KONSEP-KONSEP PIDANA DALAM UNDANGUNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN (P3H)
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo OLEH Fandy Achmad Tawakal H1A1 12 111
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2017 i
ii
iii
ABSTRAK Fandy Achmad Tawakal, H1A112111,Konsep-Konsep Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), dibimbing oleh Prof. Dr. H. Muntaha, S.H., M.H., sebagai Pembimbing I dan Rustam Ukkas, S.H., M.Si., M.H., sebagai Pembimbing II. Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui konsep-konsep pidana terhadap pelaku tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013; dan untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam mengoptimalkan penegakan hukum di bidang kehutanan. Tipe penelitian adalah normatif; pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konseptual. Penelitian ini dilaksanakan dengan cara menelaah berbagai literatur, yang berkenaan dengan obyek penelitian. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini ialah dengan menggunakan teknik analisis preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Konsep-konsep ancaman pidana, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, menggunakan pola ancaman kumulatif pidana penjara dan denda. Pola ancaman demikian ini merupakan pola yang kaku dan bersifat imperatif. Lamanya sanksi pidana penjara dan besarnya pidana denda tidak dapat dijadikan ukuran untuk menentukan tingkat keseriusan tindak pidana di bidang kehutanan. Hal ini disebabkan dalam pasal tertentu ada ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dikumulatif dengan pidana denda paling banyak 15 miliar rupiah. (2) Upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum baik dari sisi substansi dan struktur atau kultur hukum dalam menangani tindak pidana di bidang kehuanan, diperlukan political will berupa perubahan ketentuan pidana yang dapat dijadikan instrument hukum yang sesuai dengan kebutuhan pekembangan kejahatan di bidang kehutanan, termasuk illegal logging.Upaya perbaikan kinerja penegak hukum dapat mengacu pada parameter penegakan hukum sebagaimana yang dikemukakan Laurence M. Friedmen, yaitu Struktur hukum, Substansi hukum dan Kultur hukum. Selain itu, mengacu pula pada tiga faktor penting yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Mochamad Munir, yaitu (1) aparat penegak hukumnya sendiri; (2) sember daya manusia dan sarana atau fasilitas; dan (3) hukumnya sendiri.
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, yang telah memberi petunjuk, Rahmat, dan karunianya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Gagasan utama yang melatari penelitian ini adalah berangkat dari konsep pemikiran bahwa kejahatan di bidang kehutanan telah dilakukan baik oleh perseorangan maupun oleh korporasi bahkan pejabat, disisi lain aparat penegak hukum tidak berdaya menghadapi pelaku kejahatan di bidang kehutanan, karena mereka menggunakan teknologi canggih, bahkan tidak sedikit diantaranya yang mempunyai back up atau pendukung yang kuat, sehingga penegakan hukum terhadap kejahatan kehutanan seringkali berjalan tidak sesuai dengan harapan. Berangkat dari konsep tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “ Konsep-Konsep Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan pemberantasan Perusakan Hutan (P3H)”. Ucapan terimakasih, penghormatan, dan penghargaan yang setinggi-tingginya pula kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Lahati Tawakal, S.Si., dan Ibunda tercinta Hj. Endang, S.Pd., yang telah susah payah melahirkan, membesarkan dengan seluruh cinta dan kasih sayang, juga memberikan bantuan, serta dorongan kepada
v
penulis dalam menyelesaikan studi. Semua keluarga yang telah memberikan ketenangan hati dan kesabaran kepada penulis. Skripsi ini disususn untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Studi Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo. Disadari sepenuhnya bahwa terwujudnya Skripsi ini berkat arahan dan bimbingan akademisi senior Hukum Pidana dan Kriminologi pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo. Yang terhormat Bapak Prof. Dr. H. Muntaha, S.H.,M.H., baik selaku Pembimbing I maupun selaku Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Halu Ole. Beliau telah membagi ilmu pengetahuannya yang begitu luas, khususnya dalam hukum pidana dan kriminologi. Ilmu pengetahuan tersebut penulis serap dan berupaya memanfaatkannya semaksimal mungkin, meskipun dengan keterbatasan daya nalar penulis, akan banyak hal yang luput dan salah tangkap dalam kemampuan untuk mencerna dalam ajaran-ajaran beliau melalui perkuliahan. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sama penulis tujukan kepada Bapak Rustam Ukkas, S.H., M.Si., M.H., selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan arahan sehingga Skripsi ini dapat terwujud. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis haturkan kepada semua pihak yang ikut berperan mengantarkan penulis dalam menyelesaikan Studi, pihak-pihak yang dimaksud adalah : 1.
Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S., sebagai Rektor Universitas Halu Oleo Kendari.
vi
2.
Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, S.H., M.S., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.
3.
Para Pembantu Dekan dalam linkungan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.
4.
Ibu Heryanti, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum maupun sebagai dosen pembina mata kuliah, dan Bapak Lade Sirjon, S.H., LL.M., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, yang telah menyetujui usulan judul Skripsi ini.
5.
Bapak Lade Sirjon, S.H., LL.M., Ali Rizky, S.H., M.H., serta Ikhsan Rompo, S.H., M.H., selaku tim penguji yang telah memberikan masukan, saran dan pendapat pada saat ujian Skripsi.
6.
Seluruh dosen, dan Staf administrasi Fakultas Hukum, yang telah banyak menyumbangkan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu hukum.
7.
Kepada rekan-rekan KelasA Reguler 2012 Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, Abu Anas, Ahwan Agus, Andi Dangkang Marifatullah Joenoes, Dicky Refliyanto, Dzulkifli Jumardi, Galih Candra Kirana, Herman Saputra,Limit Hardianus, Muhammad Nurkhairil Sam, Nopan, Riswan Hanafyah Harahap, Sarif Rahmatullah, Sasligus, Tri Hermawan, serta teman-teman yang tidak sempat penulis tuliskan namanya satu per satu terima kasih atas semua bantuannya, motivasi, dukungan moril, kekompakan, dan kenangannya.
8.
Kepada orang yang Tersayang Melsha Asparadelia S.Pi, yang telah memberikan semangat, motivasi dan dukungan kepada penulis.
vii
Akhirnya penulis berdoa semoga Allah, SWT selalu melindungi dan melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dan semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembangunan ilmu pengetahuan, bangsa dan agama. Amin. Wasalammualaikumwarahmatullahiwabarakatuh
Kendari, Oktober 2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………………. PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………………. HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………... ABSTRAK …………………………………………………………………….. KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. DAFTAR ISI …………………………………………………………………. BAB I
BAB II
i ii iii iv v ix
PENDAHULUAN A. Latar Belakang……………………………………………………
1
B. Rumusan Masalah………………………………………………..
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………
10
1. Tujuan Penelitian ……………………………………………
10
2. Manfaat Penelitian
…………………………………………
10
A. Konsep Tindak Pidana …………………………………………..
11
1. Pengertian Tindak Pidana …………………………………….
11
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana/Perbuatan Pidana ……………….
14
B. Konsep Penegakan Hukum Kehutanan …………………………
16
C. Aspek Pidana dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013…..
24
TINJAUAN PUSTAKA
D. Kedudukan hukum kawasan hutan berdasarkan Jenis dan Penggolongannya ……………………………………………….
25
1. Pengertian Hutan ……………………………………………
25
2. Jenis-jenis Hutan ……………………………………………..
27
BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ………………………………………………….
33
B. Pendekatan Masalah ……………………………………………
33
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ………………………………
34
D. Pengumpulan Bahan Hukum ……………………………………
35
ix
E. Analisis Bahan Hukum ………………………………………… BAB IV
35
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013………
36
B. Upaya Aparat Penegak Hukum Dalam Mengoptimalkan Penegakan Hukum Di Bidang Kehutanan ……………………….
BAB V
57
PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………….
61
B. Saran ……………………………………………………………..
62
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menyatakan diri sebagai negara berdasarkan atas hukum. Pernyataan ini dengan jelas terlihat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. 1 Dengan demikian kehidupan bangsa Indonesia harus dilihat sebagai suatu sistem yang tercermin dalam struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum bangsa Indonesia. Doktrin tersebut di atas, tidak hanya ditujukan kepada anggota masyarakat tetapi juga pemerintah beserta aparat pelaksana, terutama aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan penasihat hukum). Pada penerapannya hukum harus ditempatkan pada tempat yang paling tinggi, di mana hukum dijadikan pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Setiap perubahan hukum harus sesuai dengan aturan-aturan yang ada tanpa terkecuali. Hukum adalah rule of the game bagi semua interaksi manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara, agar masyarakat menghormati hukum, maka hukum itu harus berwibawa agar dapat dipatuhi oleh semua subyek hukum.2
1
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal. 21 2 M. Sofiyan Lubis, “Main Hakim Sendiri Sebuah Trend”, Seputar Pidana, 2010, hal. 7
2
Pelaksanaan hukum dapat terjadi secara normal dan damai, tetapi dapat pula terjadi secara paksa terutama jika terjadi pelanggaran hukum. Melalui penegakan hukum maka keberadaan hukum akan mempunyai makna dalam kehidupan nyata. Apapun keadadaannya hukum harus ditegakkan mana kala terjadi pelanggaran. Bahkan meskipun langit akan runtuh hukum tetap harus ditegakkan (fiat justitia et pareat mundus).3 Konsistensi penegakan hukum dapat memeberikan kepastian hukum. Kepastian hukum itu merupakan suatu upaya perlindungan terhadap hak dan kepentingan para pencari keadilan yang menerima perlakuan sewenangwenang dari pihak lain. Dengan adanya kepastian hukum tersebut maka akan tercipta kehidupan masyarakat yang tertib. Selain kepastian, penegakan hukum juga dimaksudkan untuk memberikan kemanfaatan kepada masyarakat. Salah satu tujuan penegakan hukum adalah keadilan. Suatu hal dianggap adil jika seseorang yang dirugikan hak dan kepentingannya mendapatkan ganti kerugian. Hukum pidana sebagai dari hukum publik bertujuan untuk melindungi kepentingan umum, bukan kepentingan perorangan. Apabila terjadi kejahatan maka negara berkewajiban untuk mengambil tindakan hukum dengan menyeret pelakunya ke pengadilan meski korban tidak menuntut. Penegakan hukum pidana dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang rusak akibat kejahatan yang dilakukan seseorang.
