Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
POLA PERTUMBUHAN PEDET SAPI BALI LEPAS SAPIH YANG DIBERI HIJAUAN PAKAN BERBEDA (The Growth of the Weaned Bali Calf Fed by Different Type of Forages) DICKY PAMUNGKAS1, Y.N. ANGGRAENY1, A. PRIYANTI2 dan N.H. KRISHNA1 1
loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2, Grati, Pasuruan 67184 2 Puslitbang Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E 59, Bogor 16151
ABCTRACT The data on growth of the weaned Bali calf were varying which is caused by different feeding management implemented. This condition was related to specific environment. A research was conducted in Beef Cattle Research Institute at Grati Pasuruan in order to investigate the effects of feeding strategy on feed consumption and weight gain of Bali cattle weaned early. Animal used in this research were 20 male of the weaned Bali calves aged 5 – 6 months and 41 – 77 kg of weight. The animals were subjected to four different treatments such as: A = Elephant grass, B = Elephant grass + Leucaena leucocephala, C = Native grass and D = Leucaena leucocephala. Variables measured were: feed consumption and daily weight gain. Analysis of covariance showed that initial body weight did not give any significant effect on feed consumption (DMI, OMI, CPI). Except for crude protein intake, dry matter (DM) and organic matter (OM) intake were not affected by feed treatment D treatment had the highest CPI (21.44 g/kgLW0.75/day) followed by B (10.93 g/kgLW0.75/day), C (9.66 g/kgLW0.75/day) and A (6.18 g/kgLW0.75/day). Average of DMI each was A, B, C and D: 72.78 g/kgLW0.75/day; 78.90 g/kgLW0.75/day; 84.36 g/kgLW0.75/day and 77.61 g/kgLW0.75/day, OMI 64.72 g/kgLW0.75/day; 71.23 g/kgLW0.75/day; 72.03 g/kgLW0.75/day and 72.75 g/kgLW0.75/day. The highest daily weight gain was on D (329.87 g/day), B (193.51g/day), A (162.34 g/day) and C (103.90 g/day). It is concluded that the use of leucaena leaves is the most potential strategy for early weaning as it improved intake and daily weight gain better than the other treatments. Key words: Bali Cattle, Growth, Forages ABSTRAK Pola pertumbuhan pedet sapi Bali lepas sapih masih sangat bervariasi akibat implementasi pola managemen pemberian pakan yang diberikan berbeda. Keadaan yang demikian sangat berkaitan dengan kondisi spesifik lokasi pemeliharaan. Suatu percobaan pemberian pakan hijauan telah dilakukan terhadap pedet sapi Bali lepas sapih di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong dengan tujuan untuk mengetahui respon pertambahan bobot hidup dan pola pertumbuhan pedet sapi Bali yang diberi hijauan pakan berbeda sebagai suatu strategi untuk mengetahui potensi pertumbuhan dan upaya peningkatannya. Sebanyak 20 ekor pedet sapi Bali jantan lepas sapih (umur 6 bulan) kisaran bobot hidup awal 41 – 77 kg digunakan sebagai materi penelitian. Ternak dikelompokkan menjadi lima kelompok bobot hidup dan empat perlakuan pemberian pakan yakni: A = rumput Gajah ad-libitum; B = rumput Gajah ad-libitum + lamtoro 1% bobot hidup); C = rumput lapang ad-libitum dan D = lamtoro ad-libitum. Parameter yang diukur adalah konsumsi dan kecernaan pakan, pertambahan bobot hidup harian, konversi pakan dan ukuran linier tubuh. Analisis proksimat bahan pakan berdasarkan bahan kering (BK), bahan organik (BO) dan protein kasar (PK). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Acak Kelompok. Hasil analisis menunjukkan bahwa total konsumsi BK dan BO tidak menunjukkan perbedaan antar perlakuan; namun demikian konsumsi PK menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05). Perlakuan D menunjukkan konsumsi tertinggi (21,44 g/kgBB0.75/hari) diikuti perlakuan B (10,93 g/kgBB0.75/hari), C (9,66 g/kgBB0.75/hari) dan A (6,18 g/kgBB.0.75/hari). Pertambahan bobot hidup tertinggi terdapat pada perlakuan D (329, 87 g/hari), diikuti B (193,51 g/hari), A (162,34 g/hari) dan C (103,90 g/hari). Disimpulkan bahwa pemberian lamtoro tunggal dalam pakan memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan pedet sapi Bali lepas sapih. Kata Kunci: Sapi Bali, Pertumbuhan, Hijauan Pakan
86
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PENDAHULUAN Kurun waktu 10 tahun terakhir ini sapi Bali sebagai salah satu ternak indigenous Indonesia mendapat perhatian serius untuk dikembangkan dan menjadi komoditi ternak andalan mengingat kualitas daging, daya adaptasi dan tingkat fertilitasnya cukup baik. Proporsi sapi Bali (herds) adalah relatif besar terhadap keseluruhan populasi sapi potong di Indonesia yakni mencapai 19% (2,92 juta ekor) dari total populasi sapi di Indonesia. Hampir 82% dari total populasi sapi Bali kini tersebar di Sulawesi Selatan 1,2 juta ekor, NTT 600.000 ekor, NTB 350.000 ekor dan di Bali sendiri hanya 450.000 ekor dan sisanya tersebar di seluruh Indonesia (ANONIMUS, 2004). Tingginya fertilitas pada induk sapi Bali ternyata diimbangi dengan tingginya tingkat kematian pada pedet. WIRDAHAYATI dan BAMUALIM (1991) melaporkan bahwa jumlah kematian dini pada pedet sapi Bali mencapai 30%. Tingginya angka kematian pedet sebelum disapih merupakan faktor utama penyebab rendahnya produktivitas sapi Bali. Untuk mengurangi tingginya angka kematian pedet sebelum disapih, maka dilakukan penyapihan dini. Pada umumnya pedet sapi Bali disapih pada umur 7 bulan (BAMUALIM dan WIRDAHAYATI, 2002). Namun pada penyapihan dini, pedet disapih pada umur 3 – 6 bulan. Penyapihan dini merupakan strategi untuk meningkatkan kemampuan hidup pedet dan mengurangi tingkat kematian. WIRDAHAYATI (2000) melaporkan di Timor Timur bahwa penyapihan dini sapi Bali dapat dilakukan asalkan diiringi dengan pemberian hijauan berkualitas bagus ditambah susu pengganti, khususnya pada umur penyapihan 3 bulan. Pemberian nutrisi yang bagus diiringi dengan strategi manajemen dapat meningkatkan produktivitas sapi Bali. Rataan pertambahan bobot hidup sapi Bali yang diberi rumput lapang tanpa diberi pakan tambahan adalah 175,8 gram/hari, namun laju pertambahan bobot hidup harian meningkat jika diberi tambahan konsentrat 1,8% dari bobot hidup yakni mencapai 313,9 gram/hari (AMRIL et al., 1990) Pemberian nutrisi yang bagus diiringi dengan strategi manajemen dapat meningkatkan produktivitas sapi Bali. Manajemen tersebut meliputi penyapihan dini dan perbaikan sistem perkandangan. Beberapa sumber pakan untuk
