BAB II PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010
A. Tinjauan Umum Tentang Pencucian Uang 1.
Sejarah pengaturan pencucian uang Pada tahun 1988 sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan
money laundering, diadakan konvensi internasional yaitu United Nation Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic Substances atau yang lebih dikenal dengan nama UN Drug Convention. Lahirnya konvensi ini ditandai saat mana masyarakat internasional merasa frustrasi dalam memberantas kejahatan perdagangan gelap obat bius. Hal ini dapat dimengerti mengingat obyek yang diperangi adalah organized crime yang memiliki karakteristik organisasi struktural yang solid dengan pembagian wewenang yang jelas, sumber pendanaan yang sangat kuat dan memiliki jaringan kerja yang melintasi batas negara. Rezim hukum internasional anti pencucian uang dapat dikatakan merupakan langkah maju ke depan dengan strategi yang tidak lagi difokuskan pada kejahatan obat biusnya dan menangkap pelakunya, tetapi diarahkan pada upaya memberangus hasil kejahatannya melalui regulasi anti pencucian uang. Dengan demikian, lahirnya United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 (Vienna Convention 1988), dipandang sebagai tonggak sejarah dan titik puncak dari perhatian masyarakat internasional untuk menetapkan rezim hukum internasional anti pencucian uang. Pada pokoknya, rejim ini dibentuk untuk memerangi drug trafficking dan mendorong agar semua
Universitas Sumatera Utara
negara yang telah meratifikasi segera melakukan kriminalisasi atas kegiatan pencucian uang. Disamping itu Vienna Convention 1988 juga berupaya untuk mengatur infrastruktur yang mencakup persoalan hubungan internasional, penetapan norma-norma, peraturan dan prosedur yang disepakati dalam rangka mengatur ketentuan anti pencucian uang.
17
Dan untuk membuat para pelaku
perdagangan narkotika tidak mudah menggunakan uang hasil kejahatan narkotika tersebut, umumnya pelaku perdagangan narkotika illegal mencuci uangnya terdahulu, sehingga perlu dibuat rezim anti pencucian uang. Kemudian untuk menindaklanjuti konvensi tersebut, pada bulan Juli tahun 1989 di Paris telah dibentuk sebuah satuan tugas yang khusus menangani money laundering yang disebut dengan The Financial Action Task Force (FATF)18, sebuah organisasi yang bertujuan membebaskan bank dari praktik money laundering, dimana FATF memperediksikan jumlah uang yang diputihkan setiap tahun di seluruh dunia melalui transaksi bisnis haram narkotika berkisar antara US $ 300 milyar dan US $ 500 milyar.19 FATF memasukkan Indonesia tanggal 22 Juni 2001, di samping 19 negara lainnya ke dalam daftar hitam Non Cooperative Countries Territories (NCCTs) atau kawasan yang tidak kooperatif dalam menangani kasus money Laundering. Kesembilan belas negara lainnya itu adalah Mesir, Rusia, Hongoria, Israel, Lebanon, Filippina, Myanmar, Nauru, Nigeria, Niue, Cook Island, Republik
17
Yunus Husein. Artikel Hukum Pidana: Hubungan antara Kejahatan Peredaran Gelap Narkotika dan Tindak Pidana Pencucian Uang. 2006. http://www.ditjenphka.go.id/article_file/Press%20realease%20CCPCJ.doc 18 Bismar Nasution., Op.Cit., hlm. 2-3. 19 N.H.T.Siahaan,Loc.Cit., hlm.1.
Universitas Sumatera Utara
Dominika, Guatemala, St.Kitts dan Nevis, St. Vincent dan Grenadines serta Ukrania.20 Alasan FATF memasukkan Indonesia dalam daftar tersebut berdasarkan pengamatan dan pertimbangan yang sangat cermat bahwa Indonsia disinyalir menjadi salah satu sumber sekaligus muara kegiatan money laundering. Dalam the 40 FATF Recommendations, Indonesia dianggap tidak kooperatif dengan Rekomendasi ke-15 yang menyatakan agar bank memberikan perhatian khusus kepada suatu transaksi yang tidak benar latarbelakangnya berupa melaporkan kepada petugas yang berwenang. Untuk lebih jelas, di bawah ini Rekomendasi ke15 tersebut yang telah dikutip:21 “if Financial institution suspect that funds stem from a criminal activity, they should be required to report promptly their suspicious to the competent authorities.” Hingga pada Februari 2005 barulah Indonesia berhasil keluar dari NCCTs setelah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Unang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai suau dasar hukum yang lebih komprehensif di negara kita untuk memerangi prakteik money laundering. Money Laundring yang diterjemahkan dengan pencucian uang dalam Undang–Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
20
Ibid, hlm. 1,2. N.H.T.Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2002). hlm.2. 21
Universitas Sumatera Utara
didefenisikan22: sebagai perbuatan menempatkan, mentranrfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal – usul harta kekayaan sehingga seolah – olah menjadi harta kekayaan yang sah. Definisi tersebut perlu diberikan penjelasan sebagai berikut: dalam defenisi tersebut terdapat kata “seolah – olah”,sehingga walaupun proses pencuci an uang hasil tindak pidana yang dilakukan, namun harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana tidak pernah menjadi sah atau di putihkan. Dengan demikian istilah yang dipakai adalah “Pencucian Uang” bukan “Pemutihan Uang”. Money laundering selalu berkaitan dengan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana, sehingga tidak ada pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana yang dilakukan (no crime no money laundering).23 Pemerintah bersama badan legislatif seiring berjalannya waktu mulai memikirkan bahwa upaya pemberantasan saja tidak cukup untuk menangani permasalahan kejahatan ini. Oleh karena itu dibutuhkan upaya preventif (pencegahan) yang berguna untuk mencegah tindak pidana ini agar jangan sampai terjadi terus menerus. Dari pemikiran inilah maka dikeluarkan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana 22
Pasal 1 ayat 1 Undang – Undang RI No. 25 Tahun 2003 tentang Pidana Pencucian
uang. 23
Yunus Husein, Tindak Pidana Pencucian Uang ( Money laundering ) dalam Perspektif Hukum Internasional dapat dilihat dalam: http://www.docstoc.com/docs/20860753/TINDAKPIDANA-PENCUCIAN-UANG-MONEY-LAUNDRING-DALAM-PERSPEKTIF, akses tanggal 14 november 2013
Universitas Sumatera Utara
Pencucian. Undang–undang ini secara otomatis mencabut Undang–Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang– Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang perubahan atas Undang–Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.24
2.
Pengertian dan objek pencucian uang Istilah pencucian uang telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat,
yaitu ketika mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai salah satu strateginya. Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau disebut laundromats yang ketika itu terkenal di Amerika Serikat. Usaha pencucian pakaian ini berkembang maju dan berbagai perolehan uang hasil kejahatan seperti dari cabang usaha lainya ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini, seperti uang hasil minuman keras ilegal, hasil perjudian dan hasil usaha pelacuran.25 Sedangkan pengertian pencucian uang menurut Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah: “pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.” Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta unsur merupakan hasil tindak pidana. Sedangkan pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat ketentuan 24
Penjelasan Umum Undang – Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 25 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang,( Bandung :Citra Aditya Bakti, 2008). hlm.1.
