BULETIN #1
S A H A BAT P ETA NI
1
BEKERJA BERSAMA, BELAJAR BERSAMA, MENULIS BERSAMA EDISI PERKENALAN
MENGEMBANGKAN
PERTANIAN ORGANIK Editor : Chiko Reporter : Ari, Bumi Lestari Kontributor : jenèt Desain & Tata letak : Mobutu Sese Seko Email :
[email protected]
SP
2
Salam dari kami semua!
Salam sejahtera dari kami untuk kawan-kawan
Setelah bulan Ramadhan berlalu, hiruk-pikuk lebaran dan kesibukan mudik usai, kini di hadapan kawankawan hadir “SAHABAT PETANI” yang sangat ramping dan sederhana. Sebagai “pendatang baru”, SAHABAT PETANI (SP) ingin menyapa dan memperkenalkan diri kepada kawan-kawan sekalian. SP ingin menjadi sahabat setia yang jujur bagi kawan-kawan saat belajar, bekerja dan berkarya. SP juga bisa menjadi tempat bagi kawankawan untuk memperoleh informasi yang berguna, menjadi tempat untuk “curhat” atau berdiskusi dan saling memberi inspirasi. SP sepenuhnya milik Pak dan Bu tani, karena itu, sudah sepatutnya ia mencerminkan suara hati dan pikiran kaum tani. Ibaratnya bayi yang baru dilahirkan, SP akan hidup, tumbuh dan berkembang jika para petani sendiri yang memberinya daya hidup dan rajin merawatnya agar ia memiliki kekuatan untuk tumbuh dan berkembang secara sehat dan kuat. SP menyediakan diri sebagai tempat untuk belajar. Melalui rubrik “Mari Belajar” (dalam nomor perkenalan ini belum ditampilkan), SP menyajikan pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman kawankawan petani. Seperti kita ketahui, di antara kawan kita ada yang rajin membuat percobaan-percobaan di bidang pertanian, hingga ia menemukan cara pembuatan pupuk
cair organik, misalnya. Penemuan-penemuan seperti itu bisa kita bagi kepada teman-teman lain melalui buletin ini. Selain itu, SP juga menyajikan berita-berita nasional dan internasional yang aktual. Di lembar lain, “Dari Hati ke Hati” disediakan untuk “curhat” atau berdiskusi, atau memberikan usulan, saran-saran, masukan, bahkan kritik yang dapat memberi enerji bagi pertumbuhan dan perkembangan buletin ini. “Profil”, menampilkan kisah atau perjalanan hidup sahabat petani; “Berita Sahabat” mengabarkan peristiwa atau kegiatan-kegiatan yang melibatkan kawan-kawan; halaman “Budaya” berisi karya-karya seni atau peristiwa budaya yang terjadi di sekitar kita; dan yang terakhir, “Ruang Perempuan” disediakan untuk mengetengahkan berbagai persoalan dan perjuangan kaum perempuan. Kami bisa membayangkan betapa banyak yang ingin dan bisa kawan-kawan tuliskan di buletin ini. Bagaimanapun kami sadari, tidaklah selalu mudah menuangkan pikiran, uneg-uneg atau perasaan ke dalam sebuah tulisan yang enak dibaca dan mudah dipahami. Tapi melalui buletin ini, kita bisa «belajar menulis sambil menulis». Dan bila diperlukan, kami bisa membantu kawan-kawan dengan pelatihan menulis. Kami percaya, teman-teman memiliki potensi besar yang belum digali dan digunakan secara sungguhsungguh. Sekaranglah waktunya bagi teman-teman untuk mulai melakukannya secara nyata.
