Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
PERTUMBUHAN KAMBING LEPAS SAPIH YANG DIBERI KONSENTRAT TERBATAS (Growth of Weaner Goats Offered a Restricted Amount of Concentrate) KUSWANDI dan AMLIUS THALIB Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16001
ABSTRACT Decision to develop a livestock breed needs to be adapted to the animal production potential and its supporting resources. In this case production and feed conversion to synthesize body tissues are the main choice in examining the animal potency. A feeding experiment was conducted to compare relative growths of weaner Etawah crossbred goats and Kacang goats (initial average weight of 20.3 kg). A restricted amount (200 g/d) of concentrate containing 17.7% protein and 11.2 MJ ME/kg dry matter was offered to each of 25 Etawah crossbred goats and 22 Kacang goats. Fresh napier grass was offered ad libitum. Water was available at all time. Data were analyzed using a t test with unequal replicates. The results showed faster growth of Etawah crossbred goats than that of Kacang goats (36.5 vs 19.8 g/day) despite no significant feed intake difference. Key Words: Feed Intake, Growth, Breed ABSTRAK Suatu keputusan untuk mengembangkan suatu bangsa ternak perlu mempertimbangkan kemampuan produksi dan dukungan sumberdaya alam. Dalam hal ini produksi dan konversi pakan untuk membentuk jaringan tubuh menjadi pilihan utama dalam menguji potensi itu. Suatu percobaan pemberian pakan dilakuan untuk membandingkan pertumbuhan relatif kambing lepas sapih peranakan Etawah (PE) dan kambing Kacang, dengan berat awal rata-rata 20,3 kg. Sejumlah konsentrat terbatas (200 g/hari) yang mengandung 17,7% dan 11,2 MJ ME/kg bahan kering diberikan pada 25 kambing PE dan 22 kambing Kacang. Rumput gajah segar diberikan secara ad libitum. Air tersedia sepanjang waktu. Data dianalisa berdasarkan uji t berbeda jumlah ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan kambing PE lebih cepat (36,5 g/hari) dari pada pertumbuhan kambing Kacang (19,8 g/hari) walaupun tidak terdapat perbedaan konsumsi pakan. Kata Kunci: Konsumsi Pakan, Pertumbuhan, Bangsa
. PENDAHULUAN Suatu keputusan untuk mengembangkan suatu bangsa ternak perlu mempertimbangkan kemampuan produksi dan dukungan sumberdaya alam. Dalam hal ini produksi dan konversi pakan untuk membentuk jaringan tubuh menjadi pilihan utama dalam menguji potensi itu. Upaya peningkatan populasi kambing yang dilahirkan, disapih dan yang dipasarkan (dijual) bagi tiap induk yang dikawinkan merupakan cara potensial dalam meningkatkan keseluruhan efisiensi usaha ternak kambing di Indonesia. Hal ini karena biaya untuk memelihara induk dapat mencapai
590
50–60% dari kebutuhan total pakan pada usaha peternakan kambing. Usaha kambing dipandang relatif ekonomis karena kemampuan kambing dalam memanfaatkan pakan berserat dibanding domba atau sapi. Walaupun populasinya di Indonesia sekitar dua kali lipat dari populasi domba (ANONIMUS, 2003), skala pemilikan belum mendukung perkembangan industri ternak kambing. Disamping itu, informasi tentang efisiensi pertumbuhan kambing dari berbagai jenis yang ada di Indonesia sangat sedikit dibanding informasi pada ternak domba.