PILIHAN BAHASA BERUPA ALIH METAFORA DAN RAGAM TUTURAN MENOLAK DI DESA PAREAN GIRANG KECAMATAN KANDANGHAUR KABUPATEN INDRAMAYU Laporan Penelitian Lapangan diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiolinguistik Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Yus Rusyana
Oleh
Yudha Andana Prawira NIM 0706262
BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TEKNIS DAN KEAGAMAAN BANDUNG 2007
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. yang atas rahmat dan karuniaNya, kami dapat menyelesaikan tugas ini. Makalah yang berjudul PILIHAN BAHASA BERUPA ALIH METAFORA DAN RAGAM TUTURAN MENOLAK DI DESA PAREAN GIRANG KECAMATAN KANDANGHAUR KABUPATEN INDRAMAYU ini merupakan suatu tinjauan secara umum terhadap penututan yang dilakukan masyarakat di desa Parean Girang yang berupa ragam tuturan menolak. Tinjauan ini membahas ragam tuturan menolak sebagai salah bentuk dari sikap berbahasa, divergensi, serta pilihan bahasa yang cenderung berupa alih metafora dan gaya menolak dari lawan tuturnya. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan makalah ini, khususnya kepada Bapak Prof. Dr. H. Yus Rusyana selaku dosen pengampu mata kuliah Sosiolinguistik yang telah membimbing peneliti hingga ke lokasi penelitian, Ibu Dr. Hj. Vismaia S. Damaianti, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana UPI, rekan-rekan sekelas Program Studi Pendidikan Bahasa SPs UPI, terutama Bapak Drs. H. Dadun Kohar sebagai Ketua Kelas. Terima kasih juga peneliti sampaikan untuk seluruh warga Desa Parean Girang Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu yang telah bersedia diwawancarai untuk kepentingan penelitian ini. Semoga seluruh kabaikan seluruh yang telah membantu penelitian ini mendapat balasan pahala yang setimpal dari Allah Swt. Amin ya robbal alamin. Semoga makalah terutama ni dapat menambah khasanah keilmuan dan wawasan dalam menggiatkan pendidikan bahasa yang inovatif. Untuk kesempurnaan tulisan ini, kritik dan saran membangun, tentunya kami sambut dengan tangan terbuka sebagai sebuah masukan berharga.
Bandung,Januari 2008
Penyusun
DAFTAR ISI BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Populasi dan Sampel 1.4 Instrumen dan Metodologi 1.5 Pengolahan Data BAB 2 KERANGKA TEORI PILIHAN BAHASA DAN TINDAK TUTUR 2.1 Jenis-jenis Pilihan Bahasa 2.2 Struktur Komunitas 2.3 Kerangka Alih Metafora dan Alih Situasi Gumperz dalam Tindak Tutur Masyarakat Parean Girang BAB 3 HASIL PENELITAN DAN ANALISIS BAB 4 SIMPULAN
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Sosiolinguistik sebagai sebuah cakupan studi yang salah satu kajiannya menelaah
pemilihan menggunakan bahasa. Pemilihan bahasa yang digunakan ini terjadi dalam masyarakat yang ‘lingkungan multibahasa’. Pemilihan bahasa ini dapat terjadi beberapa bahasa dalam suatu lingkungan sosial. Tulisan ini akan menyajikan hasil penelitian tentang realisasi pilihan bahasa yang dilakukan oleh masyarakat yang berada di wilayah desa Parean Girang Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu. Penelitian dilandasi adanya asumsi bahwa dalam bertutur sangat dipengaruhi oleh latar belakang bahasa, budaya, dan tingkat pendidikannya. Karena itu, apabila dalam sebuah tuturan yang dilakukan oleh beberapa orang yang berbeda latar belakangnya tersebut penilaian kesantunannya pun harus dipandang dari sudut yang berbeda pula. Sebagai ilustrasi, apa yang dituturkan dalam bahasa A sebagai sesuatu yang baik, dalam bahasa B belum tentu dianggap baik pula. Dengan adanya hal tersebut, dalam bertutur di anatara penutur yang berbeda bahasa berpotensi terjadi konflik di antara keduanya yang ditimbulkan oleh kesalahfahaman. Salah satu potensi konflik ini adanya ketersinggungan antara penutur dengan mitra tutur (interlocutor) karena kurangnya pertimbangan dalam penentuan bahasa atau pemilihan kosakata yang digunakan. Misalnya, penutur A menyebutkan tuturannya, akan dianggap kurang santun oleh mitratuturnya. Contoh lainnya, antara penutur dan interlokutornya tidak selamanya berupa persetujuan di antara keduanya, namun terkadang terjadi pula kaempattkaempatt yang berupa penolakan. Bagaimana penutur memilih kosakata yang mereka gunakan untuk mengkonter mitratuturnya dengan kaempatt menolak itulah yang menjadi focus penelitian ini. Mudah-mudahan peneliti dapat mengungkapkan bagaimana penutur bahasa di Wilayah desa Parean Girang yang berbeda bahasa ibunya dan latar belakang budayanya dilihat dari segi kesantunan bahasanya.
