PERNIKAHAN LINTAS AGAMA Yang dimaksud nikah beda agama disini ialah wanita muslimah menikah dengan laki-laki ahlul kitab; Yahudi dan Nasrani. Sebab fenomena tersebut akhir-akhir ini mencuat ke permukaan.Fenomena mengenaskan ini terjadi tidak hanya disebabkan kebodohan terhadap ilmu agama, namun juga akibat fatwa ngawur dari pengusung liberalisasi islam negri ini. Mereka mencoba berargumen: “Masalah wanita muslimah dinikahi oleh lelaki Nasrani / ahlu kitab itu adalah wilayah ijtihadi, karena tidak ada nash yang langsung melarangnya”. Sebenarnya peristiwa ini telah dirintis oleh kalangan selebritis beberapa tahun yang lalu, dengan dalih : ini adalah masalah privasi. Masalah ini terasa penting untuk di ulas. Sebab berkaitan erat dengan wilayah aqidah dan akibat yang ditimbulkan sangat berbahaya. Seperti lahirnya generasi non muslimin dari wanita muslimah, menjadi santapan empuk bagi misi pemurtadan. Padahal nash-nash syar’i secara qoth’i telah memberi ketetapan hukum, yang akan kita lihat nanti –Insya Allah. Namun sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin tidak mengacuhkannya. Nash–Nash Al-qur’an dan Sunnah Allah berfirman:
! " # $% & ' 1 23# 45 6 7 8 " # 9 0 # ( * 1 ;: < ' ( ) * + ,-. / %- 0 * . ) !: = / > ;: ? '; 1 &'@A B “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat -Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (Al-Baqarah: 221). Ibnu Jarir At-Thobari Rahimahullah menafsirkan: “Allah mengharamkan wanita-wanita mukminat untuk menikah dengan lelaki musyrik mana saja (termasuk ahlu kitab dan lainnya). Oleh karena itu, janganlah kalian nikahkan wanita-wanita mukmin dengan mereka. Sebab itu diharamkan untuk kalian. Jika kalian nikahkan mereka dengan seorang budak yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada syari’at-Nya, maka itu lebih baik daripada kalian nikahkan dengan orang musyrik walaupun dia merdeka (bukan budak) terpandang, lagi menakjubkan kalian. (Tafsir Jami’ul Bayan 2/379). 1
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: ‘Maksudnya jangan kamu nikahkan laki-laki musyrik dengan wanita mukminat. Ayat ini seperti firman Allah yang lain,
> ) C;$ / D ' / > FE D ' “Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka”. (Mumtahanah: 10). Al-Qurtubi Rahimahullah berkata: “Janganlah kalian nikahkan wanita muslimah dengan lelaki musyrik. Ulama telah bersepakat bahwa orang musyrik tidak boleh menikahi wanita muslimah, karena hal itu akan merendahkan islam”. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, 1/48-49). Hadits dan Atsar Imam Bukhari membuat bab dalam shahihnya: “Bab jika wanita musyrik atau Nasrani yang menjadi istri lelaki kafir dzimi atau kafir harbi masuk islam”. Lalu meriwayatkan dari Ibnu Abbas , ia berkata:
. 1 ;* G 9 * 'H5 '>I J F K 9 2 L G " ;M . 3( “Jika ada wanita Nashrani lebih dulu masuk islam dari suaminya, satu saat saja, maka wanita tersebut diharamkan baginya (bagi suaminya)”. Atho’ ditanya: “Ada seorang istri dari lelaki yang mengikat perjanjian dengan kaum muslimin dan masuk islam, lalu lelaki tadi juga masuk islam sedang istrinya masih dalam waktu ‘iddah (tunggu), apakah wanita itu sah sebagai istrinya?. Jawab Atho’: “Bukan istrinya lagi, kecuali sang istri menginginkan akad baru dan mahar”. Namun Mujahid berkata: “Jika sang suami masuk islam sedang istrinya dalam masa ‘Iddah, maka dia masih menjadi istrinya. Sebab Allah berfirman:
> ) C;$ / D ' / > FE D ' “Mereka (Wanita muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka”.. (Mumtahanah: 10). Ibnu Jarir Rahimahullah meriwayatkan dari Umar bin Khathab , bahwa beliau berkata: “Seorang muslim boleh menikahi wanita Nasrani, tetapi wanita Nasrani tidak boleh menikahi wanita muslimah”. Ketidaksukaan Umar bin Khathab terhadap perbuatan Talhah dan Hudzaifah itu karena dikhawatirkan akan diikuti oleh kaum muslimin, lalu mereka tidak menginginkan wanita muslimah atau yang semakna dengan itu. Oleh karena itu Umar menyuruh agar mereka menceraikan istri mereka”. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari jalan lain dari Syaqiq, ia berkata: “Hudzaifah menikahi wanita Yahudi, lalu Umar menulis surat padanya agar menceraikannya, Hudzaifah membalas dengan bertanya: “Apakah engkau berpendapat wanita Yahudi haram untuk dinikahi, hingga aku harus menceraikannya?”. Jawab Umar: “Tidak, hanya saja 2
saya khawatir manusia menjauhi wanita mukminah gara-gara mereka”. Lalu Ibnu Jarir dengan sanadnya sampai Rasulullah , beliau bersabda:
.'O'H2 ) I P Q R '% # F D A@ 'H2 S P 2 “Kami menikahi wanita ahlul kitab, namun mereka tidak menikahi wanita kami”. Ibnu Katsir mengatakan: “Hadits Umar tersebut sanadnya shahih”. (Tafsir Qur’anil Adzim, 1/258). Dalam Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud, disebutkan: “Atsar Umar juga diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Mushonnaf. Abdun bin Humaid meriwayatkan dari Qotadah, ia berkata: “Allah menghalalkan wanita mukminah, dan wanita ahlul kitab yang menjaga kehormatannya untuk kami (nikahi). Wanita kami (mukminah) harom dinikahi lelaki mereka, namun wanita mereka halal bagi kami”. Dari uraian dimuka bisa ditarik kesimpulan, bahwa wanita muslimah tidak boleh menikah dengan lelaki musyrik. Terminologi “musyrik” mencakup ahli kitab seperti atsar tersebut diatas. Wanita muslimah tidak boleh menikah dengan lelaki ahlul kitab. Bila sudah terjadi harus segera dibatalkan,. Bila tidak maka dihukumi dengan zina. Na’udzubillahi min dzalik.