Universitas Sumatera Utara
dalam Pasal (3), (4), dan (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Intinya adalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya.26 Kemudian salah satu ahli yaitu Alford menyatakan bahwa pengertian pencucian uang sebagai berikut: “pencucian uang (money laundering) adalah proses yang dilakuakan untuk mengubah hasil kejahatan dari korupsi, kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan dan lain-lain dengan menggunakan sarana lembaga keuangan sehingga uang hasil dari kegiatan yang sah karena asalusulnya sudah disamarkan atau disembunyikan.”27 Melihat dari pengertian atau penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pencucian uang (money laundering)
pada intinya melibatkan aset
pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kejahatan atau berasal dari kegiatan atau perbuatan yang melawan hukum yang diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal. Atau proses yang dilakukan sesorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak kejahatan, dengan maksud menyembunyikan asal usul uang tersebut dari pemerintah atau otiritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap 26
http://www.negarahukum.com/hukum/1562.html. Diakses pada tanggal 28 Februari
27
Alford,money laindering. N.C.J Int’l & Com (Reg.Vol 19: 1994), hlm. 437.
2014
Universitas Sumatera Utara
tindak kejahatan dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga apabila uang tersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu, maka keuangan itu telah berubah menjadi uang yang sah. 28 Menurut N.Welling, yang menjadi objek utama dalam pencucian uang adalah “uang kotor” atau “uang haram”. Menurut N.Willing uang dapat menjadi kotor atau haram dengan dua cara yaitu:29 a.
b.
Melalui pengelakkan pajak (tax evasion) , yaitu memperoleh uang secara ilegal tetapi jumlah uang yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit dari pada yang sebenarnya diperoleh. Memperoleh uang melalui cara-cara melanggar hukum, misalnya hasil penjualan obat terlarang (drug sakes), perjudian gelap (ilegal gambling), penyuapan (bribery), terorisme (terrorism), pelacuran (prostitution), perdagangan senjata (arms trafficking), penyelundupan (smugglig), dan kejahatan kerah putih (white collar crime).
Awalnya yang menjadi objek pencucian uang yang paling utama dilakukan adalah hasil dari penjualan obat-obatan terlarang dan penyelundupan. Namun sejak terjadinya bom WTC di Amerika Serikat, maka pada saat itu kegiatan terorisme pun menjadi salah satu prioritas objek pencucian uang. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pencucian Uang, disebutkan bahwa yang menjadi objek Tindak Pidana Pencucian uang adalah : (1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayan yang diperoleh dari tindak pidana:30 a. Korupsi; b. Penyuapan; 28
Ibid.,hlm. 15. Sutan Reny Sjahdeini. Op.Cit., hlm.9. 30 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 29
Universitas Sumatera Utara
c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r. s. t. u. v. w. x. y. z.
Narkotika; Psikotropika; Penyelundupan tenaga kerja; Penyelundupan migran; Di bidang perbankan; Di bidang pasar modal; Di bidang perasuransian; Kepabeanan; Cukai; Perdagangan orang; Perdagangan senjata gelap; Terorisme; Penculikan; Pencurian; Penggelapan; Penipuan; Pemalsuan uang; Penjudian; Prostitusi; Di bidang perpajakan; Di bidang kehutanan; Di bidang lingkungan hidup Di bidang kelautan dan perikanan; atau Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. (2) Harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara lanngsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
3.
Tahap-tahap proses pencucian uang Tidak mudah untuk membuktikan adanya suatu kejahatan pencucian uang,
karena kita telah ketahui bahwa kegiatannya sangat kompleks sekali, namun para pakar telah berhasil menggolongkan proses pencucian uang (money laundering) ke dalam 3 (tiga) tahap, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Tahap placement Tahap penempatan( placement ) merupakan upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana kedalam sistem keuangan ( financial sistem) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain–lain) kembali kedalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Dalam proses penempatan uang tunai kedalam sistem keuangan ini, terdapat pergerakan fisik uang tunai baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu Negara ke Negara lain, penggabungan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, atau cara–cara lain seperti pembukaan deposito, pembelian saham–saham atau juga mengkonversikannya ke dalam mata uang Negara lain.31 b. Tahap layering Tahap (layering) merupakan upaya untuk menstransfer harta kekayaan, berupa benda bergerak atau tidak bergerak berwujud maupun tidak berwujud, yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk kedalam sistem keuangan melalui penepatan (placement). Dalam proses ini terdapat rekayasa untuk memisahkan uang hasil Placement ke beberapa rekening atau lokasi tertentu lainnya dengan serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber dana “haram“ tersebut. Layering dapat pula dilakukan dengan transaksi jaringan Internasional baik melalui bisnis 31
Bismar Nasution, Op.Cit.,hal 19
Universitas Sumatera Utara
yang sah atau Perusahaan–perusahaan “shell”( perusahaan mempunyai nama dan badan hukum namun tidak melakukan kegiatan usaha apapun ).32 Teknik lain dari layering ialah memberi efek (saham dan obligasi), kendaraan, dan pesawat terbang atas nama orang lain. Kasino sering juga digunakan karena kasino menerima uang tunai. Sekali uang tunai tersebut dikonversikan kedalam chips dari kasino tersebut, maka dana yang telah dibelikan chips
tersebut dapat ditarik kembali dengan
menukarkan chips tadi dengan cek yang dikeluarkan oleh kasino tersebut.33 c. Tahap intergration Tahap menggunakan harta kekayaan (intergration), suatu upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk kedalam sistem keuangan melalui placement atau layering sehingga seolah–olah menjadi harta kekayaan yang “halal”. Proses ini merupakan upaya untuk mengembalikan uang yang telah dikaburkan jejaknya sehingga pemilik semula dapat menggunakan dengan aman. Disini uang yang di “cuci” melalui placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan–kegiatan resmi sehingga tampak seperti tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan yang menjadi sumber dari uang tersebut.34
32
ibid Sutan Remy Sjahdeni, Op.Cit. , hlm. 36. 34 Bismar Nasution, Op. Cit, hlm. 20. 33
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana dikemukakan oleh Jeffrey Robinson, tahap placement adalah tahap yang paling rentan (vulnerable) bagi pencuci uang karena apabila pencuci uang tidak dapat memasukkan uang haram tersebut kedalam proses pencucian, maka ia tidak akan dapat mencuci uang haram tersebut. Namun, sekali uang haram itu berhasil di konversikan ke dalam nomor–nomor (rekening bank) yang muncul di suatu layar komputer dan nomor–nomor tersebut berhasil dipindahkan mondar–mandir melintasi dunia, maka hal itu seperti halnya riak air sebagaimana digambarkan diatas lenyap dan batu tersebut terkubur di dalam lumpur di dasar kolam itu.35
4.
