TOR / Kerangka Acuan Seminar Internasional Ke 13 DINAMIKA POLITIK LOKAL DI INDONESIA: “Kewargaan Subnasional dan Cita-cita Negara Bangsa dalam Dinamika dan Perspektif Lokal”
1. Pengantar: Perumusan Cita-cita Negara RI dan Realitas Problematis Di Indonesia, hubungan warganegara dan negara tidak pernah menjadi pembicaraan publik yang serius. Ada semacam asumsi yang berkembang dalam wacana publik, bahwa negara dengan sendirinya akan mengurus warganegaranya. Moral konstitusi negara juga didasari anggapan para perumusnya yang menganggap bahwa tidak selayaknya negara dipertanyakan komitmennya untuk mengurus kesejahteraan warganya. Kewargaan dan keindonesiaan dalam perspektif hukum kenegaraan yang dibingkai dalam konstitusi adalah dokumen kontrak politik tertinggi dalam suatu negara; UUD Negara RI 1945 pasca amandemen telah menegaskan jaminan hak-hak dasar warga negara dalam pengaturan mengenai hakhak asasi manusia. Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD Negara RI 1945 telah memberikan jaminan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia sebagai sintesis dari diskursus seputar kedaulatan negara dan penguatan upaya perlindungan hak-hak asasi manusia. Itulah antara lain perumusan cita-cita negara-bangsa RI dan janji kemerdekaan sebagai jembatan emas bagi sebuah masyarakat yang adil dan makmur. Perjalanan bangsa Indonesia dalam berdemokrasi ternyata bermuara pada pengelolaan kepentingan publik namun wadahnya tidak selalu birokrasi pemerintah, dan cakupannya biasanya lebih sempit dari wilayah kekuasaan negara. Selain itu, basis pengelolaan kepentingan publik itupun bukan penjaminan hak sebagaimana diasumsikan kalangan liberal. Dalam banyak kasus, kepentingan publik digalang melalui pengelolaan ikatan primordial. Loyalitas primordial dalam banyak jenis kekerabatan, etnis, agama, dan budaya – misalnya sangat penting dalam menentukan politik di tingkat daerah. Di sini kita bisa menelaah wajah positifnya primordialisme sebagai medium mengekspresikan kepentingan individual warga negara, dan di sisi lain bisa kita tengarai sebagai bentuk pengelolaan kepentingan publik berskala subnasional. Yang menarik: pembahasan perihal tersebut biasanya tidak dikait-kaitkan dengan demokrasi, karena pelembagaannya tidak digerakkan sentimen hak (sebagaimana diromantisir oleh kubu liberal), dan di luar kehirauan oleh kubu non-liberal (yang relatif otonom karena bersatus swasta). Dalam kenyataannya, dapat disaksikan berbagai realitas problematik. Perlindungan hak-hak asasi manusia menurut konstitusi dalam dinamika ketatanegaraan ternyata belum sebangun dengan implementasi dan kontekstualisasi konstitusi dalam praksis kehidupan sosial. Pelanggaran hak-hak dasar warga negara masih saja terjadi secara masif dan terkesan ada pembiaran oleh negara. Khususnya proses perkembangan demokrasi di Indonesia masih berhadapan dengan bahkan terancam oleh totalitarianisme ataupun otoritarianisme yang terkesan masuk akal karena mengatasnamakan kepentingan publik, dan liarnya egoisme individual atas nama kebebasan, efisiensi, produktivitas, dan sebagainya. Sementara dari sisi ini, tatanan politik yang kita sebut demokrasi pada dasarnya adalah rentan manipulasi