2.
Rumusan Masalah Dalam penelitian ini peneliti, hanya akan menelaah:
a.
adakah pernyataan menolak terhadap mitratutur dari bahasa ibu yang berbeda?
b.
ujaran yang bagaimana yang digunakan untuk penolakan tersebut?
3.
Populasi Data yang penulis peroleh bersumber dari empat orang yang dimintai keterangannya
seputar masalah yang diteliti. Keempat orang yang penulis jadikan sumber data ini memiliki perbedaan latar belakang pendidikan, pekerjaan, maupun asal atau latar budayanya. Adapun sedikitnya populasi yang bisa peneliti jadikan sebagai nara sumber mengingat beberapa hal, antara lain,bahwa dengan keempat orang ini pun data yang dibutuhkan sudah dianggap memadai, selain itu, mengingat keterbatasan waktu yang peneliti miliki selama studi lapangan di desa PArean Girang Kecamatan Kandang Haur ini. Untuk penelitian yang lebih mendalam sebenarnya empat sumber data ini belum memadai, namun demikian, peneliti berupaya semaksimal mungkin untuk menelaah empat sumber data ini agar hasil penelitiannya lebih mendekati keakuratan. 4.
Instrumen dan Metodologi Penelitian Untuk menggali bahan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data, di antaranya: a.
observasi
b.
wawancara sederhana dengan panduan untuk mengali tuturan yang berupa divergensi dalam bentuk alih metafora, yaitu dalam terkandung dalam kalimat-kalimat menolak terhadap interlocutor berbeda bahasa ibu, serta
c.
angket sederhana
5.
Pengolahan Data Untuk pengolahan datanya, penulis hanya akan menggunakan perhitungan sederhana,
yaitu persentase banyakknya keempat menolak serta membandingkannya jumlah populasi yang diteliti.
BAB II KERANGKA TEORI PILIHAN BAHASA DAN TINDAK TUTUR 1.
Jenis-jenis Pilihan Bahasa Kajian tentang realisasi tentang pilihan bahasa yang digunakan, berkembang begitu
cepat serta bahasawan yang mengemukakan tentang pilihan bahasa ini juga begitu banyak. Beberapa di antaranya yang bisa peneliti rangkumkan dari buku Ralph Fasold, sebagai berikut: a.
alih kode (code switching) yang dikemukakan oleh Simon Herman (1968) dan Greenfield (1972)
b.
campur kode (code mixing) yang dikemukakan oleh Gumperz (1977)dan Parasher (1980)
c.
situasi tumpang tindih (overlapping situation ) yang dikemukakan Simon Herman.
d.
