PUBLIC REVIEW TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kelestarian Hutan 2013
PUBLIC REVIEW TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN MAJELIS EKSAMINASI Prof. DR. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. (Guru Besar Institut Pertanian Bogor) Shinta Agustina,SH.,M.H. (Dosen Hukum Pidana Universitas Andalas) Sudarsono Soedomo, Ph.D. (Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor) DR.Ir. Bramasto Nugroho, M.S. (Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor) Ronald Rofiandri,S.H. (Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia) TIM PERUMUS Siti Rakhma Mary,S.H.,MSi (HUMA) Yance Arizona, S.H, M.H. (Epistema Institute) Grahat Nagara,S.H. (Yayasan Silvagama) Emerson Yuntho,S.H. (Indonesia Corruption Watch) PUBLIKASI 12 April 2013 SUMBER FOTO Silvagama PUBLIKASI Indonesia Corruption Watch – HuMa KERJASAMA Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kelestarian Hutan
1
SEKAPUR SIRIH Seperti putusan pengadilan, masih saja ditemukan produk hukum berupa regulasi atau peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh pejabat yang dinilai bermasalah atau menimbulkan kontroversi. Regulasi yang dinilai kontroversial tersebut bisa saja muncul dari tingkat nasional seperti Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah maupun regulasi di tingkat lokal misalkan Peraturan Daerah bahkan hingga Peraturan Desa. Persoalan muncul baik karena faktor pembentukan regulasinya yang dinilai tidak transparan, partisipatif dan akuntabel dan atau karena faktor substansinya yang dinilai tidak berpihak kepada kepentingan publik dan berpotensi menimbulkan polemik. Indikator sederhana adanya masalah dari regulasi misalnya dari banyaknya upaya uji materiil (judicial review) terhadap undang-undang yang diajukan sejumlah pihak kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dimintakan pembatalan ataupun penafsiran. Tercatat per awal tahun 2011, MK menerima tidak kurang sebanyak 450 pengajuan uji materiil terhadap UU yang dinilai bertentangan dengan Konstitusi untuk dimintakan pembatalan. Munculnya regulasi yang bermasalah tidak selayaknya dibiarkan. Perlu ada tindakan untuk menolak atau merevisi aturan tersebut. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pengujian atau eksaminasi terhadap rancangan atau peraturan perundangan yang dinilai bermasalah tersebut. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan mendorong keterlibatan masyarakat dalam melakukan koreksi, evaluasi atau pengawasan melalui kegiatan eksaminasi publik atau public review. Gagasan eksaminasi publik terhadap peraturan perundangan (public review) dimaksudkan sebagai wujud peran serta masyarakat dalam melakukan koreksi terhadap suatu regulasi yang bermasalah ataupun memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Partisipasi masyarakat ini diakui secara hukum sebagaimana diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dari hasil eksaminasi publik yang dilakukan, harapannya para penyusun/pembentuk mau melakukan revisi atau bahkan mencabut regulasi yang dinilai bermasalah tersebut. Namun demikian jika mekanisme persuasif tidak mendapat respon yang positif, hasil eksaminasi publik dapat dikembangkan sebagai bahan dalam melakukan pengajuan permohonan uji materiil ke Mahkamah Agung atau ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan tidak menutup kemungkinan hasil eksaminasi publik peraturan perundangan dikembangkan menjadi naskah akademik atau rancangan peraturan perundangundangan versi masyarakat. Salah satu regulasi yang dinilai kontroversial adalah Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Pemberantasan Perusakan Hutan. Awalnya, RUU ini bernama Pemberantasan Pembalakan Liar, kemudian diubah menjadi RUU Pencegahan dan Pemberatasan Pembalakan Liar dan terakhir menjadi RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU PPH). RUU ini sudah masuk proses legislasi nasional sejak tahun 2009 dan dijadwalkan pada awal April 2013 akan disahkan dalam rapat paripurna DPR. Dalam pandangan masyarakat 2
sipil, regulasi ini dinilai bermasalah baik dari sisi proses pembentukan maupun dari sisi substansinya. Regulasi ini juga mendorong kriminalisasi terhadap petani atau masyarakat adat di sekitar kawasan hutan. Untuk menguji regulasi RUU P2H, maka Koalisi Masyarakat Sipil melibatkan para ahli sebagai Majelis Eksaminasi yang terdiri dari : Prof. DR. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. (Guru Besar Institut Pertanian Bogor), Shinta Agustina, S.H.,MH. (Dosen Hukum Pidana Universitas Andalas) ; Sudarsono Soedomo, Ph.D. (Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor) ; DR.Ir.Bramasto Nugroho, MS. (Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor) ; dan Ronald Rofiandri, S,H. (Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia). Dalam proses penyusunan Hasil Eksaminasi Publik (Public Review), Majelis Eksaminasi dibantu oleh Tim Perumus yang terdiri dari Emerson Yuntho, S.H. (Indonesia Corruption Watch) dan Siti Rakhma Mary, S.H.,MSi (HUMA), Yance Arizona, S.H, M.H. (Epistema Institute) dan Grahat Nagara, S.H. (Yayasan Silvagama). Sebagai bagian pertanggungjawaban terhadap publik, maka hasil eksaminasi publik tersebut penting untuk dipublikasikan atau didiseminasi agar publik mendapatkan gambaran yang komprehensif atas kajian yang telah dibuat oleh eksaminator dan dirangkum oleh Tim Perumus. Ada banyak temuan yang menarik dari hasil eksaminasi publik (public review) terhadap RUU P2H. Intinya RUU P2H banyak kekurangannya baik dari sisi substansi maupun prosesnya. Selain kepada publik, temuan hasil eksaminasi ini nantinya akan disampaikan kepada pembentuk regulasi seperti DPR dan Pemerintah. Kegiatan eksaminasi publik dan advokasi RUU P2H merupakan kerja bersama banyak pihak baik individu maupun lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan. Semoga kajian ini dapat mempengaruhi para pengambil kebijakan dalam mendukung kelestarian hutan ini. Salam Lestari Jakarta, 8 April 2013 An. Koalisi Masyarakat Sipil
Indonesia Corruption Watch
3
DAFTAR ISI
SEKAPUR SIRIH
2
DAFTAR ISI
4
BAGIAN PERTAMA PENDAHULUAN
5
BAGIAN KEDUA POLITIK HUKUM DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
9
BAGIAN KETIGA ANALISIS SUBSTANSI RUU PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
19
BAGIAN KEEMPAT ANALISIS POTENSI DAMPAK RUU PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
31
BAGIAN KELIMA KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
36
LAMPIRAN PROFIL EKSAMINATOR, PERUMUS DAN KOALISI
38
4
BAGIAN PERTAMA
PENDAHULUAN A. PENGANTAR Komisi Kehutanan Dewan Perwakilan Rakyat (Komisi IV DPR) bersama dengan mitra kerja dari pemerintah - dalam hal ini Kementerian Kehutanan – sejak tahun 2011 lalu mulai intensif membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H). Sebagaimana tercantum dalam naskah RUU P2H, salah satu pertimbangan lahirnya regulasi adalah “bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan luar biasa, terorganisasi, dan transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum.” Cikal bakal lahirnya RUU P2H sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 2003 lalu melalui inisiatif pemerintah dalam mendorong lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) tentang Pemberantasan Illegal Logging. Inisiatif Perppu tersebut pada perkembangannya gagal direalisasikan, namun pada tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredaraannya di Seluruh Wilayah RI. Inpres ini ditujukan kepada beberapa menteri, pejabat tinggi setingkat menteri, 1 para gubernur dan para bupati/walikota. Inpres tersebut memerintahkan kepada para pejabat terkait untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan illegal logging. Secara khusus Inpres No. 4 Tahun 2005 memerintahkan kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan penebangan kayu secara ilegal, melakukan tuntutan yang tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua peraturan perundangundangan yang berlaku. Instruksi lainnya adalah mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya pada setiap 1
Para Menteri dan Pejabat setingkat Menteri terdiri dari : Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan; Menteri Kehutanan; Menteri Keuangan; Menteri Dalam Negeri; Menteri Perhubungan; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; Menteri Luar Negeri; Menteri Pertahanan; Menteri Perindustrian; Menteri Perdagangan; Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; Menteri Lingkungan Hidup; Jaksa Agung; Kapolri; Panglima TNI; Kepala Badan Intelijen.
5
tahap penanganan baik pada tahap peniyidikan, tahap penuntutan maupun tahap eksekusi. Inpres ini juga memerintahkan kepada para gubernur dan bupati/walikota untuk mencabut dan merevisi segala bentuk peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tentang kehutanan. Pada tahun 2008, DPR berinisiatif menyusun Naskah Akademik dan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar. Sejak tahun 2009 lalu, Rancangan tersebut kemudian masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009-2014. Proses selanjutnya pada tahun 2011, RUU tersebut kemudian berubah nama menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H). Dalam perjalananannya, proses penyusunan dan pembahasan RUU P2H di DPR perlu mendapat perhatian baik dari aspek formil (penyusunannya) maupun materiil (substansi). Pertama, dari aspek formil, proses pembahasan RUU P2H terkesan dilakukan secara diam–diam dan tertutup sehingga menutup peluang bagi masyarakat dan media dalam melakukan pemantauan atau memberikan masukan. Jadwal maupun perkembangan terbaru setiap proses pembahasan tidak pernah disampaikan kepada publik atau media. Kedua, secara materiil sebagian besar substansi RUU ini bermasalah. RUU ini antara lain dinilai membuka peluang bagi kriminalisasi bagi petani atau masyarakat, membuka peluang korupsi, dan membentuk lembaga baru untuk pemberantasan pembalakan liar yang diragukan efektifitasnya. Koalisi masyarakat sipil, menilai RUU ini pro terhadap praktek mafia hutan dan berupaya menyelamatkan perusahaan tambang dan perkebunan yang selama ini bermasalah. Selain itu masih terdapat ketentuan yang masih perlu diperdebatkan seperti definisi kawasan hutan dan perusakan hutan, definisi peladang tradisional dan masyarakat, persoalan kawasan hutan yang tidak terselesaikan, ketidakadilan alokasi manfaat hutan, bagaimana menyelesaikan masalah keterlanjuran penggunaan/pemanfaatan kawasan hutan. Secara substansi, banyak ketentuan dalam RUU P2H yang apabila disahkan akan berpotensi dimintakan pembatalan (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Bagi masyarakat sipil, RUU P2H tidak mendesak untuk segera disahkan dan tidak menjawab persoalan yang terjadi di sektor kehutanan. Justru yang dibutuhkan masyarakat kehutanan saat ini adalah memperbaiki Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dengan mengakomodir kepentingan masyarakat yang turun temurun memelihara hutan serta melakukan penindakan hukum atas kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh perusahaan dengan tegas. Dengan segala persoalan yang ada selanjutnya muncul pertanyaan: perlukah ada UU P2H? ataukah DPR dan Pemerintah hanya perlu melakukan revisi terhadap UU Kehutanan? Untuk melakukan analisis atau uji publik terhadap keberadaan RUU P2H maka kalangan masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan berinisiatif 6
menyelenggarakan suatu kegiatan Eksaminasi Publik atau Public Review terhadap suatu rancangan peraturan perundang-undangan tersebut.
B. TUJUAN EKSAMINASI PUBLIK Secara umum kegiatan Eksaminasi Publik atau Public Review bertujuan untuk mendorong partisipasi publik untuk melakukan pengkajian, pengkritisan, dan penilaian secara obyektif terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H). Sedangkan secara khusus, eksaminasi publik (Public Review) bertujuan untuk : a. Menguji ketepatan dan konsistensi pemerintah dan DPR dalam menerapkan asasasas dan prinsip-prinsip hukum baik hukum materiil maupun formil dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU P2H. b. Memberikan rekomendasi tindak lanjut terhadap keberadaan RUU P2H. C. CAKUPAN DAN METODE EKSAMINASI PUBLIK Ruang lingkup dan cakupan pengujian publik adalah Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H). Metode yang digunakan dalam public review adalah dengan melakukan pembacaan dan analisa terhadap rancangan regulasi tersebut baik dari aspek formil maupun materiil. Kegiatan eksaminasi mencakup beberapa aktivitas yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu rapat-rapat koordinasi dan persiapan, sidang majelis eksaminasi atau Focus Group Discussion yang dilaksanakan di Jakarta pada 23 Maret 2013 , pengadaan bahan-bahan dan dokumen-dokumen yang mendukung pelaksanaan Focus Group Discussion seperti anotasi hukum atau catatan kritis, dan dokumen lain yang dianggap perlu serta proses penyusunan hasil eksaminasi publik atau public review yang dilakukan bersama antara majelis eksaminasi (public reviewer) maupun tim perumus. D. MAJELIS EKSAMINASI Untuk menjaga agar hasil pengujian dan penilaian yang dilakukan oleh Majelis Eksaminasi Publik dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan, maka susunan anggota Majelis Eksaminasi Publik terdiri dari orang-orang yang memiliki perhatian yang besar terhadap hukum dan penegakan hukum serta yang memiliki kompetensi atau basis keilmuan di bidang Kehutanan, Pidana, dan Peraturan Perundang-Undangan. Majelis Eksaminasi Publik tersebut terdiri dari beberapa unsur yaitu Akademisi dan Peneliti yang diharapkan mempunyai posisi obyektif. Majelis Eksaminasi terdiri dari a. Prof. DR. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. (Guru Besar Institut Pertanian Bogor) b. Shinta Agustina,SH., MH. (Dosen Hukum Pidana Universitas Andalas) c. Sudarsono Soedomo, Ph.D. (Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor) 7
d. DR.Ir.Bramasto Nugroho, M.S. (Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor) e. Ronald Rofiandri, S.H. (Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia) Dalam kegiatan eksaminasi dan penyusunan Hasil Eksaminasi Publik (Public Review), Majelis Eksaminasi dibantu oleh Tim Perumus yang terdiri dari Emerson Yuntho, S.H. (Indonesia Corruption Watch) dan Siti Rakhma Mary, S.H.,MSi (HUMA), Yance Arizona, S.H, M.H. (Epistema Institute) dan Grahat Nagara, S.H. (Yayasan Silvagama).
