MODERNISASI KEBIJAKAN EKONOMI POLITIK DI TINGKAT LOKAL Kisno Hadi Abstract One of the economics problems in local level which is given major effect on national economy is the rise of the price of the staff of live. The rise is an anxious things, it can fragile social structure of society which is implicated on two things that are first, the lower of purchasing power and second, lack of food. Unfortunately, government does not have any solutions or policy for overcoming the problems. This paper will describe three major thought about problems above, (1) modernization of political-economic in local authonomy context. This modernization will give a local government a chance to involve in overcoming of the lack of foods; (2) improving political economy policy in rural to improve economic and political structure at local level. In this case, rural is a potential source to manage economic resources so that food production sufficient. Rurals out side of Java have to be a priority; (3) Improving relation and cooperation between local government and private agency. At the same time, local government have to improve quality of local government which is give priority to transparency, accountability, rule of law, participation of society. Keywords: local political economic, modernization, local authonomy, relation and cooperation
Pendahuluan Saat membuka Rapat Pimpinan Nasional Kamar Dagang dan Industri (RAPIMNAS KADIN), 1 April 2011 di Jakarta, Presiden SBY mengungkapkan paling tidak terdapat 7 (tujuh) tantangan sekaligus peluang Indonesia di masa akan datang, yaitu pertama, kebutuhan akan sumber daya yang besar termasuk sumber daya keuangan untuk mengembangkan ekonomi selama 15 tahun ke depan; kedua, potensi perekonomian di luar Jawa yang belum tergarap sempurna; ketiga, keterbatasan pasokan listrik karena peningkatan permintaan; keempat, pembangunan insfrastruktur yang harus mampu menyesuaikan dengan meningkatnya kegiatan bisnis; kelima, kebutuhan akan pangan dan air yang terus membesar; keenam, kebutuhan akan pinjaman yang membuat pembiayaan nasional meningkat; dan ketujuh, kebutuhan akan sinergi pelaku dunia usaha dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (www.presidenri.go.id). Bila kita sedikit mundur ke belakang, tepatnya diakhir tahun 2010 dan menjelang awal tahun 2011, maka point kedua dan kelima seperti yang diungkapkan Presiden SBY itu memang sudah menjadi kenyataan. Realita yang cukup “menggoyang” sendi perekonomian Indonesia kala itu ialah meningginya harga cabai merah (Kompas, 8/01/2011, hal. 17). Di beberapa daerah luar Jawa harganya bahkan mencapai Rp. 200 ribu/Kg. Meningginya harga cabai merah kala itu sampai dibicarakan dalam sidang kabinet di Jakarta. Hingga kini harga cabai merah masih tinggi di beberapa daerah di
Kisno Hadi Modernisasi Kebijakan Ekonomi Politik di Tingkal Lokal
luar Jawa, tanpa ada niat dari pemerintah daerah mengatasinya selain menunggu pasokan dari Jawa yang memang selalu terkendala cuaca dan infrastruktur. Cabai merah adalah produk pangan lokal sebagai menu pelengkap makanan sehari-hari rakyat Indonesia, yang seharusnya dapat terjual dengan harga murah. Tapi alih-alih membuat kebijakan berarti untuk menanggulanginya, banyak pemerintah daerah malah menyalahkan anomali alam dan terkesan menunggu alam “kembali bersahabat”. Celakanya, meningginya harga cabai merah dan produk pangan lainnya malah terjadi di Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris. Padahal hampir setiap daerah ketika mendapat kunjungan pejabat negara dari pusat maupun dari provinsi selalu melakukan panen raya terhadap produk pangan unggulannya. Kondisi demikian seharusnya membuat Indonesia surflus produk pangan termasuk cabai merah. Tapi meningginya harga cabai merah di pasaran memperlihatkan realita senyatanya adalah kebalikannya. Selain itu, meningginya harga produk pangan di tingkat internasional malah berpengaruh terhadap harga produk pangan di tingkat lokal. Sebagai negara agraris seharusnya pasar lokal Indonesia tidak perlu terpengaruh pasar internasional, sebab logikanya di dalam negeri produk pangan cukup berkelimpahan. Diakui bahwa mayoritas masyarakat (bahkan petani) Indonesia yang buta akan peta ekonomi politik di tingkat internasional tidak dapat memahami mengapa harga bahan pokok pangan termasuk cabai merah dapat menyamai harga emas. Di sisi lain, pemerintah juga belum menyadari bahwa meningginya harga cabai merah dan produk pangan lainnya di beberapa daerah tidak lepas dari minimnya proteksi pemerintah terhadap petani dan proses produksinya, yang sama sekali terlepas dari harga produk pangan di tingkat internasional. Di beberapa daerah teridentifikasi bahwa meningginya harga produk pangan lokal berakibat fatal bagi kerawanan ketahanan pangan masyarakat lokal. Hal-hal yang mendorong meningginya harga produk pangan lokal yang berpengaruh kepada rawannya ketahanan pangan di beberapa daerah antara lain Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang belum tuntas sehingga menghambat perluasan dan pengelolaan lahan pertanian oleh masyarakat yang juga berpengaruh kepada kelancaran usaha masyarakat. Selain itu, persoalan lokal yang tidak kalah pelik berpengaruh baik kepada meningginya harga produk pangan lokal maupun kepada kerawanan ketahanan pangan di tingkat lokal ialah konflik lahan, rendahnya sumber daya manusia (SDM) petani maupun petugas penyuluh pertanian yang ditugaskan pemerintah, rendahnya produktifitas hingga rendahnya mutu produk, rendahnya akses petani terhadap sumber permodalan, liberalisasi pasar global dan perubahan iklim global yang sudah sangat parah dalam beberapa tahun terakhir. Untuk mengatasinya, modernisasi kebijakan ekonomi politik di tingkat lokal perlu menjadi prioritas kebijakan pemerintah ke depan. Pertanyaan yang muncul 107
