SEMANTIK Teori Memahami Makna Bahasa
SEMANTIK Teori Memahami Makna Bahasa
Dr. Mohamad Jazeri, M.Pd
STAIN Tulungagung Press
SEMANTIK Teori Memahami Makna Bahasa Penulis: Dr. Mohamad Jazeri, M.Pd. Cetakan, Juli 2012 Penerbit: STAIN Tulungagung Press Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung Telp. (0355) 321513, Fax (0355) 311656, E-mail:
[email protected] ISBN xxx-xxx-xxxx-xx-x
KATA PENGANTAR
Bahasa tumbuh dan berkembang karena kebutuhan manusia untuk berinteraksi. Agar interaksi berjalan lancar dan tidak terjadi hambatan apalagi kesalahpahaman, diperlukan konvensi dalam memahami makna bahasa. Meski pada awal pertumbuhannya bahasa bersifat manasuka (arbitrer), dalam penggunaannya diperlukan konvensi bersama antara pengguna bahasa. Itulah sebabnya mengapa bahasa bersifat manasuka, dinamis, dan konvensional. Dikatakan manasuka karena antara lambang dan acuan tidak memiliki hubungan logis. Sifat dinamis berkaitan erat dengan manusia sebagai penemu dan pengguna bahasa, yakni selalu melakukan inovasi dalam kehidupannya yang berimplikasi terhadap bahasa yang digunakannya. Kemanasukaan dan kedinamisan bahasa membuat bahasa tersebut sulit dipahami oleh manusia tanpa disertai dengan kesepakatan bersama dalam memberikan makna. Hal inilah yang menyebabkan mengapa bahasa bersifat konvensional. Makna, dalam kajian bahasa, menjadi isu utama karena bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi sejauh bahasa itu dipahami maknanya. Mengenai makna bahasa ini, Aminuddin (2003) menyatakan bahwa makna memiliki tiga tingkatan. Pada tingkat pertama, makna menjadi isi abstraksi dalam kegiatan v
Mohamad Jazeri
bernalar secara logis sehingga melahirkan proposisi yang benar. Tingkat kedua, makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan. Tingkat ketiga, makna menjadi isi komunikasi berupa pesan tertentu yang dikirim dan diterima oleh partisipan komunikasi. Mengkaji makna pada tingakt pertama melahirkan pemahaman tentang cara mengolah pesan secara benar. Mengkaji makna pada tingkat kedua melahirkan pemahaman tentang menata struktur kebahasaan secara benar sehingga menghadirkan makna seperti yang diinginkan partisipan komunikasi. Sementara mengkaji makna pada tingkat ketiga melahirkan pemahaman tentang cara mengungkapkan struktur kebahasaan dalam konteks komunikasi secara benar. Untuk memahami tiga tingkat makna tersebut diperlukan ilmu tentang makna bahasa. Salah satu ilmu yang mempelajari makna bahasa adalah SEMANTIK. Semantik mengandung pengertian studi tentang makna bahasa. Jika makna adalah bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik (ilmu bahasa). Dalam kaitannya dengan ilmu lain yang samasama mengkaji makna seperti pragmatik, semiotik, dan hermeneutik, semantik dianggap sebagai bagian sekaligus induk ilmu makna. Artinya, ada sebagaian ahli bahasa yang beranggapan bahawa semantik adalah bagian dari pragmatik, semiotik, atau hermeneutik, namun sebagian yang lain menganggap semantik sebagai induk dari pragmatik, semiotik, dan hermeneutik. Tanpa memperdebatkan posisi semantik di antara ilmu sejenisnya, buku ini menyajikan ilmu semantik dalam beberapa hal yang berkaitan dengan konsentrasi studi semantik. Buku ini dibagi dalam sembilan bab yang saling berkaitan. Bab I vi
SEMANTIK Teori Memahami Makna Bahasa
membicarakan hakikat semantik yang meliputi pengertian semantik, sejarah perkembangan semantik, hubungan semantik dengan disiplin ilmu lain, baik ilmu di bidang linguistik maupun nonlinguistik. Bab II menyajikan teori makna yang diawali dengan pembahasan tentang arti makna. Makna merupakan hubungan antara bahsa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Menurut teori yang berkembang di kalangan para ahli bahasa, makna adalah ’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Dalam pemakaian sehari-hari, makna disejajarkan dengan arti, gagasan, konsep, pernyataan, pesan, informasi, maksud, firasat, isi, dan pikiran (Aminudddin, 2003: 50). Beberapa kata tersebut disejajarkan dengan makna sesuai dengan konteks pemakaiannya. Namun yang paling dekat dan sering disejajarkan adalah arti. Untuk menentukan makna bahasa, Alston (dalam Aminuddin, 2003: 55) mengemukakan tiga teori atau pendekatan, yakni (1) referensial, (2) ideasional, dan (3) behavioral. Tiga pendekatan tersebut sejajar dengan tiga fungsi bahasa, yakni sebagai (1) representasi realitas yang menyertai proses berpikir manusia secara individual, (2) media dalam mengirim dan menerima pesan, dan (3) fakta sosial yang mampu menciptakan berbagai bentuk komunikasi. Tiga pendekatan tersebut memiliki titik pandang yang berbeda dalam memahami makna bahasa. Namun secara keseluruhan ketiga teori tersebut dapat saling melengkapi dan disikapi sebagai tiga tataran makna. Bab berukutnya membicarakan aspek-aspek makna, jenisjenis makna, dan diakhiri dengan tujuh jenis makna menurut Leech. vii
Mohamad Jazeri