Faktor pendorong terjadinya tindak pidana pencucian uang Praktek money laundering tidak mudah memberantasnya. Ada beberapa
faktor yang menjadi pendorong maraknya kegiatan pencucian uang di berbagai negara, menurut Sutan Remy Sjahdeini terdapat 10 (sepuluh) faktor pendorong, yaitu sebagai berikut:36 a. Faktor Globalisasi Globalisasi pada perputaran sistem keuangan internasional merupakan impian para pelaku money laundering dan dari kegiatan kriminal ini arus uang yang berjalan jutaan dollar pertahun berasal dari pertumbuhan ekonomi dimana uang yang sehat pada setiap negara sebagai dasar pada daerah pasar global. b. Faktor cepatnya kemajuan teknologi 35
Sutan Remy Sjahdeni, Op.Cit, hlm. 63. Ibid, hlm. 39-50.
36
Universitas Sumatera Utara
Kemajuan teknologi yang paling mendorong maraknya pencucian uang adalah teknologi di bidang informasi, yaitu dengan munculnya internet yang memperlihatkan kemajuan yang luar biasa. c. Faktor rahasia bank yang begitu ketat Ketatnya suatu peraturan bank dalam hal kerahasiaan atas nasabah dan data-data rekeningnya menyebabkan azas “know your customer”. Penerapan pengaturan rahasia bank yang ketat dapat mengakibatkan sulitnya untuk mengetahui data seseorang yang diduga merupakan hasil tindak pidana. d. Faktor belum diterapkannya azas “Know Your Customer” Perbankan dan Penyedia Jasa Keuangan lainnya belum secara sungguhsungguh menerapkan sistem ini, sehingga seseorang dapat menyimpan dana dari suatau bank dengan menggunakan nama samaran (anonim). e. Faktor electronic banking Dengan diperkenalkannnya sistem ini dalam perbankan maka diperkenalkannya ATM (Automated Teller Machine) dan wire transfer. Electroric memberikan peluang bagi pencucian uang model baru dengan menggunakan jaringan internet yang disebut cyber laundering. f. Faktor electrinic money atau e-money Dengan munculnya jenis uang baru ini yang disebut yang merupakan suatu sistem yang secra digital ditandatangani suatu lembaga penerbit melalui kunci enkripsi pribadi dan melalui enkripsi ini dapat ditransmisikan kepada pihak lain maka memudahkan pelaku electronic
Universitas Sumatera Utara
commerce melalui jaringan internet, pelaku tersebut juga sebagai cyberspace atau cyber laundering. Mengakibatkan semakin sulitnya untuk melacak kejahatan pencucian uang tersebut. g. Faktor layering Penggunaan secara berlapis pihak pemberi jasa hukum (lawyer) dimana sumber pertama sebagai pemilik sesungguhnya atau siapa sebagai penyimpan pertama tidak diketahui lagi jelas, karena deposan yang terakhir hannyalah sekedar ditugasi untuk mendepositkannya di suatu Bank. Pemindahan demikian dilakukan beberapa kali sehingga sulit dilacak petugas. h. Faktor pemberi jasa hukum (lawyer) Adanya faktor ketentuan hukum bahwa hubungan lawyer dengan klien adalah
hubungan
kerahasiaan
yang
tidak
boleh
diungkapkan.
Akibatnya, seorang lawyer tidak bisa dimintai keterangan mengenai hubungan dengan kliennya. i. Faktor kesungguhan pemerintah Adanya ketidaksungguhan dari negara-negara untuk melakukan pemberantasan praktek pencucian uang dengan sistem perbankan. Ketidakseriusan demikian adalah karena suatu negara memandang bahwa penempatan dana-dana di suatu bank sangat diperlukan untuk pembiayaan pembangunan. j. Faktor peraturan setiap negara
Universitas Sumatera Utara
Belum adanya peraturan-peratran money laundering di dalam suatu negara tertentu, sehingga menjadi pratek money laundering menjadi subur. Faktor penyebab terjadinya kejahatan pencucian uang (money laundering) begitu komplek. Berbagai hal pendorong terjadinya praktek money laundering ini menimbulkan makin tumbuh dan berkembangnya bagi pelaku money launering untuk melakukan aktifitasnya baik dalam suatu negara maupun terhadap negaranya sendiri. 5.
Pentingnya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang Dalam peraktek pencucian uang (money laundering) terdapat beberapa
dampak negatif dan kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan pencucian uang terhadap masyarakat antara lain:37 a. Pencucian uang memungkinkan para pengedar narkoba, penyeludup dan penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya biaya penegakan hukum untuk memberantasnya. b. Kegiatan ini mempunyai potensi untuk merongrong masyarakat keuangan sebagai akibat demikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peredaran uang haram yang sangat besar.
37
Ibid., hal 7
Universitas Sumatera Utara
c. Pencucian uang mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak dan secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah. d. Masuknya uang dan dana hasil kejahatan ke dalam keuangan suatu negara telah menarik unsur yang tidak diinginkan melalui perbatasan, menurunkan kualitas hidup, dan meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan nasional. e. Pencucian uang dapat merugikan sektor swasta yang sah (Undermining in the Legitimate Privet sector). Salah satu dampak mikro ekonomi pencucian uang terasa di sektor swasta. Para pelaku kejahatan seringkali menggunakan Perusahaan-perusahaan untuk mencampur uang haram dengan uang sah, dengan maksud untuk menyamarkan uang hasil kejahatannya. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki akses ke dana haram yang sangat besar jumlahnya, yang memungkinkan mereka untuk menyediakan barang-barang dan jasa yang dijual oleh Perusahaan-perusahaan tersebut dengan harga yang jauh di bawah pasar. Bahkan perusahaan ini dapat saja menjual barang-barang tersebut di bawah harga produksinya. Dengan demikian mereka akan memiliki competitive advantage terhadap perusahan yang bekerja secara sah. Hal ini membuat bisnis yang sah menjadi kalah bersaing dan menjadi bangkrut. f. Pencucian uang dapat mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominnya. Diperkirakan jumlah uang hasil
Universitas Sumatera Utara
kejahatan yang terlibat dalam kegiatan pencucian uang adalah antara 2 sampai 5 persen dari gross domestic product dunia, atau sekurangnya US$ 600.000 juta. Di beberapa negara dengan pasar yang baru tumbuh (emerging market countries), dana tersebut dapat mengurangi anggaran Pemerintah,
sehingga
dapat
mengakibatkan
hilangnya
kendali
Pemerintah atas kebijakan ekonominya. g. Dampak negatif lain dari pencucian uang adalah dapat menimbulkan rusaknya reputasi negara. Tidak satupun negara, terlebih pada masa ekonomi global ini, yang bersedia kehilangan reputasinya sebagai akibat terkait dengan pencucian uang. Kepercayaan dunia akan terkikis karena kegiatan-kegiatan pencucian uang dan kejahatan-kejahatan di bidang keuangan yang dilakukan di negara bersangkutan, dan rusaknya reputasi akan mengakibatkan negara tersebut kehilangan kesempatan global yang sah sehingga hal tersebut dapat mengganggu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan organisasi Internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain karena kejahatan pencucian uang (money laundering) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem perekonomian, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri.38 38
Bismar Nasution, Op. Cit, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa dampak negatif dan kerugian yang di timbulkan oleh kegiatan pencucian uang maka dapat disimpulkan penting adanya pencegahan dan pemeberantasan tindak pidana pencucian uang tersebut. Kegiatan atau kejahatan pencucian uang (money laundering) ini telah memperoleh perhatian besar dari banyak negara. Setidaknya l5 negara di dunia, yang termasuk dalam anggota Financial Action TaskForce on Money Laundering (FATF) telah menyatakan perang terhadap pencucian uang. B. Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 1.
