PERNIKAHAN LINTAS AGAMA DALAM PERSPEKTIF HADITS Oleh : Sawaun Dosen Prodi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir FSH UNSIQ Email :
[email protected] ABSTRACT This article examines, historically, model of interfaith marriages from hadith perspective. There are two models of interfaith marriages, i.e.a marriage between Muslim, men or women,with musyrik (polytheists) community and ahl al-kitâb. This study concluded that a marriage between a Muslim with polytheists community has no foundation in tradition (hadith), and never practiced by the early generations of Islam. Meanwhile, male Muslim marriage with ahl al-kitâb has strong historical foundation in the early generations of Muslims. While marriage between Muslim women with ahl al-kitâb wasn’t discovered a historical evidence of it permission, either the Prophet words or the practice of Companions. Keywords: interfaith marriages, musyrik, ahl al-kitâb, al-muhṣanât. Dalam praktiknya, pernikahan lintas
A. Pendahuluan Pernikahan laki-laki dan perempuan
agama, terutama antara seorang muslim
yang memiliki latar belakang keyakinan
dengan komunitas agama lain (non-
berbeda menjadi salah satu isu yang
muslim), masih menjadi perdebatan
sensitif di kalangan umat Islam. Dalam
panjang di kalanngan ahli hukum Islam.
al-Qur`an,
lintas
Isu utama yang menjadi perdebatan di
agama ini diatur dalam surah al-Baqarah
kalangan ulama, terutama menyangkut
ayat 221 dan al-Maidah ayat 5. Dalam
kedua ayat di atas, adalah perbedaan
surah al-Baqarah: 221, dijelaskan bahwa
terminologis mengenai kategori musyrik
pernikahan seorang muslim, baik laki-
dan ahl al-kitâb, apalagi jika kedua term
laki
dengan
tersebut
secara
agama
model
maupun
komunitas
pernikahan
perempuan,
musyrik
dilarang
disematkan tertentu
pada
secara
pemeluk
institusional.
mutlak. Sementara dalam surah al-
Sebagian ulama, misalnya, membatasi
Maidah
kemungkinan
ahl al-kitâb pada agama-agama yang
kebolehan terjadinya pernikahan antara
memiliki kitab samawi sebelum Islam,
laki-laki muslim dengan komunitas ahl
Yahudi dan Nasrani, sedangkan sebagian
al-kitâb dapat dilaksanakan. Sedangkan
lainnya,
pernikahan perempuan muslim dengan
kontemporer, menyebut penganut agama
ahl al-kitâb tidak dijelaskan secara
lainnya seperti Ṣabi’in, Hindu, Budha,
eksplisit dalam al-Qur`an.
juga bagian dari ahl al-kitâb.
ayat
5,
ada
terutama
beberapa
ulama
Vol. II No. 01, Mei 2016
Persoalan lainnya adalah munculnya
Arab, yang bisa berarti selamat, damai,
aspek-aspek lain, selaain teologis, yang
dan sejahtera. Dari akar kata ini juga
dijadikan
ulama
muncul kata aslama yang memiliki
pertimbangan
para
pernikahan
lintas
keyakinan
arti menyelamatkan, mendamaikan,
Majelis
Ulama
Indonesia,
dan mensejahterakan. Kata aslama
misalnya, melarang secara mutlak model
juga berarti menyerah, tunduk, atau
pernikahan
berbeda
patuh. Dari sinilah kemudian muncul
agama, baik laki-laki muslim dengan
istilah muslim dan muslimah yang
perempuan non-muslim atau sebaliknya
artinya orang yang beragama Islam
(DEPAG RI, 1992: 32-34). Keputusan
laki-laki atau perempuan (Munawwir,
MUI
pertimbangan
1997 : 654-656). Dalam bahasa
bahwa pernikahan beda agama lebih
indonesia, muslim diartikan sebagai
banyak
penganut agama Islam (KBBI, Daring
dalam tersebut.
ini
pasangan
berdasarkan
mafsadat-nya
yang
dibandingkan
kemaṣlahannya. Dengan melihat fenomena di atas,
2016). Sementara
istilah
non-muslim
artikel ini akan berusaha menelusuri
digunakan untuk menyebut orang-
secara historis pernikahan antar agama
orang yang bukan penganut agama
dalam perspektif hadis. Kajian ini akan
Islam. Dalam Islam ada beberapa
berguna untuk melihat bagaimana Nabi
istilah
saw dan generasi Islam awal memahami
menyebut komunitas non-muslim.
yang
digunakan
untuk
dan mempraktekkan ajaran-ajaran Islam,
Pertama, ahl al-kitâb. Secara
terutama berkaitan dengan pernikahan
etimologis, ahl al-kitâb berasal dari
beda agama.
dua kata dalam bahasa Arab, ahl yang
B. Temuan dan Pembahasan I. Kajian Terminologis Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pernikahan antar pemeluk agama, terlebih dahulu akan dibahas mengenai term muslim dan nonmuslim. Istilah muslim tidak bisa dilepaskan dari kata “islam” itu sendiri. Secara etimologi, istilah islam berakar pada kata salima dalam bahasa
berarti “keluarga atau kerabat dekat” (Ibrahim Anis dkk, t.th : 31) dan alkitâb yang mempunyai arti lembaran atau buku (al-Asfihani, t.th : 440). Kata ahl sering digunakan untuk menyebutkan
komunitas
tertentu,
misalnya, ahl al-ḣaq, yaitu komunitas yang menyandarkan diri mereka pada kebenaran berasal dari Tuhan mereka melalui argumentasi dan keterangan. Dengan demikian, istilah ahl al-kitâb
30
Pernikahan Lintas Agama
Vol. II No. 01, Mei 20156
bisa diartikan sebagai komunitas yang
Namun agaknya pendapat yang
memiliki kitab suci yang diturunkan
membatasi pengertian ahl al-kitâb
sebelum al-Qur`an (al-Asfihani, t.th :
pada komunitas Yahudi dan Nasrani
442).
ini lebih kuat. Jika kita melihat
Dalam al-Qur`an, ahl al-kitâb
sejarah, Nabi saw pernah mengirim
disebutkan sebanyak 31 kali yang
surat kepada Heraklius di Romawi
disandarkan pada komunitas agama
(Kristen) dan Kisra Persia (Majusi).