Menurut Pateda (2001: 88), ada empat aspek makna yang dapat menentukan jenis makna. Keempat aspek makna tersebut adalah (1) pengertian (sense), (2) nilai rasa (feeling), (3) nada (tone), dan (4) maksud (intention). Aspek-aspek makna tersebut tentunya mempunyai pengaruh terhadap jenis-jenis makna yang ada dalam semantik. Leech (2003: 19) menyebutkan tujuh tipe makna yang dapat dipahami dari kegiatan berbahasa, yakni (1) makna konseptual, (2) makna konotatif, (3) makna stilistik, (4) makna afektif, (5) makna reflektif, (6) makna kolokatif, dan (7) makna tematik. Berkaitan dengan sifat bahasa yang dinamis, makna bahasa juga mengalami pergeseran dan perubahan. Hal ini dibahas di bab IV. Secara harfiah, pergeseran makna berarti makna yang bergeser dari aslinya, sedangkan perubahan makna adalah makna yang berubah dari asalnya. Dalam pergeseran makna, makna berubah namun masih dalam satu medan makna sedangkan dalam perubahan makna, makna berubah karena terjadi perubahan rujukan. Parera (2004: 110-118) menghimpun beberapa penyebab pergeseran dan perubahan, yakni (1) linguistik, (2) historis, (3) sosial, (4) psikologis, (5) keperluan, dan (6) kekuasaan. Chaer (2002: 141) mengidentifikasi lima jenis perubahan makna, yakni (1) meluas, (2) menyempit, (3) perubahan total, (4) penghalusan, dan (5) pengasaran. Bab V membahas hubungan makna yang terjadi pada tataran morfologi dan sintaksis. Dalam tataran morfologi, ditemukan relasi makna dalam morfem terikat, morfem bebas, dan kata. Pada tataran sintaksis, relasi tersebut ditemukan pada frase, klausa, dan kalimat. Selain itu, relasi makna juga mungkin terjadi antartataran (Parera, 2004: 61). Artinya, sebuah kata dapat viii
SEMANTIK Teori Memahami Makna Bahasa
memiliki relasi makna dengan sebuah frase atau klausa seperti kata putra bersinonim dengan anak laki-laki. Relasi makna dapat dibedakan ke dalam sinonimi, antonimi, hipernimi (superordinat), hiponimi (subordinat), homonimi, dan polisemi. Makna bahasa dapat dipahami melalui satuan bahasa mulai dari kata, kalimat, dan tuturan. Sebagai sebuah unit makna, sebuah kata dapat mempengaruhi makna kalimat karena secara gramatikal sebuah kalimat disusun dari beberapa kata. Bagaimana kita memaknai sebuah kalimat? Hipotesis yang paling sederhana mengatakan bahwa makna suatu kalimat adalah penjumlahan makna kata-kata yang membentuk kalimat tersebut. Namun hipotesis ini segera dipatahkan karena jika demikian setiap kalimat yang tersusun dari kata-kata yang sama adalah sinonim. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Misalnya, kalimat “Istri saya memiliki teman baru.”, “Istri baru saya memiliki teman.”, dan “Teman baru saya memiliki istri.” tidak bersinonim. Hipotesis lain mengatakan bahwa makna suatu kalimat merupakan percampuran makna konstituen kalimat dengan cara khusus sambil mengkonversikannya menjadi makna keseluruhan kalimat. Pendekatan ini bisa menyesatkan karena di satu sisi memberi makna dalam kategori sintaksis dan di sisi lain memberi makna dalam kategori fonologis. Masalah-masalah tersebut dibahas pada bab VII. Melanjutkan bab sebelumnya, bab VIII membahas makna tuturan. Bab ini lebih mengarah pada kajian pragmatik. Penggunaan bahasa dalam berintekasi antara masyarakat penguna bahasa disebut tindak tutur (speech acts). Dalam teori tindak tutur dikemukakan bahwa meskipun tuturan sering disampaikan untuk ix
Mohamad Jazeri
menyampaikan informasi, dalam keadaan tertentu har us dianggap sebagai pelaksanaan tindakan (Leech, 1983). Dalam bukunya How to Do Things with Words, Austin juga berupaya untuk merinci macam-macam ungkapan bahasa dalam kaitannya dengan tindakan dalam mengucapkannya. Dalam usahanya mempelajari speech acts, Austin membedakannya menjadi tiga macam acts, yaitu: tindakan lokusi (locutionary acts), illokusi (illocutionary acts), dan perlokusi (perlocutionary). Untuk memahami makna tindak tutur diperlukan praanggapan (presupposition). Praanggapan merupakan pengetahuan tentang teori ilmiah, budaya, adat-istiadat, kebiasaan, dan konteks yang dimiliki bersama oleh para peserta interaksi, yakni penutur dan mitra tutur atau penulis dan pembaca. Berdasarkan praanggapan ini, sebuah tuturan dan responnya dapat dipahami maknanya meskipun terkadang terlihat tidak memiliki relevansi. Satu hal lagi yang perlu dikuasai dalam memahami makna tuturan adalah implikatur percakapan. Implikatur adalah makna yang berbeda dengan apa yang sebenarnya diucapkan oleh penutur. Implikatur memiliki peranan penting dalam memahami tuturan, karena pertama, implikatur dapat memberikan penjelasan fungsional yang bermakna atas fakta-fakta kebahasan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik (struktural). Kedua, implikatur memberikan penjelasan eksplisit adanya perbedaan antara apa yang diucapkan secara lahiriyah dan apa yang dimaksud oleh suatu ujaran dan bahwa pemakai bahasa pun memahami. Ketiga, implikatur dapat menyederhanakan deskripsi semantik hubungan antarklausa yang berbeda konjungsinya. Keempat, implikatur dapat menerangkan berbagai macam gejala kebahasaan yang secara x
SEMANTIK Teori Memahami Makna Bahasa
lahiriah tampak tidak berkaitan atau bahkan berlawanan, tetapi ternyata berhubungan. Bab berikutnya membahas hubungan bahasa dan logika. Dalam hal logika dalam berbahasa ini, Parera (2004: 188) menjelaskan tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, logika berbahasa harus memenuhi runtun berpikir yang sistematis dan memenuhi kaidah-kaidah logika. Kedua, logika berbahasa harus memenuhi hubungan antara konsep-konsep yang ditautkan. Ketiga, logika berbahasa tidak boleh menimbulkan kontradiksi. Ketiga syarat tersebut dapat digunakan untuk menilai apakah sebuah kalimat atau tuturan memenuhi aturan logika berbahasa atau tidak. Relasi antara bahasa dan pikiran dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, bahasa dipandang sebagai alat untuk mengungkapkan persepsi, pikiran, gagasan, dan emosi. Pandangan ini melihat pikiran mempengaruhi bahasa. Kedua, bahasa mempengaruhi pikiran, yakni manusia hanya dapat mempersepsi, berpikir, dan merasakan karena adanya bahasa. Karena itu, orang yang memiliki bahasa berbeda, berbeda pula cara berpikir dan berkata (Jazeri, 2011). Dalam hal ini, setidaknya ada tiga pandangan mengenai relasi bahasa dan logika yang disajikan, yaitu hipotesis Saphir-Worf, bahasa sebagai cermin pikiran, serta bahasa dan kerja akal budi (intellect). Bagian akhir buku ini sayang untuk dilewatkan karena menyajikan beberapa fenomena berbahasa dalam masyarakat yang ditinjau dari kajian semantik. Ada beberapa contoh penggunaan bahasa yang secara gramatikal dan semantis keliru namun tetap terpahami oleh pengguna bahasa. Diantaranya Tambal Ban 24 jam; Nasi Kucing; Kok dimakan manusia; Sate Kambing dan xi