dari kedua arah, dan proses demokratisasi yang kita arungi seakan tak bertepi. Kita mengagungkan istilah ‘kedaulatan rakyat’, namun yang kita dapati adalah ‘kedaulatan negara’; dalam nama demokrasi itulah para pejabat negara senantiasa mengatasnamakan rakyat. Sentralitas negara, dalam rumusan konstitusi maupun dalam wacana politik kita, memang telah memposisikan warganegara/rakyat sebagai sekedar obyek dan bukan subyek politik yang diharapkan memainkan peran aktif dalam arena-arena yang bersifat publik. Tidak mengherankan jika berbagai hal
1
yang bersifat publik dalam Republik Indonesia seolah-olah sepenuhnya hanya menjadi urusan negara dan sama sekali tidak memerlukan peran warganegara/rakyat. Wacana dan praksis politik semacam ini telah berlangsung lama, bahkan setelah lebih dari satu dekade terakhir ini prosedur demokrasi telah dijalankan dengan biaya publik yang sangat besar. Prosedur demokrasi yang telah menghadirkan secara hampir-hampir tuntas apa yang disebut sebagai representative democracy, terbukti menghasilkan para anggota parlemen yang ternyata hanya memikirkan kepentingannya sendiri, atau paling luas, kelompok kecilnya sendiri-sendiri. Demokrasi yang tidak mungkin ada tanpa warganegara/rakyat yang memiliki hak pilih politik yang bersifat individual (one man one vote), terbukti hanya memerlukan warganegara/rakyat pada saat pemungutan suara (pemilu, pilkada) saja, sebagai bagian dari prosedur electoral democracy. Warganegara/rakyat dengan hak-hak politiknya sebagai konstituen politik dalam realitas politik hari ini tetap tersudut dalam hubungan-hubungan kekuasaan yang oleh beberapa pengamat disimpulkan telah dikuasai oleh oligarki-oligharki politik yang di belakangnya berperan para pemilik modal besar. Berbagai produk hukum yang hadir tak mampu membingkai kewargaan dan keindonesiaan. Di aras nasional, hukum tak lagi netral dari permainan kepentingan modal, dan di aras lokal hukum-hukum adat telah mengalami krisis eksistensial. Positivisme dalam pemaknaan teks-teks hukum yang sejak semula mengalami distorsi dalam proses pelembagaan nilai-nilai dalam rangka melakukan social engineering telah menyebabkan cukup banyak produk legislasi dan regulasi yang justru menjauhkan aliran keadilan sosial dari konstitusi. Hukum telah menjelma dalam wujud kasat mata permainan kuasa dan abai terhadap keadilan sosial. Negara telah gagal menampilkan jati dirinya sebagai pengayom rakyatnya dan hukum telah diinstrumentasikan sebagai alat kepentingan ekonomi-politik penguasa. Secara internal negara terus dilemahkan oleh berbagai praktik korupsi politik dan kleptokrasi, sementara secara eksternalpun negara belum mampu membangun konstruksi relasi yang tepat dengan rakyatnnya. Negara yang hidup dalam transisi demokrasi tak berkesudahan sesungguhnya adalah negara gagal yang tak mampu membingkai kewargaan dan keindonesiaan. Anarkisme dalam kehidupan sosial sebenarnya adalah duplikasi dari anarkisme di tingkat elite yang tak mudah dilihat oleh rakyat, namun selama ini telah menjadi awal mula krisis bernegara. Di saat negara mengalami krisis eksistensi dan jati diri, maka potret kewargaan dan keindonesiaan juga masih terlihat centang perentang.
