KEPASTIAN HUKUM PEMBAYARAN UTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAI BAGIAN DARI PIUTANG NEGARA
SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH NAMA
: LINAWATY
NIM
: 060200070
DEPARTEMEN
: HUKUM EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM MEDAN 2009 Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
KEPASTIAN HUKUM PEMBAYARAN HUTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAI BAGIAN DARI PIUTANG NEGARA SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH NAMA
: LINAWATY
NIM
: 060200070
DEPARTEMEN : HUKUM EKONOMI
Disetujui oleh, Ketua Departemen Hukum Ekonomi,
Prof.Dr.Bismar Nasution, SH, M.H. NIP 19560329 198601 1 001
Dosen Pembimbing I,
Prof.Dr. Budiman Ginting, SH,M.Hum NIP 19590511 198601 1 001
Dosen Pembimbing II,
Dr.Sunarmi, SH, M.Hum NIP 19630215 198903 2 002
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM MEDAN 2009
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik. Penulisan skripsi ini adalah tugas wajib mahasiswa dalam rangka melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini diberi judul “KEPASTIAN HUKUM PEMBAYARAN UTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAI BAGIAN DARI PIUTANG NEGARA” Seperti kata pepatah “Tak ada gading yang tak retak-Tiada manusia yang dapat lepas dari kesilapan dan kesalahan”. Skripsi yang telah diselesaikan dengan segenap hati dan pemikiran ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan dan disadari akan adanya kekurangan-kekurangan dalam penyajian maupun dalam materi pembahasan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan diterima dengan baik demi kesempur naan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan rasa hormat yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, DFM, MH., selaku Pembantu Dekan II,
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 4. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I. 5. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, Sekertaris Jurusan Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II. 6. Seluruh staff Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang telah memberikan pengetahuan hukum kepada penulis. 7. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta yang tak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan banyak dorongan moril. 8. Ayah dan ibu tercinta, Hendro Tandiono dan Nurhaeda yang telah membesarkan dan menyayangi serta kedua adik dan saudara-saudara yang amat mendukung dalam penulisan skripsi. Akhir kata penulis mengucapkan selamat membaca dan mengkaji skripsi ini. Semoga dapat bermanfat bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya bagi ilmu hukum. Medan, Oktober 2009 Hormat Penulis,
Linawaty NIM 060200070
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR …………………………………………………………...i DAFTAR ISI…………………………………………………………………….iii ABSTRAKSI……………………………………………………………………..v BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang…………………………………………………….1 B. Perumusan Masalah ………………………………………………7 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan….…………………………………8 D. Keaslian Penulisan ………………………………………………..9 E. Tinjauan Kepustakaan .……………………………………………9 1. Pengertian Pajak ……………………………………………..10 2. Pengertian Penghasilan ……………………………………...11 3. Pengertian Penagihan ………………………………………..13 4. Asas-asas dalam Perpajakan ………………………………...13 F. Metode Penelitian ……………………………………………….18 G. Sistematika Penulisan …………………………………………...20
BAB II
SISTEM PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN MENURUT UU NO.36 TAHUN 2008 A. Sistem pemungutan pajak ……………………………………….22 1. Official assessment system …………………………………..22 2. Self assessment system ……………………………………....22 3. Withholding system ………………………………………….25 B. Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan …………………………….26 1. Subjek pajak penghasilan ……………………………………27 2. Objek pajak penghasilan …………………………………….34
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
3. Tarif pajak …………………………………………………..36 4. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)……………………...42 BAB III
PENGATURAN DALUARSA DALAM PEMBAYARAN UTANG PAJAK PENGHASILAN A. Utang PPh………………………………………………………..44 1. Pengertian Utang……………………………………………..44 2. Timbulnya Utang Pajak ……………………………………..45 3. Berakhirnya Utang pajak ……………………………………49 B. Daluarsa PPh……………………………………………………..53 1. Pengertian Daluarsa dan dasa Hukum Daluarsa Pembayaran PPh…………………………………………………………...53 2. Moment Daluarsa PPh……………………………………….54
BAB IV
SANKSI TERHADAP PAJAK PENGHASILAN YANG TIDAK DIBAYAR A. Ketentuan sanksi dalam UU No.36 tahun 2008 …………………57 1. Sanksi Administrasi………………………………………….57 2. Sanksi Pidana………………………………………………...61 B. Pengadilan pajak ………………………………………………...64 C. Penagihan pajak dan penyitaan kekayaan penanggung pajak berupa piutang dengan Surat Paksa ……………………………………..68 1. Penagihan pajak ……………………………………………..68 2. Penyitaan …………………………………………………….77 D. Pencegahan dan penyanderaan dalam hukum pajak di Indonesia ……………………………………………………...81 1. Pencegahan dalam hukum pajak …………………………….82 2. Penyanderaan dalam hukum pajak …………………………..83
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
A. Kesimpulan ……………………………………………………...86 B. Saran …………………………………………………………….88 DAFTAR PUSTAKA
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
KEPASTIAN HUKUM PEMBAYARAN UTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAI BAGIAN DARI PIUTANG NEGARA Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum*) Dr. Sunarmi, SH, M.Hum**) Linawaty***) ABSTRAKSI
Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pancasila. Sebagai negara hukum maka segala aktivitas pemerintah dan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Oleh sebab itu, diperlukan dasar pengenaan pajak yang jelas agar menjamin adanya keadilan dan kepastian hukum bagi pembayar pajak. Disebabkan banyaknya wajib pajak yang tidak membayar Pajak Penghasilan atas kesadaran sendiri karena menganggap pajak sebagai beban baginya, maka diperlukan pengaturan yang jelas mengenai permasalahan sistem pengenaan pajak, pengaturan daluarsa dalam pembayaran Pajak Penghasilan bagi wajib pajak serta sanksi yang sebaiknya diberikan bila wajib pajak tidak membayar Pajak Penghasilan tepat pada waktunya agar menjamin kepastian hukum pembayaran utang Pajak Penghasilan. Adapun metode yang dipakai untuk pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data melalui studi pustaka yaitu dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Misalnya dengan mengumpulkan data-data dari buku-buku karya ilmiah dan data-data dari internet yang memiliki kaitan dengan skripsi ini. Dari hasil skripsi ini dapat disimpulkan bahwa sistem pemungutan pajak penghasilan di Indonesia tidak sepenuhnya berdasarkan sistem self assessment walaupun telah disebutkan secara tegas dalam peraturan perpajakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai daluarsa serta sanksi-sanksi dalam bidang perpajakan masih jauh dari yang diharapkan. Berdasarkan uraian tersebut diharapkan pemerintah dapat melakukan pembenahan dalam peraturan perpajakan yang ada. Kata kunci: Kepastian Hukum, Pembayaran Utang, Pajak Penghasilan. *)Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen Pembimbing I **)Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen Pembimbing II ***)Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Pajak merupakan gejala masyarakat yang artinya bahwa pajak hanya
terdapat dalam masyarakat. Jika tidak ada masyarakat tidak ada pajak. Masalah pajak ini merupakan masalah negara dan setiap orang yang hidup dalam negara tersebut. Di setiap negara yang memiliki pemerintah dan rakyat akan ada pajak di negara tersebut. 1 Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang diberlakukan oleh hampir seluruh negara di dunia ini. Pajak tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Karena pajak merupakan sumber penerimaan yang penting, maka pemerintah dalam melaksanakan pemungutan pajak harus berdasarkan keadilan serta memberikan kepastian hukum bagi para wajib pajak. Salah satu indikasi keberhasilan pemungutan pajak adalah kepatuhan dan kesadaran dari masyarakat sebagai wajib pajak untuk melunasi pajak yang terutang yang menjadi kewajibannya tepat pada waktunya. Akan tetapi kondisi ideal ini tidak selamanya dapat terlaksana, mengingat sesuai fakta yang terjadi masih banyak wajib pajak yang tidak melunasi pajak yang menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan karena terdapat anggapan masyarakat bahwa pajak merupakan beban, sehingga selalu dicari upaya untuk menyembunyikan data agar tidak perlu melunasi pajak yang terutang tepat pada
1
Rachmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, (Bandung: PT.Eresco,1992), hal 1
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
waktunya. Hal ini tentunya akan merugikan negara mengingat negara akan kehilangan potensi pemasukan dari sektor pajak, sehingga diperlukan ketegasan fiskus terhadap wajib pajak dengan menerapkan ketentuan hukum (law enforcement) sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Selain itu upaya menciptakan keadilan di bidang perpajakan senantiasa terhalang oleh kerumitan pengaturan materi perpajakan dan administrasi pemungutannya. Keadaan ini yang melatarbelakangi pentingnya peraturan perpajakan yang menciptakan keadilan dalam pemungutan pajak yang dilakukan oleh fiskus terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban pajak. 2 Untuk memaksa wajib pajak membayar pajak yang terutang yang menjadi kewajibannya, maka terhadap wajib pajak dapat dilakukan upaya penagihan pajak. Penagihan pajak ini mulai dari tindakan himbauan agar wajib pajak membayar tepat pada waktunya, mengirimkan Surat Teguran atas keterlambatan wajib pajak dalam membayar pajak, sampai dengan tindakan penagihan pajak secara paksa di antaranya dengan melakukan penyitaan terhadap barang milik wajib pajak, pelelangan barang yang disita serta upaya pencegahan dan penyanderaan terhadap wajib pajak. Hanya saja agar wajib pajak tidak dirugikan, fiskus harus melakukan tindakan penagihan pajak sesuai dengan undang-undang yang
berlaku.
Bila
fiskus
menyalahgunakan jabatannnya,
melakukan
tindakan
maka wajib
pajak
sewenang-wenang
dan
memiliki hak untuk
mengajukan keberatan dan gugatan terhadap tindakan fiskus tersebut. Pada dasarnya pajak merupakan peralihan kekayaan dari masyarakat kepada negara tanpa adanya kontraprestasi (imbalan) yang langsung diperoleh oleh 2
Marihot P.Siahaan, Utang Pajak Pemenuhan Kewajiban dan Penagihan Paksa dengan Surat Paksa, (Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2004), hal 1 Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
pembayar pajak. Hal ini tentu tidak menyenangkan dan tidak ada wajib pajak yang rela membayar pajak. Oleh karena itu, untuk dapat diterapkan, pajak harus disepakati oleh masyarakat tersebut. Kesepakatan ini dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dan dewan legislatif yang merupakan perwujudan dari wakil rakyat. Hal ini menjadi dasar hukum pemungutan pajak yang mengikat anggota masyarakat untuk patuh membayarnya. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa pemungutan pajak sangat erat kaitannya dengan hukum. Tanpa adanya dasar hukum yang jelas dan disepakati oleh masyarakat, pajak tidak dapat diterapkan. Dengan adanya pengenaan pajak yang berdasarkan undang-undang akan menjamin adanya keadilan dan kepastian hukum bagi pembayar pajak sehingga pemerintah tidak dapat sewenang-wenang menetapkan besarnya pajak. Hal ini bertujuan untuk menjamin pengenaan pajak berdasarkan kepada prinsip keadilan, kepastian dan kemampuan. 3 Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pancasila. Dalam suatu negara yang demokratis dan berasaskan hukum, kekuasaan negara untuk mengenakan pajak tidak boleh bersifat tidak terbatas. Konsep ini telah tertuang sejak Indonesia memasuki alam kemerdekaan yaitu dengan berlakunya UUD 1945. Hal ini tercermin dalam penjelasan UUD 1945, dimana ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Sebagai negara hukum maka segala
3
Danny Septriadi Darussalam, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak, (Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006), hal 2 Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
aktivitas pemerintah dan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. 4 Hukum pajak dalam banyak negara menyangkut konstitusi karena secara garis besar dan secara prinsip terdapat dalam konstitusi negara baik UUD maupun konvensi. Di Indonesia, Pasal 23A UUD 1945 memberikan penegasan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” 5, sehingga Pasal 23A UUD 1945 ini merupakan dasar hukum secara konstitusional dari sistem pemungutan pajak di Indonesia. Dengan adanya undang-undang maka pemungutan pajak mempunyai dasar hukum yang menjamin keadilan dan kepastian hukumnya. Salah satu undang-undang yang dibuat untuk mengatur pemungutan pajak adalah mengenai Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan merupakan kelompok pajak negara (pemerintah pusat). Hal ini dikarenakan Pajak Penghasilan hanya dipungut pada tingkat nasional dan hasilnya dimasukkan ke dalam kas negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak Penghasilan juga merupakan pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut secara periodik pada akhir tahun pajak yang dipungut atas penghasilan dari semua orang yang ada di wilayah Republik Indonesia. 6 Pemungutan Pajak Penghasilan tidak dibebani kepada seluruh rakyat. Hal ini disebabkan tidak semua rakyat pantas dibebani kewajiban pajak. Oleh karenanya diperlukan adanya batasan yang jelas terhadap subjek pajak dan wajib 4
Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, (Bandung: Refika Adhitama, 2006), hal 1 5 Pasal 23A UUD’45 dan amandemennya, (Bandung: Fokusmedia, 2004), hal 71 6 Rachmat Soemitro, op.cit, hal 64 Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
pajak. Subjek pajak adalah mereka yang memenuhi syarat subjektif, yakni syarat yang melekat pada orang atau badan sesuai yang ditentukan oleh undang-undang. Subjek pajak mempunyai potensi untuk dikenai pajak namun belum tentu dikenai pajak. Yang menjadi subjek Pajak Penghasilan adalah orang pribadi, badan-badan, warisan yang belum terbagi, bentuk usaha tetap. Sementara itu, wajib pajak adalah orang atau badan yang selain memenuhi syarat subjektif, juga harus memenuhi syarat objektif, yakni memenuhi syarat dikenakan pajak. Di samping itu, untuk adanya pajak harus adanya objek, yakni sasaran yang akan dikenai pajak. Objek dari Pajak Penghasilan adalah penghasilan dari wajib pajak. Pengertian penghasilan dalam UU Pajak Penghasilan tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Hal ini disebabkan tambahan kemapuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan wajib pajak tersebut untuk ikut memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. 7 Selain subjek dan objek pajak, dalam pajak juga dikenal utang pajak. Berdasarkan ajaran materil, perikatan pajak timbul karena undang-undang. Sehingga utang pajak timbul dengan sendirinya, asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang tanpa perlu adanya campur tangan dari pejabat pajak. Sedangkan menurut ajaran formil, utang pajak timbul karena undang-undang pada saat dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh Direktur Jendral Pajak. Menurut ajaran formil utang pajak terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan dari aparatur pemerintah. Jadi selama belum
7
H.Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hal 67
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
ada Surat Ketetapan Pajak, maka belum ada utang pajak dan tidak akan dilakukan penagihan, walaupun syarat subjektif dan objektif telah dipenuhi. 8 Pada umumnya undang-undang menentukan adanya pembayaran pajak dan penagihan pajak yang waktunya dihitung sejak timbulnya utang pajak. apabila setelah lewat waktu periode masa pembayaran pajak, maka akan dilakukan penagihan oleh Kantor Inspeksi Pajak. Jika pajak terlambat dibayar maka akan dikenakan denda administrasi yang dihitung setiap bulannya. Dalam hal utang pajak dikenal adanya daluarsa lemah dan daluarsa kuat. Daluarsa lemah berarti dengan lampaunya waktu yang ditentukan maka hapusnya kewenangan menagih pajak namun hak untuk mengenakan pajak tidak pernah daluarsa. Sedangkan daluarsa kuat adalah daluarsa yang mengakibatkan hilangnya kewenangan Direktur Jendral untuk mengenakan Surat Ketetapan Pajak maupun hak untuk menagih dengan Surat Paksa. Di Indonesia berdasarkan UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dapat dilihat bahwa Indonesia menganut daluarsa yang berlaku lemah. 9 Besarnya utang pajak ditentukan oleh dua komponen, yakni jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak atau jumlah yang dikenai pajak (tax base) dan tarif yang dikenakan terhadapnya (tax rate). Sehingga terhadap suatu objek pajak yang nilai dasar pengenaannya sama akan dikenakan utang pajak yang berbeda apabila tarif pajaknya berbeda. 10 Sebelum pembaharuan perpajakan pada tahun 1983, Indonesia mengenakan Pajak Penghasilan berdasarkan beberapa ketentuan, yakni berdasarkan Ordonansi 8 9
46
Ibid. hal 111 Y.Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2004), hal
10
Ibid. hal 62
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
Pajak Pendapatan 1944, Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-Undang Pajak atas Bunga Royalti 1970. Dalam ketentuan tersebut pengaturan Pajak Penghasilan belum dipadukan dalam satu ketentuan. Unifikasi Pajak Penghasilan baru dimulai sejak tahun 1984 yang diatur dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 1984. Selaras dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi dan kehidupan sosial serta perkembangan hukum, Undang-Undang Pajak Penghasilan nomor 7 tahun 1983 juga mengalami beberapa kali perubahan yaitu dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 dan perubahan keempat yaitu Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008. 11
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan terlebih dahulu,
maka dibuat suatu batasan perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana sistem pengenaan/pemungutan besarnya Pajak Penghasilan menurut UU No. 36 tahun 2008? 2. Bagaimana pengaturan kepastian hukum daluarsa dalam pembayaran utang Pajak Penghasilan bagi wajib pajak? 3. Sanksi apa yang sebaiknya diberikan terhadap wajib pajak apabila tidak dibayarnya Pajak Penghasilan oleh wajib pajak tepat pada waktunya?