Mohamad Jazeri
Sate Madura; Apa yang disate?; Ayam Bakar Wong Solo; Sungguh kejam si ayam!; Gule Kambing Pak Mi’un dan Sop Buntut Wak Kaji; Kambing dan buntut siapa?; Ulang Tahun Pernikahan ke dua; Berapa kali nikahnya?; dan Apa saya harus bilang ‘Wow’ gitu? Buku ini terselasaikan berkat sumbang sih berbagai pihak. Untuk itu terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada mereka. Terima kasih disampaikan kepada para mahasiswa yang selama perkuliahan banyak memberikan inspirasi untuk menulis buku ini, terutama bab akhir. Terima kasih juga disampaikan kepada STAIN Tulungagung Press yang berkenan menerbitkan karya sederhana ini. Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada istri, Puger Utami dan anak, Fuad Fahmi atas dukungan semangat dan do’anya. Akhirnya, puji syukur alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas karuniaNya sehingga bacaan sederhana ini hadir di hadapan pembaca budiman. Tulungagung, Maret 20013
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................ v Daftar Isi ........................................................................................ xiii BAB I HAKIKAT SEMANTIK ............................................................. 1 1.1 Pengertian Semantik ............................................................... 1 1.2 Sejarah dan Perkembangan Semantik ................................. 3 1.3 Hubungan Semantik dengan Ilmu Lain .............................. 8 1.3.1 Hubungan Semantik dengan Ilmu-ilmu Linguistik ..................................................................... 9 1.3.1.1 Fonologi ........................................................ 9 1.3.1.2 Morfologi ...................................................... 9 1.3.1.3 Sintaksis ...................................................... 10 1.3.1.4 Sastra ........................................................... 10 1.3.2 Hubungan Semantik dengan Non-linguistik ....... 11 1.3.2.1 Sosiologi ..................................................... 11 1.3.2.2 Psikologi ..................................................... 12 1.3.2.3 Antropologi ................................................ 13 1.3.2.4 Filsafat ........................................................ 13
xiii
Mohamad Jazeri
BAB II MAKNA DAN TEORI MAKNA .......................................... 15 2.1 Arti Makna ............................................................................. 15 3.2 Teori Makna ........................................................................... 18 3.2.1 Referensial ................................................................. 19 3.2.2 Ideasional .................................................................. 20 3.2.3 Behavioral ................................................................. 21 BAB III ASPEK DAN JENIS MAKNA ............................................... 24 3.1 Aspek-aspek Makna ............................................................. 24 3.2 Jenis-jenis Makna .................................................................. 26 3.2.1 Makna Emotif........................................................... 26 3.2.2 Makna Konotatif ...................................................... 27 2.2.3 Makna Kognitif ........................................................ 27 2.2.4 Makna Referensial ................................................... 28 3.2.5 Makna Piktorikal ...................................................... 28 3.3 Tujuh Tipe Makna Menurut Leech .................................... 29 2.3.1 Makna Konseptual................................................... 29 3.3.2 Makna Konotatif ...................................................... 31 2.3.3 Makna Stilistik .......................................................... 32 2.3.4 Makna Afektif........................................................... 32 2.3.5 Makna Reflektif ........................................................ 33 2.3.6 Makna Kolokatif ...................................................... 34 2.3.7 Makna Tematik......................................................... 35
xiv
SEMANTIK Teori Memahami Makna Bahasa
