MODEL AKUNTABILITAS KEBIJAKAN PUBLIK (Studi Kasus Jaringan Implementasi Kebijakan Pedagang Kaki Lima di Kota Makassar) Oleh: Dr. Alwi, M.Si1
[email protected]
A. Pendahuluan Salah satu bentuk pelayanan publik adalah kebijakan publik atau programprogram pemerintah yang ditujukan kepada publik. Salah satu kebijakan publik yang dimaksud adalah Kebijakan Pedagang Kaki Lima (PKL). Tujuan kebijakan ini adalah untuk memberdayakan PKL yang masih tergolong masyarakat miskin. Kebijakan seperti itu dimaksudkan untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia (Hudson & Lowe, 2004). Bentuk pelayanan publik berupa kebijakan atau program merupakan salah satu bentuk perwujudan akuntabilitas pemerintah terhadap publik. Akuntabilitas yang demikian ini dalam perspektif akuntabilitas disebut akuntabilitas program (Chandler & Plano, 1982; McKinney & Howard, 1998). Studi ini lebih diarahkan kepada akuntabilitas publik melalui jaringan kebijakan pemberdayaan pedagang kaki lima di Kota Makassar. Pedagang kaki lima (PKL) merupakan kelompok masyarakat yang bergerak dalam bidang usaha skala kecil dan rentan terhadap kemiskinan. Namun, mereka juga perlu survive termasuk dalam kehidupan ekonomi, sebagaimana diatur dalam konstitusi pasal 27, bahwa setiap orang berhak mendapatkan hidup dan pekerjaan yang layak. Di satu sisi, dalam menjalankan usaha ekonomi PKL merupakan tuntutan konstitusi dan di sisi lain PKL merupakan salah satu sumber masalah, yang menyebabkan terjadinya kemacetan lalu lintas jalan raya yang terjadi di semua kota besar di Indonesia, termasuk Kota Metropolitan Makassar. Berbagai upaya kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Kota Makassar dalam penanganan PKL di Kota Makassar adalah lahirnya Peraturan Daerah No. 10 Tahun 1990 tentang Pembinaan PKL di Kota Makassar. Kemudian, disusul lahirnya Keputusan Walikota Makassar No. 20 Tahun 2004 tentang Prosedur Tetap (Protap) 1
Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar
1
Penertiban Pedagang Sektor Informal (PKL) di wilayah Kota Makassar. Selain itu, lahir pula kebijakan Pemerintah Pusat berupa Peraturan Presiden No 125 tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Adanya kebijakan tersebut di atas, namun belum membuahkan hasil, seperti yang terlihat di sekitar Jalan Cokroaminoto, Pasar Sentral kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas terjadi setiap saat karena PKL telah mengambil sebagian badan jalan tersebut. Pemandangan yang sama juga dapat disaksikan lapak-lapak pedagang kaki lima yang semrawut menyebabkan pemandangan kota yang tidak bersih. Masalah yang sama terjadi di Jalan Hertasning Kota Makassar, masayarakat terutama para pengguna jalan tersebut sudah merasa resah
dengan adanya para PKL yang menjadi peyebab terjadinya
kemacetan lalu lintas (rakyat sulsel.com, sabtu, 07/Juli/2012). Demikian pula, berdasarkan data Disperindag Kota Makassar (2013), jumlah PKL yang ada di Kota Makassar mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 jumlah PKL di Kota Makassar sebanyak 10.426. Pada tahun 2010 mengalami peningkatan menjadi sekitar 11.328 PKL dan pada tahun 2011 terjadi juga pelonjakan sekitar 11.592 PKL yang ada di Kota Makassar. Oleh karena itu, tujuan utama penelitian ini adalah untuk membangun model akuntabilitas kebijakan publik melalui jaringan implementasi kebijakan PKL di Kota Makassar, di mana tujuan tahap pertama dari tiga tahap penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui tanggapan dan harapan PKL dalam implementasi kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar; dan 2) untuk mengetahui tanggapan dan harapan para pemangku kepentingan dalam implementasi kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar.
B. Tinjauan Pustaka 1. Konsep dan Perspektif Akuntabilitas Pentingnya akuntabilitas publik dalam konteks pelayanan publik, karena administrator publik dan birokrasi sebagai penyelenggara pelayanan publik harus memberikan pelayanan efektif dan efisien. Untuk dapat menjamin akuntabilitas publik, maka menurut Frederick (1940) birokrasi harus profesional. Birokrasi yang profesional dapat menjamin penyelenggaraan pelayanan publik yang efektif dan efisien. Keharusan memberikan pelayanan yang efektif dan efisien, karena publik atau warga yang
2
membayar pajak untuk pembiayaan pembangunan dan pelayanan publik, sehingga mereka harus mempertanggung jawabkan penyelenggaraannya kepada publik. Hal inilah yang merupakan esensi dari akuntabilitas publik, sehingga Mosher (1968) menegaskan bahwa “Responsibility may well be the most important word in all the vocabulary of administration, public and private.” Tentunya, pertanggung jawaban yang dimaksudkan Mosher di sini adalah pertanggung jawaban internal birokrasi sebagai penyelenggara program pemberdayaan masyarakat miskin. Dalam hal ini mekanisme birkrasi seperti apa yang memungkinkan penyelenggaraan program ini berjalan dengan efektif dan efisien. Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan yang sering muncul dalam akuntabilitas publik (Denhardt & Denhardt, 2007). Mengapa demikian? Karena dalam kenyataannya banyak program pemberdayaan masyarakat miskin tetapi orang miskin tidak berubah secara signifikan ke kehidupan yang lebih baik, seperti yang data ditunjukkan pada latar belakang di atas. Fenomena tersebut menunjukkan mekanisme yang tidak menjamin penyelenggaraan program yang efektif dan efisien. Selain nilai efisiensi dalam penyelenggaraan program pengentasan masyarakat miskin, nilai demokratis juga merupakan nilai esensial dalam penyelenggaraan program tersebut yang memastikan kepentingan-kepentingan warga tidak terabaikan. Efisiensi penyelenggaraan suatu program tidak serta merta menjamin terpenuhinya keinginan dan kepentingan para warga sebagai kelompok sasaran suatu program publik atau kebijakan publik. Oleh karena itu, pelayanan publik yang diselenggarakan oleh birokrasi pemerintahan senantiasa dikontrol oleh pejabat-pejabat terpilih oleh warga negara. Para pejabat inilah yang memastikan apakah program-program yang dibuat pemerintah sesuai dengan kepentingan mereka sebagai warga negara. Akuntabilitas publik merupakan suatu konsep yang memiliki ruang lingkup yang luas. Ia meliputi dimensi administrasi publik, politik, dan hukum. Dimensi yang disebut pertama, administrasi publik, menjadi orientasi utama dalam pembahasan tulisan ini, karena ialah yang menyelenggarakan langsung pelayanan publik, mulai pada pada perumusan kebijkan, implementasi kebijakan sampai pada menilai atau mengevaluasi kebijakan publik. Secara konseptual, akuntabilitas publik dalam perspektif ini lebih berorientasi pada akuntabilitas aministratif atau manajerial (Dwivedi & Jabbra, 1989; Elwood, 1993),