Bentuk-bentuk tindak pidana pencucian uang Beberapa modus pencucian uang yang banyak digunakan oleh pelaku
pencucian uang adalah:39 a. Loan Back yakni dengan cara meminjam uangnya sendiri, Modus ini terinci lagi dalam bentuk direct loan, dengan cara meminjam uang dari perusahaan luar negeri, semacam perusahaan bayangan (immobilen investment company) yang direksinya dan pemegang sahamnya adalah dia sendiri, Dalam bentuk back to loan, dimana si pelaku peminjam uang dari cabang bank asing secara stand byletter of credit atau certificate of deposit bahwa uang didapat atas dasar uang dari kejahatan, pinjaman itu kemudian tidak dikembalikan sehingga jaminan bank dicairkan.
39
Agha. memahami pengertian, tahap-tahap,dan modus pencucian uang.http://infoul.blogspot.com/2013/05/memahami-pengertian-tahap-tahap-dan.html. Diakses tanggal 28 desember 2013
Universitas Sumatera Utara
b. Smurfing, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecahmecah transaksi yang dilakukan oleh banyak pelaku. c. Structuring, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah transaksi sehingga jumlah transaksi menjadi lebih kecil. d. U Turn, yaitu upaya untuk mengaburkan asal usul hasil kejahatan dengan memutarbalikkan transaksi untuk kemudian dikembalikan ke rekening asalnya. e. Cuckoo Smurfing, yaitu upaya mengaburkan asal usul sumber dana dengan mengirimkan dana-dana dari hasil kejahatannya melalui rekening pihak ketiga yang menunggu kiriman dana dari luar negeri dan tidak menyadari bahwa dana yang diterimanya tersebut merupakan “proceed of crime”. f. Pembelian aset/barang-barang mewah, yaitu menyembunyikan status kepemilikan dari aset/ barang mewah termasuk pengalihan aset tanpa terdeteksi oleh sistem keuangan. g. Pertukaran barang (barter), yaitu menghindari penggunaan dana tunai atau instrumen keuangan sehingga tidak dapat terdeteksi oleh sistem keuangan. h. Modus over invoices atau double invoice. Modus ini dilakukan dengan mendirikan perusahaan ekspor-impor negara sendiri, lalu diluar negeri (yang bersistem tax haven) mendirikan pula perusahaan bayangan (shell company). Perusahaan di Negara tax Haven ini mengekspor barang ke
Universitas Sumatera Utara
Indonesia dan perusahaan yang ada diluar negeri itu membuat invoice pembelian dengan harga tinggi inilah yang disebut over invoice dan bila dibuat 2 invoices, maka disebut double invoices. i. Underground Banking/Alternative Remittance Services, yaitu kegiatan pengiriman uang melalui mekanisme jalur informal yang dilakukan atas dasar kepercayaan. j. Penggunaan pihak ketiga, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari terdeteksinya identitas dari pihak yang sebenarnya merupakan pemilik dana hasil tindak pidana. k. Mingling, yaitu mencampurkan dana hasil tindak pidana dengan dana dari hasil kegiatan usaha yang legal dengan tujuan untuk mengaburkan sumber asal dananya. l. Penggunaan identitas palsu, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas palsu sebagai upaya untuk mempersulit terlacaknya identitas dan pendeteksian keberadaan pelaku pencucian uang.
2.
Wajib lapor perusahaan jasa keuangan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menyatakan bahwa: Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
Universitas Sumatera Utara
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Penyedia Jasa Keuangan (PJK) harus mewaspadai para pelaku yang memanfaatkan sistem keuangan sebagai sarana kegiatan pencucian uang (money laundering). Kewaspadaan sangat diperlukan untuk menghindari pemanfaatan sistem keuangan sebagai sarana pencucian uang dan juga melakukan tindakan yang diperlukan untuk menanggulangi perbuatan pencucian uang tersebut. Kewajiban untuk mewaspadai tersebut pada dasarnya terdiri dari 5 unsur yaitu: 40 1. Identifikasi dan verifikasi nasabah/pengguna jasa keuangan; 2. Identifikasi transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transactions) dan transaksi tunai dalam jumlah tertentu (cash transactions); 3. Pelaporan transaksi keuangan; 4. Menata usahakan dokumen; 5. Pelatihan karyawan. Pada setiap penyedia jasa keuangan harus terdapat pejabat/petugas sebagai contact person dengan PPATK untuk penanganan kasus-kasus nasabah dan transaksi keuangan yang dilaporkan. Hal ini akan mempercepat dan mempermudah penanganan selanjutnya baik oleh PPATK maupun oleh penegak hukum.41 Penyedia Jasa Keuangan (PJK) wajib menyampaikan laporan kepada PPATK untuk hal-hal sebagai berikut :42 a. Transaksi Keuangan Mencurigakan; b. Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baikdalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau 40
http;//www/ppatk.go.id/pdf/pedoman1.pdf,hal.13, diakses pada tanggal 10 Desember
2013 41
Ibid, hlm. 14. Ibid,hlm. 17.
42
Universitas Sumatera Utara
c. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri. Kewajiban pelaporan bagi PJK tersebut di atas berlaku sejak Oktober 2003 dengan mengacu pada pedoman pelaporan yang dikeluarkan oleh PPATK. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menyatakan bahwa: 1. Pihak Pelapor meliputi: a. penyedia jasa keuangan: 1) bank; 2) perusahaan pembiayaan; 3) perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi; 4) dana pensiun lembaga keuangan; 5) perusahaan efek; 6) manajer investasi; 7) kustodian; 8) wali amanat; 9) perposan sebagai penyedia jasa giro; 10) pedagang valuta asing; 11) penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu; 12) penyelenggara e-money dan/atau e-wallet, 13) koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam; 14) pegadaian; 15) perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; atau 16) penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang. b. penyedia barang dan/atau jasa lain: 1) perusahaan properti/agen properti; 2) pedagang kendaraan bermotor;pedagang permata dan perhiasan/logam mulia; 3) pedagang barang seni dan antik; atau 4) balai lelang. 2. Ketentuan mengenai Pihak Pelapor selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah Tujuan dari pelaporan tersebut tidak lain untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang yang sedang marak di indonesia, dengan adanya pelaporan yang dilakuakan oleh lembaga bank maupun non bank tersebut kepada PPATK, maka setidaknya dapat meminimalisir tindak pidana pencucian uang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
3.
