Bahasa manusia menjadi elemen par excelent bagi eksistensi manusia. Bahasa mampu mengungkapkan ide manusia dan menjangkau realitas-realitas yang abstrak. Bahasa sebagai sarana komunikasi tidak hanya dibatasi oleh struktur sintaksis dan makna literal. Bahasa juga berisi pragmatik dan penggunaan bahasa-bahasa perbandingan. Metafora adalah realitas kebahasaan yang unik. Metafora berperan dalam berbagai aspek kehidupan manusia yang memungkinkan manusia memperluas khazanah budaya dan pengetahuan yang menjangkau realitas abstrak berdasarkan asosiasi terhadap pengalaman empirik. Tulisan mengkaji keagamaan melalui penggunaan metafora. Seperti halnya semiotika dan hermeneutika, metafora patut diperhitungkan dalam kajian agama di masa mendatang.
Metafora: Bahasa, Makna, dan Agama Oleh Endang Rumaningsih*
Kata Kunci: bahasa, metafora, makna, agama, analogi.
Pendahuluan Ketika Allah menciptakan manusia, Malaikat mempertanyakan arti penting eksistensi manusia. Allah mengajarkan kepada manusia manusia pengetahuan tentang nama-nama. Malaikat tidak memiliki keistimewaan sebagaimana dianugerahkan kepada manusia. Mereka hanya bisa mengakui bahwa pengetahuan mereka terbatas. Dengan anugerah itu, manusia meneguhkan eksistensinya sebagai khalifah di muka bumi.1 Kisah mengenai penciptaan manusia itu secara implisit mengakui pengetahuan mengenai nama-nama sebagai bagian penting bagi keberadaan manusia. Nama-nama tersebut dalam bahasa semiotika boleh jadi disebut dengan pengetahuan mengenai tanda-tanda (signs). Bahasalah adalah sebutan lain bagi nama-nama tersebut. Bahasa membedakan manusia dengan makhluk lain. Taufiq Pasiak menunjukkan bahwa otak manusia mengandung bagian-bagian yang khusus berkaitan dengan persoalan bahasa, yang tidak ditemukan dalam otak binatang.2 Pemahaman bahasa dan kemampuan berujar adalah potensi yang dibawa manusia semenjak lahir. Potensi dan kemampuan mengekpresikan bahasa itulah yang membuat manusia mampu menciptakan kebudayaan dan
mendokumentasikan pencapaian-pencapaian budayanya yang tinggi sehingga dapat ditransformasikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Selain berperan sebagai sarana berpikir dan mengkomunikasikan ide, bahasa juga mengandung misteri yang menarik untuk dikaji. Bahasa dipandang sebagai lambang yang arbitrer dan dipahami berdasarkan konvensi sosial. Arbitraritas bahasa terjadi karena penyusunan fonem menjadi sebuah morfem tidak dapat dipahami alasannya sehingga semua susunan fonem yang membentuk morfem hanya bisa dilihat sebagai sesuai yang telah begitu adanya. Bahasa juga bersifat sosial karena orang berbicara, mendengar, menulis, atau membaca menurut dengan menggunakan bahasa yang telah diberikan oleh masyarakat. Kalau individu ingin berbicara mengenai diri sendiri dengan tanpa melibatkan masyarakatnya, ia tetap saja menggunakan bahasa yang tunduk kepada konvensi sosial.3 Persoalan muncul ketika bahasa harus mengacu kepada realitas yang berada di luar lingkaran sosial, yaitu realitas gaib atau realitas ketuhanan. Agama mengajarkan bahwa eksistensi Tuhan berbeda dengan eksistensi makhluk. Pembedaan makhluk dan Khalik meniscayakan perbedaan total semua segi yang ada pada mahkluk dengan apa yang ada pada Tuhan. Alquran menyebutkan bahwa Tuhan laysa kamitslihi syai’ (tiada sesuatu yang sama dengan-Nya), baik dalam wujud, sifat, maupun perbuatanNya. Tuhan adalah “ada” (wujud) yang unik dan transenden, sehingga bahasa apapun yang digunakan untuk mendeskripsikan-Nya tidak akan pernah mampu merepresentasikan eksistensi-Nya secara memadai. Permasalahan yang muncul, manusia memahami segala sesuatu berdasarkan pola asosiasi. Manusia selalu berusaha memahami sesuatu berdasarkan pengetahuan sebelumnya yang ia miliki. Alquran menggunakan pola berfikir manusia tersebut dalam memberikan informasi mengenai Tuhan dan alam gaib. Tuhan melalui bahasa dipersonifikasikan dan secara tidak langsung dimakhlukkan karena itulah cara manusia untuk memahami eksistensi Tuhan. Realitas yang transenden harus dipahami dengan menggunakan jembatan realitas yang konkrit. Pengetahuan mengenai makhluk digunakan untuk memproyeksikan Tuhan, meskipun diupayakan tidak mengarah kepada pemakhlukan Tuhan. Persoalan mengenai relasi bahasa dengan eksistensi transendental (gaib) telah menjadi perdebatan di kalangan teolog Islam semenjak lama. Sebagian teolog mencoba memberikan penafsiran dan mencari makna kedua dari bahasa Alquran. Kaum Asy’ariyah, misalnya, menakwilkan ayat kata yadullah (tangan Allah) dalam yadullahi fawqa aydihim (tangan Allah di atas tangan mereka) dengan kekuasaan Allah.4 Sementara itu, sebagian teolog menolak memberikan ta’wil terhadap kata-kata semecam itu dan memilih untuk membiarkan kata-kata tersebut dalam status quo.