3
yaitu pertanggung jawaban dalam penyelenggaraan kebijakan atau program publik yang efektif dan efisien. Dalam hal ini, rakyat sebagai pemberi mandat perlu memahami apa dan bagaimana menjalankan kebijakan atau program publik melalui informasi tentang hal tersebut. Pada saat ini, belum jelas bagi mereka mekanisme seperti apa untuk mendapatkan informasi tersebut, karena belum tersedia mekanisme yang baku dalam pemerintahan dan kalaupun ada, informasi tersebut berasal dari pihak ketiga. Mekanisme akuntabilitas penyelenggara negara yang ada sekarang berdasarkan tata kenegaraan adalah mekanisme yang lebih berorientasi pada akuntabilitas politik, yaitu pertanggung jawaban penyelenggara negara/daerah terhadap wakil rakyat (DPR/D). Oleh karena itu, penyelenggara negara perlu menyediakan mekanisme akuntabilitas publik, agar mereka tahu uang telah diberikan melalui pajak digunakan untuk apa, digunakan dengan benar melalui pelayanan publik yang efektif dan efisien, atau digunakan untuk kemakmuran rakyat sebagaimana perintah UUD 1945. Hal ini yang perlu diketahui oleh mereka sebagai pemberi mandat melalui mekanisme akuntabilitas publik yang efektif, efisien, dan demokratis. Penyelenggaraan pelayanan publik yang efektif, efisien, dan ekonomis tidak selamanya menjamin pelayanan publik yang demokratis. Penulis melihat pelayanan publik yang demokratis merupakan esensi dari akuntabilitas penyelenggara negara. Oleh karena itu, seperti apa penyelenggaraan pelayanan publik demokratis, efektif, dan efisien, dan strategi akuntabilitas publik seperti apa, menjadi fokus diskusi pada tulisan ini.
2. Kebijakan Publik Yang Demokratis: Esensi Akuntabilitas Publik Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa salah satu bentuk pelayanan publik adalah kebijakan publik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh pencetus demokrasi, Abraham Lincoln, demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa kedaulatan atau pemberi mandat penyelenggara negara adalah rakyat. Oleh karena itu, acuan utama penyelenggara negara dalam pengelolaan negara atau pelayanan publik adalah kepentingan rakyat. Penyelenggara negara dalam mengelola negara harus bertanggung jawab kepada mereka. Pertanggung jawaban para penyelenggara negara kepada pemberi mandat, - rakyat, dipahami sebagai akuntabilitas publik. Pengertian akuntabilitas tersebut sejalan dengan yang dikemukakan
4
oleh Oliver and Drewry (1996), bahwa penyelenggara negara berkewajiban memberikan penjelasan atau justifikasi atas tindakannya dan kemudian melakukan perbaikan jikalau mereka melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugasnya. Pelayanan publik yang demokratis, sebenarnya, pelayanan publik yang diselenggarakan oleh birokrasi publik dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan warga negara (Gawthrop, 2002; Lynn, 1996). Kepentingan-kepentingan warga yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan pelayanan publik harus dikedepankan. Penyelenggara pelayanan publik perlu lebih banyak ”mendengar - listening” warga ketimbang ”mendikte - telling” dan memberikan ”pelayanan – serving” daripada ”mengarahkan – steering”. Warga negara dan pejabat publik diharapkan bekerja bersama-sama untuk menentukan dan menyelesaikan masalah bersama dalam suatu cara yang sifatnya kooperatif dan menguntungkan kedua belah pihak (Denhardt & Denhardt, 2003). Dalam perspektif administrasi publik, - terutama dalam paradigma new public service, menekankan penyelenggaraan pelayanan publik yang demokratis. Pelayanan publik yang seperti ini memandang setiap warga memiliki berbagai kepentingan yang perlu dipahami oleh penyelenggara negara dan direalisasikannya dalam bentuk kebijakan, program, dan proyek. Untuk menghindari bias atas pemahaman kepentingan-kepentingan para warga atau rakyat, maka hendaknya mereka dilibatkan dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan. Adanya kebersamaan antara para penyelenggara negara dengan warga dalam hal perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan, program, dan proyek, yang menurut penulis merupakan mekanisme yang esensial akuntabilitas publik. Sehubungan dengan hal di atas, kebersamaan tersebut akan menghindari kesalahan interpretasi atas kepentingan-kepentingan para warga sehingga respon para penyelenggara negara yang berupa kebijakan akan tidak menjadi bias juga. Para penyelenggara negara memiliki keterbatasan dalam memahami kepentingan-kepentingan mereka, sebagaimana yang banyak terjadi selama ini, sehingga mekanisme yang demokratis menjadi penting dalam mengatasi masalah tersebut dan dapat menjadikan para penyelenggara negara lebih akuntabel. Dalam studi administrasi publik terdapat banyak perspektif atau paradigma yang menjelaskan fenomena administrasi publik. Namun, pada saat ini, setidaknya
5
dimulai akhir dekade 80 an dan awal tahun 1990 an yang memperlihatkan ”upaya-upaya besar” dalam manajemen atau administrasi publik, terdapat tiga perspektif yang mendapat perhatian banyak ahli dalam bidang ini, yaitu perspektif administrasi publik klasik – old public administration, manajemen publik baru, - new public management, dan pelayanan publik baru – new public service. Sebagai suatu paradigma, tentunya, memiliki perbedaan sudut pandang terutama dari sisi epistemologis. Perspektif administrasi publik klasik atau birokrasi klasik lebih memfokuskan pada penyelenggaraan pelayanan publik yang
efisien dengan penekanan lebih pada
