PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
JURNAL KARYA ILMIAH
Disusun dan Diajukan dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH : ARIJA BR GINTING 100200111
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
LEMBAR PENGESAHAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
JURNAL KARYA ILMIAH Disusun dan Diajukan dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh : ARIJA BR GINTING 100200111
Disetujui Oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. Muhammad Hamdan, S.H.,M.H NIP.195703261986011001
Editor
Prof.Dr.Alvi Syahrin, S.H.,MS NIP. 196303311987031001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN ABSTRAK Arija Br Ginting Alvi Syahrin Rafiqoh Lubis Modernisasi dan industriaslisasi mengakibatkan dominasi peranan korporasi dalam kehidupan masyarakat. Motif ekonomi yang dibawa korporasi di satu sisi memang sangat menguntungkan, namun di sisi lain juga berpotensi sangat merugikan bahkan tidak hanya dari segi ekonomi. Lahirnya pengaturan delik-delik baru dan korporasi sebagai subjek di dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP tidak terlepas dari tujuan public welfare offences. Kebijakan hukum pidana (penal policy) pada tataran formulasi berperan besar dalam rangka pengelolaan hutan secara professional dan terencana. Korporasi sebagai subjek tindak pidana perusakan hutan berbeda dengan subjek konvensional. Masalah hukum (legal issues) yang muncul adalah bagaimana hubungan pemidanaan dengan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perusakan hutan, bagaimana model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perusakan hutan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, dan bagaimana perumusan sanksi menurut Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan mengumpulkan bahan hukum (primer, sekunder dan tersier) melalui studi kepustakaan (library research). Bahan hukum utama yang dikaji adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 didukung oleh Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait dengan kehutanan. Untuk mendukung bahan hukum tersebut, juga dipergunakan bahan hukum sekunder dan tersier berupa buku, jurnal, internet, katalog, bibliografi dan lain-lain. Bahan hukum kemudian dianalisis secara kualitatif dan dipaparkan secara deskriptif analitis dengan pola deduktif. Hasil dari penelitian ini berupa kesimpulan bahwa, pertama, pengaturan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 bertujuan “mencegah”, “memberantas” dan “efek jera” bagi pelaku perusakan hutan (korporasi). Kedua, model pertanggungjawaban pidana korporasi adalah korporasi dan/atau pengurus dapat bertanggungjawab langsung (menggunakan identification theory dan functionaeel daderschap). Ketiga, sanksi yang dapat diterapkan adalah pidana denda, administratif, ancaman “penutupan perusahaan”, dan uang pengganti. Perumusan pidana denda menggunakan fix model, dimana denda minimum paling ringan sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan denda maksimum paling berat sebesar Rp 1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). Sementara untuk double track system yang dianut oleh undang-undang ini masih menuai perdebatan dalam tataran teoritis. Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Korporasi, Perusakan Hutan
I. PENDAHULUAN Pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan hal yang sangat berperan dalam kerangka kebijakan sosial. Kebijakan sosial (social policy) mencakup upaya kesejahteraan sosial (sosial welfare policy) dan perlindungan masyarakat (social defence policy)1. Untuk membantu kebijakan tersebut, criminal policy yang menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) harus memenuhi unsur: kebijakan legislatif (tahap formulasi), kebijakan yudikatif (tahap aplikasi), dan kebijakan eksekutif (tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana).2 Kebijakan legislasi merupakan tahap paling strategis dari penal policy karena kelemahan kebijakan legislasi dapat menghambat upaya penanggulangan kejahatan3 pada tahap aplikasi dan eksekusi.4 Kebijakan legislasi mencakup upaya memberantas dan menanggulangi kejahatan dalam rangka social defence5. Upaya ini harus dilandasi nilai-nilai kehidupan kebangsaan6 yaitu Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan tuntutan zaman (reformasi hukum). Mega biodiversity hutan Indonesia mencakup 10 persen tumbuhan berbunga, 17 persen spesies burung , 12 persen satwa mamalia, 16 persen satwa reptilia, dan 16 persen spesies amphibia, dari populasi dunia.7 Namun, laju deforestasi terus berdampak pada penurunan luas tutupan hutan yang berimbas pada keadaan iklim dan perekonomian Indonesia secara umum. Untuk itulah perlunya dilakukan pengelolaan hutan secara profesional dan terencana agar hutan dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa mengurangi manfaat berkelanjutan-nya bagi masyarakat. Globalisasi dan industrialisasi mengakibatkan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan korporasi menunjukkan dominasinya dalam praktik. Pertumbuhan korporasi8 sejalan dengan bentuk kejahatan korporasi yang terjadi (bidang kehutanan), misalnya hingga tahun 2011 lebih dari 6.000 kuasa pertambangan diterbitkan di dalam kawasan hutan dan hanya sekitar 1
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007), h.78-79. 2 Teguh Soedarsono, “Penegakan Hukum dan Putusan Peradilan Kasus-kasus Illegal Logging”, (Jakarta: Jurnal Hukum LPSK, 2010), h. 63. 3 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 2-3. Menurut Mardjono Reksodiputro penanggulangan kejahatan merupakan usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. 4 Barda Nawawi Arief dalam Mudzakkir, dkk, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2010), h.11. 5 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 21. 6 Laporan Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional di Semarang tanggal 28-30 Agustus 1980 dalam Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaruan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), h. 78. Menurut Nyoman pembaruan hukum pidana nasional harus dilatarbelakangi oleh ide dasar (basic idea) Pancasila yang mengandung konsep ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi dan keadilan sosial. 7 Lampiran Permenko tentang Rencana Strategis 2010-2014, (lihat di http://www.ekon.go.id/publikasi/download/229/35/lampiran-permenko-ttg-rencana-strategis-20102014.pdf, diakses pada 27 Maret 2014, Pukul 13.25 WIB). 8 Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi: The Hunt for Mega-Profits and The Attack on Democracy, (Malang: Bayumedia,2006), h. 49.
1
2
200 unit yang telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan. 9 Pada Maret 2014, kabut asap di Riau sudah masuk pada level berbahaya 10 dimana 45 perusahan pelanggar akan segera diproses secara hukum.11 Selain itu, ada pula kasus yang sudah sampai di pengadilan, yakni: (1) Adelin Lis direksi PT.Keang Nam Development Indonesia di Mandailing Natal pada Tahun 2007 tersangut kasus Illegal Logging; (2) Thedy Anthony dkk pada PT ATN Padang, tahun 2003, tersangkut kasus perluasan Izin Pemanfaatan Kayu yang diberikan Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai (3) Darius Lungguk Sitorus, Sankot Hasibuan dan Ir. Yangga Sitorus, PT. Terganda dan PT. Torus Ganda Tapanuli Selatan tersangkut masalah perizinan pemakaian hutan pada tahun 2008; dll. Salah satu perusak lingkungan hidup yang mengancam keselamatan serta kesejahteraan masyarakat di negara berkembang adalah industri kehutanan.12 Jadi, sektor kehutanan sudah mendapat perhatian publik dalam skala nasional maupun internasional. Formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan langkah awal instrumen hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana perusakan hutan. Efektifitas yang mengandung arti “keefektifan (effectiveness) atau kemujaraban” dari kebijakan ini tidak terlepas dari dua karakteristik variabel, yaitu karakteristik “objek atau sasaran yang dituju” dan “sarana yang digunakan” (perangkat hukum pidana).13 II. PERMASALAHAN14 Adapun masalah hukum15 yang akan dibahas, yaitu: 1. Bagaimanakah hubungan pemidanaan dengan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perusakan hutan? 2. Bagaimanakah model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perusakan hutan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan? 3. Bagaimanakah perumusan sanksi dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan hutan? 9
Wirendro Sumargo dkk, Laporan Penelitian: Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009, Edisi Pertama, 2011, (http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2013/02/PHKI_20002009_FWI_low-res.pdf, diakses pada 10 Maret 2014, Pukul 12.08 WIB). h.v. 10 BBC Indonesia, “Riau Tanggapi Pernyataan SBY Soal Kabut Asap”, (http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/03/140314_kabut_asap_komentar_bnpd_riau.shtm l, Edisi 14 Maret 2014, diakses pada 16 Maret 2014, Pukul 11.48 WIB). Temuan dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang dinyatakan oleh Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB). 11 Liputan6.com, “45 Perusahaan Perusak Hutan Riau Diproses Hukum” (http://news.liputan6.com/read/2027509/45-perusahaan-perusak-hutan-riau-diproses-hukum, Edisi 25 Maret 2014, diakses pada 26 Maret 2014, Pukul 11.45 WIB). 12 Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, et.al., dalam Mahmud Mulyadi dan Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Cetakan Pertama, Jakarta: Softmedia, 2010), h. 28. 13 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 85. 14 Perumusan masalah dalam penelitian hukum secara tajam disertai dengan isu hukum (legal issues, legal questions) akan memberikan arah dalam menjawab isu hukum yang diketengahkan. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 35-37. 15 Masalah hukum mempunyai posisi yang sentral dalam penelitian hukum sebagaimana kedudukan masalah dalam penelitian lain. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010), h. 57.