3
H. Suriansyah Murhaini, Penegakan Hukum Terhadap Kerjahatan di Bidang Kehutanan, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2012, hal. 1
3
Berbagai kasus kejahatan yang terjadi tidak ditindak secara tegas, bahkan penyelesaian
kasus
mengecewakan.
kejahatan
oleh
institusi
peradilan
pun
sering
Kasus kejahatan yang menjadi perhatian publik tidak
diselesaikan secara konsisten. Illegal loging merupakan kejahatan yang merugikan rakyat dan negara. Penanganan kasus illeggal loging oleh pemerintah tidak berjalan dengan baik, terutama jika melibatkan elite politik, birokrat maupun aparat polisi atau anggota TNI. Padahal pemerintah telah menyatakan bahwa illegal loging harus diberantas secara konsisten siapapun pelakunya.4 Tidak dapat dipungkiri bahwa hutan memberikan kontribusi terhadap perolehan devisa negara dan dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Selain nilai ekonomi, hutan memiliki fungsi sosial dan ekologis. Dilihat dari sisi ekonomi, potensi hutan sangat menggiurkan karena itu siapa yang dapat menguasai, ia akan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Sebab itu, tidak heran banyak pihak yang berambisi mengeksploitasi karunia Illahi ini, sampai-sampai tidak memperhitungkan fungsi sosial dan ekologis dan bahkan anak-cucu yang berhak mewarisinya dianggap tidak ada. Akibat dari eksploitasi besar-besaran ini tingkat kerusakan hutan semakin tahun semakin bertambah. Kerusakan hutan ini berdampak pada kerusakan keseimbangan ekologi, perubahan iklim dan cuaca serta kehidupan sosialbudaya masyarakat setempat. Secara umum sudah dipahami bahwa selain nilai
4
Ibid, hal. 3
4
ekonomi, hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia dan berpengaruh terhadap perubahan iklim, karena tingkat kerusakan hutan yang tinggi. Untuk kebijakan pengelolaan hutan, baik hal tersebut hutan adat, hutan produksi, hutan lindung, maupun hutan konservasi tertuang dalam UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang tersebut dianggap tidak memadai dan belum mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut disusun dan diundangkanlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 18 Tahunh 2013 tentang P3H menyebutkan bahwa : “Ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k; dan. ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional. Perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian
5
efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum. Sebagai sumber daya alam yang bernilai tinggi, maka dilakukan upaya perlindungan hutan beserta ekosistim yang ada di dalamnya, upaya-upaya tersebut merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang diakibatkan oleh kegiatan perambahan dan perombakan kawasan hutan serta pencurian hasil-hasil hutan. Perambahan dan perombakan kawasan hutan teutama terjadi pada kawasan hutan yang potensial untuk dikonversi menjadi areal pertanian dan perkebunan. Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, jika hukum merupakan bagian integral dari manusia, itu berarti, tata hukum mesti mengacu pada penghormatan dan perlindungan bagi keluhuran martabat manusia. Kepastian hukum dan keadilan merupakan tuntutan hakikat hukum itu sendiri, bukan hanya sekedar tuntutan moral. Dalam hal ini aparat penegak hukum bertindak sesuai dengan norma-norma hukum, bukan mengikuti kepentingan pihak-pihak tertentu. Peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat penegak hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian hukum dan keadilan sehingga mengakibatkan supremasi hukum tidak mungkin dapat diwujudkan. Tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai tuntutan reformasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme, serta kejahatan di bidang lingkungan dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkah-langkah nyata dalam menerapkan dan menegakkan hukum, terjadinya campur tangan
6
dalam proses peradilan, serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum. Pembangunan di bidang ekonomi harus diikuti oleh perkembangan di bidang hukum sejalan dengan peningkatan di bidang industri dalam negeri. Peningkatan di bidang ekonomi tersebut apabila tidak disertai perbaikan dan pengelolaan lingkungan secara baik,
dapat mengakibatkan terjadinya
kerusakan hutan yang semakin parah dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun akibat kegiatan eksploitasi hutan yang semakin tidak terkendali. Kerusakan hutan antara lain disebabkan karena perbuatan illegal logging pada hal bertahun-tahun Pemerintah berusaha memberantas illegal logging tersebut, hal ini dimanifestasikan dengan berkali-kali mengubah dan menambah peraturan-peraturan di bidang kehutanan, termasuk peraturan mengenai tindak pidana illegal logging. Masalah illegal logging merupakan masalah yang sangat mendasar bagi bangsa Indonesia karena hutan mempunyai fungsi yang menguasai hajat hidup orang banyak, sejak tahun 1967 telah diatur Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan,
dalam Pasal 6
dinyatakan : 1) Mengatur tata air, mencegah dan membatasi bahaya banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. 2) Memenuhi produksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan, industri dan ekspor. 3) Membantu pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dan mendorong hasil hutan pada khususya. 4) Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik. 5) Memberi keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk Cagar alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata, Taman
7
Buru dan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan serta pariwisata. 6) Merupakan salah satu unsur basis strategi pertahanan nasional.
Hutan merupakan kekayaan alam milik bangsa dan negara yang tidak ternilai, sehingga hak-hak bangsa dan negara atas hutan perlu dijaga dan dipertahankan agar dapat terpenuhi fungsinya bagi kepentingan bangsa dan negara secara lestari. Namun, pejabat penegak hukum yang kuantitas dan kualitasnya kurang baik serta mentalnya yang belum memadai maka kerawanan pengamanan kekayaan hutan yang melimpah ruah tersebut makin terasa. Ditambah pula dengan negara industri yang haus akan bahan-bahan mentah dan pasaran untuk menggunakan hasil hutan khususnya kayu, oleh karena itu masalah illegal logging menjadi masalah sangat penting untuk ditanggulangi oleh pemerintah sepanjang masa. Tindak pidana illegal logging merupakan suatu aktivitas atau kegiatan penebangan kayu di dalam kawasan hutan yang dilakukan oleh seseorang, kelompok ataupun atas nama perusahan yang tidak berdasarkan izin atau prosedur tata cara penebangan yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau instansi yang diberi kewenangan untuk itu dalam hal ini instansi Kehutanan. Dengan demikian, illegal logging tidak dapat dibenarkan jika tidak mengikuti prosedur penebangan yang benar dan tidak berdasarkan ketentuan yang berlaku karena dapat menyebabkan kerusakan kelestarian lingkungan. Masalah illegal logging
merupakan salah satu bentuk kejahatan di
bidang kehutanan, yakni melakukan penebangan illegal terhadap kayu-kayu di
8
hutan-hutan milik negara. Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan sampai saat ini belum berjalanefektif seperti yang diharapkan oleh masyarakat banyak. Di beberapa daerah dalam penyelesaian pembalakan kayu masih sering terjadi kolusi antara pengusaha dengan aparat hukum dan aparat keamanan, sehingga penegakan hukum menjadi mandeg (berhenti). Ironisnya tidak sedikit aparat hukum yang justru menjadi backing terhadap sindikat dan kelompok kejahatan pembalakan kayu tersebut, sehingga sulit diberantas. Hukum Pidana sebagai bagian dari hukum publik bertujuan untuk melindungi kepentingan umum, bukan kepentingan perorangan. Apabila terjadi kejahatan maka negara berkewajiban untuk mengambil tindakan hukum dengan menyeret pelakunya ke pengadilan meski korban tidak menuntut. Penegakan hukum pidana dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang rusak akibat kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Apabila penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan baik maka akan timbul keresahan. Masyarakat terus terancam keselamatannya karena pelaku kejahatan belum diadili. Keresahan trersebut dapat bermuara pada munculnya tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan. Lemahnya penegakan hukum memunculkan keprihatian masyarakat. Oleh karena itu pemerintah harus memperbaiki kinerja penegak hukum oleh aparat penegak hukum, termasuk dalam menangani kasus illegal loging dan tindak pidana di bidang kehutanan yang lainnya. Pemerintah harus konsisten dalam menegakkan hukum terhadap setiap pelaku pelanggaran hukum di bidang kehutanan.
9
Pemerintah harus melakukan reformasi dalam penegakan hukum di Indonesia. Keberhasilan penegakan hukum bergantung pada beberapa hal, yaitu :5 1. 2. 3. 4.
Tersedianya perangkat hukum yang baik dan lengkap; Mereformasi mental aparat penegak hukum; Penyediaan sarana dan prasarana hukum yang memadai; Menata kultur hukum di masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: “Penegakan Hukum Pidana Terhadap UndangUndang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka untuk mencari solusi Kehutanan
yang tepat mengenai Penegakan Hukum Pidana
perlu dirumuskan
masalah dalam bentuk pertanyaan, sebagai
berikut : 1. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013? 2. Apa upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam mengoptimal kan penegakan hukum di bidang kehutanan ?
5
H. Suriansyah Murhaini,Penegakan Hukum Terhadap Kerjahatan di Bidang Kehutanan, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2012, hal. 4
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013; b. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam mengoptimalkan penegakan hukum di bidang kehutanan. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan sumbangan berupa wawasan dan pemikiran bagi berbagai pihak yang terkait dalam proses penegakan hukumdi bidang kehutanan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut : a. Secara Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnyasebagai bahan masukan dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan ketentuanketentuan tentang tindak pidana, khususnya di bidang Penyidikan Kehutanan. b. Secara Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi saran dalam pemecahan masalah-masalah hukum yang dihadapi oleh penegak hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Dalam Kepustakaan hukum pidana, istilah tindak pidana merupakan istilah yang dipakai sebagai terjemahan dari bahasa Belanda “strafbaar feit”. Pembentuk undang-undang
telah menggunakan istilah strafbaar feit
tersebutuntuk menyebut istilah tindak pidana di dalam KUHP, tanpa memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan istilah strafbaar feit itu. Kata feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti suatu kenyataan, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah istilah strafbaar feit
dapat diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat
dihukum. Hal ini tidak tepat, oleh karena sebagaimana diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya manusia sebagai pribadi, bukan kenyataan, perbuatan atau pun tindakan.6 Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka istilah delik secara resmi diterjemahkan dengan istilah tindak pidana. Masalah tindak pidana diarahkan kepada adanya suatu perbuatan, aktivitas atau kegiatan yang dilarang oleh undang-undang (tindak pidana formil), dan adanya akibat yang dilarang oleh undang-undang (tindak pidana materil). Asas yang mendasari terhadap
6
Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, h.172
12
konsep tindak pidana ini adalah diakuinya asas legalitas. Konsep tindak pidana pada hakikatnya membahas masalah dapat atau tidak dapat dipidananya perbuatan/tindak pidana. 7 Dalam konteks Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, penulis menggunakan istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana sebagaimana tercantum dalam KUHP, sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang sebagai sesuatu yang dibuat oleh orang yang menimbulkan akibat pada orang lain baik merasa tidak senang, cidera maupun meninggalnya seseorang. Perbuatan pidana tersebut menunjukkan kepada tingkah laku yang berupa kejadian tertentu dan menimbulkan akibat pada orang lain. Perbuatan pidana yang dimaksud dalam tulisan ini adalah perbuatan pidana yang mengakibatkan lingkungan rusak dan tercemar yang menimbulkan orang lain mati atau cidera. Untuk memahami Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, maka yang dimaksudkan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang tertulis, dan perbuatan yang dilarang itu diancam dengan suatu hukuman. Antara perbuatan dengan orang yang berbuat terdapat hubungan erat. Pelanggaran terhadap hutan bervariasi mulai dari pelanggaran peraturan yang kecil dan bersifat teknis sampai kejahatan yang serius yang membahayakan masyarakat dan kesehatan manusia. Menurut Moeljatno,
8
perbuatan pidana menurut ujud dan sifatnya
bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, yaitu perbuatan yang melawan (melanggar) hukum. Lebih lanjut 7
8
Moeljatno
Didik Endro Purwoleksono, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bahan Kuliah Mahasiswa Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Airlangga) Surabaya, tnp, 2010, h. 12 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta, 1993, hal. 2
13
menyatakan bahwa perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada kedua keadaan konkrit; pertama : adanya jaminan yang tertentu dan kedua : adanya yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu. Oleh karena istilah perbuatan pidana bersifat abstrak sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno, maka istilah itu akhirnya menjadi tindak pidana atau delik dengan maksud yang sama. Perbuatan dengan mengambil istilah Belanda Strafbaar feit, maka menurut
Simon bahwa Strafbaar feit, adalah kelakuan (handeling) yang
diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Demikian juga van Hamel, merumuskan
Strafbaar feit, adalah
kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana, dan dilakukan dengan kesalahan.9 Akan tetapi pada umumnya dalam setiap undang-undang tidak menggunakan perbuatan perbuatan pidana, tetapi menggunakan tindak pidana, dan juga kadang-kandang orang menyebutnya dengan delik. Dengan demikian, perbuatan pidana merupakan perbuatan yang menurut hukum diancam dengan sanksi pidana bagi siapa saja yang melakukan perbuatan yang dilarang itu. Demikian juga ancaman pidana ditujukan kepada perbuatannya, sehingga ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut, maka antara larangan dan ancaman pidana harus ada hubungan yang erat, juga antara kejadian dan ancaman pidana harus
9
Ibid, hal. 52
14
ada hubungan yang erat, juga antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu harus ada hubungan yang erat juga. Dalam hukum pidana tidak melarang adanya orang mati atau cidera, tetapi yang dilarang oleh hukum pidana ialah adanya orang mati atau cidera karena disebabkan oleh perbuatan orang lain.10 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Berkaitan dengan penerapan hukum pidana materil, maka unsur-unsur tindak pidana merupakan hal yang sangat mendasar. Menurut Tongat, bahwa secara umum unsur-unsur
tindak pidana dapat dibedakan ke dalam dua
macam, yaitu :11 a. Unsur obyektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang dapat berupa: 1. Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat. 2. Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materiil. 3. Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. b. Unsur subyektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku, yang berupa : 1. Hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan (kemampuan bertanggung jawab). 2. Kesalahan atau schuld. Berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung jawab terurai di atas, timbul persoalan kapan seseorang dapat dikatakan bertanggung jawab.Menurut Satochid Kartanegara, seseorang dapat dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat, yaitu :12
10
Sodikin, 2007, hal. 159 Tongat, Hukum Pidana Materil, UMM Press, Malang, 2003, h. 4-5 7 Tongat, Hukum Pidana Materil, UMM Press, Malang, 2003, h. 4-5 8. Ibid 11
15
a. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya dank arena juga mengerti akan nilai dari akibat perbuatannya itu; b. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukannya; c. Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan mana yang tidak dilarang. Berkaitan dengan persoalan kemampuan bertanggung jawab, pembentuk KUHP berpendirian, bahwa setiap orang dianggap mampu bertanggung jawab. Konsekuensi dari pendirian ini
adalah bahwa masalah kemampuan
bertanggung jawab ini tidak perlu dibuktikan adanya di pengadilan “kecuali” apabila terdapat keragu-raguan terhadap unsur tersebut. Demikian juga Lamintang, mengemukakan unsur-unsur tindak pidana ke dalam dua hal, yaitu :13 a. Unsur subyektif, meliputi : 1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); 2. maksud pada suatu percobaan (seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; 3. macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam tindak pidana pencurian; 4. merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam Pasal 340 KUHP. b. Unsur obyektif, meliputi : 1. sifat melanggar (melawan) hukum; 2. kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP, yang antara lian ditegaskan : “seorang pejabat atau orang lain yang ditugasi menjalankan jabatan umum ……)”; 3. kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.
