el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
TAFSIR AYAT PERNIKAHAN BEDA AGAMA Asyhari
ABSTRAK Hukum pernikahan beda agama sesungguhnya telah terang status hukumnya, karena telah ada nash yang menjelaskan hal tersebut, baik dari al Qur‟an maupun Hadits. Sehingga sebenarnya pembahasan ini sudah tidak begitu relefan lagi. Namun seiring dengan munculnya metode penafsiran baru “hermeneutika”, maka penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat pernikahan beda agama menurut sebagian cendekiawan muslim kontemporer perlu dilakukan reinterpretasi, agar sejalan dengan perkembangan zaman dan prinsip-prinsip humanism dan hak asasi manusia. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pencerahan kembali tentang tafsir ayat-ayat pernikahan beda agama. Sehingga para pembaca dapat memperbandingkannya dengan penafsiran kontemporer tentang ayat-ayat tersebut dan mendapatkan gambaran yang komprehensif dan obyektif tentang duduk persoalan hukum pernikahan beda agama. Kata kunci: Nikah beda agama, tafsir, dakwah
Pendahuluan Pernikahan beda agama biasanya didasarkan pada Q.S al-Baqarah: 221, Q.S al-Maidah: 5 dan Q.S Mumtah}anah: 10. Karena itu, ketiga ayat tersebut akan menjadi fokus penelitian dan dianalisa dari sisi unsur dakwah yang terkandung dan diisyaratkan oleh ayat tersebut. Namun pembahasan tentang perdebatan seputar penafsiran ayat tersebut yang berujung pada perdebatan tentang nikah beda agama perlu dibahas terlebih dahulu. Sebab disinyalir wacanawacana kontemporer liberal yang cendereng mereduksi penafsiran klasik dianggap kontradiksi dengan konsep-konsep dakwah dalam syari‟at pernikahan itu sendiri. 1
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Setidaknya ada dua kelompok yang saling berseberangan dalam melakukan interpretasi terhadap tafsir ayat nikah beda agama; kelompok tradisional dan liberal. Para ulama tafsir tradisional cenderung menafsirkan ayat-ayat tersebut secara tekstual, berdasarkan makna literal teks. Sedangkan kelompok liberal cenderung pada penafsiran kontekstual, sehingga menghasilkan penafsiran yang cenderung lebih longgar dalam permasalahan nikah beda agama.
Pembahasan Berdasarkan ayat-ayat nikah beda agama di atas, pembahasan tentang pernikahan beda agama dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, pernikahan seorang muslim dengan musyrik, pernikahan seorang muslim dengan ahl alkita>b dan pernikahan seorang perempuan muslimah dengan non muslim (ahl alkita>b/ non ahl al-kita>b). 1. Pernikahan antara seorang muslim dengan seorang kafir musyrik Pernikahan antara seorang muslim dengan kafir musyrik dijelaskan dalam Q.S al-Baqarah: 221, Allah ta‟ala berfirman:
ث َحخًَّ َُؤْ ِم َّه َوأل َ َمتٌ ُمؤْ ِمىَتٌ َخُ ٌْش ِم ْه ُم ْش ِش َم ٍت ِ َوالَ حَ ْى ِن ُحىا ْاى ُم ْش ِش َمب َوىَ ْى أَ ْع َجبَخْ ُن ْم َوالَ ح ُ ْى ِن ُحىا ْاى ُم ْش ِش ِمُهَ َحخًَّ َُؤْ ِمىُىا َوىَ َع ْبذٌ ُمؤْ ِم ٌه َخُ ٌْش ًَعى إِى ُ بس َوهللاُ ََ ْذ ُ ِم ْه ُم ْش ِشكٍ َوىَ ْى أَ ْع َجبَ ُن ْم أُوىَئِ َل ََ ْذ ِ َّعىنَ إِىًَ اىى َبس ىَعَيَّ ُه ْم ََخَزَ َّم ُشون ِ َّْاى َجىَّ ِت َو ْاى َم ْغ ِف َش ِة ِبئِ ْروِ ِه َوَُبَ ُِّ ُه َءا ََبحِ ِه ِىيى “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuanperempuan mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan 2
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. Para ulama tradisionalis menyepakati (ijma') keharaman pernikahan antara seorang muslim dengan orang-orang kafir musyrik. Kesepakatan tersebut berdasarkan firman Allah ta'ala dalam Q.S al-Baqarah: 221 di atas. Dalam ayat tersebut dijelaskan, bahwa umat Islam secara mutlak tidak boleh menikahi dengan perempuan musyrikah dan tidak boleh menikahkan perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik. Alasan pengharaman tersebut sebagaimana dijelaskan pada kalimat ayat selanjutnya adalah karena orang-orang musyrik itu hanya akan mengajak manusia terjerumus ke dalam neraka. Ketika menjelaskan ayat di atas, al-Zamakhsyari> menyatakan bahwa yang dimaksud al-musyrika>t adalah al-h}arbiyya>t, yakni musyrik dalam kategori kafir h}arbi>. Namun, ia juga menyebutkan pendapat lain yang mamasukkan ahl al-kita>b. Karena menurut mereka, ahl al-kita>b juga termasuk musyrik berdasarkan Q.S. al-Taubah: 30 dan 31.
بسي ْاى َمسُِ ُح اب ُْه هللاِ رَ ِى َل ِ َعزَ َ ٌْش اب ُْه هللاِ َوقَبى ِ ََوقَبى ُ ُج ْاىَُ ُهىد َ َّج اىى َ ص ًَّضب ِهئُىنَ قَ ْى َه اىَّزَِهَ َمفَ ُشوا ِم ْه قَ ْب ُو قَبحَيَ ُه ُم هللاُ أَو َ َُ قَ ْىىُ ُه ْم ِبأ َ ْف َىا ِه ِه ْم ُون هللاِ َو ْاى َمسُِ َح َ َاح َّ َخزُوا أَ ْحب. ََُؤْ فَ ُنىن ِ بس ُه ْم َو ُس ْهبَبوَ ُه ْم أ َ ْسبَببًب ِم ْه د ُس ْب َحبوَه ِ ابْهَ َم ْش ََ َم َو َمب أ ُ ِم ُشوا إِالَّ ِى َُ ْعبُذُوا ِإىَ ًهب َو ُ احذًا الَ ِإىَهَ إِالَّ ُه َى َع َّمب َُ ْش ِش ُمىن َ "Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "al- masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib 3
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) almasih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan". Akan tetapi menurutnya, ayat-ayat tersebut telah di-nasakh oleh Q.S. al-Maidah: 5 yang membolehkan seorang muslim menikahi perempuan ahl al-kita>b. Dalam hal ini, ia menyitir pendapat Ibn „Abba>s dan al-Auza‟i>.1 Dan ketika sampai pada redaksi “wa la-amatun mu'minah” dan “wa la'abdun mu'min”, ia mempunyai penjelasan yang berbeda dengan para mufassir lainnya, yang menurutnya kata “amah dan „abd” dalam ayat tersebut bukanlah budak, melainkan manusia yang merdeka. Karena setiap manusia adalah amah dan „abd Allah. Sehingga, ketika menafsirkan ayat tersebut, ia tidak membandingkan orang musyrik dengan budak, melainkan dengan orang-orang beriman, di dalam menilai kelayakan suatu perkawinan.2 Dan berdasarkan ayat tersebut, perkawinan dengan orang musyrik jelas-jelas dilarang, karena mereka akan membawa pengaruh negatif yang dapat menjerumuskan ke neraka.3 Namun pendapat sebagaimana dipaparkan di atas ditolak oleh kalangan Islam liberal. Menurut mereka kata al-musyrika>t dalam ayat tersebut yang haram untuk dinikahi, itu menunjuk pada barang atau komunitas tertentu (al-ma‟rifah) dan bukan nakirah yang berarti umum. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa almusyrika>t adalah kategori sosial, bukan hanya persoalan teologi yang berarti 1
al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f „an Haqa>iq Ghawa>mid al-Tanzi>l wa „Uyu>n alAqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta‟wi>l, Jilid. I, Cet. I, ( Beirut Da>r al-Kutub al-„Ilmiyah, 1995), h. 261. 2 al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f „an Haqa>iq Ghawa>mid al-Tanzi>l wa „Uyu>n alAqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta‟wi>l, Jilid. I/261. 3 al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f „an Haqa>iq Ghawa>mid al-Tanzi>l wa „Uyu>n alAqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta‟wi>l, Jilid. I/261.