3
METODE PENELITIAN16 Terlepas dari perbedaan pendapat para sarjana mengenai metode penelitian hukum, dalam konteks tulisan ini metode yang digunakan adalah: 1. Metode Pendekatan Penelitian hukum yang benar adalah penelitian hukum normatif, walaupun menggunakan pendekatan multidisipliner17 dan interdisipiliner.18 Karena sasaran utamanya terletak pada masalah kebijakan formulatif maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hukum normatif. Statute approach dilakukan dengan menelaah semua regulasi yang relevan dengan masalah hukum yang sedang ditangani19 yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pecegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan peraturan terkait lainnya sebagai perbandingan (comparative approach). Dalam beberapa hal historical approach dilakukan untuk menelaah latar belakang dan perkembangan regulatif isu guna mengungkap dasar pemikiran isu.20 2. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif (deskriptif analitis), yaitu pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat21 yang bertujuan menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan tertentu dan selanjutnya dilakukan analisa secara hukum. 3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui library research22 untuk memperoleh landasan dalam menganalisa bahan yang diperoleh dari sumber yang validitasnya terjamin sehingga menghasilkan kesimpulan yang lebih terarah. Bahan pustaka dari sudut kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi:23 III.
16
Ibid., h. 33-36. Dikotomi metode penelitian hukum (normatif dan sosiologis) menurut Peter Mahmud Marzuki tidak memiliki dasar berpijak karena karakteristik dari keilmuan hukum adalah perskriptif dan terapan. Perskriptif artinya ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Illmu terapan artinya menetapkan standar prosedur dan rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. Akibat dari kedua karakteristik tersebut adalah penelitian hukum tidak mengenal istilah hipotesis, data, analisis kualitatif dan kuantitatif, statistik (parametrik dan non parametrik) ataupun grounded research. 17 Ibrahim R, Sinopsis Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 43-53. Metode ini lahir dalam penelitian ilmu hukum karena perkembangan pemakaian sumber bahan hukum. 18 Ibid. h. V-Vii. Menurut Ibrahim dalam konteks interdisipliner dapat digunakan teori Paruh Lembing yakni dengan metode kombinasi. Ada tiga macam penelitian hukum, yaitu: (1) Menurut bidang hukum yang diteliti:hukum pidana, hukum adat dll; (2) Menurut kegunaan hasil penelitian:pemeriksaan perkara di pengadilan, inventarisasi yurisprudendi, keperluan akademik, dll; (3) Menurut metode dan cara penulisan (penyajian): penelitian deskriptif, editorial, perwatakan, reflektif. 19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian…op. cit., h. 93. 20 Ibid., h. 94. 21 Whitney dalam Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, (Cetakan Kedua, Jakarta: PT.Rieneka Citra, 2003), h. 21. 22 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), h. 28-29. 23 Ibid., h. 33.
4
a. Bahan Hukum Primer24 sebagai bahan hukum yang mengikat dan bersifat autoritatif,25 yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberntasan Perusakan Hutan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 jo. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan RKUHP Tahun 2012; b. Bahan Hukum Sekunder26 seperti publikasi hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan jurnal.27 c. Bahan Hukum Tersier (bahan hukum penunjang) yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.28 4. Metode Analisis Bahan Hukum Analisa kualitatif29 dilakukan dengan memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-hukum yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perusakan hutan dan selanjutnya dipaparkan secara deduktif (umum-khusus). IV.
HASIL PENELITIAN A. Hubungan Pemidanaan dengan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perusakan Hutan Konsiderans Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan pada bagian menimbang huruf e 30 (selanjutnya dipertegas oleh penjelasan umumnya) memuat frasa “pencegahan dan pemberantasan” dan “pemberian efek jera” merupakan ide dari teori tujuan pemidanaan. Tujuan tersebut secara normatif direalisasikan melalui pertanggungjawaban31 pidana korporasi. Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai bagian dari proses pemidanaan pada hakikatnya berpijak pada
24
Ibid., h. 28. Bahan hukum primer berisi ilmu pengetahuan baru (mutakhir) tentang fakta yang diketahui mengenai ide (gagasan). Misal: buku dan laporan penelitian. 25 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian…., op. cit., h. 141. Menurut Peter bahan hukum primer utama bagi civil law system adalah perundang-undangan, di samping putusan pengadilan karena putusan pengadilan (law in action) memiliki otoritas sebagai bentuk konkretiasasi dari perundang-undangan. 26 Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), h. 241-242. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer). 27 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian …op. cit., h. 155. 28 Johnny Ibrahim, loc. cit. 29 Lihat Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Cetakan 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 105. Yaitu mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma hukum yang ada di dalam masyarakat. 30 Rumusan Pasalnya adalah : “Perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektifitas penegakan hukum”. 31 Mahmud Mulyadi dan Antoni Surbakti, op. cit., h. 51. Masalahnya adalah: (1) kapan korporasi dinyatakan sebagai pelaku atau telah melakukan tindak pidana (bagaimana model pertanggungjawabannya), (2) apa kriteria pedoman pertanggungjawaban pidana korporasi, (3) sanksi apa yang tepat dikenakan terhadap korporasi.
5
pemikiran tujuan dipidananya korporasi, sanksi apa yang diancamkan dan dijatuhkan serta bagaimana model pengaturannya.32 Teori33 tujuan pemidanaan selalu mengikuti perkembangan kejahatan korporasi. Menurut Mahrus Ali, tujuan pemidanaan yang relevan bagi korporasi adalah teori deterrence (teori pencegahan) dan teori rehabilitasi.34 Secara teoritis asumsi dasar teori deterrence bahwa setiap aktivitas korporasi bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan (maximizing the expected utility) dan selalu ada motif ekonomi (orientasi untung rugi) dengan mempertimbangkan cost and benefit. Rasionalitas ekonomi inilah yang menjadi dasar penjatuhan pidana bagi korporasi. Sementara teori rehabilitasi adalah karena orientasinya lebih kepada rehabilitasi lingkungan yang rusak. Asumsinya, korporasi merupakan entitas hukum tidak sehat yang memerlukan pengobatan. Hukuman yang dijatuhkan harus cocok dengan kondisi korporasi sehingga hakim harus memberikan hukuman yang paling efektif untuk membuat korporasi menjadi sehat kembali.35 Berbeda dengan Mahrus Ali, Dwijda Priyatno beranggapan bahwa pemidanaan korporasi adalah bersifat integratif, yakni mencakup:36 1. Tujuan pencegahan (umum dan khusus), karena penjahat dapat dicegah melakukan suatu kejahatan di kemudian hari apabila ia sudah mengalami dan meyakini bahwa kejahatan itu membawa penderitaan baginya. Pidana dianggap membawa daya untuk mendidik dan memperbaiki. Sementara untuk pencegahan umum berarti penjatuhan pidana dimaksudkan agar korporasi lain tercegah untuk melakukan kejahatan. 2. Tujuan perlindungan masyarakat. Perlindungan masyarakat sering dikatakan berada di seberang pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan tidak mampu. Bila dikaitkan dengan pemidanaan korporasi, korporasi tidak mampu lagi melakukan suatu tindak pidana (diisolasi dari masyarakat); 3. Tujuan memelihara solidaritas masyarakat, yaitu penegakan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan atau balas dendam tidak resmi (private revenge or unofficial retaliation); dan 4. Tujuan pengimbalan/keseimbangan, yaitu adanya keseimbangan antara pidana dengan pertanggungjawaban individual dari pelaku tindak pidana dengan memperhatikan faktorfaktor tertentu. Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dilandasi pemikiran yang bersifat filosofis sampai kepada hal yang bersifat teknis konkret37 dalam rangka menemukan 32
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi; Suatu Terobosan, (Cetakan Pertama, Jakarta: Gramedia, 2008), h. 96. 33 Soetandyo Wignjosoebroto dalam Otje Salman dan Anton F.Susanto, Teori Hukum; Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, (Cetakan Kedua, Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 21. Teori adalah suatu konstruksi di alam cita (ide), dibangun guna merefleksikan fenomena yang dijumpai di alam pengalaman (alam indera manusia). Jadi, berbicara mengenai teori ialah mencakup dua realitas, yaitu realitas in abstracto (di alam idea imajinatif) dan realitas in concreto (di dalam pengalaman inderawi). 34 Mahrus Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, (Cetakan Pertama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 264. 35 Ibid., h. 266-267. Inilah bentuk individualisasi hukum pidana sehingga setelah dihukum, maka korporasi diharapkan dapat berintegrasi dengan masyarakat dalam keadaan normal kembali. 36 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi…., op. cit., h. 121-122.
6
mekanisme pemberantasan kejahatan secara tepat. Tujuan pemidanaan korporasi menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 menjadi dasar bagi kebijakan kehutanan yakni “pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan”38 dan “memberikan efek jera bagi pelaku”. Teori tujuan pemidanaan dapat dilihat pada pembaruan (penyempurnaan) sistem pertanggungjawaban pidana korporasi pada substansi peraturannya,39 termasuk kedudukan korporasi sebagai subjek tindak pidana perusakan hutan. B. Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perusakan Hutan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Model atau sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dipengaruhi pemikiran tentang korporasi sebagai subjek tindak pidana. Dalam perkembangannya, terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu:40 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab; 2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab; 3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Ketiga model tersebut tidaklah menutup kemungkinan lahirnya 4 (empat) sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, yakni memungkinkan “Pengurus dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus bertanggungjawab“: 41 Model yang diterapkan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 dapat dilihat pada Pasal 109 Ayat (1)42. Frasa “dilakukan oleh atau atas nama korporasi” menunjukkan bahwa 37
Contoh sanksi menurut Peter A French (pakar hukum bisnis) ialah suatu metode menghukum secara kolektif orang-orang yang di bawah naungan korporasi (berperilaku menyimpang/corporatecolletive’s wrongdoing). Metode ini disebut “Hester Prynne Sanction” yakni mengganjar orang yang melakukan kejahatan korporasi dengan memanfaatkan efek negatif yang dihasilkan oleh pemberitaan yang intens tentang perilaku menyimpang korporasi itu sehingga korporasi yang memiliki jiwa bersama (group mind) merasa malu dan kehilangan harga diri. Apabila tujuan penghukuman adalah penjeraan, hasilnya akan minimal jika hanya ditujukan kepada pengurus. Gejala psikologis penyebab tanggungjawab diffusion of responsibility dapat dikriminalisasi yang ditujukan kepada kelompok tersebut. Adrianus Meliala, Menyingkap Kejahatan Kerah Putih, (Cetakan Kedua, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 61. 38 Tindak pidana perusakan hutan dapat dirasionalisasi oleh tujuan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan lihat di Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013. 39 Misalnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penglolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), dll. 40 Mahrus Ali, Asas-asas…, op. cit., h. 133. Mahrus Ali menggunakan istilah “sistem pertanggungjawaban”. 41 Sutan Remi Sjahdeni dalam Mahmud Mulyadi dan Antoni Surbakti, op. cit., h. 55. Alasan perlunya penerapkan model keempat ini, yaitu: (1) Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian akibat perbuatan pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan bagi korporasi; (2) Apabila hanya korporasi yang dibebani pertanggungjawaban pidana sedangkan pengurus tidak memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan mendapat kemungkinan pengurus “lempar batu sembunyi tangan”, dan (3)Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya mungkin dilakukan secara vicarious liability. 42 Yaitu, “dalam hal perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan/atau penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya”.