unsure serapan (borrowing) yang dikemukakan oleh Thelander, (1976); Coupland, (1980) Selain jenis-jenis pilihan bahasa tersebut di atas, peneliti mendasarkan kerangka
pemikirannya kepada yang dikemukakan oleh Gile’s dengan teori akomodasinya serta yang dikemukakan Blum dan Gumperz dengan teori alih metaforan dan alih situasinya. Gile’s dengan teori akomodasinya mengemukakan bahwa konsep pengembangan dugaan teori akomodasi dalam berperilaku bahasa. Secara normal akomodasi mengambil bentuk dari convergence/pusat, dalam hal penutur akan memilih bahasa atau variasi bahasa yang terlihat beragam untuk digunakan seseorang. Dalam situasi yang sama, penutur akan salah untuk bertutur dalam kelompok yang sama atau dia malah menyimpang. Dengan kata lain, seseorang mungkin berupaya dapat berbicara pada semua situasi sesuai ucapannya dan mungkin akan memilih pembicaraannya secara maksimal walaupun tidak disukai orang lain. Hal ini terjadi ketika penutur
ingin menenkankan kesetiaannya pada kelompoknya dan
menutup dirinya pada kelompok teman berbicara.
Kejadian ini didasarkan pada satu
penelitian tentang pokok yang dibicarakan dalam bab sebelumnya; hipotesis perilaku orang kulit hitam Amerika yang sengaja menggunakan Inggris hitam ketika berbicara Dengan orang
kkulit putih misalnya, Giles, Bourhis, Taylor (1977:323) memberikan contoh lain, pertama kali pada Negara Arab mengumumkan kemarahannya kepada Bahasa Inggris selama pertengahan tahun 1970-n. Berikut ilustrasi variasi dari divergen dan konvergen menurut teori akomodasi Giles dalam Fasold Dimensi bahasa
Konvergen
Divergen
1. Bahasa luar kelompok Dengan ucapan seperti asli 2. Bahasa
luar
kelompok
dengan
kemiripan ucapan 3. Bahasa
dalam
kelompok
sama
dengan berbicara perlahan 4. Bahasa
dalam
kelompok
sama
dengan berbicara normal
2.
Struktur Komunitas Pekerjaan antropologi dalam pilihan bahasa melontarkan fenomena pemikiran pada
struktur komunitas. Kita akan konsentrasi kembali pada kategori diglosia dari Fishman – diglosia tanpa bilingual - . Kriteria ini membagi dua komunitas yang sama dalam lingkungan sosial, satu kelompok elit dan satu lagi kelompok yang memrintah. Penggunaan dua bahasa yang berbeda relative kecil dalam komunikasi antara keduanya kecuali dalam bahasa Inggris pasar. Bentuk murni dari diglosia tanpa bilingual sulit didapatkan, tetapi beberapa lingkungan sosial
dengan pendekatan struktur sosial Fishman bias dipikirkan. Dalam beberapa
lingkungan sosial, kelompok pemerintah akan setuju dengan aturan kelompok elite, tetapi tidak dapat dipertimbangkan sebagian dari mereka berujar dalam komunitas yang sama. Mereka tidak akan merasa ingin belajar bahasa pada kelompok dominant, kecuali ingin berinteraksi dengan mereka. Secara mendasar, ini berarti bahwa dua bagian komunitas pada lingkungan sosial sama, mempengaruhi kekuatan kelompok di atasnya, tetapi mereka sendiri merupakan bagian dari kelompok tersebut.
Susunan sosial yang kontras memiliki dua kelompok dalam lingkungan sosial sama; satu dengan prestise dan kekuatan yang lebih daripada yang lain, seperti pada kasus pertama. Tetapi dalam kasus ini, anggota kelompok dalam status rendah melihat lebih pada kelompok yang berkategori besar termasuk mereka. Mereka memiliki dua jenis anggota ganda. Seperti penerimaan variasi bahasa tinggi dan rendah, anggota ganda ini sederajar dalam kehidupannya; pertama dia menjadi anggota kelompok rendah, yang nilai-nilainya banyak kesamaan/relevan dengan rumah dan tetangganya. Yang berkembang lebih dulu, merealisasikan kesetiaannya pada kelompok lain yang agak asing.. Dua kesetiaan ini terbangun dari beberapa tingkatan konflik, dan anggota yang berstatus rendah akan menyelesaikan konflik dengan jalan yang berbeda, dari segi keperluan lingkup bahasa. Bagan 7.2 berupa ilustrasi dua jenis struktur sosial Dalam masyarakat yang peneliti tinjau yaitu warga desa Parean Girang, walaupun bukan bahasan peneliti tentang diglosia ini, namun secara tersirat terdapat pula komunitas yang berbeda dalam satu desa yang sama ini. Menurut pengakuan narasumber peneliti, desa Parean Girang karena memiliki penduduk yang matapencahariannya berbeda, yaitu terbagi dalam tiga bagian besar, ada kelompok nelayan, kelompok pedagang, serta kelompok petani. Dari ketiga kelompok masyarakat ini, ternyata mereka secara adapt yang turun temurun merasa berbeda dan tidak mau disamaratakan sebagai satu komunitas Parean Girang, mereka walaupun dalam satu wilayah desa, namun di antara ketiga kelompok masyarakat ini merasa terpisah secara sosiologi dan struktur kemasyarakatannya. Maksudnya, kelompok nelayan yang berada di wilayah utara desa (atau daerah pesisir) merasa berbeda dengan warga yang berada di daerah agak pedalaman (jauh dari pesisir). 3.