13
Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang, 2004:33-34
16
B. Konsep Penegakan Hukum Kehutanan Pada hakekatnya penegakan hukum merupakan suatu variabel yang sangat esensial dalam proses bekerjanya hukum dalam kehidupan masyarakat. Hukum merupakan suatu instrumen yang ampuh guna mewujudkan ketrtiban dalam kehidupan masyarakat.14 Keberadaan hukum sebagai suatu variabel dan sebagai suatu instrumen, sangat menunjang keberhasilan penegakan hukum kehutanan.
Hukum
kehutanan berujud seperangkat peraturan perundang-undangan di dalamnya mengatur tentang berbagai aspek tentang hutan dan kehutanan, tidak sekedar sebagai bahan bacaan yang tertulis atau dijadikan hiasan bibir belaka.
Akan
tetapi peraturan perundang-undangan itu haruslah diterapkan, dilaksanakan dan ditegakkan sebagaimana seharusnya.15 Mengingat eksistensi pranata penegakan hukum sebagai suatu fenomena penting dalam menjalin pergaulan hidup berbangsa dan bernegara, memicu lahirnya beberapa pandangan dari kalangan praktisi dan teoritisi hukum mempertanyakan apa yang ditegakkan ? jawabannya adalah hukum, sekaligus mempersoalkan hakikat penegakan hukum itu sendiri. Secara filosofis penegakan hukum terkait dengan fungsi hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial (social control), yakni suatu proses yang telah direncanakan terlebih dahulu dan bertujuan untuk menganjurkan, mengajak,
14
15
Abdullah Marlang, Penegakan Hukum di Bidang, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Sulawesi Selatan (Sebuah Kajian Hukum Perlindungan Lingkungan), Disertasi, Ujung Pandang, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 1977, hal. 103 Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal.6
17
menyuruh atau bahkan memaksa anggota masyarakat
supaya mematuhi
norma-norma hukum atau tata tertib hukum positif. Sehubungan dengan hal tersebut kontrol sosial yang diperankan oleh hukum dengan cara menggerakkan berbagai aktivitas seraya melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang terorganisasi secara politik melalui lembaga-lembaga yang telah dibentuknya. Pentingnya dilakukan penegakan hukum, karena penegakan hukum variabel yang sangat esensial dalam proses bekerjanya
merupakan suatu hukum dalam
pergaulan masyarakat. Hukum berfungsi sebagai alat penyelesaian konflik kepentingan diantara warga masyarakat. Jika kaidah hukum itu ditaati atau digunakan berati kaidah hukum itu mempunyai pengaruh positif, sedangkan jika kaidah hukum itu tidak ditaati atau digunakan maka kaidah hukum itu mempunyai pengaruh negatif. Penegakan hukum maknanya implementasi hukum itu sendiri (law implementation), substansinya adalah pelaksanaan hukum. Ada tiga komponen yang terkait dengan pelaksanaan hukum, yakni :16 1. Ada seperangkat peraturan perilaku manusia menyelesaikan sengketa yang timbul diantara anggota masyarakat; 2. Ada sekelompok orang atau lembaga yang melaksanakan tugas agar peraturan itu dipatuhi dan tidak dilanggar; 3. Cara atau prosedur pelaksanaannya harus jelas, tegas dan muda dipahami agar pelaksanaannya tidak mengalami kesalahpahaman dan keraguan dalam tata organisasi maupun kewenangan. Penegakan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundangundangan, walaupun kenyataannya di Indonesia kecenderungannya demikian 16
Mochtar Kusumaatmadja, 2005. Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 2005, hal. 19
18
sehingga law enforcement begitu populer Penegakan hukum tidaklah sesempit law enforcement dalam maknanya, penegakan hukum artinya penegakan kedamaian (luas) adalah keserasian antara ketrtiban dan ketentraman. Law enforcement, penekanannya pada penegakan ketertiban semata-mata.17 Lebih lanjut menurut Soerjono Soekanto, penjabaran penegakan hukum (tri tunggal), berorientasi kepada :18 1. adanya pasangan nilai-nilai yang perlu diserasikan, kemudian dijabarkan secara konkrit dalam; 2. kaidah-kaidah hukum yang merupakan pandangan-pandangan menilai dan mengejawantahkan, kemudian menjadi pedoman bag; 3. sikap tindak atau peri kelakuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian. Sehubungan dengan hal tersebut menurut Soerjono Soekanto hukum tidak akan tegak apabila ada gangguan dalam tri tunggal, kemungkinankemungkinannya adalah :19 1. Adanya ketidakserasian antara nilai-nilai yang bersangkutan; 2. Ketidakserasian tersebut menjelma dalam kaidah-kaidah yang simpang siur, kemudian mengakibatkan; 3. Pendidikan yang tidak terarah dan mengganggu kedamaian. Berdasarkan uraiannya, Soerjono Soekanto berpendapat bahwa inti dan arti penegakan hukum secara konseptual terletak pada kegiatan penyerasian hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dengan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
17
18 19
Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, hal 157-158 Ibid Ibid
19
akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.20 Penegakan hukum sebagai suatu proses merupakan penerapan diskresi menyangkut mebuat keputusan tidak secara ketat diatur oleh suatu kaidah hukum, tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit). Adanya berbagai bentuk gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi apabila ada ketidakserasian antara nilai, kaidah dan pola perilaku. Menurut Bruggink bahwa kaidah hukum berlaku secara faktual atau efektif, jika warga masyarakat mematuhi hukum. 21 Mengenai kemungkinan gangguan terjadi karena ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan menjelma di dalam nilai-nilai yang simpang siur, dan pola prilaku manusia tidak terarah mengganggu kedamaian pergaulan hidup.22 Tanpa mengenyampingkan pandangan pakar hukum terdahulu tentang penegakan hukum, dapat pula dipertimbangkan pernyataan pakar hukum yang lain dengan argumentasi sendiri menyatakan bahwa penegakan hukum berarti kepatuhan yang timbulnya tidak secara tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses yang terbentuk dari kesadaran setiap insan manusia untuk melaksanakan dan tidak melaksanakan sesuai peraturan yang ada.
20 21
22
Ibid, hal. 60 Brugink J.J.H.,(alih bahasa Arief Shidarta), 1999. Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1999, hal 149 Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebabnya dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, 2016
20
Sehubungan
dengan hal tersebut Krabbe dan Scholten mempunyai
pandangan yang sama bahwa kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan akan ada.23 Menurut Laica Marzuki, bahwa secara teoritik tingkat kesadaran hukum dapat diukur dengan melalui empat indikator, yaitu :24 1. Pengetahuan akan hukumartinya seseorang mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu diatur oleh hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Pengetahuan yang dimaksudkan menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum, ataupun perilaku yang dibolehkan oleh hukum; 2. Pemahaman akan hukum artinya seorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu, terutama dari segi isinya; 3. Sikap hukum artinya seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum; 4. Perilaku hukum artinya seseorang berperilaku sesuai hukum yang berlaku. Ke empat indikator tersebut yang dikemukakan Laica Marzuki dapat disimak bahwa apabila seseorang hanya mengetahui hukum,
maka dapat
dikatakan bahwa tingkat kesadaran hukumnya masih rendah. Sedangkan apabila seseorang berperilaku sesuai dengan hukum maka kesadaran hukumnya dianggap tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, tampak jelas bahwa kesadaran hukum mempunyai kaitan yang sabngat erat antara kesadaran hukum dengan penegakan hukum, bahkan saling pengaruh mempengaruhi diantara keduanya dalam rangka pencapaian tujuan hukum.