Makalah ini tidak bermaksud untuk terlibat di dalam perdebatan teologis, melainkan mencoba melihat bagaimana bahasa bekerja untuk mengenali realitas transendental tersebut. Pembicaraan mengenai cara kerja bahasa semacam itu akan melibatkan sebuah tema besar bahasa, yaitu metafora. Metafora adalah mode yang digunakan manusia untuk mengenali satu realitas melalui analogi dengan realitas lainnya. Keberadaan metafora inheren dalam bahasa manusia, tetapi ia masih menjadi sebuah teka-teki dalam ranah kebahasaan. Eksistensi metafora sekilas tampak seperti penyimpangan dari konvensi awal makna kata atau bahasa.
MetaforaSebagaiFenomenaKebahasaan Kajian metafora semakin mendapatkan posisi penting karena tumbuhnya kesadaran bahwa bahasa bukan hanya sekedar cerminan realitas, melainkan juga pembentuk realitas. Metafora adalah sebuah fenomena kebahasaan yang berlaku dalam tataran semantik. Metafora terkait dengan relasi antara satu kata dengan kata lain dalam membentuk sebuah makna. Manusia memiliki kemampuan dan kreativitas untuk menciptakan dunia lambang untuk menandai realitas, baik abstrak maupun kongkrit. Kreativitas manusia dalam penciptaan lambang tersebut menghasilkan berbagai bentuk bahasa, seperti bahasa natural (bahasa yang digunakan dalam kehidupa sehari-hari), bahasa artifisial (bahasa komputer), dan bahasa simbolis (bahasa matematika dan logika). Salah satu kreativitas berbahasa manusia itu terwujud dalam metafora. Metafora berarti menembus, maksudnya menembus makna linguistik5. Metafora tergolong bahasa kiasan (majas), seperti perbandingan, tetapi tidak mempergunakan kata pembanding. Metafora menyatakan sesuatu hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama.6 Metafora oleh Aminuddin dipandang sebagai bentuk bahasa yang khas, dan bisa juga aneh karena relasi kata dalam metafora melampaui batas relasi bahasa secara literal yang telah disepakati bersama dalam komunikasi keseharian. Metafora ditandai dengan penggantian ciri relasi, asosiasi, konseptualisasi, dan analogi dalam penataan hubungannya. Aminuddin memberikan contoh kalimat dalam puisi Gunawan Muhammad: tahun pun turun membuka sayapnya. Kata sayap yang mulanya mempunyai relasi khusus dengan burung kemudian dihubungkan dengan tahun melalui pola asosiasi. Pergantian tahun dipandang memiliki kesejajaran dengan terbukanya sayap burung yang menandai perjalanan atau gerak burung.7 Metafora selama ini dikaitkan dengan pengkajian bahasa puisi dan bahasa sastra. Teori sastra mengenal adanya pemajasan (figure of thought), yaitu teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan yang maknanya
tidak menunjuk kepada kepada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan kepada makna yang tersirat. Pemajasan merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa analogi. Dalam pemajasan, masih ada hubungan antara makna kata sebenarnya dengan makna kiasannya, tetapi makna tersebut harus ditafsirkan oleh pembaca. Pemajasan dipandang sebagai penyimpangan bahasa atau makna, tetapi pemakaian bentuk analogi tersebut dimaksudkan untuk membangkitkan kesan atau suasana tertentu. Metafora adalah ragam pemajasan yang menggunakan gaya perbandingan yang implisit dan tidak langsung. Hubungan antar kata bersifat sugestif, tanpa kata-kata yang menunjukkan perbandingan secara jelas.8 Penggunaan metafora tidak terbatas dalam bahasa sastra, melainkan juga dalam bahasa keseharian. Metafora berjasa dalam penciptaan istilahistilah baru, seperti kaki kursi, kepala pasukan, mata angin, sayap pesawat, dan sebagainya. Kata-kata tersebut pada mulanya bekerja secara analogis. Penyangga kursi dianalogikan dengan kaki, pimpinan pasukan dianalogikan dengan kepala, penjuru angin dianalogikan dengan mata, dan bagian pinggir sayap yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan dianalogikan dengan sayap. Karenanya, ada ahli linguistik yang berkeberatan jika metafora dipandang sebagai penyimpangan terhadap praktek kebahasaan yang normal. Kata-kata kaki kursi, kaki gunung, dan leher botol berlaku secara analogis dengan tubuh manusia. akan tetapi, kata-kata tersebut tidak lagi dirasa sebagai metafora sehingga disebut dengan metafora mati (dead metaphor).9 Wellek dan Warren menyarankan agar dibedakan antara metafora sebagai prinsip kebahasaan dengan metafora yang khas puisi. Metafora pertama menjadi ladang bagi ahli tata bahasa dan metafora kedua menjadi ladang ahli retorika. Ahli tata bahasa menilai kata berdasarkan etimologinya, sedangkan ahli retorika menilai kata berdasarkan dampaknya terhadap pendengar.10 Perbedaan mendasar antara metafora dalam karya sastra dengan metafora dalam bahasa keseharian (sebagai prinsip kebahasaan) adalah apabila yang pertama umumnya bersifat perseorangan, maka yang kedua berkaitan dengan motivasi sosial yang sesuai dengan arbitraritas simbol kebahasaan11. Wellek dan Warren mengajukan empat elemen dasar dalam konsepsi metafora, yaitu elemen analogi, elemen, visi ganda, elemen imaji sensual, dan proyeksi animistik. Elemen terakhir dimasukkan barangkali karena, menurut Heinz Werner, metafora menjadi aktif pada masyarakatmasyarakat primitif yang memiliki tabu. Wellek dan Waren menyadari bahwa empat elemen tersebut tidak mungkin secara merata hadir karena perbedaan sifat dari satu bangsa ke bangsa lainnya. Orang-orag GrecoRoman cenderung membatasi metafora sebagai analogi, sementara orangorang Teutonic lebih menekankan pada simbol imaji.12