Kerangka Alih Metafora dan Alih Situasi Gumperz dalam Tindak Tutur Masyarakat Parean Girang Jenis alihan Gumperz yang disebut ‘alihan berkenaan dengan metafora'. Di dalam
alihan berkenaan dengan metafora, pilihan bahasa menjadi suatu lambang atau kiasan dengan mengabaikan situasi. Dalam komunitas lokal resmi menginginkan menggunakan bahasa formal. Tetapi dalam realitas tuturan dengan struktut masyarakat yang berbeda, penggunaan
bahasa berpotensi menciptakan suatu konflik. Suatu jalan keluar; pemecahan yang umum adalah untuk satu penduduk menggunakan bahasa yang berbeda ketika mereka berbicara tentang keluarga atau masalah umum menggunakan bahasa ibu sendiri atau yang sama, tetapi ketika berbicara dengan aparat desa atau kelompok mitra tutur yang berbeda bahasa ibu mereka menggunakan bahasa yang umum di daerah tersebut. Pembedaan antara kedua macam tentang alihan adalah krusial di dalam situasi yang lokal, tanpa status lain di samping keanggotaan di dalam komunitas Hemnesberget adalah relevan. Untuk membuatnya mudah untuk mematuhi situasi macam ini, Blom dan Gumperz menyiapkan satu rangkaian ‘eksperimen-eksperimen'. Ketika suatu topik muncul seorang pembicara memperoleh keuntungan dari satu pendekatan ke statusnya sebagai satu cendekiawan, sebagai contoh, bahasa Bokmal yang akan digunakan, bahkan di dalam pertemuan hal ini para sahabat yang telah semua orang dewasa di Hemnesberget. Untuk apa ini berarti adalah bahwa untuk kelompok ini, menjadi anggota komunitas Hemnesberget dan Komunitas orang Norwegia yang lebih besar kedua-duanya yang tinggal relevan, bahkan di suatu situasi yang semata-mata lokal karena yang lain dua kelompok (Gumperz dalam Fasold). Dalam satu pengaturan sosial yang menyentuh hati dengan para sahabat mereka sendiri yang lokal, mereka untuk menggunakan Blom dan istilah Gumperz, ‘regu lokal' para anggota eksklusif. Untuk yang muda orang-orang di dalam kelompok yang ketiga, Identitas orang Norwegia mereka telah jadinya sangat banyak bagian dari mereka bahwa itu hidup pada waktu sama dengan identitas regu mereka yang lokal ,bahkan dalam satu pengaturan sosial yang menyentuh hati. Sebagai penunjang tentang alih metafora yang diakibat oleh tindak tutur yang berbeda ini, peneliti mengutip pendapat Austin (1975) dalam Aminudin (2001) yang mengelompokan tindak tutur ini menjadi empat kelompok, yaitu memaparkan pandangan (expositivisme), memberikan keputusan (verdictives), kesiapan melakuakan sesuatu (commisivisme), menerapkan pengaruh atau kekuasaan (exercitives), dan bereaksi terhadap perilaku orang lain (behabitives). Berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam makalah ini, dari keempat jenis tindak tutur yang dikemukakan di atas, tindak tutur keempat, yang
merupakan efektivitas tindak tutur yang berkaitan dengan alih metafora atau alih situasi serta teori akomodasi Gile’s yang cenderung divergen atau konvergen. Pada kenyataannya, tindak tutur menolak dapat dipandang sebagai suatu reaksi dari seorangmitra tutur terhadap penuturnya, terutama yang berupa perintah, baik perintah biasa (commands), permintaan (request), undangan (invitations), atau larangan (prohibitions), menyatakan
sebuah
kesiapan
atau
ketidaksiapan
merealisasikan
persetujuan
atau