Dari Hati ke Hati Pemilik Negeri yang Berdaulat Seorang ibu petani dan seorang pegawai restoran waralaba sama-sama menemukan resep masakan baru. Ibu petani -- nasi jagung rasa vanili, pegawai restoran waralaba -- hamburger rasa cabe hijau. Dalam waktu satu bulan, hamburger rasa cabe sudah dipatenkan dan ratusan ribu orang sudah tergila-gila dengan hamburger rasa cabe hijau. Sedangkan masakan ibu tani, banyak tetangga malah mencemooh „aneh-aneh saja, nasi jagung kok dicampur vanili, sayang vanilinya dong“,hal mana membuat ibu petani jadi tidak percaya diri; walaupun ia juga seorang penemu, ia tidak berdaya dan disepelekan. Upaya untuk memperbaiki situasi ibu petani tersebut sudah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, namun sayangnya usaha tersebut masih berangkat dari perspektif „sang penolong“ atau masih berperspektif eksternal (misalnya memberi modal, kursus marketing, membelikan alatalat produksi, dsb.). Melihat ketidak-berhasilan bantuan semacam itu, maka perlu dikembangkan dukungan (bukan bantuan) bagi ibu petani yang berperspektif internal, yaitu yang bertolak dari kepentingan ibu tani. Dukungan tersebut merupakan pemberian fasilitas bagi ibu petani untuk menemukan dan mengembangkan potensi kekuatannya secara maksimal. Artinya, kalau ibu petani memang mempunyai potensi menjadi produsen besar, maka ia akan menemukan jalannya sendiri. Tetapi jika kekuatannya terletak pada kreativitas untuk menemukan resep-resep baru, maka ia tidak harus menjadi pengusaha, tapi lebih tepat menjadi kreator masakan baru. Di sini fasilitator bisa memberikan dukungan dengan bertolak dari
kepentingan ibu petani itu sendiri, dan jangan sekali-kali bertolak dari kepentingan eksternal sebagai „sang penolong”, karena bisabisa membuat ibu tani menjadi bergantung pada eksternal. Dukungan berperspektif internal ini hanya dapat berfungsi apabila ibu petani berdaulat. Agar ibu petani berdaulat, Combrang Bu Rasem *) Lihat Profile syarat terpenting adalah memiliki kepercayaan diri. Kepercayaan diri bisa tumbuh jika ada pengakuan, penghargaan dan apresiasi terhadap temuan, karya maupun produk ibu petani. Pengakuan, perhargaan dan apresiasi tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja dengan membuka ruang seluas-luasnya di publik untuk mempromosikan temuan, karya dan produk ibu petani. Dengan terbukanya ruang promosi di publik tersebut, ibu petani tidak akan minder berhadapan dengan orang yang mempunyai berderet-deret titel akademis, orang yang mempunyai modal besar atau penguasa negara dengan jabatan setinggi langit. Karena hakekatnya, ibu petani adalah pemilik negeri yang berdaulat penuh untuk menentukan nasibnya sendiri. (Wst/PRM)
3
Berita Sahabat WISATA BUDAYA BERSAMA KPIA Komunitas Peduli Ibu & Anak (KPIA) beberapa waktu lalu mengundang Kelompok Tunas Bangsa dan Bunga Melati dari Cilacap serta Paguyuban Perempuan Banyumas (PPB) dan Lansia Purwokerto untuk hadir di
Jumat, 29 Juni 2012 dinihari rombongan tiba di Jakarta. Ada yang naik kereta dan ada juga yang naik bis. Setelah istirahat beberapa jam, rombongan kami ajak berkunjung ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk mengenal dan berbincang dengan Ketua, Komisioner dan para staf
Paduan Suara Wanodja Binangkit menyanyikan lagu-lagu perjuangan
Jakarta dalam rangka wisata budaya, yakni menyaksikan malam seni “Jakartaku yang Urban”. Pertunjukan seni ini diselenggarakan oleh Wanodja Binangkit, didukung oleh beberapa lembaga, antara lain Komnas HAM, Komnas Perempuan, YLBHI, ELSAM, dan sebagainya, dalam rangka merayakan ulang tahun Jakarta. Dari setiap kelompok masing-masing dua orang yang diundang, dan mereka menanggung sendiri biaya transportasi serta penginapan selama di Jakarta. Sayangnya PPB tak bisa mengirimkan wakilnya karena berbagai hal. Pada akhirnya yang datang satu orang dari Purwokerto dan sembilan orang dari Cilacap.