Yahudi dan Kristen, tanpa dibatasi
Pada surat yang ditujukan kepada
personil, waktu dan tempat. Jadi,
Heraklius, Nabi saw menyatakan
istilah ahl al-kitâb lebih bersifat ikatan
bahwa jika ia mau masuk Islam, ia
ideologis ketimbang genetika atau
akan memperoleh pahala dua kali
periodeisasi (Qurais Shihab, 1996 :
lipat. Hal ini sejalan dengan hadis
368), meskipun ada ulama yang
Nabi yang menyatakan bahwa 3
membatasi ahl al-kitâb pada penganut
kelompok akan memperoleh dua
Yahudi dan Kristen dari keturunan
kali lipat pahala, salah satu di
Israel (Ya’qub) (Komaruddin Hidayat,
antaranya yaitu ahl al-kitâb yang
dkk. 1995 : 66).
beriman pada Nabinya kemudian
Selain komunitas Yahudi dan
beriman juga pada Rasul saw (al-
Nasrani, ada sebagian ulama yang
Bukhari, 1994 : 192). Sementara
memasukkan komunitas lainnya ahl
pada surat yang dikirimkan kepada
al-kitâb, Abu ‘Aliyah (w.93 H),
Kisra
misalnya, memasukkan kaum Ṣâbi’în
demikian. Fakta tersebut secara
sebagai bagian ahl al-kitâb yang
implisit
membaca Zabur (al-Thabari, t.th., II :
penganut Majusi bukanlah termasuk
320). Ada juga yang berpendapat
dari ahl al-kitâb. Dengan demikian,
bahwa penganut agama Budha, Hindu,
penganut Ṣabi’în, Budha, Hindu dan
penyembah berhala dari India dan
agama-agama lainnya.
tidak
menyebutkan
menunjukkan
hal
bahwa
kategori
Kedua, Istilah untuk menyebut
komunitas ahl al-kitâb (Shihab, 1997 :
non-muslim adalah musyrik atau syirk.
367-368).
pemahaman
Kata syirk dalam bahasa Arab berarti
terhadap term ahl al-kitâb sendiri
perbandingan atau bercampurnya dua
sangat
pemilik
Cina
termasuk
dalam
Perbedaan
berpengaruh
terhadap
yang
antonim
dengan
konskuensi hukum dalam pernikahan
sendiri (al-Asfihani, t.th : 442). Arti
beda agama.
perbandingan
Pernikahan Lintas Aama
karena
yang
31
Vol. II No. 01, Mei 2016
dibandingakan lebih dari satu, dan
Qurthubi, 1372 : III, 67-68). Apalagi
adanya
orang.
Allah SWT sendiri membedakan
Secara istilah, syirk berarti menduakan
antara ahl al-kitâb dengan musyrikîn
Allah, atau menganggap ada lebih dari
(QS: al-Bayyinah : 1, dan lainnya).
kepemilkikan
dua
satu tuhan selain Allah SWT. Dengan
Istilah ahl al-kitâb dan musyrik
cara menjadikan sekutu bagi Allah swt
di atas merupakan dua istilah yang
dalam menyembahnya, menyembah
sering digunakan untuk menyebut
selain Allah, dan atau menyembah
komunitas
non-muslim
dari
Allah
perspektif
teologis
yang
dan
selain-Nya
secara
bersamaan (al-A’zhami, 1982 : 249) Pada awal perkembangan Islam,
Selain itu, ada beberapa term yang
istilah musyrik identik dengan pagan
digunakan
(penyembah berhala). Bangsa Arab,
komunitas non-muslim, tetapi lebih
terutama Mekkah dan sekitarnya,
cenderung dalam artian sebagai
sebelum kedatangan Nabi, pada
komunitas
umumnya
politis.
menyembah
berhala
utnuk
menyebut
yang berbeda secara Misalnya
kufr,
yang
(waṡaniyyah). Sementara sebagian
digunakan untuk menyebut orang-
menganut animisme dan dinamisme.
orang
Menurut al-Kalbi, sebagian bangsa
menutup diri dari kebenaran, tanpa
Arab melakukan penyembahan atas
memandang darimana ia berasal.
jin, matahari, bulan dan bintang
yang
mengingkari
atau
Para ulama membagi kufr dalam 5
Sementara,
konteks penggunaannya. (1) Kufr
kalangan kelas bawah mayoritas
juhûd (kâfir inkâr) yangterdiri dari 2
adalah
macam, mereka yang mengingkari
secara
bergantian.
penyembah
berhala
wujud Allah dan (2) yang menolak
(Subhani, 1996 : 19) Mayoritas sahabat dan ulama
kebenaran
padahal
mereka
cenderung
mengetahuinya; (3) tidak mensyukuri
memahami musyrik sebagai kaum
ni`mat Allah swt; (4) mereka yang
pagan. Memang, IbnUmar (w. 73/74
tetap
H)
Nasrani
perintah agama secara lalai; dan (5)
termasuk bagian dari musyrik karena
tidak merestui dan berlepas diri
konsep
(Shihab, 2000 : I, 95).
pada
awal
Islam
berpendapat
pendapatnya
bahwa
trinitasnya, tidak
namun diterima
mayoritas sahabat dan ulama (al-
32
membedakan dengan muslim/Islam.
beriman tapi
meninggalkan
Term ahl aż-żimmah juga sering digunakan
untuk
menyebut
Pernikahan Lintas Agama
Vol. II No. 01, Mei 20156
komunitas penganut
non-muslim, Yahudi,
Kristen
baik
laki-laki muslim dengan perempuan
atau
ahl
al-kitâb
dan
penikahan
lainnya, yang bertempat tinggal di
perempuan muslim dengan laki-laki
wilayah
mendapatkan
ahl al-kitâb.
perlindungan dari penguasa Islam.
Secara
Islam dan
normatif,
laki-laki
Sebagai ganti perlindungan, mereka
muslim dengan perempuan ahl al-
akan dikenakan pajak (al-jizyah)
kitâb diperbolehkan berdasarkan
untuk negara (Ensiklopedi Islam,
Q.S. al-Maidah ayat 5. Kebolehan
1999 : V, 236). Istilah lainnya adalah
pernikahan antara seorang muslim
ahl ‘ahd (mu’âhad) yang digunakan
dengan
untuk kâfir ḣarbî, yaitu komunitas
disepakati oleh generasi awal umat
non-muslim
Islam, terutama karena adanya naṣ
yang
melakukan
ahl
al-kitâb
perjanjian dengan kaum Muslim,
Al-Qur`an
yang berisi jaminan keselamatan
menegaskan kehalalannya. Adapun
mereka maupun lainnya. Perjanjian
model
Muslim dengan mereka dapat berupa
perempuan yang beragama Islam
saling
membela
dengan laki-laki ahl al-kitâb tidak
maupun tidak. Tapi mereka wajib
dijelaskan secara eksplisit dalam
tidak
Al-Qur`an. Beberapa ulama, al-
membantu
menyerang
sebagaimana memelihara
atau
kaum
Muslim hak
dan
Muslim wajib kewajiban
yang
hampir
secara
pernikahan
Qurthubi
dan
jelas
antara
al-Syaukani,
menjadikan Q.S. al-Mumtahanah
mereka. Biasanya perjanjian tersebut
ayat
10
sebagai
larangan
bersifat sementara. Karena itu selain
perempuan
muslim
menikah
disebut dengan ahl aṣ-ṣulḣ, mereka
dengan laki-laki ahl al-kitâb (al-
juga dikenal dengan ahl al-ḣuḍnah
Qurthubi, 1372 : XVIII, 63; al-
(Ensiklopedi Islam, 1999, II: 236).
