PERSENTASE ORGAN DALAM BROILER YANG DIBERI RANSUM CRUMBLE BERPEREKAT ONGGOK, BENTONIT DAN TAPIOKA
SKRIPSI MIA NUR WIDIANINGSIH
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN MIA NUR WIDIANINGSIH. D24101035. 2008. Persentase Organ Dalam Broiler yang Diberi Ransum Crumble Berperekat Onggok, Bentonit dan Tapioka. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Lidy Herawati, MS. Pembimbing Anggota : Ir. Dwi Margi Suci, MS. Crumble merupakan bentuk ransum yang umum digunakan sebagai ransum ayam broiler. Kelemahan ransum bentuk crumble yaitu mudah mengalami kerusakan pada saat pengangkutan dan penyimpanan karena strukturnya yang kurang kuat dan kompak sehingga mudah hancur. Penggunaan bahan perekat pada saat pengolahan pakan diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik ransum ayam broiler sehingga dapat meningkatkan konsumsi ransum dan memperbaiki performa ayam broiler serta tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap organ dalam ayam broiler. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan perekat (onggok, bentonit, tapioka) dengan taraf yang sama dalam pembuatan ransum bentuk crumble terhadap persentase organ dalam ayam broiler. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 200 ekor DOC (Day Old Chick) broiler strain Cobb yang dipelihara selama lima minggu. Ransum yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ransum basal dengan penambahan bahan perekat (onggok, bentonit dan tapioka) sebanyak 2% dengan kandungan protein kasar ransum sebesar 23% dan energi metabolis 3100 kkal/kg, sebagai pembanding digunakan ransum komersial. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari tiga perlakuan dan lima ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan dibandingkan secara deskriptif dengan ransum komersial sebagai pembanding, jika sidik ragam berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Duncan. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah bobot badan akhir setelah dipuasakan, persentase bobot hati, jantung, limpa, rempela, usus halus (duodenum, jejenum dan ileum) dan panjang relatif usus halus serta seka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase bobot ileum pada ransum dengan perekat tapioka nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang ditambahkan perekat onggok dan bentonit. Panjang relatif jejenum sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi pada ransum berperekat onggok dibandingkan dengan ransum perlakuan berperekat bentonit dan tapioka. Penambahan perekat pada ransum broiler tidak memberikan pengaruh terhadap bobot badan akhir, persentase bobot hati, jantung, limpa dan rempela. Persentase bobot dan panjang relatif usus halus serta seka broiler yang diberi ransum perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan ransum komersial, sedangkan bobot badan akhir pada ketiga ransum perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan ransum komersial. Rataan bobot badan akhir setelah dipuasakan, persentase bobot hati, jantung, limpa dan rempela adalah 1111-1532 gram/ekor, 2,34-2,52%, 0,57-0,63%, 0,110,13% dan 1,52-2,11%. Rataan persentase bobot doudenum, jejenum dan ileum adalah 0,25-0,36%, 0,23-0,35% dan 0,20-0,31%. Rataan panjang relatif doudenum, jejenum, ileum dan seka adalah 1,94-2,91%, 4,02-7,23%, 4,21-7,30% dan 1,02-1,51%. Kata-kata Kunci : broiler, bahan perekat, crumble, organ dalam
ABSTRACT Percentage of Broiler’s Viscera Fed with Crumbles Ration that Contained Onggok, Bentonite and Tapioca as Binder M. N. Widianingsih, L. Herawati, D. M. Suci The experiment was conducted to study the effect of the addition of difference pellet binder in ration on the viscera of broiler to the description compared with commercial ration. Two hundred day old chicks (DOC) of broiler was used in this experiment. The broilers were kept in pen with litter for five weeks. At the end of the experiment, 40 broilers were slaughtered to measure the variables observed. Completely Randomized Design was used in this experiment. The treatments were: the basal ration added 2% onggok as binder agent, the basal ration added 2% bentonite as binder agent and the basal ration added 2% tapioca as binder agent. The ration content 23% crude protein and 3100 kcal/kg metabolizable energy. Commercial ration used as comparison. The data were analyzed use Analysis of Variance (ANOVA) and significant differences tested with Duncan Multiple Range Test. The result showed that the ileum on the basal ration added 2% tapioca significant (P<0.05) higher than the basal ration added 2% onggok and bentonite. The length of jejenum on the basal ration added 2% onggok was significant differences (P<0.01) higher than the basal ration added 2% bentonite and tapioca. The average of final body weight, percentage of heart, liver, limph and gizzard in this experiment were 1111-1532 gram/hen, 2.34-2.52%, 0.57-0.63%, 0.11-0.13% and 1.52-2.11%. The average of percentage weight doudenum, jejenum and ileum were 0.25-0.36%, 0.23-0.35% and 0.20-0.31%. The average of length doudenum, jejenum, ileum and caeca were 1.94-2.91%, 4.02-7.23%, 4.21-7.30% and 1.02-1.51%. Keywords : binder, broilers, crumble, viscera
PERSENTASE ORGAN DALAM BROILER YANG DIBERI RANSUM CRUMBLE BERPEREKAT ONGGOK, BENTONIT DAN TAPIOKA
MIA NUR WIDIANINGSIH D24101035
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERSENTASE ORGAN DALAM BROILER YANG DIBERI RANSUM CRUMBLE BERPEREKAT ONGGOK, BENTONIT DAN TAPIOKA
Oleh MIA NUR WIDIANINGSIH D24101035
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 21 Mei 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Lidy Herawati, MS. NIP. 131 671 600
Ir. Dwi Margi Suci, MS. NIP. 131 671 592
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr. NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Mei 1982 di Garut Jawa Barat. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Maman dan Ibu Nani Suminarsih. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1995 di SDN Cibatu V, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1998 di SLTPN I Cibatu dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2001 di SMUN I Cibatu. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2001.
KATA PENGANTAR Alhamdulillaahi robbil ’aalamiin, puji syukur ke hadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Persentase Organ Dalam Broiler yang Diberi Ransum Crumble Berperekat Onggok, Bentonit dan Tapioka. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ketersediaan ransum yang baik dari segi kuantitas dan kualitas memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan produktivitas ternak. Bentuk fisik dan palatabilitas ransum yang baik dapat meningkatkan konsumsi ransum sehingga dapat memperbaiki performa ayam broiler. Ransum ayam broiler pada umumnya diberikan dalam bentuk crumble. Kelemahan ransum bentuk crumble yaitu mudah mengalami kerusakan pada saat pengangkutan dan penyimpanan karena strukturnya yang kurang kuat dan kompak sehingga mudah hancur. Penggunaan bahan perekat pada saat pengolahan pakan dapat meningkatkan sifat fisik ransum ayam broiler sehingga dapat meningkatkan konsumsi ransum dan memperbaiki performa ayam broiler serta tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap organ dalam ayam broiler. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan perekat (onggok, bentonit, tapioka) dengan taraf yang sama dalam ransum bentuk crumble terhadap persentase organ dalam ayam broiler. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ............................................................................................
ii
ABSTRACT...............................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ................................................................................
v
DAFTAR ISI..............................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ......................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
x
PENDAHULUAN......................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................. Perumusan Masalah........................................................................... Tujuan ...............................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
3
Ayam Broiler..................................................................................... Organ Dalam dan Saluran Pencernaan Ayam Broiler ......................... Hati ......................................................................................... Jantung.................................................................................... Limpa...................................................................................... Rempela (Ventrikulus/Gizzard)................................................ Usus Halus .............................................................................. Seka (Usus Buntu)................................................................... Ransum Ayam Broiler ....................................................................... Feed Additive .................................................................................... Bahan Perekat.................................................................................... Onggok ................................................................................... Tapioka ................................................................................... Bentonit...................................................................................
3 4 4 5 5 6 7 9 9 12 13 14 15 15
METODE...................................................................................................
18
Lokasi dan Waktu.............................................................................. Materi................................................................................................ Ternak ..................................................................................... Ransum ................................................................................... Kandang dan Peralatan ............................................................ Vaksin dan Obat-obatan .......................................................... Rancangan......................................................................................... Perlakuan ................................................................................ Model...................................................................................... Peubah yang Diamati...............................................................
18 18 18 18 20 21 21 21 21 22
Prosedur ............................................................................................ Pembuatan Ransum ................................................................. Persiapan Kandang .................................................................. Pemeliharaan Ayam Broiler.....................................................
22 22 23 23
HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................
25
Ransum Penelitian ............................................................................. Rataan Bobot Badan Akhir Setelah Dipuasakan................................. Rataan Persentase Bobot Organ Dalam Ayam Broiler Umur 35 Hari . Hati ......................................................................................... Jantung.................................................................................... Limpa...................................................................................... Rataan Persentase Bobot Organ Pencernaan Ayam Broiler Umur 35 Hari ................................................................................................... Rempela .................................................................................. Usus Halus .............................................................................
25 29 31 32 32 33 34 34 35
KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................
39
Kesimpulan ....................................................................................... Saran .................................................................................................
39 39
UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
41
LAMPIRAN...............................................................................................
47
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Persentase Bobot Hati Ayam Broiler ..................................................
5
2.
Persentase Bobot Jantung Ayam Broiler .............................................
5
3.
Persentase Bobot Limpa Ayam Broiler ...............................................
6
4.
Persentase Bobot Rempela Ayam Broiler ...........................................
7
5.
Panjang Relatif Usus Halus Ayam Broiler ..........................................
8
6.
Panjang Relatif Seka Ayam Broiler ....................................................
9
7.
Persyaratan Mutu Standar Ransum Ayam Broiler Starter ...................
11
8.
Komposisi Ransum Penelitian ............................................................
19
9.
Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian ...............................................
20
10.
Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian Berdasarkan Analisis Proksimat (as fed)..............................................................................
25
Rataan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Umur 35 Hari Setelah Dipuasakan........................................................................................
29
12.
Rataan Persentase Organ Dalam Ayam Broiler Umur 35 Hari............
33
13.
Rataan Persentase Organ Pencernaan Ayam Broiler Umur 35 Hari ....
34
14.
Rataan Panjang Relatif Usus Halus dan Seka Ayam Broiler Umur 35 Hari ...................................................................................................
37
11.
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Usus Halus Ayam Broiler ..................................................................
8
2. Perekat Onggok .................................................................................
14
3. Perekat Tapioka .................................................................................
15
4. Perekat Bentonit ................................................................................
16
5. Kandang Ayam Broiler ......................................................................
20
6. Ransum Penelitian .............................................................................
26
7. Organ Dalam dan Saluran Pencernaan Ayam Broiler .........................
32
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Label Ransum Komersil .......................................................................... 49 2. Rataan Konversi Ransum, Pertambahan Bobot Badan dan Konsumsi Ransum Ayam Broiler selama 5 Minggu Pemeliharaan............................ 50 3. Uji Sifat Fisik Ransum Penelitian ............................................................ 50 4. Sidik Ragam Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Umur 35 Hari ................ 50 5. Sidik Ragam Persentase Bobot Hati Ayam Broiler Umur 35 Hari ............ 50 6. Sidik Ragam Persentase Bobot Jantung Ayam Broiler Umur 35 Hari....... 50 7. Sidik Ragam Persentase Bobot Limpa Ayam Broiler Umur 35 Hari......... 51 8. Sidik Ragam Persentase Bobot Rempela Ayam Broiler Umur 35 Hari ..... 51 9. Sidik Ragam Persentase Bobot Duodenum Ayam Broiler Umur 35 Hari.. 51 10. Sidik Ragam Persentase Bobot Jejenum Ayam Broiler Umur 35 Hari ...... 51 11. Sidik Ragam Persentase Bobot Ileum Ayam Broiler Umur 35 Hari.......... 51 12. Sidik Ragam Panjang Relatif Duodenum Ayam Broiler Umur 35 Hari..... 52 13. Sidik Ragam Panjang Relatif Jejenum Ayam Broiler Umur 35 Hari......... 52 14. Sidik Ragam Panjang Relatif Ileum Ayam Broiler Umur 35 Hari............. 52
PENDAHULUAN Latar Belakang Ketersediaan ransum yang baik dari segi kuantitas dan kualitas memegang peranan penting dalam menentukan produktivitas ternak dan merupakan faktor yang dapat menentukan efisiensi pemeliharaan ayam broiler. Keberhasilan budidaya peternakan secara intensif salah satunya ditentukan oleh penyediaan ransum yang berkualitas tinggi ditinjau dari segi nutrisi maupun bentuk fisik. Bentuk fisik dapat mempengaruhi palatabilitas ransum sehingga dapat meningkatkan konsumsi ransum dan memperbaiki performa ayam broiler. Crumble merupakan salah satu bentuk ransum yang umum digunakan sebagai ransum ayam broiler. Kelemahan ransum bentuk ini yaitu mudah mengalami kerusakan pada saat pengangkutan dan penyimpanan karena strukturnya yang kurang kuat dan kompak sehingga mudah hancur. Struktur pellet yang kuat, kompak, dan kokoh akan menghasilkan bentuk crumble yang lebih baik. Untuk membentuk pellet yang kuat, diperlukan bahan perekat pada saat pengolahan pakan sehingga crumble yang dihasilkan akan lebih baik (tidak mudah hancur). Perekat merupakan suatu bahan yang berfungsi untuk mengikat komponenkomponen pakan bentuk pellet sehingga strukturnya tetap dan kompak serta crumble yang dihasilkan akan lebih baik. Bahan perekat yang dapat digunakan dalam proses pengolahan pakan antara lain adalah bahan perekat bentonit dan bahan perekat berbahan baku singkong (onggok,tapioka dan gaplek) yang merupakan bahan perekat alami serta bahan perekat sintesis seperti lignosulfonat dan CMC (carboxy methil cellulosa). Bahan perekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah onggok, tapioka dan bentonit. Bahan perekat onggok dan tapioka mengandung
pati sehingga
meningkatkan daya rekat, sedangkan bentonit merupakan sejenis lempung yang mengandung montmorillonite dengan daya serap yang tinggi. Penambahan bahan perekat pada proses pengolahan ransum bentuk crumble dapat membantu meningkatkan sifat fisik ransum dengan harapan tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap kualitas nutrisi ransum. Sifat fisik ransum yang baik diharapkan dapat memperbaiki efisiensi penggunaan ransum sehingga dapat menghasilkan nilai konversi yang rendah dan meningkatkan produktivitas ternak
tanpa menimbulkan kelainan pada organ dalam ayam broiler. Gambaran nilai efisiensi penggunaan ransum dapat dilihat dari bobot badan akhir yang diperoleh. Ransum yang diberikan pada ternak dapat mempengaruhi kerja organ dalam dan saluran pencernaan ayam. Sistem organ pencernaan berkembang sesuai dengan ransum yang diberikan. Kelainan pada organ dalam biasanya ditandai dengan adanya perubahan organ dalam secara fisik seperti perubahan warna dan ukuran. Setiap organ dalam pada ternak mempunyai fungsi yang saling berhubungan, berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan pengamatan terhadap persentase bobot organ dalam ayam broiler yang diberi ransum crumble berperekat onggok, bentonit dan tapioka. Perumusan Masalah Sifat fisik ransum dapat menentukan kualitas suatu ransum. Kualitas ransum yang baik dapat meningkatkan performa ayam broiler. Ransum bentuk crumble lebih efisien digunakan sebagai ransum ayam broiler. Bahan baku penyusun ransum dan penggunaan bahan perekat dalam proses pengolahan ransum dapat mempengaruhi bentuk crumble yang dihasilkan. Penggunaan bahan perekat onggok, tapioka dan bentonit dalam penelitian ini diharapkan dapat membantu meningkatkan sifat fisik crumble karena bahan perekat tersebut memiliki daya rekat yang cukup tinggi sehingga crumble yang dihasilkan tidak mudah hancur. Sifat fisik crumble yang baik diharapkan dapat meningkatkan palatabilitas ransum sehingga dapat memperbaiki performa ayam broiler serta tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap organ dalam ayam broiler. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan bahan perekat onggok, bentonit dan tapioka sebanyak 2% dalam ransum bentuk crumble terhadap persentase organ dalam ayam broiler dan dibandingkan dengan pemberian ransum komersial.