di sana. Kunjungan ke Komnas Perempuan ini untuk memanfaatkan waktu, selagi kawan-kawan berkesempatan datang ke Jakarta. Perkenalan dan diskusi ini berlangsung selama kurang lebih 3 jam dalam suasana yang akrab dan padat informasi. Di akhir acara, rombongan menikmati jamuan makan siang yang disediakan oleh Komnasper. Dari Komnas Perempuan, rombongan kami antar ke Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) untuk melepas lelah. Malam harinya, bersama ratusan tamu undangan lainnya, mereka menyaksikan pertunjukan seni dengan berbagai acara, yakni tari daerah, paduan suara, dan drama “Nyai Dasima”. Pertunjukan seni ini menampilkan ibu-ibu Wanodja Binangkit, ibu-ibu KPIA, Perhimpunan Indonesia Tionghoa (PINTI) dan sebagainya. Pukul 22.00 acara pun usai, dan rombongan segera meninggalkan GKJ, menuju ke penginapan keluarga. Pagi harinya kami menuju Cibubur, memenuhi undangan makan siang dari seorang sahabat pemilik restoran. Tapi bukan hanya jamuan makan yang kami nikmati, melainkan juga bernyanyi bersama diiringi organ tunggal oleh seorang pemusik. Tanpa ragu, satu per satu dari kami secara bergantian tampil menyanyi, termasuk tiga biduan KPIA yang membawakan lagu “Tetap Senyum Menjelang Fajar”. Kebetulan salah satu yang hadir hari itu berulang tahun emas atau ultah ke-50, dan lagu itu dipersembahkan untuknya. Semua riang, semua senang. Acara wisata ini bahkan “bisa menambah umur kita seratus tahun lagi”, celetuk salah seorang teman.
Suasana penonton di GKJ
Tak terasa waktu sudah menjelang petang. Rombongan pun undur diri, bersiap pulang ke kampung. Kami, nyonya rumah mengantarkan sebagian rombongan ke terminal bus Kampung Rambutan, sebagian lagi ke stasiun Kota. Selamat jalan kawan-kawan, sampai jumpa pada kesempatan lain. (Chiko)
4
Ruang Perempuan Semula, Kiswanti bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Upah bulanannya ia belikan buku. Tahun 1997 ia berhenti bekerja dan beralih menjadi pedagang kelontong keliling, lalu terakhir menjadi pedagang jamu. Sambil berdagang ia membawa buku-buku untuk dipinjamkan kepada anak-anak. Ketika itu, Kiswanti belum berani melakukan apa pun untuk lingkungannya. Tahun 1997, tiap hari Minggu ia mulai mengajak anak-anak tetangga main di rumahnya. Mereka boleh main, asal tidak mengumpat. Kiswanti juga mulai memperkenalkan buku kepada anak-anak. Caranya cukup unik. Ia membacakan buku cerita seperti kisah Jaka Kendil, Jaka Bodo, Putri Menur, dan sebagainya. Tapi ia sengaja tak menyelesaikan ceritanya. Bagi anak yang penasaran ingin tahu akhir cerita, mereka boleh pinjam buku. Mulailah ada anak yang pinjam buku.
Kiswanti, dikelilingi para pelanggannya yg kebanyakan anak-anak.