11
Gunadi. Pajak Internasional, Edisi Revisi. (Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2007), hal 13 Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
C.
Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan
a.
Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dalam pembahasan skripsi ini yang berjudul
“Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan sebagai bagian dari Piutang Negara”, yaitu: 1. untuk memperoleh informasi tentang sistem pengenaan atau pemungutan pajak; 2. Untuk memperoleh informasi mengenai jangka waktu daluarsa terhadap utang Pajak Penghasilan yang wajib dibayar oleh wajib; 3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul bila wajib pajak tidak membayar Pajak Penghasilan. b.
Manfaat Penulisan Berangkat dari permasalahan-permasalahan diatas, penulisan skripsi ini
diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1. Dari segi teoritis, adapun manfaat akademis dari penelitian ini adalah memperkaya khasanah ilmu hukum khususnya hukum pajak. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian baru dalam bidang hukum pajak sehingga ilmu hukum pajak semakin berkembang dari masa ke masa. 2. Dari segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan, khususnya dalam hal pembayaran utang Pajak Penghasilan bagi setiap wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan.
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
D.
Keaslian Penulisan Skripsi yang berjudul “Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak
Penghasilan sebagai bagian dari Piutang Negara” ini adalah merupakan hasil karya penulis sendiri. Dari hasil peninjauan kepustakaan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Judul “Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan sebagai bagian dari Piutang Negara” yang dibuat sebagai judul dalam skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tidak terdapat judul yang sama. Pokok permasalahan yang diangkat penulis sebagai judul dalam penulisan skripsi ini belum pernah dibahas dalam skripsi-skripsi yang ada sebelumnya. Oleh karena itu, keaslian dari penulisan karya tulis ini terjamin dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E.
Tinjauan Kepustakaan Penulisan skripsi yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah berkisar
tentang kepastian hukum pembayaran utang Pajak Penghasilan sebagai bagian dari piutang negara. Istilah Pajak dalam beberapa bahasa adalah sebagai berikut: a. Dalam Bahasa Inggris “Tax ” b. Dalam Bahasa Belanda “Belasting” c. Dalam Bahasa Perancis “impôt” d. Dalam Bahasa Jerman “Steuer”
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
e. Dalam Bahasa Spanyol “impuesto” 12 1.
Pengertian Pajak Pengertian pajak secara umum adalah pungutan dari masyarakat kepada
negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan kepada yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontraprestasi) secara langsung yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Adapun pengertian pajak oleh beberapa sarjana yakni: a. Rachmat Soemitro mengatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 13 b. Soeparman Soemahamidjaja memberikan definisi pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan normanorma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. 14 c. PJA.Adriani menyatakan pengertian pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
http://www.indotranslate.com/translate-id-fr.php, Indotranslate, diakses pada tanggal 28 agustus 2009 13 Rachmat Soemitro, op.cit, hal 12 14 Ibid. 12
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
pengeluaran
umum
berhubung
dengan
tugas
negara
untuk
menyelenggarakan pemerintahan. 15 d. Smeets mengatakan pengertian pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. 16 Secara yuridis ketentuan mengenai pajak ini secara umum telah diatur dalam Undang-undang nomor 28 tahun 2007, disebutkan bahwa: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat “. dan berdasarkan UU nomor 17 tahun 1997, UU nomor 19 tahun 1997 dan UU nomor 14 tahun 2002 disebutkan bahwa: “Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” 2.
Pengertian Penghasilan Secara akuntansi, penghasilan (income) berarti suatu penambahan aktiva
atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Penghasilan meliputi pendapatan dan keuntungan. Pendapatan terjadi karena pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa dikenal dengan sebutan penjualan barang, imbalan atas jasa, bunga, dividen, royalti dan sewa.
15
Boediono, Perpajakan Indonesia Teori Perpajakan Kebijaksanaan Perpajakan Pajak Luar Negeri, (Jakarta: Penerbit Diadit Media, 2000), hal 8 16 Ibid. Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
Konsep definisi penghasilan untuk tujuan Pajak Penghasilan dapat berbeda dengan konsep penghasilan pada akuntansi. Karena penghasilan untuk tujuan Pajak Penghasilan umumnya berkaitan dengan keadilan serta sebagai instrumen kebijakan ekonomi. Untuk keperluan perpajakan sekurang-kurangnya terdapat 2 pendekatan definisi penghasilan, yaitu: a. Pendekatan sumber Menurut konsep ini, penghasilan yang termasuk dalam kategori penghasilan secara akuntansi namun tidak disebutkan dalam ketentuan perpajakan bukanlah merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Konsep ini menghendaki adanya kontinuitas dari penghasilan, tanpa adanya kontinuitas kemampuan ekonomis maka tidak dapat dianggap sebagai penghasilan. Pendekatan ini pernah dipakai oleh Ordonansi Perpajakan 1908, 1920, 1932 dan 1944. b. Pendekatan pertambahan Pendekatan ini pertama kali diperkenalkan oleh ekonom Amerika R.M.Haig (1921) yang menyatakan bahwa penghasilan merupakan nilai uang dari pertambahan kemampuan ekonomis seseorang diantara dua titik waktu. Pengertian ini selanjutnya dikembangkan oleh Henry C. Simon (1938) dengan memberikan definisi penghasilan dari nilai pasar konsumsi dan perubahan nilai kekayaan pada satu tahun. Konsep Haig-Simon ini diikuti dalam merumuskan konsep istilah penghasilan dalam pajak penghasilan. Konsep ini medefinisikan istilah penghasilan secara meluas
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
yang meliputi unsur pertambahan kekayaan dan pengeluaran konsumsi tanpa melihat adanya kontinuitas kemampuan ekonomis. 17
3.
Pengertian Penagihan Dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 19 tahun 2000 tentang perubahan UU
No.19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa: “Penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita”. Menurut Rachmat Soemitro dalam bukunya “Asas dan Dasar Perpajakan 2” hal 67 (cetakan tahun 1988) diartikan bahwa “Penagihan ialah perbuatan yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak karena wajib pajak tidak mematuhi ketentuan undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak”. Penagihan meliputi perbuatan pengiriman Surat Peringatan, Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Sita, sandera, kompensasi, pemindahbukuan, pembayaran di muka, pembayaran tangguh, Surat Keterangan Fiskal, pencegahan daluarsa, dan lain sebagainya. 18 Menurut H. Moelyono Hadi, “Penagihan adalah serangkaian tindakan dari aparatur pajak Direktorat Jendral Pajak, berhubung wajib pajak tidak melunasi
17
Gunadi, Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2001), hal 44 18 H. Moelyono Hadi, Dasar-Dasar Penagihan Pajak Negara, (Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 1993), hal 1 Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
baik sebagian/seluruh kewajiban perpajakan yang terutang menurut undangundang perpajakan yang berlaku”. 19 4.
Asas-asas dalam Perpajakan Asas-asas adalah sesuatu yang dapat kita jadikan sebagai alas, sebagai
dasar, sebagai tumpuan untuk menjelaskan sesuatu permasalahan. Lazimnya suatu pemungutan pajak harus dilandasi dengan asas-asas yang merupakan suatu ukuran untuk menentukan adil tidaknya suatu pemungutan pajak. Adam Smith dalam bukunya yang berjudul “Wealth of Nations” mengajarkan tentang 4 (empat) asas pemungutan pajak yang lazim dikenal dengan “The Four Maxims” terdiri dari empat asas yaitu: a. Asas keadilan (equality) Asas ini menekankan bahwa pada warga negara atau wajib pajak tiap negara seharusnya memberikan sumbangannya kepada negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing, yaitu sehubungan dengan keuntungan yang mereka terima dibawah perlindungan negara. Yang dimaksud dengan “keuntungan” disini adalah besar kecilnya pendapatan yang diperoleh dibawah perlindungan negara. Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara wajib pajak. b. Asas kepastian (certainty) Asas ini menekankan bahwa bagi wajib pajak, harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah, dan cara pembayaran pajak. Dalam asas ini kepastian hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subjek dan objek pajak. c. Asas ketepatan waktu pemungutan (convinience of payment)
19
Ibid.
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
Pajak seharusnya dipungut pada waktu dan cara yang paling menyenangkan bagi para wajib pajak, misalnya pemungutan pajak terhadap petani sebaiknya dipungut ketika masa panen. d. Asas pemungutan pajak yang sehemat mungkin (efficiency) Asas ini menekankan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih dari hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak harus disesuaikan dengan anggaran belanja negara. 20 Sedangkan prinsip perpajakan yang dianut oleh Nick Devas, dkk dalam bukunya yang berjudul “Financing Local Government in Indonesia” disebut dengan “The Four Canons” yang dikaitkan dengan kepentingan pemerintah daerah menyebutkan adanya 4 (empat) prinsip plus 1 (satu) yaitu: a. Hasil (yield) b. Keadilan (equity) c. Daya guna ekonomi (economic efficiency) d. Kemampuan melaksanakan (ability to implement) e. Kecocokan sebagai sumber penerimaan (sustainability as a local revenue resources) 21 Edgar K. Browning and Jacquelence dalam bukunya yang berjudul “Public Finance and the Price System” yang dikutip M.Suparmoko dalam bukunya yang berjudul “Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek ” mengistilahkan dengan “The Four Canon Taxation” yang meliputi: a. Keadilan (equity) 20
Amin Widjaja Tunggal, Pelaksanaan Pajak Penghasilan Perseorangan, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1995), hal 27 21 Boediono, op.cit, hal 33 Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
b. Efisien ekonomis (economic efficiency) c. Kebapakan (peternalisme) d. Kebebasan perseorangan 22 W.J. de Langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda menyebutkan 7 (tujuh) asas pokok perpajakan adalah sebagai berikut: a. Asas kebersamaan, dalam arti bahwa seseorang dalam keadaan yang sama hendaknya dikenakan pajak yang sama. Tidak boleh adanya diskriminasi dalam pemungutan pajak; b. Asas daya pikul, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa setiap wajib pajak hendaknya terkena beban pajak yang sama. Ini berarti orang yang pendapatannya tinggi dikenakan pajak yang tinggi, yang pendapatannya rendah dikenakan pajak yang rendah dan yang pendapatannya dibawah basic need dibebaskan dari pajak; c. Asas
keuntungan
istimewa,
bahwa
seseorang
yang
mendapatkan
keuntungan istimewa hendaknya dikenakan pajak istimewa pula; d. Asas manfaat, mengatakan bahwa pengenaan pajak oleh pemerintah didasarkan atas alasan bahwa masyarakat menerima manfaat barang-barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah; e. Asas kesejahteraan, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa dengan adanya tugas pemerintah yang pada satu pihak memberikan atau menyediakan barang-barang dan jasa bagi masyarakat dan pada pihak lain menarik pungutan-pungutan untuk membiayai kegiatan pemerintah tersebut,
22
Ibid. hal 35
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
akan tetapi sebagai keseluruhan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat; f. Asas keringanan beban, asas ini menyatakan bahwa meskipun pengenaan pungutan merupakan beban masyarakat atau perorangan dan betapapun tinggginya kesadaran berwarganegara, akan tetapi hendaknya diusahakan bahwa beban tersebut sekecil-kecilnya; g. Asas keseimbangan, asas ini menyatakan bahwa dalam melaksanakan berbagai asas tersebut yang mungkin saling bertentangan, akan tetapi hendaknya selalu diusahakan sebaik mungkin. Artinya tidak mengggangu perasaan hukum, perasaan keadilan dan kepastian hukum. 23 Adolf Wagner mengemukakan 4 (empat) postulat atau asas untuk terpenuhinya pajak ideal yaitu: a. Asas politik finansial Bahwa perpajakan hendaknya menghasilkan jumlah penerimaan yang memadai, dalam arti cukup untuk menutup biaya pengeluaran negara. Pajak hendaknya bersifat dinamis, artinya penerimaan negara dari pajak diharapkan selalu meningkat mengingat kebutuhan penduduknya selalu meningkat baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. b. Asas ekonomis Bahwa pemilihan mengenai perpajakan yang sangat tepat apakah hanya dikenakan pada pendapatan ataukah juga terhadap modal, dan atau pengeluaran. Pada umumnya yang paling adil untuk dikenakan pajak bagi wajib pajak adalah Pajak Penghasilan.
