PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN (Kasus : RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor)
Oleh : WAHYUNI RAHMIATI SIREGAR A14204045
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
WAHYUNI RAHMIATI SIREGAR. PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN. (Di bawah bimbingan NURAINI W. PRASODJO)
Permasalahan yang dihadapi pada tahap pembangunan dewasa ini di bidang ketenagakerjaan sebenarnya merupakan suatu rangkaian dari masa lampau. Fenomena berlimpahnya sumber daya manusia di satu pihak dan langkanya kesempatan kerja di lain pihak, telah disadari semenjak pertumbuhan penduduk dirasakan semakin cepat melebihi daya tampung yang ada. Di pedesaan, industri skala kecil memiliki misi utama dalam penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha dan cenderung dijadikan sumber mata pencaharian utama. Salah satu permasalahan yang ditemui dalam industri skala kecil yaitu tingkat pengetahuan, keterampilan dan pendidikan yang dimiliki pengrajin masih sangat terbatas. Oleh karena itu, untuk mengetahui harapan bentuk pendidikan para pekerja industri skala kecil maka diperlukan survai mengenai persepsi dan harapan dari pekerja industri skala kecil. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan, menjelaskan faktor eksternal dan faktor internal yang berhubungan dengan persepsi pekerja industri skala kecil, serta mengidentifikasi bentuk pendidikan yang sesuai bagi para pekerja industri skala kecil. Penelitian ini mengambil responden para pekerja industri sepatu dan sandal di Desa Pagelaran. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yang menggunakan metode penelitian survai dengan didukung oleh data kualitatif.
Metode yang digunakan bersifat eksplanatoris. Jumlah responden yang diteliti adalah 50 orang yang terdiri atas buruh serta pengusaha industri sepatu dan sandal. Analisis data menggunakan tabulasi silang dan uji Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik dari pekerja industri skala kecil sepatu dan sandal umumnya adalah laki-laki, berusia 18 tahun ke atas, dengan tingkat pendidikan mayoritas SD serta memiliki kebutuhan bekerja guna pemenuhan kebutuhan keluarga. Berdasarkan tingkat kesejahteraan rumahtangga, para pekerja industri mayoritas tergolong menjadi rumahtangga tidak sejahtera. Para pekerja industri ini cenderung dikelilingi oleh teman sepergaulan dengan karakteristik yang heterogen dilihat dari segi pekerjaan dan pendidikan. Persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan yang dilihat melalui komponen isi, proses, tenaga pendidik, kompetensi lulusan, sarana dan prasarana pendidikan serta biaya pendidikan tergolong ke dalam bentuk pendidikan formal dan non formal. Tidak terdapat pekerja yang memaknai bentuk pendidikan sampai pada bentuk pendidikan informal. Jenis kelamin memiliki hubungan dengan komponen sarana dan prasarana pendidikan sedangkan usia hanya berhubungan dengan komponen proses pendidikan. Tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan dengan kompetensi lulusan. Kebutuhan bekerja tidak berhubungan dengan persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan. Teman sepergaulan tidak berhubungan dengan komponen proses pendidikan dan kompetensi lulusan serta tingkat kesejahteraan rumah tangga tidak berhubungan dengan komponen tenaga pendidik serta kompetensi lulusan.
Harapan para pekerja industri kecil terhadap bentuk pendidikan yang dilihat berdasarkan komponen isi, proses, tenaga pendidik, kompetensi lulusan, sarana dan prasarana serta biaya dalam pendidikan menunjukkan bahwa adanya keinginan untuk mendapatkan materi pendidikan yang berkaitan dengan proses produksi sepatu dan sandal. Proses tersebut mencakup pembuatan pola/desain sepatu dan sandal, teknik pembukuan, teknik pemasaran serta ada pula yang menginginkan materi kewirausahaan. Para pekerja ini menginginkan waktu belajar dilakukan di hari libur dan bertempat di dalam ruangan. Para responden menjabarkan tempat perkumpulan setingkat desa seperti aula desa ataupun rumah Ketua RW jika memungkinkan. Berbeda
dengan
hal
tersebut,
para
pekerja
industri
perempuan
menginginkan pemberian materi di luar proses produksi sepatu dan sandal. Mereka menginginkan proses membuat kue atau panganan lainnya yang dapat dijual. Hal ini dikarenakan mereka berkeinginan membuka usaha sendiri di rumah agar tetap bisa menjaga keluarga. Salah satu komoditi yang disebutkan yaitu pembuatan kripik atau kue kering lainnya.
PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN (Kasus : RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor)
Oleh Wahyuni Rahmiati Siregar A14204045
SKRIPSI Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor 2008
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh : Nama No. Pokok Judul
: : :
Wahyuni Rahmiati Siregar A14204045 Persepsi Pekerja Industri Skala Kecil Tentang Pendidikan (Kasus RW 09 Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS NIP. 131 967 634
Menyetujui, Fakultas Pertanian Dekan
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr. NIP. 131 124 019
Tanggal lulus ujian :
PERNYATAAN
DENGAN
INI
BERJUDUL
SAYA
MENYATAKAN
”PERSEPSI
PEKERJA
BAHWA
INDUSTRI
SKRIPSI
YANG
SKALA
KECIL
TENTANG PENDIDIKAN” INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI SERTA TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN
YANG
DINYATAKAN
DALAM
NASKAH.
BAHAN
DEMIKIAN
PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNG-JAWABKAN PERNYATAAN INI.
Bogor, Agustus 2008
Wahyuni Rahmiati S. A14202045
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandung, 14 Desember 1985, sebagai anak dari Bapak Monang Siregar dan Ibu Nelda Arifin. Penulis merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara, memiliki dua orang kakak, Sri Wahdaniyah dan Rusli Prawira. Pada tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan formal di TK Islam Ar-Rahman, Bekasi. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Dasar Angkasa IX Halim P.K Jakarta Timur, kemudian pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 81, Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pada tahun 2004, penulis menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Menengah Umum Negeri 48 Jakarta Timur. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB, dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis beberapa kali menjadi panitia kegiatan Poros di bawah Himpunan Profesi Mahasiswa Pecinta Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian (MISETA). Selain itu, penulis juga pernah aktif dalam UKM olahraga basket
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat, petunjuk, dan hidayah-Nya dalam menyusun skripsi yang berjudul ” Persepsi Pekerja Industri Skala Kecil Tentang Pendidikan” sehingga akhirnya dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini merupakan suatu karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis mencoba untuk mengidentifikasi persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan serta menggali bentuk pendidikan yang dibutuhkan oleh mereka. Penulis berharap semoga materi yang disampaikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan masukan bagi penelitian selanjutnya dengan minat yang sama.
Bogor, Agustus 2008
Wahyuni Rahmiati S. A14202045
UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, maka dari itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu baik secara langsung ataupun tidak langsung, diantaranya adalah: 1.
Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, perhatian dan masukan serta meluangkan waktunya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
2.
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS DEA. selaku dosen penguji utama dan Ir. Dwi Sadono, Msi. selaku dosen komisi pendidikan atas kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini.
3.
Mama, Papa dan kakak-kakakku yang tak henti-hentinya memanjatkan doa, memberikan dukungan secara moril maupun materil, serta kasih sayang kepada penulis.
4.
Nenekku tersayang Meilis Arifin atas panjatan doa, semangat dan segala bantuan yang tak henti-hentinya diberikan sejak penulis memulai kuliah hingga kini.
5.
Bapak Tohat selaku aparat pemerintah Desa Pagelaran yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian di Desa Pagelaran. Bapak Saripudin selaku ketua RT 01 yang bersedia menerima penulis serta memberikan bantuan serta informasi yang dibutuhkan penulis.
6.
Warga RW 09 atas kesediaannya dalam membantu proses pengumpulan data.
7.
Adhika Erwien P. yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama observasi dan penyebarkan kuesioner.
8.
Teman-teman seperjuangan KPM 41 terutama Mira, Yunda, Olin, Adi, Anyu, Elin, Bang Ilham, Munir, Ina, dan Qori yang telah memberikan bantuan baik tenaga maupun dukungan semangat.
9.
Teman seperjuanganku Yohana Desi F. terima kasih atas perhatian yang diberikan selama penulisan skripsi ini.
10. Semua rekan yang telah memberikan sumbangsih sekecil apapun dalam penyelesaian skripsi ini.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI..................................................................................................
i
DAFTAR TABEL..........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................
x
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1
1.1 Latar Belakang....................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah...........................................................................
4
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................
4
1.4 Kegunaan Penelitian..........................................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................
6
2.1 Persepsi...…………………………………………………………..
6
2.1.1 Konsep Persepsi.........................................................................
6
2.1.2 Proses Terbentuknya Persepsi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya…………………………………………….
8
2.1.3 Hubungan Antara Persepsi dan Perilaku....................................
11
2.2 Pendidikan..........................................................................................
11
2.3 Persepsi terhadap Pendidikan............................................................
13
2.4 Industrialisasi Pedesaan.....................................................................
16
2. 4.1 Konsep.......................................................................................
16
2. 4.2 Serapan Tenaga Kerja Menurut Sektor.....................................
18
2.5 Industri...............................................................................................
19
2.5.1 Industri Skala Kecil.........……………………………………... 20
i
2.5.2 Perkembangan Jumlah Industri Menurut Skala Usaha............... 2.6 Kerangka Pemikiran...........................................................................
23 25
2.5 Hipotesis.............................................................................................
30
2.6 Definisi Operasional...........................................................................
31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...................................................
35
3.1 Metode Penelitian...............................................................................
35
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian..............................................................
35
3.3 Jenis dan Sumber Data.......................................................................
36
3.4 Teknik Pengumpulan Data.................................................................
36
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian.........................................................
37
3.5 Analisis Data......................................................................................
38
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN.........................
39
4.1 Kondisi Geografis Desa Pagelaran.....................................................
39
4.1.1 Kependudukan di RW 09...........................................................
40
4.1.2 Kondisi Sosial Ekonomi di RW 09............................................
40
4.1.3 Kesehatan dan Pendidikan di RW 09.........................................
41
4.2 Karakteristik Usaha Industri Skala Kecil Sepatu dan Sandal............
41
BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN………………………………
44
5.1 Jenis Kelamin.....................................................................................
44
5.2 Usia....................................................................................................
44
5.3 Tingkat Pendidikan............................................................................
45
5.4 Kebutuhan Bekerja............................................................................
45
5.5 Teman Sepergaulan............................................................................
46
5.6 Kesejahteraan Rumahtangga..............................................................
47
ii
BAB
VI PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL 48 TENTANG PENDIDIKAN DI DESA PAGELARAN..............
6.1 Isi Pendidikan……………………………………..……………..….
48
6.2 Proses Pendidikan...............................................................................
50
6.3 Tenaga Pendidik.................................................................................
52
6.4 Kompetensi Lulusan..........................................................................
54
6.5 Sarana dan Prasarana Pendidikan.......................................................
55
6.6 Biaya Pendidikan................................................................................
57
BAB VII HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP PERSEPSI TENTANG PENDIDIKAN………. 58 7.1 Hubungan Antara Faktor Internal dengan Persepsi Pekerja Industri Tentang Pendidikan………………………………………………... 58 7.1.1 Hubungan Jenis Kelamin dengan Pesepsi Pekerja Industri…..
58
7.1.2 Hubungan Usia dengan Pesepsi Pekerja Industri………….....
64
7.1.3 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pesepsi Pekerja 69 Industri………………………………………………………. 7.1.4 Hubungan Kebutuhan Bekerja dengan Pesepsi Pekerja Industri 75 7.2 Hubungan Antara Faktor Eksternal dengan Persepsi Pekerja 81 Industri Tentang Pendidikan………….……………………………. 7.2.1 Hubungan Teman Sepergaulan dengan Pesepsi Pekerja 81 Industri…................................................................................. 7.2.2 Hubungan Kesejahteraan Rumahtangga dengan Pesepsi 86 Pekerja Industri………………..…………………………….. BAB VIII KEBUTUHAN PENDIDIKAN BAGI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL…………..…......................... 91 8.1 Isi Pendidikan………………………………………………...……..
91
8.2 Proses Pendidikan……………………………….…………………..
92
8.3 Tenaga Pendidik…………………………………………………….
93
8.4 Kompetensi Lulusan………………………………………………..
94
iii
8.5 Sarana dan Prasarana Pendidikan…………………………………..
94
8.6 Biaya Pendidikan…………………………………………………...
95
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………...
96
9.1 Kesimpulan…………………………………………………………
96
9.2 Saran………………………………………………………………..
97
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
98
iv
DAFTAR TABEL Tabel
Teks
Halaman
1. Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama di Kabupaten Bogor Tahun 2000-2003, 2005-2006...18 2 Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2002,2003,2005,2006………………………………………………….19 3. Jumlah Unit Usaha Industri Berdasarkan Komoditi di Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007 …………………………………………………………………….24 4. Jumlah Rumah Tangga Menurut Jenis Pekerjaan Utama di Kecamatan Ciomas Tahun 1998-2003 ……………………........….......…..25 5. Sebaran Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin RW 09 Desa Pagelaran Tahun 2007...................................................................................................................40 6. Karakteristik Pekerja Industri Berdasarkan Jenis Kelamin ……......…...........44 7. Karakteristik Pekerja Industri Berdasarkan Usia.............................................45 8. Karakteristik Pekerja Industri Berdasarkan Tingkat Pendidikan.....................45 9. Karakteristk Pekerja Industri Berdasarkan Kebutuhan Bekerja………….......46 10 Karakteristik Pekerja Industri Berdasarkan Teman Sepergaulan.....................47 11. Karakteristik Pekerja Industri Berdasarkan Kesejahteraan RumahTangga............…………………………………………………..........47 12. Persepsi Terhadap Isi Pendidikan Pekerja Industri Skala Kecil di RW 09 Desa Pagelaran Tahun 2008......................................................................................49 13. Persepsi Terhadap Proses Pendidikan Pekerja Industri Skala Kecil di RW 09 Desa Pagelaran Tahun 2008.............................................................................51 14 Persepsi Terhadap Tenaga Pendidik Pekerja Industri Skala Kecil di RW 09 Desa Pagelaran Tahun 2008.............................................................................53 15 Persepsi Terhadap Kompetensi Lulusan Pekerja Industri Skala Kecil di RW 09 Desa Pagelaran Tahun 2008.....................................………………………....54 16. Persepsi Terhadap Sarana dan Prasarana Pendidikan Pekerja Industri Skala Kecil di RW 09 Desa Pagelaran Tahun 2008....…………...............................56
v
17. Persepsi Terhadap Biaya Pendidikan Pekerja Industri Skala Kecil di RW 09 Desa Pagelaran Tahun 2008.............................................................................57 18 Hasil Pengujian Hubungan Antara Faktor Internal Pekerja Industri dengan Persepsi Terhadap Bentuk Pendidikan......……........58 19 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Jenis Kelamin dan Persepsi Terhadap Isi Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran……………………...….59 20 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Jenis Kelamin dan Persepsi Terhadap Proses Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran……………………..60 21 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Jenis Kelamin dan Persepsi Terhadap Tenaga Pendidik di RW 09 Desa Pagelaran……………………....61 22 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Jenis Kelamin dan Persepsi Terhadap Kompetensi Lulusan di RW 09 Desa Pagelaran…………………..62 23 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Jenis Kelamin dan Persepsi Terhadap Sarana dan Prasarana Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran …….63 24 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Jenis Kelamin dan Persepsi Terhadap Biaya Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran……………………...63 25 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Usia dan Persepsi Terhadap Isi Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran ……………………..... .64 26 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Usia dan Persepsi Terhadap Proses Pendidikan ………………………….…………...………...65 27 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Usia dan Persepsi Terhadap Proses Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran………………………………...……..66 28 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Usia dan Persepsi Terhadap Kompetensi Lulusan Terhadap Proses Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran…………....67 29 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Usia dan Persepsi Terhadap Sarana dan Prasarana Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran……..68 30 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Usia dan Persepsi TerhadapBiaya Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran.............................................................68 31 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Persepsi Terhadap Isi Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran………...…70 32 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Persepsi TerhadapProses Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran…..........71
vi
33 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Persepsi Terhadap Tenaga Pendidik di RW 09 Desa Pagelaran……...…72 34 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Persepsi Terhadap Kompetensi Lulusan di RW 09 Desa Pagelaran…….73 35 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Persepsi Terhadap Sarana dan Prasarana Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran …………………………………………………………………….74 36 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Persepsi Terhadap Biaya Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran…..........75 37 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kebutuhan Bekerja dan Persepsi Terhadap Isi Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran…………..76 38 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kebutuhan Bekerja dan Persepsi Terhadap Proses Pendidikan…………………………………...77 39 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kebutuhan Bekerja dan Persepsi Terhadap Tenaga Pendidik di RW 09 Desa Pagelaran ………..78 40 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kebutuhan Bekerja dan Persepsi Terhadap Kompetensi Lulusan di RW 09 Desa Pagelaran ……79 41 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kebutuhan Bekerja dan Persepsi Terhadap Sarana dan Prasarana di RW 09 Desa Pagelaran…....80 42 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kebutuhan Bekerja dan Persepsi Terhadap Biaya Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran……......80 43 Hasil Pengujian Hubungan Antara Faktor Eksternal Pekerja Industri dengan Persepsi Terhadap Bentuk Pendidikan......................81 44 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Teman Sepergaulan dan Persepsi Terhadap Isi Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran…...…….. .82 45 umlah Pekerja Industri Berdasarkan Teman Sepergaulan dan Persepsi TerhadapProses Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran………..82 46 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Teman Sepergaulan dan Persepsi TerhadapTenaga Pendidik di RW 09 Desa Pagelaran…………83 47 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Teman Sepergaulan dan Persepsi Terhadap Kompetensi Lulusan di RW 09 Desa Pagelaran……84
vii
48 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Teman Sepergaulan dan Persepsi Terhadap Sarana dan Prasarana Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran……..85 49 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Teman Sepergaulan dan Persepsi Terhadap Biaya Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran…….....86 50 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kesejahteraan Rumahtangga dan Persepsi Terhadap Isi Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran..........................87 51 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kesejahteraan Rumahtangga dan Persepsi Terhadap Proses Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran....................87 52 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kesejahteraan Rumahtangga dan Persepsi Terhadap Tenaga Pendidik di RW 09 Desa Pagelaran......................88 53 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kesejahteraan Rumahtangga Terhadap Kompetensi Lulusan di RW 09 Desa Pagelaran....................................……..89 54 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kesejahteraan Rumahtangga Terhadap Kompetensi Lulusan di RW 09 Desa Pagelaran..............................................90 55 Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kesejahteraan Rumahtangga Terhadap Biaya Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran...................................................97
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka Pemikiran……………………………………………………
29
ix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Teknik Pengumpulan Data dan Kebutuhan Data bagi Penelitian.....101 Lampiran 2 Matriks Harapan Bentuk Pendidikan Pekerja Industri Skala Kecil Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin ………..........103 Lampiran 3 Kuesioner ………………………………………………................105 Lampiran 4 Kuesioner Unit Usaha......................................................................107 Lampiran 5 Panduan Pertanyaan Sebagai Pedoman Wawancara.......................108 Lampiran 6 Kuesioner Persepsi Pendidikan.......................................................110 Lampiran 7 Sketsa Lokasi Penelitian..................................................................112
x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dihadapi pada tahap pembangunan dewasa ini di bidang ketenagakerjaan sebenarnya merupakan suatu rangkaian dari masa lampau. Fenomena berlimpahnya sumberdaya manusia di satu pihak dan langkanya kesempatan kerja di lain pihak, telah disadari semenjak pertumbuhan penduduk dirasakan semakin cepat melebihi daya tampung yang ada (Tjiptoherijanto, 1990). Titik berat pembangunan ekonomi di Indonesia sejak dulu menekankan pada sector industri, walaupun diharapkan adanya keseimbangan pertumbuhan industri dan pertanian. Berdasarkan data Dirjen Industri Kecil Departemen Perindustrian Tahun 1998, industri nasional telah berkembang pesat selama dua dasawarsa terakhir ini, ditandai dengan tingkat pertumbuhan per tahun rata-rata lebih dari 10 persen. Peranan industri dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 20 persen pada akhir tahun 1992, dan sumbangannya dalam ekspor telah mencapai 58,8 persen dari ekspor nasional, serta 85 persen dari ekspor nonmigas dengan peningkatan per tahun rata-rata lebih dari 25 persen. Sumbangan tersebut telah merangsang pertumbuhan ekonomi. Salah satu kebijakan dalam menetapkan jenis-jenis industri yaitu terlihat pada pengembangan industri kecil yang memberikan peranan dalam aspek pemerataan. Pemerataan yang dimaksud terlihat dalam usaha pemerataan kesempatan berusaha, penyediaan lapangan kerja terutama bagi tenaga kerja kurang terdidik di pedesaan serta pemerataan pembangunan dengan penyebaran lokasinya sampai ke daerah-daerah pedesaan, terpencil, dan daerah perbatasan.
1
Searah dengan itu, salah satu
sasaran kebijaksanaan pengembangan industri
nasional sacara kualitatif dan kuantitatif adalah meningkatkan peranan industri menengah dan industri kecil dalam rangka pemerataan berusaha serta pembukaan lapangan kerja baru. Sampai dengan tahun 1991, jumlah industri kecil yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia sebesar 1,92 ribu unit usaha, menyerap 6,70 juta orang tenaga kerja dengan nilai produksi sebesar Rp12,90 triliyun. Perkembangan tersebut sejalan dengan misi utama industri kecil yaitu penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha, meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta penyediaan barang dan jasa bagi berbagai kebutuhan. Tumbuhnya industri kecil tersebut berjalan secara alamiah sesuai dengan potensi keberadaan bahan baku serta kemampuan teknologi yang dimiliki oleh masyarakat di daerah tersebut dan diperoleh secara turun temurun. Akan tetapi salah satu permasalahan yang ditemui dalam industri kecil yaitu tingkat pengetahuan, keterampilan dan pendidikan yang dimiliki pengrajin masih sangat terbatas. Di pedesaan, industri ini memiliki misi utama dalam penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha dan cenderung dijadikan sumber mata pencaharian utama penduduk desa. Menurut Karsidi (2003), dunia pertanian yang lebih banyak berlangsung di wilayah pedesaan dan menjadi harapan hidup lebih dari 75 persen penduduk Indonesia tidak mengalami perkembangan menyenangkan. Sektor pertanian sudah semakin padat akan tenaga kerja, sehingga mengakibatkan produktivitas/pendapatan riel per kapita menjadi rendah, sedangkan di lain pihak, keinginan generasi muda zaman sekarang untuk bekerja sebagai petani/buruh tani sudah semakin berkurang. Dampak yang ditemukan di Jawa Barat yakni terlihat
2
semakin nyata proses perubahan struktural di dalam sumber pendapatan masyarakat desa dari pertanian ke non pertanian, termasuk industri. Industri kecil tersebut memiliki spesifikasi cara kerja yang mudah, yaitu dengan proses produksi sederhana dengan perlatan sederhana, serta cara-cara pengawasan terbatas dan diiringi penggunaan teknologi yang sederhana. Hal tersebut memungkinkan untuk dikerjakan oleh masyarakat golongan bawah, sehingga peranan industri kecil ini besar artinya bagi penduduk atau tenaga kerja di pedesaan dengan pendidikan formal rendah sehingga menyebabkan kesulitan bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Mengutip pendapat Nachrowi, et.al (1997) dalam Ananta (2004) memperlihatkan adanya gejala pergeseran (shifting) pekerja anak dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Seiring dengan proses industrialisasi, lingkup pekerjaan anak-anak mengalami pergeseran. Jika pada masa pra industri banyak anak bekerja di sektor pertanian, maka dengan semakin maraknya industri, sebagian mereka menyerbu sektor industri. Tidak ketinggalan, industri skala kecil dan industri skala menengah menjadi incaran para pekerja. Oleh karena itu penelitian ini berusaha mengkaji pengaruh trend perpindahan sektor pekerjaan dari pertanian ke sektor industri terhadap persepsi pekerja industri terhadap pendidikan serta menggali faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi tersebut.