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Kambing peranakan Etawah (PE) dikenal mempunyai gen yang unggul karena mampu berproduksi lebih tinggi, dan lebih responsif terhadap input produksi dibandingkan dengan kambing Kacang. Walaupun proporsi darah kambing Etawah tidak jelas, namun produksi kambing ini masih cukup potensial terutama di daerah dataran tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi efisiensi produksi, khususnya di masa-masa kritis sejak disapih hingga dijual adalah efisiensi pertumbuhan kambing yang bersangkutan. Tulisan ini membahas kecepatan pertumbuhan kambing yang dibatasi jumlah pemberian konsentratnya pada kambing PE dan kambing Kacang. Lebih lanjut, penelitian ini ditujukan untuk menguji sensitivitas kambing, khususnya PE terhadap keterbatasan jumlah konsentrat yang diberikan. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di Cilebut, Bogor selama 3 bulan dengan menggunakan 25 ekor kambing PE jantan umur 8-10 bulan (bobot awal rata-rata 20,0 kg) dan 22 ekor kambing Kacang jantan umur 10-11 bulan (bobot awal rata-rata 20,7 kg). Masing-masing hewan percobaan dikandangkan secara individu dan diberi pakan rumput lapangan segar ad libitum, dan air tersedia tanpa batas. Sebanyak 200 g konsentrat (17,7% protein dan 11,2 MJ ME/kg bahan kering) diberikan terhadap setiap ekor kambing per hari. Rumput gajah (9,2% protein, 60% NDF dan 39% ADF, dan 10,5 MJ ME/kg bahan kering) diberikan dalam bentuk cacahan berukuran 5-10 cm. Konsentrat diberikan pada pagi hari, sedangkan rumput diberikan setelah hewan selesai makan konsentrat. Konsumsi pakan diukur tiap hari dengan cara menentukan komponen bahan kering pakan yang diberikan dikurangi komponen bahan kering sisa pakan. Sampel pakan yang diberikan dan sampel sisa pakan diambil tiap minggu dan masing-masing dikomposit pada tiap individu ternak pada akhir penelitian. Sampel dianalisa terhadap kandungan bahan kering dan organik, serat neutral detergent fiber (NDF) dan acid detergent fiber (ADF). Data diolah dengan uji t `unequal number’ menurut STEEL dan TORRIE (1981).
HASIL DAN PEMBAHASAN Data konsumsi pakan, pertumbuhan bobot hidup dan konversi pakan (jumlah bahan kering pakan terkonsumsi dibagi pertambahan bobot hidup) tertera pada Tabel 1. Tidak terdapat perbedaan konsumsi bahan kering, bahan organik, serat (NDF, ADF) dan protein kasar (P>0,05) antara kambing Kacang dan kambing PE, walaupun kambing PE nampaknya mengkonsumsi rumput lebih banyak. Bila dirata-ratakan secara keseluruhan, konsumsi bahan organik, serat NDF dan ADF, dan protein kasar pada kedua bangsa kambing ini adalah masing-masing berturut-turut 710, 493, 302 dan 86 g/ekor/hari. Pertambahan bobot hidup kambing PE adalah 7% satuan lebih tinggi (P<0,05) dari pada kambing Kacang. Konversi pakan untuk pertumbuhan jaringan tubuh lebih tinggi (P<0,05) pada kambing Kacang dibandingkan dengan kambing PE yang menunjukkan efisiensi penggunaan pakan yang lebih baik pada kambing PE dibandingkan dengan kambing Kacang. Pada kondisi pemberian konsentrat terbatas (200 g/ekor/hari, atau 0,43% dari median bobot hidup) ini, pemberian rumput gajah tanpa batas hanya menghasilkan konsumsi total 2,0% dari bobot hidup, baik pada kambing Kacang maupun pada kambing PE. Dalam penelitian ini rendahnya (80-85%) konsumsi ransum dibandingkan dengan angka standar kebutuhan pakan (energi) seperti taksiran NRC (1981) dan KEARL (1982) pada pemberian rumput tanpa batas dapat menunjukkan dua hal. 1). Ternak kambing tidak menyukai rumput secara relatif dibandingkan dengan jenis hijauan lain (DEVENDRA dan BURNS, 1981). 