pengaturan (Weber dalam shafritz dan Hyde, 1987). Penyelenggara (birokrasi pemerintahan) yang menentukan dan menyediakan pelayanan dan barang-barang publik (Leach et.al, 1994). Hal yang sama dikemukakan oleh Wilson (shafritz dan Hyde, 1987), penyelenggaraan pelayanan publik yang efisien dilakukan dengan pemisahan fungsi politik dan fungsi administrasi. Fungsi politik memusatkan perhatian pada perumusan kebijakan sedangkan fungsi administrasi adalah menjalankan atau mengimplementasikan kebijakan yang telah dirumuskan oleh politik. Perspektif new public mangement merupakan suatu perspektif dalam administrasi publik yang menitik beratkan penyelenggaraan pelayanan publik yang efisien dengan menggunakan teknik-teknik manajemen yang banyak dipergunakan pada organisasi bisnis, - run government like a business (Hughes, 1994). Dalam hal ini, penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan pada mekanisme pasar. Program-program pelayanan publik dirancang dan dilaksanakan tergantung pada kebutuhan pasar, customers. Perspektif new public service merupakan suatu paradigma dalam administrasi publik yang menekankan penyelenggaraan pelayanan publik yang demokratis. Dalam hal ini, penyelenggara berusaha memahami kepentingan publik (public intrest) dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kepentingan publik yang menjadi dasar dalam dalam penyusunan berbagai program pelayanan publik. Perspektif ini berbeda dengan kedua pendekatan di atas, khususnya pendekatan new public mangement yang menekankan penyelenggaraan pelayanan publik seperti yang dilakukan pada organisasi bisnis. Dalam perspektif ini, penyelenggaraan pelayanan publik tidak menekankan penggunaan teknik-teknik manajemen pada
6
organisasi bisnis, karena organisasi bisnis dan publik masing-masing memiliki orientasi yang berbeda, sebagaimana yang dikemukakan oleh Denhardt & Denhardt (2003), ”government shouldn’t run like a business; it should be run like a democracy. ....both elected and appointed public servants are acting on this principle and expressing renewed commitment to such ideals as the public interest, the governance process, and expanding democratic citizenchip.”
3. JARINGAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK: Wujud Akuntabilitas Kebijakan Publik Akuntabilitas publik memiliki berbagai tipe di antaranya akuntabilitas hukum, politik, profesional, dan akuntabilitas moral (Dwivedi & Jabra, 1989). Para ahli tentang konsep ini membagi tipe beragam namun terdapat pengistilahan yang sama, seperti akuntabilitas kebijakan atau program disebut oleh Dwivedi & Jabra, 1989) sebagai akuntabilitas politik dan Candler & Plano (1982) menyebutnya sebagai akuntabilitas program. Akuntabilitas kebijakan atau program merupakan pertanggung jawaban para pejabat publik tentang perilakunya dan pemanfaata sumber-sumber daya kepada publik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bovens ( 2005) bahwa akuntabilitas mengacu kepada suatu hubungan di antara suatu aktor dengan suatu forum, di mana aktor mempunyai kewajiban untuk menjelaskan dan menjastifikasi perilakunya, sedangkan forum dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan, penilaian dan sanksi kepada aktor. Sebagai wujud akuntabilitas publik, jaringan implementasi kebijakan publik merupakan suatu wadah yang menghimpun semua pemangku kepentingan dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan dengan prinsip resources sharing. Oleh karena itu, pada umumnya teori-teori jaringan, seperti teori jaringan dan teori ketergantungan sumber daya,
menjelaskan pemanfaatan sumber-sumber daya secara
bersama sehingga tujuan dapat dicapai dengan efisien, efektif, dan demokratis. Dalam jaringan implementasi kebijakan memiliki struktur yang tidak khirarkis antara satu aktor dengan aktor lainnya, semuanya berkedudukan sama dalam organisasi ini yang masingmasing memiliki sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan yang efektif dan efisien serta demokratis.
7
Secara konseptual, jaringan antar organisasi merupakan suatu konsep yang telah banyak digunakan untuk perumusan kebijakan atau pengambilan keputusan, implementasi kebijakan, dan strategi untuk memperoleh sumber-sumber daya penting yang dibutuhkan suatu organisasi serta menyelesaikan masalah-masalah kompleks organisasi. Munculnya sistem jaringan ini seiring dengan perkembangan zaman yang tidak lagi berpikir menyelesaikan berbagai masalah secara sendiri-sendiri, melainkan perlu melibatkan pihak lain atau organisasi lain untuk menyelesaikan masalah-masalah internal organisasi. Para pakar yang berkonsentrasi dengan hal ini menyadari (dibuktikan dari berbagai hasil kajian) bahwa efektivitas organisasi, baik publik maupun privat, sangat ditentukan oleh jaringan antar organisasi (Sydow 2002; Becerra, 1999). Bahkan hasil penelitian Pfeffer and Salanick (Powers, 2001), menunjukkan bahwa hanya 10 persen kinerja organisasi ditentukan oleh faktor internal, selebihnya (90 persen) didorong oleh faktor luar organisasi, yang memerlukan jaringan antar organisasi. Akuntabilitas publik yang demokratis mengharapkan keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam proses perumusan masalah dan implementasi program. Keterlibatan ini menunjukkan adanya tanggung jawab bersama dalam proses tersebut. Dalam hal ini, adanya tanggung jawab bersama ini menunjukkan adanya kebersamaan dalam mengatasi berbagai masalah publik dan nilai ini sangat diperlukan untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan program sebagai ”obat” terhadap penyakit sosial yang telah diidentifikasi sebelumnya. Akuntabilitas publik yang demokratis memandang kelompok sasaran kebijakan atau program sebagai warga negara yang memiliki kepentingan (interests) tertentu yang perlu dipahami dan diakomodir oleh penyelenggara negara (Denhardt & Denhardt, 2007). Selain
demokratis,
penyelenggara
pemerintahan
negara/daerah
perlu
menyelenggarakan amanah rakyat dengan efektif dan efisien. Penyelenggaraan yang demikian ini memerlukan adanya jaringan antar organisasi berbagai pemangku kepentingan. Dalam pandangan jaringan antar organisasi bukan hanya mengandalkan kerja sama antar organisasi pemangku kepentingan tetapi diutamakan adalah pemanfaatan bersama sumber-sumber daya (resources sharing) di antara organisasiorganisasi pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses perumusan masalah dan implementasi program. Ketidak efisienan akan terjadi kalau setiap organisasi masing-
8
masing merumusakan masalah dan menjalankan program yang sama. Dalam hal ini, jaringan antar organisasi akuntabilitas publik yang demokratis adalah penyelenggara pemerintahan negara/ daerah melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses perumusan masalah dan implementasi program serta adanya pemamfaatan bersama sumber-sumber daya dalam proses tersebut.
