PERNIKAHAN BEDA KEYAKINAN DALAM AL-QUR’AN (Analisis Penafsiran al-Maraghi atas Q.S al-Baqarah ayat 221 dan Q.S al-Maidah ayat 5)
Oleh: DEDI IRAWAN 104034001162
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 2011
PERNIKAHAN BEDA KEYAKINAN DALAM AL-QUR’AN (Analisis Penafsiran al-Maraghi atas Q.S al-Baqarah ayat 221 dan Q.S al-Maidah ayat 5)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Ushuluddin S.ThI
Oleh: DEDI IRAWAN 104034001162
Di Bawah Bimbingan
Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA NIP. 19550725 200012 2 001
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 2011
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul pernikahan beda agama dalam al-Quran (analisis penafsiran al-Maraghi atas Q.S al-Baqarah:221 dan al-Maidah:5) telah diuji dalam sidang munaqasah Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S-1) pada Jurusan Tafsir Hadis. Jakarta, 22 Juni 2011
Sidang Munaqasah Ketua merangkap anggota
sekretaris merangkap anggota
Dr. Suryadinata, MA NIP: 19600908 198903 1 005
Dr. Lilik Ummi Kalsum, MA NIP: 19711003 199903 2 001
Pembimbing
Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA NIP: 19550725 20001 2 001
PEDOMAN TRANSLITERASI Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin. PADANAN AKSARA HURUF ARAB
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و هـ ء ي
HURUF LATIN
KETERANGAN Tidak dilambangkan
B
Be
T
Te
Ts
Te dan Se
J
Je
H
Ha dengan garis di bawah
Kh
Ka dan Ha
D
De
Dz
De dan Zet
R
Er
Z
Zet
S
Es
Sy
Es dan Ye
S
Es dengan daris di bawah
D
De dengan garis di bawah
T
Te dengan garis di bawah
Z
Zet dengan garis di bawah
„
Koma terbalik di atas hadap kanan
Gh
Ge dan Ha
F
Ef
Q
Qi
K
Ka
L
El
M
Em
N
En
W
We
H
Ha
„
Apostrof
Y
Ye
i
VOKAL Vocal dalam bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdari dari vocal tunggal atau Monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut : Tanda Vokal Arab
å
Tanda Vokal Latin
Keterangan
A
Fathah
I
Kasrah
U
Damah
Vokal Rangkap Adapun vokal rangkap, Ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut : Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
و
Ai
A dan I
ي
Au
A dan U
Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vocal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf : Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ــــــَــــــا
Â
A dengan topi di atas
ــــــِـــــي
Î
I dengan topi di atas
ـــــُـــــو
Û
U dengan topi di atas
Kata Sandang Kata sandang yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan huruf ال, dialih aksarakan menjadi huruf / I / baik diikuti dengan huruf Syamsiyyah maupun huruf qamariyah, contoh = الشمسيّةal-Syamsiyyah, القمريّة. Tasydid (Syaddah) Yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda (-) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, menggandakan huruf yang diberi tanda tasydid itu. Akan tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang
ii
menerima tanda tasydid itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh hurufhuruf syamsiyyah. Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf / h /. Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‟i). namun jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi /t/.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya kepada kita semua baik nikmat sehat wal‟afiat maupun nikmat iman dan Islam, dengan lantaran nikmat itulah penulis dapat menyelesaikan risalah ilmiahnya diakhir perkuliahan ini. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya kegerbang kebahagiaan menuju negeri yang abadi yang dinantikan oleh semua umat di dunia yaitu surga Janatun Naim. Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung, selama menempuh studi hingga dapat menuntaskan penulisan skripsi ini, yaitu: 1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang telah mewujudkan kebebasan akademis secara nyata. 2. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA (Dekan Fakultas Ushuluddin) beserta para dosen lainnya yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan sebagai bekal penulis untuk masa yang akan dating. 3. Drs. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir Hadis)yang telah mengarahkan dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi. 4. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis) yang bersadia untuk meluangkan waktunya guna menjawab dan mengarahkan penulis. 5. Dr. Faizah Aly Syibromalisi,MA (Pembimbing) yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak Kepala Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta stafnya, Bapak Kepala Perpustakaan Fakultas Ushuluddin Beserta
iv
stafnya, yang telah menyediakan senyum dan ketulusan dalam meminjamkan bahan-bahan yang diperlukan penulis. 7. Ayahanda Abdul Munir dan Ibunda Suhaeti,Spd, Kakak-kaka dan saudarasaudara yang telah mengorbankan serta telah memberikan dukungannya baik materi maupun moril dan selalu mengingatkan agar selalu tegar dalam situasi dan kondisi apapun demi tercapainya cita-cita. 8. Seluruh warga “TH angkatan 2004” umumnya, terima kasih atas dukungannya kepada penulis selama ini, dilingkungan inilah penulis bias berdiskusi dan saling berbagi ilmunya masing-masing. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini, yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu persatu dalam kata pengantar ini. Semoga seluruh jasa baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan sebaik-baik balasan di dunia dan akhirat. Amin.
Ciputat, 12 Oktober 2011
Penulis
v
DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 5 C. Studi Kepustakaan ........................................................................ 6 D. Tujuan Penulisan ........................................................................... 7 E. Metodologi Penelitian .................................................................. 7 F. Sistematika Penelitian .................................................................. 8
BAB
II
MENGENAL FIGUR AL-MARAGHI DAN TAFSIRNYA
A. Profil al-Maraghi ........................................................................... 10 1. Lahir dan Tumbuh Kembang .................................................. 10 2. Perkembangan Intelektual ....................................................... 12 3. Karya-karya al-Maraghi .......................................................... 15 B. Profil Tafsirnya ............................................................................ 17 1. Metode Penafsirannya ............................................................ 17 2. Corak Tafsirnya ...................................................................... 18 3. Sistematika Penafsirannya ...................................................... 19
vi
BAB
III
PERNIKAHAN DALAM ISLAM DAN PENAFSIRAN
AL-MARAGHI TENTANG AYAT-AYAT NIKAH A. Pernikahan Menurut Islam ........................................................... 24 1. Pengertian Pernikahan Menurut Bahasa dan Istilah ............... 24 2. Tujuan Pernikahan ................................................................. 28 3. Syarat dan Rukun Pernikahan ................................................ 32 4. Hikmah Pernikahan ................................................................. 42 B. Penafsiran al-Maraghi .................................................................. 45 1. Surat al-Baqarah ayat 221 ...................................................... 45 2. Surat al-Maidah ayat 5 ........................................................... 47 C. Aspek-aspek Penafsiran al-maraghi Tentang Pernikahan dibandingkan dengan Pendapat Para Ulama ................................ 51 1. Perkawinan Antara seorang Pria Muslim dengan Wanita Musyrik ......................................................... 51 2. Perkawinan Antara seorang Pria Muslim dengan Wanita Ahlul Kitab .................................................... 58 3. Perkawinan Antara Seorang Wanita Muslim dengan Pria Non Muslim ....................................................... 69
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 78 B. Saran-saran ................................................................................... 78 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 80
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sebelum melangkah lebih jauh melihat hal ihwal pernikahan, perlu kiranya ditelaah terlebih dahulu pengertian dari “Nikah” atau “Pernikahan” tersebut. Nikah terdiri dari tiga huruf “nun”, “kaf” dan “ha” yang bermakna untuk menunjukan sesuatu râkiban alaihi (menaiki di atas). Hal ini diambil dari Abu Ali al-Farisi yang berkata, bahwa pecahanpecahan bahasa Arab memperhalus makna dari “nakaha” tersebut menjadi “aqada” yaitu “ikatan”.1 Namun menurut para ahli bahasa bahwasannya tidak ada makna yang lebih tepat bagi “nikah” kecuali “al-wad’u” yakni “hubungan seksual”. Kemudian para fuqaha berpendapat bahwasannya hakikat nikah terdapat tiga pandangan, yaitu, pertama nikah merupakan hakikat bagi suatu ikatan dan majaz bagi hubungan seksual. Kedua, nikah merupakan hakikat bagi hubungan seksual dan majaz bagi terjalinnya ikatan, ketiga, hakikat keduanya dengan adanya persekutuan2 antara hubungan seksual dengan adanya sebuah ikatan. Pernikahan secara etimologi berarti ”persetubuhan” adapula yang mengartikan “perjanjian” dan secara etimologi, pernikahan menurut Abu Hanifah adalah “akad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja.”3
1
Isham al-Shabbaythi, et al-Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi, (al-Qahirah: Dar al-Hadits, 1994), Juz 5, h. 187 2 Isham al-Shabbaythi, et al-Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi, Juz 5, h. 188 3 M. Ali Hasan, Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persad, 1997), cet II, h. 1
1
2
Setelah dibahas mengenai pengertian perkawinan, maka berikut ini sampailah kepada topik pembicaraan pada skripsi ini, yaitu Pernikahan Beda Keyakinan. Adapun definisi dari pernikahan beda keyakinan adalah “pernikahan pria muslim dengan wanita non muslim, begitu juga sebaliknya”4. Yang menjadi inti pembicaraan adalah sekarang ini banyak sekali dijumpai pernikahan-pernikahan yang berlangsung dan bahkan sudah hampir mewabah pada masyarakat, akan
nikah beda keyakinan, pernikahan yang justru kalau terjadi pada
masyarakat yang awam akan hukum Islam, maka akan sangat menggegerkan dan bahkan akan menggoyahkan aqidah seorang muslim. Permasalahan Satu hal yang menjadi permasalahan yang lebih umum dan terbuka pada masalah pernikahan
adalah
pernikahan beda agama. Umat manusia di dunia ini memang
diciptakan berpasang-pasangan dan juga dengan perbedaan ras, budaya dan Agama hingga tidak dapat dihindari adanya hubungan-hubungan yang terjalin antara kaum muslim dan non muslim dalam berbagai aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam
hubungan
pernikahan. Di dalam Islam pernikahan diatur dengan sangat baik, yang mana ada syaratsyarat dan rukun dalam pernikahan. Salah satu syarat dalam pernikahan adalah pasangan suami istri harus sama-sama beragama Islam.5. kemudian yang jadi masalah adalah bagaimana jika pernikahan dilakukan dengan pasangan yang berbeda agama? Kasus pernikahan beda agama yang lebih dikenal dengan istilah perkawinan campuran sampai sekarang masih merupakan masalah yang sensitif di tengah masyarakat kita, karena kasus ini masih sering terjadi, baik di kalangan masyarakat biasa maupun di 4 5
M. Ali Hasan, Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, h. 7 Ensiklopedi Islam, Departement Agama, Jakarta,1993, h. 850
3
kalangan selebritis. Masyarakat awam memandang pernikahan beda agama sesuatu hal yang baru tabu karena mereka tahu hal yang seperti itu adalah sesuatu yang dilarang agama, padahal sebenarnya kasus seperti itu telah terjadi sejak jaman Rasulullah SAW, tetapi kebanyakan mereka mengkaji lagi larangan yang mereka ketahui itu. Di Indonesia ketentuan hukum perkawinan diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Bagi umat Islam sendiri, perihal perkawinan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di mana peraturannya ditetapkan berdasarkan kepada syariat Islam yang disesuaikan, menariknya perihal yang banyak terjadi di Indonesia dewasa ini adalah pernikahan orang Indonesia yang beragama Islam dan non Muslim yang dilaksanakan di Luar Negri sematamata hanya untuk mencari pengakuan perkawinan mereka, hal ini terjadi karena negeri Indonesia tidak mengatur pernikahan beda agama. Mengingat kondisi seperti ini terasa masih relevan membicarakan pernikahan beda agama karena merupakan sesuatu hal yang sangat penting dan mempunyai dampak yang sangat luas terutama bagi generasi mendatang. Pada awal perkembangan Islam, khususnya masa Rasulullah saw dan para Sahabatnya, term ahli Kitab selalu digunakan untuk menunjuk kepada komunitas agama Yahudi dan Nasroni. Selain kedua komunitas tersebut, mereka tidak menyebutnya sebagai ahli Kitab. Kaum Majusi misalnya, meskipun pada masa Nabi dan Sahabat sudah dikenal, tetapi mereka tidak disebut sebagai ahli Kitab. Meskipun demikian, Rasulullah s.a.w. memerintahkan supaya memperlakukan mereka seperti halnya Ahli Kitab.6 Sebenarnya Ahli Kitab pada masa pra-Islam, dalam pandangan al-Qur’an telah mengalami kemerosotan. Pada mulanya mereka adalah pemeluk agama yang benar, yang
6
Abdullah Ahmad Qadiry, Nikah Beda Agama Menurut Islam, h. 43
4
mengikuti nabi-nabi mereka, yang percaya kepada Tuhan dan firmannya, namun, ketika Islam bangkit mereka secara tidak sadar telah mendustakan kebenaran dan apa yang telah diwahyukan kepada mereka oleh Tuhan, dengan menerima beberapa bagian yang mereka sukai dan menolak yang lainnya.7 “pendek kata agama yang murni dan benar, yakni oleh al-Qur’an disebut sebagai “Agama Hanif” yang disimbolkan oleh Ibrahim, seorang penganut Agama Tauhid, telah dikotori dengan kepercayaan yang salah”.8 Melihat pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kaum ahli kitab dahulu dan kini sangatlah beda, adapun perbedaanya antara lain: pada saat dahulu kaum ahli Kitab masih sangatlah berpegang teguh kepada Kitab-kitab mereka, tetapi ahli Kitab yang sekarang sudah tidak murni lagi. Oleh karena itu perihal pernikahan maka seorang muslim tidak boleh nikah dengan wanita musyrik dan begitu juga sebaliknya. Hal ini dikarenakan bahwa ketertarikan tersebut membawa kepada pintu neraka. 9 Karena memang dikhawatirkan akan menjadi rapuh imannya dan akhirnya terjerumus ke dalam kekafiran.10 Juga terdapat peringatan yang lebih jelas lagi atas bahaya menikah dengan non Muslim yang mana bila individu yang memaksakan diri menikah dengan non Muslim tersebut pada akhirnya menjadi murtad, maka sungguh telah merugi.11 Sering kali terjadi penilaian yang tidak positif terhadap pernikahan beda keyakinan di tengah masyarakat, ada sebagian yang anti terhadap nikah beda keyakinan dan ada pula 7
Agus Fahri Husein, Relasi Tuhan dan Manusia, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), h.
83 8
Agus Fahri Husein, Relasi Tuhan dan Manusia, h. 83 Abdul Mutaal Muhammad al-Jabiry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, Terj. Drs Ahmad Sythori, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, h. 21 10 Jalaluddin al-Mahalli, Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalaalayni, (Mesir: Darul Hadits, tth), Juz, 1, h.44 11 Abdul Mutaal Muhammad al-Jabiry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, Terj. Drs Ahmad Sythori, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, h. 12 9
5
yang mendukungnya, jadi di sini diperlukan penengah yang benar-benar bersumber dari Al-qur’an sebagai sumber rujukan Islam. Untuk itulah agar lebih mendalam lagi tentang kajian pernikahan beda keyakinan ini, penulis akan mencoba mengkaji surat al-Baqarah ayat 221, dalam hal ini adalah ayat yang mengharamkan nikah beda keyakinan dan surat al-Mâidah ayat ,5 dalam hal ini adalah ayat yang memperbolehkan nikah beda keyakinan. Juga penulis akan memaparkan pendapat seorang Mufassir yaitu, bagaimana pandangan Ahmad Mustafâ al-Marâghî. Selanjutnya, agar lebih mendukung lagi di dalam penelitian ini, untuk itulah dengan pemaparan tersebut penulis skripsi ini memberi judul: Pernikahan Beda Keyakinan dalam al-Qur’an (Analisis Penafsiran al-Maraghi atas Q.S al-Baqarah : 221 dan Q.S al-Mâidah : 5)
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah Mengingat perihal pernikahan beda keyakinan ini banyak sekali pendapat yang membahas hal ini penulis merasa sangatlah sulit memaparkannya, oleh sebab itu, dalam kaitan pernikahan beda keyakinan ini penulis hanya membatasi permasalahan pada 2 ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan pernikahan beda keyakinan, yaitu: Surat al-Baqarah : 221. adalah ayat yang mengharamkan nikah beda keyakinan dan surat al-Mâidah :5, adalah ayat yang menghalalkan nikah beda keyakinan. Berdasarkan pemaparan di atas maka rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah: “Bagaimana pemahaman Al-Maraghi tentang pernikahan beda agama melalui surat al-Baqarah :221 dan al-Mâidah:5”?