23 24
Ibid, hal. 215 Ibid, hal. 141
21
Menurut Soerjono Soekanto, aplikasi dan implementasi pranata penegakan hukum tidak semudah membalik telapak tangan, akan tetapi senantiasa diperhadapkan lima faktor yang saling mempengaruhi, yakni : 25 1. Faktor hukum sendiri; 2. Faktor penegakan hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. Di samping itu, Lawrence Meir Friedmann, menyatakan ada tiga unsur yang dominan berpengaruh terhadap upaya penegakan hukum, yaitu :26 1. Struktur hukum, memperhatikan pola pembuatan hukum dan menjalankan hukum oleh penegak hukum; 2. Substansi hukum, peraturan yang dipakai pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan serta hubungan hukum; 3. Budaya hukum, permintaan dan tuntutan masyarakat untuk permasalahan hukum melalui institusi hukum. Dalam berbagai kajian sistematis masalah penegakan hukum dan keadilan dapat ditinjau dari berbagai aspek. Secara teoritis efektivitas penegakan hukum baru akan terpenuhi apabila lima pilar hukum
dapat
berjalan dengan baik. Kelima pilar hukum itu meliputi instrumen hukumnya, aparatnya,
peralatannya
(sarana/prasarananya),
masyarakatnya
dan
birokrasinya.27
25
26 27
Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hal. 5 Achmad Ali, Op Cit. hal. 7 Bambang Sutiyoso, dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 78
22
Secara empirik, efektivitas penegakan hukum juga telah dikemukakan oleh Walter C. Reckless,
28
yaitu harus dilihat bagaimana sistem dan
organisasinya bekerja, bagaimana sistem hukumnya, sistem peradilannya dan birokrasinya. Berdasarkan berbagai kajian kesistematisan tersebut dapat dikatakan bahwa efektivitas penegakan hukum dalam teori maupun praktek problematika yang dihadapi hampir sama. Kemauan politik dari para pengambil keputusan merupakan faktor yang menentukan hukum dapat tegak atau ambruk, atau setengah-setengah. Masalah penegakan hukum pada dasarnya merupakan kesenjangan antara hukum secara normatif (das sollen) dan hukum secara sosiologis (das sein) atau kesenjangan antara perilaku hukum masyarakat yang seharusnya dengan perilaku hukum masyarakat yang senyatanya.29 Roscoe Pound, menyebutnya sebagai perbedaan antara law in the book dan law in action, yang mencakup persoalan-persoalan antara lain :30 1. Apakah hukum di dalam bentuk peraturan yang telah diundangkan itu mengungkapkan pola tingkah laku sosial yang ada waktu itu; 2. Apakah yang dikatakan pengadilan itu sama dengan apa yang dilakukannya; 3. Apakah tujuan yang secara tegas dikehendaki oleh suatu peraturan itu sama dengan efek peraturan itu dalam kenyataan. Dalam kaitannya dengan pengaruh hukum menurut Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa :31
28 29 30
31
Ibid Ibid Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, hal 71 Siswanto Sunarso, Sunarso Siswanto, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2004, hal. 88
23
“salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau prilaku teratur adalah membimbing prilaku manusia. Masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum, tetapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau prilaku baik yang bersifat positif maupun negatif.”
Berdasarkan pendapat tersebut di atas bahwa pengaruh hukum terhadap sikap tindak atau prilaku, dapat diklasifikasikan sebagai ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan pengelakan. Konsep-konsep ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan pengelakan sebenarnya berkaitan dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan. Bilamana hukum tersebut berisikan kebolehan, perlu dipergunakan konsep-konsep lain, yakni penggunaan, tidak menggunakan dan penyalahgunaan; hal tersebut adalah lazim dalam bidang hukum perikatan. Di dalam arah kebijaksanaan pemerintah terhadap upya penegakan hukum telah ditegaskan dalam Tap MPR RI Nomor IV Tahun 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), pada Bab IV huruf A angka 3 berbunyi “Menegakkan hukum secara konsisten untuk menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.” Berkaitan dengan penegakan hukum kehutanan, maka konsistensi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 jo Perpu Nomor 1 Tahun 2004 maupun UndangUndang Nomor 5 Tahun 1967 berikut berbagai peraturan pelaksanaannya sebagai Lex Specialis dari hukum kehutanan, haruslah diupayakan semaksimal
24
mungkin agar dapat diwujudkan kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta senantiasa menghargai hak asasi manusia. C. Aspek Pidana dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tindak pidana di bidang kehutanan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, meliputi (terlampir). Selain ketentuan tersebut, khusus untuk pejabat yaitu orang yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan suatu tugas dan tanggung jawab tertentu, dalam Pasal 105 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 disebutkan bahwa : Setiap pejabat yang :
1. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya; 2. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau izin penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; 4. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; 5. melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; 6. menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak; dan/atau dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
25
D. Kedudukan
Yuridis
Kawasan
Hutan
Berdasarkan
Jenis
dan
Penggolongannya 1. Pengertian Hutan Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan forrest (Inggris). Forrest merupakan dataran tanah yang bergelombang, dan dapat dikembangkan untuk kepentingan di luar kehutanan, seperti pariwisata. Di dalam hukum Inggris kuno, hutan adalah suatu daerah tertentu yangn tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binantang buas dan burung-burung hutan. Di samping itu, hutan juga dijadikan tempat pemburuan, tempat istrahat, dan temapat bersenang-senang bagi raja dan pegawai-pegawainya, namun dalam perkembangan selanjutnya ciri khas ini hilang.32 Menurut Dengler, yang diartikan dengan hutan, adalah :33 “Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuhtumbuhan/pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal)”. Lebih lanjut menurut Dengler, yang menjadi ciri hutan adalah : (1) adanya pepohonan yang tumbuh pada tanah yang luas (tidak termasuk savana dan kebun), dan (2) pepohonan tumbuh secara berkelompok. Pengertian di atas, senada dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan 32
Salim, Op Cit, 40
33
Ngadung, I.B. Ketentuan Umum Pengantar Kehutanan di Indonesia, Pusat Latihan Kehutanan, Ujung Pandang, 1976, hal.3
26
Pokok Kehutanan. Di dalam pasal tersebut diartikan dengan hutan ialah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon (yang ditumbuhi pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam beserta lingkungannya, dan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Sedangkan pengertian hutan di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan rumusan tersebut di atas, dapat diketahui ada empat unsur yang terkandung dalam definisi hutan, yaitu : (a) unsur lapangan yang cukup luas (minimal ¼ hektar), yang disebut tanah hutan, (b) unsur pohon (kayu, bambu, palem) flora, dan fauna, (c) unsur lingkungan, dan (d) unsur penetapan pemerintah. Unsur pertama, kedua, dan ketiga membentuk persekutuan hidup yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pengertian hutan di sini, menganut konsepsi hukum secara vertikal, karena antara lapangan (tanah), pohon, floran dan fauna, beserta lingkungannya merupakan satu kesatuan yang utuh. Adanya Penetapan Pemerintah c.q. Menteri Kehutanan mengenai hutan mempunyai arti yang sangat penting, karena kedudukan yuridis hutan menjadi kuat. Ada dua arti penting Penetapan Pemerintah tersebut yaitu : (1) agar setiap orang tidak dapat sewenang-wenang untuk membabat, menduduki dan atau mengerjakan kawasan hutan, dan (2) mewajibkan kepada pemerintah c.q. Menteri
27
Kehutanan untuk mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya, serta menjaga dan melindungi hutan. Tujuan perlindungan hutan adalah untuk menjaga kelestarian dan fungsi hutan, serta menjaga mutu, nilai, dan kegunaan hasil.34 2. Jenis Hutan Di dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967, dibedakan tiga jenis hutan, yaitu (1) hutan menurut pemilikannya, (2) hutan menurut fungsinya, (3) hutan menurut peruntukannya. a. Hutan Menurut Pemilikannya (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967) Ada dua jenis hutan menurut pemilikannya, yaitu : 1) Hutan negara yang merupakan kawasan hutan dan hutan alam yang tumbuh di atas tanah yang bukan hak milik. Selain pengertian itu yang juga merupakan hutan negara, adalah hutan alam atau hutan tanam di atas tanah yang diberikan kepada daerah Tingkat II, dan diberikan dengan hak pakai atau hak pengelolaan; 2) Hutan milik, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah hak milik. Hutan jenis ini disebut hutan rakyat. Yang dapat memiliki dan yang menguasai hutan milik, adalah orang (baik perorangan maupun bersama-sama dengan orang lain), dan atau badan hukum. b. Hutan Menurut Fungsinya (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967). Dari segi fungsinya, hutan dibedakan menjadi empat golongan, yaitu : 1) Hutang lindung, yaitu kawasan hutan dan karena sifat alamnya digunakan untuk : (1) mengatur tata air, (2) mencegah terjadinya banjir dan erosi, dan (3) memelihara kesuburan tanah.
34
Salim, Op Cit, hal. 41
28
2) Hutan produksi, yaitu kawasan hutan untuk memproduksi hasil hutan, yang dapat memenuhi : (1) keperluan masyarakat pada umumnya, (2) pembangunan indistri, dan (3) keperluan ekspor. 3) Hutan suaka alam, yaitu kawasan hutan yang keadaannya alamnya sedemikian rupa, sangat penting bagi ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada dua jenis hutan suaka alam, yaitu : (1) kawasan hutan yang dalam keadaan alam yang khas, termasuk floran dan fauna diperuntukkan bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan (2) hutan suaka margasatwa, yaitu kawasan hutan untuk tempat hidup margasatwa (binatang liar) yang mempunyai nilai khas bagi : (a) ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dan (b) merupakan kekayaan yang kebanggan nasional. 4) Hutan wisata, yang merupakan kawasan wisata yang diperuntukkan secara khusus, dan dibina dan dipelihara bagi kepentingan pariwisata, dan/atau wisata buru. Hutan wisata digolongkan menjadi dua jenis, yaitu : (1) hutan taman wisata, yaitu kawasan hutan yang memiliki keindahan alamnya sendiri yang mempunyai corak yang khas untuk dimanfaatkan bagi kepentingan rekreasi dan kebudayaan, (2) hutan taman buru, yaitu kawasan hutan yang di dalamnya terdapat satwa buru yang memungkinkan diselenggarakan pemburuan yang teratur bagi kepentingan rekreasi. c. Hutan Menurut Peruntukannya (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967) Menurut peruntukannya, hutan digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu : 1) Hutan tetap, yaitu hutan, baik yang sudah ada, yang akan ditanami, maupun yang tumbuh secara alami di dalam kawasan hutan; 2) Hutan cadangan, yaitu hutan yang berada di luar kawasan hutan yang peruntukannya belum ditetapkan, dan bukan hak milik. Apabila diperlukan hutan cadangan ini dapat dijadikan hutan tetap; 3) Hutan lainnya, yaitu hutan yang berada di luar kawasan hutan dan hutan cadangan, misalnya hutan yang terdapat pada tanah milik, atau tanah yang dibebani hak lainya. Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ditentukan empat jenis hutan, yaitu berdasarkan
(1)
statusnya, (2) fungsinya, (3) tujuan khusus, dan (4) pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air.
29
Ke empat jenis hutan tersebut, dikemukakan berikut ini : 1. Hutan Berdasarkan Statusnya (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999). Yang dimaksud dengan hutan berdasarkan statusnya adalah suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan) antara orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan terhadap hutan tersebut. Hutan berdasarkan statusnya dibagai dua macam, yaitu hutan negara dan hutan hak. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah (Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999). Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Yang termasuk dalam kualifikasi hutan negara adalah hutan adat, hutan desa, dan hutan kemasyarakatan. Hutan adat adalah hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat. Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatannya untuk memberdayakan masyarakat. 2. Hutan Berdasarkan Fungsinya (Pasal 6 sampai dengan Pasal 7 UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999). Hutan berdasarkan fungsinya adalah pengelolaan hutan yang didasarkan pada kegunaannya. Hutan ini dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.