7
yang dimungkinkan sebagai pembuat (pelaku) tindak pidana perusakan hutan adalah “korporasi sendiri” atau “atas nama korporasi”. Hal serupa juga ada pada Pasal 48 RKUHP Tahun 2012 yakni “bertindak untuk dan atas nama43 korporasi atau demi kepentingan korporasi”. Frasa “tuntutan dan/atau penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya”44 menunjukkan bahwa yang dapat dituntut dan dipidana adalah: (1) Korporasi; (2) Pengurus; atau (3) Pengurus dan korporasi. Menurut teori pertanggungjawaban pidana secara langsung (direct corporate criminal liability) korporasi bisa melakukan sejumlah delik secara langsung melalui para agen yang sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi.45 Menurut doktrin identifikasi agen tertentu dalam sebuah korporasi dianggap sebagai “directing mind” atau “alter ego”. Christopher Ryan dalam Dwidja Priyatno menyatakan bahwa perbuatan dan mens rea para individu dikaitkan dengan perusahaan. Bila individu diberi wewenang untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis perusahaan itu, maka mens rea para individu merupakan mens rea perusahaan itu.46 Menurut direct corporate criminal liability individu pada dasarnya bukan mewakili korporasi, tetapi dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Ketika individu tersebut melakukan kesalahan, maka kesalahan itu pada dasarnya adalah kesalahan korporasi.47 Doktrin direct corporate criminal liability menganalogikan korporasi dengan sistem syaraf manusia, yakni bahwa seseorang bertindak sebagai perusahaan atau yang hanya sebagai agen atau karyawan, dibedakan antara mereka yang mewakili pikiran perusahaan dengan mereka yang mewakili tangannya. Perusahaan mempunyai otak dan pusat syaraf yang mengendalikan apa yang dilakukannya, memiliki tangan untuk memegang alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat syaraf tersebut.48 Untuk menentukan pengurus mana yang harus bertanggungjawab sesuai dengan kedudukan dan fungsi masing-masing di dalam badan tersebut, misalnya Manajer, Wakil direktur, karyawan menurut teori identifikasi akan dilihat siapakah yang memiliki peranan paling besar untuk mengendalikan dan mengarahkan kebijakan korporasi (directing mind).
43
Munir Fuady dalam Hasbullah F. Sjawie menyatakan bahwa “untuk dan atas nama” ini muncul sebagai akibat dari adanya prinsip corporate capacity direksi dalam kepengurusan perseroan yang mencakup fungsi manajemen (geschaftsfuhrungsbefugnis/ memimpin perseroan) dan fungsi representasi (vetretungsmachts/ mewakili perseroan di dalam maupun luar pengadilan). Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Cetakan Pertama, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), h. 109. 44 Lihat Pasal 49 RKUHP Tahun 2012. Makna redaksi ini sama dengan RKUHP Tahun 2012 yakni “Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya”. 45 Mahrus Ali, Asas-asas…,op. cit., h. 105. 46 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: CV. Utomo, 2004), h. 89. 47 Mahrus Ali, Asas-asas…op. cit., h. 110. 48 Michael J.Allen, Textbook in Criminal Law dalam Mahmud Mulyadi dan Antoni Surbakti, op. cit., h. 57.
8
Teori tersebut secara normatif diatur pada Pasal 109 Ayat (2)49 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013. Artinya, korporasi yang melakukan tindak pidana haruslah dengan syarat adanya “hubungan kerja maupun hubungan lain” dan “bertindak dalam lingkungan korporasi”. Pengertian “dalam lingkungan korporasi” diatur pula oleh Pasal 51 RKUHP Tahun 2012 bahwa Pertanggungjawaban pidana pengurus dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi, dimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana jika secara khusus telah ditentukan bahwa perbuatan tersebut masuk dalam lingkungan usahanya.50 Menurut Suprapto “hubungan kerja” adalah teori fiksi dimana suatu badan dianggap melakukan hal yang tidak dilakukannya, tetapi dilakukan oleh orang yang ada dalam hubungan kerja pada badan itu. Badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana apabila perbuatan terlarang yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada badan hukum (korporasi) adalah dalam rangka tugas dan pencapaian tujuan badan hukum tersebut.51 Jadi, “pengurus” yang melakukan tindak pidana dibatasi oleh undang-undang, yaitu haruslah dalam lingkup dan tujuan korporasi. Makna “hubungan lain” yang dimaksud tersebut misalnya dalam perseroan terbatas dan seseorang yang mewakili dalam penjualan barang-barangnya, yang hanya mendapat komisi (commissie agent), tidak ada hubungan kerja dengan badan tersebut”.52 Menurut Zainal Abidin “hubungan lain” terlalu luas pengertiannya, seharusnya cukup orang yang melakukan kejahatan ekonomi dalam hubungan fungsional dengan korporasi yang dapat melibatkan korporasi dalam kejahatan yang dibuat orang itu. Karena itu menarik ke belakang sampai tidak ada batas pertanggungjawabannya sehingga orang yang tidak bersalah (tidak ada kaitan hubungan) dengan korporasi akan dikenakan sanksi.53 Pasal 48 RKUHP Tahun 201254 Tahun 2012 secara tegas menganut ajaran funtionaeel daaderschap karena frasa yang digunakan adalah “pelaku fungsional”55 terhadap pelaku 49
Yaitu: “Perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perorangan, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik secara sendiri maupun bersama-sama”. 50 Lihat Penjelasan Pasal 51 RKUHP Tahun 2012 51 Rolling dalam Mahmud Mulyadi dan Antoni Surbakti, op. cit., h. 46. Tujuan korporasi dapat dilihat di Anggaran Dasar /Anggaran Rumah Tangga atau akta pendiriannya atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan (lihat Penjelasan Pasal 50 RKUHP Tahun 2012). 52 Dwidja Priyatno, Kebijakan legislasi… op. cit., h. 175 53 Dwidja Priyatno dalam Mahmud Mulyadi dan Antoni F. Surbakti, op. cit., h. 72 54 Yaitu: “Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama”. 55 Teori pelaku fungsional merupakan ajaran yang dikenal di dalam hukum perdata. Menurut konsep pelaku fungsional korporasi dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dengan melihat pada asas kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (billijkheid) sebagai dasar utama. Konsekuensinya, organ yang bertindak sedemikian dalam batas dan suasana formal dari wewenangnya dalam korporasi. Akibatnya dalam hukum pidana adalah bahwa gambaran tentang pelaku tindak pidana tidak lagi yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysiek dader), tetapi melalui organ korporasi. Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi…., op. cit., h. 77-78.