6
C. Studi Kepustakaan Selain skripsi yang penulis susun, ada beberapa buku yang memiliki pembahasan yang hampir mirip, diantaranya : 1.
perkawinan antar Agama menurut al-qur’an dan Hadis, dewi Sukarti, PBB UIN, Jakarta. 2003.
Isi buku ini lebih menitik beratkan kepada tataran
praksis dalam bidang Fiqih, tidak ada kajian yang mendetail. 2.
Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama, Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Ansor, Maria Ulfa, KAPAL Perempuan, Jakarta, 2004. Pembahasan buku ini lebih menekankan sisi gender dan pluralism, serta cenderung lebih menjelaskan realitas saat ini. Adapun ayat-ayat yang digunakan dalam buku tersebut adalah
3.
Konsep Nikah Lintas agama dalam al-Qur’an, Dede Setiawan, Jakarts, 2005. Pembahasan buku ini lebih menekankan kepada isi Tafsiran al-Qur’an dan argument ulama Tafsir. Ayat-ayat yang digunakan dalam buku tersebut adalah
Adapun skripsi yang penulis susun lebih menitik beratkan kepada Tafsiran alQur’an dan argument para ulama Tafsir tidak secara umum akan tetapi lebih kepada argument Ahmad Mustâfâ al-Maraghi tentang pernikahan beda keyakinana dalam surat 2:221 dan 5:5.
7
D. Tujuan Penulisan Penulis menulis judul ini dengan berbagai alasan, diantaranya: 1. Untuk menunjukan dan memperlihatkan sifat-sifat hakiki nikah beda keyakinan sebagaimana dibicarakan dalam al-Qur’an sendiri. 2. Untuk mengetahui pendapat Al-Maraghi tentang perkawinan antar agama 3. Untuk memperkaya khazanah tema-tema tafsir tematik yang mudah untuk diakses baik untuk konsumsi dakwah ataupun studi-studi keagamaan. 4. Untuk mengetahui metode istinbath hukum al-Maraghi tentang perkawinan antar agama 5. Untuk penulisan skripsi yang merupakan syarat memperoleh gelar sarjana S1.
E. Metodologi Penelitian 1. Metode pengumpulan data Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metode kajian kepustakaan (Library Research) yaitu suatu metode dengan pengumpulan data-data dan informasi
baik yang berupa buku maupun artikel yang kemudian di identifikasi secara sistematis dengan berbagai macam bacaan yang ada di dalam perpustakaan. Karena studi ini menyangkut tentang al-Qur’an secara langsung, maka sumber yang pertama adalah al-Qur’an dan terjemahannya. Sumber-sumber lainnya adalah arya tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahlîlî (analisis). Seperti tafsir al-Maraghi, Ibn Katsir maupun karya-karya tafsir lainnya dan buku-buku yang yang lain yang bersangkutan dengan tema skripsi ini sebagai data skunder.
8
2. Metode Pembahasan Metode pembahasan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif analisis tematik, yaitu bahan-bahan yang penulis kemukakan kemudian akan di deskripsikan dan dianalisis yang kemudian dari kerangka tersebut penulis akan menarik kesimpulan. Dalam skripsi ini menggunakan metode tematik, yaitu dengan jalan mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan “Nikah beda Keyakinan” kemudian ayat-ayat tersebut dianalisis dan dijabarkan sebagai penjelas dan pengertian dari nikah beda keyakinan. 3. Tehnik Penulisan Tehnik penulisan skripsi ini mengacu kepada tehnik penulisan makalah dan skripsi di dalam pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin Tahun 2005/2006 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah di dalam memahami skripsi ini maka penulis membuat di dalam skripsi ini berbagai bab-bab diantaranya sebagai berikut: Bab
I
Terdiri dari berbagai sub-sub bab antara lain: Pendahuluan, Latar Belakang Masalah, yang memuat tentang: teori, Permasalahan,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Studi Kepustakaan, Tujuan Metodologi Penelitian dan Sistematika Bab
II
Urgensi, Penulisan,
Penulisan.
Mengenal Figur Tafsir Al-Maraghi dan Tafsirnya, mulai dari Profil alMaraghi Lahir dan Tumbuh Kembang Perkembangan Intelektual Karya-karya
9
al-Maraghi, dan Profil Tafsirnya terdiri atas: Metode Penafsirannya, Corak Tafsirnya, Sistematika Penafsirannya. Bab
III
Pernikahan dalam Islam dan Penafsiran al-Maraghi tentang ayat-ayat nikah menjelaskan pernikahan menurut Islam yang terdiri atas: Pengertian Pernikahan Menurut Bahasa dan Istilah, Tujuan Pernikahan, Syarat dan Rukun Pernikahan, Hikmah Pernikahan. Adapun Penafsiran al-Maraghi dalam Surat al-Baqarah ayat 221 Surat al-Maidah ayat 5, dan Aspek-aspek Penafsiran al-Maraghi Tentang Pernikahan dibandingkan dengan Pendapat Para Ulama terdiri atas Perkawinan Antara Seorang Pria Muslim Dengan Wanita Musyrik, Perkawinan antara Seorang Pria Muslim dengan Wanita Ahlul Kitab, Perkawinan antara Seorang Wanita Muslim dengan Pria Non Muslim.
Bab
IV
Penutup memuat kesimpulan dan saran, sedangkan pada lembar .... terakhir berisikan daftar pustaka.
BAB II MENGENAL FIGUR AL-MARAGHI DAN TAFSIRNYA
A. Profil Al-Maraghi 1. Lahir dan Tumbuh Kembang Nama lengkap al-Maraghi adalah Ahmad Mustafâ ibn Mustafâ ibn Muhammad ibn Abd al-Mun‟im al-Qadi al-Maraghi. Kadang-kadang nama tersebut diperpanjang dengan kata Beik, sehingga menjadi Ahmad Mustâfâ al-Maraghi Beik, ia berasal dari keluarga yang sangat tekun dalam mengabdikan diri kepada Ilmu Pengetahuan dan Peradilan secara turun-temurun, sehingga keluarga mereka dikenal sebagai keluarga Hakim. Beliau lahir pada tahun 1300 H/1883 M di kota al-Maraghah, Propinsi Suhaj, kira-kira 700 km arah selatan kota Kairo.1 Nampaknya Kota kelahirannya inilah yang melekat dan menjadi nisbah bagi dirinya, bukan keluarganya. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa nama al-Maraghi tidak mutlak menunjukan kepada dirinya. Menurut Abdul Aziz al-Maraghi yang dikutip oleh Abdul Djalal, kota al- alMaraghah Ibu Kota Kabupaten al-Maraghah yang terletak di tepi Barat Sungai Nil, yang berpenduduk 10.000 jiwa, dengan penghasilan utama Gandum, Kapas dan Padi.2 Ahmad Mustafâ al-Maraghi berasal dari kalangan ulama yang taat dan menguasai berbagai bidang ilmu agama. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa 5 dari 9 orang putra laki-laki Syaikh Mustâfâ al-Maraghi (ayah Ahmad Mustâfâ al-Maraghi) adalah ulama besar yang cukup terkenal, yaitu:
1
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), Cet. Ke-1, hal. 15 2 +Abdul Djalal H. A, Tafsir al_Maraghi dan Tafsir An-Nur Sebuah Studi Perbandingan, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1985), cet, 1, h.110
10
11
1. Syaikh Muhammad Mustâfâ al-Maraghi yang pernah menjadi syaikh al-Azhar selama dua periode tahun 1928-1930 dan 1935-1945. 2. Syaikh Ahmad Mustâfâ al-Maraghi, pengarang Tafsir al-Maraghi. 3. Syaikh Abdul Azis al-Maraghi, Dekan Fakultas Ushuluddin al-Azhar. 4. Syaikh Abdullah Mustâfâ al-Maraghi,Inspektur umum pada Universitas al-Azhar dan menjadi imam Raja faruq. 5. Syaikh Abul Wafa Musa al-Maraghi, Sekretaris Badan Penelitian dan pengembangan Universitas al-Azhar. Di samping itu ada 4 orang putra Ahmad Mustâfâ al-Maraghi yang menjadi hakim, yaitu: 1. M.Azia Ahmad al-Maraghi, Hakim di Kairo. 2. A. Hâmid al-Maraghi, hakim dan penasehat Menteri Kehakiman di Kairo. 3. Asim Ahmad al-Maraghi, hakim di Kuwait dan Pengadilan Tinggi di Kairo. 4. Ahmad Midad al-Maraghi, Hakim di Pengadilan Tinggi Kairo dan Wakil Menteri Kehakiman di Kairo.3 Jadi selain al-Maraghi keturunan ulama yang menjadi ulama, ia juga berhasil mendidik putra-putranya menjadi ulama dan sarjana yang senantiasa mengabdikan dirinya untuk masyarakat dan bahkan mendapat kedudukan penting sebagai hakim pada pemerintahan Mesir. Sebutan (nisbah) al-Maraghi dari Syaikh Mustâfâ al-Maraghi dan lain-lainnya bukanlah dikaitkan dengan nama suku/marga atau keluarga, seperti halnya sebutan Hasyimi yang dikaitkan dengan keturunan Hasyim, melainkan dihubungkan dengan nama tempat kota kelahirannya, yaitu kota al-Maraghah
3
Abdul Djalal H. A, Tafsir al_Maraghi dan Tafsir An-Nur Sebuah Studi Perbandingan, h. 110
12
Hal ini perlu dijelaskan sebab sering kali terjadi salah persepsi tentang siapa sebenarnya penulis tafsir al-Maraghi diantara kelima putra Mustâfâ itu. Hal ini yang sering membingungkan karena Mustâfâ al-Maraghi juga terkenal sebagai seorang mufassir. Memang benar bahwa sebagai seorang mufassir Muhammad Mustâfâ juga melahirkan sejumlah karya tafsir, hanya saja ia tidak berhasil menafsirkan al-qur‟an secara menyeluruh. Ia hanya berhasil menulis tafsir beberapa bagian al-Qur‟an Seperti surat alHujarât dan lain-lain. Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud disisni adalah Ahmad Mustâfâ al-Maraghi, Adik kandung dari Muhammad Mustâfâ al-Maraghi. Oleh karena itu yang memakai sebutan al-Maraghi bukanlah terbatas pada anak cucu Syaikh Abdul Mun‟im al-Maraghi saja. Hal ini dapat dibuktikan dengan fakta yang terdapat dalam kitab Mu‟jam al-Muallifin karangan Syeikh Umar Rida Kahhalah yang memuat biografi 13 orang al-Maraghah di luar Keluarga Syaikh Abdul Mun‟im alMaraghi, yaitu para ulama/sarjana yang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan yang dihubungkan dengan kota asalnya al-Maraghah.4
2. Perkembangan Intelektual Pada masa kanak-kanaknya dilalui dalam lingkungan keluarga, setelah al-Maraghi menginjak usia sekolah, beliau dimasukan oleh orang tuanya ke Madrasah yang ada di desanya, tempat dimana ia mempelajari al-Qur‟an, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya, sehingga sebelum mencapai umur yang ke-13 ia sudah menghafal seluruh ayat al-Qur‟an. Di samping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu
4
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), Cet. Ke-1, hal. 16
13
agama yang lain di Madrasah tersebut sampai ia menamatkan pendidikan tingkat menengah.5 Setelah menamatkan pendidikan dasarnya tahun 1314 H/1897 M, al-Maraghi melanjutkan pendidikannya
ke Universitas Al-Azhar di Kairo atas persetujuan orang
tuanya, di sini beliau mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan agama, seperti Bahasa Arab, Tafsir, Hadis, Fiqih, Akhlak, dan Ilmu Falak. disamping itu beliau juga mengikuti kuliah di Universitas Darul‟Ulum Kairo yang sekarang berganti nama Cairo University.6 Sampai beliau berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 1909 M.7 diantara guru-gurunya adalah Syaikh Muhammad Abduh. Bagi Muhammad Abduh , al-Maraghi disebut murid yang besar dikalangan orang-orang al-Azhar.8 Pada tahun 1314 H/1897 M beliau menuntut ilmu pengetahuan agama , seperti Bahasa Arab, Balaghah, Tafsir, Ilmu al-Qur‟an, Ilmu Hadis, Fiqh, Usul Fiqh, Akhlak, Ilmu Falaq dan sebagainya pada perguruan tinggi tersebut, al-Maraghi mendapatkan bimbingan langsung dari tokoh-tokoh ternama dan ahli dibidangnya masing-masing pada waktu itu, seperti : Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Bukhait al-Mut‟I Ahmad Rifa‟I al-Fayumi, dan guru-gurnya yang lain adalah Syaikh Muhammad Hasan al-Adawi, Syaikh Bahis al-Muthi, dan Syaikh Ahmad Rifa‟I al- Payumi. Merekalah antara lain yang menjadi narasumber bagi al-Maraghi, sehingga ia tumbuh menjadi sosok intelektual muslim.9 Setelah Syaikh Ahmad Mustâfâ al-Maraghi menamatkan studinya di Universitas alAzhar dan Dar al-Ulum, ia memulai karirnya dengan menjadi guru dibeberapa sekolah menengah. Kemudian ia diangkat menjadi direktur Madrasah Mua‟llimin di Fayum, 5
Abdullah Mustâfâ al-Maraghi, Al-fath Al-Mubin Fi Tabaqat al-Ushuliyin, (Beirut : Muhammad Amin 1993), h. 202 6 Yang dahulu merupakan perguruan tinggi yang berdiri sendiri dan sekarang menjadi bagian dari Kairo University 7 Abdullah Mustâfâ al-Maraghi, Al-Fath al-Mubin, h. 202 8 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,1996), cet, ke -12, hal. 77 9 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-maraghi, h. 17
14
sebuah kota setingkat kabupaten kira-kira 300 km sebelah berat kota Kairo. Pada tahun 1916 ia diangkat menjdi dosen utusan al-Azhar untuk mengajar ilmu-ilmu syariah Islam pada Fakultas Girdun di Sudan, selain sibuk mengajar al-Maraghi juga giat mengarang buku-buku ilmiah. Salah satu buku yang selesai dikarangnya di sana adalah „Ulûm alBalâghah.10 Pada tahun 1920 ia kembali ke Kairo dan diangkat menjadi dosen Bahasa Arab dan Ilmu Syari‟ah Islam di Dar al-Ulum sampai tahun 1940. Disamping itu ia diangkat menjadi dosen Ilmu Balâghah dan Sejarah Kebudayaan Islam di Fakultas Adab Universitas alAzhar, selama ia mengajar ia tinggal di daerah Hilwan, sebuah kota satelit Kairo, kira-kira 25 km sebelah Selatan Kota Kairo, ia menetap disana sampai akhir hayatnya sehingga di kota tersebut terdapat suatu jalan yang diberi nama jalan al-Maraghi.11 Ahmad Mustâfâ al-Maraghi juga mengajar pada perguruaan Ma’had Tarbiyah Mu’allimât beberapa tahun lamanya, sampai ia mendapatkan piagam tanda penghargaan dari Raja Mesir, Faruq pada tahun 1361 H, atas jasa-jasanya tersebut, Piagam tersebut tertanggal 11-1-1361 H. pada tahun 1370 H/1951 M, yaitu setahun sebelum beliau meninggal dunia, dalam usianya yang terbentang selama 17 tahun, beliau juga masih mengajar dan dipercayakan menjadi direktur Madrasah Utsman Mahir Basya di Kairo sampai menjelang akhir hayatnya, Ahmad Mustâfâ al-Maraghi meninggal pada tanggal 97-1952 M/ 1371 H.12 di tempat kediamannya di jalan Zulfikar Basya nomor 37 Hilwan dan dikuburkan di pemakaman keluarga di Hilwan, kira-kira 25 km di sebelah kota Kairo.13 Berkat didikannya lahirlah ratusan, bahkan ribuan ulama/ sarjana dan cendikiawan muslim yang bisa dibanggakan oleh lembaga pendidikan Islam, yang ahli dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Mereka inilah yang akhirnya menjadi tokoh-tokoh aktivis 10
Abdul Djalal, Tafsir al-Maraghi_dan Tafsir al-Nur, Sebuah Studi Perbandingan, h. 17 Abdul Djalal, Tafsir al-Maraghi_dan Tafsir al-Nur, Sebuah Studi Perbandingan, h.114 12 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-maraghi, h. 20 13 Abdul Djalal, Tafsir al-Maraghi_dan Tafsir al-Nur, Sebuah Studi Perbandingan, h. 18 11
15