Kiswanti – Pedagang keliling yang jadi Pahlawan Buku Meski hanya tamatan SD, Kiswanti mampu menularkan minat baca di lingkungannya. Ia membuat warung baca yang kini memiliki ribuan anggota. Tak hanya itu, beragam aktivitas pun ia lakukan bersama relawan lainnya. “Kemiskinan bukan halangan untuk belajar”, begitu prinsip hidup Kiswanti, perempuan sederhana berumur 48 tahun. Karena orangtuanya miskin, ia hanya bisa bersekolah sampai tamat SD. Tapi putus sekolah tak membuatnya putus asa; ia berusaha belajar sendiri dengan membaca buku. “Dulu, setamat SD saya sudah kerja serabutan. Kadang jadi buruh mengupas kacang tanah, mencari melinjo untuk dijual, dan lain-lain. Uangnya saya pakai buat beli buku bekas,” kata Kiswanti yang masa kecilnya dihabiskan di tempat kelahirannya di Bantul, Yogyakarta. Meski putus sekolah, Kiswanti rajin membaca. Ia membaca semua buku yang dipelajari teman-temannya di SMP hingga SMA. Sambil belajar sendiri, ia terus mengoleksi buku-buku bacaan. Koleksi bukunya mencapai 1.500. Setelah menikah dengan Ngatmin, pasangan ini mengadu nasib di Jakarta. Suaminya jadi buruh bangunan sampai sekarang. Tapi berkat keuletan, mereka berdua berhasil memiliki rumah dan menetap di kawasan Lebakwangi, Parung, Bogor, sejak 1994. Dulu, kawasan tempat tinggal mereka masih sepi. Belum ada listrik dan jalanan belum beraspal. Kiswanti merasa prihatin melihat perkembangan anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya. “Anak umur 4-5 tahun sudah bisa mengumpat dengan kata-kata kotor. Mereka juga sudah bisa merokok, meniru orang dewasa di sekitarnya.”, ujarnya.
Bukan perkara mudah baginya untuk melanjutkan langkah. Banyak orangtua menolak anaknya baca buku karena takut mengganggu pelajaran. Ia lalu mendirikan taman baca yang diberi nama Warabal, singkatan dari Warung Baca Lebakwangi. Ia pun membangun jaringan dengan pihak lain, salah satunya dengan Komunitas 1001 Buku. Komunitas ini sering mengadakan berbagai lomba. Anakanak itu diikutkan lomba mendongeng dan menggambar, beberapa di antaranya berhasil menang. Orangtua mereka mulai senang. ”Butuh waktu sekitar enam tahunan sampai orangtua mereka benar-benar menerima kehadiran saya”, katanya. Tiap pagi dan sore, dengan sepeda merahnya Kiswanti keliling memperkenalkan Warabal. Berkat Komunitas 1001 Buku, banyak wartawan meliput aktivitasnya. Ia pun mulai dikenal. Banyak warga berdatangan. Jaringan Kiswanti pun makin luas. Beberapa donatur menyumbang buku dan sepeda motor, dan sepeda motor itu kini menggantikan sepeda merahnya. Kini ia dibantu 18 relawan. Jadwal kegiatan di Warabal pun makin banyak, dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga pendidikan Al-Quran untuk anak SD. Ada pula les Bahasa Inggris, Matematika, dan IPA. Aktivitas Kiswanti pun makin padat. Ia sering diundang ke berbagai forum, termasuk ke Filipina untuk berbagi pengalaman. Pada 2008 ia menerima penghargaan dari Perpustakaan Nasional. Salah satu hadiahnya adalah buku. Sekarang Warabal punya ribuan anggota dan koleksi sekitar 7 ribu buku. Berkat kesabaran, kegigihan serta kerja kerasnya, Warabal pun mendapat bantuan untuk membuat perpustakaan dengan bangunan dua lantai di sebelah rumahnya. Masih ada lahan kosong yang rencananya akan ditanami tanaman obat. “Saya bercita-cita bisa mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak tak mampu. Saya senang, langkah saya bisa berarti buat orang lain.” Disarikan dari : http://m.tabloidnova.com/layout/set/print/ Nova/News/Peristiwa/Perjuangan/Kiswanti & berbagai sumber.