3
1.2 Perumusan Masalah Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf tertentu karena adanya berbagai hambatan menuntut adanya upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar bermanfaat bagi kehidupan. Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar dari kehidupan. Mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya dengan memberikan bentuk pendidikan yang sesuai bagi mereka. Upaya tersebut dimulai dengan menjelaskan persepsi pekerja industri terhadap pendidikan serta menggali faktor-faktor yang berhubungan dengannya, sehingga perumusan masalah dapat diuraikan sebagai berikut : a. Bagaimana persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan ? b. Faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan ? c. Mengidentifikasi pendidikan yang dibutuhkan oleh para pekerja industri skala kecil 1.3 Tujuan Penelitian a. Mengidentifikasi persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan. b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan c. Mengidentifikasi pendidikan yang dibutuhkan oleh para pekerja industri skala kecil.
4
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan dan informasi mengenai industrialisasi pedesaan serta dapat digunakan sebagai bahan penulisan yang berkaitan dengan persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan. Bagi pihak-pihak yang berwenang diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk membuat suatu solusi dalam menentukan bentuk pendidikan yang sesuai bagi mereka.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persepsi 2.1.1. Konsep Persepsi Menurut Sarwono (2002) persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Adapun mengutip pendapat Desiderato (1976) dalam Rakhmat (1991) persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Desiderato juga menegaskan bahwa persepsi juga berkaitan erat dengan atensi, ekspektasi, motivasi dan memori. Persepsi di sini juga mengandung pengertian bahwa persepsi adalah reaksi orientatif terhadap stimulus. Proses terjadi persepsi dipengaruhi oleh pengamatan lampau dan sikap individu di masa sekarang. Adapun menurut Akramuddin (2000), persepsi merupakan proses kognitif yang dialami setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungan, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan dan penciuman. Oleh karena itu persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari kemampuan kognisi dan dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan, sehingga persepsi meliputi semua proses yang dilakukan seseorang dalam memahami informasi mengenai lingkungannya. Selanjutnya menurut Rakhmat (1991) adanya pengaruh dari suatu stimuli baik internal maupun eksternal dapat mempengaruhi persepsi. Di dalam persepsi,
6
perhatian atau attention merupakan faktor dasar. Prinsip “attention getting” menentukan apa yang harus diperhatikan, yaitu apa yang dilihat secara jelas, samar-samar atau tidak kelihatan sama sekali. Prinsip itu menyangkut dua faktor : (a) faktor eksternal, yaitu segala sesuatu yang ada di sekeliling kita, (b) faktor internal, yaitu segala sesuatu yang ada dalam diri kita seperti motif dan harapan. Bailey dikutip oleh Syahyuni (1999), menyatakan bahwa persepsi seseorang terhadap suatu fakta atau keterangan, ditentukan oleh nilai dan kepercayaan yang dianut serta pengalaman masa lalu. Menurut perincian Bruner (1967) dalam Sarwono (2003) persepsi adalah proses kategorisasi. Organisme dirangsang oleh suatu masukan tertentu (obyek-obyek di luar, peristiwa dan lain-lain) dan organisme itu berespons dengan menghubungkan masukan itu dengan salah satu kategori
(golongan)
obyek-obyek
atau
peristiwa-peristiwa.
Proses
menghubungkan ini adalah proses yang aktif dimana individu yang bersangkutan dengan sengaja mencari kategori yang tepat sehingga ia dapat mengenali atau memberi arti kepada masukan tersebut. Dengan demikian persepsi juga bersifat inferensial (menarik kesimpulan). Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi merupakan suatu proses aktif timbulnya kesadaran individu melalui proses sensori dalam melakukan penerimaan, penyeleksian dan pengorganisasian. Seluruh informasi tersebut kemudian diberi arti dan nilai sebagai suatu objek yang berkaitan dengan faktor internal serta eksternal individu. Faktor-faktor tersebut meliputi keberadaan objek, kejadian dan orang lain. Adapun sejumlah informasi dari luar mungkin tidak disadari, dihilangkan atau disalahartikan. Mekanisme
7
penginderaan manusia yang kurang sempurna ini merupakan salah satu sumber kesalahan persepsi (Bartol dan Bartol, 1994) 1. 2.1.2
Proses Terbentuknya Mempengaruhinya
Persepsi
dan
Faktor-Faktor
yang
Proses terbentuknya persepsi tidak terlepas dari pengalaman penginderaan dan pemikiran. Tiwikromo et al. (1995) dalam Yuniarti (2000) menjelaskan bahwa pengalaman dimasa lalu akan memberikan dasar pada pemahaman penerimaan, pandangan atau tanggapan manusia terhadap sesuatu yang ada di sekitarnya. Dalam mempersepsikan sesuatu objek, digunakan konsep-konsep tertentu. Kategorisasi yang dihasilkan dari konsep tersebut akan berbeda bagi tiap orang, karena kebutuhan setiap orang berbeda. Selanjutnya Robbin (1988) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi selain juga memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi antar individu terhadap objek yang sama. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Keadaan pribadi orang yang mempersepsi Adalah faktor yang terdapat dalam diri individu yang mempersepsikan. Misalnya kebutuhan, suasana hati, pengalaman masa lalu dan karakteristik lain yang terdapat dalam diri individu. Adanya faktor fungsional yang dapat menyebabkan perbedaan persepsi pada setiap orang terhadap suatu objek yang sama.
1
http ://teori-psikologi.com/2008/05/pengertian-persepsi.html
8
2. Karakteristik yang dipersepsi Karena target tidak dilihat sebagai suatu yang terisolasi, maka hubungan antar target dan latar belakang serta kedekatan/kemiripan dan hal-hal yang dipersepsi dapat mempengaruhi persepsi seseorang. 3. Konteks situasi terjadinya persepsi Waktu dipersepsinya suatu kejadian juga dapat mempengaruhi persepsi, demikian pula dengan lokasi, cahaya, panas atau faktor situasional lainnya. Mengutip pandapat Krech & Cruchfield (1948) dalam Rakhmat (1991) dinyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu perhatian, faktor fungsional dan faktor struktural. •
Perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli
menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Faktor eksternal penarik perhatian terdiri atas: gerakan, intensitas stimuli, kebaruan, dan perulangan. Adapun faktor internal penaruh perhatian merujuk pada perhatian yang selektif. Apa yang menjadi perhatian kita lolos dari perhatian orang lain, atau sebaliknya. Ada kecenderungan kita melihat apa yang ingin kita lihat, mendengar apa yang
ingin kita dengar. Perbedaan tersebut
dipengruhi oleh : faktor biologis, dan faktor sosiopsikologis. •
Faktor fungsional, yaitu faktor-faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli itu. Dari sini, Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi yang pertama : persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti
9
bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek-objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. Mereka memberikan contoh pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya terhadap persepsi. •
Faktor struktural, yaitu faktor-faktor yang berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek syaraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Dari prinsip ini, Krech dan Crutchfield melahirkan dalil persepsi yang kedua : Medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Kita mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang kita terima tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan intepretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsi. Selain itu mengutip pendapat Krech dan Crutchfield (1962) dalam
Estiningsih (1998) dikemukakan bahwa setiap orang memiliki kesan yang sangat individual sifatnya dalam melihat dunia, karena kesan seseorang ini dihasilkan oleh : a. Lingkungan fisik dan sosialnya, b. Struktur fisiologisnya, c. Kebutuhan dan cita-citanya d. Pengalaman masa lalunya Dengan demikian, suatu objek dapat dilihat secara berbeda oleh masing-masing individu tergantung dari empat hal tersebut, sehingga yang penting untuk diperhatikan adalah persepsi subyektif dari individu, bukan lagi apa yang diamatinya secara obyektif (Fiske dan Shelley dalam Estiningsih, 1998)
10
2.1.3 Hubungan antara Persepsi dan Perilaku Pengalaman, tingkah laku dan persepsi merupakan tiga aspek yang saling berhubungan. Apa yang dilakukan seseorang tidak terlepas dari caranya mempersepsikan situasi, mengapresiasikannya atau apa yang diingat mengenai hal yang dihadapi (Saparinah Sadli dalam Yuniarti, 2000). Akan tetapi hal berbeda dikemukakan oleh Estinigsih (1998) dalam studinya tentang persepsi buruh anak terhadap sekolah dan kerja, memberikan kesimpulan bahwa perilaku subjek tidak selalu tergantung pada persepsinya melainkan terpenuhi tidaknya kebutuhan seseorang. Begitu pula mengutip pendapat Susanti (1979) dalam studinya tentang persepsi remaja terhadap masa depan pendidikan formal menambahkan bahwa tidak konsistennya hubungan antara persepsi dan perilaku dipengaruhi oleh faktor internal (motivasi) dan eksternal (lingkungan keluarga, sosial dan kondisi ekonomi). Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi seseorang terhadap objek tidak selalu mempengaruhi perilakunya, tetapi tergantung pula pada faktor eksternal lingkungannya. 2.2 Pendidikan Mengutip pendapat Langeveld dalam Hasbullah (1998), pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa.
11
Adapun berdasarkan Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, jalur dalam pendidikan terbagi atas tiga kelompok, yaitu : a. Pendidikan formal Pendidikan formal adalah sistem pendidikan yang strukturnya bertingkat, berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai dengn univesitas dan yang setaraf dengannya, termasuk kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, bermacam-macam program spesialisasi dan latihan-latihan teknik serta latihan profesional yang dilaksanakan dalam waktu terus-menerus. b. Pendidikan nonformal Pendidikan nonformal adalah kegiatan yang diorganisasikan di dalam maupun di luar sistem persekolahan yang mapan apakah dilakukan secara terpisah atau sebagai bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu untuk mencapai tujuan belajarnya. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, dan majelis taklim, serta semua satuan pendidikan yang sejenis. d. Pendidikan informal Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang hayat, tiap-tiap orang memperoleh nilai, sikap keterampilan dan pengetahuan yang bersal dari pengalaman hidup sehari-hari dan dari pengaruh-pengeruh dan sumber-sumber pendidikan dalam lingkungan hidupnya dari keluarga dan tetangga, pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan dan media massa.
12
Pendidikan ini juga merupakan jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. 2.3 Persepsi terhadap Pendidikan Pendidikan
merupakan
dasar
pembangunan
manusia.
Pentingnya
pendidikan harus dilihat dalam konteks hak-hak asasi manusia (ILO dan Unicef, 1994) dalam Ananta (2004). Artinya setiap manusia berhak untuk memperoleh pendidikan. Pada sisi lain, pendidikan merupakan kebutuhan dasar dari keberhasilan
dan
kesinambungan
pembangunan,
karena
pembangunan
memerlukan sumberdaya manusia yang berkualitas serta mampu memanfaatkan, mengembangkan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (BPS, 1997). Mengutip pendapat Syahyuni dalam Djojonegoro (1994), pendidikan formal maupun informal merupakan hal yang penting bagi perkembangan seorang manusia. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pendidikan diarahkan pada tujuan yang seimbang, yaitu untuk membina peserta didik agar menjadi warga negara yang baik, serta menyiapkan untuk bekerja secara produktif. Keseimbangan tersebut sangat diperlukan karena dikalangan masyarakat, terutama mereka dengan tingkat sosial ekonomi rendah, masih memandang pendidikan dasar kurang mempunyai nilai guna bagi pengentasan taraf kehidupan. Terdapat anggapan bahwa apa yang mereka peroleh di sekolah tidakmempunyai banyak arti baik bagi pembentukan pribadi peserta didik maupun untuk upaya memperoleh pekerjaan yang layak. Akibatnya, oleh sebagian masyarakat sekolah dianggap menjauhkan dari keidupannya.
Bagi keluarga miskin tersebut memilih
menyekolahkan anak agar terhindar dari dunia kerja, merupakan beban yang berat. Disamping itu, ILO dan Unicef juga menyatakan bahwa kesempatan
13
mendapat pendidikan bagi anak-anak miskin terbatas dan biayanya masih sangat mahal. Mutu pendidikan yang rendah mengakibatkan anak-anak tidak mempunyai motivasi untuk tetap sekolah (Ananta, 2004). Faktor ini ditemukan sebagai salah satu penyebab masih tingginya angka putus sekolah dasar dan rendahnya angka yang melanjutkan lulusan SD ke SLTP. Senada dengan hal tersebut, harapan terlaksananya progam Wajib Belajar belum dapat terwujud. Mengutip pendapat Usman (1996) dalam Ananta (2004) disebutkan bahwa permasalahan yang dihadapi orang tua untuk mendidik anaknya bukan sekedar ketidakmampuan membiayai pendidikan, tetapi lebih dari itu, yaitu ketidakmampuan orang tua untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari, bahkan untuk makan sekalipun. Akhirnya, anak-anak dipandang sebagai faktor produksi, yang harus berperan akatif mencukupi kebutuhan keluarga. Selain itu, ditemukan bahwa faktor kebutuhan subjek mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan faktor kondisi fisik dan pengalamannya. Hal ini berarti individu mempersepsikan sekolah sebagai hal yang positif bukan berdasarkan pengalamannya melainkan berdasarkan dipenuhi tidaknya kebutuhan sebagai anak-anak. Mengutip pendapat Susanti (1979) dalam studinya, ditemukan bahwa pada remaja dengan golongan sosial ekonomi rendah sebanyak 75 persen mempunyai keiginan untuk melanjutkan sekolah, akan tetapi sebanyak 62 persen merasa ragu-ragu akan masa depan pendidikannya. Hal ini disebabkan oleh hambatan ekonomi sebagai hambatan terbesar, disamping adanya hambatan yang sifatnya non ekonomi. Selain itu, dalam penelitian Syahyuni (1999) ditemukan bahwa karakteristik pekerja industri dalam hubungannya dengan persepsi tentang
14
pendidikan formal anaknya adalah responden yang berumur muda, berpendidikan tinggi dan berpendapatan tinggi. Dalam penelitian ini persepsi terhadap pendidikan ditinjau dari beberapa aspek yaitu : a. Isi Standar isi merupakan ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. b. Proses Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. c. Tenaga Pendidik Merupakan
anggota
masyarakat
yang
bertugas
membimbing,
mengajar, dan/atau melatih peserta didik. d. Kompetensi Lulusan Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. e. Sarana dan Prasarana Satandar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel
15
kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan teknologi. f. Biaya Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. 2.4 Industrialisasi Pedesaan 2.4.1 Konsep Mengutip Pendapat Gunnar Myrdal dalam Rahardjo (1986), industrialisasi yang diwujudkan dengan pendirian pabrik-pabrik besar dan modern, bagi para politisi dan negarawan merupakan simbol dari kemajuan pembangunan. Disamping itu, industrialisasi memang dinilai sebagai “kunci” yang bisa membawa masyarakat ke arah kemakmuran, setidak-tidaknya sebagai motor bagi pembangunan ekonomi. Selain dapat meningkatkan produksi barang-barang, industrialisasi diperkirakan pula dapat mengatasi masalah kesempatan kerja yang makin sempit di sektor pertanian. Tapi memang
ada alasan-alasan yang lebih rasional mengapa sektor
industri dianggap lebih penting untuk dikembangkan. Pertama, karena penanaman modal di sektor pertanian dinilai kurang menguntungkan. Dengan perkataan lain, marginal rate of return dari sektor pertanian diperkirakan rendah. Lagi pula, karena tekanan perkembangan penduduk yang terus menerus, maka bidang ini akan makin terkena hukum “hasil yang makin kecil” (law of diminishing return). Alasan lainnya adalah, bahwa sektor pertanian dianggap lambat pertumbuhannya –bahkan berkecenderungan stagnan—antara lain disebabkan karena terdapatnya
16
hambatan sosial dan institusional yang sulit diubah, setidak-tdaknya dalam tempo cepat. Mengutip pendapat Rahardjo (1986) dalam bukunya dengan mendasarkan diri pada cara pengamatan Fisher, Clark, atau Kusnetz, maka kedudukan sektor pertanian dalam struktur PDB makin lama makin merosot sejalan dengan perkembangan ekonomi. Apabila sektor pertanian tumbuh lebih lambat, sedangkan sektor lain lebih cepat, maka jelas kedudukan relatif sektor pertanian akan merosot baik dlihat dari segi struktur PDB maupun kesempatan kerja. Tapi sekalipun sektor pertanian tumbuh sangat cepat, namun kecepatannya juga memerosotkan kedudukan sektor pertanian itu sendiri, yaitu membawa pergeseran dalam struktur kesempatan kerja. Logikanya adalah bahwa pertumbuhan yang lebih cepat tentu disebabkan oleh faktor pengguna teknologi yang lebih efesien. Teknologi yang lebih tinggi produktivitasnya ini tentu bersifat hemat tenaga kerja, sehingga menghalau pekerja di sektor pertanian ke sektor-sektor lain. Konsep industrialisasi didefinisikan bermacam-macam. Herg dalam Mirajiani (2003) berpendapat industrialisasi merupakan perkembangan organisasi sosial secara umum dalam negara dimana muncul kewiraswastaan dalam bidang pengolahan atau manufaktur dan didukung oleh lembaga-lembaga swasta dan pemerintah. Sementara menurut Rahardjo (1986) dalam proses industrialisasi terdapat gejala ekonomi berupa perkembangan infrastruktur dan perdagangan dengan proses kapitalisasi (akumulasi dan konsentrasi modal), persaingan dengan motif ekonomi (keuntungan). Menurut Biro Pusat Statistik (BPS, 2002) proses industrialisasi di pedesaan memang sangat diperlukan karena merupakan salah satu cara yang efektif
untuk meningkatkan produktivitas ekonomi atau nilai
17
tambah di pedesaan. Proses industrialisasi di pedesaan yang dimaksud adalah pertumbuhan sektor industri (manufaktur) dari semua kategori skala usaha dan pertumbuhan serta diversifikasi di sektor pertanian dan pertumbuhan di sektor lokal-lokal lainnya, antara lain transpor, perdagangan, bangunan dan keuangan. Jadi, proses industrialisasi bukan maksudnya hanya pertumbuhan sektor industri, melainkan suatu proses perkembangan serta pertumbuhan di semua sektor ekonomi sekaligus. 2.4.2 Serapan Tenaga Kerja Menurut Sektor Dalam proses industrialisasi, sektor tenaga kerja serta lapangan pekerjaan memegang peranan yang penting. Hal ini dikarenakan perkembangan jumlah tenaga kerja yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan lapangan kerja akan menyebabkan tingkat kesempatan atau penyerapan kerja cenderung menurun. Namun demikian, jumlah penduduk yang bekerja tidak dapat sepenuhnya dipandang sebagai jumlah kesempatan kerja yang ada, hal ini dikarenakan sering terjadinya mismatch dalam pasar kerja.