bangsanya yang mampu mengemban dan meneruskan cita-cita bangsanya di bidang pendidikan dan pengajaran serta bidang-bidang lain. Diantara murid-muridnya yang berhasil dari Indonesia adalah : 1. Bustami Abdul Ghani, Guru Besar dan Dosen Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Mukhtar Yahya, Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 3. Mastur Djahri, dosen senior IAIN Antasari Banjarmasin. 4. Ibrahim Abdul Halim, dosen senior IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Abdul Rozak al-Mudy, dosen senior IAIN Sunan Ampel Surabaya.14 Sebagai telah disinggung di atas, selain aktif mengajar, al-Maraghi juga giat menulis dan mengarang. Karya tulis al-Maraghi yang terbesar adalah Tafsir al-Maraghi yang terdiri dari 30 Juz. Karena ada beberapa orang yang memakai nama al-Maraghi, seperti yang disebut diatas, terutama Muhammad Mustâfâ al-Maraghi (1298-1364H/1881-1945M) dan Ahmad Mustâfâ al-Maraghi (1003-1371H/1883-1952M), keduanya beradik kaka dan sama-sama mengarang kitab tafsir, dan sama-sama pernah menjadi muruid Muhammad Abduh, maka disini perlu ditekankan bahwa yang menjadi objek penelitian penulis adalah kitab tafsir yang ditulis oleh Ahmad Mustâfâ al-Maraghi (adik) yang lengkap 30 Juz al-Qur‟an bukan kitab Tafsir yang dikarang oleh Muhammad Mustâfâ al-Maraghi (kakak) yang tafsirnya kurang dari 30 Juz. 3. Karya-karya al-Maraghi al-Maraghi menyadari bahwa setiap masa mempunyai karakter tersendiri, baik dalam sikap masyarakat, tradisi, akhlak dan cara berpikir pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya, oleh karena itu al-Maraghi merasa perlu untuk mengeluarkan sebuah kitab 14
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam (Jakarta: t.p., 1993), Jilid 2, h. 696
16
Tafsir dengan corak yang sesuai dengan masa kini atau bersifat kontemporer dan sesuai dengan kondisi pluralis masyarakat yang ada. Namun demikian al-Maraghi masih tetap menganggap perlu untuk mengikuti pendapat-pendapat mufasir sebelumnya sebagai wujud penghargaan al-Maraghi atas kerja keras yang telah mereka lakukan. al-Maraghi telah melakukan banyak hal. Selain aktif mengajar di beberapa lembaga pendidikan yang telah disebutkan , ia juga memberikan kontribusi yang besar terhadap umat ini lewat beragam karyanya. Salah satu diantaranya adalah Tafsir al-Maraghi yang terbesar, Tafsir al-Maraghi yang terdiri dari 30 Juz.15 Sebuah kitab tafsir yang beredar di seluruh dunia sampai saat ini. Diantara buah pena yang dapat dihasilkan dan dibaca diantaranya : 1. ‘Ulûm Al-Balagah 2. Hidâyah al-Tâlib 3. Tahbîz al-Tandîh 4. Buhûts wa Arâ 5. Târîkh ‘Ulûm al-Balâghah wa Ta’rîf Bi Rijâlihâ 6. Mursiyd at-Tulab 7. Al-Mujas fi ‘Ulûm wa al-Usûl al-Diyânât wa al-Akhlâk 8. Al-Hisâb fi al-Islâm 9. Al-Rifqi bi Hayawân Fi Islâm 10. Syarh Tsalâsîn Hadîsan 11. Tafsir Juz Innamâ as-Sabîl 12. Risâlât Fi Zaujât an-Nabî 13. Risâlât Ishât Ru’yat al-Hilâl Fi Ramadân 14. Al-Khutbah wa al-Khutaba Fi Daulat al Umâwiyyah wa al-Abbâsiyyah 15
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-maraghi, h. 19
17
15. Al-Mutala’ah al-’Arâbiyah li al-Madâris as-Sudâniyyah.16 Penulisan sekian banyaknya karyanya ini tidak terlepas dari rasa tanggung jawab al-Maraghi sebagai salah seorang Ulama Tafsir yang melihat begitu banyak problema yang membutuhkan pemecahan dalam masyarakatnya. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi berdasarkan dalil-dalil Qur‟ani sebagai alternative untuk dijadikan cara pemecahan yang actual dan pemecahan menurut Islam dimasa modern ini. Salah satu adigium yang selalu menjadi jargon para mufasir kontemporer adalah bahwa al-Qur‟an merupakan sebuah kitab suci yang Sâlihun li Kulli Zamân wa al-Makân kitab suci yang sesuai untuk segala Zaman dan tempat, sebuah kitab suci yang berlaku universal, melampaui waktu dan tempat, yang dialami manusia.17 B. Profil Tafsirnya 1. Metode Penafsirannya Bagian ini diawali dengan menjelaskan latar belakang penulisan tafsir al-Maraghi sebagaimana yang terdapat pada mukodimah tafsirnya, ia mengatakan bahwa di masa sekarang banyak kalangan yang cenderung memperluas cakrawala pengetahuan agama, terutama di bidang tafsir al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. Kitab-kitab tafsir tersebut banyak memberikan manfaat yang menyikapkan persoalan-persoalan agama, namun penjelasan dalam kitab-kitab tersebut banyak dibumbui dengan istilah-istilah lain seperti Ilmu Balâghah, Nahwu, Sarf, Fiqh, Tauhîd dan ilmu-ilmu lainnya yang justru menimbulkan permasalahan sendiri bagi pembaca dalam rangka memahami al-Qur‟an dengan benar. Namun demikian al-Maraghi mengulas, hal ini memang tidak bisa disalahkan, karena ayat-ayat al-Qur‟an sendiri memberikan Isyarat tentang hal itu. Tetapi saat ini dapat 16
Kafrawi Ridwan, et. Al (ed) Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve Jakarta, 1994), cet. Ke-3, h. 166, lihat juga Abdullah Mustâfâ Al-Maraghi, al-Fath al-Mubin Fi Tabaqat al-Ushuliyin (Beirut : Muhammad Amin, co. 1934). H. 204 17 Mustaqim, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka Yogyakarta, 2003) cet. 1, h. 95
18
dibuktikan dengan dasar penyelidikan ilmiah dan data autentik dengan berbagai argumentasi yang kuat, bahwa sebaiknya tidak perlu ditafsirkan al-qur‟an dengan analisi ilmiah yang hanya berlaku seketika. Sebab, dengan berlalunya masa, sudah tentu situasi akan berubah. Apalagi tafsir-tafsir terdahulu itu ditampilkan dengan gaya bahasa yang hanya bisa dipahami oleh para pembaca yang semasa. Pembicaraan tentang ilmu-ilmu tersebut merupakan bidang tersendiri yang sebaiknya tidak dicampur dengan Tafsir al-Qur‟an. Di samping itu kitab-kitab tafsir sering diberi cerita-cerita yang kontradiksi dengan fakta dan realita.18 Berdasarkan kenyataan tertentu, maka al-Maraghi merasa terpanggil untuk menyusun suatu kitab tafsir dengan metode penulisan yang sistematis, bahasa yang sederhana, dan efektif serta mudah dipahami. Tafsir al-Maraghi mempunyai metode penulisan tersendiri yang membuatnya berbeda dengan tafsir-tafsir yang lain. 2. Corak Tafsirnya Tafsir al-Maraghi bercorak sama dengan tafsir al-Manâr karya Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, Tafsîr al-qur’ân al-Karîm Karya Muhammad Syaltut, dan Tafsir alWâdih karya Muhammad Hijazi. Semuanya itu bercorak al-Adabi al-Ijtimâ‟î.19 yakni suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayatayat al-Qur‟an, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.20
18
Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut : Dar al-Fikr, 1974 M), cet. Ke-3, Jilid 1,
hal. 3 19
Ali Hasan Al-Arid, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1994), cet. Ke-2, hal. 72 20 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-maraghi, h. 6
19
3. Sistematika Penafsirannya Adapun metode dan sistematika Tafsir al-Maraghi sebagaimana yang dikemukakan dalam mukadimah tafsirnya adalah sebagai berikut:21 1. Mengemukakan ayat-ayat di awal pembahasan Al-Maraghi memulai setiap pembahasan dengan mengemukakan satu, dua atau lebih ayat-ayat al-Qur‟an yang berorientasi kepada suatu tujuan yang menyatu. 2. Menjelaskan kosa kata kata-kata secara bahasa ternyata ada kata-kata sulit dipahami oleh para pembaca. 3. Menjelaskan pengertian ayat-ayat secara global Selanjutnya al-Maraghi menyebutkan makna ayat-ayat secara global, sehingga sebelum memasuki penafsiran yang menjadi topik utama, para pembaca telah terlebih dahulu mengetahui makna ayat-ayat tersebut secara umum. 4. Menjelaskan sebab-sebab turun ayat Jika ayat tersebut mempunyai asbâb al-nuzûl berdasarkan riwayat sahih yang menjadi pegangan para mufassir, maka al-Maraghi menjelaskannya terlebih dahulu. 5. Meninggalkan istilah-istilah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan Al-Maraghi sengaja meninggalkan istilah-istilah yang berhubungan dengan ilmuilmu lain yang diperkirakan bisa menghambat para pembaca dalam memahami isi al-Qur‟an. Misalnya `Ilm Nahwu, Sarf, `Ilm balâghah dan sebagainya. Pembicaraan tentang ilmu-ilmu tersebut merupakan bidang tersendiri yang sebaiknya tidak dicampur dengan tafsir al-Qur‟an namun ilmu-ilmu tersebut sangat penting diketahui dan dikuasai seorang mufassir. Meskipun ia mengingkari visi dan paradigm tafsir al-Qur‟an ilmiah, akan tetapi ia juga berusaha memadukan karena mengikuti metodologi gurunya, Muhammad Abduh dalam mengkompromikan antara 21
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, h. 26-30
20
Islam dengan sivilisasi Barat antara sikap mereka yang menolak terhadap visi dan paradigma tersebut dengan sikap para pendukung dan penganjurnya, karena itu
beliau masih mentolelir jika antara tekstualitas ayat dengan realitas ilmiah yang Fixed itu ada kesesuaian.22 6. Gaya bahasa para Mufassir Al-Maraghi menyadari bahwa kitab-kitab tafsir terdahulu disusun sesuai dengan gaya bahasa para pembaca ketika itu. Yang sudah barang tentu sangat mudah dimengerti oleh mereka, kebanyakan Mufassir didalam menyajikan karyakaryanya itu menggunakan gaya Bahasa yang ringkas, sekaligus sebagai kebanggaan mereka karena mampu menulis dengan cara itu. Saat ini sudah masanya bagi kami menulis sebuah kitab tafsir dengan warna tersendiri yang kami bangun berdasarkan pendapat-pendapat para mufasir terdahulu sebagai sekedar penghargaan atas upaya yang pernah mereka lakukan di dalam meniti jalan ini,
dengan demikian kamipun mengetahui sejauh
mana
perkembangan ilmu pengetahuan (sains) yang dapat mendukung pemahaman isi alQur‟an. Kami sadar bahwa, upaya ini merupakan kewajiban bagi para ahli agama. Tetapi, wajib pula bagi mereka untuk menanyakan masalah-masalah kepada para ahli sains untuk sekedar memberikan penjelasan, disamping agar lebih bersesuaian dengan situasi masa. Sebab, jika mereka ini telah jauh pendapat-pendapat orangorang terdahulu berarti mereka ini telah jauh bahkan menjauhi kenyataan, sehingga tidak mendapatkan penghargaan apapun, Namun, karena pengertian masa lalu diikuti dengan ciri-ciri khusus, baik tingkahlaku maupun kerangka berpikir masyarakat, maka wajar, bahkan wajib bagi mufassir masa sekarang untuk
22
Abdul Majid Abdussalam al-Muhtashib visi dan Paradigma Tafsir al-qur’an Kontemporer (Jakarta: al-Izzah 1997) cet. 1, h. 323
21
memperhatikan para pembaca dan menjauhi pertimbangan masa lalu yang tidak relevan lagi.23 7. Seleksi terhadap kisah-kisah yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir terdahulu yang memuat cerita-cerita yang berasal dari ahli kitab (israiliyat) padahal cerita tersebut belum tentu benar. Pada dasarnya, manusia ingin mengetahui hal-hal yang dipandang sulit untuk diketahui. Terdesak oleh kebutuhan tersebut, mereka justru mengidentifikasi permasalahan kepada ahli kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah ibn Salam, Ka‟ab ibn al-Ahbar dan Wahab ibn Munabbih. Ketiga orang tersebut menceritakan kepada umat islam yang dianggap interpensi hal-hal sulit yang terdapat didalam al-Qur‟an. Padahal mereka bagaikan orang yang mencari kayu bakar dikegelapan malam. Mereka mengumpulkan apa saja yang didapat, kayu ataupun lainnya sebab kisah-kisah mereka tidak melalui seleksi, bahkan sama sekali tidak mempunyai nilai-nilai ilmiah, belum bisa membedakan antara yang benar dan yang salah, dan tidak mampu memisahkan antara yang sah dan yang palsu. Mereka secara sembarangan menyajikan kisah yang selanjutnya dikutip oleh umat Islam dan dijadikan sebagai tafsiran mereka. Dengan demikian menurut al-Maraghi banyak kita jumpai hal-hal yang kontradiktif dengan akal sehat dalam tafsir mereka, dan bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri lebih-lebih karya tersebut tidak mempunyai bobot ilmiah dan jauh dibandingkan karya-karya generasi sesudahnya.24 Selanjutnya al-Maraghi mengemukakan contoh lain ia mengatakan bahwa perumpamaan mereka adalah sama dengan turis Eropa ketika mengunjungi Piramida di Mesir. Kemudian ia bertanya kepada orang-orang Arab yang sedang berkemah di sekitar itu: “mengapa piramida itu dibangun?Siapa yang membangunnya? Bagaimana cara membangunnya? Sudah pasti para turis tadi akan 23 24
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-maraghi, h.. 27 Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-maraghi, h.28
22
mendapatkan jawaban-jawaban yang jauh dari kenyataan dan bertentangan dengan rasio. Karena itu al-Maraghi memandang langkah yang lebih baik dalam pembahasan tafsirnya tidak menyebutkan masalah-masalah yang berkaitan erat dengan cerita orang terdahulu kecuali jika cerita-cerita tersebut” kami percaya , kata al-Maraghi, cara inilah yang paling baik dan bisa dipertanggung jawabkan dalam penafsiran al-Qur‟an. Sudah barang tentu hasilnyapun akan banyak dirasakan kalangan masyarakat pendidikan yang biasanya tidak mudah percaya terhadap sesuatu tanpa argumentasi dan bukti.25 8. Jumlah Juz Tafsir al-Maraghi Kitab Tafsir ini terdiri dari 30 jilid berisi 1 Juz al-Qur‟an. Hal ini dimaksudkan agar mudah dibawa kemana-mana baik ketika menempati suatu tempat atau bepergian, Tafsir al-Maraghi dicetak untuk pertama kalinya pada awal tahun 1365 H. Tafsir Al-Maraghi yang sekarang ditemukan berjumlah 10 jilid, dan tiap jilid berisi 3 Juz Al-Qur‟an. 9. Pesatnya Sarana Komunikasi Di Masa Modern Masa sekarang ini, ternyata mempunyai ciri tersendiri. Masyarakat lebih cenderung menggunakan gaya bahasa sederhana yang dapat dimengerti maksud dan tujuannya. Terutama ketika bahasa itu dipergunakan sebagai alat komunikasi sehingga melahirkan kejelasan pengertian. Karenanya, sebelum kami melakukan pembahasan terlebih dahulu membaca seluruh kitab-kitab tafsir terdahulu yang beraneka ragam kecenderungannya dan masa ditulisnya, sehingga kami memahami secara keseluruhannya sisi kitab-kitab tersebut. Kemudian kami berusaha mencernanya dan kami sajikan dengan gaya bahasa yang bisa dimengerti di masa sekarang . itulah cara kami menyusun tafsir. 25
Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-maraghi, h.29
23
Demikianlah metode penulisan, sistematika dan langkah-langkah yang ditempuh al-Maraghi dalam penyusunan Tafsirnya.26
26
Hasan Zaini., Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-maraghi, h.30
BAB III PERNIKAHAN DALAM ISLAM DAN PENAFSIRAN AL-MARAGHI TENTANG AYAT-AYAT NIKAH A.