TINJAUAN PUSTAKA Ayam Broiler Broiler merupakan hasil rekayasa teknologi yang memiliki karakteristik ekonomi dan ciri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, konversi ransum rendah, siap dipotong pada usia relatif muda dan menghasilkan kualitas daging berserat lunak (North dan Bell, 1990). Budidaya ayam broiler telah dikembangkan sejak lama sehingga kemajuan penampilan ayam broiler pada saat ini semakin baik (Amrullah, 2003). Menurut Didinkaem (2006), ayam broiler mampu membentuk 1 kg daging atau lebih hanya dalam waktu 30 hari dan bisa mencapai 1,5 kg dalam waktu 40 hari. Biasanya ayam broiler dipanen setelah umurnya mencapai 45 hari dengan bobot badan berkisar 1,5-2,5 kg. Pertumbuhan broiler dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain genetik, nutrisi ransum, kontrol penyakit, kandang dan manajemen produksi (Pond et al., 1995). Menurut Ditjenak (2007) ayam broiler dapat tumbuh cepat dan bisa dipotong dalam waktu 35 hari atau lebih karena broiler merupakan hasil seleksi bibit unggul. Menurut standar pemeliharaan PT. Sierad Produce (2007), pertambahan bobot badan ayam broiler strain Cobb selama 35 hari yaitu sekitar 2000 gram/ekor sedangkan berdasarkan hasil penelitian Salari et al. (2006), pertambahan bobot badan ayam broiler strain Cobb yang diberi ransum bentuk pellet selama 35 hari adalah 1612,87 gram/ekor, sedangkan yang diberi ransum bentuk mash pertambahan bobot badannya mencapai 1344,25 gram/ekor. Poultry Indonesia (2003) menyebutkan bahwa saat ini ada beberapa strain ayam pedaging yang banyak terdapat di pasar Indonesia diantaranya Cobb, Hubbard, New Lohmann, Ross dan Hybro. Strain Cobb merupakan bibit broiler yang paling populer saat ini di dunia, strain ini adalah produk hasil riset dalam jangka waktu yang cukup lama dengan menggunakan teknologi modern yang telah dikembangkan lebih dari 15 tahun. Mulyantono (2003) mengungkapkan keunggulan dan kelemahan yang dimiliki oleh strain Cobb. Keunggulan yang dimiliki oleh strain Cobb adalah daya hidup mencapai 98%, bobot badan (38 hari) mencapai 1,7 kg, konversi pakan mencapai 1,8, manajemen pemeliharaan relatif mudah, kualitas sepanjang tahun relatif stabil dan manajemen transfortasi DOC bagus.
Kelemahan strain Cobb adalah jumlah produksi masih terbatas, pertambahan bobot badan sampai umur empat minggu cenderung lambat, sedangkan keunggulan strain Cobb menurut Cobb-Vantress (2007) antara lain tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, kualitas daging yang baik, nilai konversi pakan yang rendah dan dapat meminimalkan biaya produksi, sehingga meningkatkan pendapatan peternak. Keunggulan ini tidak hanya berlaku di wilayah beriklim sedang tetapi juga di wilayah iklim tropis. Organ Dalam dan Saluran Pencernaan Ayam Broiler Alat pencernaan ayam broiler terdiri dari mulut, kerongkongan (esophagus), tembolok (crop), proventrikulus, rempela (ventrikulus), usus kecil (small intestine), usus buntu (seca), usus besar (large intestine), kloaka dan anus (vent). Performa saluran pencernaan dipengaruhi oleh kesehatan usus, lingkungan, sekresi endogenous dan aditif (Gauthier, 2002). Hati Hati memiliki peranan penting dan fungsi yang komplek dalam proses metabolisme tubuh. Menurut Ressang (1984), hati berperan dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein, zat besi, sekresi empedu, fungsi detoksifikasi, pembentukan sel darah merah serta metabolisme dan penyimpanan vitamin. Hati merupakan jaringan berwarna merah kecoklatan yang terdiri dari dua lobus besar, terletak pada lengkungan duodenum dan rempela (Jull, 1979). Persentase
hati
bekisar antara 1,7-2,8% dari bobot badan (Putnam, 1991). Nickle et al. (1977) menyatakan bahwa ukuran, konsistensi dan warna hati tergantung pada bangsa, umur dan status individu ternak. Hati yang normal berwarna coklat kemerahan atau coklat terang dan apabila keracunan warna hati akan berubah menjadi kuning (McLelland, 1990), selain itu menurut (Ressang, 1984), kelainan pada hati ditandai dengan adanya perubahan warna hati, pembesaran dan pengecilan pada salah satu lobi serta tidak ditemukannya kantong empedu. Gejala-gejala klinis pada jaringan hati tidak selalu teramati karena kemampuan regenerasi jaringan hati yang sangat tinggi. Persentase bobot hati ayam broiler beberapa strain umur 35 hari hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Persentase Bobot Hati Ayam Broiler Strain
Umur (hari)
Hati (%)
Sumber
-
-
2,64-3,3
Putnam (1991)
-
35
2,22-2,32
Dewi (2007)
Ross
35
2,26-2,57
Deyusma (2004)
Cobb
35
2,54-2,87
Suprayitno (2006)
Cobb
35
1,75-2,21
Puspitasari (2006)
Jantung Ressang (1984) menyatakan bahwa jantung berfungsi sebagai pemompa darah dalam sistem transportasi atau sirkulasi tubuh. Ukuran jantung dipengaruhi oleh jenis, umur, besar dan aktivitas hewan. Menurut Putnam (1991) persentase jantung ayam broiler sekitar 0,42-0,70% dari bobot hidup dan persentase jantung berdasarkan beberapa hasil penelitian dengan strain dan umur yang sama dapat dilihat pada Tabel 2. Frandson (1992) menyatakan bahwa jantung sangat rentan terhadap racun dan zat antinutrisi, pembesaran jantung dapat terjadi karena adanya akumulasi racun pada otot jantung. Ressang (1984), menyebutkan bahwa pembesaran ukuran jantung biasanya disebabkan oleh adanya penambahan jaringan otot jantung. Dinding jantung mengalami penebalan sedangkan ventrikel relatif menyempit apabila otot menyesuaikan diri pada kontraksi yang berlebihan. Tabel 2. Persentase Bobot Jantung Ayam Broiler Strain
Umur (hari)
Jantung (%)
Sumber
-
-
0,42-0,70
Putnam (1991)
-
35
0,50-0,57
Dewi (2007)
Cobb
35
0,34-0,46
Puspitasari (2006)
Cobb
35
0,58-0,66
Suprayitno (2006)
Limpa Persentase bobot limpa ayam broiler hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Limpa merupakan organ yang berwarna merah gelap terletak di sebelah kanan
abdomen yang merupakan penghubung antara proventrikulus dan rempela (Mclelland, 1990). Tabel 3. Persentase Bobot Limpa Ayam Broiler Strain
Umur (hari)
Limpa (%)
Sumber
-
-
0,18-0,23
Putnam (1991)
-
35
0,11-0,14
Kuraesin (2005)
Cobb
35
0,13-0,17
Suprayitno (2006)
Menurut Dellman dan Brown (1989), limpa berfungsi sebagai penyaring darah dan menyimpan zat besi untuk dimanfaatkan kembali dalam sintesis hemoglobin, sedangkan menurut Ressang (1984), selain menyimpan darah, limpa bersama hati dan sumsum tulang berperan dalam penghancuran eritrosit-eritrosit tua dan ikut serta dalam metabolisme sel limfosit yang berhubungan dengan pembentukan antibodi. Putnam (1991) menyatakan bahwa persentase limpa broiler berkisar antara 0,18-0,23% dari bobot hidup. Rempela (Ventrikulus/Gizzard) Nort dan Bell (1990) menyatakan bahwa rempela disebut juga perut otot yang terletak antara proventrikulus dan usus halus bagian atas yang mempunyai peranan penting dalam sistem pencernaan unggas. Rempela mempunyai dua pasang otot yang kuat dan mengandung lendir yang tebal. Bagian dalam rempela terdapat lapisan berwarna kuning yang sangat keras dan kuat serta dapat dilepaskan. Otot rempela akan berkontraksi bila ada makanan yang masuk ke dalamnya. Data hasil penelitian persentase bobot rempela ayam broiler dengan starin dan umur yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4. Rempela berfungsi untuk menggiling dan menghancurkan makanan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil dan biasanya dibantu oleh grit (Neisheim et al.,1979). Grit yang ada dalam rempela berfungsi untuk mengoptimalkan pencernaan karena dapat meningkatkan motilitas makanan, aktivitas menggiling makanan dan meningkatkan kecernaan pakan (Sturkie, 1976). Putnam (1991) menyatakan bahwa bobot rempela berkisar antara 1,6-2,3% dari bobot hidup.
Tabel 4. Persentase Bobot Rempela Ayam Broiler Strain
Umur (hari)
Rempela (%)
Sumber
-
-
1,6-2,3
Cobb
35
1,99-2,71
Puspitasari (2006)
Cobb
35
2,52-2,97
Suprayitno (2006)
Hubbard
42
1,99-2,52
Syukron (2006)
Putnam (1991)
Ukuran rempela mudah berubah tergantung pada jenis makanan yang biasa dimakan oleh unggas tersebut (Amrullah, 2003). Prilyana (1984) menyatakan bahwa berat rempela dipengaruhi oleh kadar serat kasar ransum, semakin tinggi kadar serat kasar ransum, maka aktifitas rempela juga semakin tinggi, sehingga beratnya juga semakin besar. Usus Halus Data hasil penelitian panjang relatif usus halus ayam broiler dengan strain dan umur yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Usus halus pada ternak merupakan organ penting dalam pencernaan yang berfungsi untuk mengabsorbsi nutrisi bahan pakan (Gillespie, 2004). Usus halus terdiri dari tiga bagian yang tidak terpisah secara jelas yaitu duodenum, jejenum dan ileum (Amrullah, 2003). Duodenum merupakan bagian pertama dari usus halus yang letaknya sangat dekat dengan dinding tubuh dan terikat pada mesentri yang pendek yaitu mesoduodenum. Jejenum dengan mudah dapat dipisahkan dengan duodenum yang letaknya kira-kira bermula pada posisi ketika mesentri mulai terlihat memanjang (pada duodenum mesentrinya pendek). Jejenum dan ileum letaknya bersambungan dan tidak ada batas yang jelas diantaranya. Bagian terakhir dari usus halus adalah ileum yang bersambungan dengan usus besar (Frandson, 1992). Bagian-bagian dari usus halus tersebut dapat dilihat pada gambar 1. Sturkie (1976) menyatakan bahwa bobot duodenum 4,03 gram, jejunum 6,3 gram dan ileum 4,5 gram. Di dalam usus penyerapan (ileum) terdapat banyak lipatan atau lekukan yang disebut jonjot-jonjot usus (vili). Vili berfungsi memperluas permukaan penyerapan, sehingga makanan dapat terserap sempurna (Wikipedia 2007). Struktur vili usus halus dipengaruhi oleh jenis ransum yang berbeda (Gillespie, 2004).
