POLA PERTUMBUHAN INISIAL PEDET SAPI BALI LEPAS SAPIH YANG DIBERI PAKAN HIJAUAN BERBEDA Dicky Pamungkas, E. Romjali, Y.N. Anggraeny dan N. H. Krishna Loka Penelitian Sapi Potong Grati
ABSTRAK Suatu percobaan telah dilakukan di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong; guna mengetahui pertumbuhan inisial pedet sapi Bali lepas sapih yang diberi pakan hijauan berbeda sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan pertumbuhannya. Sebanyak 20 ekor pedet sapi Bali lepas sapih jantan berumur 5-6 bulan (rataan berat badan awal 45-71 kg) yang digunakan sebagai materi penelitian, ditempatkan secara acak ke dalam kandang individu. Ternak dikelompokkan berdasarkan BB awal ke dalam 4 kelompok perlakuan pakan, yaitu (A) = rumput gajah tunggal, (B) = rumput gajah + lamtoro 1 % BB, (C) = rumput lapang dan (D) = lamtoro tunggal. Parameter yang diukur meliputi : konsumsi pakan, pertambahan berat badan dan konversi pakan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok. Observasi dilakukan sebatas 6 minggu. Diperoleh hasil bahwa pada masa adaptasi (dua minggu) ditunjukkan adanya penurunan berat badan pada perlakuan A, B dan D masingmasing sebesar 20 g/hr, 10 g/hr dan 15 g/hr; namun perlakuan C menunjukkan peningkatan berat badan sebesar 20 g/hr. Rataan konsumsi segar masing-masing perlakuan adalah 7552,0 g/ hr rumput gajah (A), 4673,2 g/hr rumput gajah + 1244,8 g/hr lamtoro (B) 8687,0 g/hr dan 3031,2 g/hr. Didapatkan hasil bahwa secara signifikan (P<0,05) perlakuan D menunjukkan pertumbuhan tercepat (250 g/hr); diikuti perlakuan B, A dan C masing-masing sebesar 140 g/hr, 110 g/hr dan 30 g/hr; sedangkan konversi pakan (berdasarkan BK pakan dan PBBH) adalah : 13,04 (A); 32,81 (B); 75,29(C) dan 3.63 (D). Dengan demikian pemberian lamtoro cukup mampu memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan inisial pedet lepas sapih. Kata kunci : pertumbuhan inisial, pedet lepas sapih, sapi Bali
PENDAHULUAN Sapi Bali merupakan ternak potong yang ideal ditinjau dari aspek produksi daging yang disenangi konsumen karena kadar lemaknya rendah (lean meat), serta menghasilkan karkas yang sangat bagus (Saka, 2000). Daging yang dihasilkan oleh sapi Bali tergolong berkualitas baik. Persentase karkas pemotongan dapat mencapai 56,9 % dari bobot keseluruhan (Suharno, 1994). Sementara itu tingginya fertilitas pada induk sapi Bali ternyata diimbangi dengan tingginya tingkat kematian pada pedet. Menurut Wirdahayati dan Bamualim (1995), jumlah kematian dini pada pedet sapi Bali mencapai 30%. Tingginya angka kematian pada pedet sebelum disapih merupakan faktor utama penyebab rendahnya produktivitas sapi Bali. Untuk mengurangi tingginya angka kematian pedet sebelum disapih, maka dilakukan penyapihan dini. Pada umumnya pedet sapi Bali disapih pada umur 7 bulan (Bamualim, 2002). Namun pada penyapihan dini, pedet disapih pada umur 3-6 bulan. Penyapihan dini merupakan strategi untuk meningkatkan kemampuan hidup pedet dan mengurangi tingkat kematian. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi Bali memberikan respon positif terhadap perbaikan pakan yang ditandai dengan meningkatnya pertambahan bobot badan. Rataan pertambahan bobot badan sapi Bali yang diberi rumput lapang tanpa diberi pakan tambahan adaalah 175,8 gram/hari, namun laju pertambahan bobot badan harian meningkat jika diberi tambahan konsentrat 1,8 % dari bobot badan yakni mencapai 313,9 gram/hari (Amril et al., 1990) Pemberian nutrisi yang bagus diiringi dengan strategi manajemen dapat meningkatkan produktivitas sapi Bali. Manajemen tersebut meliputi penyapihan dini dan perbaikan sistem perkandangan.