2. Dinamika Sosial Politik dan Latar Belakangnya Sejauh ini, setidaknya ada dua rute menuju tatanan politik demokratis. Pertama rute liberal yang titik berangkatnya adalah keyakinan bahwa ekpresi kepentingan individual pada akhirnya bermuara pada kemapanan institusi publik. Kepentingan/egoisme individual dalam bahasa Adam Smith akan menghasilkan insivible hand. Perlu dicatat bahwa dalam kerangka fikir ini, publik tidak identik dengan negara. Rute kedua, menempuh arah yang berlawanan. Demi dan atas nama publik, maka individu diharuskan diatur secara ketat dan tegas, kalau bukan sekedar dipatuhkan. Keduanya memiliki acuan filosofis tersendiri, dan juga memiliki penganut yang ambil bagian dalam proses demokratisasi. Yang jelas, pengusung rute liberal saat ini sedang di atas angin, karena rute yang satunya kalah popularitas. Sungguhpun begitu, tatanan liberal yang mereka arungi toh tidak mulus. Proses demokrasi yang berlangsung di negeri ini terombang-ambing diantara dua cara berfikir di atas. Kita tahu, dalam agenda demokratisasi selama ini kubu liberal sangat getol menuntut penjaminan hak individu oleh negara. Para aktivis dari kubu ini berasumsi bahwa kita telah memiliki negara yang mapan, bahkan berasumsi bahwa negara berada dalam kondisi ideal sebagaimana dinarasikan textbook. Kalangan anti liberal di sisi lain mengedepankan dan mengeluhkan ineffisiensi dan ungovernabily negeri ini karena gencarnya tuntutan akan liberty tersebut, tanpa berusaha mencari kerangka berfikir alternatif. Kubu kedua ini juga tidak sanggup keluar dari kesemena-menaannya mengatasnamakan negara. Pertanyaanya sekarang, apakah demokratisasi harus diwujudkan dengan
2
menunggu kepastian: ada salah satu kubu yang menang sementara rivalnya menyerah? Sejarah panjang pemikiran demokrasi tidak pernah menjanjikan hal itu, sengketa seakan tiada akhir. Realitas dinamika politik di Indonesia sesungguhnya memberi gambaran bahwa identitas kewargaan seseorang dalam komunitas bersifat jamak. Seseorang dapat sekaligus menjadi warga dari berbagai komunitas : negara, agama, parpol, etnis, kerabat, tempat kerja, profesi sampai hoby dengan derajat loyalitas yang berbeda-beda. Dengan demikian pemahaman yang menyeluruh mengenai watak dasar dan dinamika politik identitas tidak hanya akan memberi gambaran mengenai keragaman identitas kewargaan tetapi juga akan mengenal afiliasi berganda yang dimiliki warga suatu komunitas. Berkaca dari pengalaman negara-negara Barat yang telah lama menggeluti persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kewarganegaraan, apa yang dialami oleh Indonesia sesungguhnya bukanlah sebuah kekecualian. Di Barat, diskursus tentang kewarganegaraan juga lama terpendam, dan baru muncul kembali sebagai dampak dari mulai menguatnya tuntutan akan hak-hak kelompok minoritas yang selama ini mengalami diskriminasi dalam ruang-ruang politik. Kelompok minoritas di negara Barat, selain mereka yang dianggap penduduk asli (seperti halnya Orang Aborigin di Australia, Orang Maori di Selandia Baru atau Orang Indian di Kanada dan Amerika Serikat), adalah komunitas-komunitas migran secara de facto telah menjadi bagian dari mayoritas penduduk sebuah negara. Adalah sebuah hipokrisi Barat yang menganut demokrasi liberal jika mereka menafikkan kehadiran dan hak-hak kewarganegaraan kaum minoritas yang jumlahnya secara demografis semakin besar. Dalam konteks inilah kelahiran kebijakan multikulturalisme dan konsep multicultural citizenship bisa dipahami. Selain munculnya persoalan hak-hak kaum minoritas, beberapa krisis demokrasi mulai dirasakan sepanjang tahun 1990an. Kegagalan dan erosi dari welfare states, apatisme pemilih (voter apathy) dan persoalanpersoalan yang berkaitan dengan gerakan lingkungan hidup adalah beberapa krisis yang dianggap ikut mendorong kembalinya isu kewarganegaraan dalam wacana politik dan pembicaraan-pembicaraan publik di Barat. Ada kebutuhan mendesak di Barat akan sebuah teori yang baru tentang kewarganegaraan. Teori-teori tentang kewarganegaraan yang telah berkembang pada era tahun 1970an dan 1980an