8
BAGIAN KEDUA
POLITIK HUKUM DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN A. KERUSAKAN HUTAN, PENEGAKAN HUKUM DAN INISIATIF RUU P2H Dibalik peningkatan pendapat negara dan melonjaknya kegiatan usaha, ekses pembangunan di sektor kehutanan melahirkan persoalan yang luar biasa. Puncak masa keemasan ekspor kayu yang pada tahun 1997 senilai 11% dari total nilai ekspor nasional justru menjadi pertanda perusakan hutan yang terjadi secara masif selama puluhan tahun. Akibatnya, dalam dasawasarsa terakhir yang tersisa dari pembangunan itu adalah rusaknya hutan dan sekaratnya industri kehutanan dalam keadaan yang terlalu rumit untuk diselesaikan dengan cara yang sederhana. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan dan Forest Watch Indonesia (FWI) misalnya, sejak tahun 1985 hingga 2009, tercatat setidaknya 45 juta hektar kanopi hutan hilang 2. Sementara kontribusi eksploitasi hutan secara langsung terhadap kesejahteraan masyarakat secara umum diragukan. Kalau pun ada, tidak lagi sebanding dengan kerugian lingkungan yang terjadi. Angka penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor kehutanan yang berkisar pada angka 1-3 milyar 3 tidak sebanding jika dibandingkan dengan kerugian negara yang terjadi dalam satu kasus kejahatan kehutanan 4. Tabel 1. Perkiraan Penebangan Ilegal 5
Analis
Tacconi, Obidzinski and Agung (2004) Brown (2002a) NRM-MFP-Bappenas Forest Futures Working Group (2004) Palmer (2000) Scotland (1999) BRIK (2003)* MoF (2004)*
Tahun
Konsumsi Industri m3
Perkiraan Penebangan legal m³
Penebangan Ilegal %
10
Penebangan ilegal m3 (KonsumsiPenebangan legal) 46
2001
56
2000 2004
73 53
17 17
56 38
76 68
1997 1998
108 84
43 52
65 32
60 38
2003 2003
42 42
42 42
0 0
0 0
82
Dalam upaya untuk mencari akar permasalahan, persoalan rusaknya hutan kemudian diasosiasikan dengan berbagai kegiatan ilegal di dalam kawasan hutan atau lazim juga 2
Lihat Potret Keadaan Hutan Indonesia 2000-2009, Forest Watch Indonesia, tahun 2011. Berdasarkan data Statistik Kehutanan 2012. 4 Misalkan dalam kasus korupsi kehutanan dengan terdakwa Martias, kerugian negara yang dicatat mencapai 346 milyar rupiah. (cek http://www.inilah.com/read/detail/17358/rekanan-suwarna-kembalikan-rp3468miliar-kepada-negara ). 5 Lihat Naskah Akademik Pengelolaan dan Pembalakan Liar, 2008. 3
9
disebut dengan istilah “pembalakan liar”. Potret pembalakan liar dalam sebagai salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan dipotret dalam berbagai perspektif. Salah satunya dengan mencermati jalur peredaran kayu ilegal, seperti yang diindikasikan dalam Siaran Pers Kementerian Kehutanan pada tahun 2005. Catatan Kementerian Kehutanan mengungkapkan adanya gap antara laporan ekspor kayu Indonesia dengan catatan yang diterima negara pengimpor hingga lebih dari 1 juta meter kubik 6. Laporan lainnya, termasuk Laporan Telapak/EIA berjudul “The Last Frontier” pada tahun yang sama saling menguatkan, dengan menyebutkan setidaknya 3 ratus ribu meter kubik kayu bulat Merbau keluar dari Papua. Sementara analisis yang lain memotret adanya tautan antara kapasitas industri kehutanan dalam negeri. Hasil analisis tahun 2004 antara NRM-MFP dan Bappenas mencatat bahwa 68% kayu yang dikonsumsi oleh industri kehutanan di Indonesia diindikasikan ilegal. Pemerintah sebenarnya juga tidak tinggal diam.Berbagai operasi penegakan hukum sebenarnya telah dilakukan dan dilaksanakan secara intensif setidaknya sejak tahun 2000. Operasi pada tahun 2004, 2005 berbagai operasi dan Instruksi Presiden kemudian dikeluarkan. Dimulai pada 5 Maret 2005, Operasi Hutan Lestari II dengan anggaran 12 milyar rupiah berhasil menyita 400 ribu meter kubik kayu dengan 186 tersangka. Pada tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Instruksi ini memerintahkan 13 kementerian dan lembaga maupun Pemerintah Daerah untuk terlibat aktif dalam pemberantasan penebangan kayu secara ilegal. Secara khusus pula memberikan instruksi kepada aparat penegak hukum dalam hal ini Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung untuk menindak tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana kejahatan kehutanan. Tabel 2. Operasi Penegakan Hukum Kehutanan 7
No
Tahun
Nama Operasi
1
1985
Tim Koordinasi Pengamanan Hutan (TKPH) dan Tim Khusus Kehutanan
2
1995
Tim Pengamanan Hutan Terpadu
3
2000
Tim Penanganan Penebangan Liar dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal (TP2LPHHI)
4
2001
Wanalaga dan Wanabahari
5
2002
Wanalaga dan Wanabahari (lanjutan)
6
2003
Wanalaga I Kalbar dan Wanalaga II Kaltim
6
Lihat Siaran Pers Departemen Kehutanan, Agustus 2005, “Penyelundupan Kayu dari Indonesia Sangat Memprihatinkan”. Dalam rilis tersebut disebutkan bahw pada tahun 2000 tercatat misalnya ekspor kayu Indonesia mencapai 10.700 meter kubik, sementara angka yang dicatat oleh negara pengimpor jauh hingga mencapai 1,4 juta meter kubik. 7 Sumber ICW, 2012, dikutip dari Kementerian Kehutanan, 2012.
10
7
2004
Wanalaga II Kalbar dan Operasi Hutan Lestari I Kaltim
8
2005
Operasi Hutan Lestari II Kalbar dan Operasi Gabungan Departemen Kehutanan
9
2006-2009
Operasi Hutan Lestari di 7 Provinsi, Operasi Fungsional SPORC, dan Operasi Fungsional/Gabungan
10
2010-2012
Operasi Gabungan Penegakan Hukum (Kemenhut, KemenLH, Polri Kejagung, UKP4), telah dilaksanakan di Provinsi Kalteng, Kalbar, Kaltim, Kalsel, Sultra.
Sayangnya, pendekatan penegakan hukum justru dilakukan secara salah kaprah. Pemerintah lalai melihat tipologi kejahatan pembalakan liar yang sebenarnya merupakan kejahatan yang berhubungan dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Artinya kejahatan tersebut dilakukan oleh pelaku-pelaku yang memang mencari nilai keuntungan yang luar biasa, termasuk jika diharuskan menggunakan metode dan modus yang rumit, melibatkan proses bisnis yang terorganisir dan sistematis. Dalam perhitungan ICW pada kurun waktu tahun 2005-2008 misalnya, terhadap pelaku yang tergolong aktor kelas atas hanya 58 orang (28,92%) yang diproses, itu pun lebih dari 71% diantaranya divonis bebas 8. Akibatnya, ketika penegakan hukum dilakukan terhadap pelaku lapangan, kejahatan itu sendiri tidak berhenti. Melainkan, justru gradasi, modus, dan kekuatannya semakin berkembang mengingat pelaku utama yang sebenarnya diuntungkan dari kegiatan ‘liar’ tersebut justru tidak tersentuh. Dengan kekuatan modal, kekuatan politik, menggerakkan oknum pejabat dan penegak hukum untuk menjadi patron dan dengan mudah kemudian menggantikan pelaku lapangan yang terkena proses hukum. Titik pendekatan ini seolah tidak tersentuh dengan menggunakan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan pengalaman penegakan hukum tersebut, dorongan upaya legislasi menguat. Pemerintah memandang perlu sebuah undangundang yang mengatur tindak pidana khusus kejahatan kehutanan yang dihadirkan dengan melakukan redefinisi kejahatan kehutanan seolah argumentatif – sebagai kejahatan yang tidak hanya terorganisir tetapi juga kejahatan luar biasa. Berbagai landasan rasio legis dan filosofis dibangun, rancangan undang-undang tersebut bermaksud menggunakan kelemahan penegakan hukum mengunakan UU 41/1999 sebagai dasar 9.
8
Donal Fariz et.al., 2012. Pemberantasan Kejahatan Kehutanan Setengah Hati. Laporan Hasil Penelitian Bersama ICW, Kontak Rakyat Borneo, Save Our Borneo, dan Kemitraan. Indonesia Corruption Watch: Jakarta, Indonesia. 9 Ketika dihadirkan dengan judul Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Pembalakan Liar, Naskah Akademik tahun 2008 tersebut setidaknya disebutkan 4 (empat) kelemahan UU 41/1999 tentang Kehutanan. Pertama, bahwa definisi pembalakan liar tidak ditemukan dalam UU 41/1999. Ketika itu, seolah perumus berusaha memahami salah kaprah terhadap siapa sebenarnya pelaku kejahatan kehutanan. Kedua, persoalan koordinasi antara aparat yang berwenang untuk melakukan penegakan hukum. Ketiga, bahwa UU Kehutanan yang ada saat ini lemah dalam menjerat aparat maupun pejabat yang turut serta dalam kegiatan pembalakan liar. Kelemahan berikutnya, keempat, bahwa UU Kehutanan masih belum mengatur mengenai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.
11
Rumitnya lagi, persoalan penegakan hukum kehutanan yang selama ini dilaksanakan tidak hanya salah kaprah dalam sasaran, bahkan lebih jauh akhirnya menjadi ruang-ruang kriminalisasi terhadap masyarakat sekitar hutan yang seharusnya dilindungi hak-haknya menurut UU 41/1999. Dengan nalar ilegalitas yang berbasiskan “izin” dan “dokumen yang sah”, masyarakat sekitar hutan kemudian seolah menjadi target utama terhadap upaya pemutihan dalam kawasan hutan 10. Penentuan kawasan hutan yang otoriter dan tidak pernah selesai hingga saat ini menempatkan bagian besar masyarakat Indonesia justru sudah dalam posisi “ilegal” 11. Penegakan hukum rentan dilaksanakan atas nama “pemberantasan pembalakan liar”. Dengan kenyataan tersebut, berbagai pihak sebenarnya sudah sejak awal mempertanyakan rencana pemerintah untuk mengeluarkan rancangan undang-undang anti pembalakan liar, yang besar kemungkinan memberikan ruang kriminalisasi dan represif yang lebih tinggi kepada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Pemerintah kemudian merespon kekhawatiran tersebut dengan berusaha mendefinisikan ruang lingkup pengaturan undang-undang, dan bahkan mengganti judulnya beberapa kali. Termasuk misalnya, Rancangan Undang-undang Pemberantasan Kejahatan Hasil Hutan (RUU PKHH) menjadi Rancangan Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar, dan terakhir Rancangan Undang-undang Pemberantasan Perusakan Hutan. Dari judulnya, terlihat bahwa penyusun undangundang berusaha mengklasifikasikan tindak pidana tidak hanya soal “liar” yang berbasis legalitas pemerintah, melainkan dilihat dari dimensi perbuatannya yang dapat dianggap sebagai kejahatan. Namun hingga kini, perdebatan antara perlunya undang-undang khusus untuk merespon kejahatan kehutanan yang sudah terjadi secara luar biasa dengan kekhawatiran mengkriminalisasi rakyat justru tidak pernah berakhir. B. SARANA PENAL DAN NON PENAL PEMBERANTASAN PEMBALAKAN LIAR Setiap kebijakan hukum untuk mengatasi suatu kejahatan memang sudah selayaknya tidak hanya bertumpu pada sarana penal. RUU P2H menjawab tantangan kejahatan perusakan hutan dengan membagi upaya melalui pencegahan dan penindakan. Dengan kerangka yang tersebut dirumuskan berbagai instrumen-instrumen pencegahan melalui penyusunan kebijakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan peningkatan peran serta masyarakat. Sementara sarana penal terhadap perusakan hutan, diatur dengan menggunakan setidaknya 52 pasal pidana yang memuat rumusan tindak pidana terhadap berbagai sasaran norma (norm adressat). Mulai dari setiap orang, masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, pejabat pemerintah, aparat penegak hukum, hingga korporasi. 10
Lihat Steni dan Setianto (2007) yang menggunakan kerangka berpikir Nonet dan Selznick tentang bagaimana hukum berlaku secara represif. Secara kritis, mereka justru melihat upaya kriminalisasi membayangi kegiatan penegakan hukum “pembalakan liar”. (lihat Benardinus Steni dan Benediktus Danang Setianto, 2007. Pemberantasan Destructive Logging: Protret Gap Antara Masalah dan Jawaban Hukum, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa): Jakarta, Indonesia). 11 Lihat Yance Arizona et.al, (Majelis Eksaminasi), 2012. Simalakama Kawasan Hutan. Sebuah Eksaminasi Publik oleh Indonesia Corruption Watch, Yayasan Silvagama, Epistema Institute, dan Lembaga Gemawan dengan dukungan Doen Foundation. Indonesia Corruption Watch: Jakarta, Indonesia.