Syaukani, 1992 : V, 215). Kata
II. Hadis-Hadis tentang Penikahan Muslim dan Non-muslim 1. Pernikahan Muslim/Muslimah dengan Ahl al-Kitâb
kuffâr dalam ayat tersebut meliputi orang kafir dari kalangan musyrik dan ahl al-kitâb. Sementara
itu,
berdasarkan
Pernikahan model ini memiliki
penelusuran yang dilakukan, tidak
dua bentuk yang masih-masing
banyak hadis yang secara ṣarîh
memiliki konskuensi hukum yang
menjelaskan
berbeda, yaitu pernikahan antara
pernikahan antara seorang msulim
Pernikahan Lintas Aama
keharaman
33
Vol. II No. 01, Mei 2016
dengan komunitas ahl al-kitâb.
terutama kalangan para sahabat dan
Hanya ada satu riwayat yang
ulama pada masa awal Islam.
secara jelas mengenai hal ini, yaitu
seperti
Umar, Utsmân, Hudzaifah (w. 36
Jabir ra (w. 78 H):
H), Thalhah (w. 36 H), Salman al-
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺗﻤﻴﻢ ﺑﻦ ﻤﻟﻨﺘﺮﺼ ﺧﺮﺒﻧﺎ ﺳﺤﺎ
Farisi (w. 33 H), Jabir (w. 78 H)
ﻷ ﻋﻦ ﺮﺷﻳﻚﻋﻦ ﺷﻌﺚ ﺑﻦ ﺳﻮ
dan lainnya, tetap membolehkan
:ﺳﻠﻢ/ ﷲ ﺻﻰﻠ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ+ ﺳﻮ+ﻗﺎ =ﺟﻮ/ﻻ ﻳﺰﺘ/ 9 ﻫﻞ ﻟﻜﺘﺎ5 ﻧﺴﺎ3/ﻧﺰﺘ ﻧﺎ5ﻧﺴﺎ Rasulullah saw. bersabda: “kami (muslim boleh) mengawini wanita ahl al-kitâb, namun (pria-pria) mereka tidak (boleh/terlarang) mengawini wanita-wanita kami (Muslimah)”.1
pernikahan tersebut. Pendapat berbeda dikemukakan oleh sahabat Ibnu Umar. Ia tidak menyetujuai
perkawinan
seorang
laki-laki dengan perempuan ahl alkitâb (Nasrani). Pendapatnya tersebut didasarkan pada pandangannya yang menganggap
bahwa
perempuan
Nasrani termasuk musyrik karena menganggap nabi Isa sebagai Tuhan
Dalam hadis tersebut dijelaskan
(n = ﺑﻬﺎ ﻋﻴ:+ ﻋﻈﻢ ﻣﻦ = ﺗﻘﻮF)ﻻ ﻋﻠﻢ ﺮﺷ
secara gamblang membolehkan laki-
sehingga ia masuk dalam kategori
laki
wanita
muslim
menikah
dengan
yang
haram
dinikahi
perempuan ahl al-kitâb, namun
dalam Q.S. al-Baqarah ayat 221
tidak sebaliknya. Berdasarkan kritik
(Ibn Katsir, 2002 : III, 42). Namun
sanad, al-Thabari mengakui bahwa
pendapat ini dianggap oleh Ibn al-
status hadis ini adalah hadis dha’îf,
Mundzir (w. 318 H) sebagai
namun
pendapat yang tidak valid. Ia
demikian
hadis
ini
diamalkan dan disepakati oleh para
menyatakan
ulama (al- Thabari, 1405, II: 378),
menikahi
Perawi hadis ini terdiri dari: 1, Jabir. 2, alHasan al-Bashri (w. 110 H), ṡiqah yursil kaṡîr wa yudallis. 3, Asy’ats bin Sawwar (w. 136 H), ḍa’îf. 4, Syarik bin Abdullah al-Nakha’i (w. 177/8 H), shadûq yukhṭi` kaṡîr. 5, Ishaq bin Yusuf al-Azraq (w. 195 H), ṡiqah. 6, Tamim bin al-Muntashir al-Wasithi (w. 245/6 H), ṡiqah, ḍâbiṭ dan 7, ath-Thabari (lihat: al-Mizzi, 1980, Juz II;. 496-500; Juz III: 264-269; Juz IV: 334335; Juz VI: 95-126; Juz XII: 462-474; lihat juga al-‘Asqalani, 1995, Juz I: 273, 362-364, 542; Juz II: 246-251; Juz III: 623-626).
34
sahabat
riwayat al-Thabari (w. 310 H) dari
: +ﻋﻦ ﺤﻟﺴﻦ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ ﻗﺎ
11
Mayoritas
bahwa wanita
ahl
larangan al-kitâb
termasuk pendapat yang lemah pada masa awal Islam (al-Maqdisi, 1985 : 99). Secara sahabat pernikahan
historis, juga
beberapa
mempraktekkan tersebut,
seperti
Hudzaifah ibn al-Yamanî (w. 36
Pernikahan Lintas Agama
Vol. II No. 01, Mei 20156
H), Thalhah bin Ubaidillah (w. 36
Perbedaan ini terjadi karena para
H) dan lainnya. Dalam sebuah
ulama
riwayat,
aspek hukum lainnya. Kalangan
Ibnu
Abu
al-’Ash
juga
mempertimbangkan
menjelaskan, ketika turun ayat
Hanafiah
“Janganlah kalian nikahi wanita-
pernikahan
wanita musyrik sampai mereka
peremuan
ahl
beriman”, para sahabat menahan
perempuan
tersebut
dirinya dari perempuan-perempuan
negeri
non-muslim, kemudian turun ayat
Islam karena akan memberikan
setelahnya
efek negatif dan juga anak yang
“dihalalkan menikahi
misalnya,
melarang
muslim
yang
dengan
al-kitâb
jika
berada
berperang
di
dengan
menjaga
dihasilkan akan cenderung memilih
kehormatan di antara orang-orang
agama ibunya (Abdurrahman I,
yang
1991 : 193).
wanita-wanita
diberi
yang
Al-Kitab
sebelum
kamu” maka orang-orang menikahi wanita-wanita ahl
al-kitâb
(Ibn
Sementara kalangan
itu,
sebagian
Malikiah
juga
memakruhkan pernikahan dengan
Katsir, 2002 : III, 42). Meskipun pernikahan antara
ahl al-kitâb, baik perempuan itu
seorang muslim dengan ahl al-
berstatus ahl żimmah maupun ahl
kitâb
oleh
ḣarb (Abdurrahman I, 1991 : 194).
beberapa sahabat, namun dalam
Adapun asy-Syafi’i mensyaratkan
perkembangannya,
ahli
wanita ahl al-kitâb yang akan
hukum Islam tidak secara mutlak
dinikahi memiliki orangtua yang
memperbolehkan
perkawinan
ahl al-kitâb juga. Hal ini tidak
tersebut.
