PERSPEKTIF ALQURAN TENTANG ILMU PENGETAHUAN 29
Perspektif Alquran tentang Ilmu Pengetahuan H. Abdul Manan Syafi’i Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak: Alquran diturunkan untuk umat manusia sebagai kitab petunjuk dan pembeda antara benar dan salah. Untuk mendapatkan fungsi tersebut, Alquran butuh dipahami. Banyak cara dan pendekatan digunakan para ahli untuk memahaminya dengan tujuan mengungkap semua dimensi kehidupan seperti hukum, sosial, ekonomi, budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ahli mendekati Alquran sesuai dengan keahlian mereka. Mufasir klasik banyak memakai ayat dan Hadis untuk memahami suatu ayat, yang kemudian dikenal sebagai tafsir bi al-ma’tsur. Sebaliknya, penafsir kontemporer memahaminya melalui perbandingan ayat dan Hadis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan porsi nalar yang besar, disebut tafsir bi al-ra’yi. Dari yang terakhir ini belakangan muncul apa yang disebut tafsir ilmiah. Artikel ini berusaha melihat persoalan tafsir ilmiah tersebut dengan merujuk langsung pada Alquran. Kata kunci: tafsir ilmi, ilmu pengetahuan.
A. Pendahuluan Dr. Maurice Bucaille, dokter bedah Prancis, tiba-tiba terkenal sebagai mufasir Alquran. Bukunya La Bible, la Coran, et la Science diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Arab, Turki, Serbo-Croat, Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
30 H. ABDUL MANAN SYAFI’I
Persia, Gujarati, dan Indonesia. Banyak orang Islam merasa terhibur dengan buku Bucaille, dan menerima penafsiran ilmiah yang dikemukakannya. Alquran bukan saja dipandang dapat berbicara tentang surga dan neraka, tetapi juga tentang penemuan-penemuan ilmiah mutakhir. Ayat-ayat Alquran seakan-akan mempunyai makna baru yang betul-betul sesuai dengan data ilmu pengetahuan modern. 1 Popularitas Bucaille memudarkan mufasir ilmi seperti Fakhrurrazi, al-Baidhawi, an-Nisaburi, atau Tanthawi Jauhari. Bucaille bukan sekadar memberikan penafsiran baru, ia juga mengkritik penerjemah-penerjemah Alquran, yang berbuat kesalahan dalam mengartikan ayat Alquran. “Mereka umumnya orang-orang sastra,” kata Bucaille: Sering kali mereka menerjemahkan secara salah ayat-ayat, karena tidak memiliki pengetahuan ilmiah yang diperlukan untuk memahami arti yang sebenarnya. Sebabnya ialah, untuk mampu menerjemahkan secara benar, orang pertama-tama harus memahami apa yang dibacanya. Sebab lain, ialah bahwa para penerjemah mungkin dipengaruhi oleh komentar mufasir klasik yang menjelaskan ayat tersebut. Karena tradisi, para mufasir tersebut sering dianggap sangat berwenang, walaupun mereka tidak memiliki pengetahuan ilmiah—juga rekan-rekan mereka sezaman. Mereka tidak mampu membayangkan bahwa ayat-ayat tersebut mungkin menunjukkan pengetahuan duniawi, sehingga mereka mencurahkan perhatian kepada ayat tertentu, dan membandingkannya dengan ayat lain yang berkenaan dengan hal yang sama— suatu proses yang memberikan kunci untuk memahami makna kata atau ungkapan. Dari sinilah timbul kenyataan bahwa ayat Alquran, yang dapat dihubungkan dengan pengetahuan modern, kemungkinan besar diterjemahkan secara keliru. Sangat sering, terjemahan itu dipenuhi dengan pernyataan yang tidak tepat. Satu-satunya cara untuk menghindari kekeliruan seperti itu ialah memiliki latar belakang ilmiah dan mempelajari Alquran dalam bahasa aslinya. 2
Berangkat dari latar belakang di atas, saya ingin mengungkapkan tentang: (1) Betulkah penafsiran yang tidak ilmiah itu keliru? (2) Mestikah kita meninggalkan para mufasir klasik karena mereka tidak memiliki latar belakang ilmiah? (3) Sejauh mana hubungan Alquran dengan ilmu pengetahuan? Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PERSPEKTIF ALQURAN TENTANG ILMU PENGETAHUAN 31
Tidak semua orang setuju dengan Bucaille. Banyak juga ilmuwan, seperti Ziauddin Sardar,3 mengecam upaya mengilmiahkan ayat-ayat Alquran. Sebagian menuduh bahwa orang-orang yang terlalu bersemangat menghubungkan ayat-ayat Alquran dengan ilmu pengetahuan adalah termasuk yang diancam hadis Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa menafsirkan Alquran dengan ra’yu-nya, hendaknya memper-siapkan tempat duduknya di neraka.4 Sering terjadi, mufasir-mufasir ilmi ini mengetahui suatu teori ilmiah, dan kemudian mencari ayat Alquran yang menunjang teori itu. Akibatnya, yang terjadi bukanlah ilmu pengetahuan menafsirkan Alquran, tetapi Alquran-lah justru yang menafsirkan ilmu pengetahuan. Yang lebih berbahaya lagi ialah mengartikan ayat Alquran dengan teori-teori ilmiah yang masih spekulatif. Ketika teori-teori ilmiah itu tumbang, tumbang pulalah ayat Alquran yang terkait dengannya. Kebenaran Alquran adalah mutlak, sedangkan kebenaran ilmiah adalah nisbi. Tidakkah penafsiran ilmiah justru menisbikan kebenaran Alquran? Tulisan ini bertujuan untuk melihat eksistensi tafsir itu sendiri; baik tafsir ilmi maupun yang tidak ilmi, sehingga tudingan terhadap tafsir tersebut dapat dibuktikan dari pendapat para ahli di bidangnya. Sedangkan kegunaannya adalah untuk mendudukkan permasalahan penafsiran Alquran sehingga dengan ilmu pengetahuanlah dapat menafsirkan Kalam Allah, tidak sebaliknya; Alquran menafsirkan ilmu pengetahuan. Masalah penafsiran ilmiah atas ayat-ayat Alquran merupakan salah satu kemusykilan yang harus diselesaikan ketika kita membicarakan hubungan antara Alquran dan ilmu pengetahuan. Karena itu, di sini pertama-tama akan dibahas tafsir ilmi, alasan-alasan yang menopangnya, dan kritik-kritik terhadapnya. Dengan latar belakang tafsir ilmi, kita akan melihat bagaimana perspektif Al-Our’an atas ilmu pengetahuan: penghargaan Alquran terhadap ilmu, sumbersumber ilmu pengetahuan, arah perkembangan ilmu pengetahuan, dan cara memperoleh pengetahuan. Adapun metode penulisannya adalah dengan metode induktif Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
32 H. ABDUL MANAN SYAFI’I
dan deduktif yaitu dengan cara menganalisis data melalui pola berfikir yang mencari pembuktian dari hal-hal yang bersifat khusus kepada kesimpulan yang bersifat umum, dan menguraikan sesuatu masalah dan membuat analisis dengan menyimpulkan sesuatu perkara yang bersifat umum kepada yang lebih khusus dalam setiap data yang diperoleh.
