PERLUASAN INOVASI KEBIJAKAN SOSIAL DI TINGKAT LOKAL ; Studi Kasus Kebijakan Kesehatan Peran Faktor Kunci dan Peluang bagi Perbaikan Proses
Tim Pengkaji: Darmawan Triwibowo | Mumu Muhajir | Tata Mutasya Tim Penyunting: Ah Maftuchan | Setyo Budiantoro | Sopril Amir
Perkumpulan Prakarsa, Jakarta www.theprakarsa.org
>> Policy Paper
Perluasan Inovasi Kebijakan Sosial di Tingkat Lokal; Studi Kasus Kebijakan Kesehatan Peran Faktor Kunci dan Peluang bagi Perbaikan Proses Perkumpulan Prakarsa Oktober 2010
I. KONTEKS, POSISI DAN BATASAN KERTAS KEBIJAKAN “Apakah desentralisasi menjamin peningkatan kesejahteraan warga?” Kajian empirik yang dilakukan di berbagai negara, seperti yang dilakukan oleh OECD1 (Jutting et al dalam Blunt dan Turner, 2007) maupun Bank Dunia (White dan Smoke, 2003), menunjukkan bahwa desentralisasi dan peningkatan kesejahteraan warga tidak selalu berjalan secara beriringan. Seperti yang ditengarai Parker, untuk dapat bekerja dengan baik, desentralisasi membutuhkan racikan “resep” yang tepat serta mensyaratkan adanya faktor-faktor penting untuk bisa membuatnya terhidang dengan “lezat” (Cheema dan Rondinelli, 2007). Di satu sisi, menumbuhkan faktor-faktor kunci dan menciptakan inovasi yang bisa mendorong perbaikan kebijakan dan perbaikan kesejahteraan warga adalah salah satu tantangan dalam desentralisasi.2 Di sisi lain, tantangan yang tak kalah pentingnya adalah menemukan mekanisme agar resep inovasi tersebut bisa diadopsi secara luas (Desai, 2007). Seperti yang ditengarai oleh Sutoro Eko (2006), munculnya “pulau-pulau inovasi” adalah penting tapi tidak mencukupi untuk dapat menghasilkan dampak positif dan signifikan. Tersedianya mekanisme maupun instrumen bagi perluasan inovasi kebijakan, seperti yang ditunjukkan oleh Desai (2007), adalah tantangan utama untuk meningkatkan efektivitas desentralisasi bagi kesejahteraan warga. Kertas Kebijakan (policy paper) ini akan menyoroti tantangan tersebut di atas: Pertama, mengidentifikasikan faktor-faktor kunci yang mendorong perbaikan serta inovasi kebijakan sosial di tingkat lokal. 1
OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), organisasi kerjasama pembangunan ekonomi, yang beranggotakan negara-negara berpenghasilan tinggi dengan misi mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan peningkatan standar hidup serta lainnya. Berkantor di Paris dan mempunyai perwakilan di beberapa negara dengan reputasi tinggi di bidang kajian. Indonesia bersama Brazil, China, India dan Afrika Selatan sudah masuk kategori “akan menjadi anggota” OECD. 2
Cheema dan Rondinelli (2007) serta Hickling (2008) menyebutkan beberapa alasan kenapa desentralisasi memberikan hal positif bagi negara-negara berkembang. Pertama, desentralisasi memungkinkan representasi yang lebih baik dalam proses pengambilan kebijakan pembangunan. Melalui hal tersebut, alokasi sumber daya dan pendanaan dapat dilakukan dengan lebih adil. Kedua, desentralisasi juga dapat meningkatkan pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan dan pada akhirnya hal tersebut akan memperkuat stabilitas politik di tingkat nasional. Ketiga, desentralisasi juga dapat mengurangi biaya penyediaan layanan publik yang biasa terjadi dalam sistem perencanaan yang terpusat. Dalam kaitannya dengan kebijakan, secara ringkas, desentralisasi memberikan kemerdekaan bagi daerah untuk melakukan reformasi dan inovasi kebijakan sosial.
1
Kedua, menganalisa pola-pola perluasan yang tengah berkembang serta faktor-faktor yang mempengaruhi pola tersebut. Pola perluasan inovasi di sektor kesehatan akan digunakan sebagai titik pengamatan dalam analisa karena merupakan salah satu agenda utama reformasi pelayanan publik setelah desentralisasi (Del Granado et al, 2007). Kebijakan kesehatan juga menempati posisi yang penting dalam ranah kebijakan sosial (Lindenthal, 2004). Kajian dalam kertas kebijakan ini merupakan bagian dari proses pengembangan basis pengetahuan untuk advokasi kebijakan yang berpihak pada kaum miskin (pro poor policy advocacy) oleh FITRA, IRE, FPPM, dan Perkumpulan Prakarsa di 6 (enam) kabupaten/kota, yaitu kota Makassar, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Jembrana. Kajian menitikberatkan pada analisa proses inovasi kebijakan dan pola perluasannya di Indonesia. Secara umum, inovasi kebijakan berbeda dengan perbaikan kebijakan (USAID, 2006). Perbaikan kebijakan (policy improvement) lebih merujuk pada penerapan praktik-praktik kebijakan yang telah dikenal secara luas untuk mendorong perbaikan bertahap (incremental) dalam kualitas pelayanan, jangkauan pelayanan dan keterlibatan penerima manfaat dalam proses perumusan kebijakan. Sementara, inovasi kebijakan mengacu pada implementasi terobosan kebijakan (policy leap) dalam konteks introduksi teknologi baru, perombakan kelembagaan maupun praktik-praktik kebijakan yang sebelumnya tidak dikenal atau diterima secara luas (USAID, 2006). Di sisi lain, perluasan kebijakan (scaling up) dapat dipahami sebagai perluasan penerapan kebijakan dalam unit spasial yang lebih luas dengan melibatkan penerima manfaat dalam jumlah yang lebih banyak (Desai, 2007). Secara umum, proses ini biasa dilakukan melalui penggandaan alokasi sumber daya (resource mobilization), replikasi desain program (program proliferation) serta penciptaan kerangka kerja makro kelembagaan (institutional reform). Inovasi dan perluasan kebijakan sosial merupakan proses yang penting dalam desentralisasi. Inovasi bisa meningkatkan efisiensi curahan sumberdaya bagi pelaksanaan kebijakan (efficiency role), memperluas opsi kebijakan (optioning role), dan mempercepat berlangsungnya dampak kebijakan (acceleration role). Perluasan kebijakan, di lain pihak, akan meningkatkan efektivitas dampak kebijakan (impact effectiveness) dengan menggandakan jumlah penerima manfaat dan meminimalisasi kesenjangan kebijakan lintas daerah.
