Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab di Tingkat Lokal Burhan D. Magenda (Universitas Indonesia)
Abstract The article focuses on the role of Indonesian of Arab descents in local politics, particularly in two provinces in Outer Islands, East Kalimantan and West Nusatenggara. While much have been researched on the role of Arab descents in national Politics such as studies by Hamid Algadri and Bisri Affendy, little is known about their roles in local politics. In East Kalimantan, Indonesian of Arab descents have played political roles up to the level of Vice Governor and other important positions, as far back as the Sultanates period in the 1950s. Similar important political role have also occurred in West Nusatenggara where Indonesian of Arab descents were the Chairman of Local Parliament (DPRD) and Assistant to the Governors, both in the 1950s and 1960s. The important roles that have been played by Indonesians of Arab descents are made possible by their “local assimilation” to the local indigenous communities, both trough intermarriages; common living in the same residential areas; common Islamic beliefs and their integration into Indonesian political system after dissolution of Indonesian party of Arab descent (PAI) in the 1930s which have differentiated them from the political history of Indonesian of Chinese descent (peranakan Tionghoa). Key words: the Arab Indonesian; local politics; religious assimilation.
Pengantar Studi tentang keturunan Arab di Asia Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya tidaklah banyak jumlahnya, apalagi jika dibandingkan dengan studi tentang ”Overseas Chinese” (Tionghoa perantauan). Hal ini disebabkan karena di banyak negara Asia Tenggara, keturunan Arab dianggap sama dengan pribumi Islam, khususnya di Malaysia, Indonesia, Filipina dan Muangthai. Di Malaysia khususnya, sejak jaman kolonial, keturunan Arab memang dianggap bagian dari pribumi Islam, karena banyak dari kerajaan-kerajaan pribumi didirikan oleh keturunan Arab.1 Bahkan,
182
Yang Dipertuan Agung Malaysia sekarang adalah keturunan Arab, yakni Tuangku Syed Sirajuddin bin Djamalkulail. Di Indonesia, pada jaman kolonial me mang keturunan Arab dimasukkan dalam kelompok Timur Asing (bersama-sama keturunan Tionghoa dan India). Tetapi, sejak Indonesia merdeka proses asimilasi berlangsung lancar. Bahkan di jaman kolonial pun, pembatasan hubungan dan interaksi antara keturunan Arab dengan 1
Untuk sejarah terbentuknya kerajaan-kerajaan di semenanjung Malaya dapat dibaca Andaya, B.W. dan L. Andaya (2001). Untuk versi sejarah yang lain, lihat Trocki (1979).
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005
pribumi Islam tidak berjalan efektif. Hal ini dibuktikan misalnya oleh fusi dari Partai Arab Indonesia (PAI) ke dalam partai-partai di Indonesia. Walaupun dengan keterbatasan-keterbatasan ini adalah tetap bermanfaat untuk mencoba membahas dinamika peranan politik keturunan Arab di Indonesia, khususnya setelah Indonesia merdeka. Studi-studi tentang peranan politik di masa kolonial sudah banyak dilakukan penulis-penulis lain seperti Hamid Algadri.2 Secara khusus, tulisan ini akan membahas tiga masalah pokok. Pertama, studi kasus tentang peranan keturunan Arab dalam politik lokal di provinsi Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat. Hal ini didasarkan pada penelitian lapangan penulis di kedua provinsi ini sejak tahun 1977 ditambah pengamatan tetap. Ke dua, pengamatan tentang peranan politik keturunan Arab di pentas nasional sebagai suatu “toiur de horizon ”. Bagian ke tiga adalah perbandingan pokok dengan keturunan Tionghoa, baik pada tingkat lokal dan terutama pada tingkat nasional.
sasaran bajak laut dari Sulu yang kemudian menjual korban-korban rampasannya di pasar budak di Batavia. Bahkan sampai sekarang, bajak laut dari Sulu masih merajai perairan utara Kalimantan Timur, misalnya di pulau Derawan.3 Pada masa kekuasaan Pangdam Brigjen R.Soeharjo di Kaltim (1960–1964), keluarga Sultan Bulungan menjadi korban pembersihan oleh Pangdam Soeharjo karena dituduh sebagai agen dari Malaysia, saat terjadi konfrontasi Indonesia dengan Malaysia. 4 Di daerah pedalaman Bulungan, hidup berbagai suku Dayak dengan jumlah terbanyak adalah Dayak Kenyah. Daerah-daerah yang tadinya merupakan wilayah Kesultanan Bulungan dengan pemekaran wilayah sejak tahun 2000 sudah menjadi beberapa kabupaten, seperti kabupaten Malinau. Di sebelah selatan kesultanan Bulungan terdapat kesultanan Berau, sedangkan di ujung selatan Kalimantan Timur terdapat kesultanan Pasir yang dibangun oleh bangsawan-bangsawan Bugis dari kerajaan Wajo.5 Seperti halnya banyak kerajaan 3
Studi kasus politik lokal Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terdiri dari kabupaten-kabupaten yang tadinya merupakan bagian dari kerajaan-kerajaan lokal. Sampai dengan penghapusan swapraja tahun 1958, terdapat empat (4) kesultanan di Kalimantan Timur yakni kesultanan Kutai, Bulungan, Berau dan Pasuir. Terletak di utara dan berbatasan dengan wilayah Sabah dari Malaysia , kesultanan Bulungan dihuni oleh etnik Bulungan dan berhubungan erat dengan kesultanan Sulu. Pada abad ke-17 dan ke-18, wilayah utara Kalimantan Timur sering menjadi 2
Lihat tulisan Algadri (1996) tentang Achmad Syurkati, pendiri Al Irsyad.