yang terutama berfokus pada “struktur dasar masyarakat” seperti constitutional rights, political decision making procedure dan social institutions; dianggap kurang memadai untuk memecahkan berbagai persoalan dan krisis politik yang baru. Para pemikir politik di Barat mulai mempertimbangkan aspekaspek baru yang berkaitan dengan kualitas-kualitas dan disposisi-disposisi kewarganegaraan yang beroperasi di dalam institusi dan prosedur dari “struktur dasar masyarakat” yang komponenkomponennya telah disebutkan di atas. Sejak itu berbagai konsep baru bermunculan, seperti social capital, civic virtue, trust, pluralism, multiculturalism, democratic citizenship, dan sebagainya. Wacana tentang civil society juga berkembang bersamaan dengan munculnya konsep-konsep ini. Kontroversi mulai dirasakan ketika harus memasukkan peran kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan etnisitas dan agama yang oleh sementara pemikir politik Barat dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dibawa ke ruang publik. Wacana dan pembicaraan publik tentang warganegara di Indonesia boleh dikatakan tidak berkembang. Hal ini disebabkan oleh masalah hegemoni negara dan isu kewarganegaraan terlanjur, seolah-olah, hanya menyangkut hak-hak warganegara dari Orang Tionghoa. Persoalan kewarganegaraan dari warganegara Indonesia non-Tionghoa seolah-olah sudah selesai dengan sendirinya, dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa berbagai persoalan kewarganegaraan di Republik Indonesia, seperti halnya juga dialami di Barat, juga berhubungan dengan persoalan etnisitas, agama, dan lokalitas (kedaerahan). Jika di Barat persoalan etnisitas dan agama lahir karena migrasi masuk yang membentuk kelompok-kelompok minoritas, di Indonesia etnisitas dan agama telah ada bahkan sebelum lahirnya Republik Indonesia. Sejak awal telah menjadi kesadaran para bapak dan ibu pendiri bangsa bahwa Republik Indonesia didirikan atas dasar prinsip-prinsip yang bersifat non-etnis dan non-agama, artinya atas dasar kesetaraan sebagai warganegara. Meskipun demikian, keberagaman
3
identitas kebudayaan tetap diakui, bahkan menjadi motto: Bhineka Tunggal Ika. Sayangnya, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, kesetaraan sesama warganegara sebagai prinsip dasar kewarganegaraan, seperti memperoleh perlawanan baru melalui pengerasan identitas-identitas etnis, agama, dan lokalitas, yang saling melakukan klaim superioritas satu sama lain. Keberagaman identitas-identitas kebudayaan tidak dipandang lagi sebagai berkah dan kekayaan bangsa, namun sebagai ancaman bagi semangat sektarian dan etnosentrisme yang terasa semakin menguat di berbagai bagian negeri ini. Desentralisasi dan otonomi daerah yang telah berjalan lebih dari satu dekade terbukti tidak saja belum menghasilkan apa yang dijanjikannya, yaitu meningkatkan keadilan dan meratakan kesejahteraan bagi warganegara di daerah, namun juga memberi justifikasi bagi lahirnya pengerasan identitas-identitas yang bersifat sektarian dan munculnya semangat intoleransi terhadap keberagaman. Bagaimana kita menyikapi persoalan kewarganegaraan dalam negara yang secara konstitusional tidak membenarkan adanya diskriminasi warganegara berdasarkan identitasidentitas kebudayaan? Jika pada masa lalu wacana tentang warganegara dan kewarganegaraan seolaholah telah terwakili ketika kita menggunakan kata “rakyat” atau “penduduk”, barangkali sekarang saatnya kita membuka tabir yang selama ini menutupi lahirnya wacana politik yang lebih menyegarkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