Memang Umar pernah
terlepas dari pandangan asy-Syafi’i
melarang
sahabat
masanya
yang membatasi ahl al-kitâb hanya
mengawini wanita ahl al-kitâb,
dari keturunan Israel. Sementara
namun
diluar
telah
dipraktekkan
larangan
para
di
itu
dapat
itu,
asy-Syafi’i
dipastikan bukan karena haram
memperbolehkan
tetapi
meskipun
disebabkan
kemaslahatan
Pada perkembangan selanjutnya, kebolehan menikahi perempuan ahl menjadi
tersendiri
di
Pernikahan Lintas Aama
menikahinya,
wanita
tersebut
beragama Yahudi atau Kristen
(al-Maqdisi, 1985 : 99).
al-kitâb
tidak
perdebatan
kalangan
ulama.
(asy-Syafi’i, t.th : IV, 287). Di kalangan ulama modern, dalam konteks pernikahan laki-laki muslim dengan ahl al-kitâb, isu
35
Vol. II No. 01, Mei 2016
yang berkembang adalah masalah
al-lażîna ûtû al-kitab”. Kata al-
kualitas perempuan-perempuan ahl
muḣṣanat di sini berarti wanita-
al-kitâb yang memenuhi syarat
wanita yang terhormat yang selalu
untuk
menjaga kesuciannya, dan yang
dijadikan
sebagai
istri.
Dengan landasan ini pula, al-
sangat
Qaradhawi menilai kalau wanita
mengagungkan Kitab suci. Makna
Eropa sekarang tidak layak untuk
terakhir
dikawini. Sebab mereka umumnya
penggunaan kata ûtû yang selalu
berada dalam kehidupan bebas,
digunakan
maka jarang ditemukan wanita
menjelaskan
yang al-muḣṣanât (al-Qaradhawi,
agung
1995 : 587). Selain itu, al-
sebabnya
Qaradhawi mensyaratkan perempuan
menggunakan istila ahl al-kitâb,
ahl al-kitâb yang boleh dikawini
sebagaimana dalam ayat-ayat lain,
yaitu mereka yang tidak memusuhi
ketika berbicara tentang penganut
Islam. Menurutnya, terlarang bagi
ajaran
umat Islam mengawini wanita
(Shihab, 2007 : 261).
Yahudi, bila Israel masih saja memerangi
bangsa
Palestina.
ini
dan
dipahami
dan
Al-Qur`an
untuk
pemberian
lagi
yang
terhormat.
ayat
tersebut
Yahudi
dan
Itu tidak
Kristen
Tidak hanya kualitas “almuhṣanat”
yang
harus
Selain itu, perkawinan tersebut
diperhatikan,
Mahmud
Syaltut
juga tidak mendatangkan muḍarat,
menggaris
bawahi
bahwa
yang
pendapat
berupa
muncul
trend
para
ulama
yang
mengawini wanita ahl al-kitâb
membolehkan
sehingga
Muslimah
kaedah syari’ah yang normal,
terlantar,
apalagi
menjadi di
negara
yaitu
itu
berdasarkan
bahwa suami
memiliki
minoritas Muslim. Karena itu,
tanggung jawab kepemimpinan
pernikahan pria Muslim dengan
terhadap
wanita ahlal-kitâb lebih dilakukan
wewenang dan fungsi pengarahan
berdasarkan
terhadap keluarga dan anak-anak.
kemaslahatan
(al-
Qaradhawi, 1995 : 587-598). Sejalan dengan itu, Qurais
istri,
serta
memiliki
Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka
para
ulama
cenderung
menegaskan
sepakat untuk melarang model
bahwa ahl al-kitâb yang boleh
pernikahan ini (Syaltut, 1959: 253).
dikawini adalah “al-muhṣanat min
Hal senada juga diungkapkan oleh
Shihab
36
menghormati
juga
Pernikahan Lintas Agama
Vol. II No. 01, Mei 20156
Hamka (HAMKA, 2003 : II, 260).
tersebut,
Umar
Shihab
Agaknya alasan ini pula yang
mengatakan
bahwa
keputusan
melatar
MUI
atas
belakangi
alasan
di
berdasarkan
pelarangan pernikahan perempuan
interpretasi dari QS. al-Maidah : 5.
muslim dengan laki-laki non-
Menurutnya,
muslim.
cenderung
relevan dengan konteks Indonesia,
lebih lemah di hadapan dominasi
sebagaimana Umar r.a. melarang
laki-laki dalam keluarga.
beberapa
Perempuan
Di
Indonesia
pernikahan
beda
mendapatkan
fatwa
sahabat
tersebut
mengawini
sendiri,
wanita ahl al-kitâb, juga sesuai
tidak
dengan konteks saat ia mejadi
ruang.
khalifah (Umar Shihab, 2005 :
agama
banyak
Majelis Ulama Indonesia pada 1
324). Penulis
Juni 1980 memfatwakan larangan
sendiri
pernikahan antar agama, baik pria
pandangan
maupun wanita termasuk pria
melarang
pernikahan
seorang
Muslim dengan wanita ahl al-
muslim
menikah
dengan
kitâb (MUI, 1991 : 91). Isi dari
perempuan ahl al-kitâb sebagai
fatwa
(1)
bagian dari dinamika hukum Islam
Muslimah
yang sesuai dengan konteks sosial
tersebut
pernikahan dengan
adalah:
wanita
laki-laki
non
Muslim
budaya
para
melihat
yang
ulama
sifatnya
yang
tidak
adalah haram hukumnya. (2) laki-
mengikat secara mutlak. Artinya,
laki
secara normatif naṣ Al-Qur`an
Muslim
diharamkan
mengawini wanita bukan Muslim.
yang
Tentang pernikahan antara laki-
dengan perempuan ahl al-kitâb
laki Muslim dengan wanita ahl al-
tetap dapat dipraktekkan dengan
kitâb. Setelah mempertimbangkan
melihat pertimbangan-pertimbangan
bahwa mafsadah lebih besar dari
tertentu, karena hukum asalnya
maṣlahatnya,
Ulama
seperti itu. Namun denikian, nilai-
Indonesia memfatwakan pernikahan
nilai kemaṣlahatan tetap harus
tersebut hukumnya haram. Fatwa
dikedepankan dalam masalah ini
tersebut
dikuatkan
karena tujuan dari agama itu
kembali pada 28 Juni tahun 2005
sendiri adalah untuk mewujudkan
tentang pernikahan beda agama.
kemaslahatan manusia di dunia
Terkait
dan
Majelis
kemudian
dengan
Pernikahan Lintas Aama
fatwa
MUI
membolehkan
di
akhirat,
pernikahan
sebagaimana
37
Vol. II No. 01, Mei 2016
asy-Syathibi.
hadis juga menegaskan bahwa
Menurutnya, bahwa semua aturan-
tidak selamanya kesahihan sanad
aturan
keagamaan
diciptakan
sejalan dengan kesahihan matan
dalam
rangka
merealisasikan
atau sebaliknya (al-Adlabi, t.th:
kemaslahatan manusia. Jika tujuan
354-355). Dalam kaitan ini, tidak
ini tidak dipenuhi, maka sama
jarang ulama menggunakan hadis
dengan
lâ
berstatus ḍa’îf namun ke-ḍa’îf-annya
yuṭâq (membebankan sesuatu yang
bukan karena perawi tertuduh
tidak
dusta.
dikatakan
oleh
taklîf
dapat
mâ
dilaksanakan),
itu,
sementara
dan ini tidak tidak mungkin terjadi
muḣaddîṡ dan ulama ada yang
pada hukum Allah (asy-Syathibi,
menolak hadis padahal sanadnya
t.th : II, 4).