Magenda, Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab
Untuk sejarah kesultanan Sulu, lihat bab “The Sulu Zone: 1768–1898” dalam desertasi Warren (1975). 4
Keterlibatan keluarga Sultan Bulungan dengan Malaysia pernah dibuktikan secara hukum. Memang ditemukan senjata di kraton Bulungan, tetapi tidak pernah jelas sumbernya. Apakah memang dari Malaysia seperti yang dituduhkan Pangdam Soeharjo ataukah ada pihak lain yang menaruhnya di situ? Sekitar 30 keluarga lelaki Sultan Bulungan diangkut dengan kapal ke Samarinda dan semuanya ditenggelamkan di tengah perjalanan. Dalam percakapan dengan penulis, Soeharjo menghindari masalah ini. Ia juga tidak menyinggung masalah tersebut dalam otobiografinya (Soeharjo 1995). Untuk kasus Bulungan, lihat monografi Magenda (1991:59–61). Percakapan dengan Soeharjo berlangsung beberapa kali sejak 1985. 5
Kerajaan-kerajaan lain yang dibangun oleh migran Bugis, antara lain Tanah Laut dan Pulau Laut di Kalimantan Selatan, serta Pahang di Semenanjung Malaya tempat asal mantan Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razadatu Perak. Berbeda dengan migran etnik Jawa misalnya yang hanya berasal dari kalangan non priyayi, migran etnik Bugis Makassar ada yang berasal dari kalangan bangsawan, misalnya Puang A
183
dan kesultanan di luar Jawa, terdapat buktibukti sejarah bahwa di Kalimantan pun ada kerajaan yang dibangun oleh keturunan Arab. Kesultanan Pontianak dibawah keluarga Algadrie adalah yang paling menonjol, sedangkan kesultanan Berau juga memiliki bangsawan-bangsawan keturunan Arab yang sudah beberapa generasi melakukan asimilasi. Kesultanan yang terbesar di Kalimantan Timur, Kutai Kertanegara, memiliki pejabat dan penasehat keturunan Arab yang paling banyak. Kutai Kertanegara merupakan kelanjutan dari kerajaan Hindu. Mulawarman diyakini berasal dari Jawa. Dengan demikian, etnik Kutai merupakan perpaduan dari etnik asli Kalimantan Timur, Melayu pesisir dan Jawa. Hal ini dicirikan oleh persamaan nama serta gelar Jawa dan Melayu. Keturunan Arab juga dipercaya sudah berpengaruh di kesultanan Kutai sejak abad ke-18, khususnya sebagai penasehat Sultan dan pejabat wilayah. Adalah tradisi kesultanan Kutai untuk memberikan pemimpin dari etnik lain jabatan penting seperti pemimpin etnik Bugis-Makassar menjadi Syahbandar dan pemimpin etnik Banjar serta keturunan Arab memegang jabatan kepala wilayah seperti Penjawat (semacam Wedana di Jawa; lebih tinggi dari Camat sekarang).6 Di kesultanan Kutai, keturunan Arab juga berhak memakai gelar bangsawan Kutai seperti Aji Raden, yang jarang diberikan kepada pejabat Kutai dari etnik Banjar. Hal ini menunjukkan tingkat asimilasi yang cukup tinggi. Pejabat-pejabat Kutai dari keturunan Arab umumnya adalah dari kelas sosial atas, yakni golongan Sayid. Memang ada keluhan dari bangsawan-bangsawan Kutai yakni jarangnya kalangan Sayid mengawinkan
putrinya dengan pria bangsawan Kutai. Hal ini disebabkan oleh tradisi kuat di kalangan Sayid untuk hanya mengawinkan putrinya dengan kalangan Sayid juga. Ketentuan ini berlaku pula bagi keturunan Arab lainnya, khususnya kalangan non Sayid. Dengan pelonggaran norma-norma perkawinan antarkelas sosial dan etnik, ketentuan ini makin mengendor, seperti juga ketentuan serupa yang berlaku untuk putri bangsawan dari berbagai ke sultanan di luar Jawa.7 Bahkan norma perkawinan serupa yang berlaku untuk priyayi Jawa dan Sunda semakin mengendor sejak tahun 1960-an. Sekarang kita sudah biasa menyaksikan putri Sunan Solo atau Sultan Yogya menikah dengan laki-laki dari kelas sosial biasa namun terdidik (sering disebut ”bangsawan ilmu”). Tradisi perkawinan ”cross social class” ini sudah dibiasakan di kalangan priyayi Jawa sejak masa kolonial, dengan memberikan kesempatan magang kepada pria terdidik dari kelas sosial lebih rendah dan kemudian menjadikannya menantu atau bagian dari keluarga.8 Di antara tokoh-tokoh kesultanan Kutai dan kemudian menjadi tokoh politik Kalimantan Timur dari keturunan Arab dapat disebut dua nama yakni Aji Raden Sayid Muhammad dan keluarga Sayid Baraqbah.9 Tokoh pertama, Aji Raden Sayid Muhammad adalah pejabat Kesultanan Kutai yang atas biaya kesultanan menamatkan sekolahnya di Sekolah Pamong
lu’dari Wajo ke kesultanan Kutai, yang oleh Sultan Kutai diangkat sebagai Sahbandar Samarinda (lihat buku Andaya [2001] dan Hesuma [2004]).
8
6
9
Lihat Magenda (1991:bab II) dan juga Amin ( 1975).
184
7
Keluhan ini dikemukakan misalnya oleh Aji Raden Djokoprawiro (wawancara, Malang, 8 Juli 1979), dan Aji Raden Padmo, mantan Sekwilda Kalimantan Timur (Samarinda, 17 Juni 1979). Menantu AR Padmo, M.Ardans SH kemudian menjadi Gubernur Kalimantan timur, 1988–1998. Setelah beliau meninggal, jandanya Aji Farida Padmo menjadi anggota DPR Pusat dari Partai Demokrat sejak tahun 2004 (lihat Kompas 2005:30). Putri-putri dari kraton Yogya dan Solo banyak yang menikah dengan pria dari kalangan non-priyayi. Untuk tradisi magang ini, lihat Sutherland (1979). Lihat Magenda (1991:bab V).
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005
Praja (OSVIA) Makassar. Beliau kemudian aktif sebagai birokrat provinsi Kalimantan Timur dan fungsionaris PNI. Pada tahun 1960 beliau menjadi walikota Balikpapan. Beliau merupakan pejabat masa Presiden Soekarno yang bisa bertahan di masa Orde Baru dengan ikut aktif dalam Golkar. Pada tahun 1970 beliau menjadi Wakil Gubernur Kalimantan Timur mendampingi Gubernur Brigjen A. Wahab Sjahrani, sampai pensiun tahun 1975. Oleh karena terus aktif dalam Golkar, pada tahun 1977 beliau diangkat menjadi anggota MPR mewakili Kalimantan Timur. Beliau merupakah tokoh keturunan Arab yang paling tinggi jabatan politiknya dari Kalimantan Timur. Keturunan Arab lainnya yang menonjol di Kalimantan Timur adalah keluarga Sayid Baraqbah. Keluarga ini memiliki tiga putra yang semuanya aktif dalam pemerintahan dan politik Kalimantan Timur. Putra tertua adalah Aji Raden Sayid Mochsen Baraqbah yang seperti halnya Aji Raden Sayid Muhammad, dikirim oleh kesultanan Kutai ke sekolah OSVIA di Makassar. OSVIA Makassar memang menerima siswa-siswa dari keluarga kerajaan dan kesultanan di Indonesia Timur, termasuk dari Kalimantan Timur. Namun, Sultan Kutai terahir, Aji Pangeran Parikesit, menempuh pendidikan di OSVIA di Serang, Banten, sedangkan bangsawan-bangsawan dari Bali bersekolah di OSVIA Probolinggo Jawa Timur (misalnya putra mahkota Gianyar, Anak Agung Gde Agung). Sementara itu, OSVIA Magelang mendidik keluarga priyayi dari kesultanan di Yogya dan Solo serta keluarga bupati-bupati di Jawa Tengah (salah satu lulusannya adalah Dr. Selo Soemardjan, tokoh Sosiologi Indonesia). Seperti halnya Aji Raden Sayid Muhammad, Aji Raden Sayid Mochsen Baraqbah juga aktif dalam pemerintahan kesultanan Kutai dan pernah menjadi Kepala Penjawat. Kemudian beliau pindah ke birokrasi provinsi Kalimantan Timur hingga beliau pensiun tahun 1965
Magenda, Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab
dengan jabatan Bupati. Selama masa jabatan Gubernur Wahab Sjahrani, beliau aktif sebagai penasehat Gubernur. Pada masa Orde Baru, beliau meninggalkan dunia politik dan menekuni dunia bisnis perkayuan. Aji Raden Sayid Mochsen Baraqbah memiliki dua adik pria yang aktif dalam politik yakni Aji Raden Gasyim Baraqbah dan Aji Raden Sayid Fachrul Baraqbah. Aji Raden Gasyim Baraqbah aktif dalam kegiatan keagamaan dan organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Beliau kemudian mewakili NU pada DPRD Provinsi Kalimantan Timur selama masa Demokrasi Terpimpin (1959– 1965). Adik yang ke dua adalah Sayid Fachrul Baraqbah, aktif dalam PKI dan tidak memakai gelar kebangsawanannya (Aji Raden). Fachrul Baraqbah berhasil lari dari Kalimantan Timur setelah bergerilya melawan Belanda. Di Jawa Timur, beliau bergabung dengan laskar bersenjata berideologi kiri, Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO) dan kemudian pindah ke markas besar PESINDO di Yogyakarta tahun 1947. Pada tahun 1948, Fachrul Baraqbah aktif dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang kemudian memberontak di Madiun. Akan tetapi, Fachrul Baraqbah berhasil meloloskan diri dari penangkapan Pemerintah. Pada awal 1950 beliau kembali ke Kalimantan Timur dan menjadi pimpinan CDB (Comite Daerah Besar semacam DPD Provinsi) PKI Kaltim di masa Demokrasi Terpimpin. Fachrul Baraqbah kemudian menjadi Pimpinan Front Nasional Kaltim dan dekat dengan Pangdam Mulawarman waktu itu, Bri R. Soeharjo. Sebagai pemimpin PKI Kaltim, Fachrul Baraqbah menguasai massa buruh minyak yang militan di Balikpapan yang kebanyakan menjadi anggota dari afiliasi PKI, Persatuan Buruh Minyak (PERBUM-SOBSI). Setelah gagalnya pemberontakan G-30-S/ PKI dan ditahannya Sayid Fachrul Baraqbah, penulis melihat keterlibatan beliau dalam PKI sebagai hal yang jarang dalam politik keturunan Arab di Indonesia.