4
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
orang yang tidak bertuhan, atau seseorang yang menyekutukan Allah, seperti yang dipahami oleh kelompok tradisionalis. Atas dasar alasan di atas Nuryamin berpendapat bahwa orang musyrik yang disinggung dalam ayat itu merupakan gambaran orang-orang Quraisy Mekkah yang sangat agitatif terhadap komunitas umat Islam yang saat itu baru terbentuk. Menurutnya apabila begitu sengit permusuhannya terhadap Islam, maka bagaimana mungkin mereka dijadikan sebagai pasangan hidup.4 Dengan demikian, konteks permusuhan kaum musyrik itulah yang saat itu dikhawatirkan akan menghancurkan harapan-harapan suci pernikahan yang biasa disebut sebagai mi>tsa>qan ghali>dza> (penambat yang kokoh). Oleh sebab itu, persoalan kafa>‟ah (kesetaraan,) atau kesamaan dalam agama bagi pasangan yang mau menikah juga ditekankan dalam jurisprudensi Islam klasik. Argumen seperti inilah yang kemudian melahirkan keputusan hukum kelompok liberal bahwa pernikahan beda agama, dengan pengertian menikah dengan non muslim selain ahl al-kitab diperbolehkan secara mutlak. Seorang lakilaki muslim laki-laki muslim boleh menikah dengan semua non muslim, meskipun secara aqidah mereka tergolong sebagai musyrik. Sebab konteks ayat tersebut berbeda dengan kelompok non muslim pada masa sekarang ini. Pendapat seperti ini menurut hemat penulis kurang tepat, sebab larangan pernikahan beda agama dalam al-Qur‟an bukan hanya disebutkan di satu tempat. Tetapi juga disebutkan dalam ayat-ayat yang lain. Bahkan dalam Q. S alMumtahan}ah: 10, Allah ta‟ala berfirman:
4
wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan Nuryamin Aini, pengajar fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah dan peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) UIN Jakarta pada Kamis, 19 Juni 2003. www.islam.lib.com
5
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
ٍ ع ِي ْمخ ُ ُمى ُه َّه ُمؤْ ِمىَب بس الَ ُه َّه ِح ٌّو ىَ ُه ْم َ فَئِ ْن ِ َّث فَ ََل ح َ ْش ِجعُى ُه َّه ِإىًَ ْاى ُنف ََوالَ ُه ْم ََ ِحيُّىن “Jika kalian mengetahui mereka (para perempuan itu) beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang (suami-suami mereka) yang kafir. Mereka (para wanit itu) tidak halal baginya, dan dia tidak halal bagi mereka.” Ayat ini dengan sangat jelas menegaskan keharaman seorang laki-laki muslim menikah dengan orang kafir, demikian juga sebaliknya seorang muslimah haram menikah dengan orang kafir. Al-Raz>iy menilai bahwa term musyrik, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat al-Qur‟a>n, tidak sepatutnya ditinjau dari sisi kebahasaan, karena ia merupakan istilah tertentu yang ditunjukkan oleh syara‟ yang memuat suatu kriteria khusus, sebagaimana ditunjukkan oleh syara‟ itu sendiri. Di samping itu, al-Ra>zi>y lebih condong pada kaedah yang dipakai oleh jumhur ulama tentang hukum asal perkawinan "al-aslu fi al-abda> al-hurmah ", "Pada dasarnya abda>‟ itu haram".5 Dengan demikian, tampaknya pendapat yang dipegang oleh alRa>ziy> tidak jauh berbeda dengan mayoritas ulama, yakni bahwa pada dasarnya kawin dengan non muslim, selain ahl al-kita>b, adalah tidak diperbolehkan.6 Sementara Ibn Katsir, ia menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ahl al-kita>b adalah termasuk musyrik, namun dikecualikan oleh Q.S. al-Maidah: 5
Kata abda>‟, adalah bentuk jamak dari Bud', yang berarti “kemaluan perempuan”. ini merupakan kina>yah, yang dalam istilah balaghah termasuk dalam kategori “min itla>q al-mal wa ira>dah al-l”. Jadi yang dimaksud adalah pemanfaatannya, bukanlah bendanya. Tentang kaedah tersebut, lihat Abu> „Abdilla>h, Muhammad ibn Baha>dir ibn „Abdilla>h al-Zarkasyi>, al-Mantsu>r fi> al-Qawa>‟id, , Muhaqqiq Taisi>r Fa>iq A. Mahmu>d, Cet. II, (Kuwait Wiza>rah al-Auqa>f wa al-Su‟u>n al-Isla>miyah, 1405 H), Juz. 2, h. 347.disebutkan dalam redaksi "al-aslu fi al-abda> huwa al-hurmah" 6 Muhammad Fakhr al-Di>n ibn Diya> al-Di>n „Umar al-Ra>zi>, Mafa>tih al-Ghaib, Jld. III, h.61-62.
6
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
5, sehingga hewan sembelihannya dapat dimakan oleh orang Islam, demikian juga dengan para perempuannya nya dapat dinikahi.7 Dalam hal ini, Ibn Katsi>r yang memberlakukan hukum ayat tersebut secara umum, kendati ia turun dengan sabab al-nuzu>l.8 2. Pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitab Pernikahan seorang laki-laki muslim dengan perempuan kafir ahl al-kitab dijelaskan dalam Q.S al-Maidah: 5, Allah ta‟ala berfirman:
بة ِ صىَبثُ ِمهَ ْاى ُمؤْ ِمىَب َ َصىَبثُ ِمهَ اىَّزَِهَ أُوحُىا ْاى ِنخ َ ث َو ْاى ُم ْح َ َو ْاى ُم ْح َ َص ِىُه سب ِف ِحُهَ َو َال ِ ىس ُه َّه ُم ْح َ غُ َْش ُم َ ِم ْه قَ ْب ِي ُن ْم ِإرَا َءاحَ ُْخ ُ ُمى ُه َّه أ ُ ُج َ بن فَقَ ْذ َح ِب ِع َميُهُ َو ُه َى فٍِ ْاِ ِخ َشة َ ط ٍ َُمخ َّ ِخزٌِ أَ ْخذ ِ ْ ان َو َم ْه ََ ْنفُ ْش ِب ِ بْلَ َم َِمهَ ْاىخَب ِس ِشَه ”(dan dihalalkan mangawini) perempuan yang menjaga kehormatan diantara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”. Berdasarkan ayat di atas mayoritas para ulama berpendapat bolehnya pernikahan antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kita>b. Dan sebagaimana dijelaskan pada pembahasan tentang ahl al-kita>b pada awal pembahasan ini, bahwa ahl al-kitab dalam ayat ini juga terbatas pada Yahudi dan Nasrani saja. Tidak masuk ke dalamnya perempuan non Islam lainnya seperti Majusi. Karena Majusi meskipun disamakan dengan ahl al-kita>b dalam masalah 7
Ibn Katsi>r Abu> al-Fida>‟ al-Dimasyqi>, Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>m, Juz. 1, h.347. Ibn Katsi>r Abu> al-Fida>‟ al-Dimasyqi>, Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>m, Juz. 4, h. 449
8
7
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
jizyah, tetapi dalam permasalahan nikah dan sembelihan tetap diharamkan seperti orang-orang kafir lainnya. Dalam hadits ditegaskan bahwa Rasulullah – s}allallahu „alaihi wasallam- bersabda:
سىىا بهم )أٌ اىمجىس(سىت أهو اىنخبة غُش وبمحٍ وسبئهم وال ءآميٍ رببئحهم "Samakanlah orang-orang Majusi dengan ahl al-kita>b selain menikahi perempuan-perempuannya dan tidak pula memakan sembelihansembelihan mereka" 9 Menurut Imam Syafi'i –rad}iyallahu ‟anhu- perempuan ahl al-kita>b yang dimaksud (yang boleh dinikahi) adalah mereka yang memang memiliki nenek moyang Yahudi sebelum diutusnya Nabi Isa dan yang memiliki nenek moyang Nasrani sebelum diutusnya Nabi Muhammad –s}allallahu 'alaihi wasallam-. Sebagian ulama melarang laki-laki muslim menikahi seorang perempuan ahl alKita>b karena memang menganggapnya haram dan sebagian lagi melarang dalam artian menganjurkan dan menasehatkan (min ba>b al-nas}i>h}ah wa al-tauji>h wa al-irsya>d) agar tidak melakukan hal itu lebih karena alasan kemaslahatan. Mereka menganggap pernikahan semacam ini sedikit banyak akan membawa bahaya dan yang lebih besar maslahatnya adalah menghindari model pernikahan semacam ini. Ketika menjelaskan ayat di atas, al-T}abari menyatakan bahwa ahl alkita>b (Yahudi-Nasrani) yang hewan sembelihannya boleh dimakan, dan dapat dinikahi orang Islam, adalah mereka yang menjalankan agama Yahudi atau Nasrani dengan berpegang pada kitab Taura>t atau Inji>l yang diturunkan kepada 9
Hadits diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu'bu al-iman. Lihat Syekh Muhammad al Huut al Beiruti, Mukhtashar al-Badr al Munir Fi Takhrij Ahaadits asy-Syarh al-Kabiir Li Ibn al Mulaqqin, h. 205
8
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