B. Tafsir Ilmi: Argumen dan Kontra-Argumen Pembahasan tentang hubungan ilmu pengetahuan dengan Alquran sebetulnya bukanlah hal yang baru. Bucaille bukan mufasir ilmi yang pertama. Sebelumnya ada Thanthawi Jauhari; sebelum-nya lagi ada Al-Baidhawi yang bersandar pada tafsir al-Kabir-nya Fakhrurrazi. Fakhrurrazi telah menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan berbagai pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan dizamannya. Sedemikian, sehingga ada ulama yang memberikan komentar, “Fakhrurrazi sudah mengatakan segala sesuatu dalam tafsirnya.5 Menurut Dr. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib,6 prinsipprinsip; tafsir ilmi sudah diletakkan oleh Abu Hamid al-Ghazali satu abad sebelum Fakhrurrazi. Dalam Ihya Ulumuddin, al-Ghazali membela tafsir ilmi dari serangan ulama pengikut Ibnu Abbas dan mufasir lainnya. la mengemukakan akhbar dan atsar yang menunjukkan bahwa Alquran mempunyai makna yang lebih lugas daripada yang terdapat pada keterangan yang manqul. Bila Ibnu Mas’ud mengatakan, “Siapa ingin mengetahui ilmu orang terdahulu dan kemudian, renungkanlah Alquran.” Kata al-Ghazali, bagaimana mungkin kita memperolehnya dengan hanya tafsir lahirnya saja. AlGhazali menulis: Seluruh ilmu tercakup dalam af’al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat-Nya. Di dalam Alquran terdapat penjelasan tentang dzat-Nya, af’al-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Ilmu itu tidak ada batasnya, dan di dalam Alquran terdapat petunjuk kepada keseluruhannya. Upaya untuk mendalami perinciannya, juga kembali kepada pemahaman terhadap Al-Qur’an semata-mata tafsir zahirnya saja, tidak menunjukkan hal itu. Di dalamnya ada kabar tentang umat sebelum kamu, dan berita yang datang sesudah kamu, Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PERSPEKTIF ALQURAN TENTANG ILMU PENGETAHUAN 33 serta hukum di antara kamu. Bila ada penguasa yang menentangnya, Allah akan mematahkannya. Barang siapa mencari ilmu selain Alquran, Allah akan menyesatkannya. Alquran adalah tali-kokoh Allah, cahaya yang terang, obat yang bermanfaat, terpeliharalah orang yang berpegang kepadanya, dan selamatlah orang yang mengikutinya. Tidak bengkok; kecuali diluruskan, tidak miring kecuali ditegakkan. Tidak akan habis keajaibannya, dan tidak berkurang karena sering dibacanya. Dalam hadis Huzaifah, ketika Rasulullah menggambarkan perpecahan dan pertentangan sesudahnya, Huzaifah bertanya: “Ya Rasulullah apa yang kau perintahkan kepadaku, jika kami mengalami hal itu.” Ia berkata: “Pelajarilah kitab Allah, dan amalkanlah apa yang ada di dalamnya. Di situ ada jalan keluarnya.” Kata Huzaifah: “Aku ulangi pertanyaan itu tiga kali, dan Rasul s.a.w. menjawabnya tiga kali: Pelajarilah kitabullah, dan amalkan apa yang ada di dalamnya, karena di situ ada keselamatan.”’ Berkata Ali r.a.: “Barangsiapa memahami Alquran, ia menafsirkan sejumlah ilmu.” Dengan itu Ali mengatakan bahwa Alquran menunjukkan pokok pokok seluruh ilmu. Ibnu Abbas r.a. berkata tentang arti firman Allah Ta’ala, “Siapa yang diberi hikmah, dia telah diberi kebaikan yang banyak “, sebagai pemahaman tentang Alquran. Allah berfirman: “Kami berikan pemahaman kepada Sulaiman, dan keduanya Kami beri hukum dan ilmu. Allah menamai apa yang diberikan kepada keduanya ilmu dan hukum, tetapi mengkhususkan kepada Sulaiman pemahaman, dan menjadikannya sebagai pendahulu hukum dan ilmu. lni semua menunjukkan bahwa dalam pemahaman terhadap makna Alquran terdapat bidang yang luas dan lapangan yang lebar, dan bahwa membatasi Alquran pada yang manqul dari tafsir zahir, bukanlah akhir pengetahuan.7
Dalam kutipan di atas, secara ‘aqli dan naqli al-Ghazali menunjukkan bahwa Alquran adalah sumber ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, karena di dalamnya diungkapkan aflal dan sifat Allah, yang hanya dapat ditemukan oleh orang yang memahaminya. Dalam kitab yang lain, Jawahir al-Quran. al-Ghazali memberi-kan beberapa contoh ayat Alquran yang tidak dapat dipahami secara manqul, tetapi hanya dapat dimengerti oleh orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Ayat “Dan bila aku sakit, Allah me-nyembuhkan aku” (QS. 26:80) hanya dapat dipahami oleh ilmu-wan kedokteran. Ayat-ayat yang menggambarkan peredaran matahari bulan dan bintang, hanya dimengerti oleh ahli fisika dan astronomi. Untuk memahami ayatMedia Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
34 H. ABDUL MANAN SYAFI’I
ayat tentang kejadian manusia, diperlukan ilmu tentang manusia (baik fisiologi maupun psikologi). Menafakuri ayat-ayat Alquran, kata alGhazali, akan membawa kita kepada samudra af’al yang tidak bertepi. Dan hal itu tidak cukup hanya dengan membatasi penafsiran pada apa yang manqul.8 Selanjutnya al-Ghazali mengupas pengertian menafsirkan Alquran dengan ra’yu”. Yang dimaksud bukanlah membatasi tafsir Alquran pada apa yang manqul dan masmu’ karena beberapa alasan. Pertama, kalau yang manqul memang dari Rasulullah, kita harus menerimanya. Tetapi kalau hanya sekadar dari Ibnu Abbas, misalnya, kita boleh saja menolaknya, karena tafsir Ibnu Abbas juga sebenarnya tafsir birra’yi. Kedua, para sahabat mufasir juga sering berbeda pendapat dalam menafsirkan Alquran. Semua perbedaan itu tidak mungkin berasal dari Nabi s.a.w. Ketiga, Rasulullah sendiri berdoa agar Ibnu Abbas difakihkan dalam agama dan diajari takwil. Kalau takwil harus selalu masmu’, apa perlunya Ibnu Abbas dikhususkan dengan doa itu. Keempat, Allah sendiri berfirman, “tentulah mengetahuinya orang-orang yang menarik istinbath dari mereka” (QS 4:83). Ini menunjukkan: bahwa ahli ilmu boleh menarik kesimpulan (istinbath), dan istinbath tidak mungkin masmu’ “Maka bolehlah orang melakukan; penyimpulan Alquran, sesuai dengan kadar pemahamannya dan batas akalnya”, kata al-Ghazali.9 Kalau begitu, apa yang dimaksudkan menafsirkan Alquran dengan ra’yu itu? Menurut; Ghazali, hal itu berlaku pada orang yang sudah mempunyai pikiran dan kecenderungan tertentu, kemudian menakwilkan Alquran sesuai dengan pikirannya dan keinginannya itu, supaya ada hujah (alasan) untuk membenarkan maksud-maksudnya. Penafsiran dengan ra’yu juga berlaku bagi orang yang terlalu cepat menafsirkan Alquran, tanpa sama sekali memperhatikan halhal yang manqul, atau tanpa memahami hukum-hukum bahasa Arab.l Karena Alquran turun dalam bahasa Arab, maka tidak mungkin orang memahami lebih dalam Alquran tanpa memahami kandungan maknanya dalam bahasa Arab. “Tak ubahnya seperti orang yang mengaku dapat memahami maksud pembicaraan orang-orang Turki Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PERSPEKTIF ALQURAN TENTANG ILMU PENGETAHUAN 35