3. Fokus Bahasan di SI ke 13 Ada kebutuhan akan refleksi ulang tentang paradigma kehidupan bernegara dan menegara, karena negara kini telah memasuki fase negara gagal. Itulah sebabnya seminar ini memfokuskan pembahasannya kepada konsep kewargaan subnasional, konsep yang menunjuk kepada realitas sosial budaya yang dapat bercorak sosial maupun spasial pada aras yang tidak seluas cakupan nasional, yang berperan penting dalam pengelolaan kepentingan publik warganya. Beberapa dimensi dari realitas itu perlu diberi perhatian, yaitu dimensi acuan teori, dimensi cakupan telaahan dalam seminar, dan dimensi advokasi atau penerapan upaya perubahan yang sungguh-sungguh. a. Dimensi Acuan Teori : Kewargaan dan keindonesiaan serta hak-hak politik warganegara (citizenship) maupun hak-hak kewargaan sebagai rakyat Indonesia yang dimiliki secara konseptual seharusnya tercermin dalam wacananya. Perkembangan partisipasi politik aktif dari rakyat mengandaikan sebuah diskursus yang hidup di ruang publik tentang kewargaan dan keindonesiaan. Hal itu antara lain berhubungan dengan terlampau lamanya dominasi wacana dan praksis politik yang bercorak sentralitas negara. Terbukanya ruang publik menghasilkan demokrasi prosedural dan masih jauh dari demokrasi substansial yang mengandaikan adanya hubungan timbal balik yang seimbang antara rakyat sebagai konstituen politik dengan elit politik yang dipilihnya. Perlu dimulainya sebuah counter-discourse tentang kewargaan dan keindonesiaan dan advokasi tentang perlunya partisipasi aktif dari rakyat. Sebuah wacana politik baru yang mengedepankan pemahaman baru tentang warganegara dan kewargaan rasanya sudah sangat mendesak untuk diperbincangkan. Wacana politik baru itu dinamakan “politik kewargaan subnasional”, di dalamnya warganya perlu kita tempatkan pula dalam posisinya yang bersifat sentral dan menentukan, dalam hubungannya dengan negara. Untuk mendukung dimulainya wacana politik kewargaan ini, sebuah forum tukar-pikiran yang memberikan ruang terbuka untuk terjadinya penelaahan yang serius, sangat diperlukan. Hasil forum tukar pikiran ini pada gilirannya akan menjadi landasan bagi penyusunan strategi advokasi tentang hak-hak warganegara secara cerdas dan komunikatif. Kewargaan dan keindonesiaan adalah jatidiri dari sebuah negara yang memiliki cita-cita demokrasi dan kesejahteraan. Namun, komitmen bernegara merupakan langkah utama yang harus diuji dan paradigma (para elite) dalam mengelola negara merupakan pertaruhan begitu memasuki fase pematangan kehidupan demokrasi.
4
b. Dimensi Cakupan Telaahan Seminar: Seminar Internasional Ke-13 tentang Dinamika Politik Lokal di Indonesia pada tahun 2012 yang mengangkat tema “Kewargaan Subnasional dan Citacita Negara Bangsa Dalam Dinamika dan Perspektif Lokal” bermaksud mengajak komunitas pengkaji politik lokal untuk menelaahnya lebih seksama. Cakupan bahasan seminar tentang tema “Kewargaan Subnasional dan Cita-cita Negara Bangsa Dalam Dinamika dan Perspektif Lokal” dapat dikelompokkan ke dalam enam topik sebagai berikut: (1) Topik tentang Dinamika Warga untuk Memelihara dan Mengembangkan Jati diri Kewargaan Subnasional Seperti dikemukakan di atas jati diri kewargaan subnasional dapat paling sedikit bercorak sosial dan spasial. Misalnya kewargaan keagamaan (komunitas-komunitas keagamaan seperti: NU, Muhammadiyah, gereja, dan komunitas-komunitas agama lain di Indonesia), jejaring alumnus, dan sebagainya adalah kewargaan subnasional bercorak sosial; kewargaan subnasional yang bercorak spasial antara lain adalah komunitas etnis, kedaerahan, jejaring kekerabatan, dan sebagainya. Dalam permasalahan yang demikian ini ada berbagai persoalan yang bisa dikembangkan sebagai sub topik bahasan dalam SI ke 13 ini, diantaranya adalah: a. Bagaimana aspek lokalitas sebagai lokus untuk mewujudkan mimpi-mimpi nasional dalam kewargaan yang majemuk bisa diupayakan menjadi kekuatan bersama diperhadapkan dengan realita pengelolaan kewargaan dengan cara pandang state-centric (state-centric vs society centric)? b. Adakah realita-realita pengelolaan kewargaan di tingkat lokal yang sarat dengan semangat demokrasi yang memungkinkan keberagaman identitas dan afiliasi (cross-cutting affiliation) pada komunitas yang bersifat memperkokoh dan menghindarkan dari pemecahbelahan? c. Faktor-faktor apa sajakah yang memungkinkan terjadinya praktek proses saling belajar antar kelompok afiliasi dalam rangka menuntaskan rajutan Indonesia berbasis kekuatan kewargaan subnasional? d. Permasalahan dan pokok bahasan lain yang terkait dengan topik ini juga dapat dikemukakan.
