PIUTANG PAJAK SEBAGAI POTENSI PENDAPATAN NEGARA
I. PENDAHULUAN 1. Piutang Pajak dalam Kerangka Peraturan Perundangan Piutang pajak timbul setelah ada Surat ketetapan Pajak dan atau Surat Tagihan Pajak. Terhadap iutang pajak tersebut perlu dilakukan upaya penagihan piutang pajak . Penagihan pajak
2)...
adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi
utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Tindakan penagihan pajak dilakukan apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi. Adapun rangkaian penagihan pajak secara umum meliputi : 1) Surat Teguran 2) Surat Paksa 3) Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan 4) Lelang Terkait dengan proses penagihan pajak, di dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP (Pasal 22 ayat 1 dan 2) diatur beberapa hal sebagai berikut : (1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. (2) Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila: a. diterbitkan Surat Paksa; b.ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
1 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau d.dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Penghapusan Piutang Pajak Prosedur mengenai penghapusan piutang pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000 Pasal 24 dan lebih lanjut dijabarkan di dalam KMK No. 565/KMK.04/2000 Jo 539/KMK.03/2002 Pasal 1.
Piutang pajak yang dihapuskan adalah piutang pajak yang jumlahnya masih harus ditagih sebagaimana tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT, yang meliputi pokok pajak kenaikan bunga dan atau denda.
2. Piutang Pajak dalam Standar Akuntansi Pemerintahan Piutang dinyatakan dalam neraca menurut nilai yang timbul berdasarkan hak yang telah dikeluarkan surat keputusan penagihannya, termasuk dalam pos ini adalah Piutang Pajak. Piutang menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 1 tentang Penyajian Laporan Keuangan. Dalam Paragraf 43 PSAP Nomor 1 tersebut dinyatakan bahwa Piutang Pajak merupakan salah satu komponen utama dalam Neraca LKPP. Lebih lanjut, dalam PSAP tersebut dinyatakan pula beberapa hal diantaranya sebagai berikut: - Paragraf 61: “piutang sebagai aset diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh oleh pemerintah dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal”. - Paragraf 62: “Aset diakui pada saat diterima atau
kepemilikannya dan/atau
kepenguasaannya berpindah (paragraf 62)”. - Paragraf 63 Huruf c:
“piutang diukur sebesar nilai nominalnya”.
2 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 06 Mengenai Akuntansi Piutang
mendefinisikan piutang pajak sebagai piutang yang timbul atas pendapatan pajak sebagaimana diatur dalam undang-undang perpajakan, yang belum dilunasi sampai dengan akhir periode laporan keuangan. Piutang pajak diakui pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan/atau Surat Tagihan Pajak (STP) dan telah dilaksanakan proses penagihannya. Pengakuan ini disebabkan adanya potensi pendapatan negara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini juga sesuai dengan UU KUP no 28 tahun 2007. Piutang pajak merupakan piutang yang wajib dilunasi oleh wajib pajak dalam periode berjalan tahun berikutnya, sehingga tidak ada piutang pajak yang melampaui satu periode berikutnya. Oleh karena itu, piutang pajak disajikan di Neraca LKPP sebagai aset lancar. Selain penyajian dalam Neraca, guna memenuhi pengungkapan yang memadai, informasi terkait piutang juga perlu disajikan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Informasi tersebut dapat berupa: kebijakan akuntansi atas penilaian, pengakuan dan pengukuran piutang pajak; rincian saldo menurut umur; penjelasan
status
penyelesaian; serta jaminan atau sita jika ada.
3 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
II.
ANALISA a. Komposisi Piutang Pajak Tahun 2006 – 2009 dalam Neraca LKPP Saldo Piutang Pajak Tahun 2006 – 2009 Unit Pengelola
31 Desember 2006
Ditjen Anggaran Ditjen Pajak
31 Desember 2008
31 Desember 2009
-
187,733,156,816
53,788,164,621
-
32,280,657,580,871
31,906,597,010,360
45,173,077,395,398
49,999,727,823,996
3,173,894,545,965
9,947,769,397,769
10,318,356,917,933
13,659,045,063,184
-
-
-
35,454,552,126,836
42,042,099,564,945
55,545,222,477,952
Ditjen Bea dan Cukai BUN Total
31 Desember 2007
145,443,077 63,658,772,887,180
Dari data di atas dapat diketahui bahwa total piutang pajak setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut dapat mengindikasikan adanya potensi peningkatan penerimaan perpajakan ataukah indikasi kurang efektifnya aparat perpajakan dalam melakukan penagihan piutang pajak.