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 3, Agustus 2011
kemudian adalah bagaimana modernisasi kebijakan ekonomi politik di tingkat lokal dilakukan? Arah Kebijakan Modernisasi Ekonomi Politik di Tingkat Lokal Ekonomi politik secara eksplisit didefinisikan sebagai interelasi diantara aspek, proses, dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi (produksi, investasi, penciptaan harga, perdagangan, konsumsi, dll). Pendekatan ekonomi politik dengan demikian mengaitkan penyelenggaraan politik, baik yang menyangkut aspek, proses maupun kelembagaan dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang diintrodusir oleh pemerintah. Pendekatan ini menempatkan politik sebagai subordinat ekonomi, di mana instrumen-instrumen ekonomi seperti mekanisme pasar, harga, dan investasi dianalisa dengan menggunakan setting politik di mana kebijakan atau peristiwa ekonomi tersebut terjadi. Pendekatan ini melihat bahwa ekonomi sebagai cara untuk melakukan tindakan (away of acting), sedangkan politik menyediakan ruang bagi tindakan tersebut (a place to act). Dengan demikian pendekatan ekonomi politik mempertemukan antara bidang ekonomi dan politik dalam hal alokasi sumber daya ekonomi dan politik (yang terbatas) untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Sehingga implementasi kebijakan ekonomi politik selalu mempertimbangkan struktur kekuasaan dan sosial yang hidup dalam masyarakat, khususnya yang menjadi sasaran kebijakan (Yustika, 2009: 7-9). Di tingkat lokal, peristiwa ekonomi politik mendapat momentum untuk didiskusikan pasca kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tahun 1999. Otonomi daerah yang krusial membuat kebijakan desentralisasi politik nyatanya tidak dapat berjalan serta bermakna bagi daerah jika tanpa didampingi kebijakan desentralisasi ekonomi. Keterkaitan antara desentralisasi politik dengan desentralisasi ekonomi terletak pada desentralisasi pengambilan kebijakan, termasuk kebijakan di bidang ekonomi yang pada intinya adalah proses politik. Dalam kebijakan desentralisasi ekonomi, ada semacam kelonggaran dalam memaknai desentralisasi kebijakan pengelolaan sumber daya ekonomi kepada daerah, di mana daerah selain mengelola dana transfer (perimbangan) dari pemerintah pusat, juga dapat memanfaatkan seluas-luasnya sumber daya ekonomi di daerah untuk menjadi sumber pendapatan daerah guna membiayai pembangunan daerah. Kebijakan yang diambil dalam bidang ekonomi tersebut membutuhkan kebijakan-kebijakan politik di daerah yang diputuskan oleh penyelenggara negara di daerah. Terdapat enam jenis desentralisasi ekonomi yakni (1) desentralisasi fiskal; (2) desentralisasi pengambilan keputusan manajemen publik; (3) proliferasi lembaga penyedia layanan yang didukung oleh pembiayaan campuran swasta/publik; (4) contracting out pelayanan publik yang dibiayai negara kepada organisasi nirlaba atau komersial swasta; (5) alokasi dana publik; dan (6) privatisasi aktivitas sektor publik dengan meliberalisasi 108
Kisno Hadi Modernisasi Kebijakan Ekonomi Politik di Tingkal Lokal
sektor-sektor yang dimonopoli pemerintah (Mackintonsh dan Roy, 1999; Muluk, 2006: 75-94). Melalui kebijakan politik di daerah, pemerintah daerah dapat melaksanakan desentralisasi ekonomi dan memanfaatkannya untuk mengelola sumber ekonomi daerah secara lebih baik serta dapat membuat masyarakat daerah sejahtera. Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, peran pemerintah daerah dapat mencakup peran-peran wirausaha (entrepreneur), koordinator, fasilitator dan stimulator (Blakely, 1989; Awaluddin, 2007: 110). Sementara dalam konteks modernisasi, kebijakan ekonomi politik di tingkat lokal diarahkan untuk memodernkan cara-cara pengelolaan sumber daya ekonomi melalui kebijakan politik dari yang tradisional ke modern. Bila merunut sejarahnya, aspek yang paling spektakuler mengenai modernisasi ekonomi politik ialah pergantian teknik produksi dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern yang berakar dalam peristiwa Revolusi Industri di Inggris pada abad 18. Namun demikian, modernisasi masyarakat merupakan substansi dari proses modernisasi tersebut yang berbuah pada transformasi, yaitu perubahan pada semua aspek kehidupan. Secara lebih teknis modernisasi di bidang ekonomi bisa berarti tumbuhnya kompleks industri yang besar-besar, tempat diproduksikannya barangbarang konsumsi dan sarana konsumsi secara massal. Peristiwa demikian mengandung implikasi adanya organisasi-organisasi yang kompleks untuk mendirikan, mengembangkan dan menyelenggarakan proses produksinya, untuk pembelian bahan-bahan bakunya, serta untuk penjualan produknya (Sahdan, 2003: 42). Semua peristiwa ekonomi tersebut membutuhkan keputusan politik yang modern pula, baik di tingkat lokal, nasional hingga internasional. Indonesia hingga sejauh ini sudah memodernkan kebijakankebijakan politiknya yaitu ditandai adanya sentuhan demokrasi dan desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah sejak 1999. Dalam konteks demikian, penting bagi pemerintah daerah untuk memanfaatkan seluasluasnya kewenangan yang dimiliki dengan membuat kebijakan politik yang berpihak kepada masyarakat lokal. Untuk itu, dalam hal menjamin serta menjaga ketersediaan produk-produk pangan lokal dengan harga murah, pemerintah daerah harus memodernisasi kebijakan-kebijakan politik di bidang ekonomi lokal. Ada dua kebijakan politik yang mesti menjadi perhatian serius pemerintah daerah untuk dimodernkan, yaitu pertama, pembenahan struktur ekonomi politik pedesaan guna melakukan proteksi terhadap produk lokal yang umumnya dihasilkan petani di desa, dan kedua, membangun relasi dan sinergi dengan swasta. Dua point kebijakan tersebut secara langsung atau tidak berkorelasi paling tidak dengan tiga tantangan Indonesia masa depan yang diungkap Presiden SBY yaitu menggarap potensi perekonomian di luar Jawa, pembangunan infrastruktur dan kebutuhan sinergi pemerintah dengan pelaku usaha. 109