(2) Topik tentang Politik Kewargaan Subnasional (Dimensi Ideologis) Sebuah wacana politik baru yang mengedepankan pemahaman baru tentang kewargaan rasanya sudah sangat mendesak untuk diperbincangkan. Di dalam politik kewargaan, pengertian dan prinsipprinsip tentang kewargaan perlu kita pikirkan konseptualisasinya yang baru – tidak saja untuk menampung berbagai hak universal yang bersifat individual, namun juga berbagai hak yang melekat pada komunitas-komunitas, yang kadangkala bersifat lokal. Dalam rangka mendalami politik kewargaan, perlu kajian khusus tentang kewargaan subnasional yang menyangga pengelolaan kepentingan publik dalam cakupan atau bingkai subnasional. Dalam hubungan dengan topik ini perlu mengidentifikasikan ideologi yang diacu oleh tiap jenis kewargaan subnasional itu. Berangkat dari permasalahan tersebut, beberapa pokok bahasan bisa dikemukakan sebagai berikut: a. Upaya-upaya apa yang sudah dilakukan warga subnasional untuk menampung selain berbagai hak universal yang bersifat individual juga berbagai hak yang melekat pada komunitas-komunitas (yang kadangkala bersifat lokal)? b. Bagaimana tingkat kesadaran warga dan kewargaan subnasional untuk memperjuangkan praktek pengelolaan penyelenggaraan pelayanan publik yang berbasis pada kebutuhan lokal (kesadaran berpartisipasi)? c. Ideologi-ideologi apa yang diacu oleh tiap jenis kewargaan subnasional dalam rangka menyangga pengelolaan kepentingan publik dalam cakupan subnasional?
5
d. Bagaimana peran elit kewargaan subnasional dalam mengusahakan dipenuhinya kebutuhan kewargaan sub-nasioanl dalam sistim sosial-politik negara yang sentralistis ? e. Pokok bahasan lain yang terkait dengan topik ini bisa dikemukakan dalam SI ke 13 ini.
(3) Topik tentang Sumber Daya Ekonomi Komunitas Kewargaan Subnasional Perebutan sumber daya alam antara komunitas-komunitas kewargaan subnasional dan dengan kekuatan dari luar komunitas (baik spasial maupun sosial) perlu mendapat telaahan pula dalam seminar ini.