pertidaksetujuan dari mitratutur terhadap penutur (Allan, 1986 dalam AMinudin, 2001). Sebuah proses komunikasi akan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan yang dimiliki oleh penutur maupun mitratutur. Selain tentu saja adalah situasi, sehingga tidak terjadi salah pengertian di antara keduanya. Jika ini terjadi, maka keharmmonisan komunikasi menjadi terganggu. Karena itu, perlu kiranya sebuah aturan tidak tertulis dalam sebuah proses komunikasi yang mesti ditaati oleh kedua pihak, penutur dan mitratutur. Namun pada kenyataannya, tidak semua proses komunikasi selalu berhasil mematuhi aturan tuturan ini. Seringkali penutur melanggar aturan. Dalam hal ini penutur akan menghadapi situasi sulit. Pada saat melanggar aturan komunikasi ini, penutur dan mitratuturnya akan cenderung divergen, dan akan melakukan alih metafora. Jika ini berlanjut, bukan tidak mungkin salah satu dari keduanya akan kehilangan muka saat berkomunikasi. Untuk mengurangi tingkat pelanggaran terhadap miskomunikasi ini, kesantunan bahasa merupakan salah satu pemecahannya. Sebagai ilsutrasi, peneliti mengemukakan contoh yang terjadi dalam masyarakat Sunda pada umumnya, ada realitas kesantunan bahasa yang berbeda yang dipakai bergantung pada jenis kelamin, usia, latar belakang pendidikan. Aminudin (2001) mengemukakan bahwa para orang tua Sunda masih peduli dalam menggunakan undak usuk basa (speech levels) sebagai kesantunan yang tinggi. Sementara para remajanya,
banyak yang sudah tidak
mengetahui lagi tentang undak usuk basa Sunda. Akibatnya, seringkali proses komunikasi antara remaja dengan orang tua dianggap tidak lagi santun.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
1.
Deskripsi Data Data yang peneliti dapatkan dari nara sumber diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui
teknik wawancara dan melalui angket sederhana. Teknik wawancara digunakan untuk mendapat data yang berupa informasi sekunder yang berkaitan dengan data yang akan dianalisis, data ini berupa pengakuan-pengakuan responden atau narasumber. Sementara data yang diperoleh melalui angket berupa beberapa contoh tuturan yang akan dianalisis. Data hasil angket ini dilakukan untuk mendapatan data yang dipandang lebih mendekati keakuratan. Cara pemeroleh data ini peneliti adaptasi dari yang dikembangkan oleh Blum dan Kulka (dlam Aminudin,2001), yang dinamakannya discourse completion test (DCT) yang digunakan untuk meneliti tentang perbedaan (dan persamaan) dalam perwujudan tindak tutur yang semula untuk bahasa Yahidu oleh penutur asli terhadap penutur asing. Tes ini penulis anggap mendekati apa yang ingin peneliti dapatkan dari hasil studi lapangan sosiolinguistik yang dilakukan di Desa Parean Girang Kabupaten Indramayu ini. Hal ini sesuai dengan bahasan peneliti yaitu ingin mendeskripsikan kecenderungan divergen dan alih metafora dalam tuturan masyarakat di desa Parean Girang sebagai perwujudan tuturan menolak. Dalam tes ini, aslinya terdapat 19 (sembilan belas) kategori yang dianalisis, namun mengingat waktu pengumpulan data yang sangat singkat dan responden yang diteliti pun sangat sedikit, maka dari kesembilanbelas kategori tersebut hanya empat kategori yang peneliti anggap lebih mendekati tujuan penelitian ini. Keempat kategori tersebut adalah pernyataan yang langsung menolak atau mengatakan tidak, pernyataan ragu-ragu, pernyataan menunda keputusan, pernyataan menerima tapi tidak memberi kepastian, dan menerima tapi dengan penyesalan. Berikut adalah deskripsi data yang penulis peroleh dari hasil penelitian lapangan. No
Tuturan penutur
Kalimat
dalam
bahasa Terjemahan Indonesia
dalam
bahasa
1
Aku ora iso teko, sebab ana seduluran
Saya tidak bisa dating karena ada saudara saya
2
Aku gelem ning sesok wae
Aku mau tapi besok saja
3
Mit, aku ora iso
Maaf, saya tidak bisa
4
Dos pundi menawi kagen tiang sanes
Tolong berikan saja pada yang lain
2.