Pernikahan Menurut Islam
1.
Pengertian Pernikahan Menurut Bahasa dan Istilah Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan
banyak hasil yang penting.1Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok dengan jalan perkawinan yang sah pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara suami dan istri.Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus
merupakan
kelangsungan
hidup
manusia
secara
bersih
dan
berkehormatan.2 Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabila Islam mengatur masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan, sesuai kedudukannya yang amat mulia di tengahtengah makhluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al Khaliq (Tuhan Maha Pencipta) dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan kehidupan jenisnya.perkawinan dilaksanakan atas dasar kerelaan pihak-pihak
1
Ibrahim Amini, Principles of Marriage Family Ethics, terj. Alwiyah Abdurrahman,"Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri", Bandung: al-Bayan, 1999, hlm. 17. 2 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 121.
24
25
bersangkutan, yang dicerminkan dalam adanya ketentuan peminangan sebelum kawin dan ijab-kabul dalam akad nikah yang dipersaksikan pula di hadapan masyarakat dalam suatu perhelatan (walîmah). Hak dan kewajiban suami istri timbal-balik diatur dengan rapi dan tertib; demikian pula hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya.Apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri, diatur pula bagaimana caramengatasinya.Dituntunkan pula adat sopan santun pergaulan dalam keluargadengan sebaik-baiknya agar keserasian hidup tetap terpelihara dan terjamin. Hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islamsebab
hukum
yangmerupakan
inti
perkawinan kehidupan
mengatur masyarakat
tata-cara
kehidupan
sejalan
dengan
keluarga kedudukan
manusiasebagai makhluk yang berkehormatan melebihi makhluk-makhluk lainnya.Hukum perkawinan merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang wajibditaati dan dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Alqur‟andan Sunah Rasul. Dalam literatur fiqih pernikahan atau perkawinan menggunakan dua kalimat yang lazim dipakai yakni ( نكحnakaha) dan ( زوجzawwaja) dua kata ini dinilai memiliki pengertian yang sama secara makna atau lebih dikenal dengan lafadz yang memiliki kesamaan makna. Secara umum hampir semua ulama memandang tidak terdapat perbedaan yang signifikan baik dari sisi terminology atau etimologi dua kata tersebut, sehingga jika ditemukan salah satu kata tersebut dalam literature fiqih orang akan menangkap pengertian yang sama.
26
Nikah secara bahasa berarti ( دحمmendorong dengan keras) atau حجاyaitu menggauli. Selain itu, kata nakaha juga bisa berarti transaksi dari perkawinan (aqdu az-zawâj).3Dalam kamus Alwat‟u (berhubungan badan) dan transaksi (akad) bagi hubungan badan tersebut4.Orang Arab sendiri memahami asal نكح dengan berhubungan badan.Sementara kalimat zawaja sendiri secara bahasa berarti lawan kata dari al-Fardu (sendiri) yang juga berarti sesuatu yang memiliki pasangan. Menurut Hanafiyah nikah adalah Alwat‟u dan majaznya berarti al-Aqdu dan berpegang pada hakikat adalah lebih utama daripada majaz kecuali ada dalil yang menyebutkannya.Adapun Syafiiyah memandang hakikat nikah adalah al-Aqdu (akad).5 Di dalam kamus bahasa Arab Indonesia kata nikah diartikan sebagai (perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi) bisa disebut juga dengan pernikahan.Al-Qur‟an menggunakan kata ini untuk makna tersebut, disamping- secara majazi-diartikan dengan hubungan “seks”.Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 2 kali.Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”.al-Qur‟an juga menggunakan kata zawaj yang berarti “pasangan. Kata zawaja dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali.6 Secara umum al-Qur‟an hanya menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah. Memang ada juga 3
Ibn Manzur, Lisan al-„arab, (Dar al-Ma‟arif, t, tp.t.t.), Juz VI, h. 4537 Al-Fairuzzabady, al-Qamus al-Muhith, (beirut: Dar al-Jail, t.t.h), h . 263 5 Ali Ash-Shabuni, Rawi‟I al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur‟an, Juz 1 (Beirut: Alam al-Kutub 1986 M-1406 H), h. 504-505 6 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2006) h . 191. 4
27
kata “wahaba” yang berarti “memberi” digunakan oleh al-Qur‟an untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi saw, dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi saw. (Q.S.al-Ahzâb : 50). Dari kesimpulan di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama zaman dahulu memandang nikah sebagai kebolehan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk berhubungan.Sedangkan ulama muta‟akhirin dalam mendefinisikan nikah telah memasukan unsur hak dan kewajiban suami istri. Pendapat seperti ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah dengan perkataan: “Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita mengadakan tolong menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing.”.
Sehubungan dengan pengertian nikah menurut para ulama fiqih, tampaknya tidak jauh berbeda dengan pengertian perkawinan dalam undang-undang pemerintah Republik Indonesia No. 1/1974 tentang perkawinan. Pada bab 1 pasal 1 disbutkan: “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara sorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.7 Hakekat pernikahan yang digambarkan dalam Undang-undang pemerintah Republik Indonesia tersebut sejalan dengan hakekat pernikahan dalam Islam, 7
Undang-undang Perkawinan Repuublik Indonesia, (semarang: Beringin Jaya, tt.), h. 7
28
karena kedua-duanya tidak hanya melihat dari segi ikatan kontrak lahirnya saja, tetapi sekaligus ikatan, atau pertautan batin antara suami istri yang bertujuan untuk membina keluarga yang bahagia sesuai kehendak Allah. Adapun menurut Syara, nikah berarti: akad yang menyebabkan bolehnya melakukan istimtâ‟ (campur) dengan seorang wanita, dan ini dapat terjadi jika wanita itu bukan orang yang haram dinikahi karena ada hubungan nasab, sesusuan dan
hubungan
semenda
(pernikahan).Hanafiyyah
lebih
condong
untuk
mengatakan bahwa campur itu dinisbahkan dengan kepemilikan sehingga mereka mendefinisikan nikah itu dengan akad yang menyebabkan pemilikan mut‟ah (bercampur), yakni halalnya seorang laki-laki mencampuri wanita yang tidak dilarang oleh syara‟.8
2.
Tujuan Pernikahan Ali Ahmad al-Jurjani mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan
manusia di muka bumi ini agar mereka dapat memakmurkannya.Agar Bumi makmur, maka dibutuhkan manusia hingga berakhirnya dunia ini sehingga dibutuhkan pula pemeliharaan keturunan manusia agar penciptaan bumi ini tidak sia-sia.Dengan demikian makmurnya bumi ini tergantung pada manusia dan adanya manusia tergantung pada pernikahan. Dengan adanya pernikahan maka akan lahirnya keturunan yang banyak dan mudahlah proses pemakmuran bumi,
8
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqih al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989 M1409 H, Juz VII, cet, 3, h. 29
29
sebab perbuatan seberat apapun jika dilakukan secara bersama akan menjadi mudah.9 Semua orang menganggap kehormatan, kesucian diri dan akhlak yang mulia itu adalah merupakan kebaikan yang berharga dan merusaknya adalah perbuatan yang nista, dengan demikian manusia dapat memelihara kehormatan dan kesucian diri dengan pernikahan bukan perzinahan dan pergaulan yang buruk. Pernikaha juga dapat memelihara keturunan dengan baik, memperjelas keturunan seseorang, siapa ayah, siapa ibunya dan seterusnya, ringkasnya pernikahan akan menimbulkan ketenangan, ketentraman, pemeliharaan kehormatan dan keturunan serta kemuliaan jiwa dan pribadi. Pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang baik biasanya akan melahirkan keturunan-keturunan shalih
yang akan
menyambung amal bagi kedua orang tuanya.10 Menurut Asaf A.A.Fyzee, tujuan perkawinan dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu.:11 1. Aspek Agama (ibadah) a. Pernikahan merupakan pertalian yang teguh antara suami istri dan turunan; pertalian yang erat dalam hidup dan kehidupan merupakan perpaduan yang suci dan kebiasaan yang bermutu tinggi dalam mengembangbiakkan manusia sebagai karunia Tuhan, Allah Ta‟ala dalam surat Al-Nissa (4):1 yang artinya”
9
Syeikh Ali Ahmad al-Jurjani, Hikmahu at-Tasyiri‟ wa Falsafatuhu, Alih Bahasa Adi Mulyo dan Sobahussurur, (semarang: Asy-Syifa‟ 1992), h. 256 10 Muhammad Faisal Hamdani, Nikah Mut‟ah Analisis Perbandingan Antara Sunni dan Syi‟ah, (Jakarta: Gaya Media Pratama; 2008), cet. 1 h. 31 11 Pendapat ini dikutip dari Dr. H. Chuzaimah T.Yanggo dan Drs. HA.Hafiz Ansory AZ, MA.Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) cet. 1, h. 57
30
Artinya: “hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) namanya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. b. Perkawinan merupakan salah satu sunah pada Nabi, dan mereka dijadikan tauladan dalam kehidupan. Allah ta‟ala berfirman dalam Q. S. Ar-Ra‟du (13):38,
Artinya:
“dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)” c. Perkawinan mendatangkan rezeki dan menghilangkan kesulitan-kesulitan. d. Istri merupakan simpanan yang paling baik H.R.Muslim dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW bersabda;12
12
Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, (Libanon : Dar al-Fikr, 1983), juz, 2, h. 7
31
Artinya: “Dunia ini laksana perhiasan dan perhiasan yang terbaik adalah wanita yang shalihah” 2.
Aspek Sosial Memberikan perlindungan kepada kaum wanita yang secara umum
fisiknya lemah karena setelah kawin, ia mendapat perlindungan dari suami, baik masalah nafkah atau gangguan orang lain, seperti Firman Allah Q.S. anNissa‟(4):34,
Artinya: Kamu laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka Mendatangkan sakinah (ketentraman batin) bagi suami, menimbulkan mawaddah dan mahabbah (kasih cinta) serta rahmah (kasih sayang) antara suami istri, anak-anak dan seluruh anggota keluarga. 3. Aspek Hukum Perkawinan sebagai akad, yaitu perikatan dan perjanjian yang luhur antara suami istri untuk membina rumah tangga bahagia, sebagai ikatan dan
32
perjanjian, kedua belah pihak terikat dengan janji yang dibuatnya, karena itu dengan akad nikah menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri, dan sebagai unit kecil dari masyarakat, juga akan menimbulkan hal dan kewajiban antara orang tua dan anak dengan orang tua, sebagai ikatan yang luhur dan kuat, seperti dalam Firman Allah Q.S. an-Nissa:21
Artinya: Bagimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri, dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. Dari berbagai aspek nikah yang telah diuraikan di atas, Nampak secara nyata tujuan perkawinan, antara lain: menyalurkan naluri seksual secara halal dan sah; melestarikan keturunan, dan terpelihara nasab dengan jelas dan melestarikan keturunan. 3.
Rukun dan Syarat Pernikahan Menurut UU No 1/1974 tentang perkawinan Bab: 1 pasal 2 ayat 1
dinyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.13 Bagi umat Islam, perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut Hukum Perkawinan Islam, suatu akad perkawinan dipandang sah apabila telah memenuhi segala rukun dan syaratnya sehingga keadaan akad itu diakui oleh Hukum Syara.
13
Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta; Bulan Bintang, 1975, hlm. 80
33
Rukun Akad Perkawinan ada lima yaitu: 1. Calon mempelai Rukun nikah yaitu calon suami dan calon istri biasanya hadir dalam upacara pernikahan, calon istri selalu ada dalam upacara tersebut, tetapi calon suami,mungkin karena sesuatu keadaan dapat mewakilkan kepada orang lain dalam ijab qabul. 2. Wali Nikah Wali yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab, yaitu wali yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita.Dalam keadaan luar biasa, wali nasab dapat digantikan oleh wali hakim, yaitu petugas pencatat nikah jika wali nasab tersebut tidak ada atau tidak ditemukan.Demikian pula, jika wali nasab tidak ada atau tidak ditemukan.Demikian pula jika wali nasab tidak mau atau tidak bersedia menikahkan calon mempelai wanita, maka wali hakimlah yang bertindak untuk menikahkannya.
3. Saksi Saksi (4) dalam pernikahan harus terdiri dari dua orang yang memenuhi syarat.Perkawinan yang tidak dihadiri saksi, walaupun rukun (1), (2), dan (3) sudah dipenuhi, menurut pendapat umum adalah tidak sah. 4. Ijab Qabul Tentang pelaksanaan ijab qabul (5) atau akad, pernikahan harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Menurut pengertian hukum
34
perkawinan, ijab adalah penegasan kehendak untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan dari (wali) pihak wanita kepada calon mempelai pria. Qabul adalah penegasan untuk menerima ikatan perkawinan tersebut yang diucapkan oleh mempelai pria.Penegasan penerimaan itu harus diucapkan oleh mempelai pria langsung sesudah ucapan penegasan penawaran yang dilakukan oleh wali pihak mempelai wanita.Tidak boleh ada tenggat waktu yang mengesankan adanya keragu-raguan.14 Syarat Pernikahan yaitu: a. Persyaratan yang berhubungan dengan kedua calon mempelai Syarat perkawinan yang berhubungan dengan kedua calon mempelai adalah: 1. Keduanya memiliki identitas dan keberadaan yang jelas 2. Keduanya beragama Islam (Q.S. al-Baqarah(2):221 3. Keduanya tidak dilarang melangsungkan perkawinan. Mengingat ada beberapa larangan dalam perkawinan Islam, yaitu: a. Larangan karena perbedaan agama, sebagaimana firman Allah Q.S al-Baqarah ayat 221
14
Lihat H.E. Hasan Soleh,Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, Ed 1, _,1_Jakarta: Rajawali Pers, 2008, h.299-300
35
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mu‟min lebih baik dari dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayatayatnya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.(al-Baqarah 2:221). Ayat di atas masih menyimpan sebuah batasan umum tentang siapa saja yang boleh dinikahi dan siapa yang tidak boleh, batasan tersebut adalah antara Musyrik dan Mukmin. Adapun yang dimaksud dengan musyrik atau musyrikin adalah orang-orang yang menyembah berhala15 Batasan umum ini mengindikasikan bahwa selain wanita-wanita musyrik boleh dinikahi, sebagaimana ayat berikut yang membolehkan seorang laki-laki mukmin menikahi wanita dari kalangan ahl al-kitâb yang memang masih murni keimanan mereka dari sebelum kedatangan Nabi sampai kedatangannya:
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka (pula) menjadikannya gundikgundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum islam) maka apuslah amalannya dan ia dihari akhirat termasuk orang-orang merugi;.(Al-Maidah 5:5).
15
Al-Baghawî, Ma‟âlim al-Tanzîl, muhaqqiq: Muhammad „Abdullah al-Namr (Dâr-al-Taybah: 1997) cet, 1, Juz 1, h. 255
36
Pembolehan ini tidak berlaku kepada wanita-wanita mukminin yang ingin menikah dengan orang-orang diluar umat Islam, karena sudah menjadi suatu hukum keterikatan dalam perkawinan yang berjalan secara alamiah, bahwa wanita akan mengikuti kemana arah langkah suaminya. Oleh karena demikian, maka untuk menjaga agar wanita-wanita mukminin tidak terjerumus kedalam jurang kekufuran, dia dilarang memiliki keinginan menikahi dengan mereka, hal tersebut telah diisyaratkan dalam ayat berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji keimanan mereka.Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka.Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami) orang-orang kafir.Mereka tiada halal bagi orangorang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada suami-suami mereka, mahar yang telah mereka bayar, dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkannya diantara kamu.Dan Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Q.S al-Mumtahanah 60: 10) b.