30
a) Hutan konservasi, adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa berdasarkan ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas tiga macam, yaitu kawasan hutan suaka, kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri kahs tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keaneka ragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan pengawetan keanekaragman jenis tumbuhan dan satwa, secara pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. b) Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi (penerobosan) air laut, dan memelihara kesuburan tanah. c) Hutan produksi adalah hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.. 3. Hutan Berdasarkan Tujuan Khusus,yaitu penggunaan hutan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta untuk kepentingan religi dan budaya setempat (Pasal 8 sampai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999). Syaratnya tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan. 4. Hutan Berdasarkan Pengaturan Iklim Mikro, estetika dan resapan air. Di setiap kota di tetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota. Hutan kota adalah hutan yang berfungsi untuk pengaturan iklim mikro, estetikan, dan resapan air (Pasal 9 sampai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999). Di samping pembagian yang dikemukakan di atas, juga dikenal pembagian lain sebagaimana diatur Pasal 4 Reglement 1927 tentang Undang-
31
undang Hutan untuk Jawa dan Madura. Ada dua jenis hutan yang diatur dalam ketentuan tersebut, yaitu : (1) hutan yang dipertahankan, dan (2) hutan yang tidak dipertahankan. Yang termasuk golongan hutan yang dipertahankan, yaitu: a. Hutan jati, yaitu tanah dan tempat yang mempunyai ciri seperti : (a) seluruhny atau sebagian besar ditumbuhi oleh pohon jati, dan (b) ditumbuhi pepohonan atau tidak, yang oleh Pemerintah telah ditunjuk untuk perluasan hutan jati. b. Hutan belukar yang ditentukan oleh Menteri Kehutanan untuk dipelihara. c. Hutan kayu belukar, yaitu hutan yang tidak dipertahankan, yang meliputi : (1) hutan belukar yang tumbuh secara alamiah dan tidak ditunjuk untuk dipelihara, dan (2) hutan jati dan hutan kayu yang dalam peraturan mengenai batas-batas daerah hutan yang dipelihara telah dihapuskan.
Menurut Iin Ichwandi, untuk mengakomodir adanya sejumlah masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan dan hasil hutan,
pemerintah mengeluarkan beberapa bentuk
kebijakan, antara lain :35 1) Pada kawasan hutan produksi, masyarakat lokal diperbolehkan memungut hasil hutan (kayu, rotan, dan hasil hutan lainnya) untuk kepentingan hidup sehari-hari. 2) Pada kawasan konservasi (Taman Nasional) disediakan zona pemanfaatan tradisional. 3) Adanya program HPH Bina Desa Hutan sebagai upaya meningkatkan kehidupan masyarakat sekitar hutan Hak mengelola sumber daya hutan secara mandiri kepada masyarakat sekitar hutan merupakan kebijakan yang cukup baru, yaitu dengan
35
Iin Ichwandi, 2002, hal. 6
32
dikeluarkannya kebijakan tentang HPHKM (Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan) melalui SK Menhut Nomor 677/1998. Dalam SK tersebut HPHKM diberikan kepada masyarakat sekitar hutan yang terwadahi dalam bentuk koperasi dalam jangka waktu tertentu. Begitu juga dalam UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat berhak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dimana dapat dilakukan pada hutan adat atau Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus. Hak pengelolaan hutan yang diberikan ini hanya terbatas pada sumberdaya yang berada di atas tanah, sedangkan penguasaan tanahnya masih tetap oleh negara. Dengan tetap statusnya sebagai lahan negara ini masih memungkinkan dicabutnya hak pengelolaan tersebut.
33
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat normatif dan doktrinal, yang bertujuan untuk mencari pemecahan atas isu hukum serta permasalahan yang timbul di dalamnya, sehingga hasil yang akan dicapai kemudian adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang diajukan. Peter Mahmud
Marzuki 36 menyatakan bahwa
penelitian hukum
merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Sehubungan dengan metode yang digunakan, maka tipe penelitian yang dilakukan dalam penulisan Skripsi ini adalah normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak analisis adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penegakan hukum di bidang kehutanan terutama Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), serta peraturan pelaksanaannya. B. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, sebagai berikut : 1. Pendekatan perundangan-undangan; yakni dengan melakukan pengkajian terhadap penerapan sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan 36
Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005
34
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H serta peraturan perundangundangan lainnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penganalisaan melalui pendekatan perundang-undangan yang menjadi dasar penerapan sanksi tersebut. 2. Pendekatan konseptual, yakni dengan melakukan pengkajian untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam perundang-undangan yang mengatur tentang kehutanan di Indonesia serta undang-undang yang terkait yang dapat digunakan sebagai dasar hukum dalam melakukan penegakan hukum di bidang kehutanan. C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum 1. Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian yaitu;
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H); d. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.
35
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu berupa hasil-hasil penelitian, makalah, artikel, tulisan-tulisan, buku-buku yang relevan dengan obyek penelitian.
D. Pengumpulan Bahan Hukum Baik bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah dikumpulkan (diinventarisasi) kemudian dikelompokakan dan dikaji dengan pendekatan perundangan-undangan dan pendekatan konsep guna memperoleh gambaran sinkronisasi dari semua bahan hukum. Selanjutnya dilakukan sistematisasi dan klasifikasi, kemudian dikaji serta dibandingkan dengan teori dan prinsip hukum yang dikemukakan oleh para ahli, untuk akhirnya dianalisa secara normatif. E. Analisis Bahan Hukum Untuk menghasilkan informasi penelitian yang lebih rasional dan obyektif, maka bahan yang diperoleh dianalisis secara preskriptif yakni menafsirkan dan menjabarkan berdasarkan asas-asas hukum, norma hukum dan teori hukum.
36
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penerapan
Sanksi
Pidana
Terhadap
Pelaku
Tindak
Pidana
MenurutUndang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Dalam penulisan Skripsi ini, lingkup kajian pemidanaan yang disajikan meliputi masalah yang berhubungan dengan jenis sanksi (hukum) pidana, lamanya (berat ringannya) pidana dan perumusan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013. 1. Jenis Sanksi Pidana Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 telah diatur tiga jenis sanksi yang dapat diterapkan kepada pelaku yang melakukan tindak pidana atau perbuatan melawan hukum di bidang kehutanan. Ketiga jenis sanksi yang diatur, meliputi : a. Sanksi pidana (Pasal 82, Pasal 84, Pasal 94, Pasal 96, Pasal 97 huruf a dan b, Pasal 104, Pasal 105 atau Pasal 106 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013); b. Sanksi administrasif berupa : paksaan pemerintah, uang paksa; dan/atau pencabutan izin (Pasal 18); dan bagi korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan Pasal 109 ayat (6); c. Pidana tambahan. 2. Penerapan Sanksi Pidana Sanksi pidana diatur dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Ada dua macam perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Dari segi kualitatif kejahatan merupakan delik hukum yaitu perbuatan yang bertentangan dengan
37
keadilan, sedangkan pelanggaran merupakan delik undang-undang yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari dapat karena undangt-undang menyebutnya sebagai delik dan mengancamnya dengan pidana. Kajian
pidana
dari
segi
kuantitatif
didasarkan
pada
segi
hukumnya/ancaman pidananya. Kejahatan hukumnya lebih berat, sedangkan pelanggaran hukumnya lebih ringan. Perbuatan pidana yang termasuk dalam kategori kejahatan, sedangkan pelanggaran hukumnya lebih ringan. Perbuatan pidana yang termasuk dalam kategori kejahatan diatur dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985, sedangkan pelanggaran diatur dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985. Ada 4 macam hukuman yang diatur dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 dan Pasal 18 PP Nomor 28 Tahun 1985, yaitu : (1) pidana penjara, (2) pidana kurungan, (3) pidana denda, dan (4) pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan. Ke empat hal tersebut dijelaskan berikut ini. 1. Pidana Penjara Hukuman penjara berupa hukuman seumur hidup atau selama waktu tertentu (Pasal 12 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukuman Pidana). Maksimum pidana penjara selama waktu tertentu adalah 20 tahun (Pasal 12 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),sedangkan hukuman penjara yang berkaitan dengan Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan diatur dalam Pasal 82, Pasal 84, Pasal 94, Pasal 96, Pasal 97 huruf a dan b, Pasal 104,
38
Pasal 105 atau Pasal 106 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 dan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985. Ada 24 kategori perbuatan pidana yang dilarang yang dapat dihukum dengan hukuman penjara, denda serta pidana tambahan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, yaitu : 1. 2. 3. 4.
5.
6.
7.
8. 9.
10.
Menebang pohon dalam kawasan hutan (Pasal 12 a, b, dan c) Memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai dan atau memiliki hasil hutan (Pasal 12 huruf d dan huruf e) Memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar (Pasal 12 huruf h) membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 12 huruf f) Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 12 huruf g) Mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara; (Pasal 12 huruf i) menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah RI melalui sungai, darat, laut, atau udara (Pasal 12 huruf j) terima, beli, jual, terima tukar, terima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar; (Pasal 12 huruf k); membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; (Pasal 12 huruf l) menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (Pasal 12 huruf m); Pembiaran dan tidak menjalankan tindakan sesuai kewenangan (Pasal 104 jo. Pasal 27 Jo. Pasal 12); Mengangkut hasil hutan kayu tanpa memiliki dokumen yang SKSHH (Pasal 16) memalsukan SKSHH dan/atau menggunakan SKSHH yang palsu (Pasal 14); dan/atau menyalahgunakan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 15 ); penambangan dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri (Pasal 17 ayat (1) huruf b);
39
11.
12.
13.
14.
15.
16.
membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kgiatan penambangan dan/atau angkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri (Psl 17 ayat (1) huruf a); mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (1) huruf c); menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil tambang berasal dr giatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (1) huruf d); membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Psl 17 ayat (1) huruf e); perkebunan tanpa izin Menteri dalam kawasan hutan (Psl 17 ayat (2) huruf b); membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri (Psl 17 ayat (2) huruf a); mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (2) huruf c); menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (2) huruf d); dan/atau membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (2) huruf e); menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 19 huruf a); melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 19 huruf c); mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah secara langsung atau tidak langsung (Pasal 19 huruf d); dan/atau mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri (Pasal 19 huruf f); memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya (Pasal 19 huruf g); menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar
40
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
negeri dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Psl19 huruf h); menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Psl 19 huruf i); memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan (Pasal 24 huruf a); menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan (Pasal 24 huruf b); dan/atau memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri (Psl 24 huruf c; merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan (Pasal 25); dan/atau merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan (Pasal 26); turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 19 huruf b); mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 20); memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi (Pasal 21); menghalang-halangi dan/atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;( Pasal 22) melakukan intimidasi dan/atau ancaman terhadap keselamatan petugas yang melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah ( Pasal 23); Setiap pejabat yang dengan sengaja melakukan pembiaran terjadinya perbuatan pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 17 dan Pasal 19, tetapi tidak menjalankan tindakan sesuai dengan kewenangannya; Setiap pejabat yang melakukan kelalaian dalam melaksanakan tugas (Pasal 28 huruf h)
41
Ke duapuluh empat kategori sebagaimana dfisebutkan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Menebang pohon dalam kawasan hutan (Pasal 12 a, b, dan c) Dalam Pasal 12 a, b, dan c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 ditentukan tiga jenis perbuatan yang dapat dihukum, yaitu : (1) melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izi pemanfaatan hutan; (2) melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; dapat dikenakan pidana penjara serta denda; (3) melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah; Unsur-unsur perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 82 yaitu (1) barangsiapa; (2) menebang pohon; (3) memanen atau memungut hasil hutan; (4) di dalam hutan; (5) tanpa hak atau izin dari pejabat yang berwenang. Sedangkan unsur-unsur perbuatan pidana yang disebutkan Pasal 50 ayat (3) huruf f adalah (1) barang siapa; (2) menerima membeli atau menjual; (3) menerima tukar atau menerima titipan; (4) atau memiliki hasil hutan; (5) diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan; (6) yang diambil atau dipungut secara tidak sah. Apabila unsur-unsur tersebut terpenuhi maka kepada pelaku dapat dihukum dengan sanksi pidana dan denda.