Proses industrialisasi di Jawa Barat,
khususnya di Kabupaten Bogor terlihat pada adanya perkembangan penyerapan tenaga kerja pada sektor industri yang melebihi sektor pertanian. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Penduduk Berumur 10 ke atas yang Bekerja menurut Lapangan Usaha Utama di Kabupaten Bogor Tahun 2000-2003, 2000-2006 Lapangan Usaha Utama Pertanian Industri Jasa
Tahun 2000
2001
2002
2003
2005
2006
230.483 200.670 176.231
377.410 252.670 188.994
342.492 186.949 172.134
241.818 275.618 188.994
234.236 283.831 222.198
218.745 298.110 248.745
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS (2006)
18
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa setelah tahun 2001 terjadi penurunan dalam jumlah ketersediaan lapangan usaha di sektor pertanian, sedangkan sektor industri mengalami kenaikan terus-menerus setelah tahun 2002. Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi proses industrialisasi di Kabupaten Bogor. Hal senada juga ditunjukkan pada tabel 2 yang menunjukkan adanya lonjakan jumlah tenaga kerja di sektor produksi melebihi tenaga kerja di sektor pertanian secara terus menerus. Hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut : Tabel 2 Penduduk Berumur 10 Tahun ke atas yang Bekerja menurut Jenis Pekerjaan Utama di Kabupaten Bogor Tahun 2002, 2003, 2005 dan 2006 Lapangan Usaha Utama Tenaga Usaha Pertanian Tenaga Usaha Produksi Tenaga Usaha Jasa
Tahun 2002 43.182 287.652 43.449
2003 180.418 241.818 93.704
2005 234.312 498.286 139.314
2006 248.040 498.834 164.719
Sumber : Survei Ekonomi Nasional, BPS (2006) 2.5 Industri Industri adalah suatu kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, bahan setengah jadi dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayaan industri. Lebih lanjut kelompok industri adalah bagian-bagian utama kegiatan industri, terdiri atas kelompok industri hulu atau disebut juga kelompok industri dasar dan kelompok industri hilir dan industri kecil. (Undang-undang no.5 tahun 1984 pasal 1 ayat 3). Kuswartojo dalam Mirajiani (2003) mendefinisikan industri sebagai kegiatan untuk menghasilkan barang-barang secara massal, dengan mutu ajeg, untuk kemudian di jual dan diperdagangkan. Guna menjaga kemassalan dan keajegannya, diguankan sejumlah tenaga kerja dengan peralatan,
19
teknik dan cara serta pola kerja tertentu sehingga timbul pembedaan indsutri berdasarkan besar-kecilnya, modern-tradisionalnya. Industri menurut skala usahanya yaitu : 1. Industri skala besar adalah usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja atau karyawan 100 orang atau lebih. 2. Industri sedang adalah usaha industri pengoalahan yang mempunyai pekerja atau karyawan 20 sampai 99 orang 3. Industri kecil adalah usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja atau karyawan lima sampai dengan 19 orang. 4. Industri rumah tangga adalah usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja atau karyawan satu sampai dengan empat orang. Menurut BPS (2002) jumlah industri terbanyak di Kabupaten Bogor adalah industri tekstil, pakaian jadi dan kulit sebanyak 112, diikuti industri barang-barang dari industri kimia sebanyak 85 dan industri logam sebanyak 82. 2.5.1 Industri Skala Kecil Berdasarkan klasifikasi Biro Pusat Statistik (BPS) industri skala kecil (ISK) adalah unit usaha (di sektor manufakur) dengan jumlah pekerja antara satu orang sampai 19 orang, tanpa melihat berapa besar modal awal usaha tersebut. Selanjutnya, ISK dikelompokkan ke dalam dua kategori (1) industri rumahtangga atau sering disebut cottage atau household/home industries (HIs) dan (2) industri kecil (SFs). Kelompok HIs sifatnya lebih tradisional dibanding dengan kelompok SFs. Berbeda dengan SFs, HIs pada umumya tidak memiliki tempat kerja khusus atau pabrik, dengan demikian kegiatan industri dilakukan di dalam rumah si pengusaha dan lebih banyak memakai tenaga kerja yang tidak dibayar, yaitu
20
anggota keluarga si pengusaha itu sendiri. Sedangkan SFs memiliki pabrik kecil yang terletak terpisah dari bangunan rumah si pengusaha tetapi masih di dalam halaman rumah dan memakai tenaga kerja yang digaji. Selain perbedaan di atas, jenis teknologi dan metode produksi yang dipergunakan di HIs adalah lebih tradisional dan primitif dibandingkan dengan yang dipakai di SFs. Peranan ISK di negara-negara yang sedang berkembang lebih sering dikaitkan dengan masalah-maslah ekonomi dan sosial di dalam negeri yang bersangkutan seperti masalah kemiskinan, jumlah pengangguran yang tinggi, distribusi pendapatan nasional yang tidak merata dan tingkat pembangunan ekonomi di pedesaan yang masih sangat terbelakang (underdeveloped). Bentuk peranan ISK negara berkembang sangat erat kaitannya dengan sifat-sifat utama ISK di negara itu sendiri. Pertama, ISK sangat local labour-intensive, dalam arti sangat banyak memakai tenaga kerja orang-orang setempat (lokal) dengan tingkat pendidikan rendah (sekolah dasar dan tidak sampai tamat SD). Kedua, ISK sangat intensif dalam pemakaian sumber-sumber alam lokal. Ketiga, sebagian besar ISK terdapat di pedesaan. Keempat, pada umumnya ISK membuat barang-barang konsumsi dan industri untuk kebutuhan pasar lokal dan terutama bagi kalangan miskin. Suatu proses produksi yang sangat padat tenaga manusia, terutama tenaga kerja yang berasal dari penduduk lokal dan berpendidikan rendah, merupakan salah satu karakteristik utama ISK. Pekerja-pekerja termasuk pengusaha ISK juga banyak dari golongan kaum tua yang sudah pensiun atau dengan fisik sudah lemah di samping anak-anak sekolah, anak-anak gadis, dan ibu rumahtangga. Hal ini tergantung pada bentuk ata sifat kegiatan yang dilakukan atau jenis barang
21
yang dibuat. Kegiatan-kegiatan seperti menganyam bambu, membuat kue-kue, dan jenis makanan seperti tempe/tahu dan kerupuk/emping banyak memakai tenaga perempuan, terutama ibi-ibu rumahtangga yang mengisi waktu kosong mereka. Proses membuat kue di ISK, pada umumnya salah satu kegiatan industri yang sederhana, tidak memakai mesin besar atau alat-alat yang berat, dan bisa dilakukan oleh ibu-ibu sambil mengerjakan kegiatan rutin rumahtangga mereka (Van Velzen, 1988, 1989 dan Rutten, 1990 dalam Swasono, 1990). Adapun kegiatan-kegiatan yang memerlukan ekstra tenaga atau keahlian khusus tertentu seperti pandai besi, membuat sepatu, mencetak batu bata dan genteng serta membuat ukiran-ukiran, lebih banyak memakai tenaga lelaki. Selanjutnya, ISK tidak hanya merupakan sumber pendapatan primer, tetapi juga sekunder baik juga yang bersifat musiman maupun tetap, terutama bagi petani dan buruh tani yang pada saat kegiatan bertani lesu. Mereka ini melakukan kegiatan-kegiatan non-pertanian termasuk industri, tergantung pada modal awal serta keahlian khusus untuk membuat sesuatu yang mereka miliki saat ini. Oleh karena itu, bisa dibayangkan betapa pentingnya ISK bagi keluarga-keluarga petani, terutama pada saat kegiatan di sektor pertanian berkurang. Dengan demikian dengan adanya ISK apa yang dimaksud dengan arus seasonal migration ke kota-kota besar selama musim tersebut bisa dikurangi. Memang sudah terbukti bahwa ISK sangat penting bagi penting bagi sebagian penduduk terutama dari golongan pendapatn rendah di pedesaan. Di lain pihak terbukti bahwa pada umumnya pendapata di ISK rendah, malahan dalam banyak kasus ternyata lebih
22
rendah daripada pendapatan bersih sebagai seorang petani yang memiliki lahan kecil. Industri kecil dikenal dalam kehidupan masyarakat karena akar sejarahnya yang panjang serta terkait erat dengan tradisi dan jalur kehidupan dari sejumlah besar anggota masyarakat dari sektor ekonomi kerakyatan. Artinya tidak sekedar bagian dari kehidupan industri yang dapat diukur nilainya secara material sematamata. Karena itu pembicaraan tentang pengembangan industri kecil, hendakya memperhatikan sekurang-kurangnya tiga aspek utama, yakni (1) industri kecil adalah subsektor yang menampung kehidupan dan tradisi budaya dari sejumlah besar anggota masyarakat, (2) industri kecil adalah bagian dari sarana untuk penciptaaan kesempatan kerja dan pengembangan kreativitas bagi angkatan kerja yang umumnya memiliki tngkat pendidikan formal yang tidak memadai bagi penyerapan kerja di sektor modern, (3) industri kecil adalah juga sarana distribusi kesempatan berusaha dan pendapatan yang lebih menjamin perwujudan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya (Swasono, 1988). 2.5.2 Perkembangan Jumlah Industri Menurut Skala Usaha Peranan industri kecil di Indonesia pada kenyataannya cukup besar. Industri kecil mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Hamid ( dalam Mubyarto, 1993 ) menyatakan dari 5,3 juta kesempatan kerja yang ada pada sektor industri pada tahun 1985, sebanyak 68% terserap oleh industri kecil kerajinan. Adapun di wilayah kerja Jawa Barat, pada tahun anggaran 1994/1995, Sentra Industri Kecil yang dibina oleh pemerintah daerah propinsi Jawa Barat telah menyerap tenaga kerja sebanyak 269.428 orang. Selain jumlah tenaga kerja tersebut, industri kecil di Jawa Barat mengandung nilai investasi total :
23
Rp 36.599.493.000,00 ( Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Propinsi Jawa Barat, 1994 ). Menurut Departeman Perindustrian, industri kecil merupakan bagian dari industri nasional yang mempunyai misi utama adalah penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, penyediaan barang dan jasa serta berbagai komposisi baik untuk keperluan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Sesuai dengan pembatasan skala usaha, industri kecil adalah industri yang mempunyai total asset maksimum Rp 600 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan yang ditempati dan dimiliki oleh warga negara Indonesia. Industri ini dikelompokkan atas lima cabang pembinaan, yaitu industri pangan, industri sandang dan kulit, industri kimia dan bahan bangunan, industri logam, serta industri kerajinan dan umum. Sampai dengan tahun 1991, jumlah indsutri kecil yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia sebesar 1,92 ribu unit usaha, menyerap 6,70 juta tenaga kerja dan mempunyai nilai produksi sebesar Rp. 12,90 triliyun. Di Kabupaten Bogor dalam jangka lima tahun terakhir terlihat bahwa adanya perkembangan industri kecil menengah yang melebihi perkembangan industri besar. Hal tersebut terlihat pada Tabel 3 berikut : Tabel 3 Jumlah Unit Usaha Industri Berdasarkan Komoditi di Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007 Skala Industri Industri Menengah Besar Industri Kecil Menengah
2003 455 1.096
2004 497 1.186
Tahun 2005 538 1.257
2006 578 1.291
2007 667 1.386
Sumber : Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor Perkembangan industri kecil di Kabupaten Bogor khususnya Kecamatan Ciomas terlihat pada banyaknya mata pencaharian penduduk yang lebih dominan di sektor industri. Kegiatan industri yang paling dominan adalah persepatuan.
24
Industri persepatuan ini sudah terkenal di kecamatan tersebut, yaitu sudah dijumpai di beberapa desa dimana hampir semua anak-anak muda dapat membuat sepatu. Banyak dari mereka yang menjadi buruh sepatu di industri-industri sepatu yang ada dan banyak juga yang membuka usaha sepatu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 berikut : Tabel 4 Jumlah Rumah Tangga Menurut Jenis Pekerjaan Utama di Kecamatan Ciomas Tahun 1998-2003 No.
1. 2. 3. 4. 5.
Desa
Kota Batu Mekarjaya Ciomas Pagelaran Ciomas Rahayu
1998 Pert Ind 73 99 48 297 48 129 22 147 6 16
1999 Pert Ind 62 109 49 304 42 179 19 154 7 54
Tahun 2000 Pert Ind 62 659 112 367 42 183 19 214 7 183
2001 Pert Ind 51 959 113 477 44 241 17 271 7 184
Pert 50 119 44 17 5
2003 Ind 1.478 502 454 285 159
Sumber : Profil Desa, BPS (2002) 2.6 Kerangka Pemikiran Perkembangan industri di Indonesia telah menyebabkan terjadinya pergeseran lapangan kerja yang diminati oleh tenaga kerja. Sebagian besar angkatan kerja baru lebih memilih sektor industri daripada tetap bekerja di sektor pertanian, karena menurut mereka sektor pertanian tidak menjanjikan hasil yang memadai. Gejala di pedesaan secara lambat laun semakin nyata terlihat yakni sektor pertanian sudah tidak mampu menampung lonjakan tenaga kerja sehingga mengakibatkan produktivitas atau pendapatan riel per kapita mejadi rendah, sedangkan di lain pihak, keinginan generasi muda zaman sekarang di pedesaan untuk bekerja sebagai petani atau buruh tani sudah semakin berkurang. Laju lonjakan penduduk yang cukup pesat tersebut tentunya menuntut adanya perubahan, sekaligus bertambahnya keinginan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang secara kumulatif menuntut tersedianya sarana
25
pendidikan yang memadai. Kenyataan tersebut menyebakan daya tampung ruang dan fasilitas pendidikan sangat tidak seimbang. Hal ini pula yang menyebabkan sulitnya menentukan bagaimana relevansi pendidikan dengan dunia kerja sebagai akibat tidak seimbangnya antara output lembaga pendidikan dengan kesempatan yang tersedia. Di sisi lain pengembangan industri kecil di pedesaan dalam memberikan aspek pemerataan, yaitu dalam hal : (1) kesempatan berusaha dan (2) penyediaan lapangan kerja bagi tenaga kerja kurang terdidik diduga menjadi solusi bagi tenaga kerja di pedesaan yang memiliki pendidikan formal tidak memadai. Hal-hal tersebut diduga mempengaruhi persepsi akan pendidikan bagi para pekerja industri kecil. Di satu sisi pandangan dan keinginan terhadap pendidikanpun tidaklah sama bagi semua pekerja. Adanya perbedaan pandangan/persepsi pekerja terhadap bentuk pendidikan ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mencakup faktor fungsional (kebutuhan, pengalaman, usia, masa lalu, kepribadian, jenis kelamin, dan lain-lain yang bersifat subjektif), faktor struktural (lingkungan keluarga dan nilai-nilai dalam msayarakat) serta atensi, ekspektasi, motivasi dan memori. Ketiga faktor tersebut didekati melalui faktor internal dan faktor eksternal. Fakor internal ini berisi faktor personal (fungsional) yang diduga meliputi: 1. Jenis kelamin Jenis kelamin diduga berhubungan dengan persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan dengan asumsi bahwa terdapat kecenderungan cara pandang laki-laki yang lebih beragam terhadap pendidikan. Hal tersebut disebabkan kecenderungan laki-laki yang lebih mudah dalam mengakses
26
pendidikan karena adanya harapan bagi mereka untuk dapat bekerja mencukupi kebutuhan keluarga. 2. Usia Usia diduga berhubungan dengan persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan dengan asumsi bahwa pengalaman yang seseorang terima dalam bertambahnya usia dapat berhubungan dengan cara pandang seseorang terhadap pendidikan. Jika usia responden <18 tahun, umumnya pendidikan yang telah diperoleh hanya sebatas pendidikan formal sehingga cara pandang terhadap pendidikan cenderung tidak beragam. Sebaliknya pada responden berusia >18 tahun akan lebih beragam dalam memaknai pendidikan seiring lebih banyaknya waktu yang tersedia bagi mereka untuk mengakses pendidikan. 3. Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan merupakan pendekatan dari faktor pengetahuan terhadap objek psikologis. Tingkat pendidikan diduga berhubungan dengan persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan karena tingkat pendidikan formal maupun non formal yang telah diperolah oleh para pekerja industri tersebut dapat mempengaruhi wawasan dan pengetahuan umum yang telah mereka terima dalam proses belajar saat mengenyam pendidikan. 4. Kebutuhan Bekerja Kebutuhan bekerja diduga berhubungan dengan persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan yang dilihat dari peranan anak dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga Jika kebutuhan bekerja cenderung ke arah pemenuhan kebutuhan pribadi maka cara pandang akan pendidikan akan lebih
27
beragam karena adanya keinginan individu untuk memeproleh pendidikan lebih besar. Sebaliknya jika kebutuhan bekerja cenderung memenuhi kebutuhan keluarga maka pemaknaan akan pendidikan cenderung terbatas karena adanya kebutuhan untuk lebih mementingkan bekerja. Hal ini mempengaruhi cara pandang responden dalam melihat hubungan pendidikan dengan upaya memenuhi kebutuhan hidup. Faktor eksternal lebih cenderung mengarah pada stimuli yang diterima pada lingkungan sosialnya. Hal tersebut diduga meliputi : 1. Teman sepergaulan Teman sepergaulan merupakan pendekatan dari faktor nilai-nilai dalam masyarakat. Teman sepergaulan diduga berhubungan dengan persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan dengan mengambil contoh significant others. Teman sepergaulan dapat mempengaruhi responden baik dalam pemberian nilai ataupun bersikap. Pada responden dengan karakteristik teman homogen baik dari segi pendidikan maupun pekerjaan diduga akan memberikan pengaruh kuat (interaksi intensif) pada subjek terhadap pemaknaan pendidikan yang tidak beragam. Sebaliknya, pada responden dengan karakteristik teman heterogen baik dari segi pendidikan maupun pekerjaan akan diduga akan memberikan pengaruh tidak kuat (interaksi tidak intensif) terhadp subjek sehingga pemahaman akan pendidika cenderung aka beragam. 2. Tingkat kesejahteraan rumahtangga Kesejahteraan rumah tangga merupakan pendekatan dari faktor lingkungan keluarga diduga berhubungan dengan persepsi pekerja industri skala kecil
28
terhadap pendidikan. Pada responden dengan tingkat rumahtangga cukup sejahtera akan cenderung memaknai pendidikan lebih beragam. Hal ini dikarenakan adanya pemenuhan kebutuhan yang tidak hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar. Sebaliknya pada responden dengan tingkat rumah tangga tidak sejahtera maka orientasi pemenuhan kebutuhan hidup terbatas pada kebutuhan dasar, sehingga pemaknaan terhadap pendidikan cenderung tidak beragam. Selanjutnya kedua faktor dalam pembentukan persepsi tersebut diduga berhubungan terhadap pandangan pekerja terhadap bentuk pendidikan meliputi isi, proses, tenaga kependidikan, kompetensi lulusan, sarana dan prasarana serta pembiayaan (sesuai dengan beberapa faktor dalam standar nasional pendidikan). Hasil dari proses persepsi tersebut dapat mempengaruhi kesimpulan dalam menentukan bentuk pendidikan yang sesuai bagi para pekerja industri skala kecil tersebut. Secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Faktor Internal 1. Jenis kelamin 2. Usia 3. Tingkat pendidikan 4. Kebutuhan bekerja
Persepsi Pekerja Industri terhadap Pendidikan 1. Isi 2. Proses 3. Tenaga kependidikan 4. Kompetensi lulusan 5. Sarana dan prasarana 6. Biaya
Faktor eksternal 1. Teman sepergaulan 2. Tingkat kesejahteraan rumah tangga
Keterangan :
Pendidikan yang Dibutuhkan Oleh Pekerja Industri 1. Isi 2. Proses 3. Tenaga kependidikan 4. Kompetensi lulusan 5. Sarana dan prasarana 6. Biaya
: hubungan yang dihipotesiskan : hubungan yang tidak dihipotesiskan
29
2.7 Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara faktor internal dengan persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan. a. Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi pekerja industri terhadap pendidikan . • Laki-laki
: kecenderungan persepsi akan pendidikan beragam
• Perempuan
: kecenderungan persepsi akan pendidikan tidak beragam
b. Terdapat hubungan antara usia dengan persepsi pekerja industri terhadap pendidikan . c. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi pekerja industri terhadap pendidikan . d. Terdapat hubungan antara kebutuhan bekerja dengan persepsi pekerja industri terhadap pendidikan . 2. Terdapat hubungan antara faktor eksternal dengan persepsi pekerja industri terhadap pendidikan. a. Terdapat hubungan antara teman sepergaulan dengan persepsi pekerja industri terhadap pendidikan. b. Terdapat hubungan antara kesejahteraan rumahtangga dengan persepsi pekerja industri terhadap pendidikan.
30
2.8 Definisi Operasional 1. Persepsi pekerja industri skala kecil terhadap bentuk pendidikan adalah pandangan atau pemahaman pekerja terhadap keberagaman jalur-jalur pendidikan berdasarkan pengalaman penginderaan dan pemikiran. Untuk melihat persepsi pekerja industri skala kecil terhadap bentuk pendidikan diukur melalui indikator isi, proses, kompetensi lulusan serta biaya yang terdapat pada tiap-tiap jalur pendidikan tersebut. Persepi pekerja industri dikategorikan menjadi : •
1 = pengetahuan akan pendidikan termasuk dalam pendidikan formal
•
2 = pengetahuan akan pendidikan termasuk dalam pendidikan nonformal
•
3 = pengetahuan akan pendidikan termasuk dalam pendidikan informal
2. Faktor internal adalah ciri-ciri dari individu menurut jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan kebutuhan bekerja. a. Jenis kelamin adalah identifikasi pekerja industri skala kecil yang dikategorikan menjadi : •
1 = Laki-laki
•
2 = Perempuan
b. Usia adalah jumlah tahun hidup pekerja industri skala kecil yang dikategorikan menjadi : •
Tua = >18 tahun
•
Muda = 10-18 tahun
31
c. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti responden. Tingkat pendidikan formal dikategorikan menjadi •
1 = Tidak sekolah
•
2 = Tamat SD/tamat SD
•
3 = Tamat SLTP atau sederajat
•
4 = Tamat SLTA atau sederajat
d. Kebutuhan bekerja adalah peranan responden dalam pemenuhan kebutuhan keluarga dan pribadi. Kebutuhan bekerja tersebut itu dikelompokkan menjadi : •
1 = Seluruh pendapatan responden digunakan untuk keperluan pribadi
•
2 = Pendapatan responden dibagi dua untuk diri sendiri dan keluarga
•
3= Pendapatan responden diberikan sedikit kepada keluarga untuk memenuhi keperluan pribadi
•
4 = Seluruh pendapatan responden diberikan kepada keluarga
3. Faktor eksternal adalah segala sesuatu yang berada di luar individu, meliputi teman sepergaulan dan kesejahteraan rumahtangga. a. Tingkat kesejahteraan rumah tangga adalah kesejahteraan keluarga yang yang diukur melalui keadaan rumah dan fasilitasnya yaitu : •
Luas tanah : Tidak sejahtera = < 100 m2 Cukup sejahtera = > 100 m2
32
•
Lantai rumah : Tidak sejahtera = tanah/ubin Cukup sejahtera = keramik
•
Sumber air minum : Tidak sejahtera = air sumur/PAM Cukup sejahtera = air isi ulang/AQUA
•
Fasilitas buang air keluarga Tidak sejahtera = di luar rumah Cukup sejahtera = di dalam rumah
•
Tempat pembuangan akhir (jamban) Tidak sejahtera = MCK/kali Cukup sejahtera = MCK/kali
b. Teman sepergaulan adalah pengaruh orang-orang yang berada di sekeliling responden. Pengaruh tersebut dilihat berdasarkan keberagaman tingkat pendidikan serta jenis pekerjaan teman sepergaulan dan dikategorikan menjadi : •
4
= tingkat pendidikan dan jenis pendidikan sama dengan
responden •
3= tingkat pendidikan beda dan jenis pekerjaan sama dengan responden
•
2 = tingkat pendidikan sama dan jenis pekerjaan beda dengan responden
•
1 = tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan beda dengan responden
33
3. Kebutuhan pendidikan bagi pekerja industri merupakan alternatif bentuk pendidikan, dilihat melalui komponen isi, proses, tenaga kependidikan, kompetensi, sarana dan prasarana, serta biaya dalam pendidikan yang diharapkan oleh para pekerja industri skala kecil.
34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yang menggunakan metode penelitian survai dengan didukung oleh data kualitatif. Metode survai adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 2006). Metode penelitian survai mencakup model penelitian deskriptif dan eksplanatoris. Penelitian ini menggunakan penelitian eksplanatoris karena penelitian ini menjelaskan hubungan antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa. 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada para pekerja industri skala kecil sepatu dan sandal di Rw 9, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Latar belakang Desa Pagelaran dijadikan sebagai objek penelitian berawal dari padatnya jumlah penduduk yang terdapat di Kabupaten Bogor. Berdasarkan data BPS, terjadi penyerapan tenaga kerja pada sektor industri yang melebihi sektor pertanian. Dari 5 kecamatan di Kabupaten Bogor, yaitu Taman Sari, Ciampea, Leuwiliang, Dramaga dan Ciomas, Kecamatan Ciomas memiliki unit usaha industri skala kecil yang cenderung meningkat. Dari beberapa desa yang terdapat di kecamatan tersebut, Desa Pagelaran dijadikan kasus penelitian karena perbandingan jumlah penduduk yang semakin besar bekerja di sektor industri dibandingkan sektor pertanian serta usaha
35
produksi sepatu dan sandal yang cenderung meningkat. Unit usaha sepatu dan sandal dijadikan sampel penelitian mewakili unit usaha industri skala kecil karena kecenderungan banyaknya penduduk Kabupaten Bogor yang bekerja di sektor tersebut. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2008. 3.3 Jenis dan Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer berupa jawaban responden akan persepi terhadap pendidikan, faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi tersebut serta identifikasi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pekerja industri kecil. Data sekunder berupa data monografi dan profil desa. Data primer diperoleh dari jawaban responden melalui kuesioner dan panduan pertanyaan yang disebarkan kepada sejumlah pekerja industri skala kecil yang menjadi responden. Selain itu, data sekunder, diperoleh meminta data yang terdapat di kantor Desa Pagelaran . 3.4 Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik yang digunakan selama penelitian ini adalah : 2. Studi Kepustakaan dan Penulusuran Dokumen Referensi didapat pada studi kepustakaan ini yaitu dengan membaca bukubuku perpustakaan kampus maupun perpustakaan umum. Sebagai bahan masukan secara teoritis dan perbandingan mengenai konsep industrialisasi pedesaan dengan teori-teori persepsi. Selanjutnya melakukan penulusuran jumlah serapan tenaga kerja sektor pertanian dengan sektor industri yang berhubungan dengan keperluan penelitian.
36
2. Wawancara Wawancara dilakukan pada sejumlah aparat dinas pemerintahan yang memberikan informasi bagi penelitian. Aparat-aparat yang diwawancarai adalah staf Deperindagkop Kabupaten Bogor, staf humas Kecamatan Ciomas, Sekretaris Desa Pagelaran serta Ketua RW 09 dan para ketua RT di RW 09. Data yang didapatkan diolah guna mendukung penyusunan skripsi. Selain itu wawancara dengan panduan pertanyaan juga dilakukan pada responden pekerja industri skala kecil untuk mengetahui persepsi mereka terhadap bentuk pendidikan. Analisis data tersebut dilakukan dengan mereduksi jawaban dan mengelompokkan ke dalam indikator-indikator yang diuji. Selanjutnya wawancara juga dilakukan kepada para responden dalam mengetahui bantuk pendidikan yang diharapkan oleh mereka. Analisis data dilakukan dengan hanya melihat harapan para responden terhadap bentuk pendidikan, tidak sampai pada tahap kesesuaian bentuk pendidikan. 2. Kuesioner Kuesioner merupakan sebuah instrumen dalam penelitian digunakan untuk mendapatkan jawaban dari responden secara langsung. Penulis menggunakan instrumen kuesioner ini untuk mendapatkan data responden berupa persepsi pekerja industri terhadap bentuk pendidikan serta faktor internal dan eksternal yang berhubungan dengannya. Penulis menyebarkan kuesioner di beberapa bengkel industri sepatu di Desa Pagelaran, Ciomas. 3.5 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah kumpulan objek penelitian yang dapat berupa orang, organisasi, kelompok, lembaga, buku, kota surat kabar, dan lain-lain (Rakhmat,
37
1991). Populasi yang akan diteliti adalah para pekerja industri skala kecil sepatu dan sandal yang berada di beberapa bengkel sepatu/sandal di Desa Pagelaran, Ciomas. Sampel ditentukan dengan cara purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dimana sampel dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu (Singarimbun dan Effendi, 2006). Sampel diambil secara acak dari masing-masing RT berdasarkan unit usaha bengkel sepatu dan sandal yang terdapat di RW 09.
Kuesioner diberikan kepada seluruh pekerja bekerja di
bengkel sepatu/sandal baik buruh dan pemilik usaha serta berusia kurang dari atau lebih dari 18 tahun. Jumlah responden yang diambil sebanyak 50 orang. 3.6 Analisis Data Tabulasi silang digunakan untuk menggambarkan jumlah data dan hubungan antar variabel. Uji Chi Square digunakan untuk mencari kecocokan (goodness of fit) yang digunakan untuk menguji apakah distribusi frekuensi pada variabel independent, yaitu faktor internal dan eksternal para pekerja industri skala kecil dan variabel dependent yaitu persepsi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan menyimpang secara significance dari suatu distribusi frekuensi hipotesis atau yang diharapkan pada data nominal (Nazir, 2003). Untuk mengetahui keeratan hubungan tersebut digunakan uji hipotesis pada tingkat signifikansi α<0,1 maka terima Ho dan tolak Ho jika α>0,1. Analisis data dibantu dengan program komputer, yaitu SPSS dan Microsoft Excel.