Sumber : Poultry Indonesia (2003)
Gambar 1. Usus Halus Ayam Broiler Menurut Ressang (1984), fungsi usus halus dipengaruhi oleh fungsi lambung, gangguan fungsi hati dan pankreas, sakit, stres dan kesalahan susunan bahan makanan. Panjang usus halus sekitar 1,5 meter pada ayam dewasa, terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejunum dan ileum. Panjang usus halus bervariasi sesuai dengan ukuran tubuh, tipe makanan dan faktor lainnya. Tabel 5. Panjang Relatif Usus Halus Ayam Broiler Strain
Umur (hari)
Panjang Usus (cm/100 g)
Sumber
Cobb
35
17,13-19,80
Puspitasari (2006)
Cobb
35
20,47-25,27
Suprayitno (2006)
Hubbard
42
14,07-20,10
Syukron (2006)
Amrullah (2003) menyatakan bahwa ukuran panjang, tebal dan bobot saluran pencernaan unggas bukan besaran yang statis. Perubahan dapat terjadi selama proses perkembangan karena dipengaruhi oleh jenis ransum yang diberikan. Ransum yang banyak mengandung serat akan menimbulkan perubahan ukuran saluran pencernaan sehingga menjadi lebih berat, lebih panjang dan lebih tebal. Unggas yang diberi ransum berserat kasar tinggi cenderung memiliki saluran pencernaan yang lebih besar dan panjang (Sturkie, 1976). Syamsuhaidi (1997), menyatakan bahwa peningkatan kadar serat kasar dalam ransum cenderung akan memperpanjang usus. Semakin tinggi serat kasar dalam ransum, maka laju pencernaan dan penyerapan zat makanan akan semakin lambat. Untuk memaksimalkan penyerapan zat makanan tersebut, maka daerah penyerapan akan diperluas atau diperpanjang. Anggorodi
(1994), menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan serat kasar dalam suatu bahan makanan maka semakin rendah daya cerna bahan makanan tersebut. Seka (Usus Buntu) Usus besar terdiri atas sekum yang merupakan suatu kantung buntu dan kolon yang terdiri dari bagian yang naik, mendatar dan turun (Gillespie, 2004). Seka merupakan saluran pencernaan yang terletak pada persimpangan antara usus halus dan usus besar yang terdiri dari dua kantung buntu dan berfungsi untuk membantu penyerapan air serta mencerna karbohidrat dan protein dengan bantuan bakteri yang ada dalam seka (North dan Bell, 1990; McNab, 1973). Panjang dan bobot sekum akan meningkat dengan meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum. Menurut Rose (1997) dalam seka terdapat bakteri yang membantu proses pendegradasian bahan makanan melalui proses fermentasi yang selanjutnya produk yang dihasilkan digunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan zat makanan. Schaible (1979), menyatakan bahwa asimilasi dan penyerapan banyak terjadi pada usus halus tapi beberapa terjadi pada usus besar dan seka. Nickle et al. (1977) menyatakan bahwa panjang seka unggas normal berkisar antara 12 sampai 25 cm. Panjang relatif seka ayam broiler hasil penelitian dengan strain dan umur yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Panjang Relatif Seka Ayam Broiler Strain
Umur (hari)
Panjang Seka (cm/100 g)
Sumber
Cobb
35
1,84-2,34
Suprayitno (2006)
Hubbard
42
2,54-3,20
Syukron (2006)
Ransum Ayam Broiler Secara umum ransum didefinisikan sebagai campuran dari berbagai bahan makanan yang diberikan kepada ternak untuk mencukupi kebutuhannya dalam waktu tertentu (Pond et al., 1995). Ransum yang diberikan kepada ternak ayam broiler harus mengandung nutrisi yang cukup dan disesuaikan dengan kebutuhannya. Menurut Wahju (1997) ransum ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk
membantu
reaksi-reaksi
metabolik,
menyokong
pertumbuhan
dan
mempertahankan suhu tubuh, selain itu ayam membutuhkan protein yang seimbang,
phospor, kalsium dan trace mineral serta vitamin yang sangat penting selama tahap permulaan hidupnya. Ransum starter merupakan ransum yang diberikan pada saat ayam broiler berumur 1-4 minggu (Direktorat Bina Produksi,1997). Persyaratan mutu standar untuk ayam ras pedaging (broiler starter) menurut SNI No. 01-3930-1995 dapat dilihat pada Tabel 7. Pemberian ransum pada ayam broiler hendaknya benar-benar dapat dikonsumsi atau dimanfaatkan oleh tubuh ternak sehingga penggunaan ransum lebih efisien. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa bentuk ransum ayam ada tiga macam yaitu mash, crumble dan pellet. Pemberian ransum dalam bentuk mash biasanya kurang efisien karena banyak yang tercecer, oleh karena itu pada umumnya ransum ayam broiler diberikan dalam bentuk crumble atau pellet agar penggunaannya lebih efisien. Cara yang umum untuk meningkatkan nutrisi suatu bahan pakan ternak adalah mengurangi ukuran partikel bahan tersebut dengan memotong, menggiling dan memadatkan atau disebut juga pellet (Ensminger et al., 1990). Menurut North dan Bell (1990), ransum bentuk crumble dibuat dari pellet yang digiling kembali dan merupakan tipe bentuk pertengahan antara ransum mash dan pellet yang pemberiannya dimulai dari ayam umur sehari sampai dipasarkan. Ransum dalam bentuk pellet dan crumble dapat mengurangi ransum yang terbuang/tercecer dan ayam dapat mengkonsumsi lebih baik dibandingkan ransum bentuk mash (Gillespie, 2004). Butcher dan Nilipour (2007) menambahkan bahwa ransum bentuk crumble juga dapat meningkatkan konsumsi dan mengurangi jumlah ransum yang terbuang. Crumble adalah ransum bentuk pellet yang dipecah menjadi bentuk butiran dengan tujuan untuk memperkecil ukuran agar dapat dikonsumsi oleh ternak. Salah satu sifat fisik crumble yang digunakan sebagai standar kualitas pada beberapa pabrik pakan adalah nilai durabilitynya. Durability merupakan salah satu uji yang digunakan untuk menentukan daya tahan pellet terhadap kikisan. Secara umum standar nilai durability crumble pada pabrik pakan berkisar minimal 80-90% dan menurut Doizer (2001), nilai durability ransum broiler berbentuk pellet yang baik minimal sebesar 80%.
Tabel 7. Persyaratan Mutu Standar Ransum Ayam Broiler Starter Kandungan Nutrisi Kadar air (maksimum) (%)
Jumlah 14,0
Protein kasar (%)
18,0-23,0
Lemak kasar (%)
2,5-7,0
Serat kasar (maksimum) (%)
5,0
Abu (%)
5,0-8,0
Calsium (%)
0,9-1,2
Fosfor total (%)
0,7-1,0
Aflatoxin (maksimum) (ppb)
50
Lisin (minimum) (%)
1,1
Methionin (minimum) (%)
0,5
Sumber : Direktorat Bina Produksi (1997)
Menurut Behnke dan Beyer (2007) klasifikasi ukuran partikel pakan bentuk crumble terdiri dari crumble kasar (>4,0 mm), crumble sedang (>1,5 sampai ≤4,0 mm) dan crumble halus (≤1,5 mm), pemberian crumble kasar dan sedang tidak memberikan pengaruh terhadap pertambahan bobot badan, akan tetapi pemberian crumble kasar dan sedang berbeda nyata terhadap pertambahan bobot badan bila dibandingkan dengan crumble halus. Mesin pembuat pellet yang biasa digunakan pabrik pakan ternak adalah berupa Pellet Mill dengan pemberian uap/steaming sedangkan mesin pellet yang sering digunakan pada pabrik skala kecil atau di peternakan yang membuat pakan sendiri adalah mesin Farm Feed Pelleter tanpa pemberian uap (Fairfield, 1994). Penelitian Wikantiasi (2001) menggambarkan mesin Farm Feed Pelleter (tanpa pemberian uap) yang digunakan pada penelitian ini suhunya berkisar 60-70 oC. Menurut Widyaningrum (2007), PT. Japfa Comfeed memiliki mesin pellet berupa Pellet Mill dengan merk PALADIN. Proses kerja dalam Pellet Mill yaitu cleaning/separating, mixing, conditioning, steaming, higroscopis, gelatinization, rolling dan cutting. Pellet Mill mampu meningkatkan proses gelatinisasi pati dan menurunkan bakteri patogen akibat adanya proses pemberian uap/steaming (Fairfield, 1994), selain itu gelatinisasi pati juga dapat memecah ikatan pati menjadi karbohidrat yang lebih sederhana dan terjadi pemasakan bahan-bahan pada proses
pengolahan sehingga mampu meningkatkan kecernaan dan memperbaiki konversi ransum (Hauck et al., 1994). Uap panas pada proses conditioning berfungsi sebagai pelicin untuk menghindari gesekan selama processing serta memanaskan bahan baku pada proses pelleting sehingga dapat membunuh bakteri dan kuman yang ada. Suhu pemanasan dalam steaming sebesar 80-85oC (Widyaningrum, 2007), sedangkan menurut Raharjo (1997) suhu pemanasan pada steam berkisar antara 85-90oC. Fairfield (1994), menyatakan bahwa kualitas pellet dipengaruhi oleh karakteristik bahan baku penyusun ransum, semakin tinggi kandungan serat maka kualitas pellet semakin buruk. Feed Additive Feed additive adalah pakan tambahan yang berfungsi untuk mengoptimalkan produksi unggas. Pakan tambahan sering digunakan dalam ransum sebagai perangsang pertumbuhan dan performa seperti produksi telur, memperbaiki efisiensi ransum dan berguna untuk kontrol kesehatan atau metabolisme ternak. Feed additive yang sering digunakan sebagai perangsang pertumbuhan (growth promotor) adalah antibiotik (Ensminger, 1990). Pemakaian antibiotik dalam ransum bertujuan untuk membantu sistem pencernaan dengan cara membunuh mikroorganisme patogen dalam saluran pencernaan ataupun di tempat sel mukosa usus (Widodo, 2002). Engberg et al. (2000) dan Gunal et al. (2006) dalam penelitiannya telah membuktikan bahwa populasi bakteri patogen (gram negatif) lebih rendah pada saluran pencernaan ayam yang mendapat ransum dengan penambahan antibiotik dibandingkan ransum kontrol. Antibiotik dapat menekan pertumbuhan bakteri-bakteri patogen sehingga populasi bakteri menguntungkan dalam saluran pencernaan semakin bertambah. Soeripto (2002) menyatakan bahwa penggunaan anti bakteri yang berlebihan atau dalam dosis rendah tetapi diberikan secara terus-menerus dapat menimbulkan residu pada target sasaran dan yang lebih mengkhawatirkan dapat menimbulkan resistensi bakteri terhadap antimikroba. Penggunaan feed additive harus memperhatikan waktu penghentian penggunaan untuk mengurangi dampak negatif dari feed additive karena timbunan dalam jumlah besar dapat menimbulkan residu pada organ tubuh tertentu yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Bahan perekat dapat dinyatakan sebagai feed
additive karena bahan perekat dapat berfungsi untuk meningkatkan seleksi dan konsumsi pakan, sebagai contoh adalah lignosulfonat, selulosa ester, natrium benzoat dan kondensasi urea formaldehida (Widodo, 2002). Bahan Perekat Kualitas fisik ransum bentuk pellet dapat ditingkatkan dengan cara menambahkan bahan-bahan perekat (binder). Penambahan bahan perekat dalam proses pembuatan pellet akan menghasilkan pellet yang lebih kokoh, kompak dan tidak mudah hancur. Struktur pellet yang baik akan menghasilkan crumble yang baik pula. Perekat merupakan suatu bahan yang mempunyai fungsi mengikat komponenkomponen pakan dalam bentuk pellet sehingga strukturnya tetap dan kompak (Raharjo, 1997). Bahan perekat telah digunakan secara luas dalam pembuatan pellet pakan ternak, tetapi masih sedikit hasil-hasil penelitian yang melaporkan efektifitas penggunaan berbagai bahan perekat (Tabil et al., 1997). Bahan-bahan yang termasuk bahan perekat antara lain bahan-bahan yang mengandung pati. Pati tersusun dari dua macam karbohidrat yaitu amilosa dan amilopektin dalam kondisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket (Wikipedia, 2007). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan perekat adalah ketersediaan bahan, harga, daya rekat tinggi, mudah dicerna, dapat bersatu dengan bahan-bahan ransum lainnya dan tidak mengandung racun (Soeprobo, 1986). Bahan perekat dapat digunakan dengan cara dicampurkan secara langsung dengan bahan baku pakan lain pada saat masih kering atau dapat dibuat adonan tersendiri dan dicampurkan
terakhir
sebelum
pencetakan
pellet
(Wibowo,
1986).