BAB IV PERUBAHAN MAKNA ......................................................... 37 4.1 Pengertian Perubahan Makna ............................................. 37 4.2 Penyebab Perubahan Makna .............................................. 39 4.2.1 Linguistik ................................................................... 39 4.2.2 Historis ...................................................................... 40 4.2.3 Sosial .......................................................................... 41 4.2.4 Psikologis .................................................................. 43 4.2.5 Pertemuan Antarbahasa .......................................... 45 4.2.6 Kekuasaan ................................................................. 45 4.2.7 Proses Gramatikal.................................................... 47 4.2.8 Reduplikasi................................................................ 48 4.2.9 Konteks ..................................................................... 48 4.2.10 Pertukaran Tanggapan Indera ................................ 49 4.2.11 Asosiasi ...................................................................... 50 4.3 Jenis-Jenis Perubahan Makna ............................................. 52 4.3.1 Perluasan Makna ...................................................... 53 4.3.2 Pembatasan Makna .................................................. 53 4.3.3 Penghalusan makna ................................................. 54 4.3.4 Pengasaran Makna ................................................... 56 4.3.5 Kata Tetap-Acuan Berubah ................................... 57 4.3.6 Acuan Tetap-Kata Berubah ................................... 58 BAB V RELASI MAKNA ....................................................................... 60 5.1 Sinonimi.................................................................................. 60 5.2 Antonimi ................................................................................ 63 5.3 Hipernimi (superordinat) ..................................................... 69 xv
Mohamad Jazeri
5.4 Hiponimi (subordinat) ......................................................... 70 5.5 Homonimi .............................................................................. 71 5.6 Polisemi .................................................................................. 72 BAB VI MAKNA LEKSIKAL DAN MAKNA KALIMAT ............ 74 6.1 Makna Leksikal ..................................................................... 74 6.1.1 Kata sebagai Unit Makna ....................................... 74 6.1.2 Makna Kata Dasar (Leksem) ................................. 77 6.1.4 Makna Paduan Leksem ........................................... 77 6.1.5 Makna Kata Bebas ................................................... 81 6.1.6 Makna Kata Berimbuhan ....................................... 81 6.1.7 Makna Kata Berulang ............................................. 83 6.1.9 Makna Kata dalam Konteks .................................. 86 6.1.10 Makna Kependekan ................................................. 87 6.1.11 Makna Kata Plesetan .............................................. 89 6.2 Makna Kalimat ...................................................................... 90 6.2.1 Kalimat Bermakna dan Tak Bermakna ............... 91 6.2.2 Peran Semantis Unsur Kalimat .............................. 94 6.2.3 Kalimat, Makna, dan Isi Proposisi ........................ 96 6.2.3 Kalimat Sederhana dan Kompleks ....................... 98 6.2.5 Makna Kalimat Interogatif dan Deklaratif ......... 99 6.2.6 Makna Kalimat Imperatif ..................................... 101
xvi
SEMANTIK Teori Memahami Makna Bahasa
BAB VII MAKNA TUTURAN: Peran Praanggapan dan Implikatur dalam Memahami Makna ...................... 103 7.1 Tindak Tutur ........................................................................ 103 7.1.1 Tindak Lokusi (Locutionary Acts) ...................... 106 7.1.2 Tindak Illokusi (Illocutionary Acts) ...................106 7.1.3 Tindakan Perlokusi (Perlocutionary Acts) ........107 7.2 Peran Praanggapan ............................................................. 109 7.3 Peran Implikatur Percakapan ........................................... 112 BAB VIII BAHASA DAN LOGIKA ....................................................... 115 8.1 Bahasa Logis ........................................................................ 115 8.2 Bahasa dan Pikiran ............................................................. 117 8.2.1 Hipotesis Sapir-Worf ............................................. 118 8.2.2 Bahasa sebagai Cermin Pikiran ........................... 121 8.2.3 Bahasa dan Kerja Akal Budi ................................ 124 BAB IX FENOMENA PENGGUNAAN BAHASA DALAM MASYARAKAT ....................................................... 128 9.1 Tambal Ban 24 Jam; Lama sekali... ................................. 128 9.2 Nasi Kucing; Kok dimakan orang? .................................. 130 9.3 Sate Kambing dan Sate Madura; Apa yang disate? .......131 9.4 Ayam Bakar Wong Solo; Sungguh kejam si ayam! .......131 9.5 Itu Aku Banget; Apanya yang banget? ............................ 132 9.6 Gulai Kambing Pak Mi’un dan Sop Buntut Wak Kaji; Kambing dan buntut siapa? .............................................. 134 xvii
Mohamad Jazeri
9.7 Saya Suaminya, Dok! ......................................................... 135 9.8 Ulang Tahun Pernikahan Saya yang Kedua; Berapa kali nikahnya? ........................................................ 137 9.9 Terus Aku Harus Bilang ‘Wow’ Gitu? ............................ 138 9.10 Ciyus, Miyapah? .................................................................. 142 Daftar Rujukan ............................................................................ 145 Tentang Penulis ........................................................................... 149
xviii
BAB I
HAKIKAT SEMANTIK