38
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Geografis Desa Pagelaran Secara geografis, Desa Pagelaran masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Wilayah tersebut merupakan pemukiman padat penduduk yang terdiri dari 14 RW dengan batas-batas sebagai berikut Utara : Desa Sukamakmur dan Desa Ciomas Barat : Desa Sukaresmi Timur : Desa Parakan Selatan : Desa Pasir Eurih Pintu masuk desa dinamai pintu ledeng karena tepat bersebelahan dengan kantor PDAM Ciburial Kabupaten Bogor. Akses memasuki desa dapat ditempuh melalui beberapa jalur, yaitu dari arah Cibinong menuju pintu ledeng (jalan masuk desa) serta dari arah terminal Bubulak menuju pintu ledeng (jalan masuk desa). Adapun rute angkot yang dilewati yaitu angkot 32 dari terminal Bubulak dan berhenti di depan Indomart dan dilanjutkan dengan angkot 01 serta berhenti di pintu ledeng. Selanjutnya untuk masuk ke desa bisa ditempuh dengan faslitas ojeg yang terdapat di pintu masuk tersebut. Kondisi jalan menuju desa
sudah
merupakan jalan raya dan beraspal . Adapun RW 09 yang dijadikan tempat penelitian terdiri dari 3 RT dan terbagi menjadi 2 kampung, yaitu kampung Aspan dan kampung Anyar. Wilayah ini merupakan daerah yang padat akan kerajinan industri sepatu dan sandal baik industri rumah tangga dan industri kecil. RW 09 berbatasan dengan RW 05, 12 dan 11. RW 09 merupakan RW dengan jumlah industri skala kecil terpadat.
39
Fasilitas umum yang terdapat di RW 09 antara lain mushola, masjid, MCK serta majelis taklim. 4.1.1 Kependudukan di RW 09 Jumlah penduduk RW 09 adalah sebanyak 818 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 426 jiwa perempuan sebanyak 392 jiwa. Jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 213 KK. Dari 213 KK tersebut, terdapat 159 KK yang telah menikah serta 54 KK berstatus duda/janda/belum nikah. Tabel 5. Sebaran Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di RW 09 Desa Pagelaran Tahun 2007
NO
RT
KK
L
P
1
1
86
65
21
2
2
98
76
22
3
3
72
54
18
256
195
61
TOTAL
Sumber : Data Monografi RW 09, 2007 4.1.2 Kondisi Sosial Ekonomi di RW 09 Merujuk data monografi RW 09 Tahun 2007, jenis mata pencaharian masyarakat RW 09 dapat dikelompokkan menjadi PNS sebanyak 10 KK, TNI/POLRI
sebanyak
1
KK,
Pegawai/Karyawan
sebanyak
15
KK,
Dagang/Wiraswasta sebanyak 72, Petani/Peternak sebanyak 3 KK, Jasa/Buruh sebanyak 87 KK. Berdasarkan pengamatan dan wawancara, ditemukan jenis pekerjaan yang paling banyak adalah di bidang industri sepatu. Hal tersebut disebabkan oleh sektor pertanian yang memiliki potensi minim dibandingkan sektor industri. Hal ini dikarenakan lahan sudah terbatas serta budaya kerajinan industri sandal/sepatu yang sudah turun-temurun.
40
4.1.3 Kondisi Kesehatan dan Pendidikan di RW 09 Tidak terdapat sarana pelayanan kesehatan di RW 09 karena Puskesmas terletak di RW 11. Secara umum RW penyakit yang umumnya dialami warga adalah diare serta gizi buruk. Di RW 09 terdapat 16 pasangan usia subur (PUS) kelompok umur < 20 th, 83 PUS 1-29 th, 86 PUS > 30 th. Selain itu terdapat 48 jumlah Akseptor KB Pemerintah serta 68 Akseptor KB Swasta. Jumlah Peserta KB yang hamil sebanyak 6 orang dan 12 orang bukan peserta KB yang masih menginginkan anak dan 46 yang sudah tidak menginginkan anak lagi. Selanjutnya jumlah kelahiran per tahun sebanyak 7 bayi. Jumlah anak usia sekolah di RW 09 tingkat SD/MI adalah sebanyak 97 orang sekolah dan 3 orang tidak sekolah. Pada tingat SMP/MTS sebanyak 45 orang sekolah dan 2 orang tidak sekolah. Dari keseluruhan jumlah anak usia sekolah yang tidak bersekolah adalah sebanyak 142 orang. 4.2 Karakteristik Usaha Industri Skala Kecil Sepatu dan Sandal Jumlah pekerja yang terdapat di tiap bengkel sepatu/sandal di RW 09 umumnya berkisar antara 5-15 orang. Para pekerja ini terbagi menjadi 4 kelompok, yang diistilahkan dengan pekerja atas, pekerja dalam, pekerja bawah dan pemilik bengkel. Pekerja atas adalah pekerja yang mengerjakan bagian atas produksi seperti memasang kancing/mute, menjahit bagian yang akan dijadikan pangikat jari pada sandal serta menjahit ujung-ujung pola sepatu yang akan di lem. Para pekerja ini
adalah pria serta mendapatkan upah Rp 100.000 per
minggu. Selanjutnya pekerja dalam bertugas melakukan pengepakan, memasang pipa plastik dibagian pengikat jari serta menjiplak pola dasar sepatu atau sandal
41
dengan diberi istilah ngebensol. Adapun pola tersebut dibuat oleh pemilik bengkel ataupun berdasarkan permintaan toko yang memasarkan komoditi. Para pekerja ini disebut sebagai pekerja dalam karena aktivitas kerja yang mereka lakukan berada di dalam rumah. Berbeda dengan pekerja atas yang bekerja di ruang bengkel. Para pekerja ini pun cenderung selesai bekerja lebih cepat yaitu pada sore hari karena jenis pekerjaan yang relatif mudah. Hal ini pun mendasari pemilihan tenaga kerja pada pekerja dalam dengan seluruh pekerja berjenis kelamin perempuan. Upah para pekerja dalam in berkisar antara Rp. 65.000 sampai dengan Rp 80.000. Lalu
para
pekerja
bawah
bertugas
memanaskan
bagian
bawah
sandal/sepatu (dengan diberi istilah ngopen), mengelemnya dan menempelkannya sehingga menjadi sandal/sepatu
yang utuh. Para pekerja bawah ini dijuluki
pekerja bawah karena bertugas menyelesaikan bagian bawah sepatu/sandal. Mereka cenderung terkena resiko penyakit yang lebih tinggi dibandingkan pekerja atas karena lama dan kuatnya interaksi mereka dengan lem. Selain itu di dukung pula oleh keadaan bengkel yang umumnya sempit dan hanya memiliki sedikit ventilasi Para pekerja ini umumnya berumur lebih muda dibadingkan pekerja atas, karena secara garis besar bagian pekerjaan ini merupakan jenis pekerjaan awal yang dilakukan jika pekerja bengkel terjun sebagai pekerja industri sepatu/sandal. Upah yang mereka terima berkisar antara Rp 150.000 sampai dengan Rp 200.000. Adapun upah mereka cenderung lebih tinggi dibandingkan pekerja lain karena waktu kerja yang lebih lama. Selanjutnya para pemilik bengkel juga turut bekerja dan umumnya bertugas menjahit ataupun ngebensol. Selain itu mereka juga bertugas memberi
42
upah serta menentukan jenis serta bahan yang akan digunakan dalam proses produksi sepatu/sandal. Mereka tidak memperoleh bayaran. Selain itu para pekerja berasal dari lingkungan keluarga sendiri maupun lingkungan luar. Berdasarkan pengamatan, banyak pekerja yang merupakan anggota keluarga sendiri maupun saudara dekat, seperti anak, istri maupun keponakan. Seluruh pekerja ini tetap di bayar walaupun berstatus keluarga. Para pekerja ini umumnya mulai kerja dari jam 7 atau 8 pagi hingga jam 4 atau 5 sore. Mereka beristirahat dengan pulang ke rumah lalu kembali lagi ke bengkel untuk bekerja setelah jam 7 malam. Hal ini mereka lakukan karena sistem kerja borongan yang diterapkan sehingga mereka berusaha memproduksi banyak sandal/sepatu agar pendapatan mereka bertambah. Dalam sehari umumnya para pekerja bisa memproduksi 3-4 kodi sandal/sepatu. Hari Sabtu mereka bekerja setengah hari karena sepatu/sandal yang sudah siap dijual akan dipasarkan ke Bogor dan hari Minggu libur. Umumnya para bengkel sepatu/sandal ini memasarkan produksinya ke Pasar Anyar. Berdasarkan wawancara ada juga yang memasarkan hasil produksinya ke luar kota seperti Bandung maupun Jakarta.
43
BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN
5.1 Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian, pekerja industriyang berjenis kelamin lakilaki sebanyak 42 orang dan perempuan sebanyak 8 orang. Menurut AK (32 tahun) salah satu pekerja industri, mengungkapkan bahwa mayoritas pekerja industri adalah laki-laki dikarenakan dalam bengkel sepatu/sandal jumlah pekerja bawah lebih banyak dibutuhkan. Tabel 6. Karakteristik Pekerja Industri Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Jumlah (orang)
Persentase (%) 42
84
8
16
50
100
5.2 Usia Berdasarkan hasil penelitian bahwa sebanyak 82 persen dari pekerja industri berusia lebih dari 18 tahun. Pekerja industri berusia 10-18 tahun hanya sebanyak 18 persen. Hal ini dikarenakan adanya penyuluhan oleh ILO (International Labour Organization) beberapa tahun yang lalu di kawasan Kecamatan Ciomas dengan memberikan penyuluhan tentang kesehatan dan keselamatan kerja bagi pekerja anak. Dalam penyuluhan tersebut dihimbau kepada aparat setempat untuk mengurangi pekerja anak karena bahaya zat kima yag diterima selama bekerja serta waktu sekolah yang hilang akibat bekerja. Hal ini didukung pula oleh pernyataan RW (15 tahun) yang mengatakan bahwa semenjak ada penyuluhan dari ILO ia berhenti bekerja di bengkel sepatu.
44
Tabel 7. Karakteristik Pekerja Industri Berdasarkan Usia Usia
Jumlah (orang)
Tua
Persentase (%) 41
82
Muda
9
18
Total
50
100
5.3 Tingkat Pendidikan Responden pekerja industri skala kecil sepatu dan sandal terbagi menjadi beberapa kategori pendidikan, sebagian besar dari responden bersekolah hanya sampai tamat SD yaitu sebanyak 42 persen. Lalu hanya berbeda sedikit dengan responden yang pernah sekolah di SMP yaitu sebanyak 40 persen. Hal ini dikarenakan mayoritas pekerja industri tersebut mulai bekerja sejak tamat SD dan tidak melanjutkan sekolah setelah bekerja. Tabel 8. Karakteristik Pekerja Industri Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
SD
21
42
SMP
20
40
SMA
9
18
Total
50
100
5.4 Kebutuhan Bekerja Kebutuhan bekerja merupakan peranan yang diberikan responden terhadap pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarga. Bedasarkan penelitian, sebanyak 70 persen responden menganggap alasan ia bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini dikarenakan masih banyak responden yang memberikan setengah upahnya kepada orang tua. Lalu sebanyak 30 persen responden atau 15 orang menganggap harapan bekerja dirinya adalah guna
45
memenuhi kebutuhan pribadi karena sebagian besar upah yang ia terima dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan pribadi. Tabel 9. Karakteristik Pekerja Industri Berdasarkan Kebutuhan Bekerja Kebutuhan Bekerja
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Pemenuhan kebutuhan pribadi
15
30
Pemenuhan kebutuhan keluarga
35
70
Total
50
100
5.5 Teman Sepergaulan Teman sepergaulan diukur melalui pengaruh teman dekat yang dimiliki responden. Hal tersebut dilihat berdasarkan 70 persen responden menyatakan teman dekat yang dimilikinya bersifat heterogen, tidak terbatas pada pekerja industri saja. Selain itu tingkat pendidikan yang mereka miliki juga tidak selalu sama dengan responden. Hal ini dikarenakan banyak responden yang pernah menggeluti berbagai macam jenis pekerjaan sebelum berprofesi sebagai pekerja industri sepatu/sandal sehingga teman yang dimiliki pun beragam dan juga karena terdapat sebagian responden yang tidak tinggal di daerah tempat ia bekerja dengan mata pencaharian utama penduduk tidak pada sektor produksi sepatu/sandal. Profesi yang digeluti oleh teman responden ini diantaranya yaitu pedagang makanan di pasar, karyawan toko, office boy di perkantoran ataupun pekerja servis alat-alat elektronik seperti TV dan komputer. Selanjutnya sebanyak 30 persen responden menyatakan teman yang dimilki bersifat homogen. Responden beragaul dan berteman dekat dengan pekerja industri sepatu/sandal di bengkel yang sama. Selain itu tingkat pendidikan yang mereka miliki juga sama dengan responden. Hal ini dikarenakan responden tinggal di daerah tempat bekerja sehingga teman dekat yang dimiliki adalah
46
penduduk setempat dengan mata pencaharian utama di sektor prduksi sepatu dan sandal. Tabel. 10 Karakteristik Pekera Berdasarkan Teman Sepergaulan Teman Sepergaulan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Heterogen
35
70
Homogen
15
30
Total
50
100
5.6 Kesejahteraan Rumahtangga Kesejahteraan rumahtangga dihitung berdasarkan keadaan rumah dan fasilitas yang ditempati responden. Sebanyak 32 responden menyatakan bahwa rumahtangga mereka tidak sejahtera. Lalu sebanyak 68 persen responden lainnya menyatakan bahwa rumah tangga mereka cukup sejahtera. Hal tersebut di dukung dengan pengamatan lapang ke sebagian rumah respoden. Sebagian besar responden yang berkategori rumahtangga cukup sejahtera merupakan para pemilik bengkel sandal/sepatu. Tanah yang mereka miliki cukup luas karena digunakan untuk membangun bengkel sepatu. Fasilitas pembuangan yang mereka miliki sudah permanen dan berada di dalam rumah serta lantai rumah yang telah dilapisi keramik. Berkebalikan dengan hal tersebut, kategori rumahtangga tidak sejahtera adalah rumahtangga para pekerja buruh bengkel. Seperti penuturan AS (28 tahun) tentang keadaan rumahnya yaitu ukuran rumah kecil dan tidak jauh berbeda dengan ukuran bengkel dan hanya memiliki satu kamar. Tabel 11. Karakteristik Pekerja Industri Berdasarkan Kesejahteraan Rumahtangga Kesejahteraan Rumahtangga
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Tidak cukup
16
32
Cukup
34
68
Total
50
100
47
BAB VI PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN DI DESA PAGELARAN
Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar responden mengidentikkan pendidikan sebagai sekolah. Mereka menganggap pendidikan itu penting, tetapi akses untuk untuk mendapatkannya mahal dan sulit. Selain itu, sangat sulit bagi mereka untuk menyediakan waktu untuk bersekolah karena padatnya jam kerja mereka di bengkel sepatu. Namun di sisi lain, ada kecenderungan para pekerja enggan melanjutkan sekolah karena sudah lama berhenti sekolah dan merasa bahwa sekolah tidak menunjang pekerjaan yang mereka geluti kini. Berikut akan dijabarkan persepsi para pekerja industri terhadap bentuk pendidikan melalui komponen isi, proses, tenaga pendidik, kompetensi lulusan, sarana dan prasarana serta biaya dalam pendidikan. 6.1 Isi Pendidikan Isi pendidikan merupakan merupakan ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Persepsi dari isi pendidikan terbagi dalam tiga bentuk, yaitu pendidikan formal, pendidikan non formal serta pendidikan informal. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi terhadap isi pendidikan terbagi menjadi dua kategori yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Hal ini diperlihatkan pada Tabel 12 berikut :
48
Tabel 12. Persepsi Terhadap Isi Pendidikan Pekerja Industri Skala Kecil RW 09 Desa Pagelaran Tahun 2008 Persepsi Isi Pendidikan Pendidikan formal ●pengetahuan umum ●pengetahuan akademis ●pengetahuan umum dan akademis Pendidikan nonformal ●materi kesetaraan sekolah umum ●keterampilan spesifik (elektronik, informatika dan bahasa) ●pelajaran dasar baca tulis Total
Jumlah (orang)
Persentase (%)
20 19 5
40,00 38,00 10,00
1 3 2 50
2,00 6,00 4,00 100,00
Berdasarkan hasil penelitian 88 persen responden memandang bahwa isi yang terdapat dalam pendidikan adalah materi-materi yang terdapat pada sekolah umum. Menurut mereka saat bersekolah mereka mendapatkan pengetahuan tentang sejarah Indonesia, pendidikan agama dan moral serta pengetahuan akademis, seperti pelajaran Matematika, IPA, IPS, dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan pandangan mereka terhadap isi pendidikan di luar sekolah umum minim karena mereka mengidentikkan pendidikan sebagai sekolah umum. Mereka kurang mengetahui isi pendidikan yang termasuk kedalam pendidikan nonformal. Selain itu para pekerja industri yang memandang isi pendidikan di luar sekolah umum
cenderung terbatas pada materi pendidikan kesetaraan, serta
materi yang terdapat pada pendidikan pelatihan dan keterampilan kerja dan hanya sedikit sekali responden yang mengetahui materi yang terdapat di Padu. Berikut penuturan salah satu responden : ” tadinya mah ga tau ada kejar paket itu. Pas diajakin sama guru pencak silat baru ikutan. Ikutannya baru beberapa minggu doang. Hari Senin sama Kamis. Itu sama kaya yang di sekolah kan?” (MY, 20 tahun)
Hal ini dikarenakan mayoritas responden menempuh pendidikan sebatas pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan menengah. Hanya sedikit
49
responden yang pernah mengikuti pelatihan keterampilan atau pendidikan kesetaraan. Para warga sekitar juga mengaku lembaga pendidikan yang mereka miliki di desa hanya terbatas pada sekolah umum, yaitu SD. Tidak terdapat Padu atau tempat belajar bagi para orang tua yang masih buta huruf. Hal ini didukung pula oleh pernyataan Ketua RT 1 (SP, 46 tahun). “ rata-rata orang tua disini sudah bisa baca tulis walaupun pendidikan mereka sangat rendah. Walau banyak orang tua yang putus sekolah, setidaknya banyak dari mereka belajar membaca saat di bangku SD…” (SP, 46 tahun)
Selain itu, pertanyaan di atas didukung pula oleh pernyataan salah satu warga desa, yaitu (DA, 35 tahun). “ di sini mah ga ada Padu, adanya di desa sebelah. Ibu-ibu sini juga ga ada yang nganter anaknya ke sana, jauh. Sekolahnya ntar aja, langsung SD…” (DA, 35 tahun)
6.2 Proses Pendidikan Proses pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Persepsi dari proses pendidikan terbagi dalam tiga bentuk, yaitu pendidikan formal, pendidikan nonformal serta pendidikan informal. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi terhadap proses pendidikan terbagi menjadi dua kategori yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Hal ini diperlihatkan pada Tabel 13 berikut :
50
Tabel 13. Persepsi Terhadap Proses Pendidikan Pekerja Industri Skala Kecil RW 09 Desa Pagelaran Tahun 2008 Persepsi Proses Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
10
20,00
Pendidikan formal ●diselenggarakan secara khusus ●memiliki peraturan baku ●berjenjang(SD-Perguruan Tinggi) ●waktu pendidikan relativ lama
5
10,00
18
36,00
6
12,00
4
8,00
Pendidikan nonformal ●waktu belajar singkat ●pemberian materi terbatas
2
4,00
●lebih berorientasi pada praktek
2
4,00
●bersifat terbuka dan kurang terstruktur
3
6,00
50
100,00
Total
Berdasarkan penelitian sebanyak 78 persen responden memandang bahwa terdapat perbedaan antara proses pendidikan pada sekolah umum dan pendidikan di luar sekolah. Responden memaknai proses pendidikan bersifat berjenjang dan memiliki peraturan yang baku. Adapun para responden cenderung menuturkan proses pendidikan dilakukan di bangunan sekolah dan prosesnya lama, mula dari SD sampai SMA. Berikut penuturan salah satu responden : ” kalau sekolah lama. Harus SD sampe SMA. Pas lulus juga belum tentu kerja. Mending kaya gini langsung dapet uang. Bayar sekolah juga mahal. Belum lagi kalau ga naik kelas...” (SH, 19 tahun)
Adapun pada proses pendidikan di luar sekolah, sebanyak 22 responden memaknainya sebagai lembaga kursus, lembaga pelatihan serta PKBM. Adapun proses pendidikan bersifat singkat karena hanya berisi pemberian materi-materi tertentu disertai waktu yang singkat. Selain itu proses pembelajaran lebih berorientasi pada prakatek dibandingkan teori. Selanjutnya proses juga bersifat terbuka karena tidak ada batasan umur dalam mengakses pendidikan. Proses
51
pendidikan pun tidak selalu berjenjang tergantung pada kenginan peserta didik dalam memenuhi jenjang tertentu. Hal ini dikarenakan pemahaman mereka akan pendidikan terbatas pada sekolah umum. Hal tersebut didukung pula oleh para pekerja industri yang tidak menganggap penting pendidikan selain sekolah. Hanya sedikit sekali responden yang mengikuti pendidikan kesetaraan. Para pekerja yang pernah mengikuti pelatihan umumnya para pemilik bengkel sepatu/sandal. Selain itu terdapat sedikit buruh yang pernah ikut kursus musik dan komputer. Berikut penuturan salah satu responden : ” dulu pernah ikutan komputer waktu di Jakarta. Sebentar doang, ga nyamp tiga bulan. Pengennya ntar juga ga kerja gini lagi, bosen. Lagian juga ga ada niatan punya bengkel sendiri (RM, 19 tahun)
6.3 Tenaga Pendidik Tenaga
pendidik
merupakan
anggota
masyarakat
yang
bertugas
membimbing, mengajar, dan/atau melatih peserta didik. Persepsi terhadap tenaga pendidik terbagi dalam tiga bentuk, yaitu tenaga pendidik pada pendidikan formal, pendidikan non formal serta pendidikan informal. Berdasarkan hasil penelitian persepsi terhadap tenaga pendidik terbagi menjadi dua kategori yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Tidak terdapat responden yang memaknai tenaga pendidik dari sektor nonformal. Hal ini diperlihatkan pada Tabel 16 berikut:
52
Tabel 14. Persepsi Terhadap Tenaga Pendidik Pekerja Industri Skala Kecil RW 09 Desa Pagelaran Tahun 2008 Persepsi Tenaga Pendidik
Jumlah (orang)
Persentase (%)
34
68,00
8
16,00
●tutor
4
8,00
●instruktur
4
8,00
50
100,00
Pendidikan formal ●guru dalam sekolah dan guru Bantu ●guru dan dosen Pendidikan nonformal
Total
Berdasarkan penelitian, sebanyak 84 persen responden memaknai tenaga pendidik hanya sebatas guru yang ada di sekolah atau dosen. Guru yang mengajar pun berasal dari sekolah sendiri maupun guru bantu dengan pemberian materi yang sama. Hanya 16 persen responden yang mengenal tutor ataupun instruktur, yaitu para pekerja industri yang baru saja mengikuti Kejar Paket C. Selain itu para responden yang memahami instruktur terbatas pada responden yang pernah bekerja di Jakarta dan mengikuti pelatihan komputer. Para responden tersebut sebagian besar adalah para pemilik bengkel sepatu/sandal. Hal ini dikarenakan pemaknaan mereka akan pendidikan cenderung lebih beragam yang didukung oleh pelatihan-pelatihan keterampilan yang pernah mereka ikuti. Adapun kecenderungan minimnya persepsi pekerja industri terhadap tenaga pendidik dipengaruhi oleh keinginan para pekerja yang minim untuk melanjutkan sekolah sekaligus bekerja.