mereka. al-Thabari> memilih untuk meluaskan cakupan ahl al-kita>b; bukan hanya dari bani Isra‟il, melainkan siapa saja yang beragama Yahudi atau Nasrani dan menjalankan aturan-aturan yang ada dalam kedua kitab mereka (Taura>t dan Inji>l). Kendati secara essensial, pendapatnya tampak serupa dengan „Ata> ibn Abi> Raba>h dan al-Sya>fi‟i> yang menyempitkan cakupan ahl al-kita>b.10 Sementara al-Zamakhsyari> menegaskan bahwa, perempuan ahl al-kita>b yang dapat dikawini adalah penganut Yahudi dan Nasrani, kendati di kalangan sahabat, masih terdapat perdebatan tentang Nasrani Arab. Lebih lanjut, alZamakhsyari> menjelaskan bahwa, Abu> Hanifah memasukkan penganut Sabian dalam kelompok ahl al-kita>b, walaupun pendapat ini tidak didukung oleh sebagian muridnya.11 Hal ini bebeda dengan Majusi, yang menurut alZamakhsyari> mendapat perlakuan berbeda, yakni mereka diperlakukan seperti ahl al-kita>b dalam masalah pembayaran pajak. Akan tetapi, makanan mereka tidaklah halal bagi orang Islam.12 Menurut Imam al-Syirazi>, seorang Muslim diharamkan untuk menikahi seorang perempuan kaum kafir yang tidak memiliki “kitab”, seperti kaum pagan, juga orang-orang murtad dari Islam.13 Selain Yahudi dan Nasrani, seperti orangorang yang beriman kepada kitab Zabur nabi Dawud dan Shuhuf nabi Syi>ts,
10
Abu> Bakr Abd al-Razza>q ibn Hamma>m al-San‟ani>, Musannaf Abd al-Razza>q,, Cet. III, (Beirut al-Maktab al-Isla>mi>, 1403 H), Juz. 7, h. 187. 11 Al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f „an Haqa>iq Ghawa>mid al-Tanzi>l wa „Uyu>n alAqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta‟wi>l, Jilid. I, h.595. 12 Al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f „an Haqa>iq Ghawa>mid al-Tanzi>l wa „Uyu>n alAqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta‟wi>l, Jilid. I, h.595-596. 13 Syeikh Imam Abu Isha>q Ibrahim ibn „Ali ibn Yusuf al-Fayru>z Aba>di> al-Syi>ra>zi>, al-Muhadzdzab fi> Fiqh al-Ima>m al-Sya>fi„i>, (Beirut-Lebanon Dar al-Fikr, ttp.), h.2 44
9
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015 maka hukumnya “tidak halal” bagi seorang Muslim untuk menikahi perempuanperempuan merdeka mereka, juga budak-budaknya.14 Secara lahiriyah, seakan-akan ada pertentangan antara Q.S al-Ma>idah: 5 yang menjelaskan kebolehan seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahl al-kitab, dengan Q.S al-Baqarah: 221 yang menjelaskan keharaman nikah seorang muslim dengan orang musyrik. Namun pertentangan dalam al-Qur'an jelas sesuatu yang tidak mungkin, karena itu bagi para ulama yang menerapkan takhsi>s, memandang bahwa Q.S. al-Baqarah: 221 bermuatan umum dan mencakup semua jenis syirik, namun kemudian sebagian materinya dikeluarkan oleh Q.S al-Maida>h: 5. Dengan demikian, kendati ahl al-kita>b telah melakukan perbuatan syirik, akan tetapi para perempuannya boleh dikawini oleh umat Islam.15 Dalam hal ini terdapat riwayat, sebagaimana disampaikan dari Nu‟ma>n ibn Mundzir dari Makhu>l bahwa, setelah turunnya Q.S al-Baqarah: 221, para sahabat tidak berani melakukan perkawinan dengan perempuan musyrik, sampai akhirnya turunlah Q.S al-Maidah: 5, yang memperbolehkan perempuanperempuan ahl al-kita>b untuk dinikahi. Dalam hal ini Makhu>l mengatakan: “Janganlah kalian menikahi perempuan Majusi, baik merdeka, budak, di rumah, maupun di waktu perang, sehingga mereka masuk Islam. Karena sesungguhnya Allah telah mengharamkan perempuan-perempuan musyrik dalam surat al-Baqarah, kemudian Allah memberi kemurahan/anugerah kepada umat Islam dalam surat al-Ma>‟idah, maka 14
Syeikh Imam Abu Isha>q Ibrahim ibn „Ali ibn Yusuf al-Fayru>z Aba>di> al-Syi>ra>zi>, al-Muhadzdzab fi> Fiqh al-Ima>m al-Sya>fi„i>, (Beirut-Lebanon Dar al-Fikr, ttp.),h. 2 44 15 Ibn Katsi>r, Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>m, Juz. 1, h.347. Lihat juga al-Qurtubi>, alJa>mi‟ Li Ahka>m al-Qur‟a>n, Juz. 3, h.64. Bandingkan dengan al-Thabari>, Ja>mi‟ al-Baya>n „an Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 2, h.388.
10
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
dihalalkan bagi mereka perempuan-perempuan Yahudi dan Nasrani, dan yang lain ditinggalkan (tidak dihalalkan)”. 16 Hal ini merupakan sebuah indikasi bahwa, sebenarnya ahl al-kita>b juga termasuk musyrik. Buktinya, para sahabat tidak berani mengawini mereka setelah turunnya Q.S al-Baqarah: 221 tersebut, karena mereka meyakini bahwa, ahl alkita>b termasuk orang musyrik. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa sebagian materi Q.S. alBaqarah: 221 telah dinasakh oleh Q.S. al-Maidah: 5.17 Namun jika dicermati, antara takhsi>s dan nasakh pada sebagian keumuman ayat, tidaklah berbeda. Karena nasakh dalam kategori ini, tidak dapat menghapus/menyalin muatan mansukh-nya secara keseluruhan, melainkan hanya sebagian saja. Dengan demikian, hasil dari kedua perangkat analisis tersebut tidaklah berbeda. Yakni kendati ahl al-kita>b adalah musyrik, namun para perempuannya boleh dikawini oleh laki-laki muslim.18 Bagi yang menggunakan teori al-jam‟u wa al-taufi>q, menyatakan bahwa ahl al-kita>b bukanlah orang musyrik. Oleh karena itu, Q.S al-Maidah: 5 yang turun setelah Q.S al-Baqarah: 221, bukanlah sebagai takhsi>s maupun nasakh dari sebagian keumumannya. Akan tetapi, ia merupakan penjelasan atas keraguan umat Islam untuk mengawini perempuan ahl al-kita>b. Karena dalam pandangan mereka ahl al-kita>b adalah musyrik, padahal sebenarnya tidak demikian.19
16
Lihat Abu> Abdilla>h Muhammad ibn Nasr ibn al-Hajja>j al-Maru>zi>, al-Sunnah, Juz
2, h.92 17
Al-Thabari>, Ja>mi‟ al-Baya>n An Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 2, h.388 Lihat „Abdulla>h ibn Ahmad ibn Quda>mah al-Maqdisi>, al-Mughni> fi Fiqh al-Ima>m Ahmad ibn Hanbal al-Syaiba>ni>, , Cet, I, Beirut (Da>r al Fikr, 1405 H), Juz. 7, h. 100. 19 Abu> Bakr Abd al-Razza>q ibn Hamma>m al-San‟ani>, Musannaf Abd al-Razza>q, Juz.7, h.176. 18
11
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Kenyataan ini diperkuat oleh surat al-Bayyinah: 1 dan 6, yang menunjukkan adanya perbedaan antara musyrik dan ahl al-kita>b.20 Jika tidak demikian, maka tidak perlu disebutkan secara tersendiri. Hal ini diperkuat oleh pendapat Qata>dah, yang menyatakan bahwa, perempuan-perempuan musyrikah adalah non muslimah selain ahl al-kita>b. 21 Kemudian dalam memahami al-Muhsana>t; yang merupakan syarat ahl al-kita>b untuk dapat dinikahi oleh seorang muslim, al-Zamakhsyari> mendefinisikannya sebagai merdeka dan terjaga. Hal ini, sedikit berbeda dengan pemahaman para tokoh lain, yang pada umumnya hanya memilih salah satu dari kedua makna tersebut.22 Namun menurutnya yang terpenting adalah, bahwa pensyaratan itu merupakan peringatan serta petunjuk bagi seorang muslim agar berhati-hati dalam memilih calon istri. Oleh karenanya, kebolehan untuk melakukan perkawinan dengan
ahl al-kita>b hanyalah merupakan rukhsah/
keringanan, dan bukan tujuan utama, karena bagaimanapun, orang-orang beriman lebih baik daripada mereka.23 Sedangkan Ibn Katsi>r cenderung mengikuti pendapat jumhu>r bahwa, “al-muhsana>t” adalah “al-'afi>fa>t”. Dan, ia juga menganggap bahwa ahl al-
20
„Abdulla>h ibn Ahmad ibn Quda>mah al-Maqdisi>, al-Mughni> fi Fiqh al-Ima>m Ahmad ibn Hanbal al-Syaiba>ni>, Juz. 5, h. 100 21 Abu> Abdilla>h Muhammad ibn Nasr ibn al-Hajja>j al-Maru>zi>, al-Sunnah, , Cet. I, (Beirut Muassasah al-Kutub al-Tsaqa>fiyah, 1408 H), Juz. 1, h. 92 22 Bandingkan dengan pendapat al-Thabari> yang cenderung memahaminya sebagai “wanita merdeka”, yang berbanding terbalik dengan kelompok lain yang memahaminya sebagai “wanita terjaga”. Selengkapnya, lihat Muhammad ibn Jari>r ibn Yazi>d ibn Kha>lid Abu> Ja‟far alThabari>, Ja>mi‟ al-Baya>n „an Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 4, h.440 23 Al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f „an Haqa>iq Ghawa>mid al-Tanzi>l wa „Uyu>n alAqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta‟wi>l, Jilid. I, h.596.