Berdasarkan pengkajian kepada elemen-elemen dasar metafora tersebut, boleh jadi setiap ujaran bahasa mungkin mengandung metafora. Metafora dalam kreasi sastra umumnya bersifat personal, sementara dalam komunikasi keseharian bersifat sosial. Metafora terjadi karena adanya perubahan makna literal ke makna metaforal. Pengalihan tersebut terjadi dalam tataran semantik berdasarkan kemiripan persepsi makna.13 Hal itu terjadi karena bahasa bekerja melalui proses penggantian satu realitas ke realitas lain. metafora dapat membantu menciptakan dan mempertahankan pandangan dunia. Metafora dapat melahirkan wawasan yang baru dan pencerahan yang segar.14 Metafora sangat terkait dengan budaya masyarakat karena metafora lahir dan tumbuh dari pengalaman. Pengalaman itulah yang menjadi sumber terbentuknya metafora yang membingkai cara pandang dan pola pikir masyarakat. Menurut Gibbs, hubungan metafora dan pemikiran kognitif melampaui pikiran individu, tetapi menyebar ke seluruh lini budaya. Menurutnya, para ahli bahasa dan antropolog berpendapat bahwa kehadiran metafora secara sistematik bukan hanya perwujudan operasi struktur mental individu, melainkan kerja berbagai pola budaya. Model budaya secara intersubyektif berbagai skema kultural yang berfungsi untuk menafsirkan pengalaman dan membimbing tindakan dalam ragam domain yang luas, termasuk peristiwa-peristiwa, pranata-pranata, dan obyek mental.15 Model budaya bagi “kemarahan”, misalnya, menunjukkan betapa struktur metafora tidak hanya bagaimana individu dalam masyarakat bahasa mengkonseptualisasikan pengalaman marah mereka, melainkan juga menunjukkan bagaimana metafora membentuk pengetahuan budaya tempat individu berbagai dalam komunitas budaya.16Model ekspresi menggunakan metafora adealah ciri khas orang dewasa. Ada banyak variasi pemakaian metafora pada banyak orang yang ditentukan oleh tingkat kedewasaan dan pergulan sosial. Penelitian Michele Emanatian17 terhadap hubungan metafora dengan model budaya pada bahasa Chagga di Tanzania menunjukkan adanya keterkaitan antara metafora dan budaya di sana. Emanatian menemukan bahwa ada kecenderungan bahasa Chagga untuk mengasosiasikan hubungan seksual dengan makan, panas, dan binatang. Ia mengemukakan contoh-contoh berikut (kami kutipkan contoh metafora makan): Ngi kundiimla = Saya ingin memakannya (makna literal = Saya ingin berhubungan seks dengannya (makna metaforal) ngi’ichuo njaa (ia mndu mka = saya merasa lapar (terhadap perempuan) (literal) = saya menginginkan perempuan (metaforal)
Tidak berlebihan apabila ilmu sosial kemudian mempergunakan metafora dalam rangka memahami masyarakat. Kemampuan untuk mempersepsi hal-hal yang abstrak dalam kehidupan masyarakat dibentuk melalui analogi dengan benda-benda dan pengalaman-pengalaman yang nyata. Karenanya, pemahaman sosial tidak bisa dilepaskan dari pengalaman seorang ilmuwan. Teori sosial dapat muncul melalui proses metafora dengan membandingkan eksistensi masyarakat dengan eksistensi-eksistensi konkrit yang memiliki kesamaan. Parson menyamakan masyarakat dengan organisme biologis, Marx menggunakan merafora bangunan untuk memberikan analisis struktur sosial, dan Goffman menggunakan metafora panggung pertunjukan.18
CaraKerjaMetafora Metafora bekerja melalui penggunaan kesamaan dan ketidaksamaan secara bersamaan. Metafora adalah salah bentuk retorika yang menjadikan keserupaan sebagai alasan bagi penggantian kata figuratif atas hilangnya atau ketiadaan kata literal. Perjalaan panjang teori metafora, menyisakan beberapa logika untuk memahami bagaimana metafora bekerja. Menurut Ricouer, ada proposisi yang dapat menunjukkan tradisi panjang metafora dalam ranah pemikiran manusia yang telah dimulai semenjak Aristoteles:19 1. metafora adalah sebuah kiasan; 2. metafora merepresentasikan perluasan makna dari suatu nama (tanda) melalui penyimpangan atas makna literal; 3. alasan penyimpangan terhadap makna literal itu adalah keserupaan; 4. fungsi penyerupaan adalah untuk memberikan landasan pergantian makna literal; 5. pergantian makna itu tidak memperlihatkan inovasi semantik apapun. 6. metafora tidak membawa informasi baru tentang realitas karena posisinya sebagai pengganti. Ujaran metafora terkait dengan hubungan antara kata dan makna kalimat, di satu sisi, dan makna pembicara atau makna ujaran, di sisi lain. Hubungan antara makna kalimat dengan makna ujaran metaforal, menurut Searle, bersifat sistematis. Tugas untuk memahami teori metafora adalah mencoba menyatakan prinsip-prinsip yang menghubungkan makna literal kalimat terhadap makna literal ujaran. Pengetahuan yang memungkinkan manusia menggunakan dan memahami ujaran metaforal berlaku melampaui pengetahuannya mengenai makna literal kata dan kalimat. Persoalan dalam memahami metafora adalah bagaimana manusia memahami makna ujaran pembicara melalui kalimat yang ia dengar, padahal kalimat tersebut menggunakan makna kata dan makna kalimat.20
