http://www.sinarharapan.co/news/read/30485/mengorbankan-rakyat-untuk-menutupi-kelemahan-parpol
PILKADA lewat DPRD? Mengorbankan Rakyat untuk Menutupi Kelemahan Parpol 04 January 2014 Vidi Batlolone Politik dibaca: 149
Masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya karena kesalahan peserta dan penyelenggara pemilu. Tahun 2014 menjadi tahun menentukan bagi negara ini karena bakal ada penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Tahun ini juga menjadi istimewa dalam perkembangan politik karena kemungkinan bakal disahkannya rancangan undang-undang pemilu kepala daerah (pilkada). Jika usulan pemerintah disetujui, di masa yang akan datang, masyarakat akan kehilangan hiruk-pikuk penyelenggaraan pilkada seperti yang selama ini berlangsung. Pilkada akan lebih “sepi” karena dipilih hanya oleh anggota DPRD. Pemerintah mengusulkan pilkada tidak langsung karena ingin menghindari dampak negatif dari pilkada langsung. Selama ini pilkada langsung dianggap sebagai penyebab tidak efektifnya pemerintahan, praktik korupsi besar-besaran sehingga hampir sebagian kepala daerah tersandung kasus korupsi. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri), Djohermansyah Djohan, mencontohkan akses negatif pilkada langsung adalah banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Sampai saat ini, selama delapan tahun terakhir, kata Djo, sudah 310 kepala daerah terjerat kasus hukum. "Sebanyak 80 persennya ialah kasus korupsi," ujarnya. Pilkada langsung pun rentan terhadap konflik horizontal di masyarakat. Ini karena kebanyakan kandidat, elite lokal, dan warga tidak dewasa dalam berpolitik. Tidak bisa menerima kekalahan. Jadi, sekitar 90 persen pilkada berujung sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). "Selisih suaranya kalah besar, tapi mereka tetap menggugat," katanya.
1
Pilkada lewat DPRD dipandang lebih sedikit akibat negatifnya. Tidak membebani keuangan negara dibanding penyelenggaraan pilkada langsung, yang jika ditotal menghabiskan triliunan rupiah. Praktik politik uang juga bisa dihindari dan tidak membiasakan masyarakat dengan sogokan untuk memilih. Sogok-menyogok inilah yang dipandang sebagai penyebab kepala daerah korupsi demi mengganti biaya politik uang yang sudah dikeluarkannya. Lagi pula, menurut pemerintah, pilkada tidak langsung juga merupakan mekanisme politik yang demokratis. Jadi, tidak ada salahnya pilkada diselenggarakan lewat DPRD. Salahkan Masyarakat Argumen pemerintah ini banyak didukung sejumlah fraksi di DPR. Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR, Hakam Naja, hampir semua fraksi memiliki kecenderungan menyetujui usulan pemerintah. “Memang ada kecenderungan fraksi-fraksi ke arah sana (sepakat pilkada lewat DPRD)” tutur Hakam Naja. Memang pemerintah tidak keliru menganggap pilkada lewat DPRD adalah mekanisme demokratis sebagaimana pemilu langsung oleh rakyat. Namun, menyalahkan tingginya korupsi dan tidak efektifnya pemerintahan kepada pilkada langsung juga merupakan kesimpulan yang terlampau gegabah. Menuding konflik horizontal sebagai buah dari pilkada langsung pun terlalu menyederhanakan persoalan. Jika dilihat lebih jauh, masalah utama bukan soal pemilu langsung atau tidak langsung, melainkan soal kualitas peserta dan penyelenggara pemilu. Apakah pemilu lewat DPRD bisa sungguh-sungguh menjamin munculnya pemerintahan yang lebih efektif dan jauh dari korupsi? Tentu tidak ada jaminan. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Angrraini menyatakan, pemerintah hanya mengevaluasi efek pilkada langsung. Namun, tidak meneliti lebih jauh bagaimana kualitas pemilu. Seharusnya, kata Titi, pemerintah juga menghitung apakah pelaksanaan pilkada langsung sudah memenuhi 13 prinsip pemilu yang bebas dan adil. “Solusinya bukan mengembalikan pemilu ke DPRD, melainkan membenahi pelaksanaan pemilu itu,” kata Titi.