12
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
kita>b adalah kelompok tersendiri di luar musyrik, sehingga mereka tidak masuk dalam khita>b QS. Al-Maidah: 221.24 Dengan demikian, karakter perempuan ahl al-kita>b yang boleh dinikahi adalah muhs}anat, perempuan yang menjaga kehormatan. Bukan perempuan sembarangan, apalagi tukang zina. Lagi pula mereka disebut setelah “perempuan mulia dari kalangan mukminat”. Perempuan ahl al-kita>b itu menempati prioritas setelah perempuan-perempuan mukminat. Dalam sejarah, pernikahan dengan perempuan ahl al-kita>b ini dilakukan oleh para sahabat Nabi, di antaranya, Utsman ibn 'Affan menikah dengan Ibnatul Farafishah al-Kalabiyyah, seorang Nasrani kemudian masuk Islam. Thalhah ibn Ubaidillah menikahi perempuan dari Bani Kulayb Nasrani atau Yahudi dan Hudzaifah ibn al-Yaman menikahi seorang perempuan Yahudi.25 Secara lahiriyah, seakan-akan ada pertentangan antara Q.S al-Maidah: 5 yang menjelaskan kebolehan seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahl al-kitab, dengan Q.S al-Baqarah: 221 yang menjelaskan keharaman nikah seorang muslim dengan orang musyrik. Namun pertentangan dalam al-Qur'an jelas sesuatu yang tidak mungkin, karena itu bagi para ulama yang menerapkan takhsi>s, memandang bahwa Q.S. al-Baqarah: 221 bermuatan umum dan mencakup semua jenis syirik, namun kemudian sebagian materinya dikeluarkan oleh Q.S al-Maidah: 5. Dengan demikian, kendati ahl al-kita>b telah melakukan perbuatan syirik, akan tetapi para perempuannya boleh dikawini oleh umat Islam.26 24
Ibn Katsi>r Abu> al-Fida>‟ al-Dimasyqi>, Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>m, Juz. 2, h.28. Syekh Muhammad al-Huut al-Beiruti, Mukhtashar al-Badr al Munir, h. 205 26 Ibn Katsi>r Abu> al-Fida>‟ al-Dimasyqi>, Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>m, Juz.2, h.347. Lihat juga Abu> „Abdilla>h Muhammad ibn Ahmad ibn Abu> Bakr ibn Faraj al-Qurtubi>, alJa>mi‟ Li Ahka>m al-Qur‟a>n, Juz. III/64. Bandingkan dengan Muhammad ibn Jari>r ibn 25
13
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015 Dalam hal ini terdapat riwayat, sebagaimana disampaikan dari Nu‟ma>n ibn Mundzir dari Makhu>l bahwa, setelah turunnya Q.S al-Baqarah: 221, para sahabat tidak berani melakukan perkawinan dengan perempuan musyrik, sampai akhirnya turunlah Q.S al-Maidah: 5, yang memperbolehkan perempuanperempuan ahl al-kita>b untuk dikawini. Dalam hal ini Makhu>l mengatakan: “Janganlah kalian menikahi perempuan Majusi, baik merdeka, budak, di rumah, maupun di waktu perang, sehingga mereka masuk Islam. Karena sesungguhnya Allah telah mengharamkan perempuan-perempuan musyrik dalam surat al-Baqarah, kemudian Allah memberi kemurahan/anugerah kepada umat Islam dalam surat al-Ma>‟idah, maka dihalalkan bagi mereka perempuan-perempuan Yahudi dan Nasrani, dan yang lain ditinggalkan (tidak dihalalkan)”. 27 Hal ini merupakan sebuah indikasi bahwa, sebenarnya ahl al-kita>b juga termasuk musyrik. Buktinya, para sahabat tidak berani mengawini mereka setelah turunnya Q.S al-Baqarah: 221 tersebut, karena mereka meyakini bahwa, ahl alkita>b termasuk orang musyrik. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa sebagian materi Q.S. alBaqarah: 221 telah dinasakh oleh Q.S. al-Maidah: 5.28 Namun jika dicermati, antara takhsi>s dan nasakh pada sebagian keumuman ayat, tidaklah berbeda. Karena nasakh dalam kategori ini, tidak dapat menghapus/menyalin muatan mansukh-nya secara keseluruhan, melainkan hanya sebagian saja. Dengan demikian, hasil dari kedua perangkat analisis tersebut tidaklah berbeda. Yakni
Yazi>d ibn Kha>lid Abu> Ja‟far al-Tabari>, Ja>mi‟ al-Baya>n „an Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 2, h.388. 27 Abu> Abdilla>h Muhammad ibn Nasr ibn al-Hajja>j al-Maru>zi>, al-Sunnah, Juz. 1, h.92 28 Al-Thabari>, Ja>mi‟ al-Baya>n An Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 2, h.388.