1.1 Pengertian Semantik Secara umum, semantik mengandung pengertian studi tentang makna bahasa. Jika makna adalah bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik (ilmu bahasa). Kata semantik berasal dari bahasa Yunani, yaitu sema (kata benda) yang berarti “menandai” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Kemudian semantik disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik untuk mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik (intralingual) dengan sesuatu yang ditandainya (ekstralingual) (Cahyono, 1994). Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna bahasa (Hurford dan Heasley, 1986: 1). Para ahli bahasa memberikan pengertian semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya (makna). Istilah lain yang pernah digunakan hal yang sama adalah semiotika, semiologi, semasiologi, dan 1
Mohamad Jazeri
semetik. Jika dipahami sebagai studi tentang makna, maka semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat, dan antropologi (nanik-tri.blogspot.com, 2012). Makna bahasa beragam sesuai konteks penggunaannya dalam kalimat. Karena itu, dalam analisis semantik harus disadari bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan erat dengan masalah budaya. Karenanya, analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja dan tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Umpamanya, kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk pada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk yang dalam bahasa Inggris sepadan dengan kata fish. Tetapi kata iwak dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ikan atau fish, melainkan juga berarti daging yang digunakan sebagai lauk. Dalam penggunaan bahasa yang nyata, makna kata atau leksem seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya. Contoh, Dasar buaya, ibunya sendiri ditipunya. Kata buaya di sini tidak merujuk pada hewan yang bernama buaya, melainkan merujuk pada seseorang yang gemar menipu. Oleh karena itu, kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya. Satu hal lagi yang harus diingat mengenai makna ini, karena bahasa itu bersifat arbitrer, maka hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat manasuka. Artinya, tidak ada keharusan hubungan logis antara kata dan maknanya seperti kata meja, kursi, keripik, dan 2
SEMANTIK Teori Memahami Makna Bahasa
sebagainya. Mengapa benda tertentu disebut meja, kursi dan keripik tidak ada jawaban pasti. Contoh lain, setelah memeriksa kamar anaknya dan melihat kamarnya kotor dan berantakan, seorang ibu berkata kepada anaknya dengan nada memuji, Bersih sekali kamarmu, Nak! Jelas, dia tidak bermaksud memuji walaupun nadanya memuji, melainkan sebaliknya, yakni menegur atau mungkin mengejek anaknya. 1.2 Sejarah dan Perkembangan Semantik Istilah “semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tandatanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti (Chaer, 1990). Istilah semantik sudah ada sejak abad ke-17 bila dipertimbangkan melalui frase semantics philosophy. Sejarah semantik dapat dibaca di dalam artikel “An Account of the Word Semantics. Istilah semantik baru muncul pada tahun 1984 yang dikenal melalui American Philological Association ‘organisasi filologi Amerika’ dalam sebuah artikel yang berjudul Reflected Meanings: A point in Semantics. Breal melalui artikelnya “Le Lois Intellectuelles du Language” mengungkapkan istilah semantik sebagai bidang baru dalam ilmu bahasa. Dalam bahasa Prancis istilah ini digunakan sebagai ilmu murni historis (historical semantics). Historical semantics ini cenderung mempelajari semantik yang berhubungan dengan unsur-unsur luar bahasa, misalnya 3
Mohamad Jazeri
perubahan makna dengan logika, psikologi, dan sebagainya. Reisig sebagai salah seorang ahli klasik mengungkapkan konsep baru tentang grammar (tata bahasa) yang meliputi tiga unsur utama, yakni etimologi, studi asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna; sintaksis, tata kalimat dalam semasiologi, ilmu tanda (makna). Semasiologi sebagai ilmu baru pada 1820-1925 itu belum disadari sebagai semantik.Istilah Semasiologi sendiri adalah istilah yang dikemukakan Reisig. Pada tahun 1990-an, dengan munculnya essai de semantikue dari Breal, yang kemudian pada periode berikutnya disusul oleh karya Stern semantik ditegaskan sebagai ilmu tentang makna bahasa. Tetapi, sebelum kelahiran karya stern, di Jenewa telah diterbitkan bahan kumpulan kuliah dari seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan perkembangan linguistik berikutnya, yakni Ferdinand de Saussure yang berjudul Cours de Linguistikue General. Pandangan Saussure itu menjadi pandangan aliran strukturalisme. Menurut pandangan strukturalisme de Saussure, bahasa merupakan satu sistem yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan. Pandangan ini kemudian dijadikan titik tolak penelitian yang sangat kuat mempengaruhi berbagai bidang penelitian, terutama di Eropa. Sejak kehadiran karya de Sausure, semantik kemudian berbeda dengan pandangan sebelumnya. Perbedaan pandangan tersebut antara lain (1) pandangan historis mulai ditinggalkan, (2) perhatian mulai ditinggalkan pada struktur di dalam kosa kata, (3) semantik mulai dipengaruhi stilistika, (4) studi semantik terarah pada bahasa tertentu (tidak bersifat umum lagi), (5) hubungan antara bahasa dan pikiran mulai dipelajari, karena 4
SEMANTIK Teori Memahami Makna Bahasa
bahasa merupakan kekuatan yang menetukan dan mengarahkan pikiran, (6) semantik telah melepaskan diri dari filsafat, tetapi tidak berarti filsafat tidak membantu perkembangan semantik (perhatikan pula adanya semantik filosofis yang merupakan cabang logika simbolis). Pada tahun 1923 muncul ahli semantik, Ogden & Richards, yang menekankan hubungan tiga unsur dasar, yakni (1) thought of reference (pikiran) sebagai unsur yang menghadirkan makna tertentu yang memiliki hubungan signifikan dengan referent (acuan). Pikiran memiliki hubungan langsung dengan simbol (lambang). Lambang tidak memiliki hubungan yang arbitrer. Sehubungan dengan meaning, para pakar semantik biasa menetukan fakta bahwa asal kata meaning (nomina) dari to mean (verba), di dalamnya banyak mengandung meaning yang berbeda-beda. Ahli-ahli semantik sering tidak wajar memikirkan the meaning of meaning yang diperlukan untuk pengantar studi semantik. Mereka sebenarnya cenderung menerangkan semantik dalam hubungannya dengan ilmu lain. Artinya, para ahli sendiri masih memperdebatkan bahwa makna bahasa tidak dapat dimengerti atau tidak dapat dikembangkan kecuali dalam makna nonlinguistik (bahasa.kompassiana.com, 2011). Para filosuf Yunani sejak dulu telah mengkaji dan mendiskusikan isu-isu yang dapat dikatagorikan sebagai “embrio” semantik. Studi semantik pada saat itu dapat dijadikan sebagai barometer kemajuan berpikir seseorang. Aristoteles sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian kata yang menurutnya adalah satuan terkecil 5
Mohamad Jazeri
yang mengandung makna. Berkaitan dengan “makna”, Aristoteles membedakan antara bunyi dan makna. Baginya, makna itu sesuai dengan konsep yang ada pada pikiran. Dia membedakan antara sesuatu yang ada di dunia luar (al-asyya’ fil ‘alam al-khariji), konsep/makna (attashawwurat/al-ma’ani), dan bunyi/lambang atau kata (ar-rumuz/ al-kalimat). Bahkan Plato (429-347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Hanya saja, pada masa itu batas antara etimologi, studi makna, maupun studi makna kata belum jelas. Semantik sebagai subdisiplin linguistik muncul pada abad ke-19. Pada tahun 1825, seorang pakar linguistik berkebangsaan Jer man, C. Reisig, mengemukakan pendapatnya tentang tatabahasa (grammar). Dia membagi tatabahasa menjadi tiga bagian utama, yaitu (1) semasiologi, ilmu tentang tanda, (2) sintaksis, studi tentang kalimat, dan (3) etimologi, studi tentang asal usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna (Pateda, 2001). Istilah semasiologi yang berasal dari Reisig ini berpadanan dengan istilah semantik. Pada saat itu, istilah semantik masih belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. Berdasarkan pandangan Reisig ini, perkembangan semantik dapat dibagi atas tiga fase. Fase pertama meliputi masa setengah abad, termasuk di dalamnya kegiatan Reisig. Fase ini biasa disebut the underground period of semantics. Fase kedua, awal tahun 1883 (dalam buku Pateda, 2001 disebutkan awal tahun 1880) dimulai dengan munculnya buku karya Michel Breal, 6
SEMANTIK Teori Memahami Makna Bahasa
seorang berkebangsaan Perancis lewat artikelnya berjudul Les Lois Intellectuelles du langage. Pada masa itu, studi semantik lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi maupun kriteria lainnya. Karya klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 ini adalah Essai de Semantique Science des Significations (1897), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Semantics: Studi in the Science of Meaning. Fase ketiga, yakni tiga dekade pertama abab XX merupakan masa pertumbuhan studi tentang makna. Fase ini ditandai dengan pemunculan buku berjudul Meaning and Change of Meaning with Special Reference to the English Language (1931) karya filosof Swedia bernama Gustaf Stern. Stern dalam kajiannya sudah melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris. Sebelumnya, yakni pada tahun 1916, Ferdinand de Saussure yang sering disebut sebagai bapak linguistik modern telah menulis buku berjudul Cours de Linguistique Generale (pada tahun 1959, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Course in General Linguistics). Dia berpendapat, bahwa studi linguistik harus difokuskan pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu. Dengan demikian, studi bahasa yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif. Sementara itu, studi tentang sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis. Pandangan de Saussure tersebut berimplikasi pada studi semantik yang dicirikan oleh (i) pandangan yang bersifat historis 7
Mohamad Jazeri
telah ditinggalkan karena pendekatannya sinkronis, meskipun masalah perubahan makna masih juga dibicarakan; (ii) perhatian diarahkan pada strukutr kosa kata; (iii) semantik dipengaruhi oleh stilistika; (iv) studi semantik telah diarahkan pada bahasa tertentu dan tidak bersifat umum lagi; (v) dipelajari hubungan antara bahasa dan pikiran karena bahasa tidak dianggap sebagai kekuatan yang menentukan dan mengarahkan pikiran; (vi) meskipun semantik telah melepaskan diri dari filsafat, namun tidak berarti bahwa filsafat tidak dapat membantu perkembangan semantik. Menurut Saussure, suatu bahasa terdiri atas satu perangkat tanda atau ‘signs’ yang merupakan kesatuan dari signifiant (penanda atau bagian bunyi ujaran) dengan signifie (tertanda atau bagian arti). Masing-masing tanda tersebut tidak dapat dipisahkan, karena ucapan atau artinya ditentukan oleh perbedaan dengan tanda-tanda di dalam sistemnya. Tanpa sistem yang ada dalam sutau bahasa, kita tidak mempunyai landasan untuk membicarakan bunyi atau konsep/arti (anaksastra.blogspot.com, 2009). 1.3 Hubungan Semantik dengan Ilmu Lain Sebagai sebuah ilmu, semantik memiliki keterkaitan dengan ilmu-ilmu lain, baik ilmu-ilmu bahasa maupun nonbahasa. Di antara ilmu bahasa yang berkaitan adalah fonologi, morfologi, sintaksis, dan sastra. Ilmu nonbahasa yang memiliki relasi dengan ilmu semantik antara lain sosiologi, psikologi, antropologi, dan filsafat.
8
SEMANTIK Teori Memahami Makna Bahasa
1.3.1 Hubungan Semantik dengan Ilmu-ilmu Linguistik 1.3.1.1 Fonologi Fonologi merupakan ilmu tentang fonem (bunyi) yang merupakan unsur terkecil dari bahasa. Perbedaan fonem yang dimiliki sebuah kata dapat membuat perbedaan makna. Misalnya, kata babi dan babu. Perbedaan fonem i dan u merubah makna kata tersebut dari sejenis hewan (berkaki empat) menjadi sejenis profesi (pembantu rumah tangga). Karena itu, dalam pandangan kaum Atomisme Logis, analisis bahasa harus dimulai dari unsur atom bahasa, yakni fonem, karena perbedaan fonem diyakini berpengaruh terhadap makna sebuah kata yang konsekwensi lanjutannya adalah berpengaruh pada makna kalimat dan wacana di mana kata tersebut menjadi unsurnya. 1.3.1.2 Morfologi Sebagai ilmu yang mempelajari kaidah bentuk dan pembentukan kata, Morfologi memiliki hubungan erat dengan semantik. Hal ini dikarenakan pembentukan kata yang salah akan mengakibatkan makna kata tersebut berbeda atau bahkan tidak bermakna. Misalnya kata juang dalam kalimat Bangsa Indonesia juang merebut kemerdekaan. Kata juang dalam kalimat tersebut mestinya berubah menjadi berjuang. Di antara kesalahan pembentukan kata yang dapat mengakibatkan perubahan makna adalah (1) penghilangan afiks (prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks), (2) penidakluluhan bunyi yang seharusnya luluh, (3) peluluhan bunyi yang seharusnya tidak luluh, (4) penggantian morfem, (5) penggunaan afiks yang tidak tepat, dan (6) pengulangan yang 9
Mohamad Jazeri
tidak tepat (Setyawati, 2010: 36). Meskipun tidak semua kesalahan morfologis berakibat fatal dalam memahami makna, tentu dengan menghindarinya makna bahasa akan lebih mudah dimengerti pembaca atau mitra tutur. 1.3.1.3 Sintaksis Sintaksis merupakan cabang linguistik yang mempelajari struktur kalimat dan bagian-bagiannya. Ramlan (1987: 21) menjelaskan sintaksis sebagai cabang ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa. Kalimat yang tersusun secara teratur akan lebih mudah dipahami maknanya dibanding kalimat yang susunannya tidak teratur. Sebuah kalimat tersusun dari beberapa fungsi sintaksis seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan. Fungsi sintaksis tersebut harus tersusun secara logis agar makna kalimat mudah dipahami. Kalimat, “Kannika Tinkeaw sudah belajar bahasa Indonesia selama empat bulan.” lebih mudah dipahami maknanya dibanding kalimat, “Sudah Kannika Tinkaew bahasa Indonesia belajar selama empat bulan.” Di sinilah hubungan antara semantik dan sintaksis dapat dirasakan. 1.3.1.4 Sastra Sastra merupakan karya fiksi yang menggunakan bahasa sebagai media penyampai pesannya. Karena penggunaan bahasa ini sastra bersinggungan dengan semantik. Tetapi, berbeda dengan bahasa ilmiah dan bahasa sehari-hari, bahasa sastra merupakan salah satu bentuk idiosyncratic, yaitu kata-kata yang digunakan adalah hasil kreasi ekspresi penulisnya. Penggunaan gaya bahasa 10
SEMANTIK Teori Memahami Makna Bahasa
yang tidak lazim dalam bahasa sehari-hari maupun bahasa ilmiah banyak dijumpai dalam karya sastra. Bahasa metaforis dan alegoris menjadi bagian yang membuat sebuah karya sastra menarik dibaca dan dimaknai. Berikut ini contoh bahasa alegoris dalam puisi karya Sitor Situmorang: Akulah telaga Berlayarlah di atasku Hadapi riak-riak kecil yang menggoyangkan bunga padma Sesampainya di tepi Tinggalkan perahumu, biar aku yang menjaga Untuk memahami puisi di atas, Aminuddin (2003: 25), mengutip Roman Ingarden, menyarankan untuk memahami konsep strata makna dalam sastra. Bahasa sastra memiliki dua lapis, yakni (1) lapis bunyi atau bentuk, dan (2) lapis makna. Pada tataran lapis makna, ada beberapa strata makna, yaitu (a) makna literal, (b) dunia rekaan pengarang, (c) dunia dari sudut pandang tertentu, dan (d) pesan metafisis. Untuk dapat memahami sastra dengan baik, seorang memerlukan ilmu semantik sebagai bekal awal sebelum mengetahui ilmu-ilmu lain seperti semiotika, stilistika, dan hermeneutika. 1.3.2 Hubungan Semantik dengan Non-linguistik 1.3.2.1 Sosiologi Ungkapan Bahasa menunjukkan bangsa tepat sekali untuk menggambarkan hubungan antara semantik dengan sosiologi. Kata atau kalimat yang digunakan masyarakat tertentu dapat mengandung makna berbeda pada masyarakat lainnya. Dengan
11
Mohamad Jazeri