Tempat hidup sapi Bali yang rata-rata didaerah kering menyebabkan kurangnya pakan karena tanaman pakan ternak tidak mampu beradaptasi pada lahan kering. Oleh karena itu dibutuhkan tanaman pakan ternak yang dapat tumbuh pada lahan kering seperti bangsa leguminosa pohon seperti Lamtoro (Leucaena Leucocephala) dan rumput-rumputan yang tahan terhadap kekeringan. Di beberapa sentra pemeliharaan, terdapat variasi bobot lahir dan bobot sapih serta bobot umur 1 tahun. Talib et.al., (2003) melaporkan bobot sapih sapi Bali di Sulsel mencapai 64,4 kg; sedangkan di NTT, NTB dan Bali masing-masing 79,2 kg, 83,9 kg dan 82,9 kg. Sedangkan bobot saat pubertas di wilayah tersebut berkisar 170,4 sampai 225,2 kg. Adanya perbedaan ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan, terutama nutrisi. Pertumbuhan pedet sapi lepas sapih perlu ditingkatkan guna mempersiapkan bakalan sapi Bali dengan tampilan produksi yang optimal. Sejauh ini belum ada acuan ataupun rekomendasi tentang standar pemberian pakan untuk pedet sapi Bali lepas sapih, terkait dengan laju pertumbuhan sesuai dengan potensi genetiknya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui respon pertumbuhan awal dan efisiensi penggunaan pakan pedet sapi Bali lepas sapih jantan yang mendapat pakan hijauan berbeda sebagai salah satu strategi peningkatan pertumbuhan. MATERI DAN METODA Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. 20 ekor sapi Bali jantan umur 4-6 bulan dengan berat badan berkisar antara 41-77 kg yang dikelompokkan menjadi lima berdasarkan bobot badan yaitu: a) BB 65 – 77 ; b) BB 58,5 – 65 ; c) BB 57 – 58 ; d ) BB 53 – 56 ; e ) BB 41 – 51. 2. Bahan pakan yang digunakan adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput lapang (Native Grass) dan lamtoro (Leucaena leucocepala). Pakan diberikan tiga kali sehari yaitu pagi, siang dan malam (07.00, 13.30, dan 18.30). Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan yang menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial yang terdiri dari 4 perlakuan penyajian pakan, 5 kelompok ternak berdasarkan BB . Adapun perlakuan yang digunakan adalah : A : Rumput gajah (ad libitum) B : Rumput gajah + Lamtoro 1% BB C : Rumput lapang (ad libitum) D : Lamtoro (ad libitum) Denah kandang secara umum tentang letak ternak, perlakuan dan ulangan yang dilakukan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Denah kandang K1 K5 1 3 9 1 1 1 1 5 B C 4 1 C 3 A D A B Keterangan: K A-D 1-20
K2 1 2 D
1 7 A
1 8 B
K4 1 9 D
6 C
1 0 B
1 6 D
K3 5 C
2 A
7 A
20 C
4 B
8 D
= Kelompok berat badan ternak = Perlakuan pemberian pakan = Nomor ternak
Parameter a. Koleksi sampel pakan pemberian Pakan hijauan yang diberikan diambil sampel 1 kg setiap hari, kemudian dipotong-potong lalu ditimbang dan setelah itu sampel dimasukkan ke dalam kotak kertas, diberi label dan tanggal pengambilan sampel. Setelah itu sampel dimasukkan dalam oven 600C selama 24
jam kemudian ditimbang untuk mengetahui BKudara, selanjutnya digiling dengan grinder untuk dianalisis kandungan BK, BO dan PK. b. Koleksi sisa pakan Sisa pakan setiap ternak dari pengamatan 24 jam diambil sampelnya sebanyak 10 %, dikeringkan panas matahari kemudian ditimbang. Sampel dimasukkan dalam kantong kertas, diberi label, dan tanggal pengambilan sampel. Pada akhir koleksi dikomposit tiap perlakuan tiap ternak secara proporsional lalu diambil sub sampel dan dimasukkan dalam oven 600C selama 24 jam lalu ditimbang, selanjutnya digiling untuk dianalisis kandungan BK, BO, dan PK. c. Konsumsi pakan dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Konsumsi BK = (% BK Pemb x ∑ Pemb) – (% BK sisa x ∑ sisa) Konsumsi BO = (% BO Pemb x ∑ Pemb x % BK Pemb) – (% BO sisa x ∑ sisa x % BK sisa) Konsumsi PK = (% PK Pemb x ∑ Pemb x % BK Pemb) – (% PK sisa x ∑ sisa x % BK sisa) d.. Pertumbuhan Pertumbuhan direfleksikan dengan pertambahan berat badan ternak kurun waktu tertentu. Penimbangan berat badan dilakukan setiap dua kali seminggu. Pertambahan berat badan berat badan (PBB) dihitung dengan rumus: PBB e.