Pemaknaan metafora dapat dipahami sebagai hasil dari asosiasi pada tatanan paradigmatik. Sunardi memasukkan pengkajian metafora sebagai bagian akhir pengkajian semiotika, yaitu pengkajian mengenai signification (sistem pemaknaan). Metafora masuk dalam pengkajian sistem semiotik pada tingkat kedua (non-linguistik language). Pentingnya makna dalam metafora, juga dalam metonimi, tidak dilihat dari makna itu sendiri melainkan dari fungsinya dalam mengolah desire.21 Cara kerja metafora didasarkan atas pencarian lambang-lambang lain (yang mengandung makna ujaran pembicara) dalam satu tataran paradigmatik yang memiliki kesamaan dengan lambang yang digunakan sebagai metafora. Lambang-lambang lain adalah lambang-lambang yang menunjukkan makna metaforal yang dimaksud oleh ujaran. Lambanglambang lain itu berada pada tataran makna tingkat kedua, yang meskipun berbeda dengan ujaran kalimatnya tetapi merupakan makna yang menjadi tujuan pembicara. Lambang lain itu disebut dengan tenor. Sementara itu, lambang-lambang yang digunakan sebagai makna kata atau kalimat secara literal disebut dengan vehicle. Singkatnya, metafora terdiri atas dua term atau bagian, yaitu term pokok dan term sekunder. Term pokok disebut sebagai tenor dan term sekunder disebut dengan vehicle. Term pokok menyebutkan hal yang dibandingkan, sedangkan term kedua atau vehicle adalah hal yang digunakan untuk membandingkan. Contohnya adalah kalimat “Bumi adalah perempuan yang tua.” Term pokok kalimat tersebut yang berfungsi sebagai tenor adalah bumi. Term sekunder dalam kalimat tersebut adalah perempuan tua yang berfungsi sebagai sarana untuk analogi (vehicle).22 Ada metafora yang tidak menyebutkan tenornya. Pembicara atau penulis langsung menyebutkan term sekunder, tanpa menyebutkan term pokok. Metafora demikian disebut dengan metafora implisit.23 Metafora demikian memberikan ruang besar bagi penafsiran pembaca. Pembaca harus menggali sendiri tenor yang dianalogkan melalui bahasa metafora tersebut. Contohnya adalah “Kupu-kupu malam itu ditangkap polisi.” Kata “kupu-kupu malam” adalah vehicle yang tidak disertai penjelasan apa tenornya. Pembaca bisa melacak sendiri makna metaforal yang dikandung oleh vehicle. Lompatan makna dari makna literal ke makna metaforal dapat dipahami dengan merunut kata-kata yang berada dalam satu hubungan paradigmatik. Sebuah vehicle dapat diasumsikan mengandung berbagai kemungkinan dalam satu kelas kata. Pemahaman terhadap tenor melalui vehicle sangat penting artinya karena vehicle hanyalah sarana memahami hal lain. Pemahaman tenor melalui vehicle seringkali dilakukan dengan peloncatan pemaknaan. Contoh pemahaman melalui lompatan makna dalam hubungan paradigmatik dapat dilihat pada contoh berikut:24
Literal : Bunga yang kehilangan sari-sarinya itu akhirnya layu Bunga yang kehilangan sari-sarinya itu akhirnya layu Gadis harga dirinya tidak berharga Perawan kegadisannya terhina (pardigmatik (vertikal, selektif/asosiatif) Metaforal atau
= Gadis yang kehilangan harga dirinya itu akhirnya tidak berharga = Perawan yang kehilangan kegadisannya itu akhirnya terhina
Perpindahan makna dari kalimat literal kepada kalimat metaforal di atas terjadi pada tataran paradigmatik.25 Perpindahan pemaknaan dari kalimat literal kepada kalimat metaforal apabila kita gambarkan lebih lanjut ditentukan antara lain oleh keserupaan yang dikandung oleh makna literal. Contohnya tampak sebagai berikut: Vehicle : Bunga yang kehilangan sari-sarinya itu akhirnya layu
Tenor : Gadis yang kehilangan harga dirinya itu akhirnya tidak berharga Penggunaan analisis vehicle-tenor itu berjalan dengan prinsip mengungkapkan hal yang tidak kita kenal (tenor) dengan apa yang kita kenal (vehicle). Bukan berarti kata-kata gadis, harga diri, dan tidak berharga adalah hal-hal yang tidak dikenal dalam bahasa sehari-hari, melainkan bahwa pengungkapan metaforis memaksudkan sesuatu yang lain yang masih harus diinterpretasikan melalui penelusuran kata-kata yang dapat saling dipertukarkan yang dapat memperjelas makna yang dimaksud oleh metafora tersebut. Sekali lagi, pemahaman makna metafora melalui penelusuran kata-kata dalam satu tataran paradigmatik dilakukan karena metafora bekerja atas dasar kesamaan. Metafora dan metonim menurut Halliday memiliki hubungan yang bersifat sinonim. Ia lebih jauh menyatakan bahwa metafora biasanya digambarkan sebagai variasi dalam penggunaan kata.26 Pemahaman metafora bisa juga dilakukan melalui analisis strutur kalimat. Halliday menunjukkan bahwa metafora bisa terjadi melalui perubahan-perubahan struktur kalimat.27 Kita bisa memberikan contoh metafora melalui perubahan struktural dalam kalimat transitif: 1. Kita menjumpai bulan Ramadhan setiap tahun