23
H.Bohari, op.cit, hal 42
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
c. Asas keadilan Pajak hendaknya bersifat umum atau universal. Ini berarti bahwa pajak tidak boleh bersifat diskriminatif, artinya seseorang dalam keadaan yang sama seharusnya diperlakukan sama serta adanya kesamaan beban, artinya bahwa setiap orang hendaknya dikenakan beban pajak yang sama. Untuk pembayaran pajak hendaknya memperhatikan kemampuan membayar seseorang. d. Asas administrasi Adanya kepastian perpajakan, artinya bahwa pemungutan pajak hendaknya bersifat “pasti” dalam arti harus jelas disebutkan siapa atau apa yang dikenakan pajak, berapa besarnya, bagaimana cara pembayarannya, bukti pembayarannya, apa sanksinya jika terlambat membayar, serta adanya keluwesan dalam penagihan artinya dalam penggunaan atau penagihan pajak hendaknya “luwes” dalam arti harus melihat keadaan pembayar pajak, apakah sedang menerima uang, apakah tidak mengalami bencana alam atau apakah perusahannya mengalami pailit, selain itu harus juga diperhatikan ongkos pemungutan pajak hendaknya diusahakan sekecil-kecilnya. e. Asas juridis atau asas hukum Adanya kejelasan undang-undang perpajakan, yakni kata-kata dalam undang-undang seharusnya tidak menimbulkan interpretasi yang berbedabeda. 24
F.
Metode Penelitian
24
Ibid. hal 43
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
Dalam setiap usaha penulisan haruslah menggunakan metode penulisan yang sesuai dengan bidang yang diteliti. Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis dapat diuraikan sebagai berikut: a.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat didalamnya. Dengan demikian, penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis dengan cara mengumpulkan data-data dari buku-buku karya ilmiah dan data-data dari internet yang memiliki kaitan dengan skripsi ini.
b.
Data dan Sumber Data Dalam menyusun skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah
bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum pajak yang mengikat, antara lain UU No. 7 tahun 1983 jo. UU No. 7 tahun 1991 jo. UU No. 10 tahun 1994 jo. UU No. 28 tahun 1997 jo. UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, UU No. 6 tahun 1983 Jo. UU No. 16 tahun 2000 Jo. UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No. 19 tahun 1997 jo. UU No. 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, UU No.14 Tahun 2002 tentang Peradilan Pajak. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yakni hasil karya para ahli hukum berupa bukubuku dan pendapat-pendapat para sarjana yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder, yakni kamus hukum dan lain-lain. c.
Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan penulisan ini, penelitian yang dilakukan oleh penulis
pada prinsipnya bertendensi pada penelitian kepustakaan (library reasearch). Penelitian kepustakaan (library reasearch) dilakukan dengan cara mengumpulkan literatur dengan sumber data sekunder berupa bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini. d.
Analisis Data Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini termasuk dalam
tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan : 1. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti; 2. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada; dan 3. Menarik kesimpulan dengan cara deduktif-kualitatif, yakni melakukan analisa didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia untuk dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian.
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
G.
Sistematika Penulisan Pada dasarnya, sistematika adalah gambaran-gambaran umum dari
keseluruhan isi penulisan ini, sehingga mudah dicari hubungan antara satu pembahasan dengan yang lain secara teratur menurut sistem. Skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang disesuaikan dengan kebutuhan jangkauan penulisan dan pembahasan bab yang dimaksud. Berikut ini garis besar / sistematika dari penulisan ini, yaitu: Bab I merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang segala hal yang umum dalam sebuah karya tulis ilmiah yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang sistem pengenaan Pajak Penghasilan menurut UU No.36 tahun 2008. Dalam bab ini diuraikan mengenai sistem pemungutan pajak dan dasar pengenaan Pajak Penghasilan. Bab III membahas mengenai pengaturan kepastian hukum daluarsa dalam pembayaran utang Pajak Penghasilan bagi wajib pajak. Dalam bab ini diuraikan tentang utang PPh dan daluarsa PPh. Bab IV ini membahas sanksi terhadap Pajak Penghasilan yang tidak dibayar. Dalam bab ini dibahas secara mendalam mengenai sanksi terhadap Pajak Penghasilan yang tidak dibayar. Dalam bab ini diuraikan tentang Ketentuan sanksi dalam UU No.36 tahun 2008, Pengadilan Pajak, penagihan pajak dan penyitaan kekayaan penanggung pajak berupa piutang dengan Surat Paksa, pencegahan dan penyanderaan dalam hukum pajak di Indonesia. Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
Bab V merupakan bab yang membahas mengenai kesimpulan dan saran. Dalam bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dari seluruh penulisan yang telah diuraikan dalam bab-bab yang sebelumnya sekaligus memberikan saransaran terhadap data yang ada. BAB II SISTEM PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN MENURUT UU NO.36 TAHUN 2008
A.
Sistem Pemungutan Pajak
1.
Official Assessment System Sistem ini merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak. Dalam sistem ini, wajib pajak bersifat pasif dan menunggu penetapan pajak oleh fiskus, kemudian membayar pajak yang terutang sesuai dengan besarnya ketetapan pajak yang ditetapkan oleh fiskus. Dari pengertian tersebut dapat dilihat ciri-ciri dari sistem official assessment ini adalah: a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus; b. Wajib pajak bersifat pasif; c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus. 25 Dalam sistem ini kewenangan pihak fiskus masih cukup dominan untuk menghitung dan menetapkan utang pajak. Sistem ini umumnya diterapkan
25
Y.Sri Pudyatmoko, op.cit, hal 60
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
terhadap jenis pajak yang melibatkan masyarakat luas dimana masyarakat selaku wajib pajak dipandang belum mampu untuk menghitung dan menetapkan pajak. 2.
Self Assessment System Sejak tahun 1984, sistem pemungutan Pajak Penghasilan di Indonesia
mengalami perubahan dari sistem official assessment menjadi sistem self assessment. Sistem baru tersebut merupakan pola pemberdayaan masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam melaksanakan pembayaran pajak. Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menentukan, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang yang harus dibayar. Dalam sistem ini wajib pajak harus aktif untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak terutang, sedangkan fiskus hanya bertugas memberikan arahan, pembinaan dan pengawasan kepada wajib pajak agar dapat memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya. Ciri-ciri dari sistem ini adalah: a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak itu sendiri; b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang; c. Fiskus tidak ikut campur hanya mengawasi. 26 Sistem self assessment ini umunya diterapkan pada jenis pajak dimana wajib pajaknya dipandang cukup mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan utang pajaknya sendiri. Dalam sistem self
26
Ibid. hal 61
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
assessment mengandung unsur-unsur pokok yang penting, yang diharapkan ada dalam diri wajib pajak yaitu: a. Tax consciousness/ kesadaran pajak wajib pajak; b. Kejujuran wajib pajak; c. Tax mindness wajib pajak/ hasrat untuk membayar pajak; d. Tax discipline, disiplin wajib pajak terhadap pelaksanaan peraturan pajak, sehingga pada waktu pembayaran pajak wajib pajak dapat dengan sendirinya memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh undang-undang. 27 Pemberian kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk melakukan sistem self assessment, memberikan konsekuensi berat bagi wajib pajak, yakni apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban dengan baik dan benar, maka kepada wajib pajak akan dijatuhi sanksi yang lebih berat daripada sanksi yang dijatuhkan apabila dipakai sistem official assessment. Disebabkan karena wajib pajak tidak atau belum dengan sendirinya memenuhi syarat tersebut, maka diperlukan campur tangan dari Direktorat Jendral Pajak dalam berbagai bentuk antara lain: penyuluhan, pembinaan, dan bimbingan. 28 Dalam pemungutan Pajak Penghasilan dengan sistem self assessment, adanya masalah pajak yakni selain beban pajak yang terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak, adapula biaya-biaya administrasi yang timbul untuk memenuhi kewajiban perpajakan tersebut (compliance cost) seperti biaya untuk membuat pembukuan, memakai tenaga ahli untuk menghitung besarnya pajak penghasilan. Disebabkan sering munculnya hambatan dalam praktek dalam pemungutan pajak, 27 28
Amin Widjaja Tunggal, op.cit, hal 43 Ibid, hal 44
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
maka sering kali fiskus melakukan penyimpangan dari teori dalam rangka mengantisipasi kesulitan tersebut. Masalah lainnya yang dihadapi fiskus adalah bagaimana mendapatkan data yang akurat dan benar dalam menghitung besarnya objek pajak yang diterima atau diperoleh wajib pajak, serta kegiatan untuk menghimpun data dan memeriksa data memerlukan waktu dan biaya. Upaya/penyimpangan kompromi
fiskal
dalam
yang
dilakukan
adalah
bidang
penentuan
besarnya
dengan pajak
melakukan serta
saat
pemungutannya, dengan dilakukan pemungutan pajak secara final. Meskipun pemungutan pajak secara final telah melakukan penyimpangan formil dan materil dari tarif pajak progresif yang ditetapkan undang-undang, namun kenyataannya diterima dan disambut baik oleh wajib pajak, sehingga menghasilkan penerimaan yang lebih besar daripada pemungutan pajak angsuran dalam tahun berjalan. Hal ini disebabkan beban pajak yang dibebankan sesuai dengan kemampuan wajib pajak. Meskipun adanya kompromi, namun administrasi perpajakan masih tetap membawa karakter utama dari Pajak Penghasilan yaitu compulsory transfer of resources, karena sanksi administrasi dan pidana tetap dapat diterapkan kepada wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. 29 Penyimpangan tersebut memunculkan sistem pemungutan pajak yang ketiga yakni pemungutan pajak oleh pihak ketiga yakni withholding system. 3.
Withholding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Dalam sistem ini, pihak yang ditentukan sebagai pemungut atau pemotong
29
Boediono, op.cit, hal 114
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
pajak oleh undang-undang pajak adalah pihak ketiga dan diberi kewenangan atau kewajiban untuk memotong atau memungut pajak yang terutang dari wajib pajak dan harus segera menyetorkannya ke kas negara sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila pihak ketiga tersebut melakukan kesalahan atau penyimpangan, kepadanya akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
30
Ciri-ciri dari sistem ini adalah wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga selain fiskus dan wajib pajak, yang banyak melakukan tanggung jawab pemotongan pajak adalah pihak ketiga, khususnya dalam Pasal 21 Pajak Penghasilan, dimana pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, dan sebagainya yang kepadanya diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak terhadap penghasilan yang dibayarkan. 31 PPh pemotongan pemungutan merupakan penerapan sistem perpajakan yang menggunakan withholding system. Hal ini dimaksudkan agar pelunasan pajak tersebut mendekati jumlah pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, sehingga dapat meringankan beban pajak tahunan. 32
B.
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan UUD 1945 Pasal 23A menyatakan: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” 33, sehingga Pasal 23A UUD 1945 ini merupakan dasar hukum secara konstitusional dari sistem pemungutan pajak di Indonesia. UUD 1945 merupakan peraturan tertinggi 30
Marihot P.Siahaan, op cit, hal 23 Y.Sri Pudyatmoko, op. cit, hal 62 32 Agus Setiawan, PPh Pemotongan dan Pemungutan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal 1 33 Pasal 23A UUD’45 dan amandemennya, (Bandung: Fokusmedia, 2004), hal 71 31
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
yang memuat ketentuan-ketentuan utama mengenai ketatanegaraan dan hak serta kewajiban warga negara termasuk pajak. 34 Berdasarkan Pasal 23A UUD 1945 maka ketentuan tentang pengenaan dan pemungutan PPh diatur dalam undangundang dan saat ini ketentuan tentang pengenaan dan pemungutan PPh didasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU KUP dalam sistem self assessment wajib pajak diminta untuk mendaftarkan diri ke Kantor Pajak setempat untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib pajak, mengambil Surat Pemberitahuan untuk diisi dengan lengkap, benar dan jelas serta disampaikan ke kantor pajak setempat. 35 Berdasarkan ketentuan UU PPh, Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak. 36 Subjek pajak dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan dan yang menjadi objek pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan bentuk apapun. Karena UU PPh menganut pengertian penghasilan secara luas,
34
Moenaf.H.Regar, Pajak Penghasilan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995), hal 190 Gunadi, op.cit, hal 47 36 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan 35
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. 37 1.