Kotak 1: Signifikansi Kebijakan Sosial Desentralisasi akan secara langsung mempengaruhi kualitas dan kinerja penyediaan pelayanan dasar bagi warga – seperti pelayanan kesehatan dasar, pendidikan, maupun sanitasi – yang menjadi area kebijakan sosial. Kebijakan sosial sendiri, menurut Lindenthal (2004), secara umum mencakup kebijakankebijakan yang terkait dengan pelayanan kebutuhan dasar (basic services), bantuan sosial bagi kelompok miskin (social assistance) serta berbagai ragam kebijakan jaminan sosial (social protection). Secara umum, penyediaan layanan kesehatan menempati posisi yang penting dalam kebijakan sosial di Indonesia. Di satu sisi, pemerintah Indonesia telah menempatkan kebijakan pelayanan kesehatan sebagai salah satu pilar dalam strategi nasional pengurangan kemiskinan berbasis hak. Di sisi lain, pemerintah daerah telah menjadi pemain penting dalam penyediaan layanan kesehatan paska desentralisasi (Rokx et al, 2009). Undang –Undang No. 22 Tahun 1999 j.o. Undang –Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah menempatkan kesehatan sebagai salah satu kewenangan pemerintah daerah (Septyandrica dan Ardhyanti, 2009). Pemerintah daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota, kini mengelola separo belanja publik dalam bidang kesehatan di Indonesia (Rokx et al, 2009; Del Granado et al, 2007). Sumber: Rokx et al (2009), Septyandrica dan Ardhyanti (2009), Del Granado et al (2007), Lindenthal (2004).
2
II. ANALISA DAN TEMUAN 2.1 Telusuran Literatur: Faktor Kunci munculnya Inovasi “Faktor apa yang mempengaruhi keberhasilan desentralisasi?“ Kajian yang dilakukan di Meksiko (Grindle, 2007) maupun di negara-negara Afrika (Kauyzia, 2007) sebenarnya menunjukkan signifikannya faktor-faktor yang bersifat internal (mikro -dari dalam pemerintah lokal) mapun eksternal (makro-dari luar unit pemerintah lokal). Observasi yang dilakukan oleh Grindle (2007) terhadap 30 (tiga puluh) kota di Meksiko yang dipilih secara acak menunjukkan bekerjanya empat faktor internal di kota-kota yang berhasil bisa menggunakan wewenang dan sumber daya yang mereka miliki untuk mendorong perbaikan pelayanan publik, yaitu : i)
Sistem politik lokal yang kompetitif yang memicu persaingan yang sehat di antara berbagai partai politik untuk mengembangkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan warga; ii) Kepemimpinan lokal yang responsif terhadap kepentingan dan masalah yang dihadapi warga; iii) Birokrasi pemerintahan lokal yang modern dan efisien; iv) Masyarakat sipil yang aktif dalam menuntut akuntabilitas pemerintah lokal. Temuan Grindle (2007) menengarai pentingnya faktor kepemimpinan lokal di antara ke empat faktor yang ada dalam konteks desentralisasi di Meksiko serta menegaskan bahwa kepemimpinan yang responsif tersebut hanya mungkin dihasilkan oleh sistem pemilihan umum lokal (pilkada) langsung yang terbuka dan kompetitif. Kauyzia (2007), di lain pihak, menekankan pentingnya faktor-faktor yang lebih bersifat makro– eksternal dalam desentralisasi di Uganda, Rwanda dan Afrika Selatan. Faktor pertama adalah konsistensi kebijakan dari pemerintah pusat untuk mendukung peran yang lebih besar dari pemerintah di tingkat lokal. Faktor berikutnya adalah kemampuan birokrasi di tingkat pusat untuk melakukan transfer kapasitas dan sumberdaya secara sistematis dan lumintu (berkelanjutan) kepada birokrasi di tingkat lokal. Faktor terakhir adalah kesiapan aktor-aktor masyarakat sipil di tingkat lokal untuk memanfaatkan peluang politik yang terbuka di tingkat lokal setelah berlangsungnya desentralisasi. Pentingnya faktor makro juga ditemukan dalam kajian White dan Smoke (2003). Kajian yang mereka lakukan terhadap proses awal desentralisasi di negara-negara Asia Tenggara dan Cina menunjukkan bahwa desentralisasi hanya akan efektif jika didukung oleh keberadaan tiga hal, yaitu: i) tata kerja kelembagaan lintas unit pemerintahan yang koheren; ii) mekanisme transfer fiskal yang jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; iii) mekanisme akuntabilitas yang efektif untuk mengontrol kinerja pemerintahan di tingkat lokal. Salah satu contoh riil dari pentingnya faktor-faktor eksternal juga disoroti oleh Cabrero (2007) dalam keberhasilan desentralisasi pelayanan kesehatan di negara-negara Amerika Latin. Cabrero (2007) melihat bahwa kejelasan pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah serta keberadaan lembaga yang mampu memfasilitasi koordinasi lintas unit pemerintah (seperti Federal Health Council di Argentina dan National Health Council di Meksiko) menyebabkan desentralisasi mampu mendorong penyediaan layanan kesehatan yang lebih baik di negara-negara tersebut.
3
2.2 Inovasi di Indonesia – dominasi peran pemimpin lokal? “Apakah perangkat faktor yang sama juga bekerja dalam proses desentralisasi di Indonesia?” Walaupun secara umum kinerja pelayanan publik tidak meningkat secara drastis maupun merata, desentralisasi berhasil mendorong pemerintah daerah untuk menciptakan inovasi kebijakan,3 baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, pengurangan kemiskinan, maupun dalam pelayanan umum (Sudarmo dan Sudjana, 2009; USAID, 2006; Eko, 2006). Inovasi pelayanan publik yang muncul pada masa desentralisasi lebih sering didorong oleh munculnya pemimpin-pemimpin lokal dengan gagasangagasan baru dan kepemimpinan yang kuat dengan basis dukungan politik yang luas dari warga (USAID, 2006). Dalam konteks tersebut, Leisher dan Nachuk (2006) memandang bahwa pemilihan kepala daerah langsung telah membuka peluang yang lebih besar bagi munculnya pemimpin dan kepemimpinan yang responsif tersebut. Signifikannya peran pemimpin lokal (commited leadership) dalam mendorong inovasi juga ditemui dalam kesimpulan USAID (2009), di samping peran faktor lain seperti penggunaan instrumen kebijakan yang tepat serta kapasitas yang memadai dari aktor-aktor lokal untuk mendorong roses modernisasi dan reformasi birokrasi. Proses perbaikan penyediaan layanan kesehatan di 7 (tujuh) kabupaten/kota juga menunjukkan hal yang sama. Membandingkan derajat inovasi yang berkembang di Solo, Yogyakarta, Purbalingga, Pekalongan, Magelang, Semarang, dan Kendal, memperlihatkan bahwa tingkat komitmen pemimpin daerah mempengaruhi perbedaan yang ada di daerah-daerah tersebut (Septyandrica dan Ardhyanti, 2009). Faktor lain yang juga berpengaruh adalah adanya dukungan legislatif yang memadai serta tuntutan yang kuat dari kelompok-kelompok masyarakat sipil. Senada dengan hal di atas, kapasitas fiskal daerah bukanlah faktor penentu munculnya inovasi kebijakan di tingkat lokal. Inovasi justru sering muncul di kabupaten/kota dengan tingkat pendapatan daerah yang rendah. Faktor-faktor yang lebih menentukan adalah tampilnya tokoh pemimpin lokal yang kuat, aktif dan responsif, seperti I Gede Winasa di kabupaten Jembrana atau Triyono Budi Sasongko di Purbalingga. Faktor lain adalah berhasil dilakukannya reformasi birokrasi dan rasionalisasi anggaran, serta adanya dukungan konteks politik lokal yang sentrifetal (memusat)4 di mana kontestasi politik yang ada tidak menghalangi terbangunnya konsensus kebijakan antar kelompok politik (Sutoro Eko, 2006). Pengamatan tersebut menunjukan bahwa faktor politis juga menentukan munculnya inovasi kebijakan. Di satu sisi, pemilihan umum langsung di tingkat lokal memberikan insentif politik bagi pemimpin-pemimpin lokal untuk mempromosikan inovasi dan perbaikan pelayanan kebutuhan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan, guna memenangkan dukungan populer dari warga pemilih (voters) 3
Inovasi bukanlah kata yang akrab dalam ranah layanan publik. Sektor layanan publik, ranah kebijakan sosial, memang cenderung rigid dan stagnan. (Suwarno, tanpa tahun) Stagnasi ini, menurut Suwarno tidak terlepas dari faktor reward yang tidak mencapai kriteria layak, pengukuran kinerja dan prestasi yang cenderung tidak objektif, sehingga tidak mampu memotivasi individu untuk dapat berprestasi atau berkinerja lebih baik lagi. Kelembaman ini bisa diubah dengan tekanan eksternal seperti terjadinya perubahan di dalam masyarakat pengguna, karena pertumbuhan ekonomi atau pun pendidikan, dari pasif menjadi aktif. Dalam hal ini, momentum desentralisasi dan Pilkada bisa dianggap sebagai faktor yang ikut mendorong lahirnya inovasi tersebut. 4
Dalam kajian terbarunya mengenai Jembrana Sutoro Eko sedikit merevisi konsepnya tentang konteks politik yang memusat (sentripetal) ini. Ia menemukan bahwa inovasi Jembrana memang saat subur saat legitimasi politik I Gede Winasa sebagai Kepala Daerah belum cukup solid. Legislator dari PDIP yang merupakan mayoritas di DPRD Jembrana pada awalnya bukanlah pendukung Winasa. Dukungan itu baru diperoleh setelah Winasa berhasil merebut hati rakyat lewat program-program bantuan sosialnya. Ironisnya, setelah dukungan solid diperolehnya, kondisi politik menjadi sentripetal, Winasa kemudian menjadi lembam dan tidak inovatif lagi. (wawancara 16 Agustus 2010). Thesisnya ini senada dengan temuan dari Prasodjo, Kurniawan dan Hasan (2004) yang mendapati inovasi terbanyak kepemimpinan Winasa ada di luar locus pemerintahan.
4
dalam pilkada. Chriswardani Suryawati, analis kesehatan dari Universitas Diponegoro, menilai bahwa munculnya berbagai kebijakan kesehatan populis, seperti penghapusan biaya layanan kesehatan dasar, di banyak daerah lebih di dorong oleh motif politik dibandingkan oleh kapasitas fiskal dan birokrasi yang memadai.5 Di sisi lain, realisasi inovasi-inovasi yang ditawarkan tersebut akan lebih dimungkinkan jika proses pilkada tersebut juga menghasilkan konstelasi politik yang memusat dan terbuka bagi konsensus. Faktor aktor dan konteks politik lokal memang lebih mendominasi diskusi tentang inovasi kebijakan di Indonesia. Hanya saja, beberapa kajian tetap mengingatkan pentingnya peran faktor-faktor yang lebih bersifat makro. Sebagai contoh, USAID (2006) menekankan pentingnya pengembangan kerangka insentif yang bersifat nasional untuk memotivasi pemerintah lokal menciptakan inovasi-inovasi pelayanan publik. Penciptaan kerangka regulasi yang koheren dari tingkat pusat hingga daerah, seperti skema standar pelayanan minimum, juga sangat dibutuhkan (USAID, 2006). Adanya sebentuk kerangka kebijakan yang kondusif (enabling policy framework) adalah faktor penting yang tidak bisa diabaikan (USAID, 2009).
2.3 Pola Inovasi Layanan Kesehatan: Menguatnya Pendekatan Universal “Inovasi macam apakah yang telah berhasil didorongkan dalam desentralisasi di Indonesia?” Dalam sektor kesehatan, inovasi yang muncul adalah dalam perubahan dalam skema pembiayaan pemberian layanan (Rokx et al, 2009; Septyandrica dan Ardhyanti, 2009; Nurman dan Martiani, 2008). Secara umum, bentuk inovasi tersebut bisa dipilah menjadi dua kelompok besar, yaitu: (i) pembebasan biaya pelayanan kesehatan dasar (fee waiver) di puskesmas dan puskesmas pembantu bagi semua warga yang menggunakan layanan; dan (ii) penyelenggaraan jaminan kesehatan daerah berbasis asuransi (baik itu swa kelola maupun melalui kerja sama dengan pihak ke tiga) bagi seluruh warga. Dua bentuk kebijakan ini merupakan inovasi karena dua hal. Pertama, kebijakan ini telah menggeser pendekatan pelayanan kesehatan di daerah dari orientasi sisi penyediaan (supply side) ke orientasi sisi permintaan (demand side). Dalam pendekatan penyediaan, kebijakan lebih menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur kesehatan dan perbanyakan tenaga medis (Triwibowo, 2008). Pendekatan ini mengasumsikan bahwa jika jumlah fasilitas pelayanan kesehatan tersedia dengan mencukupi dan warga memiliki pengetahuan yang memadai tentang pentingnya kesehatan maka warga dengan sendirinya akan menggunakan fasilitas tersebut dan layanan yang disediakannya. Pendekatan ini mengabaikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kemampuan dan kesediaan (ability and willingness) warga untuk mengakses layanan tersebut, seperti daya beli warga. Pendekatan permintaan, sebaliknya, berusaha mempengaruhi tingkat permintaan warga terhadap fasilitas dan layanan kesehatan melalui pemberian insentif atau subsidi bagi peningkatan daya beli terhadap layanan yang dibutuhkan (Triwibowo, 2008). Kedua, kebijakan tersebut memperluas cakupan pendekatan sisi permintaan kepada seluruh warga. Pendekatan universal ini merupakan pergeseran dari pendekatan residual yang telah dan tengah dikembangkan oleh pemerintah pusat. Seperti yang diuraikan Nurman dan Martiani (2008), sejak krisis ekonomi tahun 1997–1998, pemerintah telah berupaya mengembangkan berbagai bentuk kebijakan dengan pendekatan sisi permintaan. Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS–BK) pada tahun 1998, JPK Gakin pada tahun 2001, Asuransi Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Askeskin) pada tahun 2005, maupun Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) pada tahun 2008 lebih ditujukan pada kelompok masyarakat miskin (Nurman dan Martiani, 2008).
5
Lihat “Nuansa Politik Kesehatan Gratis” diunduh dari www.matanews.com, pada 20 April 2010
5
Di satu sisi, pendekatan universal dalam kebijakan fee waiver yang diterapkan oleh pemerintah daerah membuat kebijakan ini bisa keluar dari cakupan “bantuan sosial” (social assistance) yang lebih bersifat sempit dan temporer. Di sisi lain, introduksi kebijakan jaminan kesehatan daerah yang berbasis asuransi juga menggeser pola pikir warga dalam pembiayaan pelayanan kesehatan dari out of pocket menjadi pra bayar (Nurman dan Mariani, 2008). Selain itu, asuransi akan memperkuat solidaritas sosial di antara warga karena memfasilitasi terjadinya subsidi silang secara langsung antara kelompok warga miskin dan non miskin dalam pembiayaan kesehatan di daerah.
Kotak 2. Sistem Jaminan Sosial Nasional Panduan makro kebijakan dan kerangka kerja kelembagaan bagi penyelenggaraan jaminan kesehatan sebenarnya sudah disediakan oleh Undang–Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jaminan kesehatan adalah bagian dari SJSN yang bersifat mengikat (mandatory) bagi seluruh warga negara, diselenggarakan secara nasional oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang ditunjuk oleh pemerintah. Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa skema SJSN tidak bertentangan dengan konstitusi namun juga mengakui kewenangan dari pemerintah daerah untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan lokal sebagai skema komplementer dari skema SJSN. Tahap krusial adalah menyusun Undang – Undang BPJS yang akan mengatur hubungan antara BPJS dan service provider serta antara BPJS di tingkat pusat dengan badan di daerah. Sayangnya, enam tahun setelah UU SJSN disahkan, regulasi tentang BPJS belum juga berhasil diselesaikan oleh pemerintah pusat dan DPR. Tanpa panduan yang jelas dan rinci, potensi konflik serta inefisiensi dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan di daerah akan tetap tinggi.
Hingga pertengahan tahun 2007, tercatat ada 36 (tiga puluh enam) kabupaten/kota yang telah menerapkan skema jaminan kesehatan berbasis asuransi serta 60 (enam puluh) kabupaten/kota lain yang lebih memilih pembebasan biaya layanan kesehatan dasar (Rokx et al, 2009). Kabupaten Purbalingga di Jawa Tengah dan Kabupaten Jembrana di Bali merupakan dua daerah yang dikenal luas sebagai inovator awal bagi penerapan jaminan kesehatan daerah berbasis asuransi. Inovasi yang dilakukan dua daerah tersebut mendahului inovasi yang dilakukan pemerintahan propinsi induknya, baik itu di Jawa Tengah maupun Bali. Di kabupaten/kota yang menjadi wilayah sasaran advokasi kebijakan, inovasi dalam layanan kesehatan seperti yang dikategorikan oleh Rokx et al (2009) tersebut belum berlangsung secara luas. Di luar Kabupaten Jembrana yang mengintroduksikan jaminan kesehatan berbasis asuransi serta Kota Makassar yang menerapkan penghapusan biaya pelayanan kesehatan, daerah-daerah lain tidak mengembangkan inovasi yang khusus. Kebijakan yang dikembangkan pemerintah daerah adalah kebijakan yang bersifat komplementer dari kebijakan Jamkesmas dengan menyediakan alokasi anggaran bagi pelayanan kesehatan kelompok miskin yang belum tercakup dalam Jamkesmas. Secara umum, posisi enam daerah tersebut bisa dilihat pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Tipologi Inovasi di Enam Kabupaten/Kota Wilayah Kajian Asuransi Kesehatan Kabupaten Jembrana
Pembebasan Biaya (Universal Coverage) Kota Makassar
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, Prakarsa, 2010.
Dana Tambahan Jamkesmas Kabupaten Sukabumi Kabupaten Bandung Kabupaten Gunung Kidul Kabupaten Kebumen
Posisi tersebut memang tidaklah statis. Sebagai contoh, pemerintah daerah Kabupaten Bandung saat ini tengah merancang sistem jaminan kesehatan daerah yang berbasis asuransi.6 Demikian juga pemerintah daerah kabupaten Gunung Kidul telah bekerja sama dengan pihak ketiga untuk menyediakan asuransi kesehatan bagi warga yang bekerja dalam pemerintahan di tingkat desa dan dusun melalui Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (PJKMU).7 Namun, dalam konteks inovasi secara umum, hanya Kabupaten Jembrana dan Kota Makassar yang bisa digolongkan sebagai “innovator”.8 Sementara daerah lain bisa digolongkan sebagai daerah “late-adopter” (Kabupaten Bandung dan Kabupaten Gunung Kidul) serta “laggard” (Kabupaten Kebumen dan Sukabumi).
Kotak 3: Ragam Inovasi Kebijakan Lain Ragam inovasi kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah daerah sebenarnya tidak terbatas pada dua kelompok besar seperti yang diidentifikasikan oleh Rokx et al (2009). Hanya saja ragam inovasi lain sering kali bersifat sangat lokal, tidak tereplikasi dengan luas atau lebih dekat dengan kriteria perbaikan pelayanan (service improvement) dalam kategori USAID (2006). Sebagai contoh, Nurman dan Martiani (2008) menemukan orientasi pada perbaikan kualitas dan standardisasi layanan di puskesmas di Kabupaten Sleman. Milawaty juga mengidentifikasikan ragam inovasi yang berbeda di kota Parepare (peningkatan layanan puskesmas), Kabupaten Takalar (kemitraan bidan dan dukun), Kabupaten Enrekang (perbaikan kondisi rumah sakit) serta Kabupaten Wajo (perbaikan infrastruktur puskesmas). Sumber: Rokx et al (2009), Nurman dan Martiani (2008), USAID (2006), Milawaty (http://mylaffayza.blogspot.com)
2.4 Perluasan Inovasi Kebijakan: Lambat, Acak, dan Rentan Konflik “Bagaimana pola perluasan inovasi kebijakan yang kemudian berlangsung?” Secara umum, proses perluasan inovasi kebijakan bisa dikatakan berjalan lambat. Jika merujuk kembali pada data yang dikemukakan Rokx et al (2009) maka lebih dari lima tahun setelah Purbalingga menginisiasikan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) pada tahun 2003, hanya 20 persen dari 489 kabupaten/kota yang telah mendorong inovasi sejenis. Di propinsi Jawa Tengah, sebagai contoh, baru pada tahun 2008 berbagai kabupaten/kota seperti Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan, Kota Tegal, dan Kabupaten Cilacap mulai menerapkan pembebasan biaya pelayanan kesehatan dasar di puskesmas secara universal. Pola perluasan inovasi kebijakan yang berlangsung juga bersifat acak. Keberhasilan para inovator dalam menjalankan serta mengelola inovasinya tidak dengan sendirinya mendorong daerah-daerah di sekelilingnya untuk melakukan replikasi program tersebut. Sebagai contoh, terlepas dari keberhasilan Kabupaten Sinjai mengelola skema Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) sejak 2004, hanya 6 (enam) dari 22 (dua puluh dua) kabupaten/kota lain di propinsi Sulawesi Selatan yang berusaha
6
Lihat “Dinkes Seminarkan Penyusunan Raperda Jaminan Kesehatan” diunduh dari http://www.bandungkab.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1757&Itemid=22 pada 30 April 2010 7 Lihat “Gunung Kidul Asuransikan Perangkat Desa” diunduh dari http://regional.kompas.com/read/2010/02/09/17405642/Gunung.Kidul.Asuransikan.perangkat.Desa pada 30 April 2010 8 Penyebutan sebagai innovator ini tidak hanya karena Jembrana dan Makassar melakukannya lebih dulu, tapi karena kebijakan itu sendiri mendekati kriteria best practice yang diusulkan oleh UN Habitat yaitu apabila inovasi itu memenuhi sejumlah syarat (i) memiliki dampak dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat (ii) hasil kerjasama antara sektor publik, swasta dan masyarakat sipil (iii) berkelanjutan secara sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan (Prasojo, Kurniawan dan Hasan, 2004)
7
mengembangkan inovasi sejenis bagi pengurangan biaya dalam penyediaan layanan kesehatan yaitu Kota Makassar, Kabupaten Wajo, Bone, Toraja, Pangkep dan Bantaeng (Kadir et al, 2009). Pola ini bisa dipantik oleh banyak hal. Kuatnya pengaruh faktor-faktor internal di tiap daerah, seperti halnya peran pemimpin lokal, kapasitas birokrasi, adanya dukungan politik yang kuat, maupun kontrol yang efektif dari masyarakat sipil dan warga, sangat menentukan kemampuan daerah mendorong sebuah inovasi. Tidak semua daerah memiliki faktor – faktor internal yang kondusif tersebut. Di sisi lain, daerah inovator acap kali tidak mempunyai kekuatan riil untuk mempengaruhi atau mendorong berlangsungnya replikasi program daerah lain (Sudarmo dan Sudjana, 2009.) Posisi daerah inovator tersebut dalam konstelasi politik-ekonomi wilayah juga bisa menentukan kemampuannya untuk mempengaruhi perluasan kebijakan. Sebagai contoh, tiga kabupaten yang menjadi inovator kebijakan di Jawa Tengah, Bali dan Sulawesi Selatan secara tradisional bukanlah kekuatan ekonomi-politik utama di tiga propinsi tersebut. Namun, faktor lain yang tak kalah penting adalah tidak adanya struktur atau kerangka kelembagaan yang bisa secara efektif memfasilitasi akumulasi “lesson-learned” dari inovasi-inovasi yang tengah berjalan serta secara sistematis mengembangkan sistem insentif (baik fiskal maupun non fiskal) untuk mendorong perluasannya di daerah-daerah yang berdekatan. Seperti yang diidentifikasikan oleh USAID (2006) peran ini seharusnya dimainkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah propinsi. Namun lambatnya pengembangan panduan kebijakan serta kerangka kelembagaan di tingkat nasional untuk memfasilitasi koordinasi pusat-daerah (Septyandrica dan Ardhyanti, 2009) serta tidak efektifnya posisi pemerintah propinsi dalam mensinergikan kebijakan lintas kabupaten/kota (Sudarmo dan Sudjana, 2009) menghalangi konvergensi dalam proses perluasan kebijakan. Dalam konidisi seperti ini, insentif yang tersedia hanyalah insentif politik dari proses pilkada yang bersifat sangat lokal dan hanya berulang satu kali dalam lima tahun. Absennya kerangka kelembagaan tersebut bisa memicu terjadinya konflik antar pemerintah daerah dalam proses perluasan kebijakan. Penolakan pemerintah Kabupaten Jembrana untuk terlibat dalam pelaksanaan program pembebasan biaya pelayanan kesehatan universal oleh pemerintah Propinsi Bali melalui program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) merupakan contoh dari manifestasi potensi konflik tersebut.9 Hal yang sama juga terjadi di propinsi Sulawesi Selatan saat pemerintah Kabupaten Sinjai menolak untuk menggunakan alokasi dana program kesehatan gratis dari pemerintah propinsi. Penolakan ini dilakukan karena perbedaan format kebijakan yang ada dalam program propinsi dinilai bisa mengganggu implementasi program Jamkesda di kabupaten tersebut.10 Dengan kerangka regulasi yang ada, sebenarnya relatif susah untuk membayangkan lahirnya inovasi dari daerah. Alih-alih mendorong daerah untuk berinovasi, kerangka regulasi pemerintahan yang berjalan sebenarnya merupakan saluran bagi arus balik “re-sentralisasi“, kembalinya kewenangan ke pusat. Dimulai dengan digantikannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU No 32 Tahun 2004. Bila UU No 22 Tahun 1999 memberi ruang kewenangan (discression) yang cukup lapang bagi para Kepala Daerah dalam mengambil keputusan di 11 Bidang Pemerintahan, UU penggantinya telah menciutkan kewenangan itu. “Resentralisasi“ bahkan telah dimulai dengan hadirnya UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menekankan keharusan perencanaan daerah merujuk ke perencanaan nasional, dan kecenderungan ini kemudian diperkuat dengan keluarnya UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menggantikan UU No 25 Tahun 1999.
9
Lihat “Program JKBM, Pemprov Bali Alokasikan Dana Rp 180 M” diunduh dari http://selebzone.com/2010/01/05/program-jkbm-pemprov-bali-alokasikan-dana-rp-180-m.html diunduh pada 29 April 2010. 10 Lihat “Dana Kesehatan Gratis Juga Ditolak” diunduh dari http://fajar.co.id/index/files/iklan/index.php?option=news&id=66065 diunduh pada 29 April 2010
8
Dengan kerangka seperti ini, inovasi nyaris selalu berarti “pelanggaran”. Stimulus bukannya tidak ada, tapi itu lebih diarahkan kepada kepatuhan dalam pelaporan keuangan (ketepatan waktu pelaporan dan penetapan APBD dan penilaian BPK).11 Dengan situasi “kaya rambu minim ganjaran” seperti itu dibutuhkan pemimpin yang lebih dari visioner tapi juga “berani” untuk mewujudkan gagasangagasannya, sekali pun ia harus menghadapi resiko dikenai sanksi hukum.12 Hal-hal inilah yang membuat pemerintah daerah cenderung bermain aman dengan mereplikasi inovasi yang mempunyai potensi konflik yang lebih rendah (Septyandrica dan Ardhyanti, 2009). Dalam kasus jaminan kesehatan berbasis asuransi, pemerintah daerah sering lebih memilih bentuk UPT (Unit Pelayanan Teknis) daripada Bapel Jamkes (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan) sebagai lembaga pengelola karena acuannya lebih jelas dan potensi konfliknya dengan regulasi di tingkat pusat lebih rendah walaupun kinerja UPT belum tentu lebih efektif. Kecenderungan ini juga bisa menjelaskan mengapa kebijakan pembebasan biaya pelayanan dasar yang universal lebih banyak direplikasi oleh pemerintah daerah dibanding inovasi asuransi kesehatan daerah. Kebijakan pembebasan biaya hanya membutuhkan penambahan alokasi atau realokasi anggaran belanja daerah yang bisa diselesaikan secara teknokratis dan politis dalam proses perencanaan-penganggaran di tingkat lokal. Pelaksanaannya bisa menggunakan instrumen yang telah ada sehingga tidak membutuhkan perubahan-perubahan kelembagaan. Inovasi ini dengan demikian lebih mudah dikelola, lebih populer dan lebih mudah dipahami oleh warga, serta lebih mudah diukur luarannya. Dari sisi substansi, studi Pokjanas Perda (Soetono, Sadiawati dan Harun, 2010) menemukan bahwa Perda-Perda di bidang Kebijakan Kesehatan masih kental dimuati tendensi pengaturan daripada pelayanan, hal itu dicirikan beberapa hal berikut: (i) orientasi utama pemda lebih kepada aspek kelembagaan daripada pelayanan (ii) kurang memberi perhatian khusus kepada kelompok rentan seperti perempuan, anak dan lansia (iii) masih kurangnya penerapan asas partisipasi dalam penyusunan.
2.5 Penguatan Instrumen: Potensi dan Kerentanan Peran Media Massa Lokal “Media massa lokal menunjukkan potensi mereka untuk mendukung proses perluasan inovasi” Fajar institute for Pro-Otonomi (FIPO), sebuah lembaga di bawah payung kelompok media Fajar – Jawa Pos di Makassar, menciptakan mekanisme dokumentasi good practice lokal, memfasilitasi pertukaran lesson-learned serta diseminasi informasi antara kabupaten/kota di propinsi Sulawesi Selatan melalui forum pemberian penghargaan tahunan Otonomi Award. Inisiatif ini bisa berfungsi ganda untuk menciptakan insentif bagi pemerintah kabupaten/kota untuk mengembangkan inovasi serta menciptakan mekanisme akuntabilitas alternatif bagai pemerintah lokal tersebut terhadap warga. Inisiatif ini juga ditemui di propinsi lain, seperti di Jawa Timur yang langsung dikelola oleh Jawa Pos dan di Jawa Tengah oleh Suara Merdeka. Media massa lokal juga secara aktif menjadikan isu kebijakan sosial, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan, sebagai agenda pemberitaan. Merkurius TOP FM di Makassar merupakan inisiator awal dari beragam model pemberitaan tentang layanan publik, baik melalui liputan berita, diskusi dan talk show, serta fasilitasi pengaduan warga. Harian Fajar dan Tribun Timur juga mengalokasikan ruang yang cukup luas bagi agenda kebijakan sosial dengan melakukan liputan pemberitaan, investigasi maupun
11
Wawancara dengan Yuna Farhan, 13 Agustus 2010 Asas hukum sejauh ini telah menyeret sejumlah Kepala Daerah ke pengadilan dengan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan. Kejadian ini sedikit banyak telah mengendurkan semangat para Kepala Daerah lainnya untuk melakukan inovasi. Untuk menjaga semangat berinovasi ini, saat ini berkembang gagasan untuk menggantikan asas hukum pidana atas sejumlah kewenangan Pemda menjadi berasas hukum administasi (Wawancara Robert Endi Jaweng, 12 Agustus 2010) 12
9
halaman pengaduan dan tanya jawab antara warga dan pemberi layanan. Harian Suara Merdeka di Kabupaten Kebumen juga melakukan hal yang sama. Respon masyarakat yang tinggi menunjukkan bahwa peran yang dimainkan media massa tersebut sangat dibutuhkan oleh warga. Secara umum, media massa bisa membantu proses perluasan inovasi dengan memperkuat state capability, state accountability dan state responsiveness (DFID, 2008). Media massa memperkuat state capability dengan menyebarkan informasi ke warga tentang kebijakan-kebijakan sosial yang dikembangkan oleh pemerintah di tingkat lokal serta menyediakan ruang bagi debat publik terhadap kebijakan-kebijakan tersebut. Di sisi lain, media memperkuat state accountability dengan memainkan peran watch dog melalui investigasi dan pengawasan kebijakan. Media juga bisa mendorong perbaikan state responsiveness dengan membawa suara warga ke dalam agenda pemerintah lokal dan menagih tanggapan mereka. Hanya saja, seperti yang diamati di beberapa kabupaten/kota, peran media massa juga rentan terhadap kooptasi kepentingan-kepentingan bisnis dan politik lokal (Harjanto, 2010). Di Makassar, grup media nasional (Kompas dan Jawa Pos) bekerja sama dengan pemodal lokal telah menguasai pangsa utama surat kabar di tingkat kota maupun propinsi. Dua raksasa media nasional tersebut juga mendorong integrasi media antara media cetak dan elektronik di Makassar yang sekaligus mengaskan dominasi mereka dalam pembentukan agenda dan wacana publik di tingkat lokal. Di Kebumen dan Jembrana, media menjadi bagian dari agenda politik pencitraan kepala daerah. Pemerintah daerah secara aktif menggunakan media sebagai alat komunikasi publik untuk membentuk citra positif dari kepala daerah dan mempertahankan dukungan populer dari warga.
III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 3.1 Kesimpulan Kajian ini menemukan kesamaan pola perkembangan inovasi dalam proses desentralisasi di indonesia dan negara-negara berkembang lain. Faktor internal, khususnya keberadaan pemimpin lokal yang responsif, sangat mempengaruhi munculnya inovasi di satu kabupaten/kota. Pemimpin tersebut mempunyai peluang yang lebih besar untuk muncul dalam sistem politik yang kompetitif, seperti yang dibawakan oleh pemlihan kepala daerah langsung. Peran para pemimpin lokal tersebut dalam mendorong inovasi akan lebih optimal jika didukung oleh basis politik yang kuat, birokrasi yang efisien, serta kontrol masyarakat sipil yang kuat. Di sisi lain, pengamatan terhadap inovasi pelayanan kesehatan menunjukkan bahwa proses perluasan inovasi kebijakan berjalan dengan lambat, acak dan rentan konflik. Hal ini disebabkan oleh absennya kerangka kelembagaan yang bisa memfasilitasi proses perluasan inovasi kebijakan lintas daerah. Seperti halnya yang dijumpai dalam pengalaman negara – negara berkembang lain, keberadaan faktorfaktor eksternal tersebut akan mempengaruhi efektivitas dampak dari inovasi-inovasi yang telah dihasilkan dalam skala yang lebih luas. Tanpa adanya mekanisme insentif yang bersifat makro maka banyak daerah akan memilih pendekatan inkremental dalam perbaikan pelayanan, atau memilih menerapkan bentuk inovasi dengan “resiko” yang paling rendah. Media massa lokal memiliki potensi untuk menciptakan mekanisme alternatif bagi pertukaran lessonlearned dan insentif bagi perluasan inovasi. Pengalaman media massa di Makassar dan Kebumen menunjukkan bahwa peran tersebut juga dibutuhkan oleh warga. Hanya saja, media massa lokal juga rentan terhadap kooptasi kepentingan bisnis dan politik lokal.
10
3.2 Rekomendasi Bagaimanakah mendorong perluasan inovasi kebijakan secara lebih efektif? Kajian ini merekomendasikan beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memperbaiki pola yang tengah berlangsung melalui intervensi dalam faktor internal maupun faktor eksternal sebagai berikut:
(i) Internal - Menguatkan Mekanisme Akuntabilitas Lokal Sangat penting untuk menggeser determinan inovasi dari variabel individu pemimpin kepada variabel sistem dengan membentuk mekanisme akuntabilitas yang lebih kuat di tingkat lokal. Inti dari akuntabilitas adalah menjaga tata hubungan yang saling mendukung (legitimate relationship) antara warga dan pemerintah yang melayaninya (DFID, 2008). Legitimate relationship ini membutuhkan peran dari para pihak. Dari sisi pemerintah, tentu saja adalah melakukan perbaikan dari sisi kelembagaan atas inovasi yang terbukti membawa manfaat bagi masyarakat. Reformasi birokrasi publik juga mencakup perubahan secara gradual terhadap nilai publik (public value) dan budaya aparat pemerintah daerah yang berimplikasi pada etos kerja, kualitas pelayanan publik, hingga perubahan perilaku sebagai penguasa (ambtenaar) menjadi pelayanan dan pengayoman.13 Dari sisi masyarakat, perannya adalah kesediaan untuk berpartisipasi dalam mengawal pelaksanaan inovasi tersebut. Selain dari perbaikan kelembagaan dari sisi pemerintah, acap kali keberhasilan mekanisme ini ditentukan pula oleh pola komunikasi di antara keduanya, bagaimana warga menyatakan kepentingannya serta bagaimana pemerintah mengkomunikasikan kinerja kebijakannya. Memastikan bahwa warga bisa menggunakan peluang pemilihan kepala daerah langsung untuk mengartikulasikan kepentingannya adalah satu hal yang bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil untuk membuat pemimpin yang terpilih beserta pemerintahannya lebih bertanggung gugat. Pendidikan pemilih (voters education) secara ajeg dengan demikian merupakan hal yang penting. Namun hal yang lebih penting adalah memampukan warga untuk menggunakan semua instrumen bagi artikulasi kepentingan dan kontrol terhadap kebijakan pemerintah setelah pemilihan kepala daerah. Bentuk pendidikan kewargaan (civic/citizenship education) jangka panjang oleh karenanya harus mulai dikembangkan.14 Pemerintah juga telah memfasilitasi peran warga untuk mengembangkan sistem akuntabilitas lokal tersebut. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dengan jelas telah membuka ruang bagi pengawasan eksternal oleh publik terhadap kinerja pemberian layanan publik. Perundangan tersebut juga menjamin hak warga untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pelayanan publik sejak penyusunan standar pelayanan hingga evaluasi dan pemberian penghargaan. Warga juga dimungkinkan untuk membentuk lembaga pengawasan pelayanan publik secara langsung. Seirama dengan UU Nomor 25 tersebut, di sejumlah daerah, peluang warga untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan itu telah diperkuat dengan lahirnya Perda mengenai Transparansi dan Partisipasi15 Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan peran media massa lokal untuk memfasilitasi pertukaran informasi antara warga, kelompok masyarakat sipil dan pemerintah daerah (DFID, 2008). 13
Defny Holidin, 2007, Reformasi dan Inovasi Pemerintah Daerah dalam Pembangunan http://www.yappika.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=58&Itemid=69 diunduh pada 26 Agustus 2010 14 Ada banyak masukan yang menyebutkan pentingnya mengenali kekhasan karakter masyarakat di masing-masing wilayah kajian, baik itu dari sisi kultural, sosio ekonomi mau pun demografi. Kekhasan ini akan menentukan corak dan metode civic education yang paling pas, karena tidak semua masyarakat bisa mengadopsi nilai-nilai kesetaraan yang merupakan urat nadi dari demokrasi. 15 Perda-Perda yang kelahirannya didorong oleh stimulus Bank Dunia kepada daerah yang ingin mendapatkan pinjaman untuk pembangunan infrastruktur ini lebih bertujuan untuk meningkatkan praktik transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dan melaksanakan reformasi dalam bidang pengelolaan keuangan daerah dan pengadaan barang/jasa di daerah kabupaten. Meski demikian kondisi yang diciptakannya jelas membawa manfaat bagi penegakan akuntabilitas penyelenggaran pemerintahan secara umum. Bank Dunia menstimulasi Perda ini melalui program Prakarsa Pembaruan Tata Pemerintahan Daerah (P2TPD). Info lebih lanjut http://p2tpd.org/?page_id=66
11
Media, merujuk pada Omoera (2010), merupakan aktor penting karena memiliki fungsi yang majemuk, yaitu pemasok informasi (information role), membentuk opini (leadership role), pengawasan (watchdog role), serta penjaga akuntabilitas kebijakan (accountability role). Acap kali kelompok masyarakat sipil hanya memanfaatkan sebagian dari peran potensial yang bisa dimainkan oleh media massa dalam menjaga akuntabilitas dan menciptakan inovasi kebijakan di daerah. Padahal media massa mempunyai kemampuan yang luas bahkan untuk mengembangkan sistem insentif – disinsetif informal yang bisa mendorong pemerintah daerah menciptakan inovasi. Otonomi Award yang difasilitasi oleh media massa lokal dan regional, seperti Jawa Pos di Jawa Timur, Suara Merdeka di Jawa Tengah, maupun Fajar di Sulawesi Selatan adalah inisiatif media yang bisa diperkuat dan diperluas. Di satu sisi, penguatan sinergi antara media massa lokal dengan kelompok masyarakat sipil juga bisa meminimalisasi potensi kooptasi oleh kepentingan bisnis dan politik lokal. Pengembangan kapasitas dan penciptaan agenda bersama (joint agenda setting) adalah dua hal yang bisa dikerjakan secara bersama antara media massa dan organisasi masyarakat sipil. Di sisi lain, perlu dipertimbangkan juga untuk mengembangkan media-media alternatif untuk melengkapi fungsi dari media massa serta mengantisipasi jika kooptasi bisnis dan politik tidak bisa dikendalikan.
(ii) Eksternal – Mengoptimalkan Peran Propinsi sebagai Perantara Perluasan inovasi Desentralisasi terkait erat dengan hirarki pemerintahan, akuntabilitas, dan struktur kekuasaan (Sudarmo dan Sudjana, 2009). Tanpa relasi yang jelas antar hirarki pemerintahan serta batas-batas wewenang yang tegas antar struktur yang ada maka inovasi kebijakan desentralisasi sering kali tidak berjalan dengan efektif. Masalah ini dijumpai dalam tata relasi antara pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota pada proses desentralisasi yang tengah berlangsung di Indonesia. Propinsi kini tidak mempunyai peran yang jelas serta tidak dibekali dengan sumberdaya dan kewenangan yang memadai untuk meminta pertanggung gugatan daerah kabupaten/kota. Salah satu hal yang bisa dilakukan dalam pendekatan eksternal adalah mengoptimalkan peran propinsi dalam proses perluasan inovasi kebijakan. Propinsi bisa didorong untuk berperan menghimpun lessonlearned dari inovasi yang dikembangkan di kabupaten/kota, mengembangkan standar dan mensinergikan inovasi-inovasi yang telah dikembangkan, mengembangkan mekanisme insentif untuk mendorong perluasan inovasi serta memberikan bantuan teknis dan sumber daya bagi daerah yang tengah mengembangkan satu bentuk inovasi. Peran ini secara umum memiliki kesesuaian yang tinggi dengan kedudukan propinsi sebagai struktur antara di antara pemerintah pusat dan kabupaten/kota. Propinsi secara tradisional mempunyai peran untuk mengkoordinasikan kebijakan, meredam kesenjangan sosial-ekonomi antar daerah, serta menjembatani proses perencanaan dan implementasi kebijakan antara pemerintah pusat dan kabupaten/kota. Dalam peran ini, propinsi tidak perlu lagi bersaing dengan kabupaten/kota untuk memproduksi inovasi. Peran utama pemerintah propinsi adalah katalisator dan fasilitator perluasan inovasi kebijakan. Peran ini akan lebih optimal bila disertai kewenangan untuk memberi ganjaran kepada daerah-daerah yang bisa inovasinya diadopsi oleh daerah lain.
12
Kotak 4. Revitalisasi Peran Propinsi Terbitnya PP nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di daerah menandai revitalisasi peran pemerintah propinsi dalam desentralisasi. PP ini memberi kewenangan kepada gubernur untuk menerapkan sanksi kepada bupati/walikota yang dinilai menyimpang dari aturan. Meskipun bisa dibilang cukup terlambat regulasi ini diharapkan bisa memperbaiki fungsi kordinasi, fasilitasi, pembinaan dan pengawasan pemerintahan. tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pada dasarnya telah diatur dalam UU 32/2004 pasal 38 (1) namun peraturan pelaksanaan baru diterbitkan enam tahun kemudian, pada tanggal 28 Januari 2010. Beberapa kewenangan gubernur yang diatur dalam PP ini bisa digunakan untuk mendorong proses perluasan inovasi, yaitu kewenangan untuk (a) mengevaluasi rancangan peraturan daerah tentang APBD, pajak, retribusi, tata ruang wilayah kabupaten/kota; (b) melakukan pengawasan peraturan kepala daerah (perkada) termasuk membatalkannya; (c) melakukan pengawasan kinerja pemerintah daerah; (d) pengawasan pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan; serta (e) memberikan penghargaan dan sanksi kepada bupati dan walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban sebagai kepala daerah dan pelanggaran sumpah/janji. Menurut PP ini, setidaknya ada enam kondisi yang memungkinkan gubernur memberikan sanksi, yaitu jika bupati/walikota (a) tidak melaksanakan kewajiban berupa menaati dan menegakkan semua peraturan perundang-undangan, menjaga etika dan norma pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal (27) UU 32/2004 dan pasal (9) PP 38/2007); (b) melanggar larangan bagi bupati/walikota antara lain membuat keputusan yang memberikan keuntungan bagi diri, keluarga, kroni, kelompok tertentu, kelompok politik yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, mendiskriminasikan golongan tertentu sebagaimana diatur dalam pasal (28) UU 32/2004; (c) melanggar sumpah/janji sebagaimana diatur dalam pasal 110 UU No. 32/2004. (d) menunjukkan kinerja yang rendah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah yang diukur berdasarkan pasal (58) PP No. 6/2008; (e) jika tidak melaksanakan norma standar prosedur dan kriteria (NSPK) dan tidak melaksanakan pelayanan dasar sesuai dengan standar pelayanan minimal (SPM) sebagaimana diatur dalam pasal 17 PP 38/2007 dan pasal 19 (1) PP 65/2005 ; serta (f) tidak mengindahkan hasil pembinaan dan pengawasan yang dilaksanakan oleh gubernur sesuai pasal 45 ayat 2 PP 79/2005. Sumber: Simangunsong diunduh dari www.ditjen-otda.depdagri.go.id/otonomi/detail_artikel.php?id pada 1 Juli 2010
Perkumpulan Prakarsa Jln Rawa Bambu I Blok A No. 8E RT 010 RW 06 Kel/Kec. Rawa Bambu – Jakarta Selatan 12520 INDONESIA Ph. +62 21 7811-798 | Fax. +62 21 7811-897 e-mail to :
[email protected] http://www.theprakarsa.org
13
DAFTAR PUSTAKA Blunt, Peter dan Turner, Mark. 2007. “Decentralization, Deconcentration, and Poverty Reduction in the Asia – Pacific” dalam G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (Ed). Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices. Ash institute for Democratic Governance and Innovation dan The Brooking institution. Washington DC. Cabrero. Enrique. 2007. “Government Decentralization and Decentralized Governance in Latin America: The Silent revolution of the Local Level?” dalam G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (Ed). Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices. Ash institute for Democratic Governance and Innovation dan The Brooking institution. Washington DC. Cheema, G Shabbir dan Rondinelli, Dennis A. 2007. “From Government Decentralization to Decentralized Governance” dalam G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (Ed). Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices. Ash institute for Democratic Governance and Innovation dan The Brooking institution. Washington DC. Del Granado, Javier Arze et al. 2007. Spending for Development: Making the Most of Indonesia’s New Opportunities. Second Edition. The World Bank. Jakarta. Desai. Raj M. 2007. The Political Economy of Poverty Reduction: Scaling Up Anti Poverty Programs in the Developing World. Wolfensohn Center for Development. Working Paper 2, November. The Brooking Institution. Washington DC. DFID. 2008. Media and Good Governance. DFID Practice Paper. May. BBC World Services. London Eko, Sutoro. 2006. “Daerah Budiman: Prakarsa dan Inovasi Lokal Membangun Kesejakteraan” dalam Darmawan Triwibowo dan Nur Iman Subono (Ed). Lebih dari Sekadar Pengurangan kemiskinan: Meretas Arah kebijakan Sosial Baru di Indonesia. Perkumpulan Prakarsa dan Pustaka LP3ES. Jakarta. Grindle. Merilee S. 2007. “Local Governments that Perform Well: Four Explanations” dalam G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (Ed). Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices. Ash institute for Democratic Governance and Innovation dan The Brooking institution. Washington DC. Harjanto, Wahyu. 2010. Observation Report – Dialogue on Policies in Five Districts : Encourage the Reformation of Public Services and Citizens’s Fundamental Rights Fulfillment. Perkumpulan Prakarsa. Jakarta. Kadir, Basir et al.. 2009. Menggali Potensi, Menumbuhkan Inovasi: Pemaparan Hasil Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap Kinerja Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. The Fajar Institute of Pro-Otonomi. Makassar. Kauyzia. John-Mary. 2007. “Political Decentralization in Africa: Experience of Uganda, Rwanda, and South Africa” dalam G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (Ed). Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices. Ash institute for Democratic Governance and Innovation dan The Brooking institution. Washington DC. Leisher, Susannah Hopkins dan Nachuk, Stefan. 2006. Making Services Work for the Poor: A Synthesis of Nine Case Studies from Indonesia. The World Bank. Jakarta. Lindenthal. Roland. 2004. Social Policy for Indonesia. ILO dan UNSFIR. Jakarta.
14
Nurman, Ari dan Martiani, Ana Westy. 2008. Merumuskan Skema Penyediaan Jaminan Pelayanan Kesehatan yang Sesuai untuk Daerah. Seri Advokasi Universalisasi Pelayanan Kesehatan. Perkumpulan Inisiatif. Bandung. Omoera, Osakue Stevenson. 2010. The Import of the Media in an Emerging Democracy: An Evaluation of the Nigerian Situation. Ambrosse Alli University. Ekpoma, Nigeria. Prasojo, Eko, Kurniawan, Teguh dan Hasan, Azwar, 2004, Peran Kepemimpinan Dalam Inovasi Daerah: Studi Kasus Kabupaten Jembrana, Bisnis & Birokrasi, Vol. XII, No 3 September, hal. 52-60 Rokx, Claudia et al. 2009. Health Financing in Indonesia: A Reform Road Map. The World Bank. Jakarta. Septyandrica, Chitra Retna dan Ardhyanti, Ermy. 2009. Inisiatif Daerah dalam Mengembangkan Jaminan Kesehatan: Pola Pembelajaran. Working Paper PATTIRO. PATTIRO. Jakarta. Soetono, Bambang, Sadiawati, Diani dan Harun, Refly (ed.), 2010, Kajian dan Rekomendasi Peringkatan Kualitas Substansi, Proses, Harmonisasi, dan Sinkronisasi Perda Pelayanan Publik, Bappenas, Jakarta Sudarmo, Sri Probo dan Sudjana, Brasukra G. 2009. The Missing Link: The Province and Its Role in Indonesia’s Decentralization. Policy Issues Paper. May. UNDP Indonesia. Jakarta. Suwarno, Yogi, tanpa tahun, Inovasi di Sektor Publik, Makalah, Jakarta Triwibowo, Darmawan. 2008. “Expansion of Access without Institutionalization of Participation: The Case of Free Basic Health Service in Puskesmas and Pustu in Makassar” dalam Sugeng Bahagijo dan Darmawan Triwibowo (Ed) Lord of the Arena: Analyzing the Power Play among Actors that Shape the Pro-Poor Reform in Eastern Indonesia’s Two Districts after Decentralization. Oxfam GB Indonesia dan Perkumpulan Prakarsa. Jakarta. USAID. 2009. Innovations in Local Public Service Management: Challenges and Opportunities in Decentralized Governance in Indonesia. Good Governance Brief. USAID. Jakarta. USAID. 2006. Stocktaking on Indonesia’s Recent Decentralization Reform: Main Report. USAID. Jakarta. White, Roland dan Smoke, Paul. 2003. “East Asia Decentralizes” dalam Roland White dan Paul Smoke (Ed). Making Local Government Work. The World Bank. Washington DC.
15