2. Ramadhan menjumpai kita setiap tahun Kalimat pertama memiliki pengertian literal, yaitu kita (pelaku), menjumpai (materi) Ramadhan (fenomena), setiap tahun (waktu). Kalimat kedua memiliki pengertian metaforal, yaitu Ramadhan (senser/ pemberi rangsangan), menjumpai (persepsi mental), kita (fenomena). Pada kalimat pertama manusia mengalami proses menjumpai bulan Ramadhan. Kata menjumpai sebagai sebuah kata kerja transitif dilakukan melalui proses kesadaran. Pada kalimat pertama kata itu digunakan secara literal. Pada kalimat kedua bulan Ramadhan diperlakukan seperti manusia dan dipersepsikan mampu melakukan tindakan menjumpai. Kalimat literal ditransformasikan menjadi kalimat metaforal karena penggunaan kualitas tindakan manusia manusia untuk menunjuk sebuah peristiwa. Metafora pada dasarnya bisa berbentuk subyek, predikat, atau obyek. Sebuah kata berubah menjadi metafora ketika beroperasi di dalam kalimat. Ia bergeser menjadi makna kiasan berdasarkan hubungan yang terbentuk dalam struktur kalimat. Hubungan sintagmatik sangat menentukan bagaimana arti leksikal bergeser menjadi arti gramatikal. Kata “hitam” secara leksikal menunjuk kepada warna tertentu. Berhubungan dengan kata lain, baik sebagai frase atau kalimat, pengertian tersebut dapat bergesar dari arti semula. Contoh: Kambing+hitam = orang yang dipersalahkan Kuda+hitam = 1) kuda yang berwarna hitam 2) orang yang tidak diperhitungkan yang tampil menjadi pemenang
MetaforadalamKonsepsiKeagamaan Para ahli bahasa kognitif mengusulkan gagasan bahwa bahasa mencerminkan pemahaman metaforal terhadap berbagai bidang pengalaman. Berdasarkan pandangan itu, metafora bukan hanya sekedar alat, melainkan juga faktor pengorganisir sentral dalam bahasa dan kognisi. Metafora, menurut teori linguistik kognitif, adalah proses domain pengalaman seseorang terkonseptualisasikan menurut domain pengalaman lain. Metafora adalah hubungan sistematik berbagai ekspresi yang memetakan satu domain yang stabil untuk domain lainnya. Proses dasar dalam metafora adalah bahwa domain yang kongkrit dipetakan untuk domain yang lebih abstrak.28 Banyak ahli bahasa kognitif mencatat bahwa istilah-istilah yang sama yang menunjuk kepada penangkapan inderawi dapat digunakan secara metaforis untuk menunjukkan aspek tertentu dari pengetahuan atau pemikiran. Visi (penglihatan) digunakan untuk menunjuk pengetahuan atau pemahaman. Istilah-istilah visual merujuk kepada pemahaman atau pengetahuan, bukan kepada persepsi visual, contohnya dalam kalimat
berikut: “Aku melihat apa yang kamu pikirkan”. Dengan demikian, penglihatan diasosiasikan kepada pengetahuan yang lebih pasti dan langsung, sementara indera-indera lain lebih terasosiasi dengan pengetahuan tidak langsung. Indera peraba dan penciuman lebih mengandung konotasi emosional.29 Kepentingan untuk mengemukakan hubungan antara metafora dengan indera manusia akan semakin tampak dalam ranah keberagamaan. Ide-ide agama berpusat kepada keyakinan terhadap “ada” (wujud) transendental, wujud yang gaib. Upaya berkomunikasi dan memahami wujud gaib tersebut secara langsung akan melibatkan penggunaan metafora, apalagi jika wujud tersebut berbeda dengan segala realitas yang dipahami manusia. Dalam Islam, Allah adalah wujud yang secara total berbeda dengan segala realitas karena Dia pencipta, sedangkan realitas adalah ciptaan. Allah berbeda dengan apapun yang dipersepsikan oleh manusia (laysa kamitslihi syai’). Persoalannya adalah jika Allah benarbenar tidak bisa dipersepsi manusia dan tetap dibiarkan dalam misteri maka bagaimana orang beragama dapat memahami eksistensi dan peranNya. Metafora berperan dalam menjembatani misteri tentang Allah dengan realitas pemahaman manusia. Allah hanya akan dapat dipahami dan dirasakan eksistensinya apabila ia dapat dipahami oleh manusia. Oleh karena itulah Allah dipandang memiliki nama-nama yang menunjukkan sifat-sifat-Nya (Asma al-Husna). Semua nama-nama itu mengacu kepada kualitas yang sebenarnya dimiliki oleh manusia. Bukan berarti Allah kemudian dibendakan melalui nama-nama, melainkan nama-nama itu menjadi vehicle untuk menunjukkan karakteristik Allah yang misterius dan tidak diketahui (tenor). Allah disebut sebagai Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Raja dan sebagainya yang merupakan kualitas-kualitas manusia. Akan tetapi, pemeluk agama tidak akan berpendapat bahwa Allah melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, atau Raja di sebuah sebuah tempat tertentu. Pemahaman mengenai Tuhan melalui kualitas manusia dilakukan dengan prinsip perbedaan dan persamaan untuk menghubungkan dunia yang tidak diketahui dengan dunia yang diketahui. Kualitas Melihat yang dimiliki Allah dipersamakan dengan kualitas melihat yang dimiliki oleh manusia, tetapi dipahami bahwa kedua kualitas tersebut berbeda secara mendasar. Alquran juga menggunakan metafora yang tidak disertai penjelasan mengenai. Alquran menyatakan bahwa “Allah adalah cahaya langit dan bumi”. Ayat tersebut secara teologis bertentangan dengan ayat laysa kamitslihi sya’i karena cahaya adalah makhluk. Pemahaman dangkal terhadap ayat “Allah adalah cahaya langit dan bumi”30 akan menjadikan antrophormisme, memakhlukkan Tuhan. Mau tidak mau ayat di atas harus dipahami sebagai sebuah metafora. Allah dalam ayat di atas berposisi