Subjek Pajak Penghasilan Pengertian subjek pajak dengan wajib pajak pada Pajak Penghasilan
adalah sama. Hal ini disebabkan subjek pajak dan wajib pajak berada pada diri orang atau badan (pribadi) yang sama, namun pada beberapa jenis pajak yang lain hal ini tidak sepenuhnya benar, mengingat pengertian subjek pajak dan wajib pajak adalah tergantung pada jenis pajak yang bersangkutan. Jenis pajak yang memisahkan pengertian subjek pajak dengan wajib pajak, misalnya pada Pajak Bumi dan Bangunan. Oleh karena itu perlu dipahami dengan benar pengertian subjek pajak dan wajib pajak pada setiap jenis pajak, karena hal ini sangat berkaitan dengan pengenaan pajak dan siapa yang harus menanggung atau membayar pajak yang terutang ke kas negara. Subjek pajak dapat diartikan sebagai orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan perundang-undangan pajak memenuhi peristiwa/ keadaan/ perbuatan tertentu (taatbestand) yang ditetapkan oleh undang-undang. Pengertian subjek pajak ini tidak identik dengan pengertian wajib pajak. 38 Sesuai dengan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang dimaksud dengan wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan untuk melakukan kewajiban pembayaran pajak, termasuk pemungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu. 39 Dari perbedaan tersebut dapat dilihat bahwa pengertian subjek pajak lebih luas 37
Marihot P. Siahaan, op.cit, hal 52 Ibid. hal 142 39 Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan 38
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
daripada wajib pajak. Subjek pajak merujuk pada pihak yang dapat dikenai pajak, sementara wajib pajak merujuk pada pihak yang diwajibkan untuk membayar pajak. Selain itu dikenal pula penanggung pajak, penanggung pajak adalah orang atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran utang pajak. Yang bertanggung jawab membayar utang pajak tidak hanya wajib pajak tetapi dapat saja orang atau badan lain. Tegasnya selain yang namanya tercantum pada Surat Ketetapan Pajak dapat pula ditunjuk penanggung pajak lainnya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak temasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Menurut Pasal 32 ayat (1) UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, wajib pajak diwakili dalam hal: a. Badan oleh pengurus; b. Badan yang dinyatakan pailit oleh kurator; c. Badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan; d. Badan dalam likuidasi oleh likuidator; e. Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau f. Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya. Wakil wajib pajak tersebut dapat bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jendral Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut. Pengertian ini harus benar-benar dimengerti oleh jurusita. Seringkali jurusita yang bertugas menyampaikan Surat Paksa tidak menjumpai wajib pajak, lalu menyampaikan kembali surat pajak tersebut kepada Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan keterangan bahwa Surat Paksa tidak dapat disampaikan. Sesuai dengan Pasal 2 UU PPh yang dimaksud dengan subjek pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap. Dengan demikian yang menjadi subjek pajak pada PPh adalah sebagai berikut: a. Orang pribadi, yang meliputi orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun yang berada di luar Indonesia; b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan; c. Badan, yaitu sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Yang meliputi perseroan terbatas, perseroaan komanditer, BUMN, BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk usaha lainnya termasuk reksadana. d. BUT (Bentuk Usaha Tetap) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: 1) tempat kedudukan manajemen; 2) cabang perusahaan; 3) kantor perwakilan; 4) gedung kantor; 5) pabrik; 6) bengkel; 7) gudang; 8) ruang untuk promosi dan penjualan; 9) pertambangan dan penggalian sumber alam; 10) wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; 11) perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; 12) proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; 13) pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
14) orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; 15) agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan 16) komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. Bentuk usaha tetap (BUT) dalam UU PPh ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan untuk pengenaan PPh, namun BUT mempunyai eksistensi tersendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan. Subjek pajak PPh terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak dalam negeri menjadi wajib pajak PPh apabila subjek pajak tersebut memperoleh penghasilan melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri adalah sebagai berikut: a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Pada prinsipnya, orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Yang termasuk pengertian orang yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Niat tersebut dilihat dari keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannnya di Indonesia. b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: 1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan; 2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggunakan yang berhak. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dan mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya. 40 Yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia baik melalui ataupun tanpa melalui BUT. Dengan demikian, subjek pajak luar negeri adalah sebagai berikut: a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari hasil menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia; c. BUT, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau badan tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi konstruksi, instalasi atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas dan agen atau pegawai dari 40
Pasal 2 ayat (3) UU PPh
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia. 41 Selain itu dalam Pasal 3 UU PPh juga ditentukan yang tidak termasuk subjek pajak PPh adalah: a. Badan perwakilan negara asing; b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat Indonesia tersebut tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; serta d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Hal ini disebabkan sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya dikecualikan sebagai subjek pajak di negara tempat mereka mewakili negaranya. Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabatpejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain diluar jabatannya atau mereka adalah warga negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaan tersebut, ia termasuk subjek pajak PPh yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut. Dalam Pajak Penghasilan unsur subjek pajak merupakan unsur mutlak. Tanpa adanya unsur subjek pajak, meskipun terpenuhi unsur objek pajak, atas
41
Ibid. Pasal 2 ayat (4)
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
objek pajak tersebut tidak mungkin untuk dapat dikenakan pajak. Hal ini disebabkan dalam Pajak Penghasilan unsur subjek pajak yang menentukan terutang tidaknya pajak tersebut. 42
2.
Objek Pajak Penghasilan Berdasarkan UU PPh baik wajib pajak dalam negeri maupun wajib pajak
luar negeri serta wajib pajak BUT menentukan bahwa objek pajak penghasilan merupakan penghasilan itu sendiri. Penghasilan bagi wajib pajak dalam negeri adalah setiap kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan bentuk apapun termasuk: a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya; b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha; d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
42
Boediono, op.cit, hal 175
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan 5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak; i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu; l. keuntungan selisih kurs mata uang asing; m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. premi asuransi; o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak; q. penghasilan dari usaha berbasis syariah; r. imbalan bunga; dan s. surplus Bank Indonesia. 43 Selain itu, dalam objek pajak penghasilan juga dikenal pengecualian yaitu: a. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak; dan harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang 43
Pasal 4 ayat (1) UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; b. warisan; c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit); e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan 2) bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor; g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu; i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1) merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha; dan 2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; k. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu; l. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut; dan
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
m. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu. 44 3.
Tarif Pajak Tarif pajak terhadap wajib pajak dapat dibedakan atas: (1)
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri45 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp. 50.000.000,5% Diatas Rp. 50.000.000,- sampai dengan 15% Rp.250.000.000,Diatas Rp. 250.000.000,- sampai dengan 25% Rp.500.000.000,Diatas Rp.500.000.000,30%
(2)
Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap a. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen); 46 b. Tarif Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010; 47 c. Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; 48
Pajak penghasilan dengan dasar hukum UU No. 36 tahun 2008 mengenal 3 jenis tarif pajak, yakni: a. Tarif umum Tarif umum Pajak Penghasilan diatur pada pasal 17 UU No. 36 tahun 2008 adalah jenis tarif progresif. Tarif progresif adalah tarif yang semakin tinggi
44
Ibid. Pasal 4 ayat (3) Ibid. Pasal 17 ayat (1) point a 46 Ibid. Pasal 17 ayat (1) huruf b 47 Ibid. Pasal 17 ayat (2a) 48 Ibid. Pasal 17 ayat (2b) 45
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
dasar
pengenaannya
semakin
tinggi
pula
persentasenya,
sehingga
menghasilkan jumlah beban pajak yang jauh lebih tinggi. 49 b. Tarif khusus Tarif khusus menetapkan tarif proporsional. Hal-hal yang diterapkan sebagai tarif khusus adalah: 50 1) PPh Pasal 21 atas penghasilan dari honoranium atau sejenisnya yang dibebankan kepada anggaran negara sebagaimana diatur dalam PP No.45 tahun 1994 dengan besarnya tarif 15% (lima belas persen), kecuali PNS golongan IId ke bawah dan anggota ABRI berpangkat pembantu letnan satu ke bawah; 2) PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, sebagimana ditentukan dalam dengan besarnya tarif 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah tersebut adalah nilai tertinggi berdasarkan akta pengalihan hak dengan nilai jual objek pajak. Dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan atau nilai menurut risalah lelang bila pengalihan hak tersebut melalui lelang 51; 3) Penghasilan yang dibayarkan kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, seperti pengarang, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris dan penilai akuntan. Besarnya tarif adalah 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto sedangkan perkiraan
49
Boediono, op.cit, hal 219 Ibid. 51 Pasal 4 ayat (1) PP No.71 tahun 2008 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan 50
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
penghasilan netonya adalah 40% (empat puluh persen) dari hasil bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun; 52 4) PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp.14.400,- (empat belas ribu empat ratus rupiah) sehari atau tidak melebihi Rp. 144.000,- (seratus empat puluh empat ribu rupiah) sebulan takwin dan/atau tidak dibayarkan secara bulanan. Besarnya tarif adalah 10% (sepuluh persen) dari upah dimaksud. 53; 5) PPh Pasal 21 atas penghasilan bruto berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun, tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar sekaligus, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Besarnya tarif adalah 15% (lima belas persen). Sifat pemungutannya adalah final 54; 6) PPh Pasal 21 atas komisi yang diterima atau diperoleh petugas dinas luar asuransi dan petugas penjaja barang dagangan sepanjang petugas tersebut bukan pegawai tetap. Besarnya adalah 10% (sepuluh persen) dan bersifat final 55; 7) PPh Pasal 26 (wajib pajak luar negeri) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan jasa dan kegiatan yang
52
Pasal 9 ayat (8) SK Dirjen Pajak No. Kep.2/Pj/1995 Jo. KEP-30/Pj/1995 tentang Penyempurnaan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-02/Pj./1995 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi 53 .Ibid. Pasal 13 54 Pasal 2 point a SK Menkeu No.598/KMK.04/1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Bersifat Final Atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Tertentu 55 Ibid. Pasal 2 point b Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
dilakukan oleh orang pribadi. Besarnya tarif adalah 20% (dua puluh persen) dan bersifat final UU No.36 tahun 2008 56; 8) PPh Pasal 22 impor dengan tarif: a) Yang menggunakan angka pengenal impor dengan tarif sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor; b) Yang tidak menggunakan angka pengenal impor dikenakan tarif sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor; c) Yang tidak dikuasai dikenakan tarif sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang 57; 9) PPh Pasal 22 bendaharawan dengan tarif sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian 58; 10) PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan transaksi penjualan saham di bursa efek dengan besarnya tarif adalah: a) 0,1% (nol koma satu persen) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan; b) Atas transaksi penjualan saham pendiri dikenakan tambahan PPh sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai transaksi atau dengan tarif efektif sebesar 5,1% (lima koma satu persen). 59 56
Pasal 15 ayat (1) SK Dirjen No.KEP-30/Pj/1995 tentang Penyempurnaan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-02/Pj./1995 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi 57 Pasal 2 ayat (1) point a SK Menkeu No.599/KMK.04/1994 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya 58 Ibid. Pasal 2 ayat (1) point b 59 Pasal 1 dan Pasal 1A PP No.14 tahun 1997 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
11) PPh atas penghasilan bagi wajib pajak luar negeri dari kegiatan usaha pelayanan atau penerbangan dalam jalur internasional dengan tarif sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaraan bruto dan bersifat final 60; 12) PPh atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia dengan tarif 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat final. Dalam hal penerima bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia adalah wajib pajak luar negeri berlaku tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto 61; 13) PPh atas penghasilan berupa premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri dengan tarif 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto adalah: a) Atas penghasilan yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang adalah 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar; b) Atas premi yang dibayar perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
60
Pasal 2 ayat (2) SK Menteri Keuangan No. 632/KMK.04/1994 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang Bergerak di Bidang Usaha Pelayaran Atau Penerbangan dalam Jalur Internasional 61 Pasal 2 point a PP No. 131 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
c) Atas premi yang dibayar penuh oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar. 62 c. Tarif pajak yang bersifat final Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; b. penghasilan berupa hadiah undian; c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan e. penghasilan tertentu lainnya. 63 4.
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Penghasilan Tidak Kena Pajak merupakan pengurangan penghasilan neto
yang diperkenankan oleh UU PPh untuk menghitung penghasilan kena pajak dan PPh terutang. PTKP hanya diberikan kepada wajib pajak orang pribadi/ perseorangan dan tidak diberikan kepada wajib pajak badan, maka PTKP dapat diartikan sebagai biaya hidup minimal yang dibutuhkan orang pribadi atau perseorangan yang ditentukan UU PPh. 64 Sementara itu dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.36 tahun 2008 menetapkan besarnya PTKP sebagai berikut:
62
Pasal 1 SK Menteri Keuangan No.624/KMK.04/1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi Yang Dibayar Kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri 63 Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan 64 Dikutip dari www.pajak.go.id, Tarif Pajak, diakses pada tanggal 7 September 2009 Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
a. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; b. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; c. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami; dan d. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri paling sedikit sebesar Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah). Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
BAB III PENGATURAN DALUARSA DALAM PEMBAYARAN UTANG PAJAK PENGHASILAN A.
Utang PPh
1.