=
Berat badan akhir (kg) – berat badan awal (kg) Waktu pengamatan (hari)
Konversi pakan Konversi pakan (KP) merupakan cerminan dari efisiensi pakan yang dihitung berdasarkan rumus: KP
=
Pakan yang dikonsumsi (gram/ekor/hari) Pertambahan berat badan (gram/ekor/hari)
X 100 %
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi pakan Kebutuhan pakan sebagai suatu hal yang harus terpenuhi oleh ternak demi menjaga kelangsungan hidup dan produksinya. Konsumsi pakan sebagai salah indikator bahwa pakan yang diberikan adalah disukai ternak dan digunakan sebagai sumber energi dan berproduksi atau dengan pengertian lain bahwa produksi ternak hanya dapat terjadi apabila konsumsi energi pakan berada di atas kebutuhan hidup pokok. Data keragaman konsumsi pakan dalam penelitian ini tercantum dalam Gambar 1.
Konsumsi segar masing-masing perlakuan
(gram/hari)
10000
5000 0 r.Gajah lamtoro r.Lapang
A
B
7552
4673
C
1249
D 3031
8687
Gambar 1. Rataan Konsumsi segar masing-masing perlakuan (gram/hari) Data dalam Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat keragaman dalam konsumsi hijauan segar masing-masing perlakuan. Secara statistik konsumsi segar rumput lapang (C) (8687 gram/ hari) dan rumput gajah (A) (7552 gram/hari) tidak menunjukkan perbedaan (P>0,05); namun tingkat konsumsi pada kedua perlakuan tersebut tampak lebih tinggi (P<0,05) dibanding konsumsi perlakuan B dan D, yakni masing-masing sebesar 4673 gram/hari (rumput gajah) + 1249 gram/hari (lamtoro) dan 3031 gram/hari (lamtoro). Keadaan yang demikian mencerminkan adanya pola preferensi yang berbeda terhadap pakan yang disajikan. Rumput lapang yang diberikan tunggal dengan tekstur yang lebih lembut tampak lebih disukai dibanding hijauan lain. Apabila dihitung berdasarkan kandungan bahan pakan hasil analisis proksimat (sebagaimana tercantum dalam Tabel 1), maka terdapat rataan konsumsi total bahan kering, bahan organic dan protein kasar; seperti yang tersaji dalam Gambar 2. Tabel 1. Kandungan nutrisi bahan pakan Bahan pakan
Kandungan nutrisi (berdasarkan 100 % BK) BK
BO
PK
LK
Abu
SK
Rumput gajah
20,10
88,55
7,87
2,35
11,45
24,94
Rumput lapang
23,23
84,32
10,04
1,96
15,68
23,47
Lamtoro
26,07
92,18
25,82
4,69
7,19
17,28
Keterangan: BK = bahan kering ; BO = bahan organic ; PK = protein kasar ; LK = lemak kasar; SK = serat kasar Sumber: Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Lolit Sapi Potong Grati (2006) Berdasarkan hasil analisis proksimat terhadap kandungan nilai nutrisi bahan pakan, tampak bahwa lamtoro merupakan bahan pakan yang mempunyai kandungan protein kasar tertinggi (25,82 %); diikuti rumput lapang (10,04 %) dan rumput gajah (7,87 %). Namun demikian kandungan serat kasar rumput gajah tampak paling tinggi (24,94 %) diikuti rumput lapang (23,47 %) dan lamtoro (17,28 %). Diantara bahan pakan itu sendiri terdapat beberapa hasil yang berbeda. Kandungan nutrisi bahan pakan tersebut, misalnya komposisi kimia rumput gajah dipengaruhi oleh varietas dan umur tanaman. Hartadi (1990) melaporkan bahwa kandungan nutrisi rumput gajah segar umur pemotongan 43-56 hari adalah 18 % BK, 9,1 % PK, 33,3 % SK, 2,3 % LK, 15,4 % Abu dan 40 % BETN. Dengan demmikian dapat dinyatakan bahwa kualitas rumput gajah yang digunakan dalam penelitian adalah sedang; karena memiliki kandungan PK yang lebih rendah namun mempunyai kandungan BK dan LK yang lebih tinggi. Adanya perbedaan ini salah satunya disebabkan oleh perbedaan umur tanaman/umur saat potong. Rumput lapang dalam penelitian ini mempunyai kandungan yang cukup baik yakni mempunyai kandungan 10 % PK. Sutardi (1991) melaporkan bahwa rumput lapang (alam) umumnya mengandung 20 % BK; 8,4 % PK dan 52 % TDN dan biasanya tersusun atas beberapa rumput dan sedikit leguminosa. Soetanto dan Subagyo (1988) menyatakan rumput lapang mempunyai komposisi botani yang terdiri atas rumput pahitan (Axonopus .compresus), rumput Bermuda (Cynodon dactylon), rumput Jukut (Eleusin indica) dan rumput teki (Kyllinga monocephala).
8000.0 7000.0
7324.9 6687.3
(gram/hari)
6000.0
BK
4000.0
1000.0
BO
2794.0
3000.0 2000.0
Gamba
5191.1
5000.0
PK
2018.0
1520.2
1266.3 594.3
425.4
872.2
790.2 782.6
r 2. Rataan
0.0 A
B
C
D
Kelompok Perlakuan
konsumsi total bahan kering, bahan organic dan protein kasar masing-masing perlakuan Data dalam gambar 2 menyatakan bahwa rataan konsumsi BK, BO dan PK perlakuan D adalah paling rendah, masing-masing sebesar 790,2 gram/hr ; 2794 gram/hr dan 782,6 gram /hr. Keadaan yang demikian mencerminkan bahwa palatabilitas pakan D rendah. Hal ini diduga disebabkan adanya factor anti-nutrisi ataupun bau; sehingga menyebabkan lamtoro kurang disukai. Namun demikian untuk meningkatkan konsumsi ini diperlukan tambahan waktu adaptasinya. Soebarinoto et al (1991) melaporkan bahwa perbedaan konsumsi diantara ternak dapat diukur denan menggunakan pakan standar. Namun demikian keragaman konsumsi pakan selain disebabkan factor pakan itu sendiri juga disebabkan oleh factor individu, species dan bangsa ternak, status fisiologis, kebutuhan energi, kualitas pakan dan kondisi lingkungan.
Pertumbuhan inisial Pertumbuhan ini diukur pada saat awal-awal penelitian, yakni dimana ternak dikondisikan pada kandang individu dan diberi pakan sesuai dengan strategi penyediaan hijauan. Data dalam Gambar 3 menyatakan respon pertumbuhan pada awal masa adaptasi Tampak bahwa kurun waktu dua minggu, ternak yang dikondisikan masih dalam kondisi stress, yakni stress pakan dan stress lingkungan.