sebagai tenor, sedangkan cahaya langit dan bumi menjadi vehicle. Apabila kalimat di atas dikeluarkan kata-kata perbandingannya akan berbunyi: “Allah ibarat/laksana cahaya langit dan bumi.” Al-Ghazali memperingatkan agar kata cahara (nur) dalam surat alNur ayat 35 itu tidak dipahami dalam kaitannya dengan mata lahiriyah. Mata lahiriyyah menurutnya memiliki berbagai kelamhan Ia membagi mata menjadi dua, yaitu mata lahir dan mata batin. Mata lahir terkait dengan alam-alam inderawi, sedangkan mata batin terkait dengan ketuhanan.31 Al-Ghazali mencoba untuk mentransformasikan pemahaman bahasa yang secara literer merujuk kepada realitas kongkrit menuju pemahaman lain yang abstrak. Secara tidak langsung al-Ghazali telah menempatkan kata cahaya sebagai vehicle untuk menunjuk kepada sesuatu yang misterius. Hubungan antara tenor dan vehicle dalam metafora dapat dijembatani dengan kata-kata perbandingan, yaitu dengan kata seperti, laksana, seumpama, dan sebagainya. Apabila hubungan antara tenor dan vehicle dalam kalimat diperantarai dengan kata-kata perbandingan, maka kalimat perbandingan semacam itu disebut dengan simile. Melalui pemahaman terhadap titik-titik yang menjadi perbandingan, akan dapat diraba maksud yang dikandung oleh metafora tersebut. Perbandingan mengenai esensi Tuhan dengan menggunakan cahaya langit dan bumi tentu memiliki sebuah alasan, mengapa harus cahaya? Mengapa cahaya langit dan bumi, bukan cahaya yang lain? Metafora bermain lebih jauh dalam perumusan kosmologi dan etika keagamaan. Perbedaan ruang (kuantitas) antara “atas” dan “bawah” dijadikan vehicle untuk berbagai pengalaman sosial. Pengalaman fisik yang kongkrit dipakai untuk memahami pengalaman sosial yang abstrak. Penggunaan pengalaman fisik untuk memahami hal-hal yang abstrak dapat dipahami karena perkembangan akal manusia didahului oleh tahap pencerapan kesan-kesan inderawi. Konsep dibentuk berdasarkan pola asosiasi dan perbandingan dengan dunia konkrit. Perkembangan ide-ide abstrak muncul lebih kemudian dibandingkan ide-ide mengenai hal-hal yang konkrit.32 Budaya membantu penanaman ide-ide yang abstrak dalam diri individu melalui proses sosialisasi. Ide-ide abstrak dipahami karena nilainilai masyarakat dilestarikan melalui simbol-simbol. Keberagamaan sebagai bagian dari budaya manusia tidak dapat dilepaskan dari ide-ide abstrak. Bukan kebetulan apabila Tuhan menggunakan bahasa simbolik dalam Alquran untuk mengungkapkan realitas metafisika yang tidak mungkin dijabarkan kepada manusia tanpa melalui konvensi kebahasaan yang dimiliki oleh manusia. Pada taraf itu, bahasa simbolik mengeksplorasi kesamaan antara realitas metafisika dengan realitas fisika, tetapi eksplorasi tersebut tetap menegaskan adanya perbedaan fundamental antara dua realitas tersebut.
Logika yang bermain dalam ranah kognisi manusia ketika memahami realitas metafisika dan fisika umumnya adalah logika “atas-bawah”. Logika atas-bawah adalah logika kuantitatif karena manfaatkan pembedaan berdasarkan ruang. Logika tersebut kemudian digunakan untuk membangun bingkai pemahaman mengenai nilai-nilai-nilai yang bersifat kualitatif. Tuhan secara kualitatif dipersepsikan sebagai “Yang di Atas”, penguasa atau pejabat yang lebih senior disebut dengan “atasan”, selera estetik yang baik disebut dengan “selera tinggi”, kelompok orang-orang kaya dikategorikan “kelas atas (high class), sebaliknya orang yang tidak berbudi pekerti disebut orang yang rendah. Menurut Wardoyo, penggunaan rumusan “atas” dan “bawah” dalam konsepsi pemahaman manusia mengenai hal-hal yang abstrak tidak bersifat netral. Manusia berpikir bahwa perbedaan antara manusia dengan hewan salah satunya adalah berdiri pada kaki belakang, sebagai bagian dari evolusi. Kata atas (Up) selalu bernilai positif, sehingga meskipun perbedaan kelas sosial atau kosmologi keagamaan bisa dipikirkan secara horizontal dari kiri ke kanan, tetapi kenyataannya dipikirkan secara vertikal. Pembagian sosial didasarkan atas logika yang sama, seperti kelas atas dan kelas bawah.33 Logika “atas-bawah” menjadi landasan bagi metafora yang menyangkut dimensi ketuhanan dan alam metafisika. Tuhan dipersepsikan sebagai “Yang di Atas”, Alquran dipersepsikan turun dari atas, Malaikat pun turun ke bumi dari atas, dan Adam ketika melakukan pelanggaran harus turun dari surga ke dunia (bawah). Metafora “atas-bawah” itu dipakai secara luas untuk memahami abstraksi keragaman sosial dan keagamaan, seperti Tuhan, kehidupan, kesehatan, moral, posisi sosial, dan selera seni. Metafora berjalan secara ideologis, tidak alami. Memahami Tuhan, makhluk gaib, moral melalui metafora adalah cara membangun nilainilai dominan dalam masyarakat. Logika atas bawah dalam ranah keagamaan juga diakui oleh Ibnu Taimiyyah. Ia berpendapat bahwa Tuhan mensifati diri-Nya sendiri dengan ketinggian (al-‘uluw). Sifat “Tinggi” tergolong sifat pujian dan penghormatan. Sifat-sifat Allah selalu berupa kesempurnaan dan pujian. Karena itu, Allah tidak mungkin memiliki sifat “rendah”, atau sifat-sifat lain yang bertentangan dengan keluhuran yang melekat kepada-Nya. Ibnu Taimiyyah menentang orang yang berpendapat bahwa Allah berada di setiap tempat karena koherensi pendapat demikian membawa kepada pendapat bahwa Allah berada di atas atau di bawah. Ia berkeberatan dengan pendapat yang memungkinkan konsekuensi bahwa Allah memiliki sifat “bawah”. Ia menegaskan bahwa Allah bersifat tinggi tanpa relasi dengan sesuatu apapun. Relasi berarti membatasi kekuasaan Tuhan dengan eksistensi makhluk-Nya.34
Pemahaman terhadap realitas metafisika melalui analogi tidak dapat dielakkan. Persoalan yang muncul bukanlah apakah analogi tersebut sah atau tidak menurut bahasa, melainkan bagaimana analogi itu dipahami dengan benar. Sejarah pemikiran Islam tidak lepas dari perbedaan pendapat tentang bagaimana bahasa metafora harus dipahami.