ṣahîḣ, dan menerima hadis ḍa`îf
Sementara pernikahan
itu, antara
jika
disebabkan ada pesan kemanusiaan
laki-laki
dalam hadis tersebut (Al-Ghazali,
muslim dengan perempuan ahl alkitâb cenderung diperbolehkan,
1992 : 142).
antara
2. Pernikahan Muslim/Muslimah dengan Musyrik
perempuan muslim dengan laki-
Sebagaimanakita ketahui, secara
laki ahl al-kitâbcenderung tidak
jelas, ayat 221 surat al-Baqarah
diperbolehkan.
melarang secara eksplisit pernikahan
sebaliknya
berargumen
38
Sebab
pernikahan
Para
dengan
ulama Q.S.
al-
laki-laki dan perempuan muslim
Mumtahanah : 10, sebagaimana
menikahi
telah disinggung di atas. Selain
pemahaman terhadap ayat ini pula,
itu,
hampir tidak ada bukti historis yang
meskipun
hadis
yang
kaum
musyrik.
Dari
diriwayatkan oleh al-Thabari di
menyebutkan
atas
lintas dua komunitas ini pada
berstatus
ḍa’îf,
namun
adanya
pernikahan
demikian pengamalannya sudah
generasi
menjadi bagian dari kesepakatan
riwayat juga menegaskan bahwa para
para ulama. Hal ini bukanlah
sahabat telah memahami larangan ini
sesuatu yang aneh, karena sudah
dengan baik. Misalnya, riwayat
menjadi umum di kalangan ahli
tentang Ummu Sulaim yang telah
hadis untuk menerima riwayat
masuk Islam, menolak lamaran Abi
yang sejalan dengan praktek para
Thalhah yang masih musyrik, kecuali
ulama dalam sejarah. Para ahli
Abi
awal
Thalhah
Islam.
masuk
Beberapa
Islam,
Pernikahan Lintas Agama
Vol. II No. 01, Mei 20156
secagaimana diriwayatkan an-Nasa’i
Riwayat
semakna
memuat
(an-Nasa’i, 1995 : III, 113).
dialog saat Abi Thalhah melamar
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺤﻣﻤﺪ ﺑﻦ+ﻗﺎ
Ummu Sulaim (an-Nasa’i, 1995 :
ﺧﺮﺒﻧﺎ ﻗﺘﻴﺒﺔ
III, 113),
K ﻋﻦ ﻋﺒﺪﻪﻠِﻟ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦnﻣﻮ
+ ﻗﺎ/ ﺧﺮﺒﻧﺎ ﺤﻣﻤﺪ ﺑﻦ ﺠﺮﻀ ﺑﻦ ﻣﺴﺎ
ﺑﻮ ﻃﻠﺤﺔ3/ ﺗﺰ+ﻃﻠﺤﺔ ﻋﻦ ﻧﺲ ﻗﺎ
ﻧﺒﺄﻧﺎ ﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎ= ﻋﻦ ﺛﺎﺑﺖ
P ﺳﻠﻴﻢ ﻓﺎﻜ= ﺻﺪ ﻣﺎ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻹﺳﻼP
ﺳﻠﻴﻢP ﺧﻄﺐ ﺑﻮ ﻃﻠﺤﺔ+ﻋﻦ ﻧﺲ ﻗﺎ
ﻃﻠﺤﺔ ﻓﺨﻄﺒﻬﺎK ﺳﻠﻴﻢ ﻗﺒﻞP ﺳﻠﻤﺖ
bﷲ ﻣﺎ ﻣﺜﻠﻚ ﻳﺎ ﺑﺎ ﻃﻠﺤﺔ ﻳﺮ/ ﻓﻘﺎﻟﺖ
ﻗﺪ ﺳﻠﻤﺖ ﻓﺈ= ﺳﻠﻤﺖk ﻓﻘﺎﻟﺖ
ﻻ/ ﻣﺴﻠﻤﺔd ﻧﺎ ﻣﺮ/ ﻟﻜﻨﻚ ﺟﻞ ﺎﻛﻓﺮ/
ﻧﻜﺤﺘﻚ ﻓﺄﺳﻠﻢ ﻓﺎﻜ= ﺻﺪ ﻣﺎ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ
eﺟﻚ ﻓﺈ= ﺗﺴﻠﻢ ﻓﺬ/ﺤﻳﻞ ﻲﻟ = ﺗﺰ
Abu Thalhah mengawini Ummu Sulaim, sedangkan mahar di antara keduanya adalah Islam. Ummu Sulaim masuk Islam lebih dahulu sebelum Abi Thalhah, lalu Abi Thalhah meminang Ummu Sulaim. Tetapi Ummu Sulaim berkata: ‘sungguh aku telah masuk Islam, jika kau masuk Islam saya bersedia kamu nikahi’. AbiThalhah lalu masuk Islam, dan Islam menjadi mahar di antara 2 keduanya”.
ﻟﻚj = ﻓﺄﺳﻠﻢ ﻓﺎﻜkﻣﺎ ﺳﺄﻟﻚ ﻏﺮﻴ/ nﻣﻬﺮ ﻗﻂd ﺛﺎﺑﺖ ﻓﻤﺎ ﺳﻤﻌﺖ ﺑﺎﻣﺮ+ﻣﻬﺮﻫﺎﻗﺎ P ﺳﻠﻴﻢ ﻹﺳﻼP ﻣﻬﺮ ﻣﻦPﺎﻛﻧﺖ ﻛﺮ q rsﻓﺪﺧﻞ ﺑﻬﺎ ﻓﻮ Abi Thalhah meminang Ummu Sualaim, maka ia berkata: “Demi Allah,orang seperti Anda tidak pantas untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam, maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta yang selain dari itu.” Kemudaian Abi Thalhah masuk Islam dan itu menjadi maharnya, Tsabit berkata: “Aku belum penah mendengarr seorang wanita yang paling mulia dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam”.4
Hadis ini juga diriwayatkan oleh
ath-Thabarani
dengan
sanad dan matan yang sama namun
lebih
ringkas
(ath-
Thabarani, 1995, XXV: 105).3 2
Perawi hadis ini yaitu: 1. Anas bin Mâlik. 2. Abdullah bin Abdullah bin Abi Thalhah (w. 134 H), ṡiqah. 3. Muhammad bin Musa al-Fithri alMadani (w. ± 160-180 H), ṣadûq rumiya bi tasyayu’. 4. Qutaibah bin Sai`d bin Jamil al-Tsaqafi (w. 240 H), ṡiqah ṡabat. 5. An-Nasa’i. lihat: al-Mizzi, 1980, juz XV: 177-179; juz XXIII: 523-537; Juz XXVI: 523-534) 3 Sanad ath-Thabarani bertemu dengan sanad hadis riwayat an- Nasa’i pada Qutaibah bin Sa’id, sebab ath-Thabarani menerima dari Musa bin Hârun al-Bazza (w. 294 H). Berarti An-Nasa’i dan Musa menerima hadis ini langsung dari Qutaibah bin Sa`îd. Musa sendiri adalah al-imam al-ḣâfiẓ (al-Dzahabi, 1413 H, XII: 116-117).