9
yang mewakili korporasi. Pelaku fungsional tersebut berkaitan dengan struktur organisasi dimana tindakannya adalah dalam lingkup hubungannya dengan korporasi. Kedudukan fungsional menurut Penjelasan Pasal 48 bahwa orang yang mempunyai kewenangan mengambil keputusan, dan kewenangan untuk menerapkan pengawasan terhadap korporasi tersebut. Termasuk di sini orang yang berkedudukan sebagai yang menyuruhlakukan, turut serta melakukan, penganjuran, atau pembantuan tindak pidana tersebut.56 Dengan demikian, pelaku fungsional sama dengan yang dirumuskan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 yaitu adanya “hubungan kerja” atau “hubungan lain” dengan korporasi. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 dan RKUHP Tahun 2012 merupakan kebijakan regulatif yang baru menginternalisasi teori identifikasi dan pelaku fungsional menjadi norma konkret (tindak pidana perusakan hutan). Namun menurut N.H.T Siahaan, tindakan yang dilakukan secara tidak langsung, seperti menyediakan sarana-sarana seperti truk, alat penebangan dan lainnya untuk melakukan penebangan dapat juga dikualifikasikan sebagai perbuatan korporasi dengan syarat adanya bukti seperti surat tugas, dokumen pembayaran berkop dan ditandatangani oleh pejabat perusahaan.57 Pasal 109 Ayat (5)58 dan Pasal 109 Ayat (6)59 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 melalui frasa “terhadap korporasi hanya pidana denda” dan “korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan” menggambarkan bahwa korporasi dapat bertanggungjawab langsung. Sementara Pasal 82 sampai dengan Pasal 103 memuat “pidana penjara” bagi korporasi, tetapi menurut Pasal 109 Ayat (5) yang mungkin dijatuhi pidana penjara hanyalah “pengurus”. Artinya, “korporasi dan pengurus”60 dapat bertanggungjawab secara pidana. Selanjutnya frasa “dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi” pada Pasal 109 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 diinterpretasikan sebagai “dilakukan oleh pengurus dan/atau korporasi”, maka tindak pidana perusakan hutan dimungkinkan dapat dilakukan oleh “korporasi dan pengurus”. Merujuk pada Pasal 82 sampai dengan Pasal 103 tersebut, maka ancaman pidananya adalah “pidana penjara” dan “pidana denda”. Jika menurut Pasal 109 Ayat (5) korporasi hanya bisa dijatuhi “pidana denda” otomatis pidana penjara hanya mungkin dijatuhkan kepada pengurusnya. Interpretasi pasal-pasal 56
Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana dalam UU.No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Softmedia, 2011), h. 68. 57 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga, 2004), h. 376. Hal ini dirumuskan pada Pasal 79 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. 58 Yaitu, “Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 103”. 59 Yaitu, “Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 103, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan”. 60 Frasa “tuntutan dan/atau penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya” pada Pasal 109 Ayat (1) memungkinkan “korporasi dan pengurus” dapat dimintai pertanggungjawaban. Menurut Penjelasan Pasal 50 RKUHP Tahun 2012 jika suatu tindak pidana dilakukan “oleh dan untuk” suatu korporasi maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya saja. Namun, model ini merupakan bentuk interpretasi terhadap frasa “dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi” yang dirumuskan oleh Pasal 50 RKUHP. Walaupun frasa yang dipergunakan oleh RKUHP Tahun 2012 perbedaannya hanya sedikit dari frasa yang dipergunakan oleh Pasal 109 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 yakni pada kata “untuk dan/atau atas nama” dan “oleh atau atas nama”, tidak berarti bahwa tafsir Pasal RKUHP itu dapat dipergunakan serta merta untuk menafsirkan Pasal 109 Ayat (1) tersebut.
10
tersebut menggambarkan bahwa “korporasi, pengurus, serta korporasi dan pengurus” dapat menjadi pelaku dan dapat pula dimintai pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban korporasi pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tidak hanya menerapkan satu model saja. Apabila “korporasi dan pengurus” dapat ditafsirkan sebagai pelaku tindak pidana perusakan hutan melalui frasa “oleh atau atas nama”, maka model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perusakan hutan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 juga sudah menerapkan “model keempat” sesuai dengan proposal Sutan Remi Syahdeni otomatis telah mengakomodir kekhawatiran akan kejahatan korporasi61. Pertanggungjawaban menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 19 Tahun 2004 bahwa ancaman sanksi dibebankan kepada pengurusnya (baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama).62 Tidak ada penegasan bahwa korporasi dapat dituntut secara langsung sebagaimana dilakukan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013,63 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 200964 dan RKUHP Tahun 2012. C. Perumusan Sanksi dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberatasan Perusakan Hutan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 201365, secara garis besar terdapat tiga jenis sanksi yang dapat diterapkan terhadap korporasi yaitu: 61
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi…op. cit., h. 57. Menurut Dwidja Priyatno ketidakmungkinan korporasi dituntut secara pidana, maka: (1)Terjadi kekosongan hukum bagi pemidanaan terhadap korporasi; (2) Korporasi adalah pelaku fungsional dan menerima keuntungan dari berbagai kegiatan termasuk yang bersifat pidana; (3) secara praktis sulit menelusuri garis perintah apabila terjadi kejahatan korporasi dan Pidana terhadap pengurus tidak mempengaruhi perbuatan korporasi. Selanjutnya, keniscayaan pertanggungjawaban korporasi menurut Muladi berlandaskan pada: (1) Dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, atau keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial; (2) Dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945; (3) Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan); (4) Untuk perlindungan konsumen, dan (5) Untuk kemajuan teknologi. Ibid h. 58 62 Bentuk pertanggungjawaban itu pun dibatasi hanya untuk Pasal 50 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) padahal Pasal 38 Ayat (4) juga memuat larangan melakukan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Tindakan ini sebenarnya dapat dilakukan oleh pengurus dalam lingkup kerjanya dan menjalankan tujuan korporasi, tapi kenyataanya untuk perbuatan tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dari korporasi karena menurut Pasal 78 Ayat (4) untuk adanya delik korporasi haruslah dilakukan sendiri oleh perusahaan atau atas nama perusahaan. 63 Tujuan pemidanaan badan hukum menurut Munir Fuady adalah mencari keadilan bagi pelaku dan korban, dan untuk ketertiban umum, tetapi yang lebih menonjol dalam tindak pidana korporasi adalah untuk menimbulkan efek jera (deterrent effect). Jadi apabila yang dihukum pidana hanya para pengurusnya, hal ini tidak membuat jera bagi perusahaan tersebut karena perusahaan tersebut segera dapat mengganti pengurus lama dengan pengurus baru. Munir Fuady, Teori-teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, (Cetakan Kedua, Jakarta: Kencana, 2013), h. 197. 64 Mahrus Ali, Asas-asas…op. cit., h. 110-111. Pasal 116 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa yang dapat dituntut adalah “badan usaha” dan/atau “orang yang memberi perintah atau pemimpin”. Frasa “memberi perintah atau pemimpin” menunjukkan “pengurus” mana yang bertanggungjawab terkait directing mind dalam teori direct corporate criminal liability sebagaimana pernah diputuskan oleh Mahkamah Agung di Kanada. Akibatnya adalah lahir asas bahwa sejumlah pejabat (officer) dan direktur dapat merupakan directing mind dari korporasi. Pejabat yang diasumsikan adalah yang memiliki kuasa atau wewenang untuk menentukan kebijakan korporasi. 65 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 merupakan hukum positif bagi “tindak pidana perusakan hutan” berdasarkan asas “hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama”. Dalam Undang-
11
1. Sanksi Pidana Sanksi pidana diatur pada Pasal 82 sampai dengan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 yang dirumuskan dengan metode fix model66 yakni menentukan minimum khusus dan maksimum khusus sanksi pidananya. Sanksi minimum khusus paling ringan diatur pada Pasal 84 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, yaitu denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 dan penjara paling singkat 2 tahun. Korporasi yang membawa alat-alat67 yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Maksud pasal ini adalah untuk mencegah perbuatan yang mengarah kepada tindakan memanfaatkan hutan tanpa izin. Sifat tindakan “pencegahan” ini yang mengakibatkan sanksi minimum khusus diterapkan kepada korporasi. Sanksi maksimum khusus paling berat adalah pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000 dan penjara paling lama seumur hidup, yaitu: a. Pasal 94 Ayat (2)68
Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 19 Tahun 2004, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Ini diatur Pasal 112 undang-undang ini: a. Ketentuan Pasal 50 Ayat (1) dan Ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, huruf k, dan b. Ketentuan Pasal 78 Ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 Ayat (1) serta Ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 Ayat (3) huruf a dan huruf b, Ayat (6), Ayat (7), Ayat (9) dan Ayat (10) Menurut Pasal 113 semua peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 masih berlaku sepanjang tidak diatur lain oleh undang-undang ini dan dapat disandingkan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013. 66 Chairul Huda, Perumusan Tindak Pidana dalam Peraturan Perundang-undangan, (http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/62-perumusan-tindak-pidana-dalam-peraturanperundang-undangan.html, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan, 2009), diakses pada 5 April 2014, Pukul 14.33 WIB. Model perumusan jumlah pidana yang diancamkan ada tiga, yaitu (1) fix model, yaitu rumusan tindak pidana menyebutkan dengan tegas berapa jumlah pidana (maksimum ataupun jika perlu minimumnya) yang dapat dijatuhkan hakim. (2) categorization model, penyebutan dalam bagian ketentuan lain diluar rumusan tindak pidana jumlah pidana untuk beberapa kategori tertentu. (3) free model, yakni undang-undang tidak menentukan dengan pasti jumlah pidana untuk setiap tindak pidana, melainkan penyerahan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim. 67 Menurut Penjelasan Pasal 12 huruf f Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, “alat-alat “ yang dimaksud tidak termasuk ketentuan seperti parang, Mandau, golok atau alat sejenis yang dibawa oleh masyarakat setempat sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat. 68 Korporasi yang: a) menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 huruf a; b) melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 huruf c; c) mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, secara langusng atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 huruf d; dan/atau
12