5
Nasional
JANGAN “MEMBLE”, TEGAKKAN KEDAULATAN PANGAN! “Yen sing ilang niku ayam kentuki mboten nopo-nopo, lha niki tempe kok yo ilang. Pemrentah niku pripun to, kok mboten mbelani?” Begitulah ibu-ibu dan tukang sayur mengeluarkan kegeramannya ketika makanan rakyat yang murah dan bergizi ini hilang dari pasar. Rakyat memang harus geram, harus marah, karena apa yang jadi kebutuhannya sering lenyap: tahu, tempe, cabe. Pemerintah menurunkan bea masuk kedelai hingga 0 persen, tapi langkah ini tak menyelesaikan masalah, hanya menguntungkan importir dan produsen kedelai dari negara pengekspor, yang notabene adalah kaum pemodal. Mengapa Indonesia harus impor kedelai? Apakah tanah kita kurang subur untuk tanaman kedelai? Menurut pakar tempe asal Inggris Jonathan Agranoff, kualitas kedelai Indonesia jauh lebih berkualitas dibandingkan kedelai impor asal Amerika Serikat. “Keunggulan kedelai Indonesia adalah tidak modifikasi genetik, organik, rasa kedelainya enak sekali, air rendaman kedelainya pun jernih,” ungkapnya. Ia pun mampu menjelaskan ada 14 jenis kedelai lokal yang berkualitas dari Indonesia, yakni Wilis, Argomulyo, Burangrang, Anjasmoro, Kaba, Tanggamus, Sinabung, Panderman, Detam-1, Detam-2, Grobogan, Gepak Ijo, Gepak Kuning, SHR/ Wil-60. Menurutnya, menggunakan kedelai lokal lebih menguntungkan dibandingkan kedelai impor. Jonathan pun mencontohkan satu kilogram kedelai Anjasmoro bisa menghasilkan 1,74 kilogram tempe. Sementara satu kilogram kedelai AS hanya menghasilkan 1,59 kilogram tempe. “Kenapa Indonesia tidak bangga dengan kedelai unggul asal Indonesia?” tanyanya. Padahal harga kedelai impor cenderung naik hingga 35%. Menurut Kementerian Perdagangan, harga kedelai pada bulan Juni menyentuh harga di atas Rp. 8.500. Mengapa dan ada apa di balik kenaikan harga kedelai ini? Indonesia adalah negeri agraris yang penuh ironi. Dengan lahan pertanian luas, negeri ini tidak
Petani di Bantul, Yogyakarta. Membajak dan menyiapkan lahan pertanian.
mampu memberi makan rakyat dari hasil bumi sendiri. Posisi ketahanan pangan kita lebih rendah di bawah Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Philipina. Hampir seluruh kebutuhan pangan kita dipenuhi produk impor. Mulai dari jagung, kedelai, beras, gandum, gula, garam, dan kebutuhan pangan lain tidak mampu kita penuhi sendiri. Konsekuensinya tingkat ketergantungan kita terhadap pihak asing pun semakin meningkat. Akibatnya, sewaktu-waktu negeri ini rentan terhadap krisis pangan. Seperti saat ini, Indonesia mengalami krisis kedelai dan ancaman krisis bahan pangan lainnya ada di depan mata. Pasar pangan global tidak bisa lagi dipercaya sebagai sumber stok. Kita tidak boleh menyerahkan pemenuhan pangan kita kepada mekanisme pasar. Sudah saatnya kita hentikan ketergantungan pangan terhadap impor. Kedaulatan pangan harus kita tegakkan! Swasembada pangan jangan hanya diucapkan, tetapi harus dikerjakan, diwujudkan! Semua butuh kerja keras. Bukan hal yang mustahil untuk mencapainya. Kita pernah berhasil melakukannya. Kedaulatan pangan dapat diwujudkan melalui gerakan rakyat yang mencakup empat pilar, yakni: penataan ulang sumber-sumber produksi pangan (reforma agraria), pertanian berkelanjutan, perdagangan yang adil dan pola konsumsi pangan lokal. Penataan ulang sumbersumber produksi pangan dilakukan dengan reforma agraria untuk meningkatkan akses dan kontrol masyarakat miskin dan rawan pangan terhadap tanah, air, laut, hutan, benih, pupuk, dan modal. Pertanian berkelanjutan berarti mendukung petani untuk membudidayakan aneka tanaman pangan lokal, ternak, dan ikan secara terpadu agar lebih produktif dan berkelanjutan. Perdagangan yang adil berarti melindungi pasar pangan dalam negeri dan lokal serta mendukung sistem cadangan pangan lokal dan mengembangkan pemasaran produk pangan petani di pasar lokal, daerah, dan nasional. Selain itu kita perlu mengembangkan pola konsumsi pangan dari hasil produksi lokal yang beranekaragam, bergizi, dan aman. (Disunting dari berbagai sumber/Chiko).