14
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
kendati ahl al-kita>b adalah musyrik, namun para perempuannya boleh dikawini oleh laki-laki muslim.29 Bagi yang menggunakan teori al-jam‟u wa al-taufi>q, menyatakan bahwa ahl al-kita>b bukanlah orang musyrik. Oleh karena itu, Q.S al-Maidah: 5 yang turun setelah Q.S al-Baqarah: 221, bukanlah sebagai takhsi>s maupun nasakh dari sebagian keumumannya. Akan tetapi, ia merupakan penjelasan atas keraguan umat Islam untuk mengawini perempuan ahl al-kita>b. Karena dalam pandangan mereka ahl al-kita>b adalah musyrik, padahal sebenarnya tidak demikian.30 Kenyataan ini diperkuat oleh surat al-Bayyinah: 1 dan 6, yang menunjukkan adanya perbedaan antara musyrik dan ahl al-kita>b.31 Jika tidak demikian, maka tidak perlu disebutkan secara tersendiri. Hal ini diperkuat oleh pendapat Qata>dah, yang menyatakan bahwa, Perempuan-perempuan musyrikah adalah non muslimah selain ahl al-kita>b. 32 Pendapat mayoritas ulama ini mendapatkan kritik serius dari kalangan liberal. Sebagaimana dituturkan oleh Nuryamin. Ia menjelaskan bahwa ahl alkitab itu merupakan gambaran bagi orang yang tercerahkan. Artinya ketika dia bertindak, ada yang memandu mereka, berkat adanya ajaran yang dia yakini. Dia tidak grusa-grusu seperti orang musyrik yang jelas tidak punya acuan sehingga 29
„Abdulla>h ibn Ahmad ibn Quda>mah al-Maqdisi>, al-Mughni> fi Fiqh al-Ima>m Ahmad ibn Hanbal al-Syaiba>ni>, , Cet, I, Beirut (Da>r al Fikr, 1405 H), Juz. 7, h. 100 30 Abu> Bakr Abd al-Razza>q ibn Hamma>m al-San‟ani>, Musannaf Abd al-Razza>q, Juz. 7, h.176. 31 „Abdulla>h ibn Ahmad ibn Quda>mah al-Maqdisi>, al-Mughni> fi Fiqh al-Ima>m Ahmad ibn Hanbal al-Syaiba>ni>, Juz. 7, h.100. 32 Abu> Abdilla>h Muhammad ibn Nasr ibn al-Hajja>j al-Maru>zi>, al-Sunnah, Juz. I, Cet. I, (Beirut Muassasah al-Kutub al-Tsaqa>fiyah, 1408 H), h. 92. Lihat juga Abd al-Razza>q ibn Hamma>m al-San'ani>, Tafsi>r al-Qur'a>n, Muhaqqiq Mustafa> Muslim Muhammad, Juz. I, Cet. I, (Riya>d Maktabah al-Rusyd, 1410 H) , h. 89. Dan juga al-Nuhha>s, Ma'a>ni> al-Qur'a>n alKari>m, Muhaqqiq Muhammad 'Ali> al-Sabbu>ni>, Juz. I, Cet. I, (Makkah al-Mukarramah Jami>'ah Umm al-Qura>, 1409 H), h. 180.
15
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
kaum musyrikin bermusuhan dengan siapapun. Oleh karena itu, menurutnya ahl al-kita>b itu tidak terpaku pada orang-orang yang secara konvensional dibatasi pada Yahudi dan Nasrani saja, tapi bagi siapapun yang punya cara pandang yang terarah, dan kemudian membuat mereka tidak bermusuhan dengan orang lain. Pembatasan makna ahl al-kita>b dengan hanya Yahudi dan Nashrani menurut Nuryamin justru dapat mereduksi universalitas ajaran al-Quran itu sendiri33 Dengan demikian dalam pandangan kelompok liberal ahl-kita>b cakupannya sangat luas, tidak terbatas hanya pada Yahudi dan Nashrani. Dan karena itu pula ayat di atas tidak dapat dijadikan sebagai landasan untuk mengharamkan pernikahan seorang muslim dengan non muslim selain Yahudi dan Nashrani. Sebagian orang tidak sependapat apabila dikatakan bahwa ayat di atas hanya berlaku bagi laki-laki Muslim untuk menikahi perempuan ahl al-kita>b, dan bukan sebaliknya, seorang perempuan muslimah untuk menikahi laki-laki ahl al-kita>b. Menurutnya dalam ayat ini tidak ada larangan perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non Muslim. Karena dalam ayat tersebut hanya disebutkan, laki-laki Muslim boleh menikahi ahl al-kitab. Jadi selain cakupan ahl al-kitab yang sangat luas sebagaimana dijelaskan di muka, menurut kelompok liberal dalam ayat tersebut juga tidak ada dalil keharaman seorang perempuan muslimah menikah dengan non muslim. Dan hal itu menunjukkan bahwa hukumnya juga boleh seorang perempuan muslimah menikah dengan non muslim, ahl al-kitab dan non ahl al-kitab.
33
wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan Drs. Nuryamin Aini, MA, pengajar fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah dan peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) UIN Jakarta pada Kamis, 19 Juni 2003. www.islamlib.com
16
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Sementara al-Qardhawi, mengemukakan bahwa pendapat seperti ini merupakan salah satu bentuk maza>liq al-ijtiha>d al-mu‟a>shir (ketergelinciran ijtihad kontemporer). Pernikahan seorang Muslim dengan perempuan ahl al-kitab (al-kita>biyyah) tidak bisa disamakan dengan seorang Muslimah menikah dengan seorang laki-laki ahl al-kitab (al-kita>bi>). Padahal perbedaannya sangat mencolok. Seorang Muslim mengakui dasar agama seorang kita>biyyah. Sehingga, dia menghormatinya, memelihara haknya dan tidak menyita aqidahnya. Sedangkan seorang kita>bi> tidak mengakui agama sang Muslimah, tidak mengimani al-Qur‟an dan tidak mengakui nabinya (Muhammad). Bagaimana mungkin seorang Muslim dapat hidup di bawah payung seorang laki-laki yang tidak memandang hak apapun dari istrinya, yang notabene sebagai Muslimah. Menurut penulis, pendapat di atas terkesan mengada-ada, karena seandainya dalam Q.S al-Ma‟idah: 5 itu tidak ada dalil pengharaman bagi perempuan muslimah menikah dengan non Muslim, pengharaman itu sudah dibahas di ayat-ayat lain, seperti Q.S al-Baqarah: 221 dan Q.S al-Mumtahanah: 10. Pernyataan mereka bahwa al-Qur‟an hanya mengharamkan kaum perempuan musyrik (al- musyrika>t) dan kita>biyya>t yang tidak musyrikat, dibatalkan oleh Q.S al-Mumtahanah: 10, yang berbunyi:
ٍ ع ِي ْمخ ُ ُمى ُه َّه ُمؤْ ِمىَب بس َال ُه َّه ِح ٌّو ىَ ُه ْم َ فَئِ ْن ِ َّث فَ ََل ح َ ْش ِجعُى ُه َّه ِإىًَ ْاى ُنف ََو َال ُه ْم ََ ِحيُّىن “Jika kalian mengetahui mereka (para perempuan itu) beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang (suami-suami mereka) yang kafir. Mereka (para wanit itu) tidak halal baginya, dan dia tidak halal bagi mereka.”
17
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015 Di sini, hukum itu dibentuk berdasarkan “kekafiran” (al-kufr), bukan atas “kemusyrikan” (al-syirk), dimana Allah menyatakan, “...jangan kembalikan mereka kepada orang-orang kafir”. Jika pengambilan hukum (al-‟ibrah) lewat keumuman lafaz, maka lafaz “al-kuffa>r” (suami-suami kafir), di sini mencakup seorang kita>bi> dan seorang pagan (al-watsani>: penyembah berhala). Maka, siapa yang tidak beriman kepada risalah Muhammad maka ia dipandang sebagai kafir, tanpa diperdebatkan.34 3. Pernikahan antara perempuan muslimah dengan non muslim Penjelasan tentang pernikahan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim disebutkan dalam Q.S Mumtahanah: 10, Allah ta‟ala berfirman:
ٍ ع ِي ْمخ ُ ُمى ُه َّه ُمؤْ ِمىَب بس َال ُه َّه ِح ٌّو ىَ ُه ْم َ فَئِ ْن ِ َّث فَ ََل ح َ ْش ِجعُى ُه َّه ِإىًَ ْاى ُنف ََو َال ُه ْم ََ ِحيُّىن ” maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orangorang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”. Berdasarkan ayat di atas para ulama menyepakati (ijma') keharaman pernikahan seorang muslimah dengan laki-laki kafir, baik musyrik maupun ahl al-kita>b. Karena itu, orang yang menghalalkan model pernikahan semacam ini berarti telah mendustakan ayat di atas. Dan seseorang yang mendustakan alQur‟an hukumnya adalah kufur, keluar dari Islam. Ayat ini, dengan sangat gamblang menegaskan, “Laa hunna hillu lahum, wa la> hum yahillu>na la hunna” (tidaklah perempuan-perempuan itu halal bagi
34
Yusuf al-Qaradhawi, al-Ijtiha>d al-Mu„a>shir, bayna al-Indhiba>th wa al-Infira>th, (Kairo Dar al-Tawzi„ wa al-Nasyr al-Isla>miyyah, 1994 58-59).