Pengertian Utang Hukum pajak memiliki kaitan erat dengan hukum perdata, oleh karena itu
ketentuan utang dalam hukum perdata juga berlaku dalam hukum pajak. Hanya saja, pengertian utang dalam hukum pajak tergolong dalam utang dalam arti sempit, yang mewajibkan wajib pajak untuk membayar sejumlah uang tertentu ke dalam kas negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan sedangkan pengertian utang dalam hukum perdata dapat mempunyai arti luas dan sempit. Utang dalam arti luas adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh yang berkewajiban sebagai konsekuensi perikatan, seperti menyerahkan barang, melakukan perbuatan tertentu, membayar harga barang, dan sebagainya. Sedangkan utang dalam arti sempit adalah perikatan sebagai akibat perjanjian khusus yang disebut utang-piutang yang mewajibkan debitur untuk membayar kembali jumlah uang yang telah dipinjamnya dari kreditur termasuk dengan bunganya apabila diperjanjikan demikian. Menurut hukum perdata, utang adalah perikatan yang mengandung kewajiban bagi salah satu pihak (baik perseorangan maupun badan sebagai subjek hukum) untuk melakukan sesuatu (prestasi) ataupun tidak melakukan sesuatu yang menjadi hak pihak lainnya. Artinya adalah apabila pihak yang wajib melakukan suatu prestasi tidak melakukan hal itu maka
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
akan terjadi contract breuk, sehingga pihak yang dirugikan dapat menuntut kepada pihak yang melanggar isi perikatan tersebut di pengadilan. 65 Perbedaan antara utang pajak dengan utang biasa adalah: a. Utang pajak diliputi atau dikuasai oleh ketentuan hukum publik sedangkan utang biasa dikuasai oleh hukum perdata dan dalam hukum perdata utang terdapat suatu tegen prestasi, tetapi dalam utang pajak hal tersebut tidak ada; b. Utang biasa penagihannya berdasarkan hukum perdata sedangkan utang pajak penagihannya berdasarkan hukum publik yang diatur dalam UU No.19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. 66 2.
Timbulnya Utang Pajak Terhadap setiap utang pajak saat timbul dan berakhirnya utang pajak
sangat penting. Saat timbulnya pajak mempunyai peranan yang menentukan dalam pembayaran/penagihan pajak, memasukkan Surat Keberatan, penentuan bermula dan berakhirnya jangka waktu daluarsa, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak. 67 Alasan timbulnya utang pajak sangat berkaitan dengan ketentuan dalam hukum perdata. Hal ini disebabkan ketentuan dalam hukum pajak banyak mengadopsi ketentuan dalam hukum perdata, yakni Pasal 1233 BW perikatan timbul karena perjanjian dan undang-undang. Namun ketentuan ini tidak sepenuhnya berlaku pada ketentuan utang pajak. Utang pajak hanya dapat timbul karena undang-
65
Rachmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, (Bandung: Refika Aditama, 1998),
66
H.Bohari, op.cit, hal 113 Rachmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, op.cit, hal 4
hal 1 67
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
undang dan tidak mungkin timbul karena perjanjian. 68 Hal ini juga disebabkan adanya ketentuan dalam konstitusi Pasal 23A UUD 1945 memberikan penegasan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” 69, sehingga Pasal 23A UUD 1945 ini merupakan dasar hukum secara konstitusional dari sistem pemungutan pajak di Indonesia. Menurut ketentuan perpajakan Indonesia, utang pajak adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat dalam masa pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undang perpajakan. Utang pajak timbul apabila terdapat sebab-sebab yang menyebabkan orang tersebut dapat dikenakan pajak yakni dengan dipenuhinya kewajiban pajak subjektif dan objektif serta dipenuhi undang-undang yang menjadi dasar untuk pengenaan dan pemungutannya telah ada serta telah dipenuhi syarat subjektif dan syarat objektif yang telah ditentukan oleh undang-undang pajak. Walaupun demikian tetaplah ada masalah yang muncul yaitu kapankah terdapat utang pajak yang harus dilunasi oleh wajib pajak. Terdapat dua pandangan yang berbeda tentang timbulnya utang pajak. Hal ini dikaitkan dengan masalah: apakah yang menimbulkan utang pajak, undang-undang atau penetapannya oleh fiskus. Secara umum munculnya utang pajak digolongkan ke dalam ajaran materil dan ajaran formil. 70 a. Ajaran materil Menurut ajaran materil, utang pajak timbul karena adanya undangundang pajak dan peristiwa/keadaan/perbuatan tertentu (taatbestand) serta
68
Ibid. hal 2 Pasal 23A UUD’45 dan amandemennya, (Bandung: Fokusmedia, 2004), hal 71 70 Marihot P. Siahaan, op.cit, hal 126 69
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
tidak menunggu dari tindakan pihak fiskus atau pemerintah. Utang pajak timbul karena bunyi undang-undang saja, tanpa perlu diperlukan perbuatan manusia. Jadi sekalipun tidak dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus asalkan terdapat suatu perbuatan sesuai dengan ketentuan dalam undangundang perpajakan, maka telah timbul utang pajak. Dengan demikian utang pajak timbul dengan sendirinya karena undang-undang dengan kekuatan berlaku sebatas wilayah negara dan sudah menjadi utang pajak pada permulaan tahun pajak atau akhir tahun pajak tergantung pada ketentuan dalam undang-undang pajak yang bersangkutan. Surat Ketetapan Pajak dalam ajaran materil tidak menimbulkan utang pajak tetapi hanya diperlukan untuk menetapkan besarnya utang pajak dan untuk memberitahukan besarnya utang pajak dan untuk memberitahukan besarnya utang pajak kepada wajib pajak. Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak hanya sebagai formalitas semata dimana tanpa adanya Surat Ketetapan Pajak pun utang pajak telah timbul asalkan taatbestand sudah menjadi fakta yuridis fiskal. Dengan demikian meskipun Surat Ketetapan Pajak belum diterima dan belum diketahui besarnya pajak yang terutang, seseorang yang telah memenuhi taatbestand dianggap telah memenuhi syarat objektif dan subjektif sehingga telah memiliki utang pajak dan berkewajiban membayar pajak yang terutang tersebut.71 Namun ajaran materil ini terdapat beberapa kelemahan yakni pada saat utang pajak timbul, tidak diketahui dengan pasti atau belum
71
Ibid.
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
diketahui dengan pasti berapa besarnya utang, karena kebanyakan wajib pajak tidak menguasai ketentuan undang-undang perpajakan. 72 b. Ajaran formil Ajaran formil yang tidak melihat tentang adanya taatbestand sebagai dasar yang menimbulkan utang pajak tetapi menggantungkan pada adanya suatu Surat Ketetapan Pajak. Dengan demikian, utang pajak timbul pada saat dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak. Menurut ajaran ini, utang pajak timbul karena adanya ketetapan dari pihak pemungut pajak yaitu pemerintah atau aparatur pajak. Tanpa adanya Surat Ketetapan Pajak yang dikeluarkan oleh fiskus, maka tidak ada utang pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Keuntungan dari ajaran ini adalah pada saat timbulnya utang sekaligus dapat diketahui besarnya utang pajak, karena yang menentukan besarnya pajak adalah Pejabat Direktorat Jendral Pajak yang menguasai ketentuan undangundang perpajakan. Kelemahan ajaran ini adalah kemungkinan besar utang pajak yang ditetapkan tidak dapat diterapkan karena tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. 73 Dalam UU PPh kedua ajaran ini masih digunakan. Namun sistem pengenaan PPh yang berdasarkan sistem self assessment yang diterapkan dalam UU PPh erat kaitannya dengan ajaran materil dan mendukung ajaran materil. 74 Sehingga dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia, pengenaan PPh yang cenderung digunakan adalah ajaran materil dimana utang pajak timbul apabila terpenuhi keadaan, peristiwa atau perbuatan yang memenuhi 72
Rachmat Soemitro. Asas dan Dasar Perpajakan 2, op.cit, hal 3 Ibid. 74 Ibid. 73
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
syarat dikenakan pajak sesuai dengan undang-undang pajak tersebut serta wajib pajak tidak perlu menunggu terbitnya Surat Ketetapan Pajak dari fiskus, sehingga tidak ada alasan bagi wajib pajak untuk tidak membayar pajak hanya karena menganggap ia belum memiliki utang pajak. 2.
75
Berakhirnya Utang Pajak Utang pajak dapat dihapuskan disebabkan karena wajib pajak meninggal
dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, wajib pajak tidak diketemukan, wajib pajak tidak mempunyai kekayaan lagi, ataupun disebabkan hak untuk melakukan penagihan sudah lewat waktu (daluarsa). Selain itu, berakhirnya utang pajak dapat disebabkan oleh: a. Pelunasan Timbulnya kewajiban membayar pajak ditentukan oleh sistem penetapan pajak yang diterapkan. Dalam hal undang-undang menerapkan sistem official assessment, maka mulai timbulnya utang pajak adalah setelah wajib pajak menerima keputusan tentang ketetapan pajak yang diubah dan dikembangkan menjadi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Surat Keputusan Banding dalam hal jumlah pajak yang harus dibayar ditambah. Surat Keputusan Pajak yang berkaitan dengan sistem official assessment adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Ketetapan Pajak Tagihan 75
Marihot P. Siahaan, op.cit, hal 126
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
kemudian Surat Ketetapan Pajak Tagihan Susulan, Surat Ketetapan Pajak Rampung dan Surat Ketetapan Pajak Sementara. Pada sistem self assessment, Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diungkapkan diatas berfungsi sebagai alat untuk menagih sanksi administrasi seperti kekurangan setor, bunga, denda dan tambahan kecuali SKPN dan SKPLB. Berkenaan dengan surat-surat ketetapan pajak tersebut baik pada produk official assessment maupun self assessment apabila telah dilakukan pembayaran maka utang pajak menjadi berakhir. Dalam hal menerapkan sistem self assessment, apabila wajib pajak telah mengisi SPT Tahunan dan perhitungannya dilakukan dengan benar, maka setelah melunasi pajak kurang bayarnya maka berakhirlah utang pajak. Demikian pula terhadap pemungutan pajak final yang dilakukan dalam tahun berjalan, setelah dilunasi baik melalui pemotongan maupun pemungutan, maka utang pajaknya berakhir. b. Kompensasi Pelunasan pajak juga dapat dilakukan dengan kompensasi. Misalnya seorang wajib pajak telah kelebihan dalam pembayaran Pajak Penghasilannya, tetapi masih kurang bayar pada Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal ini kelebihan pada Pajak Penghasilan dapat dikompensasi untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan tersebut lebih besar daripada kekurangan bayar Pajak Pertambahan Nilai, maka selain utang Pajak Penghasilannya berakhir juga utang Pajak Pertambahan Nilainya berakhir. Lain halnya, bila kompensasi kelebihan pembayaran pajak tersebut digunakan untuk melunasi utang pajak lainnya, tetapi tidak sama wajib Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
pajaknya. Dalam hal ini harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari wajib pajak yang mempunyai kelebihan pembayaran pajak, dengan izin tersebut maka kelebihan pembayaran tersebut dikompensasikan. Misalnya, bila besarnya kelebihan yang dikompensasikan tersebut lebih besar daripada utang pajak, maka utang pajak menjadi berakhir. Dalam undang-undang Pajak Penghasilan juga diatur tentang kompensasi, misalnya
setiap
pemotongan
Pajak
Penghasilan
karyawan
harus
dikompensasikan dengan utang pajak akhir tahun. Hal ini karena posisi pemotongan tersebut merupakan pembayaran dimuka atau pembayaran cicilan. 76 c. Pembebasan Suatu subjek pajak karena alasan kepentingan negara atau kepentingan pihak lain yang terkait dengan kepentingan negara dibebaskan dari kewajiban membayar pajak yang terutang. Bentuk pembebasan terbatas pada kenaikan pajak, denda, bunga dan sebagainya yang tergolong sanksi pajak, asalkan diatur dalam undang-undang pajak yang bersangkutan. Pembebasan dalam utang pajak dapat dibedakan atas: 1) Pembebasan (kwijtschelding) utang pajak adalah utang pajak tidak berakhir dalam arti semestinya melainkan hanya karena ditiadakan. Pembebasan atau kwijtschelding ini umumnya tidak dapat diberikan terhadap pajaknya sendiri, melainkan hanya haknya terhadap kenaikan pajak yang diatur dalam undang-undang, umpamanya karena tidak memasukkan Surat Pemberitahuan.
76
Ibid. hal 126
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
2) Pembebasan dalam arti ontheffing yang merupakan berakhirnya utang pajak formil saja. Contohnya bahwa penetapan besarnya penghasilan seseorang didasarkan pada anggapan besarnya penghasilan akan sebesar dengan penghasilannya tahun-tahun yang lalu. Namun ternyata terdapat perbedaan penghasilan dengan tahun sebelumnya, maka wajib pajak diberi pengurangan untuk bulan tersebut pada bulan berikutnya dengan tidak perlu membayar sebesar kelebihan pembayaran tersebut.77 d. Penghapusan Berakhirnya utang pajak dapat disebabkan Keputusan Direktorat Jendral Pajak yang berupa mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan bahkan membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar. Dengan adanya pengurangan atau penghapusan karena keputusan penghapusan atas utang pajak melalui Surat Ketetapan Pajak maka berakhirlah kewajiban membayar pajak terutang. 78 Utang pajak pada prinsipnya dihapuskan karena tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi dengan beberapa sebab/alasan seperti diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000, yaitu:
77
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hal 131 78 Boediono, op.cit, hal 163 Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
a. Wajib pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan; b. Wajib pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi; c. Hak untuk melakukan penagihan sudah daluarsa; atau d. Sebab lain sesuai hasil penelitian. 79
B.
Daluarsa PPh
1.