sapi Bali sebagaimana sapi-sapi lain di Indonesia adalah rumput lapang yang terdapat di areal pematang sawah, pinggir jalan desa dan berada di antara tanaman perkebunan atau tanaman pangan. Demikian halnya rumput unggul seperti rumput Gajah dan leguminosa pohon (lamtoro, gliricidia, turi dan kaliandra) juga telah banyak dioptimalkan sebagai pakan ternak. Pakan suplemen juga telah banyak digunakan misalnya limbah pertanian dan agroindustri seperti jerami padi, jerami jagung, dedak padi, ampas tahu, bungkil biji kapuk, limbah sagu, limbah kelapa sawit, limbah kulit kopi dan coklat. Habitat sapi Bali yang rata-rata di daerah kering menyebabkan kurangnya pakan karena tanaman pakan ternak tidak mampu beradaptasi pada lahan kering. Oleh karena itu, dibutuhkan tanaman pakan ternak yang dapat tumbuh pada lahan kering seperti bangsa leguminosa pohon seperti Lamtoro (Leucaena Leucocephala) dan rumput-rumputan yang tahan terhadap kekeringan. Di beberapa sentra pemeliharaan, terdapat variasi bobot lahir dan bobot sapih serta bobot umur 1 tahun. TALIB et al. (2003) melaporkan bobot sapih sapi Bali di Sulsel mencapai 64,4 kg; sedangkan di NTT, NTB dan Bali masing-masing 79,2 kg, 83,9 kg dan 82,9 kg. Sedangkan bobot saat pubertas di wilayah tersebut berkisar 170,4 sampai 225,2 kg. Adanya perbedaan ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan, terutama nutrisi. Pertumbuhan pedet sapi lepas sapih perlu ditingkatkan guna mempersiapkan bakalan sapi Bali dengan tampilan produksi yang optimal. Sejauh ini belum ada acuan ataupun rekomendasi tentang standar pemberian pakan untuk pedet sapi Bali lepas sapih, terkait dengan laju pertumbuhan sesuai dengan potensi genetiknya. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa secara genetik, laju pertumbuhan sapi Bali adalah lebih lambat dari sapi Madura. Namun demikian dengan pemberian pakan berkualitas baik, sapi Bali mampu tumbuh dengan PBHH 660 g/hari, namun penelitian lain juga membuktikan bahwa sapi Bali mampu menghasilkan PBHH 0,7 hingga 0,8 kg/hari (SIREGAR dan TALIB, 1992; MASTIKA, 1996; 2002). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pola pertumbuhan yang dicerminkan dalam respon pertambahan bobot hidup pedet sapi Bali lepas sapih jantan yang mendapat pakan
87
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
potong lalu ditimbang dan setelah itu sampel dimasukkan ke dalam kotak kertas, diberi label dan tanggal pengambilan sampel. Setelah itu sampel dimasukkan dalam oven 600C selama 24 jam kemudian ditimbang untuk mengetahui BKudara, selanjutnya digiling dengan grinder untuk dianalisis kandungan BK, BO dan PK.
hijauan berbeda sebagai salah satu strategi untuk peningkatan pertumbuhan. MATERI DAN METODE Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari kegiatan ACIAR Project No. LPS 2004/023, yang dilaksanakan selama 10 minggu (2 minggu preliminary dan 8 minggu koleksi data) di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong mulai bulan Maret sampai dengan Mei 2006. Materi yang digunakan adalah: 1. 20 ekor sapi Bali jantan umur 4 – 6 bulan dengan bobot hidup berkisar antara 41 – 77 kg yang dikelompokkan menjadi lima berdasarkan bobot hidup yaitu: a) BB 65 – 77, b) BB 58,5 – 65, c) BB 57 – 58, d ) BB 53 – 56, e ) BB 41 – 51. 2. Bahan pakan berupa adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput lapang (Native grass) dan lamtoro (Leucaena leucocephala). Pakan diberikan tiga kali sehari yaitu pagi, siang dan malam (07.00, 13.30 dan 18.30).