4. Penelitian Terdahulu yang Relevan Tabel 1 berikut ini menunjukkan fokus penelitian ini yang memperjelas kedudukakannya dalam pengembangan ilmu adaministrasi publik.
Tabel 1: Hasil-hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan Peneliti
Judul Penelitian
Temuan Penelitian
Perbedaan
Adang Djaha (2012)
Kontrol dan Akuntabilitas Birokrasidalam Pelayanan Pendidikan Dasar di Kabupaten Alor
Pengeloaan dana BOS dan DBEP, birokrasi cenderung tertutup daripada transparan. Kesenjangan antara perilaku dan pengetahuan inii dimaknai sebagai suatu hipokrit sebagaimana dijelaskan dalam model “sala” dari Riggs.
Jaringan kebijakan publik sebagai wujud akuntabilitas publik
Taufik (2010)
Analisis Akuntabilitas Politik dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Kota
Akuntabilitas politik cukup tinggi dari tingkat kehadiran, kualitas argumentasi praktikal
Lebih fokus pada jaringan implementasi kebijakan publik
9
Samarinda
serta intensitas pelaksanaan dengar pendapat yang dilakukan. Akuntabilitas politik dipengaruhi oleh pengawasan dan kontrol oleh lembaga legislatif terhadap eksekutif sebagai pelaku kebijakan publik; semakin tinggi akuntabilitas politik semakin baik kinerja organisasi publik
sebagai wujud akuntabilitas
Rahmanurrasjid (2008)
Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pertanggung jawaban Pemerintah Daerah untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Baik di Daerah
Implementasi akuntabiliatas dan transparansi dalam pertanggung jawaban pemerintah aerah menemui kendala karena tidak adanya evaluasi atas penyampaian LPPD, penyampaian LKPJ tidak disertai perhitungan APBD, pembahasan di DPRD
Menyoroti akuntabilitas kebijakan publik
Manggaukang (2006)
Akuntabilitas Pemerintahan Lokal dalam otonomi daerah: Studi Kasus di Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa
Akuntabilitas pemerintah lokal dalam otonomi daerah belum memadai. Model akuntabilitas yang sesuai dalam otonomi daerah adalah model akuntabilitas pemerintahan lokal yang menekankan kemitraan, koordinasi sosial, dan dialog
Lebih fokus pada jaringan implementasi kebijakan publik sebagai wujud akuntabilitas
Rahmat (2009)
Akuntabilitas Birokrasi Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di
Birokrasi akuntabel dalam penyelenggaran pelayanan publik. Kebijakan, kemampuan, kepemimpinan aparatur, penampilan fisik
Lebih berfukus kepada akuntabilitas kebijakan publik
10
Kota Makasar
organisasi, kehandalan, daya tanggap, jaminan kepastian dan empati mempunyai hubungan positif dengan akuntabilitas birokrasi dan kualitas penyelenggaraan pelayanan
Berdasarkan tabel hasil penelitian terdahulu yang relevan dan kalau dikaitkan dengan penelitian ini memiliki fokus yang berbeda, yaitu: 1) semua hasil penelitian di atas melihat melihat konsep akuntabilitas sebagai pertanggung jawaban yang dilakukan oleh pejabat publik dalam organisasi secara individu; 2) belum ada yang berfokus pada akuntabilitas dalam pencapaian nilai-nilai administrasi publik; dan 3) belum ada yang melihat konsep jaringan sebagai wadah yang menggabungkan nilai-nilai kontradiktif dalam administrasi publik. Semua yang tidak difokuaskan pada penelitian di atas menjadi perhatian utama pada penelitian ini.
5. Kerangka Konsep Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian, tinjauan pustaka, dan hasilhasil penelitian terdahulu maka peneliti membangun kerangka konsep sekaligus menunjukkan state of the art dari penelitian ini. Jaringan implementasi kebijakan publik sebagai wujud dari akuntabilitas kebijakan publik. Dalam hal ini, organisasi publik dan pejabat publik baik yang dipilih maupun yang ditunjuk harus menunjukkan perhatiannya kepada warga negara melalui kebijakan-kebijakan dan program-program yang memenuhi kebutuhan dan kepentingan dari warga negara. Di satu sisi mereka dituntut bekerja efisien dan efektif tetap di sisi lain harus juga bekerja dengan memperhatikan kebutuhan dan kepentingan para warga negara. Akuntabilitas kebijakan yang efisien dan demokratis menjadi pokok perhatian penelitian ini melalui jaringan implementasi kebijakan publik. Persoalan pemberdayaan PKL merupakan suatu masalah yang rumit karena masalah tersbut memiliki kaitan yang banyak dan kompleks sehingga kurang memungkinkan akan diselesaikan oleh satu lembaga. Persoalan tersebut memuntut keterlibatan semua aktor atau , pemangku kepentingan
untuk menyelesaikannya,
11
demikian pula menuntut sumber-sumber daya yang mencukupi untuk implementasi program. Fenomena tersebut dijelaskan oleh teori jaringan dan teori ketergantungan sumber daya serta teori akuntabilitas publik (kontrol eksternal dan profesionalisme birokrasi). Hal ini ditunjukkan pada gambar kerangka di bawah ini.
Teori-teori Jaringan dan Teori –teori Akuntabilitas
Semua hasil –hasil penelitian terdahulu yang disebutkan di atas masih berfokus pada akuntabilitas yang diselenggarakan oleh organisasi secara individu Fokus penelitian ini pada akuntabilitas kebijakan melalui implementor(TKPPKL ) sebagai organisasiberbasis
Akuntabilitas Kebijakan Publik Yang Efisien dan Demokratis:
jaringan
Gambar 1: Model Akuntabilitas Kebijakan Yang Efisien dan Demokratis
C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di Kota Makassar, karena kota Makassar merupakan kota yang paling banyak PKL yang selama 3 tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan.
2. Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus. Penggunaan desain penelitian demikian ini untuk mengungkap penyelenggaraan jaringan implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan berdasarkan konteksnya. Untuk mendapatkan hasil penelitian sebagaimana yang dimaksud pada tujuan penelitian ini, maka desain penelitian berbeda antara satu tahap dengan tahap penelitian
12
lainnya. Pada tahun pertama ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tanggapan dan harapan PKL dan Pemerintah Kecamatan dan jajarannya serta LPM dalam implementasi kebijakan pemberdayaan PKL.Tahap ini menggunakan desain penelitian studi kasus kualitatif dengan tipe deskriptif. 3. Informan Penentuan informan dalam penelitian ditetapkan secara purposive, yaitu mereka yang dianggap mempunyai kompetensi dalam kaitannya dengan akuntabilitas kebijakan PKL. Penetapan yang seperti ini didasarkan
pada penilaian dari ahli (atau peneliti
sendiri) untuk tujuan tertentu atau situasi tertentu (Neuman, 1997). Adapun informan dalam penelitian ini adalah: a. Walikota Makassar b. Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL Kota Makassar c. Kepala Dinas Perdagangan Kota Makassar d. Kepala Bagian Pemberdayaan Masyarakat Kota Makassar e. Para PKLdi Kota Makassar f. LSM pemerhati PKL g. Para Tokoh masyarakat di Kota Makassar
4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data pada penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik Wawancara mendalam dilakukan kepada pimpinan lembaga-lembaga daerah, LSM, dan tokoh masyarakat yang berkaitan langsung dengan
implementasi
kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar. Pengamatan dilakukan pada tangibel object yang berkaitan langsung dengan implementasi kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar. Selain data primer yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam 13
tersebut, juga sangat diperlukan dukungan berbagai data sekunder, seperti berbagai dokumen yang berkaitan dengan kebijakan PKL. Teknik dokumentasi dalam penelitian ini adalah mengumpulkan data dari dokumen berupa peraturan-peraturan, gambar-gambar, jurnal-jurnal dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penanganan kemiskinan di Propinsi Sulawesi Selatan.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Sesuai dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi dan
dokumentasi
diolah
dengan
cara
penggolongan,
pengkategorian,
dan
pengklarifikasian data.Data diolah melalui reduksi data, maka hasilnya akan dianalisis dengan menggunakan strategi analisis studi kasus. Analisis data dilakukan berbeda antara satu tahap dengan tahap lainnya. Pada tahap pertama inipenelitian ini menggunakan: Analisis deskriptif kasus dan settingnya(Yin, 2000).
D. Hasil dan Pembahasan 1. Deskripsi Tanggapan dan Harapan PKL dalam implementasi kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar Secara umum penelitian ini akan mengembangkan model akuntabilitas yang efektif dan efisien di satu sisi dan demokratis di sisi lain melalui jaringan implementasi kebijakan PKL di Kota Makassar. Sebagai tahap awal penelitian ini berusaha mendeskirpsikan tanggapan dan harapan para pedagang kaki lima yang berjualan di kota makassar. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mendeskripsikan tanggapan dan harapan para pedagang kaki lima di tiga kecamatan di Kota Makassar yaitu Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Makassar dan Kecamatan Bontoala. Berdasarkan tabel 1 di bawah, upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kecamatan sampel yaitu Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Makassar dan Kecamatan Bontoala dalam melakukan penataan dan pemberdayaan PKL secara umum. 14
Pada Kecamatan Ujung Pandang para PKL menanggapi bahwa kebijakan Pemerintah Kecamatan Ujung Pandang terhadap para PKL telah banyak berubah dimana mereka telah diberikan lokasi khusus untuk berjualan, setelah ditutupnya lokasi jualan Laguna yang berada dipantai losari, para pedagang diizinkan berjualan disepanjang anjungan, hal ini berlangsung dipertengahan tahun 2013. Berdasarkan pengakuan beberapa informan pedagang pisang epe yang berjualan disekitar anjungan pantai losari, mereka telah diberikan izin awal januari tahun 2014 oleh ibu camat, rata-rata pedagang yang berjualan di anjungan pantai losari berasal dari lokasi laguna dimana laguna ini adalah kawasan kuliner yang dikelola Dinas Pariwisata Kota Makassar, tetapi disebabkan adanya konflik kepemilikan lahan dan premanisme yang terjadi di wilayah kuliner laguna, maka Dinas Pariwisata mengajukan kepada walikota untuk tidak lagi mengelola wisata kuliner di laguna, dan untuk meredam gejolak yang terjadi di wilayah laguna yang berlokasi di Kecamatan Ujung Pandang, maka Walikota menyerahkan kepada Camat Ujung pandang untuk mengelola pedagang kaki lima yang berjualan di lokasi tersebut.