Pengertian Daluarsa dan Dasar Hukum Daluarsa Pembayaran PPh Daluarsa berasal dari bahasa Jawa. Dalu artinya lewat dan warsa artinya
tahun. Oleh karena itu daluarsa disini diartikan dengan lewat waktu. Daluarsa adalah hapusnya perikatan (hak untuk menagih utang atau kewajiban untuk membayar utang) karena lampaunya jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang. 80 Daluarsa pada umumnya adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk membebaskan suatu perikatan dengan lewat waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. 81 Daluarsa menurut pasal 1946 BW adalah upaya hukum karena lampaunya jangka waktu tertentu yang ditentukan undang-undang menghapuskan suatu perikatan, yakni menghapuskan kewajiban di satu pihak dan menghapuskan pula hak dari pihak lainnya. Sedangkan ketentuan daluarsanya utang perpajakan dalam
79
Erly Suandy, Hukum Pajak, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2005), hal 135 Rachmat Soemitro, op.cit, hal 61 81 Dikutip dari www.dheyacuap-cuap88.blogspot.com/2009/01/makalah-hukum-perdatadaluarsa.html, Daluarsa, diakses pada tanggal 2 November 2009 80
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
undang-undang perpajakan masih terdapat keragu-raguan dan belum memberikan kepastian hukum. 82 Dalam Pasal 22 UU No. 28 tahun 2007 terdapat pengaturan mengenai daluarsa dalam penagihan utang pajak yang menyatakan bahwa: (1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. (2) Daluarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila: a. diterbitkan Surat Paksa; b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung Wajib pajak menyatakan pengakuan utang dengan cara: i. wajib pajak mengajukan permohonan angsuran dan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal ini daluarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran dan penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur Jendral Pajak; ii. wajib pajak mengajukan permohonan keberatan. Daluarsa penagihan dihitung sejak tanggal Surat Keberatan wajib pajak diterima; iii. wajib pajak melaksanakan pembayaran sebagian utan pajaknya. Daluarsa penagihan pajak dihitung sejak pembayaran sebagian utang pajak tersebut; 83 c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; atau d. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Dengan adanya penangguhan daluarsa pada Pasal 22 ayat (2) UU No.28 tahun 2008 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada penagihan utang pajak, maka adanya keadaan utang pajak yang telah gugur (daluarsa) menjadi tidak daluarsa sehingga Direktur Jendral pajak masih mempunyai hak untuk menagih utang pajak tersebut. Ketentuan ini menimbulkan kejanggalan 82
Rachmat Soemitro, Pajak Penghasilan Edisi Revisi, (Bandung: PT. Eresco, 2000), hal
83
Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2006), hal 40
37 Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
karena bertentangan dengan prinsip atau falsafah daluarsa yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan mengakhiri keadaan yang tidak menentu menjadi pasti. 2.
Moment daluarsa PPh Daluarsa sebagai salah satu sebab berakhirnya utang pajak, secara umum
diatur dalam Stbl.82/280
84
dan dalam UU KUP daluarsa diatur dalam Pasal 22
UU No. 28 tahun 2007. Daluarsa dalam undang-undang pajak nasional juga terkait dengan tindak pidana perpajakan. Yang menjadi masalah adalah menentukan tenggang waktu daluarsa karena terdapat perbedaan ketentuan dalam KUHPidana dan Undang-Undang Perpajakan. Hal ini disebabkan ketentuan dalam KUHPidana merupakan ketentuan umum yang berlaku juga terhadap tindak pidana di bidang perpajakan, sehingga terhadap daluarsa dalam bidang perpajakan juga dapat menganut ketentuan dalam KUHPidana. Menurut pasal 78 KUHPidana menyebutkan: (1) kewenangan menuntut pidana hapus karena daluarsa berdasarkan ketentuan sebagai berikut: 1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun; 2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun sesudah tidak dapat dituntut sesudah enam tahun; 3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; 4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidanan penjara seumur hidup sesudah delapan belas tahun. Setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. (2) bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun masing-masing tenggang daluarsa diatas dikurangi menjadi sepertiga. 84
R. Santoso.Brotodihardjo, op.cit, hal 130
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
Undang-Undang No. 6 tahun 1983 jo. UU No.28 tahun 2007 dalam Pasal 40 tentang daluarsa tindak pidana memberi ketentuan sebagai berikut: “Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan”. Jika dibandingkan antara daluarsa hukum pidana dengan daluarsa dalam hukum pajak, maka terdapat perbedaan jangka waktu berlaku daluarsa. Dalam hukum pidana yang ancaman pidana penjara lebih dari dari 3 tahun jangka waktu daluarsa ditentukan 12 tahun, bila dibandingkan dengan sanksi pidana dalam hukum pajak yang dijatuhi pidana penjara paling lama 6 tahun, maka daluarsa ditentukan 10 tahun. Pengaturan daluarsa dalam hukum pajak ini belum mengalami perubahan walaupun undang-undang perpajakan telah mengalami beberapa kali perubahan. Selain itu bila melihat pada ketentuan pasal 40 UU No.6 tahun 1983 jo. UU No.28 tahun 2007, maka padangan kita akan menjadi kabur, karena jangka waktu daluarsa tidak dikaitkan kepada tindak pidana yang dilakukan, melainkan dikaitkan kepada: a. saat terutangnya pajak; b. berakhirnya masa pajak; c. berakhirnya bagian tahun pajak; atau d. berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. 85
85
Rachmat Soemitro, op.cit, hal 40
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
BAB IV SANKSI TERHADAP PAJAK PENGHASILAN YANG TIDAK DIBAYAR
A.
Ketentuan Sanksi dalam UU No. 36 tahun 2008 Hal yang mendasar dari pajak adalah sifatnya yang dapat dipaksakan.
Apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban pembayaran pajak maka dapat dikenakan sanksi baik sanksi pidana maupun sanksi administrasi sesuai ketentuan yang berlaku. Sanksi-sanksi yang terdapat dalam UU KUP adalah berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana. Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang No.36 tahun 2008 dilakukan sesuai dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). 86 1.
Sanksi Administasi Sanksi administrasi dapat berupa bunga, kenaikan dan denda. Sanksi
administrasi berupa bunga dikenakan dalam hal sebagai berikut: a. Wajib pajak terlambat menyetor/membayar melampaui batas waktu yang telah ditentukan oleh Dirjen Pajak; PPh Pasal 21; PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 dikenakan bunga 2% per bulan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan. Dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau bagian tahun pajak atau tahun pajak atau sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak 87;
86 87
Pasal 32 UU No.36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 14 ayat (3) UU KUP
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
b. Kekurangan pembayaran pajak akibat pembetulan sendiri dalam jangka waktu dua tahun sesudah berkhirnya tahun pajak dengan syarat Dirjen Pajak belum melakukan pemeriksaan, kepadanya dikenakan bunga sebesar 2%. Dihitung sejak penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran SPT Pembetulan 88; c. Apabila pada saat jatuh tempo Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, maka atas jumlah pajak yang tidak atau kurang bayar tersebut dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan untuk seluruh masa. Dihitung sejak jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak 89 ; d. Dalam hal wajib pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar 90; e. Apabila wajib pajak diperbolehkan untuk menunda penyampaian SPT dan ternyata perhitungan sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah yang sebenarnya terutang, maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut dikenai bunga sebesar 2% per bulan dihitung dari saat
88
Ibid. Pasal 8 ayat (2) Ibid. Pasal 19 ayat (1) 90 Ibid. Pasal 19 ayat (2) 89
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut 91; f. Kekurangan
pembayaran
pajak
akibat
pemeriksaan
pajak
yang
menimbulkan pajak terutang lebih tinggi dan apabila kepada wajib pajak diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan, maka jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan paling lama 24 bulan. Dihitung sejak saat terutang pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak sampai dengan tanggal penerbitan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) 92; Sanksi berupa kenaikan dikenakan dalam hal sebagai berikut: a. Kenaikan 50% dikenakan terhadap: 1) Wajib pajak badan atau wajib pajak orang pribadi yang tidak menyampaikan SPT dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU KUP dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagimana ditentukan dalam surat teguran93; 2) Wajib pajak badan atau wajib pajak orang pribadi yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pasal 28 tentang pembukuan dan pasal 29 tentang kewajiban saat dilakukan pemeriksaan dalam UU No.28 tahun 2007; 91
Ibid.Pasal 19 ayat (5) Ibid.Pasal 13 ayat (2) 93 Pasal 13 ayat (1) huruf b dan Pasal 13 ayat (3) UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 92
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
b. Kenaikan 100% dikenakan tehadap Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor94; c.
Apabila kealpaan pertama kali dilakukan oleh wajib pajak maka wajib pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. 95
Sanksi administrasi berupa denda dikenakan dalam hal sebagai berikut: a. Wajib pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT dalam
batas
waktu
perpanjangan
dikenakan
denda
sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi 96; b. Denda sebesar 2% (dua persen) dari dasar pengenaan pajak jika: 1) Pengusaha tidak melaporkan kegiatan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dimana peredaran usahanya sudah melampaui batas pengusaha kecil; 2) Bukan pengusaha kena pajak yang membuat faktur pajak; 3) Pengusaha kena pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak; 4) Pengusaha kena pajak membuat faktur pajak tetapi tidak lengkap;
94
Pasal 13 ayat (3) UU KUP Ibid. Pasal 13A 96 Ibid.Pasal 7 ayat (1) 95
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
5) Pengusaha kena pajak membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu.97 c. Dikenakan denda empat kali jumlah pajak yang kurang bayar, dalam hal wajib pajak setelah dilakukan tindakan pemeriksaan sebelum dilakukan tindakan penyidikan, mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang. 98 2.
Sanksi Pidana Dalam bidang perpajakan, dengan dijatuhkannya sanksi pidana tidak
menghapuskan utang pajak. Hapusnya utang pajak hanya dapat terjadi bila telah dilakukan pembayaran, kompensasi, daluarsa, pembebasan dan penghapusan. Sanksi pidana ditetapkan dalam hal sebagai berikut: a. Wajib pajak karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT tahunan atau menyampaikan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Diancam dengan didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun 99; b. Setiap orang yang dengan sengaja:
97
Ibid.Pasal 14 ayat (4) Ibid.Pasal 44B 99 Ibid. Pasal 38 98
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
1) tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; 2) menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; 3) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; 4) menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; 5) menolak untuk dilakukan pemeriksaan; 6) memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; 7) tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; 8) tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data
dari
pembukuan
yang
dikelola
secara
elektronik
atau
diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia; atau 9) tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut. sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. 100 c. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan. 101 d. Setiap orang yang dengan sengaja: 1) menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau 2) menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
100 101
Ibid. Pasal 39 ayat (1) dan (2) Ibid. Pasal 39 ayat (3)
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak. 102
B.
Pengadilan Pajak Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi wajib pajak atau penaggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. 103 Wajib pajak yang merasa tidak puas atas keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh Direktur Jendral Pajak diberikan kesempatan yang luas untuk mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. 104 Dalam pengadilan pajak yang menjadi objek sengketa pajak terdiri atas 3 (tiga) jenis yaitu: 1.
Sengketa pajak yang timbul sebagai akibat diterbitkannya ketetapan pajak antara lain: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; d. Surat Ketetapan Pajak Nihil; e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga;
2.
Sengketa pajak yang timbul dari tindakan penagihan.
102
Ibid.Pasal 39A Pasal 2 UU No.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak 104 Ibid. Pasal 31 ayat (2) 103
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
Tindakan penagihan pajak diatur dalam Undang-undang nomor 19 tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa yang mengatur tindakan-tindakan fiskus yang dapat dilakukan fiskus dalam hal ini Dirjen Pajak kepada wajib pajak yang mempunyai tunggakan pajak. Tindakan penagihan dilakukan secara bertahap dimulai dengan mengeluarkan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan Pengumuman Lelang. 3.
Sengketa pajak yang timbul dari keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, disamping ketetapan pajak dan keputusan keberatan. 105 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan suatu Putusan
Pengadilan Pajak yaitu: 1.
Sifat putusan: a. Putusan pengadilan pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap; b. Putusan pengadilan pajak tidak dapat lagi diajukan kasasi; c. Putusan pengadilan pajak harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum; d. Putusan pengadilan pajak harus ditandatangani oleh majelis/hakim tunggal yang memutus sengketa itu beserta panitera;
2.
Jangka waktu penyelesaian
105
Wiratni ahmadi. Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak Menurut UU No.14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak. (Bandung: PT.Refika Adhitama, 2006), hal 51 Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
a. Putusan dari pemeriksaan dengan acara biasa diambil dalam jangka waktu 2 bulan sejak banding diterima, sedangkan gugatan diambil dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak gugatan diterima; b. Dalam keadaan luar biasa atau adanya hal khusus maka jangka waktu yang tercantum dalam huruf a dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan; c. Dalam hal gugatan selain atas keputusan pelaksanaan penagihan, bila tidak putus dalam jangka waktu 6 (enam) bulan wajib diputus melalui acara cepat dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 6 (enam) bulan itu dipenuhi; d. Putusan dari pemeriksaan dengan acara cepat terhadap sengketa pajak tertentu berupa tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak batas waktu pengajuan sengketa dilampaui; 30 (tiga puluh) hari sejak banding diterima dalam hal diajukan setelah batas waktu pengajuan dilampaui; e. Putusan dengan acara cepat terhadap kekeliruan berupa pembetulan kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak kekeliruan dimaksud diketahui atau sejak permohonan banding salah satu pihak diterima; f. Putusan dengan acara cepat terhadap banding yang dicabut berupa tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak surat banding diterima;
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
g. Putusan pemeriksaan dengan acara cepat terhadap sengketa yang bukan wewenang peradilan pajak diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak surat banding/gugatan diterima; 3.