Larangan Karena hubungan darah
37
Artinya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusukan kamu; saudara perempuan sepesusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Q.S al-Nisâ‟: 23 c.
Larangan karena hubungan perkawinan Di samping larangan karena hubungan perkawinan berdasarkan QS al-Nisa :
23 diatas juga berdasarkan ayat yang sebelumnya Q.S Al-Nisa : 22
38
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). (Q.S Al-Nisa : 22) d.
Larangan karena hubungan sepersusuan
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibuibumu yang menyusukan kamu; saudara perempuan sepesusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Q.S al-Nisâ‟: 23
39
e.
Larangan melakukan Poliandri Firman Allah Q.S al-Nisa: 24
Artinya: Dan diharamkan pula kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapannya atas kamu.Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.Yaitu mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu campuri diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagaimana suatu kewajiban. Dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar itu.Sesungguhnya Allah maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.(Q.S Al-Nisa: 24)
4.
Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melaksanakan perkawinan Khusus untuk laki-laki harus punya bekal untuk menikah. Al-Qur‟an dan Sunnah mengisyaratkan adanya batas usia. Firman Allah : Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (Q.S. AL-Nisa :6)
40
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin” (Q.S Al-Nisa:6) 5.
Unsur kafa‟ah (kesamaan) antara kedua belah pihak Maksudnya antara pria dan wanita yang akan melangsungkan pernikahan itu terdapat kesamaan, baik kecakepannya, keturunan maupun agama dan akhlaknya, demikian pula kekayaan dan keturunan antara keduanya tidak menimbulkan konflik karena perbedaan-perbedaan tersebut, termasuk agama bahkan yang terakhir ini dipesankan oleh Nabi Saw. Dan harus menjadi pegangan bagi kedua belah pihak.Tanpa kafa‟ah antara keduanya tidak memilki ketaqwaan yang diperlukan dalam menghadapi masalah keluarga.
6.
Persetujuan dari kedua belah pihak Tanpa ada persetujuan dari kedua belah pihak, perkawinan tidak dapat dilangsungkan.
7.
Adanya hak dan kewajiban pada suami istri Setelah keduanya mengikat tali perkawinan maka keduanya pun terikat sebagai suami istri.Dalam hal ini ada tiga hal kewajiban suami terhadap istrinya yang merupakan hak istri dari suaminya, yang merupakan hak suami dari istrinya dan kewajiban bersama suami istri.16 a. Kewajiban suami yaitu kewajiban yang bersifat materi dan kewajiban bersifat non materi. Kewajiban yang bersifat materi adalah berupa mahar (maskawin), adalah memberi nafkah.
16
H.E. Hasan Soleh,Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer,h. 308
41
b. Kewajiban istri adalah menggauli suami sesuai dengan kodratnya secara layak sebagaimana dapat dipahami dari (Q.S. Al-Nisa : 19) taat dan patuh pada suami selama suami tidak menyuruh melakukan perbuatan maksiat atau yang dilarang agama. Namun istri tidak wajib patuh kepada siapapun termasuk suami, yang menyuruh berbuat maksiat. c. Hak dan kewajiban Suami Istri Dalam kaitannya dengan kewajiban suami istri ini, dalam perkawinan dimungkinkan adanya perjanjian kawin antara kedua belah pihak selama tidak bertentangan dengan hakikat perkawinan menurut syariat Islam.17
4. Hikmah Pernikahan Hikmah dari pernikahan, dalam hal ini, Sayyid Sabiq merincikan hikmah pernikahan ,Yaitu:18 1. Sesungguhnya naluri sex adalah naluri manusia yang paling kuat dan selalu menuntut jalan keluar. Bila tidak disalurkan maka banyak manusia yang mengalami kegoncangan dan selalu menerobos jalan-jalan yang keji dan nista, adapun yang menjadi jalan itu adalah melalui proses jalan pernikahan. 2. Nikah
juga
jalan
terbaik
membuat
anak-anak
menjadi
memperbanyak keturunan dan memelihara nasab.
17 18
H.E. Hasan Soleh,Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, h. 312 Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, juz, 2,h.10-12
mulia,
42
Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dengan dalam suasana keluarga bersama anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang. 3. Menyadari tanggung jawab istri dan memenuhi kebutuhan anak-anak, menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam segala hal. Dalam satu pernyataan PBB yang intinya adalah orang yang menikah ratarata umurnya lebih panjang daripada orang yang membujang dan janda Dari hikmah pernikahan yaitu kita dapat memelihara dan memperbaiki keturunan dari mulai anak, cucu, cicit, dan seterusnya. Sebab kalau tidak melalui nikah terlebih dahulu, tentu keturunannya akan bermasalah, karena bisa saja salah satu pihak tidak mau bertanggung jawab dalam mengurus anaknya. Agama Islam menetapkan bahwa untuk membangung rumah tangga yang damai dan tentram harus dengan pernikahan yang sah, serta diketahui sekurangkurangnya oleh dua saksi, juga dianjurkan supaya diumumkan kepada tetangga dan kerabat dengan mengadakan pesta perkawinan (walimah) dengan demikian akan terpeliharalah keturunan suatu keluarga. Allah SWT berfirman dalam alQur‟an al-Karim surat al-Nahl ayat 72:
43
Artinya: “dan Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri, dan menjadikan bagimu istri-istri kamu itu, anak-anak, cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik.”19
Melalui perkawinan inilah terjadi pembiakan umat manusia, namu bisa saja kelahiran manusia dilaksanakan tanpa melalui pernikahan sah atau disebut juga “kumpul kebo”.Akan tetapi manusia mempunyai akal, moral serta peradaban. Tanpa peradaban manusia akan kehilangan, posisinya sebagai manusia, jadi tidaklah pantas melakukan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan moralitas seperti binatang. Hikmah lainnya adalah, pada dasarnya, semua orang menganggap kehormatan, kesucian diri dan akhlak yang mulia itu adalah merupakan kebaikan yang berharga dan merusaknya adalah perbuatan yang nista, hina dan tercela.Dengan demikian manusia dapat memelihara kehormatan dan kesucian diri dan pribadinya dengan pernikahan bukan perzinahan dan pergaulan yang buruk atau tercela lainnya. Jika kehormatan ini juga dilanggar maka tentulah akan menimbulkan kerusakan, permusuhan, kebejatan moral dan kefasikan hidup. Pernikahan juga dapat memelihara keturunan dengan baik, memperjelas keturunan seseorang, siapa ayah, siapa ibu dan seterusnya. Ringkasnya pernikahan akan menimbulkan ketenangan , ketentraman, pemeliharaan kehormatan dan keturunan serta kemuliaan jiwa dan pribadi. Pernikahan yang dilakukan oleh
19
Al-Qur‟an dan terjemahnya, h. 412
44
orang-orang yang baik biasanya juga akan melahirkan keturunan-keturunan saleh yang akan menjadi penyambung amal bagi kedua orang tuanya.20
B. Penafsiran al-Maraghi Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat-ayat pernikahan beda keyakinan sebagai berikut: 1. Surat al-Baqarah ayat 221
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mu‟min lebih baik dari dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Mereka mengajak keneraka, sedang Allah mengajak kesurga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayatayatnya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.(al-Baqarah 2:221). al-Maraghi dalam menjelaskan ayat “wala tankihul musryikat hatta yu‟minu “. Menurut beliau laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita musyrik selagi mereka masih berada dalam kemusyrikan, akan tetapi laki-laki muslim 20
Muhammad Faisal Hamdani, Nikah Mut‟ah; Analisis Perbandingan antara Sunni dan Syi‟ah, (Jakarta: Gaya Media Pratama: 2008), cet. 1 h. 57
45
boleh menikahi wanita musyrik apabila mereka telah beriman dan menjalankan sariat-sariat agama islam. Dalam hal ini al-Maraghi berlandaskan firman Allah sebagai berikut:
Dalam ayat ini al-Maraghi melarang menikahi wanita musryik selagi mereka masih berada dalam kemusryikan. Sedangkan dalam ayat “
”dalam
penafsirannya al-Maraghi melarang untuk menikahi mereka walaupun mereka itu cantik, dan kaya sebab menurut al-Maraghi orang yang menikahi wanita musyrik hanya karna kecantikan dan hartanya tidak akan semuanya itu dapat membantu mereka untuk pindah mengikuti agama Islam. Dalam hal ini al-Maraghi menukil pendapat Ibnu Majah dan Ibnu Umar Radiyallahu Anhu, sesungguhnya Nabi bersabda: “janganlah kalian nikahi wanitawanita musyrik karena kecantikannya maka tidak mungkin kecantikannya itu dapat membalikan mereka dan janganlah kalian menikahi wanita karena hartanya, karena tidak mungkin harta mereka akan membantu kita. Dan nikahilah mereka atas agamanya, bahkan wanita-wanita (hamba sahaya) yang hitam yang mempunyai agama itu lebih baik21daripada orang musyrik yang gagah dan cantik. Al-Maraghi juga menukil pendapat dua Syaik Buhari dan Muslim dari Abu Hurairah “sesungguhnya Nabi saw, harus menikahi wanita karena empat 21
Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Kairo : Mustâfâ al-Babi al-Halabi,
Juz 2, 1962, h. 151
46
perkara: pertama hartanya, keduanasabnya, ketiga kecantikannya, dan keempat agamanya maka nikahilah yang mempunyai agama.” Adapun penjelasan Al-Maraghi dari ayat ”
“
adalah larangan untuk menikah dengan wanita musyrik apabila mereka belum beriman, akan tetapi boleh menikah dengan wanita musyrik apabila mereka telah beriman kepada Allah swt, sebab menurut al-Maraghi menikahi seorang budak yang beriman itu lebih baik daripada menikah dengan orang musyrik, karena perbuatan orang musyrik itu selalu mengajak untuk keneraka.22 Menurut penulis, al-Maraghi selain melarang menikah dengan orang musyrik, tetapi al-Maraghi membolehkan menikah dengan orang musyrik dengan beberapa syarat salah satunya adalah membolehkan menikah dengan orang musyrik apabila mereka itu telah beriman kepada Allah, bukan karena harta ataupun kecantikannya saja sebab perbuatan orang-orang musyrik mengandung unsur syirik yang jelas dan selalu mengajak kepada neraka. 2. Surat al-Maidah ayat 5
22
Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, , Tafsir al-Maraghi, , h. 152
itu
47
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orangorang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum islam) maka apuslah amalannya dan ia dihari akhirat termasuk orang-orang merugi;.(Al-Maidah 5:5).23 Al-Maraghi dalam menjelaskan ayat: “
”
menurut beliau halal memakan binatang sembelihan ahli kitab yang telah diberi taurat dan injil kecuali sembelihan kaum musyrikin yang tiada berkitab yaitu para penyembah patung dan berhala itu tidak halal dimakan. Dalam hal ini al-Maraghi menukil dari pendapat yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari Abu Darda dan Ibnu Zaid, bahwa keduanya pernah ditanya mengenai binatang yang disembelih untuk gereja.Maka, keduanya mempatwakan, itu boleh dimakan.Bahkan Ibnu Zaid berkata, “Allah telah menghalalkan makanan mereka dan mengecualikan apa-apa daripadanya.”Sedangkan Abu Darda berkata yaitu ketika dia ditanya tentang seekor domba yang disembelih untuk sebuah gereja yang bernama jirjis, mereka mengorbankan domba tersebut untuk gereja tersebut, 23
Ahmad, Mustâfâ Maraghi,Tafsir al-Maraghi, Kairo : Mustâfâ al-Babial-Halabi, 1962, Juz 16, h.108
48
bolehkah kita memakannya? Sesungguhnya mereka adalah ahli kitab, makanan mereka halal bagi kita dan makanan kita halal bagi mereka, lalu dia menyuruh memakannya dan dalam menjelaskan “
” menurut al-Maraghi
bahwa dibolehkannya binatang sembelihan adalah dari dan untuk masing-masing kedua belah pihak.24 Akan tetapi lain halnya dalam soal hubungan perkawinan, menurut al-Maraghi dalam menjelaskan surat al-Maidah ayat 5 masalah kebolehan untuk menikahi wanita ahli kitab ”
“
ayat ini menurut al-Maraghi adalah ayat yang membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab akan tetapi yang muhsanat yaitu orang yang memiliki kitab dan orang yang memelihara dirinya dari perbuatan zina dan menjaga dengan baik agamanya, sebab menurut beliau mereka tidak bertentangan dan masih dalam batasan-batasan syariat Islam dan memegang teguh ajaran-jaran agamanya. kataAl-Muhsanât disini yang dimaksud adalah Al-Hârâir (wanitawanita merdeka). Menurut al-Maraghi laki-laki mu‟min boleh menikahi wanita ahli kitab yakni wanita merdeka yang telah didatangkan kitab sebelum kamu (Yahudi dan Nasroni). Sedangkan wanita muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab karena menurut al-Maraghi sebagaimana dijelaskan dalam alQur‟an bahwa wanita muslim tidak memiliki wewenang atas laki-laki, dikhawatirkan wanita tersebut akan mengikuti agama suaminya dan akan merusak 24
Ahmad, Mustâfâ Maraghi,Tafsir al-Maraghi, Kairo : Mustâfâ al-Babial-Halabi, 1962, Juz 16, h.111
49
aqidah/ agama anaknya. Karena sesungguhnya wanita musyrik dan laki-laki musyrik perbuatan mereka akan membawa kita kepada jalan neraka.25 Mengenai masalah ini Al-Maraghi menukil pendapat Ibnu Jarir dari Qatadah, bahwa dia berkata, diceritakan kepada kami bahwa ada beberapa orang Islam yang mengatakan “bagaimana wanita-wanita itu kita nikahi? Sedangkan mereka itu berlainan agama dengan kita” maka diturunkannya oleh Allah ” jadi dihalalkannya mereka oleh Allah bukanlah tanpa ilmu.26
“
Penulis sepakat dengan pendapat al-Maraghi, yang mengatakan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab, sebab suami itu adalah seorang pemimpin dalam rumah tangga, jadi apabila suami itu memiliki keimanan yang kuat tidak mungkin dapat terpengaruh terhadap ajakan seorang istri apabila suami memiliki ilmu bahkan bisa jadi malah sebaliknya suami sebagai seorang kepala keluarga bisa dengan mudah membimbing istri untuk memeluk agama yang dianutnya (Islam) dengan kata lain suami memiliki wewenang penuh dalam mengatur
rumah
tangga,
dalam
masalah
apapun
termasuk
masalah
aqidah/keyakinan. Begitu juga dalam hal pelarangan al-Maraghi tentang wanita muslim menikahi pria ahli kitab, penulis sepakat, sebab apabila wanita muslim menikahi pria ahli kitab, di mana ilmu pengetahuan suami lebih tinggi dibandingkan istri
25
Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo : Mustâfâ), Juz 2, 1962, h.
26
Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi , h. 113
152-154
50
dikhawatirkan akan dengan mudah suami mempengaruhi istri dan anaknya dalam masalah aqidah dan akan merusak keyakinannya, karena sudah menjadi tugas suami menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Apabila keduanya sama-sama mempengaruhi maka rumah tangga akan hancur dan tidak akan harmonis. C. Aspek-aspek penafsiran al-Maraghi tentang Nikah Beda Agama dibandingkan dengan Para Ulama Yang dimaksud pernikahan beda keyakinan disini adalah perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita), mengenai masalah ini terdapat beberapa aspek, yaitu: 1.
