14
PERBEDAAN PERKEMBANGAN ANAK BALITA PADA IBU BEKERJA DAN IBU TIDAK BEKERJA PENILAIAN MENGGUNAKAN METODE DENVER II
TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga
OLEH : ADHI ARIYANTI S520908001
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
15
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi ini jumlah wanita yang bekerja semakin meningkat, baik di sektor formal maupun informal. Berdasar hasil Survei Angkatan Kerja Nasional/ Sakernas tahun 2006, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan adalah 48,63 %, sedangkan berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional/Sakernas tahun 2007, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat menjadi 49,5 %. (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia,2009). Di satu sisi mereka dituntut bekerja di luar rumah dan di sisi lain mereka juga dituntut untuk mengerjakan pekerjaan rutin rumah tangga. Peran ganda ini merupakan fenomena baru yang terjadi bukan hanya terjadi di kota tetapi juga banyak terjadi di pedesaan. Hal ini perlu dicermati karena akan menimbulkan dampak sosialnya bagi pembinaan keluarga serta pada perubahan proses adaptasi di lingkungan pekerjaan maupun di lingkungan keluarga. Masa lima tahun pertama kehidupan merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan dan masa ini berlangsung sangat pendek serta tidak dapat diulang lagi, maka masa balita disebut sebagai ”Masa Keemasan” (Golden Period), ”Jendela Kesempatan”(Window of Opportunity) dan ”Masa Kritis” (Critical Period) (Depkes RI,2005), diperlukan rangsangan/stimulasi yang berguna agar potensi berkembang, sehingga perlu mendapat perhatian. Perkembangan anak akan optimal bila interaksi sosial diusahakan sesuai dengan kebutuhan anak pada berbagai tahap perkembangannya, bahkan sejak bayi masih didalam kandungan. Sedangkan
16
lingkungan yang tidak mendukung akan menghambat perkembangan anak. (Soetjiningsih,1995) Bekerja atau tidak bekerja setelah melahirkan merupakan dilema yang umum dihadapi para ibu bekerja. Zaman sekarang sebagian besar para ibu memilih kembali bekerja setelah melahirkan, meski menyadari kembali bekerja berarti harus mempekerjakan tenaga pengasuh untuk merawat anak selama ibu bekerja. Pendapat Kiong M.(2008), alasan bekerja bagi wanita yang sudah berkeluarga antara lain karena harus membantu suami meringankan beban ekonomi keluarga yang semakin sulit, alasan lain karena merasa perlu mengantisipasi kondisi terjelek jika, misalnya suami dikeluarkan dari perkerjaan sehingga harus menggantikan posisi sebagai pencari nafkah, atau terpaksa harus menjadi orang tua tunggal akibat perceraian, dan lain-lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah ekonomi menempati posisi pertama sebagai sumber masalah terbesar dalam kehidupan rumah tangga. Karena itu, kalau seorang ibu rumah tangga tetap mempunyai andil dalam ekonomi keluarga, maka ibu tersebut memiliki kesetaraan posisi dan peran sehingga istri lebih dihargai oleh suami. Sebagai perbandingan dalam penelitian Gold,et.al.(1979), Birnbaum (1975), dan Hoffman (1980) cit Atkinson,et.al.(1983) ditunjukkan bahwa memiliki seorang ibu yang bekerja nampaknya lebih menguntungkan bagi anak perempuan daripada bagi anak laki-laki dan anak perempuan yang mempunyai ibu yang bekerja cenderung lebih dapat mandiri, lebih dapat menyesuaikan diri dalam pergaulan, cenderung berprestasi baik secara akademis serta bercita-cita mencapai suatu karier dibandingkan dengan anak perempuan yang memiliki ibu yang tidak bekerja. Penelitian yang dilakukan oleh Brown (1970) dan Banducci (1967) cit Atkinson,et.al.(1983) menunjukkan bahwa anak laki-laki yang memiliki ibu yang
17
bekerja juga lebih mandiri dan lebih dapat menyesuaikan diri daripada anak-anak laki-laki yang memiliki ibu yang tidak bekerja, akan tetapi di sekolah dan dalam testes kemampuan kognitif mereka tidak begitu baik. Cara penilaian perkembangan anak salah satunya menggunakan metode Denver II, metode skrining terhadap kelainan perkembangan anak, perkembangan anak disusun berdasarkan urutan perkembangan dan diatur dalam 4 kelompok besar yang disebut sektor perkembangan, yang meliputi: Personal social (perilaku sosial), Fine motor adaptive (gerakan motorik halus), Language (bahasa), Gross motor (gerakan motorik kasar). (Soetjiningsih,1995) Uraian di atas merujuk pada suatu kesimpulan bahwa ibu memiliki peranan dalam perkembangan anak. Oleh karena itu peneliti bermaksud meneliti mengenai perbedaan perkembangan anak balita pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja dengan menggunakan metode Denver II.
A. Rumusan masalah Adakah perbedaan perkembangan anak balita menggunakan metode Denver II pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja?
B. 1.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum Untuk mengetahui berberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan anak balita dengan menggunakan metode Denver II.
18
2.
Tujuan Khusus Untuk mengetahui perbedaan perkembangan anak balita menggunakan metode Denver II pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja.
C. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat bidang akademik Membuktikan secara empiris bahwa terdapat perbedaan perkembangan anak balita pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja.
2.
Manfaat bidang Pelayanan Untuk pendampingan bagi ibu-ibu yang bekerja dalam merawat anak supaya tumbuh kembang anak optimal.
19
BAB II LANDASAN TEORI
A. Perkembangan Anak Balita
1. Masa anak balita Anak balita adalah anak dibawah lima tahun. Pada masa ini, kecepatan pertumbuhan mulai menurun dan terdapat kemajuan dalam perkembangan motorik (gerak kasar dan gerak halus) serta fungsi ekskresi. Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah pada masa balita. Pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. (Depkes RI,2005) Setelah lahir terutama pada 3 tahun pertama kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak masih berlangsung, dan terjadi pertumbuhan serabutserabut syaraf dan cabang-cabangnya, sehingga terbentuk jaringan syaraf dan otak yang kompleks. Jumlah dan pengaturan hubungan-hubungan antar sel syaraf ini akan sangat mempengaruhi segala kinerja otak, mulai dari kemampuan belajar, berjalan, mengenal huruf, hingga bersosialisasi. (Depkes RI,2005) Pada masa balita, perkembangan kemampuan bicara dan bahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan
berikutnya.
Perkembangan
moral serta dasar-dasar
kepribadian anak juga dibentuk pada masa ini, sehingga setiap kelainan atau penyimpangan sekecil apapun, bila tidak dideteksi serta tidak ditangani dengan baik, akan mengurangi kualitas sumber daya manusia di kemudian hari. (Depkes RI,2005)
20
2. Definisi Perkembangan Anak Menurut
Soetjiningsih
(1995),
perkembangan
adalah
bertambahnya
kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Pendapat Alva (2005), dalam istilah psikologi, perkembangan merupakan serangkaian perubahan yang progresif akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Dengan kata lain tidak sekedar pertumbuhan fisik melainkan proses yang kompleks dan terintegrasi. Menurut Mussen,etal. (1984), perkembangan dapat didefinisikan sebagai perubahan bentuk fisik, struktur saraf, perilaku dan sifat yang terbentuk secara teratur dan berlangsung terus. Kesimpulan dari definisi Perkembangan anak balita adalah perubahan yang progresif dari bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks berupa perubahan bentuk fisik, struktur saraf, perilaku dan sifat dalam pola yang teratur, berlangsung terus dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan dan pengalaman pada masa anak usia 0 – 59 bulan.
3. Aspek-aspek perkembangan anak balita Sutji (1991) berpendapat, perkembangan anak balita pada tahun pertama yang bisa kita amati adalah pertumbuhan fisik. Pertumbuhan fisik ini berupa pertumbuhan
21
tulang, pertumbuhan otot, yang diikuti oleh perkembangan kemampuan bergerak yang lebih luas. Pada masa ini faktor kematangan biologis sangat berperan, artinya tanpa latihan-latihan yang berarti, bayi akan menguasai gerakan-gerakan tertentu (misal: tengkurap, duduk, merangkak dan lain sebagainya). Dalam hal ini faktor gizi sangat memegang peranan penting. Pendapat Soetjiningsih (1995), perkembangan anak balita berdasarkan skala yaumil-mimi sebagai berikut: 1) Dari lahir sampai 3 bulan, -
belajar mengangkat kepala
-
belajar mengikuti obyek dengan matanya
-
melihat ke muka orang dengan tersenyum
-
bereaksi terhadap suara/bunyi
-
mengenal ibunya dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, dan kontak
-
menahan barang yang dipegangnya
-
mengoceh spontan atau bereaksi dengan mengoceh
2) Dari 3 sampai 6 bulan, -
mengangkat kepala 90 derajat dan mengangkat dada dengan bertopang tangan
-
mulai belajar meraih benda-benda yang ada dalam jangkauannya atau di luar jangkauannya
-
menaruh benda-benda di mulutnya
-
berusaha memperluas lapangan pandangan
-
tertawa dan menjerit karena gembira bila diajak bermain
-
mulai berusaha mencari benda-benda yang hilang
3) Dari 6 sampai 9 bulan,
22
-
dapat duduk tanpa dibantu
-
dapat tengkurap dan berbalik sendiri
-
dapat merangkak meraih benda atau mendekati seseorang
-
memindahkan benda dari satu tangan ke tangan yang lain
-
memegang benda kecil dengan ibu jari dan jari telunjuk
-
bergembira dengan melempar benda-benda
-
mengeluarkan kata-kata yang tanpa arti
-
mengenal muka anggota-anggota keluarga dan takut kepada orang asing/lain
-
mulai berpartisipasi dalam permainan tepuk tangan dan sembunyi-sembunyian
4) Dari 9 sampai 12 bulan, -
dapat berdiri sendiri tanpa dibantu
-
dapat berjalan dengan dituntun
-
menirukan suara
-
mengulang bunyi yang didengarnya
-
belajar menyatakan satu atau dua kata
-
mengerti perintah sederhana atau larangan
-
memperlihatkan minat yang besar dalam mengeksplorasi
sekitarnya, ingin
menyentuh apa saja dan memasukkan benda-benda ke mulutnya -
berpartisipasi dalam permainan
5) Dari 12 sampai 18 bulan, -
berjalan dan mengeksplorasi rumah serta sekeliling rumah
-
menyusun 2 atau 3 kotak
-
dapat mengatakan 5 – 10 kata
-
memperlihatkan rasa cemburu dan rasa bersaing
23
6) Dari 18 sampai 24 bulan -
naik turun tangga
-
menyusun 6 kotak
-
menunjuk mata dan hidungnya
-
menyusun dua kata
-
belajar makan sendiri
-
menggambar garis di kertas atau pasir
-
mulai belajar mengontrol buang air besar dan buang air kecil/kencing
-
menaruh minat kepada apa yang dikerjakan oleh orang-orang yang lebih besar
-
memperlihatkan minat kepada anak lain dan bermain-main dengan mereka
7) Dari 2 sampai 3 tahun, -
belajar meloncat, memanjat, melompat dengan satu kaki
-
membuat jembatan dengan 3 kotak
-
mampu menyusun kalimat
-
mempergunakan kata-kata saya, bertanya, mengerti kata-kata yang ditujukan kepadanya
-
menggambar lingkaran
-
bermain bersama dengan anak lain dan menyadari adanya lingkungan lain di luar keluarganya
8) Dari 3 sampai 4 tahun, -
berjalan-jalan sendiri mengunjungi tetangga
-
berjalan pada jari kaki
-
belajar berpakaian dan membuka pakaian sendiri
-
menggambar garis silang
24
-
menggambar orang hanya kepala dan badan
-
mengenal 2 atau 3 warna
-
bicara dengan baik
-
menyebut namanya, jenis kelamin dan umurnya
-
banyak bertanya
-
bertanya bagaimana anak dilahirkan
-
mengenal sisi atas, sisi bawah, sisi muka, sisi belakang
-
mendengarkan cerita-cerita
-
bermain dengan anak lain
-
menunjukkan rasa sayang kepada saudara-saudararnya
-
dapat melaksanakan tugas-tugas sederhana
9) Dari 4 sampai 5 tahun, -
melompat dan menari
-
menggambar orang terdiri dari kepala, lengan, badan
-
menggambar segi empat dan segitiga
-
pandai bicara
-
dapat menghitung jari-jarinya
-
dapat menyebut hari-hari dalam seminggu
-
mendengar dan mengulang hal-hal penting dan cerita
-
minat kepada kata baru dan artinya
-
memprotes bila dilarang apa yang diingininya
-
mengenal 4 warna
-
memperkirakan bentuk dan besarnya benda, membedakan besar dan kecil
-
menaruh minat kepada aktivitas orang dewasa.
25
Aspek-aspek perkembangan anak antara lain: a.
Perkembangan Motorik Perkembangan Motorik. Pendapat Santrock (2007), menurut teori sistem
dinamik, perkembangan motorik bukanlah proses pasif di mana gen menentukan penyempurnaan urutan keterampilan seiring berjalannya waktu, sebaliknya anak secara aktif membangun keterampilan mencapai tujuan dalam batas yang ditentukan oleh tubuh anak dan lingkungannya. Perkembangan motorik merupakan proses tumbuh kembang kemampuan gerak seorang anak. Setiap gerakan yang dilakukan anak merupakan hasil pola interaksi yang kompleks dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang dikontrol oleh otak. Perkembangan motorik meliputi perkembangan motorik kasar dan motorik halus. 1)
Perkembangan motorik kasar. Perkembangan bayi tahun pertama. Pendapat
Santrock (2007), bayi yang baru lahir tidak dapat dengan sengaja mengendalikan posturnya. Meskipun demikian, dalam beberapa minggu, bayi dapat menegakkan kepala dan segera setelahnya bayi dapat mengangkat kepala ketika sedang menelungkup. Duduk. Pada usia 2 bulan, bayi dapat duduk jika disangga di atas pangkuan atau dalam kursi bayi, tetapi mereka tidak dapat duduk sendiri hingga usia 6 sampai 7 bulan. Merangkak dan merayap. Mussen (1984) berpendapat, usia rata-rata untuk dapat merangkak (bergerak dengan perut terletak pada lantai) kurang lebih 9 bulan, merayap dengan tangan dan lutut terlihat sekitar usia 10 bulan. Berdiri. Pendapat Santrock (2007), berdiri juga berkembang secara bertahap selama tahun pertama kehidupan. Saat usianya 8 bulan, bayi biasanya belajar
26
mengangkat dirinya sendiri ke atas dan berpegangan pada kursi dan banyak yang sudah dapat berdiri sendiri sekitar usia 10 hingga 12 bulan. Belajar Berjalan, menurut Santrock (2007), gerakan dan kendali postur tubuh berhubungan dekat, terutama dalam berjalan lurus. Untuk berjalan lurus, bayi harus mampu menyeimbangkan diri di atas satu kaki saat yang lain berayun ke depan dan juga memindahkan berat badan dari satu kaki ke kaki yang lain. Bahkan bayi yang masih kecil dapat membuat gerakan kaki yang berganti-ganti yang diperlukan ketika berjalan. Jalan saraf yang mengendalikan pergantian kaki telah ada sejak usia yang sangat dini, mungkin bahkan sejak lahir atau sebelumnya. Pendapat Mussen (1984), rata-rata anak berdiri sendiri pada usia 11 bulan, berjalan dengan dituntun satu tangan pada usia 1 tahun dan dapat berjalan sendiri, walaupun dengan kesulitan pada usia 13 bulan. Hasan (2009) berpendapat, anak akan belajar mundur pada usia 12 bulan 1 minggu sampai 16 bulan. Menurut Mussen (1984), pada usia 18 bulan seorang anak dapat naik dan turun tangga tanpa bantuan (dan biasanya tidak terjatuh) dan dapat menarik mainan sepanjang lantai. Menurut Santrock (2007), bayi melakukan gerakan menendang berganti-ganti yang cukup sering sepanjang enam bulan pertama kehidupan saat mereka berbaring telentang. Juga ketika bayi berusia 1 atau 2 bulan dipegangi dengan kaki menyentuh treadmill yang sedang bergerak, mereka menunjukkan langkah berganti-ganti yang terkoordinasi dengan baik. Meskipun memiliki kemampuan dini ini, kebanyakan bayi tidak belajar berjalan hingga sekitar ulang tahun pertama mereka Perkembangan anak di tahun kedua. Santrock (2007) berpendapat, pencapaian motorik
pada
tahun
pertama
menyebabkan
meningkatnya
kemandirian,
memungkinkan bayi untuk menjelajahi lingkungannya dengan lebih leluasa dan untuk
27
memulai interaksi dengan orang lain dengan lebih siap. Pada tahun kedua kehidupan, anak balita menjadi lebih terampil secara motorik dan lebih aktif. Mereka tidak lagi diam di satu tempat tetapi ingin bergerak ke seluruh ruangan. Ahli perkembangan anak percaya bahwa aktivitas motorik selama tahun kedua berperan penting bagi perkembangan kompetensi anak dan bahwa hanya sedikit batasan, kecuali untuk keamanan, yang perlu diberikan dalam petualangan mereka. Saat berusia 13 hingga 18 bulan, anak dapat menarik sebuah mainan yang melekat pada seutas tali dan menggunakan tangan dan kakinya untuk memanjat sejumlah anak tangga. Saat berusia 18 hingga 24 bulan, anak dapat berjalan cepat atau berlari dengan kaku dengan jarak pendek, seimbang di atas kaki dalam posisi jongkok saat bermain dengan objek di lantai, berjalan mundur tanpa kehilangan keseimbangan, berdiri dan menendang bola tanpa jatuh, berdiri dan melempar bola, serta melompatlompat di tempat. Saat berusia 3 tahun, anak menikmati gerakan sederhana, seperti loncatloncatan, melompat, dan lari ke sana kemari hanya demi kesenangan murni melakukan aktivitas tersebut. Mereka mendapatkan rasa bangga dalam menunjukkan bagaimana mereka dapat berlari melintasi ruangan dan melompat sejauh 6 inci. Aktivitas berlari melompat tersebut merupakan sumber kebanggaan. Saat berusia 4 tahun, anak masih menikmati aktivitas yang sama, tetapi mereka menjadi lebih suka berpetualang. Mereka memanjat dengan tangkas, meskipun mereka sudah lama mampu memanjat tangga dengan satu kaki di setiap anak tangga, mereka baru mulai mampu menuruni tangga dengan cara yang sama. Di usia 5 tahun, anak semakin menyukai petualangan dibandingkan ketika mereka berusia 4 tahun. Bukanlah hal yang luar biasa bagi anak usia 5 tahun yang
28
percaya diri untuk melakukan adegan yang menakutkan seperti memanjat suatu objek. Mereka berlari cepat dan menyenangi balapan satu sama lain dan dengan orang tua. Otot-otot besar dan sebagian atau seluruh anggota tubuh digunakan oleh anak untuk melakukan gerakan tubuh. Perkembangan motorik kasar dipengaruhi oleh proses kematangan anak. Karena proses kematangan setiap anak berbeda, maka laju perkembangan seorang anak bisa saja berbeda dengan anak lainnya. 2)
Perkembangan motorik halus. Perkembangan motorik halus merupakan
perkembangan gerakan anak yang menggunakan otot-otot kecil atau sebagian anggota tubuh tertentu. Keterampilan motorik halus melibatkan gerakan yang diatur secara halus. Perkembangan pada aspek ini dipengaruhi oleh kesempatan anak untuk belajar dan berlatih. Menggenggam mainan, mengancingkan baju atau melakukan keterampilan tangan menunjukkan keterampilan motorik halus. Masa Bayi, Santrock (2007) berpendapat, bayi sangat sedikit memiliki kontrol terhadap keterampilan motorik halus sewaktu lahir, tetapi mereka memiliki banyak komponen hal yang akan menjadi gerakan lengan, tangan dan jari yang terkoordinasi. Awal mula meraih dan menggenggam menandai prestasi yang penting dalam interaksi bayi. Selama dua tahun pertama kehidupan, bayi memperhalus tindakan meraih dan menggenggam mereka Sistem menggenggam bayi sangat fleksibel. Bayi membedakan genggamannya pada objek tergantung pada ukuran dan bentuk objek tersebut, juga ukuran tangan mereka sendiri dibandingkan dengan ukuran objek. Bayi menggenggam objek yang kecil dengan ibu jari dan jari telunjuk mereka ( dan kadang jari tengah mereka juga ), sedangkan objek yang besar dengan seluruh jari pada satu atau dua tangan. Pengalaman memainkan peran penting dalam meraih dan menggenggam.