gram/hari
Perubahan BB masa adaptasi 25 20 15 10 5 0 -5 -10 -15 -20 -25
20
A
B
C
D
-10 -15 -20
Gambar 3. Perubahan berat badan sapi Bali lepas sapih masa adaptasi (gram/hari) Perlakuan A, B dan D masing-masing menunjukkan penurunan berat badan, yakni sebesar 20 gram/hari, 10 gram/hari dan 15 gram/hari. Kondisi ini mencerminkan tingkat adaptasi lingkungan yang rendah. Lingkungan yang kurang memadai menyebabkan ternak kurang bisa beradaptasi dengan baik, walaupun tingkat konsumsi terhadap pakan relatif stabil. Beberapa stressor yang diduga menyebabkan penurunan berat badan antara lain : suhu lingkungan yang berubah-ubah (kondisi hujan), angin yang berhembus terlalu kencang, pakan yang diberikan paltabilitasnya rendah dan adaptasi terhadap pekerja kandang/peneliti. Oleh karena itu perlu dilakukan penambahan waktu adaptasi dan perbaikan managemen kandang (antara lain dengan pemberian sekat plastik untuk menahan angin), guna menjamin observasi yang lebih seksama dengan mengetahui intake pakan yang lebih stabil. Pertambahan berat badan Kurun waktu 6 minggu, setelah melalui beberapa masa adaptasi, tampak perubahan berat badan ternak pada masing-masing perlakuan. Fluktuasi perubahan berat badan masingmasing perlakuan disajikan dalam Gambar 4.
70.00
Live weight (kg)
65.00 60.00 55.00 50.00 45.00
4/ 18 /2 00 6
4/ 11 /2 00 6
4/ 4/ 20 06
3/ 28 /2 00 6
3/ 21 /2 00 6
3/ 14 /2 00 6
3/ 7/ 20 06
2/ 28 /2 00 6
2/ 21 /2 00 6
40.00
Date Elephant grass
EG + Leucaena
Native grass
Leucaena
Gambar 4. Pertambahan berat badan pedet sapi Bali lepas sapih masing-masing perlakuan Awal pengamatan (dua minggu pertama), tampak bahwa perlakuan C (rumput lapang) menunjukkan pertambahan berat badan yang paling tinggi (0,02 kg/hari), sedangkan tiga perlakuan lainnya menunjukkan pertumbuhan negatif (Gambar 3). Namun demikian, pada awal minggu ke tiga pengamatan ditunjukkan bahwa semua perlakuan mulai menunjukkan
pertumbuhan positif. Sampai akhir minggu ke-6, perlakuan A menunjukkan pertambahan berat badan sebesar 110 gram/hari; sedangkan perlakuan B mencapai 140 gram/hari dan perlakuan D menunjukkan pertambahan tertinggi (P<0,05), yakni mencapai 250 gram/hari. Pertambahan berat badan hasil penelitian ini relatif sama dengan laporan Bamualim dan Wirdahayati (2003), bahwa pedet sapi Bali yang induknya mendapat perbaikan pakan mempunyai pertambahan berat badan berkisar 0,15 – 0,27 kg/ekor/hari. Hal yang menarik, justru terdapat pada perlakuan C (pemberian rumput lapang) dimana pertambahan berat badan yang dihasilkan hanya mencapai 30 gram/hari. Kondisi yang demikian berkaitan dengan kualitas bahan pakan yang diduga tidak stabil. Sehingga menyebabkan tingkat konsumsi yang rendah dan berfluktuasi. Walaupun data hasil analisis proksimat yang disajikan dalam Tabel 1 menyatakan kandungan nutrisi rumput lapang cukup baik. Mekanisme pertambahan berat badan dan konsumsi serta kecernaan bahan pakan adalah sangat berkaitan. Namun demikian terdapat dugaan bahwa efisiensi fermentasi mikroba dalam perlakuan C adalah rendah. Selaina itu factor gastro-intestinal dan sifat fisik pakan yang mempengaruhi tingkah laku makan (awal dan akhir), meliputi: (1) distensi rumen, (2) pH cairan rumen, (3) produk-produk pencernaan (asam-asam lemak terbang, asam laktat, amina dan asam amino) (Soebarinoto et al.,1991). Konversi pakan Efisiensi pakan yang merupakan implikasi dari konversi pakan ke