Pernikahan Lintas Aama
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abd Razzaq (Abd Razzaq, 4
An-Nasa’i menerima hadis tersebut melalui perawi 4, Muhammad bin Nadhar al-Marwazi (w. 239 H) dari perawi 3, Ja`far bin Sulaiman al-Dhuba`i (w. 187 H) keduanya dinilai ṣadûq dari perawi 2, Tsabit bin Aslam al-Bunani (w. ± 123 H) dinilai ṡiqah dari perawi 1, Anas. (al-Mizzi, 1980, Juz IV: 342-349; Juz V: 43-49; Juz XXVI: 556).
39
Vol. II No. 01, Mei 2016
t.th : VI, 179), ath-Thabarani (ath-
Khuwailid yang lahir 10 tahun
Thabarani, 1995 : V, 90; XXV)
sebelum bi’ṡah.
dan Ibn Hibban (Ibn Hibban,
menikah dengan Abu al-’Ash ibn
1993 : XVI, 155) dengan matan
Rabi’, putra saudara Khadijah, Halah
yang mirip.
binti
kemudian
sebelum bi’ṡah.
Meskipun riwayat-riwayat di
Setelah Nabi saw diangkat menjadi
atas tidak disandarkan pada Nabi
Rasul, Zainab mengikuti agama
Muhammad saw., namun peristiwa
ayahnya, namun suaminya tidak
tersebut
marfû’ dan
mengikuti ajaran Nabi saw. Ketika
sebagai ta`kîd bagi QS. al-Baqarah :
Nabi saw hijrah ke Madinah,
221 yang mengharamkan muslim
Zainab
meninggakan
(pria maupun wanita) menikah
untuk
mengikuti
dengan orang musyrik. Dalam
sementara
kedua riwayat tersebut dijelaskan
tinggal di Makkah (al-Asqalani,
bahwa pernikahan antara Ummu
1995 : 207).
dihukumi
Sulaim dengan Abi Thalhah tidak
Abu
suaminya
Nabi
saw,
al-’Ash
tetap
Ketika terjadi peristiwa Perang
Abi
Badar (2 H), Abu al-’Ash ikut
Thalhah. Namun riwayat yang
berperang melawan kaum Muslim
pertama
dan menjaditawanan perang. Zainab
terjadi
sebelum
Islamnya
statusnya
dibanding dengan
lebih
kuat
riwayat
an-
kemudian
mengirimkan
kalung
Nasa’i yang kedua. Sebab riwayat
warisan Khadijah sebagai tebusan.
pertama termasuk hadits ṣahîḣ.
Karena kalung itu begitu sarat
Pernikahan terjadi pada masa awal
kenangan dalam hati Nabi saw,
penyiaran
Madinah.
beliau kemudian membebaskan Abu
Ummu Sulaim serta Abi Thalhah
al-’Ash tanpa tebusan, sehingga Abu
termasuk
al-’Ash dapat kembali ke Makkah
Islam
di
Muslim
awal
dari
(al-Asqalani, 1995 : 208). Pada tahun
komunitas Anṣâr. yang
6 H, sebelum Perjanjian Hudaibiyah,
menegaskan keharaman muslim
Abu al-’Ash melakukan perjalanan
menikah denga non-muslim adalah
dari Makkah ke Syam. Pada saat
kisah pernikahan putri Nabi saw,
mendekati Madinah, ia dihadang
Zainab
al-’Ash.
oleh sebagian kaum muslim untuk
Zainab merupakan putri pertama
diambil hartanya dan membunuh
Nabi saw. dengan Khadijah binti
dirinya. Mendengar hal tersebut,
Riwayat
40
Khuwailid
Ia
dengan
lain
Abu
Pernikahan Lintas Agama
Vol. II No. 01, Mei 20156
Hasan bin Ali, setelah 2 tahun”.5
Zainab memberikan perlindungan kepada Abu al-’Ash dan ia dapat
Hadis ini juga diriwayatkan
kembali ke Makkah. Setelah ia
oleh beberapa ahli hadis dengan
menuntaskan kewajibannya kepada
sedikit perbedaan matan. Menurut
orang-orang Makkah, ia memeluk
al-Hakim, dalam al-Mustadrak `alâ
Islam dan menyusul Zainab ke
Ṣaḣîḣain, status hadis ini adalah
Madinah (al-Asqalani, 1995 : 209).
ṣaḣîḣ menurut syarat Muslim (al-
Selanjutnya,
Hakim, 1990 : III, 741). Perbedaan
Rasulullah
mengembalikan
Zainab
saw
tersebut
kepada
berkaitan
dengan
Abu al-’Ash, sebagaimana terekam
bersatunya kembali Zainab dan Abi
dalam sebuah hadis riwayat Abû
al-‘Ash dengan akad nikah dan
Dâud dari Ibn Abbas (As-Sijistani,
mahar baru atau tidak. Riwayat di
2003 : 248):
atas menegaskan bahwa Zainab
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ ﺤﻣﻤﺪ ﺠﻔﻴﻲﻠ
dikembalikan ’Ash
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺤﻣﻤﺪ ﺑﻦ/ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺤﻣﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻠﻤﺔ
dengan
kepada
Abi
nikahnya
alyang
pertama, dan tidak mengadakan
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻠﻤﺔ ﻳﻌﻲﻨ ﺑﻦn ﻟﺮ/ﻋﻤﺮ
sesuatu atau syarat yang baru
ﻲﻠﻋ
(+/ﻷ
ﺑﻦ
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺤﻟﺴﻦ/
ﻟﻔﻀﻞ
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻳﺰﻳﺪ ﻤﻟﻌﻰﻨ ﻠﻛﻬﻢ ﻋﻦ ﺑﻦ ﺳﺤﻖ
Riwayat
ﺑﺎﺠﺎﻜ ini
ﺷﻴﺌﺎ
ﺤﻳﺪ
dikuatkan
)ﻟﻢ.