12
Instrumen pencegahan dalam pemberantasan perusakan hutan diatur sejak awal. Dalam Pasal 5-7, Bab III tentang Pencegahan Perusakan Hutan, diatur berbagai upaya yang harus dilakukan pemerintah dalam rangka mencegah perusakan hutan. Pemerintah dalam hal mencegah kerusakan hutan tersebut tidak hanya diharuskan membuat kebijakan, melainkan juga meningkatkan peran serta masyarakat untuk menghilangkan kesempatan perusakan hutan. Dalam Pasal 6, kebijakan untuk mencegah perusakan hutan tersebut sudah diatur secara spesifik terkait setidaknya atas 5 (lima) hal mulai dari koordinasi lintas sektor hingga pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan pemberantasan perusakan hutan. Disebutkan dengan lengkap, dalam Pasal 6 ayat (1): “(1) Dalam rangka pencegahan perusakan hutan, Pemerintah membuat kebijakan berupa a. koordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan; b. pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan; c. insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian hutan; d. peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan; dan e. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.”
Dalam ayat berikutnya, diatur pula mengenai penetapan sumber kayu alternatif untuk memenuhi kebutuhan kayu. Tetapi apabila dilihat, berbagai kebijakan tersebut, hampir semuanya terkait penegakan hukum dalam artian represif semata. Termasuk kebutuhan aparatur pengamanan hutan, sarana pemberantasan, dan persoalan peta penunjukan. Kemudian diatur berbagai rumusan tindak pidana yang dikategorikan dalam satu genus istilah “perusakan hutan”. Ini meliputi berbagai tindak pidana mulai dari perbuatan yang sebenarnya juga diatur dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan terkait penebangan tanpa izin dalam kawasan hutan, hingga pejabat yang dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugasnya, diatur melalui Pasal 11 hingga Pasal 27. Secara umum dapat diklasifikasikan lagi ke dalam tiga spesies perbuatan melawan hukum yaitu pembalakan liar dalam Pasal 11 dan penggunaan kawasan hutan secara ilegal yang terdiri baik itu oleh perkebunan maupun pertambangan dalam Pasal 15. Jika dibandingkan, hampir tidak ada perbedaan antara perbuatan pembalakan liar yang diatur dalam Pasal 11 RUU P2H dengan yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) UU 41/1999. Namun upaya penegakan hukum terlihat dengan merumuskan berbagai kelompok delik lainnya yang berkaitan dan mendukung perbuatan perusakan hutan – misalnya terkait penyalah gunaan dokumen angkut, perizinan, delik yang dilakukan oleh pejabat administratif, penegak hukum, turut serta, dan delik dalam sistem keuangan. Tabel 3. Delik Dalam RUU P2H
No 1 2
Delik Terkait Pembalakan Liar Dalam Kawasan Hutan Penebangan dalam kawasan hutan tidak sesuai perizinan Penebangan dalam kawasan hutan tanpa izin
Pasal Pasal 11 a jo. 82 (1) a Pasal 11 b jo. 82 (1) b
Pidana Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar
13
3
Pasal 11 c jo. 82 (1) c
8
Penebangan dalam kawasan hutan secara tidak sah Pengolahan hasil penebangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Membawa alat untuk menebang dalam kawasan hutan tanpa izin Membawa alat berat patut didugan untuk mengangkut hasil hutan dalam kawasan hutan tanpa izin Memanfaatkan hasil hutan kayu yang merupakna hasil pembalakan liar Mengedarkan hasil pembalakan liar
9
Menyelundupkan hasil pembalakan liar
Pasal 11 i jo. 82 (1) h
10
Menadah hasil pembalakan liar
Pasal 11 j jo. 82 (1) i
11
Pasal 11 k jo. 82 (1) j
14
Menjual hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dalam kawasan hutan Membeli hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dalam kawasan hutan Menadah hasil hutan yang dipungut secara tidak sah Terkait Pemalsuan Dokumen Memalsukan dokumen hasil hutan
15
Menggunakan dokumen hasil hutan yang palsu
Pasal 12 bjo. 89
16
Menyalahgunakan dokumen hasil hutan
Pasal 13jo. 89
Tanpa dokumen
Pasal 14 jo. 82 (1) p
Terkait Penggunaan Kawasan Hutan Secara Tidak Sah: Pertambangan dan Perkebunan Ilegal Dalam Kawasan Hutan Membawa alat untuk penambangan ilegal
Pasal 15 (1) a jo. 83 (1) a
4 5 6 7
12 13
17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Pasal 11 d jo. 82 (1) d Pasal 11 e jo. 82 (1) e Pasal 11 f jo. 84 (1) Pasal 11 g jo. 82 (1) f Pasal 11 h jo. 82 (1) g
Pasal 11 l jo. 82 (1) k Pasal 11 m jo. 82 (1) l
Pasal 12 a jo. 89
Melakukan penambangan dalam kawasan hutan tanpa izin menteri Mengangkut dan menadah hasil tambang dalam kawasan hutan tanpa izin Menjual hasil tambang dalam kawasan hutan tanpa izin Membeli dan mengolah hasil tambang dalam kawasan hutan tanpa izin Membawa alat untuk perkebunan ilegal
Pasal 15 (1) b jo. 83 (1) a
Melakukan perkebunan dalam kawasan hutan tanpa izin menteri Mengangkut dan menadah hasil kebun dalam kawasan hutan tanpa izin Menjual hasil kebun dalam kawasan hutan tanpa izin Membeli dan mengolah hasil kebun dalam
Pasal 15 (2) b jo. 83 (1) a
Pasal 15 (1) c jo. 82 (1) q Pasal 15 (1) d jo. 82 (1) s Pasal 15 (1) e jo. 82 (1) r Pasal 15 (2) a jo. 83 (1) a
Pasal 15 (2) c jo. 82 (1) t Pasal 15 (2) d jo. 82 (1) v Pasal 15 (2) e jo. 82 (1) u
Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 2 > 15 tahun, denda 1 > 7,5 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 1 > 5 tahun, denda 1 >5 milyar Penjara 1 > 5 tahun, denda 1 > 5 milyar Penjara 1 > 5 tahun, denda 1 > 5 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar
Penjara 8 > 20 tahun, denda 20 > 50 milyar Penjara 8 > 20 tahun, denda 20 > 50 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 8 > 20 tahun, denda 20 > 50 milyar Penjara 8 > 20 tahun, denda 20 > 50 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 5 > 15 tahun,
14
28
kawasan hutan tanpa izin Terkait Turut Serta dan Perbantuan Menyuruh dan mengorganisasi pembalakan liar dan atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah Turut serta
29
Melakukan pemufakatan jahat
Pasal 16 c jo. 85 b
30
Terkait Instrumen Keuangan Dalam Tindak Pidana Mendanai
Pasal 16 d jo. 85 c
31
Menggunakan dana hasil tindak pidana
Pasal 16 e jo. 85 d
32
“Mencuci kayu”
Pasal 16 f jo. 85 e
33
Memanfaatkan kayu hasil tindak pidana
Pasal 16 g jo. 85 f
34
Melakukan transaksi keuangan atas uang atau harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana
Pasal 16 h jo. 85 g
35
Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta hasil tindak pidana
Pasal 16 I jo. 85 h
27
36 37 38 39
40 41 42
Terkait Menghalangi Penegakan Hukum Menghalangi upaya pemberantasan tindak pidana Memanfaatkan kayu hasil tindak pidana dari hutan konservasi Menghalangi penegakan hukum terhadap tindak pidana Mengintimidasi terhadap keselamatan petugas Terkait Dokumen Izin Memalsukan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan atau penggunaan kawasan hutan Meggunakan izin palsu
denda 4 > 15 milyar Pasal 16 a jo. 85 a Pasal 16 b jo. 82 (1) m
Pasal 19 jo. 82 (1) n Pasal 20 jo. 82 (1) o Pasal 21 jo. 81 a Pasal 22 jo. 80 a
Pasal 23 a jo. 89 Pasal 23 bjo. 89 Pasal 23 c jo. 89
43
Memindahtangankan atau menjual izin tanpa izin menteri Terkait Perusakan Prasarana Kawasan Hutan Merusak sarana prasarana perlindungan hutan
44
Merusak atau memindahkan pal batas
Pasal 25 jo. 81 b
45
Tidak menjalankan
Pasal 26 jo. 86
Pasal 24 jo. 80 b
Penjara 10 > seumur hidup, denda 20 milyar > 1 trilyun Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 10 > seumur hidup, denda 20 milyar > 1 trilyun
Penjara 10 > seumur hidup, denda 20 milyar > 1 trilyun Penjara 10 > seumur hidup, denda 20 milyar > 1 trilyun Penjara 10 > seumur hidup, denda 20 milyar > 1 trilyun Penjara 10 > seumur hidup, denda 20 milyar > 1 trilyun Penjara 10 > seumur hidup, denda 20 milyar > 1 trilyun Penjara 10 > seumur hidup, denda 20 milyar > 1 trilyun Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 5 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 4 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 3 > 15 tahun, denda 3 > 15 milyar Penjara 1 > 5 tahun, denda 1 > 5 milyar Penjara 1 > 5 tahun, denda 1 > 5 milyar Penjara 1 > 5 tahun, denda 1 > 5 milyar Penjara 3 > 15 tahun, denda 3 > 15 milyar Penjara 4 > 15 tahun, denda 4 > 15 milyar Penjara 6 bulan > 15 tahun, denda 1 > 7,5 milyar
15
46 47
Terkait Pejabat Menerbitkan izin tidak sesuai kewenangan
48
Menerbitkan izin tidak sesuai perundang-undangan Melindungi pelaku tindak pidana
49
Turut serta dalam tindak pidana
Pasal 27 d jo. 87 d
50
Bermufakat jahat
Pasal 27 e jo. 87 e
51
Menerbitkan surat tanpa hak
Pasal 27 f jo. 87 f
52
Dengan sengaja melakukan pembiaran
Pasal 27 g jo. 87 g
1.a. 2.a. 3.a. 6.a.
11.a. 12.a. 13.a. 17.a. 18.a. 23.a. 24.a. 25.a. 26.a.