185
Pada umumnya keturunan Arab di Indonesia lebih memilih ormas dan partai Islam seperti dicontohkan oleh dua ormas yang besar yakni Djamiatul dan Al Irsyad. Tokoh Partai Arab Indonesia, AR Baswedan yang kemudian menjadi Menteri di jaman Revolusi, memilih partai Islam Masyumi untuk aktivitas politiknya. Memang pendiri Partai Arab Indonesia lainnya, Hamied Algadri, kemudian menjadi pemimpin partai sekuler yang pada awal revolusi dianggap berhaluan kiri, yakni Partai Sosialis, dan kemudian Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang sosial demokrat pada tahun 1950-an. Dalam tradisi keturunan Arab di Kalimantan Timur, peranan Sayid Fachrul Baraqbah di dalam PKI dianggap sebagai suatu kekhususan karena pengalaman Sayid Fachrul Baraqbah sendiri dan di luar ”arus utama politik” keturunan Arab Kaltim pada umumnya yang rata-rata non komunis. Bahkan kendati ideologi sosialisme berkembang pesat di dunia Arab pada jaman Gamal Abdul Nasser dari Mesir dan partai komunis pernah berkuasa di Yaman, keturunan Arab di Asia Tenggara tetap mengikuti tradisi non komunis sampai sekarang. Mungkin satusatunya perkecualian yang mirip pengalaman Sayid Fachrul Baraqbah adalah tokoh Fretilin yang sekarang menjadi Perdana Menteri Timor Leste, Mari Alkatiri. Tokoh ini berlaku tidak selayaknya kalangan bangsawan Arab (sayid) yang dianggap merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW dan memiliki tradisi untuk membawa syiar Islam. Masalah ini akan dibahas lebih lanjut ketika membicarakan peranan keturunan Arab dalam politik nasional di Indonesia pada bagian lebih lanjut dari tulisan ini. Provinsi Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat yang terbentuk tahun 1958 terdiri dari dua pulau yakni pulau Lombok dan pulau Sumbawa. Suku Sasak mendiami pulau Lombok dengan sukusuku minoritas Bali, Jawa, Banjar dan Melayu
186
di kabupaten Lombok Barat dan di kotamadya Mataram. Di pulau Sumbawa hidup etnik Sumbawa dan etnik Bima. Di kedua pulau itu terdapat keturunan Arab sejak abad ke-18 dan ke-19 yang umumnya menjadi pedagang dan penyiar Islam. Perdagangan di pulau Lombok berpusat pada hasil-hasil pertanian, khususnya beras, tembakau dan hasil bumi lainnya, sedangkan di pulau Sumbawa perdagangan berpusat pada produk pertanian, khususnya bawang dan kedelai serta ternak, khususnya kerbau. Dalam perdagangan ternak, pedagang Arab sangat berperan di NTB dan NTT karena berhubungan dengan konsumen di pulau Jawa dan luar negeri. Komunitas keturunan Arab ini dikoordinir oleh Kepala golongan Arab sampai tahun 1950-an di Lombok dan sampai penghapusan kesultanan dan swapraja tahun 1960 di pulau Sumbawa. Pemimpin golongan Arab di pulau Lombok berkedudukan di kota pelabuhan Ampenan, sedangkan di pulau Sumbawa di ibukota tiga kesultanan yakni di Sumbawa Besar, Dompu dan Bima. Di kedua pulau itu penduduk keturunan Arab tidak tinggal eksklusif dalam kampung-kampung yang menyendiri, tetapi bercampur dengan penduduk lain dalam rumah yang saling berdekatan. Walaupun pedagang-pedagang Arab memiliki toko-toko di pasar utama kota kabupaten, mereka tinggal berbaur dengan penduduk lainnya, berbeda halnya dengan pedagang-pedagang Tionghoa yang umumnya tinggal pada rumah toko (ruko). Hal ini terutama disebabkan oleh perlunya kegiatan keagamaan di mesjid-mesjid di kampung dan juga karena seringnya terjadi perkawinan campur orang Arab dengan penduduk lokal. Adanya unsurunsur kegiatan agama Islam bersama, perkawinan campur dan pemukiman yang sama ini membuat keturunan Arab dianggap pribumi dan dibedakan dengan orang-orang peranakan Tionghoa. Intensitas interaksi ini memang meningkat setelah meningkatnya ”kampung-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005
kampung etnik” pada masa kolonial yang semakin mempercepat proses asimilasi.10 Keterlibatan keturunan Arab dalam politik lokal sudah terjadi sejak masa kolonial, misalnya dengan pendirian cabang Partai Arab Indonesia (PAI) di Lombok. Di ketiga kesultanan di pulau Sumbawa, pemuka-pemuka keturunan Arab banyak yang menjadi penasehat informal dari para sultan. Keturunan Arab juga terlibat sebagai penasehat dalam ormas-ormas Islam lokal di Lombok seperti organisasi Nahdhatul Wathan yang didirikan Tuan Guru H.Zainuddin di Pancor Lombok Timur pada pertengahan 1930-an. Salah seorang tokoh keturunan Arab yang memainkan peran politik penting di pulau Lombok setelah kemerdekaan adalah Saleh Sungkar. Kisahnya yang tragis yang dikenal sebagai ”Saleh Sungkar Affauir” merupakan tonggak bagi politik moderen Lombok dan keterlibatan keturunan Arab dalam politik Lombok, dan NTB. Saleh Sungkar dilahirkan di Ampenan, Lombok, tahun 1920 sebagai putra tertua dari keluarga kepala golongan Arab di Lombok. Ia menamatkan sekolah HIS di Mataram, MULO di Solo dan Taman Madya Yogyakarta, tempat ia terlibat dalam gerakan nasionalis selama masa pendudukan Jepang. Setelah proklamsi kemerdekaan Saleh Sungkar aktif dalam kegiatan-kegiatan republik dan kemudian pulang ke Lombok pada akhir tahun 1945. Ia sempat ditahan di Lombok pada tahun 1946 karena aktivitas pro republiknya, tetapi kemudian dibebaskan. Lombok sejak pertengahan 1946 masuk skema Federal dengan pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) yang didukung oleh para bangsawan Sasak. Di sinilah muncul bibit-bibit rivalitas politik antara Saleh Sungkar dengan kelompok 10
Untuk pembatasan keturunan Arab dalam bepergian, lihat Algadri (1996:bab 6). Mengenai ”kampungkampung etnik”, lihat Magenda (1990:14–16).