53
6.4 Kompetensi Lulusan Kompetensi lulusan merupakan kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Persepi terhadap kompetensi lulusan terbagi dalam tiga bentuk, yaitu pendidikan formal, pendidikan non formal serta pendidikan informal. Berdasarkan hasil penelitian persepsi terhadap kompetensi lulusan terbagi menjadi dua kategori yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Tidak terdapat responden yang memaknai kompetensi lulusan sampai pada sektor pendidikan informal. Hal ini diperlihatkan pad Tabel 15 berikut : Tabel 15. Persepsi Terhadap Kompetensi Lulusan Pekerja Industri Skala Kecil RW 09 Desa Pagelaran Tahun 2008 Persepsi Kompetensi Lulusan Pendidikan formal
Jumlah (orang)
Persentase (%)
●menguasai pengetahuan umum
19
38,00
●memiliki kecerdasan pikiran
20
40,00
●penguasaan keterampilan untuk jenjang pendidikan tinggi Pendidikan nonformal
5
10,00
●kesetaraan sekolah umum ●penguasaan keterampilan spesifik (elektronik, informatika dan bahasa)
2
4,00
2
4,00
●penguasaan keterampilan untuk dunia kerja
2
4,00
50
100,00
Total
Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 81 persen responden memandang bahwa kompetensi yang terdapat dalam pendidikan termasuk pada penguasaan pengetahuan umum serta kecerdasan pikiran. Hal ini disebabkan oleh pemahaman mereka yang memandang pendidikan bertujuan mencerdaskan pikiran. Selain itu, mereka juga beranggapan kalau bersekolah akan menambah pengetahuan mereka. Berikut penuturan salah satu responden : ” pas sekolah, ga punya keterampilan khusus, soalnya pelajarannya umum doang. Kalau sekolahnya Cuma sampe SD ga punya keterampilan apaapa...” (DS, 22 tahun)
54
Hal ini menyebabkan para pekerja industri enggan melanjutkan pendidikan/sekolah. Menurut mereka apa yang mereka terima di sekolah sama sekali tidak berpengaruh terhadap pekerjaan mereka kini. Selanjutnya responden lain yang mengikuti jalur pendidikan non formal mengaku ikut kegiatan Kejar Paket karena diberi tahu bahawa pendidikan tersebut diarahkan guna memperoleh kesetaraan pendidikan. Lalu responden lain yang pernah mengikuti pelatihan keterampilan seperti pelatihan komputer mengaku mendapat hasil berupa kemampuan mengoperasikan komputer dengan baik. Akan tetapi mereka tidak mampu jika harus membuka usaha di bidang tersebut, seperti membuka rental komputer atau warnet karena tidak memiliki modal. Selain itu para responden yang pernah mengikuti pelatihan keterampilan pemasaran yang telah diadakan oleh Pemda setempat mengaku tidak memperoleh apa-apa saat mengikuti pelatihan tersebut. Menurut mereka hal tersebut hanya membuang-buang waktu karena tidak ada realisasi bentuk kegiatan setelah pelatihan dan juga tidak memberikan tambahan pengetahuan yang signifikan. 6.5 Sarana dan Prasarana Pendidikan Sarana dan prasarana merupakan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan teknologi. Persepsi terhadap sarana dan prasarana pendidikan terbagi dalam tiga bentuk, yaitu pendidikan formal, pendidikan non formal serta pendidikan informal. Berdasarkan hasil penelitian persepsi terhadap sarana dan prasarana
55
pendidikan terbagi menjadi dua kategori yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pemahaman akan sarana dan prasarana pendidikan responden tidak sampai pada sektor pendidikan informal. Hal ini diperlihatkan pada Tabel 16 berikut : Tabel 16. Persepsi Terhadap Sarana dan Prasarana Pendidikan Pekerja Industri Skala Kecil RW 09 Desa Pagelaran Tahun 2008 Persepsi Sarana dan Prasarana Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Pendidikan formal ●ruang belajar (kelas) ●fasilitas sekolah lainnya (perpustakaan, lapangan olahraga, dan lain-lain)
20
40,00
17
34,00
●ruangan dan fasilitas kelas
9
18,00
●ruangan dan fasilitas praktek/bengkel kerja
4
8,00
50
100,00
Pendidikan nonformal
Total
Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 74 persen responden mengenal sarana dan prasarana yang terdapat pada fasilitas sekolah. Berikut penuturan salah satu responden : “ kalau belajar ya di kelas teh. Namanya juga sekolah. Udah kitu paling mainnya di lapangan... ” (SG, 15 tahun)
Hal ini disebabkan oleh sedikitnya para pekerja industri yang pernah mengikuti kursus atau magang. Selain itu, terdapat sedikit responden yang menyatakan pernah belajar selain di ruang kelas biasa, yaitu para pekerja industri dengan pendidika kejuruan yang pernah magang di sebuah tempat usaha otomotif saat masih sekolah dulu. Akan tetapi sangat sedikit sekali para pekerja industri yang mengetahui sarana pada bentuk pendidikan di luar sekolah umum. Dari 50 responden hanya 10 orang yang pernah mengikuti kursus.
56
6.6 Biaya Pendidikan Biaya pendidikan merupakan komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Persepsi terhadap biaya pendidikan terbagi dalam tiga bentuk, yaitu pendidikan formal, pendidikan nonformal serta pendidikan informal. Berdasarkan hasil penelitian persepsi terhadap biaya pendidikan terbagi menjadi dua kategori yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Tidak terdapat responden yang memaknai biaya pendidikan sampai pada pendidikan informal. Hal ini diperlihatkan pada Tabel 17 berikut : Tabel 17. Persepsi Terhadap Biaya Pendidikan Pekerja Industri Skala Kecil RW 09 Desa Pagelaran Tahun 2008 Persepsi Biaya Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Pendidikan formal ●uang masuk sekolah dan buku pedoman
24
48,00
●SPP
15
30,00
●uang masuk sekolah
8
16,00
●iuran perbulan
3
6,00
50
100,00
Pendidikan nonformal
Total
Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 78 persen responden memandang biaya yang dikeluarkan selama mengenyam pendidikan yaitu pengeluaran untuk SPP, uang masuk sekolah serta pembelian buku-buku pelajaran. Berikut penuturan salah satu responden : ” waktu nyekolahin anak, ada aja perlunya. Buat buku lah, seragamlah, uang sekolah juga udah mahal..” (DR, 35 tahun).
Hal ini juga didukung oleh para pekerja lain yang mengatakan bahwa biaya paling besar saat mereka masih bersekolah dulu yaitu biaya SPP. Hal ini dikarenakan belum adanya dana bantuan berupa biaya sekolah gratis pada waktu itu.
57
BAB VII HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP PERSEPSI TENTANG PENDIDIKAN
7.1 Hubungan Antara Faktor Internal dengan Persepsi Pekerja Industri Tentang Pendidikan Hubungan antara faktor internal dengan persepsi pekerja industri terhadap pendidikan di ukur dengan menggunakan uji Chi-Square (X2). Hasil pengujian hubungan dapat dilihat pada Tabel 18 berikut : Tabel 18. Hasil Pengujian Hubungan Antara Faktor Internal Pekerja Industri dengan Persepsi terhadap Bentuk Pendidikan
Faktor Internal Jenis Kelamin Usia Tingkat Pendidikan Harapan Bekerja
Isi 0,254 0,221 **0,00 0
Proses 0,101 *0,079
Persepsi Pendidikan Tenaga Kompetensi Pendidik Lulusan 0,178 0,529 0,148 0,449
**0,000
**0,000
0,348
**0,000
Biaya 0,101 0,986 **0,00 0
0,447
0,823
0,736
0,345
0,527
0,823
Sarana dan Prasarana *0,067 0,775
Keterangan : * : berhubungan nyata pada α < 0,1 ** : berhubungan nyata pada α < 0,05
7.1.1 Hubungan Jenis Kelamin dengan Persepsi Pekerja Industri Berdasarkan hasil pengujian jenis kelamin dengan persepsi mengenai isi pendidikan menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi isi pendidikan adalah sebesar 0,254 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α > 0,1), maka hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi isi pendidikan tidak signifikan atau berhubungan tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap isi pendidikan tidak mengenal jenis kelamin. Keseluruhan responden perempuan memaknai pendidikan sebatas pendidikan formal. Sedangkan responden laki-laki memaknai pendidikan ke dalam jalur formal dan non formal.
58
Pada Tabel 19 dapat dilihat sebaran dari jenis kelamin dengan persepsi terhadap isi pendidikan. Tabel 19. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Jenis Kelamin dan Persepsi terhadap Isi Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran Jenis
Persepsi Isi Pendidikan (Formal)
Kelamin
pengetahuan
%
umum Laki-laki Perempuan
pengetahuan
%
akademis
pengetahuan umum dan
% Total
pengetahuan akademis
18
39,02
16
39,02
4
9,76
36(87,80%)
3
37,50
3
50,00
1
12,50
8(100%)
Jenis
Persepsi Isi Pendidikan (Nonformal)
Kelamin
materi
%
kesetaraan
keterampilan
%
spesifik
pelajaran
% Total
baca tulis
Laki-laki
1
2,44
3
7,32
2
4,88
6(14,63%)
Perempuan
0
0,00
0
0,00
0
0,00
0(0%)
Berdasarkan hasil pengujian jenis kelamin dengan persepsi mengenai proses pendidikan menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi proses pendidikan adalah sebesar 0,101 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α>0,1), maka hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi proses pendidikan tidak signifikan atau berhubungan tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap proses pendidikan tidak mengenal jenis kelamin. Keseluruhan responden perempuan memaknai pendidikan sebatas pendidikan formal. Adapun responden laki-laki memaknai pendidikan kedalam jalur formal dan non formal. Berdasarkan hasil wawancara hal ini disebabkan oleh tidak adanya keinginan para responden perempuan untuk melanjutkan pendidikan di sektor nonformal serta tidak adanya dukungan keluarga untuk melanjutkan sekolah anak perempuan mereka. Senada dengan hal tersebut, ditemukan hanya pada responden laki-laki yang mengikuti Kejar Paket C. Berdasarkan wawancara dengan salah satu orang tua responden dinyatakan bahwa ia cenderung memilih anak lelakinya yang melanjutkan pendidikan karena adanya harapan bagi mereka agar dapat
59
menyokonga kehidupan keluarga, disamping rendahnya keinginan anak perempuan mereka untuk melanjutkan pendidikan. Pada Tabel 20 dapat diliihat sebaran antara jenis kelamin dan persepsi terhadap proses pendidikan. Tabel 20. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Jenis Kelamin dan Persepsi terhadap Proses Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran Jenis Kelamin
bersifat
%
khusus 9 1
21,43 12,50
Kelamin
waktu belajar
%
Laki-laki Perempuan
singkat 4 0
Laki-laki Perempuan Jenis
Persepsi Proses Pendidikan (Formal) waktu berjenjang % pendidikan % (SD-PT) relatif lama 15 37,51 6 14,29 3 37,50 2 25,00 Persepsi Proses Pendidikan (Nonformal) pemberian materi % orientasi % terbatas
9,52 0,00
praktek 2 0
4,76 0,00
2 0
4,76 0,00
memilki peraturan baku 3 2 terbuka dan tidak selalu berjenjang 3 0
% Total 7,14 25,00
31(73,81%) 8(100%)
% Total 7,14 0,00
Berdasarkan hasil pengujian jenis kelamin dengan persepsi mengenai tenaga pendidikan menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi tenaga pendidik sebesar 0,178 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α >0,1), maka hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi tenaga pendidik tidak signifikan atau nyata tidak berhubungan. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap tenaga pendidik tidak mengenal jenis kelamin. Keseluruhan responden perempuan memaknai pendidikan sebatas pendidikan formal. Adapun responden laki-laki memaknai pendidikan kedalam jalur formal dan non formal. Pada Tabel 21 dapat dilihat sebaran antara jenis kelamin dan persepsi terhadap tenaga pendidik.
60
11(26,19%) 0 (0%)
Tabel 21.
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Jenis Kelamin dan Persepsi terhadap Tenaga Pendidik di RW 09 Desa Pagelaran Persepsi Tenaga Pendidik (Formal) guru dalam sekolah dan % guru dan dosen guru bantu 29 69,05 5 5 62,50 3 Persepsi Tenaga Pendidik (Nonformal) tutor % instruktur 4 0
9,52 0,00
4 0
Total % 11,90 37,50
34(80,95%) 8(100%) Total
% 9,52 0,00
8(19,05%) 0(0%)
Berdasarkan hasil pengujian jenis kelamin dengan persepsi mengenai kompetensi lulusan ditemukan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi pendidikan sebesar 0,529 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α >0,1), maka hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi kompetensi lulusan tidak signifikan atau berhubungan tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap kompetensi lulusan tidak mengenal jenis kelamin. Keseluruhan responden perempuan memaknai pendidikan sebatas pendidikan formal. Adapun responden laki-laki memaknai pendidikan kedalam jalur formal dan non formal. Hal ini berkaitan dengan tidak adanya responden perempuan yang pernah mengikuti lembaga pendidikan kursus atau pelatihan keterampilan kerja. Berbeda dengan sebagian responden laki-laki (sebanyak 14,29 persen) yang pernah mengikuti pendidikan nonformal serta mengetahui manfaat yang diterima dari tiap-tiap pendidikan tersebut. Pada Tabel 22 dapat dlihat sebaran jenis kelamin dengan persepsi terhadap kompetensi lulusan
61
Tabel 22. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Jenis Kelamin dan Persepsi terhadap Kompetensi Lulusan di RW 09 Desa Pagelaran Persepsi Kompetensi Lulusan Kelamin
pengetahuan
%
cerdas
%
luas
penguasaan keterampilan
%
Total
untuk jenjang pendidikan tinggi
Laki-laki
16
38,10
3
37,50
Perempuan Jenis
17
40,48
4
9,52
36(85,71%)
3
8,33
1
2,78
8(100%)
Persepsi Kompetensi Lulusan (Nonformal)
Kelamin
kesetaraan
%
sekolah umum
penguasaan keterampilan spesifik
%
lebih berorientasi
%
Total
pada praktek
Laki-laki
2
4,76
2
4,76
2
4,76
6(14,29%)
Perempuan
0
0,00
0
0,00
0
0,00
0(0%)
Berdasarkan hasil pengujian jenis kelamin dengan persepsi mengenai sarana dan prasarana pendidikan menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi sarana dan prasarana pendidikan sebesar 0,067 dimana nilainya lebih kecil dari 0,1 (α<0,1), maka terdapat hubungan nyata antara jenis kelamin dengan persepsi sarana dan prasarana pendidikan. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap sarana dan prasarana pendidikan mengenal jenis kelamin. Terdapat 12,5 persen responden perempuan yang memaknai sarana dan prasarana pendidikan sampai pada pendidikan non formal. Begitu pula pada responden lakilaki yang memaknai pendidikan ke dalam jalur pendidikan formal dan pendidikan non formal. Berdasarkan hasil wawancara hal ini berkaitan dengan adanya sebagian warga RW 09 yang pernah mengikuti kursus keterampilan menjahit saat bekerja di Jakarta dan membuka usaha jahit di Desa. Hal ini menyebabkan pengetahuan sebagian penduduk khususnya perempuan tidak hanya terbatas pada pendidikan formal (sekolah). Pada Tabel 23 dapat dilihat sebaran antara jenis kelamin dan persepsi terhadap sarana dan prasarana pendidikan.
62
Tabel 23. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Jenis Kelamin dan Persepsi terhadap Sarana dan Prasarana Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Persepsi Sarana dan Prasarana (Formal) ruang % fasilitas belajar (kelas) sekolah 15 36,59 14 5 62,50 2 Persepsi Sarana dan Prasarana (Nonformal) ruangan dan % ruangan dan fasilitas kelas fasilitas praktek/ bengkel kerja 9 21,95 4 0 0,00 1
Total % 34,15 25,00
29(70,73%) 7(87,50%) Total
%
9,76 12,50
13(31,71%) 1(12,50%)
Berdasarkan hasil pengujian jenis kelamin dengan persepsi mengenai biaya pendidikan menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi biaya pendidikan sebesar 0,101 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α >0,1), maka hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi biaya pendidikan tidak signifikan atau berhubungan tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap biaya pendidikan tidak mengenal jenis kelamin. Keseluruhan responden perempuan memaknai biaya pendidikan sebatas pada pendidikan formal. Sedangkan responden laki-laki memaknai biaya pendidikan kedalam jalur pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pada Tabel 24 dapat dilihat sebaran antara jenis kelamin dan persepsi terhadap biaya pendidikan. Tabel 24. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Jenis Kelamin dan Persepsi terhadap Biaya Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Persepsi Biaya Pendidikan (Formal) uang masuk sekolah % SPP dan buku pedoman 19 45,24 12 5 62,50 3 Persepsi Biaya Pendidikan (Nonformal) uang masuk sekolah % iuran perbulan 8 19,05 3 0 0,00 0
Total % 28,57 37,50 % 7,14 0,00
31(73,81%) 8(100%) Total 11(26,19%) 0(0%)
63
Dapat disimpulkan bahwa dari keenam indikator persepsi pendidikan hanya satu indikator yang berhubungan dengan jenis kelamin, yaitu indikator sarana dan prasarana pendidikan. Hal ini disebabkan karena terdapat kecenderungan cara pandang pekerja industri laki-laki yang lebih beragam terhadap sarana dan prasarana pendidikan. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan hal tersebut didukung oleh para pekerja industri laki-laki yang lebih banyak mengikuti pelatihan kerja atau kursus dibandingkan pekerja perempuan. 7.1.2 Hubungan Usia dengan Persepsi Pekerja Industri Berdasarkan hasil uji Chi-Square antara usia dengan persepsi isi pendidikan menunjukan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi isi pendidikan sebesar 0,221 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α >0,1), maka hubungan antara usia dengan persepsi isi pendidikan tidak signifikan atau tidak nyata berhubungan. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap isi pendidikan tidak mengenal usia. Pada Tabel 25 dapat dilihat sebaran antara jenis kelamin dan persepsi terhadap biaya pendidikan. Tabel 25. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Usia dan Persepsi terhadap Isi Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran Usia
Tua Muda Usia
Tua Muda
pengetahuan umum 18 4 materi kesetaraan 2 0
% 43,90 44,44 % 4,88 0,00
Persepsi Isi Pendidikan (Formal) pengetahuan % pengetahuan umum dan akademis pengetahuan akademis 10 24,39 7 2 22,22 3 Persepsi Isi Pendidikan (Nonformal) keterampilan % pelajaran spesifik baca tulis 3 7,32 1 0 0,00 0
% Total 17,07 33,33
35(85,37%) 9(100%)
% Total 2,44 0,00
6(14,63%) 0(0%)
Berdasarkan hasil pengujian usia dengan persepsi mengenai proses pendidikan menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada proses
64
pendidikan sebesar 0,079 dimana nilainya lebih kecil dari 0,1 (α<0,1), maka terdapat hubungan nyata antara usia dengan persepsi proses pendidikan. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap proses pendidikan mengenal usia. Terdapat responden usia 10-18 tahun yang memaknai proses pendidikan sampai pada pendidikan non formal. Begitu pula pada responden usia 18 tahun ke atas yang memaknai pendidikan ke dalam jalur pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pada Tabel 26 dapat dilihat sebaran antara usia dan persepsi terhadap proses pendidikan. Tabel 26. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Usia dan Persepsi terhadap Proses Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran bersifat
%
khusus 5 0
12,20 0,00
waktu belajar
%
singkat 1 1
2,44 11,11
Persepsi Proses Pendidikan (Formal) waktu berjenjang % pendidikan %
Usia Tua Muda
(SD-PT) relatif lama 18 43,90 9 21,95 3 33,33 2 22,22 Persepsi Proses Pendidikan (Nonformal) pemberian materi % orientasi %
Usia Tua Muda
terbatas
praktek 1 0
2.44 0,00
2 0
4,88 0,00
memilki peraturan baku
% Total 4 2
terbuka dan tidak selalu berjenjang 1 1
9,76 22,22
36(87,80%) 7(77,78%)
% Total 2,44 11,11
Berdasarkan hasil pengujian usia dengan persepsi mengenai tenaga pendidik menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi tenaga pendidik sebesar 0,148 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α >0,1), maka hubungan antara usia dengan persepsi tenaga pendidik tidak signifikan atau berhubungan tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap tenaga pendidik tidak mengenal usia. Keseluruhan responden usia 10-18 tahun memaknai pendidikan sebatas pendidikan formal. Adapun responden usia 18 tahun ke atas memaknai pendidikan
65
5(12,20%) 2(22,22%)
kedalam jalur formal dan non formal. Pada Tabel 27 dapat diliihat sebaran antara usia dan persepsi terhadap tenaga pendidik. Tabel 27. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Usia dan Persepsi terhadap Tenaga Pendidik di RW 09 Desa Pagelaran Jenis Kelamin Tua Muda Jenis Kelamin Tua Muda
Persepsi Tenaga Pendidik (Formal) guru dalam sekolah dan % guru dan dosen guru bantu 23 56,10 10 6 66,67 3 Persepsi Tenaga Pendidik (Nonformal) tutor % instruktur 2 4,88 6 0 0,00 0
Total % 24,39 33,33 % 14,63 0,00
33(80,49%) 9(100%) Total 8(19,51%) 0(0%)
Berdasarkan hasil pengujian usia dengan persepsi mengenai kompetensi lulusan menunjukkan bahwa signifikansi (2-sided) pada persepsi kompetensi lulusan sebesar 0,449 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α >0,1), maka hubungan antara usia dengan persepsi kompetensi lulusan tidak signifikan atau berhubungan tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap kompetensi lulusan tidak mengenal usia. Keseluruhan responden usia 10-18 tahun memaknai pendidikan sebatas pendidikan formal. Adapun responden usia 18 tahun ke atas memaknai pendidikan kedalam jalur formal dan non formal. Pada Tabel 28 dapat diliihat sebaran antara usia dan persepsi terhadap kompetensi lulusan.
66
Tabel 28. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Usia dan Persepsi terhadap Kompetensi Lulusan di RW 09 Desa Pagelaran
Usia
Tua Muda
Usia
Tua Muda
pengetahuan luas
12 3
kesetaraan sekolah umum 1 0
Persepsi Kompetensi Lulusan penguasaan % cerdas % keterampilan % untuk jenjang pendidikan tinggi 39,0 29,27 16 2 9 21,95 55,5 1 11,11 33,33 5 6 Persepsi Kompetensi Lulusan (Nonformal) penguasa lebih % an % berorientasi % keterampil pada praktek an spesifik 2,44 2 4,88 1 2,44 0,00 0 0,00 0 0,00
Total
37(90,24%) 9(100%)
Total
4(9,76%) 0(0%)
Berdasarkan hasil pengujian usia dengan persepsi mengenai sarana dan prasarana menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi sarana dan prasarana sebesar 0,775 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α>0,1), maka hubungan antara usia dengan persepsi sarana dan prasarana tidak signifikan atau tidak nyata berhubungan. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap sarana dan prasarana pendidikan tidak mengenal usia. Keseluruhan responden usia 10-18 tahun memaknai pendidikan sebatas pendidikan formal. Selanjutnya responden usia 18 tahun ke atas memaknai pendidikan kedalam jalur formal dan non formal. Pada Tabel 29 dapat diliihat sebaran antara usia dan persepsi terhadap sarana dan prasarana.