6
Internasional AKSI ANTI NEOLIBERALISME Komite Aksi untuk Chaves
baru. Sedangkan golongan kanan di Parlemen Paraguay adalah satu-satunya penentang masuknya Venezuela ke dalam Mercosur. Dengan digantungnya keanggotaan Paraguay, Mercosur dapat menerima Venezuela sebagai anggotanya. Masuknya Venezuela yang kaya minyak ke dalam Mercosur akan memperkuat Pasaran Bersama, inilah hal yang paling ditakuti oleh AS.
Pada 24 Juli, di Sao Paulo, Brasil, telah dilakukan pertemuan penting dari semua organisasi-organisasi kiri Brasil, seperti Gerakan Petani Tanpa Tanah (GPTT), organisasi perempuan, serikat buruh, organisasi mahasiswa dan partai-partai kiri Brasil, seperti Partai Pekerja (Lula dan Dilma Roussef), PTSOL, PCDoB (Partai Komunis Brasil). Pertemuan tersebut memutuskan untuk membentuk Komite Aksi untuk mendukung Chavez berkaitan dengan Pilpres yang akan datang, 7 Oktober 2012. Tidak ada ilusi bahwa kanan, baik dari Brasil mau pun Venezuela, akan membiarkan Chavez menang. Demikian juga Amerika Serikat pasti akan mengeluarkan seluruh amunisinya untuk mengalahkannya. Kemenangan Revolusi Bolivar (Venezuela) sangat menentukan perkembangan di Amerika Latin. Kekalahan Chavez sekaligus juga akan berarti kekalahan 12 tahun perubahan-perubahan demokratis yang terjadi di sana.
Chili – Santiago Dilanda Demonstrasi Mahasiswa
Spanyol – La “Marcha Negra” Melanda Madrid
Sudah lebih dari setahun Santiago dilanda berbagai demonstrasi mahasiswa yang terjadi terus menerus. Mahasiswa menentang pendidikan yang mahal dan berkualitas rendah. Paling hebat terjadi pada 28 Juni yang lalu. Diperkirakan ada 100.000 sampai 150.000 demonstran telah memenuhi Jalan Utama Santiago. Hal yang sama juga terjadi di kota-kota lain. Ada 250 orang ditangkap dan belasan polisi luka-luka. Akibat dimasukkan kepentingan neoliberal ke dalam Konstitusi Chili warisan Pinochet, di mana dinyatakan bahwa “Kebebasan di bidang pendidikan tak memiliki batas apa pun selain batas-batas moral, kebiasaan-kebiasaan baik, ketertiban publik dan keamanan negara”, 75% pembiayaan pendidikan ditanggung oleh perorangan, dan negara hanya menanggung 15%. Biaya setahun mencapai $10.000, sedangkan pendapatan per kapita hanya $16.000. Setelah selesai selama bertahun-tahun mahasiswa harus membayar hutang mereka, sehingga mereka merasa tidak ada gunanya berinvestasi di bidang pendidikan.