42
Kategori orang yang dapat dihukum yang dengan sengaja menebang pohon dalam kawasan hutan dapat dikenakan pidana penjara serta denda bagi : Pasal 82 : 2) Orang perseorangan yang dengan sengaja : a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a; b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Korporasi yang : a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a; b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
43
a) Memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai dan atau memiliki hasil hutan (Pasal 12 huruf d dan huruf e) Ada dua kategori perbuatan pidana yang disebutkan dalam Pasal 12 huruf d, dan huruf e, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, yaitu : (1) memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin (Pasal 12 huruf d); (2) mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi SKSHH (Pasal 12 huruf e); Sanksi terhadap kedua perbuatan tersebut adalah : Pasal 83 : (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja : a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d; b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkap i secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). (2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya : a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d; b. mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan
44
paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (4) Korporasi yang : a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d; b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Sedangkan bagi pejabat dapat dikenakan sanksi Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107). b) Memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar (Pasal 12 huruf h) Demikian juga dalam Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) ditentukan bahwa bagi orang perseorangan yang sengaja memanfaatkan hasil hutan dihukum dengan hukuman, yaitu : Pasal 83 : (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja : a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;
45
b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkap i secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). (2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya : a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d; b. mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (4) Korporasi yang : a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d; b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
46
c) membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 12 huruf f). Di dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 ditentukan dua pasal yang dilanggar dalam Pasal 12 huruf f. Unsur-unsur perbutan pidana yang diatur dalam
ketentuan ini, yaitu (1) barangsiapa; (2) dengan sengaja; (3)
membawa alat-alat yang lazim digunakan; (4) untuk menebang, memotong atau membelah pohon; (5) dalam kawasan hutan; (6) tanpa izin pejabat yang berwenang. Apabila unsur-unsur tersebut terpenuhi, kepada pelaku dapat dihukum dengan Pasal 12 huruf f, sebagai berikut : Pasal 84 : (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (tahun) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan serta paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (4) Korporasi yang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan
47
tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 85 : (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Korporasi yang membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
5) Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasanhutan tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 12 huruf g); Unsur-unsur perbutan pidana yang diatur dalam
ketentuan ini
sebagaimana diatur dalam : Pasal 85 : (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
48
(2) Korporasi yang membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). 6) Mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara; (Pasal 12 huruf i) menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah RI melalui sungai, darat, laut, atau udara (Pasal 12 huruf j); Pasal 86 : (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja : a. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf i; dan/atau b. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf j dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). (2) Korporasi yang : a. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf i; dan/atau b. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf j dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). 7) terima, beli, jual, terima tukar, terima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar; (Pasal 12 huruf k); membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; (Pasal 12 huruf l) menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (Pasal 12 huruf m);
49
8) Pembiaran dan tidak menjalankan tindakan sesuai kewenangan (Pasal 104 jo. Pasal 27 Jo. Pasal 12); 9) Mengangkut hasil hutan kayu tanpa memiliki dokumen yang SKSHH (Pasal 16) memalsukan SKSHH dan/atau menggunakan SKSHH yang palsu (Pasal 14); dan/atau menyalahgunakan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 15 ); 10) penambangan dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri (Pasal 17 ayat (1) huruf b); membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kgiatan penambangan dan/atau angkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri (Psl 17 ayat (1) huruf a); 11) mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (1) huruf c); 12) menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil tambang berasal dr giatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (1) huruf d); membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Psl 17 ayat (1) huruf e); 13) perkebunan tanpa izin Menteri dalam kawasan hutan (Psl 17 ayat (2) huruf b); membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri (Psl 17 ayat (2) huruf a); 14) mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (2) huruf c); menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (2) huruf d); dan/atau membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (2) huruf e); 15) menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 19 huruf a); melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 19 huruf c);
50
mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah secara langsung atau tidak langsung (Pasal 19 huruf d); dan/atau mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri (Pasal 19 huruf f); 16) memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya (Pasal 19 huruf g); menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Psl19 huruf h); menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Psl 19 huruf i); 17) memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan (Pasal 24 huruf a); menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan (Pasal 24 huruf b); dan/atau memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri (Psl 24 huruf c; 18) merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan (Pasal 25); dan/atau merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan (Pasal 26); 19) turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 19 huruf b); 20) mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 20); 21) memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi (Pasal 21); 22) menghalang-halangi dan/atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana
51
pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;( Pasal 22) 23) melakukan intimidasi dan/atau ancaman terhadap keselamatan petugas yang melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah ( Pasal 23); 24) Setiap pejabat yang dengan sengaja melakukan pembiaran terjadinya perbuatan pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 17 dan Pasal 19, tetapi tidak menjalankan tindakan sesuai dengan kewenangannya; Setiap pejabat yang melakukan kelalaian dalam melaksanakan tugas (Pasal 28 huruf h)
Hukuman penjara dan denda yang ditetapkan secara bersamaan kepada pelaku yang melakukan pelanggaran di bidang kehutanan. Kualifikasi pidana di atas, dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu tindak pidana kejahatan dan pelanggaran. Yang termasuk dalam kategori kejahatan adalah (1) merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan dan kerusakan hutan; (2) membakar hutan; (3) menebang pohon dan memiliki hasil hutan secara ilegal; (4) melakukan penambangan dan eksplorasi serta eksploitasi bahan tambang tanpa izin; (5) menguasai
dan
memiliki
hasil
hutan
tanpa
surat
keterangan;
(6)
mengembalakan ternak; (7) membawa alat-alat yang lazim digunakan; (8) membuang benda-benda yang berbahaya; (9) membawa satwa liar dan tumbuhtumbuhan yang dilindungi. Sedangkan yang termasuk kategori pelanggaran adalah membawa alat-alat berat atau lazim digunakan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. Di samping itu, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan juga diatur tentang sanksi, terutama sanksi atau
52
hukuman penjara yang dapat diterapkan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana di bidang kehutanan. Perbuatan pidana yang termasik dalam kategori kejahatan diatur dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985, sedangkan pelanggaran diatur dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, ada tiga kategori perbuatan pidana yang dapat dihukum berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985 : a.
b.
c.
Mengerjakan atau menduduki kawasan hutan lindung atau hutan cadangan tanpa izin Menteri Kehutanan (Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985); Melakukan penebangan pohon-pohon dalam kawasan hutan lindung tanpa izin dari pejabat yang berwenang (Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985); Membakar hutan (Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985).
Maksimum hukuman penjara yang dapat dijatuhkan kepada pelaku yang melanggar ketiga perbuatan tersebut adalah 10 (sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Hakim dapat menjatuhkan salah satu jenis hukuman itu, apakah hukuman penjara atau denda. Ada dua kategori perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 : a. Mengerjakan dan menduduki kawasan hutan yang bukan hutan lindung tanpa izin Menteri Kehutanan (Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985); b. Melakukan penebangan pohon-pohon dalam kawasan hutan yang bukan hutan lindung (Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28
53
Tahun 1985). Maksimum hukumannya yang dapat dijatuhkan kepada pelaku adalah 5 (lima) tahun atau denda rp 20.000.000,-00 (dua puluh juta rupiah). Hukuman penjara juga diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Hukuman penjara yang diatur dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 maksimum 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Hukuman ini dapat diterapkan secara kumulatif, artinya hakim dapat menjatuhkan kedua jenis hukum tersebut kepada para terdakwa. Lain halnya dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985, hakim hanya diberikan kewenangan untuk menjatuhkan salah satu hukuman, apakah hukuman penjara atau denda. Sedangkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, maksimum hukuman penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda Rp 200.000.000,00. d. Pidana kurungan Ada enam macam perbuatan pidana yang dapat dihukum berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985, yaitu : i.
Menggunakan kawasan hutan yang menyimpang dari segi fungsi dan peruntukannya tanpa persetujuan dari Menteri Kehutanan (Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985); b. Melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang bertujuan untuk mengambil bahan-bahan galian yang dilakukan dalam kawasan hutan
54
atau hutan cadangan tanpa izin dari pejabat yang berwenang (Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985); c. Melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dalam areal yang telah ditetapkan dalam kawasan hutan setelah pemberian izin
eksplorasi
dan eksploitasi dari instansi yang berwenang tidak sesuai dengan petunjuk Menteri Kehutanan (Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985); d. Melakukan pemungutan hasil hutan dalam kawasan hutan dan hutan cadangan dengan menggunakan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah dan lapangan atau melakukan perbuatan lain yang dapat menimbulkan kerusakan tanah dan tegakan (Pasal 7 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985); e. Melakukan penebangan pohon dalam radius/jarak tertentu dari mata air, jurang, waduk, sungai, dan anak sungai yang terletak dalam kawasan hutan (Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985); f. Karena kelalaiannya menimbulkan kebakaran hutan. Ke enam macam perbuatan pidana tersebut dapat dihukum dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau denda Rp 1.000.000,- (satu juta rupia). Selanjutnya ada 4 (empat) jenis perbuatan pidana yang dapat dihukum menurut Pasal18 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985), yaitu :
55
a. Memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan hutan tanpa kewenangan yang sah (Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985); b. Melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang (Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985); c. Melakukan pengembalaan ternak dalam hutan, pengambilan rumput dan makanan ternak lainnya serta serasa (ranting dan daun-daun bekas pangkasan) dari dalam hutan yang tidak sesuai dengan yang ditunjuk secara khusus oleh pejabat yang bverwenang (Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985); d. Memiliki dan/atau menguasai dan/atau mengangkat hasil hutan tanpa disertai surat keterangan sahnya hasil hutan, sedangkan hasil hutan yang bebrbentuk bahan mentah tersebut sudah dipindahkan dari tempat pemungutannya (Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985); Keempat jenis perbuatan pidana tersebut dapat dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985), berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau (Pasal 9 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selamalamanya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)”.