Analisis Data Data tersebut diadaptasikan kedalam bentuk penelitian tindak tutur yang dilakukan
Aminudin (2001) sesuai yang dikembangkan Blum dan Kulka bahwa: a.
Kalimat pertama, ‘Aku ora iso teko, sebab ana seduluran’ Kalimat menolak yang secara isinya berupa penolakan langsung dengan suatu alasan
yang kuat, dalam kategori Blum dan Kulka termasuk kategori pertama, yaitu pernyataan menolak langsung, hal ini ditandai dengan adanya kata negative seperti kata ‘tidak’, ‘jangan’, ‘bukan’, atau ‘tidak mau’. b.
Kalimat kedua ‘Aku gelem ning sesok wae’ Kalimat ini berupa kalimat yang isi nya menolak dengan tidak langsung dan dengan
menunda, namun walau bagaimanapun isinya sesuai konteks kalimat dalam wacana yang ada tetap saja menolak untuk saat itu, yaitu ditandai dengan adanya konjungsi perlawanan seperti kata ’tetapi’,’namun’, atau ’bukan ... melainkan ...’. Dalam kategori Blum dan Kulka, ini termasuk ke dalam kategori menerima namun penyesalan. c.
Kalimat ketiga ’Mit, aku ora iso’ Kalimat ketiga ini berupa kalimat menolak secara kangsung namun dengan cara halus,
yaitu ditandai dengan kata tidak yang didahului dengan pernyataan maaf atau sejenisnya, yang menunjukan suatu penyesalan karena tidak bisa melakukan permintaan pada saat tersebut. Dalam kategori Blum dan Kulka ini termasuk kategori menolak dengan penyesalan.
d.
Kalimat keempat ‘Dos pundi menawi kagen tiang sanes’ Kalimat keempat ini merupakan pernyataan menolak secara halus, walaupun dalam
kalimatnya tidak ada kata-kata negatiif atau pernyataan menolak, namun secara isi dan makna kalimatnya tetap menolak. Hal ini ditandai dengan kata-kata ’tolong’, ’nanti’, ’maaf’, atau ’bagaimana kalau ...’. Kalimat seperti ini dalam kategori Blum dan Kulka termasuk kategori menolak dengan penyesalan. Sebenarnya dengan empat contoh kalimat pernyataan menolak dalam bahasa di wilayah desa Parean Girang Kecamatan Kandanghaur ini belumlah memadai, karena secara teoritis yang diadaptasi dari Blum dan Kulka yang terdapat dalam Aminudin (2001), masih jauh dari sempurna. Seperti yang telah dikemukakan dimuka, bahwa kategori Blum dan Kulka ini seluruhnya berjumlah 19 (sembilan belas) kelompok pernyataan menolak. Namun demikian semoga yang empat kalimat ini bisa menunjukkan bahwa orang desa Parean Girang ketiga mengungkapkan kalimat atau pernyataan menolak tidak seluruhnya berupa penolakan langsung, namun mereka juga dapat mengungkapkan penolakan dengan cara yang berbeda, baik itu secara tidak langsung yang ditandai dengan kata-kata ’maaf’, ’tolong’ atau ’tetapi’, bukan hanya dengan pernyataan menolak langsung seperti kata-kata ’tidak’, ’bukan’ atau ’tak mau’ saja. Hal seperti ini menunjukkan dari segi sikap berbahasa, mereka sudah dapat mengungkapkan pernyataan secara lebih sopan dan santun. Kesantunan dan kesopanan dalam berbahasa ini merupakan suatu indikator terhadap tingkat kepedulian sosial dalam berkomunikasi dengan orang lain. Kesantunan berbahasa juga jika dilihat dari segi tingkat akademik menunjukkan suatu pemahaman yang tinggi terhadap rasa bahasa, karena orang yang berbahasa dengan santun merupakan ciri orang yang tingkat pemahaman dan pendidikannya lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak pernah belajar kesantunan. Pendidikan dalam maksud ini tidak selamanya berupa pendidikan formal, bisa juga pendidikan secara tidak langsung , baik dari orang tua maupun dari tokoh-tokoh masyarakat di desa Parean Girang kecamatan Kandanghaur.