2). Laju aliran digesta dari rumen ke usus halus rendah. Pada salah satu dari kedua situasi tersebut, pertambahan bobot hidup kambing dalam penelitian ini hanya mungkin dinaikkan dengan cara penambahan konsentrat lebih lanjut (MARTAWIDJAJA et al, 1998) dan/atau penggantian daun-daunan yang lebih mudah dicerna (DEVENDRA dan BURNS, 1981). Namun demikian, pemberian konsentrat berlebihan (bahan kering konsentrat lebih dari 20% dalam ransum) dapat menurunkan konsumsi hijauan pakan (MULHOLLAND et al, 1976). Dalam penelitian ini porsi konsentrat
591
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Table 1. Konsumsi pakan, pertambahan bobot hidup dan konversi pakan kambing yang diberi konsentrat terbatas (200 g/ekor/hari) Uraian
Kambing Kacang
Kambing PE
Rata-rata
Jumlah
22
25
23,5
Konsumsi (g/ekor/hari) Bahan kering Konsentrat
178.7
178.7
178.7
Rumput
633,0
655.1
644,0
Total
811,7
833,8
822,7
Bahan organik
697,9
717,2
710,0
Neutral detergent fiber
482,7
498,3
492,5
Acid detergent fiber
295,9
306,2
302,4
Protein
85,2
86,9
86,3
Pertambahan bobot hidup (g/ekor/hari)
19,8a
36,5b
30,2
(% dari bobot awal)
9,8a
17,2b
14,4
Konversi pakan
b
4,3
2,2a
3,0
Kapasitas konsumsi (%bobot hidup)
2,0
2,0
2,0
Superskrip yang berbeda (a, b) pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
yang dikonsumsi mencapai kurang lebih 21– 22% dalam ransum secara keseluruhan. Dengan demikian, anjuran menggunakan hijauan lain (DEVENDRA dan BURNS, 1981) seperti daun-daunan atau legum sebagai pakan basal lebih diutamakan sebelum memutuskan untuk meningkatkan jumlah pemberian konsentrat. Dengan kata lain, penambahan konsentrat lebih lanjut penting dilakukan hanya karena pakan basal yang bermutu rendah. Kambing dikenal memiliki sifat memilih-milih jenis pakan yang dijumpai, sehingga dalam keadaan mendapatkan pakan yang banyak dan beragam, jenis-jenis pakan yang dikonsumsi seringkali berkualitas tinggi. Oleh karena itu anggapan umum bahwa penggunaan hijauan pakan bermutu rendah pada kambing lebih bagus dari pada species lain tidak didukung oleh buktibukti ilmiah (JOHNSON dan de OLIVEIRA, 1989). Sebaliknya dalam keadaan digembalakan maupun disajikan bermacammacam pakan kasar, kambing lebih menyukai daun-daunan atau rambanan dari pada rumput (KUSWANDI et al. 2000). Berdasarkan pada satuan bobot hidup yang ada, konsumsi rumput dalam penelitian ini rendah. Sebagaimana disebut di atas, hal ini
592
berkaitan dengan kualitas rumput itu sendiri. Dengan tingginya kandungan fraksi serat (sekitar 60% NDF dan 39% ADF dari bahan kering), diperkirakan rumput tersebut kurang menunjang bagi pertumbuhan kambing bila hanya disuplementasi konsentrat dalam jumlah terbatas (VAN SOEST, 1982; MARTAWIDJAJA et al., 1998; JOHNSON dan de OLIVEIRA, 1989). Sehubungan dengan itu pada kondisi sulit mendapatkan pakan basal berkualitas tinggi seperti pada kondisi musim kemarau, pemberian konsentrat dapat dinaikkan, sejalan dengan menurunnya konsumsi hijauan. Pada kondisi rendahnya kualitas rumput cacahan tersebut laju aliran digesta dari serat yang tidak tercerna semestinya tinggi bila ternak juga mengkonsumsi konsentrat (JOHNSON dan DE OLIVEIRA, 1989). Namun hal itu tidak dicerminkan oleh konsumsi rumput yang tinggi dalam penelitian ini. Kemungkinan lain adalah kecilnya volume saluran pencernaan, terutama rumen. Jika ini benar, maka rendahnya konsumsi disebabkan oleh lamanya rumput tinggal di dalam rumen. Disamping konsentrat, upaya menaikkan konsumsi zat-zat makanan dengan menambahkan hijauan lain yang tinggi kualitasnya (mudah dicerna) seperti hijauan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