ketentuan
Pasal 27 a jo. 87 a
Terkait Pidana yang Dilakukan oleh Masyarakat dalam dan sekitar Kawasan Hutan Penebangan dalam kawasan hutan tidak sesuai perizinan dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan Penebangan dalam kawasan hutan tanpa izin dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan
Pasal 27 b jo. 87 b Pasal 27 c jo. 87 c
Pasal 11 a jo. Pasal 82 (2) Pasal 11 b jo. Pasal 82 (2)
Penebangan dalam kawasan hutan secara tidak sah dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan Membawa alat berat patut didugan untuk mengangkut hasil hutan dalam kawasan hutan tanpa izin dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan Menjual hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dalam kawasan hutan dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan Membeli hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dalam kawasan hutan dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan Menadah hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan Membawa alat untuk penambangan ilegal dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan
Pasal 11 c jo. Pasal 82 (2)
Melakukan penambangan dalam kawasan hutan tanpa izin menteri dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan Melakukan perkebunan dalam kawasan hutan tanpa izin menteri dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan Mengangkut dan menadah hasil kebun dalam kawasan hutan tanpa izin dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan Menjual hasil kebun dalam kawasan hutan tanpa izin dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan Membeli dan mengolah hasil kebun dalam
Pasal 15 (1) b jo. 83 (2)
Pasal 11 f jo. 84 (2)
Pasal 11 k jo. Pasal 82 (2) Pasal 11 l jo. Pasal 82 (2) Pasal 11 m jo. Pasal 82 (2) Pasal 15 (1) a jo. 83 (2)
Pasal 15 (2) b jo. 83 (2) Pasal 15 (2) c jo. Pasal 82 (2) Pasal 15 (2) d jo. Pasal 82 (2) Pasal 15 (2) e jo. Pasal
Penjara 1 > 10 tahun, denda 1 > 10 milyar Penjara 1 > 10 tahun, denda 1 > 10 milyar Penjara 1 > 10 tahun, denda 1 > 10 milyar Penjara 1 > 10 tahun, denda 1 > 10 milyar Penjara 1 > 10 tahun, denda 1 > 10 milyar Penjara 1 > 10 tahun, denda 1 > 10 milyar Penjara 1 > 10 tahun, denda 1 > 10 milyar
Penjara 3 bulan tahun, denda 5 ribu > 5 milyar Penjara 3 bulan tahun, denda 5 ribu > 5 milyar Penjara 3 bulan tahun, denda 5 ribu > 5 milyar Penjara 3 bulan tahun, denda 5 ribu > 5 milyar
> 10 ratus
Penjara 3 bulan tahun, denda 5 ribu > 5 milyar Penjara 3 bulan tahun, denda 5 ribu > 5 milyar Penjara 3 bulan tahun, denda 5 ribu > 5 milyar Penjara 3 bulan tahun, denda 5 ribu > 5 milyar Penjara 3 bulan tahun, denda 5 ribu > 5 milyar Penjara 3 bulan tahun, denda 5 ribu > 5 milyar Penjara 3 bulan tahun, denda 5 ribu > 5 milyar Penjara 3 bulan tahun, denda 5 ribu > 5 milyar Penjara 3 bulan
> 10 ratus
> 10 ratus > 10 ratus > 10 ratus
> 10 ratus > 10 ratus > 10 ratus > 10 ratus > 10 ratus > 10 ratus > 10 ratus > 10
16
kawasan hutan tanpa izin dilakukan orang di sekitar dan dalam kawasan
82 (2)
tahun, denda 5 ratus ribu > 5 milyar
Delik-delik pelengkap lainnya berusaha menutupi berbagai kelemahan UU 41/1999 yang sebelumnya dianggap melemahkan penegakan hukum. Pemalsuan dokumen oleh pejabat yang selama ini menjadi modus, maupun penggunaan sistem keuangan untuk mencuci harta hasil tindak pidana kejahatan kehutanan melalui RUU P2H berusaha dikriminalisasi. Upaya untuk menjerat aktor kelas kakap pun dilakukan dengan menjerat secara khusus subyek hukum yang dengan sengaja mendanai dan mengorganisir kegiatan perusakan hutan. Muatan pidana yang dimaksud sebenarnya sudah ada dalam berbagai aturan pidana lainnya seperti dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menjadikan kejahatan kehutanan sebagai kejahatan asal (predicate offense). Satu hal yang membedakan dari berbagai regulasi yang ada sebelumnya adalah bahwa RUU P2H ini menguatkan basis hukum terhadap korporasi sebagai pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Bahkan termasuk dengan sanksi mematikan badan hukumnya (legal persoon). Dengan muatan yang demikian, RUU P2H sebagai upaya pemberantasan pembalakan liar dalam arti represif seharusnya disusun secara komprehensif. Dalam kerangka yang baru tersebut, seluruh kegiatan ilegal dapat dipidana dengan kontsruksi yang lebih lengkap dalam satu sistematika aturan – untuk menghindari argumentasi lex systematische. Melihat dari materi sanksinya, kualifikasi delik juga dibedakan. Misalnya delik pembalakan liar dibedakan dengan sanksi minimum 5 tahun dengan pendana kegiatan perusakan hutan yang ancaman penjara minimumnya 10 tahun. Begitupun dengan delik penggunaan kawasan hutan secara ilegal untuk kepentingan perkebunan dan pertambangan dibedakan lagi yang diancam dengan pidana penjara minimum 8 tahun. Selain dengan melihat kategori perbuatannya, pembedaan sanksi juga dilihat dengan subyek hukumnya, khususnya terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan maka pidana tidak boleh lebih dari 10 tahun dan minimum 3 bulan penjara. Artinya dalam beberapa hal memang pemberatan penghukuman dilakukan meskipun masih terlalu umum sehingga tidak terlihat gradasi moral gravity of the crime-nya. Contohnya jika harus dibandingkan, apakah ada bedanya antara penambangan ilegal seluas 1 hektar dengan perkebunan hingga 10 ribu hektar. C. PENGUATAN PENEGAKAN HUKUM MELALUI LEMBAGA KHUSUS Salah satu instrumen rezim hukum lain yang diperkenalkan dalam RUU P2H ini adalah adanya kelembagaan khusus yang melakukan pemberantasan perusakan hutan. Meskipun tidak disebutkan sebelumnya dalam definisi, Pasal 53 hingga Pasal 56 RUU P2H secara spesifik mendorong terbentuknya Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam melaksanakan fungsinya memberantas perusakan hutan tersebut, LP2H sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) memiliki tugas yang cukup komprehensif, yaitu antara lain: a. melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perusakan hutan; 17
b. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara perusakan hutan; c. melaksanakan kampanye antiperusakan hutan; d. membangun dan mengembangkan sistem informasi pemberantasan perusakan hutan yang terintegrasi; e. memberdayakan masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan; f. melakukan kerjasama dan koordinasi antarlembaga penegak hukum dalam pemberantasan perusakan hutan; g. mengumumkan hasil pelaksanaan tugas dan kewenangannya secara berkala kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan h. memberi izin penggunaan terhadap barang bukti kayu temuan hasil operasi pemberantasan perusakan hutan yang berasal dari luar kawasan hutan konservasi untuk kepentingan sosial. Namun, jika diperhatikan secara lebih detil, tidak jelas bagaimana peran LP2H ini dalam konteks pencegahan perusakan hutan. Mengingat tidak banyak tugas yang berkaitan dengan pencegahan, yaitu kampanye, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan sistem informasi pemberantasan perusakan hutan yang terintegrasi. Padahal, apabila dilihat dari strukturnya kelembagaannya, LP2H akan dipimpin oleh seorang Kepala, kemudian di bantu Sekretaris dan 4 (empat) orang deputi diantaranya Deputi Pencegahan termasuk di dalamnya. Sementara deputi lainnya, sangat mirip dengan apa yang dibangun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, termasuk Deputi Bidang Penindakan, Deputi Bidang Hukum dan Kerjasama, dan Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
18
BAGIAN KETIGA
ANALISIS SUBSTANSI RUU PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN A. POLITIK HUKUM PEMBAHASAN RUU P2H Perusakan hutan adalah suatu gejala menurunnya kualitas hutan karena berbagai sebab. Selama berbagai sebab tersebut masih ada, maka proses perusakan hutan akan berjalan terus. Sehingga tidak mungkin memberantas perusakan hutan tanpa menghilangkan penyebabnya. RUU Perusakan Hutan ini hanyalah “pain killer” yang tidak mengobati penyakit sesungguhnya. Adapun berbagai penyebab timbulnya dorongan untuk melakukan perusakan hutan itu sebagian besar diantaranya diciptakan oleh pemerintah sendiri. Sebagaimana disadari oleh RUU P2H di dalam konsiderannya bahwa terjadinya perusakan hutan disebabkan oleh pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih jauh sebenarnya perusakan hutan itu juga terjadi karena peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah tidak harmonis satu sama lain, sehingga terjadi tumpang tindih dan memberikan celah-celah ketidakpatuhan dari hukum yang tidak pasti. Maka semestinya salah satu obat untuk menyelesaikan persoalan perusakan hutan adalah dengan melakukan pengkajian ulang untuk menciptakan harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan sumber daya alam lainnya. Menghindari itu, DPR dan pemerintah malah menyiapkan RUU tentang Pemberantasan Perusakan Hutan yang tidak menyelesaikan akar persoalan perusakan hutan. RUU ini pun hadir bukan sebagai koreksi terhadap tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang menjadi faktor perusakan hutan, melainkan menambah satu masalah baru dalam upaya untuk memperbaiki kualitas hutan atau sumber daya alam secara umum. Terlebih lagi, RUU ini hadir dalam wajahnya yang seram dengan niat memenjarakan orang. Dasar untuk melahirkan represi yang sah melalui RUU ini dirumuskan dengan mengkategorikan suatu perbuatan perusakan hutan itu atas dasar ada atau tidaknya izin, legal atau ilegalnya suatu tindakan seseorang atau badan hukum. Akibatnya, RUU P2H kemudian mengkonstruksikan persoalan kerusakan hutan itu sebagai persoalan legal atau ilegal, bukan pada dampak bahwa hutan itu telah benar-benar rusak. Sehingga yang menjadi tolak ukur dalam penerapannya adalah apakah suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang itu memiliki izin atau tidak. Hal ini sangat simplikatif sebab kemudian mengandaikan bahwa bila seseorang memiliki izin maka ia tidak merusak hutan, sebaliknya kalau tidak memiliki izin maka ia telah merusak hutan. Kalau hendak konsisten melindungi hutan dari kerusakan, maka semestinya yang menjadi tolak ukur perusakan hutan bukanlah ada atau tidaknya izin, melainkan suatu ukuran yang dapat diterima tentang dampak kerusakan hutan yang 19
terjadi. Dengan demikian, seseorang atau badan hukum yang menerima izin pun dapat menjadi pelaku perusakan hutan. Adapun fakta yang ada, realitas pembalakan liar yang terorganisir itu sebenarnya hanya ada di hutan alam (hutan produksi, hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan tanaman Perhutani. Sesungguhnya tidak ada pembalakan liar di hutan tanaman di luar Pulau Jawa atau hutan hak. Penyebab utama dari pembalakan liar tersebut adalah: belum selesainya penetapan kawasan hutan, absennya pengelola hutan di tingkat tapak, rendahnya kapabilitas pengelola hutan di tingkat tapak, keputusan yang salah yang dilakukan oleh menajemen perusahaan, over investment, dan korupsi. Kementerian Kehutanan sendiri, sebenarnya juga memberi ruang yang cukup besar bagi terjadi perusakan hutan. Di dalam UU 41/1999 disebutkan ada empat jenis pungutan di kehutanan, yakni iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja (Pasal 35). Iuran izin usaha dapat digunakan sebagai instrumen pengendalian luas hutan yang diakuisisi. Semakin tinggi izin usaha per hektar semakin kecil areal yang akan diakuisisi. Provisi, Dana Reboisasi, dan Dana Jaminan Kinerja dapat dijadikan sebagai instrumen pengendalian tingkat eksploitasi. Semakin rendah provisi, Dana Reboisasi, dan Dana Jaminan Kinerja, semakin tinggi tingkat eksploitasi hutan yang akan dilakukan. Apa yang terjadi? Berbagai studi menunjukkan bahwa tarif iuran izin usaha, provisi, dan Dana Reboisasi adalah terlalu rendah. Sementara itu, Dana Jaminan Kinerja malah tidak dipungut sama sekali. Jadi, sebenarnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, sengaja memberi ruang yang sangat besar bagi terjadinya perusakan hutan. Berbagai salah kaprah dalam pengurusan hutan dan paradigma yang keliru itulah yang menjadikan RUU P2H menjadi tidak diperlukan, sebab potensinya untuk menghadirkan repsesi kepada masyarakat lebih tinggi dari pada upaya untuk melindungi hak-hak masyarakat dan sumber daya hutan. B. RUU P2H BUKAN KEBUTUHAN MENDESAK Para penyusun RUU P2H telah keliru mendiagnosis faktor utama perusakan hutan. Faktor utama perusakan hutan bukanlah karena pihak luar masuk, memanfaatkan atau mencuri kayu-kayu di hutan, melainkan karena ketidakmampuan instansi kehutanan memperoleh dasar hukum yang pasti atas penguasaan kawasan hutan negara yang dikuasainya. Ditambah lagi dengan ketidakmampuan pengelolaan hutan oleh instansi kehutanan maupun oleh perusahaan-perusahaan yang diberi izin untuk menghadirkan pemanfaatan sumber daya hutan memenuhi amanat konstitusi bahwa segala sumber daya alam, termasuk hutan harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat itu, maka semestinya yang menjadi jawaban perusakan hutan adalah dengan memastikan dasar hukum penguasaan hutan oleh instansi pemerintah. Dasar hukum yang pasti dimaksud adalah pengukuhan kawasan hutan serta menentukan mana saja yang menjadi hutan negara, hutan hak dan hutan adat. Faktanya, sampai tahun 2012 saja, Kemenhut baru sanggup melakukan pengukuhan kawasan untuk 16% dari 129.023.378,15 Ha yang diklaim sebagai kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan itu perlu pula 20
dibarengi dengan memastikan hak-hak masyarakat yang selama ini telah tinggal dan menggantungkan kehidupannya dari sumber daya hutan. Hak-hak masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan itu mesti pula mendapat perlindungan hukum. RUU P2H juga tidak mendesak bila melihat statistik kehutanan tentang trend tindak pidana di bidang kehutanan. Berdasarkan Statistik Kehutanan 2012, nampak penurunan drastis tindak pidana di bidang kehutanan. Penurunan itu dapat dilihat dari 685 kasus pada tahun 2007, turun menjadi 366 kasus pada 2008, 321 kasus pada 2009, 182 pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 hanya 162 kasus. Statistik ini sebenarnya menunjukan perusakan hutan yang terjadi karena tindak pidana kehutanan drastis berkurang. Bila tindak pidana kehutanan semakin berkurang, untuk apa RUU P2H dibuat?