BAB IV SIMPULAN Demikian deskripsi penelitian yang kami lakukan di desa Parean Girang Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu. Dalam deskripsi dan analisis yang sangat sederhana ini tentu belum menyentuh kepada teori yang semestinya walaupun telah diupayakan semaksimal mungkin, karma keterbatasan waktu serta kesempatan yang peneliti miliki pada saat penelitian ini. Namun demikian mudah-mudahan yang dilakuakan peneliti ini merupakan suatu pembuka jalan dan wawasan tentang kemasyarakatan dalam berbahasa yang ternyata banyak hal yang bisa digali dan diungkapkan dari tuturan-tuturan masyarakat yang di wilayah Indonesia ini sangat kaya dan beragam aspek, pola tutur, diglosia, maupun tindak tutur lainnya. Yang salah satunya adalah pilihan bahasa dan sikap berbahasa. Secara garis besar, pilihan bahasa yang berupa tindak tutur yang cenderung divergen atau reaksi mitratutur yang cenderung menolak atau bereaksi negative terhadap penuturnya ini dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu menolak secara langsung dan menolak secara tidak langsung.
Jawaban mitratutur yang dianggap menolak atau bereaksi negative terhadap
penutur ini jika dalam dalam kaempatt yang diungkapkannya terdapat kata tidak atau yang sejenis dengan kata tersebut, seperti ora, ndak, ogah, dan lain-lain. Sebaliknya, sebuah jawaban atau reaksi positif terhadap penutur jika terdapat kata
ya
atau yang sejenis.
Misalnya, baik atau silakan. Namun demikian, selain dua bentuk jawaban tersebut terdapat jawaban yang tidak tersurat seperti responden/ mitratutur hanya diam atau tidak memberikan jawaban, inipun dikategorikan sebagai sebuah bentuk penolakan atau reaksi negative. Hal ini peneliti kategorikan demikian karena berkaitan dengan latar belakang budaya dari responden yang sebagian besar berlatar belakang Jawa dan SUnda yang dalam budaya kedua etnik ini jika kesulitan mengungkapkan jawaban yang cenderung negative, mereka akan memilih diam atau tidak bereaksi. Dengan demikian jawaban diam atau tidak menjawab dari mitratutur, peneliti anggap pula sebagai sebuah jawaban negative atau menolak.
Yang peneliti dapatkan di desa PArean Girang ini bahwa para penutur yang menuturkan sikap dan bahasa menolak sebagai reaksi terhadap teman tuturnya bisa beragam, karena beberapa hal, yaitu antara lain perbedaan asal suku bangsa (Sunda, Jawa Indramayu, Cirebon, serta ada pula yang sudah campuran); perbedaan latar belakang pendidikan secara garis besarnya pendidikan warga Parean Girang merupakan masyarakat yang sudah mengenal pendidikan yang lebih tinggi, namun mengingat kondisi social yang umumnya cenderung menengah ke bawah (umumnya mereka bermata pencaharian petani kecil, nelayan kecil, pedang, tukang beca atau sopir dan kernet) sehingga hanya sebagian kecil yang bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian factor ini un nampaknya memengaruhi tinak tutur mereka.
DAFTAR PUSTAKA Fasold, Ralph.19….Linguistik of Society. Aminudin.2001.