56
Selanjutnya ada dua jenis perbuatan pidana yang dituntut berdasarkan Pasal 18 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985) : a. Mengurangi atau menduduki hutan lainnya tanpa izin dari orang yang berhak untuk itu (Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985); i. Dengan sengaja membawa alat-alat yang digunakan untuk memotong, menebang, dan membelah pohon di dalam kawasan hutan (Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985); Kedua perbuatan pidana tersebut dapat dituntut dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan atau denda Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). e. Pidana denda Di dalam (Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985); telah ditentukan besarnya denda yang harus dibayar oleh terhukum kepada negara. Besarnya hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000.000,00 dan minimal Rp 2.500.000,00. Sedangkan di dalam (Pasal 78 ayat (1) sampai dengan ayat (11) UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999, telah ditentukan besarnya denda yang dapat dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana di bidang kehutanan. Hukuman denda berkisar Rp 10.000.000,00 sampai dengan Rp 10.000.000.000,-00. Hukuman denda yang paling ringan dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana, yaitu mengembalakan ternak dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk itu. Besarnya denda yang ditetapkan kepada pelaku adalah Rp 10.000.000,00. Sedangkan denda yang paling banyak adalah Rp 10.000.000.000,-. Denda yang paling banyak ini dijatuhkan
kepada
pelaku
yang
melakukan
perbuatan
pidana,
57
yaitumengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Hukuman denda diterapkan secara bersamaan dengan hukum penjara yang dilakukan oleh pelaku, yang melakukan perbuatan pidana di bidang kehutanan. f. Pidana Perampasan Hukuman perampasan benda diatur dalam Pasal 18 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985; tentang Perlindungan Hutan dan UndangUndang Nomor 18 Tahun 2013. Perampasan benda merupakan hukuman yang dijatuhkan kepada terhukum di mana semua alat-a;at atau benda-benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana dirampas oleh negara. Tujuan dari perampasan benda tersebut agar terhukum tidak lagi menggunakan benda tersebut. B. Upaya Aparat Penegak Hukum Dalam Mengoptimalkan Penegakan Hukum Di Bidang Kehutanan Upaya pembaharuan baik dari sisi substansi dan struktur atau kultur hukum dalam menangani tindak pidana di bidang kehuanan, diperlukan political will berupa perubahan ketentuan pidana yang dapat dijadikan instrument hukum yang sesuai dengan kebutuhan pekembangan kejahatan di bidang kehutanan, termasuk illegal logging. Upaya perbaikan kinerja penegak hukum dapat mengacu pada parameter penegakan hukum sebagaimana yang dikemukakan Laurence M. Friedmen, yaitu (1) struktur hukum, (2) substansi hukum dan (3) kultur hukum. Selain itu, mengacu pula pada tiga faktor penting yang mempengaruhi pelaksanaan
58
penegakan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Mochamad Munir, yaitu (1) aparat penegak hukumnya sendiri; (2) sember daya manusia dan sarana atau fasilitas; dan (3) hukumnya sendiri.37 Bekerjanya hukum dalam masyarakat sangat bergantung pada tindakan manusia. Ketentuan-ketentuan hukum sering kali tidak dapat dilaksanakan karena tindakan atau perbuatan manusia. Dalam banyak kasus perkara pidana, sekalipun pada diri seseorang telah nyata-nyata ada indikasi melanggar aturan hukum dan seharusnya diadili di pengadilan namun dapat saja terjadi sebaliknya, yakni tidak diadili akibat adanya tindakan manusia karena sebabsebab tertentu. Hal itu merupakan cintih ketidak berdayaan hukum karena tindakan manusia. Persoalan kedua; yang mempengaruhi penegakan hukum ialah berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM), sarana atau fasilitas aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Penegakan hukum memerlukan sumber daya manusia, sarana atau fasilitas yang terbatas yang dimiliki oleh kepolisian, polisi kehutanan, kejaksaan dan pengadilan tentunya dapat menghambat penegakan hukum di bidang kehutanan. Bahkan di bidang teknologi modern tidak tertutup kemungkinan sarana atau fasilitas yang dimiliki para pelaku kejahatan di bidang kehutanan, yang tergolong dalam kejahtan yang kerah putih (White Collar Crime), lebih canggih dari pada dari pada yang dimiliki oleh aparat penegak hukum. Permasalahan ketiga ialah berkaitan dengan materi hukum itu sendiri. Dalam kasus tertentu, hukum yang berlaku tidak dapat
37
H. Suriansyah Murhaini, Op. Cit. Hal. 56
59
dilaksanakan karena berbagai sebab, salah satunya karena sudah tidak sesuai lagi atau ketinggalan dengan perkembangan jaman. Secara khusus Salim,
38
mengemukakan empat faktor yang harus
diperhatikan dalam penegakan hukum di bidang kehutanan, yaitu: 1. Adanya ketentuan hukum yang akomodatif, artinya ketentuan hukum yang ada harus mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam bidan kehutanan. Sebenarnya ketentuan hukum di bidang kehutanan telah cukup memadai karena telah mengatur berbagai hal seperti tata cara penyidikan, penuntutan, serta memuat tentang sanksi, yaitu sanksi administrative, sanksi perdata dan sanksi pidana; 2. Adanya penegak hukum yang tangguh, terampil dan bermoral di bidang kehutanan, seperti jabat penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi kehutanan, penyidik Polri, kejaksaan selaku penuntut umum, dan hakim di lingkungan peradilan. 3. Adanya fasilitas yang mendukung ke arah penegakan hukum seperti tersedianya mesin tik, kertas dan alat-alat transportasi lainnya. 4. Adanya partisipasi masyarakat dalam mendukung pengakan hukum di bidang kehutanan, karena tanpa partisipasi masyarakat maka penegak hukum akan sulit menjalankan fungsi dan tugasnya. Apa yang dikemukakan oleh Salim H.S di atas masih dalam tataran ideal, karena pada kenyatanannya masih banyak kekurangan pada keempat hal tersebut. Namun paling tidak jika Pemerintah menginginkan keberhsilan
38
Salim, HS, 2004, Op cit, hal. 4.
60
penegakan hukum dalam menangani kejahatan di bidang kehutanan, maka keempat faktor di atas perlu segera dibenahi dan disempurnakan apabila terdapat kekurangan. Dengan demikian maka upaya pemberian perlindungan hukum kepada hutan-hutan di Indonesiaa akan tercapai, mengingat hutan merupakan paru-paru dunia yang perlu dijaga kelestarian dan kesuburannya dan dilindungi dari perbuatan serta tindakan tidak bertanggung jawab, termasuk dari kejahatan para penjarah hutan. Apabila mengacu pada pendapat Taverne maka yang paling utama bagi keberhasilan penegakan hukum (termasuk di bidang kehutanan) adalah semangat dan mental aparat penegak hukumnya.kendati perangkat hukumnya lemah, namun jika semangat dan mental aparat pelaksananya baik, maka penegakan hukum akan dapat berjalan dengan baik. Sebaliknya, kendati perangkat hukumnya sudah bagus dan lengkap, namun jika semangat dan mental aparat penegak hukumnya buruk, maka kinerja penegakan hukum tidak akan dapat berjalan dengan baik. Untuk itu diperlukan konsistensi penegakan hukum dan penindakan tegas terhadap aparat penegak hukum jika mereka berperilaku jelek dan tidak terpuji dalam menegakkan hukum, termasuk dalam penegakan hukum terhadap kejahatan kehutanan.
61
BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan paparan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut : 2. Konsep-konsep ancaman pidana, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, menggunakan pola ancaman kumulatif pidana penjara dan denda. Pola ancaman demikian ini merupakan pola yang kaku dan bersifat imperatif. Lamanya sanksi pidana penjara dan besarnya pidana denda tidak dapat dijadikan ukuran untuk menentukan tingkat keseriusan tindak pidana di bidang kehutanan. Hal ini disebabkan dalam pasal tertentu ada ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dikumulatif dengan pidana denda paling banyak 15 miliar rupiah. 2. Upaya pembaharuan baik dari sisi substansi dan struktur atau kultur hukum dalam menangani tindak pidana di bidang kehuanan, diperlukan political will berupa perubahan ketentuan pidana yang dapat dijadikan instrument hukum yang sesuai dengan kebutuhan pekembangan kejahatan di bidang kehutanan, termasuk illegal logging. Upaya perbaikan kinerja penegak hukum dapat mengacu pada parameter penegakan hukum sebagaimana yang dikemukakan Laurence M. Friedmen, yaitu (1) struktur hukum, (2) substansi hukum dan (3) kultur hukum. Selain itu, mengacu pula pada tiga faktor penting yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Mochamad Munir, yaitu (1) aparat penegak
62
hukumnya sendiri; (2) sember daya manusia dan sarana atau fasilitas; dan (3) hukumnya sendiri. 3. Saran Perlu peningkatan keahlian dan profesionalisme aparat penegak hukum melalui pendidikan dan pelatihan Penyidik yang dilaksanakan oleh pihak Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan dengan syarat peserta berpendidikan minimal Sarjana, diupayakan Sarjana Hukum dan lama pendidikan minimal 6 (enam) bulan, serta perubahan pengaturan masa berlaku Kartu Izin Menyidik (SIM) dan metode pelatihan disesuaikan dengan materi yang diberikan Penyidik pada umumnya sehingga memenuhi standar sebagai Penyidik serta sarana dan prasarana lainnya yang menunjang pelaksanaan tugas di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebabnya dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta. Alam Setia Zain, 1997. Hukum Lingkungan (Kaidah-kaidah Pengelolaan Hutan), Raja Grafindo Persada, Jakarta. _______, 1998.Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta. Bambang Sutiyoso, dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta. Bambang Sutiyoso, 2004, Aktualita Hukum Dalam Era Reformasi, PT. RajaGrafindo, Jakarta. _______, 2010, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, UII Press, Yogyakarta. Brugink J.J.H.,(alih bahasa Arief Shidarta), 1999. Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung. Dangler, dikutip dalam I.B. Ngandung, 1975. Ketentuan Umum Pengantar Kehutanan dan Kehutanan di Indonesia, Ujung Pandang, Pusat Latihan Kehutanan. Mochtar Kusumaatmadja, 2005. Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung. Lamintang, P.A.F, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung. Marlang, Abdullah 1997, Penegakan Hukum di Bidang, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Sulawesi Selatan (Sebuah Kajian Hukum Perlindungan Lingkungan), Disertasi, Ujung Pandang, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Moeljatno, 1993. Azas-azas Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta.