Tendensinya lebih kepada tindakan atau yang berhubungan dengan “pembalakan liar”, namun ada yang menarik (pada huruf d) yakni terkait dengan pengubahan status kayu pada Pasal 94 Ayat (2) huruf d konsepnya hampir sama dengan konsep pencucian uang. Hal ini karena Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 pada Pasal 66 Ayat (1) juga ada menyebut istilah “pencucian kayu” (logging loundry)69, hanya saja tidak ada satu frasa pun yang menyatakan apa yang dimaksud dengan pencucian kayu. Makna “seolah-olah menjadi sah”70 dapat dipersepsikan sebagai tindakan “pencucian”. Tindakan Pencucian Uang tidak mengakibatkan uang yang berasal dari sumber yang haram menjadi “sah atau diputihkan” dan pencucian uang selalu identik dengan adanya tindak pidana asal (predicate crime).71 Pencucian kayu menurut Pasal 19 huruf f Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 memuat unsur:(1) Mengubah status secara tidak sah; (2) Seolah-olah menjadi kayu sah; (3) Untuk dijual kepada pihak ketiga. Frasa “mengubah status secara tidak sah” menunjukkan bahwa tindak pidana asalnya adalah “pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah” kemudian asal-usul kayu tersebut disembunyikan dengan adanya kegiatan berikutnya, yaitu perdagangan kayu. Pencucian uang sebagai extraordinary crime diantaranya karena pengaruhnya terhadap perekonomian secara umum dan kedudukannya terhadap tindak pidana lainnya. 72 Artinya, pemikiran inilah yang menjadi dasar pengancaman perbuatan pencucian kayu dengan pidana maksimum khusus tertinggi. b. Pasal 95 Ayat (3)73 d) mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f 69 Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Bali Berisiko Jadi Lokasi Log Loundry, https:dishut.jabarprov.go.id/?mod=detilBerita&idMenukiri=&idBerita=3620, (diakses pada 13 Mei 2014, Pukul 14.20 WIB). Potensi pencucian kayu (logging loundry) yang cukup besar adalah di daerah Bali (kayu asal Kalimantan dan Papua karena Industri kerajinan kayu di Bali orientasinya adalah ekspor. Belum ada tafsir otentik mengenai terminologi ini, namun secara bebas pencucian kayu lazim diasumsikan sebagai tindakan perdagangan kayu illegal seolah-olah merupakan perdagangan yang legal. 70 Lihat Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, “Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. 71 Yunus Husein, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundring) dalam Perspektif Hukum Internasional, http://www.docstoc.com/docs/20860753/ TINDAK-PIDANA-PENCUCIAN-UANGMONEY-LOUNDRING-DALAM-PERSPEKTIF, diakses pada 14 Nopember 2013. 72 Sutan Remy Sjahdeni, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004), h. 7. 73 Rumusan pasalnya adalah Korporasi yang: 1) Memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf g; 2) Menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf h; dan/atau
13
Pasal 95 Ayat (3) tersebut merupakan perbuatan yang berkenaan dengan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang dalam kondisi tertentu dapat berhubungan dengan pencucian kayu. c. Pasal 99 Ayat (3)74 Pasal 99 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 hanyalah terkait dengan penggunaan dana yang berasal dari kegiatan “penggunaan kawasan hutan secara yang tidak sah”. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, Pasal 78 Ayat (14) UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tidak merumuskan Tindak Pidana Perusakan Hutan secara terperinci dan terpisah (redaksinya sanksi hanya “untuk korporasi diperberat 1/3 dari manusia”). Jenis pidana yang dapat dijatuhkan menurut undang-undang tersebut adalah pidana penjara, pidana denda, dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana dan dapat dilakukan secara akumulasi. Penjelasan Pasal 78 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa selain pidana penjara dan denda kepada terpidana, pelanggaran terhadap Pasal 50 Ayat (3) huruf d juga dapat dikenakan hukuman pidana tambahan untuk perbuatan “membakar hutan”.75 Karakteristik manusia berbeda dengan korporasi (hanya dapat melakukan delik-delik tertentu) untuk itu stelsel pidana yang dapat diterapkan juga berbeda.76 Sanksi yang dapat dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda, pidana tambahan dan tindakan tata tertib.77 Dengan demikian yang mungkin dikenakan terhadap korporasi menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 adalah pidana denda, pidana tambahan dan perampasan benda. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengklasifikasikan ancaman sanksi pidana berdasarkan bentuk tindak pidana kejahatan dengan Pelanggaran. Kualifikasi78 tersebut
3) Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf i 74 Yaitu, “Korporasi yang menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama seumur hidup serta pidana denda paling sedikit Rp 20.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah)”. 75 Pidana tambahan tersebut muncul di penjelasan pasal, bukan di batang tubuh mengesankan bahwa tidak sama kekuatan normanya dengan rumusan pidana pokok. Pidana tambahan yang dimaksud oleh undang-undang tersebut juga tidak dibuat jenis dan rinciannya. Lihat juga Lampiran II angka 186 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Rumusan Penjelasan pasal demi pasal salah satunya haruslah memperhatikan “tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh”. 76 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana Predana Group, 2012), h. 157-158. 77 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi….op. cit., h. 212-214. 78 Adapun kualifikasi tindak pidana yang dimaksud dirumuskan dengan redaksi berikut: 1) Pidana Kejahatan: Pasal 19 Ayat (1), Pasal 33 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (2), Pasal 33 Ayat (3) 2) Pidana Pelanggaran:
14
berpengaruh terhadap berat ringannya sanksi. Pada tindak pidana pelanggaran juga diperhatikan adanya unsur “kelalaian” atau tidak. Perumusan sanksi menggunakan frasa “dan” seolah menunjukkan sifat kumulatif, padahal berdasarkan Pasal 10 KUHP kedua sanksi ini adalah pidana pokok sehingga tidak mungkin dijatuhkan bersamaan. Perumusan sanksi menggunakan “maksimum khusus”, yakni pidana penjara paling lama adalah 10 tahun dan pidana denda paling banyak adalah Rp 200.000.000,00 sebagaimana diatur pada Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Perbuatan yang dimaksud, yaitu: (1) Pasal 19 Ayat (1): “setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan suaka alam”; (2) Pasal 33 Ayat (1): “setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti79 taman nasional”. Cella Wells membagi bentuk sanksi terhadap korporasi menjadi financial Sanction dan non-financial sanction. Financial Sanction berkaitan dengan motif ekonomi dari tindak pidana korporasi.80 Hal ini sejalan dengan rumusan Pasal 109 Ayat (5) yang menyatakan bahwa Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda (financial sanction). Sebagai pidana yang tertua di dunia setelah pidana mati,81 awalnya pembentuk undang-undang menghendaki agar pidana denda itu hanya dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana ringan.82 Namun, saat ini tindak pidana korporasi tidak lagi dapat dikatakan sebagai tindak pidana ringan.83
1) Kelalaian melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (1) dan Pasal 33 Ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 Ayat (3)). 2) Kelalaian melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 33 Ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). 79 Frasa “perubahan terhadap keutuhan suaka alam” dan “keutuhan zona inti taman nasional” tidak memiliki penjelasan, sehingga jika ditafsirkan secara luas dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, maka kawasan tersebut merupakan bagian satu sama lain. 80 Cella Wells, “Corporation And Criminal Responsibility” (Oxford: Clarendon Press, 1994, h. 31, 33, 36) dalam Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi…., op. cit., h. 134. Financial Sanction (misal: pidana denda) dan non-financial sanction (misal: percobaan, Adverse publicity, community service, direct compensation orders dan punitive injuctions). 81 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Cetakan kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 46. Pidana denda telah terlebih dahulu tercantum di dalam kitab Taurat dan Al Quran. 82 Van Hattum dalam Lamintang, P.A.F. Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), h. 80. Lihat juga Muladi dan Barda Nawawi A., op. cit., h. 177-178. Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief sistem pidana diartikan sebagai pidana pokok yang ringan karena: (1) Pidana ini berada pada urutan paling bawah dalam ketentuan Pasal 10 KUHP; dan (2) Pada umumnya pidana denda dirumuskan sebagai pidana alternatif dari pidana penjara atau kurungan. Sedikit sekali tindak pidana yang hanya diancamkan dengan pidana denda untuk kejahatan dalam buku II hanya terdapat satu delik, yaitu Pasal 403 sedangkan untuk pelanggaran dalam buku III hanya terdapat 40 pasal dari keseluruhan pasal-pasal tentang pelanggaran, ketika jumlah ancaman pidana denda dalam KUHP pada umumnya relatif rendah. 83 Mahrus Ali menawarkan proposal pidana denda kalilipat (progresif) bagi korporasi. Denda progesif memang belum dikenal dalam istilah sehari-hari, asas ini melakukan pendekatan fiskal terhadap pidana denda yang bertujuan untuk mendekatkan kesenjangan antara terpidana yang mampu dengan yang kurang mampu sehingga dapat mendekati rasa keadilan. Namun, dalam penerapannya harus diperhatikan dua aspek, yaitu landasan formal dan kesiapan piranti operasionalnya. Menurutnya perundang-undangan
15
Pidana denda (ekonomis) relevan dengan pendapat Barda Nawawi Arief bahwa dalam mengoperasionalkan sanksi dalam tindak pidana ekonomi seyogyanya tidak semata-mata diutamakan pada pemberatan pidana pokok, tetapi juga pada upaya mengefektifkan pengoperasionalisasikan jenis-jenis sanksi pidana yang bersifat ekonomis dan administratif.84 Pidana denda objeknya adalah harta benda yang berbentuk uang (memiliki nilai ekonomis) sehingga perkembangan ekonomi dan lalu lintas uang akan sangat berpengaruh pada efektifitas pidana denda ini. Hal ini karena suatu jumlah yang telah ditetapkan dalam undangundang akan bersifat relatif karena inflasi sehingga sebenarnya perlu perumusan yang tidak terlalu kaku dalam suatu undang-undang.85 Penggunaan analisis ekonomi atas hukum pidana (economic analysis of criminal law) merupakan suatu wacana quo vadis yang diperbincangkan banyak kalangan. Menurut Posner ada dua prinsip utama analisis ekonomi atas hukum, yaitu prinsip rasionalitas dan efisiensi. 86 Jadi, pengancaman pidana denda menurut analisis ekonomi87atas hukum bukan terletak pada tingginya ancaman pidana denda88 dan tidak dirumuskan secara eksplisit jumlah denda yang existing kebanyakan menerapkan model maksimum khusus yang cenderung menjadi celah hukum bagi korporasi untuk melakukan kejahatan karena korporasi merupakan entitas rasional. Mahrus Ali, Asasasas….,op. cit., h. 268. Lihat juga Niniek Suparni, op. cit., h. 47. Y.E. Lokollo mengatakan bahwa perkembangan pidana denda terjadi karena perubahan watak (karakter) dari kriminalitas yang berorientasi pada pertimbangan meningkatnya kesejahteraan dan kemampuan finansial semua golongan masyarakat tersebut. 84 Suheryadi, Bambang, Kedudukan Sanksi Pidana dan Sanksi/Tindakan Administrasi Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan di Indonesia, (Semarang: Pascasarjana UNDIP, 2002). h. 2. 85 Yesmill Anwar dan Adang, Pembaruan …, op. cit., h. 164. 