Magenda, Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab
bangsawan Sasak. Pada tahun 1947, Saleh Sungkar mendirikan organisasi Persatuan Umat Islam Lombok (PUIL) bersama-sama Tuan Guru Haji (TGH) Zainuddin dari Pancor. Pada tahun 1949, Saleh Sungkar dan TGH Zainuddin mendirikan cabang Masyumi di Lombok. Saleh Sungkar menjadi pemimpin organisasi tersebut. Duet mereka merupakan kombinasi yang tepat antara organisatoris yang intelektual dengan kyai populis yang memiliki banyak massa yang tergabung dalam nadhatul wathan (NW) dan PUIL. Pada tahun 1949 Saleh Sungkar terpilih mewakili Lombok dalam Parlemen NKT di Makassar. Di sana beliau memainkan peranan aktif pada pertengahan 1950. Saleh Sungkar terpilih mewakili Parlemen NIT untuk menyampaikan pernyataan bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia langsung kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta. Setelah pembubaran NIT dan terbentuknya kembali negara kesatuan, Saleh Sungkar terpilih sebagai ketua DPRD pulau Lombok dengan Masyumi meraih mayoritas kursi. Masyumi merupakan kekuatan politik yang dominan di Lombok pada saat itu. Di organisasi tersebut bergabung semua tuan guru (kiyai) penting seperti TGH Zainuddin dan TGH Ibrahim dari Lombok Barat. Dengan basis pesantren yang kuat ini, Saleh Sungkar membawa Masyumi Lombok ke arah program populis dan Islami. Dengan kemampuan pidato yang memukau, Saleh Sungkar menjadi tokoh karismatik dan politisi paling populer di Lombok. Lawan-lawan politik dari partai sekuler dan nasionalis berusaha menjatuhkannya di DPRD melalui mosi-mosi tidak percaya, tetapi selalu dikalahkan oleh suara Masyumi yang mayoritas. Popularitasnya semakin kuat sehingga pada awal tahun 1952 beredar usulan masyarakat agar Sungkar menjadi kepala daerah pulau Lombok menggantikan Lalu Durachman yang akan pensiun. Popularitas Masyumi dibawah Saleh Sungkar demikian besar sehingga jika rencana pemilihan umum jadi
187
dilaksanakan, Masyumi akan menang dan Saleh Sungkar akan menjadi kepala daerah Lombok. Pada saat Presiden Soekarno berkunjung ke Lombok awal 1952, beliau disambut spandukspanduk menuntut pelaksanaan syariat Islam dan pendirian Negara Islam. 11 Komitmen Masyumi dan Saleh Sungkar pada pemerintahan yang bersih, mendorong DPRD Pulau Lombok yang dimotori Saleh Sungkar menyelidiki penggunaan dana pasar malam Lombok dan penyelundupan beras dari Lombok ke daerah lain. Kedua kasus ini melibatkan oknum-oknum militer dari Kompi B Batalyon 715 yang bermarkas di Selong, Lombok Timur. Dengan markas di Denpasar, Batalyon 715 baru saja pulang dari operasi penumpasan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon. Karena itu berasal dari wilayah abangan dari Kodam Diponegoro, Komandan Kompi B Kapten Bambang Darmanto dan anak buahnya sangat antipati terhadap separatisme, baik dari RMS maupun DI/TII. Pada saat itu kemudian berkembang isu bahwa Saleh Sungkar dipengaruhi oleh ideologi DI/TII. Hal ini dibantah oleh tokoh-tokoh Masyumi Lombok dan bahkan oleh kalangan TNI sendiri seperti Major Islam Salim yang menilai sikap partai-partai Islam di Lombok tidaklah ekstrim. 12 Dalam situasi yang memanas inilah, Saleh Sungkar dijemput oleh orang yang dikenalnya sehabis menonton bioskop di Mataram tanggal 11 Maret 1952. Ternyata ia diculik dan kemudian dibunuh di suatu tempat 11
Untuk pembahasan ”Saleh Sungkar Affair”, lihat Magenda (1989:349–356). Juga wawancara dengan adik dari Saleh Sungkar, Umar Sungkar, Ampenan, 24 Februari 1978. 12
Wawancara dengan tokoh Masyumi Lombok, Ki Agus Alwi, 6 Maret 1979, juga wawancara dengan Letkol (Purnawiravan) Islam Salim, Jakarta, 5 Agustus 1979. Islam Salim adalah putra tertua pahlawan nasional H. Agus Salim. Beliau pensiun dini dari Angkatan Darat dan terjun ke dunia bisnis.
188
di Lombok Timur. Tubuhnya ditemukan dua bulan kemudian, tetapi kepalanya tidak pernah ditemukan. Pada saat Wakil Presiden Mohammad Hatta berkunjung ke Lombok untuk menenangkan massa, beliau disambut oleh spanduk besar bertuliskan: ”Kami ingin kepala yang hilang”. Dalam pemeriksaan, terbukti bahwa otak pembunuhan adalah Kapten Bambang Darmanto, Komandan Kompi B Batalyon 715 di Selong. Tiga anak buah beliau menjadi pelaku-pelaku pembunuhan, yakni Sersan Eddy Suwarno, Sersan Irfan dan Sersan Hasyira Tanaya. Keempatnya diperiksa dan ditahan di Denpasar, tetapi tidak pernah diteruskan ke pengadilan tentara. Mereka kemudian diberhentikan secara diam-diam dari dinas militer. Oleh karena tidak pernah diadili secara terbuka, motif pembunuhan tersebut tidak pernah terungkap. Namun, politisi Lombok seperti Ki Agus Alwi yang menggantikan Saleh Sungkar sebagai Ketua Masyumi dan Ketua DPRD Pulau Lombok menunjuk Kapten Bambang Darmanto sebagai otak utama. Motifnya bersifat pribadi dan ideologis. Secara pribadi, Kapten Bambang Darmanto merasa sakit hati karena penyelidikan DPRD pulau Lombok terhadap penyalahgunaan dana pasar malam dan penyelundupan beras yang melibatkan dirinya. Secara ideologis, Kapten Bambang Darmanto terpengaruh oleh isu-isu (yang ternyata tidak benar) tentang rencana pendirian Negara Islam di Lombok dengan duet kepemimpinan Saleh Sungkar di eksekutif dan TGH Zainuddin di Syuriah. Beliau masih trauma dan antipati terhadap ideologi separatisme karena baru kembali dari tugas penumpasan RMS di Maluku. Dalam tugas tersebut Batalyon 715 kehilangan komandannya, Letnan Kolonel Sudiarto, yang gugur seperti juga halnya perwira Diponegoro terkenal lainnya, Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Oleh karena markas Kompi B di Selong tidak jauh dari pusat
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005
Nahdhatul Wathan di Pancor, Kapten Bambang Darmanto dianggap sangat terpengaruh oleh dukungan massa Islam kepada Saleh Sungkar. Beberapa tokoh partai Islam yang diwawancara penulis menyatakan bahwa Kapten Bambang Darmanto kemungkinan dipengaruhi ideologi kiri, khususnya komunis, terutama setelah banyaknya perwira Diponegoro yang terlibat dalam usaha pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965, misalnya Letkol Untung, Kolonel Abdul Latief dan Kolonel Suherman.13 Pendapat ini sulit dibuktikan karena pada tahun 1965 Kapten Bambang Darmanto sudah tidak berdinas di TNI Angkatan Darat lagi. Beberapa politisi Lombok, khususnya dari PNI seperti Lalu Wiradharma alias Mamiq Fadellah dan R.Sumantri Wirokusmo menuduh otak pembunuhan adalah Komandan Pasukan C Nusa Tenggara di Denpasar yang secara khusus dibantah oleh Mayor Islam Salim. Walaupun tidak lagi di Denpasar dan sudah pindah ke Markas Be sar AD pada saat pembunuhan Saleh Sungkar, Major Islam Salim tetap dalam jabatan mengikuti perkembangan Nusa Tenggara. Menurut Major Islam Salim, Saleh Sungkar adalah pejuang Republik dan secara moderat melunakkan militansi umat Islam di Lombok. Komandan Pasukan C Nusa Tenggara adalah Mayor Ibnu Soebroto, yang karirnya terus naik sampai pensiun sebagai Mayor Jenderal. Mayor Ibnu Soebroto memainkan peran penting sebagai Kepala Pusat Penerangan TNI pada masa-masa krisis tahun 1965–1967. Kepala Staf Pasukan C adalah Mayor Suwito Harjoko yang karirnya juga terus naik sampai Mayor Jenderal dan pernah menjadi Pangdam Sriwijaya di Palembang. Tugas intelijen dan keamanan ada 13
Wawancara dengan tokoh PNI Lombok, Mamiq Fadellah R. Sumantri Wirokusumo, Mataram, 6 Maret 1979. Mengenai keterlibatan perwira-perwira Diponegoro dalam G-30-S/PKI, lihat Notosusanto dan Saleh (1968).