Dalam temuan BPK tidak ada klasifikasi mengenai berapa yang sudah dibayar/terealisasi, berapa yang masih dipengadilan, berapa yang sudah mempunyai keputusan pengadilan .
BPK menilai ada beberapa faktor yang menyebabkan penagihan piutang pajak tidak efektif diantaranya karena kelemahan dalm aspek strategi, sistem administrasi dan sumber daya dan juga faktor pengawasan dalam penagihan piutang pajak.i
Piutang pajak berpotensi besar menjadi pendapatan negara jika aparatur pajak melaksanakan upaya penagaikan seoptimal mungkin melalui prosedur-prosedur penagihan yang sudah ditetapkan yaitu : 1. Surat teguran 2. Surat paksa 3. Penyitaan 4. Lelang
4 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Namun, di sisi lain piutang pajak juga memiliki potential loss, jika piutang pajak telah memasuki masa daluwarsa penagihan. Piutang Pajak Per Jenis Pajak No
Nama Perkiraan
31 Desember 2007
31 Desember 2008
31 Desember 2009
1
Piutang PPh Pasal 21
1.020.414.690.864
1.229.968.846.712
951.534.554.486
2
Piutang PPh Pasal 22
66.827.848.091
104.120.004.440
489.840.716.690
3
2.389.628.147.076
3.054.716.319.783
1.688.528.889.756
930.137.420.350
1.006.960.630.021
1.053.689.834.133
5
Piutang PPh Pasal 23 Piutang PPh Pasal 25 Orang Pribadi Piutang PPh Pasal 25 Badan
8.885.377.594.100
16.268.284.571.207
16.424.024.121.140
6
Piutang PPh Pasal 26
-
125.143.589.474
1.586.493.805.101
7
Piutang PPh Final Piutang PPh Non Migas Lainnya Piutang PPN Dalam Negeri
-
922.916.307.676
535.862.689.996
879.508.183.935
95.145.000
-
11.042.004.050.239
12.560.346.602.995
14.533.638.585.793
-
-
-
99.268.206.548
280.039.959.243
280.485.129.787
606.882.233.000
746.285.302.993
1.327.539.551.495
2.929.676.818.000
4.527.189.629.491
7.542.885.445.040
178.163.623.000
212.754.667.994
474.394.030.911
478.052.255.000
477.992.946.905
492.606.633.014
45.810.576.000
64.058.196.664
158.566.341.854
219.093.221.678
803.339.377.782
179.947.361.649
-
815.162.918
16.386.067.497
2.089.472.781.488
2.788.050.134.100
2.263.304.065.654
46.252.964.479
-
-
-
26.396.512
-
31.906.597.010.360
45.173.077.395.398
4
8 9 10
16
Piutang PPN Impor Piutang PPnBM Dalam Negeri Piutang PBB Pedesaan Piutang PBB Perkotaan Piutang PBB Perkebunan Piutang PBB Kehutanan Piutang PBB Pertambangan
17
Piutang BPHTP
18
Piutang PTLL Piutang Bunga Penagihan PPh Piutang Bunga Penagihan PPN Piutang Bunga Penagihan PTLL Piutang Bunga Penagihan PPnBM
11 12 13 14 15
19 20 21 22
Jumlah
49.999.727.823.996
5 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Piutang PPh 25 Badan adalah piutang yang tertinggi, hal ini mengingat sebagian besar penerimaan pajak juga berasal dari penerimaan PPh badan. Namun, harus dilihat dulu berapa proporsi penerimaan pajak pasal 25 badan tersebut dibandingkan dengan piutangnya. Piutang Pajak di DJP berdasarkan umur utang Umur Piutang Kurang dari 1 tahun 1 tahun dan kurang dari 3 tahun 3 tahun dan kurang dari 5 tahun 5 tahun atau lebih Jumlah
31 Desember 2009 13,167,888,974,329 12.641.269.957.462 9.037.953.073.649 15,152,615,818,556 49.999.727.823.996
31 Desember 2010 12.239.111.738.000 9.776.181.927.000 10.213.857.380.000 12.943.926.315.000 45.173.077.360.000
Sumber : BPK RI , LKPP 2009 Berdasarkan klasifikasi umur piutang, per 31 Desember 2009, sebagian besar piutang berumur lebih dari 5 tahun. Namun, bukan berarti potensi untuk ditagihnya kecil karena harus dilihat berapa piutang yang berasal dari tahun 2007, dimana daluarsa penagihannya baru pada tahun 2017 sedangkan yang tahun 2008 daluarsanya baru pada tahun 2013.