Padal 12 Juli yang lalu, Madrid telah dilanda “gelombang hitam” para pekerja tambang yang datang dari berbagai penjuru menuju Ibukota Spanyol. Demonstrasi itu diorganisir oleh dua serikat buruh FITAGUGT dan FI-CC.OO dan didukung oleh konfederasikonfederasi dari kedua organisasi tersebut. Umumnya tambang-tambang terletak di Utara. Mereka datang dari jauh, bahkan ada yang menempuh perjalanan sekitar 400 km. Sepanjang “pawai hitam” berlangsung, para penduduk yang dilewati oleh barisan tersebut memberikan dukungan yang hangat atas tuntutan mereka agar pemerintah membatalkan keputusan penghentian subsidi. Sesampai di Madrid mereka disambut dengan sangat meriah oleh penduduk ibukota. (Ari)
Venezuela Anggota Sah Mercosur Pada 31 Juli 2012 Hugo Chavez datang ke Brasil dalam rangka diterimanya secara sah Venezuela ke dalam Pasaran Bersama Amerika Latin, yaitu apa yang disebut Mercosur (dari bahasa Spanyol Mercado Cumun del Sur) yang didirikan pada tahun 1991 dan beranggotakan 4 negara: Brasil, Paraguay, Uruguay dan Argentina. Pada 22 Juni yang lalu Presiden Paraguay yang sah, Ferdinand Lugo, secara “konstitusional” telah digulingkan oleh golongan kanan. Tapi kini para perancang penggulingan itu kecele besar. Akibat jatuhnya Lugo, maka keanggotaan Paraguay dalam Mercosur digantung sampai pemilihan Presiden yang
7
Profil
SELENDANG PERSAHABATAN UNTUK RASEM
terima, di luar akal sehat manusia. Ia dihina dan dinista.
Orangtuanya memberi nama Rasem, dengan harapan sederhana: sang anak bisa tumbuh dalam keadaan sehat (waras) dan tenteram (ayem). Dalam situasi di mana bangsa ini masih berjuang mempertahankan kemerdekaan, orang hanya bisa berharap anaknya lahir dalam keadaan selamat. Jadi tak perlu nama indah dan panjang, tapi yang mudah dimengerti maknanya. Orangtua Rasem adalah petani di desa Bander, Mujur, Kroya, Cilacap. Rasem bukan hanya tumbuh menjadi gadis manis, tetapi juga cerdas dan peduli pada kaumnya. Ia peduli terhadap petani, ibu dan anak. Kepeduliannya itu ia wujudkan dalam aktivitasnya sebagai Guru TK Melati yang didirikan oleh Gerwani, organisasi perempuan yang maju saat itu. Ia pun turut menjadi tutor/guru pada program PBH (Pembebasan Buta Huruf) yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno.
Di akhir ceritanya, ia menyatakan puas dan lega bisa bertutur di depan Ketua Komnas Perempuan, lembaga negara yang aktif menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Ia merasa “diuwongke” atau “dimanusiakan” kembali, setelah puluhan tahun perasaan itu dirampas dari dirinya.