18
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
mereka (laki-laki kuffar), dan tidak pula mereka (laki-laki kuffar itu) halal bagi mereka (perempuan-perempuan muslimah). Kata “laa hillu” atau “laa yahilluna” itu artinya tidak halal dan itu berarti haram. Dan perlu diperhatikan bahwa katakata yang digunakan dalam ayat ini “kuffar” dan bukan “musyrik”. Pelarangan tersebut tidak hanya ditujukan bagi para muslimah saja, melainkan juga para wali> mereka, karena bagaimanapun seorang wali> mempunyai andil yang sangat besar dalam perkawinan seorang perempuan (muslimah), terutama yang masih gadis.35 Hal ini, tentunya merupakan langkah antisipatif, sebelum terjadinya perkawinan. Namun jika perkawinan sudah terlanjur dilakukan, maka harus segera diputuskan setelah mengetahui keharamannya. Tentang Q.S al-mumtahanah: 10 di atas, al-T}abari menyatakan bahwa khita>b ayat tersebut ditujukan kepada para sahabat Rasul, dalam menyikapi para penduduk Mekah yang bergabung dengan mereka di H>}udaibiyah; untuk mengetahui apakah hijrah mereka benar-benar karena Allah dan Rasu>l-Nya, ataukah hanya karena takut kemarahan suami mereka.36 35
Q.S. al-Baqarah: 221, Redaksi ayat tersebut secara jelas menegaskan bahwa, perempuanperempuan muslimah tidak boleh kawinkan dengan laki-laki musyrik. Dan ini merupakan ijmak umat Islam, karena ketentuan tersebut langsung dijelaskan oleh nass sari>h. Namun, para ulama cenderung meluaskan cakupannya pada kategori kafir (yang mencakup musyrik dan ahl alkita>b), sebagaimana kemutlakan yang terdapat dalam Q.S. al-mumtahinah: 10. Namun jika mereka telah masuk Islam, perkawinan tersebut tidak lagi haram. Dan oleh karena standarnya adalah agama, maka orang yang bertatus sosial lebih rendah asalkan seagama, dianggap lebih baik daripada non muslim, kendati berstatus sosial lebih tinggi. Lihat Muhammad ibn „Ali> alSyauka>ni>, Fath al-Qadi>r al-Ja>mi‟ baina Fannay al-Riwa>yah wa al-Dira>yah min „Ilm alTafsi>r, Juz. 1, h.341. Lihat juga al-Husain ibn Mas'u>d al-Farra>' al-Bagha>wi>, Abu> Muhammad, Ma'a>lim al-Tanzi>l, h. 255. Dan juga al-Nasafi>, Tafsi>r al-Nasafi>, ,(Beirut Da>r al-Fikr al-„Ilmiyah, tt), Juz. 1, h. 221. 36 Di antaranya, adalah riwayat yang disampaikan Abu Nasr al-Asadi>, tentang jawaban Ibn „Abba>s ra ketika ditanya peri bentuk ujian yang diberikan oleh Rasulullah saw kepada para wanita yang bergabung dengan beliau dan para sahabat, di Hudaibiyah. Ibn „Abba>s, berkata “Nabi mengambil sumpah mereka; (1) bahwa mereka meninggalkan rumah bukan karena takut
19
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Ketika sampai pada potongan ayat wa la> tumsiku> bi 'isam al-kawa>fir, al-T}abari> menjelaskan bahwa redaksi tersebut merupakan larangan Allah agar para sahabat tidak menjalin dan/atau mempertahankan perkawinan mereka dengan - musyrikah; penyembah berhala. Dan hal ini langsung mendapat respon positif dari para sahabat termasuk „Umar ibn al-Khattha>b ra.37 Al-T}abari mendukung pendapat al-Zuhri> bahwa turunnya ayat mihnah ini, karena adanya perjanjian antara nabi dengan kafir Quraisy, bukan karena peperangan di antara mereka. Oleh karenanya, mereka saling bertukar mahar dan nafkah atas istri-istri yang tidak mengikuti tempat tinggal para suaminya. Karena jika ayat tersebut turun karena perang, maka tidak mungkin ada pengaturan sedemikian rupa, termasuk pertukaran mahar dan nafkah. Dengan demikian, dapat simpulkan bahwa musyrik Mekah pada saat itu bukanlah kafir harbi>y melainkan mu‟a>hadah. Dalam hal ini, penulis tidak menemukan pendapat pribadi al-T}abari tentang penafsiran ayat tersebut, maupun analisisnya berkenaan dengan berbagai riwayat yang ada, selain tarji>h.38 kemarahan suami (2) bukan karena benci pada daerah tertentu, dan mencari tempat yang lebih aman, (3) bukan karena harta benda (4) mereka meninggalkan rumah tidak lain, hanyalah karena mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Selengkapnya, lihat Muhammad ibn Jari>r ibn Yazi>d ibn Kha>lid Abu> Ja‟far al-Tabari>, Ja>mi‟ al-Bayan „An Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 12, h.64. 37 Peristiwa ini terekam dengan jelas oleh beberapa riwayat, di antaranya adalah riwayat Marwa>n ibn Hakam, bahwa nabi saw kedatangan beberapa wanita beriman, setelah perjanjian antara umat Islam dan orang-orang Quraisy baru saja dibuat (sedangkan perjanjian tersebut sama sekali tidak membahas para wanita). Maka, turunlah Q.S. al-mumtahinah: 10. Dan ketika sampai pada redaksi "bi 'isam al-kawa>fir", „Umar ra langsung menceraikan dua istrinya sekaligus, yang masih tetap dalam keadaan syirik. Lihat Muhammad ibn Jari>r ibn Yazi>d ibn Kha>lid Abu> Ja‟far al-Tabari>, Ja>mi‟ al-Baya>n „an Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 12, h.64. 38 Dalam ini, al-Tabari> menyebutkan beberapa riwayat, termasuk riwayat yang disampaikan oleh Ibn Syiha>b bahwa, berita yang sampai kepadanya tentang ayat mihnah adalah peristiwa antara nabi dan dan orang-orang Quraisy dalam masa perjanjian. Pada saat itu, nabi mengembalikan nafkah yang diberikan oleh para mantan suami wanita-wanita yang baru saja masuk Islam, dan bergabung di Hudaibiyah untuk hijrah ke Madinah, sedangkan para suami mereka masih kafir dan terikat perjanjian dengan Nabi>. Jikalau saja mereka adalah kafir harbi>, maka tidak mungkin ada perjanjian, pengembalian sesuatupun atas nafkah yang telah diberikan
20
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Sementara al-Zamakhsyari> menjelaskan, bahwa para sahabat yang bergabung di H}udaibiyah pada saat itu diterima setelah menjalani ujian dari Rasulullah, untuk mengetahui maksud kepindahan mereka dari Mekah ke Madinah. Pada waktu yang sama, para sahabat yang istrinya tidak ikut hijrah (karena memilih tinggal di Mekah bersama orang musyrik), diperintahkan untuk menceraikan mereka.39 Dengan demikian, menurut al-Zamakhsyari>, perkawinan lintas agama yang diperbolehkan hanyalah antara lelaki Muslim dengan ahl alkita>b (Yahudi-Nasrani) saja. Pendapat serupa disampaikan oleh al-Qurtubi>, ia berpendapat bahwa perbedaan agama merupakan unsur pemisah perkawinan. Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa, redaksi “fa la> tarji'u> hunna ila> al-kuffa>r, la> hunna hillun lahum wa la> hum yahillu>na lahunna”, mengandung pengertian tidak tersebut. Selengkapnya, lihat Muhammad ibn Jari>r ibn Yazi>d ibn Kha>lid Abu> Ja‟far alTabari>, Ja>mi‟ al-Baya>n „An Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 12, h.64. 39 al-Zamakhsyari> menjelaskan makna “al-'isam” atau “al-„ismah” dalam redaksi ayat “wa la> tumsiku> bi 'isam al-kawa>fir”, yang menurutnya adalah “Sesuatu yang membuat seseorang menjadi terjaga, termasuk akad dan sebab”. Ia juga melakukan pendataan beberapa sahabat yang menceraikan istri-istri mereka, setelah turunnya ayat tersebut. Mereka adalah 1. „Umar ibn alKhatta>b ra, yang menceraikan dua istrinya, yaitu Fa>timah bint Abi> Umaiyah, saudari Ummu Salamah, dan Kaltsu>m bint Jazu>l, 2. „Iya>d ibn Syadda>d al-Fihri>, yang menceraikan Ummu al-Hakam bint Abi> Sufya>n, 3. Syammas ibn „Utsma>n, yang menceraikan Barwa>‟ bint „Uqbah, 4. „Amr ibn Abi> Wudd, yang menceraikan „Abidah ibn „Abd al-„Uzza> ibn Naslah, 5. Hisya>m ibn al-„A>ss, yang menceraikan Hind bint Abi> Jahl. Kemudian, diadakan saling tukar mahar antara orang Islam dan kafir Mekah. Namun, setelah Rasul membayar mahar mereka; dengan memakai harta ghani>mah (rampasan perang), orang-orang musyrik tidak melakukan yang sama. Dan setelah prosesi tersebut usai, para wanita muslimah yang baru bergabung dapat dinikahi oleh para lelaki muslim kapanpun, dengan syarat memberikan mahar kepadanya. Dalam ini, mahar disyaratkan dalam perkawinan mereka yang menurut al-Zamakhsyari>, karena mahar adalah ajr al-Bud‟. Tentang masalah 'iddah, al-Zamakhsyari> menyebutkan pendapat Abu> Hanifah bahwa tidak ada „iddah bagi para wanita tersebut. Oleh karenanya, mereka dapat langsung dinikahi. Karena menurutnya, jika suami istri tinggal di Da>r al-Harb, kemudian salah satu dari mereka keluar/pindah dari daerah tersebut (baik dalam keadaan Islam maupun dalam tanggungan/dzimmi>), maka hubungan perkawinan mereka putus karenanya. Lihat Abu al-Qa>sim Mahmu>d ibn „Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f „an Haqa>iq Ghawa>mid al-Tanzi>l wa „Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta‟wi>l, Jilid. III, h.506.