Terhadap piutang pajak tersebut juga ada kemungkinan penghapusan piutang pajak dengan syarat-syarat sebagai berikut 1: a. Piutang tersebut tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT b. Sudah dilakukan upaya tindakan penagihan sampai dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c. Wajib pajak telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan harta warisann tidak mempunyai ahli waris dengan bukti surat keterangan dari instansi yang terkait. d. Wajib Pajak tidak dapat ditemukan lagi karena pindah alamat e. Wajib Pajak tidak mempunyai kekayaan lagi f. Penagihan pajak telah kadaluwarsa.
1
Pasal 24 UU KUP dan KMK Nomor 539/KMK.03/2002
6 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Implikasi dari implementasi peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut adalah atas suatu ketetapan dan/atau tagihan (SKP dan/atau STP) yang diakui sebagai piutang pajak dalam Neraca LKPP masih memungkinkan adanya prosedur-prosedur formal yang berdampak baik terhadap keberadaan (existence) maupun jumlah (valuation) piutang pajak yang diakui dalam Neraca LKPP. Selain itu, BPK merekomendasikan agar Ditjen Pajak mempertimbangkan lagi tahapan dan proses penagihan dengan menyusun standar prestasi penagihan serta koordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti kepolisian dan Pemda.
Proses yang dapat dilaksanakan dalam penyelesaian piutang pajak berimplikasi pada tingkat keyakinan atas realisasi piutang pajak . Beberapa dampak yang mungkin timbul dari permasalahan ini misalnya terjadinya perubahan terhadap nilai-nilai piutang pajak akibat ketetapan hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan pajak karena adanya pengajuan banding dari WP.
Antara tahun 2005 – 2006 realisasi pencairan piutang pajak melebihi target yang ditentukan. Tahun 2007 – 2008 realisasinya kurangsedikit
dari target yang
ditetapkan. Walaupun demikian, hal yang perlu mendapat perhatian adalah perbandingan antara target realisasi dengan potensi piutang yang ada. Sebagai contoh, saldo piutang per 31 Desember 2006 adalah Rp35,4 Triliun. Namun, pada tahun 2007 target pencairan hanya 12 Triliun atau sekitar 33,9% dari potensi piutang pajak.
7 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Dalam menyajikan informasi mengenai realisasi penerimaan pajak tahun anggaran berjalan, sebaiknya pemerintah menginformasikan berapa yang murni dari target tahun berjalan dan berapa yang berasal dari realisasi penagihan piutang pajak tahun-tahun sebelumnya. b. Temuan BPK atas Piutang Pajak
Temuan dalam Pemeriksaan Kinerja Pengelolaan Piutang Pajak KPP BUMN dalam Hapsem I 2010 Berdasarkan data 169 WP terbesar yang diperoleh dari KPP BUMN, dapat diketahui hal-hal sebagai berikut: a. Piutang pajak 10 (sepuluh) penunggak pajak terbesar pada KPP BUMN senilai Rp6.769.301.103.563,00 mencakup 85,18% dari nilai keseluruhan piutang pajak pada KPP BUMN senilai Rp7.947.187.978.000,00. b. Total nilai Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan atas 169 WP adalah Rp8.867.104.418.574,00. Dari nilai tersebut, Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang telah dicairkan adalah senilai Rp1.308.780.897.210,00. Sehingga nilai saldo tunggakan piutang pajak atas 169 WP terbesar adalah sebesar Rp7.558.323.521.364,00 (Rp8.867.104.418.574,00 – Rp1.308.780.897.210,00). c. Piutang pajak yang telah daluwarsa pada KPP BUMN senilai Rp16.032.988.720,00. d. WP penunggak pajak terbesar adalah WP yang bergerak pada bidang industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi. Nilai Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak atas WP ini adalah senilai Rp4.741.839.902.617,00. Atas Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak tersebut telah dilakukan pencairan senilai Rp495.065.416.529,00. Sehingga masih terdapat tunggakan pajak senilai Rp4.264.774.486.088,00 (Rp4.741.839.902.617,00 – Rp495.065.416.529,00). e. Berikutnya. WP yang merupakan penunggak pajak terbesar pada KPP BUMN adalah WP yang bergerak pada bidang jasa penunjang keuangan lainnya. Nilai Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak atas WP ini senilai Rp1.468.817.360.547,00. Atas Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak tersebut belum dilakukan pencairan karena WP yang dimaksud dilikuidasi dan mekanisme pengalihan tunggakan pajak tersebut tidak diatur dalam undang-undang pajak. Sehingga, dari keterangan diatas, KPP BUMN belum maksimal dalam hal menagih tunggakan pajak pada 169 Wajib Pajak penunggak pajak terbesar. Dalam melakukan kegiatan penagihan petugas KPP BUMN sering menghadapi kendala-kendala non-teknis (politis) karena Wajib Pajak dilingkungan KPP BUMN adalah Wajib Pajak BUMN-BUMN yang besar seperti Pertamina, KAI, PLN.