tetapi tidak memahami bahasa Turki,” kilah al-Ghazali.10 Argumentasi al-Ghazali ini sering diulang lagi oleh para mufasir ilmi lainnya, seperti al-Zarkasyi,11 Jalaluddin as-Suyuthi,12 dan alMarsi.13 Yang menarik adalah argumentasi Thanthawi Jauhari. Ia menyusun tafsir ilmi karena melihat keterbelakangan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. la merasa mendapatkan panggilan Ilahi untuk menjadikan Alquran sebagai petunjuk dan pendorong pengembangan ilmu. Ia yakin betul bahwa hanya dengan cara itulah orang Islam, yang termasuk golongan “mustadh’afin di bumi”, akan dapat memperbaiki nasibnya. Ia menunjukkan bahwa di dalam Alquran terdapat lebih dari 750 ayat yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan, dan hanya sekitar 150 ayat tentang ilmu fikih. “Mengapa para ulama Islam menyusun puluhan ribu kitab ilmu fikih?” kata Tanthawi Jauhari, apakah dapat diterima oleh akal dan syariat bahwa kaum muslimin mencurahkan perhatian kepada pengetahuan tentang sedikit ayat, dan mengabaikan pengetahuan tentang sangat banyak ayat.” la menceritakan proses penulisan tafsirnya sebagai berikut: Hari ini aku memulai tafsirku dengan memohon pertolongan kepada Allah yang Maha Sayang dan Maha Mengetahui, dengan merenungkan apa yang sudah menjadi keyakinanku, mudahmudahan Allah membukakan, dengan tafsir ini, hati manusia, memberikan petunjuk kepada bangsa-bangsa, mengangkat kabut yang menutupi mata kebanyakan kaum Muslimin, sehingga mereka memahami ilmu-ilmu alamiah... Mudah-mudahan kitab ini menjadi dorongan yang kuat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi serta rendah hati, dan supaya muncul dari umat ini orang-orang yang melebihi orang barat dalam bidang pertanian, kedokteran, pertambangan, matematika, geometri, ilmu falak, dan lain-lain, juga dalam bidang sains dan teknologi. Mengapa tidak, padahal dalam Alquran terdapat ayat-ayat tentang ilmu lebih dari 750 ayat, sedangkan ayat-ayat yang jelas tentang fikih, tidak lebih dari 150 ayat. Sudah aku tuliskan dalam tafsir ini hukum-hukum, akhlak, dan keajaiban alam, yang diperlukan seorang Muslim. Aku muat di dalamnya keanehan sains dan keajaiban makhluk yang men-dorong kaum muslimin dan muslimah untuk menangkap hakikat makna ayat-ayat yang jelas tentang fauna dan flora, tentang bumi dan langit. Dan supaya engkau tahu, Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
36 H. ABDUL MANAN SYAFI’I hal kaum cendekiawan, bahwa tafsir ini adalah hadiah rabbaniah, petunjuk suci, kabar gembira, diperintahkan kepadaku dengan jalan ilham. Aku yakin bahwa kebesaran tafsir ini akan dikenal seluruh makhluk, dan akan menjadi sebab-sebab utama yang mengangkat kaum mustadh’afin di bumi. 14
Imbauan Thanthawi Jauhari segera mendapatkan sambutan dengan munculnya berbagai buku yang mengulas Alquran secara ilmiah. Hanafi Ahmad menulis At-Tafsir al-Ilm lil al-Ayah alKauniah; Ahmad Mahmud Sulaiman mengarang Al-Quran wa al-Ilm; Mahmud Mandi menulis I’jaz al-Quran al-Ilm; Ya’qub Yusuf mengarang Lafatat Ilmiyah min al-Qur’an, dan berbagai buku lainnya yang terus bermunculan sampai kini.15 Semangat mengungkapkan penemuan-penemuan ilmiah dalam penafsiran Alquran menimbulkan reaksi yang cukup keras dari banyak ulama mufasir dan ulama fikih. Abu Hayyan al-Andalusi mengkritik Fakhrurrazi, dan menganggap tafsirnya telah menyimpang dari cakupan ilmu tafsir.16 Asy-Syathibi juga menulis risalah panjang yang menolak tafsir ilmi. Mungkin kritik paling tajam ialah tulisan asSyaikh Mahmud Syaltut. Ia menulis tentang perlunya membersihkan tafsir dari dua segi: menggunakan ayat-ayat Alquran untuk memperkuat golongan atau pertentangan mazhab, dan menggunakan penjelasan yang diambil dari ilmu pengetahuan modern. Kritik-ritik tersebut dapat disimpulkan dalam hal-hal berikut: 1. Alquran diturunkan kepada bangsa yang ummi, disesuaikan dengan tingkat pengetahuan mereka. Karena itu, tidak mungkin Alquran membawakan hal-hal yang berada di luar jangkauan bangsa Arab waktu itu. “Hendaknya kita membatasi penafsiran Alquran hanya dengan menggunakan ilmu-ilmu yang diketahui oleh orang-orang Arab... Barangsiapa mencari pemahaman di luar kebiasaan orang-orang Arab, sesatlah pemahamannya itu,” kata asy-Syathibi.17 2. Rasulullah dan para sahabat adalah orang-orang yang paling paham terhadap makna hakiki ayat-ayat Alquran. Menganggap bahwa ada ayat-ayat Alquran yang maknanya baru diketahui
Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PERSPEKTIF ALQURAN TENTANG ILMU PENGETAHUAN 37
pada zaman modern ini, sama saja dengan merendahkan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Mereka jelas tidak mengetahui penemuan-penemuan ilmu pengetahuan mutakhir. Dalam bahasa yang keras, Dr. al-Muhtasib menulis, menanggapi ucapan Abdul Aziz Ismail yang menyatakan bahwa orang tidak dapat memahami makna hakiki ayat kedua surat al-Alaq, jika tidak mempelajari ilmu-ilmu modern: Pada ucapannya ini terkandung celaan kepada Rasul yang mulia s.a.w., sahabat, dan tabi’in, karena mereka tak memahami makna hakiki tentang sebagian ayat Alquran, karena ketidaktahuan mereka akan ilmu-ilmu modern. Padahal Rasul s.a.w. yang ummi adalah penafsir pertama Alquran. Sahabat r.a. mengambil ilmu ini dari Rasulullah, dan menambahkannya dengan ijtihad mereka. Di antara mereka adalah Ibnu Abbas r.a., penerjemah Alquran yang didoakan Rasul yang mulia supaya mengerti agama dan mempelajari takwil. Pernyataan yang keliru dan salah ini timbul karena meletakkan Alquran dalam bidang yang tidak layak diletakkan oleh setiap orang yang memahami maksud Allah ta’ala. Karena itu, jelaslah—bagi orang yang memiliki cahaya ketakwaan dan pengertian—rusaknya penafsiran ilmiah semacam ini. 18
3.