Penutup Metafora tidak bisa dilepaskan dari cara pandang manusia terhadap diri dan dunianya. Metafora memberikan sumbangan memperluas pemahaman manusia, pembentukan pengetahuan, dan pelestarian nilainilai ideogis dalam sebuah komunitas manusia. Metafora adalah sebuah misteri bahasa yang menjadi kekayaan khazanah kebudayaan manusia. Manusia sebagai makhluk pemberi makna selalu membutuhkan makna dan selalu memberi makna kepada realitasnya, bahkan dalam situasi keterbatasan lambang-lambang yang ia miliki. Metafora juga mengandung nilai estetika yang memungkinkan komunikasi terjalin dengan nuansa emotif yang kuat. Makalah ini hanyalah sebuah awal untuk pengkajian metafora dalam ranah pemikiran dan pemahaman manusia. Dalam tradisi kebahasaan, semiotika, dan hermeneutika telah terlebih dahulu mendapatkan kehormatan digunakan dalam pengkajian agama Islam. Agaknya masih banyak sudut dan metode yang bisa digali untuk semakin memperluas pengkajan agama yang akan bermanfaat bagi kemanusiaan. Metafora, sebagaimana tampak dalam uraian di atas, sangat erat dengan konsep dan cara beragama manusia. Oleh karena itu, metafora layak untuk diberi kehormatan untuk dieksplorasi guna pengkajian agama Islam.[]
Catatan Akhir Penulis adalah dosen Bahasa Indonesia Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang 1 Kisah mengenai penciptaan manusia tersebut terdapat dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 33. Kisah penciptaan Adam bersifat sangat simbolik. Dialog yang menegaskan keunggulan Adam atas Malaikat melalui penguasaan dan pengetahuan terhadap nama-nama dapat dipahami sebagai kemampuan manusia memahami tanda-tana (signs), termasuk tanda bahasa. 2 Taufiq Pasiq menunjukkan bahwa berdasarkan penelitian para ahli diketahui bahwa kemampuan berbahasa adalah kemampuan khas yang dimiliki oleh bangsa manusia. Ia, berdasarkan penelitian para ahli, menunjukkan bahwa hanya otak manusia yang memiliki wilayah-wilayah *
yang terkait dengan bahasa. Bukti-bukti itu bagi Paisak meneguhkan keyakinan bahwa berbahasa adalah anugerah Tuhan kepada manusia, sebagaimana diceritakan dalam surat al-Baqarah ayat 33 di atas. Pasiak, Taufiq. Revolusi IQ/EQ/SQ: Antara Neurosains dan Al-Quran. Bandung: Mizan, 2003. h.146-147 3 Bahasa sebagai tanda, menurut Saussure, memiliki tiga karakteristik khas, yaitu arbitrer, sistematik, dan konvensional. Arbitrer maksudnya adalah bahwa penyusunan fonem sehinga menjadi kata tidak dapat dipahami alasannya. Kata bersifat given (sebagaimana adanya dalam kenyataan) dan tidak dapat dinalar mengapa kata buku yang digunakan untuk menunjuk kepada alat menulis, bukan luku, tuku, suku atau sunu. Kombinasi tersebut terbentuk secara konvensional. Kata buku dapat menunjuk kepada realtas suatu alat tulis didasarkan kepada konvensi masyarakat pengguna. Sistematik berarti bahwa setiap bahasa memiliki sistem yang ketat dalam pemanfaatan bunyi. Kata buku untuk menunjuk sebuah alat tulis menulis tidak dapat digantikan dengan kata luku, suku atau suki karena susunan itu bersifat sistematik. A. Teeuw. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 1984. h. 4445 4 Contoh diskursus mengenai sifat-sifat Allah dapat dibaca dalam tafsir Ibnu Taiymiyyah yang berjudul al-Tafsir al-Kabir. Juz VI. Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah. tth. 124-143. 5 Sunardi mengkaji metafora dalam konteks semiotika, yaitu dalam bab pemaknaan terhadap tanda-tanda. Meskipun semiotika yang menjadi pokok bahasa adalah semiotika Barthes, tetapi tulisan Sunardi memiliki arti penting dalam pengkajian semiotika secara umum. Sunardi. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. 2002. h. 87 6 Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press. 2002. h. 66-67. Pemahaman bahwa metafora adalah sebuah pemajasan atau kiasan, menurut, Ricouer termasuk pandangan tradisional mengenai metafora yang dapat dilacak pemikirannya sampai kepada Aristoteles. Lihat Paul Ricouer. Filsafat Wacana: Membalah Makna dalam Anatomi Bahasa. Diindonesiakan oleh Musnur Hery. Yogyakara: IrciSoD. 2002. h. 106. 7 Aminuddin. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algesindo. 2001. h. 112-113) 8 Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press, 2002. h. 296-299) 9 Wellek, Rena dan Austin Warren, Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World INC, 1970. h. 195-196. Pembagian metafora antara yang masih aktif dan yang telah tidak dipandang sebagai metafora (dead) terkadang menjadi dasar pemikiran bahwa bahasa awalnya dibentuk melalui model analogi. Karena bahasa berasal dari pengalaman,