29
Masa kanak-kanak. Pendapat Santrock (2007), pada usia 3 tahun, anak telah memiliki kemampuan untuk mengambil objek terkecil di antara ibu jari dan telunjuk untuk beberapa waktu, tetapi mereka masih canggung melakukannya. Anak umur 3 tahun dapat membangun menara balok yang tinggi secara mengejutkan, tiap balok diletakkan dengan konsentrasi tinggi tetapi sering tidak sepenuhnya berada pada garis lurus. Saat anak berumur 3 tahun bermain dengan gambar bongkar pasang sederhana, mereka agak kasar dalam meletakkan kepingan-kepingannya. Saat mereka mencoba meletakkan sebuah keping pada tempat yang kosong, mereka sering mencoba memaksakan keping tersebut atau menekannya dengan kuat. Pada usia 4 tahun, koordinasi motorik halus anak lebih tepat. Kadang anak berumur 4 tahun bermasalah dalam membangun menara tinggi dengan balok karena keinginan mereka untuk meletakkan setiap balok dengan sempurna sehingga mereka membongkar lagi balok yang sudah tersusun. Saat berumur 5 tahun, koordinasi motorik halus anak semakin meningkat. Tangan, lengan dan jari semua bergerak bersama di bawah perintah mata. Menara sederhana tidak lagi menarik minat anak, sekarang anak ingin membangun sebuah rumah atau gereja, lengkap dengan menaranya. b.
Perkembangan kognitif. Pada aspek koginitif, perkembangan anak nampak pada kemampuannya dalam
menerima, mengolah, dan memahami informasi-informasi yang sampai kepadanya. Kemampuan kognitif berkaitan dengan perkembangan berbahasa (bahasa lisan maupun isyarat), memahami kata, dan berbicara. Menurut Santrock (2007), Tahapan sensorimotor menurut Piget dibagi menjadi enam sub tahapan yaitu:
30
1)
Refleks-refleks sederhana (sub tahapan sensorimotor pertama), terjadi pada
masa-masa bulan pertama setelah kelahiran. Pada sub tahap ini, sensasi dan tindakan dikoordinasikan melalui perilaku refleks seperti gerakan refleks menyusu. Segera setelah itu, bayi menunjukkan perilaku-perilaku menyerupai gerak-gerak refleks tersebut tanpa memerlukan stimulus yang lazimnya harus ada untuk memunculkan gerak-gerak refleks tersebut. Contohnya, seorang bayi akan menyusu dari puting susu ibunya atau dari botol dot hanya ketika benda-benda tersebut dimasukkan ke dalam mulut bayi atau disentuhkan ke bibirnya. Akan tetapi segera setelah itu, bayi mungkin akan melakukan gerakan menyusu ketika botol atau puting susu berada di dekatnya. Bayi tersebut sedang mempelajari sebuah tindakan dan secara aktif sedang menyusun berbagai pengalaman pada bulan pertama hidupnya. 2)
Kebiasaan-kebiasaan pertama dan reaksi-reaksi sirkuler primer (sub tahapan
sensorimotor kedua), berkembang pada usia 1 sampai 4 bulan. Dalam sub tahap ini, bayi mengkoordinasi sensasi dengan dua tipe skema yaitu reaksi-reaksi sirkuler primer dan kebiasaan-kebiasaan. Kebiasaan adalah skema yang didasarkan pada suatu refleks yang seluruhnya terpisah dari stimulus yang mendatangkannya. Contohnya bayi-bayi pada sub tahap 1 melakukan gerak menyusu ketika botol susu didekatkan pada bibir mereka atau ketika mereka melihat botol. Bayi-bayi pada sub tahapan 2 mungkin melakukan gerak menyusu bahkan ketika tidak ada botol. Reaksi sirkuler primer adalah sebuah skema yang didasarkan pada usaha menghasilkan kembali suatu kejadian yang awalnya terjadi secara kebetulan. Contohnya seorang bayi tiba-tiba menghisap jarinya ketika jari itu diletakkan dekat mulut. Selanjutnya ia mencari jarijarinya untuk dihisap lagi, tetapi jari-jari tersebut tidak dapat bekerja sama karena bayi itu belum dapat mengkoordinasikan tindakan-tindakan manual dan visual.
31
Reaksi-reaksi sirkuler dan kebiasaan dilakukan dengan duplikasi: bayi mengulangi tindakan-tindakannya selalu dengan cara yang sama. Pada sub tahap ini tubuh bayi sendiri merupakan perhatian sentral si bayi. Tidak ada ketertarikan terhadap kejadiankejadian di luar lingkungannya. 3)
Reaksi sirkuler sekunder (sub tahap sensorimotor ketiga), berkembang antara usia
4 hingga 8 bulan. Pada sub tahap ini, bayi lebih berorientasi pada objek, berpindah dari keasyikan pada dirinya sendiri. Secara kebetulan, seorang bayi mungkin menggoyangkan mainannya hingga bergemerincing. Bayi akan mengulang tindakan ini untuk kesenangannya. Bayi juga akan menirukan beberapa gerakan sederhana seperti celoteh atau gumaman-gumaman orang dewasa dan gerakan-gerakan fisik dengan meniru gerakan yang telah mampu dilakukannya. Saat bayi dihadapkan pada objek-objek di lingkungannya, skema yang dibentuk oleh bayi tidaklah dibentuk dengan sengaja. 4)
Koordinasi reaksi-reaksi sirkuler sekunder (sub tahapan sensorimotor keempat),
berkembang antara usia 8 sampai 12 bulan. Untuk berkembang hingga sub tahap ini bayi harus mengkoordinasikan pandangan dan sentuhan, tangan dan mata. Gerakangerakan menjadi lebih terarah. Perubahan-perubahan penting selama sub tahap ini meliputi koordinasi skema-skema dan kesengajaan. Contohnya bayi menggunakan sebuah tongkat untuk mengambil mainan yang berada di luar jangkauannya atau merubuhkan sebuah balok untuk mengambil dan memainkan mainan yang lain. 5)
Reaksi-reaksi sirkuler tersier, kesenangan baru dan keingintahuan (sub tahapan
sensorimotor kelima), berkembang pada usia 12 hingga 18 bulan. Pada sub tahap ini bayi tergugah minatnya dengan banyaknya objek di lingkungannya. Sebuah balok dapat dijatuhkan, diputar, dipukulkan ke objek lain dan dilemparkan ke lantai. Sub
32
tahap ini merupakan skema di mana bayi secara sadar mengeksplorasi berbagai kemungkinan baru atas objek-objek di sekitarnya. Pada tahap ini menandai dimulainya masa keingintahuan manusia dan minat terhadap kesenangan baru. 6)
Skema Internalisasi (sub tahapan sensorimotor keenam dan terakhir),
berkembang antara usia 18 hingga 24 bulan. Pada sub tahap ini bayi mengembangkan kemampuan menggunakan simbol-simbol primitif. Bagi Piaget simbol adalah sebuah gambar sensorik yang diinternalkan atau kata yang mewakili sebuah kejadian. Simbol-simbol primitif menjadikan bayi mampu memanipulasi dan mengubah kejadian-kejadian yang ada dalam cara-cara yang sederhana. Contoh bayi melihat kotak korek api dibuka dan ditutup. Ia menirukan kejadian tersebut dengan membuka dan menutup mulutnya. Ini merupakan ekspresi yang jelas atas gambarannya terhadap kejadian tersebut. Permanensi Objek, pada akhir periode sensorimotor, bayi-bayi mulai memahami bahwa objek-objek terpisah dari dirinya dan bersifat permanen. Permanensi objek adalah suatu pemahaman bahwa objek-objek akan tetap eksis bahkan ketika objek-objek tersebut tidak dapat dilihat, didengar, atau disentuh. Permanensi objek merupakan salah satu pencapaian terpenting bagi bayi. Contoh ketika objek yang menarik minatnya hilang dari pandangannya, maka bayi akan mencari objek tersebut, diasumsikan bahwa bayi tersebut yakin objek tadi masih ada. c.
Perkembangan Emosi. Menurut Santrock (2007), terdapat pembagian emosi menjadi 2 klasifikasi
yaitu: 1)
Emosi primer, yang sering muncul pada manusia dan juga binatang, yang termasuk emosi primer adalah terkejut, tertarik, senang, marah, sedih, takut dan jijik. Semua emosi ini muncul pada usia 6 bulan pertama.
33
2)
Emosi yang disadari, yang memerlukan kognisi, terutama kesadaran diri. Yang termasuk jenis emosi ini adalah empati, cemburu dan kebingungan yang muncul pada 1½ tahun pertama (setelah timbulnya kesadaran diri), selain itu ada juga bangga, malu dan rasa bersalah yang mulai muncul pada 2½ tahun pertama. Masa Bayi. Pendapat Santrock (2007), tangisan dan senyuman merupakan
ekspresi emosional awal yang ditampilkan oleh bayi ketika mereka berinteraksi dengan orang tua atau orang-orang di sekitarnya. Tangisan adalah mekanisme penting yang dimiliki oleh anak yang baru lahir untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Tangisan pertama bayi menunjukkan bahwa paru-parunya sudah terisi udara. Tangisan juga memberikan informasi mengenai sistem saraf pusat bayi. Ada tiga jenis tangisan bayi: 1)
Tangisan biasa: pola ritmis yang biasanya terdiri dari tangisan, diikuti oleh periode diam yang singkat, diikuti oleh desisan singkat lalu tangisan bernada lebih tinggi dari tangisan awal, lalu istirahat sejenak sebelum diikuti dengan set berikutnya. Rasa lapar merupakan salah satu kondisi yang menyebabkan tangisan ini.
2)
Tangisan marah: beberapa variasi tangisan biasa dengan lebih banyak udara yang dipaksa melewati pita suara.
3)
Tangisan kesakitan: tangisan tiba-tiba yang keras dan panjang, diikuti dengan menahan nafas, tidak ada rengekan awal sebelum tangisan ini. Biasanya disebabkan oleh stimulus dengan intensitas yang tinggi. Senyuman, Santrock (2007) berpendapat, senyuman merupakan cara penting
dari seorang bayi untuk mengkomunikasikan emosi. Ada dua macam senyuman bayi:
34
1)
Senyuman refleksif: senyuman yang tidak disebabkan oleh stimulus internal dan muncul pada masa 1 bulan awal sesudah kelahiran, biasanya pada saat tidur.
2)
Senyuman sosial: senyuman yang muncul karena stimulus eksternal, biasanya adalah wajah yang dilihat oleh bayi yang masih muda. Ketakutan. Pendapat Santrock (2007), katakutan merupakan salah satu emosi
awal pada bayi, yang biasanya muncul pada usia 6 bulan dan mencapai puncaknya pada usia 18 bulan, ekspresi ketakutan yang paling sering muncul biasanya berkaitan dengan kecemasan terhadap orang asing, di mana seorang bayi menunjukkan ketakutan dan kegelisahan terhadap orang asing. Hal ini biasanya timbul secara bertahap. Pertama kali muncul sekitar usia 6 bulan dalam bentuk reaksi gelisah. Pada usia 9 bulan, ketakutan terhadap orang asing ini sering kali menjadi lebih sering dan terus meningkat sampai ulang tahun pertama bayi tersebut. Tidak semua bayi menunjukkan kegelisahan ketika menghadapi orang asing. Bayi akan lebih berani berhadapan dengan orang asing jika mereka berada di lingkungan yang familiar. Ketika bayi merasa aman maka akan lebih tahan menghadapi kecemasan terhadap orang asing. Kemarahan,
Hurlock
(1980)
berpendapat,
perangsang
yang
lazim
membangkitkan kemarahan bayi adalah campur tangan terhadap gerakan-gerakan, menghalangi keinginannya, tidak mengijinkannya mengerti sendiri dan tidak memperkenankannya melakukan apa yang dia inginkan. Bentuk kemarahan bayi berupa menjerit, meronta-ronta, menendangkan kaki, mengibaskan tangan dan memukul atau menendang apa saja yang ada di dekatnya. Pada tahun kedua bayi dapat juga melonjak-lonjak, berguling-guling, meronta-ronta dan menahan nafas.
35
Rasa ingin tahu. pendapat Hurlock (1980), setiap mainan atau barang baru dan tidak biasa adalah perangsang untuk keingintahuan, kecuali barang tersebut terlalu tegas sehingga menimbulkan ketakutan. Bila rasa takut berkurang, maka akan digantikan oleh rasa ingin tahu. Bayi mudah mengungkapkan rasa ingin tahunya terutama melalui ekspresi wajah dengan menegangkan otot muka, membuka mulut dan menjulurkan lidah. Kemudian bayi akan menangkap barang yang membangkitkan rasa
ingin
tahunya
tersebut,
memegang,
membolak-balik,
melempar
atau
memasukkannya ke dalam mulutnya. Kegembiraan, menurut Hurlock (1980), kegembiraan dirangsang oleh kesenangan fisik. Pada bulan kedua atau ketiga, bayi bereaksi pada orang yang mengajaknya bercanda, menggelitik, mengamati dan memperhatikannya. Mereka mengungkapkan rasa senang atau kegembiraan dengan tersenyum, tertawa dan menggerakkan lengan serta kakinya. Bila rasa senang sangat besar, bayi berteriak dengan gembira dan semua gerakan tubuh menjadi makin intensif. Referensi sosial. Pendapat Santrock (2007), referensi sosial adalah cara membaca petunjuk emosional dari orang lain sebagai referensi bagaimana berperilaku dalam situasi tertentu. Bayi tidak hanya mengekspresikan emosi misalnya rasa takut tetapi juga membaca tanda emosi dari orang lain. Misalnya ketika bayi berhadapan dengan orang asing, apakah mereka harus merasa takut atau tidak terhadap orang tersebut. Kemampuan melakukan referensi sosial ini akan berkembang dengan lebih baik pada tahun kedua. Afeksi (kasih sayang), Hurlock (1980) berpendapat, setiap orang yang mengajak bayi bermain, mengurus kebutuhan jasmaninya atau memperlihatkan afeksi akan merupakan perangsang untuk afeksi mereka. Kemudian mainan dan hewan
36
kesayangan keluarga mungkin juga menjadi objek cinta bagi mereka. Umumnya bayi mengungkapkan afeksinya dengan memeluk, menepuk dan mencium barang atau orang yang dicintai. Pengaturan emosi dan coping. Santrock (2007) berpendapat, dalam kurun waktu satu tahun pertama, bayi mulai mengembangkan kemampuan untuk menahan atau mengurangi intensitas dan durasi reaksi emosional. Dari masa awal kehidupannya bayi sudah bisa meletakkan ibu jari dalam mulut untuk menenangkan dirinya. Meskipun begitu, biasanya bayi tetap tergantung kepada pengasuhnya untuk menenangkan reaksi emosi yang dirasakannya, terutama di masa awal kehidupan, seperti dengan mengayun-ayunkan bayi ketika menidurkan, menyanyikan lagu nina bobo, membelai-belai, dan lain sebagainya. Pada usia dua tahun, seorang balita sudah mampu menggunakan bahasa untuk menjelaskan keadaan emosi dan situasi yang menggangu mereka. Misal seorang balita mungkin akan berkata ”Takut. Anjing galak” Jenis komunikasi seperti ini akan membantu pengasuh dalam membantu anak mengatur emosi mereka. Bayi akan sangat mudah terpengaruh oleh kelelahan, rasa lapar, waktu, orang-orang yang ada di sekitar dan juga lingkungan di mana mereka sedang berada. Bayi harus belajar untuk beradaptasi terhadap berbagai macam situasi yang memerlukan pengaturan emosi, seiring dengan bertambahnya usia. Sebagai contoh, jika bayi berusia 6 bulan tiba-tiba menjerit di tengah restoran maka orang tuanya akan menganggap hal ini wajar, tetapi tidak wajar jika anak yang menjerit itu sudah berusia 1½ tahun. Masa Kanak-kanak awal (usia 2 sampai 5 tahun). Pendapat Santrock (2007) bahwa emosi yang disadari adalah emosi yang membutuhkan kesadaran diri anak bahwa mereka berbeda dengan orang lain. Misalnya bangga, malu, rasa bersalah,
37
pertama kali muncul pada usia 2½ tahun. Rasa bangga muncul ketika anak merasakan kesenangan setelah sukses melakukan perilaku tertentu. Rasa malu muncul ketika anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi standar atau target tertentu. Anak yang sedang malu sering kali berharap mereka bisa bersembunyi atau menghilang dari situasi tersebut. Rasa bersalah biasanya muncul ketika anak menilai perilakunya sebagai sebuah kegagalan. Ketika anak mengalami perasaan bersalah maka mereka biasanya akan melakukan gerakan-gerakan tertentu seakan berusaha memperbaiki kegagalan mereka. Bahasa dan pemahaman emosi pada anak-anak. Santrock (2007) berpendapat, pada rentang usia 2-4 tahun, terjadi penambahan jumlah istilah yang digunakan untuk menggambarkan emosi. Mereka juga mulai belajar mengenai penyebab dan konsekuensi dari perasaan-perasaan yang dialami. Ketika menginjak usia 4-5 tahun, anak-anak mulai menunjukkan peningkatan kemampuan dalam merefleksi emosi. Mereka juga mulai memahami bahwa kejadian yang sama dapat menimbulkan perasaan yang berbeda terhadap orang yang berbeda. Lebih dari itu mereka juga mulai menunjukkan kesadaran bahwa mereka harus mengatur emosi mereka untuk memenuhi standar sosial. Pada aspek ini, anak sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan orang tua dan orang-orang di sekitarnya. Emosi yang berkembang akan sesuai dengan impuls emosi yang diterimanya. Misalnya, jika anak mendapatkan curahan kasih sayang, mereka akan belajar untuk menyayangi. d.
Perkembangan sosial. Hurlock
(1978)
berpendapat,
perkembangan
sosial
berarti perolehan
kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang
38
mampu bermasyarakat memerlukan tiga proses. Masing-masing proses terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan, sehingga kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasi individu. Tiga proses sosialisasi antara lain: 1)
Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial. Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bermasyarakat anak tidak hanya harus mengetahui perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan perilaku dengan patokan yang dapat diterima.
2)
Memainkan peran sosial yang dapat diterima. Setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama oleh para anggotanya dan dituntut untuk dipatuhi. Sebagai contoh, ada peran yang telah disetujui bersama bagi orang tua dan anak serta bagi guru dan murid.