pertambahan berat badan ternak pada masing-masing perlakuan disajikan dalam Tabel 2. Tampak bahwa daun lamtoro yang diberikan tunggal (perlakuan D) mempunyai angka konversi yang paling rendah (3,63) diikuti pemberian rumput gajah (13,04) tunggal (perlakuan A), pemberian pakan kombinasi (32,81( rumput gajah dan lamtoro (perlakkuan B) dan pemberian rumput lapang (perlakaun C) sebesar 75,29. Implikasi dari angka konversi pakan ini adalah bahwa semakin sedikit pakan yang diberikan untuk menghasilkan pertambahan berat badan yang tinggi akan menghasilkan angka yang lebih rendah, sehingga pakan yang dikonsumsi ternak menjadi lebih efisien. Tabel 2. Konversi pakan masing-masing perlakuan (P<0,05) Perlakuan
Konversi pakan
A
13,04b
B
32,81c
C
75,29d
D
3.63a
Dengan demikian bahwa daun lamtoro menunjukkan respon yang paling baik terhadap performans ternak pada akhir pengamatan (6 minggu), walaupun pada awal pengamatan mengalami pertumbuhan negatif; demikian sebaliknya bahwa rumput lapang tampak paling tidak efisien dalam menghasilkan pertambahan berat badan. Hasil ini membuktikan bahwa pedet sapi Bali lepas sapih cukup merespon pakan yang berkualitas baik. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan efisiensi penggunaan pakan, pemberian daun lamtoro sebagai pakan tunggal menunjukkan respon paling baik apabila dilihat dari segi pertumbuhan inisial pedet sapi Bali lepas sapih, namun dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk adaptasinya. DAFTAR PUSTAKA
Amril, M.A., S. Rasjid dan S. Hasan. 1990. Rumput lapangan dan jerami padi amoniasi urea sebagai sumber hijauan dalam penggemukan sapi Bali jantn dengan makanan penguat. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. 20-22 September 1990. Fak. Peternakan. Univ. Udayana. Denpasar. Bamualim, A dan R.B. Wirdahayati. 2002. Nutrition and Management strategies to improve Bali cattle productivity in Nusa Tenggara. In: In : Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. K. Enwistle and D.R. Lindsay (Eds). ACIAR Proc. No. 110. Canberra. Saka, I.K. 2000. Potensi sapi Bali sebagai ternak potong ditinjau dari karakteristik karkas. Pros. Sem.Nas. Peranan BIB Singosari dalam Menghadapi Swasembada Daging TH. 2005 melalui Uji Keturunan Sapi Bali dan KSO Semen Beku. Hedah, D, Soemitro S.B., Djati, MS dan Susilawati T. (Eds). Penerbit Fak. Pertanian. Univ. Brawijaya Malang. Suharno, B dan Nazaruddin.1994. Ternak Komersial. Penebit Swadaya. Jakarta. Wirdahayati , R.B. dan A.Bamualim 1995. Parameter fenotipik dan genetik sifat produksi dan reproduksi sapi Bali pada Proyek Pembibitan dan Pengembangan sapi Bali (P3Bali) di Bali. Thesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti-Turner and D. Lindsay. 2003. Survey of Population and Production Dynamics of Bali Cattle and Existing Breeding Program in Indonesia. In : Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. K. Enwistle and D.R. Lindsay (Eds). ACIAR Proc. No. 110. Canberra. Hartadi , H. 1990. Tabel Komposisi Bahan Makanan Ternak. UGM Press. Yogyakarta. Soebarinoto, S. Chuzaemi dan Mashudi. 1991. Ilmu Gizi Ruminansia. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. LUW. Univ. Brawijaya Animal Husbandry Project. Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Dept. Ilmu makanan Ternak. Fak. Peternakan. IPB. Bogor. Soetanto,
H., dan I., Subagiyo, Brawijaya.Malang.
1988.
Landasan
Agrostologi.
NUFFIC.
Universitas