Prinsip mengenal nasabah Akibat tidak mematuhi rekomendasi FATF (Financial Action Task Force
on Money Laundering) dua tahun berturut-turut sejak Juni 2001, Indonesia dan beberapa negara berkembang termasuk dalam daftar hitam negara-negara yang dinyatakan sebagai Non Cooperative Countries and Territories (NCCT). Yaitu negara-negara yang tidak kooperatif dalam memerangi dan memberantas kejahatan pencucian uang. FATF adalah satuan tugas internasional dalam memerangi dan memberantas kejahatan pencucian uang yang didirikan tujuh negara industri maju (G-7) di Paris tahun 1989. Meskipun Indonesia bukan anggota kerja sama pemberantasan pencucian uang regional Asia Pasifik (Asia Pacific Group on Money Laundering/APG), Indonesia terikat berbagai rekomendasi FATF. Rekomendasi FATF yang diberikan pada 3 Juli 2002 berisi pernyataan negara-negara G7 bahwa di Indonesia belum lengkap aturan main mengenai
pencucian
uang
(money
laundering).
Baik
dalam
peraturan
perundangan-undangan pada Lembaga Keuangan Non Bank Inti (core non bank financial institutions) seperti pasar modal dan asuransi, maupun belum diaturnya mengenai fit and proper test bagi manajemen. Selain itu, belum memiliki pedoman atau peraturan yang berkaitan dengan prinsip know your customer. Rekomendasi FATF tersebut mendapat tanggapan keras dari berbagai pihak termasuk Dirjen Lembaga Keuangan Depkeu, Darmin Nasution, yang menyatakan apabila Indonesia tidak memperbaiki situasi ini, kemungkinan Indonesia akan dikenai sanksi tersebut.43 43
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=7430. Diakses pada tanggal 24 februari 2014
Universitas Sumatera Utara
Setiap transaksi keuangan ke Indonesia dianggap suspicious transactions, sehingga harus dicek oleh bank-bank yang sudah mempunyai perangkat peraturan mengenai pencucian uang. Karenaya, yang pertamakali akan terkena dampaknya adalah industri perbankan, kemudian industri keuangan non bank, dan akhirnya keseluruhan perekonomian
Indonesia.
Disamping
itu,
Basle
Committee
merekomendasikan prinsip mengenal nasabah (know your customer principles) sebagai salah satu bentuk prudential regulation di lingkungan industri perbankan. Internasional
Association
of
Insurance
Supervisors
(IAIS)
juga
merekomendasikan agar prinsip mengenal nasabah diterapkan untuk industri asuransi sebagai bagian dari prudential regulations. Penerapan prinsip mengenal nasabah ini merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditolak atau ditunda lagi. Terlebih lagi bila pelaku industri jasa keuangan mempunyai visi untuk berbisnis secara global, maka standar industri keuangan internasional (international best practices) harus diikuti. Berdasarkan hal itu, sebagaimana yang diharapkan FATF agar Indonesia tidak termasuk dalam kriteria NCCT dan mampu memenuhi rekomendasi FATF. Maka landasan hukum yang kuat atas dimulainya upaya yang berkaitan dengan hal tersebut perlu dilakukan. Khusus untuk industri perasuransian, selain penerapan prinsip mengenal nasabah, juga akan dikeluarkan peraturan tentang kelembagaan yang mengatur masalah fit and proper test untuk para pengelola perusahaan asuransi. Dengan mengenal nasabah ini diharapkan dapat disusun regulasi yang memungkinkan industri keuangan non bank secara keseluruhan menjadi lebih kompetitif dan memenuhi standar internasional.44 44
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Prinsip mengenal nasabah yang semula hanya diberlakukan bagi bankbank saja oleh Bank Indonesia berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer principle), akhirnya diberlakukan pula oleh Ketua Bapepam bagi Perusahaan efek, Pengelolaan Reksadana, dan Bank Kustodian yang telah memperoleh izin atau persetujuan dari Bapepam. Prinsip tersebut diberlakuakan oleh Ketua Bapepam berdasarkan Keputusan Ketua Bapepam Nomor: KEP2/PM/2003 tentang Prinsip Mengenal Nasabah tanggal 15 januari 2003. Rincian dari ketentuan yang menyangkut prinsip mengenal nasabah tersebut telah dituangkan sebagai Peraturan Bapepam No.V.D.10.45 Mengikuti langkah Ketua Bapepam tersebut, akhirnya dengan Keputusan Menteri Keuangan No 45/KMK.06/2003 tanggal 30 januari 2003, Menteri Keuangan memberlakukan pula Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB), dan di ubah pada tahun 2006 dikeluarkanya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank. Dan sekarang di ubah lagi menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK-010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Non Bank. Oleh karena itu dalam hal ini Perusahan Asuransi menggunakan prinsip mengenal nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank karena Perusahaan Asuransi adalah termasuk Lembaga Keuangan Non Bank.
45
Sutan Remi Sjahdeni, Op.Cit., hlm.244.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK-010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Non Bank, Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan LKNB untuk mengetahui latar belakang dan identitas Nasabah, memantau Rekening dan transaksi Nasabah, serta melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai, termasuk transaksi keuangan yang terkait dengan Pendanaan Kegiatan Terorisme. Lembaga Keuangan Non Bank yang selanjutnya disebut sebagai LKNB adalah Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, dan Lembaga Pembiayaan. Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank menyatakan bahwa LKNB wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah. Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, menyatakan bahwa dalam rangka menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, LKNB wajib: 1. Menetapkan kebijakan penerapan Nasabah; 2. Menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah; 3. Menetapkankebijakan dan prosedur pemantau rekening dan transaksi Nasabah; dan 4. Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasbah. Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, menyatakan bahwa: 1. Dalam rangka pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah, LKNB wajib:
Universitas Sumatera Utara
2.
3.
4.
5.
a. membentuk unit kerja khusus atau menugaskan anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus yang bertanggung jawab menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. b. menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis tentang penerimaan Nasabah, identifikasi dan verifikasi Nasabah, pemantauan terhadap Rekening dan transaksi Nasabah, dan manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, yang dituangkan dalam pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. c. menyampaikan pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. d. menyampaikan setiap perubahan atas pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut. Unit kerja khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus yang bertanggung jawab menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebagai bagian dari struktur organisasi LKNB. Unit kerja khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus yang bertanggung jawabmenangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bertanggung jawab langsung kepada direktur utama, ketua pengurus atau yang setara dengan pimpinan tertinggi LKNB. LKNB yang melakukan kegiatan usaha di lokasi lain selain kantor pusat wajib menerapkan kebijakan Prinsip Mengenal Nasabah yang ditetapkan oleh kantor pusat di bawah koordinasi unit kerja khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus yang menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kantor pusat LKNB. Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan.
Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, menyatakan bahwa LKNB wajib memastikan bahwa unit kerja khusus dan/atau anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau
Universitas Sumatera Utara
pengurus LKNB yang bertanggung jawab atas penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah dan informasi lainnya yang terkait. Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, menyatakan bahwa Pihak yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin usaha bagi Perusahaan Perasuransian dan Lembaga Pembiayaan atau pengesahan peraturan Dana Pensiun untuk pertama kali bagi Dana Pensiun, wajib menyampaikan pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, bersama dengan permohonannya. Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, menyatakan bahwa : 1. Sebelum melakukan Perikatan dengan Nasabah, LKNB wajib meminta informasi mengenai: a. latar belakang dan identitas calon Nasabah; b. maksud dan tujuan calon Nasabah melakukan Perikatan; c. profil keuangan calon Nasabah; d. informasi lain yang memungkinkan LKNB untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah termasuk Perikatan yang telah dimiliki sebelumnya dengan LKNB yang bersangkutan; dan e. identitas penerima kuasa yang bertindak untuk dan atas nama calon Nasabah. 2. LKNB wajib melakukan konfirmasi mengenai kebenaran kewenangan pihak yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama pihak lain, jika calon Nasabah diwakili pihak lain. 3. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukungsebagai berikut: a. calon Nasabah perorangan paling kurang terdiri dari:
Universitas Sumatera Utara
1) identitas Nasabah yang memuat: a) nama; b) alamat atau tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor dan nomor telepon; c) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada); d) tempat dan tanggal lahir; dan e) kewarganegaraan; 2) keterangan mengenai pekerjaan; 3) spesimen tanda tangan; dan 4) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana; 5) rata-rata penghasilan; 6) nama dan nomor rekening bank calon Nasabah, jika ada; dan 7) dokumen-dokumen lain yang memungkinkan LKNB untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah; b. calon Nasabah yang berbentuk perusahaan paling kurang terdiri dari: 1) dokumen mengenai perusahaan: a) keterangan mengenai nama, alamat, dan nomor telepon perusahaan; b) akte pendirian atau anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku berikut perubahan anggaran dasar yang terakhir; c) izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang; d) surat keterangan domisili; e) laporan keuangan terkini; dan f) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); 2) nama, spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan LKNB; 3) dokumen identitas pihak-pihak yang ditunjuk mempunyaiwewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan; 4) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana, bagi calon Nasabah pada Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Perasuransian; dan 5) dokumen-dokumen lain yang memungkinkan LKNB untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah. 4. Ketentuan customer due diligence sebaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), tidak berlaku bagi calon Nasabah berupa: a. Lembaga pemerintah; atau b. Lembaga keuangan multilateral. Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, menyatakan bahwa
LKNB wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas
Universitas Sumatera Utara
dokumen pendukung (customer due diligence) dengan melakukan hal-hal antara lain: a. meneliti kemungkinan adanya hal-hal yang tidak wajar atau mencurigakan. b. memastikan kebenaran dokumen calon Nasabah, dalam hal terdapat kecurigaan atas dokumen yang diterima, antara lain dengan cara: 1) melakukan wawancara dengan calon Nasabah; 2) meminta dokumen lain yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang; 3) melakukan pemeriksaan silang dari berbagai informasi yang disampaikan oleh calon Nasabah. c. melakukan penelaahan mengenai Beneficial Owner. Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, menyatakan bahwa : 1. LKNB wajib memastikan bahwa calon Nasabah mewakili Beneficial Owner atau bertindak untuk diri sendiri dalam membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi. 2. Dalam hal calon Nasabah mewakili Beneficial Owner untuk membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi, LKNB wajib melakukan prosedur customer due diligence terhadap Beneficial Owner yang sama dengan prosedur customer due diligence bagi calon Nasabah. Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, menyatakan bahwa : 1. Dalam hal calon Nasabah mewakili Beneficial Owner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), LKNB wajib meminta dokumen atau bukti atas identitas dan/atau informasi lain mengenai Beneficial Owner. 2. Dalam hal Beneficial Owner merupakan perorangan, identitas dan/atau informasi antara lain berupa: a. dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a; b. hubungan hukum antar calon Nasabah dengan Beneficial Owner yang ditunjukkan dengan surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa, atau bentuk lainnya; dan
Universitas Sumatera Utara
3.
4.
5.
6.
c. pernyataan dari calon Nasabah mengenai identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner. Dalam hal Beneficial Owner berbentuk perusahaan, yayasan atau perkumpulan, identitas dan/ atau informasi antara lain berupa: a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b; b. dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau pengendali akhir perusahaan, yayasan, atau perkumpulan; dan c. pernyataan dari calon Nasabah mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner. Dalam hal calon Nasabah merupakan bank atau LKNB lain di dalam negeri yang mewakili Beneficial Owner, LKNB wajib meminta dokumen berupa pernyataan tertulis dari bank atau LKNB lain dalam negeri yang telah melakukan verifikasi terhadap identitas Beneficial Owner. Dalam hal calon Nasabah merupakan bank atau LKNB lain di luar negeri yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang paling kurang setara dengan Peraturan Menteri Keuangan ini yang mewakili Beneficial Owner, LKNB wajib meminta dokumen berupa pernyataan tertulis dari bank atau LKNB lain luar negeri yang telah melakukan verifikasi terhadap identitas Beneficial Owner. Dalam hal LKNB meragukan atau tidak dapat meyakini dokumen atau bukti atas identitas dan/ atau informasi lain mengenai Beneficial Owner, LKNB wajib menolak hubungan usaha atau transaksi dengan calon Nasabah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang tentang Bank Indonesia beserta penjelasannya dapat disimpulakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan akan bertugas mengawasi bank, lembaga-lembaga usaha perasuransian, lembagalembaga usaha pasar modal, dana pensiun, lembaga-lembaga usaha pembiayaan, modal ventura, dan lembaga-lembaga lain yang mengelola dana masyarakat. Dengan demikian, Otoritas Jasa Keuangan akan alih sebagian tugas dan wewenang Bank Indonesia, Direktorat Jendral Lembaga Keuangan, Badan Pengawasan Pasar Modal, dan institusi-institusi pemerintahan lain yang selama ini mengawasi lembaga pengelolaan dana masyarakat.46 Namun dengan di 46
Adrian Sutedi. Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan. Raih Asa Sukses(Penebar Swadaya Grup). Jakarta.2014. hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
keluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Maka ketentuan tersebut di atur dalam Undang-Undang OJK. Dengan demikian berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. 47 Untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara terintegrasi tersebut, langkah-langkah persiapan dan periode transisi telah ditetapkan sehingga pada 1 Januari 2014 OJK telah siap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga pengawas jasa keuangan secara terintegrasi. Proses transisi pengawasan industri jasa keuangan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya (disingkat lembaga keuangan bukan bank /LKBB) yang dilakukan oleh Bapepam – LK dialihkan pada akhir tahun 2012. Tahap kedua, pengawasan bank dialihkan dari Bank Indonesia kepada OJK pada akhir tahun 2013.48 Ketentuan peralihan pada Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan bahwa: (1) Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan 47
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/2373_JLI%20Vol.%209%20No.%203.pdf . Diakses pada tanggal 28 februari 2014 48
Universitas Sumatera Utara
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.(2) Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK. C. Peranaan PPATK dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) (bahasa Inggris: Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC) adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasaan pencucian uang sekaligus membangun rezim anti pencucian uang dan kontra pendanaan terorisme di Indonesia. Hal ini tentunya akan sangat membantu dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dan menurunkan terjadinya tindak pidana asal (predicate crimes). PPATK, yang bertanggung jawab kepada Presiden RI, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan mana pun.49 Dalam praktek internasional di bidang pencucian uang lembaga semacam dengan PPATK disebut dengan nama generik Financial Intelligence Unit (FIU). Keberadaan FIU ini pertama kali diatur secara implisit dalam Empat Puluh Rekomendasi (Forty Reccomendations) 49
http://id.wikipedia.org/wiki/Pusat_Pelaporan_dan_Analisis_Transaksi_Keuangan. diakses pada tanggal 20 februari 2014
Universitas Sumatera Utara
dari Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Dalam rekomendasi ke enambelas disebutkan, bahwa If Financial Institutions suspect that funds stem from a criminal activity, they should be permitted or required to report promptly their suspision to the competent authorities. Rekomendasi tersebut tidak menyebutkan “competent authorities” yang dimaksud. Kebanyakan negara membentuk atau menugaskan badan tertentu untuk menerima laporan tersebut yang secara umum sekarang dikenal dengan nama Financial Intelligence Unit (FIU).50 Menurut Egmont Group51 pengertian Financial Intelligent Unit adalah : 52 A central national agency responsible for receiving (and as permitted, requesting) analysing and disseminating to the competent authorities, disclosures of financial information: concerning suspected proceeds of crime,or required by national legislation or regulation in order to counter money laundering.