Persoalan mendesak yang perlu dilakukan sebelum secara sembrono melahirkan RUU P2H adalah memperbaiki tata kelola/administrasi kehutanan. Mengapa ini penting? Sebab, tanpa tata kelola/administrasi kehutanan yang baik, RUU P2H hanya akan hadir dalam wajah represif yang tajam ke bawah. Hal ini mengingat rumusan delik dalam RUU P2H merupakan tindak pidana administrasi. Artinya ia baru menjadi kejahatan bila ada pelanggaran terhadap hukum administrasi, dalam hal ini adalah izin. Tindak pidana administrasi itu akan efektif bila hukum administrasinya beres terlebih dahulu. Kalau hukum administrasinya kacau, maka tindak pidana yang dikenakan terhadap perbuatan yang melanggar tindak pidana administrasi itu akan menjadi kelaliman. Hal ini dapat mendera masyarakat yang keberadaannya di dalam dan sekitar kawasan hutan yang tidak didasarkan atas izin dari Menteri Kehutanan. Keberadaan mereka menjadi sangat rentan, meskipun mereka telah hidup di sana selama puluhan tahun. Hanya karena tidak 21
ada izin, termasuk untuk mengambil kayu demi kebutuhan sehari-hari, mereka dianggap sebagai penjahat oleh RUU P2H. C. RUU P2H MENAMBAH TUMPANG TINDIH PERATURAN DI BIDANG SUMBER DAYA ALAM RUU P2H menambah keruwetan peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam. Substansi RUU P2H saling tumpang tindih dan tidak harmonis dengan peraturan perundang-undangan lain. Misalkan RUU ini melarang adanya perkebunan di dalam kawasan hutan bila tidak memiliki izin dari Menteri Kehutanan. Perkebunan yang terdapat di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri akan dijerat dengan pidana. Ketentuan ini tidak memahami bahwa sebenarnya perkebunan itu, seperti perkebunan sawit, sudah dilarang keberadaannya di dalam kawasan hutan. Tidak begitu peduli apakah ada izin menteri atau tidak untuk perkebunan itu. Formulasi kejahatan di dalam RUU ini yang menyebutkan larangan perkebunan tanpa izin di dalam kawasan hutan seakan membenarkan bahwa perkebunan itu boleh ada di dalam kawasan hutan asalkan ada izin menteri. Apalagi, kalau dikaitkan dengan izin perkebunan dan pertambangan itu tidak diberikan oleh Menteri Kehutanan, melainkan oleh instansi terkait pada masingmasing jenis usaha tersebut. Selama ini pemerintah belum melakukan pengkajian atau tata ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam termasuk kehutanan. Padahal beberapa peraturan tersebut saling tumpang tindih dalam mengatur hal-hal yang sama, termasuk kehutanan. Seharusnya harmonisasi peraturan perundang-undangan dan sinkronisasi ini adalah kegiatan yang dilakukan pertama kali, sebelum membuat perundang-undangan baru di bidang sumber daya alam sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Salah satu konsideran dalam RUU P2H hanya menyebutkan bahwa peraturan perundangundangan yang ada sampai saat ini tidak memadai dan belum mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi. Landasan yuridis yang diargumentasikan dalam RUU P2H tersebut tidak sepenuhnya benar sebab bila melihat peraturan perundang-undangan yang tersedia sudah lebih dari memadai untuk menjerat para perusak hutan. UU Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Tindak Pidana Korupsi dan bahkan peraturan pelaksana UU Kehutanan yang diproduksi oleh pemerintah bukan main banyaknya telah tersedia untuk menjerat para pelaku perusakan hutan. Bahkan untuk pelaku perusakan hutan yang terorganisir (Steni, 2007). D. KETIDAKPAHAMAN PEMBENTUK RUU TERHADAP LEGAL DRAFTING Dipahami bahwa RUU ini hendak mengatur tindak pidana yang berkaitan dengan pembalakan liar, penambangan liar, dan perkebunan liar. Seharusnya sistematika awal bagi penyusunan tindak pidana tersebut berdasarkan tiga kelompok ini. Baru kemudian dalam tiap kelompok disusun lagi secara sistematis berdasarkan bentuk atau jenis perbuatan. Misalnya satu bab khusus tentang tindak pidana yang berkaitan dengan 22
pembalakan liar. Dimulai dari pasal-pasal yang mengatur perbuatan yang termasuk ke dalam pembalakan liar (penebangan, pengangkutan, pemanfaatan, dst) hingga kepada perbuatan lain, yang berkenaan dengan pembalakan liar (pemalsuan surat izin pemanfaatan dan pemalsuan surat keterangan sahnya hasil hutan dan lain-lain). Baru kemudian bab berikutnya tentang perbuatan yang termasuk penambangan liar dengan sistematika yang sama, dan seterusnya. RUU ini tidak disusun dengan sistematika demikian, sehingga pengaturan tindak pidana di antara ketiga jenis tadi tidak memperlihatkan urutan yang baik. RUU P2H juga tidak jelas jenis dan sistematikanya. Sekilas RUU ini hendak menjadi undang-undang tentang tindak pidana, tetapi sistematikanya tidak dimulai dengan penguraian tindak pidana pada bagian awalnya dan kemudian dilakukan pengelompokan-pengelompokan pengaturan berdasarkan tindak pidana yang hendak diatur. Sistematika dari jenis undang-undang tentang tindak pidana dapat dilihat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. RUU ini hendak menjadi undangundang administrasi yang salah satu isinya mengatur tentang tindak pidana. Tetapi bila dilihat isinya sebenarnya RUU ini bukan diniatkan mengatur bagaimana menanggulangi perusakan hutan, melainkan untuk memenjarakan pihak yang melakukan penebangan pohon dan penggunaan kawasan hutan tanpa izin menteri. E. RUU P2H MENGACAUKAN SISTEM HUKUM PIDANA RUU P2H tidak memahami dengan baik peraturan-peraturan tentang pemidanaan yang berlaku. Sehingga isinya selain bertentangan dengan peraturan yang ada, juga tidak jelas maksud dari sejumlah pengaturan yang dibuat berbeda dari peraturan pemidanaan yang berlaku umum. Misalkan di dalam Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan bahwa penyidik melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana perusakan hutan berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam. Jangka waktu ini dapat pula diperpanjang 3 x 24 jam menurut ayat (2) nya. Pertanyaannya apa justifikasi untuk masa penangkapan dan perpanjangan penangkapan yang berbeda dengan ketentuan KUHAP ini? Jangan sampai kita membuat aturan „asal beda“ tanpa suatu pembenaran yang masuk akal, apalagi terhadap kewenangan yang jelas-jelas akan merampas atau mengurangi hak asasi orang. Kemudian Pasal 29 di dalam RUU P2H menentukan bahwa: “Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, PPNS diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”. Namun tidak disebutkan dengan jelas siapa yang dimaksud dengan PPNS di dalam ketentuan tersebut, karena pada banyak instansi pemerintah selain instansi kehutanan juga memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Kekeliruan ditambah lagi dengan mengatur bahwa wewenang khusus PPNS sebagai penyidik dengan merujuk kepada KUHAP. Padahal ketentuan KUHAP tentang Penyidik Polri dan Penyidik PNS mengatur bahwa Penyidik PNS memiliki kewenangan menyidik menurut undang-undang tertentu. Berkaitan dengan kewenangan PPNS juga perlu mendapatkan sorotan tajam. Pasal 30 butir f mengatur bahwa salah satu Kewenangan PPNS adalah “untuk melakukan 23
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan”. Pemberian kewenangan ini kepada PPNS merupakan kewenangan besar, yang harus dipertimbangkan dengan hatihati. Persoalannya adalah jangan sampai terlalu banyak orang yang memiliki kewenangan untuk merampas/mengurangi hak asasi orang lain, meskipun itu demi kepentingan suatu proses hukum. Apalagi kewenangan tersebut (penggeledahan dan penyitaan) dalam RUU ini, tidak perlu mendapatkan izin dari Ketua PN sebagaimana diatur dalam KUHAP. Dalam praktik Penyidik Polri pun seringkali menggunakan kewenangan melakukan upaya paksa ini tanpa pertimbangan yang memadai, kecuali semata-mata karena undangundang memberi kewenangan kepada mereka. Kemudian Pasal 30 butir h RUU P2H mengatur kewenangan Penyidik PNS untuk menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat bukti-bukti tentang adanya “tindakan pembalakan liar”. Mengapa hanya dikhususkan untuk tindakan pembalakan liar saja? Bukankah tindak pidana yang diatur dalam RUU P2H adalah perusakan hutan, yang juga meliputi penambangan dan perkebunan ilegal? Pada pasal lain juga terlihat bahwa sepertinya yang menjadi perhatian pembuat RUU hanya pembalakan liar, bukan perusakan hutan. Selain itu, juga memberikan perlakuan yang berbeda bahwa terhadap penambangan dan perkebunan ilegal tidak dapat dihentikan penyidikannya. Masalah yang tidak kalah pentingnya terkait dengan proses penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 butir b RUU P2H: “dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum wajib melakukan penyidikan paling lama 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari”. Ketentuan seperti inilah yang oleh Barda Nawawi tadi dikatakan menggerus sistem yang sudah dibentuk pada Hukum Pidana Umum. Pengaturan ini jelas merusak difrensiasi fungsional yang sudah diatur oleh KUHAP, agar terdapat pengaturan dan pemisahan fungsi dan kewenangan yang jelas di antara semua subsistem yang terkait dalam Sistem Peradilan Pidana. F. TIDAK SINKRON ANTARA SATU KETENTUAN DENGAN KETENTUAN LAIN DI DALAM RUU P2H Ketentuan di dalam RUU P2H pun masih terdapat yang tidak sinkron satu sama lain. Misalkan dalam Pasal 11 huruf b dan huruf c RUU P2H disebut bahwa: 1. Setiap orang dilarang: 2. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; 3. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah. Ketentuan Pasal 11 butir b merumuskan tindak pidana yaitu larangan melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan, tidak sesuai dengan izin atau tidak memiliki izin. Butir c pasal yang sama mengatur larangan melakukan penebangan pohon di kawasan hutan secara tidak sah. Pertanyaannya bukankah tindak pidana dalam rumusan butir b itu, juga berarti melakukan perbuatan penebangan pohon secara tidak sah? Atau pembuat UU hendak mengatakan bahwa penebangan pohon tanpa izin atau tidak sesuai dengan izin itu adalah penebangan pohon secara sah? 24
Kontradiksi internal yang sama juga dapat diamati dalam memaknai kawasan hutan. Definisi kawasan hutan disebutkan dalam RUU P2H sebagai wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dengan demikian, maka ukuran bahwa suatu kawasan menjadi kawasan hutan adalah adanya penetapan oleh pemerintah sebagai tanda selesainya pengukuhan kawasan hutan sehingga diperoleh kawasan hutan yang memiliki kepastian hukum. Tetapi definisi itu disimpangi oleh Pasal 6 ayat (1) huruf d RUU P2H yang menyebutkan bahwa peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan. Hal itu menunjukan terjadi penyelewengan dan kontradiksi di dalam RUU P2H. Selain itu, kalimat-kalimat seperti: “membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang”; “membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang”; sebagaimana tercantum dalam pasal 11 huruf f dan g, adalah tindakan lazim (biasa, umum. Tetapi dalam RUU ini, tindakan lazim tersebut justru diberlakukan sebaliknya (dipidana). Penjelasan yang membingungkan mengenai hal ini ditemukan dalam penjelasan pasal 11 huruf f yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan “alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon”, tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah alat seperti parang, mandau, golok atau alat sejenis lainnya yang dibawa oleh masyarakat setempat sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.” Pembuat RUU tidak dapat mengidentifikasi dengan jelas mengenai alat-alat yang lazim digunakan oleh masyarakat untuk memotong, menebang, atau membelah pohon dan apakah hal itu tergolong perbuatan pidana. Selain itu, ketidaksinkronan dengan peraturan lain, berkaitan definisi izin pemanfaatan hasil hutan kayu, terjadi di pasal 1 butir 11 yang berbunyi: Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu adalah izin usaha yang diberikan oleh Menteri untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan, atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran. Kenyataannya, tidak semua pemanfaatan hasil hutan kayu diperoleh melalui izin Menteri. Dalam wilayah tertentu di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), pemanfaatan kayu dilakukan oleh KPH sendiri, demikian pula penebangan hasil hutan kayu yang dilakukan sendiri oleh Perhutani di kawasan hutan Jawa. G. KETIDAKJELASAN DEFINISI MENGENAI BEBERAPA ISTILAH DALAM RUU INI DAN PENGATURAN PASAL-PASALNYA Dalam RUU ini, terdapat beberapa istilah yang tidak jelas, multi tafsir, atau masih memerlukan penjelasan, misalnya mengenai definisi “terorganisasi”, “perladangan tradisional”, dan penjelasan pengertian mengenai masyarakat hukum adat yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. 25
Definisi “terorganisasi” dalam RUU P2H adalah: “kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional.” Definisi ini tergolong multi tafsir, karena pada kenyataannya, banyak masyarakat yang tinggal di sekitar hutan masuk ke hutan untuk mengambil sumber daya hutan, secara berkelompok, lebih dari 2 orang. Dengan definisi tersebut, mereka rentan terkena pemberlakuan pasal tersebut. Apalagi, kayu yang menjadi obyek RUU ini disebutkan berdiameter 10 cm, sama dengan kayu-kayu kecil atau ranting yang biasa diambil masyarakat di sekitar hutan. Demikian juga dengan tidak dijelaskannya definisi mengenai perladangan tradisional. Demikian juga pasal 14 yang berbunyi: “Setiap orang yang melakukan pengangkutan kayu hasil hutan wajib memiliki dokumen yang merupakan S Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal ini tidak dikuti dengan operasionalisasi tentang kualifikasi dan perintah kepada aktor yang berkewajiban memfasilitasi pengurusan dokumen SKSHH tersebut. Sedangkan pasal 16 menimbulkan pertanyaan yang patut diklarifikasi, apakah penyusun RUU P2H hendak memperluas aktor dan tindakan, terutama konsekuensi adanya perusakan hutan secara tidak langsung atau yang terkait sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (2). Selanjutnya, barang bukti yang dapat digunakan dalam pasal 37, salah satunya adalah peta. Tetapi tidak dijelaskan peta apa dan siapa yang dimaksudkan. H. IRASIONALITAS SANKSI DALAM RUU P2H Hampir semua ketentuan pidana yang berlaku, tidak dapat memberikan penjelasan tentang rasionalisasi atau pertimbangan tentang jenis (strafsoort) dan berat ringannya pidana (strafmaat) yang diancamkan. Meski demikian dalam beberapa UU (hukum pidana khusus) dapat dilihat model pengancaman yang masuk akal. Misalnya pemberatan pidana dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi atau dilakukan secara terorganisasi sebagaimana dipakai oleh UU Narkotika. Dalam UU ini sama sekali tidak terlihat rasionalisasi tersebut. Hampir semua tindak pidana yang dirumuskan, diancam dengan pidana yang sama berat. Misalnya ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 81 terhadap tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 21 (mengintimidasi, menghalangi penyidikan dst) dan Pasal 25 (merusak batas pal hutan dst), diancam dengan pidana yang sama dengan tindak pidana dalam Pasal 11 – 15 (Pasal 82). Padahal perbuatan dalam Pasal 21 adalah tindak pidana lain yang terkait dengan tindak pidana
26
perusakan hutan 12, sementara tindak pidana dalam Pasal 11 dst adalah tindak pidana utama yang diatur dalam RUU ini. Hal yang perlu diperhatikan adalah ancaman pidana dalam pasal ini bersifat kumulasi, artinya jika terbukti, maka hakim harus menjatuhkan pidana penjara dan denda sekaligus. Masalahnya adalah batasan ancaman pidana denda minimal yang mencapai angka 4 milyar rupiah, yang menurut penulis akan menimbulkan persoalan di dalam prakteknya. Jika pelaku adalah pengusaha atau korporasi, ancaman pidana tersebut impas dengan perbuatannya yang menimbulkan kerusakan hutan, dan kekayaan yang sudah diperolehnya dari perbuatan perusakan hutan tersebut. Tapi jika pelaku adalah sopir pengangkut, atau masyarakat yang mengambil kayu untuk keperluan sehari-hari atau membangun rumah, maka sanksi demikian tidak mungkin dapat dieksekusi. Jika demikian tujuan pemidanaan (termasuk juga pengancaman di dalam UU) tidak akan tercapai. I. RUU P2H BERTENTANGAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RUU P2H bertentang dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No 45/PUU-IX/2011 yang telah mengubah definisi kawasan hutan pada Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan sebelumnya menyebutkan definisi kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Putusan Mahkamah Konstitusi mengubah definisi itu menjadi: “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” Sekilas RUU P2H telah menyebutkan definisi kawasan hutan yang sama dengan koreksi yang telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 2 RUU P2H menyebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Namun kalau melihat secara sistematik dengan mengkaitkan dengan ketentuan lain, maka ada kontradiksi yang menunjukkan bahwa definisi kawasan hutan yang diperluas seperti terdapat di dalam Pasal 1 angka 3 RUU P2H. Pasal tersebut mendefinisikan bahwa perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah. Definisi dalam Pasal 1 angka 3 RUU P2H memperluas lagi definisi kawasan hutan yaitu bukan saja kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan hutan, tetapi juga yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang dalam proses penetapan. Hal ini bukan saja sekedar terdapatnya kontradiksi internal (contradictio in terminis), tetapi lebih mendasar dari itu adalah sebuah “pembangkangan” terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
12
Pasal-pasal tentang perbuatan ini selalu ada dalam Hukum Pidana Khusus, yang dikenal dengan tindak pidana obstruction of justice.