67
Tabel 29. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Usia dan Persepsi terhadap Sarana dan Prasarana di RW 09 Desa Pagelaran Usia
Persepsi Sarana dan Prasarana (Formal) ruang % fasilitas belajar (kelas) sekolah 16 39,02 14 6 66,67 3 Persepsi Sarana dan Prasarana (Nonformal) ruangan dan % ruangan dan fasilitas kelas fasilitas praktek/ bengkel kerja 7 17,07 4 0 0,00 0
Tua Muda Usia
Tua Muda
Total % 34,15 33,33
30(73,17%) 9(100%) Total
%
9,76 0,00
11(26,83%) 0(0%)
Berdasarkan hasil pengujian usia dengan persepsi mengenai biaya pendidikan
menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada biaya
pendidikan sebesar 0,986 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α >0,1), maka hubungan antara usia dengan biaya pendidikan tidak signifikan atau tidak berhubungan nyata. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap biaya pendidikan tidak mengenal usia. Keseluruhan responden usia 10-18 tahun memaknai pendidikan sebatas pendidikan formal. Akan tetapi responden usia 18 tahun ke atas memaknai pendidikan kedalam jalur formal dan nonformal. Pada Tabel 30 dapat diliihat sebaran antara usia dan persepsi terhadap biaya pendidikan. Tabel 30. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Usia dan Persepsi terhadap Biaya Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran
Usia Tua Muda Usia Tua Muda
Persepsi Biaya Pendidikan (Formal) uang masuk sekolah % SPP dan buku pedoman 15 36,59 17 3 33,33 6 Persepsi Biaya Pendidikan (Nonformal) uang masuk sekolah % iuran perbulan 3 0
7,32 0,00
6 0
%
Total
41,46 66,67
32(78,05%) 9(100%)
%
Total
14,63 0,00
9(21,95%) 0(0%)
68
Dapat disimpulkan bahwa dari ke enam indikator persepsi pendidikan hanya satu indikator yang berhubungan dengan usia, yaitu indikator proses pendidikan. Hal ini disebabkan karena terdapat sedikit responden berusia 10-18 tahun yang pernah mengikuti kegiatan kursus seperti komputer atau alat musik. Akan tetapi pada responden berusia 18 tahun ke atas banyak yang telah mengikut pelatihan, seperti pelatihan pemasaran oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan di Hotel Permata dan di Universitas Pakuan. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan hal para responden tersebut umumnya adalah para pemilik bengkel sepatu/sandal. Selain itu pemaknaan akan proses pendidikan formal pada responden berusia 18 tahun ke atas juga dialami oleh para responden yang mengikuti kegiatan kesetaraan pendidikan. Terdapat pula sedikit responden berusia 10-18 tahun yang mengetahui kegiataan kejar paket A B atau C, akan tetapi pemahaman mereka tidak sampai pada tahap kompetensi lulusan dari jalur pendidikan tersebut.
7.1.3 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Persepsi Pekerja Industri Berdasarkan hasil uji Chi-Square, hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi terhadap isi pendidikan memiliki hubungan nyata karena nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi isi pendidikan sebesar 0,000, dimana nilainya lebih kecil dari 0,1 (α<0,1). Hal ini disebabkan tingkat pendidikan pekerja industri sangat berhubungan terhadap pengetahuan yang dimilikinya termasuk terhadap isi pendidikan. Terdapat kecenderungan para pekerja industri yang berpendidikan tinggi lebih beragam dalam memaknai isi pendidikan. Keseluruhan responden dengan pendidikan formal SD memakani pendidikan sebatas
69
pendidikan formal, sedangkan responden dengan tingkat pendidikan SMP dan SMA tidak. Pada Tabel 31 dapat dilihat sebaran pekerja industri berdasarkan tingkat pendidikan dan persepsi terhadap isi pendidikan. Tabel 31. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Persepsi terhadap Isi Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran Tingkat Pendidikan
pengetahuan
%
umum SD
8
Persepsi Isi Pendidikan (Formal) pengetahuan umum dan pengetahuan % pengetahuan akademis akademis
38,10
9
42,86
4
% Total 19,05
21(100%)
SMP
10
50,00
5
25,11
4
20,00
19(95%)
SMA
1
11,11
1
11,11
2
22,22
4(44,44%)
Tingkat Pendidikan
Persepsi Isi Pendidikan (Nonformal) materi
%
kesetaraan
keterampilan
%
spesifik
pelajaran
% Total
baca tulis
SD
0
0,00
0
0,00
0
0,00
0(0%)
SMP
1
5,00
0
0,00
0
0,00
1(5%)
SMA
0
0,00
4
44,44
1
11,11
5(55,56%)
Berdasarkan hasil uji Chi-Square, hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi terhadap proses pendidikan adalah memiliki hubungan nyata karena nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi proses pendidikan sebesar 0,000, dimana nilainya lebih kecil dari 0,1 (α <0,1). Hal ini disebabkan tingkat pendidikan pekerja industri sangat berhubungan terhadap pengetahuan yang dimilikinya termasuk terhadap proses pendidikan. Hal tersebut terlihat dari kecenderungan perbandingan persentase yang lebih besar terhadap persepsi proses pendidikan jalur non formal pada responden dengan tingkat pendidikan SMA. Akan tetapi pada responden dengan tingkat pendidikan SD dan SMP cenderung memiliki persentase akan persepsi proses pendidikan yang lebih besar pada jalur formal. Pada Tabel 32 dapat dilihat sebaran pekerja industri berdasarkan tingkat pendidikan dan persepsi terhadap proses pendidikan.
70
Tabel 32. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Persepsi terhadap Proses Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran Tingkat Pendidikan
bersifat
%
khusus
Persepsi Proses Pendidikan (Formal) waktu berjenjang % pendidikan % (SD-PT)
Relative lama
memilki peraturan baku
% Total
SD
3
14,29
12
57,14
2
9,52
2
9,52
19(90,48%)
SMP
2
10,00
7
35,00
5
25,00
4
20,00
18(90,00%)
SMA
0
0,00
1
11,11
1
11,11
0
0,00
2(22,22%)
Tingkat
waktu belajar
Pendidikan
singkat
%
Persepsi Proses Pendidikan (Nonformal) pemberian materi % orientasi % terbatas
praktek
terbuka dan tidak selalu berjenjang
% Total
SD
1
4,76
0
0,00
0
0,00
1
4,76
2(9,52%)
SMP
0
0,00
1
5,00
0
0,00
1
5,00
2(10,00%)
SMA
1
11,11
2
22,22
3
33,33
1
11,11
7(77,78%)
Berdasarkan hasil uji Chi-Square, hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi terhadap tenaga pendidik memiliki hubungan nyata karena nilai signifikansi
(2-sided) pada persepsi tenaga pendidik sebesar 0,000, dimana
nilainya lebih kecil dari 0,1 (α<0,1). Hal ini disebabkan tingkat pendidikan pekerja industri sangat berhubungan dengan pengetahuan yang dimilikinya termasuk terhadap tenaga pendidik/pengajar. Hal tersebut terlihat dari kecenderungan perbandingan persentase yang lebih besar terhadap persepsi tenaga pendidik nonformal pada responden dengan tingkat pendidikan SMA. Akan tetapi pada responden dengan tingkat pendidikan SD dan SMP cenderung memiliki persentase akan persepsi tenaga pendidik yang lebih besar pada jalur formal. Pada Tabel 33 dapat dilihat sebaran pekerja industri berdasarkan tingkat pendidikan dan persepsi terhadap tenaga pendidik.
71
Tabel 33. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Persepsi terhadap Tenaga Pendidik di RW 09 Desa Pagelaran Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Tingkat Pendidikan SD SMP SMA
Persepsi Tenaga Pendidik (Formal) guru dalam sekolah dan % guru dan dosen guru bantu 16 80,00 4 10 50,00 9 1 11,11 3 Persepsi Tenaga Pendidik (Nonformal) tutor instruktur 0 1 2
0,00 5,00 22,22
0 0 4
Total % 20,00 45,00 33,33
20(100,00%) 19(95,00%) 4(44,44%) Total
0,00 0,00 44,44
0(0,00%) 1(5,00%) 6(66,67%)
Berbeda halnya dengan persepsi pada proses pendidikan, berdasarkan hasil pengujian Chi-Square menunjukkan bahwa antara tingkat pendidikan dengan persepsi terhadap kompetensi lulusan tidak memiliki hubungan nyata karena nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi kompetensi lulusan sebesar 0,348, dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α>0,1). Hal ini disebabkan tingkat pendidikan pekerja industri tidak berhubungan dengan pengetahuan yang dimilikinya terhadap kompetensi lulusan baik pada pendidikan formal maupun informal. Para pekerja industri yang berpendidikan tinggi tidak terlalu memahami kesesuaian antara bentuk pendidikan dengan kompetensi lulusan yang dihasilkan. Hal tersebut terlihat dari jumlah persentase pekerja dengan tingkat pendidikan SMA dan SMP yang tidak berbeda dalam mempersepsikan kompetensi lulusan pada jalur pendidikan formal. Pada Tabel 34 dapat dilihat sebaran pekerja industri berdasarkan tingkat pendidikan dan persepsi kompetensi lulusan.
72
Tabel 34. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Persepsi terhadap Kompetensi Lulusan di RW 09 Desa Pagelaran
Tingkat Pendidikan
pengetahuan
Persepsi Kompetensi Lulusan penguasaan % cerdas % keterampilan
luas
SD SMP
10
SMA
2
SD SMP SMA
Total
untuk jenjang pendidikan tinggi 9
Tingkat Pendidikan
%
kesetaraan sekolah umum 0 1 0
52,3 8 1 25,0 50,00 5 0 4 22,2 22,22 2 2 4 Persepsi Kompetensi Lulusan (Nonformal) lebih berorientasi % penguasaan % keterampila n spesifik pada praktek 0,00 0 0,00 0 5,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1 42,86
11
4,76
21(100,00%)
20,00
19(95,00%)
44,44
8(88,89%)
%
0,00 0,00 11,11
Total
0(0,00%) 1(5,00%) 1(11,11%)
Berdasarkan hasil uji Chi-Square, hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi sarana dan prasarana pendidikan memiliki hubungan nyata karena nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi sarana dan prasarana pendidikan sebesar 0,000, dimana nilainya lebih kecil dari 0,1 (α<0,1). Hal ini disebabkan tingkat pendidikan pekerja industri berhubungan dengan pengetahuan yang dimilikinya termasuk terhadap sarana dan prasarana pendidikan. Para pekerja industri dengan tingkat pendidikan SMA cenderung mengetahui beragam fasilitas yang dimiliki tiap jenis pendidikan. Selain itu, kebanyakan pekerja tesebut menempuh pendidikan tertinggi dengan fasilitas belajar tidak sebatas pada ruang kelas akan tetapi juga tempat praktek atau kelas-kelas di luar sekolah umum yang diperoleh melalui magang ataupun kursus. Selanjutnya, terdapat sedikit responden yang memilki tingkat pendidikan SD memaknai sarana dan prasarana pendidikan sampai pada jalur non formal
73
dikarenakan sebagian dari mereka telah mengikuti pelatlihan pelatihan yang diadakan bagi pekerja industri oleh pemerintah. Pada Tabel 35 dapat dilihat sebaran pekerja industri berdasarkan tingkat pendidikan dan persepsi terhadap sarana dan prasarana pendidikan. Tabel 35. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Persepsi terhadap Sarana dan Prasarana Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Tingkat Pendidikan
SD SMP SMA
Persepsi Sarana dan Prasarana (Formal) ruang % fasilitas belajar (kelas) sekolah 12 57,14 10 50,00 2 22,22 Persepsi Sarana dan Prasarana (Nonformal) ruangan dan % ruangan dan fasilitas kelas fasilitas praktek/ bengkel kerja 3 14,29 2 10,00 0 0,00
Total % 5 8 3
23,81 40,00 33,33
17(80,95)%) 18(90,00%) 5(55,56%) Total
%
1 0 3
25,00 0,00 100,00
4(19,05%) 2(10,00%) 3(44,44%)
Berdasarkan hasil uji Chi-Square, hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi biaya pendidikan adalah memiliki hubungan nyata karena nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi sarana dan prasarana pendidikan sebesar 0,000, dimana nilainya lebih kecil dari 0,1 (α<0,1). Hal ini disebabkan tingkat pendidikan pekerja industri sangat berhubungan dengan pengetahuan yang dimilikinya termasuk terhadap pengeluaran-pengeluaran yang dibutuhkan dalam membiayai pendidikan, seperti SPP, uang sekolah serta buku pedoman. Para pekerja industri dengan tingkat pendidikan SD dan SMP cenderung lebih memaknai biaya pendidikan sebatas pada pendidikan formal. Hal tersebut terlihat pada persentase pemaknaan responden yang lebih besar ke dalam kategori pendidikan formal. Hal tersebut berbeda pada responden dengan tingkat pendidikan SMA, dimana lebih banyak responden yang memaknai
74
biaya pendidikan pada pendidikan nonformal. Pada Tabel 36 dapat dilihat sebaran pekerja industri berdasarkan tingkat pendidikan dan persepsi biaya pendidikan. Tabel 36. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Persepsi terhadap Biaya Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran
Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Tingkat Pendidikan SD SMP SMA
Persepsi Biaya Pendidikan (Formal) uang masuk sekolah % SPP dan buku pedoman 8 38,10 9 12 60,00 6 2 22,22 2 Persepsi Biaya Pendidikan (Nonformal) uang masuk sekolah % iuran perbulan 2 0 1
9,52 0,00 22,22
1 2 3
%
Total
42,86 30,00 22,22
19(90,48%) 18(90,00%) 4(44,44%)
%
Total
4,76 10,00 33,33
2(9,52%) 2(10,00%) 4(55,56%)
Dapat disimpulkan bahwa dari keenam indikator persepsi pendidikan hanya satu indikator yang tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan, yaitu indikator kompetensi lulusan. Hal ini disebabkan karena terdapat kecenderungan para pekerja industri yang berpendidikan tinggi sudah memiliki beragam cara pandang terhadap persepsi pendidikan. Pengetahuan mereka tidak sebatas pada pendidikan formal tetapi juga mencakup pendidikan nonformal seperti kursus atau magang. Akan tetapi berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan para pekerja tersebut kurang memahami jenis-jenis keterampilan yang diperolah dari pelatihan yang mereka ikuti karena menurut mereka hal tersebut tidak dipakai dalam menunjang pekerjaan mereka kini. 7.1.4 Hubungan Kebutuhan Bekerja dengan Persepsi Pekerja Industri Berdasarkan hasil uji Chi-Square, hubungan kebutuhan bekerja dengan persepsi terhadap isi pendidikan tidak memiliki hubungan nyata karena nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi isi pendidikan sebesar 0,447, dimana nilainya
75
lebih besar dari 0,1 (α>0,1). Para pekerja industri dengan kebutuhan bekerja guna pemenuhan kebutuhan keluarga cenderung tidak mementingkan isi pendidikan karena adanya rasa kewajiban bagi mereka untuk menyokong keluarga, sehingga mereka tidak berusaha melanjutkan pendidikan walaupun adanya alternatif jalur pendidikan nonformal dengan waktu belajar yang lebih fleksibel. Hal tersebut juga senada dengan para responden dengan kebutuhan bekerja guna memenuhi kebutuhan pribadi yang menunjukkan proporsi yang lebih besar dalam memaknai isi pendidikan cenderung pada pendidikan formal. Tabel 37 memperlihatkan sebaran pekerja industri berdasarkan kebutuhan bekerja dan persepsi terhadap isi pendidikan. Tabel 37. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kebutuhan Bekerja dan Persepsi terhadap Isi Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran Kebutuhan Bekerja Keluarga Pribadi Kebutuhan Bekerja Keluarga Pribadi
pengetahuan umum 12 3 materi kesetaraan 2 0
% 34,29 20,00 % 5,71 0,00
Persepsi Isi Pendidikan (Formal) pengetahuan % pengetahuan umum dan akademis pengetahuan akademis 15 42,86 3 5 33,33 6 Persepsi Isi Pendidikan (Nonformal) keterampilan % Pelajaran spesifik baca tulis 3 8,57 0 0 0,00 1
% Total 8,57 40,00
30 (85,71%) 14 (93,33%)
% Total 0,00 6,67
5 (6,67%) 1(14,29%)
Berdasarkan hasil pengujian kebutuhan bekerja dengan persepsi mengenai proses pendidikan menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi proses pendidikan adalah sebesar 0,823 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α>0,1), maka hubungan antara kebutuhan bekerja dengan persepsi proses pendidikan tidak signifikan atau tidak berhubungan nyata. Alasan
untuk
mementingkan
bekerja
asalkan
tidak
menganggur
menjadikan mereka enggan bersekolah kembali dengan proses pendidikan yang
76
cukup lama karena hanya akan membuang waktu dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan ekonomi keluarga mereka kini. Para pekerja inipun cenderung memahami proses pendidikan dengan proporsi yang lebih besar pada jalur pendidikan formal. Tabel 38 memperlihatkan sebaran antara kebutuhan bekerja dan persepsi terhadap proses pendidikan. Tabel 38. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kebutuhan Bekerja dan Persepsi terhadap Proses Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran
Kebutuhan Bekerja Keluarga Pribadi
Kebutuhan Bekerja Keluarga Pribadi
bersifat
%
khusus 9 2
25,71 13,33
waktu belajar
%
singkat 2 1
Persepsi Proses Pendidikan (Formal) waktu berjenjang % pendidikan % (SD-PT) relatif lama 12 34,29 4 11,43 4 26,67 5 33,33 Persepsi Proses Pendidikan (Nonformal) pemberian materi % orientasi % terbatas
5,71 6,67
praktek 3 0
8,57 0,00
2 2
5,71 13,33
memilki peraturan baku
% Total 3 1
terbuka dan tidak selalu berjenjang 1 0
8,57 6,67
% Total 2,86 0,00
Berdasarkan hasil pengujian kebutuhan bekerja dengan persepsi mengenai tenaga pendidik menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi tenaga pendidik sebesar 0,736 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α >0,1), maka hubungan antara harapan bekerja dengan persepsi tenaga pendidik tidak signifikan atau berhubungan tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap tenaga pendidik tidak mengenal kebutuhan bekerja responden. Baik responden dengan
27 (77,14%) 12 (80,00%)
kebutuhan bekerja guna pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarga
menunjukkan proporsi yang cenderung lebih besar pada jalur pendidikan formal. Tabel 39 memperlihatkan sebaran antara kebutuhan bekerja dan persepsi terhadap tenaga pendidik
77
8 (22,86) 3 (20,00%)
Tabel 39. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kebutuhan Bekerja dan Persepsi terhadap Tenaga Pendidik di RW 09 Desa Pagelaran
Kebutuhan Bekerja Keluarga Pribadi Kebutuhan Bekerja Keluarga Pribadi
Persepsi Tenaga Pendidik (Formal) guru dalam sekolah dan % guru dan dosen guru bantu 20 57,14 9 7 46,67 6 Persepsi Tenaga Pendidik (Nonformal) tutor % Instruktur 4 11,43 2 0 0,00 2
Total % 25,71 40,00 % 5,71 13,33
29 (82,26%) 13 (86,67%) Total 6 (17,14%) 2 (13,33%)
Berdasarkan hasil pengujian kebutuhan bekerja dengan persepsi mengenai kompetensi lulusan menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi kompetensi lulusan sebesar 0,345 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α >0,1), maka hubungan antara harapan bekerja dengan persepsi terhadap kompetensi lulusan tidak signifikan atau berhubungan tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap kompetensi lulusan tidak mengenal kebutuhan bekerja responden. Baik responden dengan kebutuhan bekerja guna pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarga menunjukkan proporsi yang cenderung lebih besar pada jalur pendidikan formal. Tabel 40 memperlihatkan sebaran antara kebutuhan bekerja dan persepsi terhadap tenaga pendidik
78
Tabel 40. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kebuthan Bekerja dan Persepsi terhadap Kompetensi Lulusan di RW 09 Desa Pagelaran Persepsi Kompetensi Lulusan Kebutuhan
pengetahuan
Bekerja
luas
%
cerdas
%
penguasaan keterampilan
%
Total
untuk jenjang pendidikan tinggi
Keluarga Pribadi
Kebutuhan Bekerja
11
31,43
5
33,33
kesetaraan sekolah umum
%
15
42,86
7
20,00
33 (94,29%)
8
53,33
2
13,33
15 (100%)
Persepsi Kompetensi Lulusan (Nonformal) lebih penguasaan % berorientasi keterampilan pada praktek spesifik
%
Total
Keluarga
1
2,86
0
0,00
1
2,86
2 (5,71%)
Pribadi
0
0,00
0
,00
0
0,00
0 (0%)
Berdasarkan hasil pengujian kebutuhan bekerja dengan persepsi mengenai sarana dan prasarana pendidikan menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi sarana dan prasarana pendidikan adalah sebesar 0,527 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α>0,1), maka hubungan antara kebutuhan bekerja dengan persepsi terhadap sarana dan prasarana pendidikan tidak signifikan atau berhubungan tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap sarana dan prasarana tidak mengenal harapan bekerja responden. Baik responden dengan harapan pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarga menunjukkan proporsi yang cenderung lebih besar pada jalur pendidikan formal. Pada Tabel 41 dapat dilihat sebaran pekerja industri berdasarkan kebutuhan bekerja dan persepsi terhadap sarana dan prasarana pendidikan
79
Tabel 41. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kebutuhan Bekerja dan Persepsi terhadap Sarana dan Prasarana Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran Kebutuhan Bekerja
Persepsi Sarana dan Prasarana (Formal) ruang
%
belajar (kelas) Keluarga Pribadi Kebutuhan Bekerja
Total
fasilitas
%
sekolah 19
54,29
8
22,86
27 (77,14%)
8
53,33
4
26,67
12 (80,00%)
Persepsi Sarana dan Prasarana (Nonformal) ruangan dan
%
Total
ruangan dan
fasilitas kelas
%
fasilitas praktek/ bengkel kerja
Keluarga
3
8,57
5
14,29
8 (22,86%)
Pribadi
2
13,33
1
6,67
3 (20,00%)
Berdasarkan hasil pengujian kebutuhan bekerja dengan persepsi mengenai biaya pendidikan menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi biaya pendidikan adalah sebesar 0,823 dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α>0,1), maka hubungan antara kebutuhan bekerja dengan persepsi terhadap biaya pendidikan tidak signifikan atau berhubungan tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh cara pandang terhadap biaya pendidikan tidak mengenal kebutuhan bekerja responden. Baik responden dengan kebutuhan bekerja guna pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarga menunjukkan proporsi yang cenderung lebih besar pada jalur pendidikan formal. Pada tabel 42 dapat dilihat sebaran antara kebutuhan bekerja dan persepsi terhadap biaya pendidikan. Tabel 42. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kebutuhan Bekerja dan Persepsi terhadap Biaya Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran
Kebutuhan Bekerja Keluarga Pribadi Kebutuhan Bekerja Keluarga Pribadi
Persepsi Biaya Pendidikan (Formal) uang masuk sekolah % SPP dan buku pedoman 19 54,29 8 4 26,67 8 Persepsi Biaya Pendidikan (Nonformal) uang masuk sekolah % iuran perbulan 2 2
5,71 13,33
4 2
%
Total
22,86 53,33
27(77,14%) 11(73,33%)
%
Total
11,43 13,33
8(22,86%) 4(26,67%)
80
7.2 Hubungan Antara Faktor Eksternal dengan Persepsi Pekerja Industri Terhadap Pendidikan Hubungan antara faktor eksternal dengan persepsi pekerja industri mengenai pendidikan diukur dengan menggunakan uji Chi-Square (X2). Hasil pengujian hubungan dapat dilihat pada Tabel 43. Tabel 43. Hasil Pengujian Hubungan Antara Faktor Eksternal Pekerja Industri dengan Persepsi terhadap Pendidikan
Faktor Eksternal Teman Sepergaulan Kesejahteraan Rumah tangga
Persepsi Pendidikan Tenaga Kompetensi Pendidik Lulusan
Isi
Proses
*0,078
0,272
**0,028
*0,082
**0,017
0,123
Sarana dan Prasarana
Biaya
0,324
*0,051
**0,012
1,000