86 Mahrus Ali, Resensi Buku: Pidana Denda dan Korupsi, (http://kphindonesia.freevar.com/?p=197, 2011) diakses pada 5 April 2014, Pukul 15.09 WIB. Buku yang diresensi tersebut adalah karangan Syaiful Bakhri, Pascasarjana UII Tahun 2009. Prinsip rasionalitas dalam hukum pidana berarti pelaku kejahatan merupakan makhluk yang rasional ekonomis yang menimbang antara ongkos yang harus dikeluarkan dari melakukan kejahatan dengan keuntungan yang akan didapat. Ketika keuntungan lebih besar dibandingkan dengan ongkos yang dikeluarkan, maka pelaku akan melakukan kejahatan. Prinsip efisiensi mengandung makna penghematan, pengiritan, ketepatan, atau pelaksanan sesuai dengan tujuan. Efisiensi berkaitan dengan tujuan dan sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan. Dalam hukum pidana efisiensi berkaitan dengan dua hal. Pertama, apakah perbuatan-perbuatan yang ingin ditanggulangi dengan hukum pidana tidak banyak memerlukan ongkos untuk menanggulanginya sehingga keuntungan yang ingin diraih darinya lebih besar. Kedua, apakah sanksi pidana yang dijatuhkan lebih besar/berat dibandingkan dengan keuntungan yang diraih pelaku dari melakukan perbuatan pidana. Jika sanksi pidana lebih berat dari ongkos yang harus dikeluarkan oleh pelaku, maka pelaku akan menghindar untuk melakukan kejahatan. 87 Yesmill Anwar dan Adang, Pembaruan …, op. cit., h. 12. Analisis terhadap ekonomi ini berakar dari paham utilitarianisme Jeremy Bentham didasarkan pada the great happiness of the great numbers (kebahagiaan terbesar adalah untuk orang yang banyak). Menurut Ted Honderich pidana dapat disebut sebagai alat pencegahan yang ekonomis (economical deterrences) apabila: (1) Pidana itu sungguh mencegah; (2) Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya atau merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan; (3) Tiada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya atau kerugian yang lebih kecil. 88 Nominal denda pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo.Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 sangat timpang, tetapi sanksi pidana penjara hampir sama dan tidak terlalu timpang. Artinya, tidak ada perbedaan yang signifikan antara “pencelaan” terhadap perbuatan tersebut karena ancaman pidana penjara yang hampir sama, sementara untuk sanksi denda terjadi ketimpangan yang cukup besar kemungkinan dipengaruhi oleh nilai mata uang (pengaruh waktu). Rasionalisasinya ialah hubungan antara nominal
16
harus dibayar oleh pelaku, tetapi cukup dengan mengkalilipatkan pidana denda sesuai dengan keuntungan yang diperoleh pelaku. Semakin banyak keuntungan pelaku dari melakukan tindak pidana semakin tinggi denda yang harus dibayar. Asumsinya, gradasi hukuman melebihi gradasi keseriusan tindak pidana.89 Efektifitas pidana denda secara umum menurut Munir Fuady dipengaruhi oleh beberapa kelemahan:90 (1) Korporasi akan menjadikan pengeluaran dana untuk denda ini sebagai pos pengeluaran biasa (cost of business) dari korporasi tersebut; dan (2) Jika denda dianggap sudah terlalu membebankan, korporasi dapat mengajukan dirinya untuk dipailitkan. Untuk itu maka spesifikasi dan mekanisme penjatuhan pidana denda perlu diperhatikan dan dilakukan dengan hati-hati karena seperti dikatakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam pelaksanaan pidana denda perlu mempertimbangkan:91 (1) sistem penetapan jumlah atau besarnya pidana denda; (2) batas waktu pelaksanaan pembayaran denda; (3) tindakantindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya denda pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu yang ditetapkan; (4) pelaksanaan pidana denda dalam hal-hal khusus (misalnya, terhadap seorang anak yang masih belum dewasa dan masih dalam tanggungan orang tua); (5) pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda. 2. Sanksi Tindakan (Maatregel) Tindakan berarti pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi mendidik dan mengayomi, tujuannya mengamankan masyarakat dan memperbaiki terpidana.92 Sanksi tindakan banyak tersebar di luar KUHP dan variatif, seperti pencabutan surat izin mengemudi, latihan kerja, rehabilitasi dan sebagainya. Sanksi tindakan didominasi oleh fungsi prevensi khusus walaupun dalam praktik tindakan sering juga menimbulkan derita terhadap pihak yang terkena. Pada prinsipnya tindakan berwujud sebagai suatu perlakuan (behandeling/treatment) yang dijatuhkan hakim dalam vonis di samping atau sebagai pengganti pidana.93 Artinya, sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif, bukan reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat determinisme dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis (open system) dan spesifikasi non penderitaan atau perampasan kemerdekaan, dengan tujuan untuk memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban baik perseorangan, badan hukum.94 Frasa “dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan” pada Pasal 109 Ayat (6)95 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 seolah menunjukkan bahwa penutupan seluruh atau ancaman pidana denda pasti berkaitan dengan fluktuasi nilai rupiah yang cenderung unpredictable padahal denda merupakan pidana pokok bagi korporasi. 89 Mahrus Ali, Resensi…..loc. cit. 90 Rufinus Hotmaulana, op. cit., h. 100. 91 Ibid., h. 163. 92 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Edisi revisi 2008, Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 127. 93 Jan Remmelink, Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undangundang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 458. 94 Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 202. 95 Normanya: “Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan 103, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan”.
17
sebagian korporasi merupakan bagian dari pidana tambahan. Perbedaan pendapat antara pakar hukum pidana pun terjadi yakni apakah itu termasuk pidana tambahan ataukah termasuk sanksi tindakan. Hal ini karena kedua jenis sanksi tersebut memiliki kedudukan yang sama dalam sistem hukum pidana.96 Menurut Mahrus Ali “penutupan korporasi” merupakan sanksi tindakan yang sangat ampuh untuk menanggulangi kejahatan korporasi khususnya di bidang lingkungan hidup karena di dalamnya terdapat unsur kontrol eksternal dan ekses pamor di mata publik. Keduanya mengandung dimensi penal dan non penal, yakni pengawasan dan rasa malu. Kontrol publik berkaitan dengan teori reintegrative shaming, dimana masyarakat yang angka kejahatannya tinggi dinilai berdasarkan efektif tidaknya warganya dalam mencela kejahatan. Prinsip ini berkaitan dengan kualitas moral, yaitu efek rasa malu terkait dengan ketidaksetujuan sosial.97 Penutupan perusahaan dilakukan berdasarkan keputusan hakim setelah mempertimbangkan banyak hal, seperti jangan sampai menimbulkan ekses yang lebih besar lagi misalnya: karyawan perusahaan yang jadi tidak bekerja. Hal ini berkaitan dengan jangka waktu penutupan perusahaan juga tidak ditentukan secara limitatif. Frasa “penutupan perusahaan” ini juga diatur pada Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pernah98 sebagai tindakan tata tertib99. Penutupan perusahaan menurut Muladi dan Dwidja Priyatno merupakan perluasan dari pidana tambahan “pencabutan hak” yang berarti pencabutan hak/izin berusaha.100 Ini sejalan dengan Penjelasan Pasal 91 Ayat (2) RKUHP Tahun 2012 bahwa terpidana korporasi dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak yang diperoleh korporasi, misalnya hak untuk melakukan kegiatan dalam bidang usaha tertentu. Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 juga merumuskan “penutupan perusahaan”, tetapi tidak jelas apakah itu pidana tambahan atau tindakan 101. Secara teoritis antara pidana dan tindakan sulit untuk ditentukan dengan pasti karena pidana dalam banyak hal juga bertujuan melindungi dan memperbaiki.102 Namun menurut M. Sholehuddin dalam tataran formulatif masih terdapat ketidakjelasan dalam membedakan jenis sanksi, khususnya pidana tambahan dengan sanksi tindakan sehingga bentuk-bentuk dari sanksi tindakan sering ditempatkan sebagai sanksi pidana (tambahan), dan begitu pula 96
Ibid., h.193. John Braithwaite dalam Mahrus Ali, Asas-asas..op. cit., h. 274-276. Makna “korban” disini tidak hanya terbatas kepada manusia, tetapi juga meliputi makhluk hidup secara umum. 98 Undang-undang ini telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 99 Tindakan tata tertib itu berupa: (a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau (b) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau (c) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau (c) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (d) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (e) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 tahun. 100 Muladi dan Dwidja Priyatno, op. cit., h. 170. 101 Selain pidana dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: (a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; (b) penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; (c) perbaikan akibat tindak pidana; (d) pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (e) penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 tahun. 102 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Cetakan Kelima, Jakarta: Aksara Baru, 1987), h. 47-48. 97
18
sebaliknya,103 padahal keduanya seharusnya didudukkan secara mandiri karena filsafat dan tujuannya pun berbeda secara mendasar.104 Menurut Jan Remmelink pidana tambahan memang sering mempunyai karakter “tindakan”. Misalnya pidana tambahan berupa pencabutan sejumlah hak tertentu dimana sebagian derita yang langsung dirasakan terpidana dan sekaligus bertujuan melindungi masyarakat tertentu, seperti pencabutan hak untuk menjadi anggota angkatan bersenjata atau melaksanakan hak dipilih atau memilih. Pidana lebih menutup kemungkinan terpidana menjadi anggota angkatan bersenjata atau lolos kualifikasi sebagai pemilih atau wakil rakyat daripada mengenakan derita yang langsung dirasakan terpidana.105 Pasal 109 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tidak menyebutkan batasan waktu penutupan perusahaan sehingga bisa saja untuk sementara atau bisa untuk selamanya. Akibatnya, penafsiran “penutupan perusahaan” sebagai pidana tambahan dalam tataran teoritis cukup lemah. Apabila disandingkan dengan pendapat Muladi dan Dwidja Priyatno yang mengartikan penutupan perusahaan sebagai pencabutan hak, maka seperti dikatakan oleh Mohammad Ekaputra bahwa pencabutan hak dalam arti pidana tambahan pada dasarnya adalah untuk batas waktu tertentu dan tidak untuk selamanya.106 Konsekuensi dari keragaman pemahaman itu adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 menganut sistem pidana dua jalur (double track system)107 apabila “penutupan perusahaan” dianggap sebagai sanksi tindakan108 dan sebaliknya jika itu adalah pidana tambahan, maka Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tidak menganut sistem pidana dua jalur (double track system). Tafsir otentik “korporasi” menurut Pasal 1 angka 24 lebih luas dari pengertian “perusahaan” yang dirumuskan di Pasal 109 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, sementara itu tidak ada tafsir otentik terhadap “perusahaan”. Akibatnya terjadi inkonsistensi redaksi subjek tindak pidana perusakan hutan yang lebih lanjut memungkinkan “korporasi” (selain perusahaan, misalnya Organisasi Kemasyarakatan) yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai subjek tindak pidana perusakan hutan.