***
8 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
a. Temuan BPK atas Piutang Pajak Tahun 2007 – 2010 LHP SEMESTER I TAHUN 2007 (LK – DEPKEU) TEMUAN
AKIBAT
PENYEBAB
REKOMENDASI BPK
TINDAK LANJUT
Piutang pajak sebesar Rp35.721.532,92 juta yang disajikan dalam Neraca Kementerian Keuangan Tahun 2006 tidak dapat diyakini kewajarannya dan tidak sesuai dengan Lampiran 1 Peraturan Menteri Keuangan No.59/PMK.06/2005, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-11/PJ.1/2005 dan Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai No.SE01/BC.1/2007
Nilai piutang pajak yang tercatat dalam Laporan Keuangan Kementerian Keuangan Tahun 2006 tidak transparan dan akuntabel.
a. Koordinasi dan rekonsiliasi antara bagian yang menyusun laporan keuangan dengan unit-unit yang memiliki dokumen sumber sebagai bahan masukan mengenai keakuratan data-data yang disampaikan oleh satuan kerja tidak berjalan dengan baik. b. Sistem informasi terkait dengan pencatatan piutang/tunggakan pajak tidak disesuaikan dengan Sistem Akuntansi Instansi. c. Standar Akuntansi Pemerintah belum mengatur tentang piutang khususnya piutang pajak.
Agar Menteri Keuangan: a. Meningkatkan koordinasi antara bagian yang menyusun laporan keuangan dengan unitunit yang memiliki dokumen sumber; b. Menyesuaikan mekanisme pelaporan piutang pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; c. Menyempurnakan sistem informasi piutang pajak sehingga dapat menyajikan antara lain namun tidak terbatas pada nilai sengketa pajak yang dapat menimbulkan contingent liabilities, nilai piutang pajak daluwarsa dan tingkat kolektibilitas piutang pajak; d. Segera merancang dan mengusulkan Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan terkait dengan Piutang.
Sudah ditindak lanjuti dan sesuai
9 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
LHP SEMESTER I TAHUN 2008 (LK – DEPKEU) TEMUAN AKIBAT Sistem Pengendalian Intern atas Pencatatan dan Pelaporan Realisasi Penerimaan Perpajakan Tidak Memadai.
Hal tersebut mengakibatkan Realisasi Penerimaan Perpajakan sebesar Rp490.995.916,49 tidak dapat diyakini kewajarannya.
PENYEBAB
REKOMENDASI BPK
Hal tersebut disebabkan: a. Rekonsiliasi belum dilakukan secara tertib dan memadai baik pada tingkat UAPA,UAPPA-W, maupun pada tingkat UAPPA-E1; b. Sistem pencatatan dan pelaporan penerimaan pajak yang diterapkan oleh DJP dan DJBC belum sesuai dengan SAI. c. Pengembangan dan Pelaksanaan MPN masih lemah.
BPK menyarankan agar Menteri Keuangan memerintahkan kepada Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Direktur Jenderal Perbendaharaan dan Direktur Jenderal Anggaran : 1. Melakukan rekonsiliasi secara intensif dengan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPPN), Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Ditjen Perbendaharaan. 2. Memperbaiki sistem aplikasi Modul Penerimaan Negara agar dapat digunakan secara handal dan mengoptimalkan penggunaan agar dapat sebagai alat pengendalian penerimaan melalui SAU.