21
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
halalnya wanita beriman bagi lelaki kafir, demikian juga seorang mukmin tidak boleh menikahi wanita musyrikah. Dengan demikian, dalil wajibnya perceraian antara wanita muslimah dengan lelaki kafir adalah Islamnya wanita tersebut, bukan
masalah
hijrahnya.
Sedangkan
menurut
Abu>
H}anifah,
yang
menyebabkan perpisahan keduanya adalah perbedaan daerah/negara. Namun menurut al-Qurtubi>, pendapat pertama lebih sahi>h, karena menurutnya, redaksi “la> hunna hillun lahum wa la> hum yahillu>na lahunna” menunjukkan suatu alasan bahwa, ketidak halalan tersebut bukan karena beda tempat, melainkan beda agama. Sedangkan ketika mendeskripsikan (wa la> tumsiku> bi 'isam alkawa>fir), ia menyatakan bahwa, maksud kata al-„ismah adalah perkawinan. Maka, dengan ayat tersebut, barang siapa mempunyai istri kafir di Mekah, tidaklah dianggap sebagai istri, karena hubungan perkawinannya telah putus akibat perbedaan daerah/negara.40 Ayat di atas pada masa awal turunnya ditujukan untuk para sahabat setelah peristiwa Hudaibiyah (6 H). Kendati demikian, ia dapat diberlakukan secara umum, dengan berpegang pada kaedah "al-'ibrah bi umu>m al-lafz la> bi khusu>s al-sabab". Dalam ayat tersebut, secara redaksional terdapat kalimat la> hunna hillun lahum, wa la> hum yahilu>na lahunna.41 Pada redaksi pertama, ditunjukkan dalam bentuk masdar/infinitive noun yang berarti “sejak sekarang hal itu telah tidak halal”, sedangkan pada redaksi kedua, disebutkan dalam bentuk
40
al-Qurtubi>, al-Ja>mi‟ Li Ahka>m al-Qur‟a>n, Juz. 18, h.55. al-Tabari>, Ja>mi‟ al-Baya>n „an Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 12, h.64. Lihat juga ibn Katsi>r, Tafsi>r al-Qur‟a>n al-„Azi>m, Juz. 4, h.449. Bandingkan dengan Abu> „Abdilla>h Muhammad ibn Ahmad ibn Abu> Bakr ibn Faraj al-Qurtubi>, al-Ja>mi‟ Li Ahka>m al-Qur‟a>n, Juz. 18, h.I55. Dan juga Muhammad ibn „Ali> al-Syauka>ni>, Fath al-Qadi>r al-Ja>mi‟ baina Fannay al-Riwa>yah wa al-Dira>yah min „Ilm al-Tafsi>r, Juz. 5, h.294. Lihat juga Muhammad ibn Muhammad al-'Ima>di> Abu> al-Sa'u>d, Irsya>d al-'Aql al-Sali>m ila> Maza>ya> alQur'a>n al-Kari>m, Juz. 8, h.238. 41
22
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015 muda>ri‟/present tense, yang mengandung arti “pada masa akan datang juga tidak halal”. Dengan demikian, pelarangan perkawinan antara perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim (khususnya musyrik) tidak akan berubah sejak ayat tersebut turun sampai masa-masa selanjutnya. Berdasarkan banyaknya riwayat yang ada, para ulama sepakat bahwa, turunnya ayat di atas erat hubungannya dengan perjanjian H}udaibiyah. Perjanjian tersebut mengatur hubungan kependudukan antara Mekah dan Madinah. Di mana sejak saat itu, orang-orang Mekah yang pergi ke Madinah haruslah dikembalikan lagi ke tempat asalnya. Namun tidak sebaliknya, orang (Islam) Madinah yang ke Mekah, harus tetap tinggal di Mekah. Perjanjian tersebut tidak mengatur tentang orang-orang perempuan, maka ketika beberapa dari mereka datang ke H}udaibiyah untuk hijrah ke Madinah, turunlah ayat tersebut, yang menolak untuk mengembalikan mereka ke Mekah. Bahkan mereka akan diterima, jika telah menjalani beberapa pengujian dan menyatakan keimanan tanpa adanya tendensi keduniaan. Pengujian yang dimaksud adalah pernyataan mereka yang didahului sumpah "bi Allah al-ladzi> la> ila>ha illa> huwa" bahwa mereka tidak hijrah karena kemarahan suami, tidak hijrah karena suka berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tidak hijrah karena cinta harta benda, benar-benar hijrah hanya karena cinta Allah dan Rasul-Nya. Dan sejak saat itulah, Islam mengatur proses putusnya hubungan perkawinan antara umat Islam dengan Musyrik Mekah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat tersebut. Dan aturan hukum tersebut berlaku sejak saat itu, sampai seterusnya. 42 Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, tampak jelas bahwa perempuan muslimah sama sekali tidak diperkenankan kawin dengan laki-laki musyrik, 42
Lihat M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur‟a>n, Vol. XIV, h.174
23
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
sebagaimana larangan serupa juga berlaku bagi para laki-laki muslim terhadap perempuan musyrikah. Namun permasalahannya adalah tidak terdapat satu ayatpun al-Qur‟a>n yang dengan tegas menyatakan keharaman pernikahan (antara laki-laki ahl al-kita>b dengan perempuan muslimah) tersebut. Padahal, dalam perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kita>b, terdapat nass yang dengan tegas memperbolehkannya, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Maidah: 5. Tentang pernikahan seorang perempuan Muslimah dengan laki-laki nonMuslim, penulis buku Fiqih Lintas Agama menegaskan bahwa hal itu merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa perempuan muslim boleh menikah dengan lakilaki non-muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.43. Permasalahan di atas dapat dikembalikan lagi pada kaedah dalam masalah perkawinan, yaitu “Pada asalnya, abda>‟ itu haram”.44 Dan dalam upaya untuk menghilangkan keharaman tersebut maka disyari‟atkanlah nikah/perkawinan. Sehingga, dalam hal ini, nikah merupakan salah satu cara untuk menghalalkan 43
Mun‟im A. Sirry, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta, 2004), h.164 44 Kaedah ini biasanya memakai redaksi "al-aslu fi al-abda>' al-hurmah au al-tahri>m". Kata abda>‟, adalah bentuk jamak dari al-bud', yang berarti “kemaluan perempuan”. ini merupakan kina>yah, yang dalam istilah balaghah termasuk dalam kategori "min itla>q al-mal wa ira>dah al-l". Jadi yang dimaksud adalah pemanfaatannya, bukanlah bendanya. Tentang kaedah tersebut, lihat Muhammad ibn Baha>dur ibn „Abdilla>h Abu> „Abdilla>h al-Zarkasyi>, alMantsu>r fi> al-Qawa>‟id, Juz. II/347. ia menyebutkannya dalam redaksi "al-aslu fi al-abda>' huwa al-hurmah".