Bahan perekat dapat dikatakan sebagai feed additive karena bahan perekat dapat berfungsi untuk meningkatkan seleksi dan konsumsi pakan (Widodo, 2002). Penggunaan bahan perekat akan lebih menguntungkan dalam memperbaiki sifat fisik apabila dilakukan penguapan (steaming) pada saat pengolahan, karena dapat menyempurnakan proses gelatinisasi. Gelatinisasi dalam proses pembuatan ransum berguna untuk merekatkan partikel-partikel bahan penyusun ransum. Perekatan terjadi pada saat pencetakan dengan mesin pellet dan proses gelatinisasi ini dapat mengubah bentuk pati menjadi karbohidrat yang lebih sederhana dan mudah larut
sehingga ransum mudah dicerna (Raharjo, 1997). Masing-masing bahan perekat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2, 3 dan 4. Onggok Onggok merupakan hasil sampingan industri tapioka yang berbentuk padat. Dalam produksi tapioka, dari setiap ton ubi kayu dihasilkan 250 kg (25%) tapioka dan 114 kg (11,4%) onggok. Ketersediaan onggok pun terus meningkat sejalan dengan meningkatnya produksi tapioka dan semakin luasnya areal penanaman dan produksi ubi kayu (Supriyati et al., 2005). Komponen penting yang terdapat dalam onggok adalah pati dan serat kasar. Kandungan tersebut berbeda untuk setiap daerah asal, jenis dan mutu ubi kayu, teknologi yang digunakan serta penanganan ampas itu sendiri. Pada pengolahan ubi kayu untuk mendapatkan onggok digunakan banyak air untuk membersihkan patinya, selanjutnya ampas yang diperoleh dijemur sampai kering. Menurut Winarno (1986) bahwa hasil analisis komposisi kimia onggok antara lain yaitu bahan kering 80,80%, protein kasar 1,57%, BETN 68,0%, serat kasar 10,0%, lemak kasar 0,26% dan abu 0,17%.
Gambar 2. Perekat Onggok Penelitian Rahmayeni (2002) menunjukkan bahwa penambahan onggok sebagai perekat dalam ransum dengan taraf 2% sudah dapat digunakan untuk menghasilkan pellet yang kompak dan tidak mudah hancur, hal ini didukung oleh Farada (2002) yang melaporkan bahwa penambahan onggok sebagai perekat pada ransum dengan taraf 2% melalui proses pengolahan pemanasan dengan steam 45 menit dapat digunakan sebagai perekat untuk ransum broiler bentuk crumble.
Tapioka Tapioka merupakan hasil pengolahan dari ubi kayu yang banyak digunakan dalam berbagai industri sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat (Radiyati dan Agusto, 1990). Tapioka adalah pati yang berasal dari hasil ekstraksi singkong yang telah mengalami pencucian dan pengeringan. Pati tapioka mempunyai sifat yang menguntungkan dalam pengolahan pangan, kemurnian larutannya tinggi, kekuatan gel yang baik dan daya rekat tinggi sehingga banyak digunakan sebagai bahan pengikat ransum (Raharjo, 1997). Menurut Suliantari dan Rahayu (1990), komposisi pati yang tinggi memungkinkan pati digunakan sebagai sumber karbohidrat, kadar amilosa tepung tapioka sekitar 23% menjadikan alasan yang kuat sebagai bahan pengisi dan pengikat karena amilosa berperan besar dalam gelatinisasi. Prinsip pengolahan tepung tapioka melalui beberapa tahap antara lain: (1) pemecahan sel dan pengambilan granula pati dari bagian lain yang tidak larut, (2) pengambilan pati dengan penambahan air, (3) penghilangan air, (4) penepungan agar mendapatkan tepung yang dikehendaki.
Gambar 3. Perekat Tapioka Komposisi kimia pati tapioka (per 100 gram bahan) menurut Makfoeld (1982) adalah energi 307 kalori, kadar air 9,1%, karbohidrat 88,2%, protein 1,1%, lemak 0,5%, fosfor 125 mg, kalsium 84 mg dan besi 1 mg. Hasil penelitian Dewi (2001) memperlihatkan bahwa penambahan 4% tepung tapioka dan penyemprotan 5% air panas menghasilkan komposisi pellet yang optimum. Bentonit Bentonit adalah mineral alam yang termasuk dalam jenis batuan montmorilonit. Kelebihan yang dimiliki bentonit adalah daya serap tinggi karena memiliki struktur bangun yang bertumpuk membentuk lapisan-lapisan yang dapat
mengembang dengan optimal apabila dilakukan aktivasi untuk mengeluarkan air yang terkandung di dalamnya (Anwar, 1990). Pada keadaan awal bentonit mempunyai kemampuan adsorpsi yang rendah, tetapi dengan teknik pengolahan pemanasan akan meningkatkan kemampuan daya adsorpsinya. Aktivasi dengan pemanasan bertujuan menghilangkan molekul air yang ada pada saluran-saluran struktur bentonit (Setiadi, 1994). Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (2005), membagi bentonit menjadi dua berdasarkan tipenya yaitu tipe wyoming (Na-bentonit) dan tipe Mg (Ca-bentonit). Na-bentonit memiliki daya mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu dalam air. Na-bentonit dalam keadaan kering berwarna putih atau krem, pada keadaan basah dan terkena sinar akan berwarna mengkilap. Perbandingan soda dan kapur tinggi, suspensi kolodial mempunyai pH 8,59,8 dan tidak dapat diaktifkan serta posisi pertukaran diduduki oleh ion-ion sodium (Na+). Na-bentonit sering dimanfaatkan sebagai bahan perekat karena mampu membentuk suspensi kental setelah bercampur dengan air. Ca-bentonit mempunyai sifat kurang mengembang apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap terdispersi dalam air, tetapi secara alami atau setelah diaktifkan mempunyai sifat menghisap yang baik. Perbandingan Na dan Ca rendah, suspensi koloidal mempunyai pH 4-7. Ca-bentonit dalam keadaan kering berwarna abu-abu, biru, kuning, merah dan cokelat. Ca-bentonit banyak dipakai sebagai bahan penyerap. Menurut Pasha et al. (2007), Na-bentonit memiliki kemampuan untuk mengikat aflatoksin dalam ransum sehingga dapat memperbaiki performa ayam broiler dan dapat menurunkan mortalitas. Na-bentonit mengandung beberapa komponen yaitu kadar air 8,0%, kalsium 10,25%, potasium 1,87%, sodium 31,3%, magnesium 2,209% dan silika 46,4%.
Gambar 4. Perekat Bentonit
Menurut Cheeke (1999), bentonit pada umumnya dapat digunakan sebagai bahan perekat 2-3% pada ransum dan akan lebih efektif jika digunakan dengan adanya steam. Wahju (1997) menyatakan bahwa penggunaan bentonit dalam jumlah 2,5% dari ransum berbentuk pellet tidak merugikan, bahkan dapat memperbaiki pertumbuhan dan efisiensi penggunaan ransum pada anak ayam meskipun bentonit itu sendiri tidak mempunyai nutrisi.
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu proses pembuatan ransum dilaksanakan di Laboratorium Industri Makanan Ternak, pemeliharaan ayam broiler dilakukan di salah satu Peternakan Rakyat yang bertempat di Desa Megamendung Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor dan pengamatan organ dalam dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Unggas, Fakultas Peternakan, IPB. Penelitian ini berlangsung mulai dari bulan Juni sampai bulan Agustus 2006. Materi Ternak Penelitian ini menggunakan 200 ekor DOC (Day Old Chick) ayam broiler strain Cobb yang dipelihara selama 35 hari dengan sistem pemeliharaan litter dan pada akhir penelitian diambil sampel sebanyak 40 ekor untuk pengamatan organ dalam. Ransum Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum basal yang diberi bahan perekat onggok, bentonit dan tapioka sebanyak 2% dan sebagai pembanding digunakan ransum komersial. Ransum yang digunakan adalah ransum starter bentuk crumble. Bahan baku penyusun ransum komersial antara lain jagung, wheat bran pellet, soya bean meal, katul super, tepung tulang, tepung batu, meat bone meal, poultry by product meal, chicken feather meal, crude palm oil, alimet, garam, zeolit dan dicalsium phosphat (DCP) (Sub Dept Gudang Bahan Baku PT. Comfeed dalam Akbar, 2006), coccidiostat (salinomycin atau monensin) dan growth promotor virginiamycin atau zinc bacitracin (tercantum pada label). Bahan baku yang digunakan untuk membuat ransum basal terdiri dari jagung halus, corn glutten meal, pollard, dedak padi, bungkil kedelai, tepung ikan, meat bone meal, crude palm oil, premiks, CaCO3 dan L-Lysin. Kandungan nutrisi ransum basal yang digunakan dalam penelitian ini dibuat berdasarkan ketentuan SNI No. 01-3930-1995 dengan kandungan protein kasar ransum 23% (Direktorat Bina Produksi, 1997). Komposisi ransum penelitian beserta kandungan nutrisi berdasarkan perhitungan tercantum pada Tabel 8 dan 9.
Tabel 8. Komposisi Ransum Penelitian Komposisi
Jumlah (%)
Jagung giling
36,00
Corn glutten meal
14,50
Pollard
11,80
Dedak padi
15,00
Bungkil kedelai
9,50
Tepung ikan lokal
4,00
Meat and bone meal
4,00
Crude palm oil
3,50
CaCO3
1,00
Premiks*
0,50
L-Lysin
0,15
Coccidiostat
0,05
Jumlah
100,00
Perekat
2,00
Pewarna ”egg yellow”
0,2
Total
102,20
Keterangan: * Komposisi premiks (10 kg): Vitamin A 12.000.000 IU, vitamin D3 2.000.000 IU, vitamin E 8.000 IU, vitamin K 2.000 mg, vitamin B1 2.000 mg, vitamin B2 5.000 mg, vitamin B6 500 mg, vitamin B12 12.000mcg, Ca-d-panthothenate 6.000 mg, niacin 40.000 mg, vitamin C 25.000 mg, choline chloride 10.000 mg, methionin 30.000 mg, lysin 30.000 mg, manganese 120.000 mg, iron 20.000 mg, iodine 200 mg, zinc 100.000 mg, cobalt 200 mg, copper 4.000 mg, santoquin (antioksidan) 10.000 mg, zinc bacitracin 21.000 mg.
Tabel 9. Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian Kandungan Nutrisi
Ransum Penelitian + Perekat
Komersial**
Onggok*
Bentonit*
Tapioka*
Bahan kering (%)
84,90
84,95
84,93
88
Protein kasar (%)
23,87
23,82
23,85
21,5
Serat kasar (%)
4,42
4,29
4,29
4
Lemak kasar (%)
4,79
4,78
4,79
4
Kalsium (%)
1,03
1,23
1,03
0,9-1,1
Fosfor total (%)
0,86
0,86
0,86
0,7-0,9
Fosfor tersedia (%)
0,26
0,26
0,26
0,21-0,27
Lisin
1,08
1,08
1,08
-
Methionin
0,49
0,49
0,49
-
3116,08
3072,46
3132,53
3100
Energi metabolis (kkal/kg)
Keterangan : * Nilai perhitungan berdasarkan kandungan zat nutrisi bahan baku pada NRC (1994) ** Tercantum pada label
Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan adalah kandang sistem litter (beralaskan sekam padi), yang terdiri dari 20 petak berukuran 1,5 x 1 m dan pada setiap petak diisi 10 ekor ayam (Gambar 5).
Gambar 5. Kandang Ayam Broiler Setiap petak kandang dilengkapi dengan satu tempat pakan, tempat air minum dan lampu pijar 75 watt sebagai pemanas (brooder). Brooder digunakan sampai ayam berumur 14 hari. Peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan ransum yaitu mesin pencampur (Mixer Horizontal), mesin pellet farm feed pelleter ”Philco” dan mesin pembentuk crumble Attrition Mill ”JY 2A RRC PK”. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan kasar dengan kapasitas 5 kg untuk menimbang ayam
dan pakan, selain itu digunakan peralatan prosessing seperti pisau (cutter), pinset, gunting bedah, timbangan digital/timbangan analitik (empat digit) dan meteran untuk pengamatan organ dalam ayam broiler. Vaksin dan Obat-obatan Vaksinasi untuk mencegah penyakit tetelo atau New Castle Disease (ND) digunakan vaksin jenis strain La Sota, dilakukan dua kali yaitu pada saat ayam berumur 3 hari melalui tetes mata dan umur 13 hari melalui air minum. Vitachick diberikan selama minggu pertama dan vitamin antistress (Vitastress) diberikan dua hari sebelum dan dua hari sesudah vaksinasi dan penimbangan bobot badan. Rancangan Perlakuan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari tiga perlakuan dan lima ulangan, dengan perlakuan sebagai berikut: Ransum basal + bahan perekat onggok 2% Ransum basal + bahan perekat bentonit 2% Ransum basal + bahan perekat tapioka 2% Ransum komersial sebagai pembanding (di luar rancangan) Model Model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut : Υij = µ + τi + Σij Keterangan : Υij
= Nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= Nilai rataan umum
τi
= Pengaruh perlakuan ke-i
Σij
= Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Data organ dalam yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam
(Analysis of Varience/ANOVA) yang sebelumnya ditransformasikan ke dalam arcsin dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1993). Data dibandingkan secara deskriptif dengan ransum komersial.
Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bobot Badan Akhir Bobot badan akhir diperoleh dari penimbangan bobot badan ayam umur 35 hari sebelum dipotong dan setelah dipuasakan selama ± 12 jam. 2. Persentase Hati Persentase hati diperoleh dari pembagian antara bobot hati dengan bobot badan akhir ayam dikalikan 100%. 3. Persentase Rempela Persentase rempela diperoleh dari pembagian antara bobot rempela dengan bobot badan akhir ayam dikalikan 100%. 4. Persentase Jantung Persentase jantung diperoleh dari pembagian antara bobot jantung dengan bobot badan akhir ayam dikalikan 100%. 5. Persentase Limpa Persentase limpa diperoleh dari pembagian antara bobot limpa dengan bobot badan akhir ayam dikalikan 100%. 6. Bobot Duodenum pada panjang 10cm Bobot duodenum diperoleh dari hasil penimbangan 10 cm duodenum. 7. Bobot Jejenum pada panjang 10cm Bobot jejenum diperoleh dari hasil penimbangan 10 cm jejenum. 8. Bobot Ileum pada panjang 10cm Bobot ileum diperoleh dari hasil penimbangan 10 cm ileum. 9. Panjang Relatif Usus Halus dan Seka Panjang relatif usus halus dinyatakan dalam panjang per gram bobot badan (cm/gram bobot badan). Prosedur Pembuatan Ransum Onggok kasar digiling terlebih dahulu dengan menggunakan mesin giling (FFC 37) sehingga teksturnya lebih halus. Semua bahan baku penyusun ransum ditimbang sesuai persentase penggunaan bahan dalam komposisi ransum. Pencampuran bahan baku dilakukan mulai dari bahan baku dengan persentase paling
besar. Pewarna yang digunakan adalah pewarna makanan “egg yellow” dan dicampurkan bersamaam dengan CPO (crude palm oil) agar tidak tercecer. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan Mixer Horizontal. Campuran yang sudah homogen dimasukkan ke dalam mesin farm feed pelleter untuk dibentuk menjadi pellet dengan ukuran diameter 3,5 mm, setelah itu pellet didinginkan kemudian dibentuk menjadi crumble dengan menggunakan Attrition Mill. Ransum yang sudah berbentuk Crumble dikemas dalam karung dengan kapasitas 50 kg. Persiapan Kandang Satu minggu sebelum kandang digunakan, kandang dibersihkan, dikapur, dan disemprot secara merata dengan desinfektan, setelah itu setiap petak kandang diberi alas sekam padi. Sekeliling kandang dilapisi dengan terpal sebagai pelindung untuk mengurangi pengaruh udara luar. Peralatan tempat pakan dan air minum yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu (sterilisasi), kemudian disiapkan dalam kandang. Lampu pijar 75 watt dipasang di tengah pada setiap petak kandang. Pemeliharaan Ayam Sebelum dilakukan penimbangan dan pengacakan, DOC yang baru datang diberi air minum yang mengandung larutan gula dengan tujuan untuk menyediakan energi yang dapat diserap secara langsung oleh saluran alat pencernaan ayam untuk menggantikan energi yang hilang akibat stress selama pengangkutan, setelah satu sampai dua jam ransum disiapkan pada feeder tray yang terbuat dari kardus bekas tempat DOC yang ditempatkan dekat dengan pemanas. Lampu pijar 75 watt sebagai pemanas dinyalakan selama 24 jam sampai ayam berumur 14 hari atau disesuaikan dengan kondisi lingkungan, untuk selanjutnya lampu hanya berfungsi sebagai penerang yang dinyalakan pada saat menjelang malam atau pada saat cuaca mendung dan dingin. Tirai yang berfungsi sebagai pelindung, dipasang setelah kandang disterilkan sehingga seluruh bagian kandang tertutupi sampai ayam berumur 15 hari dan hari berikutnya hanya dipasang setengah bagian dinding kandang dan dipasang hanya pada malam hari untuk melindungi ayam dari udara dingin. Ransum dan air minum diberikan ad libitum, pencucian tempat air minum dilakukan setiap hari sebelum penggantian air minum.
Vaksinasi tetelo (ND) dilakukan pada saat ayam berumur 3 hari melalui tetes mata dan pada umur 13 hari melalui air minum. Pencegahan stress dilakukan dengan pemberian Vitastress pada air minum selama satu minggu pertama dan dua hari sebelum dan sesudah vaksinasi dan penimbangan bobot badan ayam. Penimbangan bobot badan ayam dilakukan sekali dalam seminggu demikian juga penimbangan pakan dan sisanya. Pada hari ke-35 dilakukan pemanenan. Empat puluh ekor ayam (dua ekor dari masing-masing petak) diambil dan dipuasakan selama ±12 jam, setelah itu dilakukan penimbangan bobot badan akhir dan kemudian dilakukan pemotongan. Ayam yang sudah dipotong dicelupkan ke dalam air panas selama ±2 menit kemudian bulunya dicabuti, setelah itu ayam dibedah untuk diambil organ dalamnya. Organ dalam yang terdiri dari hati, jantung, limpa, rempela, usus halus dan seka yang sudah dipisahkan dibersihkan dengan tujuan untuk menghilangkan sisa-sisa pencernaan dan ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Pada usus halus dan seka dilakukan pengukuran panjang dan pengukuran ketebalan usus dengan cara memotong bagian usus halus (duodenum, jejenum dan ileum) sepanjang 10 cm kemudian dilakukan penimbangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ransum Penelitian Ransum yang diberikan pada ternak harus memiliki kandungan nutrisi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan. Komposisi nutrisi ransum tergantung pada bahan baku yang digunakan dalam penyusunan ransum. Komposisi nutrisi ransum penelitian berdasarkan hasil analisis laboratorium tercantum pada Tabel 10. Berdasarkan data tersebut dapat dinyatakan bahwa komposisi nutrisi ransum dapat mencukupi kebutuhan ayam broiler starter menurut SNI No. 01-3930-1995 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7 (Direktorat Bina Produksi, 1997). Tabel 10. Kandungan Zat Nutrisi Ransum Penelitian berdasarkan Analisis Proksimat (as fed) Kandungan Nutrisi
Ransum Penelitian + Perekat
R. Komersial
Onggok
Bentonit
Tapioka
Bahan Kering (%)
86,94
88,92
88,34
86,58
Protein Kasar (%)
24,52
23,77
23,37
23,22
Serat Kasar (%)
3,63
3,06
3,17
2,54
Lemak Kasar (%)
5,39
4,69
5,04
5,09
Beta-N (%)
46,85
49,98
50,91
51,04
Abu (%)
6,55
7,42
5,85
4,69
Kalsium (%)
0,94
1,16
1,09
1,06
Fosfor Total (%)
0,65
0,74
0,69
0,70-0,90
Fosfor Tersedia (%)
0,19
0,22
0,21
0,21-0,27
NaCl (%)
0,09
0,10
0,11
0,09
Energi Bruto (kkal/kg)
4052
4024
4048
4080
3116,08*
3072,46*
3132,53*
3100**
Imbangan E/P
127,08
129,26
134,04
133,51
Harga (Rp)/kg
2750
2800
2800
3000
Energi Metabolis (kkal/kg)
Sumber : Hasil analisis proksimat Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, FAPET, IPB (2006) Keterangan :*Energi metabolis berdasarkan perhitungan komposisi EM bahan baku pada NRC (1994) ** Energi metabolis yang tertera pada label
Secara visual ransum basal dengan penambahan perekat (onggok, bentonit dan tapioka) memperlihatkan warna yang hampir sama dengan ransum komersial,
karena pada ransum penelitian ditambahkan pewarna makanan yang berwarna kuning telur (egg yellow) 0,02% agar mendekati warna ransum komersial. Ransum yang digunakan dalam penelitian diperlihatkan pada Gambar 6. Kadar protein kasar ransum penelitian berdasarkan analisis laboratorium berkisar antara 23,22-24,52%. Kisaran tersebut mendekati kadar protein kasar berdasarkan hasil perhitungan manual yaitu 21,82-23,87% (Tabel 9), hal ini menunjukkan bahwa kandungan protein ransum penelitian telah memenuhi kebutuhan ayam broiler starter sesuai rekomendasi SNI No. 01-3930-1995 yaitu 18-23% seperti yang tercantum pada Tabel 7 (Direktorat Bina Produksi, 1997).
Gambar 6. Ransum Penelitian Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kandungan serat kasar pada ransum penelitian berkisar antara 2,54-3,63%, hal ini menunjukkan bahwa kandungan
serat
kasar
ransum
penelitian
masih
di
bawah
batas
yang
direkomendasikan oleh SNI No. 01-3930-1995 (Direktorat Bina Produksi, 1997) yaitu maksimum 5% untuk broiler starter (Tabel 7). Serat dibutuhkan oleh ternak untuk membantu pencernaan namun dalam jumlah yang terbatas. Serat kasar maksimal yang masih dapat ditolelir oleh tubuh ayam sebesar 5%. Ransum perlakuan dengan perekat onggok memiliki kandungan serat kasar paling tinggi dibandingkan dengan ransum yang ditambahkan perekat bentonit, tapioka dan ransum komersial (Tabel 10), karena onggok mengandung serat kasar yang cukup tinggi yaitu 10% (Winarno, 1986). Lemak dalam tubuh dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentuk energi yang sangat penting untuk pertumbuhan. Kandungan lemak kasar ransum penelitian
berdasarkan analisis laboratorium berkisar antara 4,69-5,39%, sedangkan kandungan lemak kasar untuk ransum ayam broiler starter menurut SNI No. 01-3930-1995 (Tabel 7) yaitu berkisar antara 2,5-7,0% (Direktorat Bina Produksi, 1997), hal ini menunjukkan bahwa ransum penelitian memiliki kandungan lemak yang masih berada dalam kisaran tersebut. Kandungan energi bruto ransum penelitian berdasarkan hasil analisis laboratorium berkisar antara 4024-4080 kkal/kg. Pada umumnya energi ransum unggas dinyatakan dalam energi metabolis dengan satuan kkal/kg, berdasarkan hasil perhitungan formulasi ransum perlakuan diperoleh energi metabolis sekitar 3072,463132,53 kkal/kg (Tabel 9), sedangkan energi metabolis ransum komersial sebesar 3100 kkal/kg (tercantum pada label). Kandungan mineral dalam ransum ayam broiler sangat dibutuhkan untuk menyokong pertumbuhan. Kalsium dan fosfor merupakan mineral utama yang sangat dibutuhkan oleh ayam broiler. Berdasarkan SNI No. 01-3930-1995 (Direktorat Bina Produksi, 1997), kebutuhan kalsium untuk ayam broiler starter yaitu sebesar 0,91,2% dan fosfor total 0,7-1,0% (Tabel 7). Ransum dengan penambahan bentonit mengandung kalsium dan fosfor total paling tinggi dibandingkan ransum dengan penambahan perekat onggok dan perekat tapioka juga ransum komersial, hal tersebut disebabkan oleh adanya kandungan kalsium pada bentonit sebesar 10,25%, pottasium 1,87%, sodium 31,3%, magnesium 2,209% dan silika 46,4% (Pasha et al., 2007). Penambahan perekat dalam ransum tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap kandungan nutrisi ransum tetapi berpengaruh terhadap sifat fisik ransum. Sifat fisik ransum yang baik diharapkan dapat memperbaiki efisiensi penggunaan ransum sehingga dapat menghasilkan nilai konversi yang rendah dan meningkatkan produktivitas ternak. Amrullah (2003) menyatakan bahwa angka konversi ransum minimal dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kualitas ransum, teknik pemberian pakan dan angka mortalitas. Berdasarkan hasil penelitian Salamah (2007), penambahan perekat bentonit dalam ransum broiler bentuk crumble dapat memperbaiki konversi ransum dibandingkan ransum berperekat tapioka dan onggok. Bahan baku penyusun ransum dan proses pengolahan ransum dapat mempengaruhi sifat fisik ransum. Hasil uji sifat fisik ransum penelitian menunjukkan bahwa nilai kadar air ransum penelitian masih dibawah standar maksimal kadar air
untuk ransum unggas yang ditetapkan oleh SNI No. 01-3930-1995 (Tabel 7), yaitu 14% (Direktorat Bina Produksi, 1997). Kadar air ransum penelitian berkisar 9,4211,45% (Lampiran 3). Sifat fisik ransum penelitian dapat ditinjau dari persentase durability, ukuran partikel dan ketahanan benturan. Secara umum standar nilai durability crumble pada pabrik pakan berkisar minimal 80-90% dan menurut Doizer (2001), nilai durability ransum broiler berbentuk pellet minimal 80%. Persentase durability (%) ransum penelitian dengan perekat onggok, bentonit dan tapioka serta ransum komersial, berturut-turut adalah 89,98; 95,00; dan 94,35, serta 93,07; ukuran partikel (mm): 3,15; 3,30; dan 3,52 serta 4,38; ketahanan benturan (%) : 98,4; 98,92; dan 98,00; serta 98,4; (Khusniati, 2007). Berdasarkan Behnke dan Bayer (2007), ukuran partikel crumble dengan perekat onggok, bentonit dan tapioka tergolong pada crumble sedang (>1,5 mm sampai ≤4,0 mm), sedangkan ransum komersial tergolong crumble kasar (>4,0 mm). Ransum komersial yang digunakan dalam penelitian ini diproduksi oleh salah satu industri pakan berskala besar yang diolah dengan menggunakan mesin pellet berupa Pellet Mill yang mampu meningkatkan proses gelatinisasi pati dan menurunkan bakteri patogen akibat adanya proses pemberian uap/steaming (Fairfield, 1994). Gelatinisasi pati dapat memecah ikatan pati menjadi karbohidrat yang lebih sederhana dan pada saat terjadinya gelatinisasi terjadi proses pemasakan bahan-bahan sehingga mampu meningkatkan daya cerna ransum dan memperbaiki konversi ransum (Hauck et al., 1994), selain itu ransum yang dihasilkan memiliki sifat fisik yang lebih baik. Suhu pemanasan dalam steaming sebesar 80-85oC (Widyaningrum, 2007), sedangkan menurut Raharjo (1997), suhu pemanasan pada steam berkisar antara 85-90oC. Ransum perlakuan dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka merupakan ransum yang dibuat sendiri dengan menggunakan mesin farm feed pelleter (tanpa pemberian uap) yang sering digunakan di pabrik-pabrik berskala kecil (Fairfield, 1994). Suhu pemanasan dalam mesin farm feed pelleter sekitar 60-70oC (Wikantiasi, 2001). Bahan baku yang digunakan dalam penyusunan ransum juga memberikan pengaruh terhadap kualitas pellet, bahan dengan kandungan serat kasar tinggi mengakibatkan pellet yang terbentuk kurang kokoh dan kompak terutama pada pembuatan pellet tanpa proses steaming sehingga crumble yang terbentuk kurang