Perkawinan Antara Seorang Pria Muslim Dengan Wanita Musyrik Islam melarang perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita
musyrik, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221. Sebelum penulis membahas ayat di atas, kiranya perlu diungkapkan terlebih dahulu sebab turunnya ayat tersebut. Ali al-Shabuni mengemukakan ada dua riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat 221 surat al-baqarah.27 1. Al-Wahidi meriwayatkan sebuah hadis dari sahabat Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah mengutus seorang laki-laki dari kabilah yang terkenal kaya. Orang tersebut bernama Marsad bin Abi Marsad, sekutu bani Hasyim, ia diutus untuk membebaskan tawanan muslimin yang ditawan di sana. Kedatangan Marsad didengar oleh seorang wanita yang bernama Inaq (kekasih Marsad pada jaman jahiliyah) ketika Marsad masuk agama Islam dia berpaling dan meninggalkan perempuan tersebut, kemudian Inaq menjumpainya dan berkata “celaka engkau Marsad kemana saja engkau”? 27
Ali al-Shabuni, Rwa‟iu Al-Bayan Tafsir ayat al-Ahkam min Al-Qur‟an, (Beirut: Jamii‟ Huquq Al-Thob‟I wa Al-Nasyri Mahfudzah Li al-Daar, 1986), h. 308
51
Marsad menjawab: Islam telah menjadikan jurang pemisah dan mengharamkan antara kita. Tetapi jika engkau suka maka aku akan mengawini kamu, Inaq menyambut baik tawaran Mursad, “baiklah aku pulang dan meminta izin kepada Rasulullah, lalu turunlah ayat ini. Peristiwa ini terjadi setelah Rasulullah hijrah ke Madinah. 2. Sebab yang lain terjadi oleh Abdullah bin Rawahah, di mana ia mempunyai seorang budak perempuan hitam, dan ketika ia marah kepadanya dia memukulnya, kemudian ia datang menghadap Rasulullah karena merasa tidak enak terhadap budak tersebut, lalu menceritakan apa yang ia lakukan terhadap budak wanitanya, lalu Nabi saw. Bertanya: bagaimanakah ihwal wanita tersebut? Ia menjawab, dia itu berpuasa, salat, memperbagus wudhunya dan mengucapkan sahadatain, kemudian Nabi bersabda, “Hai Abdullah dia adalah mu‟minah,” maka Abdullah berkata: Demi zat yang mengutusmu dengan benar, aku akan memerdekakan dan mengawininya, lalu iapun mengawininya, lalu orang-orang mengolokngolok Abdullah, lalu turunlah ayat ini. Ayat ini membawa pesan khusus agar orag-orang muslim tidak menikahi wanita musyrik dan sebaliknya.28 Ahmad Mustâfâ al-Maraghi dalam menafsirkan ayat ini memberi komentar mengenai sifat orang Musyrik: “sesungguhnya sudah menjadi kebiasaan orang-orang Musyrik baik laki-laki maupun perempuan, selalu mengajak kepada hal-hal yang menyebabkan masuk neraka, baik melalui ucapan maupun perbuatan, dalam hal ini ikatan perkawinan merupakan sarana yang paling kuat untuk mempengaruhi jiwa 28
Nurkholis Madjid, Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2003) h. 154
52
seseorang, dan memberikan kemudahan dalam banyak hal, merupakan landasan dalam rumah tangga. Dalam keadaan seperti ini, tidak mustahil akidah syirik bisa masuk ke dalam jiwa mukmin dan mukminah, tanpa didasari melalui berbagai macam subhat dan penyesatan”.29 Lebih lanjut Ali al-Shabuni mengemukakan hukum menikahi wanitawanita musryikah adalah haram, seperti mengawini wanita-wanita majusi dan para penyembah berhala30Ia berpendapat seperti itu karena menurutnya yang dimaksud adalah selain dari agama samawi, yang tidak beriman kepada Allah. Seperti majusi dan penyembah berhala.Mengutip pendapat jumhur, `Alî al-Sabûnî menyatakan bahwa lafal “Musyrikah” tidak mencangkup ahli kitab karena Allah berfirman Q.S Al-Baqarah 2:105:
Artinya: “Dan Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan dari Tuhanmu dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); Allah mempunyai karunia yang besar”. Pada ayat tersebut maka secara zahîriyyah lafal „Musyrikât‟ tidak mencakup „kitâbiyât‟ (permpuan-perempuan ahli kitab).31 Tentang kebolehan menikahi perempuan ahli kitab akan kami sampaikan pada poin lain. Ayat ini membawa pesan-pesan khusus agar orang-orang muslim tidak menikahi wanita musyrikah atau sebaliknya. Larangan mengawinkan perempuan 29
Ahmad Mustâfâ al-Maraghi,Tafsir Al-Maraghi, Juz I, h. 153 Ali al-Shabuni, Rwa‟iu Al-Bayan Tafsir ayat al-Ahkam min Al-Qur‟an, (Beirut: Jamii‟ Huquq Al-Thob‟I wa Al-Nasyri Mahfudzah Li al-Daar, 1986), h. 311 31 Ali al-Shabuni, Rwa‟iu Al-Bayan Tafsir ayat al-Ahkam min Al-Qur‟an, h. 312 30
53
muslim dengan pria non muslim termasuk pria ahlul kitab,. Menurut al-Maraghi yang dimaksud ahli kitab di sini adalah Yahudi dan Nasroni oleh karena itu menurut beliau laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahlul kitab akan tetapi, wanita muslim tidak boleh menikahi laki-laki ahli kitab sebab banyak kekhawatiran yang akan mempengaruhi agama mereka, karena sesungguhnya mereka itu selalu menyesatkan orang-orang mu‟min untuk memeluk agama mereka.32 Begitu pula Muhamad Abduh mempunyi pendapat yang sama, alasan beliau adalah bahwa orang-orang musyrik itu tidak punya status yang jelas, maka agama Islam tidak mengakui keberadaan agama mereka, oleh karena itu tentu saja kita dilarang menikahinya.33 Sedangkan Abdullah Ibnu Umar berpendapat bahwa haram mengawini perempuan-perempuan ahli kitab dan ia jika ditanya tentang laki-laki muslim yang mengawini perempuan Nasrani atau Yahudi ia menjawab: “Allah mengharamkan perempuan-perempuan Musyrikah (dikawini) orang-orang Islam dan aku tidak melihat kesyrikan yang lebih besar dari seorang wanita yang berkata bahwa Isa adalah tuhannya adalah seorang manusia hamba Allah”.34Dari sini beliau mengomentari bahwa haram menikahi wanita ahli kitab karena syriknya.Namun, kemudian `Alî al-Sabûni dan Mahammud Syaltut mengomentari bahwa yang menjadi dasar pendapat Ibnu Umar tersebut adalah kekhawatirannya si suami muslim
dapat
terpengaruh
lalu
masuk
agama
istrinya,
jadilah
ia
murtad.Selanjutnya menurut mereka, implikasi terhadap pembinaan anak-anak
32
Ali al-Shabuni, Rwa‟iu Al-Bayan Tafsir ayat al-Ahkam min Al-Qur‟an, h. 113 RasyidRidha, Tafsir al-Manar, vol. VI, (Cairo: Darul Manar, 1367 H), Juz 6, h. 193 34 Ali al-Shabuni, Rwa‟iu Al-Bayan Tafsir ayat al-Ahkam min Al-Qur‟an, h. 311. Dan alHarrosiy, h. 129 33
54
sukar dilaksanakan secara islami karena biasanya anak-anak lebih mengikuti ibu ketimbang bapaknya.35 Menurut Ibn Jarir al-Thabari, seorang ahli Tafsir, Bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu adalah musyrikah dari bangsa Arab saja karena bangsa Arab pada waktu turunnya al-Qur‟an memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala, maka menurut pendapat ini, seorang muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non Arab, seperti wanita cina, india, dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci, seperti pemeluk agama Budha, Hindu, Konghucu, yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hidup sesudah mati, dan sebagainya. Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini.36 Yang dimaksud perempuan musyrik menurutnya adalah wanita selain ahli kitab dari perempuan arab.37Dengan demikian ahl- al-Kitab tidak termasuk di dalamnya.Menurutnya Musyrik berarti menyekutukan Allah dengan sesuatu, baik dengan menyembah benda-benda (pagan) maupun penyembah Allah sambil menyembah benda-benda. Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah baik dari bangsa Arab ataupun bangsa non Arab, Selain Ahlul kitab, Yakni Yahudi (Yudaisme) dan Kristen tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan Islam, dan Bukan pula Yahudi/Kristen tidak boleh dikawini oleh pria Muslim, apapun agama ataupun kepercayaan, seperti Budha, Hindu, Konghucu,
35
Nasruddin Baidan, Tafsir Maudhu‟i: Solusi Qur‟ani atas Masalah Sosial Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 27 36 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, vol. VI, Cairo, Darul Manar, 1367 H, h. 187-188; 190; dan 193 37 Muhammad Abduh, Amal al-Kamilah, h. 583 dan Tafsir al-Manar, Juz II, h. 348
55
Majusi/Joroaster, karena pemeluk agama selain Islam, Kristen, dan Yahudi itu termasuk kategori”Musyrikah”.38 Degan demikin para ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak halal kawin dengan perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq, perempuan keluar
dari
Islam,
penyembah
sapi,
perempuan
beragama
politeisme
(menunggaling kawula lan Gusti). Alasannya Firman Allah sebagaimana disebut di atas.39 Karena di akhir ayat di atas telah disebutkan , illat-nya yaitu bahwa semua orang Musyrik mengajak kita kepada neraka. Dari penjelasan di atas penulis sepakat dengan pendapat al-Maraghi bahwa menikahi orang-orang Musyrik itu haram sebab orang-orang musyrik itu sudah pasti akan mempengaruhi keyakinan orang mu‟min laki/wanita, sesungguhnya sudah menjadi kebiasaan orang-orang Musyrik baik laki-laki maupun perempuan, selalu mengajak kepada hal-hal yang menyebabkan masuk neraka, baik melalui ucapan maupun perbuatan, dalam hal ini ikatan perkawinan merupakan sarana yang paling kuat untuk mempengaruhi jiwa seseorang, dan memberikan kemudahan dalam banyak hal, merupakan landasan dalam rumah tangga. Dalam keadaan seperti ini, tidak mustahil akidah syirik bisa masuk kedalam jiwa mukmin dan mukminah, dan akan menjadikan seseorang menjadi murtad baik secara terpaksa ataupun dengan kemauan sendiri tanpa didasari melalui berbagai macam subhat dan penyesatan. Akan tetapi menurut penulis, hal seperti itu tidak akan menjadikan murtad, jika saja suami memiliki keimanan yang cukup, serta didukung dengan posisi suami yang notabene sebagai pemimpin di dalam 38
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Kapita Selekta Hukum Islam), Jakarta: Haji Mas agung; 1994, h. 4 39 Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, juz, 2, h. 178
56
keluarganya, dan sudah menjadi tanggung jawab suami untuk mengarahkan keluarga serta anak-anaknya. Menurut penulis, asbâb al-nuzul ayat 221 surat al-Baqarah di atas, wanita musyrik yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah wanita musyrik yang hidup pada zaman Nabi yang tidak beragama, yaitu wanita penyembah berhala dan tidak memiliki kitab suci. Pelarangan ini tampaknya dapat dipahami karena situasi waktu itu, khususnya bagi orang Islam masih dalam situasi konsolidasi sebagai komunitas yang baru tumbuh dalam waktu yang belum terlalu lama. Ayat ini turun ketika Nabi belum lama menjadi pemimpin kota Madinah. Tampaknya, Nabi sebagai pemegang otoritas merasa harus melakukan intervensi terhadap persoalan pernikahan orang Islam menjadi bagian dari tugas kekhalifannya. Di sini, Nabi menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai pemimpin masyarakat Madinah dan tugas kenabian serta kerasulannya untuk membimbing umat Islam dengan cara mempertahankan keutuhan umat Islam. 2.