**0,024
**0,017
7.2.1 Hubungan Teman Spergaulan dengan Persepsi Pekerja Industri Teman sepergaulan memiliki hubungan nyata (α <0,1) dengan nilai signifikansi (2-sided) 0,078. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh yang diterima dari teman sepergaulan berhubungan dengan cara pandang pekerja industri terhadap pendidikan. Pengaruh tersebut yang dikelompokkan ke dalam keberagaman jenis pendidikan dan pekerjaan memperlihatkan bahwa para pekerja industri yang memiliki teman sepergaulan hanya pekerja industri dan dengan tingkat pendidikan yang cenderung seragam akan mengakibatkan asupan pengetahuan yang diterima minim. Kecenderungan yang terdapat pada para pekerja industri dengan teman seprgaulan homogen terhadap cara pandang akan isi pendidikan memiliki proporsi yang lebih besar pada jalur pendidikan formal. Berbeda dengan hal ini, pada responden dengan teman sepergaulan heterogen terdapat keberagaman akan cara pandang terhadap isi pendidikan. Tabel 44 memperlihatkan sebaran pekerja industri berdasarkan teman sepergaulan dan persepsi terhadap isi pendidikan
81
Tabel 44. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Teman Sepergaulan dan Persepsi terhadap Isi Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran Teman Sepergaulan Homogen Heterogen Teman Sepergaulan Homogen Heterogen
pengetahuan umum 7 18 materi kesetaraan 0 2
Persepsi Isi Pendidikan (Formal) pengetahuan % pengetahuan umum dan akademis pengetahuan akademis 46,67 8 53,33 0 51,43 17 48,57 4 Persepsi Isi Pendidikan (Nonformal) % keterampilan % Pelajaran spesifik baca tulis 0,00 0 0,00 0 3 1 %
% Total 0,00 11,43
15(100%) 29(82,86%)
% Total 0,00 2,86
0(0%) 6(17,14%)
Selain itu berdasarkan hasil pengujian, tidak terdapat hubungan antara pengaruh dari teman sepergaulan dengan persepsi terhadap proses pendidikan. Nilai signifikansi (2-sided) yang ditunjukkan adalah sebesar 0,272 dimana nilai tersebut lebih besar dari 0,1 (α>0,1). Hal tersebut terlihat pada distribusi proporsi responden dengan teman yang homogen memiliki nilai yang beragam. Hal ini dikarenakan terdapat sebagian responden yang pernah mengikuti pendidikan pada jalur non formal, sehingga pemaknaan akan proses pendidikannya pun menjadi beragam. Tabel 45 memperlihatkan sebaran pekerja industri berdasarkan teman sepergaulan dan persepsi terhadap proses pendidikan. Tabel 45. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Teman Sepergaulan dan Persepsi terhadap Proses Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran Teman bersifat
%
Persepsi Proses Pendidikan (Formal) waktu pendidikan berjenjang % %
Sepergaulan khusus
(SD-PT)
relatif lama
memilki peraturan baku
% Total
Homogen
2
13,33
7
46,67
2
13,33
2
13,33
13(86,76%)
Heterogen
7
20,00
10
28,57
6
17,14
3
8,57
26(74,29%)
waktu belajar
%
Persepsi Proses Pendidikan (Nonformal) pemberian materi % orientasi %
Teman Sepergaulan singkat
terbatas
praktek
terbuka dan tidak selalu berjenjang
% Total
Homogen
0
0,00
1
6,67
0
0,00
1
6,67
2(13,33%)
Heterogen
1
1,00
2
5,71
3
8,57
3
8,57
9(25,71%)
82
Hubungan lainnya yang diuji menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata antara pengaruh teman sepergaulan dengan persepsi terhadap tenaga pendidik. Nilai signifikansi (2-sided) yang diukur sebesar 0,028 dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,1 (α<0,1). Hal ini dikarenakan pengaruh teman sepergaulan yang homogen menyebabkan pemaknaan akan tenaga pendidik pada pekerja industri cenderung tidak beragam dan hanya terbatas pada pendidikan formal. Tabel 46 memperlihatkan sebaran pengaruh teman sepergaulan dan persepsi terhadap tenaga pendidik. Tabel 46. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Teman Sepergaulan dan Persepsi terhadap Tenaga Pendidik di RW 09 Desa Pagelaran Teman Sepergaulan
Persepsi Tenaga Pendidik (Formal) guru dalam sekolah dan guru bantu
Homogen Heterogen Teman Sepergaulan
%
guru dan dosen
10 66,67 18 51,43 Persepsi Tenaga Pendidik (Nonformal) tutor
Homogen Heterogen
0 3
% 0,00 8,57
Total %
5 9
33,33 25,71
0 5
% 0,00 14,29
Instruktur
15(100%) 27(77,14%) Total
0(0%) 8(22,86%)
Selanjutnya pada pengujian pengaruh teman sepergaulan dengan persepsi terhadap kompetensi lulusan menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata, dimana nilai signifikansi (2-sided) sebesar 0,324 dan lebih besar dari 0,1 (α>0,1). Hal ini menunjukkan bahwa teman sepergaulan yang homogen ternyata tidak berhubungan dengan cara pandang para pekerja industri terhadap kompetensi lulusan. Berdasarkan wawancara, hal ini disebabkan oleh pengetahuan yang mereka miliki terhadap keterampilan yang mereka terima dari jalur pendidikan non formal masih sangat terbatas. Hal tersebut disebabkan oleh cara pandang
83
mereka yang menganggap keterampilan yang mereka terima dari jalur pendidikan tersebut tidak terlalu berkontribusi terhadap jenis pekerjaan yang mereka geluti kini. Tabel 47 memperlihatkan sebaran pengaruh teman sepergaulan dan persepsi terhadap kompetensi lulusan. Tabel 47. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Teman Sepergaulan dan Persepsi terhadap Kompetensi Lulusan di RW 09 Desa Pagelaran
Teman Sepergaulan
pengetahuan luas
Homogen Heterogen
Teman Sepergaulan Homogen Heterogen
8 18
kesetaraan sekolah umum 1 0
Persepsi Kompetensi Lulusan penguasaan % cerdas % keterampilan untuk jenjang pendidikan tinggi 53,33 6 40,00 2 51,43 8 22,86 8 Persepsi Kompetensi Lulusan (Nonformal) lebih berorientasi % penguasaan % keterampilan pada spesifik praktek 6,67 0 0,00 0 0,00 1 2,86 0
%
Total
13,33 22,86
14(93,33%) 34(97,14%)
%
Total
0,00 0,00
1(6,67%) 1(2,86%)
Berdasarkan hasil pengujian teman sepergaulan dengan persepsi mengenai sarana dan prasarana pendidikan menunjukkan bahwa nilai signifikansi (2-sided)) pada persepsi sarana dan prasarana adalah sebesar 0,051 dimana nilainya lebih kecil dari 0,1 (α <0,1), maka hubungan antara teman sepergaulan dengan persepsi terhadap sarana dan prasarana pendidikan signifikan atau berhubungan nyata. Hal ini ditunjukkan dengan distribusi proporsi antara teman seprgaulan yang heterogen dan homogen memiliki jumlah berbeda. Teman sepergaulan yang homogen cenderung menghasilkan pengaruh pemaknaan pada jalur pendidikan sebatas pendidikan formal. Hal ini disebabkan hanya sedikit dari mereka yang pernah mengikuti pendidikan pada jalur nonformal. Tabel 48 memperlihatkan
84
sebaran antara teman sepergaulan dan persepsi terhadap sarana dan prasarana pendidikan. Tabel 48. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Teman Sepergaulan dan Persepsi terhadap Sarana dan Prasarana Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran Teman Sepergaulan
Persepsi Sarana dan Prasarana (Formal) ruang
%
belajar (kelas)
Total
fasilitas
%
sekolah
Homogen
10
66,67
4
26,67
14(93,33%)
Heterogen
15
42,86
8
22,86
23(65,71%)
Teman Sepergaulan
Persepsi Sarana dan Prasarana (Nonformal) ruangan dan
%
fasilitas kelas
Total
ruangan dan
%
fasilitas praktek/ bengkel kerja
Homogen
1
6,67
0
0,00
1(6,67%)
Heterogen
5
14,29
7
20,00
12(34,29%)
Pengaruh teman sepergaulan ternyata juga berhubungan dengan persepsi terhadap biaya pendidikan. Berdasarka pengujian didapat hasil signifikansi (2sided) sebesar 0,012 dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,1 (α<0,1) sehingga terdapat hubungan nyata antara pengaruh yang diterima dari teman sepergaulan dengan persepsi terhadap biaya pendidikan. Hal ini ditunjukkan melalui pengaruh teman sepergaulan yang homogen cenderung tidak beragam dan terbatas pada pendidikan formal. Tabel 49 memperlihatkan sebaran antara teman sepergaulan dan persepsi terhadap biaya pendidikan.
85
Tabel 49. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Teman Sepergaulan dan Persepsi terhadap Biaya Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran
Teman Sepergaulan
Persepsi Biaya Pendidikan (Formal) uang masuk sekolah % SPP
%
Total
66,67 40,00
15(100%) 24(68,57%)
%
Total
0,00 20,00
0(0%) 11(31,43%)
dan buku pedoman Homogen Heterogen Teman Sepergaulan
5 33,33 10 28,57 Persepsi Biaya Pendidikan (Nonformal) uang masuk sekolah
Homogen Heterogen
% 0 4
10 14
iuran perbulan
0,00 11,43
0 7
Jadi dapat disimpulkan bahwa hanya terdapat dua indikator persepsi pendidikan yang tidak berhubungan dengan faktor teman sepergaulan. Hal ini disebabkan interaksi yang kuat diantara pekerja industri karena waktu kerja yang cukup lama perharinya membuat pengetahuan yang mereka dapatkan cenderung seragam. Keseragaman ini terutama tergambarkan pada cara pandang terhadap pendidikan yang cenderung terbatas pada pendidikan formal. 7.2.2 Hubungan Kesejahteraan Rumah Tangga dengan Persepsi Pekerja Industri Kesejahteraan rumahtangga memiliki hubungan nyata dengan persepsi pendidikan dimana nilai signifikansi (2-sided) adalah sebesar 0,082 atau lebih kecil dari 0,1 (α<0,1) Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan rumahtangga berhubungan dengan cara pandang pekerja industri terhadap isi pendidikan. Pengaruh tersebut yang dikelompokkan kedalam rumah tangga yang cukup sejahtera dan tidak sejahtera memperlihatkan bahwa para pekerja industri yang sejahtera memiliki keberagaan dalam memandang isi pendidikan dan tidak hanya terbatas pada pendidikan. Tabel 50 berikut memperlihatkan sebaran kesejahteraan rumah tangga terhadap persepsi isi pendidikan.
86
Tabel 50. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kesejahteraan Rumah Tangga dan Persepsi terhadap Isi Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran Kesejaheraan Rumahtangga Tidak Cukup Cukup Kesejaheraan Rumahtangga Tidak cukup Cukup
pengetahuan umum 9 8
% 56,25 25,53
materi kesetaraan 0 1
% 0,00 2,94
Persepsi Isi Pendidikan (Formal) pengetahuan % pengetahuan umum dan akademis pengetahuan akademis 4 25,00 2 12 35,29 8 Persepsi Isi Pendidikan (Nonformal) keterampilan % Pelajaran spesifik baca tulis 1 6,25 0 4 11,76 1
% Total 12,50 23,53
15(93,75%) 28(82,25%)
% Total 0,00 2,94
1(6,25%) 6(17,65%)
Selanjutnya hubungan antara kesejahteraan rumahtangga dengan persepsi proses pendidikan menunjukkan hubungan yang nyata. Berdasarkan hasil pengujian didapatkan signifikansi (2-sided) sebesar 0,017 dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,1 (α<0,1). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan rumahtangga pekerja industri berhubungan dengan cara pandang mereka terhadap keberagaman proses pendidikan. Pada pekerja dengan rumahtangga yang cukup sejahtera memperlihatkan pengetahuan mereka yang luas akan proses pendidikan pada pendidikan sampai pada sektor nonformal. Tabel 51 berikut memperlihatkan sebaran kesejahteraan rumahtangga terhadap persepsi proses pendidikan. Tabel 51. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kesejahteraan Rumah Tangga dan Persepsi terhadap Proses Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran
Kesejaheraan Rumahtangga Tidak Cukup Cukup
Kesejaheraan Rumahtangga Tidak Cukup Cukup
bersifat
%
khusus 2 5
13,33 13,89
waktu belajar
%
singkat 0 2
0,00 5,56
Persepsi Proses Pendidikan (Formal) waktu pendidikan berjenjang % % (SD-PT)
relatif lama 8 53,33 3 20,00 10 27,78 4 11,11 Persepsi Proses Pendidikan (Nonformal) pemberian materi % orientasi % terbatas
praktek 1 2
6,67 5,56
0 6
0,00 16,67
memilki peraturan baku 1 1 terbuka dan tidak selalu berjenjang 1 3
% Total 6,67 2,78
14(93,33%) 21(58,33%)
% Total 6,67 8,33
87
2(13,33%) 13(36,11%)
Berbeda halnya dengan persepsi proses pendidikan, berdasarkan hasil pengujian Chi-Square menunjukkan bahwa antara kesejahteraan rumahtangga dengan persepsi terhadap tenaga pendidik tidak memiliki hubungan nyata karena nilai signifikansi (2-sided) pada persepsi tenaga pendidik sebesar 0,123, dimana nilainya lebih besar dari 0,1 (α>0,1). Pada Tabel 52 dapat dilihat sebaran pekerja industri berdasarkan kesejahteraan rumah tangga dan persepsi tenaga pendidik. Tabel 52. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kesejahteraan Rumah Tangga dan Persepsi terhadapTenaga Pendidik di RW 09 Desa Pagelaran Kesejaheraan Rumahtangga Tidak Cukup Cukup Kesejaheraan Rumahtangga Tidak Cukup Cukup
Persepsi Tenaga Pendidik (Formal) guru dalam sekolah dan % guru dan dosen guru bantu 10 62,50 3 9 26,47 14 Persepsi Tenaga Pendidik (Nonformal) tutor % Instruktur 2 12,50 1 3 8,82 8
Total % 18,75 41,18 % 6,25 23,53
13(81,25%) 23(67.65%) Total 3(18,75%) 11(32,25%)
Selanjutnya hubungan antara kesejahteraan rumahtangga dengan persepsi kompetensi lulusan juga menunjukkan hubungan yang tidak nyata. Berdasarkan hasil penghujian didapat signifikansi (2-sided) sebesar 1,000 dimana nilai tersebut lebih besar dari 0,1 (α >0,1). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan rumahtangga pekerja industri tidak berhubungan dengan cara pandang mereka terhadap keberagaman kompetensi lulusan. Baik pada pekerja dengan rumahtangga cukup sejahtera maupun tidak memperlihatkan bahwa kecenderungan akan cara pandang terhadap kompetensi lulusan lebih terbatas pada pendidikan formal. Walaupun pemahaman akan proses pendidikan pada pekerja industri yang cukup sejahtera cukup beragam (Tabel 51) ternyata tidak sesuai dengan pemahaman akan keterampilan yang dihasilkan
88
dalam proses-proses pendidikan tersebut. Tabel 53 berikut memperlihatkan sebaran kesejahteraan rumah tangga terhadap persepsi kompetensi lulusan. Tabel 53. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kesejahteraan Rumah Tangga dan Persepsi terhadap Kompetensi Lulusan di RW 09 Desa Pagelaran
Kesejaheraan
pengetahuan
Rumahtangga
luas
Tidak Cukup Cukup
4 17
Kesejaheraan Rumahtangga Tidak Cukup Cukup
kesetaraan sekolah umum 1 0
Persepsi Kompetensi Lulusan penguasaan % cerdas % keterampilan untuk jenjang pendidikan tinggi 25,0 68,7 0 11 5 0 50,0 26,7 0 9 4 6 Persepsi Kompetensi Lulusan (Nonformal) Lebih berorientasi % penguasaan % keterampilan spesifik pada praktek 6,25 0 0,00 0 0,00 1 2,94 1
%
Total
0,00 17,6 5
15(93,75%) 32(94,12%)
%
Total
0,00 2,94
1(6,25%) 2(5,88%)
Berbeda halnya dengan hubungan di atas, antara kesejahteraan rumahtangga dengan persepsi sarana dan pendidikan ternyata memperlihatkan hubungan yang nyata. Nilai signifikansi (2-sided) yang dihasilkan sebesar 0,024 dan lebih kecil dari 0,1 (α<0,1). Hal ini menunjukkan bahwa pada pekerja industri dengan tingkat kesejahteraan yang cukup memandang sarana dan prasarana dalam pendikan beragam dan tidak terbatas pada hanya pendidikan formal. Tabel 54 berikut memperlihatkan sebaran kesejahteraan rumah tangga terhadap persepsi sarana dan prasarana pendidikan
89
Tabel 54. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kesejahteraan Rumah Tangga dan Persepsi terhadap Sarana dan Prasarana di RW 09 Desa Pagelaran Kesejaheraan Rumahtangga Tidak Cukup Cukup Kesejaheraan Rumahtangga
Tidak Cukup Cukup
Persepsi Sarana dan Prasarana (Formal) ruang % fasilitas belajar (kelas) sekolah 9 56,25 4 16 47,06 8 Persepsi Sarana dan Prasarana (Nonformal) ruangan dan % ruangan dan fasilitas kelas fasilitas praktek/ bengkel kerja 1 6,25 2 3 8,82 7
Total % 25,00 23,53
13(81,25%) 24(70,59%) Total
%
12,50 20,59
3(18,75%) 10(29,41%)
Selanjutnya hubungan antara kesejahteraan rumahtangga dengan persepsi biaya pendidikan menunjukkan hubungan yang nyata. Berdasarkan hasil pengujian didapat signifikansi (2-sided) sebesar 0,017 dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,1 (α<0,1). Pada pekerja industri dengan tingkat kesejahteraan rumahtangga yang cukup memperlihatkan cara pandang yang beragam terhadap biaya pendidikan. Hal ini disebabkan oleh pekerja tersebut umumnya para pemilik bengkel telah mengikuti banyak penyuluhan dan pelatihan sehingga pemahaman mereka akan biaya pendidikan tidak hanya terbatas pada pendidikan. Tabel 55 berikut memperlihatkan sebaran kesejahteraan rumah tangga terhadap persepsi biaya pendidikan. Tabel 55. Jumlah Pekerja Industri Berdasarkan Kesejahteraan Rumah Tangga dan Persepsi Biaya Pendidikan di RW 09 Desa Pagelaran
Kesejaheraan Rumahtangga Tidak Cukup Cukup Kesejaheraan Rumahtangga Tidak Cukup Cukup
Persepsi Biaya Pendidikan (Formal) uang masuk sekolah % SPP dan buku pedoman 5 31,25 7 13 38,24 10 Persepsi Biaya Pendidikan (Nonformal) uang masuk sekolah % iuran perbulan 2 4
12,50 11,76
2 7
%
Total
43,75 29,41
12(75,00%) 23(67,75%)
%
Total
12,50 20,59
4(25,00%) 11(32,25%)
90
BAB VIII KEBUTUHAN PENDIDIKAN BAGI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL
Berdasarkan hasil pengujian signifikansi Chi Square ternyata tingkat pendidikan responden memperlihatkan hubungan yang sangat erat terhadap persepsi pendidikan. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara kepada para responden ditemukan bahwa pemaknaan pendidikan cenderung berbeda antara perempuan dengan laki-laki dimana perempuan memiliki proporsi yang cenderung lebih besar pada pendidikan formal. Menurut mereka pendidikan merupakan sekolah umum (SD sampai Perguruan Tinggi) dan bersifat mahal. Mereka menganggap penting pendidikan, akan tetapi pendidikan yang diterima pekerja selama mengenyam bangku sekolah tidak memberikan manfaat yang dibutuhkan bagi pekerjaan mereka kini. Oleh sebab itu berikut akan dijabarkan kebutuhan pendidikan para pekerja industri berdasarkan isi, proses, tenaga pendidik, kompetensi lulusan, sarana dan prasaranan serta biaya pendidikan. 8.1 Isi Pendidikan Berdasarkan hasil wawancara baik pada responden dengan tingkat pendidikan
rendah
maupun
tinggi
diperoleh
gambaran
mengenai
isi
pendidikan/materi pendidikan yang diinginkan cenderung bersifat non akademis disertai praktek dan berkaitan dengan proses produksi sandal/sepatu serta bukan pendidikan yang mereka peroleh saat mengenyam bangku sekolah dahulu. Akan tetapi terdapat responden yang menginginkan materi tentang cara-cara pemasaran di bidang lain karena sudah jenuh dan paham betul dengan proses produksi sandal/sepatu dan berharap dapat membuka usaha baru. Mereka ini menginginkan
91
pemberian materi seperti kewirausahaan. Bagi para pekerja industri (buruh) teknik-teknik
pembukuan,
cara
pemasaran
(penjualan)
serta
pembuatan
sepatu/sandal melalui praktek mendesain pola sampai menjadi sepatu/sandal yang utuh sangat diinginkan dengan harapan dapat membuka bengkel sepatu sendiri jika ada modal. Berbeda
dengan
hal
tersebut,
para
pekerja
industri
perempuan
menginginkan adanya materi di luar produksi sepatu karena tidak adanya keinginan mereka untuk membuka bengkel sepatu sendiri kelak. Mereka menginginkan pemberian materi tentang pembuatan kue atau menjahit agar dapat membuka usaha sendiri di rumah. Berbeda pula dengan hal di atas, terdapat responden dengan usia sekolah menginginkan perpaduan antara materi-materi pendidikan di sekolah umum dahulu dengan materi yang berkaitan dengan proses produksi sepatu/sandal. 8.2 Proses Pendidikan Responden
dengan
tingkat
pendidikan
tinggi
maupun
rendah
menginginkan proses pembelajaran hanya ditempuh dalam waktu yang tidak lama dan hanya berkisar sampai beberapa bulan. Hal ini dikarenakan menurut mereka tidak sulit untuk cepat paham terhadap materi yang berkaitan dengan proses produksi sepatu/sandal karena sudah lamanya mereka bergelut di bidang tersebut. Waktu belajar yang diinginkan hanya berkisar dua sampai tiga jam per minggu dan dilaksanakan pada hari libur ( Sabtu atau Minggu). Responden dengan tingkat pendidikan tinggi menginginkan belajar tahapan-tahapan dalam pemberian materi. Sedikit teori diberikan di awal dan pergantian materi diselingi
92
dengan istirahat agar tidak jenuh. Selain itu para responden juga menginginkan adanya praktek langsung saat belajar. Senada dengan hal tersebut para responden perempuan juga menginginkan proses pembelajaran tidak lama dilakukan. Mereka juga menginginkan waktu belajar di hari libur (Sabtu atau Minggu). 8.3 Tenaga Pendidik Berdasarkan hasil wawancara diperoleh, para pekerja industri pemilik sepatu/sandal (pemilik bengkel sepatu/sandal) serta pekerja dengan tingkat pendidikan
SMA/STM
menginginkan
tenaga
pendidik/pengajar
di
luar
lingkungan mereka. Mereka beralasan jika pengajar berasal dari lingkungan mereka sendiri (para pekerja industri senior yang telah berpengalaman lama) maka pengetahuan yang mereka terima pun akan terbatas dan tidak akan berbeda jauh dengan apa yang telah diketahui kini. Mereka menginginkan tenaga pendidik profesional di bidang manajemen, pemasaran dan desain. Mereka juga mengatakan jika para pengajar berasal dari lingkungan luar maka pengetahuan mereka akan terbuka sehingga mereka dapat mengembangkan usaha. Lain halnya dengan pemilik bengkel di atas, sebagian besar para pekerja (buruh) dan pekerja dengan tingkat pendidikan SD menginginkan tenaga pengajar dari dalam lingkungan mereka sendiri yaitu para senior yang telah lama bekerja di industri sepatu/sandal. Menurut mereka hal ini disebabkan agar proses pendidikan yang dilakukan tidak bersifat kaku, pemberian materi akan lebih mudah diterima dan mereka tidak canggung dalam mengikutinya. Senada dengan hal di atas, para pekerja industri perempuan menginginkan tenaga pengajar yang berasal dari lingkungan mereka sendiri. Mereka beralasan
93
jika ada pengajar dari luar mereka akan sungkan karena akan canggung bila bertanya. 8.4 Kompetensi Lulusan Menurut para responden dengan tingkat pendidikan tinggi maupun rendah, jika mengikuti pendidikan non akademis sesuai dengan materi yang dinginkan diatas, maka mereka berharap memiliki pengetahuan serta keterampilan produksi sepatu/sandal dari proses desain awal hingga sampai ke pemasaran secara utuh. Mereka juga menginginkan memiliki keterampilan pembukuan yang tepat karena berharap mampu memiliki toko grosir sendiri tanpa harus menjual produksi mereka ke toko lain. Akan menginginkan
tetapi materi
para di
responden luar
perempuan
produksi
sepatu
yang
lebih
menginginkan
cenderung memiliki
keterampilan membuat kue atau panganan lain, seperti keripik yang dapat dijual. Hal ini disebabkan karena adanya keinginan mereka untuk dapat membuka usaha sendiri di rumah dengan berjualan. 8.5 Sarana dan Prasarana Pendidikan Sebagian besar responden dengan tingkat pendidikan rendah maupun tinggi menginginkan proses belajar yang dilangsungkan berada di dalam ruang kelas khusus tetapi masih dekat dengan lingkungan mereka. Menurut mereka jika belajar di luar ruangan konsentrasi akan terganggu. Selain itu terdapat pula responden yang menginginkan untuk belajar di tempat-tempat perkumpulan setingkat desa seperti aula kantor desa atau rumah ketua RW setempat agar dapat belajar beramai-ramai.