3)
Perkembangan sikap sosial. Untuk bermasyarakat/bergaul dengan baik anak-anak harus menyukai orang dan aktivitas sosial. Jika mereka dapat melakukannya, mereka akan berhasil dalam penyesuaian sosial yang baik dan diterima sebagai anggota kelompok sosial tempat mereka menggabungkan diri.
Perkembangan sosial pada masa bayi: 1)
Meniru. Bayi menjadi bagian dari kelompok sosial dengan cara menirukan bayi lain. Pertama-tama mereka menirukan ekspresi wajah, kemudian isyarat dan gerakan, selanjutnya suara pembicaraan dan akhirnya pola keseluruhan perilaku.
2)
Rasa malu. Pada usia tiga atau enam bulan bayi dapat membedakan antara wajah yang sudah biasa dikenal dengan yang tidak dikenal. Sampai pada akhir tahun
39
pertama mereka bereaksi terhadap orang yang tidak dikenal dengan cara merengek, menangis, menyembunyikan kepala dan bergayut pada orang yang membopong mereka. 3)
Perilaku kelekatan. Tatkala bayi mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang dengan ibu mereka atau pengganti ibu, kesenangan yang mereka peroleh dari hubungan ini mendorong mereka untuk berusaha membina hubungan yang bersahabat dengan orang/anak lain.
4)
Ketergantungan. Semakin bayi diasuh oleh seseorang, semakin bergantung ia kepada orang tersebut. Bayi memperlihatkan ketergantungan dengan bergayut kepada orang yang mengasuhnya, menangis apabila ditinggalkan bersama orang lain dan menuntut dilayani sekalipun ia mampu melakukannya sendiri.
5)
Menerima otoritas. Bayi akan belajar menyesuaikan diri dengan tuntutan orang yang mempunyai otoritas atas diri mereka, hal itu bergantung pada pengaruh orang yang mempunyai otoritas untuk memaksakan kehendaknya. Sikap yang permisif ( memberi kebebasan ) mendorong bayi untuk menolak otoritas.
6)
Persaingan. Persaingan berkembang dalam hubungan dengan bayi lain atau anakanak. Hal ini terlihat pada bayi yang berusaha merebut mainan atau benda dari bayi lain bukan karena menghendakinya, tetapi mungkin karena hal itu menimbulkan kesenangan untuk menyatakan keunggulannya.
7)
Mencari perhatian. Pada tahun kedua, bayi berusaha memperoleh perhatian orang dewasa melalui suara terutama menangis, dengan menarik baju atau memukul mereka dan dengan melakukan hal-hal yang dilarang. Jika mereka berhasil, mereka memperlihatkan kepuasan dengan tersenyum atau tertawa.
40
8)
Kerja sama sosial. Kerja sama dalam permainan antara bayi dengan orang dewasa biasanya berhasil karena orang dewasa bersikap memberikan lebih banyak. Kerja sama sosial dengan teman sebaya biasanya tidak berhasil karena teman sebaya tidak mau mengalah.
9)
Perilaku melawan. Pada pertengahan tahun kedua usia bayi, perilaku melawan mulai timbul. Hal itu diekspresikan dengan menegangkan badan, menangis atau menolak untuk patuh. Bila bayi tidak diberi kesempatan untuk bebas, perilaku melawan biasanya menimbulkan sikap negatif.
Perkembangan sosial pada masa kanak-kanak awal: 1)
Kerja sama. Sejumlah kecil anak belajar bermain atau bekerja secara bersama dengan anak lain sampai mereka berumur 4 tahun. Semakin banyak kesempatan yang mereka miliki untuk melakukan sesuatu bersama-sama, semakin cepat mereka belajar melakukannya dengan cara bekerja sama.
2)
Persaingan. Jika persaingan merupakan dorongan bagi anak-anak untuk berusaha sebaik-baiknya, hal itu akan menambah sosialisasi mereka. Jika hal itu diekspresikan dalam pertengkaran dan kesombongan, akan mengakibatkan timbulnya sosialisasi yang buruk.
3)
Kemurahan hati. Kemurahan hati, sebagaimana terlihat pada kesediaan untuk berbagi sesuatu dengan anak lain, meningkat dan sikap mementingkan diri sendiri semakin berkurang setelah anak belajar bahwa kemurahan hati menghasilkan penerimaan sosial.
4)
Hasrat akan penerimaan sosial. Jika hasrat untuk diterima kuat, hal itu mendorong anak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial. Hasrat untuk
41
diterima oleh orang dewasa biasanya timbul lebih awal dibandingkan dengan hasrat untuk diterima oleh teman sebaya. 5)
Simpati. Anak kecil tidak mampu berperilaku simpati sampai mereka pernah mengalami situasi yang mirip dengan duka cita. Mereka mengekspresikan simpati dengan berusaha menolong atau menghibur seseorang yang sedang bersedih.
6)
Empati. Empati kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman orang tersebut. Hal ini hanya berkembang jika anak dapat memahami ekspresi wajah atau maksud pembicaraan orang lain.
7)
Ketergantungan. Ketergantungan terhadap orang lain dalam hal bantuan, perhatian dan kasih sayang mendorong anak untuk berperilaku dalam cara yang diterima secara sosial. Anak berjiwa bebas kekurangan motivasi ini.
8)
Sikap ramah. Anak kecil memperlihatkan sikap ramah melalui kesediaan melakukan sesuatu untuk atau bersama anak/orang lain dan dengan mengekspresikan kasih sayang kepada mereka.
9)
Sikap tidak mementingkan diri sendiri. Anak yang mempunyai kesempatan dan mendapat dorongan untuk membagi apa yang mereka miliki dan yang tidak terusmenerus menjadi pusat perhatian keluarga, belajar memikirkan orang lain dan berbuat untuk orang lain dan bukannya hanya memusatkan perhatian pada kepentingan dan milik mereka sendiri.
10) Meniru. Dengan meniru seseorang yang diterima baik oleh kelompok sosial, anak-anak mengembangkan sifat yang menambah penerimaan kelompok terhadap diri mereka.
42
11) Perilaku kelekatan. Dari landasan yang diletakkan pada masa bayi, yaitu tatkala bayi mengembangkan suatu kelekatan yang hangat dan penuh cinta kasih kepada ibu atau pengganti ibu, anak kecil mengalihkan pola perilaku ini kepada anak/orang lain dan belajar membina persahabatan dengan mereka. Dengan mengetahui aspek-aspek perkembangan anak, orangtua dan pengasuh bisa merancang dan memberikan rangsangan serta latihan agar keempat aspek tersebut berkembang secara seimbang. Rangsangan atau latihan tidak bisa terfokus hanya pada satu atau sebagian aspek. Tentunya, rangsangan dan latihan tersebut diberikan dengan tetap memperhatikan kesiapan anak, bukan dengan paksaan.
4. Ciri-ciri Perkembangan Anak Moersintowarti, dkk. (2008) berpendapat, perkembangan terjadi secara simultan (bersamaan) dengan pertumbuhan. Perkembangan merupakan hasil interksi kematangan susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya, antara lain meliputi perkembangan sistem neuromuskuler, bicara, emosi dan sosial. Kesemua fungsi tersebut berperan penting dalam kehidupan manusia yang utuh. Ciri-ciri perkembangan: a.
Perkembangan melibatkan perubahan. Karena perkembangan terjadi bersamaan
dengan pertumbuhan, maka setiap pertumbuhan disertai dengan perubahan fungsi. Perkembangan sistem reproduksi misalnya, disertai dengan perubahan pada organ kelamin, perkembangan inteligensia menyertai pertumbuhan otak dan serabut saraf. Perubahan-perubahan ini meliputi perubahan ukuran tubuh secara umum, perubahan proporsi tubuh, berubahnya ciri-ciri lama dan timbulnya ciri-ciri baru sebagai tanda kematangan suatu organ tubuh tertentu.
43
b.
Perkembangan awal menentukan pertumbuhan selanjutnya. Seseorang tidak akan
bisa melewati satu tahap perkembangan sebelum ia melewati tahapan sebelumnya. Sebagai contoh, seorang anak tidak akan bisa berjalan sebelum ia bisa berdiri. Perkembangan awal ini merupakan masa kritis karena akan menentukan perkembangan selanjutnya. c.
Perkembangan mempunyai pola yang tetap. Perkembangan fungsi organ tubuh
terjadi menurut dua hukum yang tetap, yaitu: 1)
Perkembangan terjadi lebih dahulu di daerah kepala, kemudian menuju ke arah kaudal. Pola ini disebut pola sefalokaudal
2)
Perkembangan terjadi lebih dahulu di daerah proksimal (gerakan kasar) lalu berkembang ke
bagian distal seperti jari-jari yang mempunyai kemampuan
dalam gerakan halus. Pola ini disebut pola proksimodistal. d.
Perkembangan memiliki tahap yang berurutan. Tahap ini dilalui seorang anak
mengikuti pola teratur dan berurutan, tahap-tahap tersebut tidak bisa terjadi terbalik, misalnya anak terlebih dahulu mampu membuat lingkaran sebelum mampu membuat kotak, berdiri sebelum berjalan dan sebagainya. e.
Perkembangan
mempunyai
kecepatan
yang
berbeda.
Seperti
halnya
pertumbuhan, perkembangan berlangsung dalam kecepatan yang berbeda-beda. Kaki dan tangan berkembang pesat pada awal masa remaja, sedangkan bagian tubuh yang lain mungkin berkembang pesat pada masa lainnya. f.
Perkembangan berkorelasi dengan pertumbuhan. Pada saat pertumbuhan
berlangsung cepat, perkembanganpun demikian, terjadi peningkatan mental, ingatan, daya nalar, asosiasi dan lain-lain.
44
5.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak Papalia, dkk. (2008) berpendapat, perkembangan merupakan sesuatu yang
kompleks dan terdapat berbagai faktor yang dibutuhkan seseorang untuk dapat berkembang secara normal antara lain : a.
Keturunan Kualitas genetik yang diwarisi dari orang tua biologis saat pembuahan.
b.
Lingkungan Pengaruh lain banyak berasal dari lingkungan, dimulai dari dalam kandungan, dan pembelajaran yang didapat dari pengalaman.
c.
Kematangan tubuh dan otak Perbedaan individu akan semakin besar seiring dengan bertambahnya umur seseorang, banyak perubahan mendasar dalam masa bayi dan anak-awal yang tampaknya berhubungan langsung dengan kematangan tubuh dan otak, yaitu terbukanya tahapan alamiah perubahan fisik dan pola perilaku, termasuk didalamnya kesiapan untuk menguasai satu kemampuan baru seperti berbicara dan berjalan. Seiring tumbuhnya seorang anak menjadi remaja kemudian dewasa. Soetjiningsih (1995) berpendapat, faktor penentu kualitas tumbuh kembang
anak adalah faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan dibagi menjadi: a. faktor lingkungan pranatal yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari konsepsi sampai lahir termasuk gizi ibu pada waktu hamil, faktor mekanis (trauma dan cairan ketuban kurang, serta posisi janin dalam uterus) dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan, faktor toksin / zat kimia sebagai zat teratogenik yang dapat menyebabkan kelainan bawaan, bayi berat badan lahir rendah, lahir mati, cacat, atau retardasi mental, faktor endokrin seperti hormon
45
plasenta dapat mempengaruhi fungsi nutrisi plasenta, hormon tiroid dapat mengakibatkan retardasi mental, faktor radiasi dapat menyebabkan cacat bawaan, faktor infeksi juga dapat mengakibatkan cacat bawaan, faktor stres dapat menyebabkan cacat bawaan dan kelainan jiwa, faktor imunitas sering menyebabkan abortus dan lahir mati, faktor anoksia embrio menyebabkan bayi berat badan lahir rendah. b.
faktor lingkungan post-natal, yang mempengaruhi tumbuh kembang anak secara
umum dapat digolongkan menjadi: 1)
Lingkungan biologis, a) Ras / suku bangsa Bangsa kulit putih / ras Eropa mempunyai pertumbuhan somatik lebih tinggi daripada bangsa Asia. b) Jenis kelamin Anak laki-laki lebih sering sakit dibandingkan anak perempuan, tetapi belum diketahui secara pasti mengapa demikian. c) Umur Umur paling rawan adalah masa balita, oleh karena pada masa itu anak mudah sakit dan mudah terjadi kurang gizi. Disamping itu masa balita merupakan dasar pembentukan kepribadian anak, sehingga diperlukan perhatian khusus. d) Gizi Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, dimana kebutuhan anak berbeda dengan orang dewasa, karena makanan bagi anak dibutuhkan juga untuk pertumbuhan, dimana dipengaruhi oleh ketahanan
46
makanan keluarga yang mencakup pada ketersediaan makanan dan pembagian yang adil makanan dalam keluarga, dimana seringkali kepentingan budaya bertabrakan dengan kepentingan biologis anggota-anggota keluarga. Satu aspek yang penting yang perlu ditambahkan adalah keamanan pangan yang mencakup pembebasan makanan dari berbagai racun fisika, kimia dan biologis, yang dapat mengancam kesehatan manusia. e) Perawatan kesehatan Perawatan kesehatan yang teratur, tidak saja kalau anak sakit, tetapi pemeriksaan kesehatan dan menimbang anak secara rutin setiap bulan, akan menunjang pada tumbuh kembang anak. Oleh karena itu pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan dianjurkan untuk dilakukan secara komprehensif, yang mencakup aspek-aspek promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif. f) Kepekaan terhadap penyakit Dengan memberikan imunisasi, maka diharapkan anak terhindar dari penyakit-penyakit yang sering menyebabkan cacat atau kematian. Dianjurkan sebelum anak berumur satu tahun sudah mendapat imunisasi BCG, Polio 3 kali, DPT 3 kali, Hepatitis B 3 kali dan campak. g) Penyakit kronis Anak yang menderita penyakit menahun akan terganggu tumbuh kembangnya dan pendidikannya, disamping itu anak juga mengalami stres yang berkepanjangan akibat dari penyakitnya. h) Fungsi metabolisme
47
Khusus pada anak, karena perbedaan yang mendasar dalam proses metabolisme pada berbagai umur, maka kebutuhan akan berbagai nutrien harus didasarkan atas perhitungan yang tepat atau setidak-tidaknya memadai. i) Hormon Hormon-hormon yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang antara lain adalah:
Somatotropin
atau
hormon
pertumbuhan,
hormon
tiroid,
gukokortikoid, hormon-hormon seks dan insulin like growth factor (IGFs). 2). Faktor fisik antara lain cuaca, musim, keadaan geografis suatu daerah, sanitasi lingkungan, keadaan rumah, radiasi. 3)
Faktor psikososial a) Stimulasi Stimulasi merupakan hal yang penting dalam tumbuh kembang anak. Anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang / tidak mendapat stimulasi. b) Motivasi belajar Motivasi belajar dapat ditimbulkan sejak dini, dengan memberikan lingkungan yang kondusif untuk belajar, misalnya adanya sekolah yang tidak terlalu jauh, buku-buku, suasana yang tenang serta sarana lainnya. c) Ganjaran atau hukuman yang wajar Kalau anak berbuat benar, maka wajib kita memberi pujian, ciuman, belaian, tepuk tangan dan sebagainya. Kalau anak berbuat salah dapat diberikan hukuman yang diberikan secara obyektif, disertai pengertian dan maksud dari hukuman tersebut, bukan hukuman untuk melampiaskan kebencian dan
48
kejengkelan terhadap anak. Sehingga anak tahu mana yang baik dan yang tidak baik, akibatnya akan menimbulkan rasa percaya diri pada anak yang penting untuk perkembangan kepribadian anak kelak kemudian hari. d) Kelompok sebaya Untuk proses sosialisasi dengan lingkungannya, anak memerlukan teman sebaya. Tetapi perhatian dari orang tua tetap dibutuhkan untuk memantau dengan siapa anak tersebut bergaul. Khususnya bagi remaja, aspek lingkungan
teman
sebaya
menjadi
sangat
penting
dengan
makin
meningkatnya kasus-kasus penyalahgunaan obat-obat atau narkotika. e) Stres Stres pada anak juga berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya, misalnya anak akan menarik diri, rendah diri, terlambat bicara, nafsu makan menurun dan sebagainya. f) Sekolah Dengan adanya wajib belajar 9 tahun sekarang ini, diharapkan setiap anak mendapat kesempatan duduk di bangku sekolah minimal 9 tahun. Yang menjadi masalah sosial saat ini adalah masih banyaknya anak-anak yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena harus membantu mencari nafkah untuk keluarganya. g) Cinta dan kasih sayang Salah satu hak anak untuk dicintai dan dilindungi. Anak memerlukan kasih sayang dan perlakuan yang adil dari orang tuanya. Agar kelak kemudian hari menjadi anak yang tidak sombong dan bisa memberikan kasih sayang pula kepada sesamanya. Sebaliknya kasih sayang yang diberikan secara berlebihan
49
yang menjurus kearah memanjakan, akan menghambat bahkan mematikan perkembangan kepribadian anak. Akibatnya anak akan menjadi manja, kurang mandiri, pemboros, sombong dan kurang bisa menerima kenyataan. h) Kualitas interaksi anak-orang tua. Interaksi timbal balik antara anak dan orang tua, akan menimbulkan keakraban dalam keluarga. Anak akan terbuka kepada orang tuanya sehingga komunikasi bisa dua arah dan segala permasalahan dapat dipecahkan bersama karena adanya keterdekatan dan kepercayaan antara orang tua dan anak. Interaksi tidak ditentukan oleh seberapa lama kita bersama anak. Tetapi lebih ditentukan oleh kualitas dari interaksi tersebut yaitu pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan upaya optimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi oleh rasa saling menyayangi. 4)
Faktor keluarga dan adat istiadat a) Pekerjaan / pendapatan keluarga Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder. Kesimpulan dari ahli sosiologis di negara Swedia bahwa fakta yang terjadi pada anak dan bayi dengan ibu yang bekerja diluar rumah serta tidak sepenuhnya konsentrasi sebagai ibu rumah tangga dapat mempengaruhi perkembangan kognitif, kesehatan fisik serta perkembangan sosial emosional anak. b) Pendidikan ayah / ibu Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak. Karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua
50
dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anak, pendidikannya dan sebagainya. c) Jumlah saudara. Jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan sosial ekonominya cukup, akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang diterima anak. Lebih-lebih kalau jarak anak terlalu dekat. Sedangkan pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti makanan, sandang dan perumahan pun tidak terpenuhi. Oleh karena itu Keluarga Berencana tetap diperlukan. d) Jenis kelamin dalam keluarga. Pada masyarakat tradisional, wanita mempunyai status yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, sehingga angka kematian bayi dan malnutrisi masih tinggi pada wanita. Demikian pula dengan pendidikan, masih banyak ditemukan wanita yang buta huruf. e) Stabilitas rumah tangga. Stabilitas dan keharmonisan rumah tangga mempengaruhi tumbuh kembang anak. Tumbuh kembang anak akan berbeda pada keluarga yang harmonis, dibandingkan dengan mereka yang kurang harmonis. f) Kepribadian ayah / ibu. Kepribadian ayah dan ibu yang terbuka tentu pengaruhnya berbeda terhadap tumbuh
kembang
anak,
kepribadiannya tertutup.
bila
dibandingkan
dengan
mereka
yang
51
g) Adat-istiadat, norma-norma. Adat-istiadat yang berlaku di tiap daerah akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Misalnya di Bali karena seringnya upacara agama diadakan oleh suatu keluarga, dimana harus disediakan berbagai makanan dan buahbuahan, maka sangat jarang terdapat anak yang gizi buruk karena makanan maupun buah-buahan, maka sangat jarang terdapat anak yang gizi buruk karena makanan maupun buah-buahan tersebut akan dimakan bersama setelah selesai upacara. Demikian pula dengan norma-norma maupun tabu-tabu yang berlaku di masyarakat, berpengaruh pula terhadap tumbuh kembang anak. h) Agama. Pengajaran agama harus sudah ditanamkan pada anak-anak sedini mungkin, karena dengan memahami agama akan menuntun umatnya untuk berbuat kebaikan dan kebajikan. i) Urbanisasi. Salah satu dampak dari urbanisasi adalah kemiskinan dengan segala permasalahannya. j) Kehidupan politik dalam
masyarakat
yang
mempengaruhi prioritas
kepentingan anak, anggaran, dan lain-lain . Hurlock (1978) berpendapat, lingkungan tempat anak hidup selama tahuntahun pembentukan awal hidupnya mempunyai pengaruh kuat pada kemampuan bawaan mereka. Terdapat enam faktor lingkungan yang sangat penting, diantaranya: a.