palatabel. Fairfield (1994), menyatakan bahwa kualitas pellet dipengaruhi oleh karakteristik bahan baku penyusun ransum. Semakin tinggi kandungan serat maka kualitas pellet semakin buruk. Rataan Bobot Badan Akhir Setelah Dipuasakan Bobot badan akhir yang diperoleh pada saat pemanenan akan menentukan harga jual ayam broiler dan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi besar kecilnya pendapatan yang diterima oleh peternak sehingga sangat menentukan keberhasilan usaha peternakan ayam broiler. Bobot badan akhir setelah dipuasakan (sebelum dipotong) merupakan salah satu peubah yang digunakan untuk mengukur persentase organ dalam. Rataan bobot badan akhir setelah dipuasakan dapat dilihat pada Tabel 11. Pertambahan bobot badan dapat dijadikan sebagai tolok ukur pertumbuhan ayam. Kecepatan pertumbuhan merupakan salah satu faktor yang penting dalam menilai mutu/kualitas ransum yang dimanfaatkan oleh ternak sehingga dapat menentukan efisiensi penggunaan ransum. Gambaran nilai efisiensi penggunaan ransum dapat dilihat dari bobot badan akhir yang diperoleh. Menurut standar pemeliharaan
PT. Sierad Produce (2007), pertambahan
bobot badan ayam broiler strain Cobb selama 35 hari yaitu sekitar 2000 gram/ekor sedangkan berdasarkan hasil penelitian Salari et al. (2006), pertambahan bobot badan ayam broiler strain Cobb yang diberi ransum bentuk pellet selama 5 minggu adalah 1612,87 gram/ekor, dan pada ransum bentuk mash pertambahan bobot badannya mencapai 1344,25 gram/ekor, sedangkan pertambahan bobot badan ayam pada penelitian ini tercantum pada lampiran 2. Tabel 11. Rataan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Umur 35 Hari Setelah Dipuasakan Perekat
Bobot badan akhir ayam setelah dipuasakan (g)
Onggok
1136±74,69
Bentonit
1150±79,14
Tapioka
1111±87,78
Komersial
1532±83,11
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan perekat (onggok, bentonit dan tapioka) dalam ransum tidak memberikan pengaruh terhadap bobot badan akhir ayam broiler. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ransum perlakuan dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka menghasilkan
bobot
badan akhir yang lebih rendah dibandingkan dengan bobot badan akhir yang diberi ransum komersial (Tabel 11). Rendahnya bobot badan akhir pada ransum perlakuan dengan perekat onggok, bentonit dan tapioka disebabkan oleh adanya perbedaan konsumsi ransum pada masing-masing perlakuan. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Rataan konsumsi ransum perlakuan dengan penambahan
perekat (onggok, bentonit, tapioka) dan
ransum komersial selama 35 hari yaitu 2048,28; 1982,80; 1906,96 dan 2351,91 (Salamah, 2007). Konsumsi ransum komersial menunjukkan konsumsi tertinggi dibandingkan konsumsi ransum perlakuan dengan penambahan perekat (onggok, bentonit dan tapioka). Kandungan serat kasar pada ransum perlakuan dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka lebih tinggi dibandingkan dengan ransum komersial sehingga penyerapan ransum komersial lebih baik dibandingkan dengan ransum perlakuan. Anggorodi (1994), menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan serat kasar dalam suatu bahan makanan maka semakin rendah daya cerna bahan makanan tersebut, selain itu adanya pakan tambahan (feed aditive) yang berupa growth promotor (pemacu pertumbuhan) zinc bacitracin dan virginiamycin (tercantum pada label) yang terdapat pada ransum komersial dapat mempengaruhi penyerapan nutrisi dalam tubuh sehingga dapat memperbaiki pertumbuhan. Pemakaian antibiotik dalam ransum dapat membantu membunuh mikroorganisme patogen dalam saluran pencernaan dan meningkatkan penyerapan zat makanan melalui penipisan dinding usus saluran pencernaan (Widodo, 2002), sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh ayam broiler dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi konsumsi ransum. Penggunaan bahan perekat onggok, bentonit dan tapioka dalam ransum tidak mempengaruhi konsumsi ransum ayam broiler namun dapat memperbaiki sifat fisik ransum. Proses pengolahan yang berbeda antara ransum komersial dengan ransum
basal dengan penambahan perekat, dapat mengakibatkan adanya perbedaan sifat fisik ransum. Ransum komersial diolah dengan menggunakan mesin pembuat pellet yang biasa digunakan pabrik pakan ternak yaitu berupa Pellet Mill dengan pemberian uap/steaming. Pellet Mill mampu meningkatkan proses gelatinisasi pati dan menurunkan bakteri patogen akibat adanya proses pemberian uap/steaming (Fairfield, 1994). Gelatinisasi pada proses pembuatan ransum berguna untuk meningkatkan daya rekat partikel-partikel bahan penyusun ransum. Perekatan terjadi pada saat pencetakan pada mesin pellet dan dengan adanya proses gelatinisasi dapat mengubah pati menjadi karbohidrat yang lebih sederhana dan mudah larut sehingga ransum mudah dicerna (Raharjo, 1997), selain itu pada saat proses gelatinisasi terjadi pemasakan
bahan-bahan
sehingga
mampu
meningkatkan
kecernaan
dan
memperbaiki konversi ransum (Hauck et al., 1994). Ransum perlakuan dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka merupakan ransum yang dibuat dengan menggunakan mesin Farm Feed Pelleter tanpa pemberian uap (steaming). Proses pengolahan ransum yang berbeda antara ransum komersial dengan ransum perlakuan mengakibatkan adanya perbedaan kualitas ransum, sehingga menyebabkan adanya perbedaan konsumsi antara ransum komersial dengan ransum yang ditambahkan perekat onggok, bentonit dan tapioka, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka dalam ransum broiler bentuk crumble kurang optimal tanpa dilakukan steaming pada proses pengolahannya. Rataan Persentase Bobot Organ Dalam Ayam Broiler Umur 35 Hari Ransum yang diberikan pada ternak dapat mempengaruhi kerja organ dalam dan saluran pencernaan ayam. Kelainan pada organ dalam dapat disebabkan oleh adanya penyakit maupun racun yang terdapat pada ransum. Kelainan tersebut salah satunya ditandai dengan adanya perubahan organ dalam secara fisik seperti perubahan warna atau ukuran. Setiap organ dalam pada ternak mempunyai fungsi yang saling berhubungan. Hasil pengamatan organ dalam dan saluran pencernaan dapat dilihat pada Gambar 7, sedangkan rataan persentase organ dalam ayam broiler umur 35 hari yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 12.
Hati Rataan persentase bobot hati yang diperoleh dari hasil penelitian ini berkisar antara 2,34-2,52% dari bobot badan akhir (Tabel 12). Nilai tersebut sesuai dengan kisaran yang dilaporkan Putnam (1991) yaitu 1,7-2,8% dari bobot badan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Dewi (2007) tentang evaluasi pemberian beberapa ransum komersial yang dibandingkan dengan ransum basal dengan penambahan perekat tapioka 2% dan diperoleh persentase bobot hati ayam broiler umur 35 hari sebesar 2,22-2,32%. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka sebesar 2% dalam ransum tidak berpengaruh terhadap rataan persentase bobot hati, hal tersebut menunjukkan bahwa ransum perlakuan dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka tidak mengandung zat yang bersifat racun yang dapat menyebabkan kerja hati menjadi berlebih dan persentase hati masih dalam kisaran normal. Salah satu fungsi hati adalah detoksifikasi racun dan apabila terjadi kelainan pada hati ditunjukkan dengan adanya pembesaran atau pengecilan hati (Ressang, 1984).
R. KOMERSIL
R. BASAL + BENTONIT
R. BASAL + TAPIOKA
R. BASAL + ONGGOK
Gambar 7. Organ Dalam dan Saluran Pencernaan Ayam Broiler Hasil Penelitian Jantung Putnam (1991), menyatakan bahwa persentase bobot jantung ayam broiler sekitar 0,42-0,7% dari bobot hidup. Rataan bobot jantung yang diperoleh dari hasil penelitian ini berkisar antara 0,57-0,63% (Tabel 12), dengan demikian dapat dikatakan bahwa penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka dalam ransum
tidak mempengaruhi kerja jantung dalam mengedarkan darah secara efisien ke dalam paru-paru untuk menggantikan O2 dan CO2 untuk menyokong proses metabolisme tubuh (North and Bell, 1990), selain itu penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka dalam ransum tidak menimbulkan pembesaran ukuran jantung akibat adanya akumulasi racun pada jantung. Tabel 12. Rataan Persentase Bobot Organ Dalam Ayam Broiler Umur 35 Hari Peubah
Ransum Penelitian + Perekat
Komersial
Onggok
Bentonit
Tapioka
Bobot Hati (g) Persentase Bobot Hati (%)
27,30±1,68 2,41±0,15
28,09±2,43 2,44±0,17
25,98±3,64 2,34±0,24
38,39±3,41 2,52±0,19
Bobot Jantung (g) Persentase Bobot Jantung (%)
7,08±0,21 0,63±0,04
6,92±0,55 0,60±0,05
6,90±0,60 0,62±0,06
8,67±0,92 0,57±0,05
Bobot Limpa (g) Persentase Bobot Limpa (%)
1,36±0,31 0,12±0,02
1,22±0,20 0,11±0,02
1,41±0,39 0,13±0,03
1,62±0,20 0,11±0,02
Frandson (1992) menyatakan bahwa jantung sangat rentan terhadap racun dan zat antinutrisi, pembesaran jantung dapat terjadi karena adanya akumulasi racun pada otot jantung, dengan demikian dapat dikatakan bahwa ransum perlakuan dengan penambahan perekat tidak mengandung zat yang bersifat racun. Ayam yang diberi ransum basal dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka menghasilkan persentase bobot jantung yang lebih tinggi dibandingkan dengan ransum komersial. Perbedaan yang terjadi diduga karena adanya perbedaan aktivitas ayam pada masing-masing perlakuan, sesuai dengan pernyataan Ressang (1984), bahhwa ukuran jantung sangat dipengaruhi oleh jenis, umur, besar dan aktivitas hewan. Limpa Berdasarkan data hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa semua perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap persentase bobot limpa ayam broiler umur 35 hari (Tabel 12), hal ini menunjukkan bahwa penambahan perekat dalam ransum tidak mempengaruhi persentase bobot limpa, tidak menyebabkan kelainan pada limpa dan tidak mengganggu fungsi limpa sehingga ukurannya relatif seragam.
Rataan persentase bobot limpa pada penelitian ini berkisar antara 0,11-0,13%. Kisaran ini sesuai dengan hasil penelitian Dewi (2007) yang menghasilkan persentase bobot limpa 0,11-0,12% (umur 35 hari) dari bobot hidup. Kisaran tersebut tidak berbeda jauh dengan kisaran menurut Putnam (1991), yaitu 0,18-0,23%. Rataan Persentase Bobot Organ Pencernaan Ayam Broiler Umur 35 Hari Rataan persentase bobot rempela, bobot usus halus (duodenum, jejenum, ileum) yang diperoleh pada penelitian ini tercantum pada Tabel 13 dan rataan panjang relatif usus halus serta seka dapat dilihat pada Tabel 14. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian ransum perlakuan dengan penambahan perekat (onngok, bentonit dan tapioka) tidak memberikan pengaruh terhadap persentase bobot rempela, duodenum dan jejenum, akan tetapi nyata (P<0,05) mempengaruhi persentase bobot ileum (Tabel 13) dan sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi panjang relatif jejenum (Tabel 14). Tabel 13. Rataan Persentase Bobot Rempela dan Usus Halus Ayam Broiler Umur 35 Hari Peubah
Ransum Penelitian + Perekat
Komersial
Onggok
Bentonit
Tapioka
Bobot Rempela (g) Persentase Bobot Rempela (%)
23,76±2,67 2,09±0,18
24,29±2,77 2,11±0,14
22,46±7,10 2,05±0,71
23,21±3,07 1,52±0,12
Bobot Duodenum (g)/10 cm Persentase Bobot Duodenum (%)
3,78±0,52 0,33±0,03
4,04±0,76 0,35±0,06
3,94±0,36 0,36±0,05
3,79±0,39 0,25±0,02
Bobot Jejenum (g)/10 cm Persentase Bobot Jejenum (%)
3,71±0,31 0,33±0,03
3,65±0,47 0,32±0,05
3,87±0,44 0,35±0,04
3,55±0,25 0,23±0,07
Bobot Ileum (g) /10 cm Persentase Bobot Ileum (%)
2,69±0,23 0,24b±0,02
3,20±0,58 0,28ab±0,05
3,41±0,41 0,31a±0,04
3,04±0,41 0,20±0,02
Keterangan :
Superskrip yang berbeda dengan huruf kecil pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Rempela Rataan persentase bobot rempela ayam broiler umur 35 hari pada penelitian ini adalah sekitar 1,52-2,11% (Tabel 13), sedangkan menurut Putnam (1991) persentase bobot rempela berkisar antara 1,6-2,3% dari bobot hidup. Berdasarkan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa rempela masih dapat bekerja secara normal karena berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan perekat dalam ransum tidak memberikan pengaruh terhadap persentase bobot rempela.