legum diharapkan dapat mempertahankan pertumbuhan yang baik (KUSWANDI et al., 2000). Perkiraan penggunaan energi untuk hidup pokok oleh KEARL (1982) pada kambing menunjukkan kemiripan kebutuhan (4,37 MJ) pada kambing Kacang dan PE dalam penelitian ini, walaupun kebenarannya perlu diuji lebih lanjut. Selanjutnya SHELTON dan FIGUEIREDO (1989) menyatakan bahwa bila konsumsi energi sebanyak 200% dari kebutuhan hidup pokok, maka sebanyak 50% dari seluruh zat makanan akan dipergunakan untuk produksi (dalam hal ini pertumbuhan). Dalam penelitian ini perkiraan konsumsi energi adalah 8,7 dan 8,9 MJ ME/ekor/hari, yang menunjukkan angka 216 dan 204% dari kebutuhan hidup pokok, dan energi yang disediakan untuk produksi adalah sebanyak 54 dan 51% dari yang dikonsumsi untuk masing-masing bangsa. Data ini bukan untuk menvalidasi perkiraan KEARL (1982), melainkan juga menunjang pernyataan SHELTON dan FIGUEIREDO (1989). Angka pertambahan bobot hidup yang relatif rendah pada kambing Kacang (20 g/hari) mirip hasil sebelumnya (18–25 g/hari) dengan suplementasi 300-600 g daun gamal layu (RANGKUTI et al., 1984), atau lebih rendah dari laporan BULO et al. (1993) (26–29 g/hari), dengan 30–70% daun kaliandra dalam ransum hijauan, tetapi lebih tinggi dari laporan ATMADILAGA (1992) dengan jerami padi yang diberi perlakuan kimia (10,5–12 g/hari). Hal ini menunjukkan bahwa hijauan sumber serat seperti jerami yang ditingkatkan mutunya atau rumput masih perlu disuplementasi hijauan atau daun-daunan bermutu tinggi atau konsentrat secukupnya tergantung ketersediaan bahannya. SOESETYO dan NURSITA (1992) melaporkan bahwa masa pertumbuhan cepat kambing PE (50 g/hari) dicapai pada umur antara 3–12 bulan, disusul dengan pertumbuhan lebih lambat sehingga pada umur 3 tahun hanya menghasilkan bobot hidup 21 kg. Dalam pembatasan konsentrat ini pertumbuhan kambing PE lebih baik (36,5 g/hari) dari pada kambing Kacang (20 g/hari). MA’SUM et al. (1993) juga mendapatkan di pasar hewan, pada umur berapapun kambing PE memiliki bobot hidup lebih tinggi dari pada kambing Kacang. Pada kondisi pemeliharaan di Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak Jatiwangi, Kabupaten
Majalengka pertambahan bobot hidup kambing PE hampir sama, yaitu 33 g/hari (SETIADI dan SITORUS, 1984). Di Brazil, pada umur serupa (lebih dari 1 tahun), pertambahan bobot hidup kambing PE ini mirip kambing lokal atau hasil persilangan dengan Anglo-Nubian (36 g/hari) (DE OLIVEIRO dan JOHNSON, 1989). Yang menarik dari hasil penelitian ini adalah efisiensi penggunaan pakan yang tetap lebih baik pada kambing PE dibanding pada kambing Kacang. Pada umumnya keturunan ternak eksotik lebih rentan terhadap perubahan lingkungan atau manajemen termasuk pembatasan pemberian konsentrat. Namun dalam penelitian ini indikasi itu tidak ada