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 3, Agustus 2011
Pembenahan Struktur Ekonomi Politik Pedesaan Kritik “pembangunan yang memiskinkan masyarakat desa” atau bahkan “pembangunan yang memundurkan demokrasi desa” terhadap kebijakan pembangunan Orde Baru barangkali cukup beralasan bila melihat dampaknya terhadap kondisi desa sekarang. Mohtar Mas’oed diantara ilmuwan politik yang menghubungkan kebijakan-kebijakan ekonomi politik pedesaan pemerintah Orde Baru dengan kemunduran demokrasi desa, dengan mengatakan “pembangunan desa di masa Orde Baru dirancang untuk mendorong penetrasi negara ke desa kemudian mengintegrasikan kehidupan pedesaan ke dalam kerangka kerja nasional. Kebijakan itu juga memaksa penyeragaman pelembagaan desa dengan resiko menghapuskan keunikan lokal. Di hadapan hukum nasional banyak lembaga lokal kehilangan keabsahan, otonomi pedesaan dilemahkan sehingga memandulkan potensi-potensi desa untuk menumbuhkan demokrasi (Mas’oed, 2003: 173-174). Pembangunan ekonomi politik pedesaan di masa Orde Baru juga berimplikasi negatif kepada tatanan sosial masyarakat desa. Tatanan sosial pedesaan seperti nilai-nilai gotong royong, kemandirian, musyawarah, bertumpu pada potensi desa, tata krama, dll, berangsur memudar. Nilainilai demokrasi komunal itu memudar dan diganti oleh demokrasi liberal yang lebih mementingkan prosedural dan individualistis. Selain itu, kebijakan pembangunan yang menempatkan desa sebagai subordinat pembangunan nasional di masa lalu dirasa menjadi penyebab lain mengapa desa kekinian belum banyak berubah, cenderung bergantung pada negara, belum dapat bangkit dari ketertinggalan bahkan cenderung ditinggalkan oleh sebagian penduduknya yang memilih berurban ke kota atau pusatpusat industri di luar desa. Potensi pertanian di desa bukan lagi berperan penting untuk menjadi mata pencaharian keluarga, lebih-lebih menjadi sumber bahan pokok keluarga ataupun pasar. Warga desa sudah lebih senang membeli ketimbang menanam, maka tidak mengherankan kalau pasokan produk bahan pokok lokal tidak lagi berimbang dengan konsumsi, sehingga hampir setiap daerah mesti disokong pasokan produk pangan dari Jawa bahkan produk pangan impor. Kesalahan fatal lainnya sebagai akibat warisan kebijakan salah urus masa lalu terhadap desa adalah desa ternyata masih menjadi obyek pembangunan negara. Desa dibangun untuk menyangga kota, sehingga pembangunan kota lebih diutamakan dan dana pembangunan yang seharusnya untuk membangun desa lebih banyak tersedot untuk membangun kota. Di sisi masyarakat desa sendiri, dalam hal pola pikir (mind-set) juga belum banyak berubah yakni memandang kemajuan kota sebagai sumber segalanya dengan meremehkan eksistensi serta potensi desa, kemudian struktur ekonomi politik di desa juga masih lemah sehingga cenderung melemahkan upaya yang dilakukan untuk membangun desa. Sementara dalam hal kewenangan yang dipunyai desa, selama ini desa juga belum dapat secara optimal mengimplementasikannya, yaitu 110
Kisno Hadi Modernisasi Kebijakan Ekonomi Politik di Tingkal Lokal
karena banyak desa belum merasakan transfer kewenangan tersebut dari pemerintah supradesa. Adapun kewenangan-kewenangan yang dimiliki desa menurut Widjaja (2003) dikelompokkan ke dalam beberapa bidang yaitu antara lain bidang pertanian, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, politik dalam negeri dan administrasi publik, otonomi desa, perimbangan keuangan, tugas pembantuan, pariwisata, pertanahan, kependudukan, kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat, perencanaan, penerangan/informasi dan komunikasi (dalam Abadi, 2007: 140). Dalam hal kewenangan di bidang pertanian yang menjadi pokok pembicaraan tulisan ini, perlu dimaklumi bahwa eksistensi sektor pertanian yang dianggap sebagai penopang pokok pembangunan pedesaan sudah semakin mencair terutama digantikan oleh sektor industri, jasa dan perdagangan. Kondisi tersebut terjadi karena desa sudah semakin terbuka, serta masuknya barang, orang dan uang yang tiada terbendung. Sungguhpun demikian, kemajuan pembangunan pedesaan bergantung kepada konsistensi desa tersebut memanfaatkan potensi yang dimiliki, lalu dengan potensi itu desa bisa eksis dan menggapai kemajuan. Kalau sebuah desa memiliki potensi pertanian maka desa tersebut harus secara konsisten menggerakkan sektor pertanian untuk menjadi produk unggulannya. Demikian juga misalnya dengan desa nelayan, desa pariwisata, desa perdagangan, dll (Hadi, 2010: 17). Dengan melihat potensi yang dimiliki setiap desa itulah, pemerintah daerah menyokongnya dengan membuat kebijakan politik inovatif (terbaru) untuk menggeliatkan kegiatan ekonomi berdasarkan potensi yang dimiliki setiap desa. Potensi desa banyak tidak tergarap salah satunya disebabkan minimnya dukungan pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur pedesaan baik antar desa maupun desa-kota. Sehingga jangankan untuk memasarkan produksi pertaniannya ke kota, untuk mengakses lahan pertanian dari tempat tinggal saja sangat sulit, yang akhirnya berdampak pada buntunya ide-ide kreatif masyarakat desa dalam menggeliatkan perekonomiannya. Di samping itu, minimnya dukungan pemerintah terhadap pembangunan infrastruktuur pedesaan seperti jalan desa dan pasar desa juga berdampak pada sulitnya menemukan produk unggulan desa yang berimbas kepada kesulitan menemukan produk unggulan lokal (Bdk. Soedirman, 1997). Sebaliknya, entah disengaja atau tidak, dengan ditopang dana moneter internasional selama ini pemerintah baik di daerah maupun di pusat telah melakukan pemanjaan terhadap desa dengan membantu desa melalui berbagai mekanisme pembiayaan pembangunan yang bersifat hibah bertamengkan “pembangunan pedesaan” seperti program KUD, CERD, P2KP, PNPM Mandiri Pedesaan, dll (Lih. Kevin P. Clements, 1999: 2-9). Sayangnya dana-dana hibah tersebut sampai detik ini tidak dapat 111
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 3, Agustus 2011
membuktikan bisa memajukan bahkan mengembangkan sumber-sumber daya ekonomi di desa, lebih-lebih bisa mendongkrak desa agar menghasilkan produk ekonomi yang bisa diandalkan guna memenuhi konsumsi di tingkat lokal dan nasional. Desa justru tetap memiliki ketergantungan terhadap pemerintah di atasnya, miskin kreatifitas dan cenderung menunggu proyek pemerintah untuk menuntaskan persoalan yang dihadapi (Bdk. Fakih: 2002: 109-114). Bahkan atas dasar tertibnya laporan pertanggungjawaban penggunaan dana-dana hibah yang sudah direalisasi di tahun sebelumnya, desa dapat mengusulkan dana-dana hibah serupa pada tahun-tahun berikutnya. Proyek-proyek pemerintah di desa yang membuat desa terus menerus bergantung kepada pemerintah antara lain terlihat dari adanya konsep “desa binaan” beberapa kementerian terkait terhadap desa. Kementerian Kesehatan memiliki “desa siaga”, Kementerian Kehutanan memiliki “hutan desa”, Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki “desa pesisir” atau “desa nelayan”, Kementerian ESDM memiliki “desa mandiri energi”, Kementerian Pertanian memiliki “desa mandiri pangan” Kementerian Pariwisata memiliki “desa wisata”, dan Kementerian PDT memiliki “desa tertinggal”. Sementara Bappenas, Kementerian PU, dan Kementerian Diknas memiliki konsep perdesaan atau secara spesifik dikenal dengan nama “pembangunan perdesaan” (Eko, 2010: 66-67). Semua program “binaan” terhadap desa tersebut tidak dapat disangkal adalah dalam rangka merealisasikan dana yang dimiliki lembaga-lembaga tersebut untuk diberikan sebagai “uang pembinaan” kepada desa-desa yang dinilai memenuhi syarat di seluruh Indonesia. Selain pemerintah, pihak swasta (investor) yang menggarap sumber daya alam di sekitar desa juga memiliki semacam “desa binaan” terhadap desa-desa di sekitar perusahaan melalui apa yang disebut program Corporate Social Responsibility (CSR) dan Community Develpoment (CD). Program ini pada dasarnya merupakan program pemerintah yang dibebankan kepada investor untuk membantu pemerintah menjangkau wilayah pedesaan yang tidak mampu dijangkau pemerintah serta sebagai tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat sekitar. Menurut Sony Sumarsono, Direktur Usaha Ekonomi Masyarakat Ditjen PMD Depdagri tahun 2007, bahwa ada perkiraan uang yang masuk ke desa rata-rata sekitar Rp. 2 milyar per desa setiap tahun. Sutoro Eko (2008) mengatakan paling tidak ada lima skema yang digunakan pemerintah (maupun swasta) untuk menggelontorkan uang ke desa. Pertama, dalam bentuk bantuan (atau stimulant) yang sering diibaratkan sebagai kail/pancing untuk memancing swadaya masyarakat, bantuan ini berkonotasi desa tidak punya hak atas uang tersebut. Kedua, insentif, di mana uang yang digunakan untuk merangsang desa berbuat sesuatu, atau sebagai hadiah karena desa berprestasi. Ketiga, alokasi dana desa (ADD) yaitu dana bagian dari dana desentralisasi sebagai hak desa untuk membiayai kewenangan desa. Keempat, akselerasi, sebagai distribusi dana 112
Kisno Hadi Modernisasi Kebijakan Ekonomi Politik di Tingkal Lokal
khusus untuk mempercepat penyiapan dari realisasi perencanaan desa, ataupun dana untuk membiayai proyek percepatan desa-desa tertinggal. Kelima, investasi, yaitu pembiayaan oleh pemerintah atau swasta dalam membangun kawasan pedesaan, guna memacu pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan pekerjaan yang dekat dengan warga desa. Dari kelima skema tersebut, hanya ADD yang diakui secara formal dan legal menjadi hak desa. UU No. 32/2004 yang kemudian diperkuat dengan PP No. 72/2005 telah memberikan kepastian hukum terhadap perimbangan keuangan desa dengan kabupaten/kota sehingga desa memperoleh kejelasan anggaran untuk mengelola pembangunan, pemerintahan, dan sosial kemasyarakatan desa (Kabalmay, 2008: 4). Atas dasar asumsi banyaknya uang masuk ke desa setiap tahun, menjadi sulit menyangkal bahwa pemerintah telah memanjakan desa, tanpa mau memberikan kewenangan kepada desa untuk mengelola diri sendiri atau mencari sumber pendanaan sendiri untuk membangun desa. Dalam kondisi demikian, sulit membayangkan masyarakat desa memiliki kreatifitas menggali potensi desa serta membuat produk unggulan ekonomi desa yang selain dapat menyokong pasokan konsumsi masyarakat desa juga memenuhi permintaan pasar di tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional. Ke depan, untuk membenahi struktur ekonomi politik di desa, pemerintah daerah mesti memberi semacam kewenangan dalam hal pengambilan keputusan manajemen publik kepada desa. Kebijakan politik terhadap desa oleh pemerintah daerah lebih bersifat “membuat desa bekerja sendiri secara mandiri”. Sementara pemerintah daerah cukup menyokong dengan melakukan pembangunan infrastruktur pedesaan melalui mekanisme kebijakan fiskal terhadap desa yang memang membutuhkan intervensi pemerintah. Sementara hal-hal lain seperti pengaturan di bidang pertanian atau bidang-bidang unggulan lainnya yang berkaitan dengan potensi desa sebaiknya diserahkan kepada desa untuk diurus pemerintah desa beserta masyarakat desa. Kebijakan demikian, harus dapat diprioritaskan di daerah-daerah luar Jawa, sehingga dapat menumbuh serta menggerakkan perekonomian luar Jawa. Di samping itu, dalam rangka menghadirkan modernisasi di desa untuk mengelola bidang ekonomi sehingga menghasilkan produk unggulan seperti pangan lokal, pemerintah mungkin harus belajar dari Pemerintah Cina. Hal ini berangkat dari fakta menggeliatnya perekonomian Cina bahkan produk ekspornya dapat memenuhi kebutuhan pokok dalam negeri Indonesia yang seharusnya juga bisa melakukan hal yang sama. Di banyak supermarket di kota-kota besar di Tanah Air, dapat dijumpai berbagai produk makanan impor seperti buah-buahan dan makanan cepat saji dari Cina yang sebenarnya dapat ditanam dan diproduksi dengan baik oleh petani Indonesia. Cina adalah negara sumber impor pertama dan terbesar Indonesia, angkanya mencapai 17,2% dari total impor produk nonmigas. Sebaliknya, Cina hanya menyerap 8,7% dari total ekspor produk nonmigas Indonesia. Ini berarti produk Cina telah melakukan penetrasi yang jauh 113
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 3, Agustus 2011
lebih agresif di pasar Indonesia ketimbang negara lain. Ada beberapa realitas pembeda nyata mengenai daya saing Indonesia dengan Cina yang menggambarkan ketertinggalan dan ketidakberdayaan Indonesia dari segi kebijakan ekonomi politik dalam menghadapi eksistensi Cina dikancah perdagangan bebas, yaitu: Pertama, aspek nilai bunga permodalan, di mana petani Cina di desa-desa menikmati kemudahan permodalan sebesar 4% per tahun sementara petani di desa-desa di Indonesia justru mendapat bunga permodalan tinggi yakni mencapai 12% per tahun. Bahkan bisa lebih besar karena terbatasnya akses petani ke bank. Perbankan Indonesia tak mampu menyentuh petani kecil hingga ke desa-desa. Kedua, aspek nilai tukar uang, di mana Indonesia hobbinya adalah proteksi rupiah berlebihan sehingga apapun yang berbau rupiah pasti berharga mahal dipandang dari kacamata uang asing. Sementara Cina sangat ngotot dengan upaya memurahmurahkan nilai Yuan. Sehingga kalau diekspor memiliki daya saing dan mudah menjajah pasar luar negeri, termasuk pasar pedesaan Indonesia. Ketiga, aspek proteksi dan taksasi, di mana kemudahan perpajakan dan proteksi produksi di Cina langsung ataupun tidak lebih kuat dibandingkan Indonesia yang super taat pada IMF, Bank Dunia dan WTO. Hal ini termasuk stimulasi sosial yang dilakukan besar-besaran di Negeri Tirai Bambu itu (Maksum, 2010). Kenyataan demikian dirasa mengancam eksistensi petani di desadesa di Indonesia karena di samping memang lemahnya produksi petani, kuatnya ekspansi produk Cina, juga minimnya proteksi pemerintah terhadap petani sebagaimana dilakukan Pemerintah Cina. Dengan demikian, menjadi semakin jelas bahwa program pemberian uang tunai kepada desa selama ini melalui skema “desa binaan”, “pembangunan perdesaan”, juga “CSR/CD”, belum banyak memberi faedah kepada petani pedesaan di Indonesia. Ke depan, program pembangunan yang langsung dilaksanakan pemerintah seperti pembangunan infrastruktur pedesaan, memfasilitasi kehadiran teknologi untuk menggarap lahan pertanian maupun produksi hasil pertanian, menghadirkan sarana komunikasi dan informasi yang canggih agar petani mudah mengakses sumber wawasan yang lebih luas, dana pinjaman perbankan yang murah untuk mengakses modal, menghentikan urbanisasi, menghadirkan proses pendidikan formal “satu atap” di setiap desa, dll, adalah mungkin diantara kebijakan politik yang dapat diambil dan difasilitasi pengesahannya oleh pemerintah melalui kebijakan ekonomi politik. Membangun Relasi dan Sinergi dengan Swasta Indonesia harus segera berbenah dan memperbaiki diri guna menghadapi ancaman liberalisasi ekonomi politik global. Kebijakan otonomi daerah yang semangatnya adalah untuk memperkuat posisi negara di tingkat lokal baik dari sisi porsi kewenangan maupun keuangan dapat menjadi tumpuan dalam rangka memproteksi produk-produk pangan dalam 114
Kisno Hadi Modernisasi Kebijakan Ekonomi Politik di Tingkal Lokal
negeri yang ada di daerah beserta pelakunya dari gencarnya serangan liberalisasi. Bersinergi dengan swasta (pelaku usaha) mungkin menjadi alternatif kebijakan, sebab bila bekerja sendiri pemerintah daerah tidak memiliki sumber daya. Membuka ruang dan memperkuat sinergi dengan swasta adalah salah satu bentuk modernisasi kebijakan yang dapat dilakukan untuk membenahi ekonomi politik di tingkat lokal yang selama ini masih terselimuti oleh pengelolaan tersentralistis. Bersinergi dengan swasta untuk memecahkan masalah lokal, berarti pengelolaannya menekankan pada dimensi horisontal dan menyebar, bukan vertikal dan terhierarkis. Pengelolaan negara di tingkat lokal yang menyebar dengan melibatkan swasta terlegitimasi dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya pasal 195 (3), yang menyatakan “dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerjasama dengan pihak ketiga”. Pihak ketiga yang dimaksud ialah swasta atau pelaku usaha (bisnis). Regulasi tersebut harus dapat dipedomani pemerintah daerah untuk mempersiapkan produk dan pelaku ekonomi lokal menghadapi liberalisasi. Dalam konteks itu, untuk mendorong perkembangan ekonomi masyarakat daerah, dan karena pemerintah daerah sering mengalami keterbatasan sumber daya bila melakukannya sendiri, maka membangun kerjasama dengan pihak swasta adalah solusi terbaik. Dengan demikian, relasi dan sinergi antara pemerintah daerah dengan swasta dalam mengelola ekonomi daerah diharapkan dapat menguntungkan. Tetapi harus disadari bahwa pelayanan yang dilakukan oleh swasta dengan pelayanan publik oleh pemerintah daerah pada dasarnya adalah dua misi yang berbeda, di mana pelayanan swasta dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan finansial sementara pelayanan publik pemerintah daerah dilakukan dalam rangka pelayanan sosial. Dengan demikian, mesti dicari cara atau mekanisme kerjasama terbaik agar terjadi sinergisitas antara pemerintah daerah dengan swasta dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat daerah untuk meningkatkan produktifitas perekonomian daerah. Paling tidak terdapat 3 (tiga) model atau mekanisme kerjasama yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dan pihak ketiga (swasta) untuk menjembatani misi pelayanan yang berbeda antar keduanya. Pertama, kerjasama model kemitraan (partnership) yang dilakukan antar stake holders dengan menekankan pada syarat kepercayaan (trust). Di sini pemerintah daerah dituntut untuk percaya dan menghargai ide-ide baru yang mungkin muncul dari masyarakat, begitu juga sebaliknya masyarakat dituntut pula memiliki kepercayaan bahwa pemerintah daerah dapat menerima dan melakukan ide-ide tentang perubahan yang dikehendaki masyarakat. Di dalam model ini baik masyarakat sipil, masyarakat ekonomi, maupun masyarakat politik bersama dengan pemerintah daerah dapat membuat forum bersama dalam merencanakan, melaksanakan, dan memonitoring suatu program atau kegiatan. 115
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 3, Agustus 2011
Kedua, kerjasama model reprositas-kritis, menerapkan bahwa hubungan kelembagaan pemerintah daerah dengan masyarakat baik masyarakat ekonomi, masyarakat politik, maupun masyarakat sipil dilakukan dengan cara keduanya saling mempelajari posisi masing-masing dari keduanya, saling menerima, dan memberikan dukungan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan sebuah program. Sekalipun proses saling memberi gagasan ini dilakukan tapi sikap kritis masyarakat tetap dilakukan atas peran-peran pemerintah daerah lainnya. Sikap kritis selalu dikedepankan agar posisi masyarakat tidak terjebak dalam arus pragmatis dan sikap oportunis yang mereduksi idealisme. Ketiga, kerjasama model akomodasionis, yang menekankan bahwa pemerintah daerah maupun masyarakat baik masyarakat ekonomi, masyarakat politik, maupun masyarakat sipil dapat saling melakukan politik akomodasi. Artinya, masing-masing pihak yang terlibat dalam proses kerjasama diharapkan dapat mengakomodir kepentingan yang dibutuhkan yang tidak dapat dilakukan oleh salah satu pihak. Misalkan masyarakat sipil tidak mampu mengatasi persoalan ekonomi yang dihadapi, maka masyarakat ekonomi, masyarakat politik, maupun pemerintah daerah dapat membantu mengatasinya melalui kebijakan politik tertentu. Inilah yang disebut dengan kerjasama model politik akomodasi (Haryanto dkk, 2007: 56). Dalam sebuah kegiatan kerjasama biasanya para aktor yang terlibat berangkat dari idealisme yang berbeda, tetapi misi yang hendak dicapai biasanya mengarah ke tujuan yang sama, yaitu memperoleh keuntungan. Ikatan kerjasama dengan demikian dibangun dalam rangka merangkul dua sisi kepentingan idealisme yang berbeda itu untuk disinergikan menjadi satu kekuatan menuju tujuan yang sama. Walaupun berangkat dari konsep idealisme yang berbeda, tapi ketika pakta kerjasama disetujui dan disepakati bersama, maka konsepnya kemudian adalah kesamaan, yaitu memiliki misi yang satu untuk mencapai suatu tujuan yang sama, seperti tergambar dalam bagan di bawah : Pemerintah Pasar
Sinergi Pemerintah dan Bisnis/Swasta untuk Merebut Peluang Pasar/Global
Bisnis/Swasta
Gambar 1. Bagan Sinergi Pemerintah dengan Swasta ( Sumber: Diadopsi dari Pamuji, dkk., 2007: 168)
Mengaitkan model atau mekanisme kerjasama tersebut dengan konteks modernisasi kebijakan ekonomi politik lokal berarti berkaitan 116
Kisno Hadi Modernisasi Kebijakan Ekonomi Politik di Tingkal Lokal
dengan manajemen tata kelola pemerintahan. Artinya, sinergisitas pemerintah daerah dan swasta dengan menggunakan satu dari tiga model tersebut di atas mesti dilakukan dengan cara mengubah tata kerja organisasi pemerintah daerah (birokrasi) dari cara-cara lama yang sentralistis dan vertikal ke cara-cara baru yang lebih terdesentralistis, demokratis dan horisontal. Melalui peran birokrasi, pemerintah daerah dapat membuka diri seluas-luasnya terhadap peran swasta untuk mengelola sumber ekonomi lokal dengan tetap berpedoman pada regulasi yang disepakati bersama, dengan mengedepankan penerapan prinsipprinsip good governance seperti akuntabilitas, partisipasi, transparansi, penegakan hukum, dll. Peran swasta hanya dapat terwujud dengan baik kalau proses eksplorasi hingga eksploitasi obyek kerjasama tidak membutuhkan biaya tinggi. Kebanyakan ikatan kerjasama pemerintah daerah dengan swasta selama ini terjadi keterputusan atau kegagalan diakibatkan biaya investasi yang mahal, korupsi dan maladministrasi oleh birokrasi yang merajalela, hingga beban sosial investor terhadap masyarakat sekitar terlalu tinggi yang seharusnya disediakan oleh pemerintah daerah (Haryatmoko, 2003: 141). Yang harus disadari pula bahwa kehendak membangun kerjasama dengan swasta untuk menangani persoalan-persoalan lokal memiliki semangat agar persoalan yang hadapi dapat dikerjakan bersama dengan bekerjasama, sehingga pengerjaannya akan lebih ringan, efisien dan efektif. Pemerintah daerah tidak memiliki tradisi bekerjasama secara horisontal dengan aktor lain di luarnya dalam mengelola daerah sebab terbiasa bekerja dengan garis komando secara hierarki-vertikal dengan pemerintah pusat sebagai konsekuensi praktik pembangunan sentralistik di masa Orde Baru. Sehingga tatkala muncul kebutuhan kerjasama secara horisontal dengan aktor lain dalam mengelola kompleksitas daerah, maka muncul kegagapan dalam diri pemerintah daerah. Pemerintah daerah tidak siap melakukannya, baik dari segi pemikiran maupun sumber daya. Dalam konteks makro, kompleksitas untuk mengelola kepentingan bersama tersebut muncul dan semakin menyeruak ke permukaan secara konsisten dan terlembaga sejalan dengan berkembangnya pendekatan governance. Sejak pertama kali digulirkan Bank Dunia tahun 1989, pemaknaan, penggunaan dan implikasi istilah governance menjadi demikian beragam. Akan tetapi, setidaknya definisi yang beragam itu dapat dikelompokkan menjadi dua orientasi. Pertama, definisi governance yang merujuk pada reformasi administrasi, yang mengusulkan untuk mengadopsi prinsip pasar (market mechanism) ke dalam pengelolaan sektor-sektor publik. Kedua, definisi governance yang merujuk pada dimensi pembangunan konsensus dan sinergi (Geabler dan Osborn, 1992; Weiss, 2000; Pratikno, 2008: 3). Governance merupakan konsep tata pemerintahan yang bermakna pergeseran dari cara pandang lama dalam mengelola sistem pemerintahan di mana sebelumnya berpusat di tangan lembaga pemerintah (government). 117
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 3, Agustus 2011
Terdapat konsensus bahwa konsep tata pemerintahan (governance) umumnya lebih luas ketimbang konsep pemerintah (government) (Suharko, 2005: 52). Governance menekankan relasi dan interaksi pemerintah dengan aktor lain di luarnya terutama swasta dan masyarakat. Melalui pandangan ini ada satu keyakinan bahwa pemerintah tidak dapat mengatur dirinya sendiri, tetapi harus dikontrol dan diimbangi dengan kondisi warga yang aktif, artikulatif, dan terorganisir. Secara eksplisit pandangan ini percaya bahwa pemerintah yang baik tidak akan terjadi tanpa civil society yang kuat (Sumarto, 2009: 6). Peran civil society dipandang sebagai kunci untuk mencapai demokrasi dan membuat demokrasi (dan pembangunan ekonomi) sukses (Schiller, 2007: 437). Peran swasta sebagai pelaku usaha dengan demikian dalam konteks ini tidak dapat diabaikan, sebab sering terjadi dalam mendorong perkembangan ekonomi daerah, pemerintah daerah mengalami keterbatasan sumber daya bila melakukannya sendiri. Pelibatan pihak swasta menjadi solusi terbaik. Pandangan tersebut mengarahkan bahwa (1) peran pemerintah tidak mendominasi arena politik dan ekonomi; (2) pelaku di ranah masyarakat (civil society) harus diperkuat; (3) pelaku di ranah bisnis (economic society) juga diperkuat; (4) banyak arena yang memungkinkan relasi yang setara (relasi horisontal) antara masyarakat dan pemerintah; dan (5) peran pemerintah tidak lagi terfokus pada pengaturan (regulatif) tetapi lebih pada fasilitasi. Pandangan itu hendak menegaskan bahwa selain mengharapkan bekerjanya institusi negara secara baik, governance juga merujuk pada penguatan institusi-institusi pasar dan civil society untuk mengimbangi dominasi pemerintah yang sebelumnya dianggap menjadi sumber kegagalan pembangunan (Pratikno, 2007a: 3). Dalam konteks governance, pelaku pemerintahan daerah bukan hanya pemerintah, namun juga pelaku bisnis (swasta) dan aktor civil society (Pratikno, 2007b: 20). Kerjasama yang dilakukan tersebut berimplikasi positif kepada masing-masing aktor yang terlibat, di mana para aktor sama-sama beroleh manfaat. Selain itu para aktor yang terlibat juga bisa berbagi pengalaman (sharing of experience), berbagi keuntungan (sharing of benefit), serta berbagi tanggung jawab secara bersama (sharing of burdens) (Pamuji, dkk, 2007: 90). Kemudian para aktor juga dapat saling berbagi beban. Dalam konteks modernisasi kebijakan ekonomi politik di tingkat lokal, pemerintah daerah dapat mengundang swasta melalui berbagai mekanisme kerjasama agar menanamkan investasinya di daerah sesuai potensi yang ada dengan tetap mengedepankan investasi pelaku ekonomi lokal. Bersamaan dengan itu, pemerintah daerah mesti membuat regulasi privatisasi atau suntikan modal untuk memproteksi pelaku ekonomi lokal, khususnya pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Sistem bunga kredit perbankan yang rendah, memperkuat peran BUMD, memperkuat koperasi untuk dikelola petani, bahkan masyarakat desa difasilitasi membangun BUMDes untuk mengelola potensi desa, intensifikasi penanaman tanaman perkebunan lokal atau produk pertanian unggulan lainnya, revitalisasi 118
Kisno Hadi Modernisasi Kebijakan Ekonomi Politik di Tingkal Lokal
perkebunan melalui sistem flasma, dll, adalah sederet regulasi yang dapat dibuat pemerintah daerah untuk memfasilitasi serta memperkuat produk dan pelaku ekonomi lokal. Di beberapa daerah, bekerjasama dengan Bank Pembangunan Daerah, Pemerintah Daerah baru mampu menyuntik modal pelaku usaha kecil menengah dengan beban bunga kredit 4,75% per tahun, masih berada di atas Cina yang berani menyuntik modal petaninya dengan beban kredit 4,00% per tahun. Tapi harus diakui pula bahwa kebijakan beberapa daerah tersebut sudah positif untuk meringankan beban modal pelaku usaha kecil, meski belum berani memberikannya kepada petani. Di sebagian daerah, pengelolaan tata niaga sumber daya alam seperti karet, sudah banyak melibatkan pihak swasta dengan tidak meninggalkan investasi masyarakat lokal terhadap potensi investasi yang sama. Dengan demikian, peran swasta sudah menjadi kebutuhan untuk membantu pemerintah daerah mengelola ekonomi daerah. Pemerintah daerah harus dapat memanfaatkannya dengan menjalin sinergi secara baik sehingga pengelolaan ekonomi politik di daerah menjadi modern mengikuti tren yang sedang berkembang yang menjadi tuntutan globalisasi. Penutup Fondasi perekonomian Indonesia yang paling kokoh barangkali adalah ketahanan pangan, yang membutuhkan sentuhan modernisasi kebijakan ekonomi politik pemerintah. Peristiwa ekonomi politik lokal yang cukup menggoyang dan berpengaruh bagi peristiwa ekonomi politik nasional belakangan adalah melambungnya harga bahan pokok pangan. Peristiwa tersebut ditengarai sementara kalangan merupakan gejala-gejala kerawananan pangan. Tapi pemerintah daerah maupun pusat nampak tidak memandangnya sebagai peristiwa kritis dengan membuat kebijakan solutif, tetapi cenderung pasif dengan menyalahkan anomali alam. Kalau pemerintah cenderung mengacuhkan melambungnya harga kebutuhan bahan-bahan pokok pangan belakangan, tidak menutup kemungkinan ke depan akan menyebabkan rapuhnya struktur sosial masyarakat yang mengakibatkan rendahnya daya beli masyarakat sehingga berimplikasi kepada kelangkaan pangan yang diperoleh masyarakat. Sebab itu, pemerintah harus tanggap dengan tidak bergantung begitu saja kepada alam tetapi membuat kebijakan berarti untuk mengatasinya. Otonomi daerah yang sudah memberi ruang kepada pemerintah daerah untuk terlibat aktif dalam proses pembangunan terutama dalam mengambil kebijakan-kebijakan strategis di daerah, harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pemerintah daerah. Kebijakan yang bersifat inovatif dan modern harus diambil sesegera mungkin untuk mengatasi permasalahan di daerah, terutama berkaitan dengan perlindungan sosial masyarakat terhadap gejala-gejala kerawanan pangan. Pembenahan kebijakan ekonomi politik di pedesaan adalah salah satu solusi untuk memperbaiki struktur ekonomi dan politik di tingkat 119
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 3, Agustus 2011
lokal. Desa merupakan timbunan potensi baik alam maupun manusia untuk mengelola sumber daya ekonomi di tingkat lokal, sehingga dengan memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi dan politik di desa diharapkan dapat menyumbang bagi perbaikan struktur ekonomi dan politik di daerah. Desa-desa di luar Jawa harus menjadi prioritas untuk dibenahi keadaan ekonomi, sosial dan politiknya agar daerah luar Jawa tidak melulu bergantung kepada Jawa seperti yang terjadi selama ini. Ketergantungan yang tinggi kepada Jawa selama ini menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Pembangunan insfrastruktur luar Jawa hingga ke desa-desa menjadi kebutuhan serius dan harus disentuh oleh modernisasi kebijakan ekonomi politik di tingkat lokal. Selain itu, membangun relasi dan kerjasama dengan pihak swasta (pelaku usaha) adalah jalan berikutnya yang mau tidak mau harus ditempuh pemerintah di daerah, karena disadari pemerintah daerah tidak mampu bekerja sendiri menyelesaikan masalahnya. Kebutuhan akan kerjasama dengan swasta harus dibarengi dengan kebijakan pembenahan kinerja birokrasi, yaitu dengan kebijakan tata kelola pemerintahan yang horisontal, menyebar dan terdesentralistis. Maksudnya tiada lain agar birokrasi membuka diri secara transparan, bersandar pada penegakan hukum, mengedepankan partisipasi dan akuntabilitas dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, serta pembuatan kebijakan lokal (Perda) yang berpihak pada dunia usaha baik usaha kecil dan menengah oleh masyarakat lokal maupun usaha besar oleh investor besar. ***** Daftar Pustaka Abadi, Hasan. (2007). “Republik Desa: Catatan Otonomi Desa Masa Transisi”, dalam Tim Simpul Demokrasi (Peny.). Membangun Aksi Demokrasi. Malang: Averroes Press dan KID. Awaluddin, dkk. (2007). “Mengelola Kemitraan Pemerintah dan Swasta”, dalam Pratikno (Ed.). Mengelola Dinamika Politik dan Jejaring Kepemerintahan: Kemitraan, Partisipasi, dan Pelayanan Publik. Yogyakarta: Program S2 PLOD UGM. Clements, Kevin P. (1999). Teori Pembangunan Dari Kiri Ke Kanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Eko, Sutoro. (2010). “Mempersatukan RUU Desa dan RUU Pembangunan Desa”, dalam Sugiyanto (Ed.). Bergerak Menuju Desa dan Dari Desa Bergerak. Yogyakarta: APMD Press.
120
Kisno Hadi Modernisasi Kebijakan Ekonomi Politik di Tingkal Lokal
Fakih,
Mansour. (2002). Runtuhnya Teori Pembangunan Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press.
dan
Globalisasi.
Hadi, Kisno. (2010). “Memperkuat Struktur Ekonomi Politik dan Sosial Pedesaan. dalam Sugiyanto (Ed.). Bergerak Menuju Desa dan Dari Desa Bergerak. Yogyakarta: APMD Press. Haryanto, dkk. (2007). “Hubungan Pemerintah dan Masyarakat”, dalam Pratikno (Ed.). Mengelola Dinamika Politik dan Jejaring Kepemerintahan: Kemitraan, Partisipasi, dan Pelayanan Publik. Yogyakarta: Program S2 PLOD UGM. Haryatmoko. (2003). Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kabalmay, Rofiko Rahayu. (2008). “Uang dan Ruang Untuk Membangun Ekonomi Desa”, dalam Media FPPD Edisi 10, Agustus 2008. Maksum, Muhammad. (2010). “Desa dan ACFTA”, dalam Kedaulatan Rakyat, 15 Februari 2010. Mas’oed, Mohtar. (2003). Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pamuji, Nanang, dkk. (2007). “Sinergi dan Interelasi Dalam Pemerintahan”, dalam Pratikno (Ed.). Mengelola Dinamika Politik dan Jejaring Kepemerintahan: Kemitraan, Partisipasi, dan Pelayanan Publik. Yogyakarta: Program S2 PLOD UGM. Pratikno. (2007a). “Dari Hierarki ke Jaringan”, dalam Pratikno (Ed.). Mengelola Dinamika Politik dan Jejaring Kepemerintahan. Yogyakarta: PLOD UGM. ________. (2007b). “Seandainya Otonomi Tanpa Kerjasama”, Pendahuluan dalam Pratikno (Ed.). Kerjasama Antar Daerah: Kompleksitas dan Tawaran Format Kelembagaan. Yogyakarta: PLOD UGM. _________. (2008). “Manajemen Jaringan Dalam Perspektif Strukturisasi”, dalam Jurnal Administrasi Kebijakan Publik. Volume XII (1) Mei 2008. Sahdan, Gregorius. (2003). “Modernisasi Ekonomi Politik Pedesaan”, dalam Jurnal “Renai” Tahun III No. 4 Edisi Musim Labuh Oktober 2003. Soedirman, Basofi. (1997). Gerakan Kembali Ke Desa. Surabaya: Pusat Kajian Masyarakat Pedesaan Jawa Timur. Suharko.
(2005). Merajut Demokrasi: Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sumarto, Hetifah Sj. (2009). Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
121
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 3, Agustus 2011
Yustika, Ahmad Erani. (2009). Ekonomi Politik: Kajian Teoretis dan Analisis Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Media Massa: Kompas, “Kesejahteraan Rakyat: False Economy”, 8 Januari 2011, hal. 17 www.presidenri.go.id, “Sambutan Pembukaan Rapimnas Kadin 2011”, 1 April 2011.
122