TINDAK LANJUT Sudah ditindak lanjuti dan sesuai
10 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
3.
4.
LHP SEMESTER I TAHUN 2009 (LK – DEPKEU) TEMUAN AKIBAT Piutang pajak DJBC sebesar Rp231,30 miliar dan piutang bukan pajak DJBC sebesar Rp50,45 miliar serta penihilan piutang pajak bersaldo negatif DJP sebesar Rp767,76 miliar tidak didukung dokumen sumber yang valid dan terinci.
Hal tersebut mengakibatkan nilai piutang yang dilaporkan dalam laporan keuangan Tahun 2008 minimal sebesar Rp281,75 miliar belum dapat diyakini kewajarannya.
Menyesuaikan sistem pencatatan dan pelaporan penerimaan perpajakan serta piutang pajak dengan Sistem Akuntansi Instansi (SAI). Merancang SPI yang handal atas pencatatan dan pelaporan pungutan ekspor.
PENYEBAB
REKOMENDASI BPK
Permasalahan tersebut disebabkan karena Eselon I dibawah Kementerian Keuangan tidak mengadministrasikan dengan baik dokumen sumber pencatatan saldo piutang yang tercatat dalam laporan keuangan.
BPK merekomendasikan agar Menteri Keuangan menelusuri dokumen sumber dari masingmasing piutang pada DJBC dan menyelesaikan saldo piutang pajak bersaldo negatif di DJP berdasarkan dokumen yang valid.
TINDAK LANJUT Sudah ditindak lanjuti dan sesuai
11 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
LHP SEMESTER I 2010 (LK – DEPKEU) TEMUAN AKIBAT Penyajian Piutang Pajak pada Kementerian Keuangan sebesar Rp4,48 Triliun Tidak di Dukung dan Tidak Sesuai dengan Dokumen Sumber sehingga Belum Dapat Diyakini Kewajarannya serta Penyisihan Piutang Pajak Kurang Diungkap sebesar Rp33,12 Miliar
Hal tersebut mengakibatkan nilai Piutang Pajak per 31 Desember 2009 yang dilaporkan dalam LK Kementerian Keuangan Tahun 2009 tidak dapat diyakini kewajarannya sebesar Rp4.483.427,92 Juta (Rp654.659,60 juta + Rp3.827.622,03 juta + Rp1.146,29 juta) serta penyisihan Piutang Pajak kurang diungkap sebesar Rp33.119,43 juta.
PENYEBAB
REKOMENDASI BPK
Hal ini disebabkan karena Kementerian Keuangan belum mengelola Piutang Pajak beserta dokumen sumber pencatatan saldo piutang dengan baik dan lemahnya Sistem Pengendalian atas Monitoring pengakuan, pencatatan dan pelaporan Piutang Pajak.
BPK menyarankan Kementerian Keuangan agar meningkatkan sistem pengendalian intern atas monitoring pengakuan, pencatatan dan penagihan Piutang Pajak dengan cara: a. Membuat prosedur rekonsiliasi pengurangan Piutang Pajak antara SSP di LP3 dengan SSP di MPN, sehingga menyajikan saldo Piutang Pajak yang akurat; b. Melakukan pencatatan Piutang Pajak berdasarkan dokumen sumber yang sah; c. Mengungkap SP3DRI dalam LK Tingkat Eselon I (DJP dan DJBC) dan LK Kementerian Keuangan secara memadai; e. Memperbaharui dan menyeragamkan sistem pencatatan Piutang Pajak untuk mengakomodasi peraturan yang ada serta memantau
TINDAK LANJUT
12 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
keputusan keberatan dan banding, sehingga pencatatan Piutang Pajak lebih akurat;
LHP SEMESTER I TAHUN 2010 (KINERJA) TEMUAN AKIBAT Perencanaan penagihan piutang pajak pada Kanwil DJP DI Yogyakarta, Kanwil DJP Sulawesi Utara, Tengah,Gorontalo & Maluku Utara dan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar belum efektif.
Pengukuran kinerja penagihan tahun 2008 pada Kanwil DJP DI
PENYEBAB
REKOMENDASI BPK
Hal tersebut mengakibatkan: 1. Pencairan piutang pajak pada Kanwil DJP DI Yogyakarta. Kanwil DJP Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo & Maluku Utara masih cukup rendah. 2. Strategi pencairan piutang pajak pada ketiga Kanwil DJP diatas tidak efektif.