dengan
ﺑﻦ ﺤﻟﺼﻦﻴ ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔb/b ﻋﻦ ﷲ ﺻﻰﻠ+ ﺳﻮb +ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺎ} ﻗﺎ K ﺳﻠﻢ ﺑﻨﺘﻪ ﻳﻨﺐ ﺒﻟ/ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻟﻢ ﺤﻳﺪ ﺷﻴﺌﺎ+/ﻟﻌﺎ ﺑﺎﺠﺎﻜ ﻷ ﻲﻓ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺑﻌﺪ ﺳﺖ/ ﺤﻣﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ+ﻗﺎ ﺤﻟﺴﻦ ﺑﻦ ﻲﻠﻋ ﺑﻌﺪ ﺳﻨﺘﻦﻴ+ﻗﺎ/ ﺳﻨﻦﻴ “Rasulullah saw. mengembalikan anaknya; Zainab pada Abi al-’Ash dengan nikahnya yang pertama, dan tidak mengadakan sesuatu (nikah atau tidak menambah atas nikahnya itu sesuatu atau syarat yang baru).’ Berkata Muḣammad bin ‘Amar dalam hadisnya, (peristiwa itu) terjadi setelah 6 tahun, sedangkan menurut al-
Pernikahan Lintas Aama
5
Perawi hadis ini terdiri dari: 1, Ibn ‘Abbâs. 2, ‘Ikrimah 3, Abû Sulaimân Dâud binHusain alQursyi al-Umawî (w. 135 H), ṡiqah, kecuali bila ia menerima dari ‘Ikrimah. 4, Muhammad bin Ishâq (Ibn Ishâq w. 150/1 H), ṣadûq yudallis, dituduh tasyayyu’ atau qadariyyah. 5, 3 orang yang menerima dari Ibn Ishâq terdiri dari: (1) Muhammad bin Salamah al-Bâhilî (w. 191 H), ṣiqah; (2) Salamah bin al-Fadhal al-Abrasî (w. ± 190-200 H), ṣadûq kaṡîr khatâ` dan (3) Abû Khâlid Yazîd bin Hârun al-Sulamî (w. 206 H), ṡiqah, mutqin. 6, yang menerima dari mereka bertiga, juga 3 orang yaitu: (1) Abû Ja`far ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ali al-Nufailî (w. 234 H), ṡiqah, menerima dari Ibn Salamah; Abû Ghassân; Muhammad bin `Amar al-Râzî (w. 240/1 H), ṡiqah, menerima dari Ibn Fadhal dan al-Hasan bin `Ali al-Hudzli al-Hulwânî (w. 242 H), tsiqah, menerima dari Ibn Harun. 7. Abû Dâud menerima dari al-Nufailî, al-Râzî dan alHasan bin ‘Ali. (lihat, al-Mizzî, 1980, juz VI: 259-263; Juz VIII: 379-382; Juz XI: 305-308; Juz XVI: 88-92; Juz XXIV: 405-428; Juz XXV: 289-290; Juz XXVI: 199-200; Juz XXXII: 261269).
41
Vol. II No. 01, Mei 2016
riwayat
at-Turmudzi
yang
ini
ḍa’îf,
menggunakan redaksi ﻟﻢ ﺤﻳﺪ ﻧﻜﺎﺣﺎ
sekalipun sebagian para ahli lebih
(at-Turmudzi, 2003, II: 376). Begitu
mengamalkan
pula
Sebenarnya
riwayat
Ibnu
Majah
hadis ada
ini.
perbedaan
menggunakan redaksi +/ﺑﻨﺎﻜﺣﻬﺎ ﻷ
masalah waktu kembalinya Zainab
(Ibn Majah, 2004 : I, 630).
kepada Abu al-‘Ash, namun tidak
Tiga riwayat di atas, juga kontradiktif
dengan
hadits
mengenai kembalinya Abu al’Ash pada Zainab dalam satu rumah tangga melalui mahar yang
akan dibahas dalam artikel ini karena perbedaan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap inti bahasan
dari
riwayat-riwayat
di atas.
baru ( )ﺑﻤﻬﺮ ﺟﺪﻳﺪdan pernikahan
Meskipun ada perbedaan dalam
yang baru (ﻧﻜﺎ ﺟﺪﻳﺪ/) seperti
riwayat pernikahan Zainab dan Abu
riwayat
at-Turmudzi
dari
Ibn‘Amar (w. 65 H). Dalam beberapa riwayat, terdapat matan
al-‘Ash, namun ada benang merah yang dapat kita pahami bahwa perkawinan beda agama tersebut
ﺑﻨﺎﻜ ﺟﺪﻳﺪsebagai ganti dari matan
terjadi sebelum Islam. Islam lalu
ﺟﺪﻳﺪ
memberi
ﻧﻜﺎ/
dengan
tanpa
menyebutkan penggalan matan ( ﺑﻤﻬﺮ ﺟﺪﻳﺪLihat, Ibnu Majah, 2004 : I, 630; al-Ṣan’ânî, 1403 : VII, 171; ath-Thabarani, 1983 : XIX, 202; ad-Daraquthnî, 1966 : III, 253; al-Hakim, 1990 : III, 741). Namun semua riwayat tersebut bersumber
dari
Ibn
Riwayat at-Turmudzi
‘Amar. dimaksud
bermasalah bila dibanding dengan hadis
sebelumnya,
tentang
kembalinya Zainab dan Abu al‘Ash tanpa ada nikah yang baru, atau
dengan
nikah
pertama
mereka. Karena itu, hadits tentang
42
adanya nikah baru
batasan
dengan
mengharamkan jenis perkawinan tersebut. Akhirnya Zainab dan Abu al-‘Ash berpisah dan dapat bersatu kembali setelah al-‘Ash masuk Islam. Dari riwayat mengenai Ummu Sulaim dan Abi Thalhah, Zainab dan Abu al-‘Ash di atas, kita dapat mengambil
kesimpulan
bahwa
secara historis pernikahan antara orang Islam dengan orang musyrik, baik laki-laki maupun perempuan, tidak pernah dilakukan pada masa awal Islam. Hal ini tidak terlepas dari perbedaan yang sangat besar
Pernikahan Lintas Agama
Vol. II No. 01, Mei 20156
mengenai konsep pernikahan yang
dari berbagai riwayat hadits, dapat
ada
didapatkan
dalam
Islam
dan
tradisi
informasi
bahwa
pernikahan di kalangan musyrik.
pernikahan antar agama, antara laki-
Sebagaimana
dalam
laki dan perempuan muslim dengan
dari
non-muslim dari kalangan musyrik,
‘Aisyah, terdapat beberapa model
tidak memiliki landasan yang kuat
pernikahan zaman Jahiliyah: (1)
tentang kebolehannya, juga tidak
pernikahan sebgaimana pernikahan
ada informasi bahwa para sahabat
dalam
pernah
hadis
disebutkan
riwayat
Islam;
al-Bukhari
(2)
pernikahan
melaksanakan
istibḍa’; lelaki menikahi wanita lalu
pernikahan
ia juga membiarkannya digauli
pernikahan antara muslim dengan
lelaki
memperoleh
kalangan ahl al-kitâb memiliki
keturunan yangbaik; (3) seorang
konskuensi hukum yang berbeda.
wanita digauli sekitar 10 orang.