(4) Topik tentang Saluran-saluran Politik bagi Perjuangan Politik Kewargaan Subnasional Ketika agenda reformasi yang berlangsung belakangan ini diusung, yang dikedepankan adalah penjaminan hak-hak politik yang, dalam doktrin liberal, menjadi milik individu. Atas nama civil and political liberty, warga negara diberi jaminan hak (misalnya hal memilih dan dipilih). Hak warga untuk mendirikan partai politik telah menyulitkan kita dalam menyederhanakan sistem kepartaian; kalaulah bukan membatasi jumlah partai politik. Parliamentary threshold selalu dilawan partai-partai politik yang sedikit pendukungnya. Mereka juga dijamin hak konstitusionalnya antara lain dengan menggugat ke Mahkaman Konstitusi manakala hak konstitusionalnya dilanggar oleh pembuat undang-undang. Pemilihan umum merupakan salah satu dari berbagai saluran politik bagi perjuangan politik kewargaan subnasional dan masih banyak jenis-jenis saluran politik yang digunakan bagi kewargaan subnasional untuk memperjuangkan kepentingannya. Berdasar pada kenyataan tersebut, sejumlah pokok bahasan dapat dikembangkan dan dibahas dalam SI ke 13 ini, diantaranya: a. Ideologi-ideologi dan alasan-alasan apa yang dijadikan acuan bagi warga subnasional untuk menentukan pilihan dalam pemilihan umum yang lalu? b. Bagaimana kesadaran dan usaha kewargaan subnasional dalam usaha mereka untuk terpenuhinya hak-haknya (civil right) dari negara? Apa saja hambatan dan dukungan yang ada ? c. Apa peluang dan tantangan yang dihadapi warga subnasional dalam rangka upaya mengembangkan jati diri kewargaan subnasional? Bagaimana arah dan kecenderungan perkembangan saluran-saluran politik bagi perjuangan politik kewargaan subnasional (termasuk melalui demokrasi deliberatif) akhir-akhir ini? d. Mengapa saluran politik bagi perjuangan politik kewargaan subnasional sering mengingkari hakekat civil society yang bersifat non violence ? e. Bagaimana warga masyarakat lokal menyadari dan menyikapi maraknya tindak kekerasan dalam penyaluran politik kewargaan subnasional? f. Bagaimana pandangan dan respon pemerintah daerah di dalam menyikapi perkembangan saluran politik kewargaan subnasional? g. Pokok bahasan lain yang terkait dengan topik ini juga dapat dikemukakan di dalam SI ke 13 ini.
(5) Topik tentang Loyalitas terhadap Pertumbuhan Cita-cita Negara Bangsa di Berbagai Kewargaan Subnasional Ada variasi derajad loyalitas tiap kewargaan subnasional terhadap pertumbuhan cita-cita negara bangsa; bahkan juga berbeda antara lapisan-lapisan sosial. Corak variatif itu antara lain dipengaruhi oleh belum konsistennya upaya untuk mewujudkan cita-cita negara bangsa dalam dinamika politik nasional maupun lokal dan oleh masalah-masalah korupsi dan kleptokrasi. Berangkat dari telaah reflektif tersebut perlu kiranya dieksplorasi alternatif cara mengkonstruksikan kewargaan subnasional. Salah satu cara yang bisa dijajagi adalah melihat kewargaan
6
subnasional berbasis realita sosiologis atau pengamatan empiris terhadap praktek-praktek yang berlaku, meskipun tidak menggunakan ungkapan kewargaan subnasional. Berangkat dari telaah reflektif tersebut bisa dikembangkan sub topik bahasan dalam SI ke 13, diantaranya: a. Bagaimana variasi dan corak variasi derajat loyalitas berbagai kewargaan subnasional terhadap pertumbuhan cita-cita negara bangsa sebagaimana tercantum dalam UUD 1945? b. Bagaimana praktek-praktek alternatif dan cara yang digunakan untuk mengkonstruksikan kewargaan subnasional di berbagai tempat? c. Apa hambatan dan dukungan dalam berbagai cara mengkonstruksikan kewargaan subnasional? d. Pokok bahasan lain yang terkait dengan topik ini juga dapat dikemukakan di dalam SI ke 13 ini.