Alquran diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia, agar mereka mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Alquran adalah petunjuk bagi orang-orang yang takwa, dan bukan ilmu pengetahuan tentang hakikat alam semesta atau fenomena alam. Tafsir ilmi mengalihkan manusia dari usaha memperoleh petunjuk ke arah usaha-usaha ilmiah. Muhammad Rasyid Ridha menyebutkan bahwa salah satu kesalahan kaum muslimin dalam menafsirkan Alquran ialah menyibukkan diri dalam pembahasan tentang ilmu-ilmu kealaman. Ia mengecam al-Fakhrurrazi dan pengikut-pengikutnya yang menghubung-kan ayat-ayat Alquran dengan ilmu falak, botani dan biologi, sehingga memalingkan pembacanya dari tujuan sejati Alquran.19 4. Kebenaran ilmiah tidak tetap dan dapat berubah-ubah. “Apa yang hari ini benar menurut ilmu, besok menjadi khurafat,” kata.
Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
38 H. ABDUL MANAN SYAFI’I
5.
Syaltut. Mengaitkan Alquran dengan masalah-masalah berarti meletakkan Alquran di atas dasar yang sangat goyah. Harus dibedakan antara tafsirul Quran dan i’jazul Our’an, Tafsir adalah keterangan tentang kata-kata dan kalimat dalam Alquran serta kandungan maknanya. I’jazul Qur’an berkenaan dengan ketinggian Alquran sebagai wahyu Allah, dan kemampuannya untuk menghadapi perubahan zaman. Ulasan ilmiah mengenai ayat Alquran, paling tidak, hanya dapat dimaksudkan sebagai 1’jazul Quran, dan bukan tafsirul Quran. Al-Muhtasib menyimpulkan kritik terhadap tafsir ilmi dengan mengatakan: Cukuplah bagi kita bahwa Alquran tak bertentangan dan tak akan bertentangan dengan hakikat ilmu pengetahum yang diterima oleh akal. Cukuplah bagi kita bahwa. Alquran-lah yang membuka pintu akal kaum mukminin, mendorong mereka men-tadabur-i, menafakuri, merenungkan, membahas, memikirkan, dan mendalami ilmu pengetahuan. Cukuplah buat kita bahwa, orang yang kitab sucinya Alquran telah hidup bersama ilmu dalam suasana harmoni dan kasih sayang sementara pengikut kitab agama yang lain telah menjad tonggak keras yang menghadang ilmu dan para ilmuwan di abad pertengahan yang menyebabkan salah seorang pemikir sesat berkata: ‘Agama adalah candu rakyat.’ 20
Dari argumen dan kontraargumen di atas kita dapat menyimpulkan bahwa, menghubungkan Alquran dengan ilmu pengetahuan memerlukan kehati-hatian. Selain penguasaan ilmu pengetahuan sehingga mampu membedakan fakta ilmiah dari teori ilmiah mufasir ilmi juga tidak boleh mengabaikan kaidah-kaidah bahasa Arab dan penjelasan-penjelasan yang manqul. Alternatif kita bukanlah menyesuaikan ayat-ayat Alquran dengan ilmu pengetahuan atau mencari teori ilmiah dari Alquran, tetapi menemukan bagairnana, perspektif Alquran tentang ilmu pengetahuan.
C. Penghargaan Alquran terhadap Ilmu Alquran yang mendorong manusia untuk mengamati alam semesta, merenung dan bertafakur. Secara singkat, ada beberapa hal penghargaan Alquran terhadap ilmu: Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PERSPEKTIF ALQURAN TENTANG ILMU PENGETAHUAN 39
1.
2.
3.
Manusia diangkat sebagai khalifatullah, dan dibedakan dari makhluk Allah yang lain karena ilmunya. Alquran menceritakan bagaimana Adam diberi pengetahuan tentang konsep-konsep seluruhnya (al-asma’ kullaha), dan malaikat disuruh sujud kepadanya (QS 2:31-33). “Di dunia ini ia diberi kekuasaan atas semua kekuatan alam, melalui pengetahuan tentang rahasiarahasia alam semesta, yang di sini diungkapkan oleh pengetahuan tentang nama-nama. Pengetahuan ini telah menaikkan statusnya terhadap ciptaan-ciptaan Allah yang lain.21 Beberapa kali Allah mengaitkan penciptaan manusia dengan kemampuannya untuk memiliki dan mengembangkan ilmu pe-ngetahuan. Dalam surat al-Alaq, Allah mengisahkan proses penciptaan manusia, dan menunjukkan bagaimana la memberikan karunia kepada manusia untuk mengetahui apa yang sebelumnya tidak diketahui lewat pena (QS 96:1-5). “Berkata Qatadah: pena adalah nikmat Allah yang besar sekali. Bukankah tanpa pena agama tidak dapat ditegakkan, kehidupan tidak dapat diperbaiki. Allah menunjukkan kebaikan-Nya dengan mengajarkan kepada hamba-hambaNya apa-apa yang tidak diketahuinya, dan membebaskan mereka dari kegelapan kebodohan menuju cahaya ilmu, dan mengingatkan mereka tentang keutamaan tulisan yang di dalamnya, ada manfaat besar. Tanpa tulisan, tidak tegak urusan agama, dan urusan dunia.”22 Dalam surat ar-Rahman, Allah menunjukkan tiga nikmat-Nya kepada, manusia: mengajarkan Alquran, menciptakannya, dan mengajarnya al-bayan. Banyak mufasir menjelaskan al-bayan sebagai kemampuan untuk memahami, mengungkapkan, dan mengembangkan ilmu. Karena hakikat manusia tidak terpisah dari kemampuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, maka ilmu yang disertai iman adalah ukuran derajat manusia. Manusia yang ideal dalam Alquran ialah manusia yang mencapai ketinggian iman dan ilmu (QS 58:11). Alquran diturunkan dengan ilmu Allah (QS 11:14), dan hanya dapat direnungkan maknanya oleh orang-orang yang berilmu (QS Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
40 H. ABDUL MANAN SYAFI’I
29:43). Alquran hanya jelas bagi orang-orang yang berilmu (QS 29:49). Merekalah yang segera merebahkan diri dan sujud, bila dibacakan ayat-ayat-Nya (QS 17:107) Untuk memperoleh petunjuk dari Alquran, bukan saja diperlukan ketakwaan dan keimanan, tetapi juga ilmu pengetahuan (QS 30:22, 6:105). Alquran menyindir orang-orang yang berdebat tentang Allah (termasuk ayat-ayat-Nya) tanpa ilmu pengetahuan (QS 22:3, 8; 31:20). 4. Alquran memberikan isyarat bahwa yang berhak memimpin umat ialah yang memiliki pengetahuan. Thalut dipilih sebagai raja Israel, karena kelebihan pengetahuannya. “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu, dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa” (QS 2: 247). Begitu pula, Dawud diberi kekuasaan atas dasar yang sama, Allah mengajarkan kepadanya hikmah dan pengetahu-an (QS 2:251). Begitu juga Sulaiman (QS 21:79; 27:15), Luth (QS 21:74), dan Musa (QS 28:14), Ya’qub dan Yusuf (QS 12: 68, 22). 5. Allah melarang kita mengikuti sesuatu yang tentangnya kita tidak memiliki ilmu (QS 17:36). Nabi Nuh pernah ditegur oleh Allah, karena memohon sesuatu yang tidak diketahui (hakikat-nya). Lalu “Nuh berkata: Ya Tuhanku, sesung-guhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya)” (QS 11:46, 47). 6. Allah memberikan contoh bagaimana orang awam tertarik dengan keme-wahan dunia seperti yang ditampakkan oleh Qarun. Hanya orang berilmu yang tahu bahwa kemewahan dunia bukanlah sesuatu yang bernilai. “Berkatalah orang--orang yang dianugerahi ilmu: ‘Kecelakaan besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar’” (QS 28:80).