Hubungan antar pribadi yang menyenangkan. Hubungan dengan masyarakat yang menyenangkan, terutama dengan anggota keluarga, akan mendorong anak mengembangkan kecenderungan menjadi
52
terbuka dan menjadi lebih berorientasi kepada orang lain, karakteristik yang mengarah ke penyesuaian pribadi dan sosial yang baik. b.
Keadaan Emosi. Ketiadaan hubungan emosional akibat penolakan anggota keluarga atau perpisahan dengan orang tua, seringkali menimbulkan gangguan kepribadian. Sebaliknya pemuasan emosional mendorong perkembangan kepribadian.
c.
Metode Melatih Anak. Anak-anak yang dibesarkan orang tua yang permisif ketika besar cenderung kehilangan rasa tanggung jawab, mempunyai kendali emosional yang buruk, dan sering berprestasi rendah dalam melakukan sesuatu. Mereka yang dibebaskan oleh orang tua yang demokratik atau sedikit otoriter penyesuaian pribadi dan sosialnya lebih baik.
d.
Peran yang dini. Anak pertama yang seringkali diharapkan bertanggung jawab di rumah dan menjaga anak yang lebih kecil, dapat mempunyai kepercayaan diri yang lebih besar daripada saudaranya yang lahir sesudahnya tetapi mungkin juga mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan kebiasaan memerintah sepanjang hidupnya.
e.
Struktur keluarga di masa kanak-kanak. Seorang anak yang berasal dari sebuah keluarga yang besar, sikap dan perilakunya cenderung otoriter, sedangkan yang berasal dari keluarga yang bercerai atau berpisah menjadi anak yang cemas, tidak mudah percaya, dan sedikit kaku.
f.
Rangsangan Lingkungan.
53
Lingkungan yang merangsang merupakan salah satu pendorong perkembangan kemampuan anak yang diturunkan. Bercakap-cakap dengan bayi atau menunjukkan gambar cerita pada seorang anak pra sekolah mendorong minat dalam belajar berbicara dan keinginan untuk membaca. Lingkungan yang merangsang mendorong perkembangan fisik dan mental yang baik, sedangkan lingkungan yang tidak merangsang menyebabkan perkembangan anak di bawah kemampuannya. Pendapat Hurlock (1978), terdapat beberapa kondisi yang mempengaruhi laju perkembangan motorik, antara lain: a.
Sifat dasar genetik, termasuk bentuk tubuh dan kecerdasan mempunyai pengaruh yang menonjol terhadap laju perkembangan motorik.
b.
Seandainya dalam awal kehidupan pasca lahir tidak ada hambatan kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, semakin aktif janin semakin cepat perkembangan motorik anak.
c.
Kondisi pra lahir yang menyenangkan, khususnya gizi makanan sang ibu, lebih mendorong perkembangan motorik yang lebih cepat pada masa pasca lahir.
d.
Kelahiran yang sukar, khususnya apabila ada kerusakan pada otak akan memperlambat perkembangan motorik.
e.
Seandainya tidak ada gangguan lingkungan, maka kesehatan dan gizi yang baik selama awal kehidupan pasca lahir akan mempercepat perkembangan motorik.
f.
Anak yang IQ-nya tinggi menunjukkan perkembangan yang lebih cepat daripada anak yang IQ-nya normal atau di bawah normal.
g.
Adanya rangsangan, dorongan dan kesempatan untuk menggerakkan semua bagian tubuh akan mempercepat perkembangan motorik.
54
h.
Perlindungan yang berlebihan akan melumpuhkan kesiapan berkembangnya kemampuan motorik.
i.
Karena rangsangan dan dorongan yang lebih banyak dari orang tua, maka perkembangan motorik anak yang pertama cenderung lebih baik daripada perkembangan motorik anak yang lahir kemudian.
j.
Kelahiran sebelum waktunya biasanya memperlambat perkembangan motorik karena tingkat perkembangan motorik pada waktu lahir berada di bawah tingkat perkembangan bayi yang lahir tepat waktunya.
k.
Cacat fisik, seperti kebutaan akan memperlambat perkembangan motorik.
l.
Dalam perkembangan motorik, perbedaan jenis kelamin, warna kulit dan sosial ekonomi lebih banyak disebabkan oleh perbedaan motivasi dan metode pelatihan anak daripada karena perbedaan bawaan. Hurlock (1978) berpendapat, terdapat kondisi yang menimbulkan perbedaan
dalam belajar berbicara, antara lain: a.
Kesehatan Anak yang sehat, lebih cepat belajar berbicara daripada anak yang tidak sehat, karena motivasinya lebih kuat untuk menjadi anggota kelompok sosial dan berkomunikasi dengan anggota kelompok tersebut.
b.
Kecerdasan Anak yang memiliki kecerdasan tinggi, belajar berbicara lebih cepat dan memperlihatkan penguasaan bahasa yang lebih unggul daripada anak yang tingkat kecerdasannya rendah.
c.
Keadaan sosial ekonomi
55
Anak dari kelompok dengan keadaan sosial ekonominya tinggi lebih mudah belajar berbicara, mengungkapkan dirinya lebih baik, dan lebih banyak bicara daripada anak dari kelompok dengan keadaan sosial ekonominya lebih rendah. Penyebab utamanya adalah bahwa anak dari kelompok yang lebih tinggi, lebih banyak didorong untuk berbicara dan lebih banyak dibimbing melakukannya. d.
Jenis kelamin Dibandingkan dengan anak perempuan, anak laki-laki tertinggal dalam belajar berbicara. Pada setiap jenjang umur, kalimat anak laki-laki lebih pendek dan kurang betul tata bahasanya, kosa kata yang diucapkan lebih sedikit dan pengucapannya kurang tepat daripada anak perempuan.
e.
Keinginan berkomunikasi Semakin kuat keinginan untuk berkomunikasi dengan orang lain semakin kuat motivasi anak untuk belajar berbicara dan semakin bersedia menyisihkan waktu dan usaha yang diperlukan untuk belajar.
f.
Dorongan Semakin banyak anak didorong untuk berbicara dengan mengajaknya bicara dan didorong menanggapinya, akan semakin awal mereka belajar berbicara dan semakin baik kualitas bicaranya.
g.
Ukuran keluarga Anak tunggal atau anak dari keluarga kecil biasanya berbicara lebih awal dan lebih baik daripada anak dari keluarga besar, karena orang tua dapat menyisihkan waktu yang lebih banyak untuk mengajar anaknya berbicara.
h.
Urutan kelahiran
56
Dalam keluarga yang sama, anak pertama lebih unggul daripada anak yang lahir kemudian. Ini karena orang tua dapat menyisihkan waktunya yang lebih banyak untuk mengajar dan mendorong anak yang lahir pertama dalam belajar berbicara daripada untuk anak yang lahir kemudian. i.
Metode pelatihan anak Anak-anak dilatih secara otoriter yang menekankan bahwa ”anak harus dilihat dan bukan didengar” merupakan hambatan belajar, sedangkan pelatihan yang memberikan keleluasaan dan demokratis akan mendorong anak untuk belajar.
j.
Kelahiran kembar Anak yang lahir kembar umumnya terlambat dalam perkembangan bicaranya terutama karena mereka lebih banyak bergaul dengan saudara kembarnya dan hanya memahami logat khusus yang mereka miliki. Ini melemahkan motivasi mereka untuk belajar berbicara agar orang lain dapat memahami mereka.
k.
Hubungan dengan teman sebaya Semakin banyak hubungan anak dengan teman sebayanya dan semakin besar keinginan mereka untuk diterima sebagai anggota kelompok sebaya, akan semakin kuat motivasi mereka untuk belajar berbicara.
l.
Kepribadian Anak yang dapat meyesuaikan diri dengan baik cenderung kemampuan bicaranya lebih baik, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif, daripada anak yang penyesuaian dirinya jelek. Kenyataannya, bicara seringkali dipandang sebagai salah satu petunjuk anak yang sehat mental. Pendapat Hurlock (1978), terdapat kondisi yang ikut mempengaruhi emosi
dominan, antara lain:
57
a.
Kondisi kesehatan Kesehatan yang baik mendorong emosi yang menyenangkan menjadi dominan, sedangkan kesehatan yang buruk menyebabkan emosi yang tidak menyenangkan menjadi dominan.
b.
Suasana rumah Jika anak-anak tumbuh dalam lingkungan rumah yang lebih banyak berisi kebahagiaan dan apabila pertengkaran, kecemburuan, dendam dan perasaan lain yang tidak menyenangkan diusahakan sesedikit mungkin, maka anak akan lebih banyak mempunyai kesempatan untuk menjadi anak yang bahagia.
c.
Cara mendidik anak Mendidik anak secara otoriter, yang menggunakan metode hukuman untuk memperkuat kepatuhan secara ketat, akan mendorong emosi yang tidak menyenangkan menjadi dominan. Cara mendidik anak yang bersifat demokratis dan permisif akan menimbulkan suasana rumah yang lebih santai yang akan menunjang bagi ekspresi emosi yang menyenangkan.
d.
Hubungan dengan para anggota keluarga Hubungan yang tidak rukun dengan orang tua atau saudara akan lebih banyak menimbulkan kemarahan dan kecemburuan sehingga emosi ini akan cenderung menguasai kehidupan anak di rumah.
e.
Hubungan dengan teman sebaya Jika anak diterima dengan baik oleh kelompok teman sebaya maka emosi yang menyenangkan akan menjadi dominan padanya, sedangkan jika anak ditolak atau diabaikan oleh kelompok teman sebaya maka emosi yang tidak menyenangkan akan menjadi dominan padanya.
58
f.
Perlindungan yang berlebih-lebihan Orang tua yang melindungi anak secara berlebihan, yang hidup dalam prasangka bahaya terhadap segala sesuatu, akan menimbulkan rasa takut pada anak menjadi dominan.
g.
Aspirasi orang tua Jika orang tua mempunyai aspirasi tinggi yang tidak realistis bagi anak-anaknya, anak akan menjadi malu, canggung dan merasa bersalah bila mereka menyadari kritik orang tua bahwa mereka tidak dapat memenuhi harapan tersebut. Pengalaman semacam ini yang terjadi berulang kali dengan segera akan menyebabkan emosi yang tidak menyenangkan menjadi dominan dalam kehidupan anak.
h.
Bimbingan Bimbingan dengan titik berat pada penanaman pengertian bahwa mengalami frustasi diperlukan sekali-kali dapat mencegah kemarahan, kebencian menjadi emosi yang dominan. Tanpa bimbingan semacam ini, emosi tersebut akan menjadi dominan terutama apabila frustasi yang dialami dirasakan tidak adil bagi seorang anak. Hurlock E.B.(1978) berpendapat, faktor yang ikut mempengaruhi perbedaan
pengaruh kelompok sosial, antara lain: a.
Kemampuan untuk dapat diterima kelompok Anak-anak yang populer dan melihat kemungkinan memperoleh penerimaan kelompok lebih dipengaruhi kelompok dan kurang dipengaruhi keluarga dibandingkan dengan anak-anak yang pergaulannya dengan kelompok tidak begitu akrab. Anak-anak yang hanya melihat adanya kesempatan kecil untuk
59
dapat diterima kelompok mempunyai motivasi yang kecil pula untuk menyesuaikan diri dengan standar kelompok. b.
Keamanan karena status dalam kelompok Anak-anak yang merasa aman di dalam kelompok akan merasa bebas mengekspresikan ketidakcocokan mereka dengan pendapat anggota lainnya. Sebaliknya mereka yang merasa tidak aman akan menyesuaikan diri sebaik mungkin dan akan mengikuti anggota lainnya.
c.
Tipe kelompok Pengaruh kelompok berasal dari jarak sosial yaitu derajat hubungan kasih sayang di antara para anggota kelompok. Pada kelompok primer (antara lain keluarga atau kelompok teman sebaya) ikatan hubungan dalam kelompok lebih kuat dibandingkan dengan pada kelompok sekunder (antara lain kelompok bermain yang diorganisasikan atau perkumpulan sosial) atau pada kelompok tersier (antara lain orang-orang yang berhubungan dengan anak di dalam bus, kereta api dan sebagainya). Akibatnya kelompok primer mempunyai pengaruh terkuat terhadap anak-anak.
d.
Perbedaan keanggotaan dalam kelompok Dalam sebuh kelompok, pengaruh terbesar biasanya timbul dari pemimpin kelompok dan pengaruh yang terkecil berasal dari anggota yang paling tidak populer.
e.
Kepribadian Anak-anak yang merasa tidak mampu atau rendah diri lebih banyak dipengaruhi oleh kelompok dibandingkan dengan mereka yang memiliki kepercayaan pada diri sendiri yang besar dan yang lebih menerima diri sendiri. Anak dengan pola
60
kepribadian otoriter paling dipengaruhi kelompok karena mereka selalu merasa takut kalau-kalau tidak disukai teman sebaya. f.
Motif menggabungkan diri Semakin kuat motif anak-anak untuk menggabungkan diri yaitu keinginan untuk diterima, semakin rentan mereka terhadap pengaruh anggota lainnya, terutama pengaruh dari mereka yang mempunyai status tinggi dalam kelompok. Semakin menarik kelompok itu bagi anak-anak, semakin ingin mereka diterima dan bersedia dipengaruhi oleh kelompok tersebut.
6.
Kebutuhan Dasar Anak Moersintowarti, dkk. (2008) berpendapat, kebutuhan dasar anak untuk tumbuh
kembang secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar: a.
Kebutuhan fisik-biomedis ( ASUH ) 1) Nutrisi yang adekuat dan seimbang. Merupakan kebutuhan akan “asuh” yang terpenting. Nutrisi adalah termasuk pembangun tubuh yang mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan, terutama pada tahuntahun pertama kehidupan diamana anak sedang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat terutama pertumbuhan otak. Keberhasilan perkembangan anak ditentukan oleh keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan otak. Jadi dapat dikatakan
bahwa
nutrisi,
selain
mempengaruhi perkembangan otak. 2) Perawatan Kesehatan Dasar
mempengaruhi
pertumbuhan,
juga
61
a) Pemberian imunisasi pada anak adalah penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas terhadap penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. b) Pengobatan bila anak sakit. Anak yang sehat pada umumnya akan tumbuh dengan baik. 3) Pakaian Pakaian yang layak, bersih dan aman (tidak mudah terbakar, tanpa pernikpernik yang mudah menyebabkan anak kemasukan benda asing) 4) Perumahan. Keadaan perumahan yang layak dengan konstruksi bangunan yang tidak membahayakan penghuninya, akan menjamin keselamatan dan kesehatan penghuninya. Misalnya ventilasi dan pencahayaan yang cukup, tidak penuh sesak, cukup leluasa untuk anak bermain, bebas polusi, maka akan menjamin tumbuh kembang anak. 5) Higiene diri dan sanitasi lingkungan. Kebersihan, baik kebersihan diri maupun lingkungan memegang peranan penting pada tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan yang kurang akan memudahkan terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran pencernaan seperti diare, cacing, dll. Sedangkan kebersihan lingkungan erat hubungannya dengan penyakit saluran pernapasan, saluran pencernaan, serta penyakit akibat nyamuk. 6) Kesegaran jasmani : olah raga, rekreasi. b.
Kebutuhan emosi / kasih sayang (ASIH) 1) Kasih sayang orang tua.
62
Kasih sayang orang tua yang hidup rukun berbahagia dan sejahtera yang memberi bimbingan, perlindungan, perasaan aman kepada anak merupakan salah satu kebutuhann yang diperluan anak untuk tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin. Bayi yang normal biasanya akan mulai menampakkan rasa cemas bila ditinggalkan ibunya pada umur antar 7 sampai 9 bulan. Hubungan antar ibu dan anak pada dua tahun pertama dalam kehidupan si anak harus cukup memberikan kepercayaan pada si anak, akan tetapi bila berlebihan dapat menyebabkan anak menjadi manja. Bila seorang ibu oleh karena bekerja harus meninggalkan anaknya, maka hal ini tidak akan mengakibatkan kelainan pada anak asal si ibu setiap hari masih dapat bertemu dan bergaul dengan si anak dalam waktu-waktu tertentu. Bila si ibu harus berpisah dalam waktu yang lama, diperlukan seorang pengasuh / substitusi ibu yang tetap. 2) Rasa Aman Seorang anak akan merasa diterima oleh orang tuanya bila ia merasa bahwa kepentingannya diperhatikan serta merasa ada hubungan yang erat antara ia dan keluarganya. 3) Harga Diri Setiap anak ingin merasa bahwa ia mempunyai tempat dalam keluarga, keinginannya diperhatikan, apa yang dikatakannya ingin didengar orang tua, tidak diacuhkan. 4) Kebutuhan akan sukses Setiap anak ingin merasa bahwa apa yang diharapkan daripadanya dapat dilakukannya, dan ia merasa sukses mencapai sesuatu yang diinginkan orang
63
tua. Janganlah anak dipaksa melakukan sesuatu diluar kemampuannya. Oleh karena besar kemungkinan ia gagal. Jika kegagalan terjadi berulang-ulang, ia akan merasa kecewa dan akhirnya merasa kehilangan kepercayaan dirinya. Ia akan merasa rendah diri dari pergaulan dengan teman-temannya. 5) Mandiri Kemandirian pada anak hendaknya selalu didasarkan pada perkembangan anak. Apabila orang tua masih menuntut anaknya mandiri melampaui kemampuannya, maka anak dapat menjadi tertekan. Anak masih perlu bantuan untuk belajar mandiri, belajar untuk memahami persoalan, memahami apa yang harus diperhatikan dan kesemuanya itu memerlukan waktu. 6) Dorongan Anak membutuhkan dorongan dari orang-orang sekelilingnya apabila tidak mampu menghadapi situasi/masalah. Tentu saja dorongan yang diberikan bukan merupakann bantuan yang seutuhnya sehingga anak tinggal menerima jadi, tetapi dapat berupa langkah-langkah yang dapat diambil memberi semangat bahwa dia dahulu dapat mengatasi dengan baik, dan sebagainya. Dengan demikian anak merasa dapat dorongan dan mempunyai semangat untuk menghadapi situasi-situasi atau masalah. 7) Kebutuhan mendapatkan kesempatan dan pengalaman Anak-anak
membutuhkan
dorongan
orang
tua
dan
orang-orang
disekelilingnya dengan diberikan kesempatan dan pengalaman dapat mengembangkan sifat-sifat bawaannya. Apabila anak menerima hasil tanpa
64
usaha, anak justru tidak senang. Dia ingin diberi kesempatan menunjukkan kemampuan dan ingin mempunyai pengalaman. 8) Rasa memiliki Kebutuhan anak akan rasa memiliki sesuatu (betapapun kecilnya) harus diperhatikan. Semua benda-benda miliknya yang dianggap berharga harus dapat dia miliki sendiri (bagi orang tua barang-barang tersebut tidak berharga sama sekali). Orang tua harus dapat memberikan rasa memiliki pada anak. Penghargaan orang tua pada benda milik anak sangat diperlukan anak. Ikatan ibu-anak yang erat, mesra, selaras, seawal dan sepermanen mungkin sangatlah penting karena: 1) Turut menentukan perilaku anak di kemudian hari 2) Merangsang perkembangan otak anak 3) Merangsang perhatian anak kepada dunia luar. Pemenuhan kebutuhan emosi (asih) ini dapat dilakukan sedini-seawal mungkin yaitu dengan mendekapkan bayi pada ibunya sesegera mungkin setelah lahir. Keadaan ini akan menimbulkan kontak fisis (kontak kulit) dan psikis (kontak mata) sedini mungkin. Bahkan dimasa pranatal pun kebutuhan emosi anak (janin) seharusnya sudah harus dipenuhi yaitu dengan mengupayakan agar kehamilannya merupakan kehamilan yang diinginkan, sewaktu hamil ibu berbicara dengan bayi yang dikandungnya. c.
Kebutuhan akan stimulasi mental (ASAH) Merupakan cikal bakal proses pembelajaran anak : pendidikan dan pelatihan. Yang dimaksud dengan stimulasi di sini adalah perangsangan yang datang dari lingkungan luar anak antara lain berupa latihan atau bermain.
65
Stimulasi merupakan hal yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Anak yang banyak mendapat stimulasi yang terarah akan cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau bahkan tidak mendapat stimulasi. Stimulasi juga dapat berfungsi sebagai penguat yang bermanfaat bagi perkembangan anak. Stimulasi harus dilaksanakan dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Bermain, mengajak anak berbicara (komunikasi verbal) dengan penuh kasih sayang adalah hal yang penting bagi perkembangan anak, seperti halnya kebutuhan makanan untuk pertumbuhan badan. Bermain bagi anak tidak hanya sekedar mengisi waktu luang anak saja, tetapi melalui bermain anak bisa belajar mengendalikan dan mengkoordinasikan otot-ototnya melibatkan perasaan, emosi dan pikiran. Dengan demikian melalui bermain anak mendapat berbagai pengalaman hidup. Manfaat lain dari bermain apabila dilakukan bersama orang tuanya adalah hubungan orang tua dan anak menjadi semakin akrab dan juga orang tua akan mengetahui sejak dini kalau anaknya mengalami gangguan perkembangan. Agar dapat bermain, diperlukan pula tersedianya alat permainan edukatif dan kreatif yang layak sesuai dengan kematangan mental anak. Stimulasi mental ini diperlukan seawal dan sedini mungkin, terutama sampai 4 – 5 tahun pertama setelah lahir. Bahkan sewaktu dalam kandungan, asah ini sudah diperlukan. Hal ini dapat dilakukan dengan berbicara pada anak dalam kandungan serta memperdengarkan jenis-jenis musik klasik yang untuk merangsang hemisfer (belahan) otak kanan. Setelah lahir stimulasi mental sudah dapat diberikan dengan sedini mungkin (setelah bayi dibersihkan) menetekkan bayi pada ibunya. Tindakan ini pada bayi akan asah yang akan menyempurnakan refleks
66
menghisap, refleks menelan dan refleks menemukan puting susu. Karena asah ini diperlukan sedini mungkin (sampai 4 – 5 tahun setelah lahir) maka periode ini sering disebut sebagai tahun-tahun keemasan (golden years). Stimulasi mental akan menunjang perkembangan mental-psikososial antara lain: sifat agamis, moral, etika, budi luhur, kepribadian mantap, kecerdasan (kognitif, emosi-sosial, spiritual dan sebagainya), kemandirian, kreativitas, ketrampilan, produktivitas dan sebagainya.
7.
Cara Penilaian Perkembangan Anak Balita Soetjiningsih (1995) berpendapat, cara penilaian perkembangan anak balita,
antara lain : a.
Tes Intelegensia Stanford-Binet (The Stanford-Binet Test). Test ini merupakan tes
yang tertua dan digunakan secara luas di hampir semua tempat. Test ini digunakan mulai umur 2 tahun sampai dewasa. Walaupun sebagian besar terdiri dari unsur-unsur verbal, maka tes ini tidak bermanfaat untuk anak dengan gangguan bahasa dan bicara, serta tidak dapat menjelaskan anak yang mengalami kesulitan belajar. Nilai yang didapat dati test ini adalah IQ dan umur mental. Pada test ini juga terdapat beberapa skema yang secara mandiri digunakan untuk menganalisis kekuatan dan keterbatasan seorang anak, tetapi karena distribusi berbagai jenis soal tidak merata, maka mengakibatkan pemeriksaaan jawaban menjadi sulit. Untuk anak yang buta digunakan modifikasi tes Binet, yaitu tes Hayes-Binet dan tes Perkins-Binet. b.
Skala Intelegensi Wechsler untuk anak prasekolah dan sekolah. The Wechsler
Intelligence Scale for children (WPPSI), dipakai setelah Davit Wechsler menggunakan tes ini secara luas pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa,
67
kemudian mengembangkan untuk anak-anak prasekolah (umur 4-6½ tahun). WPPSI mempunyai 11 sub-tes dibagi menjadi skala verbal dan performance, dengan nilai IQ yang menggambarkan keseluruhan penilaian hasil tes. Walaupun memerlukan waktu yang cukup lama untuk melaksanakan tes ini, tes ini memberikan informasi diagnostik yang berguna untuk penilaian anak yang mengalami kesulitan belajar dan retardasi mental. c.
Skala Perkembangan menurut Gesel (Gesell Infant Scale). Skala perkembangan
metode Arnold Gesell bertujuan untuk menentukan tahap kematangan dan kelengkapan kegiatan suatu sistem yang sedang berkembang. Skala Gesell berdasarkan pengalaman selama bertahun-tahun terhadap anak normal, agak normal dan anak dengan masalah. Skala Gesell menggambarkan taraf kematangan dari bidang-bidang terpenting dari perilaku seorang anak. Gesell tidak hanya meninjau dari aspek diagnostik, tetapi juga aspek prognosis dan kemungkinan pengobatannya. Skala ini di terbitkan pertama kali pada tahun 1925 dan dapat digunakan dari umur 4 minggu sampai 6 tahun. Dalam tahun pertama pembagian tahapan perkembangan anak tiap 4 minggu, tahun kedua tiap 3 bulan dan selanjutnya tiap 6 bulan. Karena perkembangan bayi pada satu tahun pertama jauh lebih pesat dibandingkan dengan perkembangan anak yang lebih besar. Dalam skala Gesell dibagi menurut 4 pengelompokan yang dianggap sebagai perilaku utama, yaitu: 1) Perilaku motorik (motorik behavior), termasuk motorik halus dan kasar. 2) Perilaku adaptif (adaptive behavior), adalah penyesuaian terhadap objek dengan alat sensorimotorik, maupun penyesuaian terhadap masalah-masalah biasa.
68
3) Perilaku bahasa (language behavior), tidak saja menyangkut bahasa yang diucapkan, tetapi juga ekspresi wajah dan sikap-sikap yang berkaitan. 4) Perilaku sosial (personal social behavior), adalah reaksi pribadi anak terhadap lingkungan sosial di mana anak itu hidup. Pada pelaksanaan pemeriksaan dengan metode Gesell dipakai alat yang dikenal dengan kotak Gesell. Keuntungan pemakaian skala Gesell adalah ciri-ciri perilaku yang
dipakai
telah
dikembangkan
dalam
rangka
pemeriksaan
diagnostik
perkembangan, di mana ciri-ciri perilaku tersebut bersifat menyeluruh dan mempergunakan kriteria somatik dan fisiologis. Dalam diagnostik perkembangan Gesell, bentuk perilaku anak berdasarkan derajat maturitas dan hasilnya dinyatakan sebagai koefisien perkembangan, yaitu: Koefisien perkembangan (KP) = Umur maturitas
x
100
Umur kronologis d.
Skala Bayley (Bayley Infant Scale of Development). Skala ini dibuat untuk anak
umur 8 minggu sampai 30 bulan (2½ tahun). Tujuan dari program diagnostik perkembangan ini adalah untuk menentukan kemampuan perkembangan mental dan motorik seorang anak dan mencari penyimpangan dari perkembangan yang normal. Skala Bayley dibagi dalam 3 bagian yang saling melengkapi, yaitu: 1)
Skala perkembangan mental (Mental Scale)
2)
Skala perkembangan motorik (Motoric scale)
3)
Rekaman perilaku anak (Infant behavior record) Untuk perkembangan skala mental, dihitung indeks perkembangan mental
(Mental development index). Untuk perkembangan motorik, dihitung indeks perkembangan psikomotorik (Psychomotor Development Index). Sedangkan untuk
69
perilaku anak, dipakai sebuah tabel yang menunjukkan persentase angka-angka dari tiap penggolongan perilaku anak. Persentase ini diperoleh dari hasil uji coba pada anak-anak. Dengan cara ini dapat diketahui apakah seorang anak menunjukkan perilaku yang sesuai atau tidak sesuai dengan suatu standar. Hasil penggunaan skala Bayley hanya memberi petunjuk, apakah bayi atau anak yang diperiksa itu perkembangannya lebih atau kurang dari normal. Hasil tersebut tidak memberikan pegangan yang nyata untuk dimulainya suatu terapi menurut bidang fungsi tertentu. e.
Diagnostik perkembangan fungsi Munchen tahun pertama. Aspek perkembangan
yang dinilai adalah: 1)
Umur merangkak
: sebagai ukuran perkembangan merangkak dan merayap.
2)
Umur duduk
: sebagai ukuran perkembangan duduk
3)
Umur berjalan
: sebagai ukuran perkembangan berdiri dan berjalan.
4)
Umur memegang
: sebagai ukuran perkembangan memegang.
5)
Umur berbicara
: sebagai ukuran perkembangan ungkapan vokal dan fungsi bicara.
6)
Umur pengertian bahasa
: sebagai
ukuran
perkembangan
pengertian
bahasa 7)
Umur sosialisasi
: sebagai ukuran perkembangan perilaku sosial
Umur bayi prematur adalah umur post natal kronologis yang sudah terkoreksi. Misalnya umur kronologis bayi 6 bulan, tetapi bayi tersebut lahir pada kehamilan 8 bulan, berarti 1 bulan lebih cepat, maka pada pencatatan bayi tersebut disesuaikan
70
dengan bayi 6 bulan – 1 bulan = 5 bulan. Persyaratan untuk diagnostik perkembangan fungsi Munchen tahun pertama: 1)
Bayi (bangun, tidak mengantuk, lelah, disertai ibunya/pengasuh yang sudah akrab dengan bayi tersebut).
2)
Ruangan tenang, suhu dan cahaya cukup.
3)
Pemeriksa (tidak tergesa-gesa, tenang). Alat-alat yang digunakan untuk Diagnostik perkembangan fungsi Munchen
tahun pertama: 1)
Sebuah lonceng
2)
Sebuah kericikan merah
3)
Sebuah gelang untuk dipegang dengan garis tengah 12 cm
4)
Beberapa kubus kayu berwarna polos dengan sisi 3 cm
5)
Kepingan plastik bulat berwarna dengan garis tengah 26 mm di dalam kotak bundar yang bagian dalamnya bergaris tengah 4,6 cm
6)
Sebuah boneka.
7)
Sebuah kubus terbuka dengan sisi 7,5 cm
8)
Selembar popok bayi
9)
Mobil kayu disertai tali penarik sepanjang 14 cm
10) Selembar kertas lemas Penafsiran hasil tes diagnostik perkembangan fungsi Munchen tahun pertama, Dengan menggunakan dua catatan, yaitu: 1)
Formulir penilaian hasil pemeriksaan.
2)
Formulir pencatatan grafik perkembangan
71
f.
Tes bentuk geometrik. Tes ini merupakan suatu prosedur yang sederhana untuk
mengetahui kemampuan anak-anak umur 2½ tahun sampai 7 tahun dengan cara meniru bentuk geometrik yang sederhana. Anak diberi pensil dan kertas dan diperintahkan untuk meniru 7 bentuk geometrik yang berbeda pada waktu yang bersamaan pada setiap kertas putih yang berukuran 3 x 6 inchi. Gambaran garis vertikal biasanya dapat dibuat oleh anak umur 2½ tahun sampai 3 tahun, lingkaran oleh anak umur 3 tahun, garis menyilang oleh anak umur 3½ tahun, bentuk “V” oleh anak umur 4 tahun, bentuk segi empat oleh anak umur 5 tahun dan bentuk permata oleh kebanyakan anak umur 7 tahun. Tes ini dapat sebagai indikator perkembangan intelegensia dan perkembangan motorik halus. g.
Tes motor visual Bender Gestalt. Tes ini untuk menilai dan skrining anak-anak
yang mengalami kesulitan persepsi motorik yang dimulai pada umur 5 tahun dan yang lebih tua. Seperti pada tes bentuk geometrik, anak diberikan pensil dan kertas dan diperintahkan untuk meniru 9 bentuk yang diberikan pada waktu yang bersamaan. Disain ini digambar pada kertas putih ukuran 3 x 6 inchi dan terdiri dari bentukbentuk yang berbeda seperti lingkaran, titik-titik, garis bergelombang yang berpotongan, bentuk permata, segi empat yang berdekatan dan lebih rumit. Kartu yang sama ini dapat digunakan sebagai tes memori dengan cara meminta anak untuk mengulang/mengingat seberapa banyak yang dia bisa. h.
Tes menggambar orang (Draw A Man Test). Tes ini relatif sederhana. Pada anak
berumur 3 tahun 3 bulan diberikan pensil dan kertas dan diperintahkan untuk menggambar seorang laki-laki. Menurut sistem skoring Good enough yang normal, apabila seorang anak dapat menggambar kepala maka dia telah mencapai usia mental minimal 3 tahun 3 bulan. Sesuai dengan sistem skoring, kredit umur
3 bulan
72
ditambahkan setiap bagian tubuh yang sesuai, juga untuk pakaian dan asesoris ditambahkan nilai yang sama seperti bagian tubuh lainnya. Jadi makin cerdas seorang anak ia akan membuat gambar yang lebih baik yang mencerminkan kapasitas intelektual yang lebih tinggi yang sudah ada secara intrinsik di dalam dirinya. i.
Tes perkembangan adaptasi sosial. Adaptasi adalah suatu proses yang kontinu
(berkelanjutan), yang dimulai sejak anak dilahirkan. Kematangan sosial merupakan suatu evolusi perkembangan perilaku, di mana nantinya seorang anak dapat mengekspresikan pengalamannya secara utuh dan dia belajar secara bertahap untuk meningkatkan kemampuannya untuk mandiri, bekerja sama dengan orang lain dan bertanggung jawab terhadap kelompoknya. Suatu skala pengukuran yang baik untuk perkembangan sosial adalah skala maturitas sosial dari Vineland (Vineland Social Maturity Scale). Pada tes ini diperlukan jawaban/informasi yang dapat dipercaya dari orang tua anak, mengenai perkembangan anaknya mulai dari tahun-tahun pertama sampai pada saat tes dilakukan. Alat tes ini mengkategorikan kemampuan motorik dan perkembangan sosial anak dari lahir sampai dewasa. Kualitas hasil pemeriksaan tergantung pada kemampuan si penguji dan ayah/ibu yang memberi jawaban. Kegunaan skala ini adalah tes psikologi anak-anak yang mengalami deviasi perkembangannya. Skala maturitas sosial dari Vineland ini dibagi menjadi 8 kategori (Lampiran 2) sebagai berikut: 1)
Self-help general (SHG): eating and dressing oneself. (Mampu menolong dirinya sendiri: makan dan berpakaian sendiri)
2)
Self-help eating (SHE): the child can feed himself. (Mampu makan sendiri)
3)
Self-help dressing (SHD): the child can dress himself. (Mampu berpakaian sendiri)
73
4)
Self-direction (SD): the chid can spend money and assume responsibilities. (Mampu memimpin dirinya sendiri: misalnya mengatur keuangannya dan memikul tanggung jawab sendiri)
5)
Occupation (O): the child does things for himself, cuts things, uses a pencil and transfers objects. (Mampu melakukan pekerjaan untuk dirinya, menggunting, menggunakan pensil, memindahkan benda-benda)
6)
Communication (C): the child talks, laughs and reads. (Mampu berkomunikasi seperti berbicara, tertawa dan membaca)
7)
Locomotion (L): the child can move about where he wants to go. (Gerakan motorik: anak mampu bergerak ke mana pun ia inginkan)
8)
Socialization (S): the child seeks the company of others, engages in play and competes. (Mampu bersosialisasi: berteman, terlibat dalam permainan dan berkompetisi) Dari 8 kategori tersebut, kemampuan bersosialisasi dan berkomunikasi sangat
penting bila anak diharapkan mempunyai kemampuan perkembangan sosial yang normal. Sebagai contoh pada tes adaptasi sosial menurut Vineland yang dimulai pada umur satu bulan dan dilanjutkan sampai 12 bulan, terdapat 17 item dari 8 kategori tersebut di atas. Dari 17 item tersebut terdapat 12 kemampuan bersosialisasi (2S) dan 3 kemampuan berkomunikasi (3C). Kemampuan bersosialisasi pada satu tahun pertama tersebut adalah: mendekati orang-orang yang dikenal dan minta diperhatikan. Sedangkan kemampuan berkomunikasi adalah: mendekat/tertawa, bicara/meniru suara-suara dan mengikuti petunjuk/perintah yang sederhana.
74
Sesudah umur 2 tahun, terlihat perkembangan sosial anak sangat pesat, antara lain: 1)
Sejak
usia
2-3
tahun
anak
dapat
menceritakan
pengalamannya
dan
berkomunikasi. 2)
Sejak usia 3-4 tahun anak mulai bermain bersama dengan teman-temannya pada taraf taman kanak-kanak dan dapat melakukan sesuatu untuk teman-teman lainnya.
3)
Sejak usia 4-5 tahun anak terlibat dalam permainan yang bersifat kompetitif.
4)
Sejak usia 5-6 tahun menulis kata-kata sederhana dan ikut permainan meja (seperti halma, kuartet dan lain-lain) serta komunikasi dan sosialisasi yang meningkat.
5)
Sejak usia 6-7 tahun dapat menggunakan pensil untuk menulis dan berkomunikasi.
6)
Sejak usia 7-8 tahun, norma-norma sosial lebih meningkat lagi, dapat membaca atas inisiatifnya sendiri, berpartisipasi pada permainan anak pra remaja.
j.
Tes skrining perkembangan menurut Denver (Denver Developmental Screening
Test/DDST). DDST adalah salah satu dari metode skrining terhadap kelainan perkembangan anak, tes ini bukanlah tes diagnostik atau tes IQ. Frankenburg et al.(1990) berpendapat, untuk menilai perkembangan anak balita digunakan Denver II yang merupakan revisi dan restandarisasi dari DDST (Denver Developmentalm Screening Test). Aspek perkembangan yang dinilai terdiri dari 125 tugas perkembangan, dimana semua tugas perkembangan itu disusun berdasarkan urutan perkembangan dan diatur dalam 4 kelompok besar yang disebut sektor perkembangan, yang meliputi:
75
1)
Personal social (perilaku sosial) Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya
2)
Fine motor adaptive (gerakan motorik halus) Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil, tetapi memerlukan kooordinasi yang cermat. Misalnya kemampuan untuk menggambar, memegang sesuatu benda, dan lain-lain.
3)
Language (bahasa) Kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan.
4)
Gross motor (gerakan motorik kasar) Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh Setiap tugas (kemampuan) digambarkan dalam bentuk kotak persegi panjang
horisontal yang berurutan menurut umur, dalam lembar Denver II. Pada umumnya pada waktu tes, tugas yang perlu diperiksa pada setiap kali skrining hanya berkisar antara 25-30 tugas saja, sehingga tidak memakan waktu lama hanya sekitar 15-20 menit saja, alat yang digunakan: 1)
Alat peraga: benang wol merah, kismis/manik-manik, kubus warna merahkuning-hijau-biru, permainan anak, botol kecil, bola tenis, bel kecil, kertas dan pensil.
2)
Lembar formulir Denver II
3)
Manual Denver sebagai referensi yang menjelaskan cara-cara melakukan tes dan cara penilaiannya.
76
Penilaian metode Denver II. Manual Denver dari Soetjiningsih (1995) dan Frankenburg, et al. (1990) terdapat penjelasan tentang bagaimana melakukan penilaian apakah lulus (Passed = P), gagal (Fail = F), ataukah anak tidak dapat kesempatan melakukan tugas (No Opportunity = N.O.). Kemudian ditarik garis berdasarkan umur kronologis yang memotong garis horisontal tugas perkembangan pada formulir Denver II. Setelah itu dihitung pada masing-masing sektor, berapa yang P dan berapa yang F, selanjutnya berdasarkan pedoman, hasil tes diklasifikasi dalam: 1)
Normal: semua yang tidak tercantum dalam kriteria tersebut dibawah.
2)
Meragukan: bila pada 1 sektor didapatkan 2 keterlambatan atau lebih atau bila pada 1 sektor atau lebih didapatkan 1 keterlambatan dan pada sektor yang sama tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan dengan garis vertikal usia.
3)
Tidak Normal: bila didapatkan 2 atau lebih keterlambatan pada 2 sektor atau lebih, atau bila dalam 1 sektor atau lebih didapatkan 2 atau lebih keterlambatan ditambah 1 sektor atau lebih dengan 1 keterlambatan dan pada sektor yang sama tersebut tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan dengan garis vertikal usia. Dalam pelaksanaan skrining dengan Denver II ini, umur anak perlu ditetapkan
terlebih dahulu, dengan menggunakan patokan 30 hari untuk satu bulan dan 12 bulan untuk satu tahun. Bila dalam perhitungan umur kurang dari 15 hari dibulatkan ke bawah dan sama dengan atau lebih dari 15 hari dibulatkan keatas. Perhitungan umur adalah sebagai berikuta: Misalnya Budi lahir pada tanggal 23 Mei 1992 dari kehamilan yang cukup bulan dan tes dilakukan pada tanggal 5 Oktober 1994, maka umur Budi 2 tahun 4 bulan 12 hari, karena 12 hari adalah lebih kecil dari 15 hari, maka dibulatkan kebawah, sehingga umur Budi adalah 2 tahun 4 bulan. Kemudian
77
garis umur ditarik vertikal pada formulir Denver II yang memotong kotak-kotak tugas perkembangan pada ke-4 sektor. Tugas-tugas yang terletak di sebelah kiri garis itu, pada umumnya telah dapat dikerjakan oleh anak-anak seusia Budi ( 2 tahun 4 bulan ). Apabila Budi gagal mengerjakan beberapa tugas-tugas tersebut ( F ), maka berarti suatu keterlambatan pada tugas tersebut. Bila tugas-tugas yang gagal dikerjakan berada pada kotak yang terpotong oleh garis vertikal umur, maka ini bukan suatu keterlambatan , karena pada kontrol lebih lanjut masih mungkin terdapat perkembangan lagi. Begitu pula pada kotak-kotak di sebelah kanan garis umur. Pada ujung kotak sebelah kiri terdapat kode-kode R dan nomor. Kalau terdapat kode R maka tugas perkembangan cukup ditanyakan pada orang tuanya, sedangkan bila terdapat kode nomor maka tugas perkembangan dites sesuai petunjuk dibaliknya formulir.
B. Ibu bekerja dan tidak bekerja. Pendapat Sam. (2009), Ibu bekerja artinya kegiatan yang dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga baik secara langsung atau secara tidak langsung untuk mendapatkan penghasilan dalam bentuk uang atau barang, mengeluarkan energi dan mempunyai nilai waktu. Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anakanaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. Menurut dinas tenaga kerja dan transmigrasi bahwa bekerja adalah mereka yang melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh
78
penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam secara terus menerus dalam seminggu. (termasuk pekerjaan keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi). Menurut Marsha Sinetar cit Rich (2006) bahwa bekerja sebenarnya menjual waktu, tenaga, mental, spiritual untuk mendapatkan uang. Menurut UU Ketenagakerjaan (2003), waktu kerja adalah 7 jam sehari selama 6 hari atau 40 jam seminggu atau 8 jam sehari selama 5 hari atau 40 jam seminggu. Kesimpulan dari definisi ibu bekerja adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga baik secara langsung atau secara tidak langsung, dengan mengeluarkan tenaga atau energi dan mempunyai nilai waktu untuk mendapatkan penghasilan dalam bentuk uang / barang atau keuntungan dengan waktu kerja adalah 7 jam sehari selama 6 hari atau 40 jam seminggu atau 8 jam sehari selama 5 hari atau 40 jam seminggu. Ibu yang tidak bekerja adalah ibu rumah tangga yang tidak memiliki aktifitas yang secara langsung menghasilkan uang atau barang yang dapat menyumbang penghasilan keluarga.
C. Hubungan perkembangan anak balita dan pekerjaan ibu Pengaruh signifikan terhadap atmosfir di rumah adalah Bekerjanya salah satu atau kedua orang tua untuk mencari nafkah. Pekerjaan orang tua menentukan lebih banyak dari sekedar sumber keuangan keluarga. Banyak waktu, tenaga, dan keterlibatan emosional orang dewasa dicurahkan kepada pekerjaan mereka. Pekerjaan orang tua dan pengaturan pengasuhan anak mereka dapat mempengaruhi seorang anak.
79
Ibu-ibu yang bekerja menyediakan berbagai persiapan untuk perawatan anakanak mereka. Sebagian besar meninggalkan anak-anak mereka yang berusia prasekolah di rumah di bawah pengawasan seorang pengasuh atau seorang saudara selama mereka bekerja. Ibu-ibu lainnya menyerahkan anak-anak mereka ke pusat penitipan anak sepanjang hari. Jelaslah bahwa pengaruh bekerjanya ibu terhadap perkembangan anak sebagian besar tergantung pada kualitas perawatan pengganti. Hasil penelitian Gold,et.al.(1979), Birnbaum (1975), dan Hoffman (1980) cit Atkinson,et.al.(1983) menunjukkan bahwa memiliki seorang ibu yang bekerja nampaknya lebih menguntungkan bagi anak perempuan daripada bagi anak laki-laki. Anak-anak perempuan yang mempunyai ibu yang bekerja cenderung lebih dapat mandiri, lebih dapat menyesuaikan diri dalam pergaulan, cenderung berprestasi baik secara akademis serta bercita-cita mencapai suatu karier dibandingkan dengan anak perempuan yang memiliki ibu yang tidak bekerja. Penelitian yang dilakukan oleh Brown (1970) dan Banducci (1967) cit Atkinson,et.al.(1983) menunjukkan bahwa anak laki-laki yang memiliki ibu yang bekerja juga lebih mandiri dan lebih dapat menyesuaikan diri daripada anak-anak laki-laki yang memiliki ibu yang tidak bekerja, akan tetapi di sekolah dan dalam tes-tes kemampuan kognitif mereka tidak begitu baik. Penelitian yang dilakukan oleh Goldberg (1978) cit Atkinson,et.al.(1983) mendukung pernyataan bahwa prestasi di sekolah dari anak laki-laki yang mempunyai ibu yang bekerja tidak sebaik anak dari ibu yang tidak bekerja adalah benar bagi anakanak yang berasal dari keluarga kelas menengah, anak laki-laki yang berasal dari keluarga berpenghasilan sangat rendah, yang ibunya bekerja, sebaliknya mencapai skor lebih tinggi dalam tes-tes kemampuan kognitif. Sejumlah faktor ikut berpengaruh
80
terhadap berbagai perbedaan yang diakibatkan oleh bekerjanya ibu, tetapi suatu faktor penting ialah peran ibu sebagai seorang guru. Para ibu kelas menengah lebih berpendidikan dibandingkan dengan ibu-ibu kelas rendah; mereka merupakan guru yang lebih efektif dan merupakan suatu sumber stimulasi intelektual yang lebih luas bagi anak-anak mereka. Jadi bekerjanya ibu mungkin lebih banyak merugikan anak dari kelas menengah daripada anak dari kelas rendah. Jika anak dari kelas rendah diberi suatu lingkungan yang memberi stimulasi yang lebih intelektual pada waktu ibunya tidak ada (misalnya dititipkan pada suatu yayasan penitipan anak yang baik dengan guru-guru yang terlatih), dengan harapan terjadi perbaikan dalam ketrampilan akademis. Di beberapa negara seperti Cina, Rusia, Israel, para ibu dapat menitipkan bayibayi mereka pada tempat penitipan anak di tempat mereka bekerja begitu bayi mereka menginjak usia dua bulan. Para ibu mendatangi tempat penitipan anak pada waktu istirahat untuk menyusui bayi mereka. Menginjak usia 2 atau 3 tahun, sebagian besar bayi itu diantarkan ke yayasan penitipan anak dekat rumah pada pagi hari dan dijemput oleh orang tua mereka setelah selesai bekerja pada waktu petang hari. Di Israel, anak-anak dirawat sejak bayi oleh perawat profesional dalam rumah-rumah yang terpisah dari orang tua mereka. Selama satu tahun pertama, ibu menyediakan sebagian besar makanan dan perawatan anaknya, meskipun bayinya ditempatkan dalam tempat perawatan komunal. Setelah tahun pertama, ibu bekerja penuh dan orang tua bertemu dengan anak mereka terutama pada petang hari dan setiap hari Sabtu. Penelitian yang dilakukan oleh Kohen-Raz (1968) cit Papalia, et al. (2008) menunjukkan bahwa kemampuan fisik dan mental anak-anak dari tempat perawatan komunal sama dengan anak-anak Israel yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga
81
sendiri, dan kedua kelompok lebih unggul jika dibandingkan dengan anak-anak yang dirawat di yayasan yatim piatu. Pada studi-studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan di rumah yatim piatu menjadi terbelakang dalam perkembangan sosial dan intelektualnya, mereka yang bertanggung jawab terhadap pendirian yayasan penitipan anak dalam tempat perawatan komunal terutama mementingkan penyediaan hubungan hangat dengan pengganti ibu serta stimulasi intelektual yang cukup. Akibatnya, para perawat memperoleh pendidikan khusus dalam bidang perkembangan anak. National Longitudinal Survey of Youth (NLSY) adalah survei tahunan terhadap sekitar 12.600 wanita, diikuti dengan penilaian terhadap anak mereka. Sebuah analisis data NLSY tahun 1994 (Papalia, et al., 2008), menemukan sedikit pengaruh atau bahkan tidak ada pengaruh dari ibu yang bekerja pada masa awal perkembangan bayi terhadap kepatuhan anak, masalah perilaku, kepercayaan diri, perkembangan kognitif, atau prestasi akademik. Bahkan dalam sejumlah studi lain, ibu yang bekerja pada masa awal anak tampaknya memberikan manfaat kepada anak yang berada dalam keluarga berpenghasilan rendah dengan meningkatkan sumber keuangan keluarga. Santrock (2002) berpendapat, anak-anak bertumbuh dalam keluarga yang berbeda-beda. Sebagian anak tinggal dalam keluarga yang belum pernah mengalami perceraian, sebagian anak yang lain sepanjang masa-masa awal anak-anak benarbenar tinggal dalam keluarga orang tua tunggal, dan sebagian anak tinggal dalam keluarga tiri. Beberapa anak hidup di dalam kemiskinan, anak-anak lain hidup dalam keluarga yang beruntung secara ekonomis. Sebagian ibu bekerja penuh waktu dan menitipkan anak-anaknya di panti rawat siang, sementara ibu-ibu lain tinggal di rumah bersama anak-anaknya. Beberapa anak bertumbuh dalam kebudayaan Anglo-
82
Amerika, anak-anak lain bertumbuh di dalam kebudayaan minoritas etnis. Sebagian anak memiliki saudara kandung, yang lain tidak memiliki. Beberapa orang tua memperlakukan anak-anak dengan kasar dan menyiksa mereka, sementara anak-anak lain memiliki orang tua yang mengasuh dan mendukung mereka. Berdasarkan penelitian dari NICHD Early Child Care Reaserch Network (1997b) cit Papalia, et al. (2008), efek dari penitipan anak di masa awal tergantung kepada tipe, jumlah, kualitas keseluruhan, dan stabilitas pengasuhan, serta usia saat si anak menerima pengasuhan tersebut. Dalam penyusunan rumah, tempat yang paling disukai si anak, kualitas dari pengasuh berkaitan dengan pemasukan keluarga. Dengan kata lain, semakin tinggi pemasukan, semakin baik pengasuhan yang akan diterima si anak. Hal ini tidak sepenuhnya benar dalam pusat penitipan anak, yang biasanya digunakan bagi anak-anak masa pra-sekolah, di tempat itu anak-anak keluarga miskin yang mendapatkan tunjangan subsidi federal akan menerima pengasuhan yang lebih baik dibanding dengan anak-anak yang berasal dari keluarga kelas menengah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bergen, et al. (2000) dan NICHD Early Child Care Reaserch Network (1998c) cit Papalia, et al. (2008), sebagian besar pusat penitipan anak tidak memenuhi seluruh rekomendasi panduan tentang rasio anak-staf pengasuh, besar kelompok, pelatihan guru, dan pendidikan guru. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Burchinal, et al. (1996) dan Howes, et al. (1994) cit Papalia, et al. (2008), elemen paling krusial dalam pusat penitipan anak adalah kualitas pengasuh. Sebab, merangsang interaksi dengan orang dewasa yang responsif amat penting bagi perkembangan awal kognitif, bahasa, dan psikososial si anak. Rendahnya tingkat keluar-masuk staf pengasuhan juga merupakan hal penting, karena bayi membutuhkan
83
pengasuhan yang konsisten untuk mengembangkan rasa percaya dan keterikatan yang aman. Penelitian yang dilakukan oleh Peth-Pierce (1998) cit Papalia, et al. (2008), untuk mengukur kontribusi yang dibuat oleh tempat penitipan anak terhadap perkembangan, terlepas dari pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik si anak, dan pengasuhan yang diterima oleh sang anak di rumah. Melalui observasi, wawancara, kuesioner, dan tes, periset mengukur perkembangan fisik, emosional, dan kognitif anak dalam interval tertentu dari 1 bulan sampai kira-kira berusia 7 tahun. Kuantitas dan kualitas pengasuhan yang diterima si anak, juga tipe dan stabilitas pengasuhan, mempengaruhi aspek perkembangan tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh NICHD Early Child Care Reaserch Network (1998a) cit Papalia, et al. (2008), terdapat berbagai faktor yang terkait dengan pengasuhan anak tampaknya kurang berpengaruh dibandingkan dengan karakteristik keluarga, seperti pemasukan keluarga. Karakteristik-karakteristik ini dapat dengan kuat memprediksi hasil perkembangan, terlepas dari seberapa banyak waktu yang dihabiskan anak di tempat penitipan anak. Penelitian yang dilakukan oleh NICHD Early Child Care Reaserch Network, (1997a;2001b) cit Papalia, et al. (2008), Sensitivitas maternal juga merupakan alat prediksi keterikatan yang paling kuat. Penitipan anak tidak memiliki efek langsung kepada keterikatan (sebagaimana bayi-bayi berusia antara 15 sampai 30 bulan yang diukur dengan menggunakan strange situation), terlepas seberapa dini usia anak ketika memasuki pengasuhan anak dan berapa jam yang dihabiskannya di dalam tempat itu. Masalah kualitas dan stabilitas juga tidak menimbulkan pengaruh dalam diri atau mempengaruhi mereka. Akan tetapi jika ketidakstabilan, buruknya kualitas
84
pengasuhan, atau jumlah jam pengasuhan yang melebihi batas minimal ( 10 jam atau lebih ) ditambahkan dengan pengaruh ibu yang kurang sensitif dan tidak responsif, maka keterikatan yang tidak aman cenderung terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh NICHD Early Child Care Reaserch Network (2002); Peisner-Feinberg, etal.(2001) cit Papalia, et al. (2008), kualitas pusat penitipan anak memang memberikan kontribusi terhadap perkembangan kognitif dan psikososial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh NICHD Early Child Care Reaserch Network (1999a;2000;2002) cit Papalia, et al. (2008) menyimpulkan bahwa anak yang berada dalam tempat penitipan anak dengan rasio staf-anak yang lebih kecil, jumlah kelompok yang lebih kecil, dan pengasuh terlatih, sensitif, dan responsif, yang memberikan interaksi positif dan stimulasi bahasa, kognisi, dan kesiapan untuk bersekolah; serta lebih sedikit masalah dalam laporan ibu-ibu mereka. Penelitian yang dilakukan oleh NICHD Early Child Care Reaserch Network (2002) cit Papalia, et al. (2008), pemasukan keluarga, kosakata sang ibu, lingkungan rumah, dan jumlah stimulus mental yang diberikan oleh sang ibu memiliki pengaruh jauh lebih besar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh NICHD Early Child Care Reaserch Network (2001a) cit Papalia, et al. (2008), bukanlah hal yang mengejutkan apabila apa yang di permukaan tampak sebagai efek dari penitipan anak sebenarnya merupakan efek dari karakteristik keluarga. Lagi pula, keluarga yang stabil dengan penghasilan besar dan latar belakang pendidikan yang tinggi serta lingkungan rumah yang nyaman lebih mampu, dan karena itu, lebih cenderung memberikan pengasuhan berkualitas tinggi kepada anaknya. Satu bidang yang tampaknya terpengaruh secara langsung oleh pengasuhan anak, terlepas dari karakteristik keluarga dan anak adalah
85
interaksi dengan teman sebaya. Anak berusia antara 2 sampai 3 tahun yang memiliki pengasuh yang sensitif dan responsif cenderung menjadi lebih positif dan kompeten dalam cara mereka bermain bersama anak lain dibandingkan sebelum mereka diasuh. Sebagian besar keluarga dapat dikatakan sebagai keluarga inti. Keluarga inti didefinisikan sebagai kelompok yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Jika dalam keluarga terjadi kesenjangan hubungan, perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas dan intensitas hubungan sehingga ketidakberadaan ayah dan ibu dan kebersamaan keluarga di rumah tetap dirasakan kehadirannya dan dihayati secara psikologis. Ini diperlukan agar pengaruh, arahan, bimbingan, dan sistem nilai yang direalisasikan orang tua senantiasa tetap dihormati, mewarnai sikap dan pola perilaku anak-anaknya. Peranan keluarga terutama ibu dalam mengasuh anak sangat menentukan tumbuh kembang anak. Suatu contoh klasik terjadi di Rusia tentang anak-anak yang berasal dari keluarga miskin yang ditampung di Panti Asuhan. Setiap petugas mengasuh rata-rata 20 anak yang berumur di bawah 3 tahun. Karena sangat sibuknya pengasuh, anak-anak jarang mendapat kasih sayang. Anak-anak jarang diajak berkomunikasi, dan harus diam. Anak yang diam adalah anak yang manis. Akhirnya anak menjadi anak yang pendiam, terlambat kemampuan berbahasa, terlambat perkembangan sosial dan motoriknya, dam mengalami gangguan pertumbuhan. Anakanak tersebut kemudian diadopsi oleh keluarga-keluarga Kanada dan dibawa ke negerinya. Setelah satu tahun menetap di Kanada, pertambahan baik perkembangan anak tampak sangat nyata. Pertambahan baik ini tergantung kepada lamanya anak diasuh di Panti Asuhan sebelum diadopsi. Makin lama anak diasuh di panti makin persisten dan lambat perkembangannya, serta memerlukan waktu lebih lama untuk
86
mengejar keterlambatan dalam hal sosialisasi dan berbahasa dibandingkan dengan anak yang tumbuh normal. Dari hasil pengamatan ini tampak bahwa pengasuhan, kesehatan, dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangat krusial untuk perkembangan anak. Pengasuhan anak didefinisikan sebagai perilaku yang dipraktekkan oleh pengasuh (ibu, bapak, nenek, atau orang lain) dalam memberikan makanan, pemeliharaan kesehatan, memberikan stimuli serta dukungan emosional yang dibutuhkan anak untuk tumbuh-kembang. Juga termasuk di dalamnya tentang kasih sayang dan tanggung-jawab orang-tua. Pendapat Najmulhayah (2010), pengasuhan yang baik sangat penting untuk dapat menjamin tumbuh-kembang anak yang optimal. Misalnya pada keluarga miskin, yang ketersediaan pangan di rumah tangga belum tentu mencukupi, namun ibu yang tahu bagaimana mengasuh anaknya, dapat memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk dapat menjamin tumbuh-kembang anak yang optimal. Sebagai contoh, menyusui anak adalah praktik memberikan makanan, kesehatan, dan pengasuhan yang terjadi bersamaan. Perilaku ibu seperti cara memelihara kebersihan rumah, higiene makanan, kebersihan perorangan, dan praktik psikososial adalah faktor-faktor penting yang berpengaruh terhadap proses tumbuh-kembang anak. Demikian pula faktor lingkungan seperti ketersediaan air bersih di dalam rumah, bahan pangan yang tersedia untuk makanan sehari-hari, dan pengetahuan ibu atau pengasuh lainnya. Latar belakang pendidikan ibu, serta keadaan kesehatan fisik dan mental, dan kemampuan ibu mempraktikan pengetahuan yang dipunyainya dalam kehidupan sehari-hari, serta hubungan emosional anggota keluarga lainnya, tetangga
87
dan masyarakat, semuanya berakumulasi dalam membentuk kualitas tumbuh kembang anak. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Halpern,et al. (2008), terjadi penurunan prevalensi perkembangan anak terlambat 37,1% pada 1993 menjadi 21,4% pada 2004. Penurunan prevalensi
keterlambatan perkembangan mencerminkan
adanya faktor antara lain; peningkatan perawatan neonatal, peningkatan cakupan pemantauan perkembangan pada tahun pertama kehidupan, dan durasi menyusui lama. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Schirmer, et al. (2006), anakanak yang lahir preterm (kurang bulan) dengan berat badan lahir rendah memiliki resiko keterlambatan bahasa, dan juga menurunkan nilai kognitif dan perilaku anak. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Amel Yanis, dkk. (2008), dengan jumlah anak yang lebih banyak maka perhatian dan stimulasi yang diberikan ibu akan berkurang baik jumlah maupun kualitasnya, hal ini akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, dengan kata lain bahwa hubungan ibu dan anak mempunyai peran besar untuk terjadinya gagal tumbuh. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Gunanti, dkk (2005), tingkat pengetahuan dan keterampilan pembantu rumah tangga (PRT) tentang pengasuhan anak tergolong rendah. Sikap PRT tentang pengasuhan anak tergolong tinggi. Status gizi sebagian besar anak yang diasuh adalah normal, namun masih ditemukan adanya anak dengan status gizi lebih, sedang dan kurang. Perkembangan sebagian besar anak yang diasuh adalah normal tetapi masih djumpai adanya keterlambatan perkembangan pada sebagian anak yang diasuh.
88
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Youngblut, et al. (2009), terdapat berbagai efek negatif dari ibu bekerja terhadap anak mempunyai alasan karena berbagai hal antara lain karena berpenghasilan rendah serta kondisi orang tua tunggal. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Rhum (2008), ibu yang bekerja keras di luar rumah diperkirakan lebih memiliki efek yang tidak begitu baik terhadap perkembangan kognitif anak sampai masa remaja dikarenakan kurangnya waktu berinteraksi dengan anak. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Daniel, et al. (2009), ibu yang kembali bekerja dengan pengaturan jadwal pada anak yang berusia 6 bulan mempunyai waktu rata-rata 35 jam per minggu selama 6 bulan sampai 3 tahun pada anak usia 2 tahun dan 3 tahun, ibu bekerja yang mempunyai anak-anak mempunyai jadwal non standar dapat mempengaruhi perilaku internal dan eksternal anak, dimana anak dengan ibu bekerja lebih reaktif temperamental. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Brooks-Gunn, et al. (2002), dengan subjek 900 anak Eropa-Amerika usia 15 bulan sampai 3 tahun dengan ibu yang bekerja selama 30 jam atau lebih pada tahun pertama menunjukkan bahwa kualitas perawatan anak, pengaruh lingkungan rumah dan sensitivitas ibu menjadi alasan terjadinya efek negatif terhadap perkembangan kognitif. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Harvey (1999), orang tua yang bekerja ditemukan sedikit pengaruh pada anak. Ibu yang bekerja keras yang tidak konsisten terhadap perkembangan anak
dapat menimbulkan berbagai masalah
perilaku. Ibu bekerja yang dapat membagi waktu dapat mengetahui tingkat perkembangan anak walaupun menjadi orang tua tunggal dan berpenghasilan rendah.
89
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Hill, et al. (2005), ibu yang setelah melahirkan dan bekerja penuh waktu setelah anak berusia 3 tahun mempunyai perkembangan kognitif yang lebih baik daripada ibu bekerja penuh waktu setelah anak berusia 1 tahun. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Han (2005), pengaturan jadwal ibu bekerja pada 1 tahun pertama berpengaruh terhadap perkembangan kognitif anak yang berusia 2 tahun dan kemampuan berbahasa anak pada usia 3 tahun. Pengaruh negatif terjadi karena kurangnya perawatan anak. Kesimpukan dari penelitian yang dilakukan oleh Yoshikawa (1999), tingkat kesejahteraan sangat berpengaruh pada perkembangan kognitif anak,
disamping
pengaruh gender, dimana perkembangan kognitif anak laki-laki lebih rendah daripada anak perempuan walaupun orang tua bekerja di luar rumah tetapi apabila tingkat kesejahteraannya tinggi maka tidak akan mempengaruhi perkembangan kognitif anak karena peranan baby siter dan terpenuhinya fasilitas anak terpenuhi dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan yang rendah.
90
D. Kerangka Pemikiran
PEKERJAAN IBU
Genetik
lingkungan biologis
Faktor lingkungan pranatal
Faktor fisik Faktor psikososial
KUALITAS INTERAKSI IBU-ANAK
ALOKASI WAKTU
Asuh Asih
Faktor keluarga dan adat istiadat
Asah
PERKEMBANGAN ANAK BALITA: - Perlaku Sosial - Motorik Halus - Bahasa - Motorik Kasar
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
E. Hipotesis Penelitian Terdapat perbedaan perkembangan anak balita dengan menggunakan metode Denver II pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja.
91
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional untuk mengamati subjek hanya satu kali saja tetapi tidak harus tepat pada satu waktu bersamaan kemudian hasilnya dianalisa. (Saryono, 2008)
B. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah Rukun Warga (RW) VI, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta.
C. Populasi Penelitian, Subjek Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah anak - anak balita yang ibunya bekerja dan ibunya tidak bekerja di RW VI, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Pengambilan subyek penelitian dengan mengambil dari populasi yang diperoleh dari data anak balita di RW VI, Surakarta, kemudian dipilih subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (Purposive) hingga terpenuhinya jumlah (Quota) yang telah ditentukan. Besar sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi hingga terpenuhinya jumlah sebanyak 30 sampel untuk anak balita dengan ibu bekerja dan 30 sampel untuk anak balita dengan ibu tidak bekerja sehingga peneliti menggunakan teknik Puposive Quota Non Random Sampling. (Notoatmodjo S., 2005; Saryono, 2008 Ibnu F., dkk, 2009).
92
Adapun Kriteria inklusi dan ekslusi adalah: 1. Untuk Anak: a. Kriteria inklusi adalah anak balita mendapat izin dari orang tua atau wali untuk ikut dalam penelitian. b. Kriteria ekskusi adalah anak balita yang menderita penyakit-penyakit sistemik, gangguan metabolik. 2. Untuk Ibu: a. Ibu bekerja 1) Kriteria Inklusi adalah: a) Pendidikan formal ibu minimal SMP (Sekolah Menengah Pertama) b) Bekerja di luar rumah dan bekerja penuh waktu (7 jam sehari selama 6 hari atau 40 jam atau 8 jam sehari selama 5 hari atau 40 jam ) c) Tinggal serumah dengan anaknya yang masih balita 2) Kriteria Eksklusi adalah: Ibu tidak bekerja. b.
Ibu tidak bekerja 1) Kriteria Inklusi adalah: a) Pendidikan formal ibu minimal SMP (Sekolah Menengah Pertama) b) Tinggal serumah dengan anaknya yang masih balita 2) Kriteria Eksklusi adalah: Bekerja di dalam rumah atau di luar rumah.
D. Identifikasi Variabel Penelitian Variabel-variabel dalam penelitian ini meliputi: 1.
Variabel terikat (dependent): status perkembangan anak balita.
2.
Varibel bebas (independent): ibu bekerja dan ibu tidak bekerja.
93
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian Definisi operasional dari penelitian ini adalah: 1.
Perkembangan anak balita Definisi Perkembangan anak balita adalah perubahan yang progresif dari bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks berupa perubahan bentuk fisik, struktur saraf, perilaku dan sifat dalam pola yang teratur, berlangsung terus dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan dan pengalaman pada masa anak usia 0 – 59 bulan.
2.
Alat Ukur
: Metode Denver II
Skala pengukuran
: Nominal
Kategori
: 1 = Normal, 2 = Meragukan, 3 = Tidak Normal.
Ibu bekerja Ibu bekerja adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga baik secara langsung atau secara tidak langsung, dengan mengeluarkan tenaga atau energi dan mempunyai nilai waktu untuk mendapatkan penghasilan dalam bentuk uang / barang atau keuntungan dengan waktu kerja adalah 7 jam sehari selama 6 hari atau 40 jam seminggu atau 8 jam sehari selama 5 hari atau 40 jam seminggu. Alat Ukur
: Kuesioner
Skala pengukuran : Nominal 3.
Ibu tidak bekerja Ibu yang tidak bekerja adalah ibu rumah tangga yang tidak memiliki aktifitas yang secara langsung menghasilkan uang atau barang yang dapat menyumbang penghasilan keluarga. Alat Ukur
: Kuesioner
94
Skala pengukuran
: Nominal
F. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kuesioner Kuesioner Penelitian merupakan lembar isian untuk memperoleh identitas masingmasing subyek penelitian, meliputi nama anak balita, umur, anak ke berapa, riwayat sakit anak balita, nama ibu, nama ayah, alamat, pendidikan terakhir ibu, ibu bekerja atau tidak, ayah bekerja atau tidak, bila ibu/ayah bekerja, status pekerjaan , waktu kerja, gaji, status pengasuh anak balita. 2. Observasi (Pengamatan) Peneliti melakukan pengamatan dengan dasar lembar formulir Denver II pada subjek penelitian yang dapat dilihat pada kuesioner penelitian yang telah diisi sebelumnya oleh peneliti. Awalnya peneliti menentukan umur anak balita kemudian pada lembar formulir Denver II ditarik garis vertikal yang memotong umur tersebut sehingga memotong 4 sektor perkembangan (perilaku sosial, gerakan motorik halus, bahasa, gerakan motorik kasar). Kemudian dilakukan pengamatan pada masing-masing sektor perkembangan, dimana tiap sektor perkembangan terdapat tugas (kemampuan) perkembangan yang digambarkan dalam bentuk kotak persegi panjang horisontal yang berurutan menurut umur. Pengamatan dilakukan mulai dari awal 0 bulan menuju ke umur selanjutnya kemudian apabila anak balita dapat mengerjakan tugas perkembangan maka diberi tanda P (Passed = lulus) dan bila tidak dapat mengerjakan tugas perkembangan maka diberi tanda F (Fail = gagal). Bila anak balita sudah melakukan 3 kali F
95
maka pengamatan dihentikan dan dilihat P sebelum F yang pertama ditarik garis vertikal sampai memotong umur dan semua tugas perkembangan. Hasilnya dilihat apabila anak dapat melewati semua pada tiap sektor dikategorikan normal, apabila terlambatnya perkembangan pada tiap sektor perkembangan lebih dari 6 bulan dikategorikan tidak normal, kurang dari 6 bulan dikategorikan meragukan.
G. Teknik Pengumpulan Data Peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara: 1. Peneliti mendata subjek penelitian di RW VI yang terdiri dari RT I, RT II, RT III, RT IV,RT V melalui kuesioner. 2. Peneliti memilih data kuesioner yang sesuai kriteria inklusi kemudian dilakukan pengamatan (observasi) dengan metode Denver II.
H. Kerangka Penelitian Anak Balita dengan ibu bekerja dan Ibu tidak bekerja (N)
Anak balita dengan ibu bekerja (n1)
Perkembangan anak balita ( Denver II ) - Perilaku Sosial - Gerakan Motorik Halus - Bahasa - Gerakan Motorik Kasar
Anak balita dengan ibu tidak bekerja (n2)
Perkembangan anak balita ( Denver II ) - Perilaku Sosial - Gerakan Motorik Halus - Bahasa - Gerakan Motorik Kasar
OpenEpi versi 2.2 dengan Tabel 2 x 2 Gambar 2.1 Kerangka Penelitian
96
I. Metode Analisa Data Metode analisis data penelitian menggunakan uji chi kuadrat bantuan OpenEpi versi 2.2 dengan Tabel 2 x 2 untuk menguji secara statistik antara perkembangan anak balita dengan ibu bekerja dan ibu tidak bekerja, baik dalam aspek perilaku sosial, motorik halus, bahasa maupun motorik kasar.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Karakteristik Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah anak balita yang mempunyai ibu bekerja dan ibu tidak bekerja di RW VI, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Jumlah subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 60 orang, yang dibagi menjadi kelompok anak balita dengan ibu bekerja sebanyak 30 orang dan kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja sebanyak 30 orang. a. Jenis Kelamin Subjek Penelitian Distribusi jenis kelamin pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja lebih banyak laki-laki, sedangkan pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja lebih banyak perempuan. Sebaran jenis kelamin secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 4.1.
97
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Subjek Penelitian
Balita dengan Ibu
Balita dengan Ibu Tak
Jenis Bekerja
Bekerja
Kelamin n
%
n
%
Laki-
16
53,3
11
36,7
Peremp
14
46,7
19
63,3
Total
30
100
30
100
laki
uan
b. Usia Subjek Penelitian Usia subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja rata-rata 28,2 bulan dengan rentang usia antara 3 sampai 56 bulan, sedangkan pada kelompok balita dengan ibu tidak bekerja rata-rata 24,97 bulan dengan rentang usia antara 4 sampai 36 bulan. Perbandingan tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Rerata dan Simpangan Baku Usia (bulan) Subjek Penelitian Kelompok Statistik
Balita dengan Ibu Bekerja
Balita dengan Ibu Tak Bekerja
Rerata
28,2
24,9
Simpanga
14,0
13,5
98
n Baku
c. Posisi Subjek Penelitian dalam Keluarga Subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja sebagian besar adalah anak pertama. Demikian pula pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja. Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Urutan Anak Subjek Penelitian
Balita dengan Ibu
Balita dengan Ibu Tak
An Bekerja
Bekerja
ak Ke-
Per
n
%
n
%
14
43,
14
46,7
23,
11
36,7
4
13,3
1
3,3
0
0
30
100
tama
3 Ke
dua
7 4
Ket iga
3
4 2
13, 3
Ke
13,
empat
3 Kel
6,8
ima Tot al
d. Jumlah Saudara
30
10 0
99
Subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja sebagian besar memiliki 1 saudara kandung. Demikian pula pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja. Sebaran jumlah saudara kandung tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 4.4
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Jumlah Saudara Kandung Subjek Penelitian
Ju
Balita dengan Ibu
Balita dengan Ibu Tak
mlah
Bekerja
Bekerja
Saudara
n
%
n
%
Sat
12
40
12
40
Du
7
23,
11
36,7
6
20
1
3,3
0
0
0
0
u
a
5 Tig
a
pat
16, 7
1
13, 3
Li ma
3,3 3,3
Ena m
4 1
Em
3
100
Tot
30
al
10
30
100
0
e. Pendidikan Ibu Ibu pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja sebagian besar berpendidikan SLTA. Demikian pula pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja. Sebarannya secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Urutan Anak Subjek Penelitian
Balita dengan Ibu
Balita dengan Ibu Tak
Pendi Bekerja
Bekerja
dikan Ibu n
%
n
%
S2
1
3,3
0
0
S1
1
3,3
1
3,3
D3
3
10
0
0
D2
0
0
1
3,3
D1
0
0
2
6,7
SLT
14
46,
17
56,7
9
30
30
100
A
11
6
SLT
36,
P
7 Total
30
10 0
f. Penghasilan Orang Tua
101
Penghasilan orang tua pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja rata-rata Rp 1.653.333, sedangkan pada kelompok balita dengan ibu tidak bekerja rata-rata Rp 1.250.000.
2. Perkembangan Subjek PenelitianPengukuran perkembangan anak balita dengan metode Denver II meliputi 4 aspek, yaitu kemampuan perilaku sosial, motorik halus, bahasa dan kemampuan motorik kasar. a. Perkembangan Perilaku Sosial Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa sebagian besar subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja memiliki perkembangan perilaku sosial yang normal, hanya 2 subjek yang mengalami perkembangan tidak normal. Demikian pula pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja, dimana hanya 1 subjek penelitian yang mengalami perkembangan tidak normal. Perbedaan perkembangan perilaku sosial pada kedua kelompok secara statistik tidak bermakna ( p = 0,277 ). Selengkapnya tersaji dalam Tabel 4.6. Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Perkembangan Perilaku Sosial Anak Balita Balita (Ibu Bekerja)
Katego ri
Normal 8
Balita (Ibu Tak Bekerja)
n
%
n
%
2
9
29
96,
3,3
7
2
,35
,277
102
Tidak
2
Normal
6
1
3,3
1
30
10
,7
Total
3 0
00
0
b. Perkembangan Motorik Halus Subjek Penelitian Sebagian besar subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja memiliki perkembangan motorik halus yang normal, hanya 1 subjek yang mengalami perkembangan tidak normal. Demikian pula pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja. Perbedaan perkembangan motorik halus pada kedua kelompok secara statistik tidak bermakna ( p = 0,754 ). Selengkapnya tersaji dalam Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Perkembangan Motorik Halus Anak Balita Balita (Ibu Bekerja)
Balita (Ibu Tak Bekerja)
Kategori
Normal
n
%
n
%
2
9
29
96,
9 Tidak
6,7 1
Normal
7
,754
3
1
3,3
1
30
10
,3
Total
3 0
00
0
2
103
c. Perkembangan Bahasa Subjek Penelitian Perkembangan bahasa subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja sebagian besar normal, hanya 2 orang yang mengalami perkembangan tidak normal. Demikian pula pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja, dimana hanya 1 orang yang mengalami perkembangan tidak normal. Perbedaan perkembangan bahasa pada kedua kelompok secara statistik tidak bermakna ( p = 0,277 ). Selengkapnya tersaji dalam Tabel 4.8. Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Perkembangan Bahasa Anak Balita Balita (Ibu Katego ri
Normal
Balita (Ibu Tak
Bekerja)
Bekerja)
n
%
n
%
28
9
29
96,
3,3 Tidak
2
Normal Total
7
2
,35
6
1
3,3
1
30
10
,277
,7 30 00
0
d. Perkembangan Motorik Kasar Subjek Penelitian Sebagian besar subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja memiliki perkembangan motorik kasar yang normal, hanya 2
104
subjek yang mengalami perkembangan tidak normal. Demikian pula pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja, dimana hanya 1 subjek penelitian
yang
mengalami
perkembangan
tidak
normal.
Perbedaan
perkembangan motorik kasar pada kedua kelompok secara statistik tidak bermakna ( p = 0,277 ). Selengkapnya tersaji dalam Tabel 4.9. Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Perkembangan Motorik Kasar Anak Balita Balita (Ibu Katego ri
Normal
Balita (Ibu Tak
Bekerja)
Bekerja)
n
%
n
28
9
29
3,3 Tidak
2
Normal Total
6,7 6
,35
,277
1
,7 30
2
,3 1
00
30 00
B. Pembahasan 1. Karakteristik Subjek Penelitian Penelitian ini adalah studi analitik, dimana penarikan kesimpulan tentang hubungan atau pengaruh variabel dilakukan dengan metode perbandingan kelompok-kelompok yang berbeda. Syarat perbandingan yang valid adalah bahwa kelompok-kelompok studi yang dibandingkan itu harus sebanding (comparable)
105
dalam faktor-faktor tertentu, yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan variabel dependen dan variabel independen utama yang diteliti (Murti, 2006). Oleh karena itu, disamping data utama berupa hasil pengukuran perkembangan anak balita menggunakan metode Denver II, digali juga data tentang karakteristik subjek penelitian, untuk mengetahui sejauh mana tingkat perbandingan antara kelompok balita dengan ibu bekerja dan kelompok balita dengan ibu tidak bekerja. Berdasarkan analisis data tentang karakteristik subjek penelitian diketahui bahwa jenis kelamin subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja lebih banyak laki-laki, sedangkan pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja lebih banyak perempuan, dapat disimpulkan bahwa data jenis kelamin subjek penelitian pada kedua kelompok tidak homogen. Variabel jenis kelamin mempengaruhi tumbuh kembang anak balita. Hal ini didasari oleh pendapat Rusmil (2008) dan Soetjiningsih (1995), bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas tumbuh kembang anak adalah jenis kelamin. Sedangkan usia subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja rata-rata 28,2 bulan dan pada kelompok balita dengan ibu tidak bekerja rata-rata 24,97 bulan, dapat disimpulkan bahwa data usia subjek penelitian pada kedua kelompok tidak homogen. Variabel usia mempengaruhi tumbuh kembang anak balita, sesuai konsep Soetjiningsih (1995) dan Rusmil (2008), dimana salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas tumbuh kembang anak adalah umur. Karakteristik lain dari subjek penelitian urutan atau posisi anak dalam keluarga, apakah anak pertama, kedua dan seterusnya serta jumlah saudara kandung. Urutan dan jumlah saudara kandung ini penting diperhatikan karena terkait erat dengan faktor cinta dan kasih sayang yang diberikan orang tua
106
terhadap anak balita serta faktor kualitas interaksi anak dengan orang tua, sejalan dengan konsep Soetjiningsih (1995). Pengalaman empiris membuktikan bahwa cinta, kasih sayang dan kualitas interaksi orang tua terhadap anak pertama akan berbeda dengan anak kedua dan seterusnya. Demikian pula pada jumlah saudara kandung, jika anak lebih dari satu tentu perhatian yang diberikan orang tua tentu saja berbeda. Sesuai dengan pendapat Soetjiningsih (1995) bahwa pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak. Karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anak, pendidikannya dan sebagainya. Sejalan juga dengan pendapat Rusmil (2008), bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas tumbuh kembang anak adalah ketidaktahuan yang erat kaitannya dengan tingkat pendidikan ibu atau pengasuh anak. Karakteristik subjek penelitian yang terakhir dikaji pengaruhnya adalah penghasilan atau pendapatan keluarga atau orang tua. Hal ini sesuai dengan konsep Rusmil (2008) dan Revina (2010) yang menyatakan bahwa kualitas tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi keluarga, kemiskinan selalu berkaitan erat dengan kekurangan makanan, lingkungan yang jelek dan ketidaktahuan, yang akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Juga sejalan dengan pendapat Soetjiningsih (1995), pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder. 2. Perkembangan Subjek Penelitian
107
Perkembangan subjek penelitian diukur menggunakan metode Denver II. Aspek perkembangan yang dinilai terdiri dari 125 tugas perkembangan, dimana semua tugas perkembangan itu disusun berdasarkan urutan perkembangan dan diatur dalam 4 kelompok besar yang disebut sektor perkembangan, yang meliputi: 1) Personal social (perilaku sosial), yaitu aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. 2) Fine motor adaptive (gerakan motorik halus), yaitu aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil, tetapi memerlukan kooordinasi yang cermat. Misalnya kemampuan untuk menggambar, memegang sesuatu benda, dan lain-lain. 3) Language (bahasa), yaitu kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan. 4) Gross motor (gerakan motorik kasar), yaitu aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa terdapat 2 subjek penelitian yang mengalami perkembangan perilaku sosial tidak normal pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja. Sedangkan pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja, terdapat 1 subjek penelitian yang mengalami perkembangan perilaku sosial tidak normal. Sedangkan hasil pengukuran aspek motorik halus didapati 1 subjek yang mengalami perkembangan tidak normal, baik pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja maupun pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja. Hasil pengukuran perkembangan bahasa subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja dijumpai 2 orang yang
108
mengalami perkembangan tidak normal, dan pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja dijumpai 1 orang yang mengalami perkembangan tidak normal. Demikian pula hasil pengukuran aspek motorik kasar pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja, diketahui ada 2 subjek yang mengalami perkembangan tidak normal dan pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja, terdapat 1 subjek penelitian yang mengalami perkembangan tidak normal. Berdasarkan analisis data penelitian menggunakan uji OpenEpi versi 2.2 dengan Tabel 2 x 2, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan antara perkembangan anak balita dengan ibu bekerja dan ibu tidak bekerja, baik dalam aspek perilaku sosial, motorik halus, bahasa maupun motorik kasar. Hal ini disebabkan oleh adanya varibel luar yang tidak dapat dikendalikan seperti faktor genetik, perbedaan kuantitas dan intensitas perhatian, kasih sayang, interaksi anak-ibu, stimulasi dini dan faktor-faktor psikososial lain yang diterima oleh anak balita. Faktor-faktor perancu tersebut mungkin berbeda pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja dan pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja, sehingga menutupi perbedaan perkembangan yang sesungguhnya. Faktor psikososial dapat dikatakan tidak mempengaruhi perkembangan anak balita, sehingga sesuai dengan pendapat Rusmil (2008) dan Soetjiningsih (1995) bahwa perkembangan anak balita sangat dipengaruhi oleh faktor psikososial seperti stimulasi, cinta dan kasih sayang, serta kualitas interaksi anak dengan orang tua. Anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang mendapat stimulasi. Anak juga memerlukan kasih sayang dan perlakuan yang adil dari orang tuanya, agar kelak kemudian hari menjadi anak yang tidak sombong dan bisa
109
memberikan kasih sayang pula kepada sesamanya. Interaksi timbal balik antara anak dan orang tua, akan menimbulkan keakraban dalam keluarga. Anak akan terbuka kepada orang tuanya sehingga komunikasi bisa dua arah dan segala permasalahan dapat dipecahkan bersama karena adanya keterdekatan dan kepercayaan antara orang tua dan anak. Interaksi tidak ditentukan oleh seberapa lama kita bersama anak. Tetapi lebih ditentukan oleh kualitas dari interaksi tersebut yaitu pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan upaya optimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi oleh rasa saling menyayangi. Hasil penelitian Brooks-Gunn, Han, & Waldfogel (2002) menunjukkan bahwa terdapat efek negatif terhadap perkembangan kognitif pada usia 15 bulan sampai 3 tahun dari bayi berusia sembilan bulan dengan ibu yang bekerja lebih dari 30 jam seminggu. Hal tersebut disebabkan sensitivitas maternal, kualitas lingkungan rumah, dan kualitas pengasuhan anak membuat perbedaan yang berarti. Ibu yang bekerja memiliki kuantitas interaksi dengan anak yang lebih sedikit jika dibanding ibu yang tidak berkerja. Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi pengasuh pengganti ibu selama ibu bekerja, dimana dari 30 subjek penelitian, 22 orang diasuh oleh neneknya, 5 orang oleh bapaknya, 2 orang diasuh oleh pembantu dan 1 orang diasuh oleh saudara ibu. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengasuhan yang diterima anak balita ketika ibu bekerja tidak mempengaruhi kualitas perkembangan anak balita. Meskipun asuhan yang diberikan langsung oleh ibu tentu sangat berbeda dengan asuhan yang diberikan orang lain. Menurut Najmulhayah (2010), pengasuhan anak didefinisikan sebagai perilaku yang dipraktekkan oleh pengasuh (ibu, bapak, nenek, atau orang lain) dalam
110
memberikan makanan, pemeliharaan kesehatan, memberikan stimuli serta dukungan emosional yang dibutuhkan anak untuk tumbuh-kembang. Juga termasuk di dalamnya tentang kasih sayang dan tanggung-jawab orang-tua. Pengasuhan yang baik sangat penting untuk dapat menjamin tumbuh-kembang anak yang optimal. Perilaku ibu seperti cara memelihara kebersihan rumah, higiene makanan, kebersihan perorangan, dan praktik psikososial adalah faktor-faktor penting yang berpengaruh terhadap proses tumbuh-kembang anak tidak dapat tergantikan oleh pengasuh lainnya
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukan adanya perbedaan perkembangan anak balita, dalam aspek perilaku sosial, motorik halus, bahasa dan motorik kasar, baik pada anak balita yang ibunya bekerja maupun tidak bekerja. Kesimpulan ini tidak bersifat definitif, karena sejumlah faktor perancu seperti faktor genetik, kuantitas dan intensitas perhatian, kasih sayang, interaksi anak dan ibu, stimulasi dini, dan faktor-faktor psikososial lainnya, mungkin menutupi
111
perbedaan perkembangan yang sesungguhnya terjadi pada anak balita dari kedua kelompok tersebut.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan bahwa: 1. Bagi akademik Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh lamanya perkerjaan ibu di luar rumah terhadap perkembangan anak balita dengan mengontrol faktor perancu seperti faktor genetik, kuntitas dan intensitas perhatian, kasih sayang, interaksi anak dan ibu, stimulasi dini, dan faktor-faktor psikososial lainnya, disarankan untuk menggunakan metode multivariat untuk mengontrol aneka faktor perancu tersebut. 2. Bagi Ibu-ibu yang mempunyai anak balita Supaya perkembangan anak balita baik, jangan terfokus pada lamanya asuhan tetapi juga perlu memperhatikan kualitas asuhannya 3. Bagi para dokter keluarga Para doter keluarga disarankan untuk memperhatikan tidak hanya faktorfaktor yang ada di dalam keluarga tetapi juga faktor-faktor lain di luar rumah misal, faktor lain di tempat kerja yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan anak balita.
112
DAFTAR PUSTAKA
Alva N., 2005, Seminar dan Diskusi dengan tema Perkembangan Balita Yang Ideal, Suatu Tinjauan Psikologis, diselenggarakan oleh LSM Kharisma Women and Education. Amel Yanis, Edith Pleyte W., Ika Widyawati, Kusdinar A. 2008, Peranan Hubungan Ibu-Anak pada Gagal Tumbuh Anak 0-36 bulan, Cermin Dunia Kedokteran, 162vol. 35 no. 3, Jakarta: Kalbe Farma. Atkinson R.L..Atkinson, R.C., Hilgard, E.R,. 1983, Introduction to Psychology, Jakarta: Penerbit Erlangga. Badan
Pusat Statistik Republik Indonesia ( BPS RI ), http://www.bps.go.id/aboutus.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06
2009,
Brooks-Gunn J., Han WJ., Waldfogel J., 2002, Maternal employment and child cognitive outcomes in the first three years of life: the NICHD Study of Early Child Care. National Institute of Child Health and Human Development, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12146733 ( 13 Januari 2010 ) Daniel S.S.,Grzywacz J., Leerkes E., Tucker J., Han W.J., 2009, Nonstandard maternal work schedules during infancy: Implications for children's early behavior problems, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2659722/pdf/nihms-98750.pdf ( 12 Januari 2010 ) Depkes RI, 2005, Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak Di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar, Jakarta. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, http://dinasnakertrans.jakarta.go.id/website/pages/konsep-dan-definisi.php Frankenburg W.K., Dodds J., Archer P., Bresnick B., Maschka P., Edelman N., Shapiro H., 1990, Denver II ( Technical Manual ), Denver: Denver Development Materials, Incorporated.
113
Gunanti, Inong Retno, 2005, Pengetahuan, Sikap dan Ketrampilan Pembantu Rumah Tangga ( PRT ) dalam Pengasuhan Anak serta Hubungannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak usia 2 – 5 tahun. http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-res-2005-gunantiino1593&node=242&start=226&PHPSESSID=696b204be303b286f6d82cc4b6cb 92eb Hadi H, 2005, Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, http://www.gizi.net/download/Beban%20ganda%20masalah%20gizi.pdf Halpern R., Barros A.J.D., Matijasevich A., Santos I.S., Victora C.G., Barros F.C., 2008, Developmental status at age 12 months according to birth weight and family income: a comparison of two Brazilian birth cohorts, http://www.scielosp.org/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0102311X2008001500010&lng=en&nrm=iso&tlng=en ( 10 Nopember 2009 ) Han WJ., 2005, Maternal nonstandard work schedules and child cognitive outcomes., http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15693763?ordinalpos=1&itool=EntrezS ystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_SingleItemSupl.Pubm ed_Discovery_RA&linkpos=3&log$=relatedarticles&logdbfrom=pubmed ( 17 Januari 2010 ) Harvey E., 1999, Short-term and long-term effects of early parental employment on children of the National Longitudinal Survey of Youth, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10082015?ordinalpos=1&itool=EntrezS ystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_SingleItemSupl.Pubm ed_Discovery_RA&linkpos=2&log$=relatedarticles&logdbfrom=pubmed ( 14 Januari 2010 ) Hill JL, Waldfogel J, Brooks-Gunn J, Han WJ., 2005, Maternal employment and child development: a fresh look using newer methods, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16351331 ( 16 Januari 2010 ) Hasan M, 2009, PAUD ( Pendidikan Anak Usia Dini ), cetakan pertama, Jogjakarta: DIVA Press. Hurlock E.B., 1978, Perkembangan Anak, jilid 1, Jakarta: Erlangga. ___________, 1980, Psikologi Perkembangan ( Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan ), Jakarta: Erlangga. Ibnu F., Isnaeni DTN, Astutik P., Isman A., Rudy S.B., Anom A., Sugeng I., 2009, Statistik untuk Praktisi Kesehatan, Yogyakarta: Graha Ilmu.
114
Youngblut J.M., Brooten D., Singer L.T., Standing T., Lee H., Rodgers W.L., 2009, Effects of Maternal Employment and Prematurity on Child Outcomes in Single Parent Families, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11725936 ( 10 Januari 2010 ) Kiong M.,2008, Siapa Bilang Ibu Bekerja Tidak Bisa Mendidik Anak dengan Baik, Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Moersintowarti B. Narendra, Titi S. Sularyo, Soetjiningsih, Hariyono Suyitno, Gde Ranuh, Sambas Wiradisuria, 2008, Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, Jakarta: CV. Sagung Seto. Murti B., 2006, Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mussen P.H., Conger J.J., Kagan J., Huston A.C.,1984, Perkembangan Anak dan Kepribadian Anak, jilid 1, Jakarta: Erlangga. Najmulhayah, 2010, Optimalisasi Proses Perkembangan Anak Guna Membangun Sumber Daya Manusia Yang Lebih Baik, http://najmulhayah.wordpress.com/2010/02/09/optimalisasi-prosesperkembangan-anak-guna-membangun-sumber-daya-manusia-yg-lebih-baik/ Notoatmodjo S., 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Papalia D.E., Old S.W., Feldman R.D.,2008, Human Development ( Psikologi Perkembangan ), Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Revina P., 2010, Faktor Perkembangan Anak, http://bidanku.com/index.php?/FaktorPerkembangan-Anak Rich A.,2006, Bekerja dengan Cinta, cetakan pertama, Yogyakarta: Cakrawala. Ruhm C.J., 2008, Maternal Employment and Adolescent Development, Labour Econ; 15(5): 958–983. doi:10.1016/j.labeco.2007.07.008. ( 11 Januari 2010 ) Rusmil
K., 2008, Pertumbuhan dan aqilaputri.rachdian.com/index2.php
Perkembangan
Anak,
http://www.
Sam A., 2009, Pengertian keluarga, http://sobatbaru.blogspot.com/2009/01/pengertiankeluarga.html Santrock J.W.,2002, Life-Span Development, Perkembangan Masa Hidup, Jilid 1, Jakarta: Erlangga. ____________,2007, Perkembangan Anak, Edisi kesebelas, Jilid 1, Jakarta: Erlangga. ____________,2007, Perkembangan Anak, Edisi kesebelas, Jilid 2, Jakarta: Erlangga.
115
Saryono, 2008, Metodologi Penelitian Kesehatan (Penuntun Praktis Bagi Pemula), Yogyakarta: Mitra Cendikia Press. Schirmer C.R., Portuguez M.W., Nunes M.L., 2006, Clinical assessment of language development in children at age 3 years that were born preterm http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0004282X2006000600007&lng=en&nrm=iso&tlng=en ( 11 Nopember 2009 ) Soetjiningsih, 1995, Tumbuh Kembang Anak, Jakarta: Buku kedokteran ECG. Sutji M.W., 1991, Mengenali Perkembangan Balita (sebagai dasar bagi usaha pengembangan bangsa yang berkualitas), Pelatihan Deteksi Dini dan Stimulasi Tumbuh Kembang Balita, http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/mengenali_perkembangan_balita.pdf Undang-Undang Ketenagakerjaan, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, Jakarta: Cemerlang. Yacub N,2003, Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Bayi Usia 4 – 12 bulan di Desa Lero Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan Tahun 2003, Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. Vol 1 No 1 2005. http://forbetterhealth.files.wordpress.com/2009/02/perkembangan-anak-usia pra-sekolah.pdf Yoshikawa H., 1999, Welfare Dynamics, Support Services, Mothers' Earnings, and Child Cognitive Development: Implications for Contemporary Welfare Reform, http://www3.interscience.wiley.com/journal/119058810/abstract ( 26 Januari 2010 )
116
117