Jenis putusan pengadilan pajak dapat berupa: a. Menolak; Penolakan pemohon banding harus disertakan dengan alasan-alasan tentang penolakannya itu. b. Mengabulkan sebagian atau seluruhnya; Permohonan banding yang diterima tidak perlu disertakan alasan mengenai dikabulkannya permohonan dimaksud. c. Menambah pajak yang harus dibayar; Penambahan jumlah utang pajak yang diputus oleh pengadilan pajak harus disertakan dengan alasan-alasannya. Selain itu, dilakukan perhitungan kembali oleh aparatur pajak dengan membuktikan jumlah utang pajak yang diajukan pemohon lebih besar apabila dibandingkan dengan perhitungan jumlah utang pajak yang diajukannya. d. Tidak dapat menerima; Putusan pengadilan pajak tidak dapat menerima jika banding yang diajukan pemohon tidak memenuhi syarat-syarat formal yang ditentukan. e. Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; f. Membatalkan. 106
C.
Penagihan Pajak dan Penyitaan Kekayaan Penanggung Pajak berupa Piutang dengan Surat Paksa 106
Ibid. hal 61
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
1.
Penagihan Pajak Dalam administrasi perpajakan dikenal beberapa bentuk penagihan yaitu
penagihan pasif dan penagihan aktif. Penagihan aktif dengan diterbitkan STP, SKPKB, SKPKBT dan penagihan paksa. Penagihan pajak pasif adalah tindakan yang dilakukan oleh kantor Pelayanan Pajak dengan cara melakukan pencatatan, pengawasan atas kepatuhan pembayaran masa dan pembayaran lainnya yang dilakukan oleh wajib pajak, sedangkan penagihan aktif adalah penagihan yang didasarkan pada STP, SKPKB, SKPKBT. Penagihan ini dilakukan untuk menghimbau agar dilakukan pembayaran pajak sebelum jatuh tempo. Apabila fiskus telah melakukan tindakan penagihan pajak secara aktif tetapi wajib pajak tidak juga membayar utang pajaknya, maka fiskus dapat melakukan penagihan pajak dengan Surat Paksa. Penagihan pajak harus dilakukan dengan dasar penagihan yang jelas dan sesuai dengan ketentuan undang-undang. UU KUP menentukan dasar penagihan yang menjadi landasan tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh fiskus terhadap wajib pajak PPh adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Tagihan Pajak (STP), Keputusan Keberatan yang mengakibatkan pajak terutang bertambah dan keputusan pembetulan yang mengakibatkan pajak terutang bertambah.
107
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU KUP, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) merupakan Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan 107
Marihot. P. Siahaan, op.cit, hal 283
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar. SKPKB dikeluarkan dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak. SKPKB diterbitkan apabila: 1) Berdasarkan hasil pemeriksan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang bayar; 2) SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; 3) Kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan membantu proses pemeriksaan yang dilakukan oleh fiskus tidak dipenuhi oleh wajib pajak sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang. UU KUP memberi wewenang kepada fiskus untuk dapat menerbitkan SKP hanya terhadap wajib pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formil dan kewajiban materil. Diketahuinya wajib pajak tidak atau kurang bayar adalah dengan dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat wajib pajak dengan sifat pemeriksaan buku lengkap atau melalui penelitian administrasi perpajakan. SKP dapat juga diterbitkan apabila fiskus memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh wajib pajak sendiri dan dari data tersebut dapat dipastikan bahwa wajib pajak tidak memenuhi kewajiban pajaknya sebagaimana mestinya. SPT yang tidak disampaikan pada waktunya, walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang telah Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
ditentukan dalam Surat Teguran membawa akibat dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan. Teguran yang diberikan kepada wajib pajak dimaksudkan memberi kesempatan kepada wajib pajak yang beritikad baik untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapatnya SPT disampaikan. Wewenang fiskus untuk melakukan koreksi fiskal dibatasi sampai dengan kurun waktu 10 tahun saja. 108 b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Dalam kondisi tertentu, setelah mengeluarkan SKPKB dapat terjadi bahwa fiskus menemukan data baru berkaitan dengan perhitungan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak dan ternyata diketahui bahwa besarnya pajak terutang yang telah ditetapkan dalam SKPKB masih kurang dari yang semestinya. Untuk mengantisipasi hal ini, UU KUP memberikan kewenangan kepada fiskus untuk menerbitkan SKPKBT untuk menagih kekurangan pajak yang terutang tersebut. SKPKBT merupakan Surat Ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan oleh fiskus sebelumnya. UU KUP memberikan kewenangan kepada Direktur Jendral Pajak untuk menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak. Dengan kata lain, SKPKBT tidak akan mungkin diterbitkan tanpa didahului dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak. 109 c. Surat Tagihan Pajak (STP)
108 109
Ibid. hal 289 Ibid. hal 295
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak. Apabila PKP tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, maka ia telah melanggar kewajibannya dengan itikad tidak baik dan melalaikan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Surat Tagihan Pajak untuk Pajak Penghasilan dikeluarkan apabila: 1) PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar; 2) Dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung; 3) Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga. 110 d. Keputusan Keberatan yang mengakibatkan Pajak Terutang Bertambah Sesuai dengan Pasal 25 UU KUP, wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jendral Pajak atas suatu: 1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); 2) Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); 3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB); 4) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN); atau 5) Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga. Apabila wajib pajak berpendapat bahwa jumah rugi, jumlah pajak dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jendral Pajak. Keberatan yang diajukan adalah terhadap suatu materi atau isi dari
110
Ibid. hal 300
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
ketetapan pajak yaitu jumlah rugi, jumlah besarnya pajak, pemotongan, atau pemungutan pajak. Perkataan “suatu” dalam hal ini dimaksudkan bahwa suatu keberatan harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu tahun pajak, misalnya PPh Tahun Pajak 2001 dan Tahun Pajak 2002 keberatannya harus diajukan terpisah dengan mengajukan dua Surat Keberatan. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban pembayaran dan pelaksanaan penagihan pajak. Hal ini untuk
mencegah usaha
penghindaran atau penundaan pembayaran pajak
melalui Surat
Keberatan. Pengajuan keberatan tidak menghalangi tindakan penagihan pajak sampai dengan pelaksanaan lelang. Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah wajib pajak yang dengan dalih mengajukan keberatan tidak melakukan kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan. Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Keputusan Direktur Jendral pajak atas Surat Keberatan dapat mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya utang pajak yang terutang. Dalam keputusan keberatan tidak tertutup kemungkinan utang pajak bertambah, bila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan baru ternyata utang pajak yang harus dibayar bertambah. Apabila wajib pajak tidak membayar kekurangan pembayaran, maka fiskus akan melakukan tindakan penagihan pajak terhadap wajib pajak tersebut. 111
111
Ibid. hal 305
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
e. Putusan Banding yang Mengakibatkan Pajak Terutang Bertambah Keputusan keberatan disampaikan kepada wajib pajak untuk dapat dilaksanakan sesuai dengan isi Surat Keputusan Keberatan tersebut. Apabila wajib pajak merasa tidak puas atas jawaban keputusan keberatan yang diterbitkan oleh fiskus, maka wajib pajak memiliki hak untuk mengajukan banding. Banding merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat
diajukan banding,
berdasarkan peraturan
perpajakan yang berlaku. 112 Semula berdasarkan UU No.16 tahun 2000, wajib pajak mengajukan banding kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa di bidang perpajakan antara wajib pajak dengan fiskus. Dalam perkembangan sistem perpajakan Indonesia, pemerintah bersama dengan DPR memandang perlu dibentuknya suatu lembaga khusus di bidang pajak. Hal ini diwujudkan dengan dibentuknya pengadilan pajak berdasarkan UU No.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Sejak dibentuknya Pengadilan Pajak (tanggal 12 April 2002), pengajuan banding ditujukan kepada Pengadilan Pajak untuk menangani sengketa pajak di Indonesia. Sengketa pajak merupakan sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkan suatu keputusan dalam pajak.
112
Pasal 1 angka 6 UU No.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
f. Keputusan Pembetulan yang Mengakibatkan Pajak Terutang Bertambah Pembetulan atas Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan oleh petugas pajak diatur dalam UU KUP. Dalam pasal 16 UU KUP disebutkan bahwa Direktur Jendral Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perpajakan. Adanya ketentuan tentang pembetulan
ini
dimaksudkan
dalam
rangka
menjalankan
tugas
pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam suatu ketetapan pajak perlu dibenarkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak boleh mengandung sengketa. Apabila ternyata kesalahan yang dilakukan oleh wajib pajak adalah menyangkut materi penetapan pajak, maka tidak dapat diajukan permohonan pembetulan. Ruang lingkup pembetulan terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari kesalahan tulis antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, NPWP, Nomor Surat Ketetapan Pajak, jenis pajak, masa atau tahun pajak dan tanggal jatuh tempo; kesalahan hitung yaitu kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan atau perkalian dan atau pembagian suatu bilangan; dan kesalahan dalam penerapan ketentuan tertentu yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase norma perhitungan penghasilan neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi,
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
kekeliruan PTKP, kekeliruan penagihan PPh dalam tahun berjalan dan kekeliruan dalam perkreditan pajak. 113 Pembetulan berarti menambah atau mengurangkan atau menghapuskan pajak terutang, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya. Apabila masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kesalahan dalam penerapan ketentuan peraturan perpajakan dalam Surat Keputusan Pembetulan, maka wajib pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jendral Pajak.
Atas Surat
Keputusan Pembetulan yang diterima oleh wajib pajak tidak dapat diajukan banding dan wajib pajak harus menerima apa yang ditetapkan oleh fiskus. Wajib pajak hanya dapat mengajukan permohonan pembetulan kembali apabila ternyata dalam Surat Keputusan Pembetulan masih ditemukan kesalahan. Permohonan tersebut akan dijawab oleh Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila jangka waktu 12 bulan telah lewat dan Direktur Jendral Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan oleh wajib pajak dianggap diterima. Atas hal yang dianggap dikabulkan tidak dapat lagi dimohonkan pembetulan. Apabila setelah menerima Surat Teguran dalam jangka waktu 21 hari wajib pajak tidak melunasi utang pajaknya, maka fiskus dapat melakukan tindakan penagihan pajak dengan Surat Paksa. Walaupun demikian, dalam keadaan tertentu
113
Ibid. hal 311
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
Surat Paksa dapat diterbitkan tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran pajak. Hal ini dikenal dengan penagihan pajak seketika dan sekaligus. 114 Penagihan pajak seketika dan sekaligus dapat diterbitkan oleh pejabat yang berwenang apabila: a. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; b. Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; c. Terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan usahanya atau menggabungkan usahanya atau memekarkan usahanya atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasai atau melakukan perubahan dalam bentuk lainnya; d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau e. Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. 115 Pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa terhadap Surat Paksa didasarkan pada UU No.19 tahun 2000 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Sesuai dengan Pasal 1 angka 12 UU No.19 tahun 2000, yang dimaksud dengan Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat Paksa dalam bahasa hukum disebut parate executie atau eksekusi langsung, yang berarti bahwa penagihan pajak dengan Surat Paksa dapat 114 115
Ibid. hal 386 Ibid. hal 362
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
dilakukan tanpa melalui proses Pengadilan Negeri. Adanya kekuatan
parate
executie yang diberikan pada Surat Paksa oleh undang-undang terlihat dari katakata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. 116 Surat paksa diterbitkan apabila: 117 a. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat Lain yang sejenis; b. Terhadap Penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus; c. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menetapkan bahwa apabila pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu dua kali dua puluh empat jam (2 x 24 jam) sesudah tanggal pemberitahuan Surat Paksa maka dapat diterbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan. 2.
Penyitaan Penyitaan adalah pengambilan hak penguasaan atas barang-barang yang
disita. Dalam penyitaan barang yang berpindah atau beralih bukanlah hak kepemilikan, tetapi hanyalah hak atas penguasaan barang tersebut. Dalam Pasal 1 angka 14 UU No.19 tahun 2000 Penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang milik penaggung pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi 116 117
Ibid. hal 390 Pasal 8 UU No.19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
utang pajaknya. Penguasaan barang milik penanggung pajak dimaksudkan adalah agar penanggung pajak tidak menghilangkan, mengalihkan, menjual atau memindahtangankan hak kepemilikan atas barang tersebut kepada pihak lain, sehingga ada jaminan bahwa utang pajak tersebut akan dilunasi oleh penanggung pajak. Apabila tidak dilunasi, maka fiskus akan menjual barang tersebut dengan cara dilelang untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan yang dikeluarkan oleh fiskus.
118
Yang menjadi objek penyitaan adalah barang milik penanggung pajak, yaitu setiap benda atau hak yang dapat dijadikan objek penyitaan, baik yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan penanggung pajak atau di tempat lain, serta barang milik penanggung pajak yang penguasaannya berada di tangan pihak lain. Penyitaan dilakukan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Atas barang yang disita dapat ditempeli atau diberi segel sita. Penempelan atau pemberian segel sita pada barang yang disita dimaksudkan sebagai pengumuman bahwa penyitaan telah dilaksanakan.