Pendapat dan Fatwa Ulama Syeikh Sayyid sabiq Rahimahullah berkata dalam Fiqhus Sunnah 2/9899: “Ulama telah bersepakat bawa wanita muslimah diharomkan menikah dengan lelaki non muslim, baik lelaki musyrik maupun ahlul kitab. Dalilnya firman Allah :
> ) C;$ / D ' / > FE D ' “Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka”. (Mumtahanah: 10). Hikmah dari larangan ini adalah, karena laki-laki adalah pemimpin dan penanggung jawab bagi istrinya. Sedang wanita harus menta’ati suami dalam perkara yang baik. Disinilah arti kepemimpinan dan kekuasaan suami terhadap istri. Oleh karena itu tidaklah mungkin lelaki kafir menjadi pemimpin dan penguasa terhadap wanita muslimah. Padahal Allah berfirman:
.'T;M " # ;* U'%;# 1 ;: F 0 “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. (An-Nisa’: 141). Selain itu, orang kafir tidak mengakui agama sang istri yang muslimah, bahkan mendustakanya, dan mengingkari risalah nabinya. Lalu 3
bagaimana mungkin rumah tangga yang penuh dengan perbedaan tajam akan terwujud keharmonisan dan kelanggengan?!. Syaikh Sholih Al Fauzan Rahimahullah ditanya: “Bagaimana prinsip islam tentang seorang muslimah yang menikah dengan lelaki bukan muslim, karena dipaksa untuk menikah?”. Beliau menjawab: “Muslimah tidak boleh menikah dengan lelaki kafir, dan (apabila terjadi) nikahnya itu tidak sah. Allah berfirman:
! " # $% & ' “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mu'min) sebelum mereka beriman,..” (Al Baqarah : 221). Adapun jika dipaksa untuk menikah, dia boleh menolak. Sebab Rasulullah bersabda: “Tidak ada keta’atan kepada makhluk dalam kedurhakaan kepada Allah”. Jadi, pernikahannya bathil dan apabila bersetubuh maka dihubungi sebagai zina. (Fatawa Mar’ah Muslimah, 2/696). Syeikh Abdullah bin Al Jibrin Rahimahullah ditanya: “Apa hukum seorang muslimah menikah dengan lelaki Nasrani, dan bagaimana hukum anak-anak mereka ditinjau secara syar’I, dan hukum bagi pelaksana pernikahan itu, dan hukum istri jika mengetahui bahwa nikahnya adalah batal, apakah dikenai hukuman syar’i atau tidak. Jika sang suami masuk islam bagaimana akadnya, dan bagaimana cara menyempurnakan nikah yang baru ?. Jawabnya: “Wanita muslimah diharomkan menikah dengan lelaki Nasrani dan orang kafir lainnya, berdasarkan firman Allah:
! " # $% & ' “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mu'min) sebelum mereka beriman “(Al Baqarah : 221). Dan firman-Nya :
> ) C;$ / D ' / > FE D ' “Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka”. (Mumtahanah: 10). Kapan saja dilaksanakan pernikahan itu maka harus segera di batalkan. Dan jika wanita muslimah tadi mengetahui dan memahami hukum pernikahannya tersebut maka dia harus dikenai ta’zir (hukuman yang ditentukan oleh penguasa). Ta’zir ini juga dikenakan kepada wali, saksi dan pelaksana pernikahan itu jika mereka mengetahuinya. Bila mempunyai anak maka dinasabkan kepada ibunya. Apabila sang suami masuk islam, maka akad nikah harus diperbaharui lagi setelah di 4
klarifikasi tentang keislamannya. Supaya tidak dijadikan tipu daya. Jika usai itu ia murtad maka harus di bunuh berdasarkan hadits: “Barangsiapa keluar dari agama islam maka bunuhlah”. (Fatawa Mar’ah Muslimah, 2/696-697). Wallahu a’lam
Kontribusi: Mas Heru Yulias Wibowo – Redaktur Buletin Da’wah An Nashihah Cikarang Baru, - Bekasi. Untuk berlangganan bulletin An Nashihah hubungi bag. Sirkulasi: Mas Arifin 08156094080
5