2
Ia menjelaskan, 13 prinsip pemilu demokratis sesuai standar internasional ialah pemilihan yang reguler dan berkala, hak pilih universal, serta dilaksanakan lembaga yang independen dan tidak berpihak. Selain itu, prinsip lainnya adalah persaingan antarpartai politik, kebebasan media, kebebasan dari pembohongan dan tekanan terhadap pemilih, surat suara rahasia, hasil yang cepat, mudah digunakan. Prinsip satu orang satu suara dan satu nilai, perwakilan parlementer yang sesungguhnya, kekuatan pada mayoritas dan minoritas yang terwakili, pemungutan suara wajib atau sukarela dan partisipasi penuh juga perlu dipenuhi. Penyelenggara Tidak Netral Selama ini sejumlah faktor tersebut harus diakui jauh dari terpenuhi. Salah satu masalahnya adalah ketidakadilan penyelenggara pemilu. Simak saja betapa banyaknya laporan yang masuk ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) soal dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, baik KPUD maupun panwaslu daerah. DKPP mencatatat sejak Juni 2012 hingga Oktober 2013 DKPP telah memberhentikan tetap penyelenggara pemilu sebanyak 102 anggota. Anggota penyelenggara pemilu yang diberhentikan sementara sejumlah 13 orang. Penyelenggara pemilu yang diberi sanksi peringatan tertulis sebanyak 124 orang. Untuk total pengaduan, Sekretariat DKPP menerima 549 perkara. Tidak semua perkara disidangkan, sebanyak 396 dismiss alias ditolak karena tidak memenuhi syarat materiil dan formal. Jumlah perkara yang disidangkan 153 perkara dan perkara yang diputus 140. Bahkan, anggota Bawaslu Nur Hidayat Sardini, mengakui penyelenggara pemilu cenderung tidak netral “Kecenderungan atau tren pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu umumnya bersikap tidak netral dan berpihak terhadap peserta pemilu, terutama dalam pilkada. Pelanggaran kode etik mulanya bermuara dari tahapan penanganan daftar pemilih tetap (DPT), pendiskualifikasian karena persyaratan seperti ketercukupan jumlah dukungan atau pemenuhan persyaratan yang lewat waktu, penyalahgunaan jabatan atau kewenangan, dugaan penyuapan, netralitas, dan imparsial,” kata Nur Hidayat.
3
Tentu saja peserta pemilu adalah pihak yang juga pantas dituding sebagai penyebab buruknya kualitas pemilu dan hasilnya. Peserta pemilu tentu saja para calon kepala daerah baik yang melalui partai politik maupun jalur perseorangan (independen). Parpol Penyebab Utama Selama ini peserta pemilu dan juga partai politik yang melanggengkan praktik politik uang. Jika saja partai politik sepakat bersama-sama menghentikan pemberian uang kepada calon pemilih, bukankah praktik itu bakal berhenti. Masyarakat tidak meminta. Namun, karena ingin menang dengan tidak demokratis, mulailah tindakan membeli suara rakyat dan akhirnya terus membudaya seperti sekarang. Jika partai memiliki komitmen moral untuk tidak memengaruhi penyelenggara pemilu dan membiarkanya bekerja secara fair, demokrasi yang lebih sehat bisa kita harapkan. Sayangnya, demi kekuasaan, peserta dan penyelanggara saling selingkuh. Alangkah tidak adilnya masyarakat dijadikan korban karena kebobrokan peserta dan penyelenggara pemilu. Usulan pilkada lewat DPRD sama saja mengebiri hak rakyat. Menghukum rakyat untuk kesalahan yang dilakukan partai politik dan penyelenggara pemilu (KPU/D, panwas). Tadinya rakyat mempunyai hak menentukan pilihannya secara langsung, tetapi hak itu diambil karena kesalahan yang tidak mereka lakukan. Peserta pemilu dan penyelenggara yang menjadi akar masalah, tetapi rakyat yang dikorbankan. Masyarakat disalahkan karena tingginya korupsi dan tidak efektifnya pemerintahan. Padahal yang bermain uang dan sogok-menyogok sepenuhnya dikendalikan peserta pemilu, penyelenggara pemilu yang juga kongkalikong dengan kekuatan modal. Pilkada langsung disebut menjadi penyebab konflik horizontal masyarakat. Padahal selain jumlah konflik pascapilkada relatif sedikit, masyarakat pun tidak mendorong konflik. Konflik justru didorong peserta-peserta pemilu dan timnya yang tidak puas hasil pemilu. Kalau mereka dewasa dan mendapat pendidikan demokrasi yang baik, tentu tidak akan mencoba memanasi masyarakat untuk saling berperang. Jika revisi UU Pemerintah Daerah dikabulkan sebagaimana diusulkan pemerintah, rakyat tidak lagi bisa terlibat langsung memilih pemimpinnya. Rakyat yang merasakan dampak langsung kebijakan dan kepemimpinan seseorang tidak lagi mempunyai kontrol untuk menghukum pemimpin yang merugikannya. 4
“Sulit dibayangkan bakal muncul lagi pemimpin seperti Jokowi yang memang muncul karena kesadaran politik masyarakat. Jika pemilu lewat DPRD, seorang Jokowi tidak akan menang di Jakarta,” ujar Direktur Eksekutif Indo Barometer Mohammad Qodari.
5