Permasalahan terkait dengan kriteria yang telah disepakati oleh BPK-RI dan DJP : 1. Strategi penagihan ditetapkan dengan memperhatikan tren target terhadap piutang yang harus dicairkan. 2. Tren prosentase pencairan tunggakan pajak telah mengalami kenaikan.
BPK merekomendasikan agar : 1. DJP memperhatikan piutang yang harus dicairkan dalam perencanaan penagihan pajak; 2. DJP memperhatikan keseluruhan potensi penagihan pajak dalam pencairan piutang pajak.
Permasalahan tersebut dapat mengakibatkan pengukuran kinerja penagihan piutang
Permasalahan tersebut disebabkan oleh: 1. Perencanaan penagihan pajak tidak memperhatikan piutang yang harus dicairkan; 2. Pencairan piutang tidak memperhatikan keseluruhan potensi penagihan pajak; Pengukuran kinerja penagihan tahun 2008 pada Kanwil DJP DI Yogyakarta dan Kanwil DJP
TINDAK LANJUT
BPK merekomendasikan agar : DJP mempertimbangkan
13 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Yogyakarta dan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar belum mempertimbangkan tahapan/ proses penagihan.
pajak pada Kanwil DJP DI Yogyakarta dan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar belum efektif.
Wajib Pajak Besar tidak handal karena hanya berdasarkan realisasi pencairan piutang dan tidak memperhitungkan proses pencairan piutang.
tahapan/proses penagihan dalam menyusun standar prestasi penagihan.
Permasalahan ini terkait dengan kriteria pemeriksaan yang telah disepakati oleh BPK RI dan DJP “Kebijakan Penagihan dinilai berdasarkan hasil dengan memperhatikan proses”.
Target pencairan piutang pajak tahun 2009 yang ditentukan oleh Kanwil DJP Wajib Pajak Besar melebihi kemampuan KPP BUMN dalam pencairan piutang
Hal tersebut mengakibatkan KPP BUMN tidak dapat memenuhi target pencairan tunggakan pajak yang telah ditetapkan oleh Kanwil DJP Wajib Pajak Besar
Hal tersebut disebabkan oleh prestasi penagihan hanya dinilai berdasarkan hasil realisasi pencairan tunggakan pajak tanpa mempertimbangkan tahapan/proses penagihan. Seharusnya menetapkan target piutang harus memperhatikan kemampuan dalam pencairan piutang pajak. Hal ini dapat diperoleh dari piutang lancar, piutang kurang lancar dan piutang dalam perhatian khusus. Piutang macet dan piutang diragukan sangat kecil kemungkinan tertagih, atau hampir tidak dapat ditagih kembali.
BPK merekomendasikan agar: 1. DJP menyempurnakan mekanisme penetapan target pencairan piutang pada kanwil dan KPP; 2. Kanwil DJP mempertimbangkan prognosa yang diajukan KPP.
Permasalahan tersebut terkait
14 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
dengan kriteria yang telah disepakati bersama antara BPK RI dan DJP yaitu strategi penagihan ditetapkan dengan memperhatikan trend prosentase target piutang terhadap piutang yang harus dicairkan. Permasalahan tersebut disebabkan oleh: 1. Kanwil DJP Wajib Pajak Besar menetapkan target pencairan piutang yang tinggi terhadap KPP BUMN. 2. Kanwil DJP Wajib Pajak besar tidak mempertimbangkan prognosa KPP BUMN. Tindakan penagihan terhadap 200 penunggak pajak terbesar pada KPP Pratama Manado. KPP Pratama Bitung dan KPP BUMN sampai dengan bulan September 2009 belum optimal.
Permasalahan tersebut mengakibatkan piutang sebesar Rp7.621.720.095.274,00 yang belum tertagih atas 200 Wajib Pajak Penunggak terbesar pada KPP Pratama Manado, KPP Pratama Bitung dan KPP BUMN yang berpotensi menjadi piutang macet.