Beberapa
sahabat
Ketika wanita tersebut hamil, ia
melakukan
pernikahan
yang menentukan salah satu di
perempuan ahl al-kitâb, namun
antara 10 lelaki yang menggaulinya
tidak
tersebut, menjadi ayah dari anak
menunjukkan adanya perempuan
yang dikandungnya; (4) pernikahan
muslimah yang menikahi laki-laki
dengan wanita tuna susila (al-
dari golongan ahl al-kitâb. Dari sini
Bukhari, 1994 : III, 262-263) konsep
dapat
pernikahan
kemungkinan
lain,
untuk
yang
tidak
ini.
model
ada
Sementara
laki-laki dengan
informasi
disimpulkan
bahwa
yang
ada
diperbolehkannya
mengindahkan nilai-nilai religi dan
pernikahan antar agama, yaitu antara
moral
inilah
yang
agaknya
laki-laki dengan perempuan ahl al-
Islam
untuk
kitâb. Namun demikian, model
memberikan izin kepada umat Islam
pernikahan seperti ini harus juga
untuk
mempertimbangkan
menghalangi
menikahi
orang-orang
musyrik. C. Simpulan Dari penjelasan di atas, dapat
aspek-aspek
lainnya, terutama kemaṣlahatan di anatara kedua belah pihak. ***
disimpulkan bahwa secara historis,
Pernikahan Lintas Aama
43
Vol. II No. 01, Mei 2016
DAFTAR PUSTAKA al-Adlabi, Shalahuddin bin Ahmad. t.th. Manhaj Naqad al-Matan ‘inda ‘Ulamâ` al-Hadîts an-Nabawî. Beirut : Dâr al-Afâq al-Jadîdah, al-A’zhami, Muhammad Musfata. 1982. Manhaj an-Naqad ‘inda alMuhaddîtsîn; Nasy`atuhu wa Târîkhuhu. Riyâdh : Syirkah alThaba`ah al-`Arabiyyah alSa`ûdiyyah. Anis, Ibrahim dkk. t.th. Mu`jam alWasîṭ. Juz I-II. Cairo : tp, cet II. al-Asfihani, Râghib. t.th. Mu`jam Mufradât alfâẓ al-Qur’ân. Diedit oleh Nadîm Mar`asylî. Beirut : Dâr alFikr. al-‘Asqalani, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar; Ibn Hajar. t. th. ad-Dirâyah fî Takhrîj Ahâdits al-Hidâyah. Beirut : Dâr alMa`rifah. al-Bazzar, Abu Bakar bin Ahmad. 1409 H. Musnad al-Bazzâr. Juz IV. Madinah : Maktabah `Ulûm wa alḢikam. al-Bukhari, Muhammad bin Isma`il. 1994. Ṣahîh al-Bukhâri bî Hâsyiah alSindî. Juz I-IV. Beirut : Dâr al-Fikr. al-Busti, Muhammad bin Hibban. 1993. Ṣahîh Ibn Hibbân. Juz I, IV, VI, XI, XVI. Beirut : Mu’assasah al-Risâlah. al-Ghazali, Muhammad. 1992. asSunnah al-Nabawiyyah baina Ahl alFiqh wa Ahl al-Hadîts. Cairo : Dâr alSyurûq. al-Hakim, Muhammad bin Abdullah alNaisâbûr. 1990. al-Mustadrak `alâ Ṣahîhain. Juz I-IV. Beirut : Dâr alKutub al-`Ilmiyyah. Hamka. 2003. Tafsir Al-Azhar. Singapura : Pustaka Nasional Pte. Ltd. Hidayat, Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis. 1995. Agama Masa
44
Depan Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta : Paramadina. Ibn Katsir, Ismail bin Umar al-Dimasyqi. 1401 H. Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm. Juz I-IV. Beirut : Dâr al-Fikr. Ibn Qudamah, Abdullah bin Ahmad alMaqdisi. 1405 H/1985 H. al-Mughni `alâ Mukhtaṣar al-Kharqî. Juz I, VIX. Beirut : Dâr al-Fikr. al-Mizzi, Abu Hajjaj Yusuf bin Zaki. 1980. Tahdzîb al-Kamâl. Beirut : Muassasah al-Risâlah. MUI. 1991. Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta : Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal. al-Nasa’i, Ahmad bin Syu’aib. 1999. Sunan al-Mujtabâ lî an-Nasâ’i bî Syarh as-Suyuthî wa Hâsiyah asSindî. Jilid I-IV (Vol I-VIII). Beirut : Dâr al-Fikr. ________. 1991. Sunan al-Kubrâ. Juz VI. Beirut : Dâr Kutub al-`Ilmiyyah. al-Qaradhawi, Yusuf. 1995. Hadyu alIslâm Fatâwi al-Mu`âṣirah. Terjemahan oleh As`ad Yasin berjudul Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jilid I-II. Jakarta : GIP. al-Qizwini, Abu‘Abdillah Muhammad bin Yazid. 2004. Sunan Ibnu Majah. Juz I-II. Diedit oleh Ṣidqi Jamil alAthhâr. Beirut : Dâr al-Fikr. al-Qurthubi, Abû `Abdillah Muhammad bin Ahmad. 1372 H. al-Jâmi` lî Ahkâm al-Qur’ân / Tafsir alQurthubi. Cairo : Dar Sya`ab. Shihab, Alwi. 1997. Islam Inklusif. Bandung : Mizan. Shihab, M. Quraiṣ. 1996. Wawasan alQuran. Bandung : Mizan. Shihab, `Umar. 2005. Kontekstualitas Al-Qur`an. Jakarta : Pena Madani. Pernikahan Lintas Agama
Vol. II No. 01, Mei 20156
Subhani, Ja’far. 1996. The Message. Terjemahan Muhammad Hâsyim dan Meth Kie Raha dengan judul Ar-Risalah; Sejarah Kehidupan Rasulullah saw. Jakarta : Lentera. al-Sijistani, Sulaiman bin Asy`ats. 2003. Sunan Abî Dâud. Juz I-IV. Beirut : Dâr al-Fikr. al-Syafi’i, Muhammad bin Idrîs. 1393 H/ 1973 M. al-Umm. Juz II, IV, VI-VII. Beirut : Dâr al-Ma`rifah.
al-Syaukani, Muhammad bin `Ali. t.th. Fath al-Qadîr. Beirut : Dâr al-Fikr. ath-Thabarani, Abû Qâsim Sulaimân bin Ahmad. 1415 H/ 1995 M. Mu`jam alAusath. Cairo : Dâr al-Harâmain. al-Thabari, Abû Ja`far; Muhammad bin Jarîr. 1405 H. Tafsîr ath-Thabari. Beirut : Dâr al-Fikr. Tim Penyusun. 1996. Suplemen Ensiklopedi Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Syaltut, Mahmud. 1959. Min Taujihat al-Islam. Kairo : Al-Idarat al‘Ammah li Al-Azhar.
at-Turmudzi, Muhammad bin ‘Isa. 2003. Sunan at-Turmudzi. Juz I-V. Beirut : Dâr al-Fikr.
asy-Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi. t.th. al-Muwafaqât fî Uṣûl asy-Syarî`ah. Juz IV. Beirut : Dâr al-Ma`rifah.
Ya’qub, Ali Mustafa. 2005. Nikah Beda Agama; dalam Perspektif Al-Quran dan Hadîs. Jakarta : Dâr al-Sunnah.
Pernikahan Lintas Aama
45
Vol. II No. 01, Mei 2016
46
Pernikahan Lintas Agama