demikian, kata tertentu dapat menandai identitas kelompok penuturnya. Misalnya, kata gedang yang bagi masyarakat jawa berarti pisang, bagi masyarakat sunda kata tersebut berarti pepaya. (Silahkan mencari contoh lainnya!). Sebaliknya, gagasan yang sama diungkapkan secara berbeda oleh masyarakat yang berbeda. Misalnya, untuk mengungkapkan gagasan betapa berharganya waktu, masyarakat Arab mengungkapkan, al-waqtu ka al-syaifi (Waktu itu bagaikan pedang), sedangkan masyarakat Eropa menggunakan ungkapan, Time is money (Waktu adalah uang). Hubungan antara semantik dan sosiologi ini melahirkan ilmu baru yang melihat makna dari sudut pandang sosiologis, yakni sosiolinguistik. Sosiolinguistik mengkaji bahasa dalam penggunaan sehari-hari oleh masyarakat tertentu. Kajian-kajian ini biasanya difokuskan pada masyarakat bahasa, alih kode dan ganti kode, pembakuan bahasa, dan pembinaan bahasa. 1.3.2.2 Psikologi Dalam memahami makna bahasa, unsur kejiwaan seperti kesadaran batin, pikiran, asosiasi, pengalaman dan perasaan tentu tidak dapat dilepaskan. Keterkaitan semantik dengan psikologi ini tampak pada sejumlah aliran dalam psikologi seperti behaviorisme dan kognitivisme. Psikologi behavioris memahami makna berdasar relasi stimulus dan respon sesuai dengan asosiasi dan hasil belajar yang dimiliki. Aminuddin (2003: 22) mencontohkan seseorang dapat membedakan makna kucing dan anjing berdasar hasil belajar bahwa kedua binatang itu memiliki bentuk, ciri-ciri, dan perilaku yang berbeda. Seseorang akan marah jika dikatakan, Kamu seperti anjing! karena dia telah mampu 12
SEMANTIK Teori Memahami Makna Bahasa
mengasosiasikan bentuk dan perilaku anjing. Psikologi kognitivisme beranggapan bahwa makna bahasa berkaitan dengan aspek kejiwaan dalam kaitannya denga referen yang diacu dan konteks pemakaiannya. Satu kata dapat memiliki makna berbeda sesuai konteks penggunaannya. Misalnya seorang bapak kos mengatakan kepada seorang mahasiswa yang sedang mengunjungi pacarnya, Mas, ini sudah pukul sepuluh, tentu tidak sedang memberi tahu bahwa sekarang sudah pukul sepuluh malam, melainkan menyuruh mahasiswa tersebut pulang karena tidak pantas berpacaran sampai larut malam. 1.3.2.3 Antropologi Antropologi dan sosiologi memiliki wilayah kajian yang relatif sama, yakni masalah manusia dalam masyarakat. Dengan kata lain, sosiologi dan antropologi sama-sama mengkaji fenomena sosial dan kultural suatu masyarakat. Budaya yang berbeda menyebabkan ekspresi bahasa yang berbeda pula meskipun realitas yang ingin diungkapkan sama. Contohnya penggunaan kata ngelih dan lesu. Masyarakat Jawa Tengah mengatakan ngelih untuk menyatakan rasa lapar, sedangkan masyarakat Jawa Timur memilih kata lesu. 1.3.2.4 Filsafat Filsafat merupakan ilmu yang berkenaan dengan hakikat pengetahuan, kearifan, realitas, dan kebenaran. Hubungan antara filsafat dan semantik terlihat dalam aktivitas berfilsafat yang memerlukan bahasa sebagai media proses berpikir dan menyampaikan hasil berpikir tersebut. Bolinger dan Sears (dalam 13
Mohamad Jazeri
Aminuddin, 2003: 19) menegaskan bahwa kita tidak dapat memikirkan sesuatu di luar yang terbahasakan. Hakikat realitas yang dapat dipahami adalah sejauh yang terbahasakan. Pertemuan antara semantik dengan filsafat kemudian melahirkan Filsafat Bahasa. Dalam kajian Filsafat Bahasa dikemukakan bahwa bahasa yang kita gunakan sehari-hari banyak mengandung setidaknya lima kelemahan, yaitu kekaburan arti (vagueness), kemaknagandaan (ambiguity), ketidakterangan atau ketidakjelasan (inexplecitness), tergantung pada konteks (context dependent), dan menyesatkan (misleadingness) (Kaelan, 2002). Oleh karena itu perlu disusun suatu kriteria logis yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan mengandung makna (meaningfull) atau tidak bermakna (meaningless) (Muntasyir, 1987:7). Jika berfilsafat adalah aktivitas berpikir, maka bahasa dan pikiran diyakini memiliki hubungan timbal balik. Pikiran mempengaruhi bahasa dan bahasa mempengaruhi pikiran. Manusia tidak dapat berpikir atau menangkap kesan dan membentuk sebuah gagasan tanpa bahasa. Tanpa bahasa, manusia tidak akan memahami apa yang dibaca, apa yang dilihat, dan apa yang diamati. Oleh karena itu, realitas hanya dapat terungkap ketika realitas tersebut terekspresikan dalam bahasa. Gadamer (2004) lebih tegas mengatakan bahwa hanya sejauh “terbahasakan” sesuatu dapat dimengerti.
14