94
Selain itu, fasilitas yang mereka inginkan sebatas pada fasilitas umum seperti papan tulis. Mereka juga menginginkan alat peraga, seperti bahan-bahan yang dibutuhkan dalam membuat desain sepatu/sandal serta jika memungkinkan pemuataran gambar pembuatan pola dan desain sepatu secara benar. Mereka menginginkan adanya praktek langsung sehabis diberikan materi pengantar. 8.5 Biaya Pendidikan Menurut para responden mereka tidak menginginkan adanya biaya yang dikenakan saat mereka menempuh pendidikan. Hal ini disebabkan karena pendapatan yang mereka peroleh dialokasikan seluruhnya untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga, sehingga mereka akan mengkuti pendidikan tertentu jika tidak dipungut bayaran. Akan tetapi jika tetap harus membayar, besarnya iuran yang akan mereka berikan berkisar antara Rp 1000-Rp 10.000 per termin. Selain itu terdapat responden yang menginginkan ijazah setelah mereka menempuh pendidikan akan tetapi sebagian responden lain, khususnya pekerja industri perempuan menganggap ijazah tidak penting. Jadi dapat disimpulkan bahwa para responden dengan tingkat pendidikan rendah dan tinggi membutuhkan materi pendidikan yang berkaitan dengan proses produksi sepatu/sandal. Teknik-teknik pemasaran dan pembukuan perlu diberikan secara intensif guna meningkatkan produktifitas kerja mereka. Adapun terdapat perbedaan kebutuhan pendidikan antara buruh pekerja dengan pemilik bengkel sepatu/sandal dimana para pemilik bengkel cenderung lebih membutuhkan teknik pemasaran dibandingkan produksi agar dapat memgembangkan serta memperluas skala usaha.
95
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Karakteristik dari pekerja industri skala kecil kebanyakan adalah laki-laki, berusia lebih dari 18 tahun, dengan tingkat pendidikan mayoritas SD dan memiliki kebutuhan bekerja untuk pemenuhan kebutuhan keluarga . Para pekerja industri memiliki teman sepergaulan yang bersifat heterogen baik tingkat pendidikan maupun jenis pekerjaan. Selain itu para pekerja industri skala kecil terbagi menjadi keluarga tidak sejahtera 2. Persepsi para pekerja industri skala kecil terhadap isi pendidikan cenderung memiliki proporsi yang besar pada pendidikan formal, begitu pula pada proses pendidikan, tenaga pendidik, kompetensi lulusan, sarana dan prasarana serta biaya pendidikan. 3. Tingkat pendidikan memiliki hubungan signifikan terhadap persepsi isi, proses, tenaga pendidik, sarana dan prasarana serta biaya pendidikan pendidikan. Jenis kelamin berhubunga dengan sarana dan prasarana pendidikan serta usia berhubungan dengan proses pendidikan. 4. Kebutuhan pendidikan bagi pekerja industri skala kecil terhadap pendidikan cenderung pendidikan yang bersifat nonformal sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan produktifitas kerja. Kebutuhan akan pendidikan tersebut terkait dengan materi produksi sepatu dan sandal yaitu tekik desain sepatu/sandal, teknik pembukuan serta teknik pemasaran yang diadakan di sekitar wilayah bengkel sepatu/sandal atau di perkumpulan
96
tingkat RW seperti aula desa. Kegiatan belajar dilaksanakan pada hari libur serta pembayaran bersifat sukarela. 9.2 Saran Adapun saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Populasi penelitian diharapkan agar lebih terfokus guna melihat secara spesifik persepsi pendidikan pekerja industri terhadap pendidikan nonformal. 2. Untuk pemerintah setempat membentuk suatu wadah bagi para kelompok pekerja industri RW 09 Desa Pagelaran agar usaha skala kecil mereka dapat terdata dengan baik. Selain itu diharapkan dapat dibentuk pula koperasi pekerja industri skala kecil sepatu dan sandal sehingga mereka dapat mengembangkan usaha denga baik. 3. Untuk para tokoh masyarakat agar dapat membentuk suatu kegiatan belajar berbasis komunitas bersifat sukarela dengan tenaga pengajar yang berasal dari lingkungan sendiri agar para pekerja industri skala kecil RW 09 Desa Pagelaran dapat meningkatkan produktifitas kerja. 4. Untuk para pekerja industri skala kecil agar mampu dan mau meluangkan waktu mengikuti kegiatan belajar serta memberikan bantuan sukarela baik tempat maupun fasilitas belajar agar kegiatan belajar berbasis komunitas yang akan dibentuk dapat terlaksana sesuai dengan kenginan mereka.
97
DAFTAR PUSTAKA
Akramuddin. 2000. Hubungan Kualitas Pelayanan Publik dengan Kepuasan Pelanggan (Studi pada RSUD Dokter Soedarsono, Pontianak). Thesis. Program Pascsarjana Universitas Padjajaran. Ananta. 2004. Pekerja Buruh Anak. Balai Pustaka. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2003. Kecamatan Ciomas dalam Angka 1998-2003. BPS Bogor. Badan Pusat Statistik. 2006. Kabupaten Bogor dalam Angka 2002-2006. BPS Bogor. Badan Pusat Statistik. 1997. Kabupaten Bogor dalam Angka 1993-1997. BPS Bogor. Estiningsih, Rd. A. Harliati. 1993. Persepsi Buruh Anak terhadap Sekolah dan Kerja. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Depok Fitanto, Bahtiar. 2000. Transformasi Struktural dalam Masyarakat Pedesaan. Tesis Pembangunan Pedesaan. Program Pascasarjana IPB. Hasbullah. 1998. Dasar-Dasar Pendidikan Nasional. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Karsidi, Ravik. 2003. Dari Petani ke Pengrajin. Pustaka Cakra dan LPM UNS> Surakarta. Mirajiani. 2003. Dampak Industrialisasi dan Perubahan Sosial Terhadap Munculnya Agresivitas Masyarakat. Sekolah Pascasarjana IPB. Nazir, Muhammmad. 2003. Metode Penelitian. LP3ES. Jakarta. Rahmat, Jalaludin. 1991. Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Rahardjo. 1986. Transformasi Struktural Pertanian. Balai Pustaka. Jakarta. Robbin, Stephen.1998. “Essentials of Organizational Behavior”. Prentice Hall. New Jersey. Sarwono, Sarlito Wirawan. 2002. Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Balai Pustaka. Jakarta.
98
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2003. Teori-Teori Psikologi Sosial. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Singarimbun, Masri.Sofian Effendi. 2006. Metodologi Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta Susanti, Noesjoe.1979. Persepsi terhadap Masa Depan Pendidikan Formal untuk Beberapa Kelompok Remaja yang Duduk di Bangku SMP. Skripsi Empiris. Fakultas Psikologi. Universitas Indonesia. Depok. Sri, Edi. 1990. Pengembangan Industri Skala Kecil sebagai Gerakan Ekonomi Rakyat. Prosiding Seminar Nasional Sehari Peranan Strategis Industri Kecil dalam Pembangunan Jangka Panjang tahap II. Jakarta. Syahyuni,Tuti. 1999. Persepsi Pekerja Industri terhadap Tingkat Pendidikan Formal. Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Tambunan, Tulus. 1990. Peranan Industri Skala Kecil dalam Meningkatkan Nilai Tambah Ekonomi Pedesaan. Prosiding Seminar Nasional Sehari Peranan Strategis Industri Kecil dalam Pembangunan Jangka Panjang tahap II. Jakarta Tjiptohartono, Prijono. 1990. Tenaga Kerja Pedesaan Tulang Punggung Pembangunan. Peranan Industri Skala Kecil dalam Meningkatkan Nilai Tambah Ekonomi Pedesaan. Prosiding Seminar Nasional Sehari Peranan Strategis Industri Kecil dalam Pembangunan Jangka Panjang tahap II. Jakarta Yuniarti, Nia Tetin. 2000. Persepsi Masyarakt Nelayan terhadap Pendidikan Formal. Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
99
LAMPIRAN
100
Lampiran 1 Teknik Pengumpulan Data dan Kebutuhan Data bagi Penelitian Rumusan Masalah 1.
Serapan jumlah penduduk Kabupaten Bogor antar sektor
Data yang Diperlukan • • •
Data jumlah tenaga kerja berdasarkan jenis dan lapangan kerja utama di KabupatenBogor Data sebaran unit usaha industri Kabupaten Bogor Data perbandingan serapan tenaga kerja antar sektor di 5 Kecamatan di Kabupaten Bogor
Sumber Data • • • • • •
2. Persepsi pekerja industri skala kecil terhadap bentuk pendidikan
•
•
•
Persepsi pekerja industri terhadap isi pendidikan dilihat dari bentuk pendidikan formal, non formal dan informal Persepsi pekerja industri terhadap proses pendidikan dilihat dari bentuk pendidikan formal, non formal dan informal Persepsi pekerja industri terhadap tenaga pendidik dilihat dari bentuk pendidikan formal, non formal dan informal
•
Data Primer Staf BPS Staf Deperindagkop Kabupaten Bogor Staf Kecamaan Ciomas Aparat Desa Pagelaran Pekerja Industri
Teknik Pengumpulan Data • Wawancara mendalam • Analisis data sekunder dari arsip dan/atau dokumen Dinas Pemerintah Kabupaten Bogor
Teknik Pengolahan Data • Analisa deskriptif
• •
•
Data Sekunder Data BPS, Data Deperindagkop Kab. Bogor, Data KecamatanCiomas
Data Primer Pekerja Industri Skala Kecil di RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor
Wawancara mendalam Analisis data dengan mereduksi jawaban ke dalam kategorikategori yang telah dicantumkan dalam kuesioner
Analisa deskriptif
101
•
•
•
3.
4.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi pekerja industri kecil terhadap bentuk pendidikan .
•
Harapan pekerja industri terhdap bentuk pendidikan
•
•
Persepsi pekerja industri terhadap kompetensi lulusan dilihat dari bentuk pendidikan formal, non formal dan informal Persepsi pekerja industri terhadap sarana dan prsarana pendidikan dilihat dari bentuk pendidikan formal, non formal dan informal Persepsi pekerja industri terhadap biaya pendidikan dilihat dari bentuk pendidikan formal, non formal dan informal Karakteristik responden (pekerja industri di RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor) Faktor eksternal
•
Karakteristik responden • (pekerja industri skala kecil di RW 09 DesaPagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor)
Data Primer Pekerja Industri Skala kecil di RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor
•
Kuesioner
•
Tabulasi silang dan uji hipotesis menggunakan Uji Chi Square
Data Primer Pekerja Industri Skala kecil di RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor
•
Wawancara mendalam
•
Analisa deskriptif
102
Lampiran 2. Matriks Harapan Bentuk Pendidikan Pekerja Industri Skala Kecil Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan
Isi Pendidikan
Proses Pendidikan
Tinggi
·Berisi materi produksi sepatu melalui tahapan desain, pembukuan dan pemasaran ·Berisi materi pemasaran di bidang lain (kewirausahaan), agar dapat membuka usaha selain produksi sepatu/sandal ·Berisi materi produksi sepatu melalui tahapan desain, pembukuan dan pemasaran ·Adanya selingan materi produksi sepatu dan materi pendidikan di
·Waktu pembelajaran tidak lama, hanya beberapa bulan ·Proses belajar dilakukan pada hari libur (Sabtu/Minggu) ·Materi diberikan bertahap dengan waktu belajar antara 2-3 jam .Proses belajar diselingi praktek ·Waktu pembelajaran tidak lama, hanya beberapa bulan ·Proses belajar dilakukan pada hari libur (Sabtu/Minggu) ·Pemberian materi tidak
Rendah
Tenaga Pendidik
Kompetensi Lulusan
Sarana dan Biaya Prasarana Pendidikan Pendidikan ·dalam ruang ·gratis ·Tenaga pengajar ·memiliki dari luar, yaitu pengetahuan serta kelas ·di wilayah para professional keterampilan setempat yang ahli di memproduksi bidang desain, sepatu dari desain pemasaran dan sampai pemasaran pembukuan ·keterampilan pemasaran di bidang lain
·Tenaga pengajar berasal dari lingkungan sendiri yaitu para senior yang telah lama bergelut di industri sandal/sepatu
·memiliki pengetahuan serta keterampilan memproduksi sepatu dari desain sampai pemasaran
·dalam ruang ·gratis kelas ·di wilayah setempat dan di tempat-tempat perkumpulan setingkat RT atau RW
103
Jenis Kelamin
sekolah umum bertahap (pekusia sekolah) Isi Pendidikan Proses Pendidikan
Laki-laki
Berkaitan dengan Berlangsung proses produksi tidak lama waktu sepatu belajar antara 2-3 jam dan dilaksanakan di hari libur (Sabtu/Minggu
Perempuan
Berkaitan dengan materi membuat kue atau panganan lain yang bisa di jual
Tenaga Pendidik Berasal dari lingkungan sendiri maupun luar lingkungan
Berasal dari Berlangsung tidak lama waktu dalam lingkungan belajar antara 2-3 sendiri jam dan dilaksanakan di hari libur (Sabtu/Minggu)
Kompetensi Lulusan
Sarana dan Biaya Prasarana Pendidikan Pendidikan Memiliki Berada di dalam gratis keterampilan kelas dan dekat memproduksi dengan wilayah sepatu dari desin tersebut dapat sampai pula di aula desa pemasaran serta atau rumah ketua keterampilan RW wirausaha agar dapat membuka usaha di bidang lain Berada di dalam gratis Memiliki kelas dan dekat keterampilan membuat kue dengan wilayah dapat atau panganan tersebut lain yang dapat di pula di aula desa atau rumah ketua jual RW
104
Lampiran 3 KUESIONER PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN ( Kasus Pekerja Industri Kecil Sepatu dan Sandal di Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ) Peneliti bernama Wahyuni Rahmiati S., merupakan mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Saat ini peneliti sedang menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan studi. Peneliti berharap anda mengisi kuisioner ini dengan lengkap dan jujur, identitas dan jawaban anda dijamin kerahasiannya dan semata-mata hanya akan digunakan untuk kepentingan penulisan skripsi ini. Terima kasih atas kesedian anda mengisi kuisioner ini. Petunjuk pengisian : -Kuisioner ini harap diisi seluruhnya -Beri tanda X pada jawaban yang menurut anda sesuai -Isilah pada ruangan titik-titik dengan jawaban yang singkat No. Responden Lokasi Wawancara Hari/Tanggal Wawancara
: : :
IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : 2. Jenis kelamin : 1. laki-laki 2.perempuan 3. Usia anda :…… tahun FAKTOR INTERNAL Pendidikan 4. Mohon disebutkan tingkat pendidikan umum tertinggi anda : 1. Tidak sekolah 2. SD : a. Tamat ; b. Tidak tamat 3. SLTP/sederajat : a. Tamat ; b. Tidak tamat 4. SMU/sederajat : a. Tamat ; b. Tidak tamat 5. Akademi/sederajat : : a. Tamat ; b. Tidak tamat Harapan Bekerja 5. Siapa yang mendorong anda untuk bekerja di industri sepatu ? 1. Teman-teman 2. Saudara.......................(sebutkan) 3. Diri sendiri 4. Keluarga......................(sebutkan) 6. Apa harapan orang tua anda pada saat ini ? 1. Sekolah 2. Membantu mencukupi kebutuhan keluarga 3. Lain-lain....................................(sebutkan)
105
7. Siapa pencari nafkah utama di keluarga anda ? 1. Ayah 2. Ayah dan Ibu 3. Saudara kandung (kakak atau adik) 4. Diri sendiri 8. Digunakan untuk apa saja upah yang anda peroleh ? 1. Digunakan seluruhnya untuk keperluan sendiri 2. Diberikan sedikt kepada orang tua untuk memenuhi keperluan diri sendiri 3. Dibagi dua untuk orang tua dan keperluan sendiri 4. Diberikan seluruhnya kepada orang tua untuk kebutuhan hidup 9. Apa harapan orang tua anda pada anda di masa depan ? 1. Meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi 2. Bekerja untuk diri sendiri 3. Bekerja untuk membantu ekonomi keluarga 4. Lain-lain....................................(sebutkan) FAKTOR EKSTERNAL Kesejahteraan Rumah Tangga 10. Luas tanah : 1. < 100 m2 11. Lantai rumah : 1. Tanah atau ubin 12. Sumber air minum : 1. Air sumur/PAM 13. Fasilitas buang air keluarga : 1. Di dalam rumah 14. Tempat pembuangan akhir (jamban) : 1. WC
2. >100 m2 2. Keramik 2. Air isi ulang 2. Di luar rumah 2. MCK atau kali
Teman Sepergaulan 15. Apakah anda memiliki teman dekat ? 1. Ya 2. Tidak 16. Mohon sebutkan nama-nama teman dekat anda. No. Nama teman dekat 1 2 3 4 5 17. Mohon sebutkan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan teman dekat anda. Tingkat pendidikan Jenis pekerjaan No. 1 2 3 4 SD SMP SMA T Tt T Tt T Tt 1 2 3 4 5 Ket :
T : tamat Tt : tidak tamat
1. Pekerja industri 2. Petani 3. Pedagang kelontong 4. Pedagang makanan/minuman
106
Lampiran 4. Kuesioner Unit Usaha •
Unit Usaha : No. Nama (1) a1
Asal pekerja (2) a2 b1
b2
Status pekerja (3) a b
Proses Produksi (4) a b c
a
Pembayaran (5) b
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ket : 1. Nama pekerja 2. Asal pekerja : a1. Pekerja keluarga tidak dibayar a2. Pekerja keluarga dibayar b1. Pekerja luar keluarga dibayar b2. Pekerja luar keluarga tidak diabayar 3. Status pekerja a. Pekerja atas b. Pekerja bawah
4. Proses produksi a. Borongan b. Mingguan c. Bulanan 5. Pembayaran a. Jumlah produksi b. Upah
107
Lampiran 5. Panduan Pertanyaan sebagai Pedoman Wawancara Bagian Pertama : Persepsi Tentang Bentuk Pendidikan Responden : Pekerja Industri Skala Kecil Di RW 09 1. Apa makna pendidikan menurut anda ? 2. Manfaat apa yang anda terima jika memperoleh pendidikan ? 3. Apa pemahaman anda tentang akses terhadap pendidikan ? 4. Hal apa yang mendorong anda untuk memperoleh pendidikan ? 5. Jenis-jenis pendidikan seperti apa yang anda ketahui ? 6. Materi seperti apa yang pernah anda terima saat memperoleh pendidikan ? 7. Hal-hal apa yang anda lakukan saat anda mengenyam pendidikan ? 8. Siapa saja yang mengajar anda saat anda mengenyam pendidikan ? 9. Manfaat apa saja yang anda terima saat anda mengenyam pendidikan ? 10. Dimanakah anda belajar saat mengenyam pendidikan ? 11. Keperluan apa saja yang anda butuhkan saat anda mengenyam pendidikan? 12. Biaya apa saja yang anda keluarkan saat anda mengenyam pendidikan ? Bagian Kedua : Harapan Tentang Bentuk Pendidikan Responden : Pekerja Industri Skala Kecil Di RW 09 13. Jenis pendidikan seperti apa yang anda inginkan untuk bersekolah ? 14. Materi seperti apa yang anda inginkan untuk bersekolah ? 15. Bentuk pengetahuan seperti apa yang anda ingin dapatkan dari sekolah ? 16. Bentuk kemampuan seperti apa yang anda ingin dapatkan dari sekolah ? 17. Bentuk keterampilan seperti apa yang anda ingin dapatkan dari sekolah ? 18. Berapa banyak alokasi waktu yang anda butuhkan untuk bersekolah ? 19. Bentuk sekolah seperti apa yang anda inginkan ? 20. Siapa yang anda inginkan mengajar jika bersekolah ? 21. Keterampilan seperti apa yang anda inginkan jika anda lulus bersekolah ? 22. Pengetahuan apa yang anda ingin dapatkan jika bersekolah ? 23. Apa anda menginginkan ijazah jika anda lulus sekolah ? 24. Berapa biaya yang ingin anda keluarkan untuk bersekolah ?
108
Lampiran 6. •
KUESIONER Lingkari atau jawab pertanyaan di bawah ini (jawaban boleh lebih dari satu) No.
Indikator Pendidikan
Formal
1.
Isi
a. Pengetahuan umum dan bersifat akademis b. Lain-lain :
2.
Proses
3.
Tenaga kependidikan
a. Diselenggarakan secara khusus b. Dibagi atas jenjang yang memiliki hubungan hierarkhis (SD-Perguruan Tinggi) c. Waktu pendidikan relative lama sesuai dengan program pendidikan yang harus diselesaikan d. Lain-lain : a. Guru b. Dosen c. Lain-lain :
Nonformal
Informal
a. Pendidikan kecakapan hidup b. Padu c. Pendidikan kepemudaan d. Pendidikan pemberdayaan perempuan e. Pendidikan keaksaraan f. Pendidikan pelatihan dan keterampilan kerja g. Pendidikan kesetaraan h. Lain-lain : a. Lembaga kursus b. Lembaga pelatihan c. Kelompok belajar d. PKBM e. Majelis taklim f. Lain-lain :
a. Kegiatan belajar mandiri b. Isi pendidikan bersifat praktis c. Lain-lain :
a. b. c. d.
a. Anggota masyarakat (keluarga dan lingkungan) b. Lain-lain :
Tutor Instruktur Fasilitator Lain-lain :
a. Pendidikan tidak mengenal jenjang, dan program pendidikan untuk jangka pendek b. Lain-lain :
109
4.
Kompetensi lulusan
5.
Sarana prasarana
6.
Biaya
a. Mengembangkan kecerdasan pikiran dan memberikan pengetahuan b. Lain-lain :
dan
a. Ruang belajar (kelas) b. Fasilitas sekolah c. Lain-lain :
a. b. c. d.
Uang masuk sekolah SPP Buku pedoman Lain-lain :
a. Kecakapan personal, sosial, intelektual dan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri b. Persiapan kader pemimpin bangsa c. Pengangkatan harkat dan martabat perempan d. Kesetaraan pendidikan umum e. Penguasaan keterampilan fungsional yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja f. Lain-lain : a. Ruangan dan fasilitas kelas b. Ruangan dan fasilitas praktek/bengkel kerja c. Ruangan dan fasilitas pengajar d. Ruangan dan fasilitas perpustakaan, ruang tunggu, papan pengumuman dan papan data. e. Lain-lain : a. Uang masuk sekolah b. Iuran perbulan c. Lain-lain :
a. Keterampilan kerja sebagai jawaban terhadap kebutuhan meningkatkan taraf hidup b. Lain-lain :
a. Ruang belajar bentukan b. Tidak permanen c. Lain-lain :
a. Sumbangan sukarela peserta b. Sumbangan komunitas c. Lain-lain :
110
Lampiran 7. Sketsa Lokasi Penelitian
111