Magenda, Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab
dibawah komsando Kapten Piet Ngantung yang kemudian pensiun sebagai Mayor Jenderal dan pernah menjadi Deputi Gubernur Lemhanas. Dengan mendengar penjelasan Mayor Islam Salim dan karir yang terus meningkat dari tiga perwira utama Pasukan C di Denpasar, maka tuduhan tokoh-tokoh PNI Lombok itu tidak memiliki dasar yang kuat. Selain ditujukan kepada oknum militer di bawah Kapten Bambang Darmanto, pihak militer di Denpasar juga mencurigai kalangan bangsawan Sasak. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa yang menjemput Saleh Sungkar di bioskop Mataram adalah supir dari Mamiq Fadellah. Pimpinan militer Nusa Tenggara di Denpasar menuduh adanya konspirasi para bangsawan Sasak karena kekhawatiran bahwa Saleh Sungkar akan segera terpilih sebagai Kepala Daerah pulau Lombok menggantikan Lalu Durachman. Oleh karena tuduhan ini tujuh orang bangsawan Sasak ditahan selama setahun di Singaraja dan di Bali. Di antara ketujuh bangsawan ini terdapat Lalu Durachman, kepala daerah pulau Lombok yang kemudian meninggal dunia dalam tahanan pada tahun 1953. Tokoh lain yang ditahan adalah Mamiq Fadellah yang dituduh menyuruh supirnya menjemput Saleh Sungkar. Mamiq Fadellah menolak keterlibatannya dan mengatakan bahwa supirnya justru merupakan anggota komplotan oknum militer Kapten Bambang Darmanto. Tokoh bangsawan lainnya yang ditahan adalah Lalu Ridwansjah alias Mamiq Adam (kepala pemerintahan Lombok Barat) dan Lalu Serinata, mantan anggota parlemen NIT dan kepala pemerintahan Lombok Timur. 1 4 Seperti halnya Mamiq Fadellah, bangsawan Sasak lainnya menolak tuduhan pihak militer di Denpasar dan menunjukkan bukti-bukti bahwa pelakunya 14
Wawancara dengan Mamiq Fadellah, Mataram, 6 Maret 1979.
189
adalah komplotan Kapten Bambang Darmanto. Memang di kalangan etnik Sasak, kalangan bangsawan dianggap memiliki ”hati nurani”, terutama karena membebaskan rakyat Sasak dari penjajahan raja Karangasem dari Bali, walaupun dengan bantuan pasukan kolonial belanda. Jadi, pada hakekatnya, bangsawan sasak meminta bantuan Belanda untuk mengakhiri penjajahan kerajaan Karangasem di Lombok, dalam Perang Lombok yang terkenal itu. Pada saat itu, pasukan Karangasem dapat dikalahkan dengan mudah karena menghadapi serangan kolonial Belanda dari barat dan pasukan Sasak dibawah pimpinan para bangsawan dari timur. 15 Dalam historigrafi nasional, pasukan Karangasem Bali dianggap pahlawan karen a melawan kekuasaan kolonial yang melakukan penetrasi politik militer. Sebaliknya, dalam ingatan kolektif rakyat Sasak, pasukan Belanda dianggap membantu mereka membebaskan diri dari penjajahan Bali. Dalam hubungan ini, bangsawan-bangsawan Sasak dianggap sebagai ”pahlawan” untuk rakyat Sasak. Perlu diingat bahwa pada masa ini, pesantrenpesantren lokal di bawah tuan guru belum berdiri di Lombok dan peran tuan guru baru menonjol setelah berdirinya Nadhatul Wathan di Pacor pada tahun 1936 terutama setelah dekade 1950-an. Ini berbeda dengan pesantren di Sumatera Barat yang sudah ada pada masa perang Padri maupun di Jawa Timur yang sudah ada pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Seiring dengan memberatnya beban yang dipikul rakyat Sasak dari pemerintahan kolonial Belanda, pengaruh bangsawan Sasak mulai berkurang dan kesetiaan rakyat Sasak mulai beralih kepada tuan guru-tuan guru yang kritis 15
Untuk sejarah Lombok, lihat Watjana (1978). Buku standar tentang Lombok adalah Lombok: Conquest, Colonization and Under Development, 1870–1940 (van der Kraan l980).
190
terhadap kekuasaan Belanda. Dalam perjuangan, TGH Zainuddin misalnya, berada di pihak republik. Adik beliau, H. Faisal gugur dalam serangan gerilya ke pos Belanda di Selong. Peristiwa ini menguatkan hubungan TGH Zainuddin dengan Saleh Sungkar karena sama-sama kaum republik dan tergabung dalam PUIL dan Masyumi. Oleh karena itu, dari awal berdirinya kelompok tuan guru dianggap sebagai lawan politik bangsawan Sasak. Kondisi ini berbeda halnya dengan pendirian pesantren-pesantren di Jawa yang justru banyak dipelopori kaum bangsawan seperti sejarah KH Hasyim Ashary di Jombang.16 Sejak menguatnya pengaruh tuan guru, kompetisi untuk memperoleh dukungan rakyat Sasak terus berlangsung dan karena itu rencana Saleh Sungkar untuk menjadi kepala daerah pulau Lombok merupakan ancaman terhadap do minasi kaum bangsawan Sasak dalam pemerintahan dan birokrasi. Oleh karena tidak terbukti terlibat dalam pembunuhan Saleh Sungkar, kaum bangsawan Sasak berhasil menempatkan kalangannya yakni Lalu Achmad alias Mamiq Ripaah sebagai kepala daerah pulau Lombok yang baru menggantikan Lalu Durachman. Pemilihan Mamiq Ripaah ini dilakukan karena beliau adalah tokoh Masyumi juga. Mamiq Ripaah menjadi kepala daerah Lombok sampai terbentuknya provinsi baru NTB tahun 1958. Sebenarnya, beliau terpilih oleh DPRD provinsi menjadi gubernur pertama NTB. Namun, pemerintah pusat mengangkat bangsawan Madura yang pamong praja karier, Ruslan Tjakraningrat sebagai gubernur pertama NTB. Tentu saja, hal ini sangat mengecewakan para bangsawan Sasak, tetapi etnik Sasak pertama yang menjadi gubernur NTB tahun 2003 adalah dari kalangan bangsawan Sasak, Lalu Serinata yang juga keponakan Mamiq 16
Mengenai sejarah dan peranan Nahdhatul Ulama, lihat Feillard (1999:bab I).