Ngadung, I.B. 1976. Ketentuan Umum Pengantar Kehutanan di Indonesia, Pusat Latihan Kehutanan, Ujung Pandang. Satjipto, Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta. Sunarso Siswanto, 2004, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Salim, 2003. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta. Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta. Suriansyah Murhaini H, 2012, Penegakan Hukum Terhadap Kerjahatan di Bidang Kehutanan, Laksbang Grafika, Yogyakarta. Tongat, 2003. Hukum Pidana Materil, UMM Press, Malang. Usfa, A Fuad dan Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang. Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan
LAMPIRAN : Aspek Pidana dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Sanksi Pidana Sesuai Subyek Hukum Orang Perseorangan Orang Dalam/Sekitar Perseorangan Kawasan Hutan Menebang pohon dalam Sengaja: Pidana Penjara kawasan hutan: Pidana minimal 3 bln a. tidak sesuai izin Penjara maksimal 2 th b. (Pasal 12 huruf a) minimal 1 th serta denda c. tanpa memiliki izin maksimal 5 th min Rp.500 Rb pejabat berwenang serta denda mak Rp.500 jt d. (Pasal 12 huruf b) min Rp. 500 jt (Pasal 82 (2)) e. secara tidak sah mak Rp. 2,5 f. (Pasal 12 huruf c) M (Pasal 82 (1)) memuat, membongkar, Sengaja: mengeluarkan, Pidana mengangkut, Penjara menguasai, 1 s/d 5 th dan/atau memiliki serta denda hasil penebangan di min Rp. 500 jt kawasan hutan tanpa mak Rp. 2,5 izin M (Pasal 12 huruf d) (Pasal 83 (1)) Kelalaian: mengangkut, Pidana menguasai, atau Penjara memiliki hasil hutan 8 bln. s/d 3 kayu yg tidak th. serta denda dilengkapi SKSHH; Rp 10 jt s/d dan/atau 1M (Pasal 12 huruf e) (Pasal 83 (2)) Perbuatan Yang Dilarang
memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil
Sengaja: Pidana Penjara
Korporasi
Pejabat
Pidana Penjara minimal 5 th maksimal 15 th serta denda min Rp. 5 M mak Rp. 15 M (Pasal 82 (3))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
Pidana Penjara minimal 5 th maksimal 15 th serta denda min Rp. 5 M mak Rp. 15 M (Pasal 83 (4))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
Sengaja/lalai: Pidana Penjara Pidana Pidana Penjara minimal 5 th ditambah Minimal 3 bln maksimal 15 th 1/3 dari
pembalakan liar (Pasal 12 huruf h)
1 s/d 5 th serta denda 500 jt s/d 2.5 M (Pasal 83 (1)) Kelalaian: Pidana Penjara 8 bln. s/d 3 th. serta denda Rp 10 jt s/d 1M (Pasal 83 (2))
maksimal 2 th serta denda min. Rp.500 rb mak. Rp. 1M(Pasal 83 (3))
serta denda min Rp. 5 M mak Rp. 15 M (Pasal 83 (4))
ancaman pidana pokok (Pasal 107)
membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 12 huruf f)
Sengaja: Pidana Penjara 1 s/d 5 tahun serta denda 250 jt s/d 5 M (Pasal 84 (1)) Lalai Pidana Penjara 8 bulan s/d 2 th serta denda 10 jt s/d 1 M (Pasal 84 (2))
Penjara 3 bulan s/d 2 th dan/atau denda Rp.10 jt s/d 1M (Pasal 84 (3))
Penjara minimal 5 th maksimal 15 th serta denda min. Rp.2 M mak. Rp. 15 M (Pasal 84 (4))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 12 huruf g)
Sengaja Pidana Penjara Minimal 2 th Maksimal 10 th serta denda minimal Rp.2 M maksimal 10 M (Pasal 85 (1))
-
Pidana Penjara minimal 5 th. maksimal 15 th. serta denda min Rp. 5 M mak Rp. 15 M (Pasal 85 (2))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara; (Pasal 12 huruf i) menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah RI melalui sungai, darat, laut, atau udara (Pasal 12 huruf j)
Sengaja: Pidana Penjara minimal 1 tahun maksimal 5 th serta denda min. Rp. 500 Jt. Mak. Rp. 2.5 M (Pasal 86 (1))
terima, beli, jual, terima tukar, terima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar; (Pasal 12 huruf k)
Sengaja: Pidana Penjara minimal 1 tahun maksimal 5 th. serta denda min. Rp.500 jt mak. Rp. 2.5 M (Pasal 87 (1)) Lalai: Pidana Penjara Minimal 8 bulan maksimal 3 th serta denda min. Rp.250 jt mak. Rp. 1 M (Pasal 87 (2))
membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; (Pasal 12 huruf l) menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. (Pasal 12 huruf m) Pembiaran dan tidak menjalankan tindakan sesuai kewenangan
-
-
Pidana Penjara minimal 5 thn, maks 15 thn serta denda min. Rp. 5 M mak. Rp. 15 M (Pasal 86 (2))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
Pidana Penjara Minimal 3 bln. maksimal 2 th dan/atau denda min. Rp. 500 rb mak.Rp. 500 jt (Pasal 87 (3))
Pidana Penjara minimal 5 th. maksimal 15 th. serta denda min Rp.5 M mak Rp. 15 M (Pasal 87 (4))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
-
-
Sengaja: Penjara 6 bln s/d
(Pasal 104 jo. Pasal 27 Jo. Pasal 12)
Mengangkut hasil hutan kayu tanpa memiliki dokumen yang SKSHH (Pasal 16) memalsukan SKSHH dan/atau menggunakan SKSHH yang palsu (Pasal 14); dan/atau menyalahgunakan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 15 )
penambangan dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri (Pasal 17 ayat (1) huruf b);
15 th serta denda 1 M s/d 7.5 M (Pasal 104) Sengaja: Pidana Penjara Minimal 1 th Maksimal 5 th serta denda Min.Rp. 500 Jt. Mak. Rp. 2.5 M (Pasal 88 (1))
Sengaja: Pidana Penjara minimal 3 th maksimal 15 th membawa alat-alat berat serta denda dan/atau alat-alat min Rp. 1.5 lainnya yang lazim atau M. mak Rp. patut diduga akan 10 M digunakan untuk (Pasal 89 (1)) melakukan kgiatan penambangan dan/atau angkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri (Psl 17 ayat (1) huruf a)
-
Pidana Penjara Minimal 5 th, Maksimal 15 th serta denda min. Rp. 5 M mak. Rp. 15 M (Pasal 88 (2))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
-
Pidana Penjara Minimal 8 th, Maksimal 20 th serta denda Min. Rp. 20 M Mak. Rp. 50 M (Pasal 89 (2))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (1) huruf c)
menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil tambang berasal dr giatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (1) huruf d); membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Psl 17 ayat (1) huruf e) perkebunan tanpa izin Menteri dlm kwsn hutan (Psl 17 ayat (2) huruf b);
Sengaja: Pidana Penjara Minimal 3 th Maksimal 10 th serta denda Min Rp. 1.5 M. Mak. Rp. 5M (Pasal 90 (1)) Sengaja: Pidana Penjara Minimal 3 th Maksimal 10 th serta denda Min Rp. 1.5 M. Mak Rp. 5 M (Pasal 91 (1))
Sengaja: Pidana Penjara Minimal 3 th Maksimal 10 membawa alat-alat berat th dan/atau alat-alat serta denda lainnya yang lazim atau Min Rp. 1.5 patut diduga akan M. Mak Rp. 5 digunakan kegiatan M perkebunan dan/atau (Pasal 92 (1)) mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri
Pidana Penjara Minimal 5 th, Maksimal 15 th serta denda Min. Rp. 5 M Mak. Rp. 15 M (Pasal 90 (2))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
Pidana Penjara Minimal 5 th, Maksimal 15 th serta denda Min Rp. 5 M Mak. Rp. 15 M (Pasal 91 (2))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
Pidana Penjara Minimal 8 th Maksimal 20 th serta denda Min Rp. 20M. Mak Rp. 50 M (Pasal 92 (2))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
(Psl 17 ayat (2) huruf a) mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (2) huruf c); menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (2) huruf d); dan/atau membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (2) huruf e) menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 19 huruf a); melakukan permufakatan jahat untuk melakukan
Sengaja: Pidana Penjara Minimal 3 th Maksimal 10 th serta denda Min Rp. 1.5 M. Mak Rp. 5 M (Pasal 93 (1))
Pidana Penjara Minimal 5 th Maksimal 15 th serta denda Min Rp. 5 M. Mak Rp. 15 M (Pasal 92 (2))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
Pidana Penjara Minimal 10 th Maksimal seumur hidup serta denda Min Rp. 20 M. Mak Rp. 1 T (Pasal 94 (2))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
lalai: Pidana Penjara Minimal 1 th Maksimal 3 th serta denda Min Rp. 100 jt Mak Rp. 1 M (Pasal 93 (2))
Sengaja: Pidana Penjara Minimal 8 th Maksimal 15 th serta denda Min Rp. 10 M. Mak Rp. 100 M (Pasal 94 (1))
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 19 huruf c); mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah secara langsung atau tidak langsung (Pasal 19 huruf d); dan/atau mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri (Pasal 19 huruf f) memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya (Pasal 19 huruf g); menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
Sengaja: Pidana Penjara Minimal 8 th Maksimal 15 th serta denda Min Rp. 10 M. Mak Rp. 100 M (Pasal 95 (1)) lalai: Pidana
Pidana Penjara Minimal 10 th Maksimal seumur hidup serta denda Min Rp. 20M. Mak Rp. 1 T (Pasal 95 (3))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
menitipkan, membawa ke luar negeri dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Psl19 huruf h);
Penjara Minimal 2 th Maksimal 5 th serta denda Min Rp. 500 jt Mak Rp. 5 M (Pasal 95 (2))
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Psl 19 huruf i) memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kwsn hutan (Pasal 24 huruf a); menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan (Pasal 24 huruf b); dan/atau memindahtangankan atau menjual izin yang
Sengaja: Pidana Penjara Minimal 1 th Maksimal 5 th serta denda Min Rp. 500 jt. Mak Rp. 2.5 M (Pasal 96 (1))
Pidana Penjara Minimal 5 th Maksimal 15 th serta denda Min Rp. 5 M. Mak Rp. 15 M (Pasal 96 (2))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri (Psl 24 huruf c) merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan (Pasal 25); dan/atau merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan (Pasal 26)
turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 19 huruf b)
Sengaja: Pidana Penjara Minimal 1 th Maksimal 3 th serta denda Min Rp. 200 jt. Mak Rp. 1.5 M (Pasal 97 (1))
Pidana Penjara Minimal 4 th Maksimal 15 th serta denda Min Rp. 4 M. Mak Rp. 15 M (Pasal 97 (3))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
Pidana Penjara Minimal 5 th Maksimal 15 th serta denda Min Rp. 5 M. Mak Rp. 15 M (Pasal 98 (3))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
lalai: Pidana Penjara Minimal 1 th Maksimal 3 th serta denda Min Rp. 200 jt Mak Rp. 1.5 M (Pasal 97 (2)) Sengaja: Pidana Penjara Minimal 1 th Maksimal 3 th serta denda Min Rp. 200 jt. Mak Rp. 1.5 M (Pasal 98 (1)) lalai: Pidana Penjara Minimal 8 bln
Maksimal 2 th serta denda Min Rp. 200 jt Mak Rp. 1 M (Pasal 98 (2)) mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 20)
Sengaja: Pidana Penjara Minimal 1 th Maksimal 10 th serta denda Min Rp. 500 jt. Mak Rp. 5 M (Pasal 100 (1))
memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi (Pasal 21)
Sengaja: Pidana Penjara Minimal 1 th Maksimal 3 th serta denda Min Rp. 200 jt. Mak Rp. 1.5 M (Pasal 101 (1))
menghalang-halangi dan/atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar dan penggunaan kawasan
Sengaja: Pidana Penjara Minimal 1 th Maksimal 10 th serta denda Min Rp. 500 jt. Mak Rp. 5
Pidana Penjara Minimal 3 bln. maksimal 2 th dan/atau denda min. Rp. 500 rb mak.Rp. 500 jt (Pasal 101 (2))
Pidana Penjara Minimal 5 th Maksimal 15 th serta denda Min Rp. 5 M. Mak Rp. 15 M (Pasal 100 (2))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
Pidana Penjara Minimal 5 th Maksimal 15 th serta denda Min Rp. 5 M. Mak Rp. 15 M (Pasal 101 (3))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
Pidana Penjara Minimal 5 th Maksimal 15 th serta denda Min Rp. 5 M. Mak Rp. 15 M (Pasal 102 (2))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
hutan secara tidak sah ( Pasal 22)
M (Pasal 102 (1)) melakukan intimidasi Sengaja: dan/atau ancaman Pidana terhadap keselamatan Penjara petugas yang melakukan Minimal 1 th pencegahan dan Maksimal 10 pemberantasan th pembalakan liar dan serta denda penggunaan kawasan Min Rp. 500 hutan secara tidak sah jt. Mak Rp. 5 ( Pasal 23) M (Pasal 103(1))
Pidana Penjara Minimal 5 th Maksimal 15 th serta denda Min Rp. 5 M. Mak Rp. 15 M (Pasal 103 (2))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107)
Setiap pejabat yang dengan sengaja melakukan pembiaran terjadinya perbuatan pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 17 dan Pasal 19, tetapi tidak menjalankan tindakan sesuai dengan kewenangannya
Penjara Min. 6 bln mak. 15 th dan denda Min 1 M Mak 7.5 M (Pasal 104)
Setiap pejabat yang melakukan kelalaian dalam melaksanakan tugas (Pasal 28 huruf h)
Penjara min 6 bl mak.5 th dan denda Min 200 jt Mak 1 M (Pasal 106)