D. Sumber Ilmu Pengetahuan Alquran menunjukkan empat sumber untuk memperoleh Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PERSPEKTIF ALQURAN TENTANG ILMU PENGETAHUAN 41
pengetahuan: 1. Alquran dan Sunnah. Keduanya merupakan sumber per-tama ilmu. Alquran berkali-kali mengingatkan kita untuk memikirkan ayat-ayat-Nya dan mengambil pelajaran darinya, serta mengingatkan kita untuk mengambil Rasul sebagai contoh. Rasyid Ridha memulai tafsirnya dengan menyebutkan ayat-ayat Alquran yang memperkuat pernyataan di atas (dan karena itu, saya kutip kembali di bawah): “Alif lam ra. Itulah ayat-ayat kitab yang terang. Sesungguhnya, telah Kami turunkan Quran dalam bahasa Arab, mudahmudahan kamu memikirkannya.” (QS 12:1-2) “Sesungguhnya, dalam kisah tentang mereka itu terdapat pengajaran (ibrah) bagi ulul-albab. Bukanlah Alquran ini pekabaran yang diada-adakan saja, malah ia membenarkan (kitab) yang di hadapannya, dan menerangkan tiap-tiap sesuatu, lagi petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman.” (QS 12: 111) “Demikianlah Kami turunkan kitab kepada engkau (Muhammad). Di antara orang-orang yang Kami berikan kitab kepada mereka, mereka beriman kepadanya, dan di antara mereka ini (penduduk Makkah) ada pula yang beriman kepadanya. Dan tiadalah yang menyangkal ayat-ayat Kami, kecuali orang-orang yang kafir. Engkau (Muhammad) tidak pernah membaca kitab sebelumnya (sebelum turun Alquran), dan tidak pernah pula menulisnya dengan tangan kananmu. (Kalau ada), tentu ragulah orang-orang yang membatalkan (Alquran). Bahkan ia adalah ayat-ayat yang terang dalam dada orang-orang berilmu. Dan tiadalah yang menyangkal ayat-ayat Kami, kecuali orang-orang yang aniaya.” (QS 29: 47-49) “(Inilah) kitab yang Kami turunkan kepadamu lagi diberkati, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya ulul-albab mendapatkan peringatan.” (QS 38:29) “Tidakkah mereka memperhatikan Al-Quran? Sekiranya Alquran itu bukan dari Allah, niscaya mereka peroleh di dalamnya banyak perselisihan.” (QS 4:82)
Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
42 H. ABDUL MANAN SYAFI’I “Allah telah menurunkan sebaik-baik perkataan, (yaitu) kitab yang serupa (keindahan ayat-ayatnya), lagi didua-duaan (diulang-ulang membacanya); karena itu, menggeletarlah kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka, kemudian menjadi lembut kulit dan hati mereka untuk mengingat Allah. (Kitab) itulah petunjuk Allah, Dia tunjuki dengannya siapa yang dikehendaki-Nya. Dan siapa yang disesatkan oleh Allah, tidak adalah baginya yang menunjuki.” (QS 39: 23) “Sekiranya Kami turunkan Quran ini ke atas gunung, niscaya engkau lihat gunung itu tunduk dan terbelah, karena takut kepada Allah. Itulah contoh, Kami berikan untuk manusia, mudah-mudahan mereka memikirkannya.” (QS 59: 21)
2.
3.
Tentang Sunnah, seorang Muslim bukan saja disuruh mempelajari contoh Rasul (QS 33:21), tetapi juga mengambil apa yang diperintahkannya, dan meninggalkan apa yang dilarang-nya (QS 59:7). Dan karena seorang Mukmin tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti keputusan Allah dan Rasul-Nya (QS 33:36), maka ia harus mengambil pelajaran dari Sunnah Rasul-Nya. Alam semesta adalah sumber kedua ilmu. Alquran menyuruh kita memikirkan keajaiban ciptaan Allah (QS 13:2-5), pen-ciptaan bumi dan lautan (QS 16:14-18), hujan dan halilintar (QS 30:24; 35:27-28), langit dan bintang-bintang (QS 50:6), tumbuh-tumbuhan (QS 50:9-11; 6:141; 16:10, 11; 13:4;1 20:53), binatang (QS 24:45; 53:45-46; 16:68-69; 29:41; 67:19; 16:66), mineral dan logam (QS 35:27; 34:10-12; 57: 25; 18:96), dan lain-lain. Alquran menunjukkan hal-hal di alam semesta yang harus diteliti: yaitu materi yang mendasari penciptaan (QS 86:5; 24:45; 76:2), proses penciptaannya sendiri (QS 23:12-14; 21:30; 31:10), proses perubahan fenomena alam (QS 39:21; 30:48), dan hubungan manusia dengan alam (QS 45:13). Diri manusia (anfus) adalah sumber-ketiga ilmu. “Hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan” (QS 86:5).Ungkapan mimma khuliq mengacu kepada fisiologi dan psikologi manusia sekaligus, karena dalam bahasa Arab, khuliqa mempunyai mashdar, yaitu khalq dan khulq. Karena itu, di dalam
Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PERSPEKTIF ALQURAN TENTANG ILMU PENGETAHUAN 43
Alquran, di samping ayat-ayat Alquran yang melukiskan penciptaan manusia secara biologis (QS 22:5; 42:49-50), banyak ayat melukiskan watak manusia sebagai individu, seperti ketamakan (QS 4:36-37; 104:1-3; 47:38), kemunafikan (QS 9:77), senang tergesa-gesa (QS 21:37; 17:11), kikir (QS 17:100; 70:21), dan perilakunya sebagai anggota masyarakat. Perilaku manusia dalam kehidupan sosial yang dilukiskan Allah dalam Alquran telah sangat bagus sekali diuraikan oleh Murtadha Mutahhari dalam al-Mujtama’ wa at-Tarikh.23 4. Tarikh umat manusia sebagai sumber keempat: “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, serta memperhatikan bagaimana akibat orang-orang sebelum mereka. Mereka lebih kuat daripada mereka sendiri, dan telah mengolah bumi serta memakmurkannya lebih banyak daripada apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata.” (QS 30:9; lihat juga, 12:109; 40:2122).