119
Barang-barang yang dikecualikan dari penyitaan adalah: a. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya; b. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah. Pengertian makanan dan minuman termasuk obat-obatan yang digunakan/diminum dalam hal penanggung pajak dan atau keluarganya sakit, sedangkan obat-obatan 118 119
Marihot. P. Siahaan, op.cit, hal 433 Ibid. hal 434
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
untuk diperdagangkan tidak termasuk dalam objek yang dikecualikan dari penyitaan; c. Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara; d. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak serta alat-alat yang digunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan; e. Peralatan dalam keadaan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah); f. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya. 120 Apabila penanggung pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak maka dapat dilakukan pencabutan sita atau berdasarkan putusan penagihan atau berdasarkan putusan Peradilan Pajak atau ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah memberikan putusan Pencabutan Sita. Pencabutan sita dilaksanakan berdasarkan Surat Pencabutan Sita. Pelaksanaan Pencabutan Sita dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pencabutan Sita terhadap deposito, tabungan, saldo rekening koran, giro atau yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada penanggung pajak dan tembusannya disampaikan kepada bank yang bersangkutan;
120
Pasal 15 ayat (1) UU No.19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat paksa
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
b. Pencabutan Sita terhadap surat berharga berupa obligasi, saham atau sejenisnya,
baik
yang
diperdagangkan
maupun
yang
tidak
diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada penanggung pajak dan menyampaikan tembusan kepada pihak terkait dan sekaligus berfungsi sebagai pembatalan berita acara pengalihan hak atas surat berharga tersebut; c. Pencabutan Sita terhadap piutang dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada penanggung pajak dan menyampaikan tembusan kepada pihak yang berutang yang sekaligus berfungsi sebagai pembatalan Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih Piutang; d. Pencabutan Sita terhadap penyertaan modal pada perusahaan lain dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada penanggung pajak dan menyampaikan tembusan kepada pihak terkait serta membuat Akta Pembatalan Pengalihan Hak; e. Apabila penyitaan dilaksanakan terhadap barang yang kepemilikannya terdaftar, tembusan Surat Pencabutan Sita disampaikan kepada instansi tempat barang tersebut terdaftar.121
D.
Pencegahan dan Penyanderaan dalam hukum pajak di Indonesia Selain alat paksa yang bersifat langsung, dalam hukum pajak dikenal pula
alat paksa yang bersifat tidak langsung yakni penyanderaan. Dalam proses pemungutan pajak selalu ada kemungkinan bahwa orang atau badan yang memiliki utang pajak tidak membayar pajak dan berupaya menghindari penagihan
121
Marihot. P. Siahaan, op.cit, hal 460
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
pajak yang dilakukan oleh fiskus. Umumnya wajib pajak yang memiliki niat seperti ini akan berusaha menyelamatkan harta kekayaannya agar tidak disita oleh fiskus dengan cara menyembunyikan hartanya ataupun memindahtangankan harta tersebut menjadi atas nama orang lain. Hal ini menyebabkan pada saat juru sita pajak melakukan penyitaan ternyata tidak ada lagi harta milik penanggung pajak yang dapat disita. Kalaupun ditemukan, harta tersebut telah beralih kepemilikan kepada pihak lain, hal ini akan mengakibatkan terhambatnya proses penagihan pajak. 122 Untuk menghindari keadaan tersebut, maka fiskus perlu melakukan suatu tindakan yang dimungkinkan oleh hukum pajak untuk memaksa wajib pajak melunasi utang pajaknya. Dalam hukum pajak, fiskus diberi kewenangan untuk melakukan suatu tindakan yang berkenaan dengan diri wajib pajak yaitu penyitaan atas badan (diri) orang yang berutang pajak. Tindakan ini dinamakan sebagai Sita Badan (gijzeling). Selain penyanderaan, fiskus juga diberi kewenangan untuk melakukan suatu tindakan pencegahan yang merupakan upaya fiskus untuk membatasi gerak wajib pajak agar tidak pergi ke luar negeri. Pencegahan dan penyanderaan ini memiliki dasar hukum yang kuat dengan berdasarkan pada UU No.19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, sehingga dapat memaksa setiap pihak yang berkepentingan untuk mematuhi ketentuan tersebut. 1.
Pencegahan dalam Hukum Pajak Menurut Pasal 1 angka 20 UU No.19 tahun 2000, pencegahan adalah
larangan yang bersifat sementara terhadap penanggung pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu
122
Ibid. hal 556
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Agar dalam pelaksanaan pencegahan tidak sewenang-wenang, maka diberikan syaratsyarat tertentu, baik yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif. Syarat kuantitatif yakni penanggung pajak mempunyai utang pajak sekurangkurangnya Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan syarat kualitatif yakni terhadap wajib pajak yang diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak dilakukan pencegahan. Pencegahan dapat dilaksanakan berdasarkan pada Keputusan Pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan pejabat yang berwenang melakukan tindakan penagihan pajak atau atasan pejabat yang bersangkutan. 123 Jangka waktu pencegahan ditetapkan paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya enam bulan. 124 Apabila jangka waktu pencegahan berakhir dan tidak adanya keputusan perpanjangan, maka pencegahan berakhir demi hukum. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum jangka waktu pelaksanaan pencegahan dan untuk mencegah ketidakjelasan nasib wajib pajak yang dicegah karena ketiadaan keputusan lebih lanjut dari pejabat yang berwenang. 2.
Penyanderaan dalam Hukum Pajak Menurut Pasal 1 angka 21 UU No. 19 tahun 2000, yang dimaksud dengan
penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya ditempat tertentu. Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang tidak melunasi utang pajaknya setelah lewat
123
Ibid. hal 564 Hal ini ditetapkan oleh UU No.9 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dalam hal pelaksanaan pencegahan karena alasan piutang negara. 124
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
jangka waktu 14 hari sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada penanggung pajak. Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh pejabat setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan atau Gubernur. Berdasarkan pasal 33 ayat (1) UU No. 19 tahun 2000, Penyanderaan dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang memenuhi syarat kualitatif dan syarat kuantitatif berikut ini : a. Syarat kuantitatif dilaksanakan penyanderaan adalah penanggung pajak mempunyai utang sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) yang meliputi semua jenis pajak dan tahun pajak. b. Syarat kuantitatif dilaksanakan penyanderaan adalah penanggung pajak diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Hal ini dapat terjadi
bila
diduga
penanggung
pajak
menyembunyikan
harta
kekayaannya sehingga tidak cukup sebagai jaminan pelunasan utang, atau terdapat dugaan kuat bahwa penanggung pajak akan melarikan diri. Penanggung pajak yang disandera ditempatkan di tempat tertentu sebagai tempat penyanderaan dengan syarat-syarat antara lain: a. Tertutup dan terasing dari masyarakat; b. Mempunyai fasilitas terbatas; dan c. Mempunyai sistem pengamanan dan pengawasan yang memadai. Sebelum terbentuknya tempat penyanderaan tersebut, maka penanggung pajak yang disandera dititipkan di Rumah Tahanan Negara dan terpisah dari tahanan lain dan selama dalam Rumah Tahanan Negara tidak dikenakan wajib kerja. Jangka waktu penyanderaan terhadap penanggung pajak adalah paling lama Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
enam bulan terhitung sejak penanggung pajak ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya enam bulan. Perpanjangan jangka waktu penyanderaan dapat diberikan sekaligus oleh Menteri Keuangan atau Gubernur. Penanggung pajak yang disandera akan dilepas apabila telah memenuhi persyaratan yang ditentukan, yaitu: a. Utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas; b. Jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah terpenuhi; c. Berdasarkan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap; d. Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau Gubernur, penanggung pajak akan melunasi utang pajak atau dalam hal penanggung pajak menderita sakit berat sehingga memerlukan perawatan dalam jangka waktu yang lama di luar tempat penyanderaan.
125
125
Pasal 34 ayat (1) UU No.19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan-pembahasan pada bab sebelumnya, maka pada akhir bab ini dibuat kesimpulan dan saran dari pembahasan sebelumnya. A.
Kesimpulan
1.
Di Indonesia sejak tahun 1984, sistem pemungutan Pajak Penghasilan di Indonesia mengalami perubahan dari sistem official assessment menjadi sistem self assessment dengan diundangkannya UU No.6 tahun 1983. Namun kenyataannya, dalam sistem pengenaan pajak di Indonesia sebenarnya secara tidak langsung ketiga sistem pemungutan pajak ini masih diberlakukan terhadap Pajak Penghasilan baik sistem official assessment, sistem self assessment, maupun withholding system. Walaupun dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan tegas dikatakan bahwa sistem perpajakan di Indonesia adalah sistem self assessment. Hal ini dapat dilihat dari suatu keadaan walaupun kepada wajib pajak diberi wewenang, kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menentukan, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang yang harus dibayar kepercayaan yang diberikan kepada wajib pajak, namun masih mendapat pengawasan dari fiskus. Selain itu, khususnya pada Pajak Penghasilan Pasal 21 pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, dan sebagainya diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak terhadap penghasilan. Dari ketentuan tersebut
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
dapat terlihat bahwa secara tidak langsung pada pemungutan pajak Penghasilan juga dianut withholding system. 2.
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali sedangkan daluarsa tindak pidana di bidang perpajakan setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Namun, daluarsa dapat ditangguhkan apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu.
3.
Dalam UU PPh tidak terdapat pengaturan mengenai sanksi-sanksi perpajakan, sehingga sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan UndangUndang No.36 tahun 2008 dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Sanksi-sanksi yang terdapat dalam UU KUP adalah berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi dapat berupa bunga, kenaikan dan denda.
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
B.
Saran
1.
Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan dengan tegas dikatakan bahwa sistem perpajakan di Indonesia adalah sistem self assessment. Istilah sistem self assessment ini sebaiknya dirubah dengan sistem semi self assessment, yakni sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada fiskus untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang,
namun
apabila
wajib
pajak
tidak
melaksanakan
kewajibannya, maka kepada fiskus diberi kewenangan untuk menghitung besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. 2.
Adanya penangguhan daluarsa menyebabkan adanya keadaan utang pajak yang telah gugur (daluarsa) menjadi tidak daluarsa sehingga Direktur Jendral pajak masih mempunyai hak untuk menagih utang pajak tersebut. Ketentuan ini menimbulkan kejanggalan karena bertentangan dengan prinsip atau falsafah daluarsa yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan mengakhiri keadaan yang tidak menentu menjadi pasti. Penagguhan daluarsa ini sebaiknya dilakukan penyempurnaan, dilihat dari pengaturan daluarsa ini tidak mengalami perubahan walupun UU perpajakan telah mengalami beberapa kali perubahan.
3.
Yang menjadi masalah lainnya dalam daluarsa adalah menentukan tenggang waktu daluarsa karena terdapat perbedaan ketentuan dalam KUHPidana dan Undang-Undang
Perpajakan.
Hal
ini disebabkan ketentuan dalam
KUHPidana merupakan ketentuan umum yang berlaku juga terhadap tindak pidana di bidang perpajakan, sehingga terhadap daluarsa dalam bidang perpajakan juga dapat menganut ketentuan dalam KUHPidana. Dalam Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
daluarsa hukum pajak, ketentuan yang ditetapkan adalah ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Karena ketentuan dalam hukum pajak merupakan lex spesialis yang lebih kuat kedudukannya dibandingkan lex generalis yang terdapat dalam KUHP. 4.
Walaupun dalam UU PPh telah disebutkan pengaturan sanksi yang berkaitan dengan Pajak penghasilan diatur dalam UU KUP. Namun, sanksi dalam UU PPh sebaiknya dibuat tersendiri mengingat kerumitan administrasi perpajakan. Dengan adanya pengaturan tersendiri akan lebih menjamin kepastian hukum pemungutan Pajak Penghasilan.
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Ahmadi , Wiratni, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Bandung: Refika Adhitama, 2006. Boediono, Perpajakan Indonesia Teori Perpajakan Kebijaksanaan Perpajakan Pajak Luar Negeri, Jakarta: Penerbit Diadit Media, 2000. Bohari. H., Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001. Brotodihardjo, Santoso R., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Refika Aditama, 2003. Gunadi, Pajak Internasional edisi revisi, Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2007. , Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2001. Hadi,
H.
Moelyono,
Dasar-Dasar
Penagihan
Pajak
Negara,
Jakarta:
PT.Rajagrafindo Persada, 1993. Mardiasmo, Perpajakan edisi revisi 2006, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2006. Pudyatmoko , Y. Sri., Pengantar Hukum Pajak, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2004. Regar, Moenaf.H., Pajak Penghasilan, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995. Septriadi, Darussalam, Danny, Membatasi kekuasaan untuk mengenakan pajak, Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006.
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
Setiawan, Agus, PPh Pemotongan dan Pemungutan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Siahaan ,Marihot P., Utang Pajak Pemenuhan Kewajiban Dan Penagihan Paksa Dengan Surat Paksa, Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2004. Soemitro, Rachmat, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung: PT. Eresco, 1992. , Pajak Penghasilan Edisi Revisi, Bandung: PT. Eresco, 2000. , Asas dan Dasar Perpajakan 2, Bandung: Refika Aditama, 1998. Suandy, Erly, Hukum Pajak, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2005. Tunggal , Amin Widjaja, Pelaksanaan Pajak Penghasilan Perseorangan, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1995.
PERUNDANG-UNDANGAN DAN INTERNET UUD’45 dan amandemennya UU No.19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa UU No.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak UU No.36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan PP No.71 tahun 2008 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan PP
No.
131
tahun
2000
tentang
Pajak
Penghasilan
Atas
Bunga
Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.
PP No.14 tahun 1997 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham Di Bursa Efek SK Dirjen Pajak No.KEP-30/Pj/1995 tentang Penyempurnaan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-02/Pj./1995 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa Dan Kegiatan Orang Pribadi SK Menkeu No.598/KMK.04/1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Yang Bersifat Final Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Tertentu SK Menkeu No.599/KMK.04/1994 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat Dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran Dan Pelaporannya SK Menkeu No.624/KMK.04/1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi Dan Premi Reasuransi Yang Dibayar Kepada Perusahaan Asuransi Di Luar Negeri SK Menkeu No. 632/KMK.04/1994 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang Bergerak Di Bidang Usaha Pelayaran Atau Penerbangan Dalam Jalur Internasional http://www.dheyacuap-cuap88.blogspot.com/2009/01/makalah-hukum-perdatadaluarsa.html. Diakses pada tanggal 2 November 2009 http://www.indotranslate.com/translate-id-fr.php, Indotranslate, diakses pada tanggal 28 agustus 2009 http://www.pajak.go.id. Tarif Pajak. Diakses pada tanggal 7 September 2009 Linawaty : Kepastian Hukum Pembayaran Utang Pajak Penghasilan Sebagai Bagian Dari Piutang Negara, 2010.