Dalam melakukan kegiatan penagihan petugas KPP BUMN sering menghadapi kendala-kendala non-teknis (politis) karena Wajib Pajak dilingkungan KPP BUMN adalah Wajib Pajak BUMNBUMN yang besar seperti Pertamina, KAI, PLN. Permasalahan diatas disebabkan oleh : 1. Ditjen Pajak tidak tegas dalam menjalankan aturan terkait; 2. Ditjen Pajak belum melakukan tindakan
BPK merekomendasikan agar: 1. DJP segera melakukan koordinasi dengan pihak terkait antara lain kepolisian dan pemda dalam melaksanakan proses penagihan piutang pajak; 2. DJP melakukan tindakan alternatif terhadap kegiatan penagihan yang menghadapi kendala non-teknis pada KPP BUMN khususnya
15 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Sistem aplikasi penagihan belum mendukung kegiatan administrasi penagihan berkaitan dengan Pasal 25 UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Hal tersebut dapat mengakibatkan : 1. Laporan perkembangan tunggakan pajak tidak valid. 2. Proses penagihan tidak efektif.
Piutang wajib pajak yang telah bubar dan dilikuidasi sebesar Rp1.469.508.257. 523,00 pada KPP BUMN belum dihapuskan.
Dengan tidak dihapuskannya piutang tersebut di atas maka akan mengakibatkan: 1. Beban kinerja pencairan tunggakan pajak bagi KPP BUMN bertambah. 2. Saldo piutang yang tetap tinggi karena piutang tersebut belum dihapuskan.
Sumber Daya Penagihan
Permasalahan tersebut diatas dapat mengakibatkan target pencairan piutang pajak tidak tercapai.
Perhatian dan dukungan Direktorat Jenderal Pajak kepada kegiatan penagihan belum optimal
alternatif terhadap kegiatan penagihan yang menghadapi kendala nontekhnis pada KPP BUMN. Permasalahan diatas tidak sesuai dengan kriteria yang telah disepakati BPK-RI dan DJP: 2.1 Sistem aplikasi penagihan telah mendukung ketentuan formal penagihan. Permasalahan tersebut disebabkan Sistem Aplikasi Penagihan tidak memenuhi kebutuhan pengguna dan proses bisnis. Hal tersebut diatas disebabkan karena belum ada kebijakan dari DJP tentang penyelesaian pajak terutang atas penyerahan aset pemerintah kepada pemerintah kembali.
Permasalahan tersebut terkait dengan kriteria pemeriksaan yang telah disepakati oleh BPK RI dan DJP: 1. Terdapat analisa dan kebijakan atas penempatan tenaga jurusita yang
proses piutang BUMN.
pencairan di KPP
BPK merekomendasikan agar DJP segera membuat sistem aplikasi penagihan yang bisa memenuhi kebutuhan pengguna dan disesuaikan dengan proses bisnis yang ada.
BPK merekomendasikan agar DJP segera membuat keputusan tentang penyelesaian pajak terutang terkait penyerahan aset pemerintah kepada pemerintah kembali dan melakukan evaluasi atas tunggakan pajak dari bank BUMN yang telah dilikuidasi. BPK merekomendasikan agar DJP: 1. Melakukan analisis kebutuhan jenjang fungsional untuk unit pelaksanaan penagihan;
16 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
memadai sesuai dengan beban kerja di unit pelaksana penagihan. 2. Tenaga jurusita dan unit pelaksana penagihan telah dibekali dengan dukungan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan operasinal.
Pemberian insentif kepada jurusita pada KPP Pratama Yogyakarta dan KPP BUMN tidak dihitung berdasarkan realisasi pencairan piutang pajak dari penagihan aktif
Belum adanya mekanisme pengajuan usulan pelatihan jurusita dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Permasalahan tersebut diatas mengakibatkan pemberian insentif jurusita atas pencairan piutang yang melebihi target pada KPP Pratama Yogyakarta dan KPP BUMN belum fair.
Kondisi diatas dapat mengakibatkan kemampuan jurusita dalam menagih tunggakan pajak relatif tidak berkembang dan selanjutnya kegiatan penagihan piutang pajak menjadi tidak optimal.
Hal tersebut disebabkan karena perhatian dan dukungan Direktorat Jenderal Pajak kepada juru sita belum optimal. Permasalahan diatas terkait dengan kriteria pemeriksaan yang telah disepakati oleh BPK RI dan DJP : “Mekanisme pemberian reward diberikan secara fair yaitu berdasarkan pencairan piutang yang berasal dari penagihan aktif”. Hal tersebut disebabkan oleh mekanisme pemberian insentif tidak mempertimbangkan pencairan dari penagihan aktif. Permasalahan diatas belum sesuai dengan kriteria yang telah dibicarakan oleh BPK-RI dan DJP ” Pelatihan yang diadakan sesuai dengan kebutuhan.”. Hal
tersebut
disebabkan
2.