Prilyana (1984) menyatakan bahwa bobot rempela dipengaruhi oleh kadar serat kasar ransum. Semakin tinggi kadar serat kasar ransum, maka aktifitas rempela juga semakin tinggi, sehingga bobotnya juga semakin besar. Kandungan serat kasar pada ransum perlakuan berdasarkan analisis laboratorium berkisar antara 2,543,63%, hal ini menunjukkan bahwa kandungan serat kasar pada ransum perlakuan masih di bawah batas yang ditetapkan oleh SNI No. 01-3930-1995 (Tabel 7) yaitu maksimum 5% (Direktorat Bina Produksi, 1997) untuk broiler starter, sehingga pemberian ransum perlakuan tidak menimbulkan kelainan pada kerja rempela. Usus Halus Organ usus halus pada ternak merupakan organ penting dalam pencernaan yang berfungsi untuk mengabsorbsi nutrisi bahan pakan. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa persentase bobot ileum pada ransum perlakuan dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan dan lebih tinggi dibandingkan dengan ransum komersial (Tabel 13), hal tersebut diduga bukan merupakan pengaruh dari penambahan bahan perekat onggok, bentonit dan tapioka, tetapi disebabkan oleh karena di dalam ileum terdapat banyak lipatan atau lekukan yang disebut jonjot-jonjot usus (vili). Vili berfungsi memperluas permukaan penyerapan, sehingga makanan dapat diserap secara sempurna (Wikipedia, 2007). Struktur vili usus halus dipengaruhi oleh jenis ransum yang berbeda (Gillespie, 2004). Bobot usus halus terendah diperoleh pada ransum komersial. Sturkie (1976) menyatakan bahwa bobot duodenum 4,03 gram, jejenum 6,3 gram dan ileum 4,5 gram, sedangkan rataan persentase bobot usus halus (duodenum, jejenum dan ileum) yang diperoleh pada penelitian ini berturut-turut berkisar antara 3,78-4,04 gram; 3,55-3,87 gram; dan 2,69-3,41 gram (Tabel 13). Pengukuran bobot usus halus pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketebalan usus halus. Rendahnya bobot usus halus menunjukkan bahwa usus memiliki dinding usus yang lebih tipis begitu pula sebaliknya. Perbedaan bobot usus halus tersebut diduga karena adanya penipisan dinding usus halus akibat penggunaan antibiotik (zinc bacitracin dan virginiamycin) pada ransum komersial (tercantum pada label). Pemakaian antibiotik di dalam ransum bertujuan untuk membantu sistem pencernaan dengan cara membunuh mikroorganisme patogen dalam saluran
pencernaan ataupun di tempat sel mukosa usus (Widodo, 2002), sehingga bobot usus halus pada ransum komersial lebih rendah dibandingkan dengan bobot usus halus pada ransum perlakuan yang ditambahkan perekat onggok, bentonit dan tapioka. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Dewi (2007) yang menyatakan bahwa bobot usus halus yang diberi ransum komersial yang mengandung antibiotik (zinc bacitracin dan virginiamycin) sangat nyata lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kandungan serat kasar ransum basal yang ditambahkan perekat (onggok, bentonit, tapioka) lebih tinggi dibandingkan dengan ransum komersial, hal tersebut dapat mempengaruhi penyerapan ransum sehingga bobot usus halus yang diberi ransum dengan penambahan bahan perekat onggok, bentonit dan tapioka lebih tinggi dibandingkan ransum komersial. Syamsuhaidi (1997), menyatakan bahwa semakin tinggi serat kasar dalam ransum, maka laju pencernaan dan penyerapan zat makanan akan semakin lambat. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa laju pencernaan dan penyerapan zat makanan ransum komersial lebih baik dibanding dengan ransum yang ditambahkan perekat. Unggas yang diberi ransum dengan serat kasar tinggi cenderung memiliki saluran pencernaan yang lebih besar dan panjang (Sturkie,1976), hal ini didukung pula oleh Amrullah (2003) yang menyatakan bahwa ransum yang banyak mengandung serat akan menimbulkan perubahan ukuran saluran pencernaan sehingga menjadi lebih berat, lebih panjang dan lebih tebal. Adanya proses steaming pada saat pengolahan ransum komersial dapat mengoptimalkan proses gelatinisasi pati yang dapat meningkatkan daya cerna ransum dan palatabilitas ransum. Gelatinisasi dalam proses pembuatan ransum berguna untuk merekatkan partikel-partikel bahan penyusun ransum. Perekatan tersebut terjadi pada saat pencetakan dengan mesin pellet dan proses gelatinisasi ini dapat mengubah bentuk pati menjadi karbohidrat yang lebih sederhana dan mudah larut sehingga ransum mudah dicerna (Raharjo, 1997), dengan demikian dapat dikatakan bahwa laju pencernaan dan penyerapan zat makanan ransum komersial lebih baik dibandingkan dengan ransum perlakuan yang ditambahkan perekat yang ditandai dengan rendahnya bobot usus halus, hal ini berarti dinding usus halus ayam broiler yang diberi ransum komersial lebih tipis.
Tabel 14. Rataan Panjang Relatif Usus Halus dan Seka Ayam Broiler Umur 35 Hari Peubah
Ransum Penelitian + Perekat
Komersial
Onggok
Bentonit
Tapioka
Panjang Duodenum (cm/100 g BB)
33,15±3,97 2,91 ±0,22
30,50±2,56 2,67 ±0,33
30,54±1,43 2,79 ±0,14
29,45±2,02 1,94±0,17
Panjang Jejenum (cm/100g BB)
82,05±6,13 7,23C±0,41
70,23±1,64 6,12B±0,29
73,83±5,36 6,73A±0,65
61,15±0,07 4,02±0,18
Panjang Ileum (cm/100 g BB)
82,85±5,28 7,30±0,31
80,10±3,71 7,01±0,79
78,00±7,88 7,08±0,54
63,95±3,37 4,21±0,27
Panjang Seka (cm/100 g BB)
17,08±1,53 1,51±0,23
15,70±0,57 1,37±0,08
15,58±1,41 1,41±0,06
15,45±0,65 1,02±0,08
Keterangan :
Superskrip yang berbeda dengan huruf besar pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan bahan perekat dalam ransum tidak memberikan pengaruh terhadap panjang doudenum, ileum dan seka, akan tetapi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap panjang relatif jejenum. Panjang relatif jejenum sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi pada ransum perlakuan yang ditambahkan perekat onggok dibandingkan dengan ransum yang berperekat bentonit dan tapioka (Tabel 14), hal ini disebabkan oleh kandungan serat kasar pada ransum perlakuan yang ditambahkan perekat onggok lebih tinggi yaitu sebesar 3,63% dibandingkan dengan ransum perlakuan lainnya (Tabel 10), sehingga menyebabkan dinding saluran pencernaan menjadi lebih tebal dan lebih panjang, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Amrullah (2003) yang menyatakan bahwa ransum yang banyak mengandung serat akan menimbulkan perubahan ukuran saluran pencernaan sehingga menjadi lebih berat, lebih panjang dan lebih tebal. Panjang relatif usus halus dan seka ayam broiler yang diberi ransum perlakuan dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka lebih tinggi dibandingkan dengan panjang relatif usus halus dan seka yang diberi ransum komersial, hal ini diduga karena adanya penggunaan jenis bahan baku ransum yang berbeda antara ransum komersial dengan ransum perlakuan dengan penambahan bahan perekat onggok, bentonit dan tapioka yang dapat menimbulkan adanya perbedaan kandungan nutrisi ransum terutama kandungan serat pada masing-masing ransum.
Tingginya kandungan serat kasar dalam ransum perlakuan yang ditambahkan perekat onggok, bentonit dan tapioka menyebabkan kerja usus dalam mencerna dan menyerap zat makanan meningkat yang ditunjukkan dengan pertambahan panjang usus halus. Syamsuhaidi (1997), menyatakan bahwa peningkatan kadar serat kasar dalam ransum cenderung akan memperpanjang usus. Semakin tinggi serat kasar dalam ransum, maka laju pencernaan dan penyerapan zat makanan akan semakin lambat. Untuk memaksimalkan penyerapan zat makanan tersebut, maka daerah penyerapan akan diperluas atau diperpanjang. Nickle et al. (1977) menyatakan bahwa panjang seka unggas normal berkisar antara 12 sampai 25 cm. Panjang seka yang diperoleh dari hasil penelitian ini berkisar antara 15,45-17,08 cm, hal ini menunjukkan bahwa panjang seka masih berada dalam kisaran normal. Panjang dan bobot
seka akan meningkat dengan
meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum. Panjang relatif seka pada ransum perlakuan dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka lebih tinggi dibandingkan dengan panjang relatif seka pada ransum komersial, hal ini disebabkan oleh kandungan serat kasar pada ransum perlakuan dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan serat pada ransum komersial.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka sebanyak 2% dalam ransum bentuk crumble tidak memberikan pengaruh terhadap persentase bobot hati, jantung, limpa, rempela, duodenum dan jejenum serta panjang relatif duodenum, ileum dan seka. 2. Persentase bobot ileum nyata (P<0,05) lebih tinggi pada ransum perlakuan berperekat tapioka dibandingkan dengan ransum berperekat onggok dan bentonit. 3. Panjang relatif jejenum sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi pada ransum berperekat onggok. 4. Persentase bobot hati pada ransum perlakuan berperekat lebih rendah dibandingkan dengan ransum komersial. 5. Persentase bobot jantung, limpa, rempela dan usus halus (duodenum, jejenum, ileum) serta panjang relatif usus halus dan seka lebih tinggi pada ransum perlakuan berperekat dibandingkan dengan ransum komersial. Saran Penggunaan bahan perekat dalam ransum akan lebih efektif jika dalam proses pengolahannya dilakukan penambahan uap (steaming) pada saat proses pembentukan pellet menggunakan mesin pellet jenis farm feed pelleter agar menghasilkan ransum yang berkualitas dan memiliki sifat fisik yang lebih baik sehingga diharapkan dapat meningkatkan performa ransum dan performa ayam broiler.
UCAPAN TERIMA KASIH Rasa syukur yang tak terhingga senantiasa tertuju hanya kepada Alloh SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Lidy Herawati, MS. dan Ir. Dwi Margi Suci, MS. sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini, Dr.Ir. Sumiati, M.Sc. sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan memberikan motivasi kepada penulis selama masa studi di IPB, Dr. Ir Heri Ahmad Sukria, MSc. sebagai penguji seminar dan ujian akhir (sidang) serta kepada Ir. Rukmiasih, MSi sebagai penguji sidang atas saran dan masukan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada suami, orang tua, anak dan keluarga besar tercinta atas do’a, motivasi dan pengorbanan baik moril maupun materil yang tiada henti diberikan, kepada Bapak Wawan dan Bapak Baedowi atas kerja sama dan kesempatan yang diberikan pada penulis serta rekan-rekan melakukan penelitian di peternakan miliknya di Cisarua Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mamat, Bapak Yayat, Bandi dan Anggi yang telah membantu selama penelitian. Kepada segenap staf Laboratorium Industri Makanan Ternak, Ibu Anis, Bapak Atip dan Mas Iman serta staf Laboratorium Nutrisi Unggas, Ibu Lanjar dan Bapak Karya yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Usni, Ema, Herlina, Nurman dan Alif atas kerjasama, semangat, pengertian dan motivasinya selama penelitian serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuannya.. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Mei 2008
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Akbar, N. N. 2006. Proses produksi pakan PT. Jafpa Comfeed Indonesia Tbk unit Tangerang-Banten. Laporan Magang. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor. Anggorodi. 1994. Nutrisi Aneka Unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Anwar, K. P. 1990. Hasil penelitian pemakaian bentonit dalam pengolahan air limbah. Pusat Pengembangan Teknologi Mineral. Direktorat Jenderal Pertambangan Umum. Departemen Pertambangan dan Energi Bandung. Behnke, K. C. and R. Scott Beyer. 2007. Effect of feed processing on broiler performance.http://www.veterinaria.uchile.cl/publication/VIIIpatologis/SE MINARIOS/semi2.pdf [2 Agustus 2007] Butcher, G. D. and A. H. Nilipour. 2007. Broiler Production Goals-Important Numbers. http;//edis.ifas.ufl.edu/index.html. [22 Februari 2007] Cheeke, P. R. 1999. Applied Animal Nutrition Feeds and Feeding 2nd Edition. Departemen of Animal Sciences, Oregon State University. Cobb
Vantress. 2007. What is the cobb 500 http://www.cobbvantress.com/. [5 Februari 2007]
and
cobb
700?.
Didinkaem. 2006. Ayam broiler. http://www.halalguide.info/content/view/574/38/. [31 Maret 2007] Dellman, H. D. dan F. N. Brown. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Edisi Ketiga. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Dewi, H. R. K. 2007. Evaluasi beberapa ransum komersial terhadap persentase bobot karkas, lemak abdomen dan organ dalam ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dewi, P. 2001. Uji sifat fisik ransum ikan bentuk pellet dengan penyemprotan air panas dan penambahan perekat tepung tapioka. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Deyusma. 2004. Efektivitas pemberian feed additive alami pada ransum yang digunakan dengan penggunaan antibiotik terhadap organ dalam dan status kesehatan ayam pedaging. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Direktorat Bina Produksi. 1997. Kumpulan SNI Ransum: Ransum Ayam Ras Pedaging (Broiler Starter). SNI 01-3930-1995. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. Ditjenak.