103
M.Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Cetakan Pertama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 148. 104 Mahrus Ali, Asas-asas…op. cit., h. 254. 105 Jan Remmelink, op. cit. h. 492. 106 Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Edisi Kedua, Medan: USU Press, 2013), h. 167. 107 Chairul Huda, Perumusan Tindak Pidana…., op. cit., h. 24. Meskipun dalam pelbagai literatur, double track system tidak pernah ditegaskan secara eksplisit, namun dilihat dari latar belakang kemunculannya dapat disimpulkan bahwa ide dasar sistem tersebut adalah kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan. Kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan ini terkait dengan fakta bahwa unsure penderitaan (dari sanksi pidana) dan unsur pembinaan (dari sanksi tindakan) sama-sama penting. 108 Mahrus Ali, Dasar-dasar…., op. cit., h. 202. Sanksi pidana dan tindakan dipayungi oleh aliran filsafat yang berbeda, dimana filsafat indeterminisme sebagai sumber sanksi pidana dan filsafat determinisme sebagai sumber bagi sanksi tindakan. Asumsi dari filsafat indeterminisme berkaitan dengan adanya kehendak bebas manusia (free will) termasuk melakukan kejahatan, sedangkan determinisme bertolak pada pemikiran bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor fisik, geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis, dan keagamaan yang ada atau kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari keadaan jiwa yang abnormal.
19
3. Sanksi Administratif Pada bagian tertentu sanksi administratif serupa dengan hukum pidana, yakni memiliki tujuan punitif109. Sanksi ini berkehendak untuk mengenakan derita atau azab kepada pelanggar sehingga unsur kesalahan menjadi sangat penting. Sanksi administratif mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang, di samping itu sanksi administratif terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut sehingga pada dasarnya bertujuan untuk mengakhiri secara langsung perbuatan yang terlarang110 Sanksi administratif dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 adalah: Pasal 18 Ayat (1) Selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b. huruf c, Pasal 17 Ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17 Ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi dikenai sanksi administratif berupa: a. Paksaan pemerintah111; b. Uang paksa112 dan/atau c. Pencabutan izin Sanksi administratif bagi korporasi memang tidak dapat dikomparasikan dengan sanksi pidana dari segi berat ringannya hukuman karena parameter yang digunakan keduanya juga berbeda, namun menurut Jan Remmelink terlepas dari tujuan-tujuan yang hendak dicapainya, sanksi administratif itu lebih ringan daripada sanksi pidana. Karena setidaknya dalam sanksi administratif tidak akan ditemui pidana penjara dan kurungan (penahanan). Kendati demikian keduanya memiliki denda (yang bersifat finansial), tetapi unsur pencelaan terhadap perbuatan yang bersumber bagi lahirnya denda dari kedua sanksi tersebut juga tetap berbeda. Artinya denda yang bersumber dari pidana merupakan perbuatan dengan unsur kriminalitas yang lebih tinggi daripada pelanggaran norma administrasi.113 Pasal 18 Ayat (1) mendukung pernyataan Koesnadi Hardjasoemantri bahwa seseorang yang tidak melakukan ketentuan sebagaimana tercantum dalam izin, dikenakan
109
Jan Remmelink, op. cit., h.16. Selain bersifat punitif, ditemukan pula sanksi administratif lain yang lebih memiliki karakter situatif (berkenaan dengan keadaan atau situasi tertentu; penamaan situatif ini dipinjam dari oostenbrink). Primair sanksi ini bertujuan untuk memperbaiki situasi tertentu yang menjadi perkara, demi keuntungan pemerintah. 110 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (Edisi Ketiga, Surabaya: Airlangga Press, 2005), h. 217. 111 Paksaan pemerintah menurut Penjelasan Pasal 18 Ayat 1 huruf a adalah “tindakan hukum pemerintah yang dilakukan agar perusahaan/badan hukum melakukan pemulihan hutan akibat perbuatan perusakan hutan karena tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan.” 112 Uang paksa adalah uang yang harus dibayarkan dalam jumlah tertentu oleh badan hukum atau korporasi yang melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sebagai pengganti dari pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Sanksi administrasi berupa uang paksa tidak dikenal oleh UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 jo.Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, yang ada hanya sanksi berupa ganti rugi terhadap negara sesuai dengan tingkat kerusakan yang dilakukan dan sanksi inipun lebih tepat dikatakan sebagai sanksi perdata. 113 Ibid.
20
sanksi administrasi yang diberikan oleh instansi yang berwenang. 114 Izin merupakan instrumen yuridis yang digunakan pemerintah untuk memengaruhi warga agar mengikuti cara yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret. Keragaman peristiwa konkret menyebabkan keragaman pula dari tujuan izin ini.115 Selain jenis-jenis sanksi di atas (pidana denda, tindakan dan sanksi administratif), menurut Pasal 108 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 ada juga sanksi “uang pengganti”. Dasar “pengganti” kerugian negara adalah karena kerusakan hutan akibat pembalakan liar ataupun penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Namun, menjadi tidak rasional jika sanksi uang pengganti diancamkan kepada korporasi karena menurut Pasal 108 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 apabila uang pengganti tidak terpenuhi, maka terdakwa dapat dihukum penjara. Artinya, dalam kondisi tertentu pidana badan dapat diterapkan terhadap korporasi, namun tidaklah memungkinkan korporasi dijatuhi pidana penjara. V.
PENUTUP A. Kesimpulan Pertanggungjawaban pidana korporasi menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 berdasarkan tulisan ini mengkaji masalah pemidanaan, model pertanggungjawaban dan perumusan sanksi akhirnya menghasilkan konklusi sebagai berikut: 1. Sistem pertanggungjawaban tersebut bertujuan untuk “pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan” dan “pemberian efek jera” bagi korporasi. Hal ini tercantum pada Konsiderans bagian Menimbang Huruf e dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013. Tujuan pemidanaan yang relevan adalah (bermuara pada tujuan perlindungan masyarakat (social defence dan social welfare): a. Agar korporasi tidak lagi melakukan tindak pidana perusakan hutan (prevensi khusus) dan korporasi lain yang potensial tidak akan melakukan tindak pidana perusakan hutan (prevensi umum); b. Adanya aspek pembalasan yakni agar korporasi yang melakukan tindak pidana perusakan hutan dapat bertanggungjawab atas tindakannya dengan diancam sanksi berupa pidana denda (Pasal 82 s/d Pasal 103), ancaman penutupan perusahaan (Pasal 109 Ayat (6)) sanksi administratif (Pasal 18), dan uang pengganti (Pasal 108). 2. Korporasi adalah subjek tindak pidana Perusakan Hutan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 yakni dirumusakan pada Pasal 82 sampai dengan Pasal 103 (dirumuskan pada ayat terakhir setiap pasal). Rumusan ini dipertegas oleh Pasal 109 Ayat (1) sampai dengan Ayat (6). Pengaturan tersebut berbeda dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 yang memuat frase “setiap orang” sebagai interpretasi dari korporasi yakni dirumuskan pada Pasal 78 Ayat (14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004. 114
Koesnadi Hardjosoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1999), h. 347. 115 Soehino dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Cetakan Keenam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 217-218.