Masa yang sarat dengan karya dan aktivitas ini hanya berlangsung hingga ia berumur 20 tahun, sampai datanglah petaka yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Peristiwa yang terjadi di Jakarta pada 30 September 1965 telah mengubah hidupnya yang waras dan ayem-tentrem menjadi hancur-lebur tanpa harapan dan masa depan. Selama puluhan tahun ia menyimpan dan menutup rapat peristiwa keji yang ia alami. Ia tak mampu menceritakannya kepada siapa pun. Tapi dalam satu kesempatan di mana berkumpul kawankawan senasib sektiar tiga tahun lalu, ia mulai berani mengungkapkan pengalaman hidupnya. Dua bulan lalu, di depan Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, Rasem kembali menceritakan berbagai perlakuan yang ia
Kisah Rasem ini membuat hati orang yang mendengarnya perih. Tapi Rasem bukanlah perempuan kerdil yang senang dikasihani. Ia kuat dan punya semangat tinggi untuk bangkit. Dengan keberanian yang bulat, ia buka rahasia hidupnya dan ia pun berdamai dengan masa lalunya. Meski sekarang sudah tak muda lagi, ia tetap peduli pada lingkungan. Ia membuat pupuk organik dan menanam combrang (honje) yang dapat menghidupi dirinya. Bersama ibu-ibu muda di desanya, Rasem pun aktif dalam kelompok Tunas Bangsa, kelompok yang mengelola simpan pinjam. Suaranya masih lantang, tegas dan bernas. Di akhir pertemuan, Ibu Yuni mengalungkan Selendang Persahabatan kepada Rasem. Selendang persahabatan ini biasa diberikan kepada perempuanperempuan pembela HAM dan komunitas perempuan sebagai simbol kasih, persahabatan dan semangat untuk bangkit dan pulih. Semoga di usia senjanya kini, Rasem kembali menemukan rasa ayem-tentrem yang pernah hilang dari hidupnya. (Chiko)
8 Ruang Budaya
Frius, Mantan Preman yang Sukses Berbisnis Ulat Dia seorang laki-laki, umur antara 26–30 tahun, perawakannya agak kurus , tinggi standar ukuran orang Indonesia, kurang lebih 160 cm. Kulit sawo matang, badannya bertato. Bicaranya pendek-pendek sambil agak menunduk, tak berani menatap mata lawan bicara. Ia seperti orang yang tak percaya diri, mungkin karena latar belakangnya yang kurang baik. Ia dulu memang preman, pecandu narkoba, miras serta apa saja yang jelek-jelek telah dilakoninya. Begitulah gambaran sosok Frius, pemuda asal Jombang, Jawa Timur, seperti yang diceritakan Amin, teman sekolahnya di SD dulu, kepadaku. Melihat kawan sekolahnya yang “kacau” itu, Amin mencoba mendekati dia dan secara perlahan mengajaknya menjalani hidup yang lebih baik. Entah bujukan apa yang dihembuskan kawannya itu, hingga Frius kini benar-benar sudah berubah. Sudah tidak mreman lagi, tidak mengonsumsi narkoba lagi, belajar menjadi orang baik meski sesekali masih nenggak miras, itu pun hanya satu-dua gelas, sebatas pergaulan kalau sedang ketemu teman-teman premannya dulu.
“Siapa yang tidak kenal Frius? Dulu ia terkenal sekali sebagai pemuda korak (preman) yang suka memakai narkoba. Namun sejak saya mengajaknya ngobrol dan memberikan pemahaman tentang hidup bermasyarakat, sekarang ia berubah 180 derajat, menjadi pemuda yang sosial,” ucap Amin. Lambat laun Frius pun mau berusaha mencari penghasilan secara wajar, dengan bekerja keras dan bersusah payah. “Ia beternak ulat kandang untuk pakan burung. Karena tak punya lahan, ia sampai mengorbankan kamar tidurnya untuk kandang-kandang ulat. Tapi hebatnya, dia sekarang sudah berhasil menjadi seorang yang ahli dalam ternak ulat kandang, dan dia ingin jadi salah satu anggota kelompok usaha dampingan“, tambah Amin. Meski hasil yang diperoleh Frius dari ternak ulat ini kecil sekali, namun ia patut diacungi jempol. Dengan latar belakang hidup yang kelam dan modal terbatas, Frius kini menjadi pemenang – yang berhasil mengalahkan dirinya sendiri. Ulat kandang yang telah merubah kepribadiannya, kini menjadi teman hidupnya yang setia. (jenèt)