Memprioritaskan penempatan jurusita yang berkualitas pada setiap unit kerja; 3. Melengkapi sarana dan prasarana bagi jurusita sesuai dengan kebijakan yang berlaku.
BPK merekomendasikan agar DJP menyempurnakan mekanisme pemberian insentif dengan mempertimbangkan keberhasilan pencairan dari penagihan aktif.
BPK merekomendasikan agar DJP menyempurnakan mekanisme pengajuan usulan pelatihan jurusita dari KPP kepada Kanwil DJP yang kemudian diakomodasikan oleh
17 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Monitoring/ Pengawasan Kegiatan evaluasi pencairan tunggakan oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP belum optimal
Penyajian Piutang Pajak pada Kementerian Keuangan sebesar Rp4,48 Triliun Tidak di Dukung dan Tidak Sesuai dengan Dokumen Sumber sehingga Belum Dapat Diyakini Kewajarannya serta Penyisihan Piutang
Permasalahan tersebut diatas dapat mengakibatkan: 1. Hasil monitoring belum mencerminkan kondisi kegiatan penagihan sebenarnya; 2. Kendala-kendala penagihan tidak diidentifikasi secara lengkap; 3. Perencanaan penagihan di masa berikutnya tidak tepat.
Hal tersebut mengakibatkan nilai Piutang Pajak per 31 Desember 2009 yang dilaporkan dalam LK Kementerian Keuangan Tahun 2009 tidak dapat diyakini kewajarannya sebesar Rp4.483.427,92 Juta (Rp654.659,60 juta +
belum adanya mekanisme atau peraturan pengajuan usulan pelatihan jurusita dari KPP kepada Kanwil DJP yang dapat diakomodasi oleh KPDJP. Permasalahan terkait dengan kriteria pemeriksaan yang telah didiskusikan serta disetujui oleh BPK-RI dan DJP poin 4.1 “Terdapat mekanisme monitoring evaluasi kinerja telah mencerminkan kondisi sebenarnya” dan poin 4.2 “Terdapat mekanisme pelaporan yang memadai atas realisasi pelaksanaan kegiatan penagihan tunggakan pajak baik secara internal maupun eksternal DJP”. Hal tersebut disebabkan mekanisme monitoring pencairan tunggakan pajak pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP tidak komprehensif. Hal ini disebabkan karena Kementerian Keuangan belum mengelola Piutang Pajak beserta dokumen sumber pencatatan saldo piutang dengan baik dan lemahnya Sistem Pengendalian atas Monitoring pengakuan, pencatatan dan pelaporan
KPDJP direalisasikan.
untuk
BPK merekomendasikan agar DJP menyempurnakan mekanisme monitoring pencairan tunggakan pajak oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP .
BPK menyarankan Kementerian Keuangan agar meningkatkan sistem pengendalian intern atas monitoring pengakuan, pencatatan dan penagihan Piutang Pajak dengan cara: a. Membuat prosedur
18 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
Pajak Kurang Diungkap sebesar Rp33,12 Miliar
Rp3.827.622,03 juta + Rp1.146,29 juta) serta penyisihan Piutang Pajak kurang diungkap sebesar Rp33.119,43 juta.
Piutang Pajak.
rekonsiliasi pengurangan Piutang Pajak antara SSP di LP3 dengan SSP di MPN, sehingga menyajikan saldo Piutang Pajak yang akurat; b. Melakukan pencatatan Piutang Pajak berdasarkan dokumen sumber yang sah; c. Mengungkap SP3DRI dalam LK Tingkat Eselon I (DJP dan DJBC) dan LK Kementerian Keuangan secara memadai; e. Memperbaharui dan menyeragamkan sistem pencatatan Piutang Pajak untuk mengakomodasi peraturan yang ada serta memantau keputusan keberatan dan banding, sehingga pencatatan Piutang Pajak lebih akurat;
19 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI
i
Sambutan Ketua BPK dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 11 Oktober 2010 LHP Semester I – 2010 terhadap Kinerja Kegiatan Penagihan Piutang Pajak (halaman 11 – 12)
2)...
20 | Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI