www.parlemen.net
POINTERS ACARA SEMINAR DAN UJI PUBLIK RUU DEWAN PENASEHAT PRESIDEN DAN KEMENTERIAN NEGARA Hotel Cempaka, 13 Juli 2006 Assalamu alai’kum Wr. Wb Salam sejahtera dan selamat siang Kepada Yth. • Ketua dan Anggota Pansus • Rekan-rekan Gubernur atau yang mewakili Pengurus APPSI • Para undangan • Rekan-rekan wartawan dan hadirin yang berbahagia Marilah kita kembali bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, pada hari ini kita dapat hadir dalam acara Seminar dan Uji Publik RUU Dewan Penasehat Presiden dan Kementerian Negara dalam keadaan sehat wal afiat. Atas nama Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintahan Propinsi Seluruh Indonesia (APPSI) kami menyampaikan ucapan terima kasih atas kepercayaan Pansus RUU DPPKN kepada APPSI dan Pemprov DKI Jakarta untuk mengadakan Seminar dan Uji Publik atas draf RUU Dewan Penasehat Presiden dan kementerian Negara. Kami meyakini RUU ini sangat penting artinya untuk menata kehidupan demokrasi dalam pemerintahan negara kita ini sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah. Pimpinan dan anggota pansus yang terhormat Kami, Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) telah mencermati secara seksama landasan yuridis penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia, adalah perintah UUD 1945, sesuai dengan pasal 18 yang berbunyi sbb: (1)
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah yang diatur dengan Undang-undang.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
(2)
Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus urusan sendiri urusan Pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan. ...... ...... Pemerintahan Daerah menjalankan Otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan Pemerintahan yang oleh Undang-undang ditetapkan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(3) (4) (5)
Dari ketentuan pasal 18 UUD 1945 tersebut, dapat kita simpulkan bahwa Otonomi Daerah adalah perintah/amanat konstitusi yang harus dihormati dan dipatuhi, artinya Otonomi Daerah, bukan terjadi karena adanya kebijakan atau pemberian Pemerintah Pusat. Mengalir dari perintah UUD 1945 tersebut, maka Undang-undang 32 tahun 2004 pasal 10 telah mengatur Kewenangan Pemerintah pusat meliputi 6 bidang, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pertahanan; Keamanan; Politik luar negeri Yustisi; Moneter dan fiskal nasional; dan Agama.
Selain 6 bidang tersebut, kewenangannya bersifat Kongkuren yang melekat dengan pemerintahan daerah atas dasar desentralisasi untuk meningkatkan pelayanan publik Pemerintah Daerah dalam 30 bidang urusan (pendidikan, kesehatan, pertanian, perikanan, pertambangan,, dll .... dstnya) Sayang sekali, UU No. 32 tahun 2004 yang di lahirkan dengan semangat reformasi tahun 1998, harus berjalan seiring dengan berbagai UU sektoral yang justeru kelahiranya dibidani oleh semangat Sentralistik. Dengan lain perkataan, berbagai Undang-undang sektoral yang sentralistik, masih menjadi landasan yuridis bagi kewenangan instansi/departemen dan berbagai lembaga di tingkat pusat, karena itu berbagai perundang-undangan yang masih bersifat sentralistik perlu sinkronisasi di sesuaikan dengan perintah/amanat UUD 1945 dan UU No. 32 tahun 2004. Pasal 237 menyebutkan bahwa: Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang No.32 tahun 2004. Pimpinan dan segenap anggota Pansus Yth. Pada tanggal 30 Mei 2006 yang lalu, APPSI telah memberikan masukan dan saran dalam RDPU RUU Dewan Penasehat Presiden dan Kementerian Negara.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Kepada kami, sesuai dengan undangan, diminta memberikan masukan tentang 3 hal; •
Penyelenggaraan urusan pemerintahan/ kewenangan otonomi (desentralisasi dan tugas pembantuan)
•
Bagaimana hubungan pemerintan Pusat (kementerian) dengan pemerintahan daerah.
•
Bagaimana Implementasi instansi vertikal antara pemerintahan (Kanwil/Kandep) dan Pemerintahan Daerah di lapangan (dinas)
pusat
Pada acara RDPU, APPSI telah menyampaikan beberapa pendapat dan masukan, dan pada kesempatan yang mulia ini, saya perlu sampaikan kembali sebagai berikut. 1. Pada pendahuluan, diktum Mengingat mohon ditambahkan pasal 18, UUD `45. dan mohon ditambahkan ; UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan UU 33/2004, tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 2. Apabila Kementerian adalah penyelenggara pemerintahan dalam bidangnya selaku pembantu Presiden maka di daerah, Gubernur berdasarkan pasal 37 dan 38, UU 32 tahun 2004 menyatakan: G 3.
Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah di wilayah Provinsi Ybs.
4. pasal (1) 5. Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden. bannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintMengingat posisi strategis Gubernur selaku “wakil Pemerintah Pusat di daerah” dalam pelaksanaan tugas Dekonsentrasi bertanggung jawab kepada Presiden. Kiranya dapat ditambahkan pada akhir pasal 4 (3) setelah kata ; “. . . . menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah, (ditambah kalimat) melalui Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan azas dekonsentrasi. 2. Pasal 5, yang dimaksud dengan 5 orang staf khusus, perlu dipertegas, apakah Staf Khusus tersebut berstatus PNS atau tidak. Harus ada pengaturan tentang kompetensinya, meskipun bersifat umum. Menurut hemat kami, Penasehat Presiden tidak harus berstatus PNS, sebab dia dapat saja direkrut dari mana saja, sepanjang hak-hak administrasinya didukung dengan APBN. 3. Bab IV, Pasal 13 (1). Penempatan Kementerian Dalam Negeri (Depdagri) dalam kelompok ini dirasakan kurang tepat. Sesui dengan UUD 45 pasal 18 (5) yang di undangkan Dalam UU 32/2004 pasal 10 (3) yang berada dalam pengelompokan ini adalah 6 bidang; Pertahanan, Keamanan, Luar Negari, Justisi, Monoter dan fiskal nasional serta agama. Saran, Kementerian Dalam
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Negeri dari pasal 13 (1) dipindahkan masuk /menjadi pasal 13 ayat (2). Selanjutnya salah satu kewenangan yang sekarang ada di Depdagri, tentang Otonomi Daerah di jadikan kewenangan tersendiri, masuk ke pasal 14. Pemisahan Otonomi Daerah dari Depdagri, dimaksudkan agar Depdagri dapat berkonsentrasi dalam bidang Politik dan Strategi Dalam Negeri sedangkan Otonomi Daerah dapat diurus terpisah. 4. Pasal 14. Otonomi Daerah dipisahkan dari kewenangan Depdagri. Apabila negara demokrasi di Eropa seperti Kanada, memerlukan waktu lebih dari 20 tahun untuk pemberian otonomi daerah, di Indonesia, otonomi Daerah masih relatif baru, setelah lahirnya UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian digantikan oleh UU No. 32 tahun 2004. Pembenahan teknis Otonomi Daerah masih sangat panjang, sebab itu perlu dipisahkan karena kedepan hal-hal pengembangan wilayah akan berkembang bahkan mungkin sebaliknya akan ada penggabungan kembali. 5. Pasal 13 (2) titik c. Tentang Kelautan, seyogianya menjadi Kementerian tersendiri. Alasanya adalah berdasarkan doktrin Djuanda tahun 1982, dunia telah mengakui bahwa Indonesia adalah kepulauan terbesar di Dunia, melalui United Nation Convention on the low of the Sea (UNCLOS) 1982 dan di kukuhkan dengan UU No. 17 Tahun 1985, wilayah nasional kita terdiri dari 17.805 pulau, dengan panjang garis pantai 81.000 Km (sama dengan panjang garis katulistiwa keliling bumi), dengan laut teritorial 3,1 juta km2, dan ZEE 2,7 juta km2. Saat ini secara ekonomis dari maritim dan kelautan kita kehilangan lebih dari USD 15 Milyard/tahun akibat kurangnya perhatian Pemerintah dan kebijakan yang kurang tepat. Saran APPSI, Kelautan dipisahkan dari pasal 13 (c) menjadi kementerian tersendiri dengan nama Kementerian Maritim/Kelautan. Masalah Departemen Agraria. Undang-Undang No.5 tahun 1960 merupakan salah satu karya legislasi anak bangsa terbaik. Dalam periode 1960 – 1965, isu landreform ernah diangkat menjadi isu politik, sebab itu dalam orde baru Agraria dijadikan Badan (BPN) dan ditempatkan dibawah Depdagri. Apabila bidang-bidang kehutanan, pertanian, pertambangan yang justru memanfaatkan sumber daya agraria dipimpin Kementerian Negara, namun tidak perlu ada Kanwil BPN dan kantor BPN Pertanahan karena ditangani oleh Unit Teknis/Dinas Pertanahan Pemda. Masukan dan saran dari APPSI dalam RDPU tersebut, selanjutnya kami menaruh harapan yang sangat besar, bahwa melalui pengaturan RUU tetang Kementerian Negara ini akan ada terobosan untuk memantapkan penyelenggaraan otonomi Daerah, karena nafas dan Ruh dari RUU ini, mencerminkan penjelmaan dari pasal 18, UUD 45 serta UU No 32 tahun 2004, Selaras dengan azas desentralisasi dan dekonsenterasi kewenangan ke daerah otonom untuk penguatan peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah, sebagai konsekwensinya kewenangan di Pemerintah Pusat semakin sedikit, sehingga
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
jumlah kementrian negara seyogyanya berkurang, dengan prinsip “Ramping struktur, kaya fungsi”. UU Kementrian negara cukup menetapkan Kementrian yang sifatnya strategis dan mutlak untuk Pemerintah Pusat, yakni enam bidang pokok sebagaimana diatur UU No. 32 tahun 2004. Keenam bidang tersebut ditangani oleh Menteri yang memimpin Departemen dan memiliki akses langsung ke seluruh pelosok tanah air, melalui KanwilKanwil-nya. Apabila Pemerintah Pusat masih dipandang perlu membentuk Kementerian selain 6 bidang tersebut, maka peran kementeriannya cukup sebagai Menteri Negara yang tidak memimpin Departemen serta tidak memiliki Kanwil /UPT di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, Karena peran Menteri Negara dimaksud hanya membuat standarisasi, norma dan aturan kebijakan, sedangkan yang melaksanakan adalah unit teknis Pemerintahan Daerah. Bila jumlah Menteri berkurang, maka peran Menko menjadi berkurang atau mungkin bisa ditiadakan, selanjutnya mekanisme kerja kabinet dimungkinkan pengelompokkan kerja untuk mengatasi masalah-masalah yang strategis. Prinsip Pemerintahan yang baik adalah Pusat hanya melahirkan kebijakan strategis, menentukan norma, standar, prosedur dan kriteria, kemudian mengawasi dan mensupervisi, kecuali 6 bidang yang menjadi kewenangan mutlak Pemerintah Pusat, jadi Pusat tidak perlu melaksanakan kebijakan-kebijakan yang bersifat teknis operasional, karena menjadi urusan wajib pemerintah daerah, namun tetap mempertanggungjawabkan ke Pusat.
Seperti telah dijelaskan tadi masalah Otonomi daerah sangat rumit dan setelah 4 tahun berjalan, belum ada Peraturan Pemerintah yg baku, misalnya masalah pengaturan Pembagian kewenangan, Kelembagaan, sampai kompetensi Jabatan, dll). Selama ini, penyelenggaraan pembangunan nasional difokuskan di kota-kota besar. Seharusnya, apabilah otonomi daerah diterapkan dengan baik, maka fokus pembangunan akan tersebar di berbagai pelosok tanah air dan akan ada pelimpahan kewenangan pembangunan sampai pada tingkat desa/kelurahan. RUU tentang Penasehat Presiden. Pada dasarnya RUU ini membantu Presiden menyiapkan para penasehatnya, sehingga Presiden memiliki hak perorangan yang seluas-luasnya, namun jumlahnya tidak lebih dari 5 orang, diisi oleh orang-orang yang diakui keahliannya secara luas, dan bebas dari ikatan kepartaian. Para penasehat Presiden itu, diikutkan dalam rapat-rapat Kabinet serta dibukakan akses informasi ke semua anggota kabinet, agar nasehatnya berdasarkan data dan informasi yang valid.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Demikianlah pemikiran dan saran APPSI untuk pembahasan kedua RUU ini. Atas perhatian Bapak/Ibu hadirin, saya ucapkan terima kasih. Selamat menyelenggarakan Seminar dan Uji Publik RUU Dewan Penasehat Presiden dan Kementerian Negara, semoga bermanfaat. Wassalamu alai’kum Wr. Wb. Dewan Pengurus APPSI Ketua Umum Ttd, SUTIYOSO
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net