Perkawinan antara Seorang Pria Muslim dengan Wanita Ahlul Kitab Sebelum penulis menerangkan lebih jauh tentang pernikahan dengan ahli
kitab, kiranya penulis terlebih dahulu akan menerangkan pengertian ahl al-kitab, atau apa yang dimaksud dengan ahl al-kitab itu, dan siapa saja yang termasuk golongan ahl al-Kitab? Kata ahl al-Kitab disebutkan sebanyak 31 kali di dalam al-Qur‟an,40 kata ahl al-Kitab berasal dari kata ahl.Yang berarti family, kerabat, pemeluk, dan
40
Dewi Sukarti, Perkawinan Antara Agama Menurut Al-Qur‟an dan Hadis, (Jakarta:PBB UIN) 2003, h. 6. Lihat juga M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, Jakarta: Lentera Hati, 2006), cet, 1,h. 348
57
pengikut; kitab berarti buku dibaca atau kitab suci yang menjadi pedoman umat beragama, supaya lebih mudah, kata ahl al-kitab bisa ahli kitab.41 Adapun kitab-kitab suci yang disebutkan dalam al-Qur‟an yaitu: Taurat, Injil, Jabur. Jadi yang dimaksud ahli kitab adalah orang-orang yang kepadanya diturunkan kitab-kitab suci tersebut.Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud as.Yang dibaca oleh kaum Saba (Shabiun), yang sekarang keberadaannya diperkirakan sudah tidak ada lagi.Dan yang tersisa sampai saat ini adalah Yahudi dan Nasroni, yang masing-masing menerima kitab Taurat dan Injil. Kemudian Yahudi dan Nasroni dilekatkan kepada ahli kitab, sebagaimana tertuang dalam surat al-An‟am ayat 156 yang menegaskan bahwa hanya dua golongan sebelum datangnya Islam yang diberi kitab suci. Dari surat al-An‟am ayat 156, M. Qurais Shihab cenderung memahami pengertian ahli kitab pada semua penganut agama Yahudi dan Nasroni, kapanpun, dimanapun, dan keturunan siapapun.42 Sedangkan menurut Rasyid Ridha pengertian “Ahli Kitab” tidak boleh dibatasi hanya pada Yahudi dan Nasroni, tetapi juga harus meliputi Kaum Shabi‟in dan Majusi, serta kaum Hindu, Budha dan Konghucu. Pendapat Rasyid Ridha di atas merupakan pendapat yang mewakili ulama kontemporer, dan pendapat
ini
kemudian
dijadikan
hujjah
oleh
sebagian
ulama
yang
memperbolehkan menikah dengan semua agama yang memiliki kitab suci, tetapi pendapat ini hanya dianut oleh minoritas ulama sedangkan mayoritas ulama tetap hanya memperbolehkan Yahudi dan Nasrani saja yang boleh dinikahi. Tetapi itu 41 42
Dewi Sukarti, Perkawinan Antara Agama Menurut Al-Qur‟an dan Hadis, h. 7 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, h.198
58
juga terdapat batasan-batasan.Para pengikut dari kedua agama ini tidak dikategorikan sebagai orang-orang musyrik. Akan tetapi M. Rasyid Ridho membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahlul kitab dengan syarat lakilaki muslim tidak terpengaruh dan ikut ke agama istrinya, yang ia khawatirkan wanita ahlul kitab tersebut akan menarik laki-laki muslim untuk masuk ke agamanya dengan kepandaiannya, kecantikannya, dan hartanya.43 Terhadap pemikiran M. Rasyid Ridho di atas, maka penulis mendukung karena Islam sebagai rahmat sekalian alam tidak membedakan antara manusia satu dengan lainnya, demikian juga terhadap penganut agama lain. Untuk kali ini penulis menanggapi bahwa, agama-agama selain yahudi dan Nasroni seperti Hindu, Budha, memang tidak disebutkan didalam al-Qur‟an akan tetapi mereka mempercayai adanya tuhan, serta ajaran-ajaran agama, merekapun berlandaskan kitab suci. Jika dicermati ajaran agama mereka mengajarkan tentang kebaikan dan kedamaian, serta ajaran muamalat layaknya agama Islam.Didalam agama mereka juga mengenal pernikahan.Persamaan ini menujukan bahwa ajaran mereka sebenarnya juga ada yang membawanya yakni seorang rasul.Dan pendapat penulis bahwa agama-agama itu bisa dikategorikan sebagai ahli kitab. Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahlul Kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah khusus Bani Israil. Di antara yang berpendapat demikian adalah `Atâ‟ sebagaimana dinukilkan oleh Al-Baihaqi dalam sunan al-Kubrâberkata:
43
Rasyid Ridha, Al-Manar, Juz VI, h. 188
59
“yang dimaksud dengan ahlul kitab di sini bukanlah dari kalangan bangsa Arab, akan tetapi Bani Israil yang diturunkan kepada mereka kitab Taurat dan Injil,” .44 Kebolehan menikah dengan ahli kitab menurut al-Maraghi selain berdasarkan Al-Qur‟an surat Al-Maidah ayat 5, juga berdasarkan sunah Nabi, di mana Nabi pernah kawin dengan wanita Ahlul Kitab, yakni Mariah al-Qibtiyah (Kristen). Demikian pula seorang sahabat Nabi yang termasuk senior bernama Hudzaifah bin al-Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi, sedang para Sahabat tidak ada yang menentangnya. Al-Maraghi dalam menjelaskan ayat 5:5 ini membolehkan laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab dengan alasan bahwa wanita ahlul kitab itu adalah orang Yahudi dan Nasrani, sebab menurut beliau ahli kitab bukan lah bagian dari orang-orang musyrik, mereka merupakan orang-orang yang percaya adanya kitab suci, percaya adanya akhirat dan mereka merupakan orangorang yang menjaga dan memelihara dengan baik agamanya, maka mereka boleh dinikahi dan sembelihannya boleh dimakan. Sedangkan siapapun yang memeluk agama Yahudi dan Nashrani dari kalangan Bangsa Arab atau selainnya (dari kalangan Ajam) maka wanitanya tidak boleh dinikahi dan sembelihannya tidak halal untuk dimakan.” seperti yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 5 tentang kata “Muhsanât” menurut beliau seorang pria mu‟min boleh menikah dengan ahlul kitab dengan catatan wanita itu yang “Muhsanât”yaitu perempuan yang
dapat
menjaga
kehormatan
diri
dan
sangat
menghormati
serta
mengagungkan kitab sucinya. akan tetapi semuanya itu harus didasari dengan 44
Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Muhaqqiq: Muhammad `Abd al-Qâdir `Ata‟(Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1994). Juz, 7, h. 173
60
ilmu dan keimanan yang tinggi kepada Allah sebab ada kemungkinan istri akan mempengaruhi untuk mengikuti agamanya. Disamping itu al-Maraghi melarang bagi wanita muslim untuk menikahi laki-laki musyrik karena seorang istri tidak memiliki hak dan kewajiban secara penuh dalam mengatur rumah tangga, rumah tangga diatur oleh seorang kepala rumah tangga dalam hal ini adalah seorang bapak, al-Maraghi khawatir tentu saja dengan mudah seorang suami akan mempengaruhi keyakinan istri dan anak-anaknya.45 Pendapat yang sama juga diungkapakan oleh Muhammad Abduh, menurutnya ahli kitab bukanlah bagian dari orang-orang musyrik sehingga wanita-wanita ahli kitab halal dinikahi oleh kaum muslimin. Alasan yang digunakannya adalah dengan merujuk kepada suratal-Mâidah ayat 5 di atas. Menurutnya wanita ahli kitab tidak perlu dikhawatirkan pengaruh ajakan dari istrinya tersebut karena pada dasarnya tabiat dan watak laki-laki lebih keras ketimbang perempuan sehingga kecil kemungkinan ia mengikuti agama istrinya tersebut.46 Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarang perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi, karena pada hakikatnya doktrin dan praktik ibadah Kristen dan Yahudi itu mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya ajaran Trinitas yang mengkultuskan Nabi Isa dan Ibunya Maryam (Maria) bagi umat Kristen, dan kepercayaan Uzair putra Allah dan
45
Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, , Tafsir al-Maraghi, Kairo : Mustâfâ al-Babi al-Halabi, Juz 2, 1962, h. 151-154 46 Muhammad Abduh, Islam wa al-Nasraniyyah maa al-Ilmi wa al-Madaniyyah, (Kairo: dar al-Manar, 1373 H), h. 97
61
mengkultuskan Haikal Nabi Sulaiman bagi umat Yahudi.47Sehingga dalam hal ibadah dan aqidah mereka telah menduakan Allah SWT. Alas an mereka tersebut didasarkan pada ayat-ayat berikut:
Artinya: “orang-orang Yahudi mengatakan “Bahwa Uzair adalah putra Allah” dan orang-orang Nasroni mengatakan bahwa Isa al-masih adalah putra Allah”.Demikian itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Mereka dilaknati oleh Allah.Bagaimana mereka sampai berpaling?(Q.S Al-Taubah 9:30) Selanjutnya di dalam al-Qur‟an dinyatakan,
Artinya: “dan janganlah kamu berpegang (yakni ceraikanlah) perempuanperempuan kafir yang telah kamu nikahi”.(Q.S Al-Mumtahanah 60: 10) Ayat ini secara jelas melarang menikahi wanita-wanita kafir, karena ini dalam bentuk larangan maka hukumnya adalah haram begitu sebagian alasan larangan menikahi wanita ahli kitab karena mereka termasuk kepada kaum musyrik.Mereka juga berpendapat bahwa ayat 5 surat al-Maidah yang
47
Rasyid Ridha sependapat dengan Jumhur yang membedakan musyrikin disatu pihat dengan Ahlul Kitab (Kristen/Yahudi) dipihak lain, sesuai dengan pengelompokan yang dibuat oleh Al-Quran, sekalipun pada hakikatnya Ahlul Kitab Kristen dan Yahudi itu sudah melakukan “syirik” menurut pandangan tauhid Islam. Karena itu, perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi diperbolehkan agama, berdasarkan Surat al-maidah ayat 5, sunah dan ijma ibid hlm. 186. Mengenai perkawinan sahabat Nabi Hudzaifah bin Al-Yaman dengan seorang wanita Yahudi, Ibid, hlm. 180
62
membolehkan menikahi dengan ahli kitab di naskh oleh ayat 221 surat al-Baqarah yang melarag menikah dengan orang musyrik. Namun pendapat mereka, dibantah oleh kelompok yang membolehkan menikahi wanita ahli kitab.48: 1. Peyebutan ahli kitab sebagai musyrik adalah suatu hal yang keliru karena itu lari dari kenyataan, karena al-Qur‟an menyebut mereka musyrik lantaran perbuatan mereka, dalam hal ini al-Qur‟an sering menunjuk kata syirik karena perbuatan seperti ria, takabur, dan lainlain. 2. Ahli kitab tidak bisa dikategorikan sebagai musyrik, karena al-Qur‟an sendiri secara jelas telah memilih atau memisahkan antara musyrik dan ahli kitab sebagaimana yang terdapat dala al-Qur‟an. 3. Konteks ayat
) adalah perempuan yang terdapat
dalam perjanjian Hudaibiyyah yaitu wanita penyembah berhala. 4. Perintah Umar Bin Khattab untuk menceraikan istri sahabat yang musyrik itu bukan berarti pengharaman tetapi hanya makruh, karena itu hanya kekhawatiran Khalifah Umar yang melihat kuantitas umat Islam pada waktu itu. 5. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ayat yang melarang menikah dengan wanita musyrik (surat al-Baqarah 221) di naskh oleh ayat yang membolehkan menikah dengan ahli kitab (al-maidah 5). Dengan alas an bahwa ayat 221 al-Baqarah adalah ayat awal yang diturunkan di 48
Badaran Abu al-Ainnayn al-Badran, Al-Alaqah al-Ijtimaiyyah bayna al-Muslimin wa Ghaira al-Muslimin, (Iskndariyah: Muasasah Syabab al-Jami‟ah, 1984), h. 49-50
63
Madinah sedanngkan ayat 5 al-Maidah adalah ayat yang lebih akhir diturunkan, sebagaimana dalam kaidah tafsir bahwa ayat yang dating akhir menaskh ayat yang turunnya lebih awal. Jadi secara otomatis surat al-Maidah ayat 5 menaskh surat al-Baqarah ayat 221. Namun tidak menaskh secara keseluruhan isi ayat 221 surat al-Baqarah, tetapi hanya sebagian kalimat saja. Yaitu bahwa al-kitab tidak termasuk dalam kategori musyrik dalam ayat 221 surat al-Baqarah. Menurut Yusuf Qardhawi, Hukum asal mengawini wanita ahlul kitab menurut jumhur ulama adalah mubah. Namun demikian diantara sahabat yang tidak berpendapat demikian adalah Umar Bin al-Khattab.49 Umar Bin Khattab melarang perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab, sebab menurutnya, Allah swt telah mengharamkan laki-laki menikahi perempuan musyrik dan ia tidak pernah tau adakah syirik yang lebih besar dari seseorang yang beri‟tikad bahwa Nabi Isa AS atau hamba Allah SWT yang lainnya adalah Tuhannya. Dalam konteks ini, menurut Qardhawi, perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan non muslim boleh saja sepanjang wanita itu beragama tauhid. Menurut Qardhawi, saat ini sulit untuk mengukur agama mana yang selain Islam yang memiliki keyakinan tauhid dengan demikian tampaknya Qardhawi menganggap perkawinan yang demikian tidak semudah itu. Menurut pendapat Hasan Khalid Jumhur ulama fiqih membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab, argument mereka yang menyatakan boleh adalah pertama penjelasan yang terdapat dalam Al49
Yusuf Qardhawi,Hadyul Islam Fatawi Mu‟ashirah, Terj. As‟ad Yasin, “Fatwa-fatwa Kontemporer”, jilid 1, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 585
64
Qur‟an dalam surah al-Maidah ayat 5, dan dari ayat ini maka menurut Ahmad Asy Syarbashi dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang laki-laki muslim membolehkan menikahi ahlul kitab, selama wanita Ahlul Kitab layak untuk dinikahi. Kedua, pendapat Sayid Sabiq, ahli fiqih di Mesir, yang menjelaskan bahwa laki-laki muslim halal kawin dengan perempuan ahli kitab yang merdeka. Sekalipun boleh mengawini wanita ahlul kitab, namun kemudian Sayyid sabiq menganggap hukumnya makruh.50 Ketiga, perkawinan antara seorang wanita muslim dengan pria non muslim. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, ulama telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinana antara seorang wanita Muslim dengan pria non Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti kristen dan Yahudi, ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa Budhisme, Hinduisme, maupun pemeluk gama atau kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa dengan kitab suci, termasuk pula di sini penganut Animisme, Ateisme, Politeisme dan sebagainya.51 Bahkan menurut Abu Al-A‟la al-Maududi, cakupan ahlul kitab diperluas lagi oleh ulama Fiqih kontemporer sehingga menjangkau agama Budha dan Hindu. Menurut Muhammad Quraish Shihab, berpendapat bahwa yang dimaksud Ahlul Kitab adalah semua penganut agama Yahudi dan Nasroni, kapanpun, dimanapun, dan menurut beliau ahli kitab itu berbeda dengan musyrik, karena paling sedikit ahli kitab Yahudi dan Nasroni memiliki kitab suci dengan norma-
50
Ahmad Syarbashi, Yas‟alunaka Fi ad-Din wa al-Hayah, Terj. Ahmad Subandi, “Tanya Jawab Lengkap Tentang Agama Dan Kehidupan”. Jakarta: Lentera, 1997, hlm. 244 51 Muhammad Jawad Mughniyah, Al-fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur AB, et al, “ Fiqih Lima Mazhab”, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000, hlm. 336
65
norma akhlak, serta ketentuan-ketentuan yang bila mereka tidak indahkan dapat mengantar kepada terciptanya satu perkawinan yang buruk. Nilai kepercayaan kepada Tuhan mempunyai nilai yang sangat penting dalam mengarahkan seorang menuju nilai-nilai moral. Kecenderungan melarang pernikahan seorang muslim dengan ahli kitab atas dasar kemaslahatan, bukan atas dasar teks al-Qur‟an, sehingga paling sedikit perkawinan tersebut dalam sudut pandang buku Islam adalah makruh, ini adalah antara pria muslim dengan wanita ahli kitab, bukan wanita muslim dengan laki-laki ahli kitab, yang secara tegas dan pasti telah terlarang dan pasti haram hukumnya.52 dan dalam tafsir Ibn Katsir disebutkan bahwa para ahli Tafsir dan para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat ”, menurut Ibn Jarir yang dimaksud
“
„Muhsanât‟ adalah wanita baik-baik dari ahlul kitab baik merdeka atau budak. Menurut Imam Safii yang dimaksud ahlul kitab adalah wanita baik-baik dari Bani Israil. Dan menurut yang lain „Muhsanât‟ adalah wanita ahlul kitab baik-baik tadi yang merupakan penduduk Islam (Kafir zimmi),53. Sedangkan menurut al-Maraghi kata Al-Muhsanât‟ disini yang dimaksud adalah Al-Harâir (wanita-wanita merdeka),yaitu orang-orang Yahudi dan Nasroni. yang menjaga dengan baik agamanya, maka menurut beliau mereka boleh dinikahi..54
52
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), cet 1, Vol. I, h.
445-446 53
Ismail Ibn Katsir al-quraisy al-Dimasqi, Tafsir al-Qur‟an al-Azim, Beirut: dar alMa‟rifat, 1978, Juz 6 h. 252 54 Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, , Tafsir al-Maraghi, Kairo : Mustâfâ al-Babi al-Halabi, Juz 2, 1962, h. 151
66
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dua golongan di sini adalah Yahudi dan Nasroni, sedangkan penganut agama lain yang memiliki kitab suci selain yang disebutkan di atas tidak termasuk golongan ahlul kitab. Walaupun para ulama berbeda dalam mendefinisikan kata Muhsanât tersebut, akan tetapi maksudnya adalah sama, yaitu yang dimaksud Muhsanât (wanita ahlul kitab) adalah yang menjaga kehormatan dirinya dari perbuatanperbuatan yang buruk (tercela), seperti perbuatan zina. Untuk itu penulis menanggapi bahwa agama-gama selain Yahudi dan Nasroni seperti Hindhu, budha, memang tidak disebutkan dalam al-Qur‟an.Tetapi mereka mempercayai adanya tuhan serta ajaran agama merekapun berlandaskan pada kitab suci.Jika dicermati, ajaran agama merekapun berlandaskan pada kitab suci, mereka mengajarkan tentang kebaikan dan kedamaian, serta ajaran muamalah layaknya agama Islam.Di dalam agama mereka juga mengenal pernikahan.Persamaan ini menunjukan bahwa ajaran mereka sebenarnya juga ada yang membawanya yakni seorang rasul.Dan pendapat sementara penulis bahwa agama-agama itu bisa dikategorikan sebagai ahlul kitab. Pendapat al-Maraghi memang memperbolehkan
laki-laki muslim
menikahi wanita ahli kitab, tetapi ini hanya berlaku bagi wanita ahli kitab tertentu saja. Maksudnya tidak semua wanita ahli kitab boleh dinikahi, tetapi al-Maraghi membatasi hanya pada wanita ahl kitab yang Muhsanâtsaja, sedangkan wanita ahl kitab yang tidak muhsanat tidak boleh dinikahi. Ahl kitab yang Muhsanât ini mencangkup ahl kitab saat ini.
67
Dalam konteks hukum perkawinan yang menjadi pembatasan (muqayad) pada ayat ini adalah sifat (Muhsanât), bukan masa (minkoblikum) sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama.Pembatasan pada masa ini dikarenakan ulama sangat berhati-hati dalam menyikapi agama ahl kitab, tak terkecuali dalam masa perkawinan, yang dipercaya sebagai ikatan yang kuat antara manusia dengan Tuhan.Karena itulah para ulama bersikeras menekankan keseimanan, atau lebih tepatnya seagama sebagai kualitas yang harus diperhatikan dalam memilih pasangan hidup. 3.