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005
Ripaah. Kalangan bangsawan masih tetap unggul dalam pemilihan bupati dan gubernur, sebab kalangan tuan guru, khususnya Nadhatul Wathan belum berhasil menempatkan keluarganya menduduki jabatan bupati. Kendatipun demikian, Nadhatul Wathan berhasil menempatkan dua cucu TGH Zainuddin sebagai anggota DPR pusat dari partai Bulan Bintang dan partai Bintang Reformasi serta dua dari empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari NTB.17 Tampaknya persaingan kelompok utama rakyat Sasak ini akan sangat menentukan calon gubernur Pilkada pertama NTB tahun 2008 nanti. Meskipun ada persaingan memperebutkan jabatan kepala daerah pulau Lombok, dan dominannya kalangan bangsawan dalam jabatan-jabatan pemerintahan di daerah Lombok maupun provinsi NTB, tetaplah tidak ada bukti keterlibatan mereka dalam pembunuhan Saleh Sungkar. Bahkan, ada tuduhan dari kalangan bangsawan bahwa penahanan tujuh tokoh bangsawan Sasak terkemuka di Bali merupakan usaha pimpinan militer di Denpasar untuk mengalihkan kesalahan kepada kalangan bangsawan Sasak. Mereka tetap menuduh bahwa pelaku pembunuhan adalah oknum militer Kompi B Batalyon 715. Hal tersebut dilakukan untuk menjatuhkan nama kalangan 17
Pernah ada calon Gubernur ”putra daerah” dalam pemilihan Gubernur NTB tahun 1968, yakni Abdurachim, tetapi gagal. Pemilihan dimenangkan oleh perwira TNI AD yakni Brigjen R.Wasita Kusumah. Menantu TGH Zainuddin, Lalu Gde Wiresentane pernah mencalonkan diri sebagai Bupati Lombok Tengah tahun l978, tetapi tidak berhasil. Kedua cucu TGH Zainuddin yang menjadi anggota DPR Pusat adalah Lalu Gede Syamsul Mudjahiddin (putra Lalu Gde Wiresentane dengan putri TGH Zainuddin, Ha-jah Raihanun) mewakili Partai Bintang Reformasi dan TGH Muhammad Zainul Majdi MAA (putra dari putri TGH Zainuddin lainnya,Hajjah Rauhun) mewakili Partai BuIan Bintang. Dua dari 4 anggota DPD mewakili NTB adalah aktivis Nadhatul Wathan juga yakni Syahdan Ilyas dan Muyi Abidin.
Magenda, Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab
bangsawan dan membersihkan keterlibatan oknum militer. Menurut kaum bangsawan, dideponirnya kasus Kapten Bambang Darmanto dan kawan-kawan atas perintah langsung dari Mabes TNI AD Jakarta telah memperkuat dugaan tersebut. Dampak dari pembunuhan Saleh Sungkar adalah kurang berminatnya lagi keturunan Arab di Lombok untuk terlibat dalam politik lokal. Mereka membatasi kegiatannya dalam bidang dakwah, pendidikan dan perdagangan, terutama di kota-kota Ampenan, Pancor dan Masbagik. Setelah pembentukan provinsi NTB, peran politik banyak dilakukan keturunan Arab dari pulau Sumbawa yang tidak terpengaruh trauma pembunuhan Saleh Sungkar. Dua dari tokoh keturunan Arab dari pulau Sumbawa adalah Bil’id Mochsen Almusalli dan Muchsin Bafadal. Tokoh yang pertama, Bil’id MsA adalah putra dari kepala golongan Arab di Dompu, Mochsen Almusalli yang menjadi anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH) semacam penasehat gubernur di tahun 1960an dan sepanjang tahun 1970. Beliau aktif dalam partai Nahdhatul Ulama dan sampai sekarang masih aktif dalam kegiatan NU walaupun jabatan BPH dihapuskan akhir tahun 1970-an. Tokoh ke dua adalah Muchsin Bafadal yang menjadi anggota DPR pusat mewakili Partai Persatuan Pembangunan dari unsur Muslimin Indonesia. Muchsin Bafadal berasal dari kabupaten Sumbawa tetapi memiliki jaringan keluarga yang luas di Lombok. Beliau menjadi anggota DPR sejak akhir 1980-an sampai saatsaat awal Reformasi. Setelah beliau meninggal dunia, kegiatan politiknya diwariskan kepada putranya yang menjadi calon anggota DPR dari PPP juga pada tahun 2004, tetapi belum berhasil. Selain kedua tokoh di atas, keturunan Arab dari pulau Sumbawa juga banyak terwakili dalam DPRD Provinsi dan kabupatenkabupaten di pulau Sumbawa. Mereka mewakili berbagai partai politik, terutama partai-partai
191
Islam dan juga partai lain seperti Golongan Karya. Para politisi keturunan Arab ini seperti keturunan Arab lainnya hidup dalam lingkungan yang sama dengan penduduk asli. Banyak di antaranya yang menikah dengan wanita-wanita asli, sehingga dianggap sebagai bagian dari penduduk asli. Di NTB tidak pernah terjadi insiden etnik dengan keturunan Arab seperti yang terjadi di pulau Jawa, kecuali pembunuhan Saleh Sungkar yang dilakukan oleh oknumoknum TNI AD dari luar NTB.18
Epilog dan kesimpulan Perkembangan dalam politik lokal di provinsi Kalimantan Timur dan NTB adalah dua contoh saja dari proses-proses yang juga terjadi di provinsi lainnya, baik di pulau Jawa maupun di luar Jawa. Kasus-kasus keluarga Baraqbah di Kalimantan Timur serta Saleh Sungkar dan Muchsin Bafadal di NTB bukan merupakan ”isolated cases” tetapi fenomena umum di Asia Tenggara dan Indonesia khususnya. Di Sulawesi Tengah, Habib Aldjufri mendirikan Perguruan Al Cha irat yang mencakup berbagai etnik dan sudah menyebar ke berbagai provinsi di Indonesia Timur, terutama di Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku dan Maluku Utara. Pengaruhnya dalam politik lokal dan regional cukup besar dan merupakan kekuatan moderat dalam mencegah meluasnya konflik agama di Poso. Salah seorang pimpinannya, Fadel Muhammad, sekarang menjadi gubernur Gorontalo. Tokoh lainnya yang keturunan Arab dari Sulawesi Utara, Zain Bajeber, cukup lama menjadi anggota DPR mewakili PPP. Di Maluku Utara dan Maluku, keturunan Arab sudah terasimilasi ke dalam kesultanan lokal seperti 18
Insiden etnik dengan keturunan Arab jarang terjadi di Indonesia. Insiden kecil dan tidak berarti pernah terjadi di Solo karena kesalahpahaman dan dilakukan oleh wong cilik, yakni tukang becak pada tahun 1980an akhir.