27
Belum lagi kalau dikaitkan dengan Pasal 6 ayat (1) huruf d RUU P2H yang menyebutkan bahwa peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan. Ketentuan ini kemudian melakukan penyelundupan hukum yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang definisi kawasan hutan. Definisi baru tentang kawasan hutan yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi, dalam RUU P2H disimpangi berkali-kali. J. PENGGUNAAN DISKRESI TANPA ALASAN YANG KETAT Beberapa pasal dalam RUU ini memberlakukan diskresi tanpa alasan yang ketat. Misalnya pasal 11 huruf f dan g yang berbunyi: (f) membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; dan (g) membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; Kedua pasal di atas mencantumkan kata “pejabat yang berwenang” untuk suatu tindakan atau perbuatan. Penyerahan kewenangan kepada pejabat yang berwenang tersebut tergolong diskresi tanpa koridor yang ketat sehingga akan mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Hal serupa juga ditemukan di pasal 26 yang berbunyi: Setiap pejabat yang mengetahui terjadinya perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 17 wajib melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya. K. PEMBENTUKAN LEMBAGA BARU YANG TIDAK PERLU Pembentukan lembaga baru dalam RUU ini sungguh memperlihatkan pemikiran penyusun RUU yang tidak memahami permasalahan penegakan hukum pidana. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum pidana, mulai dari substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Permasalahan penegakan hukum pidana tidak dapat diselesaikan hanya dengan membuat sebuah lembaga baru, yang diberi kewenangan sama dengan lembaga yang sudah ada. Hal ini justru akan menimbulkan permasalahan baru, yakni tumpang tindih kewenangan di antara berbagai lembaga yang ada. Kembalikan saja penegakan hukum pidana dalam bidang ini kepada sistem yang ada. Kelemahan penegakan hukum tidak harus dijawab dengan pembentukan lembaga baru yang belum tentu akan efektif, melainkan dibutuhkan perubahan sikap dan mental dari para aparat penegak hukum di bidang kehutanan yang sudah ada untuk benar-benar serius melakukan penegakan hukum menjerat para aktor intelektual yang melakukan perusakan hutan, bukan dengan melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menggantungkan hidupnya atas sumber daya hutan. Kalau persoalannya ada pada aparat penegak hukum kehutanan, dan aparatus itu juga yang akan ada di dalam lembaga baru yang akan dibentuk, maka tidak akan ada perbaikan yang mendasar dalam hal ini. Mana mungkin dapat membersihkan persoalan dengan sapu yang kotor, bahkan ketika sapu itu telah diganti mereknya. Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa kejahatan kehutana itu melibatkan aparat di instansi kehutanan, kepolisian, militer, bahkan politisi. 28
L. PROBLEM KAPASITAS PERANCANG DAN PEMBAHAS RUU P2H Paling tidak ada 4 (empat) persoalan lain yang dapat diindentifikasikan dalam proses perancangan dan pembahasan RUU P2H. 1. Permasalahan yang ingin disasar oleh RUU P2H tidak jelas. Pilihan solusi yang diformulasikan melalui sejumlah ketentuan cenderung tidak saling melengkapi dan mendukung, bahkan sebaliknya. Ini terkonfirmasi melalui temuan tentang tumpang tindih kewenangan (terkait pembentukan lembaga baru dan aspek penegakan hukum), definisi dan ruang lingkup kawasan hutan atau berbagai izin yang diberlakukan hingga struktur sanksi yang tidak rasional. Umumnya, kehadiran (inisiatif) suatu undang-undang baru berdasar pada kebutuhan mengisi kekosongan hukum, problematika kapasitas aktor, konflik antar otoritas maupun regulasi, atau kerja monitoring dan evaluasi legislasi. Ini yang kemudian belum bisa diketahui secara pasti dalam kasus RUU P2H. Secara tidak langsung, upaya ini merupakan cara untuk mempertanyakan keabsahan RUU P2H (dan Naskah Akademiknya) serta hasil kerja harmonisasi dan sinkronisasi. 2. RUU P2H masih mengalami persoalan pada sebagian struktur pengelompokkan dan penataurutan norma. Ini akan berdampak serius dan menimbulkan kompleksitas pada ruang dan pijakan para pihak dalam menafsirkan pasal-pasal yang ada. Salah satunya bisa ditemukan pada Bagian Kedua Ketentuan Perbuatan Perusakan Hutan, dimulai dari Pasal 11 dst. Apakah termasuk dalam materi larangan atau “jenis tindakan atau perbuatan perusakan hutan”? Jika ingin konsisten sesuai dengan pengelompokkan Bagian Kedua, maka seharusnya materi Pasal 11 dst mengurai tentang kategorisasi tindakan aktif perusakan hutan, yang dapat diikat pada beberapa sub kategorisasi berdasarkan kualifikasi aktor dan alur tindakan. Apabila kemudian Bagian Kedua tertuju pada klasifikasi larangan, maka harus ditempatkan pada satu kelompok tersendiri, karena akan berlanjut dan dirangkai pengaturannya dengan (konsekuensi) berupa sanksi. Patut untuk diklarifikasi apakah ketentuan Pasal 11 huruf d hingga huruf m merupakan (salah satu) contoh jenis perusakan hutan secara tidak langsung atau terkait sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (2)? Ini akan berdampak pada perlakuan berbeda seperti fasilitas dan sanksi. 3. RUU P2H terlalu banyak memberikan diskresi tanpa disertai koridor yang ketat. Diskresi tidak dilarang, tapi perlu dilengkapi dengan koridor, yang berfungsi mencegah potensi bias interpretasi dan pengaturan di level yang lebih teknis. Selain itu, diskresi yang terlalu luas akan menyediakan jarak yang lebih dekat atau peluang terjadinya abuse of power terutama bagi aktor pelaksana atau yang dimandatkan. Koridor diskresi bisa berupa pembatasan waktu, penambahan norma prosedural, atau keterkaitan dengan aktor lain. RUU P2H menempatkan beberapa diskresi, seperti Pasal 11 huruf f dan huruf g yang mensyaratkan “izin pejabat yang berwenang” untuk suatu tindakan atau perbuatan. Contoh lainnya ditemukan juga dalam Pasal 15 dan Pasal 26.
29
4. Secara tidak langsung, sebagian substansi RUU P2H mengkonfirmasi problem kapasitas perancang dan pembahas RUU P2H dalam mengidentifikasi, memilah, dan mengkategorikan fakta atau perbuatan yang hendak diatur. Sebagai contoh, bagaimana keterkaitan Pasal 11 huruf c dengan huruf a dan huruf b? Ketentuan Pasal 11 huruf c yang berbunyi “…melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah;” atau jenis tindakan aktor seperti yang dimaksud yaitu “membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan” dan “ membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang”. Padahal tindakan dimaksud dipandang suatu kelaziman (setidaknya dari ukuran persepsi publik) dan dalam konteks RUU P2H akan diberlakukan sebaliknya. Temuan yang kurang lebih sama ada pada Pasal 16, apakah terkonfirmasi pihak penyusun dan pembahas RUU P2H hendak memperluas aktor dan tindakan, terutama konsekuensi adanya perusakan hutan secara tidak langsung atau terkait sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (2)? Selain problem kapasitas, perancang dan pembahas RUU absen dalam merinci beberapa pasal yang melengkapi kewajiban dua pihak yang akan saling berinteraksi. Kewajiban hanya berlaku dan mengikat satu pihak, padahal kewajiban pihak tersebut dapat lebih maksimal terpenuhi apabila pihak lain diikat oleh kewajiban memadai yang saling mendukung. Ini terjadi dalam Pasal 14 yang tidak diikuti dengan operasionalisasi tentang kualifikasi dan perintah kepada aktor yang berkewajiban memfasilitasi pengurusan dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan. Selain itu sepanjang yang diketahui oleh Koalisi, RUU P2H ini dibuat tanpa ada naskah akademik. Naskah akademik yang pernah dibuat adalah Naskah Akademik untuk membuat RUU Anti Illegal Logging yang terakhir dibuat pada tahun 2008. Undangundang ini terkesan sebagai kompilasi peraturan perundangan yang telah ada sebelumnya. Naskah akademik yang seharusnya dibuat itu dapat memuat alasan-alasan mengapa peraturan yang ada sebelumnya tidak efektif, apakah sudah ada kajian sebelumnya, sehingga RUU ini diperlukan. Dengan tidak adanya naskah akademik tersebut, maka pembuatan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan ini tidak didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang kuat.