Koleksi sisa pakan Sisa pakan setiap ternak dari pengamatan 24 jam diambil sampelnya sebanyak 10%, dikeringkan panas matahari kemudian ditimbang. Sampel dimasukkan dalam kantong kertas, diberi label, dan tanggal pengambilan sampel. Pada akhir koleksi dilakukan komposit tiap perlakuan tiap ternak secara proporsional lalu diambil sub sampel dan dimasukkan dalam oven 60°C selama 24 jam lalu ditimbang, selanjutnya digiling untuk dianalisis kandungan BK, BO, dan PK. Konsumsi pakan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan yang menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan BB awal sebagai covariate dan terdiri dari 4 perlakuan penyajian pakan, 5 kelompok ternak berdasarkan BB. Adapun perlakuan pemberian pakan yang disajkan adalah: A : Rumput Gajah (ad libitum) B : Rumput gajah + Lamtoro 1% BB C : Rumput lapang (ad libitum) D : Lamtoro (ad libitum)
Konsumsi BK = (% BK Pemberian x ∑ Pemberian) – (% BK sisa x ∑ sisa) Konsumsi BO = (% BO Pemberian x ∑ Pemberian x % BK Pemberian) – (% BO sisa x ∑ sisa x % BK sisa) Konsumsi PK = (% PK Pemberian x ∑ Pemberian x % BK Pemberian) – (% PK sisa x ∑ sisa x % BK sisa)
Pertumbuhan
Denah kandang secara umum tentang letak ternak, perlakuan dan ulangan yang dilakukan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Pertumbuhan direfleksikan dengan pertambahan bobot hidup ternak kurun waktu tertentu. Penimbangan bobot hidup dilakukan setiap dua kali seminggu. Pertambahan bobot hidup (PBH) dihitung dengan rumus:
Parameter Koleksi sampel pakan pemberian
PBH = Bobot hidup akhir (kg) – bobot hidup awal (kg) Waktu pengamatan (hari)
Pakan hijauan yang diberikan diambil sampel 1 kg setiap hari, kemudian dipotong Tabel 1. Denah kandang K1 15A
3B
K5 9C
K2
K4
14D 11A 1C 13B 12D 17A 18B 19D 6C 10B 16D
K3 5C
2A
7A 20C
4B
K1 – K5 = Kelompok bobot hidup ternak ; 1 – 20 = Nomor ternak; A – D = Perlakuan pemberian pakan
88
8D
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Konsumsi dan kecernaan pakan
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan nutrisi bahan pakan Hasil analisis proksimat kandungan nilai nutrisi bahan pakan (sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2) tampak bahwa lamtoro merupakan bahan pakan yang mempunyai kandungan protein kasar tertinggi (25,82%); diikuti rumput lapang (10,04%) dan rumput Gajah (7,87%). Namun demikian kandungan serat kasar rumput gajah tampak paling tinggi (24,94%) diikuti rumput lapang (23,47%) dan lamtoro (17,28%). Diantara bahan pakan itu sendiri terdapat beberapa hasil yang berbeda. Kandungan nutrisi bahan pakan tersebut, misalnya komposisi kimia rumput Gajah dipengaruhi oleh varietas dan umur tanaman. HARTADI (1990) melaporkan bahwa kandungan nutrisi rumput gajah segar umur pemotongan 43 – 56 hari adalah 18% BK, 9,1% PK, 33,3% SK, 2,3% LK, 15,4% Abu dan 40% BETN. Dengan demmikian dapat dinyatakan bahwa kualitas rumput Gajah yang digunakan dalam penelitian adalah sedang; karena memiliki kandungan PK yang lebih rendah namun mempunyai kandungan BK dan LK yang lebih tinggi. Adanya perbedaan ini salah satunya disebabkan oleh perbedaan umur tanaman/umur saat potong. Rumput lapang dalam penelitian ini mempunyai kandungan yang cukup baik yakni mempunyai kandungan 10% PK. SUTARDI (1991) melaporkan bahwa rumput lapang (alam) umumnya mengandung 20% BK; 8,4% PK dan 52% TDN dan biasanya tersusun atas beberapa rumput dan sedikit leguminosa. SOETANTO dan SUBAGYO (1988) menyatakan rumput lapang mempunyai komposisi botani yang terdiri atas rumput pahitan (Axonopus compresus), rumput Bermuda (Cynodon dactylon), rumput Jukut (Eleusin indica) dan rumput teki (Kyllinga monocephala).