192
di Kutai Siak Tarapura, Pontianak dan Malaysia, seperti dicontohkan oleh Des Alwi dari kepulauan Banda dan Iqbal Assegaf dari Maluku Utara. Di Sumatera Barat dan Riau, asimilasi ini mendekati totalitasnya, suatu gejala cukup umum di Asia Tenggara. Sultan terakhir Siak Indrapura Syarif Kassim adalah keturunan Arab berfamili Shahab yang bersedia mengungsi dan hidup sederhana serta menjual harta bendanya seperti emas untuk kepentingan perjuangan republik di jaman Revolusi di provinsi Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu dan Lampung. Peranan keturunan Arab juga cukup besar dalam politik lokal. Di Aceh, asimilasi juga sudah total, sehingga sulit dibedakan dengan penduduk asli, apalagi jika tidak menggunakan nama keluarga. Ketua DPRD provinsi Nanggro Aceh Darussalam sekarang adalah keturunan Arab, Sayid Fuad Zakaria yang juga Ketua Golkar Aceh. Dalam pemilihan langsung gubernur Riau Kepulauan yang terpilih adalah Ismet Abdullah yang merupakan keturunan Arab sedangkan istrinya, Aida Ismeth Nasution, terpilih sebagai anggota DPD. Totalitas asimilasinya membuat Gubernur Ismeth tidak pernah diributkan latar belakangnya, meskipun isu “putra daerah” cukup hangat di provinsi Riau daratan tersebut.19 Kepemimpinannya dalam Otorita Batam selama bertahun-tahun, membuatnya sudah dianggap sebagai putra daerah. Ayahanda istrinya, SM Amin, adalah pendiri dan gubernur pertama provinsi Riau. 19
Mengenai isu ”putra daerah”, lihat Magenda (1990). Pengertian ”putra daerah” termasuk mereka yang bukan etnik asli daerah itu,tetapi sudah lama tinggal dan bertugas di daerah itu. Ada juga pengertian putra daerah yang sempit seperti didefinisikan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam pilkada Gubernur tahun 2006 ini yang mensyaratkan ”harus berwajah Melanesia”, hal mana bertentangan dengan konsep kewarganegaraan dari UUD 1945. Akibat persyaratan ini,.seorang calon Wakil Gubernur keturunan Arab yang lahir dan besar di Papua ditolak oleh MRP.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005
Jika wilayah luar Jawa bisa dikatakan sebagai wilayah “kebudayaan Melayu” dengan ciri umum di daerah kesultanannya, yakni Islam sebagai agama kerajaan, hal serupa memang berlaku untuk beberapa daerah di pulau Jawa. Di provinsi DKI Jakarta misalnya, beberapa ilmuwan seperti Yasmine Shahab melihat ciri utama penduduk asli Betawi pada penghayatan agama Islam. 2 0 Demikian juga penduduk provinsi Banten, yang tradisi Islamnya sudah sejak kesultanan Banten yang kemudian juga menyebar ke Sunda Kelapa sebagai cikal bakal etnik Betawi. Dengan komitmen pada penghayatan dan identitas Islam ini, Arab Betawi terutama dari kalangan Sayid memainkan peranan keagamaan dan politik yang penting. Keluarga Habib Alhabsyi di Kwitang sudah tiga generasi mengadakan tabligh mingguan. Peran serupa dilakukan Habib Aldjufri di Condet dan Habib Alhadad di Cilincing. Dakwah Islam ini bergandengan dengan ulama-ulama etnik Betawi seperti KH Abdul lah Syafei (pendiri perguruan As Syafiiah) dan KH Tohir, pendiri pesantren At Tahiriyah di Jatinegara. Politisipolitisi keturunan Arab cukup banyak dan menyebar terutama di partai-partai Islam seperti Abdu1lah Salim Basalamah ketua DPRD hasil pemilu 1955 dari Masyumi dan sekarang Djafar Badjeber, tokoh PPP yang kemudian menjadi sekjen partai Bintang Reformasi dan pernah menjadi pimpinan DPRD provinsi Jakarta. Identitas Islam juga cukup kuat di provinsi Jawa Barat. Banyak pesantren didirikan di wilayah Priangan Timur (Tasikmalaya-GarutCiamis), Sukabumi dan Bogor. Bahkan di jalur pantai utara yang pengaruh budaya Jawanya cukup kuat seperti di Cirebon, Indramayu dan Karawang, identitas Islam tetaplah terasa. Di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta dihuni oleh etnik Jawa yang 20
Lihat Shahab (2000), dan lihat persamaan dengan Malaysia dalam Kessler (1975).
Magenda, Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab
merupakan basis dan benteng dari peradaban Jawa. Peradaban Jawa merupakan bagian dari peradaban besar Asia seperti peradaban Tionghoa dan India ataupun peradaban Persia dan Arab di Timur Tengah. Peradaban Tionghoa misalnya mempengaruhi Jepang, Korea dan Vietnam serta mampu menangkal meluasnya agama Kristen dan Islam di daratan Cina. Intelektual Islam, Abdurachman Wahid, menulis tentang proses “Arabisasi” Timur Tengah dari peradaban dan etnik-etnik lama seperti Punisia dan Palestina selama berabad-abad. Peradaban Jawa dianggap mampu menyerap dan “men-Jawakan” segala pengaruh dari luar seperti Cina, Kristen, Islam, Arab dan bahkan komunis , yang oleh ilmuwan Amerika, Donald Hindley disebut sebagai “proses domestikasi” 21 budaya dan ideologi luar. Dalam kasus keturunan Arab, proses domestikasi dan asimilasi relatif berhasil terutama karena kesamaan agama Islam dan peranan keturunan Arab sebagai penyebar Islam. Walaupun pemerintah kolonial Belanda berusaha memisahkan dengan kategori sosial dan pemisahan pemukiman, hal ini tidaklah efektif. Terjalinnya terus komunikasi khususnya di masjid dan pasar, serta sering terjadinya perkawinan campur menyebabkan ”kampung Arab” di banyak kota sudah berbaur dengan perumahan penduduk asli.22 Demikian pula pemikiran-pemikiran Islam yang datang dari Timur Tengah bermacam-macam dan di Timur Tengah tidak pernah ada satu ”nation state” yang kuat yang bisa memperoleh loyalitas dari keturunan Arab. Bahkan sampai ahir Perang Dunia I, sebagian besar wilayah Arab ada di bawah kekuasaan dinasti Usmaniyah (Ottoman Empire) dari Turki. Dengan demikian, loyalitas 21
Istilah ”domestikasi” ditulis Hindley dalam American Political Science Review (1962). Lihat juga bukunya tentang PKI (Hindley 1964). Mengenai penJawa-an Islam lihat Madjid (1994). 22
Satu studi yang baik tentang integrasi Kampung Arab dengan penduduk sekitarnya, lihat Patji (1982).