21
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang sama sekali tidak menunjukkan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Selanjutnya, Pasal 47 RKUHP Tahun 2012 juga memosisikan korporasi sebagai subjek tindak pidana perusakan hutan melalui interpretasi bahwa tindak pidana perusakan hutan merupakan subsektor dari tindak pidana lingkungan hidup. Model pertanggungjawaban pidana korporasi menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 adalah korporasi menjadi pelaku tindak pidana perusakan hutan berdasarkan teori Identifikasi (identification theory) dan pelaku fungsional melalui redaksional “oleh atau atas nama” dan “adanya hubungan kerja atau hubungan lain dan dalam lingkungan korporasi”, yakni pada Pasal 109 Ayat (2). Korporasi serta “pengurus dan korporasi” telah dapat dimintai pertanggungjawabannya secara langsung. Hal ini dirumuskan pada Pasal 109 Ayat (1) dan Ayat (2) dan sama halnya dengan RKUHP Tahun 2012 yakni merumuskan model tersebut pada Pasal 49. Model pertanggungjawaban tersebut berbeda dengan yang dirumuskan oleh Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dimana pertanggungjawaban hanya dijatuhkan kepada pengurus saja yakni diatur pada Pasal 79 Ayat (14). 3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 menganut sistem pidana dua jalur (double track system) menurut pandangan sebagian sarjana karena dapat dijatuhi sanksi pidana (pidana pokok berupa denda) yakni pada Pasal 109 Ayat (5) dan sanksi tindakan yakni pada Pasal 109 Ayat (6). Kedudukan sanksi tindakan tersebut masih menuai pro-kontra karena di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 masih dirancukan dengan istilah sanksi pidana tambahan. Perumusan sanksi pidana bagi korporasi menggunakan fix model yakni ditentukan jumlah maksimum dan minimum sanksi dendanya. Jumlah denda minimal yang paling ringan diatur pada Pasal 84 Ayat (4) yaitu Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) yaitu untuk perbuatan “Korporasi yang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang”. Sementara jumlah denda maksimal yang paling berat masing-masing sebanyak Rp 1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah), diatur pada: (a) Pasal 94 Ayat (2), yakni untuk perbuatan yang menggambarkan “pencucian kayu”, namun tidak ada tafsir yuridis mengenai itu; (b) Pasal 95 Ayat (2), yakni diancam terhadap perbuatan yang berhubungan dengan Pasal 94 Ayat (2); dan (c) Pasal 99 Ayat (3), yaitu diancam terhadap perbuatan yang terkait dengan penggunaan dana yang berasal dari kegiatan “pembalakan liar/penggunaan kawasan hutan secara yang tidak sah”. B. Saran 1. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 menunjukkan bahwa salah satu perbuatan yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar dan berskala internasional adalah pencucian kayu tidak sah (logging loundry). Di masa mendatang akan dibutuhkan kajian tersendiri, yakni apakah konsepnya akan dipersamakan dengan money laundry atau dibutuhkan penanggulangannya dengan konsep baru. Hal ini penting karena undang-
22
2.
3.
4.
5.
undang sendiri tidak mengkualifisir dan merumusakan unsur-unsur pencucian kayu tersebut, padahal perbuatan ini dipandang sebagai hal yang berpotensi mengancam kelestarian hutan. Pasal 109 Ayat (6) secara normatif menggambarkan inkonsistensi penggunaan terminologi subjek tindak pidana perusakan hutan. Hal ini didukung oleh penjelasan Pasal 18 Ayat (2) yang mempersamakan terminologi perusahaan dengan badan hukum, padahal menurut tafsir otentik Pasal 1 angka 22, “korporasi” lebih luas maknanya daripada “perusahaan”. Asumsinya, tidak semua “korporasi” dapat dijatuhi sanksi oleh Pasal 109 Ayat (6). Untuk itulah maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap norma tersebut. Pidana denda bagi korporasi memiliki hubungan dengan Ilmu Kepailitan. Untuk itu dibutuhkan kajian lintas ilmu agar penerapan pidana denda tidak berbenturan dengan aspek kepailitan dan dapat dijamin keefektifan sistem denda ini sebagai “sanksi atau pidana” bagi korporasi, apalagi saat ini sedang digaungkan pendekan economic analysis of criminal law. Pedoman pelaksanaan pidana denda terhadap korporasi perlu dilakukan dengan sangat hati-hati mengingat (1) adanya prinsip rasionalitas (pertimbangan cost and benefit) dari korporasi. (2) pidana denda berhubungan langsung dengan financial market yang cenderung fluktuatif (nilai uang yang berubah-ubah), (3) perumusan pidana denda yang menggunakan fix model dengan membatasi minimum khusus dan maksimum khusus cenderung kaku dan tidak visioner. Walaupun dimungkinkan adanya kebijaksanaan hakim, kiranya asas legalitas akan lebih menjamin kepastian hukum. Dengan demikian perumusan ide denda progresif (pendekatan fiskal) dapat menjadi pertimbangan sebagai solusi. Pasal 108 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 perlu ditinjau kembali karena dalam kondisi tertentu korporasi dapat dipidana badan (bila tidak mampu membayar uang pengganti). Hal ini menjadi rancu karena kenyataannya tidak mungkin untuk memenjarakan sebuah korporasi.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku, Jurnal dan Tesis Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011). ______Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, (Cetakan Pertama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013). Ali, Zainuddin Metode Penelitian Hukum, (Cetakan 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2009). Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006). Amrullah, Arief, Kejahatan Korporasi: The Hunt for Mega-Profits and The Attack on Democracy, (Malang: Bayumedia, 2006). Anwar, Yesmil dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, (Jakarta: Grasindo, 2008). Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003). ______Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007).
dalam
Ekaputra, Mohammad, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Edisi Kedua, Medan: USU Press, 2013). Fuady, Munir, Teori-teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, (Cetakan Kedua, Jakarta: Kencana, 2013). Hamzah, Andi, Asas-asas Hukum Pidana, (Edisi revisi 2008, Jakarta: Rineka Cipta, 2008). Hardjosoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1999). Hutauruk, Rufinus Hotmaulana, Penanggulangan Kejahatan Korporasi; Suatu Terobosan, (Cetakan Pertama, Jakarta: Gramedia, 2008). HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Cetakan Keenam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006). Ibrahim, Johnny, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005). Jan Remmelink, Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003). 23
24
Jaya, Nyoman Serikat Putra, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaruan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005). Lamintang, P.A.F., Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1984). Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010). Meliala, Adrianus, Menyingkap Kejahatan Kerah Putih, (Cetakan Kedua, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995). Mudzakkir, dkk, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional: Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2010). Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana Predana Group, 2012). Mulyadi, Mahmud dan Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Cetakan Pertama, Jakarta: Softmedia, 2010). Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). Priyatno, Dwidja, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: CV. Utomo, 2004). Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (Edisi Ketiga, Surabaya: Airlangga Press, 2005). R, Ibrahim, Sinopsis Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995). Salman, Otje dan Anton F.Susanto, Teori Hukum; Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, (Cetakan Kedua, Bandung: Refika Aditama, 2005). Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia, (Cetakan Kelima, Jakarta: Aksara Baru, 1987). Sholehuddin, M., Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Cetakan Pertama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003). Siahaan, N.H.T., Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga, 2004). Sjawie, Hasbullah F. Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Cetakan Pertama, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013). Sjahdeni, Sutan Remy, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004). Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, (Cetakan Kedua, Jakarta: PT.Rieneka Citra, 2003).
25
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011). Soedarsono, Teguh, Penegakan Hukum dan Putusan Peradilan Kasus-kasus Illegal Logging, (Jakarta: Jurnal Hukum LPSK, 2010). Suheryadi, Bambang, Kedudukan Sanksi Pidana dan Sanksi/Tindakan Administrasi Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan di Indonesia, (Semarang: Pascasarjana UNDIP, 2002). Suparni, Niniek, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Cetakan kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2007). Syahrin, Alvi, Ketentuan Pidana dalam UU.No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Softmedia, 2011).
B. Internet BBC
Indonesia, “Riau Tanggapi Pernyataan SBY Soal Kabut Asap”, (http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/03/140314_kabut_asap_kome ntar_bnpd_riau.shtml, Edisi 14 Maret 2014, diakses pada 16 Maret 2014, Pukul 11.48 WIB).
Chairul Huda, Perumusan Tindak Pidana dalam Peraturan Perundang-undangan, (http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/62-perumusan-tindak-pidana-dalamperaturan-perundang-undangan.html, Direktorat Jendral Peraturan Perundangundangan, 2009), diakses pada 5 April 2014, Pukul 14.33 WIB. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Bali Berisiko Jadi Lokasi Log Loundry, https:dishut.jabarprov.go.id/?mod=detilBerita&idMenukiri=&idBerita=3620, (diakses pada 13 Mei 2014, Pukul 14.20 WIB). Mahrus Ali, Resensi Buku: Pidana Denda dan Korupsi, (http://kphindonesia.freevar.com/?p=197, 2011) diakses pada 5 April 2014, Pukul 15.09 WIB. Yunus Husein, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundring) dalam Perspektif Hukum Internasional, http://www.docstoc.com/docs/20860753/ TINDAK-PIDANAPENCUCIAN-UANG-MONEY-LOUNDRING-DALAM-PERSPEKTIF, diakses pada 14 Nopember 2013. Wirendro Sumargo dkk, Laporan Penelitian: Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009, Edisi Pertama, 2011, (http://fwi.or.id/wpcontent/uploads/2013/02/PHKI_2000-2009_FWI_low-res.pdf, diakses pada 10 Maret 2014, Pukul 12.08 WIB). Liputan6.com, “45 Perusahaan Perusak Hutan Riau Diproses Hukum” (http://news.liputan6.com/read/2027509/45-perusahaan-perusak-hutan-riau-diproseshukum, Edisi 25 Maret 2014, diakses pada 26 Maret 2014, Pukul 11.45 WIB).
26
Lampiran Permenko tentang Rencana Strategis 2010-2014, (lihat di http://www.ekon.go.id/publikasi/download/229/35/lampiran-permenko-ttg-rencanastrategis-2010-2014.pdf, diakses pada 27 Maret 2014, Pukul 13.25 WIB).
C. Peraturan Perundang-undangan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi undang-undang. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003