Konsumsi pakan sebagai salah indikator bahwa pakan yang diberikan adalah disukai ternak dan digunakan sebagai sumber energi dan berproduksi atau dengan pengertian lain bahwa produksi ternak hanya dapat terjadi apabila konsumsi energi pakan berada di atas kebutuhan hidup pokok. Data konsumsi pakan masing-masing perlakuan dalam penelitian ini tercantum dalam Tabel 3. Tabel 3. Konsumsi pakan masing-masing perlakuan (P < 0,05) Konsumsi (g/kg BB 0,75/hari)
Perlakuan A
BK
BO a
72,8
a
PK
64,6
a
6,2a
71,2
a
10,9a
B
78,9
C
84,4a
72,0a
D
a
a
77,6
72,7
9,7a 21,4b
BK: bahan kering; BO: bahan organik; PK: protein kasar
Konsumsi BK masing-masing perlakuan menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05). Konsumsi tertinggi ditunjukkan pada perlakuan C (84,4 gram/kg BB 0,75/hari); namun demikian konsumsi BK perlakuan A, B dan D tidak menunjukkan perbedaan. Keadaan yang demikian menunjukkan bahwa rumput lapang yang diberikan tunggal mempunyai tingkat palabilitas tertinggi diantara perlakuan lain.. Namun demikian konsumsi PK perlakuan D menunjukkan angka tertinggi (21,4 g/kg BB0,75/hari) diikuti perlakuan B (10,9 g/kg BB0,75/hari), C (9,7 g/kg BB0,75/hari) dan D (6,2 g/kg BB0,75/hari). Tingginya konsumsi PK pada perlakuan D berkaitan dengan tingginya kandungan protein kasar lamtoro, yakni sebesar 25,82% (Tabel 2). Oleh karena itu,
Tabel 2. Kandungan nutrisi bahan pakan Bahan pakan
Kandungan nutrisi (berdasarkan 100 % BK) BK
BO
PK
LK
Abu
SK
Rumput Gajah
20,10
88,55
7,87
2,35
11,45
24,94
Rumput lapang
23,23
84,32
10,04
1,96
15,68
23,47
Lamtoro
26,07
92,18
25,82
4,69
7,19
17,28
BK = bahan kering; BO = bahan organik ; PK = protein kasar; LK = lemak kasar; SK = serat kasar
89
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
diindikasikan bahwa tingginya kandungan PK dalam bahan pakan mampu meningkatkan total konsumsi PK. Konsumsi pakan oleh ruminansia dipengaruhi oleh faktor palatabilitas dan ukuran retikulo-rumen. Semakin palatabel bahan pakan maka semakin banyak jumlah pakan yang dikonsumsi, sedangkan pakan yang mudah dicerna atau mempunyai kecernaan yang tinggi akan lebih cepat meninggalkan saluran pencernaan, sehingga lebih banyak ruangan yang tersedia untuk penambahan konsumsi pakan (TILLMAN et al., 1989). Terdapat korelasi antara konsumsi pakan dengan kecernaannya. Data kecernaan bahan pakan secara in vivo masing-masing perlakuan tercantum dalam Tabel 4.
tercantum dalam Gambar 1. Perlakuan D menunjukkan PBHH tertinggi (329,9 g/ekor/hari) diikuti perlakuan B (193,5 g/hari), perlakuan A (162,3 g/hari) dan perlakuan C (105, 2 g/hari). PBHH tertinggi yang dihasilkan oleh perlakuan D dalam penelitian ini hampir sama dengan laporan MASTIKA (2003) yang melakukan pengamatan terhadap sapi Bali muda kebiri yang diberi pakan 70% rumput gajah dan 30 % gliricidia, menghasilkan PBHH 320 g/hari. Adanya kesamaan ini berarti walaupun ada perbedaan umur, perlakuan fisiologis dan pemberian pakan namun tidak memberikan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan ternak.
Tabel 4. Kecernaan in vivo pakan masing-masing perlakuan (P < 0,05)
329,85
350
BK
BO
PK
A
68,7a
72,3a
70,4a
B
67,6a
71,1a
76,4a
C
67,5a
72,6a
74,5a
D
71,5a
74,2a
82,8b
BK: bahan kering; BO: bahan organik, PK: protein kasar
Kecernaan BK dan BO tidak menunjukkan perbedaan antar masing-masing perlakuan, namun demikian kecernaan PK menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kecernaan PK tertinggi terdapat pada perlakuan D (82,9%) diikuti perlakuan B (76,4%), perlakuan C (74,5%) dan perlakuan A (70,4%). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsumsi PK yang berasal dari tingginya kandungan PK; diikuti dengan tingginya kecernaan PK bahan pakan. Pola pertumbuhan Pertambahan bobot hidup harian (PBHH) ternak berdasarkan konsep hiperplasia dan hipertropia sel-sel tubuh adalah merupakan salah satu indikator untuk mengetahui laju pertumbuhan ternak dan efisiensi pakan yang disajikan. Data PBHH kurun waktu penelitian
90
(g/ekor/hari)
300
Kecernaan (%)
Perlakuan
250 200
162,34
193,51
150
105,19
100 50 0 A
B
C
D
Perlakuan
Gambar 1. Pertambahan bobot masing perlakuan
hidup
masing-
Pola pertumbuhan masing-masing perlakuan diilustrasikan dalam Gambar 2. Sampai dengan pengamatan ke-7 (minggu ke-3), pola pertumbuhan ternak perlakuan D (pemberian lamtoro tunggal) tampak menurun. Hal ini berkaitan dengan penyesuaian bahan pakan terhadap tingkat palatabilitas ternak. Tampak bahwa penurunan bobot hidup yang dihasilkan oleh perlakuan D sangat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi terhadap lamtoro yang semakin menurun. Namun demikian mulai pertengahan minggu ke-4 mulai kelihatan bahwa pertambahan bobot hidup ternak mulai meningkat. Pertengahan minggu ke-6 atau pengamatan ke-19 tampak bahwa PBHH perlakuan D berada di atas perlakuan A, B dan C. Namun demikian diindikasikan bahwa respon pertambahan bobot hidup masingmasing perlakuan mulai meningkat pada pengamatan ke 10 (awal minggu ke-5).