Perkawinan antara Seorang Wanita Muslim dengan Pria Non Muslim Ulama telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang
wanita Muslimah dengan pria non muslim baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa Kitab suci, seperti Budhisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak punya Kitab suci dan juga Kitab yang serupa itab suci. Termasuk pula di sini penganut Animisme, ateisme, Politeisme dan sebagainya. Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin antara wanita Muslimah dengan Pria non Muslim, ialah: a. Wanita muslim , haram dan tidak sah secara mutlak menikah dengan lakilaki kafir, baik musyrik, ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) maupun yang lain karena pada umumnya, posisi wanita sangat tergantung pada suami. Jika dipaksakan, maka pernikahannya batal dan tidak sah, jika mereka
68
melakukan hubungan suami istri hukumnya haram sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mumtahanah ayat : 10
“Hai orang-orang yang beriman apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji keimana mereka.Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka.Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami) orang-orang kafir.Mereka tiada halal bagi orangorang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada suami-suami mereka, mahar yang telah mereka bayar, dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuanperempuan kafir dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkannya diantara kamu.Dan Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S al-Mumtahanah 60: 10) b. Ijma para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita Muslimah dengan pria non Muslim. Adapun asbâbal-Nuzûl ayat tersebut yang dikemukakan oleh Al-Syaikhani yang bersumber dari al-Miswar bin Marwan bin Ahkam, bahwa setelah Rasulullah saw. Mengadakan perjanjian dengan kaum kafir Quraisy di dalam naskah Hudaibiyah, datanglah wanita-wanita mukminat dari Mekah.Maka turunlah ayat
69
ini, yang memerintahkan untuk menguji dahulu kaum wanita-wanita yang hijrah itu, dan tidak boleh dikembalikan ke Mekah jika mereka benar-benar telah beriman. Ayat di atas merupakan ayat yang menjelaskan larangan menikahi orangorang kafir, baik wanita maupun laki-laki.Tetapi jika mereka telah beriman kepada Allah, maka mereka halal untuk dinikahi. Dilarangnya perkawinan antara seorang wanita Islam dengan pria Kristen karena dikhawatirkan wanita Muslim itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya, kemudian terseret pada agama suaminya, demikian anak-anak yang lahir dari hasil perkawinannya dihawatirkan pula mereka akan mengikuti agama bapaknya, karena bapaknya sebagai kepala keluarga terhadap anak-anak melebihi ibunya. Dalam hal ini fakta-fakta menunjukan bahwa tiada sesuatu agama dan sesuatu ideology di muka bumi ini yang memberikan kebebasan dan bersikap toleran terhadap agama lain seperti agama Islam. Sebagaimana Firman Allah SWT surat al-baqarah ayat 120:
Artinya: “Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka.” Firman tersebut mengingatkan kepada umat Islam, hendaknya berhati-hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang Kafir (Yahudi dan Nasroni) yang selalu berusaha melenyapkan umat Islam dengan berbagai macam cara dan hendaklah umat Islam tidak memberi jalan kepada mereka.
70
Courtenay Beale dalam bukunya Marriage Before & After mengingatkan, bahwa pasangan suami istri yang terdapat perlawanan agama, misalnya perkawinan antara pemuda dan pemudi yang sama-sama yakin dengan kebenaran agamanya masing-masing maka akan sangat sulit sekali menciptakan rumah tangga yang harmonis dan bahagia, karena masalah agama adalah masalah yang sangat prinsip dan sensitif bagi umat beragama.55 Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat ini berkata bahwa menikahkan wanita Islam dengan laki-laki non muslim adalah Haram, berdasarkan sunnah (hadis) Nabi dan Ijma‟ umat. Rahasia pelarangan ini, tulisnya lagi, ialah karena istri tak punya wewenang seperti yang dimiliki oleh suami. Oleh karena itu tak ada artinya ia dikawinkan dengan non muslim, bahkan sebaliknya, keyakinan istri dapat rusak oleh wibawa suaminya yang sangat fanatik akan selalu berusaha agar istrinya menukar iman dengan keyakinan suami.56 Kekhawatiran al-Maraghi itu memang cukup beralasan, terutama bila dikaitkan dengan firman Allah di atas: Kekalutan di rumah tangga akan semakin mencekam, bila masing-masing pihak (suami-istri) ingin saling mempengaruhi dan sama-sama berusaha menamakan keyakinan kepada anak-anaknya. Bila hal ini terjadi jelas keretakan rumah tangga tak dapat dihindarkan, suasana “surgawi” segera berganti gejolak api pertengkaran dan permusuhan, dan pada gilirannya mengantarkan rumah tangga itu kepada kehancuran. Tidak hanya itu, anak-anak yang lahir dari perkawinana itu akan digrogoti terus menerus oleh kebimbangan, kerancuan pemikiran mengenai keyakinan agama, karena tak tertananam secara mendalam di 55
Courtenay Beale, Marriage Before& After, London, The wales Publishing Co., hlm. 20 , Ahmad, Mustâfâ Maraghi,Tafsir al-Maraghi, Kairo : Mustâfâ al-Babi al-Halabi, Juz 16-18, 1962 56
71
hatinya, sejak kecil. keyakinan semacam inilah yang menjadi lahan yang subur bagi paham syirik, anti Tuhan dan sebagainya. Dijelaskan pula dalam kitab al-Manar bahwa mengawinkan mereka (lakilaki) kafir dengan wanita mukmin tidaklah dapat mencapai maksud perkawinan hakiki karena wanita berada dalam kekuasaan suami, lebih-lebih lagi karena wanita berada dalam suatu lingkungan agama yang sama sekali tidak memberikan hak-hak perlindungan kepada wanita seperti yang diberikan oleh Islam kepada mereka.57
Para ulama telah menjelaskan tidak bolehnya wanita muslimah menikah dengan pria non muslim berdasarkan pemahaman ayat di atas (surat Al Mumtahanah ayat 10), bahkan hal ini telah menjadi ijma‟ (kesepakatan) para ulama.
Beberapa pendapat para ulama yang menjelaskan tidak bolehnya wanita muslimah menikah dengan pria non muslim:
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
.
57
Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), Juz ke-2, hal. 15
72
Artinya: “Para ulama kaum muslimin telah sepakat tidak bolehnya pria musyrik (non
muslim)
menikahi
(menyetubuhi)
wanita
muslimah
apa
pun
alasannya.Karena hal ini sama saja merendahkan martabat Islam.”58
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) menunjukkan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik (non muslim)”.59 Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan:
“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) merupakan dalil bahwa wanita muslimah tidaklah halal bagi orang kafir (non muslim).Keislaman wanita tersebut mengharuskan ia untuk berpisah dari suaminya dan tidak hanya berpindah tempat (hijrah)”.60
58
Muhammad bin Ahmad Al Anshori Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, Mawqi‟ Ya‟sub,
59
Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur‟an Al „Azhim,Muassasah Qurthubah, 13/521. Fathul Qodir, Muhammad bin „Ali Asy Syaukani, Mawqi‟ At Tafasir, 7/207.
3/72. 60
73
Syaikh „Abdurrahman bin Nashir As Sa‟di rahimahullah mengatkan:
“Sebagaimana wanita muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir, begitu pula wanita kafir tidak halal bagi laki-laki muslim untuk menahannya dalam kekafirannya, kecuali diizinkan wanita ahli kitab (dinikahkan dengan pria muslim).”61 Syaikh Muhammad bin Sholih Al „Utsaimin rahimahullah berkata, “Orang kafir (non muslim) tidaklah halal menikahi wanita muslimah. Hal ini berdasarkan nash (dalil tegas) dan ijma‟ (kesepakatan ulama). Allah Ta‟ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka.Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orangorang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” Wanita muslimah sama sekali tidak halal bagi orang kafir (non muslim) sebagaimana disebutkan sebelumnya, meskipun kafirnya adalah kafir tulen (bukan orang yang
61
„Abdurrahman bin Nashir As Sa‟di, Taisir Al Karimir Rahman,Muassasah Ar Risalah, 1423 H, hal. 857.
74
murtad dari Islam). Oleh karena itu, jika ada wanita muslimah menikah dengan pria non muslim, maka nikahnya batil (tidak sah).62 Demikian juga disebutkan dalam kitab tafsir fi zhilâl al-Qur‟an “sesungguhnya pasti diharamkan perkawinan seorang muslim dengan wanita musyrik dan perkawinan seorang laki-laki musyrik dengan wanita muslim, haram, melihat dua hati yang berlainan kepercayaan dan keyakinan.Ikatan hati (perkawinan) seperti ini adalah satu ikatan palsu dan sangat lemah sekali karena hati keduanya tidak bertemu dalam keyakinan terhadap Allah dan ikatan hidup mereka tidak berdasarkan metode dan programnya. Allah yang memuliakan manusia dan mengangkat kedudukannya di atas hewan tidak menghendaki hubungan perkawinan semata-mata diikat oleh keinginan hewani dan kepuasan seksual semata, ia hanya berkehendak meningkatkannya mencapai keridaan Allah.63
62
Majmu‟ Fatawa Syaikh Ibni „Utsaimin, 12/138-140, dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 69752 63 Sayid Quthub, Fidilalil al-Qur‟an, (Beirut : Dar al-Fikr, 1997), Juz ke-2, h. 185
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Bersarkan uraian sebelumnya, maka pendapat al-Maraghi dalam hal nikah beda keyakinan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita musyrik, karena walaupun laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga, akan tetapi orang musyrik itu selalu mengajak untuk terjerumus ke dalam kemusyrikan
2. Wanita muslimah tidak boleh menikahi laki-laki non muslim baik dari kalangan musyrikin maupun dari kalangan ahlul kitab, karena ditakutkan wanita tersebut akan mengikuti agama suaminya. 3. Laki-laki muslim boleh menikahi wanita dari kalangan ahlul kitab dengan catatan wanita tersebut menjaga kehormatan dia dan tetap berpegang teguh kepada kitab suci yang ia pegang 4. Kelompok yang disebut sebagai Ahlul kitab adalah kelompok Yahudi dan Nasrani yang diturunkan kepada mereka kitab Taurat dan Injil. b. Saran-saran Perbedaan waktu dan zaman ketika pertama kali al-maraghi mencetuskan pemikirannya dengan masa sekarang ini, tidak menjadikan sebuah halangan untuk dijadikan studi perbandingan pemikiran dan fikih dalam membahas masalah pernikahan beda keyakinan. 75
76
Selanjutnya, penulis menyadari akan banyaknya kekurangan-kekurangan dalam menulis skripsi ini, baik dari sisi cara penulisan, pembahasannya dan terutama mengenai referensi-referensi yang penulis gunakan. Harapan besar bagi panulis adalah agar kiranya ada yang bisa melanjutkan penelitian penulis ini, tentunya yang berhubungan dengan nikah beda agama, sehingga kekurangankeurangan di atas dapat tertutupi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djalal H. A, Tafsiral_Maraghi dan Tafsir An-Nur Sebuah Studi Perbandingan, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1985 Abduh, Muhammad, Islam wa al-Nasraniyyah maa al-Ilmiwa al-Madaniyyah, Kairo: daral-Manar, 1373 H Abduh, Muhammad, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.h
Amini,
Ibrahim, Principles of Marriage Family Ethics, terj.Alwiyah Abdurrahman, "Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri", Bandung: al-Bayan, 1999
Al-Arid, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1994 Al-Badran, Badaran Abu al-Ainnayn, Al-Alaqah al-Ijtimaiyyah bayna alMuslimin wa Ghaira al-Muslimin, Iskndariyah: MuasasahSyabab alJami‟ah, 1984 Baidan, Nasruddin, TafsirMaudhu‟i: Solusi Qur‟ani atas Masalah Sosial Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 Al-Baihaq, Sunan al-Baihaqîal-Kubrâ, , Muhaqqiq: Muhammad `Abd al-Qâdir `Ata‟, Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1994 Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004 Beale, Courtenay, Marriage Before & After, London, The wales Publishing Co Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: t..t.p, 1993 Fairuzzabady, al-Qamus al-Muhith, Beirut: Dar al-Jail, t.t.h Hamdani, Muhammad Faisal , Nikah Mut‟ahAnalisis Perbandingan Antara Sunni dan Syi‟ah, Jakarta: Gaya Media Pratama; 2008 Hasan, M. Ali, Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersad, 1997 Husein, AgusFahri, Relasi Tuhan dan Manusia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997
77
78
Ibn „Utsaimin, Majmu‟ Fatawa, t.t.p, t.t.h IbnKatsir, Ismail, Tafsir al-Qur‟an al-Azim, Beirut: dar al-Ma‟rifat, 1978 IbnManzur, Lisan al-„arab, Dar al-Ma‟arif, t.t.h. Al-Jabiry, Abdul Mutaal Muhammad, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam,Terj. Drs Ahmad Sythori, Jakarta: Bulan Bintang, 1991 Al-Jurjani, Ali Ahmad, Hikmahu at-Tasyiri‟ wa Falsafatuhu, Alih Bahasa:Adi Mulyo dan Sobahussurur, semarang: Asy-Syifa‟ 1992 Madjid, Nurkholis, Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Yayasan Paramadina, 2003 Mahalli, Jalaluddin, Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalâlayni,Mesir: DarulHadits Maraghi, Ahmad Mustâfâ,Tafsir al-Maraghi, Beirut : Dar al-Fikr, 1974 M -------------, al-Fath al-Mubin Fi Tabaqat al-UshuliyinBeirut : Muhammad Amin, 1934 Mughniyah, Muhammad Jawad, Al-fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur AB, et al, “ Fiqih Lima Mazhab”, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000 Al-Muhtashib, Adussalam, visi dan Kontemporer,Jakarta: al-Izzah 1997
Paradigma
Tafsir
al-qur‟an
Mustaqim, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran al-Qur‟an Periode Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka Yogyakarta, 2003 Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang,1996 Al-Qadiry, Abdullah Ahmad, Nikah Beda Agama Menurut Islam Qardhawi, Yusuf, ,Hadyul Islam Fatawi Mu‟ashirah, Terj. As‟adYasin, “Fatwafatwa Kontemporer”, Jakarta: GemaInsani, 2001 Al-Qur‟an danterjemahnya Quraish Shihab, M, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000 ……………….. Wawasan Al-Qur‟an, Jakarta: Lentera Hati, 2006
77
79
Quthub, Sayid, Fidilalil al-Qur‟an,Beirut:Dar al-Fikr, 1997 Ridha, Rasyid, Tafsir al-Manar, Cairo: DarulManar, 1367 H Ridwan, Kafrawi, et. Al (ed) Ensiklopedi Islam, Jakarta: IctiarBaru van Hoeve Jakarta, 1994 Al-Sa‟di, Abdurrahman bin Nashir, Taisir Al Karimir Rahman MuassasahArRisalah, 1423 Sabiq, Sayyid, Fiqih al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-turas, t.t.h Al-Sabuni, Ali, Rwa‟iu Al-Bayan Tafsirayat al-Ahkam min Al-Qur‟an, Beirut: Jamii‟ Huquq Al-Thob‟Iwa Al- Nasyri,Mahfudzah Li al-Daar, 1986 Al-Shabbaythi, Isham, et al-Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi, al-Qahirah: Dar al-Hadits, 1994 Soleh, H.E. Hasan, KajianFiqih Nabawi danFiqih Kontemporer, Ed 1, _,1_Jakarta: Rajawali Pers, 2008 Sosroatmodjo, Arsodan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta; Bulan Bintang, 1975 Sukarti,
Dewi, Perkawinan Antara Hadis,Jakarta:PBB UIN, 2003
Agama
Menurut
Al-Qur‟an
dan
Syabiq ,Al-Said, Fiqih As-SunnahII,Libanon : Dar al-Fikr, 1983 Al-Syarbashi, Ahmad, Yas‟alunaka Fi ad-Din wa al-Hayah, Terj. Ahmad Subandi, “Tanya Jawab Lengkap Tentang Agama Dan Kehidupan”. Jakarta: Lentera, 1997 Syaukani, FathulQodir, Muhammad bin „Ali, Mawqi‟ At Tafasir Undang-undang Perkawinan Repuublik Indonesia, semarang: Beringin Jaya, t.t.h Yanggo, Chuzaimah T. dan Drs. HA.HafizAnsory AZ, MA.Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: PustakaFirdaus, 2008 Zaini, Hasan, Tafsir Temati kAyat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997 Zuhaily, Wahbah, al-Fiqih al-Islam waAdillatuha, Beirut: Dar al-Fikr, 1989
77
80
Zuhdi, Masyfuk, Masail Fiqhiyah, (KapitaSelektaHukum Islam), Jakarta: Haji Mas agung; 1994
77