30
BAGIAN KEEMPAT
ANALISIS POTENSI DAMPAK RUU PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN A. MENGKRIMINALISASI MASYARAKAT ADAT DAN LOKAL YANG HIDUP DI DALAM DAN SEKITAR KAWASAN HUTAN RUU P2H jauh dari syarat memadai sebagai sebuah undang-undang dan bukan merupakan undang-undang yang mendesak bagi masyarakat kecil yang selama ini menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Bahaya yang dihadapi oleh masyarakat adat dan lokal karena berlakunya undang-undang ini antara lain dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain: Pertama, definisi terorganisasi yang longgar. RUU P2H mendefinisikan terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Definisi tersebut merupakan definisi yang multiinterpretasi dan rawan mengkriminalisasi masyarakat adat atau masyarakat lokal. Di kawasan sekitar hutan, sudah lazim dan menjadi budaya masyarakat setempat untuk mengambil ranting-ranting kayu dari dalam kawasan hutan untuk kebutuhan kayu bakar sehari-hari atau untuk kebutuhan membangun rumah dan membuat pagar. Mereka biasanya masuk ke hutan baik sendiri maupun berkelompok lebih dari 2 orang. Kedua, meskipun RUU P2H mengecualikan kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional sebagai suatu kegiatan terorganisasi dalam perusakan hutan, RUU P2H belum memberikan penjelasan yang memadai tentang apa yang dimaksud dengan perladangan tradisional itu. Kurang jelasnya penjelasan tentang perladangan tradisional membuat keberadaan masyarakat adat dan lokal yang ada di sekitar kawasan hutan menjadi semakin rentan. Bisa jadi masyarakat mengambil kayu untuk kebutuhan sehari-hari atau membangun rumah dan pagar juga akan terkena RUU ini. Ketiga, pohon yang menjadi objek dari pembalakan liar dalam RUU P2H didefinisikan sebagai tumbuhan yang batangnya berkayu dan dapat mencapai ukuran diameter 10 (sepuluh) sentimeter atau lebih yang diukur pada ketinggian 1,50 (satu koma lima puluh) meter di atas permukaan tanah. Artinya, objek dari pembalakan liar itu setara dengan pohon yang diameternya sebesar tinju orang dewasa dan setinggi dada orang dewasa. Jenis kayu dengan ukuran sekecil itu lazim dipakai oleh masyarakat yang hidup di sekitar dan menggantungkan kehidupannya atas sumber daya hutan untuk keperluannya seharihari. Definisi “pembalakan liar” ini cakupannya sangat luas, mengingat “pengaturan” negara terhadap pemanfaatan hasil hutan itu mencakup baik di kawasan hutan negara maupun hutan hak. Apakah memanfaatkan hasil hutan yang diusahakan (ditanam, dikelola, dijaga, 31
dls) sendiri yang tidak mengikuti ketentuan pemerintah misalnya dalam tata usaha kayu (SKAU dan/atau SVLK) akan menjadi illegal dan oleh karenanya akan dikriminalkan? Pasal 11 (h sd k): Perlu kewaspadaan dalam mendefinisikan “pembalakan liar”. Jangan sampai pemanfaatan Hutan Rakyat atau Hutan Adat yang diusahakan di lahan hak dan dibiayai dengan biaya sendiri akan mengakibatkan pemilik hutan rakyat atau hutan adat dikriminalkan. B. TIDAK MENGHENTIKAN DEGRADASI HUTAN DAN KETIDAKJELASAN IMPLEMENTASI Dalam RUU ini, Perhutani tidak tergolong subjek yang dikenakan pasal-pasal pembalakan liar dan perusakan hutan. Padahal, mereka adalah perusak hutan terbesar. Di Jawa, Perhutani menguasai 2,4 juta hektar dari 3,040 juta hektar kawasan hutan Jawa. Sebagai pengelola tunggal hutan Jawa, laju deforestasi yang diakibatkan oleh aktivitas Perhutani ini cukup tinggi. Setiap tahun laju deforestasi rata-rata 2500 hektar. 13 Di Kabupaten Malang, luas lahan kritis yang dikelola Perhutani mencapai 153 ribu hektar. Dalam hal produksi, stok tegakan kayu jati mengalami penurunan secara persisten dari tahun 1998 hingga 2004. Penurunan stok tegakan jati terus terjadi hingga 21,0 juta m3 pada tahun 2005, menjadi 20,6 juta m3 pada tahun 2006, dan menjadi 18,9 juta m3 pada tahun 2007. Tegakan hutan Perhutani saat ini didominasi oleh tegakan muda klas umur I (0 – 10 tahun) dan II (11 – 20 tahun) yang mencapai 76%. Hal ini menunjukkan terjadinya laju pemanenan yang jauh lebih tinggi dari laju pembentukan tegakan. Situasi ini menunjukkan bahwa telah terjadi kebangkrutan perusahaan. 14 Dalam soal lingkungan, berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI – Jawa Madura (BPKH XI, 2003), dari kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani seluas 2.442.101 Ha, hanya 67,8% yang berpenutupan hutan dan (32,2%), hampir sepertiga wilayah kelola Perhutani, tidak berpenutupan hutan alias “Gundul”. Jika RUU ini diterapkan, perusakan hutan juga akan terus terjadi karena perusakan hutan tidak termasuk di hutan hak, karena hutan hak belum pernah ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan hutan. Sebaliknya, hal yang kontradiktif akan terjadi jika RUU diterapkan. Pasal 11 huruf e berbunyi: mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan; Jika yang dimaksud dalam pasal 11 huruf 3 tersebut termasuk hutan hak, maka seseorang yang memiliki hak atas tanah dan menanam kayu di atasnya, ia tergolong orang yang diwajibkan menggunakan surat sahnya hasil hutan jika ingin menebang kayu miliknya sendiri, di pekarangan sendiri, untuk keperluan sendiri.
13 14
Data diperoleh dari dokumen Roadmap Hutan Jawa oleh Koalisi Pemulihan Hutan Jawa, 2012 Data diperoleh dari catatan Koalisi Pemulihan Hutan Jawa, 2012
32
Perusakan hutan oleh pemegang izin (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam) tidak termasuk yang diatur dalam Undang-undang ini, padahal mereka memanfaatkan hutan secara terencana dalam jumlah yang besar. Jika RUU ini disahkan menjadi UU, seluruh kegiatan atau tindakan perusakan hutan di dalam kawasan hutan yang baru ditunjuk ataupun sedang dalam proses penetapan dan masih dalam sengketa atau klaim (dan kemudian diputuskan dikeluarkan atau tetap sebagai kawasan hutan negara), adalah tidak sah, sampai statusnya ditetapkan. C. TIDAK AKAN MAMPU MEMULIHKAN KERUSAKAN HUTAN RUU P2H merupakan hukum pidana yang hendak diterapkan dalam menanggulangi persoalan perusakan hutan. Dalam konsep pemidanaan, hukum pidana diterapkan sebagai upaya terakhir ketika upaya-upaya lain tidak lagi sanggup mengembalikan keseimbangan sosial (restutio in integrum). Sehingga memang mesti benar-benar diarahkan pemberlakuan sanksi pidana bagi bagi pemulihan keseimbangan sosial, dalam konteks RUU P2H adalah pemulihan hutan yang rusak. Namun jika melihat sanksi yang tercantum di dalam RUU P2H maka jenis sanksi yang tercantum hanya menyangkut sanksi penjara dan denda. Pertanyaannya adalah apakah penjara bisa memulihkan fungsi hutan yang rusak? Apakah denda bisa mengembalikan kerusakan hutan. Jenis sanksi yang memulihkan kerusakan hutan jauh lebih bermanfaat bagi kelestarian hutan dari pada sekedar menjebloskan pelaku ke dalam penjara dan memaksanya membayar denda (Steni, 2007:56). D. BERPOTENSI MENGHAMBAT PEMBERANTASAN KORUPSI DI SEKTOR KEHUTANAN Praktek korupsi di sektor kehutanan saat ini dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan terjadi dalam beberapa tahap dalam rantai supply industri kayu, mulai tahap perizinan, penebangan, pengangkutan, pelelangan dan pada saat pembayaran pajak dan retribusi. Tingginya praktek korupsi di Indonesia menjadikan deforestasi berjalan dengan cepat dan jutaan hektar hutan ditebang habis. Kondisi ini diperburuk dengan munculnya praktek korupsi atau mafia hukum di institusi penegak hukum dan pemerintah yang seharusnya dapat mengambil peran dalam proses penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di sektor kehutanan. Pada prakteknya pelaku korupsi di bidang kehutanan umumnya juga melakukan pencucian uang hasil kejahatannya. Saat ini pola dan modus pencucian uang di sektor kehutanan dilakukan secara sistematis dan melibatkan banyak pelaku. Kinerja penegakan dan pemberantasan kejahatan kehutanan melalui pendekatan regulasi sektoral (UU Kehutanan) hasilnya jauh dari optimal dan seringkali mengalami kendala dalam proses penegakan hukum. Pengadilan selama ini dinilai tidak cukup berpihak pada pemberantasan kejahatan kehutanan dengan menjatuhkan vonis ringan atau bebas kepada pelaku. Selain itu kegagalan pemberantasan kejahatan kehutanan disebabkan oleh dis-orientasi dan kordinasi penegakan hukum yang tidak berhasil menjerat aktor utama. Penyebab lainnya adalah lemahnya UU Kehutanan sebagai salah satu instrumen yang digunakan penegak hukum dalam pemberantasan kejahatan kehutanan. 33
KPK, Kejaksaan dan Kepolisian sesungguhnya sudah mengambil inisiatif atau terobosan dalam menjerat pelaku kejahatan kehutanan dengan pendekatan tindak pidana korupsi. Sejumlah pelaku korupsi di sektor kehutanan telah ditangani dan berhasil dijebloskan ke penjara. Inisiatif pemberantasan korupsi di sektor kehutanan tidak saja diletakkan pada aspek penindakan namun juga pada aspek pencegahan. Salah satu institusi yang dinilai berhasil dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor kehutanan adalah KPK. Sejak KPK berdiri - akhir tahun 2003 lalu – hingga akhir tahun 2012 sedikitnya terdapat 7 (tujuh) perkara korupsi di sektor kehutanan yang telah dan sedang ditangani oleh lembaga antikorupsi ini. Perkara korupsi tersebut antara lain adalah: 1. Penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) pada 15 perusahaan yang tidak kompeten dalam bidang kehutanan. 2. Menerbitkan izin pemanfaatan kayu (IPK) untuk perkebunan sawit di Kalimantan Timur , dengan tujuan semata untuk memperoleh kayu. 3. Pengadaaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Kementrian Kehutanan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 89 miliar. 4. Suap terhadap anggota dewan terkait dengan Pengadaaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Kementrian Kehutanan dan alih fungsi lahan. 5. Suap terkait alih fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. 6. Suap terkait alih fungsi lahan hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-Api, Banyuasin, Sumatera Selatan. 7. Dugaan suap terkait pemberian Rekomendasi HGU Kepada Bupati Buol oleh PT Hardaya Inti Plantation. Dari perkara-perkara tersebut, tercatat 23 orang aktor telah diproses oleh KPK, diadili dan divonis oleh pengadilan tipikor dan mayoritas telah menjalani pidana penjara di lembaga pemasyarakatan. Mereka terdiri dari 14 orang dari lingkungan eksekutif (mantan kepala daerah, pejabat dinas/Kementerian Kehutanan atau Dinas Kehutanan Provinsi), 6 orang dari politisi/legislatif dan 3 orang dari pihak swasta. Penanganan perkara korupsi kehutanan yang dilakukan oleh KPK juga memberikan kontribusi dalam pengembalian kerugian keuangan negara (asset recovery). Tercatat pengembalian kerugian negara yang dilakukan oleh Marthias - terpidana perkara korupsi Penerima IPK dan penikmat kebijakan yang diterbitkan oleh Gubernur Kaltim, Suwarna AF – sebesar Rp 346 miliar merupakan yang terbesar yang diperoleh KPK hingga saat ini. RUU P2H mengamanatkan pembentukan suatu lembaga yang melaksanakan pemberantasan perusakan hutan terorganisasi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang terdiri dari unsur kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan unsur terkait lainnya, seperti unsur kementerian terkait, ahli/pakar, dan wakil masyarakat. Selain memiliki fungsi penegakan hukum, lembaga ini juga memiliki fungsi koordinasi dan supervisi.
34
Namun keberadaan lembaga baru ini bukan tidak mungkin dapat mengganjal atau menutup langkah KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di wilayah kehutanan karena alasan bahwa isu kehutanan lebih khusus (lex spesialis) daripada isu korupsi. Potensi sengketa kewenangan dalam penanganan perkara di sektor kehutanan yang memiliki dimensi korupsi juga dapat terjadi di masa mendatang. Selain itu salah satu isu krusial dalam RUU P2H adalah pemeriksaan perkara perusakan hutan di Pengadilan Negeri dilakukan oleh hakim khusus yang terdiri dari 1 hakim karir dan 2 hakim Ad hoc. Dalam hal ini proses pengangkatan diserahkan kepada Mahkamah Agung (MA). Hakim Ad hoc khusus kehutanan, pada akhirnya menambah jumlah keberadaan hakim ad hoc di Indonesia dan sekaligus berpotensi menambah persoalan dalam proses penegakan hukum. Sebelumnya sudah ada hakim Ad hoc Tipikor, HAM, Perselisihan Hubungan Industrial, Perikanan, dan Pajak. Beberapa diantaranya ditangkap karena persoalan kasus suap. Hakim Ad hoc Kehutanan justru menjadi beban bagi MA. Untuk proses rekruitmen, dengan asumsi 300 an Pengadilan Negeri seluruh Indonesia maka setidaknya dibutuhkan 600 Hakim Ad hoc Kehutanan. Selain biaya seleksi, akan ada pembengkakan anggaran pengadilan untuk gaji hakim Ad hoc dan persoalan lainnya berkaitan dengan pengawasan terhadap hakim-hakim Ad hoc tersebut.