sehingga kambing PE di Indonesia yang merupakan hasil silang kambing Etawah dan lokal secara tak terkontrol (ASTUTI, 1984) yang cukup lama sudah mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan sumberdaya pakan yang ada. Dengan demikian, pengaruh lingkungan dan manjemen dapat diabaikan, sebaliknya ukuran tubuh lebih relevan untuk dibahas. Walaupun konsumsi rumput tidak berbeda antara kambing Kacang dan PE, namun ada kecenderungan bahwa kambing PE mempertahankan konsumsi rumput relatif lebih baik karena tidak adanya kesempatan memilihmilih pakan. Sebaliknya kambing Kacang memerlukan pakan yang lebih mudah dicerna dan kebutuhan energi untuk pemeliharaan tubuh hanya ditunjang oleh saluran gastrointestinal yang lebih kecil. Padahal bangsa ternak berukuran kecil seperti kambing Kacang membutuhkan energi untuk pemeliharaan tubuh per satuan bobot hidup metabolik lebih besar dari pada yang berukuran lebih besar (kambing PE). Hal ini karena kambing Kacang menyimpan panas lebih sedikit atau kehilangan panas lebih cepat dari pada bangsa berukuran besar (JOHNSON dan de OLIVEIRA, 1989), dalam hal ini Etawah. Oleh karena itu kambing Kacang memerlukan pakan berkualitas lebih baik (berkadar energi dan protein tinggi) sebagai strategi memperkecil produksi panas dari kegiatan otot dan pencernaan. Pada kondisi pakan serupa dalam penelitian ini kelebihan kapasitas metabolisme dimiliki oleh kambing PE. Oleh karena itu diduga perbaikan kualitas pakan akan nyata menghasilkan pertambahan bobot hidup yang lebih baik pada kambing PE dari pada kambing Kacang.
593
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Dengan hanya 200 g konsentrat/ekor/hari selama percobaan (3 bulan) atau penambahan konsumsi bahan kering rata-rata 0,9% dari bobot hidup, produktivitas kambing PE lebih tinggi dari pada produktivitas kambing Kacang walaupun konsumsi pakan secara keseluruhan hampir sama. Selanjutnya anjuran mengoptimalkan produksi dapat beresiko menurunkan konsumsi rumput. Hal ini mengindikasikan kembali perlunya penambahan hijauan pakan berkualitas tinggi sebagai suplemen disamping konsentrat sehingga porsi bahan kering hijauan dalam ransum dapat mencapai 80%.
DE OLIVEIRO, E.R. and W.L. JOHNSON. 1989. Present and improved production systems for meat goats in Northeast Brazil. Improved feeding systems. in: Improving Meat Goat Production in The Semiarid Tropics. W.L. JOHNSON and E.R. DE OLIVEIRA (Eds). SRCRSP Univ. California, Davis. pp. 20–32. DEVENDRA, C. and M. BURNS. 1981. Goat Production in the Tropics. Commonwealth Agricultural Bureau. Farnham Royal, UK, p. 183.
KESIMPULAN
JOHNSON, W.L. and de E.R. OLIVEIRO. 1989. Nutrient needs and improved feeding systems. In: Improving Meat Goat Production in the Semiarid Tropics. JOHNSON, W.L. and E.R. DE OLIVEIRA. (Eds). SR-CRSP Univ. California, Davis. pp. 67–74.
Dengan konsentrat terbatas (0,43% dari bobot hidup) diperoleh kapasitas konsumsi yang sama dan kambing PE bertumbuh lebih baik dibandingkan dengan kambing Kacang.
KEARL, L.C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. International Feedstuffs Institute. Utah Agricultural Experiment Station. Utah State University Logan, Utah, USA.
DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 2003. Buku Statistik Direktorat Jendral Budidaya Departemen Pertanian.