maka pembentukan bahasa berjalan seiring dengan pengalaman manusia. Istilah-istilah baru dan kata-kata abstrak dibentuk berdasarkan analogi terhadap pengalaman terhadap benda-benda lain. 10 Ibid. h. 196 11 Todorov melalui Aminuddin, Semantik…h. 113-114 12 Wellek dan Warren. The Theory….. h. 196-197 13 Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2004. h. 98 14 Sarup, Madan. Post-Structuralisme and Postmoderisme: sebuah Pengantar Kritis. Alihbahasa: Medhi Aginta Hidayat. 2003 15 Lihat Gibbs and Steen (ed.). Gibbs, Raymond and Gerard J. Steen. Metaphor in Cognitive Linguistics. Amsterdam:John Benyamins Publishing Company. 1999. 1997. h. 146 16 Ibid. 1997. h. 153 17 Ibid. 1997. h, 205-216 18 Sarup. Post-Structuralisme….. h. 82 19 Ricouer. Filsafat…. H. 108-109. 20 Ortony, Andrew. Metaphor and Thought. Cambridge: Cambridge University Press. 1980. h. 93-94. 21 Sunardi, Semiotika…: 83-90 22 Pradopo. Pengkajian…h. 66 23 Ibid. 67 24 Model analisis metafora yang digunakan dalam tulisan ini menggunakan model yang dicontokan oleh Subur Wardoyo dalam Teori dan Praktik Semiotika Sastra, Lihat Subur Wardoyo Teori dan Praktik Semiotika Sastra. Diktat Perkuliahan Jurusan Sastra Program Pascasarjana Universitas Diponegoro tahun 2004, h. 18-19 25 Paradigmatik adalah salah satu dai ragam hubungan antar tanda. Sunardi membagi hubungan antara tanda menjadi tiga, yaitu simbolik, paradigmatik, dan sintagmatik. Hubungan paadigmatik melihat hubungan tanda sebagai kelas dan bersifat anakronis, sebaliknya hubungan sintagmatik bersifat diakronis. Kedua hubungan simbol (paradigmatik dan sintagmatik) sangat penting dalam mengkaji metafora. Lihat St Sunardi, Semiotika… 26 Halliday, M.A.K. An Introduction to Functional Grammar. Baltimore: Edward Arnold. 1985. h. 320 27 Ibid. h. 319-345 28 Balaban dalam Gibbs dan Steen. Metaphor …h. 131 29 Ibid. h. 132 30 Alquran surat al-Nur ayat 35. 31 Al-Ghazali. Misykah al-Anwar. dalam Majmu’ Rasail al-Imam alGhazali. Beirut: Dar al-Fikr. Cet. I, 1996. h. 272-273. al-Ghazali mengkaji mengenai cahaya Tuhan sebagai bentuk pemaknaan yang bertingkat.
Menurutnya akal tidak berada dalam satu level. Akal memiliki berbagai level. Konsekuensinya, pemahaman terhadap istilah cahaya dalam bahasa Alquran tersebut akan bertingkat-tingkat sesuai dengan derajat akal manusia. Secara tidak langsung al-Ghazali ingin mengatakan bahwa ada makna kedua dalam ayat-ayat Alquran yang tidak merujuk kepada makna lahiriyah, melainkan makna batin al-Quran. 32 Ibid. h. 130 33 Wardoyo, Teori….h. 20 34 Ibnu Taimiyyah. Tafsir…h. 112-123.
DAFTAR PUSTAKA al-Ghazali. Misykah al-Anwar. dalam Majmu’ Rasail al-Imam al-Ghazali. Beirut: Dar al-Fikr. Cet. I, 1996 Aminuddin. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algesindo. 2001. Gibbs, Raymond and Gerard J. Steen. Metaphor in Cognitive Linguistics. Amsterdam:John Benyamins Publishing Company. 1999. Halliday, M.A.K. An Introduction to Functional Grammar. Baltimore: Edward Arnold. 1985. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2004 Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press, 2002. Ortony, Andrew. Metaphor and Thought. Cambridge: Cambridge University Press. 1980. Pasiak, Taufiq. Revolusi IQ/EQ/SQ: Antara Neurosains dan Al-Quran. Bandung: Mizan, 2003. Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press. 2002 Ricouer, Paul. Filsafat Wacana: Membalah Makna dalam Anatomi Bahasa. Diindonesiakan oleh Musnur Hery. Yogyakara: IrciSoD. 2002. Sarup, Madan. Post-Structuralisme and Postmoderisme: sebuah Pengantar Kritis. Alihbahasa: Medhi Aginta Hidayat. 2003. Sunardi. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. 2002.
Taiymiyyah, Ibnu. al-Tafsir al-Kabir. Juz VI. Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah. tth. Teew, A. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 1984. Wardoyo, Subur. Teori dan Praktik Semiotika Sastra. Diktat Program Pascasarjana UNDIP tahun 2004. Wellek, Rena dan Austin Warren, Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World INC, 1970.