35
BAGIAN KELIMA
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN RUU P2H dinilai bermasalah baik dari aspek formil (pembentukannya) maupun aspek materiil (substansi). Dari aspek formil, proses pembahasan RUU P2H dinilai telah menyimpang dari asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya asas “keterbukaan”. Idealnya proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Proses pembahasan RUU P2H di DPR dilakukan secara tidak transparan dan tidak terbuka sehingga menutup peluang bagi masyarakat dan media dalam melakukan pemantauan atau memberikan masukan. Jadwal maupun perkembangan terbaru setiap proses pembahasan tidak pernah disampaikan kepada publik atau media secara terbuka. Bahkan draft RUU yang tercantum dalam website DPR pun masih draft RUU yang lama, yaitu RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar. Selain isu Keterbukaan, persoalan lain yang muncul dari aspek formil atau legal drafting proses pembahasan RUU P2H adalah: (1) Permasalahan yang ingin disasar oleh RUU P2H tidak jelas; (2) RUU P2H masih mengalami persoalan pada sebagian struktur pengelompokkan dan penataurutan norma; (3) RUU P2H terlalu banyak memberikan diskresi tanpa disertai koridor yang ketat; dan (4) Secara tidak langsung, sebagian substansi RUU P2H mengkonfirmasi problem kapasitas perancang dan pembahas RUU P2H dalam mengidentifikasi, memilah, dan mengkategorikan fakta atau perbuatan yang hendak diatur. Dari aspek materiil, mayoritas subtansi RUU P2H masih dinilai bermasalah. RUU ini antara lain : (1) dinilai membuka peluang terjadinya kriminalisasi bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal di sekitar hutan; (2) menambah tumpang tindih peraturan di bidang sumber daya alam; (3) mengacaukan sistem hukum pidana ; (4) sejumlah subtansi bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang definisi kawasan hutan (Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45 Tahun 2011) ; (5) membuka peluang terjadinya korupsi atau penyalahgunaan wewenang berkaitan dengan pemberian izin-izin di bidang kehutanan; (6) mendorong pembentukan lembaga baru dan hakim ad hoc kehutanan yang dinilai tidak diperlukan dan diragukan efektifitasnya; dan (7) mendorong upaya legalisasi pertambangan dan perkebunan di dalam kawasan hutan yang seharusnya tidak diperkenankan. Subtansi RUU P2H yang ada jika nantinya disahkan akan memberikan dampak yang sangat krusial dan tidak menguntungkan bagi masyarakat maupun upaya kelestarian 36
hutan seperti: (1) mengkriminalisasi masyarakat adat dan lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan; (2) tidak menghentikan degradasi hutan dan ketidakjelasan implementasi; (3) tidak akan mampu memulihkan kerusakan hutan; dan (4) berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi di sektor kehutanan. Para pembentuk RUU P2H tidak memahami secara jernih penyebab kerusakan hutan dan perancangan peraturan perundang-undangan. RUU P2H juga sangat berbahaya karena ketentuan pidana yang diatur justru mengancam kelangsungan masyarakat adat/lokal melalui serangkaian tindakan kriminalisasi yang multi tafsir maupun disalahgunakan. B. REKOMENDASI RUU P2H harus ditolak pembahasan karena bermasalah baik dari aspek formil (pembentukannya) maupun aspek materiil (substansi). RUU P2H tidak mendesak keberadaannya dan tidak menjawab persoalan yang terjadi di sektor kehutanan. Justru yang dibutuhkan masyarakat kehutanan saat ini adalah melakukan Revisi terhadap Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dengan mengakomodir kepentingan masyarakat yang turun temurun memelihara hutan serta melakukan penindakan hukum atas kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh perusahaan dengan tegas.
37
LAMPIRAN PROFIL EKSAMINATOR, PERUMUS DAN KOALISI
38
PROFIL
EKSAMINATOR, PERUMUS DAN KOALISI Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S. Lahir di Jombang, 24 April 1958. Menamatkan pendidikan S1, Magister dan Doktoral dan merupakan Guru Besar bidang Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor. Memiliki keahlian di bidang Kebijakan Pengelolaan SDA dan Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA). Pengajar di Departemen Manajemen Hutan-Fahutan IPB dan Universitas Indonesia. Berkecimpung dibanyak lembaga dan kementrian. Misalnya Sejak 2006 – saat ini, menjabat Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Sejak tahun 2012 hingga saat ini menjadi Anggota Tim Asistensi Pengembangan Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (SK MenLH No 55/2012), Ketua Tim kajian dan penulis Rencana Aksi Nasional pelaksanaan Strategi Nasional REDD+, dengan pendanaan UNDP, dan Anggota Dewan Penasehat Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI). Merupakan Ketua Tim kajian penetapan indikator Participatory Governance Assesment (PGA) untuk REDD+ dengan pendanaan UNDP (2011 – saat ini) . Pernah menjadi peneliti lepas pada Centre of International Forestry Research (CIFOR) dan World Resources Institute (WRI), Washington DC. Produktif dalam membuat tulisan tentang isu kehutanan untuk jurnal, buku, dan surat kabar nasional serta menjadi narasumber dalam seminar dan lokakarya dibidang lingkungan hidup dan kehutanan. Shinta Agustina, S.H.,M.H. Perempuan yang lahir di Palembang, 29 Agustus 1963 ini merupakan Pengajar Mata Kuliah Hukum Pidana dan Bahasa Belanda di Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang. Meraih Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Unand Padang pada tahun 1986, dan Magister Hukum dari Pascasarjana Universitas Indonesia di tahun 1996. Sejak 2009-sekarang, masih mengikuti Program S3 Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Unand. Aktif dalam bidang berbagai penelitian khususnya dibidang hukum pidana sejak tahun 2000. Menulis untuk beberapa jurnal hukum dan narasumber dalam banyak seminar dan pelatihan. Terlibat dalam 2 (dua) kegiatan eksaminasi publik yang di inisiasi oleh Indonesia Corruption Watch antara laub putusan bebas perkara korupsi di Pengadilan Tipikor Padang dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45 Tahun 2011 tentang UU Kehutanan. DR. Ir. Bramasto Nugroho, M.Si. Meraih gelar Sarjana, Pasca Sarjana dan Doktoral di Institut Pertanian Bogor (IPB). Sejak tahun 1987 hingga saat ini menjadi pengajar tetap di almamaternya dan terakhir sejak tahun 2010 lalu, Bramasto menjabat sebagai Kepala Riset dan Kerjasama di Fakultas Kehutanan IPB. 39
Pria yang lahir pada 4 November 1958 ini telah berpengalaman dalam berbagai kegiatan atau proyek penelitian untuk isu kehutanan yang didukung oleh lembaga pemerintah dan organisasi international. Mengikuti banyak kegiatan seminar, workshop, dan pelatihan dalam isu kehutanan baik sebagai peserta maupun narasumber. Sudarsono Soedomo, Ph.D. Meraih gelar Sarjana tahun 1979 dan selanjutnya Pasca Sarjana tahun 1984 di Institut Pertanian Bogor (IPB). Selanjutnya pada 1997 meraih MPPA (Master of Public Policy and Administration), concentration in Environmental Policy and Program, dari Jackson State University,Mississippi, USA. Terakhir pada tahun 2003 meraih Ph.D in Economics dari University ofMissouri-Columbia, USA. Sejak tahun 1980 menjadi pengajar tetap di Fakultas Kehutanan IPB dan sejak tahun 2007 menjadi pengajar tamu di Universitas Indonesia. Selain menjadi pengajar, Sudarsono merupakan konsultan di berbagai institusi. Mengikuti banyak kegiatan seminar, workshop, dan pelatihan dalam isu kehutanan baik sebagai peserta maupun narasumber serta menghasilkan banyak laporan maupun jurnal dibidang kehutanan. Ronald Rofiandri, S.H. Ronald adalah Alumnus Fakultas Hukum – Universitas Indonesia, Angkatan 1999 dan bergabung dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) pada tahun 2004. Sempat menduduki jabatan sebagai Deputi Direktur Program pada 2010, setahun kemudian Ronald dipercayakan untuk menempati posisi Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK. Sejak itu, Ronald semakin intensif berhubungan dengan sejumlah LSM/NGO, organisasi profesi, dan interest groups, terutama dalam proses advokasi legislasi. Ronald menjalankan peran menghubungkan mereka dengan anggota parlemen dan staf. Ronald aktif menyebarluaskan pengetahuan tentang proses dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang partisipatif, termasuk pengelolaan pemantauan legislasi. Serangkaian pengalaman berorganisasi dan event organizer sangat membantu Ronald dalam manajemen advokasi. Minat dan keahlian Ronald ada pada tata kelola keparlemenan, monitoring dan evaluasi legislasi, advokasi kebijakan, penguatan masyarakat sipil, dan partisipasi politik warga. Bersama PSHK, Ronald bermimpi mewujudkan parlemen yang modern sebagai organisasi politik, representatif, dan akuntabel. Di sela-sela kesibukannya, Ronald memiliki kegemaran membaca novel dan menonton pertandingan sepak bola. Ketertarikan pada studi pop culture dan sosiologi hukum menjadi sisi lain dari Ronald.
40
Yance Arizona, S.H., M.H. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Andalas tahun 2007 dan meraih gelar Magister Hukum dari Universitas Indonesia tahun 2012. Memiliki spesialisasi di bidang hukum konstitusi, hukum agraria dan sumber daya alam, pembentukan peraturan perundangundangan dan hukum adat. Berpengalaman lebih dari 3 tahun sebagai peneliti di Perkumpulan HuMa. Saat ini bekerja sebagai Program Manager Bidang Hukum dan Masyarakat Epistema Institute dan Dosen di Fakultas Hukum President University. Yance Arizona aktif dalam sejumlah penelitian sejak tahun 2006 hingga kini. Menjadi penulis untuk media, buku-buku maupun jurnal bertemakan hukum progresif, hukum adat, dan konstitusi. Terlibat sebagai anggota dan expert dalam penyusunan beberapa naskah akademik dan regulasi dibidang hak atas tanah maupun penyelesaian konflik agraria yang disiapkan oleh Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia . Grahat Nagara, S.H. Memulai karirnya di ELSDA Institute sebagai peneliti hukum, sekarang Grahat bergabung di Yayasan Silvagama. Pria yang lahir di Medan pada 4 September 1983, telah menamatkan pendidikan S1 ilmu hukum di Universitas Pasundan Bandung Jawa Barat dan saat ini masih menempuh Program Magister Hukum Universitas Indonesia Jakarta. Lebih dari lima tahun terakhir Grahat telah banyak terlibat dalam sejumlah penelitian dan menjadi fasilitator dalam isu dibidang kehutanan, lingkungan, tenurial dan korupsi disektor kehutanan. Banyak memberikan masukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan analisis hukum sejumlah kasus korupsi di sektor kehutanan yang sedang ditangani. Saat ini sedang mengembangkan portal “Indonesia Memantau Hutan”, sebuah alat untuk analisis penegakan hukum di sektor tata kelola hutan. Siti Rakhma Mary Herwati, S.H., M.Si. Biasa dipanggil dengan Rahma, lahir di Semarang, 16 February 1977. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang tahun 2000 dan Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang tahun 2009. Saat ini menjabat sebagai Koordinator Program Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik pada Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis/HuMa yang berbasis di Jakarta. Rahma juga merupakan Dosen Fakultas Hukum di President University, Cikarang. Sebelum hijrah ke HuMa, Rahma pernah menjabat sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, 2008-2011. Memiliki banyak pengalaman sebagai peserta maupun narasumber pelatihan dan workshop soal isu hukum, agraria dan hak asasi manusia baik yang diadakan di dalam negeri maupun di luar negeri. Aktif dalam berbagai kegiatan penulisan buku, riset dan artikel.
41
Emerson Yuntho, S.H. Lahir di Jakarta 1 Juni 1977. Menamatkan pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2001. Bergabung dengan Indonesia Corruption Watch sejak tahun 2002 hingga saat ini. Memiliki perhatian khusus untuk isu penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
42
KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK KELESTARIAN HUTAN Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kelestarian Hutan adalah Koalisi yang terdiri dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan individu yang memiliki perhatian terhadap isu kelestarian hutan. Koalisi ini lahir untuk melakukan advokasi terhadap proses pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H) yang dibahas oleh DPR RI bersama dengan Kementerian Kehutanan pada tahun 2013. RUU P2H ditolak oleh Koalisi karena dinilai bermasalah dari aspek pembentukan maupun substansinya serta mendorong lahirnya kriminalisasi bagi masyarakat disekitar hutan. Selain mengawal proses advokasi kebijakan ditingkat pembentukan perundangundangan, kerja Koalisi ini nantinya ditujukan untuk mendorong dan mengawal segala upaya yang mendukung kelestarian hutan. Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kelestarian Hutan terdiri dari : 1. Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) 2. Epistema Institute 3. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 4. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) 5. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 6. Yayasan SILVAGAMA 7. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 8. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) 9. Sawit Watch 10. Forest Watch Indonesia (FWI) 11. Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) 12. Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) 13. PUSAKA 14. Indonesia Corruption Watch (ICW) 15. Public Interest Lawyer Network (PILNET) 16. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 17. JIKALAHARI Riau 18. Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) 19. Riau Corruption Trial 20. Rimbauan Muda Indonesia (RMI) 21. Perkumpulan Qbar Sumatera Barat 22. GEMAWAN Kalimantan Barat 23. Save Our Borneo Kalimantan Tengah 24. Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) Kalimantan Barat 25. Perkumpulan Wallacea di Sulawesi Selatan 26. ARUPA di Yogyakarta 27. Martua Sirait 28. Noer Fauzi Rachman
43