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
90 80 70
(kg)
60 50 40 30 20 10 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
Pengamatan ke A
B
C
D
Gambar 2. Pola pertumbuhan ternak masing-masing perlakuan
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Pertumbuhan pedet sapi Bali lepas sapih menunjukkan pola yang berbeda akibat pemberian hijauan pakan yang berbeda. Pemberian lamtoro yang diberikan secara tunggal dalam pakan memberikan hasil terbaik terhadap konsumsi, kecernaan dan pertambahan bobot hidup ternak.
AMRIL, M.A., S. RASJID dan S. HASAN. 1990. Rumput lapangan dan jerami padi amoniasi urea sebagai sumber hijauan dalam penggemukan sapi Bali jantn dengan makanan penguat. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. 20 – 22 September 1990. Fak. Peternakan Universitas Udayana, Denpasar.
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada: 1. Pihak ACIAR Project No. LPS 2004/023 yang telah mendanai kegiatan penelitian kerjasama ini. 2. Sriyana, teknisi laboratorium Loka Penelitian Sapi Potong terkait dengan analisis proksimat bahan pakan. 3. Bambang Suryanto dan M. Hanafi, teknisi kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong.
ANONIMUS. 2004. Pengembangan Sistem Manajemen Breeding Sapi Bali. Laporan Akhir Penelitian. Kerjasama Teknis antara Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya dengan Proyek Peningkatan Produksi Peternakan Tahun Anggaran 2004. Malang BAMUALIM, A. dan R.B. WIRDAHAYATI. 2002. Nutrition and Management strategies to improve Bali cattle productivity in Nusa Tenggara. ACIAR Proc. No. 110. Canberra. HARTADI, H. 1990. Tabel Komposisi Bahan Makanan Ternak. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
91
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
MASTIKA, I.M., M.P. MARIANI and N.N. SURYANI. 1996. Observation on feedlotting on Bali Cattle. Proc.of Seminar on Bali Cattle, a special species fir the dry tropics, held by Indonesian Australian Eastern University Project (IAEUP). Udayana UniversityUniversity Lodge, Bukit Jimbaran, Bali. MASTIKA, I.M. 2003. Feeding strategies to improve the production performance and meat quality of Bali cattle (Bos sondaicus). Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. Proceeding of a Workshop 4 – 7 February 2002, Bali Indonesia. Aciar Proc. No. 110. pp. 10 – 13. PANE, I. 1991. Produktivitas dan Breeding Sapi Bali. Proc. Seminar Nasional Sapi Bali. Ujung Pandang, 2 – 3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin, Ujung Pandang.
92
SUTARDI, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Dept. Ilmu makanan Ternak. Fakultas Peternakan IPB, Bogor. SOETANTO, H. dan I. SUBAGIYO. 1988. Landasan Agrostologi. NUFFIC. Universitas Brawijaya, Malang. TALIB, C., K. ENTWISTLE, A. SIREGAR, S. BUDIARTITURNER and D. LINDSAY. 2003. Survey of Population and Production Dynamics of Bali Cattle and Existing Breeding Program in Indonesia. ACIAR Proc. No. 110. Canberra TILLMAN, A.D., H. HARTADI dan S. REKSOHADIPRODJO. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. WIRDAHAYATI, R.B., P.T FERNANDEZ, C. LIEM and A. BAMUALIM. 1998. Strategies to Improve Beef Cattle Productivity in Nusa Tenggara Region, Indonesia. Bull. Anim. Sci. Suppl. Ed. pp. 316 – 322.