PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ..... TAHUN ..... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME
I.
UMUM Sejalan dengan tujuan nasional Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum
dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka Negara Indonesia memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai, sejahtera, dan aktif dalam perdamaian dunia. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan untuk dapat melindungi warga negaranya dari setiap ganguan dan ancaman atau tindakan destruktif baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Tindak pidana terorisme merupakan kejahatan internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan dan perdamaian dunia serta merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia terutama hak untuk hidup. Rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia yang mulai terjadi sejak akir tahun 1990-an telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, dan kerugian harta benda, sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasioanl. Saat ini upaya pemberantasan tindak pidana terorisme telah dilakukan pemerintah telah menunjukan hasil yang cukup memuaskan. Namun upaya yang selama ini dilakukan pemerintah hanya terbatas pada upaya menangkap pelaku unsur pendanaan merupakan faktor utama dalam setiap aksi terorisme sehingga upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diyakini tidak akan optimal tanpa adanya pencegahan dan pemberantasan terhadap pendanaan terorisme
www.djpp.depkumham.go.id
2
Upaya pemberantasan tindak pidana terorisme dengan cara konvensional (follow the suspect) yakni dengan menghukum para pelaku teror ini ternyata bukan satu-satunya cara untuk mencegah dan memberantas tidak pidana terorisme secara maksimal. Upaya lain yang perlu dilakukan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme adalah dengan menggunakan sistem dan mekanisme follow the money dengan melibatkan penyedia jasa keuangan, aparat penegak hukum, dan kerja sama internasional untuk mendeteksi adanya suatu aliran dana yang digunakan atau diduga digunakan untuk pendanaan kegiatan terorism, karena suatu kegiatan terorisme tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya pelaku teror yang berperan sebagai penyandang dana untuk kegiatan terorisme tersebut. Meluasnya aksi teror yang didukung oleh pendanaan yang bersifat lintas negara mengakibatkan
pemberantasannya
membutuhkan
kerjasama
internasional
dalam
pembentukan suatu aturan Internasional yang menjadi rujukan bersama. Selama ini terdapat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, diantaranya: 1.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
2.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Upaya memasukan tindak pidana terorisme sebagai salah satu tindak pidana asal
(predicate crime) dana Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ternyata masih belum dapat diimplementasikan secara efektif dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. Bahkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak
Pidana
Terorisme
Menjadi
Undang-Undang
yang
telah
mengkriminalisasi pendanaan terorisme sebagai tindak pidana ternyata masih banyak “loopholes” sehingga pengaturannya belum menjamin kepastian hukum dan ketertiban hukum dalam masyarakat. Komitmen masyarakat internasional dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana pendanaan terorisme sudah diwujudkan dengan dikeluarkannya International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism (Konvensi Internasional
www.djpp.depkumham.go.id
3
Pemberantasan Pendanaan Terorisme)
pada tahun 1999. Seluruh anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa termasuk Indonesia wajib meratifikasi konvensi tersebut sebagai pemenuhan kewajiban terhadap Resolusi Dewan Kemanan PBB Nomor 1373. Ratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999) berdasarkan UU No. 6 Tahun 2006. Perlunya pengaturan tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme ke dalam sebuah perundang-undangan tersendiri juga dipicu oleh adanya 9 special recommendation yang dikeluarkan oleh FATF. Rekomendasi khusus tersebut merupakan standar internasional yang baru dengan tujuan untuk menghalangi akses bagi para teroris dan pendukungnya untuk masuk ke dalam system keuangan. Dengan adanya konvensi internasional yang telah diratifikasi dalam aturan hukum Indonesia dan 9 (sembilan) special recommendation yang dikeluarkan oleh FATF, serta banyaknya kelemahan yang dimiliki beberapa peraturan yang telah ada yang mengatur tentang tindak pidana pendanaan terorisme, maka diperlukan Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Dalam Undang-Undang ini mengatur secara komprehensif mengenai asas, kriminalisasi tindak pindana pendanaan terorisme dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme, pelaporan dan pengawasan kepatuhan, mekanisme pemblokiran, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta kerjasama baik nasonal maupun internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. Undang-Undang ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membentuk suatu aturan hukum yang baku dan lengkap tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme sebagai salah satu cara untuk mewujudkan tujuan nasional, terciptanya penegakan hukum dan keretiban yang konsisten dan berkesinambungan.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
4
Pasal 2 Untuk dapat dipidananya tindak pidana pendanaan terorisme dalam ketentuan ini tidak perlu dibuktikan bahwa Dana tersebut benar-benar sudah digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Surat dakwaan ditujukan kepada Personil Pengendali Korporasi, sedangkan tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dijatuhkan kepada Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam ketentuan ini maksud menggunakan istilah “pengurus” adalah untuk memudahkan pemanggilan. Penyerahan panggilan dilakukan berdasarkan Pasal 227 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 7 Ayat (1) Ketentuan ini dikenal dengan istilah anti-tipping off yang dipeluas yakni dengan penambahan istilah “siapa pun juga” yang memperluas
www.djpp.depkumham.go.id
5
cakupan pihak-pihak yang wajib merahasiakan informasi, Dokumen, dan/atau keterangan lain yang berkaitan dengan Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme yang diketahui atau diperolehnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam ketentuan ini yang termasuk “pejabat lain” antara lain pejabat pada Departemen Luar Negeri, auditor regulator, pejabat pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau lembaga lain yang melaksanakan kewajiban menurut Undang-Undang atau demi kepentingan umum. Catatan : usul untuk dihapus konsistensi dengan batang tubuh. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Dalam ketentuan yang termasuk dalam “penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang” adalah penyelenggara pengiriman uang baik yang memiliki ijin maupun yang tidak memiliki ijin. Huruf b Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
6
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Ketentuan ini dimaksudkan agar badan yang melakukan pengumpulan atau penerimaan (non profit organization) yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan belum masuk sebagai pihak pelapor, maka dengan dibebani kewajiban pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan menurut Undang-Undang ini.
Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Buat penjelasan tentang management oversight. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
7
Pasal 16 Ayat (1) Dalam ketentuan ini termasuk dalam “Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme” antara lain transaksi yang dilakukan Setiap orang atau Korporasi yang berdasarkan publikasi pemerintah atau organisasi internasional yang dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris misalnya yang tercantum Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1267. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “instrumen pembayaran lain” meliputi antara lain berupa cek, cek perjalanan atau bilyet giro. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Setelah melakukan penindakan, Ditjen Bea dan Cukai menyerahkan penanganan pembawaan uang tunai yang terkait dengan tindak pidana pendanaan terorisme tersebut kepada penyidik yang berwenang.
www.djpp.depkumham.go.id
8
Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Publikasi Pemerintah” antara lain berupa pengumuman DPO, website penyidik atau penuntut umum, pengumuman putusan pengadilan. Yang dimaksud dengan “Publikasi organisasi internasional“ antara lain yang diperoleh dari Kemenlu. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Ketentuan ini diberlakukan sepanjang penyedia jasa keuangan melakukan penundaan transaksi berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan prosedur internal penyedia jasa keuangan. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Maksud “memastikan” dalam ketentuan ini adalah melakukan verifikasi untuk memberikan kepastian bahwa Pengguna Jasa yang ditunda transaksinya tersebut adalah orang atau korporasi yang dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris dalam daftar publikasi Pemerintah atau organisasi internasional.
www.djpp.depkumham.go.id
9
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam hal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah, atau pimpinan instansi atau lembaga atau komisi, atau Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi berhalangan, penandantanganan dapat dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
10
Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR.......
www.djpp.depkumham.go.id