24
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
sesuatu yang pada dasarnya adalah haram, karena dengan nika>h, hubungan intim laki-laki dan perempuan menjadi halal.45 Di samping itu, dalam fungsinya sebagai salah satu bentuk ibadah, kendati juga bernuansa sosial, terdapat aturan dan batasan-batasan tersendiri yang harus dipatuhi oleh umat Islam dalam melakukan perkawinan. Dan secara umum, terdapat kaedah, “pada dasarnya (asal) dalam masalah ibadah adalah mendiamkannya”. Maksudnya adalah bahwa, masalah ibadah itu merupakan sesuatu yang telah ditentukan oleh sya>ri‟; Allah , dan Rasul-Nya, sehingga tidak ada peluang ijtiha>d di dalamnya. Maka dari itu, rekayasa dalam masalah tersebut tidaklah dibenarkan, bahkan masuk dalam kategori bid‟ah.46 Dengan demikian, jika kaedah di atas diterapkan dalam masalah pernikahan, maka pernikahan yang diperbolehkan hanyalah “pernikahan syar‟i>”, yakni bentuk perkawinan yang mendapat legalisasi dari aturan-aturan pokok Islam baik al-Qur‟a>n maupun hadi>ts. Belum lagi, jika dihubungkan dengan kaedah umum, “Asal segala sesuatu adalah dilarang/haram”, yakni setiap sesuatu pada dasarnya, haruslah dipandang sebagai “tidak boleh/ dilarang”, dan baru dianggap boleh jika terdapat nass sari>h yang menjelaskan hal sebaliknya.47 Kaedah ini banyak didasarkan pada beberapa penjelasan ayat al-Qur‟a>n yang menyatakan
45
Karena tanpa ikatan perkawinan, hubungan laki-laki-perempuan (dalam arti jima>‟) adalah dilarang dan termasuk zina; suatu perbuatan dosa besar yang harus dijauhi. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Isra>: 32, dengan redaksinya "wa la> taqrabu> al-zina> innahu> kana fahisyatan wa sa>‟a sabi>la>", “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. 46 Lihat Abu> al-Fadl Ahmad ibn „Ali> ibn Hajar al-Asqala>ni> al-Sya>fi‟i>, Fath alBa>ri> Syarh Sahi>h al-Bukha>ri>, , (Beirut Da>r al-Ma‟rifah, 1379 H) Juz. 3, h. 54. Dengan redaksi"al-aslu fi al-'iba>dah al-tawaqquf", “Pada dasarnya (asl) dalam masalah ibadah adalah tawaqquf/bersikap diam atasnya”. 47 Lihat Ibra>hi>m ibn „Ali> ibn Yu>suf al-Saira>zi> Abu> Isha>q al-Fairu>zaba>di>, alTabsirah fi> Usu>l al-Fiqh, h. 534.
25
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
bahwa, segala sesuatu itu adalah milik Allah. Oleh karenanya, haram bagi manusia untuk melakukan tasarruf, kecuali atas izin–Nya.48 Di sisi lain, juga terdapat banyak riwayat yang menyatakan tidak diperkenankannya laki-laki ahl al-kita>b menikahi perempuan muslimah, kendati hanya datang dari para sahabat. Demikian juga pada masa sahabat maupun para ulama salaf, perkawinan tersebut tidak pernah terjadi, kecuali langsung mendapat respon negatif dari mereka, dan bahkan diceraikan secara paksa. Seperti putusan khalifah „Umar ibn al-Khatta>b yang menceraikan secara paksa beberapa pasangan keluarga lintas agama; antara perempuan muslimah dengan laki-laki ahl al-kita>b, karena para suami menolak untuk masuk Islam .49 Belum lagi pernyataan Ibn 'Abba>s dan beberapa sahabat lain bahwa, lakilaki muslim boleh menikahi perempuan ahl al-kita>b, namun sebaliknya laki-laki ahl al-kita>b sama sekali tidak berhak menjadi suami dari perempuan muslimah.50 Dalam hal ini, seakan telah terjadi ijmak bahwa seorang muslimah dilarang menikah dengan laki-laki ahl al-kita>b.
48
Dalam ini, terdapat banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang kepemilikan Allah yang bersifat mutlak. Seperti Q.S. 2 284, “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”. Juga Q.S. al-Nisa>: 131, 170, Q.S. al-Ma>‟idah: 120, Q.S. al-An‟a>m: 12, Q.S. Yu>nus: 55, 66, Q.S. al-Ra‟d: 31, dan lain-lain. 49 Lihat Abu> Abdilla>h Muhammad ibn al-Hasan al-Syaiba>ni>, al-Hujjah „ala> Ahl alMadi>nah, Juz. 4, h.7. Lihat juga Muslim ibn Hajja>j, al-Mufrada>t wa al-Wahda>n, Juz. 1, h.185. Bandingkan dengan Abu> Muhammad, „Ali> ibn Ahmad ibn Hazm al-Za>hiri>, Juz 7, alMula>, h. 313. 50 Riwayat tersebut disampaikan oleh „Ikrimah, dari Ibn „Abba>s, beliau berkata “Sesungguhnya Allah Telah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran (Islam), untuk memenangkannya di atas setiap agama. Maka agama kita (Islam) adalah agama yang terbaik, millah kita di atas millah-millah, para laki-laki kita dapat menikahi perempuan-perempuan mereka (ahl al-kita>b), namun para laki-laki (ahl al-kita>b) mereka tidak dapat menikahi perempuanperempuan kita (para muslimah)”. Lihat Abu> Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn „Ali> ibn Mu>sa> al-Baihaqi>, Sunan al-Baihaqi> al-Kubra>, Juz.. 7, h.172.
26
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an al-Andalusi, Abu Hayyan, Tafsir al-Bahr al-Muhit, al-Maktabah al-Syamilah vol.2 al-Asqala>ni>, Abu> al-Fadl Ahmad ibn „Ali> ibn Hajar, Fath al-Ba>ri> Syarh Sahi>h al-Bukha>ri>, Beirut, Da>r al-Ma‟rifah, 1379 H al-Harari, Abd Alla>h, al-Dali>l al-Qawi>m 'ala al-Sirat al-Mustaqi>m. makhtut, --------, al-Syarh al-Qawi>m fi Halli Alfa>z al-Sira>t al-Mustaqi>m. Bairut: Dar al-Masyari', 2006 --------, Bughyah al-Ta>lib. Bairut: Dar al-Masyari', 2000 --------, Sari>h al-Baya>n fi Raddi 'ala man Kha>lafa al-Qur`an. Bairut, Dar alMasyari, 2001 al- Qaradhawi, Yusuf, al-Ijtiha>d al-Mu„a>shir, bayna al-Indhiba>th wa alInfira>th, Kairo Dar al-Tawzi„ wa al-Nasyr al-Isla>miyyah, 1994 al-Qurtu>bi>, Abu> „Abdilla>h Muhammad ibn Ahmad ibn Abu> Bakr ibn Faraj, al-Ja>mi‟ Li Ahka>m al-Qur‟a>n, Cet. II, , Kairo: Da>r al-Syu‟ab, 1372 al-Ra>zi>, Muhammad Fakhr al-Di>n ibn Diya>‟ al-Di>n „Umar, Tafsi>r alFakhr al-Ra>zi>, , Jld. III, Cet. III, Beirut: Da>r al-Fikr, 1985 al-Tabari>, Muhammad ibn Jari>r ibn Yazi>d ibn Kha>lid Abu> Ja‟far, Ja>mi‟ al-Baya>n „An Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, , Beiru>t: Da>r al Fikr, 1405, Amin, Qosim, Tahrir al Mar‟ah , Kairo Darul al –Salam, t.t Bintaji, Muhammad di dalam “ Makanatul Mar‟ah fi al- Qur‟an al Kariem dan al Sunah al- Shohihah, Kairo Darul al –Salam, 2000 Bungin, Burhan, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: Grafindo Raja Persada, 2003 Ibn Katsi>r, Isma>‟i>l ibn „Umar Abu> al-Fida>‟ al-Dimasyqi>, Tafsi>r alQur‟a>n al-„Azi>m, al-Maktabah al-Syamilah vol.2 Muslim ibn Hajja>j, Abu al-Husain al-Qusyairi> al-Naisabu>ri>, tt, Sahi>h Muslim, , Beirut: Da>r Ihya>‟ al-Tura>ts al-„Arabi>, tt
27
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015 Sirry, Mun‟im A., Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta, 2004 Syihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur‟a>n, Vol. XIV, Jakarta, Lentera Hati Wade, Anthony, Interfaith is Difficult for Children, http//www.thealabamabaptist.org/ip_templete.asp? www. Islamlib.com
28