2007. Salah kaprah soal daging ayam. http://www.ditjenak.go.id/today/artikelview.html?topic=news&sizenum=82 162206&page=salah kaprah soal daging ayam.html. [31 Maret 2007]
Doizer, W. A. 2001. Pellet quality for most economical poultry meat. J. Feed International. 52 (2): 40-42. Einberg, R. M. 2000. Effect of zinc bacitracin and salinomycin on intestinal microflora and performance of broiler. J. Poult. Sci. 79:1311-1319 Ensminger, M. E., J. E. Oldfield and W. W. Heinnmann.1990. Feed and Nutrition. 2nd Edition. The Ensminger Publishing Company, California. Fairfield, D. 1994. Pelleting cost center. In: R. R. McElhiney. Feed Manufacturing Technology. 4th Edition. American Feed Industry Association Inc, Arlington. Farada, L. E. 2002. Evaluasi penggunaan perekat berbahan baku singkong dengan taraf berbeda terhadap sifat fisik ransum ayam broiler bentuk crumble. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Gauthier, R. 2002. Intestinal health, the key to productivity (The case of organic acid). XXVII Convencion ANECA-WPDC. Puerto Vallrta. Jal. Mexico. Gillespie, R. J. 2004. Modern Livestock and Poultry Production. 7th Edition. Inc. Thomson Learning. United States. Gunal, M., G. Yalyi, O. Kaya, N. Karahan and O. Sulak. 2006. The effect of antibiotic growth promotor, prebiotic or organic acid supplementation on performance, intestinal microflora and tissue of broilers. Int. J. Poult. Sci. 5(2):149-155. Hauck, B., G. Rokey, O. Smith, J. Herbster and R. Sunderland. 1994. Extrusion cooling system. In: R. R. McElhiney. Feed Manufacturing Technology. 4th Edition. American Feed Industry Association Inc, Arlington. Jull, M. A. 1979. Poultry Husbandry. 3rd Edition. Tatu McGraw hill Publishing. Co. Ltd, New York.
Khusniati, S. 2007. Uji sifat fisik ransum broiler starter bentuk crumble berperekat tepung tapioka, bentonit dan onggok. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kuraesin, D. 2005. Pengaruh penambahan kunyit (Curcuma domestica, Val) atau temulawak (Curcuma xanthorriza, Roxb) dalam ransum terhadap organ dalam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Makfoeld, D. 1982. Deskripsi Pengolahan Hasil Nabati. Penerbit Agritech, Yogyakarta. McLelland, J. 1990. A Colour Atlas of Avian Anatomy. Wolfe Publishing Ltd., London. McNab, J. M. 1973. The avian caeca: A review. World Poult. Sci. 29 (3) : 251-263. Mulyantono, 2003. Sulitnya mencari bibit favorit. Majalah Poultry Indonesia. Agustus . 25-27. National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Edition. National Academy Press, Washington, D. C. Neisheim, M. C., R. E. Austic and L. E. Card. 1979. Poultry Production. 12th Edition. Lea and Febingen, Philadelphia. Nickle, R. A., Schummer, E., Seifrle, W. G., Siller and P. H. L. Wight. 1977.Anatomy of Domestic Bird. Verlag Paul Parey, Berlin. North, M. O. dan D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Edition. Van Nostrad Rein Hold, New York. Pasha, T. N., M. U. Farooq, F. M. Khattak, M. A. Jabbar and A. D. Khan. 2007. Effectiveness of sodium bentonite and two commercial products as aflatoxin absorbents in diets for broiler chicken. Animal Feed Science and Technology. 132: 103-110. http://www.aseanfood.info/scripts/countarticle.asp?. [27 Maret 2007]. Pond, W. G., D. C. Church and K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. 4th Edition. John Wiley and Sons, New York. Poultry Indonesia. 2003. Menelusuri Jejak starin-strain ayam ras terpilih http://poultryindonesia.com/modules.php?name=News&file=print&sid=23 5 [9April 2007] Prilyana, J. D. 1984. Pengaruh pembatasan pemberian ransum terhadap persentase karkas, lemak abdominal, lemak daging paha, dan bagian giblet ayam pedaging. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara. 2005. Bentonit. Data Pertambangan Mineral dan Batubara. http://www.tekmira.esdm.go.id. [12 Februari 2007]. Puspitasari, D. I. 2006. Kajian pemberian tepung daun salam (syzygium polyanthum (wight) Walp.) dalam ransum sebagai bahan anti bakteri Escherchia coli terhadap organ dalam ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Putnam, P. A. 1991. Handbook of Animal Science. Academic Press. San Diego. Radiyati, T. dan W. M. Agusto. 1990. Tepung tapioka. BPTTG Puslitbang FisikaLIPI, Subang. http://www.ristek.go.id.[26 Maret 2007]. Raharjo, A. 1997. Bahan perekat pakan udang. Majalah Trobos 328 Th. XXVIII, Maret 1997, Jakarta. Rahmayeni. 2002. Uji sifat fisik ransum ayam broiler starter bentuk pellet dengan penambahan perekat onggok. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ressang, A. A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi Kedua. NV Percetakan Bali. Denpasar. Rose, S. P. 1997. Principles of Poultry Science. CAB International, London. Salamah. 2007. Pengaruh penambahan bahan perekat dalam ransum bentuk crumble terhadap performan ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Salari, S., H. Kermanshasi and H. N. Moghaddam. 2006. Effect of sodium bentonite and comparison of pellet vs mash on performance of broiler chicken. International Journal of Foultry Science. 5 (1): 31-34. http://www.pjbs.org/ijps/fin506.pdf. [26 Maret2007] Schaible, J. 1979. Poultry: Feed and Nutrition. 3rd Edition. The Avi Publishing Company, Inc., Westport. East Lansing. Michigan. Setiadi, W. 1994. Pengaruh pemberian bahan perekat dalam ransum terhadap performan ayam dan kadar air feses ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sierad Produce. 2007. Pembibitan PT. Sierad Produce: Broiler chicks AS 101. PT. Sierad Produce. http://www.sierad produce.com. [13 Februari 2007]
Soeprobo, W. 1986. Pengaruh penggunaan dua macam bahan perekat karboksilmetil sellulosa (Carboxy Methyl Cellulose-CMC) dan tepung tapioka dalam makanan terhadap pertumbuhan udang wind (Panaeas monodon). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi Kedua. Terjemahan: B. Sumantri. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sturkie, P. D. 1976. Avian Physiology. 3rd Edition. Spinger-Verlag. New York. Suliantari dan W. P. Rahayu. 1990. Teknologi Fermentasi Umbi-umbian dan Bijibijian. Kerjasama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan dan PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suprayitno, 2006. Persentase karkas, lemak abdominal dan organ dalam ayam pedaging yang diberi ransum mengandung limbah restoran hotel sahid sebagai substitusi dedak padi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Supriyati, D. Zaenudin, I. P Kompiang, Soekamto dan D. Abdurachman. 2005. Onggok untuk bahan baku pakan. Majalah Poultry Indonesia. November 2002. 271: 60-61. Syamsuhaidi. 1997. Penggunaan duckweed (famili lemnaceae) sebagai pakan serat sumber protein dalam ransum ayam pedaging. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Syukron, M. 2006. Kandungan lemak dan kolesterol daging serta persentase organ dalam ayam broiler yang diberi ransum finisher dengan penambahan kepala udang. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tabil, L. G., Jr. S. Sokhansanj and R. T. Tyler. 1997. Perfomance of different binders during alfalfa pelleting. Canadian Agric. Enginering. 39: 017-023 Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Ternak Unggas. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Wibowo, S. S. 1986. Pemeliharaan Udang Galah di Kolam Air Tawar. PT. Waca Utama Pramesti bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Jakarta, Jakarta. Widodo, W. 2002. Nutrisi dan Pakan Unggas Konstektual. Fakultas PeternakanPerikanan. Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Widyaningrum, F. 2007. Proses produksi pakan PT. Jafpa Comfeed Indonesia Tbk unit Tangerang-Banten. Laporan Magang. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wikantiasi, A. 2001. Uji sifat fisik pakan ikan jenis pellet tenggelam dengan proses pengukusan dan tingkat penambahan tepung tapioka sebagai perekat. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wikipedia. 2007. Pati (polisakarida). http://id.wikipedia.org/wiki/pati_(polisakarida). [24 Februari 2007]. Winarno, F. G. 1986. Monografi Limbah Pertanian. Kementrian Muda Urusan Pertanian, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Label Ransum Komersial
Lampiran 2.
Rataan Konversi Ransum, Pertambahan Bobot Badan dan Konsumsi Ransum Ayam Broiler selama 5 Minggu Pemeliharaan
Peubah
Onggok
Bentonit
Tapioka
Komersial
2,01
1,94
1,97
1,63
Pertambahan bobot badan (gram/ekor)
1085,1
1101,13
1022,60
1528,08
Konsumsi ransum (gram/ekor)
2048,28
1982,80
1906,96
2351,91
Konversi ransum
Sumber : Salamah (2007)
Lampiran 3.
Uji Sifat Fisik Ransum Penelitian
Peubah
Onggok
Bentonit
Tapioka
Komersial
Kadar air (%)
11,35
9,70
9,42
11,45
Durability (%)
89,98
95,00
94,35
93,07
Ukuran partikel (mm)
3,15
3,30
3,52
4,38
Ketahanan benturtan (%)
98,4
98,92
98,00
98,4
Sumber : Khusniati (2007)
Lampiran 4. Sidik Ragam Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Umur 35 Hari SK Perlakuan Error Total
db 2 12 14
JK 6093.33 76300 82393.33
KT 3047 6358
Fhit 0.4792
F0.05 3.74
F0.01 6.51
Lampiran 5. Sidik Ragam Persentase Bobot Hati Ayam Broiler Umur 35 Hari SK Perlakuan Error Total
db 2 12 14
JK 0.000022 0.000423 0.000446
KT 0.000011 0.000035
Fhit 0.3169
F0.05 3.74
F0.01 6.51
Lampiran 6. Sidik Ragam Persentase Bobot Jantung Ayam Broiler Umur 35 Hari SK Perlakuan Error Total
db 2 12 14
JK 0.000008 0.000118 0.000125
KT 0.000004 0.00001
Fhit 0.3933
F0.05 3.74
F0.01 6.51
Lampiran 7. Sidik Ragam Persentase Bobot Limpa Ayam Broiler Umur 35 Hari SK Perlakuan Error Total
db 2 12 14
JK 0.000022 0.000144 0.000167
KT 0.000011 0.000012
Fhit 0.9186
F0.05 3.74
F0.01 6.51
Lampiran 8. Sidik Ragam Persentase Bobot Rempela Ayam Broiler Umur 35 Hari SK Perlakuan Error Total
db 2 12 14
JK 0.000044 0.00313 0.003174
KT 0.000022 0.000261
Fhit 0.0836
F0.05 3.74
F0.01 6.51
Lampiran 9. Sidik Ragam Persentase Bobot Duodenum Ayam Broiler Umur 35 Hari SK Perlakuan Error Total
db 2 12 14
JK 0.000014 0.000221 0.000234
KT 0.000007 0.000018
F 0.3773
F0.05 3.2389
F0.01 5.2922
Lampiran 10. Sidik Ragam Persentase Bobot Jejunum Ayam Broiler Umur 35 Hari SK Perlakuan Error Total
db 2 12 14
JK 0.00002 0.00014 0.00017
KT 0.000011 0.000012
F 0.9425
F0.05 3.2389
F0.01 5.2922
Lampiran 11. Sidik Ragam Persentase Bobot Ileum Ayam Broiler Umur 35 Hari SK Perlakuan Error Total Keterangan :
db 2 12 14
JK KT 0.00012 0.0000615 0.00018 0.0000148 0.0003
* berbeda nyata (P<0,05)
Uji Jarak Duncan Persentase Bobot Ileum Perlakuan Rataan Huruf b Onggok 0.049 ab Bentonit 0.052 a Tapioka 0.056
F 4.1490*
F0.05 3.2389
F0.01 5.2922
Lampiran 12. Sidik Ragam Panjang Relatif Duodenum Ayam Broiler Umur 35 Hari SK Perlakuan Error Total
db 2 12 14
JK 0.15319 0.718226
KT 0.076595 0.0598522
F 1.279736
F0,05 3.238872
F0,01 5.292214
Lampiran 13. Sidik Ragam Panjang Relatif Jejunum Ayam Broiler Umur 35 Hari SK db JK KT F F0,05 F0,01 Perlakuan 2 3.070761 1.5353804 6.787951** 3.238872 5.292214 Error 12 2.714304 0.226192 Total 14 Keterangan :
** berbeda sangat nyata (P<0,01)
Uji Duncan Panjang Relatif Jejunum Perlakuan Rataan Huruf Onggok 7.2297 C Bentonit 6.1229 B Tapioka 6.7252 A Lampiran 14. Sidik Ragam Panjang Relatif Ileum Ayam Broiler Umur 35 Hari SK db JK KT F F0,05 F0,01 Perlakuan 2 0.229266 0.1146332 0.340939 3.238872 5.292214 Error 12 4.034737 0.3362281 Total 14