Tentang panggilan Alquran untuk mempelajari sejarah, Dr. lqbal menulis: Alquran juga memberikan suatu konsepsi dinamis tentang alam semesta, dan mengundang manusia untuk menafakuri keajaiban-keajaiban alam dan sejarahnya sendiri: bagaimana bangsa demi bangsa tampil di dunia, bangun dan jatuh karena perbuatan-perbuatannya sendiri. Alquran menamakan hal ini, ‘Hari-hari Allah’ (Ayyamullah), dan memandangnya sebagai sumber ketiga pengetahuan manusia. Untuk membuktikan bahwa bangsa-bangsa secara kolektif dinilai, dan mereka men-derita karena perbuatan-perbuatan buruk mereka di dunia ini, Alquran mengutip contoh-contoh sejarah berbagai bangsa, dan mendesak para pembacanya untuk menafakuri pengalam-an masa lalu dan masa kini manusia.24
E. Arah Perkembangan Ilmu Pengetahuan Banyak ayat Alquran menegaskan bahwa tujuan utama i1mu pengetahuan ialah mengenal tanda-tanda Allah, menyaksikan Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
44 H. ABDUL MANAN SYAFI’I
kehadiran-Nya di berbagai fenomena yang kita amati, dan akhirnya mengagungkan Allah dan bersyukur kepada-Nya. Menurut Alquran, ilmu harus dikembangkan untuk melahirkan manusia berilmu yang hanya takut kepada Allah (QS 35:28), atau ulul albab, yang tandatandanya disebutkan 16 kali dalam Alquran. Alquran menyebutkan tiga hal yang diperlukan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. 1. Ilmu pengetahuan harus berusaha menemukan keteraturan (sistem), hubungan sebab-akibat, dan tujuan di alam semesta. Dalam banyak ayat Alquran menjelaskan bahwa alam ini diurus oleh Pengurus dan Pencipta yang tunggal, karena itu tidak akan pernah ada kerancuan (tafawut) di dalamnya (QS 67:3). Alam ini bergerak menuju tujuan tertentu, karena Allah tidak menciptakannya untuk bermain-main, dan bukan merupakan perbuatan yang sia-sia (QS 6:73; 21:16-17; 44:38, 39; 23:115; 3:191). Keteraturan (dalam ilmu, biasanya disebut sebagai hukumhukum) yang terdapat dalam afaq disebut Alquran sebagai qadar atau takdir (QS 65:3; 6:96; 36:38; 54:49; 10:5; 87:3), sedangkan keteraturan dalam anfus dan tarikh disebut sebagai sunnatullah (disebut 16 kali dalam Alquran, 2 kali disebut dalam bentuk jamak). 2. Ilmu harus dikembangkan untuk mengambil manfaat dalam rangka mengabdi kepada Allah, sebab Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang, dan segala yang ada di langit dan di bumi, buat manusia (QS 22:65; 31:20; 16:14; 14:32; 7:10; 28:73; 6:97). 3. Ilmu harus dikembangkan dengan tidak menimbulkan kerusakan di bumi, baik kerusakan afaq maupun anfus (QS 7: 56, 85; 47:22; 2:205; 13:25, 26:152).
F. Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan Dalam banyak ayat Alquran, ditunjukkan berbagai cara untuk memperoleh pengetahuan: melalui persepsi indera, melalui kalbu, dan lewat wahyu atau ilham. Yang pertama dan kedua sering disebutkan Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PERSPEKTIF ALQURAN TENTANG ILMU PENGETAHUAN 45
dalam Alquran secara bersamaan: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur” (QS 16: 78). Pendengaran dan penglihatan adalah alat pengamatan yang mem-berikan pengetahuan indera,-dan hati dalam terminologi Alquran menunjukkan fakultas yang merenungkan, memahami, dan meng-ambil pelajaran (QS 7:179; 22:46; 30:59; 50:37). Pengetahuan Indera Alquran mengakui permulaan pengetahuan lewat eksperimen dan pengamatan inderawi (QS 29:20; 10:101; 88:17). Allah memberikan contoh bagaimana Dia mengajarkan manusia pengetahuan melalui contoh-contoh yang dapat diamati. Allah mengajari Qabil cara mengubur mayat dengan perantaraan burung gagak (QS 5:31), mengajari seorang laki-laki saleh pengertian kebangkitan manusia lewat pengamatan eksperimen (QS 2:259), dan menunjukkan kepada Ibrahim a.s. bagaimana menghidupkan yang mati, juga lewat eksperimen (QS 2:260). Di tempat yang lain, Al Quran mengajarkan konsepkonsep yang abstrak dengan meng-analogikannya pada hal yang konkret (QS 2:261; 14:26; 24:35; 35:9). Alquran mengecam orangorang yang tidak menggunakan inderanya untuk memperoleh pengetahuan (QS 7:179; 7:195; 8:21; 7:198). Walaupun begitu, Alquran menjelaskan keterbatasan alat indera untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Alquran mengecam orang-orang yang hanya mengandalkan inderanya untuk sampai kepada kebenaran seperti kaum Nabi Musa yang ingin melihat Allah secara langsung (QS 2:55; 4:153) atau orang-orang yang berkata kepada Nabi, bahwa mereka baru mau beriman apabila melihat air yang memancar dari dalam bumi, langit yang runtuh, atau munculnya malaikat (QS 17:90-93). Kaum positives yang hanya menganggap pengetahuan seperti yang dapat diamati atau diukur, disindir Alquran sebagai: “Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
46 H. ABDUL MANAN SYAFI’I
dunia” (QS 30:7). Selain itu, Alquran juga menunjukkan adanya realitas yang tak dapat diamati: “Allah yang meninggikan langit tanpa tiang yang dapat kamu lihat (QSa 13:4) “Maka aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dengan apa yang tidak kamu lihat.” (QS 69:38-39) “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasang-pasagan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (QS 36: 36)
Menurut Dr. Mandi Gulshani ,25 yang menarik dewasa ini besarnya pengaruh positivisme pada pikiran para sarjana muslim, Positivisme hanya memandang apa yang dapat diamati dan menolak adanya pengetahuan di luar pengalaman inderawi. Tidak mungkin kita mengkritik positivisme dalam tulisan ringkas ini. Secara singkat kita dapat menunjukkan bahwa: 1. Tidak ada data yang murni eksperimental. Kita selalu meng-amati sesuatu dengan persepsi tertentu, dengan teori tertentu. Hanson, Kuhn, dan Toulmin sepakat seperti Feyerabend yang menyatakan bahwa “teori-teori ilmiah merupakan cara-cara untuk melihat dunia; dan penggunaan atas teori-teori i1miah itu mempengaruhi keyakinan dan harapan umum kita, dan dengan demikian juga mempengaruhi pengalaman-pengalaman kita.”26 2. Seperti dinyatakan oleh Einstein,27 konsep-konsep dasar ilmu tidak diperoleh lewat induksi dari pengalaman indera, tetapi semata-mata ciptaan pemikiran manusia. Teori tidak pernah lahir dari pengamatan langsung atas data eksperimental. Se. perangkat data eksperimental malah dapat dijelaskan oleh beberapa teori. Menurut Hanson, matahari Tycho tidak sama dengan matahari Kepler. Mengapa? Karena keduanya mempunyai kerangka tafakur yang berlainan.
Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PERSPEKTIF ALQURAN TENTANG ILMU PENGETAHUAN 47
Pengetahuan Akal AI-Quran menyebutkan adanya pengetahuan yang diperoleh lewat taaqqul, tafaqquh, dan tadzakkur (merenungkan, memikirkan, memahami, dan mengambil pelajaran). Pengetahuan jenis inilah yang dapat “menangkap” ayat-ayat Allah pada kejadi-an langit dan bumi (QS 2:164; 50:6-11; 13:3-4; 16:12, 67; 24: 35; 30:24, 28; 45:5, 2:219, 10:24; 16:11, 69; 30:21; 39:42; 45:13). Pengetahuan akal jelas lebih tinggi daripada pengetahuan indera. Menurut Alquran, fakultas yang mempunyai fungsi akal disebut qa1b atau fuad. Pengetahuan indera boleh jadi memberikan masukan pada qalb lewat mekanismenya sendiri. Betapapun tingginya pengetahuan akal dibandingkan dengan pengetahuan indera, dapat juga jatuh dalam kekeliruan-kekeliruan fatal. Alquran menyebut beberapa faktor yang mendistorsi pengetahuan akal. a. Tidak ada iman. Tanpa iman orang tidak akan sampai pada pengetahuan yang benar. la akan terjebak dalam pandangan materialistis, dan tidak melihat realitas yang nonmaterialistis, (QS 63:3; 30:53; 6:125; 16:104; 41:44; 10:101; 53:23, 30). b. Mengikuti hawa nafsu dan angan-angan. Berpikir mengikuti keinginan (wishful thinking), atau untuk membela kepentingankepentingan pribadi, akan memalingkan orang dari kebenar-an dan menyesatkannya dari jalan Allah (QS 28:50; 45:23; 2:120; 2:120; 6:119). c. Kecintaan dan kebencian buta serta fanatisme: Ini adalah kumpulan prasangka yang akan melemahkan kemampuan akal (QS 41:17; 29:38; 47:9; 43:78; 16:107-108). d. Mengikuti secara membuta pandangan masa lalu atau tokohtokoh pemikiran: keterikatan pada otoritas (tradisi atau pemimpin) mengeruhkan proses berpikir dan menjauhkan dari petunjuk (QS 33:67; 2:120; 5:104; 43:23, 24; 11:59, 97). e. Takabur. Merasa diri pintar, bijak, dan meremehkan pendapat orang lain, ditawari Alquran dengan siksa yang berat. Takabur selain dapat menimbulkan murka Allah, juga menimbulkan Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
48 H. ABDUL MANAN SYAFI’I
f.
g.
h.
kerusakan dan menghambat ilmu atau pemikiran (QS 45: 8, 9; 40:35; 27:13, 14; 46:26; 7:40; 71:7; 7:146). Kebodohan atau mengikuti spekulasi (zhan). Sumber kesalahan berpikir terletak pada kebodohan tentang masalah yang dipikirkan, dan mengganti informasi dengan hanya berlandaskan zhan (QS 45:24; 53:28; 11:47; 10:36; 3:154; 3:66; 6:119; 22:8). Ketergesaan dalam memutuskan atau menarik kesimpulan. Ketergesaan selalu menyiratkan kurang cermat, sehingga menimbulkan kesalahan (QS 21:37; 20:114). Sama sekali tidak menggunakan akal. Alquran mencela orang orang yang beramal dari data lahiriah saja dan tidak berpikir (67:10; 5:58; 10:42; 22:46; 8:22).