1.
Tugas dan wewenang PPATK Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menetapkan PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
50
Yunus Husein, makalah PPATK: Tugas, Wewenang dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang. hlm.4. 51 Rekomendasi ini ini merupakan standard yang dikeluarkan oleh FATF dan diharapkan dipakaioleh masing-masing negara dan diterapkan secara internasional dengankonsisten. Rekomendasi dikeluarkan pertama kali pada tahun 1990, kemudian direvisi tahun 1996 dan sekarangsedang dalam proses direvisi kembali. 52 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Peran PPATK yang berfungsi sebagai financial intellegence unit (FUI) di Indonesia juga memiliki tugas dan wewenang khusus serta sumber daya manusia yang dimiliki. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU menetapkan bahwa tugas pokok PPATK yaitu:53 a. Mengumpul, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Undang-undang ini; b. Memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan; c. Membuat pedoman mengenai tatacara pelaporan transaksi keuangan mencurigakan; d. Memberikan nasehat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini; e. Mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam undang-undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan; f. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; g. Melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan; h. Membuat dan memberikan laporan mengenai analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara bekala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan; dan i. Memberikan informasi kepada publik tentang kinerja kelembagaan sepanjang pemberian informasi tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang ini. Dalam melaksanakan tugasnya, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yaitu: a. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; b. pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; c. pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; 53
http://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=ruu&id=146, di akses pada tanggal 20 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
d. analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain (''predicate crimes''). Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, PPATK mempunyai wewenang sebagai berikut berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yaitu : 1. Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, PPATK berwenang: a. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu; b. menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan; c. mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait; d. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang; e. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; f. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang; dan g. menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 2. Penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) angka 1 dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) angka 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 42 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengatur kewenangan PPATK sebagai berikut : Dalam melaksanakan fungsi pengelolaan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b, PPATK berwenang menyelenggarakan sistem informasi.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengatur kewenangan PPATK sebagai berikut : Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c , PPATK berwenang: a. menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi Pihak Pelapor; b. menetapkan kategori Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana pencucian uang; c. melakukan audit kepatuhan atau audit khusus; d. menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Pihak Pelapor; e. memberikan peringatan kepada Pihak Pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan; f. merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha Pihak Pelapor; dan g. menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali Pengguna Jasa bagi Pihak Pelapor yang tidak memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengatur kewenangan PPATK sebagai berikut : (1) Dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 angka 4, PPATK dapat: 1) meminta dan menerima laporan dan informasi dari Pihak Pelapor; 2) meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait; 3) meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK; 4) meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan permintaan dari instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri; 5) meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta, baik di dalam maupun di luar negeri; 6) menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana pencucian uang; 7) meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang; 8) merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Universitas Sumatera Utara
9) meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana; 10) meminta informasi perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana Pencucian Uang; 11) mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan 12) meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik. (2) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) angka 9 harus segera menindaklanjuti setelah menerima permintaan dari PPATK. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menegaskan bahwa dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur kerahasiaan.54 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaski Keuangan (PPATK) merupakan lembaga yang bertugas untuk melakukan pencegahandan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dalam melaksanakan fungsi fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang PPATK memiliki kewenangan meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan terhadap laporan hasil analisis atau pemeriksaan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang dihasilkan kepada penyidik yang diatur dalam Pasal 44 Ayat (1) huruf (l) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.55
54
http://id.wikipedia.org/wiki/Pusat_Pelaporan_dan_Analisis_Transaksi_Keuangan. di akses pada tanggal 20 Desember 2013 55 Muhammad Fadli,dkk. Tinjauan hukum tindak lanjut laporan hasil analisis pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan di tingkat penyidikan. ( Makasar, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makassar). hlm.10.
Universitas Sumatera Utara
Dari bunyi pasal tersebut dapat diketahui bahwa laporan hasil analisis PPATK
berupa
adanya
transaksi
yang
mencurigakan
kemudian
akan
ditindaklanjuti oleh lembaga penegak hukum lain yakni Kepolisian dan kejaksaan. Dari sini terlihat bahwa kegiatan analisis yang dilakukan oleh PPATK bukanlah bertindak sebagai penyidik, tetapi hanya sebagai bahan bagi penyidik untuk ditindak lanjuti. Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari mengusulkan agar Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan (PPATK) mendapat tambahan anggaran dan kewenangan untuk memiliki penyidik. Menurut Eva, dengan kewenangan itu, maka uapaya membongkar tindak pidana pencucian uang (TPPU) akan membawa hasil yang lebih signifikan.56
2.