(6) Topik tentang Kontestasi Paradigma Hukum antara Kepastian Hukum dan Tuntutan Keadilan Topik peranan hukum yang berpola sentralistis seringkali mengabaikan tuntutan keadilan yang hidup di masyarakat. Gejala itu melahirkan kontestasi antara kekuatan mengatur dari pemerintah dan kebutuhan kepastian hukum di masyarakat. Essensi tuntutan reformasi hukum adalah adanya kepastian hukum dan keadilan yang berjalan beriringan. Krisis ekonomi dan politik sekarang ini antara lain karena hukum telah gagal memainkan perannya sebagai instrumen yang menjaga keadilan dan kepastian hukum. Dengan kata lain, hukum telah gagal dalam menciptakan clean and healthy government. Dari permasalahan tersebut di atas sejumlah pokok bahasan dapat dikemukakan dan dibahas dalam SI ke 13 ini, diantaranya adalah: a. Bagaimana relasi antara kepastian hukum, rasa keadilan, dan ketertiban masyarakat dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan? Bagaimana mengkompromikan ketiga hal tersebut? b. Apa pandangan warga terhadap praktek penertiban masyarakat (dan pembebasan tanah misalnya) atas nama kepastian hukum dan kepentingan publik? c. Berbagai dinamika yang muncul dalam masyarakat (lokal) terkait dengan benturan antara kepastian hukum dan rasa keadilan. d. Dilema-dilema yang muncul dari benturan antara keharusan adanya konsistensi hirarkhi hukum dengan perlunya aturan daerah yang sesuai dengan dengan kebutuhan lokal (bentuk-bentuk inovasi, kreasi lokal, hingga perlawanan dan pembangkangan). d. Pokok bahasan lain yang terkait dengan topik ini juga dapat dikemukakan di dalam SI ke 13 ini.
(7) Topik tentang Perkembangan/Sejarah Komunitas Kewargaan Subnasional Pembahasan tentang topik perkembangan historis komunitas kewargaan subnasional (baik yang sosial maupun yang spasial) akan melengkapi cakupan pembahasan dalam seminar ini. Adanya pembahasan tentang topik ini, maka pemahaman tentang tema seminar ini tidak melupakan dimensi historisnya. Beberapa sub topik tersebut dapat menyangkut, jenis-jenis komunitas subnasional (keagamaan, jejaring sosial, jejaring etnis, kedaerahan, kekerabatan, dan sebagainya).
c. Upaya Advokasi: Hasil forum tukar pikiran ini pada gilirannya akan menjadi landasan bagi penyusunan strategi advokasi tentang hak-hak warga (termasuk kewargaan subnasional) secara cerdas dan komunikatif. Semua topik dan pokok bahasan menyangkut kewargaan subnasional dan cita-cita negara bangsa dalam dinamika dan perspektif lokal ini akan memumpun pada persoalan bagaimana ke depannya? Strategi advokasi politik kewargaan –yang memposisikan warga dalam posisi yang sentralsangat diperlukan bagi praksis politik yang bisa membawa keadilan dan kesejahteraan, sebagaimana 7
dijanjikan ketika Republik Indonesia ini didirikan dan kemerdekaan diproklamasikan. Apa yang harus diusahakan dan dikembangkan agar bermanfaat baik bagi rakyat maupun negara Indonesia ke depan akan dielaborasi dalam suatu pertemuan terbatas 14 Juli 2012 (Round Table Discussion) dari peserta seminar SI ke 13 ditambah dengan peserta lain (termasuk misalnya para pengambil kebijakan) di bidang ini. Semua topik dan pokok bahasan tersebut di atas didiskusikan pada SI ke 13 yang akan diselenggarakan pada tanggal 10 – 13 Juli 2012 di Kampoeng Percik Salatiga.
Salatiga, 22 Februari 2012. Ketua Steering commitee SI ke 13 Kutut Suwondo
Anggota-anggota SC Hans Antlov Herman Suryatman Heru Nugroho Herudjati Purwoko I Made Samiana Joe Fernandes Juni Thamrin Nico L. Kana Pradjarta Dirdjosanjoto Purwo Santoso Riwanto Tirtosudarmo Setyo Handoyo Slamet Luwihono W. Riawan Tjandra
8