193
keturunan Arab hanyalah kepada negara-negara yang didiaminya di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Tidak mengherankan jika banyak tokoh-tokoh keturunan Arab menjadi pelopor gerakan nasional seperti di Malaysia, maupun di Indonesia, seperti ditunjukkan oleh pendirian Partai Arab Indonesia.23 Perkembangan dan kondisi keturunan Arab ini berbeda dengan keturunan Tionghoa. Hal ini disebabkan baik karena perbedaan jumlah migran, besar pemukiman (Pecinan), sifat hubungan dengan negeri asal, tingkat asimilasi sosial politik maupun persaingan peradaban Cina dengan peradaban Melayu dan Jawa. Dalam jumlah migran misalnya, karena letaknya yang dekat, migran Tionghoa relatif banyak terutama pada awal abad ke-20. Walaupun dibatasi setelah pembantaian oleh Belanda di Batavia tahun 1740, tetapi migran Tionghoa bertambah dengan cepat, sehingga merupakan mayoritas di banyak kota besar di Indonesia pada sensus 1930, seperti di Medan. Wanitawanita juga ikut serta sehingga perkawinan campur dengan pribumi agak jarang. Restriksi yang ketat dari pemerintahan kolonial membuat kontak dan komunikasi tidak sesering dengan keturunan Arab. Walaupun sudah ada dikotomi antara peranakan dengan ”totok”, namun komunikasi sosial makin intensif setelah kemerdekaan.24 Dengan memudarnya kampungkampung etnik, khususnya Pecinan setelah kemerdekaan, hubungan-hubungan sosial menjadi menguat. Terjadinya Revolusi Cina 1911 menyebarluaskan nasionalisme Cina di kalangan ”overseas Chinese”. Akan tetapi, keturunan Tionghoa, khususnya peranakan di 23
Salah seorang pendiri Partai UMNO di Malaysia adalah Sayid Albar yang putranya sekarang menjadi Menteri Luar negeri Malaysia. Mengenai migrasi keturunan Tionghoa, lihat misalnya Wang Gungwu (2001).
bawah Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia, seperti halnya keturunan Arab mendirikan PAI. Namun, asimilasi politik melalui partai-partai politik nasional ini menjadi tidak efektif dengan kekuasaan hampir monopoli dari BAPERKI atas keturunan Tionghoa. Kecenderungan pro-komunis dari Ketua Baperki, Siauw Giok Tjhan membawa organisasi tersebut dan keturunan Tionghoa umumnya pada suatu krisis pasca 1965 meskipun pada masa itu sudah ada yang menyatakan sikap oposisinya seperti Mr. Yap Thiam Hien yang keluar dari Baperki dan kelompok LPKB dari Sindhunata dan kawan-kawan.25 Ini berbeda dengan keturunan Arab yang setelah dibubarkannya Partai Arab Indonesia terus bergabung dengan partai-partai nasional. Kesulitan asimilasi lainnya adalah adanya sekolah Tionghoa yang kurikulumnya eksklusif. Setelah dihapuskannya sekolah-sekolah Tionghoa sejak 1966, asimilasi bisa berjalan lebih lancar karena generasi muda peranakan Tionghoa belajar di sekolah dengan kurikulum nasional. Sekolah-sekolah yang dikelola keturunan Arab seperti Djamiatul Chaer dan Al Irsyad sejak awal menggunakan kurikulum yang sesuai dengan kurikulum Pemerintah. Dengan kebijakan-kebijakan baru sejak Orde Baru, generasi muda peranakan Tionghoa tidak lagi memiliki multiple loyalties ataupun “divided loyalties”, tetapi sudah seperti cita-cita Partai Tionghoa Indonesia tahun 1930-an. Berbeda dengan keturunan Arab yang beragama sama dengan mayoritas pribumi, yaitu Islam, keturunan Tionghoa masih terpecah dalam berbagai agama yakni Budha, Kristen, Kong Hu Cu dan Islam. Pemeluk Islam pun tidaklah banyak, yakni kurang dari 100.000 orang dari sekitar tiga (3) juta keturunan Tionghoa. Ini 25
24
Untuk perbandingan, lihat buku tentang migran di Amerika Serikat oleh Rumbaut dan Portes (2001).
194
Untuk studi tentang keturunan Tionghoa lihat misalnya Suryadinata (2002).
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005
berhubungan dengan kuatnya resistensi peradaban Tionghoa terhadap pengaruh luar. Kondisi ini juga terjadi pada migran Tionghoa di Malaysia dan Singapura. Hal ini berbeda dengan keturunan Tionghoa di Muangthai yang memeluk agama Budha Theravada dan di Amerika Serikat yang memeluk agama Kristen.26 Dengan memahami kondisi-kondisi yang berbeda ini, dapat dipahami lebih jelas peranan politik keturunan Arab dengan segala aspeknya dalam kerangka integrasi nasional yang makin kuat, dan perbandingannya dengan peranakan tionghoa.
26
Untuk perbandingan di Amerika Serikat, lihat Chang (2003).
Magenda, Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab
195
Referensi Algadri, H. 1996 Islam dan Keturunan Arab. Bandung: Mizan. Amin, A. 1975 Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai. Kutai: Pemda Kutai Tenggarong. Andaya, B.W. dan L. Andaya 2001 A History of Malaysia. London: Palgrave. Chang, I. 2003 The Chinese in America: A Narratives History. USA: Viking. Feillard, A. 1999 NU vis-a-vis Negara. Yogyakarta: LKiS. Hesuma, A. 2004 Migrasi dan Orang Bugis. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hindley, D. 1962 “President Soekarno and the Communists: The Politics of Domestication,” American Political Science Review 56(4):915–926. 1964 The Communist Party of Indonesia 1951-1963. Berkeley: University of California Press. Kessler, C. 1975 Islam and Religion in a Malay State. New York: Cornell University Press. Kompas 2005
DPR dan DPD. Hlm. 30.
van der Kraan, A. 1980 Lombok: Conquest, Colonization and Under Development, 1870–1940. Singapura: Heinemann Book. Magenda, B.J. 1989 The Surviving Aristocracy in Indonesia: Politics in Three Provinces of the Outer Islands. Disertasi doktoral. Tidak dipublikasikan. New York: Cornell University. 1990 “Perubahan dan Kesinambungan dalam Pembelahan Masyarakat Indonesia”, Prisma (20)4:14–16. 1991 East Kalimantan The Decline of A Commercial Aristocracy. New York: Cornell Modern Indonesia Project. Madjid, N. 1994 “Islamic Roots of Modern Pluralism”, Studia Islamika 1(1):55–77. Notosusanto, N. dan I. Saleh 1968 The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia. Jakarta: Pembimbing Masa.
196
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005
Patji, A. 1982
Keturunan Arab di Kampung Ampel Surabaya. Surabaya: Universitas Airlangga.
Rumbaut, R.G. dan A. Portes (peny.) 2001 Ethnicities: Children of Immigrants in America. Berkeley, CA: University of California Press. Shahab, Y.Z. 2000 “Aristocratic Betawi: A Challenge to Outsiders’ Perceptions”, dalam K. Grijns dan PJM. Naas (peny.) Jakarta: Socio Cultural Essays. Leiden: KITLV Press. Soeharjo 1995 Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Praja. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sutherland, H. 1979 The Making of Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the Javanese Priyayi. Singapore: Heinemann. Suryadinata, L. 2002 Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: LP3ES. Trocki, C.A. 1979 Prince of Pirates: The Temenggongs and the Development of Johor and Singapore, 1784-1885. Singapura: Singapore University Press. Warren, J. 1975 Trade, Raid, Slave: The Socio Economic Patterns of the Sulu Zone: 1770–1898. Disertasi doktoral. Tidak dipublikasikan. Canberra: Australian National University. Watjana, L. 1978 Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Mataram: Departemen P dan K. Wang Gungwu 2001 Migration and the Chinese. Singapura: Times Academic Press.
Magenda, Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab
197