Tabel 1 Tanggapan dan Harapan para Pedagang Kaki Lima (PKL) Kota Makassar LOKASI 1.Kecamatan Ujung Pandang 2.Kecamatan Makassar 3.Kecamatan Bontoala
Tanggapan
Harapan
Lokasi berjualan sudah ditata dilokasi anjungan pantai losari Semua pedagang telah mendapat tanda pengenal yang harus digunakan oleh para PKL Bantuan modal kepada PKL dipermudah PKL menolak
Berharap jangan digusur atau dipindah-pindahkan ketempat yang tidak strategis Bersediah membayar retribusi dengan catatan tidak digusur-gusur lagi Berharap pemerintah memberikan bantuan gerobak dan kursi yang seragam kepada semua PKL Berharap mendapat
15
direlokasi kewilayah yang tidak strategis
bantual modal PKLkota Makassar Mengharapkan ada pihak Sponsor yang mau membiayai penataan tempat jualan PKL
Sumber: Hasil Reduksi Data, Tahun 2014 Hal yang berbeda terjadi pada kedua kecamatan yaitu Kecamatan Makassar dan Kecamatan Bontoala yang belum menata lokasi jualan para PKL hal ini bisa dilihat disetiap ruas jalan dapat dilihat para PKL berjualan, belum adanya penataan ini disebabkan dikedua kecamatan sampel belum mendapat wewenang dalam menangani PKL yang berada di wilayah mereka berbeda halnya dengan Kecamaatan Makassar yang mendapatkan Wewenang melalui Peraturan Walikota Makassar Nomor 80 Tahun 2013 tentang penataan PKL dan pemungutan retribusi. Para PKL di Kecamatan Makassar dan Kecamatan Bontoala memang terlihat semrawut dan tidak teratur mengganggu ketertiban, keindahan serta kebersihan lingkungan.Lokasi berdagang yang sembarangan bahkan cenderung memakan bibir jalan sangat mengganggu lalu lintas baik bagi pejalan kaki maupun pengendara motor atau mobil. Selain itu, parkir kendaraan para pembeli yang tidak teratur juga sangat mengganggu ketertiban. Belum lagi masalah limbah atau sampah. Selama ini para PKL belum sadar akan pentingnya kebersihan sehingga keindahan di lingkungan pun sulit diwujudkan. Mutu barang yang diperdagangkan juga harus diperhatikan, sehingga nantinya tidak merugikan konsumen. (Hasil Pengamatan Penullis 2014). Langkah yang diambil oleh Pemerintah Kota Makassar untuk memberdayakan PKL adalah adanya bantuan modal yang diberikan pemerintah yaitu dana bergulir kepada pengusaha kecil termasuk PKL didalamnya. Dana bergulir ini dikelola oleh LPM disetiap kelurahan. Jumlah dana yang diperoleh dari pemerintah itu jumlahnya bervariasi tergantung jenis usaha para PKL yaitu berkisar Rp 500.000,- sampai dengan Rp 2.000.000,-. Program bantuan dana itu, sayangnya tidak menyertakan tenaga pendamping untuk mendapingi PKL dalam mengelola dana bergulir tersebut sehingga tingkat keberhasilannya juga sulit diukur. Dana bergulir ini menurut PKL bukan bantuan modal
16
dari pemerintah tetapi sebuah pinjaman lunak yang harus dibayar beserta bunganya kepada pihak Pemerintah Kota Makassar.
2. Deskripsi tanggapan dan harapan Pemangku Kepentingan Dalam Pemberdayaan PKL Dalam implementasi kebijakan pemberdayaan PKL ada beberapa pemangku kepentingan yang sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan kebijakan tersebut, yaitu: pemerintah kecamatan, pemerintah kelurahan, LPM, Badan Pemberdayaan Masyarakat, dan Disperindag. Untuk memahami tanggapan dan harapan para pemangku kepentingan dalam implementasi kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini. Pada tabel 2 di bawah ini masih ada kendala-kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Makassar dalam menjalankan pemberdayaan PKL. Kendala yang dihadapi dalam proses pemberdayaan PKL ini adalah bagaimana merubah pola pikir PKL dari pola pikir lama ke pola pikir baru, merubah kesadaran PKL akan kebersihan tempat jualan serta kebersihan barang dagangannya. menurut pihak kecamatan untuk mengubah kebiasaan membuang sampah disembarang tempat saja sangat sulit dilakukan apalagi mau merubah pola pikir menjadi berdayaguna. Kebersihan ini pula yang menjadi hambatan di pihak kelurahan sehingga dibeberapa sampel kelurahan, masing-masih kelurahan memberikan tanggung jawab kepada para PKL untuk membersihkan lokasi jualan mereka. Tabel 2 Tanggapan dan Harapan para Pemanggu Kepentingan Dalam Pemberdayaan PKL (PKL) Kota Makassar Pemangku Kepentingan Kecamatan
Tanggapan Merubah pola pikir PKL Lokasi berjualan PKL Sulit diatur Tidak mengizinkan penambahan jumlah PKL
Harapan Pemerintah harus satu kata dari level atas sampai leve bawah dalam melakukan pemberdayaan PKL Pemerintah dapat Menyiapkan Lahan PKL harus mandiri dalam usahanya dan
17
Kelurahan
Kebersihan lokasi jualan menjadi tanggung jawab PKL Tidak mengizinkan penambahan jumlah PKL
dilaksanakan di rumah masing-masing PKL perlu mendapat bantuan modal PKL ditempatkan disatu lokasi agar mudah di kontrol Memberikan bantuan modal kepada pkl SDM PKL yang rendah dan tingkat emosional yang tinggi
Sumber: Hasil Reduksi Data, 2014 Pada tabel 2 di atas masih ada kendala-kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Makassar dalam menjalankan pemberdayaan PKL. Kendala yang dihadapi dalam proses pemberdayaan PKL ini adalah bagaimana merubah pola pikir PKL dari pola pikir lama ke pola pikir baru, merubah kesadaran PKL akan kebersihan tempat jualan serta kebersihan barang dagangannya. Menurut pemerintah kecamatan untuk mengubah kebiasaan membuang sampah disembarang tempat saja sangat sulit dilakukan apalagi mau merubah pola pikir menjadi berdayaguna. Kebersihan ini pula yang menjadi hambatan di pihak kelurahan sehingga dibeberapa sampel kelurahan, masing-masih kelurahan memberikan tanggung jawab kepada para PKL untuk membersihkan lokasi jualan mereka. Hambatan yang berikutnya berdasarkan tabel 2 di atas adalah Lokasi berjualan para PKL yang sangat sulit diatur dapat dilihat pada tiga kecamatan sampel, para PKL berada disepanjang jalan yang merupakan daerah larangan berjualan, sehingga keberadaan mereka tidak saja merusak tata kota juga menimbulkan kemacetan terutama di wilayah-wilayah yang menjadi sentra PKL. Lokasi jualan mereka tidak mengindahkan aturan yang diberikan pemerintah, jualan meraka bahkan mengambil sebagian ruas jalan sehingga menggagu arus lalu lintas mobil, motor bahkan bagi pejalan kaki. Pemangku kepentingan lain yang menentukan kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar adalah Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Kota Makassar, dan Dinas Perdagangan dan
18
Perindustrian (Desperindag) Kota Makassar. Tanggapan dan harapan pemangku kepentingan ini dapat ditunjukkan pada tabel 3 di bawah ini. LPM adalah lembaga satu-satunya yang diakui pemerintah dalam melakukan pemberdayaan masyarakat dan hal ini diperkuat dengan Peraturan Walikota No.1 Tahun 2013. Dalam pemberdayaan PKL, LPM diberikan mandat oleh pemerintah Kota Makassar untuk menyalurkan dana bergulir kepada para PKL di Kota Makassar dengan perwakilan LPM di tingkat kelurahan, jumlah LPM di kota makassar sebanyak 142 LPM, masing-masing kelurahan diwakili satu LPM. Dana yang digulirkan kepada LPM sebesar Rp50.000.000,- . Dana ini diberikan dalam 2 tahapan yaitu tahap pertama sebesar Rp25.000.000,- dan tahap kedua sebesar Rp25.000.000,- . Dana bergulir ini diberikan sebagai bantuan modal para PKL dengan nilai bervariasi tergantung jenis jualan, mulai dari Rp500.000,- sampai dengan Rp2.000.000,-. Pemberian bantuan modal ini diseleksi oleh pihak LPM. Bantuan modal yang diberikan oleh pemerintah ternyata dilapangan tidak semuanya berhasil, masih banyak didapati para PKL enggan mengembalikan dana pinjaman ini, para PKL menganggap bahwa dana bergulir ini adalah dana bantuan yang tidak perlu dikembalikan. Adanya masalah dan kendala ini pihak LPM tetap berharap untuk memberdayakan para PKL butuh bantuan modal yang banyak sehingga para PKL bisa menambahkan jumlah dagangan mereka. Dengan bantuan modal pemerintah para PKL bisa menata jualan mereka, yang dari jualannya hanya asongan, bisa memiliki gerobak sendiri, atau PKL yang awalnya hanya berjualan kopi dengan bantuan modal mereka bisa menambahkan dagangan lain didalam warung mereka.
Tabel 3 Tanggapan dan Harapan para Pemanggu Kepentingan Dalam Pemberdayaan PKL (PKL) Kota Makassar LOKASI LPM
TANGGAPAN
HARAPAN
Ada bantuan dana bergulir Meningkatkan bantuan dari pemerintah daerah modal kepada PKL kepada PKL Tingkat Kesadaran PKL
19
terhadap kebersihan sangat rendah PKL sudah mengganggu masyarakat Data base jumlah PKL Badan Pemberdayaan tidak akurat Masyarakat Kota Makassar
DISPERINDAG
Melakukan sosialisasi kepada PKL (5) PKL terbentur dalam persoalan Modal (7)
Pemerintah memiliki data akurat sehingga bantuan-bantuan dapat diberikan secara merata Memberikan Ketrampilanketrampilan khusus kepada para PKL Merubah Pola pikir para PKL Melakukan Relokasi PKL Menciptakan pencitraan PKL yang tidak mengganggu masyarakat, tidak mengganggu lalu lintas dan tidak mengganggu penataan kota
Sumber: Hasil Reduksi Data, 2014 Berdasarkan tabel 3 di atas, upaya sistematis yang juga dilakukan oleh BPM Kota Makassar untuk memberdayakan masyarakat miskin termasuk PKL didalamnya adalah dengan memberikan ketrampilan-ketrampilan khusus kepada PKL selain memberikan bantuan berupa barang. Dengan memberikan bantuan ketrampilan kepada mereka, mereka bisa mandiri, tidak lagi memberikan ikan tetapi memberikan pancing agar mereka bisa mengail rejeki sendiri. Ketrampilan-ketrampilan ini akan bisa mereka terapkan untuk berusaha, mereka bisa lebih berdaya. Pihak BPM Kota Makassar lebih memfokuskan pemberian bantuan dalam bentuk barang dan pelatihan ketrampilan. Bantuan dalam bentuk uang tunai sangat dihindari. Bantuan uang tidak dapat memberdayakan mereka, malah membuat masyarakat semakin tidak berdaya, membuat masyarakat malas dan menjadi masyarakat yang hanya mengharap bantuan saja. Dengan memberikan bantuan dalam bentuk barang dan ketrampilan, masyarakat akan berusaha sendiri dan akan merubah pola pikir mereka
20
yang selama ini selalu berfikir dengan pola lama, selalu berfikir modal menjadi hambatan mereka maju dan sejahtera. Selanjutnya pembinaan PKL yang dilakukan oleh Disperindag masih pada tataran proses pendataan PKL diKota Makassar, Pendataan ini dibantu oleh pihak kecamatan dan pihak lainnya. Selain itu, Disperindag juga membantu para PKL untuk mendapatkan modal usaha dan memberikan bantuan gerobak kepada PKL. PKL memang susah untuk dihilangkan, kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar dengan implementor Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Kelurahan, dan LPM belum bisa terlaksana dengan baik. Hal ini bisa dilihat bahwa relokasi yang diharapkan sebagai solusi utama terbentur dari tidak ditemukan kata sepakat oleh pihak pemerintah dan para PKL, sangat sulit menemukan lokasi yang strategis dengan biaya yang murah. Menangani PKL dan melakukan penertiban PKL memang bukan hal yang mudah, tetapi sebuah persoalan pasti memiliki jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut. Penanganan PKL perlu kerjasama dengan berbagai elemen masyarakat, pemerintah juga dituntut untuk serius dan memiliki integritas dalam menjalankan kebijakan terkait PKL. Untuk merubah citra PKL tidaklah mudah tetapi mengubah paradigma pemerintah tentang PKL yang semata-mata mengganggu keindahan dan ketertiban kota dan mengubah paradigma bahwa PKL adalah beban pemerintah menjadi PKL adalah aset untuk menambah PAD kota makassar, tetapi jangan dengan alasan ini maka pemerintah membiarkan para PKL tumbuh subur dan bisa berjualan tanpa mematuhi aturan yang berlaku. Pemerintah Kota Makassar harus tegas namun tentunya bukan dengan main gusur tetapi dibutuhkan komunikasi dua arah dengan penuh keterbukaan.
E. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. PKL tidak bersedia untuk direlokasi kedaerah sesuai dengan keinginan Pemerintah Kota Makassar, mereka berasumsi bahwa dengan dilakukan relokasi sama dengan membunuh kehidupan mereka sehingga para PKL tetap ingin berjualan didaerah yang ramai atau didaerah jalan raya karena akan menguntungkan dagangan mereka, mereka bersediah membayar dengan jumlah
21
lebih dari yang seharusnya tetapi mereka tetap diizinkan berjualan ditempat yang mereka anggap strategis b. Pemerintah Kota Makassar dalam penanganan pemberdayaan para PKL masih pada tataran sosialisasi tentang bagaimana kebersihan lokasi tempat berjualan para PKL. Pemberdayaan PKL yang dimaksudkan oleh pihak pemangku kepentingan dalam kebijakan pemberdayaan PKL adalah bagaimana mereka direlokasi ke daerah luar kota, bagaimana PKL tidak lagi berjualan di Kota Makassar. 2. Saran 1. Pemerintah perlu duduk bersama dengan para pemangku kepentingan kebijakan pemberdayaan PKL dalam mengatasi masalah-masalah PKL, terutama masalah lokasi berjualan para PKL. 2. Pemerintah perlu menata PKL agar bernilai jual pariwisata sehingga cita-cita Kota Makassar sebagai Kota Dunia bisa terwujud. 3. Pemerintah perlu menganggarkan dana kepada para pihak leading sector untuk menjalankan program mereka dalam pemberdayaan PKL.
Daftar Pustaka
Adang Djaha, Ajis. 2012. Kontrol dan Akuntabilitas Birokrasi dalam Pelayanan Pendidikan Dasar di Kabupateen Alor. Disertasi. Makassar: Program Paasca Sarjana Unhas. Alwi. 2007. Analisis Tentang Sistem Jaringan Antar Organisasi Dalam Penentuan Strategi Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi Kasus Pada Badan Pengelola Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (BP-KAPET) Parepare di Provinsi Sulawesi Selatan. (Disertasi). Program Pascasarjana UNPAD, Bandung. Alwi. 2005. Strategi Pemberantasan Korupsi Birokrasi Melalui Sistem Jaringan Antar Organisasi di Indonesia. Artikel Dalam Jurnal Ilmu Administrasi. STIA LAN Bandung. Vol.2. No. 2 22
Barzelay, Michael, with Armajani, Babak J. 1992. Breaking Through Bureaucracy : A New Vision for Managing in Government. California : University of California Press. Becerra, Raquel L.1999. Interorganizational Service Delivery Systems : Studying a Different Kind of Arrangement. Dalam Proceeding Twelfth Annual International conference of Public Administration Theory Network. Florida. Bevir, M., 2007. Encyclopedia of Governancce. California: Sage Publications, Inc. Caiden, Gerald E. 1988. The Problem of Ensuring the Public Accoutability of Public Officials. In Dwivedy, O.P & Jabbra, Joseph G. (Editors). Public Service Accountability: A Comparative Perspective. USA: Kumarian Press, Inc. Candler, Ralph C. & Plano Jack, C., 1982. The Public Administration dictionary. New York: John Wiley & Sons. Denhardt, Janet V. and Denhardt, Robert B. 2003. The Public Service: Service, not Steering. USA: M.E. Sharpe, Inc. Dwivedy, O.P & Jabbra, Joseph G. 1988. Public Service Responsibility and Accountability. In Dwivedy, O.P & Jabbra, Joseph G. (Editors). Public Service Accountability: A Comparative Perspective. USA: Kumarian Press, Inc. Esman, Milton J. 1991. Management Dimension of Development : Perspectives and Strategies. USA : Kumarian Press. Gawthrop, Louis C. 2002. Public Service as the Parable of Democracy. Dalam Jun, Jong S. 2002. Rethinking Administrative Theory, The Callenge of the New Century. USA: Praeger Publishers. Gormley Jr., William T. & Balla, Steven J. 2004. Bureaucracy and Democracy: Accountability and Performance. USA: CQ Press. Gulati, Ranjay; Gargiulo, Martin. 1998. Where Do Interorganizational Networks Come Frome ? Melalui
[3/30/2004] Hill, Carey. 2002. Network Literature Review: Conceptualizing and Evaluating Networks. Melalui [3/30/2004] Hodge, B.J., & Anthony William P. 1988. Organization Theory. (3rd ed.). USA : Allyn and Baconn, Inc. 23
Hughes, Owen E. 1994. Public Management & Administration : an Introduction. Great Britain : The Macmillan Press Ltd. Jaffee, David. 2001. Organization Theory : Tension and Change. New York : McGrawHill Companies, Inc. Jones, Gareth R. 2004. Organizational Theory, Design, and Change : Text and Cases. USA : Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey. Leach, Steve, & John Stewart, Kieron Walsh. 1994. The Changing Organization and Management Of Local Government. Great Britain : The Macmillan Press Ltd. Lynn, Jr, Laurence E. 1996. Public Management as Art, Science, and Profession. USA: Chatham House Publisers, Inc. Osborn, David, & Plastrik, Peter. 2000. Memangkas Birokrasi : Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausah. Terjemahan Abdul Rosyid, Ramelan,Jakarta : PPM. Osborn, David & Gaebler, Ted. 1995. Mewirausahakan Birokrasi. Abdul Rosyid.Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo. Oliver, Dawn & Drewry, Gavin. 1996. Public Service Reforms: Issues of Accountability and Public Law. England: Pinter. Powers, Jennifer Goodall. (2001). The Formation of Interorganizational Relationships and the Development of Trust, (Dissertation) Melalui [3/30/2004] Roberts, Nancy. 2000. Wicked Problems and Network Approaches to Resolution. Dalam International Public Management Review. Vol. 1, Issue 1. – Electronic Journal [10/18/2003] Scott, W. Richard. 2001. Institution and Organizations (2nd). USA: Sage Publications Inc. Weber, Max. 1987. Bureaucracy. Dalam Shafritz, Jay M. & Ott, J. Steven. Classics of Organization Theory. (2nd ed.). hlm. 81 – 86. USA ; The Dorsey Press. Wilson, Woodrow.1987. The Study Of Administration. Dalam Shafritz, Jay M. & Hyde, Albert C. 1987. Classic of Public Administration. (2nd Edition). USA ; The Dorsey Press.
24