Peternakan. Peternakan,
ASTUTI, M. 1984. Parameter produksi kambing dan domba di daerah dataran tinggi, Kecamatan Tretep, Kabupaten Temanggung. Dalam: Domba dan Kambing di Indonesia. Pros. Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil, Bogor, 22–23 Nopember 1983. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 114–117 ATMADILAGA, D. 1992. A review of small ruminant research in West Java. In: Sheep and Goat Research for Development. Proc. Workshop, SUBANDRIYO, A. DJAJANEGARA and I.W. MATHIUS (Eds.). Bogor, 18–19 October 1989. pp. 39–55. BULO, D.A., A. PRABOWO dan M. SABRANI. 1993. Pemanfataan daun kaliandra sebagai tambahan pakan kambing yang diberi rumput benggala. Dalam: Domba dan Kambing untuk Kesejahteraan Masyarakat. Pros. Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II. ISPI Cabang Bogor dan HPDKI, Bogor, 13–14 Desember 1992. hlm. 56–58.
594
KUSWANDI, M. MARTAWIDJAJA, ZULBARDI M., B. SETIADI dan D.B. WIYONO. 2000. Penggunaan N mudah tersedia pada pakan basal rumput lapangan pada kambing lepas sapih. JITV 5(4): 219–23. MA’SUM, K., M.A. YUSRON dan D. PAMUNGKAS. 1993. Karakteristik penampilan ternak kambing yang dipasarkan di beberapa pasar hewan di Jawa Timur. Dalam: Potensi Pengembangan Ternak Kambing di Wilayah Indonesia Bagian Timur. SUBANDRIYO dan B. TIESNAMURTI (Eds.). Pros. Lokakarya, 95– 108. Indonesian Small Ruminant Network. Surabaya, 28–29 Juli 1992. MARTAWIDJAJA, M., B. SETIADI dan S.S. SITORUS. 1998. Pengaruh taraf pemberian konsentrat terhadap keragaan kambing Kacang jantan sapihan. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid II. Bogor, 16–18 Nopember 1997. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 595–600. MULHOLLAND, J.G., J.B. COMBE and W.R. MCMANUS. 1976. Effect of starch on the utilization by sheep of a straw diet supplemented with urea and minerals. Aust. J. Agric. Res. 27: 139–53. NRC. 1981. Nutrient Requirements of Domestic Animals, No. 15. Nutrient Requirements of Goats: Angora, Dairy and Meat Goats in Temperate and Tropical Countries. National Academy of Science. National Research Council, Washington, D.C., USA, 215 p.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
RANGKUTI, M., I.W. MATHIUS dan J.E. van EYS. 1984. Penggunaan Glyricidia maculata oleh ruminansia Kecil: konsumsi, kecernaan dan performans. Dalam: Domba dan Kambing di Indonesia. Pros. Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Bogor, 22–23 Nopember 1983. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 3–7. SETIADI, B. dan P. SITORUS. 1984. Parameter reproduksi dan produksi camping peranakan Etawah. dalam: Domba dan Kambing di Indonesia. Pros. Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Bogor, 22–23 Nopember 1983. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 118–121.
SHELTON, M.S. and R.A.P. FIGUEIREDO. 1989. Some suggestions for improved productivity through management. In: Improving Meat Goat Production in the Semiarid Tropics. JOHNSON, W.L. and E.R. de OLIVEIRA (Eds.). SR-CRSP Univ. California, Davis. pp. 3–18. SOESETYO, R.H.B. dan I.W. NURSITA. 1992. Small ruminant research and development in East Java. In: Sheep and Goat Research for Development. Proc. Workshop, Bogor, 18–19 October 1989. pp. 3–18. STEEL, R.G. and J.H. TORRIE. 1981. Principles and Procedures of Statistics. McGraw-Hill Book Co. London. VAN
SOEST, P.J. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant. O & B Books Inc., Oregon, USA.
595