Pengetahuan Wahyu dan Ilham Karena Allah adalah sumber pengetahuan, maka Allah dapat memberikan ilmu kepada yang dikehendaki-Nya tanpa proses berpikir atau pengamatan empiris. Kita tidak akan membicarakan wahyu yang hanya diberikan kepada para Nabi dan—dalam pengertian umum—diberikan kepada ibu Musa (QS 20:37, 38; 28:7). Menurut Al-Ghazali, ilmu ini tidak diperoleh lewat pengamatan atau pemikiran, tetapi lewat dzauq. Kadang-kadang ilmu ini disebut sebagai ilmu laduni. Dalam beberapa ayat Alquran, Allah menggunakan kata. allamnahu (Kami ajarkan dia) atau allamahu untuk menunjukkan proses ketika Allah langsung memberikan ilmunya (QS 2:251; 12:101; 5:110; 12:68). Selain Al-Ghazali yang cukup banyak mengulas pengetahuan ini, adalah tokoh-tokoh sufi, seperti Suhrawardi yang lebih terkenal sebagai Syaikh al-Isyrak, Ibn Arabi, Mullasadra dan Ibnu Qayyim alJauziyah. Suhrawardi mendirikan mazhab isyrak sebagai lawan mazhab peripatetis Aristoteles. la menyerang filsafat Yunani, dan menganggap pengkajian alam sebagai penafsiran hermeneutis atau penetrasi lambang-lambang kosmologis. Akal tidak akan dapat mencapai kebenaran transendental. Ibn Qayyim menyebut tiga Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PERSPEKTIF ALQURAN TENTANG ILMU PENGETAHUAN 49
macam ilmu: ilmu jali yang terdiri atas pengetahuan indera dan akal; ilmu khafi yang diperoleh melalui ri’yadhah yang ikhlas dan tumbuh di batin yang bersih dan badan yang suci; dan ilmu laduni yang diberikan Allah langsung tanpa perantara.28
G. Kesimpulan Dari paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut: 1. Alquran dan Hadits Rasul adalah sumber ilmu pengetahuan yang tidak terbatas. 2. Selain Alquran dan Hadits, ayat-ayat Allah (alam semesta, anfus, dan sejarah) juga menjadi sumber ilmu pengatahuan. 3. Pengetahuan dapat diperoleh melalui indera, akal, dan wahyu. Catatan: 1 . M. Bucaille, The Bible, the Qur’an and Science, Indianapolis: North American Trust Publication, 1979, h. 251. 2 . M. Bucaille, What is the Origin of Man: The Answers of Science and the Holy Scriptures, Paris: Seghers, 1983, h. 158-159. Sudah diindonesiakan oleh Penerbit Mizan dengan judul Asal-usul Manusia, Pebruari 1986. 3 . Zainuddin Sardar, “Between Two Masters: The Qur’an or Science?”, Inquiry, Vol. 2, No. 8, Agustus 1985. 4 . Hadits riwayat Turmudzi, Abu Dawud, dan An-Nasai. 5 . Abu Hayyan, Al-Bahr al-Muhith, Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah, 1328, juz I, h. 341. 6 . Al-Muhtasib, Ittijahah at-Tafsirfi al-‘Ashar al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, 1393. 7 . Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, I, Kairo: Muassasah al-Halbi, 1370, h. 260-261. 8. Al-Ghazali, Jawahir al-Qur’an, Kairo: Maktabah al-Jundi, 1384, h. 29-30 9 . Al-Ghazali, op cit, h. 260. 1 0 . Ibid. h. 27. 1 1 . Az-Zarkasyi,Al-Burhanfial-blumal-Quran,KaiTo: Dar al-Ihya, 1397, 2:153-W 1 2 . As-Suyuthi, Al-Itqan,fi al-Ruh al-Quran, Mesir: Musthafa al-Babi al-Halbi, 1371 2: 125-126. 1 3 . Argumen Al-Marsi dapat dibaca pada Al-Itqan, h. 126-128. 1 4 . Tanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi at- Tafsir al-Quran al-Karim, Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
50 H. ABDUL MANAN SYAFI’I Kutipan ini saya ambil dari AI-Muhtasib, op. cit, h. 273. 1 5 . Misal, lihat Dr. Abdul Alim Abdur Rahman Khidhir, Handasah alNizham al-Kauni fi al-Quran al-Karim,Jedah: Almamlakah alArabiah al-Su’udiyah, 1984: dan Ibrahim Hasan Syahadah alNushairat, Zhawahir Jughrafiyahfi Dhaui al-Qur’an al-Karim, Aman: at-Tiham, 1984. 1 6 . Abu Hayyan, op . cit . 1: 241-242. 1 7 . Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat fi al-Ushul asy-Syari’at, Kairo: AsSarq al-Adna fi al-Maski, 2:82. 1 8 . Muhtasib, op. cit., h. 292. 1 9 . Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir a1-Quran al-Hakim, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tanpa tahun, 1: 7. 2 0 . Al-Muhtasib, op.cit, h. 323. 2 1 . Afzalur Rahman, Muhammad: Encyclopaedia of Seerah, London: The Muslim Trust, 1984, h. 332. 22. Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, Mesir: Mustafa Babial-Mbi, 1964, h. 468 23. Lihat edisi Indonesianya, Masyarakat dan Sejarah: Kritik Islam atas Marxisme dan Teori lainnya, Bandung: Mizan, 1986. 24. Dr. Muhammad 1qbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1977, hal. 138. 2 5 . Dr. Mandi Gulshani, “Philosophy of Science: A Ouramic Perspective,” At-Tauhid. Vol II, No. 1, 1984, h. 13-28 26. P.K. Feyerabend, “How to be a Good Enpiricist: A Plea for Tolerance in Maters Epistemological” dalam B. Baumrin, ed., The Delaware Seminars in Philosophy of Science, vol. II, Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1965, h. 3-39. 2 7 . Dikutip dari Dr. Mandi Gulshani, op. cit., h. 17. 28. Ibn Qayyim Al-Jawziyah, Madarij as-Salikin, juz II, Dar al-Rasyad al-Haditsah, h. 471-477.
Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PERSPEKTIF ALQURAN TENTANG ILMU PENGETAHUAN 51
DAFTAR PUSTAKA Abu Hayyan, (1328 H), Al-Bahr al-Muhith, Mesir: Mathba’ah asSa’adah. Abdul Alim Abdur Rahman Khidhir, (1984), Handasah al-Nizham al-Kauni fi al-Quran alKarim, Jedah: Almamlakah al-Arabiah al-Su’udiyah. Afzalur Rahman, (1984), Muhammad: Encyclopaedia of Seerah, London: The Muslim Trust. Bucaille, (1979), The Bible, the Qur’an and Science, Indianapolis: North American Trust Publication. Bucaille, (1983), What is the Origin of Man: The Answers of Science and the Holy Scriptures, Paris: Seghers. Darwis Hude Cs, (2002), Cakrawala Ilmu dalam al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan I. Ibn Qayyim Al-Jawziyah, Ibnu Qayyim al Jauziah, (t.t), Madarij asSalikin, juz II, Dar al-Rasyad al-Haditsah. Ibrahim Hasan Syahadah al-Nushairat, (1984), Zhawahir Jughrafiyah fi Dhaui al-Qur’an al-Karim, Aman: at-Tiham. Al-Ghazali, (1370 H), Ihya Ulumuddin, I, Kairo: Muassasah al-Halbi. Al-Ghazali, (1384), Jawahir al-Qur’an, Kairo: Maktabah al-Jundi. Asy-Syaukani, (1964), Fath al-Qadir, Mesir: Mustafa Babi al-Halabi. As-Suyuthi, (t.t), Al-Itqan fi al-‘Ulum al-Quran, Mesir: Musthafa alBabi al-Halbi. Al-Muhtasib, (1393 H), Ittijahah at-Tafsirfi al-‘Ashar al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr. Muhammad Rasyid Ridha, (t.t), Tafsir a1-Quran al-Hakim, Beirut: Dar al-Ma’rifah. Muhammad 1qbal, (1977), The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf. Quraish Shihab, (1997), Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, Cetakan V. Quraish Shihab, (1992), Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Manusia, Bandung: Mizan, Cetakan I. Az-Zarkasyi, (1397), Al-Burhan fi al-‘Ulum al-Quran, Kairo: Dar alIhya. Asy-Syathibi, (t.t), Al-Muwafaqat fi al-Ushul asy-Syari’at, Kairo: AsSarq al-Adna fi al--Maski. Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
52 H. ABDUL MANAN SYAFI’I
Tanthawi Jauhari, (t.t), Al-Jawahir fi at- Tafsir al-Quran alKarim,Kairo: Dar al-‘Ulum.
Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012