t Test konsumsi pangan anak baduta Variabel Penelitian Konsumsi total energi Konsumsi total protein Konsumsi total vitamin A Konsumsi total vitamin C Konsumsi total kalsium Konsumsi total zat besi Rata-rata konsumsi energi ASI Rata-rata konsumsi protein ASI Rata-rata konsumsi vitamin A ASI Rata-rata konsumsi vitamin C ASI Rata-rata konsumsi kalsium ASI Rata-rata konsumsi zat besi ASI Kontribusi energi ASI terhadap konsumsi total energi Kontribusi protein ASI terhadap konsumsi total protein Kontribusi vit. A ASI terhadap konsumsi total vit. A Kontribusi vit. C ASI terhadap konsumsi total vit. C Kontribusi kalsium ASI terhadap konsumsi total kalsium Rata-rata konsumsi energi susu formula Rata-rata konsumsi protein susu formula Rata-rata konsumsi vitamin A susu formula Rata-rata konsumsi vitamin C susu formula Rata-rata konsumsi kalsium susu formula Rata-rata konsumsi zat besi susu formula Kontribusi energi susu formula terhadap konsumsi total energi Kontribusi protein susu formula terhadap konsumsi total protein Kontribusi vit. A susu formula terhadap konsumsi total vit. A Kontribusi vit. C susu formula terhadap konsumsi total vit. C Kontribusi kalsium susu formula terhadap konsumsi total kalsium Kontribusi zat besi susu formula terhadap konsumsi total zat besi Rata-rata konsumsi energi susu formula Rata-rata konsumsi protein susu formula Rata-rata konsumsi vitamin A susu formula Rata-rata konsumsi vitamin C susu formula Rata-rata konsumsi kalsium susu formula Rata-rata konsumsi zat besi susu formula Kontribusi energi susu formula terhadap konsumsi total energi Kontribusi protein susu formula terhadap konsumsi total protein Kontribusi vit. A susu formula terhadap konsumsi total vit. A Kontribusi vit. C susu formula terhadap konsumsi total vit. C Kontribusi kalsium susu formula terhadap konsumsi total kalsium Kontribusi zat besi susu formula terhadap konsumsi total zat besi
p 0.316 0.579 0.642 0.652 0.629 0.864 0.910 0.910 0.910 0.910 0.910 0.910 0.710 0.843 0.686 0.732 0.454 0.505 0.657 0.642 0.630 0.552 0.673 0.569 0.939 0.486 0.522 0.103 0.961 0.429 0.736 0.731 0.244 0.111 0.647 0.703 0.978 0.734 0.537 0.172 0.961
85
Lampiran 4 . Hasil Independent Sample t Test kecukupan zat gizi anak baduta
Variabel Penelitian Tingkat kecukupan energi Tingkat kecukupan protein Tingkat kecukupanvitamin A Tingkat kecukupanvitamin C Tingkat kecukupan kalsium Tingkat kecukupan zat besi Kategori tingkat kecukupan energi Kategori tingkat kecukupan protein Kategori tingkat kecukupan vitamin A Kategori tingkat kecukupan vitamin C Kategori tingkat kecukupan kalsium Kategori tingkat keceukupan zat besi Kontribusi energi ASI terhadap kecukupan Kontribusi protein ASI terhadap kecukupan Kontribusi vitamin A ASI terhadap kecukupan Kontribusi vitamin C ASI terhadap kecukupan Kontribusi kalsium ASI terhadap kecukupan Kontribusi energi susu formula terhadap kecukupan Kontribusi protein susu formula terhadap kecukupan Kontribusi vitamin A susu formula terhadap kecukupan Kontribusi vitamin C susu formula terhadap kecukupan Kontribusi kalsium susu formula terhadap kecukupan Kontribusi zat besi susu formula terhadap kecukupan Kontribusi energi makanan terhadap kecukupan Kontribusi protein makanan terhadap kecukupan Kontribusi vitamin A makanan terhadap kecukupan Kontribusi vitamin C makanan terhadap kecukupan Kontribusi kalsium makanan terhadap kecukupan Kontribusi zat besi makanan terhadap kecukupan
p 0.326 0.680 0.707 0.589 0.971 0.974 0.154 1.000 0.169 1.000 0.226 1.000 0.991 0.991 0.991 0.991 0.991 0.596 0.773 0.727 0.780 0.707 0.852 0.341 0.617 0.766 0.280 0.138 0.691
86
Lampiran 5. Hasil korelasi Rank Spearman antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI dan susu formula
Variabel Penelitian
Pola pemberian ASI r p
Pola pemberian susu formula r p
Kelompok ibu tidak bekerja - umur ibu - pendidikan ibu - pendapatan keluarga - besar keluarga - urutan anak - jarak kelahiran - tempat kelahiran - penolong kelahiran - jenis persalinan - pengetahuan gizi ibu
0.179 -0.130 -0.143 0.173 0.246 0.414* -0.211 -0.357 0.084 -0.137
0.344 0.493 0.452 0.361 0.191 0.023 0.264 0.052 0.660 0.470
0.365* 0.194 0.158 0.199 0.267 0.207 0.242 0.239 -0.072 0.203
0.048 0.305 0.405 0.292 0.154 0.273 0.198 0.203 0.249 0.282
Kelompok ibu bekerja - umur ibu - pendidikan ibu - pendapatan keluarga - besar keluarga - urutan anak - jarak kelahiran - tempat kelahiran - penolong kelahiran - jenis persalinan - pengetahuan gizi ibu
-0.158 -0.179 0.059 0.362* 0.366* 0.097 -0.251 0.097 0.517** -0.078
0.406 0.345 0.758 0.049 0.046 0.611 0.182 0.610 0.003 0.682
0.092 0.340 0.462** 0.304 0.295 0.298 0.147 -0.104 -0.073 0.343
0.132 0.066 0.010 0.102 0.114 0.110 0.439 0.585 0.702 0.063
Keterangan : * Nyata pada taraf kepercayaan 95% ** Nyata pada taraf kepercayaan 99%