Kedudukan PPATK Pada tanggal 17 April 2002, Indonesia telah mengundangkan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan adanya Undang-undang ini maka terjadi perubahan besar dalam cara memandang kegiatan pencucian uang di Indonesia. Selain pencucian uang dianggap sebagai tindak pidana, perubahan lainnya ialah dibentuknya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang merupakan lembaga independen yang akan berperan dalam 56
PPATK diusulkan memiliki penyidik. Sebagaimana dimuat dalam http://nasional.kompas.com/read/2014/02/15/1332387/PPATK.diusulkan.miliki.penyidik. diakses pada tanggal 22 februari 2014
Universitas Sumatera Utara
pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di Indonesia. PPATK ini memiliki kelembagaan yang independen, yang bebas dari campur tangan yang bersifat politik seperti Lembaga Negara, Penyelenggara Negara dan pihak lainnya. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) (bahasa Inggris: Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC) adalah lembaga Independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasaan pencucian uang sekaligus membangun rezim anti pencucian uang dan kontra pendanaan terorisme di Indonesia. Hal ini tentunya akan sangat membantu dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dan menurunkan terjadinya tindak pidana asal (predicate crimes). PPATK, yang bertanggung jawab kepada Presiden RI, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan mana pun. PPATK berkedudukan di Jakarta, Indonesia. Susunan organisasi PPATK terdiri atas kepala, wakil kepala, jabatan struktural lain, dan jabatan fungsional. Pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi internasional merupakan hal baru di banyak negara termasuk Indonesia. Sebegitu besar dampak negatif terhadap perekonomian suatu negara yang dapat ditimbulkannya, mendorong negara-negara di dunia dan organisasi internasional menaruh perhatian serius dan khusus terhadap pencegahan dan pemberantasan masalah ini.57 57
Ibid
Universitas Sumatera Utara
PPATK dalam melaksanakan tugasnya diwajibkan untuk menolak campur tangan dari pihak manapun. Prinsip ini dapat ditafsirkan dari ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang menyatakan: 1. PPATK dalam melaksanakan Tugasnya dan Wewenangnya bersifat indepeden dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan mana pun. 2. PPATK bertangguang jawab kepada Presiden. 3. Setiap orang dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK. 4. PPATK wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya.58 Pada penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “independen” adalah bebas dari intervensi pihak manapun. Dengan adanya ketentuan-ketentuan ini maka tidak dimungkinkan adanya campur tangan eksternal dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK. PPATK sebagai institusi yang independen bertanggungjawab kepada Presiden sebagai Financial Intelligent Unit dengan model administratif (administrative model). Model administratif ini lebih banyak berfungsi sebagai perantara antara masyarakat atau industri jasa keuangan dengan institusi penegak hukum. Laporan yang masuk dianalisis dahulu oleh lembaga ini kemudian dilaporkan ke institusi penegak hukum, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan.59 Selain dengan Kepolisian dan kejaksaan sebagai penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana pencucian 58
Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 59 Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang dan Peranannya dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang,” (Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Memahami UU RI No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta, 6 Mei 2003).
Universitas Sumatera Utara
uang, PPATK juga akan bekerjasama dengan Bank Indonesia, Dirjen Pajak, Dirjen Bea Cukai, Badan Pengawas Pasar Modal, Departemen Keuangan, masyarakat dan lembaga-lembaga lain baik dari dalam maupun luar negeri. Melihat begitu banyaknya pihak yang terlibat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan pencucian uang ini, dapat disadari bahwa kegiatan pencucian uang merupakan suatu ancaman yang sangat berbahaya sehingga dibutuhkan kerjasama dari banyak pihak untuk dapat menghadapinya.
3.
Peranan PPATK Peran PPATK menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dalam Pasal 37 dan Pasal 38 yaitu: Pasal 37: 1. PPATK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dan campur tangan dan pngaruh kekuasaan mana pun. 2. PPATK bertanggung jawab kepada Presiden. 3. Setiap orang dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK. 4. PPATK wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
PPATK yang merupakan lembaga independen yang bertanggungjawab kepada Presiden merupakan Financial Intelligent Unit dengan model administratif (administrative model).60Suatu financial intelligent unit biasanya melakukan beberapa tugas dan wewenang, yaitu tugas pengaturan sebagai regulator, 60
Administrative model, dengan variasi: merupakan lembaga independen di bawah pemerintahan, seperti AUSTRAC, FINTRAC, FINCEN atau di bawah Bank Sentral seperti di Malaysia.
Universitas Sumatera Utara
melakukan kerjasama dalam rangka penegakkan hukum, bekerjasama dengan sektor keuangan, menganalisa laporan yang masuk, melakukan pengamanan terhadap seluruh data dan aset yang ada, melakukan kerjasama internasional dan fungsi administrasi umum. PPATK sebagai suatu financial intelligent unit juga melaksanakan fungsi yang demikian.61 Pasal 38: 1. PPATK berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Dalam hal diperlukan, perwakilan PPATK dapat dibuka di daerah. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan perluasan terhadap fungsi dan kewenangan PPATK.62 Perluasan kewenangan PPATK tersebut, antara lain adalah dengan ditambahnya kewenangan PPATK untuk melakukan penghentian sementara transaksi keuangan yang mencurigakan selama 5 hari dan dapat diperpanjang selama 15 hari sebagaimana yang diuraikan pada Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, disamping melakukan pemeriksaan terhadap laporan dan informasi transaksi keuangan yang terindikasi tindak pidana pencucian uang. Perluasan dan peran dan kewenangan PPATK dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dibanding Undang-undang yang lama adalah merupakan langkah yang diambil untuk mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang yang dapat mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan. 61
Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang dan Peranannya dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang,” (Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Memahami UU RI No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta, 6 Mei 2003). 62 Andrian Sutedi, Op.Cit.,hlm. 293.
Universitas Sumatera Utara
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektifitas penegakan hukum, serta penelusuran dan pengambilan harta kekayaan hasil tindak pidana.63 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mempunyai peranan yang sangat penting dalam menangani tindak pidana pencucian uang di indonesia. Rezim anti pencucian uang (money laundering) di Indonesia dibangun dengan melibatkan berbagai kompenen, yaitu:64 1. Sektor keuangan (financial sector) yang terdiri dari pihak pelapor (seporting parties-penyedia jasa keuangan) dan pengawasan dan pengaturan industri keuangan. 2. PPATK sebagai intermediator (penghubung) antara financial sector dan law enforement/judical sector. Dalam kedudukan ini, PPATK berada di tengah-tengah antara sektor keuangan dan sector penegakan hukum untuk melakukan seleksi melalui kegiatan analisa terhadap laporan (informasi) yang diterima, yang hasil analisisnya untuk diteruskan kepada penegak hukum. Dalam kegiatan analisa tersebut, PPATK menggali informasi keuangan dari berbagai sumber baik dari instansi dalam negeri maupun luar negeri. 3. Sektor penegakkan hukum (law enforcement/judicial sector) yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan. Hasil analisis yang diterima dari PPATK, inilah yang menjadi dasar penegak hukum untuk diperoses sesuai hukum acara yang berlaku. Melihat konsep rezim anti pencucian uang (money laundering) tersebut dapat diketahui bahwa terdapat dua pendekatan yaitu pendekatan anti pencucian uang (money laundering) itu sendiri dan pendekatan penegakan hukum. PPATK sebagai lembaga yang memiliki peran yang snagat besar karena berada pada posisi sentral dalam upaya menanggulangi tindak pidana pencucian uang (money laundering). Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai lembaga independen yang bertujuan untuk mencegah dan memberantas kegiatan pencucian uang di Indonesia, PPATK akan bekerja sama dengan banyak pihak. Salah satunya dengan Kepolisian 63
Ibid http://sudiharsa.wordpress.com/2013/11/20/penanganan-tindak-pidana-pencucian-uangdi-indonesia-2/. Diakses pada tanggal 13 Desember 2013 64
Universitas Sumatera Utara
sebagai penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan dalam tindak pidana pencucian uang.65
65
Yunus Husein, “Telaah Penyebab Indonesia Masuk Dalam List Non Cooperative Countries And Territories Oleh FATF On Money Laundering.” (Makalah disampaikan pada Seminar Money Laundering Ditinjau Dari Prspektif Hukum Dan Ekonomi, Jakarta, 23 Agustus 2001). hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara