ORANG KUAT DALAM DINAMIKA POLITIK LOKAL STUDI KASUS: KEKUASAAN POLITIK FUAD AMIN DI BANGKALAN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Ahmad Nurcholis 1111112000006
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 2016
ABSTRAK Nama : Ahmad Nurcholis Prodi : Ilmu Politik Judul : Orang Kuat Dalam Dinamika Politik Lokal Studi Kasus: Kekuasaan Politik Fuad Amin Di Bangkalan Penelitian ini menitikberatkan pada analisa monopoli kekuasaan politik sebagai impak keberadaan orang kuat lokal, bos lokal, dan oligark lokal. Monopoli kekuasaan politik ini setidaknya melahirkan berbagai bentuk penyimpangan, yang juga melahirkan bentuk pemerintahan model dinasti yang merupakan upaya elit untuk menempatkan beberapa kroni dan keluarganya di beberapa pos strategis pemerintahan (Leo Agustino). Model pemerintahan dengan kekuasaan yang absolut serta dinasti seperti ini kerapkali mengarah pada perampokan sistemik anggaran negara dan monopoli berbagai sumber ekonomi strategis. Dalam kasus Fuad Amin, penulis juga menemukan relevansi antara aspek orang kuat lokal dengan pondasi awal lahirnya kekuasaan politik yang berdampak pada konstruksi pemerintahan dinasti. Lahirnya dominasi serta kekuasaan politik Fuad Amin, pertama-tama diuntungkan dengan posisinya yang mewarisi modal kultural sebagai elit keturunan kiai terkemuka di satu sisi, serta kedekatannya dengan dunia blater di sisi lain. Selain itu, Fuad juga diuntungkan karena posisinya sebagai pengusaha/oligark lokal dengan kepemilikan harta yang melimpah. Tiga modal kekuatan awal ini tak pelak mempermudah dirinya untuk melenggang maju ke sektor politik formal. Keberhasilan ini juga ditopang oleh kultur masyarakat yang masih memegang teguh budaya patrimornial, sehingga ketergantungan masyarakat kepada kekuatan patron (Fuad Amin) masih sangat kental. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah dengan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dan telaah tambahan pada beberapa literatur yang penulis anggap penting. Hasilnya adalah bahwa kekuasaan politik Fuad Amin menjadi dominan karena tidak adanya lembaga hukum setempat yang independen, yang berani menindak segala penyimpangan yang dilakukan Fuad. Adanya laporan penyelewengan yang dilakukan oleh Fuad Amin, semisal kasus kekerasan terhadap para aktivis dan berbagai kasus korupsi, selalu mentah di meja polisi dan kejaksaan setempat. Kekuasaan politik Fuad semakin bertambah tatkala dirinya berhasil menjadi bupati Bangkalan pada tahun 2003 dan tahun 2008. Dengan mengenyam dua kekuatan, baik formal maupun informal, tampuk dominasi Fuad semakin tak terbendung. Fuad Amin bak raja yang bebas berbuat sekehendak hati dan tanpa kontrol yang tak terbatas. Gambaran ini tercermin dari kekuatan politiknya yang bukan sebatas ada di jejaring internal pemerintahan dan partai politik, tetapi menyebar ke setiap penjuru ormas, institusi pendidikan, dan kelompok-kelompok informal. Kata Kunci: Orang Kuat Lokal, Bos Lokal, Oligark Lokal, Kekuasaan Politik, Fuad Amin.
v
KATA PENGANTAR
Proses penyusunan skripsi yang memakan waktu berbulan-bulan ini penulis akui adalah berkat bantuan yang diberikan oleh banyak pihak. Baik bantuan berupa saran maupun materil. Untuk itu, penulis patut mengucapkan rasa terima kasihnya pertama-tama kepada: 1. Prof. Dr. Zulkifli, MA selaku Dekan Fisip UIN Jakarta. 2. Dr. Iding R. Hasan M.si selaku kepala jurusan Ilmu politik. 3.
Dr. Chaider S. Bamualim M.A selaku dosen pembimbing.
4. Orang tua yang selalu memotivasi penulis untuk sesegera mungkin menyelesaikan tugas akhir ini. 5. Seluruh jajaran dosen ilmu politik FISIP UIN Jakarta. 6. Ela, Ima, Ali, Ikbal, Ilham, kawan-kawan angkatan, kawan-kawan kampung, kawan-kawan pondok, kawan-kawan PMII, dan kawankawan diskusi, yang namanya tidak bisa penulis sebut satu persatu. Terima kasih banyak atas motivasinya, mengutip puisi Sutan Takdir: “segala
kulihat
segala
membayang,
segala
kupegang
segala
mengenang,” kalian merupakan bagian sejarah kenangan yang tak terlupakan. 7. Lembaga TII (Transparancy International Indonesia) yang karenanya penulis mendapatkan beasiswa penelitian dan masukan berharga di beberapa panel diskusi yang diadakan.
vi
8. Dan terakhir, rasa terima kasih ini khususnya penulis tujukan kepada seluruh narasumber di Bangkalan. Yang demi keselamatan mereka tidak bisa penulis sebutkan namanya dengan terang. Narasumber amat terbuka memberikan informasinya atas data-data yang penulis perlukan selama berlangsungnya wawancara. Seanjang menetap di Bangkalan, banyak
sekali
pengalaman
berharga
yang
penulis
dapatkan.
Pengalaman itu kiranya akan selalu penulis ingat dan menjadi pelajaran bagi perjuangan hidup ke depan. Semoga segala pengorbanan demi mewujudkan Bangkalan menuju arah yang lebih baik tidak berakhir sia-sia. Terima kasih untuk semuanya.
Depok, 26 Maret 2016
Ahmad Nurcholis
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar III.1 Gambar III.2
Peta Madura................................................................................58 Peta Bangkalan ...........................................................................65
viii
DAFTAR BAGAN
Bagan IV.1 Bagan IV.2 Bagan IV.3 Bagan IV.4
Bangunan Dinasti Politik Fuad Amin Periode 2003-2008 .........100 Bangunan Dinasti Politik Fuad Amin Periode 2008-2013 .........101 Garis Keturunan Syaikhona Kholil .............................................146 Stratifikasi Sosial Kiai Di Bangkalan .........................................210
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ........................................................... iv ABSTRAK ...............................................................................................................v KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii DAFTAR BAGAN ................................................................................................ ix DAFTAR ISI ............................................................................................................x BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang..................................................................................1 B. Pertanyaan Penelitian .....................................................................14 C. Tujuan Penelitian ............................................................................14 D. Manfaat Penelitian ..........................................................................14 E. Tinjauan Pustaka ............................................................................15 F. Metodelogi Penelitian .....................................................................22 G. Teknik Pengumpulan Data .............................................................23 H. Sistematika Penulisan .....................................................................23
BAB II
KERANGKA TEORI A. Teori Local Strongmen/Orang Kuat Lokal.....................................25 B. Teori Local Boss/Bos Lokal ...........................................................35 C. Teori Oligarki .................................................................................45
BAB III
PROFIL BANGKALAN A. Geografi dan Demografi Pulau Madura .........................................57 B. Tinjauan Singkat Kabupaten Bangkalan ........................................64 C. Islamisasi dan Simbol Kiai dalam Perspektif Masyarakat Madura ..........................................................................................67 D. Blater Sebagai Orang Kuat Lokal Madura .....................................80
BAB IV DINAMIKA KEKUASAAN POLITIK FUAD AMIN DI BANGKALAN A. Terbentuknya Kekuasaan Politik Fuad Amin.................................89 B. Fuad Amin dan Lanskap Orang Kuat Lokal di Bangkalan ..........107 C. Keterlibatan Fuad Amin dalam Politik Lokal Bangkalan ............129
x
D. E. F. G. H. I. J. K. L. M. N. O. BAB V
Friksi Bani Kholil .........................................................................143 Kondisi Civil Society Selama Kepemimpinan Fuad Amin ..........148 Kemenangan Fuad Amin di Pilbup 2003 .....................................175 Kemenangan Fuad Amin di Pilbup 2008 .....................................190 Jaringan Kiai Fuad Amin..............................................................209 Pencalonan Putranya, Makmun Ibnu Fuad ...................................218 Penjegalan Imam Bukhori Kholil .................................................223 Oligark Lokal................................................................................243 Stagnasi Demokratisasi Parpol di Bangkalan ...............................248 Intimidasi dan Strategi Ketergantungan Kepala Desa ..................259 Modus Korupsi Fuad Amin ..........................................................270 Sumber Kekuasaan Fuad Amin ....................................................277
PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................283 B. Saran .............................................................................................288
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................290 LAMPIRAN ........................................................................................................297
xi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang 1998 merupakan tonggak awal proses perubahan sistem politik di Indonesia.
Jika di tahun sebelumnya Indonesia mengalami depolitisasi, maka di tahun tersebut Indonesia mengalami masa transisi menuju reformasi. Reformasi, dalam Kamus Merriam Webster didefinisikan sebagai “the act or process of improving something or someone by removing or correcting faults, problems,
etc.”
(Sebuah
tindakan
atau
proses
untuk
meningkatkan
sesuatu/seseorang dengan menghapus atau memperbaiki kesalahan, masalah, dll).1 Secara kontekstual, perubahan dan perbaikan yang dituntutkan saat itu adalah terkait dua isu penting, pertama menyangkut soal ekonomi, kedua menyangkut soal politik. Dalam ekonomi, masyarakat mengharapkan adanya perbaikan
perekonomian;
turunnya
harga
barang
pokok,
berkurangnya
pengangguran, dan adanya peningkatan kualitas standar hidup mereka. Sedangkan dalam politik masyarakat mengharapkan Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden. Pada dasarnya, reformasi sedikitnya telah membawa angin segar bagi kerangka kehidupan baru masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Harapanharapan akan adanya Indonesia yang lebih baik dan lebih terbuka serta anggapan bahwa reformasi merupakan simbol era pencerahan, setidaknya telah memberikan 1
Merriam-Webster, “Simple Definition of Reformation,” artikel diakses pada tanggal 23 Februari 2016 dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/reformation
1
sinyal optimisme dan dianggap akan mampu membawa banyak dampak perubahan. Dua diantara beberapa perubahan yang paling fundamental dari implikasi lahirnya reformasi ini adalah mulai terbukanya ruang ekspresi publik, dan tuntutan daerah untuk andil bagian dalam pengelolaan wilayahnya sendiri. Ikhwal terakhir ini, kita biasa menyebutnya dengan istilah desentralisasi, atau pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah. Desentralisasi, di era reformasi, tentu merupakan wacana dan terobosan baru bagi sistem politik kita. Sekalipun undang-undang yang mengatur jalannya pemerintahan daerah sebetulnya juga pernah mewarnai lanskap perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak jaman penjajahan. Terhitung semenjak kolonialisme sampai berakhirnya rezim orba, setidaknya ada 7 undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah di dalamnya: Decentralisatiewet 1903, Wet op de Bestuurshervorning (stb 1922/216), Osamuseirei No. 27 tahun 1942, UU No. 1/1945, UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, UU No. 18/1965, UU No. 5/1974.2 Namun, undang-undang tentang pemerintahan daerah yang terbit pada era reformasi, lewat implementasi desentralisasi dan otonomi daerah, memiliki esensi yang berbeda dari era-era sebelumnya tersebut. Apalagi bila dibandingkan dengan undang-undang pemerintah daerah pada era Orde Baru (1966-1998), yang dicitrakan sebagai rezim diktatorial yang sentralistis yang keberadaannya justru mengkooptasi ruang kebebasan bagi masyarakat untuk turut serta mengelola negara.3
2
Wasisto Raharjo Jati, “Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah di Indonesia: Dilema Sentralisasi atau Desentralisasi,” Jurnal Konstitusi, Volume 9 Nomor 4, (Desember 2012). 3 Tim Lipi, Membangun Format Baru Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2006), h. 5.
2
Kehadiran desentralisasi pasca meletusnya gelombang aksi dan demonstrasi, merupakan fakta penting yang mesti tidak ditunda lagi saat itu. Setidaknya ia telah menjadi salah satu kebutuhan mendesak yang amat urgen. Hal ini mengingat banyaknya daerah yang mengancam untuk keluar dari barisan NKRI jika hak-hak politiknya tidak terpenuhi. Sebab, selama berpuluh-puluh tahun, daerah termarjinalkan. Mereka hanya menjadi penonton bagi kekayaannya sendiri yang dirampas, dikeruk, dan dieksploitasi oleh pusat. Artinya, pola sentralistik adalah paradigma satu-satunya
yang membingkai hubungan pusat-daerah
yang
diaplikasikan secara otoritatif oleh pemerintahan era Soeharto waktu itu. Di tengah gejolak tuntutan itu, akhirnya UUD No. 22 tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah dirumuskan dan disetujui oleh eksekutif dan legislatif di bawah kendali pemerintahan Habibie. Hal ini sedikitnya mampu meredam instabilitas disintegrasi bangsa kala itu. Di antara beberapa daerah yang menuntut memisahkan diri waktu itu antara lain: Aceh, Papua, Timor Timur dan Riau – sekadar menyebutkan.4 Di samping melahirkan konsep desentralisasi – sebagai media antisipasi gejolak yang terjadi di daerah, reformasi juga telah mencetuskan apa yang kita kenal dengan kebijakan pemekaran daerah (redistricting)5 dan juga melahirkan sistem turunannya berupa pilkada langsung. Sekalipun kemunculan sistem pilkada langsung ini datang agak belakangan.
4
Ibid, h. 7. Istilah redistricting digunakan oleh Leo Agustino untuk membedakan pemahaman terhadap “pemekeran wilayah” dalam arti yang sebenarnya. Pemekaran wilayah secara denotasi adalah bertambah luasnya suatu wilayah, tetapi maksud yang dituju bukanlah itu. Yang dimaksudkan adalah bertambahnya jumlah wilayah baru. Maka untuk meminimalisir kerancuan tersebut, Leo menggunakan istilah redistricting yang artinya pemekaran jabatan. 5
3
Menurut Leo Agustino, kebijakan redistricting merupakan sebuah upaya dan usaha dari pemerintah untuk menciptakan tranformasi pelayanan publik yang lebih komperehensif di masyarakat, agar keberadaan negara benar-benar dirasakan dan sampai menyentuh masyarakat lapisan bawah – yakni sampai kepada masyarakat di pelosok daerah terpencil sekalipun. Intinya adalah agar distribusi kesejahteraan merata. Tidak hanya sebatas dirasakan oleh masyarakat kota.6 Sedangkan adanya mekanisme pilkada langsung merupakan sebuah manifestasi yang menggambarkan terwujudnya masyarakat merdeka. Masyarakat yang bebas menentukan siapa saja pemimpin yang pantas bagi mereka.7 Upaya ini dilakukan dan ada sebagai wahana pengikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan urusanurusan negara, pembalikan logika orde baru yang bertubi-tubi mengalienasi masyarakat dari negara. Secara diametral, tambah Leo, ada dua faktor; dampak positif dan negatif yang saling berhadap-hadapan sewaktu munculnya konsep otonomi daerah (desentraliasasi) di satu sisi dan redistricting (pemekaran jabatan ke daerah) di sisi lain.8 Dan penulis yakin, bahwa konsep turunannya, seperti lahirnya pilkada langsung - yang juga tidak disertai pendidikan politik yang memadai - juga menambah daftar kompleksitas serta kesemrawutan di dalam kehidupan politik kita era reformasi ini. Selain faktor positif yang telah disebutkan di awal tulisan, seperti hadirnya kebebasan, keadilan yang merata, dan efisiensi pelayanan publik, konsep sistem politik baru pasca reformasi seperti ini juga setidaknya menyimpan
6
Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding Era Sentralisasi (Widya Padjadjaran, 2011), h. 31. 7 Ibid, h. 31. 8 Ibid, h. 51.
4
banyak cacat, ambivalen secara bersamaan.9 Maraknya praktik KKN dan tumbuhnya pemerintahan model dinasti merupakan contoh kecil dari berbagai dampak negatif yang dihasilkan sistem desentralisasi. Ekses negatif yang paling menonjol dari proses transisi ini adalah meruaknya praktek oligarki yang menggurita ke tingkatan lokal. Reformasi nyatanya telah melahirkan “Soeharto” baru dalam alam yang berbeda. Hal ini terlihat paradoks, karena di satu sisi reformasi menumbuhkan harapan, tapi di sisi lain ternyata reformasi adalah bagian penerusan warisan praktek oligarki yang tak kunjung selesai. Tetapi harus digarisbawahi, bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, menurut Syarif Hidayat, tidak melulu merupakan faktor utama maraknya penyelewengan kekuasaan di tingkat lokal, perubahan paradigma relasi state-society di jaman orba dan reformasi, juga turut berperan sebagai unsur penyumbang berkembangnya kekuatan-kekuatan dominan yang menghambat laju perkembangan sosial, ekonomi, politik, di masyarakat lokal.10 “...............bahwa secara substansial, tidak semua permasalahan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di daerah saat ini merupakan implikasi langsung dari implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Tetapi lebih sebagai akibat dari adanya pergeseran pola interaksi antara state dan society pada periode pemerintahan pasca Soeharto”11
Hal ini juga sepadan dengan komentar Rahadi T Wiratama dalam catatannya selaku editor dalam buku Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, menurutnya, Vedi R Hadiz telah berhasil memberikan gambaran umum bahwa demokrasi pasca Soeharto 9
Ibid, h. 51. Syarif Hidayat, “Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten,” dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, ed., Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2014), h. 302. 11 Ibid, h. 302. 10
5
merupakan era di mana para oligark (kolega, kerabat pewaris orba) beradaptasi dengan mekanisme prosedural formal baru – dengan memanfaatkan instrumen politik yang tersedia, seperti partai politik, pemilu, parlemen, dan desentralisasi.12 Jadi, tumbangnya Soeharto bukan berarti menghilangkan tradisi oligarki yang kadung mewabah di masa itu, melainkan meneruskan jenjang serta melahirkan sistem oligarki dengan jenis yang baru. Menggeliatnya sepak terjang para oligark yang bermain di wilayah lokal pasca reformasi secara rasional memang terkesan wajar, karena hal itu menjadi kesempatan langka bagi mereka (orang kuat lokal) untuk dapat menancapkan cakarnya lebih dalam ke pusat arus kuasa lokal. Yang tidak mungkin mereka lakukan saat Soeharto masih eksis berkuasa. Lantaran di zamannya, Soeharto tidak memberikan celah sedikitpun bagi keberadaan para penentang dan pesaingnya untuk berkembang. Di mana ia selalu berupaya mencengkeram eksistensi mereka di berbagai sudut dimensi kehidupan ekonomi-politik. Maka tak heran bila dalam hal ini Winters kemudian menyebut Soeharto sebagai oligarki sultanistik.13 Kategoristik yang Winters sematkan kepada jenis kepemimpinan Soeharto ini tidak terhindar dari eksistensi Soeharto yang menjadi satu-satunya kekuatan tunggal dari pada oligark yang dominan.
12
Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005), h. xxii. 13 Jeffrey A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia,” Majalah Prisma, Vol. 33 (2014): h. 15.
6
Dalam diskursus politik lokal, para oligark aras lokal ini sering diketemukan dalam bentuknya sebagai “orang kuat lokal” (local strongmen)14 atau para “bos lokal” (local bosses).15 Bertambah kuatnya eksistensi orang kuat lokal (local strongmen, istilah Migdal) - karena pusat tak lagi mengontrol keberadaan mereka, atau mengguritanya para bosisme (bossism, format baru local strongmen versi Sidel) merupakan reduksi atas nilai-nilai demokrasi di sektor bawah tersebut. Dan tak jarang, bahkan kebanyakan, antara “local strongmen, bangsawan, serta birokrat/politisi lokal”16 pasca Soeharto, melakukan persekongkolan untuk menghisap proyek-proyek negara yang dulu banyak dikerjakan oleh pusat. Kendatipun untuk beberapa kasus, mereka pun acapkali terlibat sengit dalam persaingan.17 Hanya saja, persaingan atau kerjasama yang mereka lakukan, tetap dan tidak terlepas dari kepentingannya untuk mengumpulkan sebanyakbanyaknya harta kekayaan bagi kemakmuran mereka sendiri, dari pada untuk kepentingan rakyat. Dengan bahasa yang lebih sederhana, desentralisasi, redistricting dan pilkada langsung merupakan wahana peralihan paradigma dari stationary bandits ke roving bandits.18 Penjelasan tentang stationary bandits dan roving bandits
14
Melvin Perjuangan Hutabarat. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi,” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), h. 17. 15 Ibid, h. 20. 16 Klasifikasi kekuatan politik di tingkat lokal menurut Leo Agustino dibagi ke dalam tiga arus utama: pertama adalah para birokrat yang berasal dari bangsawan, kedua birokrat yang berasal dari masyarakat awam, ketiga adalah para orang kuat lokal (Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, 2011, h. 64). 17 Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, h. 61-67. 18 Pembacaan penulis terhadap stationary bandits dan roving bandits merujuk pada bab yang ditulis khusus oleh Leo soal Local Strongmen dan Roving Bandits. Stationary bandits merupakan bandit kelas kakap yang memiliki bawahan orang-orang kuat lokal yang tersebar di seluruh pelosok wilayah, dan mereka bertanggung jawab terhadapnya. Sedang roving bandits merupakan
7
seperti diungkapkan oleh McGuire dan Olson yang penulis kutip dari Leo Agustino adalah sebagai berikut:: “Stationary Bandits are rulers without a long lasting base....., they also want to maximize their own incomes. Sedangkan Roving Bandits are rulers without a realm of their own who use their armies to maximize their own incomes. In doing so, roving bandits are perpetually moving around, leaving a place after is plundered. In this respect they are very similar to nomads. The form of organization that result from this behavior is called anarchy (McGuire & Olson 1996:63).”19 “Bandit Menetap adalah penguasa tanpa basis yang tahan lama ....., mereka ingin memaksimalkan pendapatan mereka sendiri. Sedangkan Bandit Pengembara adalah penguasa tanpa ranah yang menggunakan tentara untuk memaksimalkan pendapatan mereka. Dalam praktiknya, Bandit Pengembara- terus menerus bergerak, meninggalkan tempat setelah menjarahnya. Dalam hal ini mereka sangat mirip dengan kaum nomaden. Bentuk organisasi yang dihasilkan dari perilaku ini disebut anarki (McGuire & Olson 1996:63).” (Terjemahan dari penulis)
Dari sudut pandang historis, keberadaan orang kuat lokal atau local strongmen
20
dan bosisme atau bossism21 di jaman orde baru dapat dikategorikan ke dalam dua posisi yang berbeda. Jika bukan kepanjangan tangan orde baru, mereka adalah kaum oposisi yang kontra terhadap orde baru. Selepas orba runtuh, dan reformasi diaplikasikan dalam bentuk mekanisme otonomi daerah serta pilkada langsung, kedua kelompok ini akhirnya berebut ambisi; saling berkompetisi untuk bagaimana menguasai daerah yang tidak lagi dikontrol oleh pusat. Peralihan dari sentralisme ke polisentrisme faktanya telah dijadikan ladang perebutan kekuasaan oleh mereka. Kembalinya kaum oposisi yang selama zaman orba dibungkam dan ditindas ke gelanggang politik lokal, memberikan dimensi ketegangan baru
orang kuat lokal, bawahan stionary bandits yang menancapkan pengaruhnya sebagai raja lokal ketika stationary bandits runtuh (Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, 2011, h. 33). 19 Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, h. 33. 20 Melvin Perjuangan Hutabarat. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi,” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), h. 17. 21 Ibid, h. 20.
8
dengan kelompok yang dulu menyokong orba di ranah politik lokal. Bahkan kelompok-kelompok tersebut, baik yang pro maupun yang kontra terhadap orba, menggunakan berbagai cara untuk menghantarkannya menjadi raja lokal kedaerahan.22 Seluruh potensi sumber daya kekuasaan dipraktikkan, termasuk suap dan kekerasan (koersif). Fenomena bos ekonomi (bossism) dan orang kuat lokal (local strongmen) dalam mobilitas sosial, ekonomi, dan politik di struktur lokal memberikan sinyalemen kepada kita bahwa tidak selamanya reformasi selalu membawa dampak yang baik. Bukti di lapangan menunjukan, tradisi orde baru yang sarat dengan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) pun marak terjadi di daerah pasca reformasi diimplementasikan. Para bosism dan local strongmen, pasca mereka mencapai tampuk kekuasaan, dengan kewenangan yang mereka miliki, juga melakukan hal yang serupa; represif, koruptif, kolutif, dan nepotistik. Sama seperti yang dulu pernah dipraktikkan ketika Soeharto berkuasa. Adanya desentralisasi, seolah-olah hanya mempolarisasikan praktek tersebut. Impaknya, kini KKN tidak lagi terpusat, melainkan menyebar ke segala penjuru daerah. Bahkan mendagri di kabinet Presiden SBY, Gamawan Fauji, mengatakan bahwa lebih 115 dari 524 kepala daerah menjalani proses hukum dan kebanyakan terjerat kasus korupsi.23 Kasus-kasus tersebut sampai sekarang masih banyak yang ditangani oleh KPK dan selebihnya sudah mendekam dalam penjara.
22
Mohammad Agus Yusoff dan Leo Agustino, “Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal di Indonesia Pasca Orde Baru,” Jebat: Malaysian Journal of History, Politics & Strategic Studies, Vol. 39 (July 2012): h. 86. 23 Fitriyah, “Kekerasan, Korupsi dan Pemilukada,” artikel diakses pada tanggal 11 Maret 2015 dari http://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/3152/2829
9
Kinerja para kepala daerah, dalam pusara perubahan menjadi semacam parasit di tengah asa yang baru pulih. Pengkorupsian aset dan sumber daya daerah secara besar-besaran, jika bukan rampok, apalagi bahasa yang pantas untuk mereka? Canggihnya, mereka melakukan berbagai penyimpangan itu melalui mekanisme lain yang lebih ekslusif, yaitu melalui pembentukan sistem kerja pemerintahan „dinasti politik‟, - sebuah konsep dan metode “KKN” yang dilakukan secara sistemik dan tertutup. Lahirnya pemerintahan dinasti seperti itu tidak terhindar dari kokohnya dominasi sang elit. Larangan politik dinasti memang tidak tertuang dalam peraturan perundangundangan, sebab masing-masing warga negara memiliki hak yang setara dan egaliter, untuk atau tidak berpolitik; untuk mencalonkan atau dicalonkan. Kebebasan egaliter ini nyatanya telah dijamin dalam konstitusi kita. Di sinilah dinasti politik menjadi semacam problem dilematis bangsa. Karena di satu sisi, model pemerintahan dinasti lahir sebagai pengejewantahan hak politik bagi warga negara. Tapi di sisi lain, model pemerintahan dinasti politik - dengan kewenangan yang besar, dan dominasi yang tersebar - rentan menciptakan dan terjadinya penyelewengan. Seperti apa yang diungkapkan oleh Lord Acton: “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutelly.”24 Secara definitif, pengertian dinasti politik seperti yang penulis sadur dari Leo Agustino adalah suatu “kerajaan politik di mana elit menempatkan keluarganya, saudaranya, dan kerabatnya di beberapa pos penting pemerintahan
24
Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, h. 129.
10
baik lokal ataupun nasional.”25 Singkatnya, dengan dinasti politik, elit membentuk strategi semacam jaringan kerajaan yang terstruktur dan sistematis, supaya penyelewengan berbagai anggaran pemerintahan dapat diakal-akali secara efektif dan terselubung. Pada prosesnya, dibutuhkan konsep matang untuk membangun sebuah dinasti. Praktek kedinastian bukanlah usaha instan. Usaha ini memerlukan strategi canggih dan konsep jitu. Penempatan satu persatu keluarga dan para kerabat di berbagai pos jabatan penting bukanlah perkara mudah. Agar tidak menuai protes dan kecaman, tak mungkin dilakukan tanpa melewati penghegemonian dan dominasi di segala dimensi: baik sosial, ekonomi maupun politik. Praksisnya, keterbentukannya dipersiapkan matang-matang agar permanen dan kontinuistik. Salah satu dinasti politik yang saat ini mendapatkan sorotan khusus di antaranya adalah dinasti Fuad Amin di Bangkalan. Fuad adalah mantan Bupati Bangkalan yang selama dua periode berturut-turut memenangkan kontestasi pilkada. Setelah dua periode memimpin Bangkalan, di tahun berikutnya ia mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, dan terpilih. Kemudian Fuad Amin didaulat untuk menjadi ketua DPRD Bangkalan. Anaknya, di periode yang sama, berhasil pula menjadi Bupati Bangkalan, meneruskan estafet kepemimpinannya. Dalam satu periode tersebut, anak dan ayah sama-sama menguasai dua sektor paling krusial, yakni eksekutif dan legislatif. Bangkalan merupakan wilayah administratif (kabupaten) yang masuk ke dalam bagian Provinsi Jawa Timur. Bangkalan bukanlah wilayah redistricting
25
Ibid, h. 130.
11
sebagaimana Banten dan beberapa daerah baru lainnya yang lahir pasca orde baru. Dan sama halnya dengan beberapa daerah lainnya di Indonesia, sewaktu otonomi daerah digulirkan, seluruh kekuatan sosial di Bangkalan berebut untuk saling adu kuasa. Sejalan dengan apa yang Huntington katakan bahwa proses transisi yang tanpa diikuti pranata politik yang mapan hanya akan menyebabkan perebutan kekuasaan yang tidak sehat di antara kelompok-kelompok sosial masyarakat.26 Kondisi seperti ini lazim di negeri yang baru pertama mengalami demokratisasi, sehingga mobilisasi lebih mungkin terjadi ketimbang partisipasi. Asumsi awal terbentuknya dinasti politik di bawah kepemimpinan Fuad Amin bisa dilihat dari beragam faktor, pertama dimungkinkan karena alam reformasi tidak diimbangi oleh pranata hukum yang siap, baik dari segi yuridis maupun manusianya. Artinya suprastruktur dan infrastruktur hukum belum teguh, tegak, dan mapan. Kedua, civil society masih lemah, tidak terintegrasi dalam satu kekuatan dominan. Ketiga, karena Fuad Amin merupakan salah satu cicit Kyai Kholil Bangkalan yang merupakan ulama besar NU kharismatik yang banyak dijadikan rujukan ilmu kegamaan. Di tengah masyarakat religius, penghormatan khidmat kepada para kyai dan keturunannya merupakan sebuah tradisi lahiriah yang wajib, ditambah, agama merupakan faktor pemersatu identitas masyarakat Madura.27 Penghormatan masyarakat Bangkalan terhadap Fuad Amin salah satunya bersumber dari faktor tersebut. Keempat, karena posisi Fuad sebagai blater (baca: jawara), yang memudahkan dirinya menghegemoni kekuatan26
J.W. Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), h. 186. 27 Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura,” dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto, ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 216.
12
kekuatan sosial di Bangkalan. Menurut Abdur Rozaki, sebagaimana penulis kutip langsung dari wawancaranya dengan majalah detik, ia mengatakan: “Kelihaian bermain di dua basis masyarakat, blater dan pesantren, menurut Abdur, melanggengkan kekuasaan Fuad. Mayoritas kepala desa (klebun) di Bangkalan yang menjadi tangan kanan Fuad adalah blater itu. Supaya loyal, para klebun itu disuruh membuat perusahaan lalu diberi proyek.”28
Bukti yang menggambarkan amat berpengaruhnya sepak terjang Fuad Amin di Bangkalan adalah terlihat dalam sebuah pemberitaan yang dirilis oleh majalah detik, bahwa menurut majalah tersebut, Fuad Amin digelari “Kanjeng atau Tuhan Kedua” oleh sebagian masyarakatnya.29 Praktek kedinastian atau kekerabatan yang terjadi di Bangkalan, penulis rasa sudah menembus batas etis dan moral. Dengan memanfaatkan wibawa dan nama besar “Kyai Kholil Bangkalan” sebagai legitimasi atas kontrolnya pada masyarakat, tentu ada sebuah pembodohan masif pada masyarakat yang mesti segera dicerkaskan, agar masyarakat mulai rasional menanggapi dimensi keagamaan dan politik praktis secara berbeda. Supaya eksistensi politik dinasti bukan lagi dianggap sebagai hal mafhum dan wajar oleh sebagian masyarakat awam, melainkan pengejewantahan oligarki baru era reformasi. Sebab itulah dinasti politik di Bangkalan sebagai impak dari adanya dominasi yang kuat sangat penting untuk diteliti, untuk melihat faktor-faktor penunjang keajegan dan kekokohannya dalam masyarakat yang demokratis.
28
“Dinasti Tuhan Kedua di Bangkalan,” Majalah Detik, edisi 161 (29 Desember 2014 - 4 Januari 2015). 29 “Dinasti Tuhan Kedua di Bangkalan,” Majalah Detik, edisi 161 (29 Desember 2014 - 4 Januari 2015).
13
B.
Pertanyaan Penelitian Dalam merumuskan masalah pada penelitian ini, penulis mencoba
membatasinya dengan dua pertanyaan, yakni: 1. Bagaimana proses terbentuknya kekuasaan politik Fuad Amin di Bangkalan? 2. Bagaimana dinamika kekuasaan politik Fuad Amin? 3. Bagaimana kondisi civil society selama kepemimpinan Fuad Amin? C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok masalah tersebut diatas, penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui dan menganalisa pola terbentuknya kekuasaan politik Fuad Amin di Bangkalan. 2. Untuk mengetahui dinamika politik Fuad Amin di Bangkalan. 3. Untuk mendalami kondisi civil society selama kepemimpinan Fuad Amin di Bangkalan.
D.
Manfaat Penelitian Sebagai sebuah penelitian yang berorientasi atas asas manfaat, peneliti
membagi manfaat penelitian kedalam tiga aspek manfaat. 1. Manfaat Akademis Secara akademis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai literatur tambahan, referensi tambahan dan informasi bagi para peneliti yang tertarik pada isu-isu politik lokal – sebagai bentuk ijtihad bagi kemajuan ilmu politik. Selain itu, hasil penelitian pun dapat dijadikan bahan rekomendasi bagi masyarakat setempat untuk membangun civil society yang kuat – yang sadar bahwa dominasi yang
14
berlebihan adalah buruk bagi masa depan demokrasi. Orientasi akademis lain dari penelitian ini setidaknya memberikan gambaran bagaimana terciptanya Good Governance di lingkungan pemerintahan lokal. 2. Manfaat Praktis Hakikatnya, penelitian ini dilakukan atas dasar kegelisahan pribadi dalam melihat fenomena mandegnya pembangunan di daerah-daerah yang memiliki pola pemerintahan dominasi tunggal. Karena penulis sendiri merasakan betapa civil society tidak berkembang sama sekali di daerah-daerah tersebut. Sekalipun ada itu pun hanya suara-suara kecil saja. Karena kegelisahan tersebut akhirnya penulis harapkan penelitian ini bukan hanya dijadikan sebagai hasil penelitian secara tertulis, tetapi lebih dari itu dapat dijadikan solusi sekaligus aksiologi - mampu diimplementasikan dalam kehidupan nyata. E.
Tinjauan Pustaka Term dominasi dan munculnya dinasti politik di berbagai daerah pasca
reformasi khususnya, menjadi wacana serta diskursus menarik dalam kajian politik kontemporer masa kini. Permasalahan utama kedinastian yang merebak dan melanda beberapa segmentasi kehidupan politik di tanah air ditengarai telah memunculkan rasa ketidakadilan dari segelintir elit yang turun temurun mempertahankan status quo mereka. Apalagi kinerja elit yang duduk di jabatan publik tidak mampu bekerja dengan maksimal, bahkan kinerja mereka terkesan asal-asalan. Maindset yang tertanam dalam diri para birokrat kita bukan untuk melayani, melainkan mencari keuntungan sebesar-besarnya dari posisi yang mereka duduki. Mereka lebih mengedepankan ego sektoral ketimbang murni
15
mengurus rakyatnya sendiri. Tak ayal akhirnya rakyat kecewa dengan praktek dominasi dan dinasti seperti ini. Pemerintahan dengan model dinasti politik yang terjadi di alam demokrasi memang tidak terlepas dan bersumber dari keterpilihan masing-masing individu dalam setiap pemilihan, baik pileg, pilbup, pilgub, maupun pilpres. Pendeknya dinasti politik adalah hak, dan demokrasi membuka ruang sebebas-bebasnya kepada rakyat, kepada siapapun, untuk memilih atau tidak memilih, untuk mencalonkan atau tidak mencalonkan, sesuai preferensi masing-masing. Hanya saja, reformasi yang baru berlangsung, tidak secepat kilat memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, sehingga mobilisasi massa lebih menonjol ketimbang partisipasi murni. Praktik patronase politik menjadi wacana substantif dalam mobilisasi tersebut. Padahal syarat berkembangnya pembangunan politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Lucian Pye, bertalian erat dengan masalah mobilisasi dan partisipasi seperti ini.30 Partisipasi bersumber dari kesadaran masyarakat atas politik, sedangkan mobilisasi muncul lantaran masyarakat belum mengerti arti penting politik dalam marwah kehidupan mereka sehari-hari. Terbentuknya dinasti politik merupakan faktor dari latar belakang dan problem seperti itu. Karenanya, tema yang menyangkut dinasti politik banyak diminati. Di antara mereka adalah Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusof (2012): Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal Di Indonesia Pasca Orde Baru. Di dalam artikel yang diterbitkan oleh Malaysian Journal of History, 30
Lucian Pye, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), h.
22.
16
Politics & Strategic Studies, Leo dan Yusof menitikberatkan penelitian mereka pada politik lokal di Indonesia setelah 1998 dan sebelum tahun tersebut. Dari penelitiannya didapatkan bahwa gelombang demokratisasi tidak selamanya berakhir dengan hasil yang sempurna. Negara-negara seperti India, Brazil, Filipina, Thailand, Nigeria dan Peru mengalami nasib yang kurang baik, berkebalikan dari esensi demokrasi yang diharapkan pada umumnya. Fakta lain pasca demokratisasi dikumandangkan malah memicu terbentuknya sistem otokratik semi pada politik lokal di negara-negara tersebut. Kemunculan para orang kuat lokal serta bos ekonomi di kancah politik lokal merupakan bukti betapa demokratisasi pun nyatanya dapat lahir dengan wajah lain.31 Esensi demokratisasi sebenarnya adalah untuk membebaskan masyarakat dari belenggu otoritarian, sebuah transformasi nilai dari masyarakat tertutup kepada masyarakat yang lebih terbuka, sehingga masyarakat mendapatkan hak politiknya secara proporsional, terbentuknya civil society yang mapan, dan adanya check and balance yang konstruktif. Tapi di tengah proses pendemokratisasi-an tersebut, nyatanya demokratisasi juga telah ditunggangi oleh para free rider yang kurang lebih memanfaatkan momen untuk adu kuasa baru. Setelah bertahun-tahun dibungkam hak politiknya oleh rezim otoriter, hasrat untuk menjadi raja kecil di daerah mewabahi segenap elemen masyarakat di spektrum lokal. Begitupun dengan demokratisasi di Indonesia, yang tak luput dari keberadaan para pembajak demokrasi tersebut. Saat demokratisasi berlangsung, banyak di antara mereka, khususnya para pemain politik lokal yang juga memanfaatkan momen reformasi 31
Mohammad Agus Yusoff dan Leo Agustino, “Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal di Indonesia Pasca Orde Baru,” Jebat: Malaysian Journal of History, Politics & Strategic Studies, Vol. 39 (July 2012): h. 78-82.
17
sebagai wadah arena persaingan untuk berkuasa. Mereka umumnya para elit lokal yang dulu saat zaman orba adalah para penyokong, maupun kalangan yang beroposisi terhadap Soeharto. Padahal gambaran politik lokal sebelum orde reformasi lahir, berada dalam posisi yang sangat monoton, sebab daerah tidak memiliki wewenang untuk mengurus daerahnya secara mandiri. Daerah seolah-olah hanyalah wayang, dan pusat adalah sebenar-benarnya dalang. Seluruh kebijakan serta wewenang daerah dikendalikan oleh pusat sepenuhnya. Begitu kuatnya pusat, daerah seakan-akan sekadar dijadikan sebagai lumbung kekayaan pusat semata; yang dikeruk kekayaannya namun tidak diperhatikan keberadaannya.32 Tetapi setelah reformasi 1998 meletus, daerah seperti mendapatkan angin segar untuk bangkit. Hiruk pikuk kehidupan politik yang pelik di masa orde baru seolah-olah sirna dengan datangnya zaman reformasi. Harapan baru demi terwujudnya demokrasi yang utuh-penuh, hinggap pada segenap masyarakat di daerah. Karena jika selama masa orde baru mereka tidak bisa mendapatkan hak politiknya, maka di era reformasi harapan akan mendapatkan hak politiknya datang kembali. Tetapi, hasil penelitian Leo dan Yusof mendapatkan fakta lain. Politik lokal mengalami “bulan madunya” (istilah Leo dan Yusof) sebagai daerah yang didamba hanya beberapa tahun saja. Setelahnya, lanskap politik lokal di daerah kembali ke wajah bopeng seperti zaman orba sedia kala. Kehidupan atau dinamika politik yang berlangsung beberapa masa selanjutnya hampir serupa dengan zaman
32
Ibid, h. 82.
18
Soeharto.33 Tumpuan permasalahan dari ketidakberubahan politik lokal pasca reformasi menurut mereka ada pada eksistensi “orang kuat lokal”. Orang kuat lokal ini terbagi menjadi dua. Pertama adalah penyokong orba, dimana ketika Soeharto masih berkuasa, Soeharto tempatkan orang-orangnya di daerah. Tugas mereka di daerah adalah untuk menjaga stabilitas daerah dari berbagai macam bentuk protes dan aksi. Orang-orang peliharaan ini merupakan orang kuat yang disegani – jika bukan karena yang ditakuti. Dan yang kedua adalah orang-orang yang kontra terhadap Soeharto. Dua kelompok inilah yang nantinya kebanyakan saling berebut kuasa di arena politik lokal sewaktu pilkada langsung diimplementasikan. Dan saat reformasi memberikan nuansa baru dengan harapan adanya kemajuan daerah yang lebih konstruktif, lagi-lagi yang hadir malah reduksi dari nilai tersebut. Daerah malah lahir dengan raja-raja kecil di dalamnya. Mereka mulai membangun model dinasti politik yang hampir mirip dengan apa yang telah dilakukan oleh Soeharto dulu. Transisi orba ke reformasi nyatanya tidak serta merta membawa dampak perubahan ke daerah-daerah, malah zaman reformasi seolah-olah merupakan pembabakan baru neo-Soehartois. Karena sebagian penduduk masyarakat yang tergambarkan sebagai “orang kuat” di kedaerahan masih banyak yang mengutamakan ego nepotistik dibandingkan semangat kebersamaan untuk pembangunan.34 Selain tulisan Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusof (2012) soal: Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal Di Indonesia Pasca Orde Baru. Ada juga hasil analisa Wasisto Raharjo Djati yang penulis jadikan rujukan 33 34
Ibid, h. 86. Ibid, h. 90-91.
19
tinjauan pustaka. Tulisan tersebut diterbitkan oleh jurnal sosiologi masyarakat, Pusat Kajian Sosiologi (Labsosio FISIP-UI), dengan judul Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal. Dalam tulisan tersebut, Wasisto melihat pembentukan dinasti politik dari sudut pandang berbeda pada umumnya. Jika kebanyakan ilmuwan melihat Dinasti Politik sebagai akibat adanya campur tangan “elit yang membajak demokrasi,” Wasisto lebih melihatnya dari proses internal familisme. Bahwa adanya elit kuat lokal hanyalah merupakan bagian dari faktor eksternal pembentukan dinasti politik saja, tetapi di sisi lain ada juga faktor internal yang melatarbelakanginya yakni bagaimana keluarga saling memberikan pengaruh terhadap preferensi pembentukan “dinasti politik”. Dalam penelitiannya, disebutkan ada 3 unsur utama mengapa akhirnya Dinasti Politik lahir. Pertama, karena kegagalan partai lokal melakukan regenerasi politik. Kedua, biaya demokrasi partisipasi yang tinggi. Ketiga, adanya kekuatan antar elit yang tidak seimbang.35 Dari ketiga unsur tersebut, Wasisto melihat bahwa perumusan terbentuknya dinasti politik tidak hanya dapat dilakukan melalui pendekatan Neopatrimornialisme sebagaimana Haris (2007) dan Zuhro (2010), serta pendekatan Klan Politik sebagaimana Kreuzer (2005) dan Cesar (2013), dan pendekatan Poltik Predator sebagaimana Asako (2010) dan Mc Coy (1994) yang bertumpu pada tesis Migdal (1988) dan Sidel (2005), tetapi lebih dari itu juga dapat dilihat dari perspektif familisme.36
35
Wasisto Raharjo Djati, “Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal,” Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol 18 No. 2 (Juli 2013: 203-231): h. 203. 36 Ibid, h. 204-206.
20
Perspektif familisme sebagaimana yang dikutip langsung dari penelitian Wasisto memberikan gambaran semacam ini: “Pertama, analisis dinasti politik tidak boleh terpaku pada hubungan patronase keluarga secara umum, tetapi lebih terspesialisasikan menurut preferensi politik keluarga yang terbagi dalam tiga hal, yakni familisme, quasifamilisme, dan ego familisme. Kedua, pembentukan dinasti politik dipahami dalam dua nalar besar yakni by design yang mengarah achieved status atau by design yang mengarah pada by accident. Kedua nalar itu penting untuk membantu kita agar tidak terjebak pada pemikiran elit. Ketiga, sumber dinasti politik tidak hanya relasi keluarga intim atau demokrasi pasutri yang selama ini selalu menjadi diskursus dominan, namun terdapat empat aspek, seperti tribalisme, feodalisme, jaringan maupun populisme.”37
Dari pembacaan penulis terhadap analisis penelitian Wasisto, setidaknya dia hendak mengemukakan bahwa pembentukan dinasti politik tidak hanya dapat dilihat dari perspektif elit yang sudah menjadi semacam kaca mata umum bagi para ilmuwan politik. Padahal
melalui pendekatan familisme kita akan
mengetahui bagaimana proses pembentukan dinasti politik itu terjadi. Familisme sendiri tidak terdeterminasi pada dorongan keluarga untuk membentuk atau tidak membentuk kekuasaan secara dinasti, tetapi juga dilihatnya berdasarkan pada dukungan dan dorongan dari masyarakat.38 Dengan penelitian yang sudah ada, seperti Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusof serta Wasisto Raharjo Djati, yang telah mengupas tuntas apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya dinasti politik serta karakteristik lingkungan sosio politiknya. Sekalipun penelitian di atas tidak terkait dengan tema besar dominasi dan dinasti politik di Bangkalan, setidaknya penulis sudah mendapatkan gambaran umum tentang bagaimana perkembangan dinamika dinasti politik dari tahun ke tahun, baik itu sebelum era reformasi maupun 37 38
Ibid, h. 228-229. Ibid, h. 229.
21
setelahnya. Ditambah referensi dari kedua tulisan tersebut setidaknya telah memberikan masukan berarti bagi penggunaan teori serta pendekatan metodologi sebagai “pisau analisis” pada tema yang akan penulis angkat. Karena penulis sendiri sadari, bahwa topik dinasti politik di Bangkalan masih baru, sehingga memerlukan literatur pendukung dari penelitian sejenis. F.
Metodelogi Penelitian Metode yang akan digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif sendiri merupakan sebuah metodelogi penelitian dengan ketajaman dan kedalaman peneliti atas konteks dan fenomena objek penelitian. Bahwa objek penelitian memiliki makna yang mesti dipahami secara mendalam, karena sifatnya interpretatif, maka peneliti mesti memahami dan mendalami makna dari beragam pemahaman yang berbeda-beda tersebut.39 Penelitian yang akan dilakukan merupakan kajian secara mendalam mengenai impak lahirnya dominasi Fuad Amin pada pembentukan dinasti politik. Mengapa dinasti politik muncul, dan bagaimana ia muncul, merupakan dua pertanyaan utama yang harus peneliti jawab. Selain itu, peneliti pun hendak mengkaji ulang apakah betul bahwa praktek intimidatif di lingkungan pemerintahan lokal masih berlangsung sehingga mobilisasi massa sangat mungkin dilakukan. Atau apakah legitimasi masyarakat pada pemerintahan dinasti bukan bersumber dari praktik intimidatif yang sebetulnya sudah terlalu kuno dipraktikkan, melainkan berasal dari budaya irasionalitas yang masih mengungkungi kesadaran masyarakat. Untuk itu, peneliti mesti menganalisa pola struktural masyarakat, baik itu dari
39
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar, (Jakarta: PT. Indeks, 2012), h. 7-10.
22
peninggalan-peninggalan sejarah berupa karya tekstual, dokumen resmi, maupun interaksi langsung dengan para ahli sejarah dan masyarakat Bangkalan. G.
Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara Wawancara dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai
prosesi tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapatnya mengenai suatu hal.40 Karenanya, tekhnik wawancara ini sangat berguna untuk megelaborasi data serta pemantapan konteks mengenai wacana yang akan didiskusikan. Oleh karenanya, proses wawancara atas kasus yang hendak digarap akan dipusatkan terhadap beberapa nara sumber yang diantaranya adalah para keluarga Bani Kholil, Madura Corruption Watch (MCW), masyarakat dan pihak-pihak terkait. 2. Studi/Telaah Dokumentasi Yang peneliti maksud dengan studi/telaah dokumentasi adalah pencarian literatur yang berkaitan erat dengan topik penelitian. Studi/telaah dokumentasi tersebut dapat berupa: artikel, jurnal, buku, catatan sejarah, koran, majalah, blog, dll.41 H.
Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan hasil penelitian yang komperehensif dan saling
berkorelasi antara bab yang satu dengan bab lainnya, maka penulis merunut topik penelitian masing-masing ke dalam 5 bab. Bab pertama menerangkan latar belakang penelitian, mengapa topik dominasi dan dinasti politik pada ranah 40 41
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1127. Samiaji, Penelitian Kualitatif, h. 61.
23
politik lokal dianggap muhim sehingga dipilih menjadi tema yang akan diteliti. Bab kedua menjelaskan teori yang secara khusus digunakan sebagai pisau analisis membedah tema yang diteliti, yang dalam hal ini penulis akan memaparkan apa itu local strongmen dan apa itu bosisme dan apa itu oligarki, dan bagaimana ketiga teori ini kompatibel untuk menerangkan munculnya dominasi dan dinasti politik. Bab ketiga merupakan deskripsi wilayah yang hendak diteliti. Dalam bab ini penulis menggambarkan bagaimana Bangkalan secara kultural, politik, ekonomi dan agama. Selanjutnya adalah bab keempat, pada bagian ini penulis menganalisa fenomena munculnya dominasi dan dinasti politik Fuad Amin di Bangkalan melalui kaca mata teori yang sudah disediakan tadi. Apakah teori-teori tersebut masih relevan untuk menjelaskan kedua fenomena itu atau tidak. Dan kelima adalah penarikan kesimpulan dari hasil penelitian. Kesimpulan ini membicarakan uraian singkat dari penyebab munculnya dominasi dan dinasti di Bangkalan.
24
BAB II KERANGKA TEORI
A. Teori Local Strongmen/Orang Kuat Lokal Perubahan sosial politik yang terjadi dan merubah warna masyarakat dunia pada saat ini, dinilai sebagai dampak pergerakan negara-negara di dunia dan masyarakat di masa lalu. Atau dalam terminologi Marx, dikenal dengan diskursus materialisme histroris1. Di mana globalisasi, kolonialisasi, dan industrialisasi melahirkan pengaruhnya yang begitu primer. Huntington menjelaskan, bahwa perubahan yang terjadi atas negara dan masyarakat di dunia hingga memunculkan dualisme potret antara negara kuat dan negara lemah bukanlah disebabkan karena macam-macam jenis pemerintahan yang dianut, tetapi lebih pada efektifitas kinerja sebuah pemerintahan itu berjalan.2 Negara, dalam masa tertentu, pernah menjadi simbol tunggal dalam dinamika kehidupan masyarakat karena kapabilitas dan koersinya yang begitu besar. Segala garis kebijakan tersentralisasi pada wujud negara sebagai satusatunya pemilik kekuatan otonom. Negara menjadi pusat kuasa yang tak terbendung. Pengalaman ini dapat kita lihat semasa perang dunia I, II, perang dingin, di masa kolonialisme global, dan sewaktu gelombang industrialisasi mendera dunia modern. Sedangkan pasca itu, semua kritik, peran sentral dan
1
Materialisme Historis merupakan sebuah konsep dari filsafat Karl Marx yang berarti seluruh peradaban manusia berasal dari kontinuum sejarah yang tak putus-putus. Pip Jone, Pengantar Teori-Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 78. 2 Joel S. Migdal, State in Society: Studying How States And Societies Transform And Constitute One Another (Cambridge, UK: The Press Syndicate of The University of Cambridge), h. 59.
25
pengaruh negara lamat-lamat ditinggalkan oleh para pengkaji/ilmuwan sosialpolitik.3 Pasca kolonialisasi berakhir, kita pun disuguhkan dengan fenomenafenomena baru daripada dasawarsa sebelumnya, yakni munculnya beberapa negara lemah, yang gagal menancapkan pengaruhnya di masyarakat, kesulitan melakukan kontrol terhadap warganya, dan bersusah payah memaksakan aturan konstitusi di wilayah teritorial mereka. Negara tidak dapat melakukan berbagai inisiasi kebijakan di dalam perkembangan kehidupan sosial masyarakat sebagaimana umumnya. Pada kasus ini, Joel S. Migdal mencoba menjelaskannya dengan membawa kita pada pemahaman bahwa negara adalah bagian yang terintegrasi dengan masyarakat. Sifat yang dimiliki negara tidak terlepas dari basis sifat masyarakat di dalamnya.4 Migdal mendefinisikan negara sebagai organisasi besar yang hidup berdampingan dengan organisasi-organisasi lainnya di luar dirinya.5 Secara lengkapnya Joel S. Migdal mengatakan: “The state is a sprawling organization within society that coexists with many other formal and informal social organizations, from families to tribes to large industrial enterprises. What distinguishes the state, at least in the modern era, is that state officials seek predominance over those myriad other organizations. That is, they aim for the state to make the binding rules guiding people‟s behavior or, at the very least, to authorize particular other organizations to make those rules in certain realms. By “rules” I mean the laws, regulations, decrees, and the like that state officials indicate they are willing to enforce through the coercive means at their disposal. Rules include everything from living up to contractual commitments to driving on the right side of the road to paying alimony on time. They involve the entire
3
Ibid, h. 58. GSDRC (Governance and Social Development Resource Center) , “Document Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World – Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554 5 Joel S. Migdal, State in Society, h. 63. 4
26
array of property rights and any of the other countless definitions of the boundaries delineating acceptable behavior for people.”6 “Negara adalah organisasi yang luas di dalam masyarakat yang berdampingan dengan banyak organisasi sosial formal dan informal lainnya, dari keluarga, suku, perusahaan industri besar. Yang membedakan negara, di era modern setidaknya, adalah bahwa pejabat negara mencari dominasi atas segudang organisasi lainnya. Artinya, tujuan mereka untuk negara adalah untuk membuat aturan yang mengikat yang membimbing perilaku masyarakat atau, setidaknya, untuk mengotorisasi/menguasai organisasi lain khususnya untuk membuat aturan-aturan pada aspek tertentu. Dengan "aturan" saya mengartikannya hukum, peraturan, keputusan, dan seperti pejabat negara yang menunjukan kesediaan mereka untuk menegakkan melalui pemaksaan yang mereka tetapkan. Aturan mencakup segala sesuatu dari hidup, komitmen kontrak, mengemudi di sisi kanan jalan, membayar tunjangan tepat waktu. Mereka melibatkan seluruh peranti hak milik dan salah satu definisi yang tak terhitung lainnya dari batas-batas yang menggambarkan perilaku yang dapat diterima oleh orang-orang.” (Terjemahan dari penulis)
Eksistensi organisasi-organisasi di luar negara pada akhirnya menimbulkan berbagai persoalan yang dapat mengurangi kapabilitas negara sebagai satusatunya alat pengontrol yang sah. Etnisitas, klan, bahkan kelompok-kelompok macam sekte agama adalah macam-macam kekuatan yang bisa saja mengganggu bahkan menghalang-halangi jalannya berbagai aturan serta rambu-rambu pembangunan yang telah ditetapkan oleh negara. Hal seperti ini banyak kita temukan pada kasus dan pengalaman negara-negara di dunia ketiga. Di negara-negara yang baru merdeka, modernisasi aturan hukum bisa jadi masih sering bertolak belakang dengan aturan-aturan tradisional yang secara kultur masih kuat tertanam dalam kehidupan masyarakat. Hal ini diperparah lagi dengan kompetisi antar kelompok kepentingan di antara mereka – untuk mengambil alih kekuasaan yang diwariskan pasca bangsa penjajah hengkang. 7 Maka akan terlihat maklum bila kondisi negara di dunia ketiga terbilang lemah. 6 7
Ibid, h. 63. Ibid, h. 64.
27
Sebab infrastruktur negara, baik yang berupa sumber daya manusia maupun fundamentalisme hukum, masih berada dalam tahap perkembangan. Sehingga kontrol sosial sangat sulit diimplementasikan. Beda halnya pada kasus negaranegara di eropa misalnya, di mana tentara, sistem peradilan hukum, dan mekanisme penarikan pajak terorganisir secara baik, dan telah menjadi instrumen pokok dalam wacana strategi dominasi kontrol negara terhadap masyarakat.8 Sedang pada kasus negara-negara baru di dunia ketiga, ikhwal itu belum tercipta secara sempurna. Beragam teori yang ada, seperti teori modernisasi, teori marxis, dan teori ketergantungan, menurut Migdal, tidak mampu menjelaskan apa-apa terhadap ketidakmampuan negara itu dalam mencapai legitimasi kontrol sosial mereka di masyarakat. Teori modernisasi terlalu mengenyampingkan konflik yang lahir dalam tubuh negara, teori marxis seringkali menjurus dan terlalu fokus pada konflik antar kelas, dan teori ketergantungan, banyak mengabaikan peran masyarakat. Ketiganya memiliki kelemahan saat dihadapkan pada pertanyaan: mengapa negara A kuat sedang negara B lemah.9 Untuk itu, Migdal menyodorkan apa yang ia namakan dengan pendekatan state in society, “yang menggambarkan masyarakat sebagai arena jejaring organisasi-organisasi sosial daripada sebagai pendikotomian struktur.”10 “The model I am suggesting, what I call state-in-society, depicts society as a mélange of social organizations rather than a dichotomous structure. 8
GSDRC (Governance and Social Development Resource Center) , “Document Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World – Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554 9 Joel S. Migdal, State in Society, h. 65. 10 Ibid, h. 49.
28
Various formations, including the idea of the state as well as many others (which may or may not include parts of the state) singly or in tandem offer individuals strategies of personal survival and, for some, strategies of upward mobility. Individual choice among strategies is based on the material incentives and coercion organizations can bring to bear and on the organizations‟ use of symbols and values concerning how social life should be ordered. These symbols and values either reinforce the forms of social control in the society or propose new forms of social life. Indeed, this struggle is ongoing in every society. Societies are not static formations but are constantly becoming as a result of these struggles over social control.”11 “Model yang saya sarankan, apa yang saya sebut state-in-society, yang menggambarkan masyarakat sebagai campuran berbagai macam organisasi sosial daripada sekedar struktur dikotomis. Berbagai formasi, termasuk gagasan negara serta banyak lagi yang lainnya (yang mungkin atau yang tidak mungkin termasuk bagian dari negara) secara tunggal atau tandem menawarkan individu-individu strategi bertahan hidup bagi pribadi dan, untuk beberapa, strategi mobilitas ke atas. Pilihan individu di antara beberapa strategi didasarkan pada insentif material dan lembaga paksaan yang dapat membawa, menanggung dan atas penggunaan simbol dan nilai organisasi tentang bagaimana kehidupan sosial harus diwujudkan. Simbol dan nilai-nilai ini baik yang memperkuat bentuk kontrol sosial dalam masyarakat atau yang mengusulkan bentuk-bentuk baru dari kehidupan sosial. Memang, perjuangan ini sedang berlangsung di setiap masyarakat. Masyarakat bukan merupakan bentuk statis tetapi terus menerus mecari bentuk dari hasil lewat perjuangan kontrol sosial ini.” (Terjemahan dari penulis) “To be sure, in some instances, the idea-state may make and enforce many rules in the society or may choose to delegate some of that authority to other mechanisms, such as the church or market. There are other societies, however, where social organizations actively vie with one another in offering strategies and in proposing different rules of the game. Here, the mélange of social organizations is marked by an environment of conflict, an active struggle for social control of the population. The state is part of the environment of conflict in which its own parts struggle with one another. The battles may be with families over the rules of education and socialization; they may be with ethnic groups over territoriality; they may be with religious organizations over daily habits.”12 “Yang pasti, dalam beberapa kasus, gagasan-negara dapat membuat dan menegakkan banyak aturan dalam masyarakat atau mungkin memilih mendelegasikan beberapa kewenangan ke mekanisme yang lain, seperti gereja atau pasar. Masih ada masyarakat lainnya, yang bagaimanapun, di mana organisasi-organisasi sosial secara aktif bersaing satu sama lain dalam menawarkan strategi dan mengusulkan aturan main yang berbeda. Di sini, campuran dari berbagai macam organisasi sosial ditandai oleh lingkungan 11 12
Ibid, h. 49-50. Ibid, h. 50.
29
konflik, perjuangan aktif bagi kontrol sosial penduduk. Negara adalah bagian dari lingkungan konflik di mana negara merupakan bagian tersendiri yang juga berjuang dengan yang lainnya. Pertempuran mungkin saja terjadi dengan keluarga mengenai aturan pendidikan dan sosialisasi; mungkin dengan kelompok etnis mengenai kewilayahan; mungkin dengan organisasi keagamaan mengenai kebiasaan sehari-hari.” (Terjemahan dari penulis)
Dari paparan Migdal itu, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan penting, selain gambaran soal negara sebagai wahana konflik berbagai kepentingan organisasi sosial yang saling berebut mendapatkan pencapaian mereka terhadap kontrol sosial di masyarakat, namun juga soal kemunculan negara lemah (weak state) sebagai impak kekalahan negara oleh kekuatan-kekuatan informal di luar institusi resmi. Setidaknya, konsep Migdal mengenai negara lemah telah merejuvinasi kembali asumsi-asumsi Weber yang terlalu idealistik dalam mendefinisikan negara sebagai satu-satunya asosiasi politik dengan berbagai kekayaan haknya untuk memonopoli kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat.13 “Migdal percaya bahwa negara bukanlah satu-satunya organisasi yang hidup berdampingan dengan masyarakat. Di luar negara, bahkan lebih banyak lagi dari macam-macam organisasi yang ada, yang juga mencoba untuk memberikan dan menanamkan dominasi serta pengaruhnya seperti yang dilakukan oleh negara. Cara mereka melakukan itu semua, selain dengan memberikan insentif berupa bantuan dan keamanan, juga dengan memberikan sanksi sosial kepada siapa saja yang tidak mematuhinya. Sanksi sosial ini dapat berupa adanya tindakan kekerasan dan pengucilan. Dengan banyaknya organisasi yang menjamur di luar negara, maka masyarakat dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit untuk memilih satu di antara mereka, mana saja yang benar-benar memanifestasikan diri sebagai kelompok yang mampu menstimulus konstruksi „strategi bertahan hidup‟ bagi mereka. Masyarakat, dalam hal ini, bukan berarti hidup dalam kebebasan tanpa adanya aturan yang mengikat dan mengatur mereka, tapi faktanya mereka tetap hidup dalam aturan aturan, tetapi dalam alokasi yang tidak terpusat. Karena berbagai sistem aturan dan peradilan mengatur mereka dalam waktu dan secara bersamaan. Berhasil tidaknya sebuah organisasi untuk melakukan kontrol sosial terhadap anggotanya tidak saja 13
Daniel Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism, territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.
30
terlihat saat mereka mematuhi segala aspek dan aturan yang berlaku di dalam organisasi tersebut, tetapi saat mereka juga meyakini dan sadar bahwa nilai legitimasi yang mereka berikan adalah baik dan benar.”14
Harus digarisbawahi, bahwa kontrol sosial, dominasi, dan hegemoni merupakan alat politik paling ampuh yang mesti dimiliki negara dalam rangka mengatur, mengarahkan, memaksakan dan membatasi segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat. Tanpa memegang kendali dominasi dan kontrol atas masyarakat, negara akan menjadi lemah, dan masyarakat akan berpaling untuk mengikuti aturan dan arahan yang berasal dari organisasi informal di luar negara. Sehingga perebutan kontrol sosial di masyarakat mutlak menjadi penting sebab upaya mobilisasi masyarakat hanya akan terjadi apabila tiga komponen ini terpenuhi: partisipasi, kepatuhan, dan legitimasi.15 Kontrol sosial sendiri singkatnya diartikan sebagai: “The state‟s capacity to mobilise society rests on social control, defined as the ability to make the operative rules of the game for people in society. The major struggles in many societies are over who has the right and ability to make the rules that guide people‟s social behaviour (the state or other organisations).”16 “Kapasitas negara untuk memobilisasi masyarakat bertumpu pada kontrol sosial, yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk membuat aturan operasi dari aturan main untuk orang-orang dalam masyarakat. Perjuangan utama di banyak masyarakat adalah lebih kepada siapa yang benar dan mampu membuat aturan yang membimbing perilaku masyarakat sosial (negara atau organisasi lain).” (Terjemahan dari penulis) 14
Hasil terjemahan penulis dalam bagian tertentu pada artikel yang ditulis oleh Daniel Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism, territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004. 15 GSDRC (Governance and Social Development Resource Center) , “Document Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World – Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554 16 GSDRC (Governance and Social Development Resource Center) , “Document Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World – Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554
31
Ada banyak usaha yang dilakukan oleh negara maupun organisasi informal dalam memaksakan aturan dan kehendak mereka. Ikhwal paling penting adalah dengan adanya “proses pemberian sanksi dan hadiah lewat beragam bentuk: insentif material, paksaan, dan manipulasi simbolik kehidupan sosial.”17 Adanya kelompok ataupun institusi informal di luar negara yang mengurangi efektifitas dan kapabilitas negara, oleh Migdal ditengarai disebabkan oleh kehadiran local strongmen (orang kuat lokal). Orang kuat lokal, secara konsep, jelasnya didefinisikan sebagai kekuatan informal, baik yang berupa “tuan tanah, tengkulak, pengusaha, kepala suku, panglima perang, bos, petani kaya, pemimpin klan, .....dan sebagainya, yang berusaha memonopoli kontrol atas masyarakat dalam cakupan wilayah tertentu lewat kerjasama jejaring yang mereka bangun.”18 Di banyak kasus, orang kuat lokal sering ditemukan di negara-negara Asia-Afrika. Mereka umumnya adalah negara-negara yang baru merdeka dengan modal infrastruktur hukum dan keinstitusian yang masih sedikit pengalaman. Infiltrasi yang dilakukan oleh para orang kuat lokal di dalam negara, setidaknya menghasilkan instabilitas politik yang mau tidak mau telah meningkatkan eksistensi mereka di mata para politisi maupun implementors (sebutan Migdal untuk para pelaksana tugas pemerintah pusat di daerah)19 untuk dijadikan partner
17
GSDRC (Governance and Social Development Resource Center) , “Document Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World – Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554 18 Melvin Perjuangan Hutabarat. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi,” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), h. 17. 19 Daniel Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism,
32
maupun jaringan patronase – atau agen kepentingan mereka dalam momen-momen pemilu. Imbalnya, para orang kuat ini mendapatkan akses langsung pada perolehan sumber daya ekonomi yang diberikan politisi atau para implementors kepada mereka. Bahkan tak jarang, orang kuat ini berhasil melakukan lobi untuk menaruh beberapa keluarganya di pos-pos pemerintahan supaya dapat memastikan bahwa sumber proyek ekonomi yang diberikan tidak jatuh ke tangan pihak lain. Persekongkolan antara pihak birokrat, politisi, dan orang kuat lokal ini biasa disebut
dengan
istilah
segitiga
akomodasi.20
Kontan
dengan
adanya
persekongkolan antara para implementors dengan orang kuat lokal ini telah menjadikan alokasi kepentingan pusat yang terangkum dalam segala kebijakan di berbagai aspek yang sejatinya akan diterapkan untuk daerah menjadi terganggu. 21 “Mereka berhasil menempatkan diri atau menaruh anggota keluarga mereka pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang menurut aturanaturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibukota atau dikeluarkan oleh pelaksana peraturan yang kuat (Migdal 1988:256).”22
Dalam dinamika politik lokal di Indonesia, eksistensi orang kuat lokal bisa ditelusuri lewat beragam kultur dan budaya setempat. Penisbatan orang kuat lokal di masing-masing wilayah mempunyai istilah yang beragam. Di Banten misalnya, manifestasi orang kuat lokal digambarkan melalui julukan Jawara. Sedang istilah
territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004. 20 Melvin. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia.” Ibid, h. 17-18. 21 Daniel Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism, territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004. 22 Menurut Migdal seperti dikutip John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru (Jakarta: Demos, 2005), h. 73.
33
orang kuat lokal di Madura dikenal dengan sebutan Blater. Keberadaan dan posisi mereka, bila dilihat dari aspek sejarah, merupakan aktor yang tumbuh dan berkembang di dalam adat dan budaya masyarakat sejak era pra kolonial dan masa kolonial. Mereka lahir dengan berbagai pengalaman kekerasan di sekeliling mereka. Sikap, tindakan, serta cara pandang yang berlaku di masyarakat merupakan benih internalisasi budaya kekerasan yang melekat dalam diri orang kuat lokal. Bahkan rupa mereka di masa lalu tak jarang adalah para pemberontak, pembela rakyat, penolong kaum papa – yang dengan kekuatan serta keberanian yang dimiliki, bersama-sama melakukan perlawanan terhadap kesemena-menaan para elit, baik elit penjajah maupun elit feodal lokal. Cerita rakyat ini turun temurun diwariskan dalam beberapa kisah heroik semisal Ken Arok, Samin, dan Pitung.23 Eksistensi mereka bila merunut pada kesimpulan Migdal, adalah imbas dari pola adat yang sudah mengakar dalam kultur di masyarakat. Dan yang tak kalah penting, keberadaan orang kuat lokal merupakan kiamat bagi jalannya efektifitas dan dominasi negara atas masyarakat – sebab negara otomatis menjadi lemah dan gagal untuk melakukan kontrol. Atau dengan bahasa yang lebih halus, akan sulit untuk melakukan berbagai perubahan melalui program serta kebijakan yang tengah dicanangkan.24 Faktor munculnya orang kuat lokal dan sepak terjang mereka oleh migdal dijelaskan sebagai berikut. “Pertama, local strongmen tumbuh subur dalam masyarakat yang mirip dengan jejaringan. Berkat struktur yang mirip jejaringan inilah, para orang kual lokal memperoleh pengaruh signifikan yang jauh melampaui pengaruh 23
Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding Era Sentralisasi (Widya Padjadjaran, 2011), h. 57. 24 John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi,” h. 73-74.
34
para pemimpin dan para birokrat lokal formal. Kedua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan memanfaatkan komponen penting yang diyakini masyarakat sebagai „strategi bertahan hidup‟. Logika bertahan hidup, memberikan kesempatan bagi local strongmen bukan saja bagi membangun legitimasinya di mata rakyat yang mengharapkan ibanya untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, tetapi juga memperluas kekuasaannya. Personalisme orang kuat lokal menempatkan mereka sebagai patron yang memberi kebaikan personal bagi kliennya (baca:pengikutnya) yang (serba) kekurangan – di daerah kekuasaan mereka. Ketiga, local strongmen secara langsung ataupun tidak telah berhasil membatasi kapasitas lembaga dan aparatur negara sehingga menyebabkan pemerintah lemah.”25
Merujuk pada kesimpulan akhir bahwa orang kuat lokal merupakan penghambat laju pembangunan di negara dunia ketiga sebab keberadaannya telah membatasi kapasitas negara, begitu menarik bila dianalisis ulang. Benarkah eksistensi mereka adalah parasit yang selamanya mengganggu proyek pembangunan? Apakah orang kuat lokal tidak dapat tumbuh di negara yang kuat? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan dibahas di kerangka teori lainnya oleh John T. Sidel. Dia menawarkan kerangka teori alternatif bagi bertolakbelakang dengan tesis
frame analisis
orang kuat
lokal
yang
Migdal. Teorinya dikenal dengan istilah local
boss/bos lokal. B. Teori Bos Lokal/Local Boss Bagi siapapun yang memiliki minat pada pembahasan dinamika politik lokal di dunia ketiga, tentu sulit untuk melepaskan diri dari konsep local strongmen yang diilhami dari beberapa temuan Joel S. Migdal soal kapabilitas negara-negara dunia ketiga dalam rangka mengontrol dan mengatur jalannya biro pemerintahan di masyarakat. Dalam temuannya, Migdal membuat hipotesa penyelidikan pada unsur-unsur penopang mengapa negara-negara di dunia ketiga praksis cenderung
25
Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, h. 56-57.
35
menjadi negara yang lemah.26 Negara lemah adalah negara yang tidak mampu menguasai dominasi dan kontrol atas masyarakatnya, sebab hal ini disebabkan adanya tarikan kekuatan di luar negara yang lebih besar. Pokok inti dari risetnya adalah bahwa negara bukanlah satu-satunya organisasi yang memaksakan, mengatur, dan mendominasi kontrol sosial di dalam masyarakat sebagaimana tercermin dalam pandangan Weber. Kendati keabsahan tunggal mutlak hanya dimiliki negara, tetapi di luar negara, ternyata terdapat banyak kekuatan informal dan aktor lainnya yang juga memiliki pengaruh dan upaya yang sama besar dengan negara demi mendapatkan legitimasi kontrol sosial tersebut. Secara hukum, dalam perspektif negara, mereka - para (kelompok informal), bisa jadi adalah kelompok-kelompok yang inkonstitusional, karena sifat dan eksistennya telah mengurangi legitimasi serta kepatuhan masyarakat kepada negara. Bentuk rupa ini salah satunya tergambarkan lewat para jago atau orang kuat yang secara simbolik memiliki modal kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar dalam lingkup kehidupan masyarakat sehari-hari, - hal inilah yang membedakan mereka dengan masyarakat biasa. Secara ringkas, keberhasilan local strongmen atau orang kuat lokal dalam mencapai distribusi dan pengakuan kontrol sosial mereka di masyarakat menurut Migdal, didasari atas tiga faktor utama. Pertama, karena sifat masyarakat yang berbentuk jejaring, dimana klientisme tumbuh sumbur dan berkembang. Sehingga kontrol sosial terfragmentasi pada kekuatan-kekuatan yang ada – karena tidak mampu dimonopoli oleh negara. Kedua, karena proses akulturasi mitos “strategi 26
John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru (Jakarta: Demos, 2005), h. 72-73.
36
bertahan hidup” yang ada dalam diri orang kuat lokal di masyarakat, dan sudah menjadi simbol tersendiri di antara mereka. Di mana orang kuat menjadi satusatunya tumpuan hidup masyarakat. Dan ketiga, kemampuan orang kuat lokal mengintervensi, menembus, dan menangkap lembaga-lembaga negara sehingga menjadikan negara menjadi lemah – yakni melalui semacam gangguan lewat berbagai tindakan koersif yang ditujukan pada birokrat-birokrat pemerintah.27 Selain Joel S. Migdal dengan teorinya soal local strongmen/orang kuat lokal, teori tentang kebangkitan kekuatan informal di luar negara lainnya ditengadahkan juga oleh John T. Sidel. Dalam teorinya Sidel memilih diksi yang sedikit berbeda dari pendahulunya tersebut. Dia menyebut teorinya dengan istilah local boss/bos lokal atau bossism/teori bosisme. Sebagaimana yang diakui oleh John T. Sidel sendiri, teori ini merupakan kerangka analisis alternatif guna menjelaskan fenomena orang kuat lokal akan kondisi yang lebih akurat serta komperehensif saat dihadapkan pada kasus-kasus negara dunia ketiga di Asia Tenggara. Teori ini merupakan pemutarbalikan fakta atas temuan-temuan Migdal di negara dunia ketiga atau sebagai pelengkap dari kelemahan teori yang telah ada. Bila dalam perspektif Migdal kemunculan orang kuat lokal diproduksi di luar negara dan merupakan penyebab negara menjadi lemah, Sidel berpendapat sebaliknya, bahwa bos lokal merupakan hasil dari perkawinan silang negara dengan sistem pasar. Artinya, negara setidaknya memiliki peran dalam mereproduksi, mengandung, serta melahirkan para bos lokal dalam dimensi kehidupan sosial mereka. Sehingga argumen Migdal yang menyatakan bahwa
27
Ibid, h. 72-75.
37
orang kuat lokal hanyalah penghambat sistem kapital dan arus modal, terbantahkan sama sekali. Faktanya, orang kuat lokal dengan globalisasi dan arus modal internasional, mampu beradaptasi bahkan meraup untung dengan ikut serta menjadi salah satu agen pemain di dalam sistem pasar tersebut. 28 Mereka melihat berbagai proyek pembangunan di negara-negara dunia ketiga sebagai peluang untuk memperkaya diri dan menjaga jejaring mereka (melalui pemberian insentif), dengan menguasai segala bentuk sumber daya ekonomi yang banyak dicairkan oleh negara. Perbedaan mencolok lainnya, di antara local strongmen dan local boss terletak pada asumsi masing-masing teorisi mengenai historisitas dan impak dari lahirnya kekuatan informal ini. Bila Joel S. Migdal datang dengan asumsi bahwa kemunculan orang kuat lokal lebih disebabkan karena ketidakmampuan negara dalam menguasai kontrol sosial di masyarakat – dalam artian negara telah menjadi lemah akibat dampak aktivisme orang kuat lokal terlebih dulu. Sidel sebaliknya, bahwa orang kuat/bos lokal hadir dari proses strukturasi yang sengaja digunakan negara untuk meminimalisir kontradiksi program-program mereka di masyarakat pada tingkat bawah, serta sengaja dipelihara untuk menopang kepentingan oknum yang bersemayam dalam negara.29 Hal ini tercermin dalam bentuk negara kapitalistik di kawasan Asia Tenggara, dimana arus modal banyak mewarnai jalannya pembangunan pasca kolonialisme dan orang kuat lokal hidup harmonis di dalam era baru tersebut.
28
Ibid, h. 74-75. Melvin Perjuangan Hutabarat. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi,” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), h. 21. 29
38
Dengan demikian, gambaran Migdal mengenai kemunculan orang kuat yang disebabkan karena kapabilitas negara yang tidak mampu menjadi satu-satunya kekuatan tunggal pengontrol kehidupan sosial di masyarakat menjadi sedikit terganggu. Dalam hal ini nyatanya negara telah dijadikan kendaraan yang ditumpangi dan dibajak
untuk meraup sebesar-besarnya keuntungan dan
kekayaan bagi para elit – termasuk pimpinannya sendiri. Alih-alih berupaya untuk mensejahterakan rakyat, mereka terang-terangan menggunakan jargon rakyat hanya sebagai kepentingan mereka sesaat. Kampanye dengan menggunakan simbol rakyat merupakan bias paradoks demokrasi prosedural. Mereka membentuk jejaring yang mengakar sampai tingkat regional paling rendah. Mereka juga melakukan berbagai macam penyelewengan terhadap kekuasaan yang mereka pegang: intimidasi, KKN, dan kekerasan fisik. Bila pemimpin negara adalah simbol negara itu sendiri, maka hipotesis negara lemah sebagai latar belakang munculnya orang kuat yang diutarakan Migdal tidak relevan dalam kasus-kasus di negara tertentu. Sebab pemimpin negara telah menjadi bagian yang terintegrasi dari jaringan patronase dan penyelewengan yang mereka kerap pelihara.30 Pasca gelombang demokratisasi melanda negara-negara di dunia ketiga, alih-alih menghasilkan demokrasi substansial ke arah kemakmuran masyarakat sebagaimana pengalaman di barat, demokrasi di dunia ketiga nyatanya hanya berhasil
melaksanakan
prasyarat
negeri
demokrasi
prosedural
versi
Schumpetarian. Demokrasi di lapangan realitanya banyak dimanfaatkan oleh
30
Ibid, h. 21.
39
sebagian kalangan untuk kepentingan personal. Monopoli kekuasaan menjadi ciri transisi demokratisasi di negara-negara dunia ketiga. Hal ini tercermin dalam beberapa lembaga pemerintahan yang banyak diisi dan dijadikan ajang rebut kekuasaan antara pengusaha dan para preman, baik lokal maupun nasional. Maka karena beragam alasan dan kondisi yang ada, khususnya fenomea orang kuat lokal di Asia Tenggara, Sidel merevisi kembali definisi orang kuat lokal yang diutarakan Migdal dalam perkembangan negara modern di dunia ketiga. Menurutnya, orang kuat adalah para bos lokal yang berhasil memelihara jejaring politik mereka dan mendapatkan akses terhadap monopoli kontrol sosial di masyarakat melalui penguasaan pada sumber-sumber ekonomi dan penguasaan pada tindak kekerasan dalam yurisdiksi teritori mereka. 31 Atau jelasnya Sidel mengatakan: “The term “bosses” refers to predatory power brokers who achieve monopolistic control over both coersive and economic resources within given territorial jurisdictions or bailiwicks”32 “Istilah" bos "mengacu pada pialang kekuasaan predator yang mencapai kontrol monopoli melalui pemaksaan dan sumber ekonomi dalam yurisdiksi teritorial tertentu atau daerah kekuasaan” (Terjemahan dari penulis)
Para bos lokal ini, dalam fungsi dan praksisnya saling berkelindan satu sama lain. saling bekerja sama, membentuk kelompok patronase yang saling memberi keuntungan satu sama lain. Keberadaan mereka sangat dinamis di segala tingkatan. Mereka adalah jejaring yang saling menempati posisi-posisi tertentu mulai dari tingkatan kabupaten/kota, provinsi, dan sampai ke pusat.33
31
Ibid, h. 20. John T. Sidel, Capital, Coercion, and Crime: Bossisme in the Phillipines (California: Stanford University Pers, 1999), h. 19. 33 Ibid, h. 21. 32
40
Dengan memilih negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia, Filipina, dan Thailand, Sidel hendak berusaha memperkuat argumennya bahwa orang kuat lokal di negara-negara yang dimaksud bukan hanya berasal dari proses panjang tradisional yang kuat mengakar melalui feodalisme dan kolonialisme, melainkan ditopang pula oleh sifat negara di tengah keterbukaan kapitalisme pasar global - di samping differensiasi varian orang kuat lokal di setiap negara adalah sangat mencolok.34 Dalam kasus orang kuat lokal di Filipina misalnya, Sidel dengan tegas menerangkan bahwa kemunculan orang kuat lokal di negara itu tidak hanya berasal dari monopoli pemilikan tuan tanah atas tanah besar dan kekuatan patronklien yang menggurita. Kekekalan orang kuat lokal di Filipina lebih disebabkan oleh subordinasi negara dan akumulasi primitif yang bermula semenjak era penjajahan. Subordinasi yang dilakukan semenjak Spanyol berkuasa melalui pemilihan aparatur negara di tiap tingkatan dengan mekanisme pengawalan yang sangat ketat dengan melibatkan institusi gereja sebagai lembaga seleksi, berubah drastis tatkala Amerika memegang alih kekuasaannya di Filipina. Subordinasi negara tetap berjalan tetapi melalui mekanisme yang lebih independen – tidak mengikutsertakan gereja dalam pemilihan. Pemilihan secara independen ini terjadi pada tahun 1901. Akibatnya, penguasaan kontrol sosial terbuka bagi pihak swasta di mana mereka tetap menggunakan diskresi politik mereka semasa penjajah Spanyol, guna mendapatkan kekuatan penuh terhadap aturan-aturan yang dikehendaki. Sampai Filipina merdeka pada tahun 1946, dan konstitusi
34
Sidel, “Bosisme dan Demokrasi,” h. 75.
41
direjuvinasi, para orang kuat lokal ini sudah terlanjur kuat mencengkeram alam sadar masyarakat.35 Adapun pola variasi bos lokal dalam masyarakat Filipina, digambarkan oleh Sidel sebagai berikut. “Pertama, bos lokal berhasil berurat-akar bila dan di mana “puncak komando” (commanding height) dari politik ekonomi lokal memberi kontrol monopolistis, utamanya terhadap berbagai kegiatan ilegal, simpul perniagaan/kemacetan transportasi, tanah-tanah pemerintah, pengaturan ketat tanaman dagang dan industri. Kedua, dimana kontrol monopolistis terhadap perekonomian lokal bergantung pada kekuasaan derivatif dan diskresi yang didasarkan pada negara, maka satu generasi bos-bos dengan gaya preman terpaksa harus bersandar pada pialang kekuasaan superordinat yang dukungannya menjadi landasan kemunculan, berurat-akar, dan bertahan hidupnya mereka. Mengambil sikap bermusuhan berarti kehancuran atau kematian mereka. Ketiga, sebaliknya, dimana kontrol monopolistis terhadap perekonomian lokal bersandar pada pembangunan basis kokoh pemilik kekayaan di luar bidang campur tangan negara, para bos terpaksa melawan kasak-kusuk permusuhan pialang-pialang kekuasaan superordinat dan berhasil mewariskan daerah kekuasaan mereka kepada generasi penerus dengan model dinasti klasik.”36
Kasus bos lokal di Filipina, dengan para bos memiliki jejaring patron mereka di tingkat politik nasional dan memiliki klien jejaring mereka di struktur bawah, menandaskan bahwa patron-klien sistem sangat terasa dalam praktek per-bos-an di Filipina. Kompetisi yang mewarnai pemilu di Filipina biasanya dipertentangkan oleh dualisme kekuatan bosisme. Mulai dari pemilihan walikota pada tingkat daerah, sampai pemilihan presiden di tingkat nasional. Koalisi antar kekuatan para bos ini sangatlah dinamis dari waktu ke waktu. Mereka dalam kurun waktu tertentu bisa berpindah haluan dari jejaring mereka di tiap tingkatan dan afiliasi mereka di tiap partai politik.37 Karena mereka tidak terikat oleh ideologi atau prinsip tertentu. Mereka hanya terikat dalam jalinan pragmatik temporal.
35
Ibid, h. 75-80. Ibid, h. 78-79. 37 Melvin, Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era Desentralisasi, h. 21. 36
42
Guna melanggengkan eksistensinya, para bos lokal ini melakukan berbagai upaya, di antaranya: “Melakukan intimidasi dan kekerasan politik, menempatkan kerabat dan kroni di pos-pos pemerintahan, mengatur penempatan pejabat daerah, mengatur pinjaman bank daerah, membangun mesin politik, mengatur proyek pemerintah, mengatur peraturan daerah, mengatur keringanan pajak, memberikan konsesi dan kontrak pertambangan, kehutanan, dan perkebunan, menggunakan cara-cara radikal guna menghalau serikat buruh dan mengatasi konflik tanah.”38
Adapun kasus bosisme yang terjadi di Thailand, hampir sama beriringan dengan terjadinya reformasi birokrasi dan sistem modal yang marak mewarnai negara tersebut pada era 1970-an. Reformasi yang dimaksud adalah tranfromasi birokrasi yang menggabungkan dua kekuatan inti birokrasi sekaligus, yakni militer dan sipil.39 Masalah yang muncul sewaktu digulirkannya reformasi birokratik adalah persoalan kelembagaan yang masih kurang siap menghadapi perubahan yang disertai ekonomi pasar yang lebih terbuka. “Korupsi Pasar,” sebagaimana yang dikatakan oleh James C. Scott menggejala dengan para agen lokal yang perlahanlahan mulai mengakumulasi modal dari sistem kapitalisme. Gejolak bosisme semakin melaju ketika pada tahun 1980-1990 para bos lokal atau para chao po ikut serta dan menguasai setengah mayoritas jumlah anggota parlemen. Kendatipun kekuasaan militer masih dominan.40 Ketenaran para chao po juga meningkat karena dengan kekuasaan yang mereka miliki, mereka bukan hanya berlaga sebagai broker ekonomi yang menguasai pasar, tetapi mereka juga bertindak sebagai broker politik yang seringkali mengirim para pemilih untuk patron mereka
38
Ibid, h. 22. Ghifary, Zikry Auliya, “Local Bossism: Indonesia dan Thailand dalam Perspektif Komparatif,” artikel diakses pada 10 Maret 2015 https://www.academia.edu/2612170/ 40 Sidel, “Bosisme dan Demokrasi,” h. 81-83. 39
43
di tingkat kota, provinsi, pusat atau untuk diri mereka sendiri. Hal ini mereka lakukan melaui tindakan-tindakan koersif, manipulasi, dan pembelian suara.41 Perbedaan antara bosisme di Filipina dan Thailand menurut Sidel, terletak pada dua hal. Pertama transisi pelimpahan wewenang kontrol sosial untuk kasus Thailand dari pusat ke daerah yang berbarengan dengan pertumbuhan kapitalisme cenderung lambat, kedua pola komunikasi antara pemerintahan pusat dan parlemen dibalut melalui koalisi sistem multipartai yang didasarkan jaringan patronase antar mereka.42 Lain halnya dengan Filipina dan Thailand, format bosisme lokal di Indonesia lebih longgar dan tidak seketat dengan fenomena bosisme di dua negara tersebut. Pertama, karena Indonesia selama kurun waktu 1966-1998 dijalankan dengan skema pemerintahan otoritarianisme, dimana kekuatan di luar negara diberangus. Diksresi dan segala keputusan apapun hanya berdasarkan instruksi pusat termasuk di dalamnya penempatan dan rotasi pimpinan wilayah (walikota/bupati/gubernur), wakil-wakil rakyat di parlemen, menteri, panglima TNI, dan ketua-ketua organisasi maupun partai politik. Celah masuknya kekuatan informal untuk mendikte kontrol sosial hampir tidak terlihat sama sekali. Soeharto menjadi satusatunya momok dengan kekuatan dan kekuasaan terbesar yang tersebar di berbagai pelosok wilayah negara. Kedua, pasca Soeharto rampung dari jabatannya dan desentralisasi diterapkan dalam arti yang sebenarnya-benarnya, sekalipun kesempatan para elit lokal terdahulu memiliki peluang yang lebih besar untuk tetap atau memperluas kuasanya ketimbang di waktu Soeharto berkuasa, tetap saja 41 42
Ibid, h. 83. Ibid, h. 84.
44
mereka harus berlomba dan bersaing dengan kekuatan lainnya di parlemen – yang juga memiliki kuasa untuk merancang konstitusi. Sebagaimana dikatakan oleh Sidel, mereka kerap “dirintangi oleh kendala-kendala institusional.”43 Akan tetapi hal ini tidakah semata-mata penghambat laju ambisi para bos, sebab sistem pemilihan secara langsung pada saat berlangsungnya pilkada menurut Sidel bisa jadi merupakan jalan alternatif menuju pencapaian bosisme lokal dalam membangun, memperluas, menjaga, dan memelihara kuasa mereka di aras lokal.44 Dengan pilkada langsung, mereka dapat memobilisasi rakyat dengan beragam cara: intimidasi, suap, dan pengucilan. Inilah yang masih menjadi kelemahan sistem demokrasi di negara dunia ketiga. Demokrasi masih dipahami sebagai ajang prosedural semata – dan tidak substansial. Sehingga kebebasan partisipatif rentan memuat praktek-praktek amoral yang berseberangan dengan nilai-nilai humanisme dan emansipatoris warga. Kekerasan dan praktek uang masih menjadi gejala umum praktek demokrasi di Indonesia dan negara dunia ketiga umumnya.45 C. Teori Oligarki Penjelasan Aristoteles mengenai varian dan tipe pemerintahan berdasarkan jumlah orang yang memerintah, dan motif elit yang duduk di struktur pemerintah, yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat Yunani, merupakan salah satu penjelasan awal yang membahas asal muasal pengetahuan pada terma oligarki, di samping penjelasan Aristoteles lainnya yang mengkaji soal demokrasi. Perbedaan oligarki dan demokrasi menurut Aristoteles bertumpu pada dialektika aktor dengan berdasarkan jumlah kekayaan yang dimiliki oleh masing-masing 43
Ibid, h. 99. Ibid, h. 99. 45 Ibid, h. 71. 44
45
pihak, dan juga dengan motif politik yang dibawakan berdasarkan preferensi masing-masing. Bila oligarki kental dengan aroma kekuasaan pada segelintir minoritas kaya dengan motif untuk mempertahankannya, sedang demokrasi merupakan kekuasaan oleh – kalangan marjinal46 – yang menyimpan motif untuk bisa mensejajarkan diri bersama-sama secara egaliter, baik antara kalangan kaya maupun miskin, baik keluarga sultan maupun rakyat biasa, baik masyarakat kota maupun masyarakat pedalaman. Agar seluruhnya turut serta menggenggam hakhak politik, kebebasan berserikat, berpendapat, memilih dan dipilih, serta mengajukan aspirasi perundang-undangan. Sejarah oligarki merupakan sejarah yang identik dengan dua hal, pertama oligarki menandaskan superioritas orang berpunya, kedua oligarki identik dengan bagaimana sepak terjang mereka di dunia politik dalam posisinya sebagai elit. Dalam perkembangannya, teorisasi soal oligarki dalam kacamata ekonomi politik perlahan-lahan mulai bias dan bercampur aduk dengan teori elit yang banyak diilhami lewat karya-karya Mosca, Pareto, Michels47 – sekadar menyebutkan. Sulit untuk menspesifikasi elit dan oligark sekaligus. Padahal terdapat jurang pembeda yang begitu ekstrem antara terma elit di satu sisi, dan oligarki di sisi lain. Pembeda yang menggarisbawahi kedua bentuk pola – yang sama-sama mengambil inti “segelintir orang memerintah yang banyak, atau minoritas mendominasi mayoritas” – ini terletak pada basis sumber daya kekuasaan yang menopang keduanya. Selama beberapa kurun masa, terjadi kesimpangsiuran serta kerancuan antara kerangka konseptual yang melekat pada elit dan oligark. 46 47
Jeffrey A. Winters, Oligarki (Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, 2011), h. 40. Ibid, h. 39.
46
Permasalahannya tak lain ditimbulkan oleh definisi yang banyak digunakan oleh kedua term ini. Seringkali posisi elit memiliki makna dan arti ganda yang serupa sebagaimana oligark. Padahal, dengan melihat asal mula sumber daya kekuasaan yang diperoleh dan digunakan oleh masing-masing pihak, sangat kentara apa pembeda di antara keduanya. Barulah beberapa tahun kemudian, para ilmuwan politik berusaha dengan keras untuk memodernisasi dan memisahkan garis pembatas yang jelas mengenai pengertian apa itu elit, siapa itu elit, dan berlaku pula hal sebaliknya: apa itu oligarki dan siapa itu oligark. Hal ini melaju berbarengan seiring pencapaian kemajuan bentuk negara modern yang secara komposisi menyembunyikan berbagai modus yang sarat kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Hak milik pribadi dan klaim harta menggema menjadi salah satu isu substansial yang tidak hanya diatur oleh ketentuan ekonomi dan hukum, melainkan mengarah masuk menjadi salah satu motif fundamental bagi sebagian kalangan – yang terselubung dalam politik. Dan elit sebagai kerangka teoritis, tidak mampu membedah fenomena ekonomi-politik secara lebih dalam. Bila merunut pada pengertian awal oligarki, di mana para ilmuwan politik bersandar pada definisi Aristoteles, ada poin-poin yang terabaikan saat mereka memahami sekuel oligarki yang dimaksudkan oleh filsuf tersebut. Bagi Winters, para ilmuwan politik hanya terfokus pada pengertian kuantitas aktor yang berperan memerintah saja: “satu orang, sedikit orang, atau banyak orang.”48 “Tak ada maknanya mengecap tiap kelompok kecil orang yang berpengaruh tak proporsional sebagai oligarki. Minoritas mendominasi mayoritas di 48
Ibid, h. 3.
47
banyak konteks. Yang penting adalah bagaimana minoritas melakukannya dan melalui sumber daya kekuasaan apa.”49 “Oligarki tidak merujuk pada sistem kekuasaan oleh sekumpulan pelaku tertentu. Oligarki menjabarkan proses dan tatanan politik terkait sejumlah kecil individu kaya yang bukan hanya berkuasa karena sumber daya material, melainkan juga terpisah karena berseteru dengan sebagian besar komunitas (termasuk dengan sesamanya). Oligarki berpusat pada tantangan politik pertahanan konsentrasi kekayaan. Oligarki yang telah ada sejak fajar sejarah manusia menetap dan terus ada sampai sekarang berbeda-beda bentuknya, tergantung bagaimana cara menghadapi tantangan politik itu (Winters, oligarchy, h. 39).”50
Ikhwal ini selaras dengan inti konsep oligarki yang diterangkan Aristoteles, bahwa tak lain dan tak bukan juga menyimpan kepentingan lain dari sekadar kampanye formal sang aktor di masyarakat. Ibarat sistem demokrasi yang berisi tumpah ruah segala retorika kalangan marjinal (terpingirkan) untuk dapat mencapai universalitas hak dan emansipasi - sebab segala apapun jenis pemerintahannya, manusia hidup dengan berbagai kepentingan.51 Maka berdasarkan sejarah manusia dari masa ke masa, dan dari transformasi hak milik dan klaim harta yang lebih canggih, oligarki merupakan sebuah usaha di mana orang-orang kaya mengupayakan agar hak milik mereka tetap lestari dan terlindungi dari pihak-pihak luar yang mencoba mengganggunya, dan klaim harta mereka tetap sama besarnya atau jika bisa, dapat bertambah dan meningkat.52 Dari jalur inilah akhirnya Winters memulai kerangka konseptual oligarki yang lebih rinci. Poin pokok lain dari kesimpulan kepemilikan material atas hak milik adalah bahwa ketidaksetaraan material berdampak pada ketidaksetaraan politik. Hal ini sepadan dengan apa yang dikatakan oleh De Laveleye: “para filsuf 49
Ibid, h. 4. Jeffrey A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia,” Majalah Prisma, Vol. 33 (2014): h. 15. 51 Jeffrey A. Winters, Oligarki, h. 41. 52 Ibid, h. 58. 50
48
dan pembuat hukum zaman dulu tahu benar, berdasarkan pengalaman, bahwa kemerdekaan dan kesetaraan politik hanya bisa ada ketika didukung kesetaraan kondisi”.53 Orang-orang kaya dengan harta yang melimpah bisa melakukan apapun demi terwujudnya cita-cita dan tujuan politik mereka. Dengan bekal material yang lebih besar dibandingkan yang lain, selain mendapatkan kedudukan eksklusif di mata masyarakat, mereka pun memiliki wewenang yang besar karena posisinya. Sulit untuk membayangkan bahwa orang-orang tidak menaruh hormat pada macam orang jenis ini.54 Hal yang membedakan elit dan oligark berasal dari stimulus sumber daya kekuasaan yang mereka miliki. Sumber daya kekuasaan sebagaimana yang diklasifikasikan oleh Winters, memiliki relevansi kuat pada corak aktor yang menggunakannya. Sumber daya kekuasaan ini terbagi ke dalam lima jenis. Pertama adalah hak politik formal, kedua, jabatan resmi, ketiga adalah kekuasaan koersi (pemaksaan), keempat adalah kekuasaan mobilisasi, dan terakhir adalah basis kekuatan material. Empat sumber daya kekuasaan yang disebutkan di awal merupakan kombinasi akumulasi yang membentuk kekuatan elit. Sedangkan sumber yang terakhir merupakan basis terpenting eksistensi oligark.55 Hak politik formal dalam sejarahnya merupakan sumber daya kekuasaan yang eksklusif. Tidak sembarang orang mendapatkan hak istimewa agar dapat berpartisipasi; dipilih atau memilih. Sejarah bangsa Athena misalnya, melukiskan bagaimana para budak dan perempuan menjadi kaum marjinal dalam urusanurusan politik. Atau orang kulit hitam dalam sejarah bangsa Amerika mengalami 53
Ibid, h. 7. Ibid, h. 7. 55 Ibid, h. 17-19. 54
49
hal serupa. Usaha untuk mendapatkan hak politik formal tidak mudah oleh sebagian kalangan. Dengan demikian, hak politik merupakan satu dari beberapa sumber kekuasaan yang penting.56 Sama halnya dengan jabatan resmi, dengan predikat sebagai seorang pejabat di dinas-dinas/lembaga tertentu, seseorang mampu mengerahkan
segala kekuasaannya
berdasarkan kehendak
yang
diingingkan. Rasa patuh dari bawahan, atau loyalitas orang-orang yang berada di sekelilingnya, jika bukan karena simbol jabatan yang dipegang, maka sangat sulit untuk mendapatkannya.57 Adapun kekuasaan pemaksaan, hal ini didasarkan pada keabsahan negara dalam mensubordinasikan instrumen pemaksaannya terhadap warga negara. Sebagai elemen resmi, negara sebagaimana perspektif Weber, memiliki hak dan wewenang untuk memaksakan segala ketentuan hukum dan aturan kendatipun menggunakan cara-cara fisik.58 Sedang kekuasaan mobilisasi muncul dari dalam kharisma seseorang yang disandarkan pada “keberanian, status, gagasan, atau kelihaian retorika, penulis, agitator, cendekia, dan lain-lain,”59 jika bukan karena jabatan resmi yang dipegang.60 Sedangkan kekuasaan material/kekayaan sangat berbeda dari sumber daya kekuasaan lainnya. Sumber daya kekuasaan terakhir hanya dimiliki oleh orangorang tertentu dengan kapasitas yang dinamis. Maklumlah bila kemudian oligark berdiri lebih tinggi di atas semua golongan. Karena kapanpun, dengan modal yang besar, sewaktu-waktu para oligark bisa merenkarnasikan diri atau mengenyam dua 56
Ibid, h. 19-20. Ibid, h. 20-22. 58 Ibid, h. 22-23. 59 Ibid, h. 23. 60 Ibid, h. 23. 57
50
status sosial sekaligus, baik sebagai elit maupun oligark. Kendatipun kondisi sebaliknya bisa saja terjadi.61 Dengan kekayaan material melimpah, ketimpangan politik sangat terasa. Apalagi bila praktek ini dilihat di negara-negara yang belum mapan secara demokrasi, di mana demokrasi masih berjalan dalam batasan-batasan prosedural seperti yang dikatakan oleh Schumpeter. Ditambah penegakan hukum yang hanya berupa semboyan semata. Maka sangat kentara sekali jurang pemisahnya. Oligark – melaui arus finansial mereka – mampu membayar aparat hukum, menyewa milisi, menyewa massa, memanipulasi hasil pemilu, dan menyuap masyarakat untuk memilih mereka.62 Maka satu-satunya jalan menghilangkan ketimpangan politik yang disebabkan oleh ketidaksetaraan material bagi Winters adalah dengan melakukan pola redistribusi kekayaan atau dengan menghilangkan sekat ketidakmerataan material.63 Keberadaan oligark begitu fleksibel dari zaman ke zaman. Dari beragam sejarah sistem pemerintahan, mereka mampu beradaptasi dan memposisikan diri. Mereka bukan hanya tumbuh dalam satu sistem tertentu, melainkan bisa menerobos masuk ke semua sistem; termasuk demokrasi. Hal ini sedikit mengejutkan memang, orang-orang yang menaruh harapan pada demokrasi pluralis sekalipun,64 mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa faktanya ketidakadilan material adalah momok menakutkan yang juga dapat tumbuh subur 61
Jeffrey A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia,” Majalah Prisma, Vol. 33 (2014): h. 15. 62 Jeffrey A. Winters, Oligarki, h. 28. 63 Dicky Dwi Ananta, “Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Kontemporer,” artikel ini diakses pada tanggal 23 Agustus 2015 dari http://indoprogress.com/2014/11/oligarki-tatanan-ekonomipolitik-indonesia-kontemporer/ 64 Jeffrey A. Winters, Oligarki, h. 2.
51
dalam sistem demokrasi. Di mana para oligark, dengan posisi politik yang dia duduki, mencoba me-reka ulang aturan yang menguntungkannya secara ekonomi. Atau berusaha untuk menghindari pajak yang banyak membebani klaim harta mereka. Masalah ini relevan dengan konteks pengertian oligarki per definisi. Diambil dari pengertian oligarki menurut Winters, ia adalah “pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya.”65 Singkatnya, oligarki “merujuk kepada politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material.”66 “Jika kekayaan pribadi ekstrem mustahil dimiliki atau tidak ada, maka oligark juga tidak ada. Tiga perkara langsung bersangkut paut. Pertama, kekayaan adalah bentuk kekuasaan material yang beda dari segala sumber daya kekuasaan lain yang bisa terkonsentrasi di tangan minoritas. Kedua, yang penting adalah bahwa penguasaan dan pengendalian sumber daya itu dilakukan untuk kepentingan pribadi, bukan lembaga. Oligark selalu individu, tak pernah berupa perusahaan atau kelompok lainnya. Ketiga, definisi oligark tetap konstan di berbagai zaman dan kasus. Faktor-faktor itulah yang membedakan mereka dengan elit, dan memisahkan oligark dari bentuk dominasi minoritas lain.”67
Dengan adanya gambaran yang komperehensif tentang oligarki dan bagaimana sepak terjang mereka dalam diskursus ekonomi-sosial ini, berarti kita bisa mengetahui motif apa yang melatarbelakangi oligark saat terjun ke dunia politik. Ancaman terhadap kekayaan material yang mereka timbun, akan semakin besar tatkala jumlah kekayaan yang tersimpan juga sama besarnya. Atau semakin besar harta seseorang, semakin besar pula ancaman yang akan dihadapi. Bila ketentuan hak milik sudah diatur oleh undang-undang dalam konstitusi negara modern,
65
Ibid, h. 8. Ibid, h. 10. 67 Ibid, h. 9. 66
52
sehingga seseorang tidak bisa secara sembarang melakukan tindakan kriminal dengan mengambil hak milik orang lain, justeru kini yang dihindari oleh para oligark adalah ketentuan-ketentuan pajak yang berasal dari negara itu sendiri. Mereka berusaha untuk mengelak dari pajak negara semampu yang mereka bisa. Dengan masuknya oligark ke dunia politik, maka dengan mudah mereka membuat diskresi terhadap aturan yang mereka kehendaki. Ada empat jenis oligarki berdasarkan tipologi yang dikeluarkan Winters, mereka adalah: oligarki panglima, oligarki sultanistik, oligarki penguasa koletif, oligarki sipil.68 Pembagian tipologi oligarki ini seperti yang Winters ungkapkan ada pada: “Kadar keterlibatan langsung oligark dalam melakukan pemaksaan yang menyokong klaim atau hak milik atas harta kekayaan; keterlibatan oligark dalam kekuasaan atau pemerintahan; sifat keterlibatan dalam pemaksan dan kekuasaan itu; terpecah atau kolektif; dan terakhir apakah oligark bersifat liar atau jinak (di mana penjinakan oleh pihak luar lebih umum serta lebih stabil daripada penjinakan diri sendiri).”69
Oligarki panglima merupakan jenis paling ekstrem dibandingkan dengan yang lain. Oligarki jenis ini menuntut keikutsertaan langsung oligark untuk terjun dan berseteru melalui ragam persengketaan dengan para oligark lainnya dalam rangka perjuangan mempertahankan sumber daya kekayaan/penghasilan. 70 Oligarki penguasa kolektif lebih bersifat kelembagaan,71 di mana para oligark berkumpul sebagai “komisi mafia.”72 Adapun oligarki sultanistik lebih dekat kepada pengertian dipegangnya kekuasaan oleh satu orang oligark saja. Untuk jenis ini 68
Ibid, h. 48-54. Ibid, h. 48. 70 Ibid, h. 52. 71 Ibid, h. 52. 72 Istilah lain yang dinisbatkan oleh Winters untuk menyebut aktivitas oligarki model penguasa kolektif. 69
53
bisa dilihat pengalaman Indonesia di bawah Soeharto.73 Dan oligarki sipil cenderung diartikan sebagai usaha oligark untuk menjauhi bahkan jika bisa menghindar ketentuan-ketentuan pajak negara. Atau seperti yang Winters kemukakan: “upaya mengelak dari jangkauan tangan negara yang hendak melakukan redistribusi kekayaan.”74 Di samping Winters, ilmuwan politik yang juga menaruh minat pada persoalan oligarki lainnya adalah Vedi dan Robinson. Lokalitas penelitian Vedi dan Robinson pada praktek dan historisitas kelahiran oligark di Indonesia, setidaknya telah memberikan wawasan tambahan tentang bagaimana mereka tumbuh dan tetap bertahan kendati demokrasi semu ala Soeharto telah berakhir. Ikhwal penting dari sejarah oligarki di Indonesia terbentang semenjak kapitalisme pasar dibuka sampai ketika Indonesia mengalami boom oil di era 1970-1980. Ini merupakan masa-masa pembenihan sekaligus cikal bakal kemunculan oligarki dan membenamkan pengaruhnya pada sistem ekonomi-politik nasional di belakang bayang-bayang Soeharto. Dengan berada di belakang Soeharto, negara bukan hanya telah menjadi salah satu aspek pelindung, bahkan penyuplai penting segala bantuan, kredit pinjaman, kolusi tender, dan sebagainya, hingga mereka tetap bisa survive sampai saat ini. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dulu dilakukan Soekarno dengan jargon kemandirian dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan aset kolonial, mau tidak mau dirubah haluannya oleh Soeharto dengan mengikuti model pasar global, di mana saat itu laju inflasi telah mencapai “600 persen dengan kemampuan 73 74
Ibid, h. 53. Ibid, h. 54.
54
produksi yang kecil (Chalmers,1997)”.75 Dengan dibukanya pasar dan arus investasi modal, pada titik inilah korupsi kolusi nepotisme mengalir deras berkesinambungan dengan penguasaan proyek-proyek negara dan pemberian lisensi yang ditetapkan pada orang-orang pilihan. Apalagi geopolitik global di tahun 1974 telah memaksa harga minyak naik drastis sebab perseteruan ArabIsrael, yang memberi keuntungan tersendiri terhadap rezim borjuis kapitalis. Mereka meraup banyak pemasukan dari penjualan minyak yang tengah meroket. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama karena harga minyak kembali normal di pertengahan tahun 1980-an dan pada 1986 harga minyak kembali ke harga sebelum tahun 1973. Kepanikan ini berdampak pada kebijakan deregulasi sektorsektor ekonomi. Namun faktanya liberalisasi pasar yang diambil tidak serta merta merubah sifat korporatis predatoris yang lebih egaliter dan sehat. Kondisi ini bahkan tetap mengekalkan praktek-praktek KKN yang sudah berakar-urat.76 Begitupun dengan kondisi saat terjadinya letusan demonstrasi besar-besaran di tahun 1998, reformasi umumnya hanya menjadi jargon semata, nyatanya kekuatan-kekuatan predator yang dulu dipelihara orba tetap eksis dan mampu beradaptasi dengan sistem yang baru. Desentralisme merupakan bahasa lain dari devolusi aktivitas KKN yang semakin terpolarisasi. Dengan titik tolak persepektif neo-marxis,77 Vedi mengasumsikan kemunculan oligarki sebagai dampak bangunan korporatisme negara, di mana
75
Menurut Chalmers seperti dikutip Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005), h. 180. 76 Ibid, h. 177-190. 77 Dicky Dwi Ananta, “Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Kontemporer,” artikel ini diakses pada tanggal 23 Agustus 2015 dari http://indoprogress.com/2014/11/oligarki-tatanan-ekonomipolitik-indonesia-kontemporer/
55
negara merupakan akumulasi para pemburu rente demi tercapainya kepentingan personal. “Saat oligarki ini terkonsolidasikan di pertengahan dan akir 1980-an – dengan dasar patronase negara dan akses ke sumber daya negara – ia dengan perlahan merampas kekuasaan negara itu sendiri dan mengubah aparatur negara menjadi suatu „komite‟ yang mengelola perlindungan terhadap berbagai kepentingannya. Berbeda dari negara-negara industri maju sekarang ini, kecenderungan di Indonesia dewasa ini telah menggemakan kembali rumusan Marx dan Engels yang terkenal tentang „eksekutif negara modern‟ yang bertindak sebagai suatu „komite yang mengelola urusan bersama‟ kaum borjuis (Marx dan Engels dalam Panitch dan Leys, 1998). Dengan memanfaatkan kekuasaan dan lembaga-lembaga negara untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, keluarga birokratis dan korporatis yang memiliki posisi kuat mampu mengendalikan kebijakan ekonomi, bahkan saat Indonesia secara international dipuji karena suatu reorientasi ke arah serangkaian kebijakan propasar.”78
Singkatnya negara menjadi arena yang melegalkan aktivitas borjuasi yang berusaha memperkaya diri mereka sendiri melalui pelemahan-pelemahan kelompok
penentang,
disorganisasi
civil
society
dan
kalangan
buruh
revolusioner.79 Relasi yang terjalin antara negara dengan kekuatan-kekuatan sosial lainnya mutlak mendudukan negara pada koersifitas kontrol yang tinggi. Di samping lahirnya organisasi-organisasi bayangan pro pemerintah yang menambah beban perjuangan kalangan-kalangan kontra untuk protes dan melawan pemerintah. Seperti yang dikatakan oleh Vedi “kekuasaan atas negara dapat secara instrumental – bukan hanya secara struktural – dapat dikendalikan oleh kekuatankekuatan sosial yang dominan.”80
78
Vedi, Dinamika Kekuasaan, h. 170. Ibid, h. 193-202. 80 Ibid, h. 172-173. 79
56
BAB III PROFIL BANGKALAN
A. Geografi dan Demografi Pulau Madura Madura merupakan salah satu pulau yang terletak di salah satu titik laut Jawa. Keberadaannya dengan Jawa hanya dipisahkan oleh sebuah selat yang dikenal dengan Selat Madura. Selat Madura, selain sebagai pemisah antara Pulau Jawa dan Madura, juga merupakan penghubung pertemuan antara Laut Jawa dan Laut Bali. Luas pulau ini adalah 5.304 km2.1 Menurut Mardiwarsito, nama Madura berasal dari bahasa sanskerta yang artinya permai, indah, molek, cantik, jelita, manis, ramah tamah, dan lembut. Nama pulau ini mirip dengan nama sebuah prefektur di India selatan.2 Di ujung timur pulau ini, ada kepulauan Kangean dan Sapudi yang terdiri dari 50 pulau, baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni.3 Dalam struktur geografis, Madura berada pada posisi 7 derajat selatan khatulistiwa, dan 112 derajat serta 114 derajat bujur timur. 4 Letaknya tepat berdekatan dengan kota Surabaya di sebelah timur pulau Jawa. Kota Surabaya sendiri banyak dihuni oleh orang-orang Madura. Tak heran di kota ini kemudian lahir suporter ultras klub Persebaya yang dijuluki Bonek Mania (bocah nekat) yang identik dengan kultur kekerasan carok di Madura.
1
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), h. 3-5. 2 Muh. Syamsudin, ―Agama, Migrasi dan Orang Madura,‖ Aplikasia, Jurnal Aplikasi llmuIlmu Agama, Vol. VIII, No. 2 (Desember 2007:150-182): h. 151. 3 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 5. 4 Ibid, h. 3.
57
Gambar III.1. Peta Madura
Sumber Gambar: Google Map 2016
Bila diperhatikan dengan seksama, secara geologis, Madura adalah bagian dari embel-embel utara Jawa yang merupakan terusan dari pegunungan kapur yang terletak di sebelah utara dan selatan lembah Solo. Bedanya bukit kapur di Madura lebih rendah dan kasar ketimbang di Jawa. Begitu pun dengan beberapa gunung di Madura, tinggi puncaknya relatif rendah bila dibandingkan dengan gunung-gunung di Pulau Jawa. Bahkan gunung di Madura terkesan lebih tepat jika disebut bukit. Gunung-gunung tertinggi di Madura antara lain: Gunung Gadu 341 m, Gunung Merangan 398 m, dan Gunung Tembuku 471 m.5 Secara administratif pulau ini masuk ke dalam wilayah politik provinsi Jawa Timur yang terdiri atas 4 kabupaten di dalamnya, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.6 Pulau Madura, sebagaimana telah dijelaskan, adalah
5
Ibid, h. 5- 6. Mutmainnah, ―Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura,‖ dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto, ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 214. 6
58
lanjutan ekologis tekstur Jawa. Hanya saja sayangnya, Madura secara genealogis didominasi oleh tanah regusol, grumusol, aluvial, dan tanah mediteran merah kuning yang kurang baik dijadikan sebagai lahan pertanian. Iklim di pulau Madura terbagi atas dua macam musim, musim pertama adalah musim hujan dengan jumlah curah hujan yang sangat minim, musim kedua adalah musim kemarau dengan suhu rata-rata tinggi.7 Sungai utama di pulau ini di antaranya adalah Sungai Bangkalan, Sungai Balega, Sungai Sampang, dan Sungai Saroka.8 Dari beberapa sungai yang disebutkan, hanya Sungai Sampang yang terhitung dapat diandalkan sebagai jalur transportasi air yang dapat membawa perahu sampai ke pedalaman.9 Sepanjang musim kemarau, masyarakat Madura mengandalkan kebutuhan airnya dari galian di pinggiran palung-palung sungai tersebut. Selain diwarnai dengan geografis sungai, Madura sebelum modernisasi merebak, sebetulnya juga banyak memiliki hutan.10 Namun pasca modernisasi, hutan-hutan mulai tereduksi jumlahnya dan kini luas areal hutan di Madura tidak lebih berkisar antara 47.487.30 Ha.11 Walau mata pencaharian masyarakat Madura mayoritas adalah masyarakat agraris, tapi tidak sedikit pula dari mereka yang memilih profesi sebagai nelayan, pedagang, dan peternak. Intensitas cuaca yang selalu tinggi antara 32-33 derajat celcius, dengan curah hujan yang terbatas 1000-2000 mm, mengakibatkan tanah di Madura kurang subur dan tidak cocok untuk bertanam padi. Alternatifnya,
7
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 8. Ibid, h. 9. 9 Ibid, h. 9. 10 Ibid, h. 9. 11 BPS Provinsi Jawa Timur, ―Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi,‖ data ini diakses pada tanggal 16 Februari 2016 dari http://jatim.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/80 8
59
masyarakat menggunakannya sebagai lahan tegal yang banyak ditanami umbiumbian seperti singkong dan jagung.12 Simbol tegal inilah yang membedakannya dengan kultur Jawa yang khas dengan persawahan dan sistem irigasi yang terintegrasi.13 Tapi dengan segala tingkat rendah kesuburan tanahnya, Madura tetap merupakan pemasok garam penting bagi kebutuhan garam nasional.14 Tingkat kepadatan penduduk di Madura sangat tinggi. Paling kentara, kepadatan penduduk di Madura terpaku di sekitar daerah aliran sungai dengan daerah Bangkalan dan Pamekasan sebagai wilayah terpadat dibandingkan dua daerah lainnya yakni Sampang dan Sumenep.15 Kebanyakan masyarakat Madura tinggal di daerah-daerah terpencar dengan pola pemukiman yang unik. Hal ini dikarenakan lahan tegalan yang ditanami Jagung, Singkong, dan beberapa umbiumbian lainnya tidak memungkinkan terjadinya konsentrasi penduduk di suatu wilayah tertentu dalam skala besar. Beda halnya dengan pola pemukiman masyarakat Jawa yang serentak yang banyak dipengaruhi oleh keberadaan sawah, dengan penduduk terkonsentrasi dalam satu kesatuan wilayah dengan jumlah yang tinggi.16 Pemukiman masyarakat Madura yang terpencar yang dipengaruhi oleh ekologi tegal ini telah memberikan lanskap kultur tersendiri pada pola dan bentuk kampung di wilayah Madura. Pola pemukiman tegal di Madura, biasa dinamakan ‗tanean lanjang‘ untuk daerah Sumenep, dan ‗kampong meji‘ di daerah
12
Ibid, h. 8. Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 215. 14 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 8. 15 Ibid, h. 23. 16 Ibid, h. 11-23. 13
60
Pamekasan. Unit sosial berdasarkan kelompok tegal ini biasanya hanya berlaku atas dasar ikatan keluarga saja. Gambaran mengenai bentuk pemukiman ini adalah deretan pemukiman yang memanjang dari barat ke timur dimulai berurutan dari keluarga tertua sampai keluarga termuda dengan posisi rumah sama-sama menghadap ke selatan dengan masing-masing rumah memiliki dapur sendiri. Yang khas dari pola pemukiman seperti ini adalah bahwa musala, sumur, dan lumbung padi dikelola secara bersama-sama. Menurut Kuntowijoyo, secara filosofi hal tersebut menandakan bahwa masyarakat Madura mandiri secara ekonomi namun tidak menafikan satu kesatuan dengan keluarga luas.17 Secara sosial, masyarakat Madura lebih individualistik ketimbang masyarakat Jawa. Menurut Kuntowijoyo dan Abdurahman, hal ini merupakan dampak ekologi Madura terhadap demografi masyarakatnya.18 Solidaritas antar masyarakat di Madura hanya terjadi antar unit kelompok tegalan secara internal. Berbeda dengan solidaritas desa di Jawa yang tumbuh karena maraknya gotong royong semisal saat pembagian air untuk sawah, kerja bakti, ronda dan lain sebagainya. Solidaritas desa di Madura tidak terbentuk dalam kerangka ekonomi, melainkan agama. Agama menjadi satu-satunya simbol yang berperan menjaga dan melestarikan solidaritas antar masyarakat. Ritual agama, upacara, dan ormasormas agama memiliki kekuatan dalam mobilitas sosial. Sedang administrasi desa hanya dianggap sebagai beban yang memberatkan, karena berkaitan dengan pajak dan pemilu.19
17
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 215. 18 Ibid, h. 215. 19 Ibid, h. 216.
61
Pemerintahan
desa
di
masyarakat
Madura
kurang
diperhatikan,
kehadirannya tidak sekuat dan seoptimal dewan-dewan desa di Jawa. Bahkan sebagai basis kekuatan formal, pamor desa dikesampingkan. Perkumpulan desa secara administratif yang umumnya membicarakan kepentingan bersama hampir tiada. Misalnya saja rapat-rapat mengenai lahan pertanian atau perkebunan yang dikelola secara komunal seperti yang terjadi di desa-desa di pulau Jawa. Sebab sebagian besar tanah produktif di Madura dikelola perorangan.20 Selain ekologi tegal yang sudah dijelaskan, ekologi masyarakat Madura juga sedikit-banyak dipengaruhi oleh kelangkaan pangan, sekalipun sebagian besar petani di Madura menanam Jagung dan Padi, tetapi hasilnya tetap tidak mencukupi bagi kebutuhan masyarakat Madura secara keseluruhan.21 Menurut Kuntowijoyo,22 ada dua musabab mengapa kelangkaan pangan mempengaruhi faktor ekologi masyarakat. Pertama kelangkaan pangan berpengaruh pada ketergantungan ekonomi masyarakat Madura, kedua, kelangkaan pangan pada akhirnya menggerakan mobilitas sosial masyarakat itu sendiri. Untuk mengatasi kelangkaan pangan, Madura mendatangkan bahan-bahan pokok makanannya dari Bali dan beberapa kota di Jawa Timur. Ekspansi mobilitas sosial pada masyarakat Madura biasanya terjadi ketika musim kemarau melanda. Minimnya air dan lahan garapan, membuat masyarakat mau tidak mau memilih untuk meninggalkan kampungnya dan mendatangi kota-kota lainnya di Indonesia. Urbanisasi masyarakat Madura mayoritas didominasi oleh kaum pria.
20
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 17-18. Ibid, h. 38. 22 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 216. 21
62
Mereka bermigrasi ke daerah-daerah sepanjang pantai utara timur jawa yang searah dengan letak kabupaten mereka. Penduduk Bangkalan bermigrasi ke daerah-daerah Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Bojonegoro. Penduduk Sampang bermigrasi ke Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang. Penduduk Sumenep dan Pamekasan ke arah Jember, Bondowoso, dan Banyuwangi.23 Kultur agama masyarakat Madura pada umumnya mirip dengan kultur yang berlaku di kalangan masyarakat Jawa, penghayatan serta penghormatan pada Kyai ditempatkan pada urutan paling tinggi. Di samping kepercayaan pada klenik, mitos, serta adatisme agama masih menghiasi wajah dan corak religiusitas masyarakat setempat. Hal ini terbilang wajar, mengingat dulu Madura merupakan bekas teritorial kerajaan-kerajaan Hindu dan Islam Jawa.24 Sinkretisme Jawa merupakan akulturasi Hindu dan Islam. Soal ini mendapat perhatian khusus dari banyak peneliti luar yang salah satunya adalah Snouck Hurgonje, seorang sarjana Islam Belanda yang mengungkapkan bahwa islam hanyalah formalitas agama dalam subkultur masyarakat Jawa.25 Selain Hurgonje, antropolog besar yang berkontribusi dalam mendalami teologi Jawa adalah Cliford Geertz dengan risetnya tentang islamisasi Jawa. Ia menemukan bahwa islam dalam masyarakat Jawa terbagi kedalam beberapa subkelompok yang dibedakan berdasarkan tingkat pemahaman dan penghayatan mereka terhadap
23
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 24. Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 216-217. 25 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 18. 24
63
islam sebagai agama. Subkelompok tersebut adalah Santri, Abangan,26 dan Priyayi.27 Dari uraian di atas, bila dilakukan komparasi kultur antara Jawa dan Madura, signifikansi pokok pembeda hanya terletak di persoalan demografi. Persamaan dimensi keagamaan lebih mencolok, karena berdasarkan historisitas, Madura adalah bagian dari kerajaan-kerajaan Jawa. Walau sebelum tahun 1800 dan sebelum menjadi bagian dari teritori Hindia-Belanda, di Madura banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil, akan tetapi mereka terlalu sibuk dengan pertikaian sehingga sulit untuk melakukan konsolidasi di antara mereka. Bahkan ketika VOC muncul dan mulai melakukan eksplorasi perdagangan di seluruh wilayah nusantara, Madura banyak bergantung pada kerajaan-kerajaan di Jawa. Kerajaankerajaan di Madura antara lain pernah berada di bawah Kerajaan Hindu, Kerajaan Islam Demak dan Surabaya, dan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. 28 B. Tinjauan Singkat Kabupaten Bangkalan Bangkalan adalah kabupaten paling barat pulau Madura dan merupakan salah satu wilayah ekonomi khusus di provinsi Jawa Timur. Bangkalan masuk ke dalam 7 wilayah prioritas pengembangan pembangunan beserta beberapa kota lainnya yang biasa disebut dengan istilah ‗Gerbangkertosusilo‘ yang mencakup Gresik, Bangkalan, Kediri, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan dengan
26
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. 172-173. 27 Ibid, h. 341-315. 28 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 44.
64
Surabaya sebagai pusat pembangunan.29 Letak Bangkalan sangat strategis karena menjadi gerbang masuk pulau Madura. Menurut Kuntowijoyo, dilihat dari segi arsitektur bangunan di dalamnya, semenjak dulu Bangkalan memiliki hubungan erat dengan morfologi kota-kota di Jawa. Hal ini dapat ditelusuri melalui beragam bangunan seperti istana, alun-alun, masjid, dan kampung Cina yang menghiasi wajah Kabupaten Bangkalan. 30 Gambar III.2. Peta Bangkalan
Sumber Gambar: Google Map 2016
Di Kabupaten Bangkalan terdapat jembatan Suramadu yang merupakan akronim Surabaya-Madura yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura dengan panjang jembatan mencapai 5,4 KM.31 Sebelum suramadu terbentuk, inter-relasi antara Jawa dan Madura terhubung dengan menggunakan transportasi laut melalui pelabuhan Ujung-Kamal. Tetapi setelah suramadu diresmikan, perlahan-lahan 29
Hari Poerwanto, Profile Bangkalan Dan Dinamika Komunitas Perkotaan Dalam Kaitannya Dengan Pengembangan Kawasan Gerbangkertosusilo (Laporan Penelitian Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1992/1993), h 4-5. 30 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 224. 31 Tempo.co, ―Pukul 00.00 Jembatan Suramadu Tersambung,‖ artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari http://nasional.tempo.co/read/news/2009/04/01/058167605/
65
orang-orang berpindah haluan dari yang sebelumnya menggunakan kapal Ferry, kini menyeberang menggunakan transportasi darat melewati jembatan Suramadu. Secara ekonomi, Jembatan Suramadu merupakan marwah perekonomian Madura, karena barang dari dalam dan luar Madura dapat keluar-masuk lebih mudah pasca suramadu dibangun ketimbang menggunakan transportasi air di Selat Madura. Mobilitas sosial antar pulau pun meningkat pesat, terutama penduduk Bangkalan yang mengambil banyak keuntungan dengan adanya jembatan ini. Secara geografis, luas wilayah Bangkalan adalah sekitar 1.264, 05 km persegi. Curah hujan yang terjadi di wilayah ini berkisar antara 1.347 mm – 2.175 mm. Bila dilihat dari ketinggiannya di atas permukaan laut, Bangkalan berada pada ketinggian 0-250 meter. Struktur tanah di Bangkalan terdiri dari komposisi batuan alluvium, plistosen, fasies sedimen, pliosen fasies batu gamping dan miosen fasies sedimen.32 Jumlah kecamatan di Kabupaten Bangkalan adalah 18 kecamatan dengan 8 kelurahan dan 273 desa. Adapun wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bangkalan adalah Kabupaten Sampang di sebelah timur, laut jawa sebelah utara, dan selat madura di sebelah selatan dan sebelah barat. Dari beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Bangkalan, 10 di antaranya merupakan daerah pesisir pantai yaitu: Kecamatan Sepulu, Bangkalan, Socah, Kamal, Blega, Modung, Kwanyar, Arosbaya, Klampis, dan Tanjung Bumi. Sedangkan 8 kecamatan lainnya adalah daerah-daerah berbukit, yaitu: Kecamatan
32
Hari Poerwanto, Profile Bangkalan Dan Dinamika Komunitas Perkotaan, h. 51.
66
Bumeh, Geger, Kokop, Tragah, Tanah Merah, Blega, Labang, Konang, dan Galis.33 Berdasarkan data yang penulis himpun dari badan pusat statistik nasional, kepadatan penduduk Bangkalan pada tahun 2013 mencapai 715,65 per kilo meter persegi. Dengan dua kecamatan berpenduduk terbanyak yaitu Kecamatan Galis dan Kecamatan Bangkalan. Jumlah ini masih berada jauh di bawah Kabupaten Pamekasan yang rata-rata kepadatan penduduknya pada tahun yang sama mencapai 1.031, 68 per kilo meter persegi.34 Rata-rata mata pencaharian masyarakat Bangkalan ada pada sektor pertanian, yang lainnya di sektor perdagangan dan jasa. Data ini dapat dilihat dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Bangkalan yang hampir sepertiganya berasal dari sektor pertanian dengan capaian 28,90 persen, perdagangan 27,62 persen, dan jasa 15,66 persen.35 C. Islamisasi dan Simbol Kiai dalam Perspektif Masyarakat Madura Pengislaman Jawa menjalar pada pengislaman daerah-daerah lainnya di nusantara. Fenomena islamisasi daerah-daerah di nusantara merupakan impak dari adanya hubungan dagang yang saling terkait antara daerah satu dengan daerah lainnya. Perdagangan dapat dikatakan sebagai pola ‗islamisasi nusantara‘ yang berbeda bila dibandingkan pengislaman yang terjadi di antara kabilah-kabilah 33
Bappeda Jawa Timur, ―Kabupaten Bangkalan,‖ data ini diunduh pada tanggal 17 Juni 2015 dari http://bappeda.jatimprov.go.id/bappeda/wp-content/uploads/potensi-kab-kota-2013/kabbangkalan-2013.pdf 34 BPS Provinsi Jawa Timur, ―Kepadatan Penduduk Pertengahan Tahun Menurut Kabupaten/Kota 2010-2013,‖ data ini diakses pada tanggal 18 juni 2015 dari http://jatim.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/19 35 Biro Humas Dan Protokol Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, ―Gubernur Minta Bupati Baru Prioritaskan Sektor Pertanian,‖ data ini diakses pada tanggal 18 Juni 2015 dari http://birohumas.jatimprov.go.id/index.php?mod=watch&id=1868
67
timur tengah. Islamisasi di nusantara lebih permisif, sedangkan islamisasi di timur tengah terkesan represif dan radikal karena melaui berbagai ekspansi dan agresi. Tak terkecuali proses pengislaman Pulau Madura yang merupakan bagian dari islamisasi lanjutan dari pengislaman Jawa oleh para pedagang luar. Beragam teori tentang kedatangan islam di Jawa termasuk di Madura sangat bermacammacam. Adapun para ilmuwan yang meneliti teori soal kedatangan Islam di nusantara antara lain: Pijnappel, Snouck Hurgonje, Moquette, Fatimi, Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan Hall.36 Menurut Azzumardi Azra, ada tiga aspek utama penyebaran islam yang hingga kini masih mengalami perdebatan: tempat asal kedatangan islam, para pembawa, dan waktu kedatangannya.37 Walau perdebatan teori soal kedatangan islam di nusantara masih menjadi hidangan akademik, rasanya banyak ilmuwan setuju bahwa islamisasi jawa awal, bermula dari proses perdagangan. Interaksi para pedagang luar dengan penduduk setempat kemudian berubah menjadi hubungan sosio kultural yang lebih melekat melalui proses silang perkawinan. Pada tahap inilah kemudian islam menjadi bagian penting dari sejarah pembentukan budaya di nusantara. Adanya akulturasi dan asimilasi budaya antara budaya lokal dan pendatang telah menempatkan islam sebagai corak identitas baru dalam dimensi kehidupan masyarakat nusantara. Islamisasi Madura bila mengacu pada sumber-sumber sejarah terjadi di penghujung abad ke-16, beberapa tahun setelah Kerajaan Majapahit runtuh. Setelah Majapahit runtuh, tepatnya pada tahun 1527, Madura menjadi rebutan 36 37
Azzumardi Azra, Jaringan Ulama (Bandung: Mizan, 1994), h. 24-25. Ibid, h. 24.
68
kerajaan-kerajaan kecil Islam di Jawa. Demak, Banten, Cirebon, Tuban, Gresik dan Jepara berusaha untuk menancapkan kuasanya di pulau tersebut. 38 Menurut Tjiptoatmodjo,39 Jawa bagian timur merupakan sentral penyebaran agama islam di Jawa. Para pedagang dari Gujarat, India, dan Arab banyak berlabuh di daerahdaerah Gresik dan Surabaya. Kota Gresik dan Surabaya adalah kota tertua bagi pusat penyebaran islam di nusantara. Hal ini dikarenakan letaknya yang strategis dalam jalur perdagangan internasional dan menjadi epicentrum hilir-mudik kapalkapal dagang dunia. Dari dua kota tersebut, ditambah dengan kota Jepara dan Demak di Jawa Tengah, islam mula-mula mengalir ke jantung kota di sepanjang pantai utara Jawa; Tuban, Probolinggo, Sedayu, Besuki, Pasuruan, lalu masuk ke daerah-daerah pesisir di Madura. Proses penyebaran islam di Madura digambarkan dengan teliti oleh De Jonge yang mengutip beberapa sumber sebagai berikut: ―Penduduk pantai Sumenep mungkin sekali pada paroh kedua abad ke-15 mulai berkenalan dengan agama Islam. Keyakinan akan kepercayaan baru mula-mula disebarluaskan di tempat-tempat seperti Parindu, tempat perdagangan yang mempunyai hubungan dengan daerah-daerah seberang. Penyebaran agama Islam berlangsung sejalan dengan perluasan perdagangan. Penyebar yang petama ialah pedagang Islam dari India (Gujarat), Malaka, dan Sumatra (Palembang) (Schrieke 1955-1957, II: 230232). Mereka disusul dengan pengikut Sunan Ampel dan Sunan Giri, para wali suci Islam yang berkedudukan di dekat kerajaan-kerajaan dagang kecil Surabaya dan Gresik (De Graaf dan Pigeaud 1974: 137-155 dan 159-160). Menurut cerita turun temurun, seorang anak lelaki dari saudaranya Ampel menetap di desa Pasudan dekat ibukota Sumenep (Abdurrachman 1971: 1617). Pengislaman penduduk Madura meluas lebih lanjut setelah raja-raja, mungkin pada pertengahan abad ke-16, memeluk agama itu dan mendorong penyebaran agama Nabi Mohammad. Terutama Sumenep, kawasan dengan perdagangan paling ramai, tumbuh menjadi daerah Islam yang penting. Pada pertengahan abad yang lalu, di Sumenep terdapat 2.130 ―Ulama Islam‖,
38
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 217. 39 Ibid, h. 217.
69
lebih banyak daripada Madura Barat dan Pamekasan (Hageman Czn 1858: 335 dan 351).‖40
Dari penjelasan di atas, dapat diuraikan bahwa Madura mengalami islamisasi lewat 3 jalur. Pertama, melalui para pedagang sebagaimana dijelaskan oeh Schrieke, kedua, lewat para wali, sebagaimana penjelasan De Graaf dan Pigeaud, dan ketiga, dengan perantara para raja seperti yang diterangkan Hageman. Sebagaimana De Jonge, banyak pula orang yang meyakini bahwa islam di Madura pertama kali disebarkan di daerah Madura Timur (Sumenep). Ada dua sebab mengapa Sumenep menjadi basis Islam di Madura, pertama karena Sumenep merupakan penghasil garam terbesar di pulau tersebut yang memungkinkan terjadinya interaksi perdagangan yang sangat ramai, kedua, Sumenep dulu merupakan vasal dari Kerajaan Majapahit saat Joko Tole (1415M) berkuasa. Sedangkan Madura Barat baru diislamkan setelah anak perempuan Lembu Peteng, penguasa Madura Barat kala itu, dinikahkan dengan anak laki-laki Maulana Ishak. Lembu Peteng sendiri merupakan anak Raja Majapahit terakhir, hasil pernikahan antara Brawijaya dan Putri Campa. Lembu Peteng masuk islam setelah pergi berguru ke Sunan Ampel.41 Pada abad ke-17, kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung memiliki misi besar yaitu keinginan untuk menyatukan seluruh kerajaankerajaan yang ada di Jawa dan Madura dalam wilayah kekuasaan Raja Mataram. Hal ini diambil untuk dapat menahan dan menghentikan segala agresi dan ekspansi yang kerap dilakukan oleh VOC. Dan berturut-turt pada tahun 1614
40
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 240-241. Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 217-218. 41
70
kemudian tagun 1624, Mataram akhirnya dapat menguasai dan menaklukan Surabaya serta Madura. Setelah Madura resmi ditaklukan, Raden Praseno (putra mahkota Bangkalan, cucu Raden Pratanu, Raja Bangkalan Islam Pertama), diambil mantu oleh Sultan Agung untuk dinikahkan dengan putrinya di Mataram. Melalui pernikahan ini, secara aklamasi Raden Praseno diangkat menjadi Raja Madura Barat dengan gelar ‗Cakraningrat I‘. Dari sini secara yuridis, Madura menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram. Turun temurun rajaraja di Madura Barat diperintah oleh para keturunan Cakraningrat. Sepeninggal Cakraningrat I, tahta Madura Barat turun kepada anaknya Cakraningrat II yang merupakan anak dari hasil pernikahannya dengan Syarifah Ambami, putri Sunan Giri.42 Di sisi lain, Madura Timur pada tahun 1671 dikuasai oleh raja nan arif dan bijaksana, Yudanegara namanya. Konon ia merupakan keturunan Cakranegara, Raja Madura Timur sebelum mereka ditaklukan oleh Sultan Agung. Menurut beberapa kabar yang didapat, Yudanegara adalah seorang sahabat Trunojoyo sewaktu mereka menyantri kepada Sunan Giri. Sepeninggal Yudanegara, suksesi raja di Madura Timur jatuh ke tangan para menantunya lantaran tak satu pun dari garis keturunannya dikaruniai anak laki-laki. Silsilah Dinasti Yudanegara berakhir ketika kekuasaan kerajaan dipimpin oleh Pangeran Adikara III. Pangeran Adikara III akhirnya dikudeta oleh Ki Lesap karena ia bersekongkol dengan VOC. Seterusnya kerajaan dipegang oleh Raden Ayu Tirtanegara dengan Bindara Saod sebagai suaminya. Bindara Saod sendiri merupakan putra dari Bindara Bungso
42
Ibid, h. 218-219.
71
yang masyhur dengan ilmu agamanya. Ia adalah seorang kyai terkenal di Batu Ampar Sumenep.43 Madura masuk menjadi bagian teritori Hindia-Belanda setelah VOC bubar pada tahun 1799. Selama mengawasi Madura, Hindia-Belanda menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung.44 Kondisi penduduk Madura selama berada langsung di bawah kekuasaan Hindia-Belanda maupun VOC hampir serupa dengan keadaan penduduk Indonesia pada umumnya, mereka berada dalam kondisi yang mengenaskan. Kelaparan dan kemiskinan adalah fenomena yang lumrah. Hanya sebagian saja di antara mereka yang turut serta menikmati hasil jerih payah para petani dan penduduk setempat. Mereka adalah terutama para raja, penguasa dan orang-orang pilihan bangsa kolonial.45 Tindak pidana kriminal di Madura, dari hari ke hari, selama kolonialisasi berlanjut, selalu semakin bertambah jumlahnya. Fakta di lapangan menunjukan bahwa kasus tindakan kriminal di Madura lebih banyak ketimbang di Jawa. Banyak di antara para penduduk yang mati terbunuh sia-sia. Satu kasus pembunuhan pada tahun 1871 pernah terjadi di daerah Sumenep. Sebanyak 2.342 penduduk meninggal dunia.46 Penyebab utama maraknya tindakan kriminal ini disebabkan oleh berbagai macam pajak dan kewajiban yang dibebankan kepada penduduk. Selain kriminalitas, wabah penyakit, telah menambah kesengsaraan
43
Ibid, h. 219-220. Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 54-55. 45 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 221. 46 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 76-77. 44
72
penduduk semakin menjadi-jadi. Suatu waktu di daerah Pamekasan pernah terjadi wabah penyakit yang sangat ganas.47 ―Banyak penderita berbulan-bulan lamanya tidak makan nasi dan hidup dengan memakan kulit katjang dan djagoeng, kulit-kulit kayu, akar-akaran, dan bedogol makanan lunak, seperti bedogol pisang. Pencurian tanaman tegalan yang ‗dimakan mentah‘ adalah begitu banyak, sehingga keadaan itu dianggap normal, (Nota 1904:57).‖48
Kelaparan, kesengsaraan, penindasan, serta ketimpangan yang terjadi di masyarakat inilah yang pada akhirnya menciptakan ketidakpercayaan penduduk kepada para penguasa setempat. ―Dalam masa hampir dua abad penjajahan Belanda di Madura, terdapat beberapa realitas sosial sebagai akibat kolonialisasi itu. Pertama, Madura menjadi terisolasi dari dunia luar karena hubungan dari dan keluar Madura diatur dengan sangat ketat. Kedua, Madura mengalami defisit. Kemiskinan massal yang berujung pada pencurian pangan dan ternak serta migrasi besarbesaran adalah fenomena yang amat mudah dijumpai. Ketiga, terjadi kemunduran kaum ningrat. Mereka miskin dan terpuruk dalam utang piutang serta terlibat dalam kejahatan. Mereka menjadi lemah dan bergantung pada Belanda. Sebagai akibatnya, rakyat tak lagi memercayai mereka dan mencari sosok pemimpin lain yang dinilai lebih mampu mewakili aspirasinya. Fenomena ketiga inilah yang pada akhirnya memicu munculnya golongan lain untuk tampil sebagai pemimpin masyarakat Madura: kyai.‖ 49
Dengan demikian, satu-satunya tumpuan masyarakat waktu itu persis berada di bawah bimbingan para kyai. Kyai adalah aktor moral sekaligus sosial. Ia merupakan stimulus bagi asa para penduduk yang hampir pupus. Kharisma keilmuan agama yang besar yang dimiliki oleh peran kyai mencitrakan bahwa ―merekalah‖ agen pembaharu satu-satunya yang dapat dipercaya. Dalam strata sosial masyarakat Madura, posisi kyai ditempatkan pada posisi yang tinggi. Fakta ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan kondisi yang ada di
47
Ibid, h. 76. Menurut Nota dalam Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 76. 49 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 222. 48
73
berbagai wilayah lain di Indonesia pada umumnya. Kyai adalah aktor penting dalam sejarah pergerakan nasional, sehingga secara otomatis keberadaannya dalam hirarki sosial begitu tinggi. Kyai merupakan salah satu aktor penggerak basis massa. Perannya di masa awal pra-kemerdekaan telah membuktikan hal tersebut. Keikutsertaan kyai dalam pelbagai perlawanan memperjuangkan kemerdekaan, dan keikutsertaan mereka memimpin pemberontakan kepada para penguasa yang lalim, tidak sulit untuk menjadikan para kyai sebagai panutan rakyat yang sangat dihormati. Rakyat dari zaman ke zaman, menganggap kyai adalah guru mereka sekaligus orang tua mereka. Segala perkataan dan nasihatnya dianggap karomah dan berkah yang wajib diamini. Munculnya berbagai organisasi pergerakan nasional pun, faktanya, juga tidak terlepas dari campur tangan para kyai. Sebagai salah satu agen sosial, kyai adalah orang-orang terdidik yang hidup bersama keluh kesah dan berbaur langsung dengan rakyat. Inilah yang membedakan kyai dengan agen sosial lainnya yang terkesan menjaga jarak dan jauh dengan rakyat. Tidak sulit kiranya bagi mereka menaruh tempat di hati rakyat. Sejarah perjuangan bangsa indonesia, yang terfragmentasi semenjak kolonialisasi, mampu diintegrasikan atas inisiatif para kyai - selain oleh orangorang
terdidik
(kaum
intelektual)
lainnya.
Berdirinya
Sarekat
Islam,
Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, tidak lain merupakan inisiasi para kyai. Nama-nama seperti KH. Samanhoedhi, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Hasyim Asy‘ari, mereka adalah agen tonggak permulaan berkembangnya suatu identitas
74
kebangsaan.50 Identitas berdasarkan keagamaan ini kemudian membentuk semacam ikatan kebersamaan yang termanifestasikan lewat ragam aksi perjuangan dan perlawanan. Maka wajar jika akhirnya kyai menempati posisi struktur dan peran penting dalam diskursus sosial kemasyarakatan di Indonesia. Sepang terjang kyai dalam hubungannya dengan fungsi sosial di masyarakat, tidak hanya terjadi saat indonesia dijajah, setelah indonesia mengalami kemerdekaan sekalipun, kyai tetap dianggap sebagai aktor utama penggerak umat. Berbeda dengan pemimpin formal pada umumnya yang mendapatkan legitimasi formal dari rakyat, kyai mendapatkan otoritasnya di masyarakat sebagai pemimpin informal melalui legitimasi sosio-kultural.51 Pada kasus Madura, dengan mayoritas penduduknya beragama islam, sebagaimana telah digambarkan secara ringkas di atas, kyai memiliki fungsi sosial strategis dalam kehidupan di dalamnya. Mereka sering dimintai pendapat untuk berbagai macam persoalan. Bukan saja persoalan yang berkaitan dengan aspek agama, bahkan untuk masalah-masalah remeh temeh sekalipun, kyai tidak absen dimintai masukan. Saat musim pemilu tiba misalnya, banyak orang-orang dari elit pemerintah yang datang untuk sekadar mohon restu dan minta didoakan supaya menang dalam pemilihan. Atau para pedagang yang mohon dimudahkan mencari rezeki saat berdagang. Sebenarnya masih banyak tradisi umum lainnya, yang bisa dibilang kurang afdol tanpa melibatkan kyai.
50
Untuk lebih jelasnya mengenai sejarah gerakan modern islam bisa dilihat dalam buku Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1980). 51 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 223.
75
Image yang tertanam dalam benak masyarakat tentang kyai, menyimpan keutamaan penting bahwa ia adalah pusat pemecah setiap masalah. Saluran bagi tercapainya setiap cita dan impian mereka. Kontribusi kyai yang besar dalam bidang pendidikan agama, etika moral, dan peran sosial di dalam masyarakat Madura, pada akhirnya sulit untuk tidak melibatkan kyai di berbagai sudut dimensi kehidupan mereka. Sebagaima dikatakan oleh Muhammad Kosim dalam sebuah tulisannya di Jurnal Karsa: ―Pengaruh kyai melampaui batas pengaruh institusi-institusi kepemimpinan lainnya. Dalam berbagai urusan umat, kyai menjadi tempat mengadu. Seperti urusan agama, pengobatan, rizki, jodoh, membangun rumah, bercocok tanam, konflik sosial, karier, politik, dan sejumlah problema hidup lainnya. Belum mantap rasanya apabila segala urusan tidak dikonsultasikan kepada kyai dan belum mendapat restu darinya. Kyai melayani kebutuhan umat dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, umatpun merasa puas. Dan sebagai ―imbalannya‖ umat akan patuh, tunduk, dan siap mengabdi kepada kyai. Hubungan antara kyai dan umatnya— sebagaimana digam-barkan di atas—dikenal dengan pola hubungan paternalisme, di mana hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin (atasan-bawahan) seperti hubungan antara ayah dan anak.‖52
Hubungan yang terjalin antara masyarakat dengan kyai di Madura menyiratkan adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) di antara mereka . Di satu sisi masyarakat mendapatkan kepuasan batin dengan wejangan, nasihat, yang diberikan oleh kyai, di sisi lain kyai meneguhkan fungsinya sebagai aktor penting di masyarakat. Rasa hormat, manut, dan loyalitas kepada kyai disajikan oleh masyarakat dalam bentuk penghormatan yang sama besarnya dengan apa yang mereka lakukan kepada para pemimpin mereka. Malah sebagian di antara mereka lebih menghormati kyai dibandingkan pejabat
52
Muhammad Kosim, ―Kyai Dan Blater: Elit Lokal Dalam Masyarakat Madura,‖ Jurnal Karsa, Vol. XII No. 2 (Oktober, 2007): h. 162.
76
pemerintahan. Saking besarnya peran kyai dalam masyarakat, sampai-sampai ada peribahasa lokal di Madura yang terkenal “buppa’-babu’guruh-ratoh.”53 Menurut Kuntowijoyo seperti yang penulis kutip dari Muhammad Kosim, Madura adalah ‗pulau seribu pesantren‘.54 Beragam model kyai, hidup dan berkembang sesuai vak serta bidangnya masing-masing. Mulai dari kyai langgar, kyai pesantren, kyai tarekat, dan kyai dukun, menghiasai bentuk-bentuk profesi kyai dalam masyarakat Madura.55 Otoritas kyai yang besar dilihat dari sudut pandang kehidupan masyarakat Madura, membentuk citra tersendiri bahwa kyai adalah manusia yang berbeda dari manusia pada umumnya. Persepsi masyarakat yang memercayai bahwa kyai jauh dari tindak tanduk profan, telah mempertebal perannya sebagai sebuah institusi baru di masyarakat. Dan sebagai cikal bakal sebuah institusi, kyai sepertinya memiliki imunitas sosial moral di masyarakat. Secara eksplisit, masyarakat yakin, barang siapa yang melawan kyai maka orang itu akan mendatangkan bencana bagi dirinya sendiri (kualat).56 Peranan kyai dan otoritasnya yang besar dalam kaca mata orang Madura, dapat ditelusuri dengan menggunakan dua parameter.57 Parameter pertama menyangkut islamisasi yang terjadi di Madura, dan kedua, faktor ekologis Madura. Penyebaran Islam di Madura secara historis salah satunya dilakukan oleh wali songo. Pembauran wali songo dengan masyarakat sekitar, dalam hal ini Sunan
53
Peribahasa ini konon mempertegas posisi kyai/guru dengan peranan Bapak, Ibu, dan Pejabat Pemerintah. Dalam keluarga, orang Madura menghormati Bapak-Ibu, dan dalam unit sosial di masyarakat, orang Madura menghormati Kyai dulu baru Pemerintah. (Muhammad Kosim dalam Jurnal Karsa. Kyai dan Blater: Elit Lokal Dalam Masyarakat Madura, h. 162). 54 Kosim, Kyai Dan Blater, h. 162. 55 Ibid, h. 162. 56 Ibid, h. 162-163. 57 Ibid, h. 163-164.
77
Ampel dan Sunan Giri, menandaskan kontribusi besar kyai sepanjang sejarah islam di Madura. Mereka dalam hitungan matematis jumlah penganut islam di Madura, telah berhasil menyebarkan agama ini di bumi Madura. Bahkan di banyak kesempatan, para wali ini turut dalam berbagai pemberontakan bersama para penduduk. Mereka adalah mobilitator perjuangan melawan kolonialisme. Maka tak heran, jika saat ini banyak pesantren bermunculan di tanah Madura. Itu adalah bukti kontinuitas sejarah yang berkelindan dari masa ke masa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan formal pertama dalam sejarah bangsa Indonesia.58 Sedangkan faktor lain, penguat peran kyai di Madura, adalah bersumber dari dimensi ekologi. Ekologi yang dimaksud di sini adalah ekologi tegalan. Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa ekologi tegalan merupakan impak dari tanah di Madura yang tidak cocok untuk ditanami padi. Curah hujan yang kurang, iklim yang gersang, dan tanah yang kurang subur menyebabkan masyarakat harus mencari alternatif tanaman lain yang cocok dengan tipologi tanah di Madura. Adapun tanaman alternatif tersebut yakni jagung dan singkong. Ekologi tegalan pada akhirnya berpengaruh pada pola pemukiman dengan rata-rata banyak rumah yang minimun di setiap desa. Hal ini membawa spirit yang terbangun antar warga bukan berasal dari unsur gotong royong serta kebersamaan sebagaimana desa-desa di Jawa pada umumnya. Solidaritas warga di perkampungan di Madura diikat oleh ritual-ritual agama dengan masjid sebagai pusat pertemuan dan kyai sebagai pusat panutan (central of man). Agama menjadi satu-satunya perekat silaturahmi antar warga sekaligus pembentuk rasa
58
Ibid, h. 163-164.
78
kepemilikan bersama.59 Tak heran bila agama dan orang Madura menjadi identitas yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama adalah bagian dari harga diri orang Madura. Menghina agama berarti sama saja merendahkan harga diri dan martabat orang Madura. Beberapa kasus konflik agama yang terjadi di Madura kurang lebih muncul karena paradigma tersebut.60 Dari waktu ke waktu, dengan semakin besarnya pengaruh dan peran kyai di Madura, banyak di antara mereka, untuk kemudian hari terjun ke dunia politik. Keterlibatan para kyai dalam politik prosedural ini, adalah sarana memanfaatkan modal sosial yang sudah mereka miliki. Kepercayaan dan rasa hormat masyarakat yang sudah mereka genggam, digunakan sebaik-baiknya oleh para kyai dalam melihat peluang mereka yang sangat strategis untuk menjadi pemimpin formal. Transformasi kyai, dari pemimpin informal menjadi pemimpin formal, setidaknya telah mengkristalkan kekuatan dan kekuasaan mereka menjadi semakin luas. Karena kekuasaan legal-formal yang mereka dapat dari panggung demokrasi prosedural, ditambah kharisma yang mereka miliki di mata masyarakat, yang didapat melalui perannya sebagai agen sosio kultural, menjadikan kekuatan para kyai berlipat-lipat besarnya. Kini mereka bukan hanya dinisbatkan sebagai pemimpin informal saja, melainkan sebagai pemimpin formal sekaligus. Untuk itu, sisi negatif dari keikutsertaan kyai dalam persoalan politis adalah melemahnya civil society dalam rangka mengawasi peran serta kinerja pemerintah. Ada rasa tidak enak yang menjangkiti masyarakat untuk melakukan protes tatkala mereka (para kyai) melakukan kesewenang-wenangan dalam tugas mereka sebagai 59
Ibid, h. 163-164. Abdur Rozaki, ―Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,‖ Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009): h. 2. 60
79
pemimpin formal baru. Sehingga situasi seperti ini mirip dengan sejarah eropa zaman pertengahan, dimana agama memainkan peran sebagai otoritas absolut yang jauh dari kritikan. D. Blater Sebagai Orang Kuat Lokal Madura Kekerasan tidak luput dalam dinamika sosial kehidupan manusia. Sebab kekerasan merupakan bagian dari dalam diri manusia yang secara psikologi diliputi perasaan dan emosi. Peperangan yang mewarnai perjalanan sejarah umat manusia, adalah ekspresi dari nilai-nilai kekerasan yang dimilikinya. Sepanjang umat manusia masih mendiami bumi, selama itu pula internalisasi kekerasan menjadi hal yang akan menemani perjalanan kita sepanjang masa. Sebagaimana kalimat satir yang dikatakan oleh George Orwel: ―perang ialah damai, kebebasan ialah perbudakan, kebodohan ialah kekuatan.”61 Dalam studi yang dilakukan oleh Johan Galtung, pada prakteknya, kekerasan dapat dikategorikan menjadi tiga divertifikasi, pertama adalalah kekerasan secara fisik, kedua, kekerasan struktural, dan ketiga adalah kekerasan kultural. Pada jenis yang pertama, kekerasan fisik digambarkan dengan adanya proses konflik/interaksi yang dilakukan secara langsung, misalkan melalui pemukulan, tamparan ataupun yang memungkinkan terjadinya kontak langsung secara fisik. Sedangkan kekerasan jenis kedua, yakni kekerasan struktural, merupakan jenis kekerasan yang dilakukan melalui kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang memberatkan. Sehingga munculnya objek sebagai korban yang dirugikan. Salah satu contoh kekerasan yang termasuk kategori ini adalah
61
George Orwel, 1984 (Yogyakarta: Bentang, 2014), h. 19.
80
praktek korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan pemerintahan. Adapun kekerasan jenis terakhir, kekerasan kultural, adalah jenis kekerasan yang dilakukan melalui propaganda dan kampanye melalui berbagai produk kebudayaan. Misalnya, propaganda yang dipraktekkan rezim Soeharto dengan memasifkan kampanye anti-PKI lewat pemutaran film G-30-S-PKI setiap tahunnya.62 Melalui kaca mata kekerasan yang diuraikan Johan Galtung, kita dapat melihat bagaimana fenomena Blater (orang kuat lokal di Madura) didefinisikan. Blater adalah gambaran praktek kekerasan yang terjadi di tingkat lokal – dalam hal ini terjadi di Madura. Kondisi ini sama halnya dengan fenomena jawara yang terjadi di Banten. Baik blater maupun jawara, merupakan lokalitas praktek kekerasan yang marak terjadi di belahan wilayah Indonesia. Ragam kekerasan yang mewarnai dinamika sosial masyarakat daerah, identik dengan eksistensi preman lokal. Kewenangan yang mereka punyai kurang lebih berasal dari berbagai intimidasi, pemalakan, kerusuhan, dan pembunuhan yang kerapkali mereka lakukan. Dalam diskursus orang kuat lokal Madura, Blater merupakan salah satu elit yang memiliki strata sosial yang prestisius yang serupa dengan kyai. Bila kyai dihormati karena kedudukan ilmu agamanya yang tinggi, Blater disegani karena kekuatan dalam dirinya yang besar. Dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat Madura, Blater dideskripsikan sebagai orang yang suka membunuh dan membuat
62
Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (Serpong: Marjin Kiri, 2013), h. 35-57.
81
onar. Kehadirannya adalah bagian yang tak terpisahkan dari budaya carok yang terkenal di masyarakat setempat. Penisbatan Blater pada diri seseorang dinilai dari seberapa berani ia melakukan upaya carok. Meskipun carok bukanlah satu-satunya arena legitimasi keblateran bisa didapatkan. Ada arena-arena lainnya dimana pelegitimasian keblateran muncul seperti: ―kedekatan seseorang dengan tradisi kerapan sapi, sabung ayam, jaringan kriminalitas dan remoh blater.‖63 Tetapi tetap budaya carok merupakan budaya yang menyangkut erat soal harga diri dan prinsip orang Madura. Sedikit saja harga diri orang Madura ternodai, maka tak segan orangorang ini untuk melakukan upaya carok. Bahkan tendensi adanya paradigma semacam ini tergambar jelas dalam peribahasa setempat yang penulis kutip langsung dari Abdur Rozaki: ―ango‘an pote tolang etembang pote matah, artinya lebih baik putih tulang dibandingkan putih mata. ‗Hidup itu tidak ada maknanya kalau kehilangan harga diri‘.‖64 Ada banyak kasus yang seringkali menimbulkan praktek carok di masyarakat. Prinsip masyarakat lokal yang teguh soal harga diri, dan merasa maloh65 bila harga diri mereka dinjak-injak, seringkali menimbulkan resistensi antar warga. Pertikaian-pertikain antar warga, bahkan antar sekte agama semisal kasus Syiah di Sampang, beberapa kali mencuat menjadi pemberitaan nasional. Kasus pertikaian dan perkelahian antar warga, menurut Wijayata, yang penulis kutip langsung dari Abdur Rozaki, adalah bisa disebabkan sebagai berikut:
63
Abdur Rozaki, ―Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,‖ h. 2. Ibid, h. 1. 65 Maloh adalah perasaan malu 64
82
―Pertama, gangguan atas istri. Orang Madura akan mudah terpancing dan melakukan pembelaan dalam bentuk carok kalau istrinya diganggu. Begitu juga dengan adanya sikap cemburu, kalau kemudian terjadi perselingkuhan sang istri dengan orang lain. Lelaki yang berselingkuh dengan istri orang itulah yang akan menjadi sasaran dari sang suami. Kedua, balas dendam. Upaya melakukan pembalasan bila terdapat diantara salah satu anggota keluaraga yang terbunuh. Ketiga, mempertahankan martabat dan keempat, mempertahankan harta warisan. (Wiyata, 2002; 89-159).‖66
Pengidentikan Blater hanya dengan kekerasan di satu titik tidak selamanya menjadi dominasi wacana orang kuat lokal di Madura. Kultur Madura yang agamis, nyatanya juga telah menuntut reproduksi Blater dengan ciri khas tertentu. Adanya hubungan yang saling mengisi antara kekerasan di satu sisi, dan religiusitas di sisi yang lain.67 Maka, dalam kasus Madura, Blater dapat tumbuh dan muncul dari segala aspek strata sosial, baik dari kalangan masyarakat sipil biasa maupun santri.68 Sebuah diametral yang saling berbeda tentunya, tapi dalam realita sosial di lapangan, tak jarang peristiwa ini terjadi: jiwa blater dan santri hadir pada diri seseorang sekaligus. Dan tak jarang antara Blater dan Kyai terjalin relasi ekonomi-politik bersama yang saling menguntungkan satu sama lain.69 Sebagaimana yang ditulis oleh Abdur Rozaki: ―Kedua aktor ini dalam praktek sosialnya, terkadang saling berseberangan paham dan visi. Namun dalam konteks tertentu tak jarang pula saling menjalin relasi kultural, ekonomi dan politik kuasa. (Rozaki; 2004). Dalam konteks inilah citra simbolik kekerasan dan religiusitas saling berkelindan dan berdialektika dalam ruang-ruang sosial masyarakat Madura.‖70
Berdasarkan pengamatan penulis, faktor kemunculan Blater di Madura dapat ditelusuri lewat 3 jalur utama. Pertama, dari sudut pandang kesejarahan, kedua, dari sudut pandang sosiologis-ekologis, dan ketiga dari perspektif 66
Abdur Rozaki, ―Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,‖ h. 1. Ibid, h. 1. 68 Ibid, h. 2. 69 Ibid, h. 3. 70 Ibid, h. 3. 67
83
institusi.71 Secara historis, sepak terjang dunia Blater yang mewarnai kehidupan masyarakat Madura, tidak terlepas dari eksistensi mereka di masa lalu. Kemunculan mereka di masa lalu merupakan buah dari ragam kompleksitas hidup semasa jaman kerajaan dan kolonialisme. Di saat era kerajaan berlangsung, selain yang menjadi raja adalah orang-orang istimewa yang memiliki nasab kerajaan, tidak sedikit dari para raja adalah mereka yang berasal dari para jagoan desa. Mereka mempunyai pengikut yang banyak dan memiliki ilmu bela diri yang hebat. Cerita-cerita rakyat yang berseliweran mengisahkan bahwa para jago ini tidak mempan ditembak, anti-bacok, dan sulit ditangkap. Maka tak heran, sebagian dari mereka mampu mengambil alih kekuasaan dari para raja dan duduk sebagai raja baru. Cerita ini dapat ditemukan pada kisah Ki Lesap dan Ken Arok Dedes misalnya. Berbagai pemberontakan dan perlawanan yang dilakukan para jago desa ini umumnya karena merasa gerah dan muak dengan sikap dan perilaku raja yang sewenang-wenang. Begitupun saat bercokolnya negara kolonial, ada banyak ceritera tentang jago desa yang ikut terlibat dalam beragam perlawanan. Dalam konteks Madura, ada cerita tentang Kutil, yang terkenal dalam peritiwa tiga daerah. Sebuah revolusi yang terjadi di sekitar daerah Pekalongan. Nama asli Kutil adalah Sakhyani. Ia merupakan seorang keturunan Madura yang hidup di Dukuh Pesayangan, daerah Talang. Selama masa revolusi di daerah tersebut, ia mendirikan sebuah organisasi, AMRI namanya, dengan pengikut yang beragam, mulai dari pedagang, penjahit,
71
Ibid, h. 3-7.
84
petani miskin, tukang besi, dan tukang jamu.72 Tugas dan misi berdirinya organisasi ini adalah untuk menumpas keberadaan sisa-sisa NICA dan orangorang yang disinyalir bersekongkol dengan NICA.73 Lain lagi cerita soal Sakera, seorang Madura yang melakukan perlawanan di salah satu daerah tapal kuda, Pasuruan. Ia adalah seorang jago yang antipenjajahan. Kelihaiannya melakukan manuver pemberontakan membuat negara kolonial Belanda hampir kehilangan akal untuk menghabisinya. Sakera merupakan sosok jago yang terkenal di kalangan rakyat bukan saja karena keberaniannya melakukan perlawanan semata, tetapi juga karena kemampuan tubuhnya yang anti ditembaki beberapa selongsong peluru. Ia konon memiliki ilmu kebal sehingga sulit untuk dimatikan. Ringkas cerita, akhirnya Belanda melakukan upaya muslihat dalam sebuah pentas seni yang bernama Sadur. Dalam pentas itu, Sakera diperbolehkan menari dengan perempuan asalkan seluruh jimat yang dia pakai dilepas saat menari. Sewaktu Sakera menari, Belanda menembakinya dan dia pun mati terkapar.74 Tetapi, di samping banyaknya para jago yang melawan ketidakadilan dari para raja, dan penindasan yang dilakukan oleh bangsa penjajah, ada pula dari mereka yang dimanfaatkan oleh dua elemen tersebut. Dalam internal kerajaan, para jago diangkat dan dipekerjakan sebagai pelindung tahta dan keselamatan raja dari marabahaya. Tugasnya tak lain adalah untuk menjaga status quo eksistensi para raja. Sedangkan dalam konteks kolonialisme, para jago direkrut oleh para
72
Anton E. Lukas, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Dalam Revolusi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), h. 146-147. 73 Ibid, h. 147-148. 74 Abdur Rozaki, ―Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,‖ h. 4.
85
Gubernur Jenderal untuk menumpas beragam pemberontakan yang terjadi di sekitar wilayah kekuasaan mereka. Para jago ini mendapatkan keuntungan yang sesuai dengan kesepakan bersama di antara mereka. Secara tidak langsung, bangsa penjajah melakukan strategi devide at impera antara rakyat yang mau berkhianat dengan rakyat yang teguh untuk melawan.75 Pada konteks masyarakat Madura, pemanfaatan rakyat sebagai pasukan penyokong negara kolonial dapat dilihat dari sejarah berdirinya organisasi militer Barisan. Oranisasi militer ini merupakan kesepakatan bersama antara pihak Belanda dengan kerajaan-kerajaan Madura yang saat itu tengah berusaha untuk melepaskan diri dari hegemoni kerajaan Mataram. Dengan melindungi kerajaan Madura dari penguasaan kerajaan Mataram, Belanda mendapatkan privelse untuk mendapatkan jasa militer dari para penduduk Madura yang bebas mereka gunakan untuk berbagai kepentingan kolonialisme.76 Dari sudut pandang sosiologis, kemunculan Blater merupakan imbas dari faktor ekologis Madura - yang disebabkan karena tipologi geografis wilayah yang tidak memungkinkan terjadinya penggarapan tanah secara intensif. Impak dari ketidaksuburan tanah ini kemudian menjalar pada problem unsur kesejahteraan rakyat yang sangat minimalis. Rakyat tidak mampu hidup dari segala keterbatasan yang diakibatkan beragam persoalan fisikawi. Curah hujan yang kurang, iklim yang gersang, dan laju pertumbuhan penduduk yang massif dari tahun ke tahun, menambah perkara hidup menjadi semakin kompleks. Migrasi faktanya bukan merupakan satu-satunya solusi yang dijalankan oleh rata-rata penduduk Madura 75
Ibid, h. 3-6. Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 (Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002), h. 145-146. 76
86
dalam menjauhi segala permasalahan hidupnya. Menjadi Blater, nyatanya menjadi cara lain guna mengatasi segala problema hidup. Paradigma seperti ini lambat laun mengalami ideologisasi di masyarakat.77 Walau cara menuju keblateran penuh resiko bahkan bisa berujung pada kematian. Tetapi dengan menjadi Blater, mereka memiliki posisi untuk melakukan daya tawar dalam hal apapun, dia akan merasa disegani dan dihormati. Sehingga kekuasaan Blater dalam personalisasi diri, mengukuhkan karakteristiknya sebagai orang kuat lokal.78 Faktor lain yang memicu kelahiran Blater di Madura adalah masalah institusi/kelembagaan. Faktor kelembagaan merupakan hal penting dalam wacana negara modern. Institusi adalah arena legal-formal dimana setiap kepentingan diagregasi, dan setiap konflik dipecahkan melalui mekanisme prosedural. Sehingga adanya institusi dimaksudkan untuk dapat menghilangkan perilaku dan sikap main hakim sendiri. Tetapi dalam kasus Madura, cara kerja ini belum sepenuhnya berhasil. Begitupun di banyak wilayah di Indonesia yang lain. Intoleransi dan aksi-aksi kekerasan yang mewarnai gerak-gerik masyarakat yang disebabkan oleh tidak adanya institusi yang kuat, adalah celah bagi terbentuknya premanisme. Kekacauan yang menimpa lembaga/institusi, khsususnya dalam kasus Madura, dapat ditarik jauh ke alur sejarah perjalanan bangsa Madura. Secara historis, bangsa Madura selalu berada di bawah hegemoni kerajaankerajaan Jawa dan negara kolonial, hal ini mengakibatkan tidak adanya upaya untuk melakukan intensifitas dan signifikansi institusi di kalangan masyarakat
77 78
Abdur Rozaki, ―Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,‖ h. 5. Ibid, h. 5.
87
Madura. Negara tidak hadir di tengah-tengah mereka.79 Masyarakat tidak dilatih untuk melakukan pemecahan masalah secara institusionalis. Mereka dibiarkan begitu saja untuk mengelola persoalannya sendiri-sendiri. Institusi hukum absen dalam kehidupan mereka. Hal ini menurut Abdur Rozaki berimbas pada strategi pemecahan masalah di antara mereka (problem solving), kekerasan menjadi pilihan utama masyarakat dalam rangka membela diri mereka.80
79 80
Ibid, h. 6. Ibid, h. 6.
88
BAB IV DINAMIKA KEKUASAAN POLITIK FUAD AMIN DI BANGKALAN A. Terbentuknya Kekuasaan Politik Fuad Amin Sebagaimana telah penulis uraikan di bab-bab sebelumnya, bahwa terdapat dua entitas kelas masyarakat yang memiliki peranan penting dalam lanskap sosio kultur politik di Madura. Yang pertama adalah kiai, dan yang kedua blater. Kedua entitas informal ini faktanya memiliki pengaruh yang kurang lebih sama, bahkan kadangkala melebihi segala bentuk legitimasi atas kontrol yang dimiliki oleh negara pada masyarakat. Keberadaan kiai dan blater sebagai kekuatan informal di Madura, kerapkali menjadi simbol yang dalam bahasa Migdal disebut sebagai “Strategies of Survival”.1 Simbol ini kelak telah menghantarkan keduanya ke tempat istimewa di antara kalangan orang-orang berpengaruh dan terhormat. Kehadiran mereka di antara masyarakat Madura, jika ditilik kembali ke sejarah masa silam, sangat begitu besar impresinya. Mereka bukan hanya tinggal dan menetap sebagaimana masyarakat biasa, lebih dari itu, keberadaan mereka ditujukan pula untuk turut serta dalam membina dan mengintervensi masyarakat di berbagai aspek: baik agama, sosial maupun politik. Keterlibatan ini telah membentuk ikatan emosi yang kuat, yang mengikis batas impersonal masyarakat dengan kelompok-kelompok informal.
1
Strategies of Survival merupakan strategi bertahan hidup dengan mendekatkan diri kepada kekuatan patron, yang dalam hal ini adalah para jago yang berkuasa pada teritori tertentu, Daniel Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism, territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.
89
Munculnya kiai sebagai orang lokal berpengaruh, dalam penjelasan Kuntowijoyo,2 tidak terlepas dari konsekuensi logis yang diakibatkan oleh faktor ekologi tegalan. Madura yang didominasi oleh ekologi tegal sebagai impak dari iklim yang kering dan dengan curah hujan yang begitu minim, (pada akhirnya memberikan dampak lain pada kehidupan bercocok tanam masyarakat). Mereka tidak sama dengan masyarakat jawa yang umumnya berococok tanam dengan menanam padi di sawah. Mereka, masyarakat Madura, harus berjibaku dengan cuaca ekstrem yang tidak cocok untuk menanam tanaman sejenis. Karenanya, mereka lebih banyak menanam umbi-umbian yang memerlukan pasokan air lebih sedikit. Tegal menjadi pilihan corak bercocok tanam masyarakat. Kondisi ekologi yang seperti ini pada akhirnya mau tidak mau juga berpengaruh besar pada konsepsi pemukiman penduduk di sekitarnya. Masyarakat Madura memiliki model pemukiman yang lebih terpencar-pencar dari pada jenis pemukiman di pulau Jawa yang rapat dan terintegrasi di satu desa. 3 Makanya hidup masyarakat Jawa cenderung berkelompok, karena dalam sistem tani yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa, teknis irigasi perlu diatur sesuai dan biasanya terjadi atas asas gotong royong. Dengan demikian, wajar bila solidaritas antar masyarakat Jawa terbentuk dalam kerangka ekonomi. Sedang corak ekologi tegalan dengan pemukiman penduduk terpencarpencar yang dominan pada masyarakat Madura, juga akhirnya berpengaruh pada minimnya solidaritas antar mereka. Hal ini belakangan tergambarkan melalui
2
Lihat Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 (Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002). 3 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 (Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002), h. 60.
90
sikap individualistik masyarakat Madura. Mereka tidak terikat dengan rasa tanggung jawab dengan sesama dan antar masyarakat desa sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Jawa dan Sumatra. Tanggung jawab yang menonjol di dalam kultur Madura lebih bersifat eksklusif antar keluarga saja.4 Adapun satusatunya simbol pengerat solidaritas atau yang oleh Durkheim disebut dengan „jaringan sentimen kolektif‟ di antara masyarakat Madura adalah melalui ritusritus agama.5 Dengan menunaikan ritual ibadah, dan upacara-upacara keagamaan secara bersama-sama, lambat laun rasa solidaritas ini muncul dan terpupuk ke permukaan. Kiai menjadi entitas penting dalam simbol solidaritas tersebut.6 Sama halnya dengan kiai, eksistensi dan munculnya pengaruh blater juga tidak bisa terlepaskan dari faktor ekologi tegalan yang tidak mampu memberikan pasokan kebutuhan secara maksimal, sehingga keadaan masyarakat menjadi serba kekurangan.7 Walaupun, kemunculannya sebagai orang kuat lokal juga merupakan buntut dari beragam penindasan yang seringkali dilakukan oleh elit semasa raja-raja dulu berkuasa dan semasa penjajahan, serta sebagai impak hadirnya institusi Barisan di bawah kendali kolonialisme Hindia-Belanda.8 Hasil cocok tanam tegalan yang masyarakat Madura kerjakan, faktanya tidak banyak membantu dan memberikan keuntungan bagi kebutuhan hidup
4
Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura,” dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto, ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 215. 5 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial, h. 450. 6 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 216. 7 Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009). 8 Barisan merupakan satuan korps militer yang beranggotakan para sipil dan digunakan untuk kepentingan Belanda. A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 68.
91
mereka sehari-hari. Bahkan untuk memenuhi pasokan kebutuhan yang serba kekurangan tersebut, masyarakat Madura mesti mendatangkan sebagian logistiknya dari Pulau Jawa. Hal tersebut cukup untuk menjadi alasan mengapa akhirnya banyak di antara masyarakat Madura yang lebih memilih hidup bermigrasi ke Jawa atau ke beberapa tempat lainnya di Indonesia ketimbang tetap menetap di daerah. Atau, meskipun menetap, sebagian di antara mereka lebih memilih hidup untuk menjadi bandit-bandit desa (blater).9 Berprofesi sebagai bandit desa atau blater setidaknya telah memberikan jaminan bagi kepastian hidup mereka sehari-hari. Corak hidup blater yang lekat dengan alam kekerasan, menjadikan mereka sebagai aktor yang ditakuti. Mereka kerap terlibat dalam perampokan serta pencurian.10 Sikap ini telah meningkatkan daya tawarnya selaku kelompok penting pada strata sosial di masyarakat. Namun harus digarisbawahi, bahwa tidak selamanya keberadaan para blater di Madura hanya sebatas diilustrasikan sebagai para bandit atau kriminil lokal. Sebab tak jarang dari mereka pun turut serta, malah menjadi bagian dari garda terdepan masyarakat dalam rangka melawan kolonialisme dan despotisme para raja. Dengan sejarah sosial yang berpengaruh di masyarakat, maka tak aneh bila kemudian, di era-era selanjutnya, dua kelompok ini memegang peranan penting, bukan saja dalam konteks kehidupan sosial, melainkan juga dalam wacana politik lokal di Bangkalan. Penjelasan mengenai lahirnya kekuasaan politik Fuad Amin era kontemporer saat ini, tidak bisa dilepas begitu saja dari sejarah panjang 9
Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009). 10 Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009).
92
eksistensi blater dan kiai di masa lalu. Fuad Amin merupakan manifestasi kalangan kiai-blater yang tetap bertahan meskipun di era demokrasi yang lebih modern. Sebagai elit yang mewakili tahta waris trah kiai di satu sisi, dan keterlibatannya secara langsung dengan alam pergaulan blater di pihak lain, telah tampak menegaskan eksistensi Fuad Amin sebagai satu-satunya orang kuat lokal berpengaruh yang paling disegani, dihormati, sekaligus ditakuti oleh masyarakat. Dengan bersandar pada argumen Joe S. Migdal bahwa orang kuat lokal merupakan ‘melange’ yang berada di luar organisasi negara yang keberadaannya terbentuk karena relasi sosial masyarakat yang masih bersifat patron-klien,11 benar-benar merupakan realita empirik bila merujuk pada kasus lokalitas Fuad Amin di Bangkalan. Kemunculan orang kuat lokal yang tergambarkan lewat pribadi Fuad Amin di aras Bangkalan tidak dapat dihindari dan juga merupakan akibat langsung dari kondisi umum pola jejaring yang terwarisi turun temurun yang menginternalisasi corak masyarakat Bangkalan yang hingga sekarang tetap lestari memegang teguh budaya patrimornialistik. Dimana kiai dan blater kokoh berada di strata paling atas sebagai patron dalam relasi kelas sosial setempat. Apalagi keberadaannya telah menstimulus pandangan masyarakat bahwa mereka adalah satu-dua aktor yang sanggup menawarkan „strategi bertahan hidup‟. Masyarakat menjadi ketergantungan pada dua kelompok ini. Menjauhi keduanya sama saja menolak aspek penghidupan yang ditawarkan oleh dua kelompok informal ini, lebih-lebih menentang atau melawan keberadaannya.
11
John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru (Jakarta: Demos, 2005), h. 73.
93
Terbentang sejak pra kolonialisme sampai era demokrasi liberal, kiai dan blater terbilang masih menjadi aktor yang mendominasi unsur kekuatan sosial politik masyarakat Bangkalan. Terkecuali di era orde baru, dimana kekuatan dan dominasinya sedikit mengecil lantaran represifitas Soeharto. Memang harus diakui, bahwa ketidakhadiran kekuatan dominan baik dalam bentuk orang kuat lokal, elit lokal, maupun oligark skala lokal saat Soeharto masih berkuasa dengan kondisi sekarang tentu berbeda. Jika di masa-masa sebelumnya, semasa rezim Soeharto berkuasa, kekuatan-kekuatan informal relatif bisa diredam dengan segala bentuk pengekangan lewat klaim legalitas konstitusional mengatasnamakan pancasila, beda halnya Indonesia pasca Soeharto, dimana negara lebih membuka ruang bagi munculnya kekuatan civil yang lebih masif. Termasuk mulai terlibatnya orang kuat lokal dan aktor-aktor lainnya dalam politik praktis. Menjamurnya oligark dan orang kuat lokal dalam politik praktis era reformasi, tidak terhindar dari adanya implementasi desentralisasi serta keterbukaan civil yang minus proses transisi ideal yang mengabaikan logika penataan serta penguatan lembaga hukum untuk menciptakan asas-asas keadilan dan kesejahteraan pada masyarakat. Asumsi yang terburu-buru lewat proses strukturasi dengan seolah-olah menganggap bahwa bila desentralisasi dan demokrasi di tingkat lokal diterapkan maka kemakmuran masyarakat dengan sendirinya akan terwujudkan,12 tidak sepenuhnya benar. Padahal pasca reformasi meletus, praktik penegakan hukum di Indonesia masih kacau balau.13 Distorsi lembaga hukum di Indonesia pasca reformasi tentu telah menjadikan kesempatan 12 13
Tim Lipi, Membangun Format Baru Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2006), h. 11-12. Jeffrey A. Winters, Oligarki (Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, 2011), h. 267.
94
ini hanya menjadi arena adu kepentingan semata oleh para oligark, orang kuat lokal, dan para elit politisi, baik lokal maupun nasional sebagai ajang pengerukan dan penghisapan sumber-sumber ekonomi penting yang jarang bahkan tidak mungkin mereka lakukan saat Soeharto masih bertahan. Dan perlu diketahui, bahwa reorganisasi administratif pada masa transisi ini hanya memerlukan waktu selama 18 bulan.14 Padahal, ada seribu peraturan yang kurang lebih
mesti
direstrukturisasi (Amzulian Rifai, 2002:23).15 Bahkan karena alasan tanggung jawab yang terlampau besar ini, Ryaas Rashid, selaku pengemban tanggung jawab tersebut, akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri negara.16 Pasca Soeharto tumbang, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh banyak kelompok kepentingan itu untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh rezim. Seluruh elemen sosial turut larut dalam perlombaan. Mereka berupaya sekuat tenaga untuk menjadi raja-raja baru penerus estafet kekuasaan orba. Praktik suap, jual beli suara, dan unsur kekerasan, menjadi isu penting yang mewarnai momen-momen politik era reformasi. Secara garis besar, kelompok kepentingan yang memperebutkan kekuasaan di segala tingkatan dan ranah, terbelah menjadi dua. Kelompok pertama diwakili oleh mantan gerbong pengikut orba, dan kelompok lainnya diwakili oleh kelompok pembaharu yang tidak terkait dengan orba. Namun motif logika kekuasaannya tetap sama: mereka
14
Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, “Pendahuluan,” dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, ed., Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2014), h.17. 15 Menurut Amzulian Rifai seperti dikutip Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, ed., Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2014), h. 17. 16 Ibid, h. 17.
95
hanya berlomba-lomba untuk menguasai aset-aset ekonomi yang ditinggalkan Soeharto. Berakhirnya kapitalisme semu ala Soeharto (meminjam istilah Yoshihara Kunio)17, telah merubah peta persaingan ekonomi-politik para elit menjadi semakin sengit. Era reformasi telah menjamin setiap warga negara untuk turut berkompetisi secara aktif baik dalam ekonomi maupun politik. Dinamika politik lokal di Bangkalan era reformasi juga tidak jauh berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Bangkalan menjadi salah satu contoh tempat kebermunculan kelompok-kelompok kepentingan yang dulu dikekang oleh orba. Reformasi, jika divisualisasikan, adalah pondasi awal konsolidasi kekuatan-kekuatan lama. Fuad Amin yang direpresentasikan sebagai bagian yang tak terpisah dari golongan kiai, dianggap sebagai mesin awal bagi perubahan menuju Bangkalan ke arah yang lebih baik. Fuad adalah tumpuan masyarakat kebanyakan yang mendamba adanya perbaikan di segala sektor. Apalagi posisinya yang dianggap kiai, telah menambah rasa percaya diri masyarakat, bahwa mereka sudah berada di trek yang benar dengan pemimpin yang ideal. Tapi apa nyana, impian serta harapan tersebut pupus tidak lama setelah Fuad Amin sah menjadi pemimpin. Berbagai tindakan inkonstitusional, korupsi, serta tindakan kriminal menghiasi seluk beluk kepemimpinan Fuad. Anggapan bahwa Fuadlah sang pemimpin ideal ternyata bertolakbelakang 100 persen dengan realita yang belakangan baru saja terjadi. Fuad Amin justru menjadi pesakitan di tangan KPK.
17
wacanakiri-blogspot, “Memahami Erzat Kapitalisme bersama Yoshihara Kunio,” artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2016 dari http://wacanakiri.blogspot.co.id/2011/07/memahamierzat-kapitalisme-bersama.html
96
Hal lainnya, yang harus digarisbawahi, bahwa kemunculan orang kuat lokal yang terkejewantahkan pada diri Fuad Amin yang dimulai semenjak liberalisasi ekonomi-politik diterapkan, termasuk di Bangkalan, sekaligus juga mengandaskan logika Migdal yang berpandangan bahwa keberadaannya hanya menjadi faktor penghalang bagi kapitalisme serta pembangunan di daerah - lewat gangguan yang kerapkali ditujukan terhadap para implementors (wakil pusat di daerah) untuk menguasai dan menghalang-halangi berbagai kebijakan yang akan dialokasikan untuk beragam kepentingan masyarakat di tingkat lokal.18 Alih-alih menghalangi jalannya kapitalisme pasar serta mengganggu berbagai proyek pembangunan di Bangkalan, Fuad Amin justru meraup banyak keuntungan dari sistem globalisme pasar seperti ini. Sistem kapitalisme terbuka malah merupakan sumber basis bagi ladang kekayaan yang Fuad pupuk dan didistribusikan untuk kepentingan pribadinya semata. Iklim investasi dimonopoli, yang seakan-akan menjadi mainan pribadinya yang Fuad kelola berdasarkan aturan serta kehendak yang Fuad inginkan. Praktik ini hampir mirip dengan kondisi orba di masa lalu. Sebetulnya impak kemunculan orang kuat lokal yang mengarah pada penghambatan ataukah merupakan bagian elemen pendukung sistem kapitalisme pasar mendapat respon balik dan kembali diperdebatkan oleh John T. Sidel. Sidel lebih percaya, bahwa keberadaan orang kuat lokal malah membantu sekaligus memanfaatkan jalannya kapitalisme tersebut. Terakhir, Sidel menyebut orang kuat lokal sebagai bos lokal. Kondisi ini salah satunya Sidel gambarkan dalam fenomena transformasi bos lokal di Provinsi Cavite dan Cebu di Filipina, yang 18
John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru (Jakarta: Demos, 2005), h.73-74
97
tumbuh menjadi kawasan metropolis berkat keterlibatan bos lokal. Di mana para bos lokal menjadi fasilitator yang mengundang sekaligus meyakinkan para pemodal untuk berinvestasi di kawasan tersebut, dengan menikmati manfaat dari keterlibatannya itu.19 Persoalan menghambat atau tidak menghambat jalannya pembangunan lewat perlakuan orang kuat lokal terbilang masih relatif apabila merujuk ke beberapa kasus. Bolehlah dikatakan bahwa keberadaan orang kuat lokal di daerah bermanfaat dalam menjaga stabilitas politik di aras bawah. Gejolak dari berbagai kelompok kepentingan yang terfragmentasi relatif bisa dilembagakan melalui eksistensi orang kuat lokal selaku penguasa utama pada teritorial di dalamnya, sehingga logika pembangunan yang mengutamakan stabilitas politik, dapat direalisasikan. Atau para orang kuat lokal kerap menjadi bagian marketing dari beragam modal investasi yang ditujukan pada para investor. Tapi persoalannya, keberadaan mereka tetap saja mereduksi benefit ekonomi negara dari berbagai praktik suap, ilegalitas hukum, koersifitas yang mereka lakukan, dan rongrongan pengkorupsian aset belanja negara di sektor kapital pembangunan. Pada kasus Fuad Amin, penjelasan soal ini rincinya lebih disebabkan karena posisi Fuad Amin sendiri merupakan bagian yang tak terpisah dari keadaan dan status dirinya sebagai implementors atau wakil pusat yang bercokol di daerah. Pada konteks ini adalah dalam kapasitasnya selaku
bupati, sehingga
rasionalisasinya adalah bahwa tidak mungkin Fuad Amin secara pribadi mengganggu jalannya pemerintahan yang sedang Fuad lakukan, atau bahkan,
19
Ibid, h. 79-80.
98
tidak mungkin bagi dirinya membiarkan adanya kelompok penentang lain dari para seterunya (orang kuat lokal di luar dirinya) yang mencoba mengusik pemerintahan yang sedang berjalan. Harus diketahui, bahwa Fuad Amin merupakan satu-satunya raja lokal dengan kekuatan besar yang nyaris tidak satupun aktor lokal yang berani untuk melakukan konfrontasi terhadap kekuasaannya. Modal sosial selaku orang kuat lokal yang terlebih dulu Fuad pegang, yang kemudian Fuad manfaatkan sebesarbesarnya untuk masuk ke arena politik formal, telah membangun aspek kekuatan politiknya semakin berlipat-lipat. Dengan demikian, dengan kepemilikan lewat dua kekuatan ganda, baik formal maupun informal, kontan telah memberikan peluang dan kesempatan bagi dirinya untuk memperluas dominasinya di masyarakat, di samping upaya yang sama yang juga Fuad lakukan untuk memperkecil kesempatan politik kepada pihak lain di luar dirinya. Setelah akumulasi dari modal kekuatan politik Fuad Amin semakin mantap, meluap di segala sektor, baik yang berasal dari elemenelemen kultural di satu sisi, maupun elemen struktural formal di sisi lain, tentu bukanlah hal yang sulit bagi Fuad untuk membangun otoritas serta dominasinya ke dalam segala bentuk formula yang menyangkut bagi-bagi posisi struktural politik lokal di Bangkalan. Politik seakan-akan menjadi arena monopolistik kekuasaan yang bisa dibentuk sesuka hatinya. Fuad Amin dikelilingi oleh orang-orang loyal, sekaligus ditakuti oleh para kelompok penentang. Tak jarang unsur-unsur kekerasan, intimidasi, praktik suap, dan sabotase politik mewarnai jalannya pemerintahan selama kepemimpinannya.
99
Ketakutan kolektif telah menjadi gejala umum masyarakat Bangkalan. Kondisi tersebut telah mempermudah Fuad Amin dalam membangun serta membentuk dinastinya tanpa hambatan yang komplesk. Keajegan dinasti politik Fuad Amin yang hingga saat ini masih terlihat jelas di arena politik lokal Bangkalan, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari manajerial bangunan praktik-praktik kriminal yang Fuad lakukan. Permasalahan inti ini bukan hanya tiadanya kelompok oposisi yang setara yang mampu mengimbangi segala bentuk kapasitasnya menguasai kelompok-kelompok civil yang ada, melainkan juga disebabkan tiadanya lembaga hukum independen yang berani mengusik sikap-sikap inkonstitusional yang kerap dilakukan oleh Fuad. Semenjak pertama kali Fuad Amin menjabat sebagai bupati, para kroni dan keluarga yang berjasa kepada proses pemenangannya, perlahanlahan Fuad masukan ke dalam struktur pemerintahan. Sebagian yang lainnya Fuad bantu dalam penguasaaan ormas-ormas di Bangkalan. Gambaran dinasti politik Fuad dapat dilihat seperti dalam bagan IV.1 dan bagan IV.2.
Bagan IV.1. Bangunan Dinasti Politik Fuad Amin Periode 2003-2008 Fuad Amin (Bupati)
Syafii Rofii (Ketua DPRD, Sepupu Fuad)
Imam Bukhori Kholil (DPR RI, Keponakan Fuad)
Sumber Gambar: Diolah dari hasil wawancara
100
Bagan IV.2. Bangunan Dinasti Politik Fuad Amin Periode 2008-2013 Fuad Amin (Bupati)
Syafii Rofii (Wakil Bupati, Sepupu Fuad)
Ali Wahdin (Ketua DPRD, Kroni Fuad)
Sumber Gambar: Diolah dari hasil wawancara
Wacana serta diskursus local strongmen Migdal memang dibungkus dalam kerangka kausalitas antara reduksifitas peran negara dengan dampak keberadaan kelompok-kelompok informal. Memang tak jarang dari para pemimpin negara atau implementors yang ditemukan di negara-negara dunia ketiga pada akhirnya lebih memilih bekerjasama dengan menempatkan orang kuat lokal sebagai klien mereka di tingkat daerah ketimbang melakukan perlawanan terhadapnya,20 masalahnya tetap saja bahwa orang kuat lokal, memiliki daya tawar yang tinggi untuk menukar kepentingan pusat di daerahnya dengan berbagai macam pertukaran, misalnya saja lewat penempatan orang-orang mereka di institusi resmi pemerintahan, atau lewat monopoli proyek yang akan digulirkan oleh negara. Dengan demikian, logika dan premis yang diajukan oleh Migdal bahwa orang 20
Daniel Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism, territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.
101
kuat lokal merupakan pembatas kapasitas negara yang menyebabkannya menjadi lemah, tidak sepenuhnya salah atau menjadi benar adanya jika dirujuk pada beberapa kasus tertentu. Tetapi jika hal ini kembali dihadapkan pada kasus Fuad Amin di Bangkalan, dengan menjadikan negara sebagai subyek yang seolah-olah dikorbankan atas implikasi kemunculan orang kuat lokal, patut kembali dipertanyakan: Benarkah negara melemah akibat kemunculan orang kuat lokal? Apakah strukturisasi yang diinisiasi oleh negara tidak memiliki kontribusi sama sekali dalam mengangkat eksistensi Fuad Amin ke permukaan politik lokal di Bangkalan? Bukankah orang kuat lokal menangkap era keterbukaan sebagai peluang bagi penggapaian dominasi dan kekuasaan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, temuan penulis di lapangan justru mengarah linear dengan ide-ide John T. Sidel mengenai reproduksi orang kuat lokal di alam demokrasi. Artinya keberadaan Fuad Amin sebagai orang kuat lokal di Bangkalan faktanya tidak dapat dilepaskan dari hadirnya kelonggaran kekuasaan sehingga menyemai pembibitan dan reproduksi kekuatan-kekuatan informal lama ke alam yang lebih baru. Orang kuat lokal bukan hanya muncul dari dalam masyarakat, tetapi juga dari dalam negara secara bersamaan. Demokrasi memberi peluang bagi siapapun untuk dipilih dan memilih,
sehinggga
peran
negara
dalam
mengkonstruk
serta
menumbuhkembangkan kelompok-kelompok lain di luar dirinya, termasuk Fuad Amin tidak bisa dielakkan. Histrorisitas munculnya Fuad Amin sebagai orang kuat lokal di Bangkalan faktanya lagi-lagi bersumber dari diskursus politik yang berasal dari beberapa
102
produk restrukturisasi yang terjadi di Indonesia pasca 1998. Khususnya peraturan perundang-undangan
yang
menitikberatkan
polisentrisme
ke
jenjang
pemerintahan lokal. Fakta ini bukan maksud mengarahkan bahwa demokrasi seakan-akan hanya menjadi biang dari kemunculan rezim predator baru pasca Soeharto. Hanya saja masalahnya, transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia tidak berjalan seiringan dengan penguatan lembaga hukum independen. Lembaga hukum dan peradilan di Indonesia era reformasi tetap memburuk akibat intervensi yang terlanjur mendalam yang kerap dimanfaatkan Soeharto di masa lalu, bahkan temuan Daniel S. Lev dan Pompe, kekacauan lembaga hukum ini lebih jauh lagi sudah terjadi di masa sebelum orba, yakni ketika Indonesia menerapkan sistem demokrasi terpimpin era Soekarno.21 Fenomena Fuad Amin di Bangkalan, juga sekaligus memperlengkap argumen Sidel yang yakin bahwa kapitalisme pasar yang terjadi pada masa-masa orba telah sedikit membantu pembibitan orang kuat lokal untuk menjadi bos lokal yang dulu ditempatkan oleh Soeharto di berbagai daerah lewat berbagai keuntungan dari diskresi aturan dan proyek yang mereka dapatkan.22 Mereka ada dalam berbagai bentuk, bisa purnawiran militer, bupati, sekda, dan anggota DPRD. Banyak di antaranya yang memiliki perkebunan, konsesi kehutanan, pabrik semen, bank swasta, perusahaan konstruksi, hotel, dan lain sebagainya (Ichlasul Amal 1992:179).23 Sehingga sewaktu Soeharto tumbang, mereka
21
Winters, Oligarki, h. 227-229. John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru (Jakarta: Demos, 2005), h. 89-90. 23 Menurut Ichlasul Amal seperti dikutip oleh Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding Era Sentralisasi (Widya Padjadjaran, 2011), h. 60. 22
103
memiliki modal sosial-politik awal sebagai orang berpengaruh untuk dapat menjadi penguasa lokal. Untuk kasus tersebut, bisa dilihat dari beberapa pengalaman dinasti politik seperti dinasti Atut di Banten. Namun, kemunculan Fuad Amin sebagai bos lokal tidak berasal dari modal eksistensinya sebagai kaki tangan orba melalui berbagai keuntungan dari kapitalisme pasar waktu itu, malah di masa orba, ayah Fuad Amin, Amin Imron, merupakan elit lokal yang memilih untuk berlawanan dengan pihak penguasa ketimbang melakukan kerja sama, sehingga kemunculan Fuad Amin sebagai kekuatan politik di era demokrasi sekarang ini tentu bukan dikarenakan posisinya yang lebih dulu diuntungkan lewat hubungan dekatnya dengan lingkaran Soeharto dari beragam privelse ekonomi dan politik, sampai memudahkannya untuk turut menguasai jalannya politik pasca Soeharto tumbang. Melainkan lebih disebabkan karena basis sosial kekiaian dan keblateran yang masih menjadi elemen penting nan berharga di sekitar masyarakat Bangkalan. Meskipun, walau tak terhitung besar, Fuad Amin juga sedikit mencicipi manfaat stabilitas ekonomi di masa orba dengan menjadi pengusaha lokal yang bergerak di bidang pelayanan haji dan sebagai penyalur tenaga TKI. Masalahnya, sekalipun Fuad Amin tidak berasal dari kekuatan lama yang dipelihara oleh Soeharto yang meraup banyak keuntungan dari kebijakan pasar yang sudah mulai terasa di zamannya, terutama setelah fenomena boom oil yang terjadi sekitar tahun 70-an, yang tak sedikit dari para kaki tangan orba, khususnya mereka-mereka yang berasal dari kalangan militer, pengusaha, politisi Golkar, dan
104
beragam afiliasi Soeharto di berbagai gerakan ormas24 di daerah yang akhirnya berevolusi menjadi bos lokal dengan modal besar untuk menguasai politik lokal pasca lengsernya Soeharto, tapi tetap saja, kekuatan besar Fuad Amin muncul berkat restrukturisasi negara lewat implementasi pemilihan umum ke daerahdaerah. Setidaknya hal ini menggambarkan bahwa kemunculan orang kuat lokal bukanlah
sesuatu
yang
terpisah
dari
campur
tangan
negara
dan
mensimplifikasikan ketidakterkaitan negara sebagai pemegang otoritas resmi yang sah. Adanya alokasi berbagai kebijakan, khususnya yang berpretensi pada persoalan ekonomi politik ke daerah-daerah bukan malah mengkooptasi peran bos lokal di masyarakat, melainkan berkontribusi dalam membangun kekuatan tiran menjadi semakin besar, sehingga kontrol sosial masyarakat atas negara menjadi semakin sempit. Kapitalisme pasar yang lebih terbuka dengan banyaknya program dan proyek pembangunan, dimanfatkan sebesar-besarnya untuk menambah pundipundi modal untuk berbagai kepentingan yang menyangkut eksploitasi sumbersumber ekonomi strategis dan pemeliharaan berbagai basis massa sosial pendukung kekuasaan. Yang terpenting, selain dari dua sumber kekuatan modal politik Fuad Amin yang telah dipaparkan, adalah basis kekayaan Fuad Amin yang memang telah terlebih dulu terjamin sebelum keterlibatan dirinya di ranah politik praktis. Sebagaimana dikatakan Winters, bahwa ketidaksetaraan material berpengaruh penting
kepada
ketidaksetaraan
politik.
Premis
ini
sekiranya
ingin
menggambarkan bahwa upaya gerakan penyadaran akan pentingnya partisipasi 24
Lihat Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005).
105
politik bagi setiap warga negara saja tidak cukup untuk menghilangkan realisme ketidakadilan politik di masyarakat.25 Orang-orang kaya dengan harta melimpah cenderung memiliki kesempatan lebih besar menguasai politik kekuasan dibandingkan orang-orang miskin yang tidak memiliki harta sama sekali, meskipun kedua kelompok ini sama-sama berpartisipasi. Sehingga dengan memakai logika oligarki seperti ini, wajar bila Fuad Amin berhasil menduduki posisi strategis politik di aras lokal. Bahkan jika beranjak lebih jauh ke teori sumber daya kekuasaan, yang mendiversifikasi modal kekuatan politik ke dalam lima bentuk penting: hak politik formal, jabatan resmi, kekuatan pemaksaan, kekuataan mobilisasi, dan material kekayaan,26 seluruh kelima sumber daya kekuasaan tersebut dimiliki oleh Fuad Amin sepenuhnya. Maka memasukan Fuad Amin ke dalam bagian oligark-oligark kecil yang ada di Indonesia pasca reformasi bukan merupakan sesuatu yang melenceng jika ditinjau dari beragam sudut teoritis. Oligark menurut Winters, secara definisi diartikan sebagai: “pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang biasa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya.”27
Pokok praktik oligarki adalah adanya upaya dari individu tertentu untuk mempertahankan atau menambah basis kekayaan materialnya. Mengacu pada pemahaman ini, indikasi yang mengkategorikan Fuad Amin sebagai oligark lokal 25
Winters, Oligarki, h. xv-xvii dalam sebuah kata pengantar. Kelima sumber daya kekuasaan ini merupakan garis pembeda yang menegasikan konsep elit di satu sisi, dan oligark di sisi lain. Sumber daya kekuasaan elit terdiri dari: hak politik formal, jabatan resmi, kekuatan pemaksa, dan kekuatan mobilisasi. Sedang sumber daya kekuasaan para oligark yakni basis material kekayaan yang terkonsentrasi. Lihat Jeffrey A. Winters, Oligarki (Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, 2011), h. 18-19. 27 Winters, Oligarki, h. 8. 26
106
terbilang lebih dari cukup. Apalagi semasa kepemimpinannya, Fuad Amin selalu berusaha menumpuk harta kekayaannya lewat beragam praktik korupsi, pemerasan, dan kontrol terhadap badan usaha daerah. Fakta ini searah dengan pemikiran Winters yang secara eksplisit mengatakan: “Namun, jika pejabat itu korup dan mengumpulkan kekayaan pribadi (dengan cara apa pun), maka kiranya dia menjadi elit pemerintahan sekaligus oligark yang mampu melibatkan diri dalam politik pertahanan kekayaan”28
B. Fuad Amin dan Lanskap Orang Kuat Lokal di Bangkalan Kekuasaan yang dipegang oleh mantan bupati Bangkalan, Fuad Amin, selama dua periode berturut-turut amat begitu besar dan tak terbendung. Apalagi karir politiknya tidak hanya berhenti sebagai bupati saja, melainkan terus berlanjut hingga sukses menjabat sebagai ketua dewan DPRD Bangkalan dari fraksi partai Gerindra. Maka tak aneh jika kemudian masyarakat Bangkalan menjuluki Fuad Amin dengan gelar kanjeng. Gelar ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa Fuad Amin bukanlah orang sembarangan. Antara Fuad Amin, kekiaian, dan keblateran di Bangkalan, merupakan tiga rupa yang tak terpisahkan. Lahir dari seorang ayah keturunan kiai besar, Fuad Amin dididik dalam lingkungan keluarga yang religius. Norma-norma agama menjadi sesuatu yang sublim dalam praktik hidup Fuad semasa kecil. Bahkan dalam masa-masa tertentu, sebagaimana keluarga kiai khususnya, dan kultur masyarakat Bangkalan pada umumnya, pesantren menjadi pelabuhan terakhir bagi pendidikan Fuad kelak. Sekalipun masa belajarnya di dunia pesantren itu tidak
28
Ibid, h. 14.
107
berlangsung lama.29 Menurut penuturan IMM, salah satu keponakannya, Fuad Amin sempat belajar di Pondok Pesantren Sidogiri selama kurun waktu 3 bulan.30 Secara genealogi, Fuad Amin memang tidak mewarisi darah keturunan seorang blater. Bapaknya, Ki Amin, selain sebagai seorang Kiai, Ki Amin pun aktif sebagai politisi. Kiai Amin merupakan elit PPP yang paling lantang di Bangkalan.31 Begitu juga dengan keluarga besar Fuad lainnya. Mereka adalah orang-orang yang mewarisi darah keturunan seorang wali, khususnya yang berasal dari Kiai Khos almarhum Syaikhona Kholil. Kedekatan Fuad Amin dengan dunia blater, tentu menjadi sebuah pertanyaan besar: bukankah dunia blater adalah bagian yang sama sekali bertolakbelakang dengan alam kekiaian. Berawal dari pertanyaan tersebut, penulis akan berusaha untuk menjelaskan ketiga aspek penting di Bangkalan tersebut pada sub-bab ini. Pertama soal Fuad Amin, kedua Kiai, dan terakhir, Blater. Aspek ini merupakan kata kunci bagi fenomena politik lokal di Bangkalan yang nantinya akan membawa kita pada pemahaman bersama bahwa konsep Migdal dan Sidel mengenai orang kuat lokal dan bos lokal benar-benar menjadi realita empirik sosial politik yang khas, dan terjadi di negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia. Secara sosiologis, seperti yang telah penulis jelaskan di muka, di Bangkalan terdapat dua kelompok yang dominan. Pertama kalangan kiai dan yang kedua kalangan blater. Demikian juga halnya dalam dunia politik. Kedua kelompok ini menjadi kelompok penentu dan elit penting dalam mengarahkan arus politik yang
29
Wawancara Pribadi dengan AAR, Bangkalan, 22 September 2015. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM, Bangkalan, 23 September 2015. 31 Wawancara Pribadi dengan FHR, Bangkalan, 18 September 2015. 30
108
terjadi di Bangkalan.32 Sejarah masuknya blater ke lingkaran kuasa politik lokal di Bangkalan dapat dilihat dari dua periodisasi waktu yang berbeda. Pertama adalah periode raja-raja jaman dulu saat masih berkuasa. Dan periode kedua yaitu saat terbentuknya institusi “Barisan” di bawah kendali bangsa kolonial. Paparan detail mengenai sejarah blater telah penulis terangkan di bab-bab sebelumnya. Dalam dinamika sosial di Bangkalan, keberadaan kalangan kiai dan blater nyatanya telah membentuk semacam kohesi sosial di antara keduanya. Maka tidak sedikit bila di kemudian hari, dari anak-anak keturunan kiai, yang juga menjalin hubungan yang erat dengan kalangan blater, khususnya mereka-mereka yang tidak mendapatkan pendidikan langsung di dunia pesantren.33 Keadaan serupa juga terjadi dan sangat relevan dengan kondisi Fuad Amin. Fuad adalah salah satu keluarga kiai yang dekat dengan kalangan blater. Hal ini sesuai juga dengan kondisi masa pendidikannya di pesantren yang terhitung sangat begitu singkat. Fuad Amin tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di pesantren sampai jenjang yang utuh. Maka tak aneh bila hubungannya dengan kalangan blater terbilang bukan hanya sekadar dekat, tapi juga menginternalisasi perilaku serta bahkan menjiwai sikap-sikap blater tersebut.34 “.............Nah, seorang Blater sehebat apapun itu pasti dekat dengan kiai dan tunduk sama kiai. Itu sejarah dari awalnya ya selalu begitu. Tidak ada seorang blater itu berani sama kiai. Nah, karena kedekatan-kedekatan seperti ini, anak-anak kiai ini ada juga yang pergaulannya dengan blater. Khususnya yang tidak mondok di pesantren. Sehingga kedekatan-kedekatan dengan blater ini, itu tentu menjadi sebuah sikap keseharian, dari, walaupun itu keluarga pesantren tapi karena kedekatannya dengan blater, jiwanya itu paham gitu. Bahkan tidak hanya jiwanya yang paham, sikapnya juga lebih dari sikap blater yang dominan. Nah, Fuad Amin ini masuk yang kelompok 32
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM, Bangkalan, 23 September 2015. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 34 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 33
109
itu. Salah satunya dari keluarga pesantren yang dekat dengan blater. Sebenarnya kalau urusan blater di Bangkalan ini kita tidak perlu dekat atau punya jiwa blater juga. Karena walaupun bagaimana, kalau sama keluarga kiai, blater itu tidak akan berani. Tidak akan berani. Seperti misalnya, perseteruan saya dengan fuad amin, si fuad amin inikan dekat sekali dengan blater di Bangkalan. Tapi untuk hal-hal politik, ketika berseberangan dengan saya, blater ini pun juga mundur enggak berani berhadapan dengan saya. Misalnya, untuk melakukan kekerasan, kalau blater itukan ya itu memang dunianya hitam. Jadi kalau jika berhadapan dengan saya, mereka mundur, ndak berani. Karena saya masih keluarga dalam juga. Demikian juga blaterblater yang dukung saya, ketika awalnya pun saya suruh perintahkan gimanapun, enggak akan berani untuk melawan si Fuad. Ya itu sudah, trahnya blater begitu. Nah, Fuad masuk dalam kelompok yang dekat sekali dengan blater”.35
Persepsi soal dunia keblateran di Bangkalan memang terbelah menjadi dua. Pada konteks ini, blater mempunyai dua makna stereotip sekaligus, yakni makna positif di satu sisi, dan makna negatif di sisi lain. Di satu pihak ada yang beranggapan bahwa blater adalah para jago yang selalu ada di belakang rakyat. Tapi di pihak lain ada juga yang berangapan bahwa blater merupakan dunia yang hitam kelam nan profan. Pembelahan ini merupakan buntut dari sejarah eksistensi mereka di masa lalu. Dari berbagai literatur yeng membahas soal blater, memang alam keblateran tidak bisa dilepaskan dari dua sudut pandang ini. Dalam sejarah pra-kemerdekaan misalnya, diceritakan, bahwa kaum blater adalah kalangan para jago yang turut terlibat dalam berbagai usaha-usaha kemerdekaan. Mereka seringkali terlibat perlawanan dengan para raja lalim dan bangsa kolonial. Tapi di sisi lain, keberadaan para blater juga tidak terpisahkan dari berbagai praktek kriminal yang terjadi di masa itu. Dengan kondisi sosialekonomi-politik yang tidak menentu, dan dengan keadaan serba kekurangan dan kemelaratan yang banyak menimpa masyarakat, orang kuat lokal lebih memilih
35
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
110
jalan pintas sebagai para kriminil lokal untuk dapat tetap hidup, atau dengan bersekongkol menjadi kaki tangan para raja dan bangsa kolonial untuk melayani berbagai kepentingan mereka dengan mendapatkan imbalan tertentu. Pada masa rezim Soeharto masih berkuasa, para blater dan kiai tidak memiliki hak politik yang luas lagi leluasa. Keberadaan mereka sebagai tokoh sentral yang hidup berdampingan dengan rakyat - yang dapat dilihat dari pengalaman sepak terjangnya dalam sejarah silam - telah dulu dikebiri dari pentas politik lokal akibat cengkeraman rezim yang nyatanya sudah semakin mengakar sampai ke tingkat bawah. Pada masa-masa orba, blater dan kiai hanya sebatas tinggal di pinggiran, mereka hidup di desa-desa, dengan tidak ikut andil bagian dalam berbagai proses dan urusan politik apapun yang terjadi di Bangkalan.36 Sekalipun perlawanan-perlawanan terhadap kebijakan orba yang dianggap merugikan pernah terjadi atas inisiasi para kiai, tetapi hal itu tidak lantas kemudian menjadi sinyalemen keberadaan partisipasi politik yang lebih massif di masa orba, sebab perlawanan tersebut masih bersifat temporal dan tidak memberikan dampak reduktif atas dominasi struktural politik orba di masyarakat. Perlawanan-perlawanan itu dapat dilihat dari protes-protes yang kerap dilancarkan oleh para kiai yang tergabung dalam BASRA (Badan Silaturahmi Ulama Madura). Saat itu mereka menolak wacana pembangunan dan industrialisasi yang diprakarsai orba di kawasan Madura.37
36
Wawancara Pribadi dengan AHS, Bangkalan, 20 September 2015. Abdur Rozaki, “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura,” (Disertasi Program Studi Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015), h. 99-100. 37
111
Mengenai konstruk dan tipologi blater sewaktu Soeharto masih berkuasa adalah terbangunnya ketundukan dan kepatuhan yang mereka tunjukan kepada rezim. Ketika Soeharto masih berkuasa, Bangkalan berada di bawah kepemimpinan Mohammad Fatah. Fatah sendiri berasal dari unsur TNI dari matra angkatan laut.38 Fatah merupakan kaki tangan orba di Bangkalan. Konstruksi blater di Bangkalan kala itu yakni akan merasa ciut serta takut apabila berhadapan langsung dengan unsur pemerintahan, termasuk kepada pemerintahan Fatah yang merupakan kepanjangan tangan bagi pusat di Bangkalan. Bahkan sampai ada istilah populer yang terkenal di kalangan blater setempat waktu itu: deki keteme beki ke negere (nanti dikasih ke negara).39 “............Seblater-blaternya orang Madura, kalau berhadapan dengan orang yang berbaju dinas atau negara, dia takut. Itu blater Madura. Jadi kalau pak Fatah waktu itu, ya iya, wong orde baru. Blater itu pasti tunduk. Tapi model bagaimana pak Fatah mengkoordinir dan mengendalikan blater, saya gak tahu. Bagaimananya saya gak tahu. Tapi tipologi blater Madura kalau sudah berhadapan dengan negara dia takut. Ini anunya mas, apa namanya, apa namanya, kalau dibikin guyonan orang blater: (deki keteme beki ke negere), nanti dikasih ke negara, kalau begini mas, blater. Jadi dia takut”.40
Masuknya blater dan kiai ke dalam urusan politik praktis di Bangkalan, paling tidak dimulai semenjak era Fuad Amin menjabat sebagai Bupati. Masa-masa kepemimpinan Fuad Amin ini merupakan awal eskalasi besar-besaran yang menandai masuknya kedua elemen masyarakat itu ke ranah politik lokal di Bangkalan.41 Masuknya dua elemen masyarakat ini, ke pusaran politik lokal di Bangkalan, tidak terhindar karena sosok Fuad Amin yang merepresentasikan diri sebagai kiai dan blater sekaligus. Gambaran Fuad sebagai kiai tidak terlepas dari 38
Wawancara Pribadi dengan MH, Bangkalan, 18 September 2015. Wawancara Pribadi dengan AHS. 40 Wawancara Pribadi dengan AHS. 41 Wawancara Pribadi dengan AHS. 39
112
garis keturunannya dan basis darah yang diwarisinya. Sedang gambaran Fuad sebagai sosok blater juga tidak terhindar dari pergaulannya yang erat dengan alam serta dunia blater di Bangkalan. Hubungan ini sudah dirajutnya semenjak Fuad masih muda.42 “Mulai dari muda. Jadi beliau itu kan sudah saya bilang pergaulannya memang dengan para blater, mulai dari muda. Mulai dari masa kanak-kanak. Sehingga tidak masuk di pergaulan pesantren memang beliau itu”.43
Ada banyak faktor yang menjadikan seseorang dapat dikatakan sebagai blater, beberapa di antaranya adalah: pernah membunuh, pernah dipenjara, menang dalam pertarungan, karena faktor kesaktian dan keilmuan, dan masih banyak lagi faktor-faktor lainnya - yang mampu mengangkat derajat serta martabat seseorang sampai dapat diakui sebagai bagian dari kelompok blater. Pengakuan masyarakat terhadap keblateran seseoran pun dapat berbeda satu sama lain. Kadang di desa A orang tersebut diakui sebagai blater, tapi di desa lain bisa jadi tidak. Blater madura biasanya mengenakan peci dengan tinggi rata-rata di atas 10 cm.44 Meskipun praktik-praktik yang telah disebutkan tadi tidak secara terangterangan dilakukan oleh Fuad Amin, bukan berarti Fuad terbebas dari stigma serta streotipnya sebagai bagian inheren dari alam blater. Karena faktanya, Fuad Amin kerapkali merupakan aktor intelektual dari beberapa aksi kekerasan yang biasa dilakukan oleh kalangan blater suruhannya yang sering Fuad tujukan terhadap para aktivis lokal dan penentangnya.
42
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 44 Wawancara Pribadi dengan MH. 43
113
Sebetulnya, setelah tahun 1990-an, sangat sedikit sekali blater yang diidentikkan dengan praktik carok dan praktik-praktik kekerasan lainnya. Pasca tahun tersebut, hanya terhitung ada dua hal yang masih melekat dalam tradisi blater di Bangkalan, di antaranya adalah hanya sebatas Judi dan Sabung Ayam.45 Tapi dengan keberadaan dan munculnya kekuasaan dan dominasi Fuad, seolaholah telah menghidupkan kembali praktik-praktik usang dalam alam blater tersebut. Meskipun Fuad hidup dan besar di lingkungan kiai, namun hal tersebut tidak simultan mewarisi sikap dan laku kiai yang ada di keluarganya. Bahkan, perilaku keseharian Fuad terbilang jauh dari perilaku asketis para kiai pada umumnya.46 Jika legitimasi yang merujuk pada sebutan „kiai‟ biasanya datang dari masyarakat sebagai penghormatan atas sikap religius yang diteladankan. Beda hal-nya dengan Fuad Amin. Satu-satunya alasan yang dapat menjelaskan mengapa akhirnya Fuad disebut sebagai kiai hanyalah karena posisinya yang diuntungkan lantaran memilki silsilah keturunan langsung dari keluarga para kiai. Sedang, barometer yang menjadi alasan subtantif mengapa seseorang dapat disebut sebagai kiai dengan ukuran paling minimalis saja, Fuad Amin tidak bisa memenuhinya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh AHS, yang merupakan salah satu mantan orang dekatnya: “.........Salat jarang. Selama saya bersama beliau ya pernah saya lihat salat tapi enggak aktif sebagaimana muslim taat yang lain.........”47
45
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Pribadi dengan AAR. 47 Wawancara Pribadi dengan AHS. 46
114
Karenanya, meskipun Fuad Amin berada di lingkungan keluarga yang mendidiknya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai agama, Fuad tidak menutup diri untuk pula masuk terlibat ke alam pergaulan blater. Komunitas blater menjadi dunia kesehariannya yang tak terbantahkan.48 Intensitas hubungan antara Fuad Amin dengan para blater dapat dilihat dari pergaulannya yang acapkali mengikuti beberapa tradisi dalam alam blater. Kendatipun hal tersebut tidak sepenuhnya Fuad ikuti, - karena untuk beberapa tradisi yang erat hubungannya dengan dunia blater, seperti sabung ayam misalnya, Fuad tidak turut serta, tapi segala bentuk tradisi dan kebiasaan blater lain pada umumnya, Fuad Amin tidak pernah melarangnya.49 Bahkan, untuk tradisi-tradisi tertentu, tidak jarang pula Fuad Amin ikut terlibat menceburkan diri bersama di dalamnya. Hal inilah yang menjadikan Fuad Amin mudah diterima oleh kalangan blater. Sebab kendatipun dunia blater berseberangan dengan dunia kiai yang menjadi latar keluarga Fuad, tetapi Fuad Amin mampu beradaptasi dengan kehidupan mereka. Sikap Fuad Amin yang supel adalah kunci keberhasilan dia memasuki dunia ini. Keterlibatan Fuad di dunia blater memang tidak mencolok. Di masyarakat umum, kesan yang timbul saat seseorang disebut sebagai blater adalah merekamereka yang lekat dengan dunia sabung ayam, judi, minum dan lain sebagainya. Untuk hal-hal seperti itu memang Fuad terbilang menjaga jarak. Tetapi pergaulan Fuad yang elastis dengan elit-elit blater adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Fuad pintar, dan dia tahu di mana titik-titik kelemahan para blater. Fuad tahu 48 49
Wawancara Pribadi dengan AHS. Wawancara Pribadi dengan AHS.
115
bahwa kelemahan blater itu adalah uang. Maka bukan perkara yang sulit bagi dirinya untuk menjadikan mereka sebagai kroni yang bisa dia kendalikan sesuka hati, semaunya, dan untuk kepentingannya.50 Bukan cara yang sulit pula bila kemudian Fuad Amin mampu memobilisasi dan memanfaatkan kalangan blater sebagai beking kekuatan di balik kesuksesannya memonopoli dominasi dan hegemoni dalam segmentasi politik lokal di Bangkalan. Selain karena keintiman hubungan tersebut, garis keturunannya yang berasal dari keluarga kiai terpandang di Bangkalan pun turut memberikan akses bagi dirinya untuk menjadi orang nomor satu dan terhormat dalam strata kelas di kalangan blater yang lain. Sebab, sehebat dan sekuat apapun kalangan blater, mereka akan tetap lekat, tunduk, dan menaruh rasa hormat serta taat pada kalangan kiai.51 Faktor rasa hormat, khidmat, serta kepatuhan blater kepada kiai inilah yang pada akhirnya menjawab mengapa kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh Fuad Amin tidak terjadi pada seterunya, lawan politiknya, khususnya Imam Bukhori Kholil. Di samping Imam Bukhori Kholil masih termasuk ke dalam salah satu keponakannya sendiri, Imam Bukhori pun sama posisnya dengan Fuad, yang juga turut mewarisi darah seorang kiai, sehingga penghormatan dan ketakdziman para blater, mau tidak mau mesti mereka tunjukan juga kepada Imam Bukhori Kholil.52 Penghargaan blater kepada Fuad, juga tidak terlepas dari faktor silsilah kekiaian ini. Dengan merepsentasikan anak dari keturunan seorang Kiai besar, otomatis kepatuhan dan ketundukan yang ditujukan para blater, akan mereka 50
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 52 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 51
116
nyatakan dengan kesiapannya untuk selalu berada di belakang barisan Fuad Amin. Di bangkalan sendiri pernah ada sebuah yayasan yang menaungi kalangan blater. Nama yayasan tersebut adalah Yayasan Blater Madura. Yang menjadi ketua dari yayasan tersebut adalah orang dan kroni Fuad Amin. Tapi organisasi tersebut tidak berjalan. Kemudian ada pula Dewan Adat Madura. Tetapi nasibnya sama serupa dengan Yayasan Blater Madura, organisasi tersebut tidak berjalan juga.53 Adapun unsur lain yang juga menyebabkan Fuad pada akhirnya masuk ke dunia blater, menurut AAR, salah satu keponakan Fuad, adalah karena dua faktor penting lainnya: pertama kondisi masa kecil Fuad yang sudah mengalami broken home, sebagaimana hal ini pernah diakui oleh Fuad sendiri dalam penuturannya di persidangan, kedua, karena keberadaan keluarga inti Fuad yang jauh dari tempat tinggal keluarga besar Syaikhona Kholil lainnya. Bila rata-rata keluarga besar Syaikhona Kholil tinggal menetap di Bangkalan kota dengan kultur kepesantrenan yang masih kuat, beda halnya dengan Fuad Amin yang tinggal di pedalaman desa. Fuad tinggal di desa Cempu, Kecamatan Burneh, yang notabenenya memiliki corak alam masyarakat blater yang masih kental.54 Bukti lain yang mengarah bahwa Fuad layak dimasukan ke dalam bagian kelompok blater adalah kebiasannya mengikuti tradisi remoh.55 Di samping itu Fuad juga pernah bergabung dengan kelompok musik tradisional Sandur Madura, bahkan Fuad merupakan salah satu pemain di dalamnya.56 Dua tradisi ini merupakan dua tradisi yang lekat dengan alam blater.
53
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Pribadi dengan AAR. 55 Wawancara Pribadi dengan NNH, Bangkalan, 20 September 2015. 56 Wawancara Pribadi dengan MH. 54
117
Selain itu, dalam pilkada 2012, Fuad juga pernah dengan secara lisan menantang carok kepada siapa saja yang hendak menggagalkan suksesi kepemimpinan anaknya. Carok adalah praktik yang identik dengan perilaku blater. Peristiwa ini bermula saat loyalis Imam Bukhori Kholil melakukan protes di KPU lantaran pencalonannya didiskualifikasi oleh pihak KPU. Menanggapi banyaknya gelombang protes yang diarahkan kepada persoalan netralitas KPU pada pilkada 2012, akhirnya sewaktu Fuad berkampanye untuk anaknya di alunalun, Fuad terang-terangan menantang carok bagi siapa saja yang berniat menggagalkan pilkada 2012.57 Karena pada pilkada 2012, Fuad turut bertanggung jawab bagi pemenangan anaknya sendiri, Makmun Ibnu Fuad, untuk meneruskan estafet dinasti kepemimpinan politik di Bangkalan. “Dia tidak pernah turun langsung kecuali kemarin. Pilkada 2012. Pilkada tahun 2012 itu, karena itu habis kiai imam itu dicoret kiai imam itu, KPU kan dikepung oleh kelompok masyarakat, unsurnya loyalisnya Ki Imam gitu kan, sampai dikepung , kota-kota tidak bisa dikeluahin, dia turun langsung menemui masyarakat itu begini begitu dan bahkan dia di kampanye pun, saya enggak ngedengar langsung tapi di media ramai, itu mengatakan nantang carok, siapa yang mau melawan saya carok dengan saya. Kalau sampai menggagalkan pemilihan bupati, tahun 2012 itu, carok dengan saya, lawannya saya, begitu.”58
Pendaulatan Fuad Amin sebagai raja dari pada kaum blater di Bangkalan dapat ditelisik dari dua unsur pendukung. Yang pertama adalah karena kepeduliannya yang amat besar terhadap kalangan ini, kedua adalah kesediannya untuk menjadi bagian yang inheren sebagai penjaga alam tradisi budaya blater itu sendiri. Sikap yang pertama tentu Fuad tunjukan dengan loyalitasnya untuk selalu terlibat dalam acara-acara yang menyangkut tradisi keblateran, sedang sikap yang
57 58
Wawancara Pribadi dengan FHR Wawancara Pribadi dengan FHR.
118
kedua Fuad tunjukan dengan menjadi orang yang paling dominan dan tersohor dalam tradisi tersebut.59 Misalkan dalam alam budaya lokal Madura, dikenal tradisi Remoh dan To‟oto. Perbedaan Remoh dan To‟-oto‟ terletak pada dua hal, pertama jumlah tamu yang diundang, dan kedua jenis hiburan yang disajikan. Acara remoh bertujuan untuk “menyelamati badan sekeluarga” atau “menyelamati badan sendiri”. Dalam acara remoh, seluruh kalangan blater berkumpul untuk menikmati jenis hiburan Sandur, semacam kesenian tradisional yang dimeriahkan oleh penari (tanda) yang diiringi oleh gamelan. Satu hal yang tidak bisa dihilangkan dari tradisi ini adalah adanya saweran, artinya para tamu yang diundang diharuskan memberikan uang kepada pihak penyelenggara remoh, dan sebaliknya, pihak penyelenggara pun mesti melakukan hal yang sama, saat para tamu yang lainnya mengadakan acara remoh di kemudian hari. 60 Saat menghadiri acara To‟oto bukan hal yang sulit bagi Fuad yang kapasitasnya sebagai bupati untuk terlibat dalam proses saweran dan memberikan uang dengan nominal paling tinggi dibandingkan para blater lainnya.61 “Gini, sebetulnya untuk masuk ke dunia blater itu perlu paling tidak dua modal ya menurut saya. Pertama, modal sok peduli, nah ini dia tunjukan misalnya ketika blater-blater itu ngadakan acara apa atau apa, dia selalu hadir. Bahkan dia sering jadi tuan rumah untuk kegiatan-kegiatan yang biasa terjadi di dunia blater itu. Itu satu. Kemudian yang kedua, tentu kesediaan dia untuk ikut menjaga apa yang menjadi budaya di dunia blater. Misalnya kalau di Madura ini terkenal dengan To‟oto misalnya. To‟oto itu misalnya saya mempunyai hajatan, itu semua yang ikut di rombongan itu harus (semacam) arisan gitu, naruh uang, nanti kalau sampean punya acara misalnya sampean dulu naruh berapa ke saya, naruh satu juta, nanti ketika sampean punya acara, saya datang ke sampean, nah yang satu juta itu sebagai mengembalikan nanti saya naruh lagi misalnya menjadi satu juta setengah, yang setengahnya sebagai terus seperti itu. Nah semakin besar 59
Wawancara Pribadi dengan AAR. A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 71-72. 61 Wawancara Pribadi dengan AAR. 60
119
yang ditaruh, itu semakin menunjukkan rasa keinginan dia untuk menjadi keluarga besar di dunia blater itu. Nah tentu sebagai seorang bupati, hadir ke tempat-tempat seperti itu dengan menaruh (buwuh misalnya, buwuh itu ya menaruh tadi itu, to‟oto tadi itu) dengan nominal yang lebih besar dari yang lain misalnya, kan bukan suatu yang sulit. Apalagi pada saat dia punya acara, kan akan kembali juga uangnya itu.”62
Secara kultur, blater merupakan kalangan yang identik dengan praktik carok serta tindakan kekerasan lainnya. Cara-cara yang Fuad lakukan saat memimpin Bangkalan pun tidak lepas dari sikap dan sifatnya yang memang dekat dan mencercap nilai-nilai yang berkembang pada alam blater. Image blater yang tidak terlepas dari laku kekerasan pun menjadi pemandangan umum dalam setiap peredaman gejolak serta protes yang terjadi di Bangkalan. Meskipun secara kasat mata Fuad tidak terlihat dalam berbagai praktik kekerasan yang terjadi, tapi dasar naluriah masyarakat, khusunya para aktivis Bangkalan, sudah barang pasti akan tertuju pada dirinya. Mereka sadar, karena sebelum mereka melakukan perlawanan, baik lewat demo dan media kritisasi lainnya, mereka tidak mengalami macam-macam tindakan kekerasan. Tapi setelah gelombang protes tersebut mereka lancarkan, barulah rentetan macam-macam kekerasan terjadi dan menimpa mereka. Biasanya kekerasan yang Fuad Amin lakukan dimaksudkan supaya menjadi pembelajaran berharga bagi para kelompok penentang lainnya.63 Supaya mereka tidak berani macam-macam dengan aksi dan protes yang hendak mereka lancarkan. Dan umumnya Fuad melakukan hal tersebut dengan mengerahkan orang-orang suruhannya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh NNH dan SYK:
62 63
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan FHR.
120
“Orang awam pun juga tahu, tapi toh pembuktiannya ya wallahu a‟lam kebenarannya. Kalau memang dia katakan: oh saya, bukan saya yang melakukan. Bukan memang dia yang melakukan. Tapikan, tapikan suruhan mas, suruhannya dia, benar”.64 “Ya tidak usah kasih contoh pun semua orang sudah tahu. Kalau saya secara pribadi, saya secara pribadi inikan orang yang mau dibunuh. Saya secara pribadi orang yang mau dibunuh, salah satu target. Ya saya sampaikan, kalau siapa yang narget, yang narget ya itu lah. Kenapa saya punyai, saya juga punya dasar, dasar kenapa saya harus kesana menetapkan itu, gitu”.65 “Oh dia enggak terjun, dia gak terjun sendiri tapi kan pake tangan orang lain. Pake tangan orang lain. Setiap melakukan kekerasan kita tidak bisa menuduh, setiap ada kekerasan kita tidak bisa menuduh itu Fuad Amin, tapi dari para blater ini, rumor yang beredar, yah dialah aktornya, tapi pelakunya orang lain”.66
Banyak cara yang dilakukan oleh Fuad Amin guna meredam gejolak serta resistansi yang berkembang di masyarakat. Biasanya hal yang pertama yang akan Fuad lakukan untuk meredam gejolak dan kritik yang datang adalah dengan ancaman verbal, baik yang dilakukan oleh dirinya secara langsung maupun melalui kroni-kroni yang berada di bawah kendalinya. Bila upaya ini gagal, maka Fuad akan beranjak dengan melakukan upaya lobi lewat uang dengan menyodorkan nominal tertentu. Dan apabila upaya ini pun sama nihilnya atau tidak menuai hasil sama sekali, maka Fuad Amin tidak akan segan-segan untuk kemudian melakukan upaya serta tindakan ke arah yang lebih ekstrem dan repsresif.67 Maka bukan perkara yang mengejutkan bila realita demokrasi di Bangkalan banyak diwarnai huru hara praktik kekerasan terhadap para aktivis. Lewat jalur eksekusi yang lebih frontal bahkan, semisal lewat pembacokan dan penembakan,
64
Wawancara Pribadi dengan NNH. Wawancara Pribadi dengan NNH. 66 Wawancara Pribadi dengan SYK, Bangkalan, 17 September 2015. 67 Wawancara Pribadi dengan AAR. 65
121
maka secara sadar maupun tidak, hal ini akan memberikan dampak psikologi yang cukup dalam di benak masyarakat. Masyarakat akan merasa ketakutan, dan wabah ini perlahan-lahan menjalar serta membentuk ketakutan kolektif di antara mereka. Sehingga ragam gejolak dan kecaman yang mengarah pada segala kebijakan pemerintah, diharapkan akan padam dengan sendirinya. Karena masyarakat tahu, betapa resiko yang akan diambilnya amat begitu berbahaya jika berhadapan langsung dengan pihak penguasa.68 Simbol keblateran Fuad Amin dengan beragam kekerasan yang dilakukan, pada akhirnya lambat laun telah menstimulus bertahannya ketakutan kolektif di masyarakat. Bahwa Fuad merupakan ulama, kiai, sakti, wali, dan blater menjadi sebutan yang sepertinya melekat begitu saja di masyarakat. Apalagi hal ini diperparah lagi dengan tidak adanya kekuatan penyeimbang yang mampu mensejajarkan diri dengan kekuatan politik Fuad Amin. Sebab Fuad menyadari, setiap kali muncul orang-orang yang berusaha menggoyang status quo-nya, dengan sigap Fuad akan langsung menghabisinya,69 sehingga kekuatan politik lain di luar dirinya tidak akan berkembang. Salah satu kelebihan Fuad lain dalam meredam protes yang datang adalah kemampuannya untuk menerka reaksi lawan.70 Hal ini sangat penting untuk mengukur seberapa besar dan strategi counter apa yang hendak Fuad berikan. Bila lawan yang Fuad hadapi melakukan perlawanan sengit, maka opsi-opsi yang telah Fuad persiapkan dapat diujicobakan setahap demi setahap. Jika opsi pertama gagal, maka Fuad akan langsung beranjak ke tahap berikutnya. 68
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan FHR. 70 Wawancara Pribadi dengan AAR. 69
122
Pengalaman atas tindakan kekerasan yang seringkali Fuad lakukan sebetulnya dapat ditelusuri saat awal-awal Fuad hidup di Jakarta. Saat itu Fuad pernah memukul salah seorang supir taxi lantaran Fuad tidak mempunyai uang untuk membayar argo. Akhirnya dicarilah alasan-alasan untuk dapat memarahi supir tersebut hingga Fuad Amin dapat memukulnya. Dengan begitu, Fuad bisa dengan leluasa tidak membayar ongkos argo taxi tersebut lantaran sang supir terlanjur merasa ketakutan.71 Perihal lain yang membuat tindakan Fuad seringkali tak terbendung adalah kemampuannya dalam mengelabui orang atau dalam bahasa aktivis Bangkalan – kelihaian Fuad dalam melakukan teatrekalisasi. Kemampuan ini sering Fuad perlihatkan saat dia berada dalam situasi yang betul-betul terjepit. Dari ceritacerita aktivis di Bangkalan, sewaktu Fuad Amin memanggil mereka untuk membicarakan soal protes dan aksi yang mereka lakukan, Fuad akan berusaha sekuat-kuatnya untuk melakukan diplomasi sampai berurai airmata kepada para penentangnya tersebut. Fuad, selanjutnya, akan menceritakan keluh kesahnya selama hidup. Dari perlakuan ini, Fuad sepertinya ingin menyentuh dimensi kemanusiaan dari pihak yang Fuad hadapi. Fuad ingin pihak yang sedang dihadapi berbalik berempati dan mengasihaninya, sehingga tidak sedikit dari perlakuan Fuad Amin yang seperti ini menjadikan sebagian para aktivis Bangkalan terenyuh lalu terseret masuk ke pusat lingkarannya. Ikhwal yang hampir serupa pun pernah Fuad tunjukan pula sewaktu di persidangan. Dalam persidangan di tipikor, Fuad Amin tidak enggan-enggan untuk menangis dan menceritakan masa kecilnya.
71
Wawancara Pribadi dengan AAR.
123
Sikap ini Fuad perlihatkan untuk mempengaruhi putusan hakim atas kasus korupsi yang tengah Fuad hadapi.72 Teror serta tindakan brutal yang Fuad lakukan pada akhirnya melahirkan semacam pola pikir yang hampir sejenis di masyarakat. Pola pikir ini yaitu munculnya keantisipasian dari masyarakat untuk tidak ikut terlibat dalam gerakan bersama kelompok-kelompok penentang. Masyarakat lebih memilih diam ketimbang menjadi korban keganasan Fuad Amin dalam menjalankan praktik dominasi yang dilakukannya. Akhirnya, dengan segala bentuk kekhawatirannya tersebut, masyarakat menjadi merasa tidak memiliki tanggung jawab juga untuk turut aktif menciptakan good governance, membuka ruang publik yang sehat, menuntut hak-hak politik mereka yang tercerabut, dan penegakan sendi-sendi keadilan di Bangkalan. Hal ini terbukti dengan sedikitnya partisipasi masyarakat dalam rangka mendukung kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh LSM setempat yang faktanya menaruh perhatian kepada masalah-masalah tersebut. 73 Karenanya, gerakan penentangan yang diinisiasi oleh kelompok LSM-LSM lokal pun akhirnya tidak mendapat sambutan yang berarti dari masyarakat Bangkalan. Terlebih LSM, sebagian kalangan kiai yang ikut dalam kelompok perlawanan saja kerapkali hanya dianggap sebagai protes parsial ketimbang merepresentasikan kepentingan masyarakat pada umumnya. Komentar nyinyir masyarakat seringkali terdengar dan tentu mereka tujukan kepada para pegiat aktivis di Bangkalan. Bagi AAR, kondisi serta gambaran yang terjadi pada masyarakat Bangkalan itu lazimnya peristiwa lampau yang juga pernah menimpa 72 73
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
124
kaum Bani Israil - dimana mereka membiarkan Nabi Musa berjuang memerangi dominasi status quo sendirian. Jangankan tergerak untuk melakukan protes terhadap segala sesuatu yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan kehidupan mereka, dengan adanya pemerasan yang dilakukan Fuad Amin kepada para THL (Tenaga Harian Lepas) yang nyata-nyatanya bersentuhan langsung dengan kepentingan mereka sendiri pun, masyarakat hanya diam.74 Berbagai macam teror yang Fuad lakukan itupun seringkali melibatkan berbagai elemen pemerintahan sampai ke tingkat paling bawah, yang dalam hal ini adalah camat dan kepala desa. Bahkan sampai institusi-institusi penegak hukum yang independen sekalipun, seperti kepolisian dan kejaksaan, turut memainkan perannya dalam persekutuannya di lingkaran kuasa Fuad Amin. Maka tak aneh bila belakangan masyarakat menyebut kedua lembaga ini sebagai “dinas kepolisian” dan “dinas kejaksaan”. Hal ini seolah-olah menggambarkan bahwa mereka (polisi dan jaksa) berada di bawah koordinasi dan instruksi langsung Fuad Amin.75 “...........Nah ada yang lebih aneh lagi, biasanya kan yang ikut itu hanya dari jalur secara struktur pemerintahan ya, misalnya dari bupati, camat, klebun misalnya, lah kalau di Bangkalan itu sampai ke aparat keamanannya ikut terlibat di situ. Misalnya yang ikut nakut-nakuti itu polsek misalnya. Bahkan kapolres. Sampai sekelas kapolres. Makanya di Bangkalan itu sampai terkenal ada istilah kepala dinas kepolisian, kepala dinas kejaksaan, karena begitu rupanya dua institusi penegak hukum ini seakan-akan ada di bawah koordinasi eksekutif, bukan bergerak sendiri”.76
Kebanyakan kasus kekerasan yang kerapkali Fuad Amin lakukan bersama kelompok blaternya terhadap para aktivis di Bangkalan terjadi di periode kedua
74
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 76 Wawancara Pribadi dengan AAR. 75
125
masa kepemimpinannya. Di periode ini, Fuad mulai arogan dan berani mengambil tindakan-tindakan represif untuk menghentikan segala kritikan yang diarahkan kepada dirinya.77 Sekalipun, pada masa-masa awal pencalonan Fuad sebagi bupati Bangkalan, peran blater memang tidak bisa diabaikan begitu saja, walaupun intensitasnya baru bisa terlihat di pencalonan Fuad yang kedua. Pada masa-masa awal, Fuad Amin sebenarnya turut mempunyai baking blater dan menjadi salah satu unsur kepercayaannya. Yang paling dekat di antara mereka adalah Haji Ali yang berasal dari Kampung Ceddih, Kecamatan Socah. Tapi menurut AAR, hubungan Fuad dengan Ali kemudian berakhir kandas. Selanjutnya mereka bermusuhan. Tidak dijelaskan apa penyebab kandasnya hubungan tersebut. Tapi yang pasti, perkara ini tidak terhindar dari kebiasaan buruk Fuad yang suka menipu orang.78 “...........Haji Ali, rumahnya itu di Ceddih, Ceddih Kecamatan Socah sini. Itu di antara dulu yang paling (katakan) blater yang paling – di antara yang paling dekat. Tapi setelah itu ya musuhan untuk selanjutnya. Kan yang saya katakan tadi itu, pak fuad ini hampir tidak ngumpul dengan orang kecuali orang itu ditipu. Nah bagi orang yang sadar dia itu ditipu dan tidak ingin ditipu untuk selanjutnya, baru dia akan lawan gitu. Tapi jarang yang sadar kalau ditipu”.79
Di antara beberapa kalangan blater lainnya yang juga memiliki kedekatan emosional lebih dengan Fuad Amin di antaranya adalah Modus (almarhum adalah mantan kepala desa Taber), Hamdan, Haji Rawi, Haji Zaini, dan Bahar (penguasa kapal di Jakarta, Tanjung Priok). Nama yang terakhir disebutkan konon pada akhirnya seringkali berselisih pendapat juga dengan Fuad Amin. Rata-rata kalangan blater yang masih berjejaring dengan Fuad adalah mereka yang 77
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Pribadi dengan AAR. 79 Wawancara Pribadi dengan AAR. 78
126
diposisikan sebagai klebun (kepala desa). Mereka dipelihara dan ditempatkan di berbagai desa di Bangkalan. Selain itu, banyak juga diantaranya adalah komplotan orang-orang besi tua yang ada di Jakarta.80 “..........Bahar itu penguasa kapal di Jakarta. Tanjung Priok. Haji Rawi Haji Zaini itu semuanya. Orang-orang besi tua di Jakarta itu semuanya itu komplotannya Kiai Fuad itu”.81
Intensitas hubungan Fuad yang lebih gencar dengan para blater terjadi menjelang tahun 2007. Sebab di tahun berikutnya, yakni pada tahun 2008, Bangkalan akan menghadapi pemilihan kepala daerah melalui mekanisme yang baru, yaitu pemilihan secara langsung untuk pertama kalinya. Hal ini tentu menjadi pekerjaan tersendiri bagi Fuad Amin untuk bagaimana menggalang kekuatan yang lebih massif dan besar dari masyarakat.82 Sebab di periode sebelumnya, tepatnya pada tahun 2003, pemilihan kepala daerah masih dilakukan melalui anggota dewan, sehingga domain pekerjaannya sedikit lebih mudah. Sampai sekarang, belum ada kalangan blater yang berlawanan dengan Fuad Amin.83 Sekalipun ada, itu hanya terjadi pada kalangan tertentu dan jumlahnya sangat terbatas. Hal itu pun biasanya terjadi lantaran Fuad menipu mereka. Jadi konflik ini sifatnya vertikal, hanya sebatas sikap dominan yang dilakukan oleh Fuad Amin pada kroni-kroni blaternya. Tetapi pasca di tangkapnya Fuad oleh KPK, hubungan Fuad dengan para blater atau klebun diperkirakan mulai regam. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan Ra Momon (Makmun Ibnu Fuad),
80
Wawancara Pribadi dengan AHS. Wawancara Pribadi dengan AHS. 82 Wawancara Pribadi dengan AAR. 83 Wawancara Pribadi dengan BHR, Bangkalan, 17 September 2015. 81
127
anaknya, dalam mengakumulasi kekuatan berbasis massa dari para blater tersebut.84 Perilaku menyimpang Fuad, berdasarkan cerita-cerita keluarga, menurut AAR, memang sudah muncul sejak masa-masa remaja. Hanya saja, setiap pelanggaran yang dia lakukan, lebih banyak selamat ketimbang berakhir di meja hukum. Desas desus mengenai tanah kuburan yang dijadikan agunan oleh Fuad, dan uang pinjaman berkedok sapi yang dikumpulkan olehnya dari masyarakat saat dia hidup di Kalimantan, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bagi sebagian masyarakat. Bahkan menurut penuturan AAR, salah satu penyanyi fenomenal, Elvi Sukaesih, pernah turut menjadi korban penipuan yang dilakukan oleh Fuad.85 Selain itu, kebiasaan yang sering diketemukan pada diri Fuad adalah kebiasaannya yang selalu tertawa terbahak-bahak selepas menipu orang.86 “.......dulu pernah mendatangkan (dia itukan pernah hidup di kalimantan juga), mendatangkan penyanyi waktu itu sangat kesohor - Elvi Sukaesih, dia sebagai panitianya, dia jual tiketnya segala macam, setelah uang terkumpul, uangnya dibawa lari dan enggak tahu penyelesaiannya seperti apa, tapi yang jelas uangnya itu dibawa lari dia”.87
Anehnya, dari track record Fuad yang penuh diwarnai berbagai tindak tanduk pelanggaran hukum, tidak lantas menghalanginya untuk memperoleh penghargaan sebagai salah satu seratus tokoh berpengaruh di Jawa Timur - lewat prestasi yang telah dibuat. Terlebih lagi, Fuad pun mendapatkan penghargaan “Akhlak Mulia Awards” yang diberikan kepada lima tokoh nasional lainnya
84
Wawancara Pribadi dengan BHR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 86 Wawancara Pribadi dengan MH. 87 Wawancaar Pribadi dengan AAR. 85
128
secara bersamaan, dengan Soekarno, dan Hatta. Acara penghargaan ini diselenggarakan oleh Irsyad Sudero.88 “.......... waktu itu ndak tahu apalah (latar belakangnya seperti apa) almarhum bapak Irsyad Sudero itu ada semacam membikin lembaga memberi penghargaan yang namanya itu kalau ndak salah “akhlak mulia awards” kalau ndak salah. Akhlak mulia awards. Nah itu ada lima figur yang kemudian mendapatkan akhlak mulia awards itu, Soekarno, kemudian kalau ndak salah Bung Hatta atau siapa lagi, salah satunya pak fuad amin. Luar biasa, jadi kalau saya gambarkan itu yang ditipu oleh dia itu bukan hanya masyarakat Bangkalan, tapi orang sak-indonesia.”89
C. Keterlibatan Fuad Amin dalam Politik Lokal Bangkalan Sebelum Fuad Amin benar-benar terjun ke dalam pusaran politik praktis di Bangkalan, Fuad merupakan salah seorang pengusaha yang bergerak di bidang penyedia layanan umroh dan juga sebagai salah satu unit penyalur tenaga kerja ke luar negeri. Keterlibatannya dalam politik praktis, praksis dimulai semenjak dirinya pertama kali didaulat untuk menggantikan ayahnya, almarhum Kiai Amin Imron sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai PPP. Keterlibatan ini terus berlanjut sampai akhirnya Fuad kemudian terpilih kembali menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PKB untuk masa jabatan antara tahun 1999-2003. Bersama PKB, Fuad Amin dipilih sebagai calon dewan DPR RI Dapil Madura dengan nomor urut satu, karena memang sistematika nomor urut masih berlaku saat itu. Hal ini dilakukan untuk mengangkat suara PKB di dapil Madura.90 Kepindahan Fuad Amin dari partai PPP ke partai PKB tersebut merupakan fenomena umum yang juga banyak melanda kalangan kiai waktu itu. Terlebih, Madura merupakan wilayah yang didominasi oleh kalangan kiai-kiai NU. Para
88
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 90 Wawancara Pribadi dengan MH. 89
129
kiai yang secara ideologi memiliki hubungan dekat dengan Nahdlatul Ulama akan merasa bertanggung jawab untuk turut serta membesarkan dan mendukung pendirian Partai PKB dengan cara ikut berbondong-bondong masuk ke dalamnya.91 Magnet yang memicu ekspansi ini tidak lain adalah karena ketokohan Gusdur yang sanggup merepresentasikan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ruh NU itu sendiri. Begitu pula halnya dengan Fuad Amin. Sebagai salah seorang keturunan kiai besar NU, Fuad pun merasa memiliki tanggung jawab atas keberlangsungan partai yang baru terbentuk itu. Maka tak aneh bila akhirnya Fuad turut serta berpindah partai, dari PPP ke PKB. Bermula dari partai PKB inilah kemudian karir politik Fuad Amin terus menanjak sampai sukses menghantarkannya menjadi Bupati Bangkalan selama dua periode berturut-turut, yaitu masa jabatan tahun 2003-2008, dan masa jabatan tahun 2008-2013. Sewaktu Fuad pertama kali memasuki arena politik lokal di Bangkalan, kondisi dan keadaan politiknya hampir sama dengan daerah-daerah lainnya yang ada di Indonesia. Masyarakat sedang gegap gempitanya merayakan euforia atas runtuhnya rezim lama, orde baru. Sedang Fuad sendiri yang telah lama duduk di kancah politik nasional, saat masuk ke arena politik lokal di Bangkalan, belum banyak mendominasi elemen serta kekuatan politik yang ada di dalamnya. Pengaruh waktu itu sepenuhnya masih dipegang oleh KH. Abdullah Schal, salah satu sepupu Fuad Amin dari keluarga Bani Kholil.92
91 92
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AHS.
130
Memang sewaktu KH. Abdullah Schal masih hidup, Schal merupakan orang tertua di antara keluarga Bani Kholil lainnya. Schal merupakan salah seorang kiai besar yang juga berpengaruh. Bahkan untuk beberapa hal, KH. Abdullah Schal selalu menjadi rujukan dalam berbagai persoalan masyarakat, baik yang menyangkut persoalan-persoalan sosial maupun politik yang ada di Bangkalan. Mohammad Fatah sendiri (mantan Bupati Bangkalan era orba) sejatinya masih berada di bawah perlindungan Kiai Abdullah Sachal ini.93 Tapi hal ini tidak lantas mengindikasikan bahwa KH. Abdullah Sachal termasuk ke dalam lingkaran orba. Karena pasca Soeharto tumbang, Mohammad Fatah masih menjabat sebagai Bupati Bangkalan. Kedekatan ini dapat diartikan hanya sebatas penghormatan Mohammad Fatah kepada Kiai Abdullah Schal yang Fatah anggap sebagai guru spiritualnya.94 Hampir mirip dengan pendapat yang dikemukakan MH, AAR berpendapat bahwa: “Dukungan KH. Abdullah Schal kepada Fatah tentu bukan karena K. Abdullah bagian dari orba tapi salah satunya, 1). karena faktor menjaga keharmonisan keluarga karena dengan mendukung Fatah maka ketiga orang calon dari PKB yang kebetulan masih satu rumpun akan mudah diredam. 2). Kepemimpinan Fatah masih dianggap bisa dikendalikan oleh kiai sehingga meskipun dari Golkar tidak akan merugikan perjuangan PKB dalam membangun Bangkalan. 3). Dukungan KH. Abdullah semakin besar kepada Fatah mana kala yang memenangkan penjaringan adalah FA, mungkin karena dalam pandangan kiai, FA tak akan bisa menjadikan Bangkalan lebih baik”95
Dengan mulai diberlakukannya undang-undang otonomi daerah pada tahun 2001, otomatis wewenang dan kekuasaan daerah semakin besar. Berbeda halnya sewaktu orde Soeharto masih berkuasa, dimana kewenangan dan otoritas pemerintah lokal sangat begitu kecil. Bahkan, pemilihan kepala daerah di masa 93
Wawancara Pribadi dengan AHS. Wawancara Pribadi dengan MH via telepon, 02 Maret 2016. 95 Wawancara Pribadi dengan AAR via SMS, 21 Maret 2016. 94
131
orba, seringkali diliputi berbagai macam intervensi yang Soeharto lakukan. Orang-orang bayangan pusat ini sengaja ditaruh sebagai calon yang nantinya dapat menjaga kepentingan pusat di daerah. Kondisi masyarakat yang menaruh anti-pati pada rezim orba semenjak orba runtuh, juga mereka tujukan kepada orang-orang yang berada di lingkaran pemerintahan lama. Yang dalam hal ini adalah pejabat-pejabat pemerintahan daerah dulu yang masih memiliki jejaring dengan Soeharto. Mereka turut menjadi sasaran luapan kekecewaan masyarakat yang bertahun-tahun terbengkalai hak politiknya, dan dinafikan keberadaannya. Maka bukan perkara mudah bagi orangorangan orba, khususnya mereka yang berada di daerah, untuk kembali memenangkan kontestasi pemilu di aras lokal pasca desentralisasi diterapkan. Walaupun sebagian dari mereka tetap ada bahkan melestarikan dominasi politiknya hingga saat ini. Gambaran politik lokal pasca Soeharto di atas, juga mendeskripsikan pengalaman yang terjadi di Bangkalan saat itu. Fuad Amin yang tidak memiliki korelasi dengan rezim pemerintahan Soeharto, mempunyai modal besar untuk memenangkan pemilihan kepala daerah di Bangkalan. Runtuhnya dominasi orba faktanya dimanfaatkan secara maksimal oleh elit Bangkalan untuk mengkonsep kembali struktur bangunan kepemimpinan yang ada di Bangkalan pasca reformasi. Karena itu, munculnya sosok kiai pasca reformasi diimplementasikan, merupakan konsep yang lahir dari pemikiran elit lokal, khususnya mereka-mereka yang memiliki perhatian khusus di dunia
132
pesantren, bahwa peluang dari keruntuhan pemerintahan orba mesti dimanfaatkan sebesar-besarnya.96 Pada pilkada 2003 di Bangkalan, sebenarnya ada dua pilihan kuat bakal calon lainnya selain Fuad Amin. Bahkan kedua calon tersebut lebih kuat ketimbang Fuad Amin itu sendiri. Kedua-duanya berasal dari keluarga yang sama: yakni keluarga Bani Kholil. Pertama adalah Kiai Imam Bukhori Kholil, kedua adalah Kiai Syafii Rofii. Kiai Imam Bukhori Kholil merupakan ketua PCNU Bangkalan yang memprakarsai lahirnya PKB di Bangkalan. Sedangkan Kiai Syafii Rofii merupakan ketua DPC PKB di Bangkalan. Terpilihnya Fuad Amin dalam penjaringan di internal partai PKB tidak terlepas dari beberapa trik sabotase yang Fuad Amin lakukan terhadap kedua pasangan ini.97 “Gini, karena waktu itukan kita sedang euforia ya, bagaimanapun kesempatan pertama di era reformasi, dunia pesantrenlah paling tidak yang sedang mengonsep parlemen ini, harus mengusung calonnya sendiri, nah karena memang pak fuad ini secara trah itu nyambung dengan Kia Amin, dimana sosok ki amin ini betul-betul menjadi sosok yang sangat kharismatik pada masa hayatnya, jadi kemunculan pak fuad ini mudah diterima oleh masyarakat walaupun sebetulnya pada saat itu kan yang paling kuat itu ada pada dua figur yang lain, yaitu Kiai Imam Bukhori, sebagai ketua PCNU waktu itu yang membidani lahirnya PKB di Bangkalan, kemudian yang kedua Kiai Syafii Rofii sebagai ketua DPC waktu itu. DPC PKB. Tapi ya semacam ada, ya biasalah ada semacam sabotase politik sehingga kemudian kesempatan dari dua tokoh ini menjadi terpotong dan yang naik justeru pak Fuad”.98
Awalnya, keikutsertaan Fuad Amin dalam pilkada di Bangkalan untuk pertama kali banyak menuai penolakan dari sebagian keluarga besar Bani Kholil. Sebagai keluarga kiai terkemuka seantero nusantara, mereka khawatir, apabila nantinya Fuad Amin berhasil menduduki jabatan sebagai seorang bupati. 96
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 98 Wawancara Pribadi dengan AAR.
97
133
Kekhawatiran ini timbul karena dua faktor, pertama Fuad merupakan keturunan paling sepuh di antara mereka sepeninggal KH. Abdullah Schal, kedua karena Fuad adalah anggota keluarga yang dianggap memiliki intensitas hubungan yang sangat intim dengan kalangan blater. Dengan dua alasan ini, sangat jelas apabila kemudian Fuad dapat disimpulkan sebagai orang terkuat di antara Bani Kholil dan juga orang terkuat di Bangkalan.99 Bahkan tak sedikit kemudian dari masyarakat yang juga menyebutnya sebagai salah satu tokoh Kiai-Blater. Tetapi kegelisahan akan besarnya dominasi yang nanti akan Fuad dapatkan bila dia berhasil menjadi bupati bangkalan – sebagaimana yang juga dirasakan oleh keluarga besar di masa-masa awal itu – pernah juga diutarakan oleh Ahmad Ali Ridho selaku keponakan Fuad Amin kepada dirinya.100 Kekhawatiran ini tentu tertuju pada satu hal: bagaimana cara mengontrol kekuasaan Fuad Amin nantinya. Keberatan itu dia ceritakan dan dia pertanyakan kembali pada diri Fuad Amin secara langsung. Tetapi tanggapan yang Fuad Amin berikan pada waktu itu hanya sebatas bahwa pencalonan ini murni sebagai pengabdiannya terhadap masyarakat. Di tengah usia yang semakin udzur, Fuad Amin ingin memberikan sesuatu yang berarti di sisa hidupnya itu. “.......Kenapa kemudian dari kami ini mendukung waktu itu ada pada posisinya pak fuad ya, karena memang dari saya sendiri melihat bahwa sosok pak fuad ini sosok yang bisa dibuat lokomotif pembaharuan. Nah saya sendiri secara kepribadian kan tidak kenal pada dia ya, hanya kenal dari (apa ya hanya dengar cerita-cerita sekilas saja) bahwa dia blater bahwa dia begini, tapi tidak kenal sejauh mana sebetulnya pak fuad itu sendiri. Sehingga ketika pak fuad mengajak saya untuk mendukung dia menuju jabatan bupati itu, saya sendiri sebenarnya waktu itu nanya ke beliau: Man, apakah, apa memang harus sampean? Apa tidak sebaiknya yang lain, saya sempat seperti itu, kemudian, dianya bilang: loh, kalau bukan aku lalu siapa gitu? saya 99
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
100
134
bilang: man, untuk tokoh-tokoh, karena saya masih anak-anak, tentu lebih kenal jenengan, kalau saya sendiri kan tidak tahu, siapa yang harus didukung yang harus dimajukan, saya sendirikan kurang tahu, cuma kalau dalam pemikiran saya, paman ini salah satu keluarga yang dituakan, kalau kemudian paman ini nanti berhasil menjabat sebagai bupati, dan ternyata misalnya paman itu melakukan kesalahan-kesalahan dalam memimpin, lalu yang akan mengingatkan paman itu siapa, mengingat yang lain itu masih bisa dikatakan semuanya di bawah pengaruh paman seperti itu. Akhirnya beliau bilang gini ke saya: Mad, aku ini sekarang posisinya sudah menjadi DPR RI, secara kedudukan, saya sudah punya jabatan, secara finansial walaupun tidak kaya-kaya banget, tapi sudah bisa dikategorikan termasuk yang terkaya di antara keluarga. Jadi saya ingin meraih jabatan bupati ini bukan karena mengejar jabatan dan bukan karena mencari uang. Saya ingin memulai pengabdian saya di tengah-tengah masyarakat Bangkalan. Karena saya mulai dari kecil sampai muda, sampai sekarang saya ini selalu berada di luar daerah. Nah, saya sekarang sudah tua, umur saya sudah menginjak 60, ayolah bantu saya, bantu aku, untuk bisa jadi bupati, biar aku ini bisa mengabdikan sisa hidupku untuk masyarakat. Makanya saya kemarin terus terang terkejut, ketika dia di persidangan mengungkap (di tayangan metro tv itu) dia sudah mengaku punya kekayaan yang ratusan miliar sebelum jadi bupati. Itu saya bisa pastikan itu bohong besar itu. Karena waktu itu yang diungkap (apa ya), yang saya tahu untuk biaya mencalonkan aja, dia itu masih minta sana-sini”.101
Tetapi kekhawatiran keluarga terhadap kekuatan Fuad Amin yang berlebih itu segera sirna setelah Fuad berhasil menduduki posisinya sebagai bupati. Respon keluarga pun pada akhirnya berbalik arah, dari yang semula menolak, kini di antara keluarga bani kholil, sebagian di antaranya bahkan serta merta melebur menjadi unsur penunjang fondasi kekuatan dominasi Fuad Amin di Bangkalan.102 Walaupun memang sebagian yang lain tetap konsisten pada misi awal mereka untuk tetap berupaya melakukan kontrol terhadap pemerintahan Fuad Amin. “....... cuma sayangnya, ketika pak fuad ini sukses untuk meraih jabatan bupati ini, lambat laun, sikap kritis dari keluarga terhadap Ra fuad ini cenderung berkurang, dan bahkan akhirnya semuanya melebur menjadi satu kekuatan untuk menopang kekuatan Pak Fuad itu sendiri”.103
101
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 103 Wawancara Pribadi dengan AAR. 102
135
Tapi halangan demi halangan silih berganti menerpa ambisi Fuad Amin untuk menjadi bupati. Setelah sempat mendapatkan penolakan dari keluarga besar di masa-masa awal pengusungannnya sebagai bupati, Fuad Amin kembali diterpa masalah serius. Kendala Fuad Amin kali ini terkait dengan masalah ijazah palsu yang ia pakai untuk melengkapi persyaratan dan ketentuan administrasi sebagai kandidat calon bupati. Hal ini tentu inkonstitusional, bahkan kemungkinan KPU mengeliminisir Fuad dari arena pilkada sangat besar. Untuk bisa lolos dari proses verifikasi di KPU tersebut, pada akhirnya, dengan segala cara, Fuad Amin mencari dukungan ke berbagai partai politik dan seluruh elemen masyarakat yang ada di Bangkalan. Sebab dengan adanya dukungan solid yang diberikan oleh partai politik serta masyarakat, maka bukan tidak mungkin hal ini secara tidak langsung akan memberikan tekanan kepada pemerintah pusat, dengan seolah-olah memberikan opini bahwa bila proses pencalonan ini gagal, apalagi setelah pemilihan dan menang kemudian tidak dilantik, kemungkinan akan terjadinya chaos serta kerusuhan di masyarakat akan sangat mungkin terjadi.104 Karena faktanya, pada pemilihan yang masih dilakukan melalui voting di dewan tersebut, Fuad Amin mampu meraih dukungan yang signifikan. Dari 45 anggota dewan, Fuad Amin mampu meraih 42 suara.105 Setelah informasi tentang penggunaan ijazah palsu Fuad Amin ini merebak ke ruang publik, banyak di antara dukungan kiai dan keluarga yang akhirnya kembali antipati. Apalagi dukungan Kiai Abdullah Schal pada waktu itu
104 105
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
136
diarahkan kepada Mohammad Fatah, bupati incumbent sebelumnya,106 meskipun pencalonan Fatah akhirnya telah terlebih dulu gagal sebelum dirinya benar-benar turut dalam kompetisi. Di masa-masa awal pencalonan Fuad Amin; Khozein Abdul Karim, Imron Fatah, dan Ahmad Ali Ridho merupakan salah satu unsur dari kalangan keluarga yang pertama-tama menunjukan sikap simpatinya atas pencalonan Fuad Amin. Alasan yang terbesit yang menjadikannya mendukung pencalonan Fuad Amin pada waktu itu menurut Ahmad Ali Ridho adalah bahwa Fuad Amin merupakan sosok yang ideal bagi lokomotif pembaharuan di Bangkalan.107 Pada pilkada awal Bangkalan pasca reformasi itu, ada lima orang yang juga terlibat menjadi tim inisiator awal pencalonan Fuad Amin di Bangkalan. Selain Ahmad Ali Ridho dan Imron Fatah, mereka adalah: Aliman Haris, Syafiudin Asmoro, dan Khosun Mizan. Salah satu pelecut semangat yang mendasari mereka untuk terlibat aktivitas voluunter di lingkaran pencalonan Fuad Amin di masa periode awal untuk pertama kalinya di Bangkalan itu adalah bagaimana agar Bangkalan tidak lagi dikuasai oleh unsur-unsur rezim orde baru.108 Sebab salah satu unsur orde baru yang ada di Bangkalan saat itu, yaitu Mohammad Fatah, pun menunjukan niatannya untuk kembali bertarung dalam kontetasi di pilkada tahun 2003.109 Hal ini terekam dalam wawancara penulis kepada AHS, yang juga turut menjadi salah satu inisiator di pencalonan Fuad. AHS mengungkapkan bahwa keterlibatannya dalam tim sukses Fuad tidak bisa terlepaskan dari giroh untuk
106
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 108 Wawancara Pribadi dengan AHS. 109 Wawancara Pribadi dengan AHS. 107
137
merubah Bangkalan. Asumsi awalnya adalah bahwa dengan kalangan kiai yang memimpin Bangkalan, bisa jadi Bangkalan akan menjadi lebih baik. Bahkan semangat perubahan ini AHS tuangkan dalam buku yang membahas soal Fuad Amin dan Civil Society di Bangkalan. “.....karena saya menjadi bagian dari gerakan itu dulu. 98. Saya masuk kampus 96-97, 98 itu gerakan, jadi ghiroh itu masih ada di saya untuk merubah Bangkalan makanya kiai ini yang saya jadikan, karena kalau sudah kiai insya allah akan lebih baik dari pada orde baru sebelumnya. Oh ternyata bisa seperti sekarang ini ceritanya. Bahkan saya dulu sampai nulis buku itu, gara-gara itu memang. Saya tuangkan harapan itu di situ, ada di sosok beliau, memang lebay. Saya menulis narasinya lebay, mas. Kalau dibaca sekarang ini, gimana gitu. Nyesal saya.”110
Kelima orang inilah yang terus menerus, secara berkala, mendorong agar Fuad bersedia untuk dicalonkan sebagai kandidat bupati Bangkalan.111 Dari kelima tim inisiator pencalonan Fuad Amin tersebut, Ahmad Ali Ridho merupakan orang pertama yang pada akhirnya mendeklarasikan diri sebagai orang yang keluar dari barisan Fuad. Hal ini diambilnya karena Ahmad Ali Ridho sudah merasa tidak cocok lagi dengan lika-liku kepemimpinan Fuad Amin. Peristiwa itu terjadi pada tahun 2005.112 Begitupun dengan tim sukses Fuad Amin lainnya. Satu persatu, mereka mulai meninggalkan Fuad. AHS menurut pengakuannya sendiri keluar dari barisan Fuad ketika tahun 2009, dan Imron sudah tidak harmonis lagi dengan Fuad Amin di sekitar tahun 2007-2008.113 Mengenai Mohammad Fatah, mengapa kemudian gagal ikut dalam kontestasi di pilkada Bangkalan tahun 2003, adalah lebih dikarenakan laporan pertanggungjawabannya sebagai Bupati ditolak oleh anggota dewan. Alasan inilah 110
Wawancara Pribadi dengan AHS. Wawancara Pribadi dengan AHS. 112 Wawancara Pribadi dengan AHS. 113 Wawancara Pribadi dengan AHS. 111
138
yang kemudian melandasi keengganannya untuk turun dalam kontestasi pilkada. Sebab, dengan adanya penolakan LPJ, secara marwah konstitusi, hal ini akan menjadi beban moril tersendiri bagi dirinya untuk melanggengkan kekuasaan. Di samping hal ini pun mengindikasikan bahwa sudah tidak adanya kekuatan utuh yang nantinya akan mendukungnya lewat pemilihan di dewan.114 Penolakan LPJ Fatah sebagai bupati Bangkalan sebenarnya tidak terlepas dari permainan politik Fuad. Fuad Amin nyatanya mampu membangun emosi keluarga fraksi PKB di Bangkalan untuk menolak LPJ yang Fatah ajukan. Ditambah, afiliasi Fatah sendiri yang memang merupakan kepanjangan tangan rezim orde baru, sehingga stigma sebagai orang-orangan orba kental melekat pada dirinya. Menurut AAR, unsur bau politik orba Fatah inilah yang menjadi cikal bakal badai penolakan yang Fuad Amin hembuskan, apalagi PKB yang secara dominan menguasai dewan, sudah selayaknya mengusung calon sendiri. Sedangkan kapasitas kepemimpinan dan segala pembangunan yang telah dilakukan Fatah di Bangkalan tidak diperhitungkan. “Ya kan gini, karena memang waktu itu antipati terhadap semua yang berbau orde baru itu kan kental sekali. Itukan awal-awal reformasi ya. Nah Pak Fatah ini kan kebetulan sosok yang secara afiliasi politiknya atau bau politiknya itu lebih kental orde barunya lebih kental bau golkarnya seperti itulah kasarannya. Sehingga PKB dan semua ulama waktu itu tidak melihat Pak Fatah ini dari kapasitas yang lain, apakah kemampuan beliau dalam memimpin, kemampuan beliau dalam memajukan Bangkalan misalnya itu menjadi tidak dihitung. Yang dihitung adalah Pak Fatah bagian dari orde baru. Karena Pak Fatah bagian dari orde baru dan waktu itu PKB ini menjadi mayoritas di DPRD Bangkalan, maka sudah selayaknya PKB harus mengusung calon sendiri. Nah, semangat seperti ini yang kemudian berhasil dimasuki atau dimanfaatkan oleh Pak Fuad, bagaimana kemudian mendorong PKB ini untuk menolak LPJ-nya pak fatah sebagai pintu masuk bagi dia mulus untuk calon dan tidak ada tidak bertanding dengan Pak Fatah seperti itu.”115 114 115
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
139
Menurut AHS, ada empat basis kekuatan yang menjadi modal penting Fuad dalam pencalonannya pada masa itu. Selain karena keberadaannya yang tidak terkait dengan rezim Soeharto, empat hal inilah yang kemudian mampu menunjang keberhasilannya sebagai bupati. Pertama karena Fuad mewakili kharisma kiai – dari keturunannya sebagai cucu Syaikhona Kholil, kedua, karena dirinya dikenal sebagai salah satu tokoh blater, ketiga, karena kondisi finansial Fuad yang kaya, dan keempat, karena Fuad termasuk ke dalam kalangan orang-orang terhormat.116 Keempat unsur inilah yang menjadi faktor kemenangan Fuad Amin dalam pilkada 2003. Di samping itu, dengan kebesaran PKB yang menguasai hampir setengah dari jumlah kursi dewan di Bangkalan, dan solidnya kekuatan dukungan yang diperlihatkan oleh keluarga besar bani kholil pada Fuad Amin, turut pula menjadi faktor penentu kemenangan Fuad Amin di masa-masa awal pencalonannya itu.117 Mengenai penjelasan kronologi kemenangannya di periode pertama dan periode kedua, akan penulis sajikan di sub-bab khusus tentang itu. Adapun akumulasi modal yang diperuntukkan sebagai ongkos politik Fuad waktu itu juga terbantu dari beberapa bantuan yang berasal dari santri Ki Amin, (ayah Fuad), dan beberapa lainnya dari orang-orang yang pada waktu itu ingin mendampingi Fuad sebagai calon wakilnya.118 Kenyataan bahwa demokrasi di Bangkalan yang dikuasai sepenuhnya oleh Fuad memang tidak bisa ditampik. Setelah melenggang maju sebagai calon Bupati dan menang, apa yang dikhawatirkan oleh pihak keluarga Bani Kholil benar-benar 116
Wawancara Pribadi dengan AHS. Wawancara Pribadi dengan AAR. 118 Wawancara Pribadi dengan AAR. 117
140
menjadi kenyataan. Praktik penyimpangan birokratis mulai Fuad Amin tunjukan pasca dua tahun kepemimpinannya.119 Menurut AAR, pelanggaran yang Fuad lakukan sudah terasa setelah pertengahan tahun kedua di periode awal kepemimpinannya menjabat sebagai bupati Bangkalan. Jadi hal tersebut tersebut terjadi pada kurun waku di kisaran tahun 2004. Beberapa fakta yang mengarah kepada hal tersebut salah satunya adalah saat Fuad meminta LSM-LSM setempat untuk menyoroti kinerja instansi-instansi pemerintahan di Bangkalan. Tetapi setelah hasil investigasi dan survei yang dilakukan oleh LSM-LSM itu dilaporkan kepada Fuad Amin, Fuad malah justru tertawa. Seolah-olah hasil audit yang dilakukan oleh LSM-LSM tersebut tidak penting dan tidak berarti apa-apa. Terus selanjutnya adalah pemotongan-pemotongan terhadap anggaran pemerintah. Bila di masa Fatah pemotongan anggaran hanya sekian persen, di masa kepemimpinan Fuad jumlahnya semakin membengkak.120 “Yah banyak teman-teman gini ya, dari kan LSM-LSM itu waktu itu banyak yang awalnya diminta oleh dia untuk (katakan) menyoroti instansiinstansi ataupun kerja-kerja pemerintahan di bawah pak fuad ini yang tidak menjalankan program sebagaimana mestinya, seperti itu. Tapi ketika teman-teman LSM yang dia suruh ini menjalankan fungsinya seperti itu, dan kemudian dilaporkan ke dia, dia justeru ketawa, kok wah kamu ini kaya gitu aja diurus, misalnya seperti itu. Kamu kaya gitu aja diurus, misalnya. Nah terus ya mulai kemudian pemotongan-pemotongan terhadap anggaran-anggaran itu. Kalau di masa-masa pak fatah itu, ya mungkin hanya antara, waktu itu antara 5 persenan kalau gak salahlah, itu sudah mulai ada peningkatan”.121
Selain itu, setoran-setoran yang Fuad wajibkan pun merembet ke berbagai program pemerintahan lainnya.122
119
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 121 Wawancara Pribadi dengan AAR. 122 Wawancara Pribadi dengan AAR. 120
141
“Oiya saya kira kalau untuk setoran seperti itu sudah menjadi hal yang lumrah lah saya kira ya. Hanya kalau kemudian, nah terungkapkan di persidangan itu bahwa sebetulnya pemotongan terhadap semua program itu, itu terjadi sejak Pak fuad menjabat. Termasuk minta kepada rumah sakit, dan lain-lain itu, dan SKPD juga seperti itu”.123
Penempatan kroni-kroni, keluarga dan orang-orang dekat Fuad di berbagai pos penting dimulai sewaktu pertama Fuad memimpin. Setiap ada kesempatan, Fuad akan menaruh orang-orang tersebut. Misalnya saja Fuad waktu itu tempatkan Khosun dan Ya‟kub di dinas-dinas pemerintahan terkait. “Ya saya kira sejak awal ya. Sejak awal. Ya mulai dari tahun pertama itu setiap ada kesempatan untuk memasukan orang-orangnya itu ya dia masukan”. 124
Tipikal yang erat dengan psikologi Fuad adalah sikapnya yang tidak mudah percaya dengan orang. Makanya penempatan keluarga terdekatnya di beberapa pos jabatan partai, ormas, dan lain sebagainya, sudah menjadi hal yang kaprah mewarnai kehidupan politik Fuad Amin di masa-masa kepemimpinannya tersebut. Pasalnya, kekuatan Fuad Amin di Bangkalan sudah terlalu amat mencengkeram, jadi ketika Fuad menghendaki siapapun untuk duduk di posisi manapun, sekalipun orang yang dimaksud secara kapabilitas tidak memiliki kriteria-kriteria yang mumpuni, bila itu sudah kehendak Fuad, maka orang itu pasti berhasil mendudukinya.125 “Ya Fuad Amin ini orangnya tidak percayaan sama orang, mas. Jadi kalau tidak, ya pasti yang berhubungan dekat dengan keluarga lah. Pasti itu. Yang masih dianggap famili-famili-famili-famili, naruh itu”.126 “Ya. Jadi Bangkalan ini begini, Bangkalan ini, sudah kamu harus jadi, kamu harus jadi, kamu harus jadi sama Fuad, kamu harus jadi. Jadi meskipun dia ini tidak punya basic apa-apa, mohon maaf, bacanya meskipun masih dieja, 123
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR 125 Wawancara Pribadi dengan NNH. 126 Wawancara Pribadi dengan NNH. 124
142
kalau kata fuad itu jadi, harus jadi itu. Jadi menganggap dirinya adalah raja, tinggal kun fayakun saja, begitu”.127
Bahkan penempatan yang dilakukan oleh Fuad Amin bukan saja hanya berlaku di pos struktur pemerintahan. Sampai ke seluruh internal partai politik dan organisasi masyarakat yang ada di Bangkalan sekalipun, Fuad susupi. Intervensi Fuad ke berbagai parpol dan ormas di Bangkalan ini dilakukan dengan cara terlibat langsung dalam setiap momen-momen pemilihan ketua DPC atau pemilihan ormas yang sedang dilangsungkan. Saking mengguritanya dominasi Fuad ke tubuh parpol, maka di Bangkalan keluar istilah tidak ada partai kecuali PPP: Partai Pendukung Pendopo “Hampir semua partai, bahkan sampai waktu itu ada istilah di Bangkalan ini enggak ada partai kecuali PPP, (partai pendukung pendopo). Hanya ada satu yang enggak, yaitu PKNU waktu itu. Yang gak tersentuh, ya emang kan PKNU dikontrol langsung oleh kiai imam kan seperti itu. Kalau yang lainlain itu ya PPP semua. Ya gimana enggak PPP, wong memang dari proses pemilihannya sudah ditunggui seperti itu”.128
D. Friksi Bani Kholil Pengaruh politik bani kholil di Bangkalan saat ini memang tidak terlepas dari sejarah dan figur Kiai Syaikhona Kholil bin Abd‟ Latief itu sendiri. Nama besarnya dan pengaruh kharismatik yang melekat pada diri Syaikhona Kholil di masyarakat, tidak bisa ditinggalkan dari perannya yang besar dengan selalu turut serta dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari masalah-masalah keagamaaan, ekonomi, sosial, dan politik. Dalam kancah sosial politik, hal ini dapat dilihat dari kelahiran NU, Nahdlatul Ulama, sebagai ormas islam tebesar di Indonesia, yang juga tidak
127 128
Wawancara Pribadi dengan NNH. Wawancara Pribadi dengan AAR.
143
terhindarkan dari sentuhan tangan Syaikhona Kholil Bangkalan melalui muridnya KH. Hasyim Asy‟ari. Termasuk lainnya dalam bidang ekonomi, Syaikhona Kholil pun turut serta dalam aktivitas perdagangan. Hal ini dapat dilihat dari sekali pelayarannya ke Kalimantan menggunakan perahu miliknya yang bernama Sarimuna. Selanjutnya perahu ini beliau hibahkan kepada masyarakat dengan ketentuan bagi hasil. Keuntungannya kebanyakan beliau gunakan untuk membangun masjid. Ini merupakan fakta nyata bahwa Syaikhona tidak sekadar menaruh perhatiannya pada permasalahan-permasalahan agama saja, melainkan juga menaruh perhatian yang besar kepada masalah-masalah sosial ekonomi dan politik di masyarakat.129 Unsur ini, kelak, telah mewariskan satu dimensi kekuatan modal sosial politik yang juga diturunkan pada keturunan-keturunannya. Sehingga wajar bila sampai saat ini, penghormatan dan rasa takdzim masyarakat kepada keluarga besar bani kholil tidak pernah ada habis-habisnya. Masyarakat masih berpatron kepada keturunan-keturunan syaikhona kholil dalam segala urusan. Maka tak heran bila di setiap momen pemilu yang ada di Bangkalan, dominasi keluarga bani selalu mewarnai jalannya dinamika politik yang berlangsung. Secara genealogi, Syaikhona Kholil hanya memiliki dua orang anak. Satu Kiai Imron dan satunya lagi Nyai Asma. Dari keturunan Kiai Imron ini banyak di antara mereka yang terjun ke dunia politik. Sedangkan dari keturunan Nyai Asma, mereka lebih terlibat di masalah-masalah kegamaaan, seperti pengajian, di masjid, dan lain sebagainya. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga bahwa keturunan 129
Abdur Rozaki, “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura,” (Disertasi Program Studi Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015), h. 89-90.
144
Kiai Imron pun ikut terlibat dalam masalah-masalah agama, walau untuk urusan politik mereka terbilang lebih dominan.130 Di antara keturunan Kiai Imron itu di antaranya adalah Kiai Amin dan Kiai Ma‟mun. Keduanya merupakan anggota DPR RI dari partai PPP. Selain Kiai Amin dan Kiai Ma‟mun, Kiai Imron juga memiliki putri yang bernama Nyai Romlah. Dari keturunan Nyai Romlah kelak lahirlah seorang putra, Kiai Kholil AG. Dia merupakan ketua DPR pada tahun 1971 dari Partai Nahdlatul Ulama, pemenang partai di Bangkalan. Dan dari Kiai Imron pula lahir Nyai Arfiah, dimana dia memiliki putra yang bernama Syafii Rofii, mantan wakil bupati Bangkalan 2008-2012 dan Mundzir Rofii, wakil bupati Bangkalan 2012-2016. Dari Kiai Amin lahir Fuad Amin, dan dari Kiai Kholil AG lahir Imam Bukhori Kholil. Sedangkan dari garis keturunan Syaikhona Kholil ke Nyai Asma jarang sekali dari keturunannya yang tampil dalam pentas politik baik itu di Bangkalan maupun di nasional.131
130 131
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
145
Bagan IV.3. Garis Keturunan Syaikhona Kholil Syaikhona Kholil Bin Abd’ Latief Kiai Imron
Kiai Amin
Nyai Asma Fuad Amin
Kiai Ma’mun
Nyai Romlah
Kiai Kholil A.G
Nyai Arfiah
Syafi Rofii
Mundzir Rofii
Sumber Gambar: Diolah dari hasil wawancara
Wajar bila akhirnya Fuad Amin memegang kendali di antara keluarga Bani Kholil lainnya. Karena sampai saat ini, Fuad Amin merupakan keturunan tertua di antara pihak keluarga yang lain. Banyak dari para pengasuh pesantren di Bangkalan, dan para kiai-kiai setempat, yang masih takdzim dan hormat pada Fuad Amin. Selain karena posisinya yang dianggap sebagai kiai sepuh, gaya kepemimpinan Fuad Amin yang arogan dan otoriter berkontribusi meningkatkan daya tawanya selaku orang berpengaruh di Bangkalan.132 Memang dalam perjalanannya, dinamika serta friksi di antara keluarga bani kholil tidak terhindarkan. Munculnya dua tokoh berpengaruh dalam satu keluarga
132
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
146
bani, mau tidak mau mengharuskan kedua kubu ini untuk saling berhadaphadapan. Sekalipun dalam dinamikanya, Fuad Amin lebih mendominasi - dengan berbagai bentuk dominasi dan hegemoni yang telah dia lakukan – ketimbang keponakannya sendiri, Imam Bukhori Kholil. Kemunculan kubu baru dalam hal ini adalah Imam Bukhori Kholil dari keluarga besar, menurut pengakuan Imam Bukhori Kholil sendiri, dimaksudkan agar masyarakat lebih menganggap bahwa urusan politik bukan urusan yang sakral. Karena fenomena pengkultusan masyarakat terhadap kiai yang selama ini sering tergambarkan dalam sikap masyarakat yang mempercayai fatwa-fatwa politik kiai, tentu berbahaya bagi kelangsungan demokrasi yang menghendaki adanya check and recheck antara pihak penguasa dengan rakyat (yang dikuasai). Selama ini masyarakat Bangkalan terlihat enggan, bahkan takut, untuk mengkritisi segala kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyimpang. Maka kehadiran kubu Imam Bukhori Kholil menurutnya juga untuk memberikan pendidikan politik seperti itu. Bahkan tambahnya, adanya banyak kubu yang muncul dari keluarga bani kholil malah membuat persaingan semakin sehat. Masyarakat akan semakin tahu mana pemimpin yang benar-benar merepresentasikan kepentingan mereka dan mana yang justeru sebaliknya. Dan sejarah di masa yang akan datang dapat membaca bahwa tidak seluruhnya pemimpin yang berasal dari keturunan trah bani kholil sama seperti dengan Fuad Amin.133 Dalam perkembangannya, untuk urusan politik di Bangkalan, yang pada mulanya kiai selalu dijadikan kiblat politik bagi masyarakat, lambat laun hal ini
133
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
147
semakin berkurang. Masyarakat kini semakin terbuka terhadap parta-partai sekuler non-kiai. Hal ini dapat dilihat dari perolehan suara partai-partai non kiai. Keterbukaan ini merupakan satu indikasi kecil bahwa masyarakat semakin sadar bahwa politik adalah arena lain yang berbeda dengan persoalan-persoalan agama. Politk adalah wilayah abu-abu yang dinamis sedangkan agama adalah arena yang memiliki aturan-aturan serta hukum yang tetap.134 “......Nah, di Bangkalan saya melihatnya juga seperti itu, bahwa dulu trah kiai menjadi patron yang sangat mutlak, sekarang masyarakat ini sudah mulai juga berfikir, tidak semua apa yang menjadi fatwanya kiai dalam politik itu menjadi diikuti secara buta. Terbukti banyak partai-partai lain di Bangkalan juga memperoleh suara. Partai-partai non kiai tetap mempunyai suara. Nah inikan memperlihatkan bahwa masyarakat sudah mulai berfikir logis atau berfikir realis dalam urusan politik. Walaupun dalam urusan keagamaan dan sosial masih belum tergoyahkan, trah kiai masih menjadi panutan masyarakat.”135
Munculnya kelompok oposisi di internal keluarga bani Kholil yang diwakili oleh Imam Bukhori, tidak lantas memutus hubungan silaturahmi antara dia dengan paman-paman dan keluarga besar lainnya, yang banyak mengkubu ke pihak Fuad Amin. Menurutnya, dia tetap datang di acara silaturahmi keluarga dan menjalin hubungan tersebut. Sikap Imam yang berseberangan dengan pihak keluarga, dan kritik yang selalu ia tujukan pada pemerintahan Fuad Amin, menjadikannya di antara trah keluarga bani dikenal sebagai kelompok pemberontak.136 E. Kondisi Civil Society Selama Kepemimpinan Fuad Amin Civil society, sebagaimana didefinisikan oleh Muhamad AS Hikam yang menyitir ide-ide de‟ Tocqueville, diartikan sebagai: 134
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 136 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 135
148
“wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain: kesukarelaaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.”137
Bertolak dari definisi tersebut, kondisi civil society di Bangkalan masih belum tercapai secara maksimal. Artinya, indikator-indikator yang diajukan untuk mengukur suatu lingkup pada tatanan masyarakat yang dapat dikatakan berjalan atau tidaknya civil society di dalamnya lebih menunjukkan hasil negatif. Baik sebelum ataupun sesudah demokrasi diterapkan. Kondisi civil society sebelum Fuad Amin duduk di kursi bupati untuk pertama kali di Bangkalan sebetulnya masih sama rupa dengan kondisi sosial yang berlaku pada era sebelumnya, yakni adanya semacam dominasi terhadap masyarakat oleh kalangan kiai, atau masyarakat berada di bawah kendali alim-kiai secara langsung. Namun dengan tokoh sentralnya waktu itu adalah Kiai Abdullah Sachal, salah satu Ketua Dewan Syuro PKB.138 Dan sebelum Fuad Amin menjabat sebagai bupati definitif pada tahun 2003, bupati Bangkalan sebelumnya adalah Mohammad Fatah. Dia berasal dari unsur TNI dari matra angkatan laut. Seperti kondisi wilayah-wilayah lainnya di Indonesia, Fatah juga merupakan bagian yang terintegrasi dari unsur orde baru.139 Fenomena transisi demokrasi dalam lanskap politik lokal di Bangkalan pasca Soeharto runtuh, yang memunculkan Fuad Amin sebagai pemimpin baru menggantikan Fatah, pada realitanya tidak menghasilkan sebuah tatanan yang lebih terbuka dan transparan, melainkan menghasilkan rezim yang kurang lebih 137
Muhamad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 3. Wawancara Pribadi dengan AHS. 139 Wawancara Pribadi dengan AHS. 138
149
mirip dengan pemerintahan orba. Sepadan dengan ide yang diungkapkan oleh O‟Donnell dan Schmitter bahwa proses transisi hakikatnya dapat menghasilkan beberapa bentuk: jika bukan keberhasilan ditegakkannya demokrasi politik, maka bisa jadi yang muncul adalah rejuvinasi kekuatan otoritarian lama atau bahkan lebih kejam dari pada yang sudah-sudah, atau transisi bisa pula hanya sebatas rotasi kekuasaan tanpa memberikan solusi pada penyelesaian masalah kelembagaan.140 Hasil transisi kekuasaan politik di Bangkalan yang terjadi pasca Soeharto tumbang, justru mengarah pada pengekalan praktik hegemoni, meskipun aktor yang muncul merupakan pemain baru. Hal ini seperti diungkapkan oleh NNH: “......Tahu bedanya Fuad Amin sama Soeharto, kalau Soeharto ini bisa mengkondisikan TNI, politiknya dia punya Golkar, kekuatan blaternya maupun penjaga dirinya dia punya TNI, satu. Dan dia juga punya kekuatan finansial yang sangat biasa. Bagi para pejabat yang ingin, dia juga punya kekuatan struktur. Ini kekuatannya Soeharto, kalau kultur saya kira ndak punya. Tapi kalau Fuad Amin, untuk kekuatan hukum, dia itu kejaksaan sama kepolisian, dia keok....”141
Di masa-masa awal kepemimpinan Fuad Amin di Bangkalan, eksistensinya sebagai bupati memang harus diakui cukup baik, karena Fuad mampu memberikan rasa nyaman kepada masyarakat. Lewat kharisma yang dia miliki, konflik sosial yang terjadi di kalangan masyarakat relatif bisa diredam. Misal salah satunya adalah konflik antar nelayan Koanyar dan Noreh yang terjadi akibat perebutan tempat. Konflik yang mengarah pada kekerasan dan praktik saling bunuh itu akhirnya bisa diselesaikan oleh Fuad. Contoh lainnya adalah saat akan adanya pembakaran terhadap salah satu pondok di Serabi Barat oleh massa. Emosi 140
Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005), h. 236. 141 Wawancara Pribadi dengan NNH.
150
massa bisa diredam setelah Fuad datang. Menurut AHS, aura dan kharisma Fuad Amin itu betul-betul ada. Sehingga gejolak yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan begitu mudah oleh Fuad. Terlepas entah apa itu sekadar kontruksi sosial atau kesaktian, tapi hal itu memang betul-betul terjadi.142 Untuk memahami kondisi civil society di Bangkalan, ada beberapa hal yang sebelumnya mesti kita ketahui lebih dulu. Pertama, secara kultur Bangkalan merupakan kota agamis. Masyarakat Bangkalan menaruh perhatian yang tinggi pada permasalahan-permasalahan seputar agama. Perhatian yang tinggi pada aspek keagamaan ini pada akhirnya membawa masyarakat Bangkalan untuk menghormati segala simbol agama, termasuk penghormatan kepada para kiai. Kedua, tertanamnya kultur blater di lingkungan Bangkalan yang cenderung mempersembahkan penyelesaian masalah melalui unsur kekerasan. Dan kultur keblateran mau tidak mau dampaknya sangat terasa dalam setiap persoalan yang muncul dan menyangkut masyarakat. E.1). Gambaran Umum Masyarakat Bangkalan Gambaran umum yang melekat pada kehidupan orang-orang Bangkalan adalah kehidupan mereka yang dekat dengan dunia pesantren. Kultur religi menjadi ikhwal yang penting dan inheren, dan tidak terpisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini bisa dilihat dari maraknya pesantren-pesantren yang bermunculan di Bangkalan. Bahkan Kuntowijoyo menyebut kota ini sebagai kota „seribu pesantren‟ yang tentunya banyak didiami oleh para santri.
142
Wawancara Pribadi dengan AHS.
151
Santri sebagaimana umumnya, adalah kalangan yang menaruh rasa hormat dan takdzim yang besar kepada kiai mereka. Kiai adalah guru-guru mereka. Kiai disimbolkan sebagai orang yang suci yang memiliki banyak mitos tentang kekuatan gaib. Kiai mempunyai nilai baraqa yang hanya bisa didapatkan oleh masyarakat melalui penghormatan kepadanya lewat ritual-ritual tertentu, misalnya melalui mediasi cium tangan (salaman) atau dengan ziarah ke makam para leluhur kiai yang telah dulu meninggal dunia. Kecintaan masyarakat yang besar kepada para kiai secara tidak langsung, telah mengkontruksi sebuah tatanan masyarakat yang memposisikan kiai di strata paling atas.143 Penghormatan masyarakat Bangkalan kepada kiai-kiai mereka, nyatanya tetap terus berlanjut sampai kepada para keturunannya. Hal ini tidak terlepas dari budaya masyarakat di Bangkalan yang mempercayai bahwa seorang anak kiai sudah pasti akan menjadi kiai. Sebab sang anak mewarisi trah darah biru. 144 Maka tak aneh bila rata-rata keturunan keluarga besar Syaikhona Kholil menyandang predikat sebagai kiai atau lora.145 Dengan kemuliaan yang dimiliki oleh Syaikhona Kholil sebagai ulama besar dan guru bagi kebanyakan ulama di nusantara, akhirnya, seluruh keturunannya ikut mewarisi kemuliaan beserta nama besarnya. “.....Kaya menjadi sebuah stigma positif bagi mereka bahwa anaknya kiai pasti akan jadi kiai. Dan anaknya orang awam ndak bakalan jadi kiai. Kan gitu. Karena ada trah darah biru itu, bahasa mereka.”146
143
Ahmad Nurcholis, “Mitos Kiai Suci,” artikel diakses pada tanggal 27 Maret 2016 dari http://islamlib.com/gagasan/mitos-kiai-suci/ 144 Wawancara Pribadi dengan MH. 145 Sebutan lora berlaku bagi anak keturunan kiai yang masih muda. Wawancara Pribadi dengan NNH. 146 Wawancara Pribadi dengan MH.
152
Sayangnya, penghormatan ini semakin bias tatkala kiai terjun ke dunia politik. Dunia politik yang cenderung dipenuhi oleh segala macam siasat dan perilaku koruptif para aktornya, menyulitkan pembelahan sosiologis kiai sebagai alim, ulama, dan guru di satu sisi, dengan kiai sebagai politisi murni di sisi yang lain. Kesulitan memisahkan dua elemen yang berlainan dalam satu tubuh kiai ini kemudian berdampak pada absennya kontrol masyarakat terhadap para kiai yang terlanjur terjun ke dunia politik. Karena budaya kekiaian yang hierarkis dan keberlakuan budaya tanpa kritik di dalamnya, telah mengkonstruksi pribadi kiai dan masyarakat untuk bagaimana bersikap. Di satu sisi kiai merasa paling superior, di sisi lain masyarakat merasa tidak pantas untuk menasehati kiai lewat kritik yang mereka sampaikan. Sebab, sekalipun kalangan kiai terjun ke dunia politik, embel-embel kekiaiannya akan tetap melekat dan tak akan pernah hilang. “......Rupanya Bangkalan ini memang agak susah gitu kan, ya karena SDM, kepala desa dan pejabatnya juga, yang mereka ini istilahnya punya bupati yang tipikal kiai agak susah, karena kiai ini kan tahunya nyuruh, gitu. Enggak bisa mau dikritisi, enggak boleh dikritisi kalau kiai, nah itu bedanya dengan bupati dengan kiai.....”147
Secara kelembagaan, gelar kiai yang disandang oleh seseorang tentu mencerminkan dalamnya sikap-asketis bagi diri yang bersangkutan. Kesucian, dan terjaga dari sikap-sikap tercela merupakan pantulan laku kiai di masyarakat. Sehingga anggapan bahwa kiai tidak mungkin melakukan kesalahan dan terbebas dari segala dosa menjadi kondisi umum yang terjadi di masyarakat. Apalagi kepatuhan yang ditunjukan oleh masyarakat kepada kiai dengan sendirinya akan membentuk perasaan takut dan khawatir tertimpa tulah/kwalat bila berhadapan dan berani melawan kalangan kiai. Maka menjadi kaprah bila impak dari adanya 147
Wawancara Pribadi dengan SYK.
153
anggapan ini adalah lahirnya rasa enggan untuk memberikan kritik terhadap para kiai. Khususnya terhadap mereka-mereka yang menduduki jabatan publik. Gambaran tersebut merupakan fenomena lumrah yang terjadi di Bangkalan era reformasi. Representasi kiai yang terjun ke dunia politik era reformasi dapat dilihat dari sepak terjang Fuad Amin. Fuad Amin yang mendapatkan gelar RKH (Raden Kiai Haji) tidak terlepas dari posisinya sebagai keturunan Syaikhona Kholil dan anak kandung Kiai Amin. Kharisma yang terpancar dari diri Fuad Amin kurang lebih bersumber dari para leluhurnya ketimbang berasal dari cerminan perilakunya. Faktanya, meskipun Fuad berasal dari latar keluarga kiai, tidak mesti sikapnya mewarisi tindak-tanduk seorang alim kiai, bahkan kenyataannya, perilakunya sangat jauh dari nilai-nilai substantif agama. Hal ini dapat dilihat dari sepak terjangnya sebagai bupati yang dipenuhi oleh perilaku KKN dan tindak kekerasan yang dia lakukan. Meskipun kepemimpinan Fuad Amin banyak diwarnai penyimpangan dalam berbagai sektor pemerintahan, faktanya tidak lantas menjadikannya sebagai objek kritik masyarakat yang lebih masif. Masyarakat masih terbilang apatis. Kalaupun ada, itupun hanya dilakukan oleh sebagian kalangan dan jumlahnya sangat begitu kecil. Bahkan adanya kelompok penentang di Bangkalan, tidak sedikit yang kemudian hanya menjadi bahan cibiran masyarakat. Pasalnya pola berpikir masyarakat masih terkungkung dengan segala macam-macam mitos tadi: kwalat, patrimornial dan budaya mengkritisi kiai belum begitu populer di masyarakat. “.......pola pikir masyarakat yang masih terkontaminasi dengan patrialistik ya. Jadi jangankan mendengar namanya fuad yang kita lawan, mau kita ajak mereka untuk bergerak umpama, dengar kita ngotak-atik kekuasaannya fuad,
154
kritik demo segala macam, mereka udah antipati dengan kita. Karena dianggap ini seorang kiai gitu loh yang gak pantas dilawan, gitu.”148
Tapi semenjak Fuad Amin ditangkap oleh KPK, mulai meruak kabar bahwa masyarakat saat ini mulai sadar dan mereka tidak akan lagi mencari bupati dari silsilah kiai. Pengalaman Fuad Amin sebagai Kiai-Bupati dengan berbagai penyimpangan-penyimpangan yang dia lakukan sampai harus ditangkap oleh KPK, setidaknya telah mencoreng kalangan kiai secara keseluruhan. Wacana ini keluar sebagai bukti bahwa masyarakat Bangkalan masih mencintai kalangan kiai.149 “Sangat. Karena apa sekarang ini, setelah kita (ini bahasa masyarakat) mereka saking cintanya kepada kiai, takut nama kiai itu tercoreng kembali, nah masyarakat sekarang ini yang sekarang ini tidak mau lagi, kayaknya tidak mau lagi jadi (bahasa-bahasa masyarakat di bawah) kalau mencari bupati jangan cari kiai. Kalau mau jadi bupati jangan mencari kiai, dari kiai. Ini masyarakat yang bicara, ini jangan diartikan kami tidak suka pada kiai, saking cintanya masyarakat pada kiai, takut tercoreng seperti kondisi sekarang, akhirnya masyarakat punya inisiatif jangan mencari kiai, mencari orang biasa saja yang mampu untuk membangun Bangkalan ke depan, ya kalau kita dengar-dengar di lapangan seperti itu.”150
E.2). Dinamika Aktivis Bangkalan Di kalangan para aktivis Bangkalan, adalah menjadi sesuatu yang lumrah apabila Fuad Amin melakukan cengkeraman dan dominasinya dengan berbagai upaya yang melampaui hukum. Fenomena dan dinamika aktivis Bangkalan selama berada di bawah kepemimpinan Fuad Amin, berjalan sangat tragis. Aktivis kerapkali menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh Fuad Amin beserta para kroninya. Ada banyak contoh kekerasan yang dilakukan oleh Fuad Amin lewat tangan suruhannya itu. Meskipun Fuad tidak terjun secara langsung untuk 148
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Pribadi dengan MMD, Bangkalan, 19 September 2015. 150 Wawancara Pribadi dengan MMD. 149
155
melakukan kekerasan, tapi para aktivis di Bangkalan sangat mafhum bahwa otak sebenarnya dari maraknya kasus kekerasan yang terjadi terhadap para aktivis adalah Fuad Amin. Rasionalisasinya adalah karena kasus kekerasan yang menimpa mereka biasanya terjadi setelah mereka melakukan aksi protes ataupun melakukan kritik terhadap kepemimpinan Fuad Amin. Misalnya, pembacokan yang menimpa saudara Fahrillah, peristiwa tersebut terjadi beberapa hari setelah dia melakukan aksi protes mengenai perda kepala desa yang bermasalah, karena wewenang Fuad Amin terkait perda ini begitu besar. “Jadi begini, 1 minggu apa 10 hari kurang lebih begitu setelah saya mengkritisi masalah perda itu. Dan saya memimpin beberapa demo di Bangkalan. Akhirnya pada tanggal 6 hari sabtu, pada tanggal 6 hari sabtu, november, tahun 2010 itu....”151
Atau seperti kasus yang menimpa Husni, yang dijebak oleh sabu-sabu oleh orang-orangan Fuad, sehingga membuatnya sempat mendekam di penjara. Dan itu terjadi beberapa hari setelah dia melakukan protes terhadap PPP yang waktu itu dikekang oleh Fuad Amin untuk tidak mencalonkan Imam Bukhori Kholil menjelang pencalonannya sebagai bupati. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 2007.152 Hal yang sepadan juga diungkapkan oleh NNH, dia mengatakan bahwa semua orang sudah mengerti betul bahwa aktor intelektual di balik peristiwa kekerasan terhadap aktivis yang terjadi di Bangkalan adalah Fuad Amin. “Ya tidak usah kasih contoh pun semua orang sudah tahu. Kalau saya secara pribadi, saya secara pribadi inikan orang yang mau dibunuh. Saya secara pribadi orang yang mau dibunuh, salah satu target. Ya saya sampaikan, kalau siapa yang narget, yang narget ya itu lah. Kenapa saya punyai, saya juga punya dasar, dasar kenapa saya harus kesana menetapkan itu, gitu.”153
151
Wawancara Pribadi dengan FHR. Wawancara Pribadi dengan FHR. 153 Wawancara Pribadi dengan NNH. 152
156
Kasus kekerasan ini faktanya bukan hanya sekadar memberikan teror agar menjadi pembelajaran bagi para penentang Fuad Amin yang lainnya: bahwa orang-orang yang berlawanan dengan Fuad akan mengalami nasib yang serupa. Tapi kasus kekerasan yang terjadi faktanya juga mengarah kepada pembunuhan bagi target yang bersangkutan. Target „pembunuhan‟ pernah dialami oleh aktivis CIDE, Mathur Khusairi. Dia adalah salah satu korban penembakan. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 20 Januari 2015. Mathur sendiri merupakan mantan asisten pribadi Fuad Amin yang keluar dari lingkaran Fuad setelah mengetahui gelagat sikap dan prilaku Fuad yang menyimpang. Peristiwa kekerasan terhadapnya sebetulnya bukan kali itu saja, sebelumnya kaca jendela rumahnya pernah menjadi objek pelemparan oknum Fuad, dan pada tahun 2011, mobilnya sempat dibakar. Sebelumnya Mathur Husairi pernah beberapa kali melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Fuad Amin pada proyek pembangunan Pelabuhan Madura Industrial Seaport City di Kecamatan Socah dan proyek pengaspalan Jalan Bujuk Sarah di Desa Martajesah kepada KPK. Selain itu Mathur Husairi pun terlibat dalam protes aksi mengenai pungutan liar di dinas pendidikan dan penyimpangan pada pengangkatan CPNS di Badan Kepegawaian Daerah Bangkalan.154 Kasus kekerasan lainnya juga pernah menimpa beberapa aktivis Bangkalan. Kebanyakan dari mereka rata-rata dibacok dan dijebak dengan sabu-sabu. Sebagaimana diungkapkan oleh AHS, yang juga mantan orang dekat Fuad dan pernah mengalami sendiri bagaimana dirinya diajak carok oleh Fuad Amin. 154
Tempo.co, “Polisi Usut Penembakan Aktivis di Bangkalan,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://nasional.tempo.co/read/news/2015/01/20/058636213/polisi-usutpenembakan-aktivis-di-bangkalan
157
Mereka antara lain: Fahrillah (dibacok), Husni (dijebak sabu-sabu), Muzakki (dibacok), Nanang Hidayat (diancam dan menjadi salah satu target operasi Fuad), Mahmudi (dibacok). “Kalau fisik belum, tapi (oiya fisik ditelepon diajak carok saya, diajak berantem) tahun 2010. Dia memang beda politik dengan saya. Mobil saya dikepruk.”155 “Pokoknya awalnya saya ya, tapi saya itu kan tidak fisik. Tidak langsung fisik saya, setelah itu Fahri, Fahrillah (dibacok), Muzakki (dibacok), Mahmudi, Mathur (ditembak), Husni (dijebak narkoba), Nanang (diancam).”156
Sebetulnya pasca reformasi digulirkan, keterbukaan untuk memberikan kritik terhadap kinerja pemerintahan sangat terbuka lebar. Dan masyarakat Bangkalan setidaknya juga sadar akan penyimpangan-penyimpang yang telah Fuad Amin lakukan. Tapi lagi-lagi, dengan dominasi dan teror yang sering Fuad lakukan, pada akhirnya hanya sedikit saja dari mereka yang masih tetap bertahan untuk melakukan kontrol pada pemerintahan. Karena untuk menuangkan segala kritikan tersebut, mereka takut. Kecuali mereka-mereka yang siap dengan segala resiko yang akan mereka dihadapi.157 Kekerasan yang dilakukan oleh Fuad Amin tidak terlepas dari dominasinya yang amat begitu besar di Bangkalan. Apalagi jaringan blater yang cenderung lekat dengan dunia kekerasan dan carok, adalah jaringan yang juga dipelihara oleh Fuad Amin. Segala krtitik yang mengarah pada Fuad Amin, akan dia redam dengan banyak cara. Jika yang mengkritik adalah kalangan mahasiswa atau pemuda, biasanya Fuad Amin akan memanggil orang-orang terdekat mereka
155
Wawancara Pribadi dengan AHS. Wawancara Pribadi dengan AHS. 157 Wawancara Pribadi dengan AHS. 156
158
terlebih dulu, orang tua atau guru ngaji mereka. Dari orang dekat tersebut, merekalah yang kemudian akan meneruskan pesan Fuad, agar mereka berhenti melakukan aksi protes dan lain sebagainya. Berbagai teror dan tindak kekerasan yang acapkali Fuad lakukan sangat berpengaruh pada munculnya rasa takut dari masyarakat dan orang-orang yang ada disekelilingnya. Ketakutan masyarakat kepada Fuad Amin juga terlihat dari beberapa orang dekatnya yang lebih memilih untuk mengangkat telepon dari Fuad Amin ketimbang menyelesaikan shalatnya lebih dulu. Peristiwa ini merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri. Momok Fuad divisualisasikan sebagai orang kuat tanpa batasan kekuasaan. “.........Jadi orang-orangnya ini anak-anak ideologisnya ini, jadi seakan-akan menuhankan, mas. Seandainya rukun iman itu bisa ditambah, ditambah satu lagi itu. Iman kepada Fuad Amin. Bahkan mungkin pada urutan pertama itu. Kenapa saya sampaikan seperti itu, karena adapun teman saya yang juga senior saya pas lagi solat sudah baca fatihah pas ada telepon dari fuad amin, salatnya dibatalin. Demi menerima telepon karena takut. Berartikan dia lebih takut kepada Fuad Amin daripada kepada Allah. Jadi ini, rukun imannya itu tujuh.”158
Selain itu, dominasi Fuad pun tidak terlepas dari dukungan para kepala desa atau klebun yang ada di sekelilingnya. Keterlibatan mereka dibuktikan dengan turut melakukan monitoring kepada warga yang kerap melancarkan aksi protes terhadap pemerintahan Fuad. Sehingga tidak sulit bagi Fuad untuk melakukan kontrol satu persatu terhadap masyarakat Bangkalan, lantaran jaringan kepala desa pun sepenuhnya ada di bawah kendalinya. “Yang kedua, cengkeraman blater itu tadi dan kepala desa. Ini akan ketahuan siapa yang bergerak di desa itu akan ketahuan. Jadi kontrolnya di situ. Kalau gak memang anak atau teman-teman ini yang benar-benar berani terhadap resiko, gak mungkin akan bergerak bergabung dengan teman-teman di sini. 158
Wawancara Pribadi dengan NNH.
159
Karena kontrol itu kuat. Ketahuan nanti oh ini anaknya ini gitukan, di desa ini, tinggal kepala desanya yang dipanggil. Nanti sampean yang aktivis umpama, saya kepala desa, orang tuanya yang dipanggil. Kalau enggak sampean dulu pernah belajar di mana, pesantrennya umpama, kiainya yang dilobi. Kalau sampean udah lobinya lewat kiainya, siapa yang masih mau melawan.”159
Kontrol Fuad kepada para penentangnya biasanya Fuad lakukan dengan cara persuasif terlebih dulu. Cara persuasif ini tidak lepas dari dua hal, pertama imingiming materil atau bantuan, kedua, kemampuan Fuad dalam berteatrekalisasi di depan penentangnya. Kehebatan Fuad dalam melakukan akting ini diakui sendiri oleh beberapa aktivis di Bangkalan. Hal seperti ini pernah dialami sendiri oleh AHS. “.......orang dalam saya awalnya kan. Tek keluar. Tuh maukan letupanletupan, karena memang saya yang mengawali, enggak ada yang berani mas. Saya yang mengawali, Saya awalnya digituin juga lagi: ayo perlu apa Liman gini gini tapi bukan orangnya langsung. Karena saya sering tidak kuat ketika orangnya sendiri yang bicara. Dipanggil, ditelepon saya gak pernah mau, kalau sudah berhadapan saya sering kalah. Sudah berkali-kalikan saya itu.”160
Bahkan dalam teatrekalnya, Fuad Amin acapkali menitikan air mata saat memohon dan meminta kepada para penentangnya agar menghentikan protes yang mereka lakukan. Pengalaman ini sebagaimana yang juga dia lakukan saat di persidangan Tipikor. Alasannya tentu agar rasa iba dan kasihan timbul dari para penentangnya. Sehingga tidak sedikit dari para aktivis di Bangkalan yang akhirnya luluh karena terbuai dengan drama yang Fuad lakukan, dan kemudian berada di barisan Fuad Amin. Para aktivis yang memilih bergabung dengan Fuad Amin dikenal dengan istilah LSM plat merah.
159 160
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Pribadi dengan AHS.
160
“.....karena memang berkali-kali saya itu melawan itu saya berkali-kali. Setelah ketemu orangnya, ngedown dan disapahpakan nangis. Makanya yang kemarin nagis, itu jurus pamungkas itu”.161 “......Saya kan gak tega. Terus saya kan terenyuh dan segala macamnya, masuk lagikan saya”.162
Dengan berbagai pengekangan dan ancaman tindak kekerasan yang diarahkan ke berbagai kalangan aktivis lokal, faktanya tidak serta merta membuat usaha untuk tetap mengontrol dan menciptakan
pemerintahan yang transparan berhenti
diupayakan. Para aktivis lokal - akhirnya tetap mencari jalan lain agar upaya ke arah tersebut tetap ada. Salah satu di antaranya yaitu dengan mengupayakan kritik-kritik kepada pemerintah lewat media sosial seperti facebook atau menakutnakuti para kepala desa melalui sms.163 Kampanye lewat Facebook terbilang sangat efisien dan efektif, karena selain mendapatkan informasi tanpa harus mengeluarkan biaya besar seperti koran, jangkauannya pun luas. Sehingga dengan adanya informasi yang ditulis lewat status dengan berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta, dan adanya proses dialektis dengan saling silih balas pada ruang komentar, setidaknya hal ini dapat memantik kesadaran masyarakat bahwa ada banyak penyimpangan-penyimpangan yang telah dilakukan oleh pemerintahan Fuad. Pemanfaatan media sosial pun kemudian terbantu dengan budaya verbal yang masih dominan di kalangan masyarakat, yang akhirnya saling menyebar informasi dari satu orang ke orang yang lain.164
161
Wawancara Pribadi dengan AHS. Wawancara Pribadi dengan AHS. 163 Wawancara Pribadi dengan SYK. 164 Wawancara Pribadi dengan SYK 162
161
“......facebook ini yang memiliki yang jelas orang yang bisa baca-tulis kan gitu, sedangkan kalau koran orang tidak bisa baca tidak akan membeli kan. Tapi kalau media sosial seperti Facebook, dia ngomong gitu loh menyampaikan, karena dia bisa baca, gini loh aku baca di facebook. Habis dilike katanyakan, ini istilahnya kaya MLM. Jadi dari mulut ke mulut. Dari satu ke dua, dua dan seterusnya. Tapi kalau koran, orang gak mungkin baca langsung disimpan. Akses untuk beli koran susah, nah jadi salah satu fungsi media sosial itu, untuk itu sebenarnya.....” 165
Tapi kritik melalui media sosial sekalipun nyatanya juga tidak terlepas dari monitoring yang Fuad Amin lakukan. Kontrol Fuad Amin terhadap masyarakat juga dia lakukan melalui monitoring pada akun-akun di media sosial. Biasanya hal ini dilakukan oleh orang-orangan Fuad dengan membuat akun palsu atau atas nama perempuan dengan menyusup ke ruang-ruang komentar masyarakat Bangkalan. Yang lebih menakjubkan dari sekadar adanya monitoring terhadap akun medsos masyarakat setempat adalah yakni adanya monitoring yang dilakukan oleh Fuad Amin terhadap dua tabulasi rekapitulasi suara setelah pemilihan dalam momen politik usai dilaksanakan. Rekapitulasi resmi ada pada KPU, dan rekapitulasi lainnya ada di pendopo. Dan di antara keduanya, hasil yang dipakai adalah rekapitulasi pendopo.166 “Saya sendiri karena enggak terlalu aktif di medsos, kalau detailnya saya enggak tahu, cuma jangankan seperti itu ya, wong sampai tabulasi rekapitulasi suara ketika KPU melaksanakan rekapitulasi itu dua, yang rekapitulasi resmi dilaksanakan di kantor KPU, sementara di pendopo itu ada rekapitulasi sendiri. Dan yang berlaku itu yang rekapitulasi di pendopo. Bukan yang.....”167
Hal lainnya yang seringkali diupayakan oleh kalangan aktivis, salah satunya SYK, untuk meminimalisir kebiasaan Fuad Amin yang acapkali menggunakan jaringan klebun untuk usaha-usaha pemenangan lewat manipulasi suara di saat
165
Wawancara Pribadi dengan SYK. Wawancara Pribadi dengan AAR. 167 Wawancara Pribadi dengan AAR. 166
162
momem-momen politik adalah dengan menakut-nakuti para kepala desa yang ada di bawah kendali Fuad Amin melalui pengiriman SMS bernada peringatan kepada mereka. Karena seperti yang telah dijelaskan di muka, bahwa keberadaan kepala desa di Bangkalan seringkali digunakan oleh Fuad Amin untuk memanipulasi hasil perolehan suara melalui rekap yang dimainkan berdasarkan formulir C-1. Dengan adanya peringatan sms yang dikirimkan, paling tidak para kepala desa akan berpikir ribuan kali untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan - untuk menuruti segala instruksi yang Fuad suruh kepadanya. Biasanya pengiriman sms ini dilakukan di luar kota, misalnya Surabaya, agar sistem bts tidak mendeteksi bahwa sang pengirim pesan berada di dalam kota Bangkalan.168 “Ada. 150-an. Lah ini wong sebelum pemilihan kita takut-takuti, ya kita pura-pura dari Polda gitukan, kami sudah mengetahui bahwa akan ada pencoblosan secara masal oleh kepala desa, besok kami dari Polda akan turun ke setiap TPS. Lah dengan sms seperti itu kepala desa kan pasti ketakutan. Setelah dua hari setelah itu baru kita buang kartunya. Dan cara pengaktifannya pun enggak boleh kita di sini. Paling enggak di Surabaya ataupun di luar”.169
Sedikitnya jumlah masyarakat yang melibatkan diri dalam gerakan-gerakan oposisi dipahami betul oleh Imam Bukhori Kholil. Dominasi yang telah dilakukan Fuad betul-betul terasa dalam segala bentuk kontrol kehidupan yang ada di Bangkalan. Fuad tidak mau, ada riak-riak kecil yang mengganggu kekuasaanya. Sehingga melaui kontrol yang dia lakukan terhadap berita-berita di media, atau melalui jaringan kepala desa dan akun-akun di media sosial, dengan beberapa ancaman bahkan tindak kekerasan, sangatlah wajar bila akhirnya masyarakat lebih
168 169
Wawancara Pribadi dengan SYK. Wawancara Pribadi dengan SYK.
163
memilih untuk tidak terang-terangan mendukung kelompok oposisi.170 Bahkan setelah Fuad ditangkap oleh KPK sekalipun, rasa khawatir di masyarakat masih tetap bertahan. Karena dominasi Fuad faktanya belum sepenuhnya hilang. Sisasisa kekuatan Fuad, lewat keberadaan orang-orang dekatnya masih tetap eksis. Untuk partai Gerindra sendiri misalnya, saat ini masih dipimpin oleh adik kandungnya sendiri, Imron Amin.171 E.3). Lemahnya Penegakan Hukum Banyaknya kasus kekerasan yang menimpa para aktivis di Bangkalan tidak lantas membuat kepolisian tergerak untuk mengungkapnya secara tuntas. Ratarata kasus kekerasan yang masuk pada laporan kepolisian berhenti di tengah jalan atau bahkan mungkin tidak disentuh sama sekali. Hal yang sama pun terjadi dalam berbagai kasus korupsi yang Fuad Amin lakukan. “......Mana ada polres itu ngungkap kasus korupsi Bangkalan, selama Fuad Amin menjabat. Mana ada itu kejaksaan, gak ada. Semuanya tidur.”172
Ini merupakan sebuah fakta, karena sampai saat ini, baik kasus korupsi maupun kasus kekerasan yang terjadi tidak pernah terungkap siapa saja pelakunya dan apa motif di belakangnya. Terungkapnya kasus korupsi Fuad belakangan ini, lebih diinisiasi karena kinerja KPK dari pada lembaga hukum setempat. Ada dua indikasi yang mengarah pada kinerja kepolisian dan kejaksaan di Bangkalan yang terkesan monoton. Pertama, bisa jadi mereka masuk ke dalam gerbong Fuad Amin, kedua mereka merasa ciut jika berhadapan dengan Fuad Amin. Rasa takut ini dapat bermacam-macam bentuknya, bisa saja rasa takut ini
170
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. Wawancara Pribadi dengan AHS. 172 Wawancara Pribadi dengan NNH. 171
164
muncul akan adanya mutasi atau dipindah-tugaskan atau turun pangkat yang dapat dilakukan kapan saja oleh atasan mereka yang memiliki kedekatan dengan Fuad Amin. Bahkan beredar rumor, mereka adalah orang-orang belian Fuad Amin. “Cuma gini, ada juga rasa ketakutan kepolisian, sama aja dengan kapolres iya kan, kalau kemudian menjabat ke sini ada yang juga bahasanya orangorang (rumor ini), ini dibeli gitukan, diminta untuk menjadi kapolres sini, ada juga kalau dia macam-macam nanti bakal dimutasi, rasa ketakutan itu kan ada setiap pejabat itukan. Nah, mungkin itu bagi mereka.”173
Padahal laporan atas adanya tindakan penyelewengan wewenang Fuad Amin berkali-kali sempat dilaporkan oleh masyarakat. Tapi lagi-lagi laporan tersebut hanya mentok di kepolisian dan kejaksaan. “........Nah, di dalam periode kedua ini saya melihatnya lebih parah lagi dari periode pertama, tidak hanya kebijakan yang tidak pro rakyat, tapi korupsinya ini sudah sedemikian rupa menggurita. Dan itu sudah kita tahu, data itu kita punya. Kita sudah coba masukan ke laporkan ke pihak aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian dan kejaksaan, tapi itu selalu mentok dan tidak, tidak ada ruang pintu untuk masuk. Entah bagaimana caranya....”174 “........akhirnya kita dapatkanlah data terkait pengungsi, pengungsi Sambas, dengan korupsi ijazah palsu kita dapatkan waktu itu, dan termasuk korupsikorupsi APBD. Banyak kita melaporkan di polres maupun kejaksaan tapi ini tidak bisa terungkap, ada apa di balik ini, gitukan, sebelasan kasus itu.”175
Dengan kinerja kepolisian dan kejaksaan yang monoton, tidak berfungsi, dan tidak berani mengungkap segala kasus yang berkaitan dengan Fuad Amin, akhirnya membuat kedua intsansi tersebut oleh masyarakat disebut sebagai dinas kepolisian dan dinas kejaksaan. Label ini secara eksplisit menggambarkan bahwa keberadaan lembaga kepolisian dan kejaksaan tidak lebih hanya sekadar sebagai fasilitator bagi munculnya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Fuad Amin menjadi semakin luas. Mereka seolah-olah tidak memiliki tanggung 173
Wawancara Pribadi dengan SYK. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 175 Wawancara Pribadi dengan SYK. 174
165
jawab atas penyimpangan yang dilakukan oleh Fuad, sehingga wajar bila ada anggapan yang muncul di masyarakat seakan-akan mereka berada di bawah koordinasi langsung Fuad Amin.176 Bukan malah sebaliknya, yang semestinya mengontrol jalannya pemerintahan. Karena dengan tiadanya tindakan yang dilakukan, segala bentuk laporan tersebut hanya sia-sia. “.......Makanya di Bangkalan itu sampai terkenal ada istilah kepala dinas kepolisian, kepala dinas kejaksaan, karena begitu rupanya dua institusi penegak hukum ini seakan-akan ada di bawah koordinasi eksekutif, bukan bergerak sendiri.”177
Bahkan suatu waktu Mathur Khusairi (korban penembakan) pernah mengajukan usul kepada kasatreskim setempat agar segala kasus kekerasan yang menimpa aktivis Bangkalan untuk di SP-3 kan saja. Tapi nyatanya hal tersebut tetap urung dilakukan, karena menurut pihak kepolisian, bisa saja suatu hari dominasi Fuad Amin akan hilang, dan mereka akhirnya dapat melakukan tindakan. “Semua kasus kekerasan terhadap aktivis di Bangkalan tak satupun yang terungkap. Saya pernah ngomong ke kasatreskrim apa kasat intel ya dulu, pak ini kasus kekerasan terhadap aktivis ini kenapa gak dihentikan saja di sp-3kan saya bilang. Inikan menjadi tunggakan kepolisian, kalau di-sp3kan kita juga, dan ini kami yang mohon gitu. Kenapa enggak di-sp3kan. Mereka jawabnya: Gak bisa mas, siapa tahu nanti Fuad sudah gak ada, kita bisa nindak lanjuti ini.”178
Tapi tidak semua penegak hukum di Bangkalan berpaling muka atas segala tindakan penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh Fuad. Menurut pengakuan beberapa aktivis, pernah ada juga kapolres Bangkalan di masanya Sulistyono yang sangat apresiat dan mendukung gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para akivis dalam melakukan kontrol terhadap pemerintahan Fuad. Perhatian 176
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 178 Wawancara Pribadi dengan MH. 177
166
dia terhadap penanganan kasus korupsi pun begitu besar. Sayangnya, 4 bulan setelah penangkapan Fuad oleh KPK, dia harus dipindahtugaskan ke Pasuruan. “..........Kalau Pak Sulis inikan intens, kalau seminggu sekali, seminggu dua kali, ngajak ketemu sama kita, ngajak bahas Bangkalan seperti apa. Jadi keinginan untuk membongkar korupsi itu ada. Dan minimal punya rencana gitulah.”179
E.4). Organisasi Keagamaan Institusi-institusi keagamaan, baik yang berbentuk ormas maupun yang berada di struktur pemerintahan juga menjadi ajang pemanfaatan Fuad untuk menandaskan kekuasaannya di Bangkalan. Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia dan Basra adalah 3 instansi yang seringkali dimanfaatkan oleh Fuad Amin. Tiga institusi keagamaan ini menjadi unsur elementer yang Fuad gunakan untuk segala kepentingan pribadinya. PCNU Bangkalan misalnya, sebagai orang yang memiliki latar keluarga NU, bahkan sebagai keluarga yang menelurkan embrio berdirinya NU, tentu menjadi hal yang penting bagi Fuad untuk menguasai ormas ini. Apalagi secara kultur, NU di Bangkalan sangat begitu kuat. Sedangkan organisasi masyarakat lainnya seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam secara itung-itungan massa masih kalah jauh dari massa NU di Bangkalan, makanya keberadaannya tidak menjadi prioritas dominasi Fuad Amin. Basis massa Muhammadiyah hanya terpusat di kecamatan Burneh, sedangkan SI hanya dapat dijumpai di kecamatan Kamal.180 NU telah menjadi kultur serta ideologi yang mendarah daging dengan masyarakat lokal Bangkalan. Dengan menguasai NU Bangkalan, setidaknya Fuad 179
Wawancara Pribadi dengan SYK. Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura,” dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto, ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 227. 180
167
telah berada di barisan paling depan untuk mendulang simpati dari masyarakat. Melihat NU sebagai ormas potensial untuk segala kepentingannya, akhirnya Fuad pun mengambil alih pucuk pimpinan PCNU Bangkalan yang sebelumnya diketuai oleh Imam Bukhori Kholil, pesaingnya, - yang kemudian dia alihkan kepada Fahrillah, yang kapasitasnya sebagai orang dekat sekaligus familinya. Bahkan jauh-jauh hari sebelum Fuad Amin berkuasa, NU dan Bassra merupakan dua organisasi masyarakat yang memang dalam realitanya banyak didominasi oleh trah bani kholil. Pada periode 2001-2005, Ketua Syuriah NU Bangkalan dijabat oleh
KH. Abdullah Sachal dan Ketua Tanfidziyah NU
Bangkalan dijabat oleh Syafii Rofii. Sedang Ketua PCNU Bangkalan sendiri dijabat oleh KH. Imam Bukhori Kholil. Adapun Bassra Bangkalan juga pernah di bawah koordinator KH. Kholil A.G sebelum akhirnya beliau meninggal dunia pada tahun 1995. Basra memiliki dua LSM , pertama LSM Madura Mandiri dan kedua, LSM GMH (Gerakan Madura Hijau). Kedua LSM ini masing-masing dipimpin dan dibina oleh KH. Mundzir Rofii dan KH. Imam Bukhori Kholil.181 Gambaran singkat tentang sejarah NU dan Basra yang memang sudah semenjak dari dulu sudah didominasi oleh bani kholil setidaknya memberikan penjelasan bahwa keeksistensian Fuad pada dua ormas tersebut terbilang tidak mengejutkan, sebab Fuad sendiri merupakan orang tertua di antara pihak keluarga. Sehingga kesanggupannya untuk menguasai dan menginfiltrasi kepentingan pribadinya ke dalam kedua ormas bukan merupakan hal yang sulit
Bahkan
banom-banom NU di Bangkalan pun tidak terlepas dari jeratan dominasi Fuad 181
Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura,” dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto, ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 226-228.
168
Amin. Banom NU yang tidak menjadi prioritas Fuad dalam kendalinya hanya IPNU dan IPPNU. Di luar itu, seluruh banom NU yang berada di struktur lebih atas dari pada IPNU dan IPPNU terhitung menjadi ladang pengendalian Fuad Amin. Ormas NU menjadi basis kekuatan Fuad Amin karena banyak di antara para keluarganya yang menduduki posisi-posisi strategis.182 Selain PCNU Bangkalan yang kini diketuai oleh KH. Fahrillah Ashori, seorang pimpinan Pondok Syaikhona Kholil yang sekaligus keponakannya sendiri dan merupakan putra dari KH. Abdullah Sachal, ada juga beberapa banom NU lainnya yang juga diduduki oleh para kroni dan keluarganya. Antara lain: Ketua anshor yang pernah dijabat oleh Maksum Yani, Abdul Kadir Rofii, Mustahal Rasyid, dan saat ini dijabat oleh Haji Hasani Zubair, yang kesemuanya merupakan bagian dari salah satu keluarga dan kroni Fuad Amin.183 Sedang Muslimat NU dipegang oleh saudaranya KH. Fahrillah Ashori sendiri. “Kalau PCNU-nya dulu dua periode dipegang oleh Imam Bukhori, ini yang kontra dengan fuad. Keluar dari Imam ini ke Fahrillah, Fahrillah ini yang orang dia (keponakannya), sama dengan Imam juga keponakannya, cuma yang satu ini relatif tidak punya kemampuan untuk mimpin sebuah organisasi-organisasi besar di Bangkalan. Jadi, dan dia ternyata ditaruh oleh Fuad. Kalau Muslimatnya saudaranya Fahri, Fuad juga yang milih. Pokoknya kalau yang levelnya Ansor pun ya, ini masih Fuad yang main kendali. Kalau sekelas IPNU, IPPNU ini sudah bisa dijamah oleh siapapun. Kalau Ansor ke atas, Ansor levelnya fatayat, kemudian ya NU-nya ini udah itu Fuad punya kontrol.”184
Adapun sikap Muhammadiyah terhadap kepemimpinan Fuad Amin terkesan pasif. Sekalipun ada letupan-letupan yang dimunculkan oleh Haji Yasin Marseli,
182
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Pribadi dengan BHR, Bangkalan, 17 September 2015. 184 Wawancara Pribadi dengan MH. 183
169
selaku ketua Muhammadiyah Bangkalan, itu pun hanya sekadar perkara yang sifatnya lebih privasi. Karena Fuad mencaplok tanahnya untuk keperluan pembuatan jalan kembar ke arah makam.185 “Gak, enggak ada yang berani mas. Haji Yasin ini dulukan dia bisnis, dia kan kontraktor developer gitu, selama itu sama-sama menguntungkan dia gak akan berontak. Tapi ketika sudah aset pribadi diambil, nah baru dia berontak itu. Kalau dulu aman-aman aja, ketika bisnis sama-sama bisa jalan, is oke. Tapi kalau tanahnya yang dicaplok kemudian dibuat jalan umum ini, ya dia ngamuk benar itu. Dia ngelawan benar, tapi gak pakai kekuatan Muhammadiyahnya dia. Pribadi.”186
E.5). Gerakan LSM Bangkalan Ada banyak LSM-LSM yang tumbuhkembang di Bangkalan sejak era reformasi. Seperti Leksdam (lembaga kajian sosial demokrasi) yang diinisiasi oleh Aliman Haris, CIDE (Crisis Islam of Democration) yang diinisiasi oleh Mathur Khusairi. Sama halnya dengan Leksdam yang fokus di kajian sosial dan demokrasi, alasan dibentuknya CIDE tak lain juga sebagai wadah bagi kajian-kajian wacana yang fokus di permasalahan pembangunan demokrasi di sekitar masyarakat Bangkalan. Hal ini menurut pengakuan pendirinya, Mathur Khusairi, dilakukan untuk membawa kesadaran masyarakat agar tidak terjebak dalam relasi sosial yang cenderung patrimornial.187 Pada tahun 2009, CIDE pernah bekerjasama dengan USAID untuk memberikan pendidikan bagi para pemilih (vooters education) pada kelompok-kelompok marginal, perempuan, dan grup pengajian yang ada di kampung dan juga melakukan penguatan komunitas dalam melakukan upaya pendampingan terhadap kepala desa. 185
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Pribadi dengan MH. 187 Wawancara Pribadi dengan MH via telepon, 02 Maret 2016. 186
170
“........kita sempat kerjasama dengan USAID kalau gak salah dulu, jadi panitia lokal setdes punyanya bu lili zakia munir. Inikan aktivis perempuan yang dikirim Indonesia untuk PBB, dan dia selalu hadir di area pemilu di beberapa negara yang bergabung dengan PBB. Pernah kerjasama dengan itu di pemilu 2009. Jadi kita ngadakan kegiatan kaya vooters education gitu, di kelompok-kelompok marginal, kelompok-kelompok perempuan, kelompok pengajian di kampung-kampung itu, terus setelah itu ya kita di penguatanpenguatan komunitas masyarakat pendampingan terkait kepala desa, itu yang kita lakukan”.188
Selain CIDE dan Leksdam, ada juga MCW (Madura Corruption Watch). MCW adalah evolusi dari BCW (Bangkalan Corruption Watch) yang merupakan gabungan dari beberapa LSM wilayah Madura lainnya yang tergabung menjadi satu dan bernaung di satu nama. Lahirnya BCW tidak terlepas dari keinginan para aktivis lokal supaya ada sebuah lembaga yang fokus di permasalahan pemberantasan korupsi.189 Adapun MCW sendiri diketuai oleh Syukur, Mathur Husairi (Sekjen) dan Fahrillah (Wakil Ketua). Empat bulan setelah BCW berdiri, BCW menjadi lembaga yang disegani, bahkan satu tahun setelahnya, bahasa yang muncul di masyarakat tentang satusatunya LSM yang fokus dalam pemberantasan korupsi di Bangkalan itu adalah “hati-hati di BCW-kan”.190 Ungkapan ini mengindikasikan bahwa BCW memiliki kontrol atas perilaku koruptif para pejabat lokal. Karena secara historis, nama BCW sendiri terinspirasi dari ICW yang telah lahir lebih dulu.191 Keberadaan BCW di Bangkalan, dalam perjalanannya sangat terbantu dengan adanya undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik yang disahkan pada tahun 2010. Karena untuk mendapatkan data seputar APBD dan data-data lainnya dapat diakses dengan mudah. Sehingga 188
Wawancara Pribadi dengan MH, Bangkalan, 18 September 2015. Wawancara Pribadi dengan MH. 190 Wawancara Pribadi dengan SYK. 191 Wawancara Pribadi dengan SYK. 189
171
BCW dapat melakukan perbandingan terhadap anggaran yang sekiranya menjadi celah bagi terjadinya korupsi. Komisi informasi di Bangkalan sendiri dibentuk pada tahun 2011. Dari situ akhirnya BCW banyak mendapatkan data terkait pengungsi sambas, korupsi ijazah palsu, dan korupsi APBD. Sayangnya, pelaporan terhadap kasus-kasus tersebut, hanya berhenti di meja kepolisian dan kejasaan.192 Gerakan civil society lainnya yang ada di Bangkalan yaitu Formula, Forum Pemuda Bangkalan. Forum ini lahir pada tahun 2010 sebagai wadah dan forum bagi para pemuda Bangkalan untuk menuangkan ide dan gagasan kreatifnya terhadap pembangunan di Bangkalan. Salah satu ketua dan insiator dari forum ini adalah Nanang Hidayat. Kegiatan yang pernah dilakukan oleh formula salah satunya adalah mencari figur pemimpin Bangkalan. Kegiatan ini diadakan saat menjelang pilkada pada tahun 2012 agar masyarakat mengetahui calon pemimpin mereka. Disamping itu, setelah tahu bahwa konstelasi politik Bangkalan tidak terhindar dari jeratan Fuad Amin, merekapun membuat diskusi yang menghasilkan sebuah petisi yang menolak partai politik di Bangkalan untuk berpatron ke satu orang, dalam hal ini adalah Fuad Amin. Petisi tersebut keluar pada saat menjelang pendaftaran di KPU, pada saat partai politik melakukan penjaringan bakal calon. Petisi tersebut mereka serahkan kepada partai-partai yang bersangkutan. Urusan akan diaplikasikannya rekomendasi petisi tersebut atau tidak oleh partai politik, itu menjadi wewenang partai.193 E.6). Lembaga Pendidikan 192 193
Wawancara Pribadi dengan SYK. Wawancara Pribadi dengan NNH.
172
Bahkan cengkeraman Fuad Amin sanggup menerobos masuk institusiinstitusi pendidikan. Kaum cendekia yang sepintas digambarkan sebagai para intelek, kaum pembaharu, yang sadar akan hak-hak politiknya yang terbelenggu, juga terkesan membiarkan penyimpangan-penyimpangan yang Fuad Amin lakukan. Adanya lembaga pendidikan di Bangkalan tidak lebih sekadar memapankan posisi status quo Fuad. Karena kontribusi nyata dari tri darma pendidikan melalui aksiologinya di masyarakat hanya sebatas semboyan belaka.194 “Saya pernah diundang oleh UTM dalam sebuah acara sarasehan mengenai peran BPWS yang di situ evaluasi 7 tahun kinerja BPWS. Badan pengembangan wilayah suramadu. Nah di situ saya sampaikan begini, saya merasa berterima kasih kepada rektorat dan teman-teman panitia yang sudah menyelenggarakan acara sarasehan dengan tema evaluasi kinerja BPWS, tapi dalam pandangan saya, acara hari ini, ini adalah acara yang menggelitik dan menggelikan. Mengapa seperti itu, karena begini, BPWS ini sebuah terobosan badan atau lembaga yang dibuat sebagai terobosan untuk memajukan madura. Tapi apapun yang namanya BPWS ini kan tetap fungsinya hanya suplemen. Sementara makanan pokoknya adalah kebiijakan pemerintah daerah. Nah yang kita ributkan mendorong suplemen. Sementara makanan pokoknya tidak kita urus. Jadi untuk apa kita ini numpuk vitamin berkardus-kardus, tapi makanan pokoknya tidak kita upayakan untuk tersedia, tak gitukan. Salah satu contoh, ada dua contoh yang paling nyata ada di depan kita, tak gitukan. Pertama, keberadaan ketua DPRD Bangkalan yang sampai sekarang ini tidak upaya untuk pendefinitifan. Loh apakah ini tidak merupakan sesuatu yang berpotensi terhadap kelancaran pembangunan, tapi kenapa di wilayah kita hal seperti ini menjadi sesuatu yang haram untuk dibicarakan, tak gitukan. Satu. Yang kedua, keberadaan bupati yang sering ndak masuk kerja, diundang paripurna dewan pun sering ndak hadir, ini pak kalau di kabupaten lain pak masalah serius pak, tak gitukan. Tapi di daerah kita menjadi masalah ecek-ecek, yang enggak layak untuk dipermasalahkan. Kita ini kok seakan-akan menjadi orang yang ingin berbuat baik tapi nunggu setan taubat, tak gitukan. Loh wong setan kok ditunggu taubatnya kapan. Itu ada pak rektor, ada dekan, ada pembantu rektor segala macam itu....”195
Bahkan adanya perlakuan berbeda dari pihak salah satu kampus di Bangkalan kepada mahasiswanya yang menentang dominasi Fuad Amin seolah194 195
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
173
olah menggambarkan bahwa mereka benar berada dalam bagian yang inheren dengan Status quo Fuad.
Bagi AAR, terbangunnya dominasi Fuad Amin di
Bangkalan, tidak sepenuhnya menjadi kesalahan dunia pesantren yang menjadi lanskap umum kehidupan sosial masyarakat di dalamnya. Bila orang-orang terdidik yang mengenyam bangku kuliah saja tidak kritis dalam menghadapi banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh Fuad Amin, apalagi dunia pesantren yang dididik untuk sabar, berbaik sangka, takdzim kepada orang tua, dan diajar untuk selalu mengalah.196 E.7). Gerakan Pendukung Fuad Bahkan pembelaan yang dilakukan oleh masyarakat dan sebagian kiai yang ada di bawah kendali Fuad terlihat jelas saat Fuad ditangkap oleh KPK. Aksi yang membela Fuad massanya lebih besar daripada massa aksi perlawanan terhadapnya. Front aksi pembela Fuad ketika dirinya diciduk oleh KPK tergambar dalam kelompok aksi gempur: Gerakan Peduli Ra Fuad. Gerakan ini diketuai oleh Kasmu ketua komisi A DPRD Bangkalan dari Fraksi Gerindra. 197 Massa Gempur diambil dari kalangan masyarakat lewat jaringan klebun dan kalangan pesantren. Di samping gerakan pendukung Fuad, di sisi lain , ada juga front aksi penentang Fuad, yang dapat dilihat dari kelompok aksi yang mengatasnamakan Gempar. Kelompok ini adalah massa aksi tandingan bagi kelompok Gempur yang lahir karena kegeraman mereka terhadap sikap masyarakat yang malah mendukung koruptor. Massa Gempar kebanyakan dari kalangan mahasiswa.
196 197
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan BHR.
174
“......... Karena sebelumnya teman-temankan memang banyak yang geram dengan adanya Gempur itu. Masa kok koruptor mau dibela gitu kan. Sehingga teman-teman melakukan gerakan itu”.198
Pembelaan-pembelaan ini tidak terlepas dari mitos yang diciptakan oleh loyalis Fuad Amin bahwa dia merupakan seorang wali dengan berbagai macam kesaktian yang dimiliki. Maka tidak pantas bila seorang wali menjadi pesakitan di kursi hukum. Satu sikap masyarakat yang percaya adanya kesaktian dan mitos tentang kewalian Fuad misalnya tercermin sewaktu peristiwa penonaktifan Abraham Samad sebagai pimpinan KPK beberapa waktu setelah Fuad ditangkap tangan oleh KPK. Masyarakat menganggap hal ini sebagai tulah (kwalat) akibat KPK berani menangkap Fuad.199 “Ini mas, ada orang yang gini ke saya: uh gimana setelah kiai fuad ditangkap, wong kiai fuad kok ditangkap, kwalat, abraham samad langsung non-aktif. Ada aja masalah. Masa masalah KTP bisa jadi masalah, wong itu kesalahan banyak orang, katanya”.200 “Ya saya kira bukan tertanam sendiri ya, adalah kelompok-kelompok tertentu yang memang berusaha bagaimana kemudian superioritas pak fuad ini betul-betul masih eksis di pola pikir masyarakat. Ya saya ginikan aja: gini pak, abraham samad itu oleh allah diangkat menjadi ketua KPK, tugas utamanya itu satu, nangkap kiai fuad. Nah karena tugas utamanya sudah dilakukan, ya ditarik lagi oleh allah dijadikan orang biasa. Jadi bukan kwalat, karena tugas utamanya sudah selesai.”201
F. Kemenangan Fuad Amin di Pilbup 2003 Sama halnya dengan kondisi masyarakat di daerah lain di Indonesia yang menyambut momentum kejatuhan Soeharto pada umumnya, masyarakat Bangkalan pun turut larut dalam suka cita ini. Harus diakui bahwa lengsernya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden merupakan salah satu jalan pembuka
198
Wawancara Pribadi dengan BHR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 200 Wawancara Pribadi dengan AAR. 201 Wawancara Pribadi dengan AAR. 199
175
bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia untuk menyongsong kehidupan ke arah yang lebih demokratis. Apalagi rongrongan terhadap implementasi undangundang otonomi daerah pasca Soeharto turun, menjadi wacana paling signifikan yang terus-menerus mewabah di banyak daerah di Indonesia. Sehingga, dengan alasan apapun, pemerintah pusat mau tak mau harus merealisasikan aspirasi yang timbul dari bawah tersebut. Sebab, jika tidak, ancaman akan meluasnya disintegrasi bangsa terlalu beresiko bila pemerintah pusat bersikap abai. Maka untuk itu, selang beberapa waktu setelah Soeharto mengonfirmasi pemunduran dirinya dari jabatannya selaku presiden, Habibie beserta elit pemerintah lainnya mengambil inisiatif untuk sesegera mungkin memasukkan undang-undang otonomi daerah sebagai program legislasi yang urgen supaya dapat direalisasikan secepatnya. Barulah pada tahun 1999, undang-undang mengenai otonomi daerah dapat disahkan. Ikhwal ini tercermin dalam mandat konstitusi kita dalam undang-undang No.22 tahun1999.202 Meskipun di masa-masa awal pasca Soeharto turun sistematika pemilihan kepala daerah masih berlangsung lewat mekanisme pemilihan di parlemen, tapi ruh serta spirit membangun daerah untuk menjadi lebih baik banyak menjadi latarbelakang pencalonan elit-elit lokal untuk maju ke gelanggang pemilihan, jika tidak, justeru alasan yang muncul malah mengarah sebaliknya. Khusus di Bangkalan, momen langka ini juga turut dimanfaatkan oleh para elit lokal dengan sedikit demi sedikit membangun kekuatan politik guna mengambil alih sektor
202
Tim Lipi, Membangun Format Baru Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2006), h .7.
176
pemerintahan Bangkalan yang banyak diisi oleh orang-orang lama yang berafiliasi dengan pemerintahan rezim sebelumnya. Untuk itu, selepas Soeharto menanggalkan kursi jabatannya sebagai presiden, Bangkalan menjadi salah satu tempat yang subur bagi para elit lokal untuk mencari peruntungan. Di bangkalan, pada masa yang sama, ada beberapa kandidat yang turut ikut memeriahkan semarak pemilihan tersebut. Di antara para calon itu, munculah nama-nama, diantaranya: Fuad Amin dan Sulaiman. Sedangkan Muhammad Fatah, kandidat yang masih memiliki keterikatan emosi dengan rezim orde sebelumnya, telah dulu gagal dalam pencalonan sebelum pluit kontestasi ditiupkan. Pada bagian ini, penulis akan mencoba menerangkan, faktor-faktor apa saja yang kemudian memuluskan Fuad Amin untuk dapat menguasai kepemimpinan di Bangkalan pada tahun 2003. Secara mekanisme pemilihan, pada tahun 2003 sistem pemilihan yang dipakai masih berlaku sistem pemilihan tidak langsung atau pemilihan masih menggunakan jalur voting melalui dewan. Pada Pilkada 2003, lawan Fuad Amin dalam pemilihan adalah Ir. Sulaiman dengan pasangannya, Sunarto. Sedangkan Fuad sendiri berpasangan dengan Muhamad Dong. F.1). Bukan Bagian Rezim Lama Cap sebagai orang orba atau bukan orba turut menyumbang faktor penting dalam kemenangan Fuad Amin di Bangkalan. Walaupun orang-orang orba banyak yang masih bertahan sebagai kepala daerah dan pemimpin lokal di wilayah lainnya di Indonesia, tapi tidak sedikit pula di antara mereka yang ikut tersingkir.
177
Sentimen anti-orba yang merebak pasca reformasi adalah luapan kekecewaan yang masih menghinggapi perasaan masyarakat walau bahkan setelah Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden. Bagian rezim dan bukan bagian rezim ini adalah sebuah konsep dimana elit dikategorikan termasuk atau tidak termasuk ke dalam lingkaran Soeharto. Sebab penjelasan teoritis tentang diskursus orang kuat lokal (elit daerah) pasca reformasi di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian. Bagian pertama adalah orang kuat lokal yang dirawat oleh pusat, dalam hal ini pemerintahan Soeharto, dan yang lainnya adalah orang kuat lokal yang berseberangan atau bahkan berlawanan dengan Soeharto. Banyaknya orang kuat lokal yang menjamur di daerah sewaktu Soeharto masih berkuasa merupakan salah satu strategi yang sengaja Soeharto gunakan untuk menjaga stabilitas politik di tingkat bawah. Sedang sebaliknya, orang kuat lokal yang beroposisi dengan Soeharto, sewaktu rezim masih memimpin, sama sekali tidak berani untuk menunjukan eksistensinya ke gelanggang politik lokal. Maka adalah hal yang kaprah apabila kemudian orang kuat lokal yang menempati posisi kepala daerah di penjuru Indonesia, kebanyakan berasal dari unsur TNI. Atau jika tidak, mereka adalah preman-preman lokal atau tokoh berpengaruh lokal yang dipelihara oleh rezim. Untuk kasus Bangkalan sendiri, Fuad Amin merupakan orang kuat lokal yang murni dan tidak memiliki hubungan patronase dengan pemerintahan Soeharto. Fuad Amin, bahkan secara familisme adalah berasal dari keluarga yang menentang dominasi orde baru. Ayahnya, Kiai Haji Imron merupakan tokoh PPP
178
yang paling lantang menyuarakan penentangan-penentangan terhadap sistem orba yang otoriter. Dan KH. Kholil AG, keluarga besar Fuad dari bani kholil lainnya, juga memiliki sejarah perlawanan kepada Soeharto, – dia menolak wilayah Suramadu yang hendak dijadikan proyek pembangunan. Fuad sendiri ketika orde Soeharto masih berkuasa, dia masih belum terjun ke dunia politik. Saat itu Fuad masih menjalankan bisnisnya sebagai penyalur TKI dan pengusaha travel umroh. Keterlibatannya ke dunia politik baru dimulai setelah almarhum ayahnya meninggal, menggantikannya untuk menjadi dewan di DPR RI. Saat itu barulah Fuad mulai perlahan-lahan meniti karirnya sebagai politisi. Dengan tidak adanya keterkaitan antara Fuad dan orde baru, tentu menambah nilai plus tersendiri bagi dirinya untuk dapat diterima oleh masyarakat. Sebab, kebencian yang masih dirasakan oleh masyarakat atas depotisme Soeharto dengan berbagai praktek pengerdilan terhadap hak-hak politik warga, masih kental sehingga memberikan stereotip buruk ke setiap hal-hal yang berbau orba. Maka tak aneh bila tokoh-tokoh lokal yang masih memiliki kohesi sosial politik dengan orde baru cenderung dicap sebagai „orang-orangan‟ Soeharto oleh masyarakat. Konotasi ini sedemikian buruk di masa itu. Hal ini pula yang berlaku pada Mohammad Fatah, mantan bupati incumbent Bangkalan di masa orba. Dukungan yang ditujukan kepadanya tidak seluas dan sebesar dukungan masyarakat kepada Fuad. Bahkan LPJ selama kepemimpinannya saja ditolak oleh dewan. Karena itu ketidakterkaitan Fuad dengan masa lalu orde baru memiliki andil dalam kemenangannya di pilkada 2003. Nama Fuad yang bersih dari dosa-dosa
179
Soeharto dijadikan dasar bahwa Fuad merupakan sosok ideal yang akan membawa angin perubahan bagi Bangkalan ke arah yang lebih baik. Apalagi di masa-masa transisi dari pemerintahan Soeharto ke Habibie, Fuad seringkali terlibat dalam berbagai penyelesaian sengketa konflik yang melibatkan etnik Madura. Sehingga banyak masyarakat yang menaruh simpatik terhadapnya. “.......... jadi Fuad ini dulukan selalu tampil menjadi pahlawan, dalam artian ketika muncul meletus kerusuhan Sambas, dia tampil ibarat penolong, kaya Robin Hood itu kan. Kemudian di kerusuhan Sampit dia juga tampil, karena masih di era Gusdur, (Habibi-Gusdur) kan”203
F.2). Dominasi Partai PKB di Bangkalan Faktor lainnya yang memperkuat kemenangan Fuad Amin di masa awal pencalonannya ini adalah dominasi suara PKB di kursi parlemen DPRD Bangkalan. Dari 45 kursi yang ada, 24 kursi di antaranya dikuasai oleh PKB. Jumlah ini merupakan jumlah yang fantastis. Lantaran jika dipersentasikan, PKB menguasasi sekitar hampir 50 persen lebih dari jumlah kursi yang tersedia. Tentu secara itung-itungan politis, PKB memiliki peluang amat besar untuk mengusung calon sendiri dan bahkan memenangkan kontestasi pilkada tahun 2003. Dengan memegang suara mayoritas di dewan, dan dengan semangat perubahan serta antipati terhadap orba yang masih kental, akhirnya PKB sepakat untuk mengusung calon sendiri. PKB Bangkalan sendiri merupakan partai yang banyak diisi oleh kalangan kiai, khususnya kiai-kiai yang berasal dari keluarga bani kholil. Bahkan elit partai PKB di Bangkalan banyak yang berasal dari trah keluarga tersebut. Fenomena ini bisa dilihat dari penjaringan calon kandidat Bupati Bangkalan yang diadakan oleh 203
Wawancara Pribadi dengan MH.
180
partai PKB, dimana keseluruhan nama calon yang muncul semuanya berasal dari keluarga yang sama, bani kholil. Nama-nama seperti Kiai Syafii Rofii, Kiai Imam Bukhori, dan Kiai Fuad Amin adalah para kiai yang merepresentasikan kekuatan bani kholil yang mengakar di PKB. Ketiganya masih memiliki hubungan darah yang saling terkait. Kemenangan Fuad sendiri dalam penjaringan di internal partai PKB tidak terlepas dari kompromi politik yang ia lakukan. Padahal secara basis masa dan nama, Fuad Amin masih kalah pamor dengan Kiai Imam Bukhori Kholil. Karena posisi Imam Bukhori waktu itu diuntungkan dengan kedudukannnya sebagai ketua PCNU Bangkalan sekaligus yang menginisiasi kelahiran PKB di Bangkalan. Tapi setelah melakukan pendekatan kekeluargaan dan kesepakatan adanya rolling, bahwa untuk tahun pertama Fuad Amin meminta untuk dipersilahkan lebih dulu maju baru kemudian di periode berikutnya Imam Bukhori yang maju, akhirnya kesepakatan tersebut pun terealisasi. Alasannya: Fuad Amin ingin memulai pengabdiannya pada masyarakat setelah bertahun-tahun hidup dalam perantauan di Kalimantan, dan apalagi kini posisinya sebagai anggota DPR yang seakan-akan sengaja dibuat untuk menjauhkan dirinya agar tidak memiliki kekuatan di basis masyarakat Bangkalan. Dengan adanya dukungan dari PKB, maka bukan hal yang sulit bagi Fuad untuk terus menggapai kursi bupati bangkalan. Friksi sempat terjadi karena saat itu beredar isu bahwa Mohammad Fatah pun akan maju di pencalonan bupati Bangkalan. Tapi hal ini segera dapat diatasi oleh Fuad Amin dengan memprovokasi para anggota dewan, khususnya dewan dari PKB untuk menolak
181
LPJ Mohammad Fatah sehingga secara moril Fatah tidak bisa mencalonkan dirinya sebagai bupati Bangkalan. Dan seperti telah disinggung di awal, Mohammad Fatah sendiri adalah mantan bupati masa orba, sehingga provokasi untuk menolak LPJ Fatah berhasil direalisasikan. Pada Pilkada 2003, PKB berkoalisi dengan PPP dan beberapa partai gabungan. Dari koalisi ini akhirnya Fuad Amin memenangkan kontestasi di dewan dengan selisih suara yang signifikan yakni 42-3. F.3). Politik Uang Kendatipun masih berada dalam semangat reformasi, pada realitanya, politik uang masih menjadi hal yang dianggap lumrah dalam fenomena politik di Indonesia pasca 1998. Kalaupun semangat perubahan itu ada, tapi kebiasaan lama akan perilaku koruptif masa lalu masih menjadi bayang-bayang yang tak dapat terhindarkan. Politik uang masih mewarnai segala bentuk suksesi politik di Indonesia. Jumlah praktik politik uang dalam patronase politik, menurut beberapa pihak, bahkan kondisinya semakin mewabah dalam pileg yang diadakan pada tahun 2014.204 Patronase politik melalui politik uang seperti ini semakin populer di kalangan para politisi yang kadangkala mereka peragakan dalam berbagai bentuk: pembelian suara, pemberian-pemberian pribadi, pelayanan dan aktivitas, club goods, dan pork barrel projects.205 Pada awal pilkada pasca desentralisasi, fenomena politik lokal di Bangkalan pun tidak luput dari jual-beli suara di dewan. Dengan mekanisme pemilihan yang
204
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati “Patronase dan Klientisme dalam politik Elektoral di Indonesia,” dalam Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, ed., Politik Uang Di Indonesia: Patronase dan Klientisme pada Pemilu Legislatif 2014 (Yogyakarta: PolGov, 2015), h. 2. 205 Ibid, h. 24-33
182
masih diadakan secara tertutup, maka elit lokal tidak segan-segan untuk membayar anggota dewan supaya sanggup menghantarkannya menuju tampuk kekuasaan. Karena memang, pada tahun 2003, sistem pemilihan di Indonesia masih sepenuhnya dilakukan melalui sistem pemilihan tidak langsung. Sehingga siklus uang masih menonjol dalam pesta demokrasi di parlemen. Kemenangan Fuad Amin yang hampir mencapai 90 persen suara lebih dari jumlah dewan pun menyajikan ilustrasi dari realita sesungguhnya adanya praktik politik uang yang dia mainkan di masa transisi kepemimpinan di Bangkalan. Karena nyatanya di balik supremasi suara yang diperoleh oleh Fuad Amin ini pun terbantu dengan adanya deal-deal finansial yang dia sebarkan ke beberapa anggota dewan. Dari penuturan mantan asisten pribadi Fuad Amin, dia mengatakan bahwa saat itu Fuad Amin membagikan uang dengan batas maksimal 100 juta lewat dealdeal politik dengan anggota dewan. Di antara mereka ada juga yang mendapat 35 juta atau 45 juta. “PKB inikan sudah 24, sebenarnya dia ndak perlu nunggu banyak. Nah waktu itu karena dia dengan partai lain ini sistemnya beli, jadi anggota dewan ini deal dengan dia, mereka akan dikasih uang pesangon”.206 “Perorang. Ada yang dapat 35, ada yang 40, macam-macam. Hanya dealnya ya itu aja. Karena waktu itu ada fraksi TNI-POLRI masih ada. Ada Golkar, ada PPP, ada apalagi ya, di situkan masih belum banyak”.207
Sepertinya praktik suap merupakan hal lazim yang dapat diketemukan di negara-negara yang baru mengalami transisi demokrasi, dimana uang menjadi bagian elementer dari kehidupan politik di dalamnya. Penegakan hukum yang masih lemah, dan pranata-pranata sosial politik yang amburadul, merupakan
206 207
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Pribadi dengan MH.
183
cerminan dari ketidaksiapan seluruh elemen masyarakat, khususnya masyarakat negara dunia ketiga, dalam mengartikulasikan demokrasi secara substansial. Demokrasi pada masa transisi di negara dunia ketiga masih terlalu prematur untuk dikatakan sebagai demokrasi yang sesungguhnya. Karena faktanya demokrasi yang digadang-gadang oleh para penganut aliran klasik yang mendasarkan demokrasi sebagai smber kehendak rakyat dan tujuan terciptanya kebaikan bersama terlalu utopis dan terkesan idealistis.208 Adanya praktik politik uang di masa transisi demokrasi yang terjadi di Bangkalan, malah mengukuhkan anggapan Schumpeter bahwa demokrasi hanyalah merupakan media prosedural pemilihan semata. Yang dalam hal ini Schumpeter menyebutnya sebagai “metode demokratis”.209 Singkatnya metode demokratis ala Schumpeter dimaknai sebagai berikut: “prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.”210
F.4). Berpatron ke Elit Nasional Faktor kemenangan Fuad Amin lainnya yaitu adanya politik patronase ke tingkat elit nasional. Sebab dengan berpatron kepada elit nasional maka akses untuk mendapatkan kemudahan serta urusan dalam beberapa hal dapat terwujudkan. Dalam kasus Fuad sendiri, konteks persoalan yang bisa saja menghadang bahkan mengeliminasi Fuad dari gelanggang persaingan kepala
208
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1995), h. 4-5. 209 Ibid, h. 5. 210 Ibid, h. 5.
184
daerah adalah dalam kaitannya dengan ijazah palsu yang ia gunakan untuk melengkapi persyaratan administratif pencalonan. Agar bisa lolos pemberkasan dan dinyatakan layak mengikuti kontestasi pilkada di Bangkalan, akhirnya Fuad menggandeng Muhammad Dong untuk menjadi wakilnya. Alasan ini penuh kepentingan politik, lantaran Muhamad Dong sendiri merupakan politisi dari partai PDI, dimana PDI pada waktu itu merupakan partai yang memegang kekuasaan di tingkat nasional. Dalam hal ini Presiden Megawati. Rasionalisasinya jelas, bahwa dengan menggandeng calon dari PDI, maka urusan administratif terkait soal ijazah palsu dapat terselesaikan melalui bantuan dan campur tangan dari pusat. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya kompensasi politik di dalamnya. “Gini, waktu itu kan yang menjadi kendala utama bagi pak fuad itu kan ijazah ya, sementara presidennya waktu itu adalah ibu mega, nah mungkin kenapa kemudian pilih pak madong, karena kalau kemudian pak madong ini menjadi wakil dari dia sementara kekuasaan waktu itu di pusat dipegang PDI-P, urusan ijazah bisa kemudian diabaikan dengan kompensasi politik, bisa dijadikan jalan untuk kebesaran PDIP di bangkalan, mungkin seperti itu”.211
Tetapi setelah Fuad berhasil dan sukses di bangku bupati, beberapa tahun kemudian terjadilah konflik antara dirinya dengan Muhammad Dong. Gelagat bahwa Dong hanya dijadikan alat kompromi politik Fuad semakin terang. Sebab peristiwa ketidakharmonisan Dong dengan Fuad dimulai ketika Megawati tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI. Ketidakharmoniasan yang ditengarai disebabkan karena masalah wewenang tersebut diakui sendiri oleh Dong. Bahwa selama dua tahun mendampingi Fuad Amin sebagai wakil Bupati, dirinya seolah-
211
Wawancara Pribadi dengan AAR.
185
olah diabaikan. Sebab dirinya tidak pernah diberikan tugas dan wewenang. 212 Bahkan ketidakharmonisan ini mengarah akan adanya impeachment kepada Muhammad Dong. “..........ketika madong wakilnya mungkin menjadi kompromistis politik karena di pusat itu adalah pak bu mega gitu kan, untuk stabilitas Bangkalan dan lain sebagainya. Yang terjadi apa ketika itu, ketika bu mega itu tidak lagi lagi menjadi presiden pada tahun 2004, iya kan, kan 2004 sudah tidak lagi presiden”.213 “SBY kan. Tahun 2005 apa yang terjadi, Madong digoyang mati-matian untuk dijatuhkan”.214 “.....Coba sampean bayangkan ya waktu pertama dengan Madong ya misalnya, padahal madong ini secara kepartaian sangat berjasa untuk penyelamatan pak fuad sehingga akhirnya dilantik. Karena ada jaringan PDI di situ. Tapi apa yang diterima oleh pak madong, sampai gambarnya itu seakan-akan haram ditaruh di kantor.”215
F.5). Genealogi Trah Kiai Dalam kultur masyarakat Madura, penghormatan kepada kiai diposisikan pada tempat yang tinggi setelah penghormatan mereka kepada orang tua. Budaya ini tampak pada istilah setempat “Buppa Bappu Guru Ratoh”. Artinya, pertamatama hormat dan patuh kepada ibu, kemudian kepada kiai, baru terakhir kepada para pemimpin pemerintahan. Di samping itu, kultur masyarakat Madura yang kental lainnya adalah, akan menganggap setiap keturunan dari - anak-anak kiai – sebagai orang yang mewarisi segala laku kekiai-an dari ayahnya. Kultur ini pada akhirnya membentuk pola aura kharisma yang tidak pernah putus. Sebab masyarakat yakin, setiap keturunan yang berasal dari kiai, guru mereka, juga meneruskan bentuk rupa karomah serta berkah orang tuanya kepadanya. 212
tempointeraktif, “DPRD Pecat Wakil Bupati Bangkalan,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://tempo.co.id/hg/nusa/jawamadura/2005/02/18/brk,20050218-45,id.html 213 Wawancara Pribadi dengan FHR. 214 Wawancara Pribadi dengan FHR. 215 Wawancara Pribadi dengan AAR.
186
“.......Kalau berguru kepada ini jangankan anaknya, ayamnya saja dianggap guru, kan ada itu doktrin seperti itu, iya itu sangat tertanam sekali. Nah dengan beberapa watak tadi itu tadi gak bisa kemudian mereka mau punya nalar kritis apalagi mau bergerak, berpikir aja mereka dah gak berani kritis.”216
Kharisma Fuad Amin sendiri tidak terlepas dari posisinya sebagai keturunan kiai Besar. Fuad Amin adalah cucu dari Syaikhona Kholil dan anak dari Kiai Amin Imron. Dengan modal Kharisma Syaikhona Kholil dan Kiai Amin (yang merupakan elit penting di Bangkalan), juga dengan kultur masyarakat yang hormat pada kiai serta keturunannya, maka sudah dipastikan bahwa hal tersebut betul-betul dapat mempengaruhi kemenangan Fuad Amin dalam pilkada 2003. Serta posisi Fuad yang sebelumnya duduk sebagai anggota DPR RI semakin meningkatkan citra performanya di mata umum. “Kekuatan politiknya kan waktu itu di dewan masih. 2003 itu di dewan, DPRD. Jadi karena Fuad ini sudah kadung, apalagi dia sudah mantan DPR RI ya, dia sudah mapan itu. Dalam artian mapan pengakuan orang-orang terhadap dia sebagai Kiai-Blater itu sudah sangat kuatkan. Akhirnya anggota DPR yang waktu itu mayoritas PKB, 24 kursi, dengan mudahnya diambil”.217
Bahkan realitanya, keprofilan Fuad Amin adalah alasan utama bagi para anggota dewan untuk memilihnya dibandingkan karena alasan partai yang ia duduki. Secara sederhana, citra Fuad Amin sebagai Kiai-Blater mampu mengesampingkan dominasi PKB yang sebetulnya sudah memiliki suara mayoritas di parlemen. Seperti halnya yang diutarakan oleh Mahmudi, anggota dewan yang menjadi saksi mata pada pemilihan di pilkada 2003. “Di sini ini bukan ikatan politik itu, partai itu bisa – lebih ke orangnya, kalau beliau itu mengatakan A, semuanya akan A, karena apa satu yang diamini
216 217
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Pribadi dengan MH.
187
oleh masyarakat Bangkalan itu kalau beliau ini menjadi cucunya syaikhona kholil, gurunya orang-orang madura.”218
Apalagi hal ini terbantu juga dengan kesolidan yang ditunjukan oleh pihak keluarga bani kholil dalam mengukuhkan Fuad Amin sebagai kandidat bupati Bangkalan, walau memang sempat ada kekhawatiran dari sebagian pihak keluarga karena kedekatannya dengan kalangan blater, tapi kekhawatiran ini hanya muncul sementara waktu. Hal ini sebagaimana diakui juga oleh AAR, saat dirinya hendak ikut terlibat dalam proses pencalonan Fuad Amin yang kemudian ditolak oleh kalangan keluarga. Alasannya sederhana, karena Fuad memiliki hubungan yang intim dengan dunia blater. Mereka khawatir, bahwa dengan hubungan dekat tersebut, dan Fuad menjadi bupati, Bangkalan akan menghadapi nasib yang tidak menentu. Bahkan di awal keterlibatnnya di pengusungan Fuad Amin, AAR
sempat
mengajukan pertanyaan terkait alasan kengototan Fuad untuk mencalonkan dirinya sebagai bupati. Pertanyaan itu adalah refleksi atas kegelisahan keluarga besar bani kholil pada umumnya. “...............Sehingga ketika pak Fuad mengajak saya untuk mendukung dia menuju jabatan bupati itu, saya sendiri sebenarnya waktu itu nanya ke beliau: Man, apakah, apa memang harus sampean? Apa tidak sebaiknya yang lain, saya sempat seperti itu, kemudian, dianya bilang: loh, kalau bukan aku lalu siapa gitu? saya bilang: man, untuk tokoh-tokoh, karena saya masih anak-anak, tentu lebih kenal jenengan, kalau saya sendiri kan tidak tahu, siapa yang harus didukung yang harus dimajukan, saya sendirikan kurang tahu, cuma kalau dalam pemikiran saya, paman ini salah satu keluarga yang dituakan, kalau kemudian paman ini nanti berhasil menjabat sebagai bupati, dan ternyata misalnya paman itu melakukan kesalahan-kesalahan dalam memimpin, lalu yang akan mengingatkan paman itu siapa, mengingat yang lain itu masih bisa dikatakan semuanya di bawah pengaruh paman seperti itu. Akhirnya beliau bilang gini ke saya: Mad, aku ini sekarang posisinya sudah menjadi DPR RI, secara kedudukan, saya sudah punya jabatan, secara finansial walaupun tidak kaya-kaya banget, tapi sudah bisa dikategorikan 218
Wawancara Pribadi dengan MMD.
188
termasuk yang terkaya di antara keluarga. Jadi saya ingin meraih jabatan bupati ini bukan karena mengejar jabatan dan bukan karena mencari uang. Saya ingin memulai pengabdian saya di tengah-tengah masyarakat Bangkalan. Karena saya mulai dari kecil sampai muda, sampai sekarang saya ini selalu berada di luar daerah. Nah, saya sekarang sudah tua, umur saya sudah menginjak 60, ayolah bantu saya, bantu aku, untuk bisa jadi bupati, biar aku ini bisa mengabdikan sisa hidupku untuk masyarakat. Makanya saya kemarin terus terang terkejut, ketika dia di persidangan mengungkap (di tayangan metro tv itu) dia sudah mengaku punya kekayaan yang ratusan miliar sebelum jadi bupati. Itu saya bisa pastikan itu bohong besar itu. Karena waktu itu yang diungkap (apa ya), yang saya tahu untuk biaya mencalonkan aja, dia itu masih minta sana-sini”.219
F.6). Mobilisasi Jaringan Klebun dan Santri Pemanfaatan jaringan klebun oleh Fuad Amin sudah dimulai sejak masamasa awal kepemimpinannya. Walau pada masa ini pemanfaatan klebun hanya sebatas melakukan aksi dan demontrasi untuk mengamankan posisi Fuad yang sudah menang dan sempat tertunda pelantikannya karena perkara ijazah palsu. Tapi setidaknya kehadiran para blater melalui aksi kepada pemerintah ini, juga ikut mempengaruhi keputusan pemerintah untuk sesegera mungkin melantik Fuad Amin sebagai bupati definitif. Sebab selama satu bulan lamanya setelah kemenangan Fuad Amin di dewan, Fuad tidak juga dilantik. Bahkan Hari Sabarno, Menteri Dalam Negeri saat itu, malah mengangkat Achmad Ismail sebagai pejabat sementara bupati.220 Dengan adanya aksi-aksi dari para klebun simpatisan Fuad Amin, maksudnya adalah tak lain agar kesan yang diterima pemerintah mengarah pada instabilitas dan chaos politik yang terlalu riskan jika didiamkan atau bahkan diabaikan. “Ya. Artinya kan gini, di tahun 2003 ini kan ada semacam penundaan yang enggak jelas terhadap pelantikan pak fuad ini. nah ini jaringan klebun ini 219
Wawancara Pribadi dengan AAR. Liputan 6, “Warga Bangkalan Menuntut Kembali Fuad Amin Dilantik,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://news.liputan6.com/read/49745/warga-bangkalanmenuntut-kembali-fuad-amin-dilantik 220
189
digunakan sedemikian rupa seakan-akan klebun se-kabupaten Bangkalan ini mendukung dan kalau pak fuad ini tidak dilantik, akan tejadi apalah seperti itu. Jadi sudah digunakan sejak-sejak itu kalau yang namanya jaringan klebun itu.”221
Selain memanfaatkan jaringan klebun, pada masa yang sama pula Fuad mengerahkan ribuan santri untuk mendukungnya. Massa santri ini disinyalir mencapai seribu orang yang berasal dari 15 pondok pesantren. Mereka tergabung dalam massa aksi Forum Santri Bangkalan.222 G. Kemenangan Fuad Amin di Pilbup 2008 Pada pilkada 2008, Fuad Amin kembali mencalonkan dirinya sebagai kandidat calon bupati di Bangkalan. Tapi kali ini dengan kekuasaan yang semakin signifikan. Hal tersebut merupakan berkat kekuasaan yang dia pupuk di periode pertama. Sebab pada masa awal kepemimpinannya, dominasi Fuad Amin telah terpendam dan terpencar di segala sektor. Dominasi yang dimiliki oleh Fuad ini akhirnya dia akumulasikan untuk menjadi investasi politik bagi kemenangannya di pilkada 2008. Pilkada 2008 di Bangkalan merupakan pilkada pertama kali yang melibatkan seluruh partisipasi masyarakat setempat. Pilkada langsung ini adalah hasil revisi UU pemerintahan daerah yang tertuang dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2004.223 Dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam pemilihan, tentu pilkada 2008 sedikit lebih berat dibandingkan pilkada-pilkada sebelumnya.
221
Wawancara Pribadi dengan AAR. Liputan 6, “Warga Bangkalan Menuntut Kembali Fuad Amin Dilantik,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://news.liputan6.com/read/49745/warga-bangkalanmenuntut-kembali-fuad-amin-dilantik 223 Ferry Kurnia Rizkiyansyah, “Menguatkan Penyelenggaraan Pilkada Langsung,” artikel diakses dari http://www.rumahpemilu.org/in/read/7448/function.array-key-exists pada tanggal 25 Februari 2016. 222
190
Sebagai pengalaman pertama, maka keseriusan Fuad Amin dalam menghadapi pilkada 2008 tampak dalam strategi yang lebih mapan dari pilkada sebelumnya di tahun 2003 yang diadakan melalui dewan. Pilkada 2008 adalah barometer bagi berhasil-tidaknya kinerja Fuad Amin menjalankan roda kepemimpinannya selama satu periode terakhir. Yang menjadi lawan Fuad Amin pada pilkada 2008 adalah mantan wakilnya sendiri di periode awal, masa jabatan 2003-2008, Mohammad Dong. Majunya Dong ke gelanggang kontestasi pilkada 2008 dan memilih bertarung dengan Fuad Amin dibandingkan meneruskan hubungan yang pernah dia rajut sebelumnya, tidak terlepas dari ketidakharmonisan yang menimpa jalannya kepemimpinan mereka bedua. Ketidakharmonisan ini muncul karena persoalan wewenang yang tidak seimbang. Bahkan oleh Fuad, Dong dianggap melakukan makar terhadap kepemimpinannya.224 Padahal yang sebenarnya terjadi, Fuad masih merasa takut dengan isu yang mengaitkan dirinya dengan ijazah palsu. Sehingga dia khawatir karena bisa saja sewaktu-waktu, Dong yang juga memiliki basis masa yang lumayan besar, akan menyingkirkannya dari kursi Bupati. Makanya selama mendampingi Fuad Amin sebagai bupati, Dong tidak diberikan wewenang yang cukup proporsional lazimnya wakil bupati.225 Dari beberapa strategi kemenangan yang Fuad lakukan di pilkada 2008, sebagian di antaranya adalah model strategi pemenangan lama - yang pernah dia lakukan di pilkada sebelumnya. Hanya saja, dengan model pemilihan yang baru,
224
Wawancara Pribadi dengan MH. Abdur Rozaki, “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura,” (Disertasi Program Studi Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015), h. 170. 225
191
karena mengikutsertakan partisipasi masyarakat, strategi pemenangan Fuad Amin pada pilkada 2008 tidak hanya sekadar mengandalkan modal kultural saja, melainkan juga memanfaatkan modal struktural yang telah ia dominasi selama kepemimpinannya satu periode. Pada pilkada 2008, ada 3 pasangan calon yang akhirnya disahkan oleh KPUD Bangkalan untuk turut dalam pemilihan: “nomor urut satu disematkan pada pasangan calon dr. Abdul Hamid Nawawi dan H. Hosyan Muhammad, mereka diusung Partai PPP, nomor urut dua adalah pasangan calon Ir. Muhamad Dong dan KH. Razak Hadi, keduanya diusung oleh koalisi Partai Demokrat dan PDI Perjuangan, sedang nomor urut tiga jatuh pada pasangan calon bupati incumbent, KH. Fuad Amin dan KH Syafik Rofii, mereka diusung oleh partai PKB.”226 G.1). Menggagalkan Pesaing Potensial Sikap yang seringkali menegaskan pribadi seorang pemimpin otoriter adalah ketidakterimaannya bila muncul orang lain yang memiliki potensi untuk dapat menyejajarkan diri atau bahkan menyaingi kapasitasnya sebagai satu-satunya pemimpin dominan. Mungkin sikap ini bisa jadi telah menakhlikkan ciri umum yang melekat pada diri setiap pemimpin diktator lainnya di dunia. Pengalaman seperti itu pernah terjadi saat Stalin masih berkuasa, dimana dia akhirnya melumpuhkan potensi lawan politiknya, termasuk Trotsky, yang dianggap berbahaya dan mampu menggoyang kursi kekuasaannya.
226
ANTARANEWS.COM, “675.420 Pemilih Salurkan Hak Suara di Pilkada Bangkalan,” berita diakses pada tanggal 27 Maret 2016 dari http://www.antaranews.com/berita/91038/675420pemilih-salurkan-hak-suara-di-pilkada-bangkalan
192
Begitupun dengan Fuad, Fuad menyadari bahwa kandidat terberat bagi pesaing dirinya dalam pilkada 2008 adalah Imam Bukhori Kholil. Meskipun masih memiliki ikatan keluarga dengan dirinya, tapi Imam Bukhori lebih memilih untuk berseberangan ketimbang berada dalam lingkaran Fuad Amin. Impak dari sikap Imam Bukhori yang tidak mau kooperatif maupun bekerjasama dan berada di lingkaran Fuad ini tentu disadari oleh Fuad, bahwa Imam Bukhori tidak dapat dia kendalikan. Hal ini menjadi alasan penting mengapa akhirnya Fuad Amin lebih memilih untuk menghabisi kekuatan politik Imam Bukhori di masa-masa awal. Karena dengan kehadiran Imam Bukhori yang sama-sama menyandang predikat sebagai keturunan Syaikhona Kholil, tentu akan mengurangi tingkat keterpilihan serta pamor Fuad di masyarakat. Apalagi sepak terjang Imam Bukhori di panggung politik lokal terbilang setara dengan Fuad Amin. Hal ini dapat dilihat dari sepak terjang Imam Bukhori yang pernah menjabat sebagai ketua PCNU Bangkalan yang merupakan embrio bagi kelahiran Partai PKB. Sehingga secara personal, nama Imam Bukhori sudah banyak dikenal oleh masyarakat setempat. Untuk mencegah hal itu terjadi, maka semenjak jauh-jauh hari, sebelum pilkada 2008 meruak, kekuatan politik Imam Bukhori Kholil di pentas politik lokal Bangkalan sedikit demi sedikit direduksi oleh Fuad Amin. Pertama-tama posisi Imam Bukhori Kholil selaku kader partai PKB disingkirkan oleh Fuad. Penyingkiran ini dilakukan oleh Fuad Amin dengan menduduki langsung posisi ketua DPC PKB. Dengan menjadi ketua DPC, Fuad Amin berhak dan memiliki otoritas yang besar dalam mengendalikan jalannya
193
roda organisasi partai, termasuk untuk memecat dan mengeluarkan keanggotaan Imam Bukhori Kholil dari PKB.227 Tidak hanya berhenti di pemecatan Imam Bukhori dari PKB saja. Modal politik yang dimiliki oleh Imam Bukhori Kholil dalam kapasitasnya sebagai ketua PCNU, akhirnya dipindahtangankan oleh Fuad Amin kepada orang lain melalui siasat politiknya. Sewaktu PCNU mengadakan kongres pemilihan ketua baru, Fuad Amin ikut mengatur jalannya arah politik. Dia mengintervensi dan menaruh Ra Fahri sebagai kandidat pesaing Imam Bukhori Kholil dalam pemilihan. Dari kongres tersebut akhirnya Imam Bukhori Kholil kalah. Campur tangan Fuad ini dia lakukan dengan memanggil para pemilik hak suara kongres, dalam hal ini MWC-MWC NU, agar pada saat pemilihan, memberikan hak suaranya untuk memilih Ra Fahri. Tak aneh bila kemudian akhirnya Imam Bukhori Kholil kalah dalam persaingan ini. Apalagi saat acara, Fuad Amin datang dan menyaksikan sendiri secara langsung laju kontestasi di pemilihan. Hal ini dilakukan agar kontrolnya terlaksanan sesuai rencana.228 Setelah kekuatan politik Imam Bukhori dari PKB dan PCNU dipereteli oleh Fuad Amin. Peristiwa penjegalan ini terus berlanjut sampai mendekati deklarasi dukungan politik kepada pencalonan Imam Bukhori sebagai bakal calon hampir setengah terealisasi lewat beberapa partai. Partai PAN yang awalnya mendukung pencalonan Imam Bukhori Kholil pada pilkada 2008, di tengah jalan ternyata mendukung pasangan calon Bay Arifin dan Nurdin. Sehingga karena dualisme dukungan PAN ini, pada akhirnya kedua pasangan kandidat yang diusung oleh 227 228
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
194
PAN didiskualifikasi oleh KPUD Bangkalan. Pada waktu itu yang menjadi ketua komisioner KPUD Bangkalan adalah Kiai Haji Jazuli Nur. “.....pak Fuad ini menguasasi segala lini dalam hal ini tokoh blater tokoh masyarakat gitu kan, ulama sebagian gitu kan, dan yang paling terpenting lagi pada waktu itu yang dikuasai adalah birokrasinya, KPU dan lain sebagainya, dan yang lebih penting lagi pada waktu itu adalah partai dan ketua partainya dikuasai oleh pak fuad. Bagaimana partai ini pada waktu itu semuanya dipegang.”229
Dengan menyingkirkan Imam Bukhori dari kontestasi pilkada 2008, maka hal ini memuluskan jalan Fuad untuk menguasai Bangkalan di periode untuk yang kedua kalinya. Sebab di antara kandidat lain yang bersaing pada pilkada 2008, kontan tak ada satupun kandidat yang mampu menyaingi nama Fuad Amin sebagai seorang pemimpin kharismatik dengan embel-embel modal kultural selaku keturunan Syaikhona Kholil. Apalagi otoritas Fuad dalam mengelola para aparat birokrat di bawah kendali bagi kepentingannya sudah semakin mapan dan teruji. G.2). Mengontrol Partai Politik Faktor kemenangan Fuad Amin dalam pilkada 2008 lainnya adalah karena kekuasaannya yang sudah mengakar di beberapa partai politik di Bangkalan. Bahkan dominasi Fuad yang hampir menyentuh seluruh elemen partai politik yang ada, sempat membuat Imam Bukhori Kholil ragu-ragu pada proses pencalonan dirinya sebagai kandidat dalam pilkada 2008 saat masa-masa awal. Hal ini terlihat dari komentar yang dia berikan saat Ahmad Ali Ridho datang menemuinya. “.........kak dengar-dengar jenengan dulu ada niatan untuk maju jadi bupati, apakah sekarang niatan itu masih ada? Loh kalau niat si dek, ya ada, tapi 229
Wawancara Pribadi dengan FHR.
195
gimana mau nyalon wong sekarang partainya sudah dipegang oleh man Fuad semua. Masa seperti itu sih kak? Ya iya, mana sekarang ada partai yang bisa.....”230
Pada pilkada 2008, memang hampir seluruh partai politik di Bangkalan berkoalisi dengan Fuad Amin, terkecuali tiga partai. Dua partai yang telah dikuasai oleh Imam Bukhori Kholil, PKNU dan PNUI. Dan satu partai lagi, PDI yang dikuasai oleh Muhamad Dong.231 Walau begitu adanya, kendatipun pada pilkada 2008 Fuad Amin berangkat dari partai PKB, tapi para kroninya ada di banyak partai lainnya. Di PPP ada Kiai Zaenal Abidin, sedangkan di Demokrat ada Razak Hadi dan Muzakki. Muzakki sendiri adalah ketua DPC Demokrat Bangkalan pada tahun 2008, menggantikan posisi yang dulunya diisi oleh Razak Hadi.232 “Gini mas, Kiai Fuad ini walaupun orangnya PKB, tapi orang-orang yang megang PPP, yang Demokrat, itu orangnya semua”.233
Banyaknya partai politik yang memilih berkoalisi dengan Fuad Amin tidak terlepas dari kekangan yang Fuad Amin lakukan dalam mengendalikan partai politik di Bangkalan. Kontrol ini dia lakukan dengan turut mencampuri urusan internal partai lain. Hal ini terlihat jelas dari beberapa kongres partai politik yang pernah diadakan, dimana Fuad Amin akan datang pada kongres-kongres partai tersebut apabila sekiranya calon titipan yang dia usung memiliki peluang kemenangan yang kecil. Apalagi bila peluang menang sangat riskan untuk jatuh
230
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan UF, Bangkalan, 21 September 2015. 232 Wawancara Pribadi dengan AHS. 233 Wawancara Pribadi dengan AHS. 231
196
kepada orang yang tidak mampu dia kontrol. Jika hal itu yang terjadi, Fuad Amin tidak segan akan datang dan mengontrol langsung jalannya pemilihan.234 “............ semua partai politik dalam setiap proses pemilihannya itu di bawah kontrol penuh pak fuad. Pemilihan ketua DPC-nya. Jadi di Bangkalan ini ndak ada partai yang berdiri sendiri. Kalau saya ingat itu ada pengalaman yang paling lucu itu, waktu pemilihan ketua DPC Hanura. Kan normalnya yang namanya bupati itu hadir pada saat seremoni pembukaan ya. Pembukaan kongresnyalah katakanlah seperti itu, setelah itu pulang. Lah ini ndak, waktu acara seremoni pembukaan itu ndak hadir, waktu acara pemilihan hadir”.235 “Heeuh, Yang kira... Pokoknya misalnya ada rivalitas waktu pemilihan itu antara si A dengan si B, sementara yang diplooting oleh pak fuad itu si A. Dan si B ini punya posisi kekuatan yang bisa mengalahkan, nah ini biasanya ya langsung didatangi untuk membunuh peluang si B ini.”236
Bahkan keterlibatan Fuad Amin dalam mengintervensi partai politik di Bangkalan dapat dilihat juga dengan biaya yang dia keluarkan sebagai ongkos pencalonan bagi ketua DPC yang akan dia usung.237 “.....Tapi gini mas semua parpol itu termasuk Hanura itu orangnya semua. Dia yang membiayai, yang untuk menjadi ketua. Jadi walaupun orangnya PKB, dia mempunyai banyak parpol, gitu. Ada di mana-mana. Termasuk saya dulukan dari PKPI. Ya kan orangnya dia saya dulu. Jadi dia itu walaupun orangnya partai itu dia itu mau semuanya semua partai itu dikuasai.”238
Saking besarnya kekuasaan yang dimilikinya, sampai kepindahan Fuad Amin dari PKB ke Gerindra ternyata membawa pengaruh yang siginifikan dalam perolehan kursi kedua partai di kemudian hari di dewan DPRD Bangkalan. PKB yang ditinggalkan oleh Fuad Amin memperoleh penurunan kursi yang drastis dibandingkan ketika Fuad Amin masih bertahan di dalamnya. Dari 15 kursi di
234
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 236 Wawancara Pribadi dengan AAR. 237 Wawancara Pribadi dengan AHS. 238 Wawancara Pribadi dengan AHS. 235
197
masa Fuad memimpin pada periode 2008-2013,239 menjadi 6 kursi saat Fuad Amin pindah.240 Sedang suara Gerindra pada pileg 2014 justru menjadi semakin meningkat setelah Fuad Amin bernaung di dalamnya. Pada pileg 2014 tersebut Gerindra meraih 10 Kursi.241 Menguasai partai politik berarti juga menguasai kader partai di dalamnya, beberapa anggota dewan yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Fuad Amin, di antaranya: Ra Kholik (Partai PKB Komisi C, beliau adalah adik Fuad tapi beda Ibu, menjadi anggota dewan saat periode kedua kepemimpinan Fuad Amin). Sedangkan Abdul Latief (beliau adalah adik Fuad Amin sekaligus wakil ketua DPRD Bangkalan saat ini), pada periode awal ada Ra Kadir (sepupu Fuad duduk di partai PKB), Syafii Rofii (ketua DPRD periode kepemimpinan Fuad yang pertama, dari partai PKB, posisinya adalah sebagai sepupu), Razak Hadi (Demokrat, anggota dewan masa periode Fuad yang pertama), Muzakki (Demokrat, anggota dewan masa periode Fuad yang kedua), Ra Momon (putra sekaligus anggota dewan pada periode kedua Fuad, duduk di Partai PAN, dia merupakan sekertaris komisi C), Imron Amin (Adik Fuad, Gerindra), Ra Latief (Adik Fuad, PPP), sedang politisi-politisi lokal lainnya yang masih memiliki ikatan darah tapi dalam kapasitasnya sebagai saudara jauh Fuad Amin antara lain: Umar Farouq dari Hanura dan Muntofifi Kholil.242 Dan orang-orangan Fuad di
239
Wawancara Pribadi dengan UF. Portal Kabupaten Bangkalan, “Partai Gerindra Raih Kursi Terbanyak di DPRD,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://bangkalankab.go.id/index.php/80-templatedetails/general/326-komposisi-anggotaan-dprd-hasil-pileg-2014-merata 241 Dody Wisnu Pribadi, “Cerita Miris dari Bangkalan,” artikel diakses pada 27 Maret 2016 dari http://regional.kompas.com/read/2014/08/02/08181631/Cerita.Miris.dari.Bangkalan 242 Wawancara Pribadi dengan UF 240
198
partai Golkar adalah Abdul Mufid Sobar,243 serta partai PKB ada Ali Wahdin (ketua DPRD Bangkalan di periode kepemimpinan Fuad kedua). 244 Sedangkan Saudara Fuad Amin yang secara garis politik berseberangan dengan dirinya adalah Imam Bukhori Kholil dan Ra Birali (ketua Nasdem periode sekarang), dan Ahmad Ali Ridho. Dengan beredarnya para kroni Fuad di berbagai penjuru partai, maka bukan hal yang sulit bagi dirinya untuk menyeting peran partai bagi kemenangannya di pilkada 2008. Bahkan jauh-jauh hari sebelum pilkada dimulai, Fuad Amin sudah mulai merancang kemenangannya dengan menggalang dukungan ke berbagai partai tersebut. Dari partai-partai yang ada, Fuad sendiri yang mengatur partai mana yang bertugas untuk mendukungnya, partai mana yang mesti mencalonkan calon bayangan, serta partai mana yang diperintah untuk menginfiltrasi kekuatan lawan.245 “Makanya setiap partai dari awal itu sudah dikondisikan sedemikian rupa. Dari jauh-jauh hari. Bagaimana sudah harus mendukung dia dan yang lain dipersiapkan untuk mendukung bayangan, mendukung dayang.....”246
Timbal balik dari loyalitas kroni Fuad di berbagai partai politik di Bangkalan, Fuad tunjukan dengan bagi-bagi proyek kepada mereka.247 “.......Konon katanya bahwa seluruh anggota DPRD Bangkalan pada waktu itu gitu kan, yang loyalis ke dia gitu, kan dikasih satu proyek, gitu kan, tapi bukan dia yang ngerjakan karena tidak boleh gitu kan, tapi dia mendapatkan fee, gitu kan, seperti itu. Ngatur-ngaturnya seperti itu.”248
243
Wawancara Pribadi dengan MH via telepon, 02 Maret 2016. Wawancara Pribadi dengan MH via Whatsapp, 31 Maret – 02 April 2016. 245 Wawancara Pribadi dengan AAR. 246 Wawancara Pribadi dengan AAR. 247 Wawancara Pribadi dengan FHR. 248 Wawancara Pribadi dengan FHR. 244
199
Karenanya, dengan adanya kontrol penuh Fuad di berbagai partai politik yang ada, sehingga membuat parpol tidak memiliki kekuatan untuk mejalankan fungsi-fungsinya secara maksimal. Bahkan ruang kebebasan bagi pengusungan kader-kader terbaik sekalipun tidak dapat terealisasi karena kekuataan parpol mutlak telah terkooptasi oleh eksistensi Fuad sebagai orang kuat lokal. Rencana dan strategi partai menjadi kuasa Fuad sepenuhnya. G.3). Maraknya Proyek Pembangunan Infrastruktur Unsur kemenangan Fuad lainnya juga tidak terlepas dari kinerjanya sebagai bupati selama satu periode. Pada periode pertama, Fuad Amin banyak mengerjakan proyek-proyek infrastruktur pembangunan. Jalan-jalan ke desa banyak yang diaspal, pembangunan stadion, pembangunan GOR, adanya jalan kembar, pemindahan pasar, dan lain sebagainya.249 Sekalipun unsur ini sangat kecil dalam memberikan sumbangan pada kemenangan Fuad, tapi perkara pembangunan infrastruktur merupakan hal yang akan pertama kali dilihat oleh masyarakat. Sehingga timbul kesan bahwa seolaholah pemerintah Fuad bekerja, walau di program lainnya banyak yang tidak berjalan.250 Rata-rata pembangunan infrastruktur yang diadakan oleh pemerintah daerah yang ada di Indoneisa, biasanya semakin massif terjadi di akhir masa kepemimpinan para pejabat setempat. Alasannya tak lain agar dapat menjadi modal kampanye politik untuk pencalonan berikutnya. “.......Jadi dia galakkan prioritaskan sedemikian rupa yang namanya infrastruktur itu, sehingga bangunan-bangunan jalan ke desa yang awalnya tidak teraspal, banyak yang teraspal, seperti itu. Nah ini yang kemudian bagi masyarakat: wah aku belum pernah ngalami bupati sebaik ini, seperti itu. 249 250
Wawancara Pribadi dengan UF. Wawancara Pribadi dengan AAR.
200
Nah masyarakat ndak tahu bahwa sebetulnya fungsi pemerintah itu bukan hanya itu....”251 “.........Nah baru setelah masyarakat ini terbius dengan namanya infrastruktur ini yang sedemikian maju, nah di kesempatan jadi bupati kedua kalinya ini wah sudah gila-gilaan itu. Artinya kalau dulu ke infrastruktur ini masih perhatian ya. Nah di periode kedua ini sudah banyak berkurang. Dia lebih berfokus kepada pembangunan perkotaan yang sesungguhnya menurut saya ndak terkonsep bagaimana memajukan kesejahteraan masyarakat.”252
Baru setelah pembangunan infrastruktur di periode pertama berhasil menghipnotis masyarakat, perhatian Fuad Amin ke pembangunan infrastruktur semakin berkurang pada periode berikutnya. Bahkan di periode kepemimpinannya yang kedua, konsep pembangunan Fuad Amin terkesan bias. Seperti contoh, adanya pembangunan gedung Raitopu - yang secara fungsi tidak terkait dengan relevansi program pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Terus adanya pembangunan pasar swalayan yang dibiayai oleh pemda sendiri – mulai semenjak awal pengadaan tanahnya.253 “......Dan mungkin ini satu-satunya di indonesia ya, pemerintah daerah yang membangun pasar swalayan dari anggaran pemda. Mulai dari pengadaan tanahnya, sampai....”254
Di samping itu, kondisi investasi Bangkalan di bawah Fuad Amin pun tampak statis. Para investor yang masuk seringkali menjadi korban pemalakan yang dilakukan oleh Fuad Amin. Sehingga jarang sekali melihat para investor yang betah untuk melakukan bisnisnya di Bangkalan.255 “...........Sulit, karena perijinan di sini ini sulit, sulit sulit gampang, mas. Jadi kalau kita itu mau investor artinya kenapa pergi dari Bangkalan, karena untuk dapatkan ijin ini, tidak usahlah pergi ke kantor perijinan, langsung aja bawa duit ke FA, ditunggu satu jam selesai. Jadi kalau 251
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 253 Wawancara Pribadi dengan AAR. 254 Wawancara Pribadi dengan AAR. 255 Wawancara Pribadi dengan AAR. 252
201
pakai yang normatif ya, mungkin 3 tahun gak keluar itu, gak metumetu jereh wong jowo iki”.256
Sebab itu, pembangunan infrastruktur yang giat Fuad Amin lakukan di periode awal, hanyalah pemantik untuk dapat mengambil hati rakyat dengan seolah-olah memberikan kesan bahwa dia bekerja untuk kepentingan rakyat, sambil menutupnutupi segala praktek koruptif yang sebenarnya sudah tercium di pertengahan kepemimpinannya pada periode pertama. G.4). Memasang Calon Boneka dan Calon Titipan Dengan kekuasaan dan kontrol penuh terhadap partai politik, Fuad akhirnya dapat dengan leluasa untuk mengarahkan dan memainkan otoritasnya dalam mengatur seluruh jalannya aktivitas politik, termasuk mengatur laju koalisi dan strategi pemenangan dengan mengerahkan seluruh komponen kekuatan partai yang berada di bawah naungannya. Banyaknya kader partai yang memiliki hubungan famili dan kerabat dengan Fuad, tak ayal menambah peluang kemenangan Fuad menjadi semakin besar. Keberadaan mereka yang tersebar di berbagai partai, kerapkali dimanfaatkan oleh Fuad untuk menyeting orang per orang di antara mereka agar mau dijadikan calon bayangan, dan lainnya dijadikan agen titipan untuk menginfiltrasi kekuatan lawan. Dua strategi ini merupakan kunci kemenangan Fuad pada pilkada di tahun 2008. Pada pilkada 2008, akhirnya hanya ada 3 pasangan calon yang maju dalam kompetisi, minus Imam Bukhori Kholil yang namanya terlanjur dicoret oleh KPU. 3 Pasangan calon ini adalah Fuad Amin-Syafii Rofii, Muhamad Dong-Razak Hadi, dan Abdul Hamid Nawawi-Hosyan Muhammad. Di antara para kontestan 256
Wawancara Pribadi dengan NNH.
202
tersebut, satu pasangan calon di antaranya adalah calon bayangan dan satu orang lagi, calon titipan yang dipasangkan ke pihak lawan. Pasangan Hamid-Hosyan merupakan pasangan calon bayangan Fuad, sedangkan Razak Hadi adalah calon yang dititipkan oleh Fuad untuk menginfiltrasi kekuatan politik Dong.257 Memang satu-satunya lawan Fuad yang murni pada pilkada 2008 adalah Mohammad Dong. Dong sendiri merupakan wakil Fuad Amin di periode sebelumnya. Majunya Dong pada pilkada 2008 dengan mengambil posisi yang berlawanan dengan Fuad tidak terlepas dari konflik yang pernah terjadi di antara keduanya. Bahkan ketidakcocokan antara Fuad Amin dan Dong harus membuat menteri dalam negeri pada waktu itu turun tangan. Sampai akhirnya menteri dalam negeri memutuskan agar keduanya tetap menjabat sampai akhir masa jabatannya habis.258 “Ndak terjadi karena saya di paripurna itu menolak menentang tidak boleh ada impeachment, akhirnya sesuai dengan keputusan menteri dalam negeri tidak boleh ada impeachment, dan mereka berdua ini harus menjalankan sisa-sisa tugasnya itu sampai masa akhir jabatan.”259
Dengan adanya konflik tersebut, maka pertarungan pada pilkada 2008 merupakan arena adu gengsi bagi kedua mantan pasangan bupati dan wakil bupati incumbent ini. Tapi kekuatan sepenuhnya masih berada di tangan Fuad. Karena Fuad Amin sendiri merasa bahwa Muhamad Dong bukanlah lawan yang sepadan dengan dirinya. Lebih beresiko melawan Imam Bukhori daripada melawan mantan wakilnya sendiri, Muhamad Dong.
Hal ini dapat dilihat pada saat
berlangsungnya proses penjaringan di tubuh partai demokrat. Saat dukungan
257
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan MMD. 259 Wawancara Pribadi dengan MMD. 258
203
partai politik yang mengarah kepada Fuad Amin sudah melebihi kapasitas dan melampaui ambang batas persentase ketentuan pencalonan, hal ini tidak lantas membuatnya berhenti untuk terus mencari dukungan dari partai-partai lainnya. Sampai pada waktu Partai Demokrat mengadakan penjaringan bakal calon untuk Bupati Bangkalan, Fuad Amin pun turut serta di dalamnya. Dengan ikutnya Fuad Amin dalam penjaringan di Demokrat, maka ada 3 tokoh yang mendaftar dalam proses tersebut. Selain Fuad Amin, dua di antaranya termasuk Muhamad Dong dan Imam Bukhori Kholil. Dari ketiga bakal calon tersebut, Imam Bukhori menempati posisi pertama bakal calon potensial dari Demokrat. Terus disusul oleh Muhamad Dong di peringkat kedua, dan Fuad di peringkat terakhir. Menurut desas desus yang beredar, melihat peluang Imam Bukhori Kholil yang begitu besar di partai demokrat, akhirnya Fuad Amin melakukan lobi dengan petinggi partai agar bagaimana caranya tiket bakal calon tidak menjadi hak milik Imam Bukhori. Kalaupun itu jatuh ke tangan Muhamad Dong, maka hal itu tidak menjadi persoalan, asalkan jangan sampai jatuh kepada Imam Bukhori Kholil.260 Sebab sekalipun keputusan pusat tidak memihak kepada Fuad Amin, tapi kekuatan politik Demokrat di Bangkalan sudah sepenuhnya berada dalam genggaman Fuad. “.......Gini, orang yang di sini itu orangnya Yayi Fuad, tapi untuk rekomendasi siapa calon itu pusat mas. Anunya, ini kalah, yang di pusat, kalah dengan ..tok untuk rekomendasi.”261
Karena kekuatan Fuad di demokrat terwakilkan dengan adanya Razak Hadi. Razak Hadi adalah ketua DPC Partai Demokrat yang juga merupakan famili Fuad
260 261
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AHS.
204
dan kroni dia di Demokrat.262 Makanya ketika keputusan demokrat memutuskan untuk mengusung Muhamad Dong dan Razak Hadi tampil sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati, tentu hal ini tampak lucu. Karena di satu sisi Muhamad Dong serius untuk menggarap kemenangannya di pilkada, sedang di sisi lain Razak Hadi bersikap sebaliknya.263 “Ya berpasangan dengan pak razak itu, karena pak razak itu waktu itu ketua DPC demokrat kan seperti itu. Jadi mungkin komunikasinya dengan DPP itu lobi-lobinya ya udahlah dikasih ke madong aja ketuanya nanti wakilnya dari demokrat. Ya walaupun ndak menang tapi kan ada kompensasi, kan seperti itu. Mungkin.”264 “..........Nah akhirnya yang si pak madongnya ini serius, dia benar-benar kandidat dan serius menggarap dukungan, wakilnya ini dipasang dengan orangnya pak fuad. Ra Razak. Pak kiai razak. Jadi yang calon bupatinya kencang kampanye, ayo dukung aku, yang calon wakilnya jangan dukung aku. Ya akhirnya wong gimana, misalkan ada karapan sapi, satunya ke depan satunya ke belakang, gimana mau menang.”265
Di samping menginfiltrasi kekuatan politik Muhamad Dong lewat penempatan Razak Hadi sebagai wakil pendampingnya dalam kontestasi pilkada 2008, Fuad pun memasang calon pasangan bupati - wakil bupati bayang-bayang melalui pasangan calon Hamid dan Hosyan yang diusung oleh PPP. Sebab posisi ketua DPC PPP waktu itu pun berada di bawah kendali kroni Fuad Amin yang dalam hal ini adalah Zaenal Abidin. Seperti yng diungkapkan oleh NNH: “Loh kalau dia nyalonnya sama boneka, tarungnya sama boneka”.266 Dengan dua siasat yang Fuad jalankan tersebut akhirnya bukan hal yang sulit bagi dirinya untuk menang dalam kontestasi pilkada di 2008. Kekuatan Muhamad Dong sendiri tidak sebesar kekuatan yang Fuad miliki. Hal ini terlihat 262
Wawancara Pribadi dengan UF. Wawancara Pribadi dengan AAR. 264 Wawancara Pribadi dengan AAR. 265 Wawancara Pribadi dengan AAR. 266 Wawancara Pribadi dengan NNH. 263
205
dari hasil akhir perolehan suara pilkada dimana capaian suara Fuad Amin yang hampir 90 persen,267 tepatnya yakni 80.79 persen.268 Sedangkan Dong-Razak hanya memperoleh suara 15.49 persen, Hamid-Hosyan 3.72 persen.269 “Ya. Benar. Dan seorang Madong tidak cukup kuat untuk melawan itu, kekuatan Fuad Amin yang sudah demikian mendominasi. Akhirnyakan dia juga tidak seberapa perolehan suaranyakan. Hanya 10 persen Madong, si Fuad 90 persen waktu itu”.270
Bahkan kekalahan Dong di pilkada 2008 tidak lantas membuat PDI menjadi oposisi di parlemen. Karena perolehan kursinya pun sangat kecil, yaitu hanya dua kursi. Bahkan PDI yang awalnya dikuasai oleh Muhamad Dong selaku ketua DPC, di masa selanjutnya berhasil dikuasasi oleh Fuad Amin melalui kliennya yang dalam hal ini adalah Faturahman.271 Faturahman adalah orang-orangan Fuad Amin yang berhasil memenangkan pemilihan sebagai ketua DPC PDI-P. Sehingga pada tahun 2009, Muhamad Dong akhirnya menggunakan partai PKNU sebagai kendaraan politiknya untuk mencalonkan diri sebagai calon dewan pusat.272 Satu-satunya partai yang menjadi oposisi di parlemen setelah kemenangan Fuad untuk yang kedua kalinya adalah PKNU. Dari beberapa pandangan fraksi yang terjadi di parlemen, pada tahun 2009, PKNU adalah satu-satunya partai yang sering melontarkan kritik pedas.273 “......Jadi ketika kita melihat bahwa pandangan-pandangan umum, pandangan fraksi pada waktu itu gitu kan, pada tahun pasca 2009 itu, hanyalah dari partai PKNU itu yang selalu melakukan kritisi pedas. Maka 267
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. Pelita, “Fuad-Syafik Menangi Pilbup Bangkalan,” berita diakses pada 02 April 2016 dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=43862 269 Pelita, “Fuad-Syafik Menangi Pilbup Bangkalan,” berita diakses pada 02 April 2016 dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=43862 270 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 271 Wawancara Pribadi dengan FHR. 272 Wawancara Pribadi dengan FHR. 273 Wawancara Pribadi dengan FHR. 268
206
kenapa akhirnya kita yang di luar parlemen ini yang lebih pedas mengkritisi itu, gitu.”274
G.5). Memanfaatkan Jaringan Klebun Di pilkada 2008, kekuatan Fuad Amin sudah semakin menggurita. Pada periode tersebut, Fuad bukan hanya menguasai masyarakat melalui kekuatankekuatan
kultural
lewat
kharisma
dan
macam-macam
mitos
yang
mencerminkannya sebagai seorang jago, tetapi Fuad lebih jauh masuk ke dalam, menguasai institusi-institusi politik dan birokrat pemerintahan. Termasuk di antaranya menguasai para kepala desa (klebun).275 Bahkan penggunaan aparat birokrasi, khususnya para kepala desa demi kepentingan politiknya ini tidak saja dilakukan saat ada momen-momen pilkada yang menyangkut kepentingan dirinya, tetapi seringkali juga Fuad pakai saat ada momen-momen pileg, dengan memberikan prioritas pada kemenangan para kroninya di beberapa partai. “Ya kalau pemilihan, pemilihan langsung kan 2008 jadi bupati gitu ya. Pileg-pileg juga mulai sejak pileg-pilegkan juga memakai jaringan klebun semua mas. Pokoknya setiap pemilihan itu ya jaringan klebun ini yang dipakai.”276
Rasa hormat dan loyalitas yang ditunjukan oleh para kepala desa untuk turut menjaga kepentingan politik Fuad ini didasarkan atas tiga faktor. Faktor pertama karena intimidasi yang Fuad lakukan kepada mereka. Faktor kedua, karena insentif materil lewat pengadaan dan proyek yang digelontorkan kepada para kepala desa, dan faktor ketiga karena adanya SK perpanjangan masa PJS bagi mantan kepala desa yang dikukuhkan lewat perda nomor 7 tahun 2006.
274
Wawancara Pribadi dengan FHR. Wawancara Pribadi dengan MH. 276 Wawancara Pribadi dengan AHS. 275
207
Dari 281 kepala desa, 200-an di antaranya berada di bawah kendali Fuad Amin. Pemanfaatan para kepala desa saat momen politik ini biasanya dilakukan Fuad Amin dengan cara memanggil mereka untuk kemudian diarahkan agar turut membantunya dalam proses suksesi politik. Pemanggilan ini biasanya diadakan 6 bulan sebelum waktu pemilihan dimulai. Mereka dikumpulkan di pendopo atau tempat tertentu berdasarkan teritorial kecamatan masing-masing. Setelahnya, pertiap bulan sekali akan diadakan pertemuan lanjutan. Pertemuan tersebut memang sifatnya politis. Bila kedapatan ada satu pihak kepala desa yang memihak ke pihak lain, maka Fuad Amin tidak segan-segan akan mencekal programprogram yang ditujukan kepada desa yang bersangkutan.277 Biasanya kepala desa dikerahkan untuk merekap hasil pemilihan lewat formulir C-1 KPU. Mereka ditugaskan untuk memanipulasi hasil suara. “Ya klebun inikan mainkan rekap aja. Jadi selesainya pemilu di Madura atau di Bangkalan itu selesai direkap itu di C-1 itu.”278 “Kalau sistem pemilihan inikan pemilihkan pasti cerdas. Memilih si A, memang karena memang dia visi dan misi. Kalau coblosan ini kartunya diambil ataupun melalui siapa, ada pesanan suaralah, sengaja dicoblos sendiri ataupun direkap saja sendiri.”279
Bahkan keberadaan panwas serta PPS meskipun ada, hanya sebagai bagian formalitas prosedural pemilihan belaka, karena faktanya, mereka adalah orangorang yang diutus oleh Fuad Amin. PPS adalah orang-orang yang ditunjuk langsung oleh para kepala desa berdasarkan instruksi tersirat dari Fuad Amin.
277
Wawancara Pribadi dengan FAU, Bangkalan, 21 September 2015. Wawancara Pribadi dengan MH. 279 Wawancara Pribadi dengan NNH. 278
208
“Ya PPS itu, kepanjangan tangan dari KPU-kan. Tapikan sudah terkondisi dengan baik. Karena PPS itu dibentuk oleh kepala desa, dan kepala desa itupun mendukung. Ya siapa mas.”280 “Panwaslu kalau orangnya yang dipakai yang ditaruh siapa yang mau buka. Andainya saya umpama jadi panwaslu akan saya bongkar, tapi ketika orangorang yang dia simpan ini adalah orang ini, orangnya dia, atau orang yang minta dijadikan panwaslu kan akan ditutupi.”281
Meskipun pemilihan di TPS tetap berlangsung, itupun jumlah partisipasi masyarakatnya kurang lebih dari 60 persen, bahkan temuan yang dilakukan oleh kawan-kawan aktivis di Bangkalan jumlahnya lebih drastis, yakni hanya sekitar 4o persen dari jumlah pemegang hak suara. “Ada. Ada. Ada, cuma kemudian tidak se-vulgar apa yang terjadi. Artinya, partisipasi pemilih ke TPS itu tidak kemudian mencapai 90 persen koma, yang ada paling banter itu ya 60 maksimal. Kehadiran itu. Itu sangat maksimal sekali, bahkan analisa teman-teman itu sekitar 40-an kok antusias masyarakat. Termasuk yang terakhir kemarin pas anaknya yang jadi itu.”282
H. Jaringan Kiai Fuad Amin Secara garis besar, stratifikasi sosial kalangan kiai di Bangkalan ditempati oleh 3 kelompok utama. Pada urutan pertama diisi oleh para kiai pesantren yang berasal dari trah bani kholil, urutan kedua diisi oleh kiai pesantren non bani kholil, dan urutan ketiga diisi oleh kiai kampung atau biasa disebut bidhereh.283 Perhatikan bagan IV.4.
280
Wawancara Pribadi dengan NNH. Wawancara Pribadi dengan MH. 282 Wawancara Pribadi dengan MH. 283 Abdur Rozaki, “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura,” (Disertasi Program Studi Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015), h. 98. 281
209
Bagan IV.4. Stratifikasi Sosial Kiai di Bangkalan Kiai Pesantren Trah Bani Kholil
Kiai Pesantren Non Bani Kholil
Kiai Bidhereh/Kiai Kampung
Sumber Gambar: Abdur Rozaki
Penempatan kalangan Kiai yang berasal dari trah bani Kholil di urutan paling atas merupakan apresiasi yang diberikan oleh masyarakat kepada keluarga Bani Kholil. Hal ini ditujukan untuk menghormati segala jasa leluhur Kiai Kholil atas usahanya dalam mengajarkan ilmu agama dan segala ilmu lainnya di masyarakat. Makanya keluarga besar bani kholil adalah keluarga terpandang hingga saat ini. Segala upaya apapun yang berkaitan dengan dinamika kehidupan masyarakat, baik itu kegiatan sosial maupun politik, pasti akan melibatkan keluarga bani kholil di garda terdepan masyarakat. Hal ini bukannya tanpa menimbulkan dampak negatif. Karena faktanya dominasi keluarga bani kholil di Bangkalan sangat begitu besar. Sehingga benihbenih fanatisme terhadap keluarga bani kholil dengan sendirinya muncul di kalangan masyarakat. Fanatisme ini merupakan pangkal dari berbagai sikap apatis yang pada akhirnya ditunjukan oleh masyarakat terhadap segala sesuatu yang bersinggungan dengan dimensi sosial dan politik yang ada di Bangkalan. Karena
210
apapun yang berkaitan dengan kehidupan di Bangkalan, seolah-olah sudah menjadi kewajiban dan tanggungan bagi bani kholil seluruhnya. Apatisme masyarakat Bangkalan yang terekam dalam segala sesuatu yang berbau aspek sosial maupun politik, dengan menyerahkan segala urusan-urusan tersebut terhadap keluarga bani kholil, sebenarnya memiliki dampak signifikan pada kehidupan sosial politik mereka di Bangkalan. Menurut AAR, dampak ini adalah pengaruh negatif yang pada akhirnya mesti dibebankan dan menjadi tanggungan bersama-sama. Pertama, karena anggapan dan rasa hormat masyarakat Bangkalan terhadap keluarga bani kholil terlalu berlebihan, sehingga apapun yang berkaitan dengan jabatan publik dan persoalan-persoalan yang ada mesti dilimpahkan kepada bani kholil seutuhnya. Pelimpahan jabatan ketua di ormas, di partai, dan di segala dimensi kehidupan masyarakat yang lain. Semuanya seakan-akan mesti diberikan kepada keluarga bani kholil. Pasalnya citra keluarga bani kholil seolah-olah sanggup untuk menerima tanggung jawab tersebut. Karena adanya pelimpahan wewenang yang membabi buta tersebut sehingga timbul dampak lainnya, yakni hilangnya motivasi untuk memacu kapasitas dan integritas personal dari para keluarga bani kholil. Sehingga, anggapan bahwa tanpa memiliki kemampuan pun pasti akan dianggap oleh masyarakat, menjadi wabah bagi lahirnya benih superioritas diri yang melanda keluarga bani kholil. Yang dirugikan pun masyarakat, sebab keberadaan para tokoh masyarakat yang memiliki potensi untuk mengemban tanggung jawab tersebut kemudian tidak terangkat ke permukaan.284 Makanya tak heran jika
284
Wawancara Pribadi dengan AAR.
211
seluruh jabatan ormas, partai politik, dan jabatan publik di Bangkalan banyak ditempati oleh keluarga Bani Kholil. Bahkan penempatan keluarga Syaikhona Kholil bukan saja terjadi di internal pemerintahan atau ormas dan partai yang telah didominasi oleh Fuad Amin. Nyatanya, di bagian-bagian kelompok penyeimbang sekalipun, atau kelompok oposisi di luar jeratan Fuad Amin, hal tersebut masih tetap saja berlaku. Misalnya pengangkatan Ahmad Ali Ridho sebagai ketua Forsis (Forum silaturahmi Stake Holder Se-Kabupaten Bangkalan) oleh teman-teman aktivis, hal ini tidak terlepas dari figur kekiaiannya sebagai salah satu keturunan Syaikhona Kholil dan satu-satunya kiai di Bangkalan selain Imam Bukhori Kholil yang berani vokal terhadap keluarganya sendiri, Fuad Amin. Selain itu, sedikitnya jumlah kiai atau kalangan pesantren yang berani untuk melakukan konfrontasi dengan Fuad, merupakan alasan lain dari pengangkatan Ahmad Ali Ridho sebagai ketua Forsis.285 Karena dialah satu-satunya orang dari internal keluarga bersama Imam Bukhori yang berani menentang dominasi Fuad. Bukan hanya masyarakat biasa yang menaruh rasa takdzim kepada keluarga bani, bahkan para kiai yang berasal dari non trah bani kholil yang ada di Bangkalan pun akan tunduk serta takdzim kepada mereka. Alasan inilah yang menjadikan kekuatan sosial dan politik Fuad Amin semakin menjadi-jadi. Karena seluruh lini kehidupan masyarakat Bangkalan mampu dia kuasai. Banyaknya famili yang menduduki posisi-posisi strategis, dan kondisi masyarakat yang menaruh simpati kepada keluarga bani kholil, termasuk para kiai yang berasal dari
285
Wawancara Pribadi dengan AAR.
212
non bani kholil, dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh Fuad untuk mengekalkan kekuasaannya tersebut. Jalinan hubungan kedekatan antara para kiai dengan Fuad tidak terbatas hanya di antara keluarga saja. Di luar keluarga pun, Fuad menjalin hubungan yang erat dengan para kiai lainnya. Di antara beberapa kiai yang memiliki hubungan spesial dengan Fuad Amin di luar keluarga bani kholil antara lain: Kiai Nurdin (Ketua Basra Bangkalan), Kiai Muhaimin (Pengasuh Pondok Pesantren AsShamadiyah), dan Kiai Sarifudin Damanhuri (Ketua MUI Bangkalan).286 Kalangan kiai faktanya tidak terbebas dari pemanfaatan yang dilakukan oleh Fuad kepada mereka. Pemanfaatan kalangan kiai oleh Fuad Amin terlihat dalam kasus keluarnya fatwa sesat pelatihan shalat khusyu oleh MUI. Cerita ini berawal dari kegiatan pelatihan shalat khusyu yang diadakan oleh Imam Bukhori Kholil. Pelatihan shalat khusyu yang diselenggrakan oleh Imam Bukhori ini bekerjasama dengan Ustadz Abu Sangkan selaku mentor dalam kegiatan tersebut. Ketika kegiatan pelatihan shalat khusyu yang pertama kali diadakan berjalan dengan sukses, akhirnya Imam Bukhori berniat untuk kembali menyelenggarakan acara serupa dengan tempat di Masjid Agung. Mengingat antusias masyarakat untuk mengikuti kegiatan pelatihan shalat khusyu ini sangat begitu besar. Kabar ini sampai juga kepada Fuad Amin. Mendengar bahwa yang mengadakan acara ini adalah
Imam
Bukhori,
Fuad
Amin
bergegas
mencari
cara
untuk
menggagalkannya. Panitia kegiatan dipanggil dan dilakukan pembicaraan untuk tidak menghubung-hubungkan acara tersebut dengan nama Imam Bukhori. Agar
286
Wawancara Pribadi dengan AAR.
213
klaim adanya kegiatan tersebut adalah murni dari bupati. Tapi cara ini gagal. Lalu dicarilah cara lain untuk menggagalkannya, akhirnya munculah ide untuk mengumpulkan para kiai di Bangkalan dengan menyertakan MUI setempat untuk mencari celah adanya unsur kesesatan pada kegiatan tersebut. Dengan keluarnya fatwa sesat MUI Bangkalan mengenai pelatihan shalat khusyu tersebut, otomatis ijin kegiatan dari pemda tidak keluar. Dan pemda melarang diadakannya kegiatan yang diinisiasi oleh Imam Bukhori bersama Ustadz Abu Sangkan itu.287 “........Karena kemudian ini ndak berhasil, maka beliau ngundang MUI dan kiai-kiai yang ada di Bangkalan, dicari apa yang kira-kira dalam pelatihan sahalat khusyu ini yang kira-kira bisa dipelesetkan sebagai sesuatu yang sesat. Nah akhirnya kiai-kiai dengan difasilitasi MUI itu melakukan rapat dan menyatakan bahwa pelatihan yang dilaksanakan Ustadz Abu Sangkan ini adalah pelatihan yang mengandung unsur kesesatan dan menyesatkan. Dengan karena ada surat dari MUI itu kemudian pemda melarang kegiatan Ustadz Abu Sangkan itu. Padahal intinya bukan di pelatihan shalat khusyunya itu, bukan di penyesatannya itu, tapi lebih kepada karena ini faktor Fuad tadi itu.” 288
Loyalitas kiai Bangkalan terhadap Fuad Amin bukan hanya lahir dari anggapan bahwa Fuad adalah cucu kiai besar yang patut dihormati, tetapi juga lahir dari rasa takut bila nantinya kalau ada intimidasi terhadap mereka. Intimidasi ini tidak mesti berupa ancaman fisik saja, karena dalam kenyataannya intimidasi ini pun dapat berupa pemboikotan rekomendasi oleh Fuad Amin terhadap program-program pemerintah yang diajukan oleh kalangan kiai, baik kepada pemerintah provinsi maupun pusat. “........ketika orang ini memerlukan rekomendasi ke bupati untuk terkucurnya dana itu, itu ndak dikasih. Padahal secara lembaga dia butuh bantuan. Baik itu bantuan dari pemerintah provinsi, bantuan dari pemerintah pusat misalnya. Nah dari pada aku enggak dukung pak fuad nanti ini dipersulit. Jadi pengkondisian seperti itu yang dilakukan....”289 287
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 289 Wawancara Pribadi dengan AAR. 288
214
Di samping itu, pemanfaatan kalangan kiai oleh Fuad Amin juga telihat saat ada aksi-aksi dukungan terhadap dirinya. Pengerahan massa baik itu dari kalangan kepala desa maupun kalangan kiai tak lain agar seolah-olah pemerintahannya mendapat dukungan dari rakyat. Pengerahan massa seperti ini salah satunya pernah dilakukan oleh Fuad Amin saat dirinya didera persoalan ijazah palsu dan sewaktu dirinya ditangkap oleh KPK. Sehingga kesan yang timbul dari adanya dukungan masif seperti itu adalah akan riskan terjadinya kegaduhan di tingkat bawah bila pemerintahan Fuad diusik oleh aparat penegak hukum. “..........Misalnya ya, salah satu contoh, setiap ada permasalahanpermasalahan, contoh misalnya dulu kasus ijazah ya, ketika kasus ijazah ini mau berlanjut, pak fuad ini kemudian meminta - ada puluhan kiailah, untuk datang ke polda. Pak polda, saya minta kasus ini jangan dilanjut misalnya seperti itu, karena begini begini begini begini, nah inikan dalam rangka membangun opini ke tingkat penegak hukumlah paling enggak bahwa soliditas dukungan di bawah ini betul-betul luar biasa, sehingga kalau ini dilanjut kasusnya akan terjadi sesuatu yang gerakan destruktif dan lain sebagainya.....”290
Sebetulnya secara implisit, dengan tidak adanya penegakan hukum terhadap penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh Fuad Amin, akhirnya,
masyarakat pun sama-sama tertipu. Karena dengan begitu, masyarakat merasa bahwa semenyeleweng apapun pemerintahan Fuad, faktanya akan tetap mendapat perlindungan dari para penegak hukum. Daripada memilih jalur konfrontasi dengan Fuad Amin, maka lebih beruntung bila bersikap kooperatif terhadap pemerintahannya, sehingga preseden buruk bagi demokrasi lokal Bangkalan terlihat melalui pertukaran praktik yang saling menguntungkan atau adanya
290
Wawancara Pribadi dengan AAR.
215
simbiosis mutualisme antara Fuad dan para pendukungnya melalui manipulasi suara dan pembagian proyek-proyek pemerintah. “........Nah, di atas ketika permasalahan yang nyata seperti ijazah ini kemudian tidak terungkap secara tuntas, inikan menyebabkan masyarakat di bawah ini menjadi putus asa gitu. Wong kasus yang nyata seperti ini aja ndak bisa, bagaimana dengan kasus yang lain. berarti kalau begini pak fuad ini betul-betul sakti. Yah daripada aku ndak dapat apa-apa, mending ikut dukunglah, walaupun..., seperti itu.”291
Di samping munculnya loyalitas kepada Fuad Amin karena adanya intimidasi dan mistis seperti takut kwalat karena Fuad Amin adalah seorang kiai dan cucu kiai besar, atau adanya prakttik-praktik kekerasan yang Fuad Amin lakukan, ada juga unsur penopang loyalitas lainnya, yaitu melalui pemberian bantuan-bantuan dan proyek-proyek yang Fuad berikan kepada orang-orangnya. “.......Kalau tadi itu untuk jaringan formalnya itu dimudahkan untuk menjadi eksekutor ya - pelaksana, sementara di jaringan informalnya ini dipermudah untuk menjadi penerima. Misalnya: anu ini program ini taruh di situ, atau kalau yang ngajukan itu orangku, yaudah kasih. Sementara nanti pekerjaannya siapa – yang juga orang dia.”292
Sebetulnya tanpa adanya imbalan materiil yang diterima oleh para kalangan kiai sekalipun, loyalitas mereka terhadap Fuad Amin tidak akan surut. Sebab, dalam budaya para kiai di Bangkalan, mereka akan taat dan hormat pada kalangan kiai yang lebih sepuh dari usia mereka. Fuad Amin termasuk ke dalam kalangan kiai sepuh sepeninggal almarhum Kiai Abdullah Sachal. Terlebih Fuad berasal dari strata sosial kalangan kiai keturunan Syaikhona Kholil. “Gini, kalau urusan kiai-kiai itu beliau itu memang, pertama, ya kan ada dua mas. Budaya yang ada di para kiai itu kalau kepada sesepuhnya yang lebih sepuh itu sami‟na wa ato‟na. Itu kiai. Jadi sebetulnya tanpa harus dipelihara pun gitukan, kiai-kiai itu sudah banyak yang tunduk. Karena kiai fuad ini emang kalau setelah Kiai Abdullah almarhum, paling sepuh mas di Bangkalan. Gitu. Terus yang kedua, memang tiada yang berani mas seperti 291 292
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
216
itu para kiai. Kalau ada kiai yang mau berbeda gitu ya, gak bisa berbeda kiai dengan beliau.”293 “.....Kalau masalah kiai ini, kiai ini ada kompensasikah ada kontribusikah ke pondok pesantrennya, mau pembangunan atau apa modelnya itu ada. Tidak ada pun mereka tetap akan mendukung saudara fuad amin, karena dia itu ya tadi seperti saya bilang tadi itu, kiai ini akan tunduk dan patuh kepada fuad amin karena beliau adalah cucu dari syaikhona kholil.”294
Dengan dua baground yang melatarbelakangi fungsionalisme Fuad, sebagai bupati dan sekaligus sebagai kiai, acapkali Fuad Amin menjadikannya sebagai alasan untuk mengaburkan perilaku koruptif yang Fuad lakukan. Bahwa segala sumbangan yang orang lain berikan kepada dirinya, ketika Fuad berada di pendopo, itu dalam kapasitasnya sebagai kiai, bukan bupati. Sehingga uang yang diberikan kepadanya adalah sebagai sodaqoh. “Nah, apalagi yang ini, jadi pada waktu itu ada matin gitu kan, ada pondok pesantren yang disumbang oleh partai politik, jadi pak fuad ini kalau urusan keagamaan itu kan memang semua ini sumbangan gitu. Alasan-alasannya apa yang disampaikan oleh dia, ini bukan uang korupsi ini bukan uang negara, ini sodaqoh gitu kan. Kalau saya dikasih uang oleh orang di pendopo itu kan saya bukan bupati, saya di rumah dinas, saya kiai, itu tempat saya. Enggak ada orang yang ngasih uang itu ke kantor (pendo), kantor bupati itu kan, yang datang enggak ada. Kan itu yang selalu disampaikan di mediamedia di khalayak umum.”295
Kondisi yang menggambarkan adanya loyalitas mendalam yang ditunjukan oleh kalangan kiai yang begitu dekat dengan Fuad Amin bahkan menjadi pertanyaan besar bagi kelompok oposisi khususnya Imam Bukhori. Dia merasa heran dengan sikap para loyalis Fuad Amin yang tetap membelanya meskipun nyata-nyata Fuad telah melanggar aturan hukum negara, apalagi hukum agama. Jika Fuad Amin masih menjadi penguasa, wajar jika loyalitas tersebut masih ada, karena mungkin ada banyak kepentingan-kepentingan di dalamnya. Tapi setelah Fuad Amin tidak 293
Wawancara Pribadi dengan AHS. Wawancara Pribadi dengan MMD. 295 Wawancara Pribadi dengan FHR. 294
217
berkuasa, ditambah hasil muktamar NU yang tegas menyatakan bahwa koruptor tidak wajib dishalati dan dimandikan, nyatanya pembelaan tersebut masih tetap bertahan.296 I. Pencalonan Putranya, Makmun Ibnu Fuad Pasca kepemimpinan Fuad Amin selama dua periode, Fuad Amin tidak lantas memberikan kursi Bupatinya kepada orang lain secara cuma-cuma. Fuad Amin tetap menjaga kursi jabatannya untuk dapat diteruskan oleh putra kandungnya sendiri, Makmun Ibnu Fuad. Fuad Amin menyadari bahwa dengan menaruh anaknya di kursi bupati, maka dia masih tetap bisa mengendalikan roda pemerintahan yang ada di Bangkalan. Awalnya di Bangkalan memang sempat muncul rumor bahwa Fuad Amin akan mengusung istrinya. Tapi lantaran banyak penolakan dari para kiai, akhirnya niatan ini diurungkan. Para kiai menolak lantaran istrinya bukan berasal dari Madura. Maka pilihan alternatif lainnya jatuh pada putranya. Meskipun usia anaknya masih relatif muda yakni 27 tahun dan kapabilitas kepemimpinannya masih belum terlihat di masyarakat. “Sebenarnya waktu anaknya mencalonkan diri itu, masyarakat sebenarnya sudah tidak senang gitu kan - pencalonannya itu, karena anaknya ini tidak punya kemampuan, dan orang-orang di Bangkalan ini tidak mengenal anaknya ini, saudara momon ini, tidak mengenal. Ada rumor juga mau mencalonkan istrinya, karena istrinya ini bukan orang Madura, sebagian kiai menolak untuk dicalonkan istrinya. Akhirnya anaknya, walaupun tidak punya kemampuan, akhirnya dengan terpaksa dicalonkanlah oleh Fuad Amin, ya dengan cara menyingkirkan lawannya. Ya menyingkirkan lawannya, bagaimana dia istilahnya membuat calon bupati bayangan. Yang dari Imam Bukhori ini mencalonkan, momon juga mencalonkan, Fuad Amin membuat satu batu - calon bayangan juga.”297
296 297
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. Wawancara Pribadi dengan SYK.
218
Kesungguhan Fuad untuk menjadikan anaknya sebagai bupati bagi penggantinya dan memenangkan putranya, tergambarkan saat dia beberapa kali melobi Imam Bukhori Kholil untuk tidak ikut dalam pilkada 2012. Karena Imam Bukhori Kholil merupakan kandidat lainnnya yang berpotensi untuk bisa menjadi Bupati bangkalan dari trah bani kholil selepas jabatan bupati Fuad Amin berakhir. Awalnya memang Fuad menawarkan dua opsi kepada Imam Bukhori. Opsi pertama Imam Bukhori dicalonkan tapi dalam kapasitasnya sebagai calon wakil bupati pendamping putranya, Ra Momon. Opsi kedua, Imam diberikan uang, awalnya 12 Miliar belakangan naik menjadi 25 Miliar, tapi dengan syarat tidak jadi mencalonkan dirinya sebagai calon bupati. Tapi kedua opsi ini ditolak oleh Imam Bukhori.298 Dengan melihat keseriusan Imam Bukhori untuk tetap mencalonkan dirinya, akhirnya Fuad Amin mencari cara lain yaitu dengan membelah dualisme di tubuh partai pengusung Imam Bukhori. Akhirnya usaha Fuad pun berhasil. Imam Bukhori akhirnya didiskualifikasi oleh KPUD Bangkalan menjelang 5 hari sebelum pencoblosan. Karena PAN yang awalnya mengusung Imam Bukhori Kholil, membelokan dukungannya untuk mengusung pencalonan Bay Arifin dengan Ki Nurdin. Jadi alasan dualisme ini yang menjadi poin mengapa KPUD akhirnya mencoret Imam dari kontestasi. Bahkan keseriusan Fuad Amin untuk menjaga dominasi inipun dia tunjukan pula dengan turun langsung dalam kampanye-kampanye putranya tersebut. Bukan hanya itu, selebaran-selebaran yang mengarah pada riwayat silsilah keluarga, mulai dari Nabi terus sampai
298
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
219
Syaikhona Kholil dan Fuad Amin, turut mewarnai kampanye-kampanye Makmun Ibnu Fuad.299 “Heeuh, saya juga pernah nerima kemarin itu. Ada. Kalau yang paling, yang paling mencengangkan itu dari silsilahnya nabi juga.”300
Bahkan pernah suatu ketika Fuad Amin sampai menantang carok bagi siapa saja yang hendak menggagalkan pencalonan anaknya, Ra Momon. Hal tersebut terjadi ketika beberapa loyalis pendukung Kiai Imam Bukhori melakukan aksi protes terhadap netralitas KPU, lantaran KPU mendiskualifikasi Imam dari kompetisi pilkada 2012. “Dia tidak pernah turun langsung kecuali kemarin. Pilkada 2012. Pilkada tahun 2012 itu, karena itu habis Kiai Imam itu dicoret Kiai Imam itu, KPU kan dikepung oleh kelompok masyarakat, unsurnya loyalisnya Ki Imam gitu kan, sampai dikepung , kota-kota tidak bisa dikeluahin, dia turun langsung menemui masyarakat itu begini begitu dan bahkan dia di kampanye pun, saya enggak ngedengar langsung tapi di media ramai, itu mengatakan nantang carok, siapa yang mau melawan saya carok dengan saya. Kalau sampai menggagalkan pemilihan bupati, tahun 2012 itu, carok dengan saya, lawannya saya, begitu.”301
Dengan keberhasilan Fuad Amin menjegal Imam Bukhori Kholil dalam pilkada 2012, otomatis peluang Makmun Ibnu Fuad untuk meneruskan estafet kepemimpinan ayahnya begitu mulus. Karena Fuad Amin pun turut menyetting calon bayangan lainnya yang ikut dalam kontestasi pilkada 2012. Di pilkada 2012 akhirnya hanya ada dua pasangan kandidat yang disahkan untuk turut dalam kompetisi. Pertama pasangan Makmun Ibnu Fuad dan Mundzir Rofii, dan kedua, pasangan kandidat Nizar Zahro dan Zulkifli. Pasangan Makmun Ibnu Fuad – Mundzir Rofii diusung oleh partai PAN, PKB, GOLKAR, PDI-P, Gerindra, dan
299
Wawancara Pribadi dengan BHR. Wawancara Pribadi dengan BHR. 301 Wawancara Pribadi dengan FHR. 300
220
PPP. Sedang Nizar Zahro dan Zulkifli diusung oleh PBR dan Partai Republikan.302 Adapun pasangan Nizah Zahro - Zulkifli merupakan calon bayangan yang sengaja Fuad pasang untuk memberikan gambaran kepada masyarakat umum bahwa seolah-olah demokrasi di Bangkalan tetap berjalan normal. Padahal sejarahnya, Nizar Zahro dan Zulkifli sendiri merupakan orang yang secara track record adalah orang dekatnya Fuad Amin. Peristiwa ini merupakan pengulangan sejarah seperti yang telah dilakukan pada pilkada sebelumnya, dimana pada tahun 2008 Fuad Amin menempatkan calon bayangan di kompetisi pilkada untuk periode keduanya sebagai bupati. “Nizar Zahro dan Kikil, zukifli kan. Nah nizar zahro dan Zulkifli ini lagi lagi ini adalah track recordnya dari bawah ini adalah orang dekatnya Pak Fuad.”303
Dengan demikian, sangat wajar bila akhirnya pasangan Makmun Ibnu Fuad dan Mundzir Rofii memenangkan pilkada 2012. Setelah melalui berbagai upaya penjegalan terhadap calon lainnya, Imam Bukhori Kholil, dan adanya calon boneka yang dipasangkan, maka perolehan suara sebesar 93 persen lebih pemilih merupakan sesuatu yang tak mengherankan.304 Karena pada realitanya demokrasi dan pemilu yang diadakan di Bangkalan tidak lebih dari sebuah kebohongan besar. Sendi-sendi demokrasi mulai dari partai politik, panitia penyelenggara sampai birokasi pemerintahan sepenuhnya berada di bawah kendali Fuad. Kekuatan Fuad Amin yang begitu besarnya saat pemilihan putranya di pilkada 2012, tidak terlepas 302
Wawancara Pribadi dengan MMD dan NNH. Wawancara Pribadi dengan FHR. 304 detiknews, “Ricuh Pilkada di Madura, Hasil Suara Diadili di MK,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://news.detik.com/berita/2133135/ricuh-pilkada-di-madurahasil-suara-diadili-di-mk 303
221
dari basis kekuatan politik yang dia bangun lewat jejaringnya baik di institusi formal maupun informal selama dia menjabat sebagai Bupati dua periode sebelumnya. Makmun Ibnu Fuad sendiri sebelum diproyeksikan sebagai kandidat calon bupati Bangkalan, dia merupakan anggota dewan DPRD Bangkalan dari partai PAN. Masuknya dia dalam bursa pemilihan calon bupati bangkalan dan berpasangan dengan Mundzir Rofii memang memberikan pertanyaan besar sekaligus mengamini indikasi yang mengarah bahwa Fuad Amin memang betulbetul hendak meneruskan dominasi politiknya di Bangkalan. Yang aneh dari pencalonan tersebut adalah soal porsi kursi partai di dewan. Biasanya besaran perolehan kursi di dewan berpengaruh terhadap penempatan posisi seseorang dalam melakukan bargain politik. Untuk kasus Makmun Ibnu Fuad, itu tidak berlaku. PAN yang memiliki 3 kursi di dewan mampu mendudukan calonnya sebagai Bupati dibandingakan PKB yang faktanya mendapatkan 15 kursi dan hanya mampu mengusung Mundzir Rofii sebagai wakil.305 Sekalipun Mundzir Rofii masih memiliki ikatan keluarga dengan Makmun Ibnu Fuad, karena wakil dari putra Fuad Amin sekarang adalah adik dari wakil bupati sebelumnya, Syafii Rofii, tapi secara hitung-hitungan usia dan pengalaman, Mundzir Rofii bisa dibilang lebih segala-galanya dibandingkan Makmun Ibnu Fuad. Karena posisinya Mundzir Rofii adalah paman Makmun Ibnu Fuad sendiri.306 Lagi-lagi memang hal ini tidak terhindar karena pengaruh Fuad yang
305 306
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
222
bukan hanya besar dan kuat di lingkungan masyarakat Bangkalan, melainkan juga karena posisinya yang juga kuat di antara Bani Kholil yang lainnya. Bahwa Makmun Ibnu Fuad hanyalah bayang-bayang Fuad di tataran pemerintah terlihat jelas dari ramainya para tamu yang silih berdatangan ke rumah dinas mantan Bupati ketimbang ke rumah dinas bupatinya sendiri. Dari gambaran yang paling sederhana ini saja kita bisa melihat bahwa kontrol pemerintahan memang tetap ada pada Fuad Amin ketimbang Bupati definitif. Dan pada masa yang sama, selepas Fuad menanggalkan jabatannya sebagai bupati, Fuad Amin tidak lalu benar-benar vakum sebagai politisi, di masa tersebut Fuad masih berada di lingkaran politik Bangkalan sebagai ketua DPRD tingkat Kabupaten. “Saya kira gini, pak fuad menaruh momon sebagai bupati itu sebetulnya dia kan hanya ingin pinjam tangan, karena dia sendiri sudah tidak bisa maju lagi menjadi bupati, sementara dari sisi fungsional dia tetap ingin sebagai bupati, maka yang ditaruh anaknya. Walaupun semua kebijakan full di bawah kontrol Fuad Amin. Bahkan dulu kan pernah, mungkin pernah ditayangkan itu antara rumah dinas bupati dengan rumah dinas mantan bupati ini justeru lebih ramai rumah dinas mantan bupati ini yang jadi dikerubungi oleh kepala dinas – kepala dinas.”307
J. Penjegalan Imam Bukhori Kholil Sebagaimana telah dijelaskan, pada akhirnya dalam keluarga Bani Kholil sendiri ada dua kubu yang saling berseberangan. Kubu pertama diwakili oleh Fuad Amin, kubu yang lain diwakili oleh Imam Bukhori Kholil. Pengkubuan ini sebetulnya tidak muncul atas inisiatif pihak manapun. Perkara ini kemudian akhirnya timbul karena dipicu oleh sikap dari Fuad Amin yang mengingkari janjinya pada komitmen awal yang telah dia buat dengan Imam Bukhori berdasarkan
307
musyawarah
keluarga
mengenai
Wawancara Pribadi dengan AAR.
223
persoalan
adanya
rolling
kepemimpinan atas posisi bupati. Apalagi hal ini kemudian diperparah dengan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Fuad Amin saat memimpin Bangkalan. Memang di awal-awal pencalonannya sebagai bupati, Fuad sudah terlanjur berjanji hanya akan menjadi bupati selama satu periode. Lalu memberikan kesempatan tersebut kepada Imam Bukhori untuk periode selanjutnya. Tapi faktanya perjanjian ini dikhianati oleh Fuad sendiri. Karena nyatanya di periode kedua, Fuad Amin kembali mencalonkan dirinya untuk kontestasi pilkada berikutnya di Bangkalan pada tahun 2008. Terus beranjak di tahun yang ketiga, saat Fuad Amin tidak bisa mencalonkan diri lagi, sebab telah melampaui ambang batas konstitusi – dimana jabatan eksekutif di berbagai tingkatan hanya dapat dilakukan selama dua kali periode masa jabatan, lagi-lagi Fuad tidak mengindahkan keberadan Imam Bukhori yang tetap kembali mencalonkan dirinya. Karena di periode ketiga ini, Fuad Amin lebih memilih untuk menaikkan anaknya, Makmun Ibnu Fuad (Ra Momon), dari pada mendukung Imam Bukhori Kholil sebagai kandidat bagi penggantinya. Dari segi usia, Fuad Amin memang lebih sepuh dibandingkan Imam Bukhori. Dari aspek umur ini saja, dapat dijelaskan, bahwa secara sosiologis, dalam tradisi keluarga kiai yang masih memegang norma kesopanan kepada orang yang lebih tua, otomatis Fuad Amin memiliki dominasi yang kental di kalangan keluarga. Tetapi hal ini tidak lantas menafikan kekuatan Imam Bukhori Kholil di sisi lain. Sebab, Fuad Amin sendiri akan merasa ciut tatkala menghadapi persaingannya dengan Imam Bukhori. Imam Bukhori merupakan Kiai yang juga
224
memiliki kekuatan sosio-politik kultural yang mengakar di masyarakat. Sebab, selain karena kedudukannya yang sebagai kiai, dia pun pernah duduk di posisi dewan syuro PKB dan PCNU Bangkalan. Satu kondisi yang selalu menjadi ciri khas Fuad saat akan menghadapi persaingan politik adalah, dia akan melemahkan lawan politiknya terlebih dulu sebelum lawannya benar-benar maju dalam kontestasi. Artinya, segala sendi kekuatan politik lawan, akan Fuad cari peluang yang dapat menggagalkan pencalonannya sebelum ketuk palu pengesahan atas kandidat yang hendak maju diresmikan oleh KPU. Jadi pertarungan yang sebenarnya Fuad mainkan adalah bukan sewaktu masa kampanye sampai hari H pemilihan, tetapi dilakukan jauhjauh hari sebelum KPU membuka pendaftaran. Pengalaman serupa pernah juga Fuad lakukan pada Mohammad Fatah. Sebelum Mohammad Fatah disahkan sebagai kandidat calon Bupati pada pilkada 2003, kekuatan politik serta mental bertarungnya telah dieliminisir Fuad terlebih dulu, yaitu dengan menggembosi anggota dewan untuk menolak LPJ Fatah selama menjabat Bupati Bangkalan. Penjegalan-penjegalan yang hampir serupa pun juga Fuad lakukan pada sosok Imam Bukhori Kholil. Sepertinya Fuad menyadari betul bahwa Imam Bukhori merupakan satu-satunya lawan yang mampu merebut kekuasaannya. Dibandingkan calon-calon lainnya yang pernah bertarung dengan Fuad Amin di setiap momen pilkada, Fuad tidak menampakkan perlawanan yang lebih sengit ketimbang perlawanannya kepada Imam Bukhori Kholil. Pada bagian ini, penulis akan paparkan tiga periodisasi dimana Fuad melakukan upaya penjegalan-penjegalannya kepada sosok Imam Bukhori Kholil.
225
J.1). Periode 2003 Pasca reformasi meletus, PKB merupakan partai dengan perolehan suara paling signifikan di Bangkalan. Mayoritas suara PKB di dewan hampir menguasai setengah dari jumlah kursi dewan yang ada di DPRD Kabupaten Bangkalan. Dari 45 kursi dewan yang ada, PKB menguasasi 24 kursi. Bahkan, dengan dominasi kursi dewan tersebut, bukan tidak mungkin bagi PKB untuk mengusung calon sendiri serta memenangkan kontestasi pilkada awal di Bangkalan pasca reformasi. Dengan banyaknya keluarga bani kholil yang turut berada di tubuh PKB waktu itu, tentu menambah kekuatan partai ini semakin besar di masyarakat. Awalnya, dalam musyawarah yang dihelat oleh keluarga bani kholil, sosok yang pantas untuk dicalonkan sebagai bupati tertuju pada diri Kiai Imam Bukhori Kholil. Ia merupakan kandidat ideal yang diproyeksikan oleh keluarga untuk menjadi pemimpin di Bangkalan. Karena posisinya yang juga menjabat sebagai ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama di Bangkalan. Sedangkan Fuad Amin posisinya sudah terlanjur duduk sebagai anggota DPR RI.308 “.....Nah, dari keluarga sendiri itu awalnya menginginkan saya duduk di posisi itu. Sebagai ketua NU saat itu, saya diproyeksi untuk jadi Bupati. Sementara Pak Fuad Amin inikan sudah posisinya di DPR RI waktu itu, dari PKB. Namun, Pak Fuad ini mempunyai keinginan bahwa dia mau jadi Bupati, saya jadi DPR dulu, (di apa istilahnya), roling gitu loh, roling. Dan dimusyawarahkan oleh keluarga saat itu, ok, yasudah, saya bilang: monggo jenengan bupati, saya DPR RI. Beliau (FA) bilang waktu itu: baru nanti setelah kamu pengalaman di DPR, kamu boleh di Bupati, gitu. Itu sudah kesepakatan keluarga, ok, monggo. Akhirnya 2003; parlemen dengan PKB yang 24 dari 45 kursi, itukan sangat dominan, akhirnya beliau terpilih menjadi bupati.”309
308 309
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
226
Cerita yang serupa juga diceritakan oleh AAR, yang turut langsung menyaksikan detik-detik terakhir sampai akhirnya Fuad Amin berhasil dicalonkan sebagai salah satu Bupati. Menjelang pemilihan kepala daerah kabupaten Bangkalan tahun 2003, PKB mengadakan kongres untuk menjaring kandidatkandidat yang akan dicalonkan sebagai Bupati Bangkalan. Ketiga kandidat tersebut kesemuanya merupakan anggota keluarga Bani Kholil: Fuad Amin, Imam Bukhori Kholil, dan Syafii Rofii. Dalam penyampaian visi misi, Fuad Amin tidak membicarakan soal konsep pemerintahannya ke depan. Dia lebih banyak membicarakan permasalahan pribadinya dengan mengungkit-ungkit posisinya sebagai anggota dewan yang dia rasakan sebagai salah satu upaya dari pihak keluarga dan PKB untuk menjauhkan dirinya dari masyarakat. Sehingga dia tidak memiliki kekuatan yang mengakar sebagaimana calon lainnya.310 “.......Karena waktu itu dia bilangnya gini: saya selama ini ada di posisi DPR RI, merasa itu sebagai sebuah penghormatan yang diberikan oleh keluarga saya dan keluarga besar PKB yang ada di Bangkalan kepada saya. Tapi setelah tak pikir-pikir, ini kok kayanya bukan seperti itu, ini adalah cara secara tidak langsung yang ingin memisahkan saya dari masyarakat. Biar saya ini tidak punya akarlah di bawah seperti itu. Sehingga saya dilempar menjadi anggota DPR RI. Nah jadi sekarang kalau memang saudara-saudara dan kiai-kiai ini tidak (apa, katakan) memang menghargai dan (apa) memang menghargai saya, tolonglah beri kesempatan saya untuk mencalonkan diri sebagai bupati. Karena dalam sambutannya kurang lebih seperti itu, kemudian saya di forum itu nyanggah: mohon maaf saya mau bicara, kayanya apa yang disampaikan kiai fuad ini kok hanya unek-unek ya, kata saya, tidak menggambarkan visi dan misi sebagai seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai bupati. Kalau seperti inikan hanya unek-unek kata saya, lebih kepada persoalan pribadi.”311
Alasan tersebut Fuad Amin utarakan untuk mengharap belas kasih dan simpati dari pihak keluarga dan anggota PKB agar memberikan restu kepada dirinya untuk dapat maju sebagai calon bupati di Bangkalan saat itu. Peristiwa ini 310 311
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
227
terus berlanjut sampai kemudian AAR mendatangi kediaman Fuad. Kedatangan ini merupakan tindak lanjut atas undangan yang Fuad berikan kepada AAR. Karena sebelumnya, saat ia berada bersama-sama Fuad Amin di pertemuan para kiai,
AAR sempat mempertanyakan visi misi Fuad yang baginya hanya
menggambarkan keluh kesah personal – ketimbang menggambarkan kapabilitas Fuad sebagai calon pemimpin Bangkalan. Karena sebab inilah kemudian Fuad memanggilnya.312 Kesempatan bertemu Fuad ini, dimanfaatkan oleh AAR sebagai ruang dialog sekaligus diskusi dengan menceritakan keadaan PKB Bangkalan yang sesungguhnya. AAR menceritakan bahwa aplikasi politik PKB Bangkalan jauh dari semangat pesantren dan DPC PKB Bangkalan yang berada di bawah kepemimpinan Syafii Rofii kurang aspiratif. Karena saat itu ketua DPC masih dipegang oleh Syafii Rofii yang juga berasal dari keluarga bani kholil. Bahkan terkadang suara-suara PAC PKB di tingkat bawah tidak mendapatkan respon yang berarti dari DPC. Alasan ini pula yang akhirnya membuat AAR untuk sekalian pamit untuk mengundurkan diri dari PKB, menimbang posisi Fuad yang juga duduk sebagai dewan pengurus pusat PKB saat itu. Hal ini akhirnya ditolak oleh Fuad, bahkan dia menawarkan diri untuk bersama-sama membenahi PKB di Bangkalan.313 Dari diskusi tersebut, munculah ide untuk membentuk sebuah Forum bagi PAC-PAC PKB yang ada se-kabupaten Bangkalan. Pembentukan forum kerjasama PAC ini tidak terlalu sulit. Dengan kewenangan Fuad Amin yang besar 312 313
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
228
selaku pengurus di DPP, PAC-PAC PKB Bangkalan akhirnya dikumpulkan. Pengumpulan PAC-PAC ini dibuat seolah-olah Fuad Amin sedang turun ke daerah dan ingin mengetahui kondisi seluk beluk partai yang ada di bawah. Dan peristiwa ini terjadi menjelang momen-momen penjaringan calon bupati yang diadakan partai PKB pada bulan-bulan awal tahun 2002.314 Adapun undangan yang ditujukan kepada PAC, sifatnya tidak terbatas hanya di sekertaris dan ketua saja. Siapapun yang terdaftar dalam kepengurusan PAC berhak untuk hadir ke forum tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, banyak dari anggota-anggota PAC yang mempertanyakan maksud dari kegiatan ini kepada AAR. Mereka takut bila nantinya suara mereka yang tadinya ditujukan kepada Imam Bukhori lantas kemudian akan dibelokan ke Fuad Amin. Pertanyaan ini dijawab oleh AAR dengan mengatakan bahwa baiknya kita memikirkan bagaimana penyelamatan partai terlebih dulu, dengan suara yang dominan, sudah saatnya kita mengusung calon sendiri, urusan calonnya siapa, yang terpenting kita telah lebih dulu satu dan solid.315 Setelah Forum PAC diresmikan, AAR menjadi koordinator di dalamnya. Awalnya pembentukan forum ini memang dimaksudkan agar suara PAC memiliki kekuatan yang setara atau paling tidak mampu untuk mempengaruhi keputusan DPC. Mengingat suara Imam Bukhori di antara para PAC Bangkalan hampir mencapai 60 persen, dan suara Syafi Rofii di kisaran 20-30 persen, dan sisanya baru ditujukan ke Fuad. Dari hitungan matematis ini akhirnya Fuad mulai mendekati Imam Bukhori Kholil dan merajuk kepadanya agar mau untuk 314 315
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
229
mengalah terlebih dulu lewat sebuah perjanjian tertulis. Imam Bukhori akhirnya menyetujui kemauan Fuad itu tapi dengan kompensasi dia yang akan maju di periode berikutnya. Fuad menyadari, dengan suara PKB yang begitu dominan di parlemen, sangat akan mudah untuk melenggang maju sebagai bupati. “......Nah, dari perkembangan berikutnya, inikan sebetulnya suara dari PACPAC inikan ke kiai imam ini luar biasa besar. Nah, salah satu strategi pak fuad waktu itu untuk memotong kiai imam itu, kiai imam itu disodori pernyataan. Jadi pak fuad ini datang ke Ra Imam: Mam, aku minta kesediaan kamu untuk ngalah. Nanti posisi aku di DPR RI kamu yang ganti. Sekarang aku dulu yang maju, kamu gak usah majulah, seperti itu. Akhirnya Pak Imam, (dengan kompensasi dia tu hanya ingin maju jadi bupati sekali satu periode, untuk selanjutnya nanti Ra imam yang akan dikondisikan untuk bisa jadi bupati di selanjutnya). Nah itu Ra Imamkan tanda tangan waktu itu dengan pernyataan seperti itu. Nah pernyataan seperti ini yang kemudian salah satunya digunakan untuk menggembosi dukungan PAC kepada kiai Imam, seperti itu.”316
Tawaran-tawaran yang diajukan oleh Fuad saat membujuk Imam sebetulnya tidak terhindar dari gelagat akan munculnya sebuah dinasti yang didominasi oleh keluarga besar bani kholil. Sebagaimana hal ini tercermin dari ungkapan Fuad saat mengatakan soal formasi kepemimpinan politik Bangkalan kepada Imam Bukhori: “...........Waktu itukan memang yang diprioritaskan oleh DPP itu kiai imam, cuma waktu itu diginikan sama Pak Fuad itu ke Ra Imamnya ini: Mam, kamu tuhkan masih muda. Yang harusnya jadi DPR ini yah urutlah aku dulu, gitu. Nanti aku yang di DPR RI, nanti Iman-Syafii-nya yang jadi ketua DPRD, nanti kalau ada pencalonan bupati, kamu yang jadi bupati, kan enak Mam. Aku di DPR pusat, kamu yang jadi bupati. Tapi setelah ada pencalonan bupati, dirayu lagi Pak Imamnya itu: Mam, kamu ganti aku dulu jadi DPR, aku sekarang yang maju jadi bupati, nanti aku satu periode, setelah itu baru kamu lanjutkan jadi bupati, seperti itu.”317
Pada periode ini sebetulnya belum terlalu pantas bila kegagalan Imam Bukhori di pencalonan dimasukan dalam kategori penjegalan. Sebab kegagalan Imam Bukhori pada periode ini merupakan buntut dari perjanjian yang telah ia
316 317
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
230
buat sendiri dengan Fuad Amin untuk mempersilahkannya maju dalam kontestasi di pilkada 2003 dengan kompensasi Fuad akan memberikan kesempatan bagi dirinya untuk menjabat sebagai bupati di periode selanjutnya. Maka dengan adanya legitimasi dari Imam Bukhori terhadap pencalonan Fuad sendiri di periode awal ini, lebih tepat apabila dikategorikan sebagai sebuah adanya konsensus bersama. J.2). Periode 2008 Di periode kedua, Fuad Amin dipaksa menelan ludahnya sendiri untuk memberikan kesempatan kepada Imam Bukhori untuk dapat mencalonkan diri sebagai bupati masa jabatan 2008-2013. Faktanya pada periode ini Fuad Amin tetap bersikukuh untuk menetapkan dirinya sebagai kandidat bupati untuk masa bakti yang kedua. Tapi dengan kondisi modal dukungan yang berbeda dari sebelumnya. Karena di masa kedua, jejaring politik dan basis sosial Fuad Amin sudah semakin mengakar ketimbang masa-masa awalnya di pencalonan. Adapun bagi Imam Bukhori, dengan diabaikannya hasil kesepakan awal antara dirinya dengan Fuad, serta ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan Fuad yang tidak sesuai dengan konsep pemikirannya dalam membangun Bangkalan, karena selama kepemimpinan Fuad, dia lebih terfokus dengan pembangunan masyarakat kota, akhirnya Imam Bukhori dengan tegas menyatakan dirinya untuk konsisten di pencalonan. Sekalipun hal ini nantinya akan membawa dirinya untuk berhadapan langsung dengan Fuad Amin dalam kontestasi. “........Nah, saat 2003 saya melihat bahwa komitmen-komitmen terhadap apa yang beliau janjikan, untuk baik itu kerakyatan maupun dalam hal kebijakankebijakan pemerintah daerah, itu saya melihatnya kok tidak pas dengan apa yang menjadi visi saya. Dan apalagi masyarakat Bangkalan yang nota bene adalah masyarakat pedesaan yang masih lemah. Beliau ini lebih berfokus 231
pada di kota saja. Melupakan masyarakat yang di desa. Jadi kebijakan pembangunannya itu lebih fokus pada perkotaan. Nah ini tentu berbeda dengan saya yang tiap hari bergaulnya dengan masyarakat-masyarakat di desa. Yang saya tahu bahwa mereka kebutuhan dasarnya aja masih belum terpenuhi. Dan harusnya pemerintah daerah ini dengan kekuasaannya yang mutlak, saya bilang mutlak kenapa ya, karena eksekutifnya PKB, legislatifnya dikuasai PKB, kan ini mutlak harusnya. Sebesar-besar manfaat harus untuk bagaimana masyarakat pedesaan itu bisa sejahtera. Paling tidak ada upaya ke arah sana. Dan saya tidak melihat kebijakan itu. Sehingga saya tegaskan, ya sudah kalau begitu untuk periode berikutnya saya harus masuk di kontestasi.”318
Dengan melihat Imam Bukhori Kholil tetap maju di kontestasi, Fuad Amin menyadari bahwa hal tersebut akan menjadi salah satu batu sandungannya untuk sukses di periode itu. Makanya upaya-upaya penjegalan yang dilakukan oleh Fuad terhadap Imam dipersiapkan semenjak jauh-jauh hari sebelum pemilihan dilangsungkan. Karena ego yang melekat pada diri Fuad dan menjadi ciri khasnya adalah bahwa dia tidak mau ada orang lain yang sejajar dengannya apalagi sampai menyaingi dirinya. Dia akan menghabisi lawan-lawannya yang memiliki potensi untuk mendapatkan hati dari masyarakat.319 Menyadari Imam sebagai pesaingnya, Fuad akhirnya mengambil alih langsung kepengurusan ketua DPC PKB Bangkalan. Dengan dirinya menakhodai PKB, maka ia memiliki kuasa untuk memecat dan mengeluarkan Imam Bukhori dari keangotaan partai PKB. Karena Imam telah dianggap akan mampu menghambat dirinya dalam pencalonan. Hal itu pun tidak berhenti di pemecatan Imam dari PKB saja. Perkara tersebut terus berlanjut sampai pergeseran kursi ketua PCNU dari Imam Bukhori ke Ra Fahri, orang dekat Fuad dan masih keluarga besar bani kholil. Alasannya tentu agar elemen NU bisa dikendalikan langsung oleh Fuad sendiri. 320 Kesigapan 318
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. Wawancara Pribadi dengan AAR. 320 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 319
232
ini Fuad ambil guna mengantisipasi pilkada 2008 yang lebih terbuka. Sebab dalam pemilihan di pilkada 2008, mekanisme yang diterapkan adalah melalui mekanisme pemilihan secara langsung, berbeda dari pemilihan sebelumnya yang berada di dewan. Tentu dengan Imam Bukhori berada di PCNU, Fuad sadar, bahwa Imam akan memiliki basis modal dan dukungan kuat di masyarakat.321 “......Nah, nampaknya si pak fuad ini melihat ancaman terbesar untuk lawan politik itu memang dilihatnya saya yang dianggap ancaman terbesar. Karena dengan polanya beliau yang sudah memiliki kekuasaan mutlak ini, semua elemen-elemen masyarakat, beliau kuasai sedikit demi sedikit: ormas, seperti NU yang asalnya posisi ketua itu saya, digeser pada yang lain. Yang bisa beliau atur gitu, loh.”322
Upaya penjegalan Fuad terhadap Imam Bukhori di tubuh NU ini dimulai sedari kongres yang dilakukan saat PCNU mengadakan pemilihan. Di bursa pemilihan tersebut, Fuad taruh orang yang menjadi kroninya, Ra Fahri. Padahal saat itu Ra Fahri sendiri merupakan ketua DPC FPI Bangkalan. Sebelum pemilihan dimulai, Fuad telah lakukan pengkondisian terlebih dulu terhadap seluruh MWC-MWC NU. Pengkondisian ini tidak lain untuk mengarahkan suara dari yang sebelumnya kepada Imam Bukhori agar beralih ke Ra Fahri. Sampai di waktu pemilihan yang telah ditentukan, Fuad pun datang dan menunggui jalannya pemilihan tersebut. “Ya enggak tahulah caranya gimana kemudian Ra Fahri ini didorong dan dimasukan ke dalam bursa PCNU dan suskses. Ya gimana enggak sukses wong waktu pilihan itu di meja tempat pilihan, tempat pemungutan suara tu ditunggu sendiri sama pak fuad gitu. Jadi siapa yang milih bukan dia (kan dia sudah panggili semua ya MWC-MWC NU itu) dipanggili semua, pokoknya harus milih ini, ya mungkin bisa aja dengan transportasinya segala macam saya enggak tahu, cuma pengkondisian seperti itu tu ada.”323
321
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 323 Wawancara Pribadi dengan AAR. 322
233
Padahal saat berlangsungnya acara pemilihan, Imam Bukhori sendiri berada di tempat kongres. Menurut AAR, mungkin Imam kepalang menaruh kepercayaan pada anggota-anggota MWC NU yang pernah dinaunginya itu, bahwa sekalipun Fuad mengintervensi mereka, ini tidak akan banyak mempengaruhi hasil. Sebab mereka pasti akan ingat jasa-jasa Imam yang sudah banyak berbuat untuk NU di Bangkalan. Tapi dugaan ini ternyata meleset. Nyatanya suara MWC berpaling dan malah sejalan dengan instruksi Fuad. Dukungan yang diberikan MWC kepada Ra Fahri ini tidak terlepas dari posisi Fuad yang selain menjabat sebagai bupati dengan nantinya akan ada anggaran-anggaran pemerintah untuk lembaga pendidikan, juga posisi Fuad – yang memiliki status sebagai kiai. Sehingga rasa berdosa mereka (MWC-MWC) untuk tidak memilih Imam Bukhori akan sedikit terkurangi.324 “....... mungkin Ra Imam di satu sisi dia itu masih percaya, bahwa rantingranting itu masih akan ingat kepada beliau bagaimana beliau membesarkan NU artinya walaupun ditekan seperti apapun, aku masih bisa dapat suara terbanyaklah, mungkin perasaannya seperti itu. Tapi kan karena pak fuad sebagai bupati, yang otomatis semua pengurus-pengurus MWC ini di satu sisi perlu program pemerintah dalam hal pengelolaan lembaga pendidikannya ataupun lain-lain, sehingga mendukung orang yang memang dititipkan oleh bupati, apalagi bupatinya dianggap kiailah seperti itu, itukan lalu menjadi tidak merasa bersalah dengan Kiai Imam, kan seperti itu. Apalagi kemudian ditunggoi (ditunggui) di tempat pemilihan itu.”325
Dengan berbagai pengkondisian yang telah Fuad lakukan di awal, yakni dengan melucuti kekuatan politik Imam dari PKB dan PCNU, penjegalan selanjutnya Fuad lakukan dengan sabotase di tubuh partai pendukung Imam Bukhori Kholil. Karena kekuatan dan dominasi Fuad di periode pertama dia manfaatkan sebesar-besarnya untuk mengelola jaringan kiai, klebun, dan tokoh324 325
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
234
tokoh politik setempat. Maka tak heran bila di masa-masa selanjutnya Fuad dengan mudah untuk melakukan kontrol terhadap aspek civil society di Bangkalan. Setelah bertubu-tubi dilemahkan kekuatannya oleh Fuad, awalnya Imam Bukhori merasa sangsi untuk terus maju sebagai bupati di periode 2008-2011. Kesangsian ini lahir mengingat seluruh partai di Bangkalan telah dikuasai sepenuhnya oleh Fuad Amin. Fuad Amin sudah sejak jauh-jauh hari telah mengondisikan partai politik yang ada untuk masuk ke dalam bagian pencalonannya, dan mengondisikan sebagian partai yang lainnya untuk memunculkan calon bayangan yang ada di bawah kendalinya.326 “.......Makanya setiap partai dari awal itu sudah dikondisikan sedemikian rupa. Dari jauh-jauh hari. Bagaimana sudah harus mendukung dia dan yang lain dipersiapkan untuk mendukung bayangan, mendukung dayang....”327
Partai yang mendukung Imam Bukhori Kholil, hanyalah partai-partai kecil yang persentase suaranya tidak mampu menembus batas minimal pencalonan. Akhirnya, AAR yang di periode awal berpihak ke Fuad Amin, beralih pilihan kepada Imam Bukhori untuk periode selanjutnya di 2008. AAR sendiri sudah keluar dari barisan Fuad Amin semenjak tahun 2005. Dia hitung-hitung persentase suara partai-partai yang ada di Bangkalan, lalu hasilnya dia sodorkan kepada Imam Bukhori dengan kesimpulan bahwa dirinya (Imam Bukhori) tetap bisa mencalonkan diri apabila tiga partai di Bangkalan, PBB, PAN dan PKS mau diajak bergabung. Karena batas minimal pencalonan saat itu adalah 61 ribu suara atau sebesar 15 persen dari suara partai. Setelah hubungan komunikasi dengan
326 327
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
235
partai-partai tersebut terjalin, mereka akhirnya sepakat untuk tergabung dalam koalisi Imam Bukhori. Saat itu ketua DPC PBB dipimpin oleh Haji Husni, PAN diketuai oleh Bay Arifin, dan PKS diketuai oleh Masduki. Adapun batas minimal yang diperoleh dari koalisi Imam Bukhori dengan ketiga partai tersebut plus partai-partai kecil lainnya seperti PMUI dan partai pelopor hampir mencapai sekitar 65 ribuan suara. Dari jumlah suara ini, maka secara persyaratan KPU, Imam Bukhori layak untuk mencalonkan diri.328 Penjegalan Imam Bukhori di periode ini terjadi tatkala PAN di bawah naungan Bay Arifin disusupi oleh Fuad Amin. Ternyata Fuad Amin telah menyiapkan Haji Nurdin, kerabat Fuad, aktivis Basra, untuk maju dalam pencalonannya bersama PAN. Dengan posisinya sebagai calon wakil bupati yang mendampingi Bay Arifin. Maka ketika berkas dukungan partai diajukan kepada KPU, otomatis perkara ini menjadi semakin rancu. Karena ada dualisme dukungan partai yang saling berlainan. Di satu sisi PAN ada di pihak Imam Bukhori, di sisi lain PAN ada di pihak Haji Nurdin. Maka dengan alasan dualisme ini, KPU di bawah kepemimpinan Jazuli Nur akhirnya menggugurkan pencalonan kedua pasangan kandidat tersebut.329 “..........Nah begitu sepakat dukung kiai imam ini sudah mulai ini. sudah mulai ketahuan bahwa kiai imam ini mau nyalon (mau, ada peluang punya kendala untuk nyalon). Nah akhirnya dipecah sama pak fuad itu, dia minta pak nurdin untuk maju dengan PAN yang awalnya ada di pihak Pak Imam ini dirayu untuk bisa jadi calon wakilnya pak nurdin, gitu. Nah akhirnya ketika daftar ke KPU, kita itukan ada di dualisme dukungan, itu yang kemudian di permainkan. Dualisme dukungan dipermainkan, akhirnya gugur Ra Imam.”330
328
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 330 Wawancara Pribadi dengan AAR. 329
236
Di samping itu, ada pula beberapa partai-partai lainnya yang juga menarik dukungannya dari Imam Bukhori. Bahkan konon tim sukses Imam Bukhori yang saat itu berpasangan dengan Saleh Farhat itu diberi imbalan oleh Fuad untuk pergi umroh dengan imbalan sebesar 50 juta - yang membuatnya tidak hadir dalam acara klarifikasi untuk memperjelas dukungan-dukungan partai politik kepada pasangan calon Imam Bukhori dan Saleh Farhat.331 “..........Jadi pada waktu itu kurang lebihnya begini, KPU meminta kepada timnya kiai haji imam bukhori kholil dengan saleh farhat pada waktu itu meminta bahwa partai ini pendukung-nya ini ini ini ini ini ini untuk memperjelas kembali karena ada begini begini, nah ketika itu diklarifikasi lagi dia sudah tidak ada. Konon katanya dia pergi umroh dengan imbalan 50 juta gitu kan, sesumbarnya begitu, kita enggak tahu pasti. Jadi konon dugaannya begitu sangat jelas. Lalu setelah itu saya pada waktu itu ada di garda depan untuk memimpin demo-demo dengan Ki Imam juga tidak bisa, karena apa yang terjadi, semua birokrasi pada waktu itu penggandeng KPU pada waktu itu lebih condong lebih dekat ke pak fuad.”332
Usaha Fuad Amin dalam mengintervensi keputusan partai politik di Bangkalan nyatanya bukan hanya dilakukan dalam pengertian intervensi yang sempit – terbatas hanya di elit elit partai Bangkalan saja. Bahkan seringkali dia juga melakukan berbagai upayanya untuk melobi DPW bahkan DPP partai yang bersangkutan. Bahkan KPU sendiri pun tidak lepas dari dominasi dan permainan Fuad Amin.333 J.3). Periode 2012 Penjegalan ataupun sabotase selanjutnya terjadi pada tahun 2012. Pada periode ini Fuad tidak lagi maju sebagai kandidat calon Bupati Bangkalan. Hal tersebut dikarenakan dirinya terbentur oleh undang-undang yang membatasi
331
Wawancara Pribadi dengan FHR. Wawancara Pribadi dengan FHR. 333 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 332
237
seseorang hanya cukup menjabat sebagai Bupati selama dua periode. Peraturan ini tertuang dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah pasal 58 huruf O.334 Sebab terkendala oleh peraturan itulah akhirnya Fuad mau tidak mau mesti menyerahkan jabatan bupati kepada suksesor berikutnya. Akhirnya pilihan siapa saja calon penggantinya tersebut dia limpahkan kepada anak kandungnya sendiri, Makmun Ibnu Fuad (Ra Momon). Tentu alasan pengangkatan anaknya sebagai calon kandidat yang hendak menggantikan kursi kepemimpinannya itu dilandasi agar kontrol politik dan kekuasaan di Bangkalan tetap masih berada di bawah kendalinya. Dalam studi William Reno dikenal dengan istilah shadow state atau pemerintah bayangan.335 Dimana kekuasaan politik mutlak sepenuhnya dipegang oleh kekuatan informal di luar negara. Dalam hal ini, pemegang kontrol dan segala kebijakan di Bangkalan tetap dimainkan oleh Fuad Amin. Sedang Bupati definitif, Makmun Ibnu Fuad hanya sebagai wayang yang dipersekusi kewenangannya oleh ayahnya sendiri. Selain faktor pengendalian kontrol agar lebih mudah, pemilihan Makmun Ibnu Fuad pun tidak terlepas dari sikap Fuad yang tidak mudah percaya kepada orang lain. Distrust personality Fuad sangat tinggi. Tetapi pencalonan Momon saat itu bukanlah perkara mudah. Selain kapabilitas Momon yang belum teruji, dan banyaknya berita-berita miring yang menimpa keluarga Fuad Amin sendiri, maka hal ini tentu membuat pekerjaan 334
Viva.co.id, “Larangan Jadi Bupati Tiga Periode Digugat,” berita ini diakses pada 25 Februari 2016 dari http://nasional.news.viva.co.id/news/read/89586-larangan-jadi-bupati-tigaperiode-digugat 335 Syarif Hidayat, “Demokrasi Elitis? Relasi Kekuasaan Pasca Pilkada,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 23 No. 3 (Juli–September 2010).
238
Fuad bertambah semakin berat. Apalagi, Imam Bukhori pun telah menyatakan kesigapannya untuk kembali maju pada pilkada 2012. Pada pilkada tersebut, Imam Bukhori Kholil berpasangan dengan Zaenal Alim.336 Dengan demikian, hal ini mesti diantisipasi oleh Fuad Amin dengan berbagai cara. Dia sendiri yang menjadi tim sukses langsung bagi pencalonan anaknya. Pada masa-masa awal penjegalan Imam Bukhori di periode 2012, cara yang pertama kali dilakukan oleh Fuad Amin yaitu dengan melakukan diplomasi. Fuad melakukan negosiasi dengan pihak Imam Bukhori lewat utusannya yang dia perintahkan untuk mendatangi dan menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada Imam Bukhori kholil, bahwa dia (Fuad) menawarkan ajuan proposal pencalonan dengan opsi bagaimana bila Imam Bukhori disandingkan dengan Makmun Ibnu Fuad tapi dalam posisi sebagai calon wakil bupati. Usulan yang ditawarkan pihak Fuad ini akhirnya ditolak oleh Imam Bukhori. Bahkan Imam Bukhori pun kemudian mengajukan tawaran sebaliknya, yakni untuk merubah posisi, dia sebagai kandidat calon Bupati dan Makmun Ibnu Fuad sebagai wakil calon bupati. Proses negosiasi ini kembali buntu. Pasalnya Fuad pun tidak mau bila anaknya hanya dijadikan sebagai calon wakil bupati. Proses kompromi ini terus berlanjut sampai tiba di penawaran nominal, kali ini Fuad mengiming-imingi Imam Bukhori dengan uang sebesar 12 Miliar rupiah, lagi-lagi usulan ini pun ditolak oleh Imam Bukhori, lantas tawaran semakin membengkak menjadi 25 Miliar, dan lagi-lagi tawaran ini pun akhirnya ditolak
336
Tempo.co, “Hasil Pilkada Bangkalan Digugat ke Mahkamah Konstitusi,” berita ini diakses pada 25 Februari 2016 dari http://nasional.tempo.co/read/news/2012/12/17/058448766/hasilpilkada-bangkalan-digugat-ke-mahkamah-konstitusi
239
kembali oleh Imam Bukhori. Bahkan sampai Imam Bukhori sendiri memarahi utusan Fuad tersebut.337 “.............Nah, Fuad ini sudah demikian luar biasanya menghadang saya ini, mungkin karena dianggap tidak bisa awal-awalnya. Jadi ada beberapa utusan dari beliau itu datang ke saya untuk mengajak kompromi. Saya bilang komprominya sederhana gitu, sudah Momon yang masih adik saya ini jadi wakil saya, saya bupatinya, nanti berikutnya, sudah Momon, bilang gitu. Itu tawaran dari saya begitu. Tapi Fuadnya bilang: gak bisa, Momon harus bupati, Imam wakil (saya suruh jadi wakil), atau kalau gak, gak usah maju, ini ada uang 25 miliar gitu. Oh asalnya 12 miliar, asalnya 12, tawarannya 12 miliar. Saya bilang, waduh, saya bukan urusan uang maju ini jadi Bupati ini, saya ingin bagaimana Bangkalan ke depan ini lebih baik, khususnya di pedesaan, saya bilang gitu. Bilang ke Man Fuad (saya bilang paman waktu itu), udah saya tetap maju kalau begini. Terus besoknya datang lagi utusan, naik jadi 25 miliar. 25 miliar, tawarannya. Saya bilang, malah saya marahi utusannya. Masih gak ngerti juga itu Man Fuad, saya bukan urusan uang, kalau urusan uang apa itu anunya. Ini bukan itu urusannya. Sudah kalau memang mau kompromi ayok, Momon jadi wakil saya, berikutnya nanti Momon. Yah akhirnya tetap, gak bisa begitu, deadlock, yaudah kita maju.”338
Dengan segala macam bentuk negosiasi dan kompromi yang gagal, akhirnya Fuad mencari cara lain. Karena pada prosesnya Imam Bukhori tetap mengajukan dirinya sebagai calon Bupati Bangkalan untuk masa jabatan 2013-2018. Dengan mengantongi dukungan dari partai PKNU yang memiliki 5 kursi di dewan, Imam Bukhori tinggal mencari dukungan dari partai lainnya untuk melengkapi syarat dan ketentuan pencalonan. Pilihan kemudian dijatuhkan kepada Partai PPN (Partai Pembangunan Nasional) saat itu PPN memiliki dua kursi di dewan. Salah satu elit pusat di partai PPN ini adalah Oesman Sapta. Partai ini merupakan evolusi dari partai PPD (Partai persatuan Daerah) yang kemudian akhirnya berganti nama
337 338
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
240
menjadi PPN. Jatuhnya pilihan Imam Bukhori atas partai PPN ini tidak bisa dilepaskan dari kedekatan mertua Imam Bukhori kepada Oesman Sapta.339 “.......Kemudian ada partai PPN, punyanya Oesman Sapta Odang, yang awalnya PPD itu, berubah nama menjadi PPN, kebetulan Bang Oesman ini, Bang Oso ini dengan mertua saya yang di Pontianak kan akrab, jadi saya akrab dengan Bang Oso. Bang Oso bilang udah ini PKNU dengn PPN yang dua kursi cukup, udah. Ya monggo Bang, bismillah gitu. Ya ok, kita deklarasi.”340
Melihat kondisi kepartaian yang ada di Bangkalan seluruhnya telah dikuasai oleh kroni-kroni Fuad, termasuk PPN ini, yang salah satu orangnya adalah Haji Fatonah,341 akhirnya dengan wewenang DPP, susunan kepengurusan DPC PPN di Bangkalan ini dirombak. Alasannya satu, agar kebijakan DPP yang telah menjatuhkan pilihannya kepada pihak Imam Bukhori dapat direalisasikan dan tidak tembus intervensi Fuad. Dengan adanya perombakan ini, awal mulanya KPU Bangkalan turut mempermasalahkan. KPU mempertanyakan keabsahan PPN yang baru terbentuk dan berubah nama. Sehingga kemudian KPU Bangkalan pun meminta masukan serta rekomendasi ke KPU Pusat terkait legalitas PPN sebagai partai pengusung Imam Bukhori. Jawaban yang diberikan oleh KPU Pusat adalah sah karena PPD secara nasional telah berubah nama menjadi PPN. Sejalan dengan keputusan KPU Pusat, maka hal senada pun diambil oleh KPU Bangkalan dengan menyatakan bahwa pencalonan Imam Bukhori adalah sah.342 Dengan adanya polemik soal peralihan PPD ke PPN ini, dan keabsahan perombakan struktur DPC PPN Bangkalan yang baru terbentuk, akhirnya oleh Fuad dijadikan peluang agar kepengurusan PPD yang lama untuk mengajukan 339
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 341 Wawancara Pribadi dengan FHR. 342 Wawancara Pribadi dengan AAR. 340
241
gugatan mereka ke PTUN. Dalam sidang gugatan yang dilakukan di PTUN tersebut, dua kali Imam Bukhori diberikan hak untuk intervensi tapi Imam memilih untuk tidak datang.343 Bagi Imam, hal ini aneh, karena partai yang legal standingnya sudah tidak ada dalam depkumham, bagaimana bisa gugatannya diterima oleh pihak PTUN. Terlebih Oesman Sapta sendiri telah memberikan keterangan bahwa yang sah adalah kepengurusan PPN bukan PPD.344 Tapi nyatanya PTUN akhirnya memenangkan gugatan pihak penuntut, bahkan memutuskan bahwa pencalonan pasangan Imam Bukhori Kholil-Zainal Alim tidak sah. Anehnya lagi, KPU Bangkalan tidak melakukan banding atas hasil tersebut, malah keputusan PTUN ini dijadikan landasan pendiskualifikasian pencalonan Imam Bukhori Kholil sebagai kandidat calon bupati oleh KPU Bangkalan masa periode 2013-2018. KPU Kabupaten Bangkalan yang saat itu diketuai oleh Fauzan Djakfar beralasan bahwa ketiadaan banding dilakukan berdasarkan asas kepastian hukum. Karena apabila banding dilakukan, waktu akan kepastian hukumnya semakin kabur. Fauzan mengatakan: "kapan keputusannya, terus kalau tidak menerima lagi, kasasi lagi, bahkan bisa mengajukan peninjauan kembali. Dari sisi ini kami menganggap tidak adanya kepastian hukum,"345 Untuk menyikapi hasil PTUN tersebut, akhirnya Imam Bukhori bersama tim mengajukan gugatan ke MK yang waktu itu sidang atas gugatan tersebut dipimpin oleh Akil Mochtar, tapi lagi-lagi MK menolak gugatan Imam Bukhori dengan 343
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 345 ANTARAJATIM.COM, “KPU Bangkalan Tolak Banding Demi Kepastian Hukum,” berita diakses pada 12 Maret 2016 dari http://jatim.antaranews.com/berita/100429/kpu-bangkalan-tolakbanding-demi-kepastian-hukum?utm_source=fly&utm_medium=related&utm_campaign=news 344
242
alasan karena Imam Bukhori Kholil bukan calon lagi.346 Bahkan upaya pelaporan ini juga sebetulnya sudah Imam Bukhori lakukan ke beberapa instansi lainnya. Ke DKPP dan ke KY (yang terkait hakim PTUN yang memutus perkara ini), tapi hasilnya sama nihilnya. “Sudah. Semua jalur upaya hukum kita tempuh. Dan ini semuanya mentok. Luar biasa. Bahkan ke komisi yudisial, PTUN, hakimnya yang memutus perkara kita itu, kita sudah masuk. KY, DKPP, MK, semuanya mentok. Subhanallah. Demikian luar biasanya itu pengaruhnya si Fuad Amin ini sebagai trah dari bani kholil ini. Pak Mahfudz MD kan orang Bangkalan, KY itu Imam Anshori Soleh itukan orang PKB, terus DKPP-nya Jimlie Ash-shidkie waktu iu, yang juga ya masih berbau-bau NU-lah paling tidak. Semua takut itu pada Fuad Amin, semua takut.”347
K. Oligark Lokal Uang menjadi ikon primer dalam proses demokrasi di berbagai daerah di Indonesia pasca diimplementasikannya kebijakan desentralisasi. Desentralisasi bukan hanya menjadi simbol pelimpahan wewenang yang dulu dikooptasi pusat ke berbagai daerah. Melainkan sebuah konsep yang juga turut serta menyumbang polarisasi politik uang menjadi semakin lebih luas. Segala suksesi kepemimpinan yang kini marak diselenggarakan di berbagai wilayah di Indonesia era reformasi, tidak urung menyecapkan jejak-jejak koruptif masa lalu. Korupsi menjadi gejala umum yang kini kembali menggurita dan uang menjadi modal penting yang mewarnai segala macam atribut demokrasi. Berbagai praktik KKN pun tak luput mewarnai jalannya demokrasi di Bangkalan. Sebagai orang yang dulu bergelut di bidang bisnis umroh dan pemberangkatan TKW ke luar negeri, bukan hal yang sulit bagi Fuad untuk
346 347
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
243
membiayai ongkos politiknya secara mandiri. Termasuk ongkos politik melalui praktik politik uang yang dia mainkan untuk membayar para anggota dewan saat pemilihannya pertamakali di periode pertama. Walaupun dalam realitanya, dalam hal ini Fuad Amin masih banyak terbantu oleh kalangan pengusaha, khususnya para pengusaha besi tua yang masih memiliki ikatan emosi dengan keluarga Kiai Amin, ayahnya Fuad. Ada beberapa nama pengusaha yang berada di belakang pencalonan Fuad Amin untuk pertama kali. Seperti misalnya, Haji Rawi, Haji Hayyi, dan lain sebagainya. Kebanyakan di antara mereka adalah para pengusaha besi tua Madura yang tinggal di Jakarta. Mereka adalah orang-orang yang dulu memiliki hubungan dekat dengan ayah Fuad. Ki Amin merupakan orang yang dituakan oleh mereka, yang mendidik dan memberikan nasihat moril sebagai orang Madura yang sedang hidup dirantau. Jadi sewaktu Fuad Amin memiliki hajat untuk mencalonkan diri sebagai Bupati dan memohon bantuan finansial dari mereka, otomatis mereka akan ikut membantu.348 Dari beberapa narasumber, terdapat dua perspektif yang saling berlainan pandangan tentang kekayaan yang dimiliki oleh Fuad Amin. Ada yang menolak Fuad sebagai orang terkaya, ada juga yang menganggapnya sebagai orang terkaya di Bangkalan. Untuk memfasilitasi kedua pendapat tersebut, akhirnya penulis lebih memilih untuk berdiri di tengah-tengah di antara kedua pendapat tersebut: bahwa Fuad Amin adalah orang kaya. Sehingga untuk memasukkannya ke dalam kategori sebagai oligark lokal bukan sebuah perkara yang rumit, karena nyatanya
348
Wawancara Pribadi dengan AAR.
244
Fuad Amin sudah memiliki basis material sebelum dia terjun ke dunia politik. Perdebatan soal kekayaan yang dimiliki oleh Fuad Amin terlihat dari komentar yang diberikan oleh mantan asisten pribadi Fuad: “Oh enggaklah. Kalau hanya hasil itu gak mungkin dia mau dibilang kaya. Tapi kalau dia memang kaya, iya. Tapi kalau dengan hasil dia usaha mau dibilang orang terkaya di Bangkalan atau se-Madura, itu hanya ngada-ngada. Kalau dia kaya, iya. Dia punya lempengan itu sebelum jadi bupati iya. Karena saya tahu sendiri. Tapi kalau dibilang dia terkaya ini karena perusahaan dia, saya gak punya alasan untuk menerima itu.”349
Kepemilikan PT. Amondaraya sebelum Fuad Amin terjun ke dunia politik merupakan sebuah fakta yang mengindikasikan bahwa Fuad memang memiliki basis material sebagai calon oligark lokal. Meskipun dalam kenyataannya perusahan tersebut ditinggalkannya setelah dia sukses merengkuh kursi Bupati, tapi penumpukan hasil kekayaan tetap dia jalankan melalui praktik-praktik oligarki. Bukti yang mengarah pada adanya praktik oligarki adalah banyaknya penyelewengan yang dilakukan oleh Fuad dengan menggunakan BUMD pemda Bangkalan sebagai ajang akumulasi harta kekayaannya. Kendati banyaknya harta kekayaan yang Fuad Amin miliki dapat memasukkannya ke dalam status orang-orang kaya. Tetapi bila disejajarkan dengan konglomerat tingkat nasional hal tersebut masih sangatlah jauh.350 Sebagaimana yang diutarakan oleh AHS: “kalau sampai segitu seperti kayanya Tomi dan segala macamnya, gak lah.”351 Tapi konsep Winters soal oligarki tidak terbatas pada jumlah nominal yang dimiliki. Menurut Winters, seorang pengusaha lokal tidak bisa disejajarkan dengan pengusaha di tingkat nasional atau bahkan
349
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Pribadi dengan AHS. 351 Wawancara Pribadi dengan AHS. 350
245
global.352 Dengan demikian, dengan basis kekayaan material yang cukup mumpuni dalam kapasitasnya sebagai calon bupati lokal, maka konsep tentang oligark lokal sudah pantas bila disandangkan kepada Fuad Amin. Bahkan alasan finansial adalah alasan yang juga Fuad lontarkan untuk mendapatkan restu dari pihak keluarga agar bisa maju di gelanggang pilkada untuk pertama kali-nya. Hal ini dia ungkapkan kepada salah satu keluarganya, AAR. Dalam perbincangannya dengan AAR, Fuad mengatakan, bahwa dibandingkan dengan keluarga bani kholil lainnya, dia adalah orang yang paling kaya. Sehingga - dengan mental yang menggambarkan bahwa demokrasi tidak luput dari keberadaan uang – dialah yang paling pantas untuk didukung oleh pihak keluarga dibandingkan anggota keluarga lainnya. “....... Akhirnya beliau bilang gini ke saya: Mad, aku ini sekarang posisinya sudah menjadi DPR RI, secara kedudukan, saya sudah punya jabatan, secara finansial walaupun tidak kaya-kaya banget, tapi sudah bisa dikategorikan termasuk yang terkaya di antara keluarga. Jadi saya ingin meraih jabatan bupati ini bukan karena mengejar jabatan dan bukan karena mencari uang....”353
Praktik oligarki Fuad lainnya tercermin saat Fuad Amin pindah dari PKB ke Gerindra. Kepindahannya pun sebetulnya hanya sekadar alasan pragmatis semata dari pada alasan ideologis. Alasan ini sebetulnya tidak dapat terhindari dari ketokohan Prabowo dengan pundi harta kekayaan yang besar. Dengan menguasai Gerindra, maka kucuran dana dari tingkat atas akan sayang bila tidak segera dia
352
Dalam sebuah diskusi dengan Jeffrey Winters di UI pada 10 Desember 2015. Setelah menghadiri acara seminar Benedict Anderson “Anarkisme Dan Nasionalisme” 353 Wawancara Pribadi dengan AAR.
246
gapai.354 Atau, dengan kemenangan Prabowo sebagai Presiden misalnya, maka hal ini dapat membantu mengamankan posisi Fuad di Bangkalan.355 “......Nah, ketika 2012 ini karena memang dianggapnya Gerindra ini luar biasakan, Prabowonya ini luar biasa secara materi istilahnya, ya si Fuad ini malah membuang PKB-nya, Gerindra dipegang. Dengan harapan Prabowo bisa jadi presdiden. Jadi itu, tujuannya hanya untuk mengamankan posisinya itu aja. Sangat pragmatis, dan itu kasat mata sekali.”356 “Ya karena dia melihat uangnya Prabowo banyak. Dia gak ada istilah mikir partai itu. Yang mikir itu dia mikir pribadi. Jadi apa yang saya dapat dari langkah saya, saya akan pergi.”357
Di samping itu, untuk memelihara jaringannya, Fuad tidak urung untuk memberikan insentif material berupa proyek-proyek pembangunan dan lain sebagainya. Pokoknya Fuad akan membagi-bagikan proyek kepada para orang dekatnya supaya loyalitas mereka tetap terjaga. Anehnya, meskipun proyekproyek tersebut Fuad Amin berikan kepada para klien, kroni, dan kerabatnya, tapi Fuad akan tetap memberlakukan pajak setoran atas proyek yang didapat. Jadi sekalipun adanya insentif timbal balik yang sama-sama saling mereka berikan; Fuad untuk kepentingan politiknya, dan kroninya mendapatkan imbalan materil, tidak lantas menjadikan kroni Fuad menikmati jatah tersebut secara full, karena mereka pun masih tetap harus membayar setoran dan potongan-potongan lainnya yang diwajibkan oleh Fuad Amin kepada diri mereka.358 “Contoh misalnya ketika saya sebagai seorang dekat bupati, kalau di kabupaten lain, mendapatkan proyek, mungkin seandainya harus ngasih uang terimakasih kan ndak besar, kalau di sini, bisa berkali-kali. Sebelum dapat dia sudah harus ngasih, setelah dapat proyek ngasih lagi, setelah selesai masih dimintai lagi. Nah tapikan gini, untuk orang lain yang tidak
354
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 356 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 357 Wawancara Pribadi dengan MH. 358 Wawancara Pribadi dengan AAR. 355
247
terbangun koneksinya itu begitu sulitnya untuk mendapatkan itu, tapi untuk yang lingkaran ini mudah untuk mendapatkan itu.”359
Selain itu, keserakahan Fuad dalam mengekploitasi segala sumber daya ekonomi yang ada di Bangkalan tergambarkan lewat beragamnya setoran yang mesti ia dapat. Salah satunya misalnya lewat pengerjaan proyek-proyek pembangunan dan fee-fee dari hasi penjualan tanah di sekitaran Suramadu. Karena kebengisannya itu, tak ayal jika FHR, aktivis di Bangkalan menyebutnya sebagai perampok darah dingin.360 Bahkan berdasarkan JPU KPK, Pulung Rinandoro, harta kekayaan yang dimiliki oleh Fuad Amin tidak sesuai dengan gaji dan penghasilan resmi yang diterimanya selaku pejabat daerah, baik dalam kapasitasnya sebagai bupati mapun ketua DPRD.361 Harta kekayaan Fuad tersebar dan disimpan dalam berbagai bentuk, misalnya saja “harta kekayaannya di
penyedia jasa keuangan yang
mencapai Rp 139,73 miliar dan 326,091 dollar AS, yang berupa pembayaran asuransi sebesar Rp 4,23 miliar, pembelian kendaraan bermotor Rp 7,177 miliar, dan pembelian tanah serta bangunan sebesar Rp 94,9 miliar.”362 L. Stagnasi Demokratisasi Parpol di Bangkalan Impak yang timbul dari adanya kekuasaan tunggal Fuad Amin di Bangkalan adalah hampir sama rupa dengan gambaran demokrasi di masa rezim orde baru. Dengan tindakan-tindakan koersif yang dilakukan, serta rasa takut yang ditebar
359
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan FHR. 361 Kompas.com, “Harta Kekayaan Fuad Amin Dianggap Tak Sebanding dengan Penghasilannya,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://nasional.kompas.com/read/2015/05/07/15511691/Harta.Kekayaan.Fuad.Amin.Dianggap.Tak .Sebanding.dengan.Penghasilannya 362 Kompas.com, “Harta Kekayaan Fuad Amin Dianggap Tak Sebanding dengan Penghasilannya,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://nasional.kompas.com/read/2015/05/07/15511691/Harta.Kekayaan.Fuad.Amin.Dianggap.Tak .Sebanding.dengan.Penghasilannya 360
248
oleh Fuad Amin, demokrasi seolah-olah hanya menjadi simbolisme prosedural belaka. Ketiadaannya jaminan kebebasan berpendapat, dan ancaman kekerasan yang selalu membayangi masyarakat, mengisyarakatkan paradoks rezim yang nyatanya lahir dari rahim demokrasi. Orde baru dan Fuad tentu berbeda, tapi segala macam bentuk praktek yang terjadi di dalamnya, seperti tindakan kekerasan, pembungkaman terhadap media, dan otoritas politik yang dimonopoli, cukup mengilustrasikan bahwa Fuad Amin adalah bagian dari Soeharto-soeharto baru di era yang juga baru. Pada masa kepemimpinannya di Bangkalan, demokrasi bukan malah diaplikasikan sebagai arena kompetisi yang terbuka – di mana setiap orang memiliki hak yang sama untuk memilih atau dipilih, dan menjamin ruang publik yang sehat, tapi nyatanya demokrasi menjadi ajang pembajakan elit yang diam-diam bersembunyi di balik jubah demokrasi itu sendiri. Tak terbantahkan, salah satu pilar demokrasi, partai politik, juga turut menjadi korban pembajakan serta desposifitas Fuad Amin beserta kroninya Ada dua kondisi yang erat dengan eksistensi dan tipologi partai politik di Bangkalan. pertama, partai politik mengarah semakin pragmatis, kedua partai politik menjadi ladang dominasi Fuad Amin. Bagaimana tidak, partai-partai politik yang ada di Bangkalan faktanya lamat-lamat disusupi dan akhirnya hanya berpatron kepada Fuad Amin. Fuad Amin bak seorang raja dengan kekuasaan yang tersebar di setiap partai politik. Tidak adanya kelompok oposisi dominan yang mengontrol jalannya pemerintahan selama kepemimpinan Fuad Amin selama dua periode berturut-turut, adalah bukti, fakta bahwa fungsi-fungsi partai tidak berjalan.
249
Penempatan orang-orang Fuad Amin di partai tertentu, dan sering berpindahnya Fuad Amin dari satu partai ke partai lain tentu merupakan bajakisasi atas nilai-nilai demokrasi yang semestinya ada pada tubuh partai politik di Bangkalan. Apalagi dominasi keluarga bani kholil, keluarga Fuad, banyak mendiami dan bahkan tak jarang, mereka adalah elit, para petinggi dari tubuh partai politik yang bermacam-macam. Kontan hal ini telah menjadikan fungsi partai sebagaimana yang disebut oleh Roy C. Macridis, seperti fungsi “representasi, konversi dan agregasi, integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi), persuasi, represi, rekrutmen, pemilihan kebijaksanaan dan kontrol terhadap pemerintah”363 tidak berjalan. Dalam realitanya, perpindahan Fuad Amin ke beberapa partai politik telah terjadi selama dua kali, atau dia pernah duduk di tiga partai politik yang berbedabeda. Adanya perpindahan-perpindahan itu juga tidak pernah menghentikannya untuk selalu mendapatkan posisi tertinggi atau tempat paling istimewa di tubuh partai yang bersangkutan, yakni dalam kapasitasnya sebagai ketua DPC. Partaipartai tersebut di antaranya PPP, PKB, dan yang terakhir adalah partai Gerindra. Perpindahan pertamanya dari PPP ke PKB masih dalam kerangka alasan yang logis, karena embel-embel ideologi masih menjadi alasan yang melatarbelakangi kepindahan tersebut. Dipilihnya PKB tidak terlepas dari spirit partai yang merepresentasikan ideologi NU. Dan Fuad Amin merupakan orang yang juga dibesarkan dalam keluarga yang secara kultur memegang tradisi ke-NU-an yang amat kental. 363
Roy C. Maridis, “Sejarah, Fungsi, Dan Tipologi Partai Politik: Suatu Pengantar,” dalam Ichlasul Amal, ed., Teori-teori Mutakhir Partai Politik (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2012), h. 29.
250
Perpindahan Fuad Amin dari PPP ke PKB sebetulnya tidak terhindar dari kebijakan NU secara nasional. Karena partai NU yang dulu pernah eksis, sempat menjadi korban kebijakan fusi partai yang diinisiasi oleh Soeharto. Partai NU dan partai-partai politik lainnya yang secara garis kepartaian berasaskan ideologi keislaman, digabung ke dalam PPP. Sedang partai-partai nasionalis digabung ke dalam partai PDI. Setelah Soeharto tumbang, dan Habibie membuka kebijakan bagi pendirian partai yang lebih terbuka, NU akhirnya menjadi embrio bagi kelahiran partai-partai politik yang baru, salah satu yang paling dominan di antaranya adalah PKB. Karena alasan inilah akhirnya Fuad Amin pun turut dalam perpindahan ke PKB tersebut. Sebab sewaktu Fuad duduk sebagai anggota partai PPP, posisi Fuad di dalam hanya sekadar menggantikan posisi ayahnya, Kiai Imron, yang lebih dulu meninggal dunia.364 Sementara perpindahan Fuad Amin dari PKB ke Gerindra
tidak lebih
dilatarbelakangi dua alasan pragmatisme semata. Pertama Fuad sudah merasa yakin bahwa tanpa PKB, tanpa embel-embel partai yang membawa pengaruh nama kiai sekalipun, Fuad sudah merasa mampu menguasai Bangkalan dan mendulang simpati masyarakat. Apalagi dalam internal tubuh PKB Bangkalan sendiri terdapat kader partai yang berasal dari satu keluarga bersama Fuad, sehingga mudah bagi dirinya untuk mentransmisikan segala kepentingannya di partai tersebut. Faktor yang kedua, adalah karena ketokohan Prabowo yang terkenal sebagai oligark tingkat nasional, dengan kepemilikan dana yang melimpah.
364
Wawancara Pribadi dengan AAR.
251
“............. kan prabowo itu dari awal menjanjikan bahwa partai gerindra ini partai dengan pendanaan yang sedemikian besar sehingga siapapun yang mencalonkan akan dapat suplay dana sekian, sekian, sekian, nah dia dengar uang yang sekian banyak itu loh ngunyah wah ini kalau enggak dijemput kalau bukan aku ketuanya nanti malah lari ke yang lain. Wah ini kesempatan ini, mungkin.”365
Fenomena pragmatisme partai politik di Bangkalan faktanya memang sudah terjadi di masa-masa awal pasca reformasi. Kondisi ini tergambar jelas saat partai PDI mengusung dua calon di pilkada tahun 2003. Saat itu PDI mendudukan dua kadernya di kandidat pasangan yang saling berlawanan. Satu kadernya disandingkan sebagai wakil Fuad Amin, Yakni Mohammad Dong, dan satu kader lainnya dipasangkan dengan Ir. Sulaiman, yakni Sunarto.366 Selain pragmatisme politik seperti yang dipaparkan sebelumnya, kondisi stagnasi demokratisasi parpol di Bangkalan juga disebabkan karena dominasi Fuad yang terlanjur merangsek ke setiap penjuru tubuh partai. Yang akhirnya menyebabkan kaderisasi tidak berjalan dengan sehat. Sebab Fuad menjadi satu-satunya simbol kekuatan yang bebas menentukan siapa saja orang-orang yang layak untuk dijadikan ketua partai. Gambaran bahwa kaderisasi partai politik di Bangkalan menjadi stagnan terlihat jelas dengan keterlibatan Fuad Amin dalam setiap momen pemilihan ketua DPC Partai Politik. Fleksibilitas dan dinamika partai menjadi semakin restriktif. Hal ini dapat dilihat dari keaktifan Fuad untuk mengawal jalannya kongres di tiap-tiap partai. Kedatangan Fuad Amin ke beberapa acara kongres DPC partai politik biasanya dilakukan apabila peluang bagi kemenangan klien politiknya di tubuh partai yang dimaksud sangat resisten untuk jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bisa dia kendalikan. Karenanya, dia terjun langsung untuk ikut 365 366
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
252
mengontrol kelangsungan dinamika partai politik tersebut. Satu kasus ini pernah terjadi saat DPC Hanura mengadakan kongres pemilihan bagi ketua DPC yang baru. Idealnya seorang Bupati yang diundang untuk menghadiri kongres hanya hadir untuk membuka jalannya acara, tapi Fuad Amin malah sebaliknya, dia justru hadir di waktu berlangsungnya acara pemilihan.367 Dalam hal tersebut amat jelas, bahwa Fuad Amin memiliki kepentingan untuk memenangkan dan menaruh orang-orangnya agar berhasil di pencalonan ketua DPC. “Heeuh, Yang kira... Pokoknya misalnya ada rivalitas waktu pemilihan itu antara si A dengan si B, sementara yang diplooting oleh pak Fuad itu si A. Dan si B ini punya posisi kekuatan yang bisa mengalahkan, nah ini biasanya ya langsung didatangi untuk membunuh peluang si B ini.”368
Maka tak heran bila kebanyakan ketua DPC partai politik yang ada di Bangkalan diketuai oleh orang-orang yang secara politik berafiliasi kepada Fuad Amin. Sampai kemudian ada istilah yang menyebut bahwa seluruh partai politik yang ada di Bangkalan adalah partai PPP, Partai Pendukung Pendopo. Yang mengkonotasikan bahwa seluruh partai politik di Bangkalan sudah berada di bawah genggamannya Fuad.369 Sistem patronase kepartaian di Bangkalan faktanya memang ditujukan kepada sosok Fuad seorang. Dengan menguasai seluruh partai politik yang ada di Bangkalan, hal ini pada akhirnya menjadikan Fuad Amin sebagai broker politik berpengaruh di tingkat lokal. Pengaruh ini setidaknya menstimulus para elit bahwa kesuksesan bagi kepentingan politik apapun di Bangkalan, harus melewati dan mendapat restu dari Fuad Amin, selaku pemegang otoritas tunggal di dalamnya. Maka tak heran bila kemudian banyak
367
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 369 Wawancara Pribadi dengan AAR. 368
253
dari para elit nasional atau provinsi yang memilih untuk merekatkan hubungannya dengan Fuad Amin. Dengan menjalin hubungan bersama Fuad Amin, mereka dapat menjaga kepentingan politiknya di Bangkalan. Fakta bahwa Fuad Amin seringkali terlibat sebagai broker politik tergambarkan dari keberadaan statusnya sebagai tim sukses kemenangan bagi pasangan karsa di pilgub jatim dan pasangan presiden-wakil presiden prabowo-hatta saat pilpres.370 Proses pemenangan yang dilakukan oleh Fuad pada pilgub jatim dengan dukungan yang dia berikan kepada pasangan calon Karsa (Soekarwo – Saifullah Yusuf) ataupun saat pilpres pada pasangan calon Prabowo - Hatta pun faktanya tidak menghilangkan tindak tanduk kecurangan yang sudah sering dia lakukan sebelumnya. Bahkan pada pilgub jatim yang dihelat tahun 2008 itu mengharuskan diadakannya pencoblosan ulang di Bangkalan karena diindikasikan banyak terjadi pelanggaran dan kecurangan.371 Kejadian yang lebih mengejutkan lagi mengenai campur tangan Fuad sebagai broker politik lokal adalah saat pasangan Jokowi-JK, yang hanya mendapatakan nol persen suara di 20 TPS yang ada di Bangkalan.372 Penggembosan suara ini tidak terlepas dari jaringan kepala desa yang Fuad kerahkan untuk memenangkan pasangan calon Prabowo-Hatta.373 Menurut AAR, yang lebih aneh lagi adalah
370
Abdur Rozaki, “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura,” (Disertasi Program Studi Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015), h.163. 371 suaramerdeka.com, “Karsa Konsolidasi, Kaji Ubah Tim Sukses,” berita ini diakses dari http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/12/04/42211/Karsa-KonsolidasiKaji-Ubah-Tim-Sukses pada tanggal 26 Februari 2016. 372 Tempo.co, “Nol Suara 20 TPS, Tjahjo Kumolo Turun ke Bangkalan,” berita diakses dari https://www.tempo.co/read/news/2014/07/16/269593520/nol-suara-20-tps-tjahjo-kumolo-turunke-bangkalan pada tanggal 26 Februari 2016. 373 Tribunnews.com, “Boni Hargens: Kepala Desa Diancam Bikin Suara Jokowi-JK di Bangkalan Nol,” berita ini diakses dari http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/07/16/boni-
254
keberadaan PDI sebagai partai pengusung pasangan Jokowi-JK yang ada di Bangkalan, di mana mereka tidak mempersiapkan kegiatan apapun untuk memenangkan calon yang diusung oleh partainya sendiri. Sehingga memberikan kesan bahwa mereka ikut terlibat dalam penggelembungan suara pasangan Prabowo-Hatta yang dilakukan oleh Fuad Amin.374 “Ada sekitar 20 TPS yang seperti itu. Ya jelaslah itu campur tangan. Karena jangankan di Bangkalan ini (katakan) jokowi, itu diusung oleh PDIP, tapi PDIP sendiri sama sekali tidak mempersiapkan acara apapun untuk kemenangan jokowi di sini. Bahkan PDIP ini terkesan membantu penggelembungan suara prabowo.”375
Nyatanya Fuad Amin adalah orang yang pandai untuk memberikan pengaruhnya bukan saja kepada elit, tapi juga kepada masyarakat. Kepada elit, Fuad Amin seolah-olah mengklaim bahwa seluruh masyarakat Bangkalan berada di bawah dominasinya, sehingga apabila ada tindakan-tindakan Fuad Amin yang dipermasalahkan oleh elit dan aparat hukum misalnya, hal ini tentu akan berbahaya, karena akan memancing kemarahan serta emosi masyarakat yang berada di bawah pengaruhnya. Begitu pun sebaliknya, kepada masyarakat, Fuad Amin seolah-olah ingin menggambarkan bahwa dirinya adalah orang yang memiliki jaringan elit
yang luas, sehingga kesewenang-wenangan dan
penyimpangan apapun yang dia lakukan tidak akan pernah tersentuh hukum sama sekali. Maka segala pelaporan tentang penyimpangan-penyimpangan yang dia lakukan oleh masyarakat hanya akan berakhir sia-sia. Dengan tidak adanya aturan hukum yang sanggup menghentikan tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh
hargens-kepala-desa-diancam-bikin-suara-jokowi-jk-di-bangkalan-nol pada tanggal 26 Februari 2016. 374 Wawancara Pribadi dengan AAR. 375 Wawancara Pribadi dengan AAR.
255
Fuad Amin, maka akhirnya berkembang mitos di masyarakat bahwa Fuad Amin adalah orang yang sakti dan tidak sembarangan.376 Mitos-mitos ini kemudian direproduksi secara massal dan menjadi hidangan mencekam di masyarakat. Secara institusi, partai politik di Bangkalan kadung tidak berdaya dalam menghadapi segala cengkeraman Fuad Amin. Partai dan kader di dalamnya memang sudah berada dalam dominasi Fuad seluruhnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh MMD yang mengatakan: “Enggak ngerti itu. Dia itu langsung bisa nyetir begini begitu, partai ini bisa disetir sama dia, orangya bisa disetir sama dia.”377
Cengkeraman inipun tidak terhindar dari rata-rata kader partai yang ada di Bangkalan yang diisi oleh keluarga besar bani kholil dan Fuad Amin. Banyaknya dari pihak keluarga yang terjun ke dunia politik, menurut Syukur, kira-kira jumlahnya hampir mencapai 10 orang. Mereka duduk dan tersebar di beberapa partai. Salah satu diantaranya ada di partai PAN (Makmun Ibnu Fuad), PKB (Syafi Rofii dan Mundzir Rofii), Gerindra (Fuad Amin sendiri), PPP (Ra Latief), adapun partai yang masih keluarga besar tapi bertentangan dengan Fuad Amin adalah Nasdem (Imam Bukhori Kholil). Partai yang tidak memiliki ikatan keluarga sama sekali dengan Fuad Amin adalah PDI-P.378 Tapi belakangan Partai PDI pun disusupi oleh Fuad Amin lewat orangnya, yakni Faturahman. Perjalanan geo politik di Bangkalan yang tidak terlepas dari pengaruh keluarga bani kholil sudah dimulai pada tahun 2003. Dengan sosok awal yakni Fuad Amin sendiri. Terus di pilkada kedua tahun 2008, lagi-lagi Fuad Amin, tapi
376
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan MMD. 378 Wawancara Pribadi dengan SYK. 377
256
kali ini dengan wakilnya Syafii Rofii yang juga berasal dari keluarga bani kholil. Terus pada pilkada 2012, muncul Bupati baru Makmun ibnu Fuad, dia adalah putra Fuad Amin, yang meneruskan jenjang kekuasaan ayahnya. Pada masa yang sama pula, wakil dari Makmun Ibnu Fuad adalah Mundzir Rofii, yang juga masih dari keluarga bani kholil. Dia dalah adik wakil bupati sebelumnya, Syafii Rofii. Jadi, dari ketiga pilkada yang dihelat, kesemuanya dikuasai oleh keluarga bani Kholil, dengan Fuad Amin sebagai corong utama. Bagaimana kemudian partai akan melahirkan kader-kader potensial berintegritas tinggi jika seluruh kekuasaan politik didominasi oleh satu penguasa tunggal dari keluarga yang sama. Karena keputusan apapun yang menyangkut soal politik, ada di bawah kuasa dan kendali Fuad Amin sepenuhnya. Tidak ada satu pun keputusan politik yang berada di luar intervensinya. Sebab demokrasi sudah lebih dulu disusupi oleh praktikpraktik KKN Fuad beserta para kroninya. Dengan melihat sejarah kepartaian di Bangkalan selama 3 periode berturutturut kepemimpinan pasca desentralisasi, sebetulnya eksistensi partai penentang dominasi Fuad pernah hadir pada tahun 2009 dan tahun 2014. Tapi itu pun jumlahnya tidak banyak, karena seluruh partai memang dibuat tidak berkutik oleh dominasi Fuad Amin. Adanya partai penentang tersebut pun tidak terlepas dari keberadaan Imam Bukhori Kholil sebagai tokoh kunci di dalamnya, politisi yang konsisten melawan dominasi Fuad mulai dari pertengahan kepemimpinan Fuad di periode pertama sampai sekarang. Pada 2009, yang menjadi partai oposisi adalah PKNU, sedangkan di tahun 2014 adalah Nasdem. Karena pada tahun 2014, Imam Bukhori Kholil pindah dari PKNU ke Partai Nasdem.
257
“........Ternyata pada tahun 2009 masih ada PKNU yang, yang lepas dari dia gitu kan. Ada yang lepas yang dari dia. Dan ketika 2014 kemarin, ada yang lepas dari dia itu suara suaranya partai nasdem gitu kan......”379
Selain itu, maraknya calon boneka dalam setiap pemilu yang dihelat di Bangkalan, juga mendeskripsikan betapa ideologi partai politik memang sudah sangat cair. Penuh kebohongan. Dan yang terpenting, loyalitas para kader partai politik, nyatanya lebih besar kepada Fuad Amin, ketimbang kepada ideologi partainya sendiri. Munculnya calon boneka ini sudah terendus pada pilkada 2008 dan pilkada 2012. Di pilkada 2008, bahkan ada dua calon boneka yang muncul. Pertama pasangan Hamid-Hosyan, terus yang kedua, Razak Hadi. Razak Hadi sendiri adalah calon wakil bupati yang dipasang dengan Muhamad Dong. Meskipun Muhamad Dong bukan calon boneka, tapi pendamping bagi wakilnya (Razak Hadi) adalah orang-orangan yang sekaligus keluarganya Fuad Amin dan bayang-bayang yang sengaja ditaruh oleh Fuad Amin. Bahkan, anehnya, kekalahan Muhamad Dong pada pilkada 2008, yang waktu itu didukung oleh PDI, pun tidak serta merta lalu menjadikan PDI menjadi partai oposisi di parlemen. Fenomena ini juga sedikit menggambarkan bahwa konsistensi kepartaian dalam mendukung calon dan atau menjadi oposisi pemerintahan itu tidak terjadi. Bahkan saat pencalonan Madong di pilkada 2008 ada indikasi yang mengarah pada ketidaksolidan PDI sebagai partai pengusung untuk memenangkan saudara Madong itu sendiri.380
379 380
Wawancara Pribadi dengan FHR. Wawancara Pribadi dengan AAR.
258
M. Intimidasi dan Strategi Ketergantungan Kepala Desa Blater dan kepala desa ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Mayoritas kepala desa yang ada di Bangkalan dijabat oleh orang-orang yang berasal dari kalangan blater. Penjelasan ini sesuai dengan apa yang telah diterangkan oleh Migdal, bahwa orang kuat lokal merupakan elemen kunci yang memberikan kesan bahwa merekalah tumpuan hidup bagi masyarakat setempat. Orang kuat lokal menjadi semacam ikon bagi keberlangsungan hidup masyarakat yang sudah bertahun-tahun berada di bawah dominasinya. Karena terlanjur amat mengakarnya kekuatan informal ini, pada akhirnya, setelah demokrasi pemilihan secara terbuka dilangsungkan pada sektor desa sekalipun, mau tidak mau, masyarakat akan lebih memilih mereka ketimbang calon-calon lainnya. Menurut FHR, usaha untuk membawa calon alternatif dari kalangan intelektual terdidik ke tingkat desa pun selalu gagal. Mereka selalu kandas di pemilihan, sebab basis sosial para blater sudah begitu kuat di internal desa.381 Sumber kekuasaan yang Fuad Amin miliki, selaku kapasitasnya sebagai kepala daerah, pada kenyataannya tidak hanya dijadikan alat untuk menguasai sumber-sumber ekonomi strategis, tetapi kerapkali juga dia gunakan untuk segala kepentingan-kepentingannya yang berbasis politik. Sebagai kepala daerah, otomatis Fuad Amin memiliki wewenang dan otoritas dalam mengelola aparat birokrasi di sekitarnya, seperti untuk melanggengkan kekuasaan politik misalnya, baik untuk dirinya maupun kroni-kroni pilihannya, Fuad kerapkali melibatkan jaringan kepala desa di lingkungannya untuk memonopoli dukungan bahkan
381
Wawancara Pribadi dengan FHR.
259
memainkan formulir C-1 KPU dalam setiap momen-momen politik di Bangkalan. Dari 281 jumlah kepala desa yang ada, terhitung hanya 80 di antaranya yang merupakan para kepala desa yang berani vokal kepada Fuad Amin “.............Iya memang ya, setelah saya selidiki, memang iya itu, 80 cuma itu aja yang memang yang bisa vokal dan bisa katakanlah bebas, gak mesti punya beban kaya kita ini.”382
Loyalitas yang datang dari kepala desa ini muncul dengan dua cara sekaligus. Cara pertama yaitu dengan adanya strategi bagi pelanggengan masa jabatan kepala desa melalui SK PJS yang dikeluarkan, cara kedua yaitu dengan mengintimidasi kepala desa itu sendiri.383 Mengenai cara pertama, yaitu dengan melakukan perpanjangan-perpanjangan masa PJS kepala desa ini bahkan tertuang dalam perda pemerintah daerah Bangkalan nomor 7 tahun 2006. Adapun inti dari perda tahun 2006 ini adalah bahwa pengaturan bagi setiap proses pengangkatan, pemberhentian, dan pemilihan kepala desa bukan berada di bawah naungan dan tanggung jawab BPD, melainkan di bawah kendali Fuad Amin sepenuhnya. Bahkan soal penentuan hari pemilihan dan pembukaan pendaftaran bagi pencalonan kepala desa juga berada di bawah kontrol Fuad Amin.384 Otoritas Fuad Amin yang dominan dalam mengendalikan jalannya perda tentu berdampak pada netralitasnya selaku seorang Bupati. Karena dengan kekuasaan sepenuhnya di bawah kendali Fuad, maka bisa saja sewaktu-waktu Fuad mengadakan pemilihan di desa tertentu apabila kepala desanya bukan bagian dari klien yang mendukungnya. Atau dengan adanya kekuasaan penuh atas diri 382
Wawancara Pribadi dengan FAU. Abdur Rozaki, “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura,” (Disertasi Program Studi Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015), h. 153-156. 384 Wawancara Pribadi dengan FHR. 383
260
Fuad Amin tersebut, bisa saja kepala desa yang bersangkutan meminta untuk selalu
diperpanjang
masa
PJS-nya
dengan
kompensasi
politik
yang
menguntungkan bagi Fuad Amin. Sebab dalam peraturan yang mengatur sistematika PJS, PJS masih belum diambil dari PNS, melainkan masih diambil dari kepala desa lama.385 “.........Karena pada waktu itu masih belum ada aturan pjs itu pns. Ketika ini adalah pjs, maka otomatis menjadi bahan gali dekat kira-kira seperti itu dengan pak fuad atau sistem pemerintahan kabupaten Bangkalan, dan ini menghadang dan melakukan lobi-lobi dan lain sebagainya dengan kepada pak fuad. Dengan faktor x dan lain sebagainya, sehingga apa, proses pelaksanaan pilkades ini akan sampai dua tahun tiga tahun tidak pernah selesai.”386
Adanya perpanjangan masa PJS melalui SK bupati ini tak lain dimaksudkan agar ketergantungan mantan kepala desa kepada bupati bersifat tetap dan akan terus ada. Dalam perda ini, wewenang Fuad Amin sebagai bupati sangat besar. BPD (Badan Permusyawaratan Desa) tidak memilik hak politik untuk mengatur seluruh kebijakan terkait pemilihan kepala desa. Kewenangan BPD dan fungsinya sebagai institusi pemerintah di tingkat bawah nyatanya telah dikooptasi sedemikian rupa oleh Fuad Amin. “........ Nah kalau perda yang nomor 7 ini adalah mengatur tentang proses pengangkatan, pemberhentian dan pemilihan kepala desa. Di dalam perda itu tentang pemilihan kepala desa ini pada waktu itu itu ya, wong yang membentuk panitia itu adalah kan BPD, maka menjadi keharusan pula bahwa yang memberikan SK tentang kepanitiaan pemilihan kepala desa itu kan seharusnya BPD juga, kalau dalam hal ini bukan, malah yang memberikan SK ke perda tentang panitia pemilihan kepala desa ini adalah pak bupati pada waktu itu, dalam hal ini fuad amin gitu kan........”387
Sebagaimana yang diakui oleh Fahrillah, selaku ketua panitia pelaksana pemilihan kepala desa di desa Sasad pada tahun 2008, pada dasarnya perda nomor 7 tahun 385
Wawancara Pribadi dengan FHR. Wawancara Pribadi dengan FHR. 387 Wawancara Pribadi dengan FHR. 386
261
2006 sarat dengan kepentingan politik Fuad Amin. Karena seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pemilihan kepala desa telah dikooptasi sepenuhnya di bawah kendali Fuad. “.....Karena tahun 2008 kan saya euh..salah satu panitia pelaksana mas, panitia, ketua panitia pelaksana pemilihan kepala desa di desa Sasad, jadi saya tahu betul gitu loh prosesnya itu kaya apa bahwa di dalam perda itu ini hanyalah memang dipasang pasalnya begini untuk kepentingan siapa, itu saya tahu betul. Jadi pada tahun 2010 itu ya, iya 2010, ada high itu saya mengatakan pada waktu itu ini perlu direvisi gitu kan. Ini yang perlu diginiginikan, ini kalau dipasang tetap ini maka euh..proses pelaksaan pilkada tidak akan pernah lancar karena segala sesuatunya ini semuanya tergantung pada pak fuad pada waktu itu selaku bupati.”388
Faktanya Fuad Amin tidak akan memberikan SK pemilihan untuk memilih kepala desa baru di desa tertentu apabila kepala desa yang bersangkutan menunjukan loyalitas kepada dirinya. Fuad Amin cukup mengeluarkan SK PJS atas kepemimpinan kepala desa lama sampai batas waktu yang tidak menentu. Tetapi apabila yang terjadi justru sebaliknya, loyalitas kepala desa lama kepada Fuad Amin itu menurun atau bahkan hilang, maka Fuad Amin akan sesegera mungkin mengeluarkan SK untuk diadakannya pemilihan kepala desa baru di desa tersebut. Dengan ketentuan waktu yang tidak terbatas, wajar bila masa jabatan kepala desa bahkan ada yang sampai mencapai puluhan tahun. Karena jika di jaman sebelum Fuad Amin menjabat dilakukan pemilihan kepala desa dengan batas masa jabatan waktu per satu periode itu 8 tahun, otomatis masa jabatannya akan menjadi 16 tahun jika dia terpilih kembali untuk periode selanjutnya. Tapi setelah Fuad Amin membuat aturan tentang pemilihan kepala desa baru dengan adanya
388
Wawancara Pribadi dengan FHR.
262
pemanfaatan kepala desa melalui mekanisme SK PJS yang tak menentu, maka masa jabatan mereka akan terus bertambah sampai puluhan tahun. “Dan juga selain itu apa namanya adalah ada di Bangkalan itu pemilihan ada kepala desa yang menjabat berulang-ulang kali tapi tanpa pemilihan dalam hal ini pjs, ada yang 30 tahun, ada yang 20 tahun, ada yang 50 tahun, kepala desa-nya ya ya itu aja.”389
Karena aturan perpanjangan kepala desa yang tertera dalam perda adalah setiap enam bulan sekali, maka SK-SK perpanjangan bagi masa kepemimpinan PJS akan selalu diperbaharui dalam kurun waktu itu. Biasanya perpanjangan SK ini dikoordinir oleh KASI Pemerintahan, dalam hal ini BAPEMAS, lewat pemberitahuan terlebih dulu dari pihak kecamatan.390 Karena posisi PJS sendiri dipegang oleh kepala desa sebelumnya, maka hal ini seringkali menjadi kepentingan dari kepala desa yang bersangkutan. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, terkadang mereka sendiri yang menghadap kepada Fuad Amin, meminta agar diperpanjang masa PJS-nya. Dengan imbalan kesiapannya untuk menjadi klien bagi kepentingan politik Fuad Amin di tingkat desa. Sebagaimana diungkapkan oleh salah satu kepala desa di Bangkalan, FAU, bahwa keberadaan PJS Kepala Desa itu sangat berpengaruh. Dan adanya PJ ratarata dipegang oleh kepala desa sendiri. “PJ kalau di Bangkalan, saya bicara Bangkalan ya, saya bicara Bangkalan memang sangat berpengaruh. Artinya begini, PJ kebanyakan dipegang oleh kepala desa sendiri kebanyakan, yang sudah menuturkan menjadi kepala desa tetap menjadi kepala desa, akhirnya dijabat oleh kepala desa itu sendiri, kebanyakan seperti itu.”391
389
Wawancara Pribadi dengan FHR. Wawancara Pribadi dengan FAU. 391 Wawancara Pribadi dengan FAU. 390
263
Proses PJ dengan dipegang langsung oleh mantan kepala desa inipun memiliki syarat-syarat tertentu, satu syarat yang terpenting adalah apbila keadaan di desa yang bersangkutan itu kondusif. Kondusif sendiri memiliki pengertian yang luas. Pengertiannya tidak hanya sebatas di permasalahan stabilitas keamanan dan pembangunan, tetapi juga dapat diartikan sebagai konstannya stabilitas kepatuhan yang ditunjukan oleh para kepala desa lama untuk mengikuti arul perintah Fuad Amin. “........kebanyakan PJ itu dipegang kepala desa sendiri. Tapi kalau di desa itu kondusif, dengan catatan kalau di desa itu kondusif, kalau di desa itu tidak kondusif, ya tetap PJ itu dipilih. Bukan ditentukan tapi dipilih oleh BPD, BPP, perangkat desa, dan tokoh masyarakat. Jadi proses PJ itu, yang PJ-nya tetap kepala desa itu kalau keadaan desa itu kondusif.”392
Menurut pengakuannya pula, seluruh kepala desa yang ada di Bangkalan pasti akan tunduk dan patuh kepada Fuad Amin. Jika ada kepala desa yang tidak patuh dan tidak tunduk dengan perintah Fuad, maka Fuad akan menggantinya dengan mengadakan pemilihan kepala desa baru di desanya. “...............Kepala desa itu kebanyakan kalau pas (masih) kepemimpinannya Fuad Amin, memang (sedikotawu) jadi apa kata kanjeng gitukan seperti itu. Jadi kalau kepala desa yang sampai melanggar atau tidak memenuhi aturan yang ditentukan oleh kanjeng waktu itu, katakan saya bilang kanjeng ya, itu kebanyakan ya (bukan dipermasalahkan) tapi kebanyakan diganti atau cepat dipilih. Kalau memang kepala desa itu kondusif dan mengikuti (dalam artian bukan saya mengikuti), cuma dilihat dari situasinya, kalau kondusif tidak diapa-apain, tetaplah seperti itu, karena dia kondusif. Kalau tidak kondusif, fifty-fifty, separuh ke dia separuh ke orang itu dipilih.”393
Kebanyakan keberadaan antar kepala desa di Bangkalan berasal dari satu keluarga dekat. Dalam satu wilayah kecamatan misalnya, antar desa di dalamnya, mayoritas diisi oleh para kepala desa yang masih memiliki satu ikatan keluarga.
392 393
Wawancara Pribadi dengan FAU. Wawancara Pribadi dengan FAU.
264
Dengan adanya ikatan famili di antara mereka, maka kondusifitas di banyak desa dapat dengan mudah diwujudkan . “Saya kira. Kalau di kecamatan saya rata-rata kondusif. Karena klebunnya familiar memang, ada hubungan familiar. Maksudnya begini, di antara kepala desa itu ada hubungan famili, baik yang satu dengan yang lain. kalau tidak famili kadang besan seperti itu. Ya jadi kondusif. Kalau di desa lain di tempat lain banyak itu seperti halnya di tanjung bumi, atau kecamatan yang lain sepulu, klampes, kobonyar, tanean sebagainya itu pasti ada famili yang kalau memang tidak kondusif dirasa tidak menguntungkan terhadap kepemimpinan beliau, ya sudah.”394
Dengan demikian, kemunculan perda nomor 7 tahun 2006, merupakan ajang bagibagi insentif baik untuk kepentingan politik Fuad Amin maupun untuk kelanggengan masa jabatan PJS mantan kepala desa itu sendiri. Ketertarikan para kepala desa untuk terus menerus menjabat sebagai PJS ini tentu tidak terhindar dari imbalan materil melalui pengerjaan proyek-proyek pemerintahan di tingkat desa. “......... maka jika orang yang salah satu incumbent semisalnya, yang tidak ingin kepala desanya, desanya dipilih dalam pilihan kepala desa, nah itu satu, maka incumbent ini kan pada waktu itu sebagai pjs. Karena pada waktu itu masih belum ada aturan pjs itu pns. Ketika ini adalah pjs, maka otomatis menjadi bahan gali dekat kira-kira seperti itu dengan pak fuad atau sistem pemerintahan kabupaten Bangkalan, dan ini menghadang dan melakukan lobi-lobi dan lain sebagainya dengan kepada pak fuad. Dengan faktor x dan lain sebagainya, sehingga apa, proses pelaksanaan pilkades ini akan sampai dua tahun tiga tahun tidak pernah selesai.”395
Bahkan untuk mengkoordinir kepala desa di bawah kontrolnya, Fuad Amin membentuk AKD (Aliansi Kepala Desa). “Jadi pada waktu itu AKD ini kan memang dibangun kenapa ada AKD ini kan memang dibangun untuk kepentingan fuad. Dibentuk fuad amin. Yang dibentuk fuad amin gitu kan. Memang sengaja begitu......”396
394
Wawancara Pribadi dengan FAU. Wawancara Pribadi dengan FHR. 396 Wawancara Pribadi dengan FHR. 395
265
Meski di jaman Fuad Amin dilakukan pemilihan kepala desa sebagaimana umumnya, hanya saja hal itu tidak terlepas dari adanya intervensi yang dilakukan oleh Fuad Amin itu sendiri. Fuad Amin akan melakukan pemilihan kepala desa di desa tertentu apabila kepala desa di desa yang bersangkutan melakukan konfrontasi dengannya, tetapi jika tidak, maka yang akan dilakukan oleh Fuad Amin
justru
sebaliknya,
Fuad
Amin
akan
memberi
reward
dengan
memperpanjang masa jabatan kepala desa dengan SK PJS yang dia keluarkan.397 Bahkan sampai dengan adanya pemilihan para kepala desa secara serentak di Bangkalan tahun 2015, yang pada gelombang pertama diadakan pada tanggal 15 Bulan Juni 2015, dari 120 sekian pemilihan kepala desa yang ada, 50 persen pemilihannya hanya bersifat formalitas belaka. “.......... Di gelombang pertama kemarin itu kan pada tanggal 15 bulan juni gitu kan. Ada 120 sekian, lupa saya, di Bangkalan itu kan. Cuma itu pun dari 120 sekian ini kan tidak semuanya mas, maksudnya dari 120 sekian pemilihan kepala desa ini yang benar-benar menjadi pertarungan pemilihan kepala desa tidak lebih dari 50 persen, tapi yang 50 persen adalah hanya formalitas saja bahwa di desa itu semisalnya tidak ada orang yang ingin, yang ingin mencalonkan kepala desa gitu kan, hanya kepala desa lama. Jadi untuk ininya –”398
Adanya perda nomor 6 tahun 2007 yang banyak menguntungkan Fuad Amin itu bukan tidak menuai protes dari masyarakat. Penentangan-penentangan muncul dari kalangan aktivis setempat. Tapi lagi-lagi, adanya massa aksi demo yang menentang jalannya perda, dibalas oleh Fuad Amin dengan demo balasan yang lebih masif. Sementara demonstran yang menentang perda hanya berjumlah kurang lebih 30 orang, demo balasan Fuad Amin jumlahnya lebih besar. Hampir setiap kepala desa diperintahkan oleh Fuad Amin untuk mengutus 50 orang 397 398
Wawancara Pribadi dengan FHR. Wawancara Pribadi dengan FHR.
266
masyarakat sebagai aksi massa. Massa utusan Fuad Amin itu dimanfaatkan untuk menghadang para demonstran penentang yang akan melakukan protes. “........Yang 2010, akhirnya sampai, sampai melakukan demontrasi kan di Bangkalan dengan teman-teman dan kita demontrasi hanya 30 orang sekian gitukan, ternyata dari pihak pendopo pada waktu itu dengan kepala desa itu diperintahkan oleh fuad ini untuk membawa masyarakat paling sedikit 50 orang dari tiap-tiap desa.”399
Bahkan adanya aksi
yang menentang keberadaan perda itu sampai harus
memakan korban. Fahrillah selaku relawan aksi mengalami musibah pembacokan beberapa hari setelah menjalankan aksi protes. “........karena 10 hari atau bahkan 15 hari maksimal setelah itu, saya terjadi musibah yang dibacok itu.”400
Lahirnya loyalitas kepala desa kepada Fuad Amin selain dengan adanya ketergantungan SK PJS yang dia keluarkan, cara lainnya yaitu dengan mengintimidasi para kepala desa. Cara ini pun tidak terbebas dari permasalahan yang menyangkut pembagian proyek yang dikerjakan oleh Fuad Amin dan para klebun tersebut. Dari pembagian-pembagian proyek, Fuad Amin akan mencaricari letak kesalahan yang pernah dilakukan oleh kepala desa melalui adanya indikasi penyimpangan dan lain sebagainya. Dari kesalahan akan adanya penyimpangan yang dilakukan oleh kepala desa tersebut, tentu Fuad Amin akan menjadikannya sebagai pijakan untuk melakukan ancaman atas - tindakan melanggar hukum yang – disinyalir telah dilakukan oleh kepala desa yang bersangkutan. Karena Fuad Amin menyadari bahwa dengan menakut-nakuti dan melakukan ancaman-ancaman seperti itu otomatis para kepala desa akan merasa tak berkutik dan akan selalu melakukan apapun yang diperintahkan oleh Fuad.
399 400
Wawancara Pribadi dengan FHR. Wawancara Pribadi dengan FHR.
267
“Blaternya juga begitu, komunikasi dengan ini ini ini ini ini ini ini ini ini gitu kan, begitu. Dan kepala desa itu begitu juga. Misal proyeknya sekian gitu kan, euh SPJ-nya SPJ rapuh gitu kan, lah akhirnya dia digantung, kamu macam-macam, sistemnya fuad gitu. Misalnya mas, ini adalah kepala desa dikasih perhatian besar gitu kan, yang pertama dan yang kedua, kamu macam-macam, benar pertama kedua dikasihkan benaran semua, dengan prosedural. Tapi ketiga ke-empat sudah beda itu, kamu macam-macam, ini pelanggaran kamu, jadi apa yang terjadi, karena digantung dengan masalahnya sendiri akhirnya dia tunduk sama dia.”401
Dalam memanfaatkan jaringan kepala desa untuk kepentingan politiknya, biasanya Fuad Amin telah mempersiapkan segala sesuatunya jauh-jauh hari. Fuad Amin akan memanggil seluruh kepala desa enam bulan menjelang waktu pemilihan tiba. Jumlahnya 277 desa dan 4 kelurahan. Pemanggilan tiap-tiap kepala desa dilakukan dengan cara bergiliran berdasarkan teritorial kecamatan. Di pertemuan tersebut para kepala desa didoktrin dan diarahkan untuk dapat memenuhi segala ambisi politik Fuad Amin. Pertemuan biasanya dilakukan di pendopo atau di tempat khusus. Selanjutnya, pertiap bulan sekali akan diadakan pertemuan. Pertemuan tersebut memang sifatnya politis. Bila kedapatan ada satu kepala desa yang memihak ke pihak lain, maka Fuad Amin tidak segan-segan akan
mencekal
program-program
yang
ditujukan
kepada
desa
bersangkutan.402 “Begini, ya memang kalau waktu pemilihan itu kita kepala desa ini tidak bohong. Karena ini maaf ya. Jadi kepala desa itu kaya memang seperti didoktrinlah, harus. Jadi tidak boleh tidak. Sebelum pemilihan, enam bulan sebelumnya sudah dipanggil. Per tiap bulan diadakan pertemuan. Pertemuan itu ya sifatnya memang politis. Jadi kalau sampai ada satu kepala desa yang ketahuan memihak ke yang lain itu atau apa itu memang dicekal. Bahasa cekalnya itu ya programnya tidak dilancarkan atau ada program apa di sana tidak dikasih, karena dia sudah dianggap mbalelo atau apa seperti apa gitu, seperti itu.”403
401
Wawancara Pribadi dengan FHR. Wawancara Pribadi dengan FAU. 403 Wawancara Pribadi dengan FAU. 402
268
yang
Selain untuk kepentingan dirinya, pemanfaatan para klebun biasanya Fuad pergunakan juga untuk kepentingan para koleganya. Dalam memainkan formulir C-1 KPU biasanya yang dikendalikan oleh para klebun adalah partai-partai tertentu saja. Dalam hal ini adalah partai-partai oposisi yang berseberangan dengan Fuad Amin. Tapi jumlah ini tidak terlalu banyak, karena partai politik yang beroposisi dengan Fuad Amin persentasenya hanya sekitar 20 persen. Sedang 80 persen partai politik lainnya telah sepenuhnya dikendalikan oleh Fuad Amin. Dan manipulasi formulir C-1 yang dimainkan oleh Fuad Amin dengan jaringannya hanya dilakukan di wilayah basis massa Fuad Amin, sedangkan di luar wilayah basis massanya, biasanya Fuad Amin tidak bisa bergerak banyak.404 Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Fuad Amin adalah kepintarannya dalam merangkul kepala desa yang berseberangan dengannya. bila ada kepala desa yang berseberangan dengan Fuad Amin, asalkan kondisi keamanan dan pembangunan di dalamnya tetap berjalan, maka Fuad Amin tidak akan berani untuk mengutak atik wilayah desa tersebut. Fuad Amin menyadari, dengan memantik perselisihan dengan kepala desa yang bersangkutan, hal ini akan berdampak
pada pamor dan elektabilitas Fuad Amin di desa tersebut akan
menjadi menurun. Dari pada melahirkan konflik baru, Fuad Amin lebih memilih untuk tidak mengintervensi sama sekali. Tetapi bila yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, yakni keamanannya tidak kondusif dan pembangunannya tidak
404
Wawancara Pribadi dengan FAU.
269
berjalan, serta dia berkonfrontasi dengan Fuad Amin, dengan sendirinya Fuad akan menggantikannya dengan calon yang lebih kuat.405 Terkait soal setoran SKPD 10 persen, (FAU) sendiri mengakuinya. Bahwa hal itu memang betul-betul ada. Bahkan bukan hanya Fuad Amin, para camat, puspika dan lain sebagainya, juga melakukan praktek yang sama. Sayangnya ketika Fuad Amin ditangkap oleh penegak hukum terkait kasus setoran ini, seluruh elemen pemerintahan di Bangkalan seolah-olah lempar tangan, bahwa seluruh praktik setoran yang berlangsung di Bangkalan itu atas arahan dan perintah Fuad Amin.406 N. Modus Korupsi Fuad Amin Dominasi Fuad Amin yang tumbuh dan marak Fuad praktikan dalam lini kehidupan politik di aras Bangkalan nyatanya bukan hanya memberikan rasa takut kepada masyarakat biasa. Tetapi dampaknya pun terasa sampai mempengaruhi para pejabat hukum yang berada di wilayah kekuasaannya. Minimnya penegakan hukum terhadap segala pelanggaran yang dilakukan oleh Fuad Amin sangat terlihat jelas dari tidak adanya penindakan-penindakan yang dilakukan oleh penegak hukum di Bangkalan, meskipun bukti dan fakta atas pelanggaran tersebut sudah banyak dilaporkan oleh para LSM setempat. Dengan kondisi seperti ini, tentu Fuad Amin merasa nyaman dan tetap melanggengkan berbagai perilakunya yang menyimpang. Ini bukan saja soal penindakan kriminalitas yang dilakukan Fuad Amin lewat berbagai kekerasan terhadap para aktivis, melainkan juga soal langgengnya praktik korupsi yang sudah beberapa kali dilakukan oleh dirinya. 405 406
Wawancara Pribadi dengan FAU. Wawancara Pribadi dengan FAU.
270
Pada praktiknya, kasus korupsi yang menimpa Fuad Amin bukan saja soal kasus suap PT. MKS yang kaitannya dengan migas di Bangkalan. Lebih dari itu, berbagai praktik pemalakan dan setoran-setoran ilegal mewarnai jalannya pemerintahan selama Fuad Amin menjabat. Praktik-praktik KKN yang dilakukan oleh Fuad Amin ini misalnya dapat dilihat dari adanya setoran 10 persen tiap kepala dinas dari tiap anggaran di biro pemerintahannya kepada Fuad.407 Hebatnya, setoran-setoran yang diberikan kepala dinas kepada Fuad Amin dilakukan tanpa adanya alat bukti apapun, semisal adanya kwitansi ataupun bukti fisik lain sebagainya. Mekanisme setoran ini dikirimkan langsung secara cash kepada Fuad Amin di kediamannya di pendopo.408 Selain itu, ada juga fee dari pengerjaan tiap-tiap proyek yang mencapai 25 persen, dan ada juga permainan mutasi pejabat SKPD yang dilakukan oleh Fuad Amin setiap hampir 3 bulan sekali. Mutasi pejabat ini biayanya berkisar antara 150-200 juta, termasuk camat 100 juta. Hal ini Fuad berlakukan sampai tingkat kelurahan.409 Bahkan sampai urusan perpindahan guru untuk mengajar, Fuad Amin mematok biaya sebesar 5 sampai 10 juta. Dan lainnya, biaya menjadi kepala sekolah sebesar 15 sampai 25 juta. Bahkan adanya BPWS (Badan Pengembangan Wilayah Suramadu) yang dibentuk di masa pemerintahan SBY turut dibebani biaya 50 ribu permeter dari pembebasan tanah warga oleh Fuad.410 “.....Miris mas kalau dengar ceritanya bupati yang lain itu, bagaimana Fuad ketika diajak bahas BPWS -(badan pengembangan wilayah suramadu) aja.
407
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Pribadi dengan SYK. 409 Wawancara Pribadi dengan MH. 410 Wawancara Pribadi dengan MH. 408
271
Dia kan gak mau diatur orang. Wong BPWS ini diminta 50 ribu permeter dari pembebasan lahan warga. Rumus dari mana itu. Inikan uang negara.”411
Selain itu, ada juga biaya perekrutan THL sebesar 15-20 juta perorang. Semua biaya ini dilakukan melalui sistem cash. Makanya untuk melakukan pendaftaran calon pegawai negeri sipil misalnya, harus dilakukan semenjak jauh-jauh hari. Karena jumlah kuota bagi penerimaan PNS baru, seyogianya sudah terisi oleh para pendaftar tertentu yang sudah membayar uang pelicin kepada Fuad Amin. Yang aneh, meskipun nama-nama PNS sudah diplot oleh Fuad Amin sejak jauhjauh hari, masyarakat masih tetap saja ada yang mau membayar mahal kepada Fuad Amin ataupun lewat orang-orangnya dan mereka rela mengantri menunggu giliran sambil berharap mereka adalah salah satu orang di dalamnya. Padahal kuota PNS di Bangkalan jumlahnya sangat kecil.412 Banyaknya kasus korupsi Fuad Amin yang tidak pernah terungkap, menurut AAR disebabkan karena banyak juga dari kalangan elit-elit nasional yang turut memback-up di belakangnya. Akhirnya kemauan untuk membersihkan Bangkalan dari berbagai praktek korupsi sejak jauh-jauh hari itu tidak pernah terwujud. Fuad Amin seolah-olah menjadi magnet pemanfaatan elit-elit provinsi dan pusat untuk menjaga kepentingan mereka di Bangkalan. Timbal balik yang didapat adalah dengan melindungi berbagai pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh dirinya. “.......Artinya banyak kemudian dari elit-elit politik nasional ini yang merasa bisa mempergunakan kenakalan pak fuad ini untuk kepentingan politik dia. Nah ini yang saya kira menjadikan dia ini sebagai sosok yang sulit disentuh secara hukum.”413 411
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Pribadi dengan MH. 413 Wawancara Pribadi dengan AAR. 412
272
Fakta nyata di balik itu semua yaitu misalnya kasus kecurangannya saat pilgub jatim antara Khofifah-Karwo pada tahun 2008 muncul ke permukaan. Di mana terjadi penggelembungan suara dan berbagai kecurangan yang dilakukan terhadap pasangan Khofifah Indar Prawansa – Mudjiono. Fuad Amin sendiri waktu itu menjadi tim pemenangan Karwo. Dan itu tidak ada penindakan, bahkan seolaholah dibiarkan. Sampai Kapolda yang akan mengusut kasus itu pun, akhirnya ditarik.414 “.........kasus kecurangan pilgub, pada saat khofifah dengan karwo ini suatu fakta yang tidak bisa ditutupi oleh apapun, tapi kenapa kemudian itu di PTSkan *(peti-eskan), sampai kapoldanya waktu itu yang mau mengusut itu kemudian langsung ditarik.”415
Jadi menurut AAR, absennya pemberantasan korupsi di Bangkalan sederhananya hanya terkait persoalan „good will‟, mau atau tidaknya para penegak hukum untuk menindak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Fuad Amin. “Kalau saya, lebih kepada good will ya, artinya saya melihatnya sepertinya pak fuad ini memang sebagai sosok yang dimanfaatkan oleh elit-elit politik nasional dari sisi kenakalannya itu. Jadi karena dia itu dimanfaatkan dari posisi kenakalannya, nakal seperti apapun masih ada aja yang memback-up. Jadi bukan karena tidak ada - tidak terendus atau apa, tidak. Sebenarnya terendus....”416
Sinyalemen adanya perilaku koruptif pada pemerintahan Fuad Amin sebetulnya sudah terasa di tahun 2006-2007.417 Dan sementara kasus yang melibatkan antara Fuad dan MKS sudah terjadi antara tahun tersebut. Tapi memang untuk periode awal kepemimpinannya, Fuad Amin masih belum mengerti betul mengenai bisnis perminyakan dan gas. Fuad Amin sadar bahwa itu adalah sebuah sumber ekonomi 414
Wawancara Pribadi dengan AAR. Wawancara Pribadi dengan AAR. 416 Wawancara Pribadi dengan AAR. 417 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 415
273
strategis terjadi setelah ada masukan dari orang luar. Disinyalir ada juga keterlibatan anggota DPRD Jawa Timur di belakangnya.418 Tetapi di periode selanjutnya, di periode kedua dia menjabat sebagai Bupati, masyarakat bawah sekalipun, sudah mengetahui bahwa korupsi yang dilakukan oleh Fuad Amin sangat begitu sistemik. Faktor yang menyebabkan sulitnya untuk menangkap dan menindak KKN yang Fuad Amin lakukan, selain soal tiadanya kemauan dari para penegak hukum, adalah cengkeraman Fuad yang sudah menembus lini kehidupan civil society masyarakat Bangkalan, termasuk kemampuannya menguasai media massa. Di samping itu, cengkeraman ini tidak terlepas dari posisinya yang juga sebagai pewaris trah bani kholil, oligark dengan tumpukan uang yang melimpah, dan secara politik, Fuad menguasai seluruh jajaran eksekutif dan legislatif yang ada di Bangkalan. Sehingga dengan kekuasaan Fuad Amin yang mutlak, ditambah berbagai upaya lobi yang dia lakukan, segala bentuk laporan terkait penyimpangan dirinya pun selalu kandas. Meskipun data-data penyimpangan yang dilaporkan baik oleh LSM dan kelompok oposisi menyangkut persoalan Fuad Amin sudah sangat kasat mata. Tapi usaha tersebut hanya berakhir sia-sia. Karena pihak kepolisian dan kejaksaan tidak benar-benar menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Bahkan lobi-lobi kepada para penegak hukum, seringkali Fuad juga lakukan untuk menutup-nutupi bopeng atas tindak tanduknya.419 Bahkan menariknya, sampai penyidik KPK pun tidak luput menjadi sasaran lobi Fuad Amin untuk bisa keluar dari jeratan hukum yang menimpanya. Peristiwa ini terjadi setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Fuad Amin. 418 419
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
274
Sewaktu penyidik mengumpulkan barang bukti berupa uang di kediamannya, Fuad Amin bertanya kepada penyidik: "Ini ada 'obatnya' enggak, Mas?” Pertanyaan ini mengandung maksud, apakah kasus ini bisa diselesaikan dengan uang.420 Sebetulnya kekuatan politik Fuad Amin bersama dengan kroni-kroninya itu sudah terlihat melemah selepas Fuad Amin ditangkap oleh KPK. Hanya saja, karena tidak adanya kekuatan politik lain yang muncul untuk memanfaatkan peluang ini, lambat laun, kekuatan politik Fuad yang berada di tangan para kroninya tersebut akhirnya bangkit kembali. Setoran setotran SKPD, dan pungutan-pungutan tenaga honorer mulai berjalan kembali seperti biasanya.421 Bahkan ada kabar beredar bahwa meskipun Fuad Amin sudah mendekam dalam penjara di Salemba, tetapi praktik setoran 10 persen kepala dinas kepadanya masih langgas dimainkan oleh dirinya. Polanya yaitu dengan menakut-nakuti para kepala dinas bahwa jika setoran itu berhenti, maka nama mereka akan ikut diseret ke meja hukum. Hal ini wajar, karena dengan berbagai penyimpangan di tiap dinas, sebetulnya hak penuh terhadap KPA (kuasa pengguna anggaran) berada langsung di
bawah
tangung jawab mereka. Dengan begitu, otomatis
penyimpangan lewat setoran-setoran tersebut pun menjadi beban para kepala dinas. Alasan ini menjadi semacam teror yang terus menerus menghantui para kepala dinas untuk mengikat mereka agar tidak berhenti memberikan setoran-
420
Tempo.co, “Obat, Kode Fuad Amin Rayu Penyidik KPK,” berita ini diakses pada 27 Februari 2016 dari http://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/22/063630182/obat-kode-fuadamin-rayu-penyidik-kpk 421 Wawancara Pribadi dengan AAR.
275
setoran tersebut.422 Perilaku Fuad Amin ini sebetulnya diketahui juga oleh KPK, dan KPK membiarkannya untuk dijadikan alat pembuktian tambahan yang menguatkan bahwa Fuad Amin masih tetap mengontrol setoran-setoran yang diberikan kepadanya.423 Modus korupsi yang dilakukan oleh Fuad Amin terbilang sistemik. Karena dalam hal ini, Fuad turut mensertakan seluruh komponen kepala dinas yang ada di bawah pemerintahannya. Bahkan KPA yang menjadi tanggungan masing-masing kepala dinas, akhirnya seringkali dijadikan sebagai alasan oleh Fuad Amin bahwa dirinya bukan pelaku dari korupsi di tiap-tiap dinas pemerintahan Bangkalan. Alasan ini terlihat lucu, sebab, dalam realitanya, para kepala dinas diperintahkan oleh Fuad Amin sendiri.424 Seperti yang diungkapkan oleh Nur Aida Rahmawati selaku Kepala Dinas Kesehatan Bangkalan sebelum dirinya dilantik, bahwa Fuad Amin menyuruh dirinya untuk mengikuti kewajiban setor yang pernah dilakukan pada masa-masa sebelumnya. Padahal pada saat Fuad Amin menyuruh Nur Aida Rahmawati untuk melakukan setoran wajib, dirinya tidak lagi menjabat sebagai Bupati Bangkalan,425 karena sudah digantikan oleh anaknya, Makmun Ibnu Fuad. Sehingga dengan kebiasaan yang terus menerus dilakukan, praktek ini seakanakan dianggap lumrah.
422
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Pribadi dengan MH. 424 Wawancara Pribadi dengan FHR. 425 detiknews, “Tak Lagi Jabat Bupati Bangkalan, Fuad Amin Terima Duit Setoran Dinkes,” berita ini diakses pada 04 Maret 2016 dari http://news.detik.com/berita/2981955/tak-lagi-jabatbupati-bangkalan-fuad-amin-terima-duit-setoran-dinkes 423
276
O. Sumber Kekuasaan Fuad Amin Paling tidak ada tiga sumber kekuasaan dan dominasi yang dimiliki oleh Fuad Amin sehingga dapat dengan mudah dan leluasa memonopoli segala aspek kehidupan, baik sosial, politik, maupun ekonomi masyarakat di Bangkalan. Kekuasaan sendiri diartikan Weber sebagai “kemungkinan bahwa seorang pelaku akan mampu untuk mewujudkan gagasan-gagasannya sekalipun ditentang oleh orang-orang lain, dengan siapa dia berada dalam hubungan sosial.”426 Sedang pengertian dominasi, lebih jauh lagi dari sebatas kekuasaan biasa, karena mengikutsertakan unsur-unsur pemaksaan di dalamnya.427 Sumber kekuasaan yang dimiliki oleh Fuad Amin, pertama adalah kemampuannya memonopoli instrumen-instrumen keagamaan, baik yang sifatnya materi dan imateri, yakni lewat institusi keagamaan maupun lewat reproduksi kharisma428 dari ketakdziman dan mitos-mitos kesaktian yang ia miliki. Kedua, monopoli kekerasan lewat dua jalur, baik formal maupun informal. Jalur formal adalah dalam kapasitasnya sebagai Bupati, sedang jalur informal adalah dalam kapasitasnya sebagai kiaiblater. Sedang sumber kekuasaannya yang ketiga, yakni dalam statusnya sebagai oligark lokal dengan basis kekayaan yang terbilang mapan serta melimpah jika diukur berdasarkan per/teritorial wilayah di Bangkalan. Dalam kapasitasnya sebagai bagian dari trah dan keturunan kiai kholil, kharisma yang terpancar pada diri Fuad Amin sebetulnya juga tidak terlepas dari 426
Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya tulis Marx, Durkehim, dan Max Weber (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 192. 427 Ibid, h. 192. 428 Oleh Weber, kharisma didefinisikan sebagai „suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian seorang individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar biasa dan diperlakukan sebagai seorang yang mempunyai sifat-sifat gaib sifat unggul atau paling sedikit dengan kekuatankekuatan yang khas dan luar biasa.‟(Anthony Giddens, 1986, 197).
277
budaya masyarakat setempat yang memegang teguh adat dan penghormatan mereka kepada kalangan kiai. Bukan hanya itu, bahkan sepak terjang kiai di masyarakat sekitar, juga selalu dianggap sebagai aktor yang memiliki banyak kelebihan mistis. Kiai sebagaimana telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, merupakan elit lokal yang banyak memberikan kontribusi bagi kehidupan masyarakat, bukan saja semenjak era reformasi bergulir, tetapi sudah jauh hari ketika era kerajaan dan kolonialisme berlangsung. Dalam sejarahnya, Kiai seringkali terlibat dalam gerakan-gerakan perlawanan terhadap elit, baik raja maupun pejabat-pejabat kolonial yang acapkali menyengsarakan rakyat dengan berbagai kewajiban membayar upeti dan kerjapaksa. Bahkan di masa orde baru, perlawanan-perlawanan para kiai terhadap rezim masih terlihat jelas. Misalnya dalam perlawanan yang diinisiasi oleh para kiai yang tergabung dalam BASSRA. Selain itu, kiai merupakan satu-satunya simbol yang mampu memperat jalinan kohesi sosial antar kelompok masyarakat lewat acara-acara ritual keagamaan. Syaikhona Kholil, merupakan satu di antara kiai lainnya yang memiliki pengaruh besar di masanya. Dia merupakan elit lokal Bangkalan dengan banyak murid yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Kiai Hasyim Asy‟ari (pendiri NU) pernah berguru ilmu agama kepadanya. Dengan tingkat kelimuan yang tinggi dalam bidang agama, seluruh masyarakat Bangkalan menaruh rasa simpati dan takdzim yang mendalam terhadap kepribadian Syaikhona Kholil. Juga kepada keturunan-keturunannya kelak, termasuk Fuad Amin yang kini mewarisi simbolsimbol penghormatan tersebut. Apalagi Fuad Amin merupakan keturunan tertua di antara keluarga bani kholil yang lainnya. Kharisma yang dimiliki oleh Fuad Amin
278
pada akhirnya menciptakan mitos-mitos tersendiri tentang kesaktian yang dintrodusir terhadap dirinya, apalagi Fuad begitu luwes untuk bersosialisasi dengan kalangan blater. Kalangan blater yang identik dengan dunia carok dan kekerasan, faktanya telah meningkatkan pamor Fuad Amin di masyarakat. Isu-isu yang berkembang terhadap pengkutusan pada diri Fuad Amin salah satunya tercermin dalam komentar (MH), mantan aspri Fuad Amin, sebelum dirinya menerima tawaran pekerjaan untuk menjadi stafnya: “Saya waktu itu memang berdoa mudah-mudahan saya dipertemukan dengan orang ini. karena selama ini apa yang saya dapat informasinya, Pak Fuad inikan wali, kiai gitukan dan segala macamlah saktilah macam-macam, saya tertarik untuk itu. Karena banyak mitos-mitos yang saya dengar waktu saya di pesantren itu menggugah saya untuk ketemu orang ini. Dia sakti kalau di penjara langsung bisa keluar, dengan ini segala macamlah.”429
Di samping itu, dengan posisi Fuad yang mapan, maka tak sulit pula bagi dirinya untuk memelihara jaringan blater. Fuad Amin sadar, bahwa blater adalah kalangan yang mudah ditaklukan dengan uang.430 Maka tak aneh jika kemudian di antara masyarakat Bangkalan, Fuad Amin dikenal dengan istilah kiai-blater. Karena di satu sisi dia besar di lingkungan kiai, sedang di sisi lain Fuad Amin hidup dengan kalangan blater. Dua rupa kekuatan yang direproduksi pada diri Fuad sekaligus ini dalam perjalanannya turut memudahkan dirinya untuk menjadi orang yang dihormati dalam tatanan kelas sosial di masyarakat. Dengan statusnya sebagai kiai, dia mendapatkan legitimasi masyarakat lewat pengakuan rasa takdzim dan mitos etik yang sifatnya transendental, sedang dengan statusnya sebagai blater, Fuad Amin mendapatkan legitimasi lewat monopoli kekerasan yang kerap Fuad praktikan. Dengan karakteristik alam blater yang identik dengan 429 430
Wawancara Pribadi dengan MH. Wawancara Pribadi dengan MH.
279
tindakan-tindakan koersif tersebut, nyatanya telah mempolarisasikan internalisasi ketakutan menjadi semakin mewabah di segenap masyarakat Bangkalan. Dua modal tersebut, ditambah posisi Fuad yang mapan, menjadi elemen penting bagi keberhasilan dirinya menduduki posisi jabatan struktural sebagai bupati Bangkalan. Setelah dirinya berhasil menduduki jabatan formal dalam struktur pemerintahan, sumber kekuasaan Fuad Amin semakin bertambah. Dia bukan hanya mengakumulasikan sumber kekuasaannya dari macam-macam otoritas informalnya selaku kiai dan blater, tetapi juga otoritas legal-formalnya selaku Bupati. Di masa kepemimpinannya sebagai Bupati, Fuad Amin perlahan-lahan mulai membangun jaringannya, baik itu jaringan politik maupun jaringan sosial kemasyarakatan. Dalam jaringan politik, Fuad Amin menguasai elit-elit birokrat dan partai politik melalui cengkeramannya pada aparat kepala desa dan politisipolitisi lokal. Kondisi ini dapat dilihat dengan begitu jelas dari loyalitas yang ditunjukan oleh para kepala desa dengan seringnya mereka membantu Fuad Amin dalam setiap proses seleksi politik di Bangkalan, dan banyaknya ketua partai politik yang berafiliasi dengan Fuad Amin. Dalam organisasi sosial, Fuad menguasai unsur-unsur ormas, terutama NU, MUI dan BASSRA. Banyaknya para elit dan anggota ormas keagamaan yang menunjukan loyalitas mereka kepada Fuad Amin timbul dari rasa solidaritas serta anggapan bahwa Fuad Amin merupakan kiai sepuh. Kiai sepuh, dan lebih lagi berasal dari trah bani kholil, tentu menjadi sumber legitimasi utama dan terpenting
280
bagi personaliti Fuad untuk dapat disegani oleh kalangan kiai lainnya, terutama para kiai yang berasal dari non bani kholil. Kekuasaan yang demikian dominan yang Fuad Amin pegang telah memberikan ruang cukup bebas bagi dirinya untuk bertindak semau hati. Wewenang yang dimilikinya kerap dia gunakan untuk melakukan kontrol terhadap masyarakat sipil yang mencoba-coba untuk mengusik kepemimpinanya. Bahkan dengan otoritas yang tinggi, banyak sekali berbagai penyimpangan dan pelanggaran hukum yang dia lakukan. Penggunaan ijazah palsu, manipulasi perolehan suara dalam pemilihan, korupsi, dan berbagai tindakan kriminil lewat aksi kekerasan terhadap para penentangnya, menjadi gambaran lumrah selama periode eksistensi Fuad Amin dalam ruang lingkup politik Bangkalan. Sayangnya, berbagai pelanggaran hukum yang dia lakukan tidak pernah sedikit pun tersentuh oleh hukum. Maka dengan absennya sikap tegas dan profesionalitas dari para penegak hukum setempat, perilaku Fuad Amin semakin menjadi-menjadi dalam melakukan penyimpangan dan pelanggaran hukum lainnya. Sehingga ketiadaan penindakan pada setiap pelanggaran yang dilakukan oleh Fuad Amin, telah mereproduksi mitos-mitos baru atau meneguhkan eksistensi Fuad Amin sebagai simbol orang kuat lokal yang memang tidak bisa dilawan oleh dan dalam bentuk apapun. Stigma seperti itu terus menerus diproduksi oleh masyarakat, seperti bahwa tanpa memiliki ijazah sekalipun Fuad Amin masih bisa jadi bupati, atau Fuad Amin adalah wali karena keturunan kiai, dan lain sebagainya.431 Anggapan-
431
Wawancara Pribadi dengan FHR.
281
anggapan tersebut masuk dan melekat begitu saja di bawah alam sadar masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan langsung oleh FHR: “Jadi begini, konon ceritanya bahwa di masyarakat sana itu ya di masyarakat.-------------. Konon ceritanya bahwa ada yang mengatakan pak Fuad ini karena sering sekali walaupun sejajar setmata dia melakukan hal pelanggaran hukum tapi tidak bisa tersentuh hukum. Konon ceritanya ada yang mengatakan pak Fuad ini sakti, pak Fuad ini wali dan lain sebagainya. Apalagi di kelompok-kelompok bawah itu. Cuma setelah kita analisa itu bukan hal yang seperti itu yang sebenarnya, tapi karena di bawah itu ada ketakutan dan tidak tahu, terkait apa yang sebenarnya terjadi gitu kan. Karena di sisi lain pak fuad itu kepada DPR itu memberikan sesuatu gitu. Kepada pesantrennya memberikan sumbangan bangunan memberikan ini gitu kan, akhirnya dianggap bahwa pak Fuad ini baik gitu kan, gitu. Akhirnya ketika pada waktu itu pak fuad tidak pernah tersandung kasus korupsi, kasus hukum, mengatakan pak Fuad ini sakti dan lain sebagainya. Apalagi konon ceritanya pak Fuad ini tidak pernah sekolah, tak tahu punya ijazah gitu kan. Pak fuad itu kan selalu waktu di rapat-rapat surabaya itu kan pernah mengatakan saya kalau ijazah saya asli maka saya jadi gubernur, gitu kan. Kan bukan jadi bupati gitu kan. Akhirnya orang kan pada tahu gitu loh pak fuad ini sakti, ndak punya ijazah jadi bupati gitu kan. Ini wali karena ke-anak keturunan ini ini itu ini gitu, nah itu yang terjadi. Stigma-stigma yang dibangun itu begitu gitu loh masyarakat, akhirnya banyak masyarakat yang begitu dicoba lagi di kalangan Bangkalan ini kan orangnya sami‟na wa ato‟na kepada kiai gitu kan, mm kiai-nya aja begitu, ya repot gitu kan. Hanya ada sebagian orang kaum intelektual yang selalu menentang itu gitu mas, menentang itu. akhirnya apa yang terjadi, kemarin pun, pak fuad ditanggeng ditangkap pada tanggal 2 Desember itu, euh 2000 berapa...”432
432
Wawancara Pribadi dengan FHR.
282
283
284
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Munculnya beragam tindak kekerasan, penyimpangan, dan pembiaran hukum yang dilakukan oleh Fuad Amin merupakan impak dari kekuasaan serta dominasi politiknya yang besar. Bahkan kekuasaan politik ini telah terinternalisasi pada diri Fuad Amin jauh sebelum dirinya terjun ke dunia politik. Jauh sebelum keterlibatannya dalam politik formal, Fuad Amin dikenal sebagai sosok kiai di satu sisi, dan sebagai blater di sisi lain. Simbol kekiaian yang melekat pada Fuad, tidak terlepas dari silsilah yang Fuad sandang, yakni selaku keturunan dari trah bani kholil. Sedang identitas keblaterannya, muncul dari sepak terjangnya di alam blater itu sendiri. Dua identitas informal yang tersemat pada diri Fuad Amin ini faktanya telah memudahkan dirinya menjadi orang paling berpengaruh di Bangkalan. Pengaruh ini kontan dimanfaatkan Fuad untuk masuk arena politik formal di Bangkalan. Peluang Fuad untuk ikut dalam kontestasi pemilihan umum kepala daerah di Bangkalan adalah berkah dari tumbangnya pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1998, Soeharto tidak lagi menjabat sebagai Presiden, hal ini terjadi lantaran desakan dan tuntutan dari beragam elemen
masyarakat yang menginginkan
Soeharto melepas jabatannya selaku kepala negara. Peristiwa ini lahir dari rentetan instabilitas ekonomi yang melanda masyarakat. Ketiadaan Soeharto di pucuk pimipinan negara telah merubah paradigma relasi antara pusat dan daerah menjadi lebih longgar. Jika semasa Soeharto paradigma yang berlaku adalah sentralisme politik, sedang di masa sesudahnya, paradigma yang berkembang
283
adalah polisentrisme politik. Indikator kemunculan polisentrisme pasca Soeharto adalah mulai diimplementasikannya undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah atau desentralisasi. Undang-undang desentralisasi yang kemudian terjewantahkan dalam pemilihan kepala daerah secara mandiri, (karena tidak lagi diintervensi oleh pusat sebagaimana terjadi di masa Soeharto), telah membuka kesempatan bagi orang berpengaruh di tingkat lokal untuk memenangkan kontestasi yang diadakan di wilayahnya masing-masing. Orang berpengaruh di tingkat lokal biasanya berasal dari orang-orang yang dulu memiliki hubungan dengan orba, atau bisa juga berasal dari orang-orang yang berseberangan dengan orba. Fuad Amin merupakan elit lokal tipe kedua. Ketidakterlibatan Fuad Amin dengan Soeharto justru merupakan salah satu faktor yang membantunya menguasai hampir seluruh suara dewan pada pilkada pertama yang diadakan di Bangkalan era reformasi pada tahun 2003. Selisih suaranya sangat timpang. Fuad Amin memperoleh 42 suara dari 45 suara yang diperebutkan. Hasil ini telah mengikrarkan Fuad Amin sebagai bupati baru pertama Bangkalan era reformasi. Kemenangan ini banyak disambut oleh masyarakat sebagai langkah awal menuju Bangkalan ke arah yang lebih baik. Namun, harapan tersebut hanya bertahan beberapa tahun saja. Di pertengahan masa kepemimpinannya, gelagat bahwa Fuad Amin sudah mulai melenceng dari prinsip serta nilai-nilai yang diharapkan masyarakat sedikit perlahan muncul ke permukaan. Kemunculan Fuad Amin yang awalnya didapuk sebagai aktor perubahan, malah lebih mencerminkan neo-Soehartois di alam demokrasi yang baru. Apalagi di periode kepemimpinan Fuad Amin yang kedua,
284
segala penyimpangan dan pelanggaran hukum yang dilakukannya sudah menjadi hidangan umum masyarakat. Kemenangan Fuad Amin di periode kedua, tidak terlepas dari beberapa akumulasi modal kulturalnya selaku kiai dan blater, yang ditambah dengan modal strukturalnya selaku kandidat incumbent bupati periode sebelumnya. Kekuatan politik Fuad sebagai bupati dua periode ini semakin memantapkan posisinya sebagai raja lokal yang mengantongi unsur kekuasaan informal dan formal sekaligus. Maka tak aneh jika akhirnya Fuad Amin begitu leluasa untuk menaruh dan menempatkan para kroni dan keluarganya di berbagai struktur pemerintahan dan ormas. Yang mesti digarisbawahi dari fenomena munculnya kekuasaan tunggal yang berdampak pada lahirnya dinasti politik Fuad Amin di Bangkalan jika didasarkan pada kerangka teoritis local strongmen Joe S. Migdal, bossism John T. Sidel, dan Oligarki Jeffrey Winters adalah:
Pertama, kemunculan Fuad Amin sebagai orang kuat lokal tidak terlepas dari sifat masyarakat yang patrimornial. Artinya, masyarakat masih memegang teguh budaya lama yang menempatkan kiai dan blater pada struktur atas kelas sosial masyarakat setempat, meskipun mereka telah hidup di era demokrasi modern - yang menjamin hak warga negaranya secara egaliter.
Kedua, kekuasaan tunggal Fuad Amin sebagai orang kuat lokal juga tidak bisa dinafikkan dari stigma yang berkembang di masyarakat bahwa orang kuat lokal merupakan elit lokal dengan pengaruh serta simbol ‘strategies of survival’, sehingga wajar bila masyarakat menaruh rasa segan dan takut kepada Fuad Amin.
285
Ketiga, keyakinan Migdal yang menganggap bahwa orang kuat lokal hanyalah penghambat laju pembangunan yang akan diinisiasi oleh negara tidak relevan bila merujuk pada kasus Fuad Amin. Fuad Amin justru sangat terbuka dengan maraknya pembangunan di Bangkalan, sambil dirinya meraup banyak untung dari berbagai proyek yang dikerjakan. Kondisi ini justru lebih sejalan dengan temuan Sidel pada kasus orang kuat lokal di Asia Tenggara.
Keempat, alasan Sidel yang percaya bahwa kemunculan orang kuat lokal bukan hanya disebabkan oleh sifat masyarakat, tetapi juga ditentukan oleh proses strukturasi yang terjadi dalam negara, merupakan realita empirik yang terjadi di Bangkalan. Bahwa peluang dan kemunculan Fuad Amin di aras politik lokal tidak akan terjadi bila Soeharto tidak tumbang, dan undang-undang desentralisasi tidak benar-benar diterapkan.
Kelima, argumen Migdal sedikitnya diperlengkap dengan dinamika kekuasaan politik Fuad Amin, bahwa orang kuat lokal tidak hanya menempatkan kroni dan keluarganya di struktur pemerintahan, melainkan juga memposisikan dirinya sebagai elit yang terlibat untuk mengisi pos posisi tertinggi pemerintahan.
Keenam, Fuad Amin dalam praktiknya juga merupakan seorang broker politik tingkat lokal, yang banyak dimanfaatkan oleh elit pusat dan provinsi. Sebagai broker politik bagi elit pusat, termanifestasikan dalam kapasitasnya selaku pengusung dan tim sukses kemenangan PrabowoHatta pada pilpres 2014, sedang dalam statusnya sebagai broker politik bagi elit provinsi, dapat dilihat dalam kapasitasnya selaku timses pasangan
286
Soekarwo-Syaifulah Yusuf. Artinya, fakta ini selaras dengan pemikiran Sidel bahwa bos lokal adalah broker politik yang saling berjenjang di semua tingkatan. Mereka memberikan keuntungan satu sama lain.
Ketujuh, proses tranformasi orang kuat lokal menjadi bos lokal untuk beberapa kasus, terbantu oleh sistem kapitalisme. Misalnya saja dalam kasus orang kuat lokal era Soeharto, di mana orang kuat lokal banyak diuntungkan oleh dampak ledakan ekonomi yang terjadi di Indonesia pada waktu boom oil tahun 70-an. Mereka menikmati berbagai privelse ekonomi, hukum, dan politik atas kedekatannya dengan Soeharto. Basis kekayaan mereka menjadi semakin besar, tersebar dalam berbagai bentuk usaha. Adapun Fuad Amin sendiri tidak masuk dalam kategori ini, basis kekayaan yang dimiliki oleh Fuad Amin, selain berasal dari keluarga besarnya, juga berasal dari hasil usahanya sebagai pengusaha travel haji dan umroh. Dan juga dalam kapasitasnya sebagai penyalur tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Tapi meskipun Fuad Amin tidak menikmati berbagai privelse dari Soeharto sebagaimana kroni dan orang kuat lokal lainnya, tapi Fuad Amin setidaknya turut menikmati stabilitas politik di masa Soeharto itu.
Kedelapan, Fuad Amin juga dapat dikatakan sebagai oligark lokal. Karena sebelum Fuad masuk ke arena politik formal di Bangkalan, Fuad Amin telah lebih dulu memiliki basis kekayaan yang lumayan besar dalam kapasitasnya selaku pengusaha, sehingga pra-kondisi oligark yang mengarah pada kepemilikan sumber basis material kekayaan, telah dulu dipegang sebelumnya. Adapaun politik pertahanan kekayaan atau adanya
287
upaya meningkatkan basis kekayaan yang menjadi karakter seorang oligark, tercermin dalam sikap Fuad yang melakukan berbagai tindakan korupsi, pemerasan, dan monopoli badan usaha milik daerah guna kepentingan pribadinya semata.
Kesembilan, jika yang dimaksud orang kuat lokal oleh Migdal adalah kelompok informal yang bisa berbentuk tuan tanah, tengkulak, pengusaha, kepala suku, panglima perang, bos, petani kaya, pemimpin klan, za’im, effendi, agha, cacique dan kulaks (Melvin, 2012, 17), sedang yang dimaksud bos lokal oleh Sidel bisa berbentuk Walikota, Gubernur, Anggota Kongres dan Anggota Senat (Melvin, 2012, 20), maka Fuad Amin merupakan perpaduan dua unsur tersebut. Karena sebelum Fuad Amin terjun ke dunia politik, Fuad merupakan salah satu bagian dari kelompok informal berpengaruh.
B. Saran Penelitian mengenai kekuasaan politik, terutama yang membahas soal dinamika politik Fuad Amin di Bangkalan, memuat beberapa hal yang belum terurai. Karena terbatasnya waktu, penulis hanya melihat aspek-aspek pendukung kemunculan dan kebertahanan kekuasaan politik Fuad. Terhitung sejak tahun 2003, di mana Fuad pertama kali mencalonkan diri sebagai bupati, sampai tahun 2012, di mana Fuad mencoba sekuat tenaga membantu anaknya menjadi suksesornya. Untuk itu, penulis menyarankan agar penelitian selanjutnya menjelaskan bagaimana Fuad Amin ikut mempengaruhi segala kebijakan pemerintah Bangkalan di bawah kepemimpinan anaknya. Sebab, dalam tinjauan
288
singkat penulis di Bangkalan, Fuad kerapkali ikut campur dalam urusan-urusan pemerintah daerah yang kini dipimpin oleh anaknya.
289
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Paper Agus Yusoff, Mohammad dan Leo Agustino. “Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal di Indonesia Pasca Orde Baru.” Jebat: Malaysian Journal of History, Politics & Strategic Studies. Vol. 39. Agustino, Leo dan Mohammad Agus Yusoff. “Politik Lokal di Indonesia: dari Otokratik ke Reformasi Politik.” Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010. Agustino, Leo. Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding Era Sentralisasi. Widya Padjadjaran, 2011. Aspinall, Edward dan Mada Sukmajati, ed., Politik Uang Di Indonesia: Patronase dan Klientisme pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta: PolGov, 2015. Azra, Azzumardi. Jaringan Ulama. Bandung: Mizan, 1994. de Jonge, Huub. Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam. Jakarta: PT. Gramedia, 1989. Djati, Wasisto Raharjo. “Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal.” Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol 18, No. 2, Juli 2013: 203-231. Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983. Giddens, Anthony. Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya tulis Marx, Durkehim, dan Max Weber. Jakarta: UI-Press, 1986. Herlambang, Wijaya. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Serpong: Marjin Kiri, 2013. Hidayat, Syarif. “Demokrasi Elitis? Relasi Kekuasaan Pasca Pilkada,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 23 No. 3 (Juli–September 2010). Hikam, Muhamad AS. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, 1996. Huntington, Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1995.
290
Hutabarat, Melvin Perjuangan. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era Desentralisasi.” Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2012. Jati, Wasisto Raharjo. “Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah di Indonesia: Dilema Sentralisasi atau Desentralisasi,” Jurnal Konstitusi, Volume 9 Nomor 4, (Desember 2012). Jeffrey A Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia,” Majalah Prisma, Vol. 33, 2014: 11-34. Jone, Pip. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia Kosim, Muhammad. “Kyai Dan Blater: Elit Lokal Dalam Masyarakat Madura,” Jurnal Karsa, Vol. XII No. 2 (Oktober, 2007): h. 162. Kuntowijoyo. Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940. Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002. Lambach, Daniel. “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism, territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004. Lukas, Anton E. Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Dalam Revolusi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989. Maridis, Roy C. “Sejarah, Fungsi, Dan Tipologi Partai Politik: Suatu Pengantar,” dalam Ichlasul Amal, ed., Teori-teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2012. Migdal, Joel S. State in Society: Studying How States And Societies Transform And Constitute One Another. Cambridge, UK: The Press Syndicate of The University of Cambridge. Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura.” Dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto, ed. Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal. Jakarta: LP3ES, 2004. Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1980. Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken ed., Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2014.
291
Orwel, George. 1984. Yogyakarta: Bentang, 2014. Poerwanto, Hari. Profile Bangkalan Dan Dinamika Komunitas Perkotaan Dalam Kaitannya Dengan Pengembangan Kawasan Gerbangkertosusilo. Laporan Penelitian Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1992/1993. Pye, Lucian. Pembangunan Politik dan Perubahan Politik. Jakarta: PT. Gramedia, 1985. R Hadiz, Vedi. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES, 2005. Rozaki, Abdur. “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura.” Disertasi Program Studi Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015. Rozaki, Abdur. “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009): h. 2. Sarosa, Samiaji. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar. Jakarta: PT. Indeks, 2012. Schoorl, J.W. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang. Jakarta: PT. Gramedia, 1981. Sidel, John T. Capital, Coercion, and Crime: Bossisme in the Phillipines. California: Stanford University Pers, 1999. Suminto, H. Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1985 Syamsudin, Muh. “Agama, Migrasi dan Orang Madura,” Aplikasia, Jurnal Aplikasi llmu-Ilmu Agama, Vol. VIII, No. 2 (Desember 2007:150-182): h. 151. Hidayat, Syarif. “Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten,” dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, ed., Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2014. Hidayat, Syarif. “Demokrasi Elitis? Relasi Kekuasaan Pasca Pilkada,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 23 No. 3 (Juli–September 2010). T. Sidel, John, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia.” Dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos, 2005. Tim Lipi. Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press, 2006.
292
Wiyata, A. Latief. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LkiS, 2002.
Surat Kabar dan Artikel Online Ananta, Dicky Dwi. “Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Kontemporer.” Artikel ini diakses pada tanggal 23 Agustus 2015 dari http://indoprogress.com/2014/11/oligarki-tatanan-ekonomi-politikindonesia kontemporer/ Ahmad Nurcholis, “Mitos Kiai Suci,” artikel diakses pada tanggal 27 Maret 2016 dari http://islamlib.com/gagasan/mitos-kiai-suci/ ANTARANEWS.COM, “675.420 Pemilih Salurkan Hak Suara di Pilkada Bangkalan,” berita diakses pada tanggal 27 Maret 2016 dari http://www.antaranews.com/berita/91038/675420-pemilih-salurkan-haksuara-di-pilkada-bangkalan Bappeda Jawa Timur, “Kabupaten Bangkalan,” data ini diunduh pada tanggal 17 Juni 2015 dari http://bappeda.jatimprov.go.id/bappeda/wp-content/uploads/potensi-kabkota-2013/kab-bangkalan-2013.pdf Biro Humas Dan Protokol Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, “Gubernur Minta Bupati Baru Prioritaskan Sektor Pertanian,” data ini diakses pada tanggal 18 Juni 2015 dari http://birohumas.jatimprov.go.id/index.php?mod=watch&id=1868 BPS Provinsi Jawa Timur, “Kepadatan Penduduk Pertengahan Tahun Menurut Kabupaten/Kota 2010-2013,” data ini diakses pada tanggal 18 juni 2015 dari http://jatim.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/19 BPS Provinsi Jawa Timur, “Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi,” data ini diakses pada tanggal 16 Februari 2016 dari http://jatim.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/80 detiknews, “Ricuh Pilkada di Madura, Hasil Suara Diadili di MK,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://news.detik.com/berita/2133135/ricuh-pilkada-di-madura-hasil-suaradiadili-di-mk “Dinasti Tuhan Kedua di Bangkalan.” Majalah Detik Edisi 161, 29 Desember 2014 - 4 Januari 2015.
293
Dody Wisnu Pribadi, “Cerita Miris dari Bangkalan,” artikel diakses pada 27 Maret 2016 dari http://regional.kompas.com/read/2014/08/02/08181631/Cerita.Miris.dari.B angkalan Ferry Kurnia Rizkiyansyah, “Menguatkan Penyelenggaraan Pilkada Langsung,” artikel diakses dari http://www.rumahpemilu.org/in/read/7448/function.array-key-exists pada tanggal 25 Februari 2016. GSDRC (Governance and Social Development Resource Center) , “Document Library, Summary: Strong Societies and Weak States: StateSociety Relations and State Capabilities in the Third World – Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554 Fitriyah.“Kekerasan, Korupsi dan Pemilukada.” Artikel diakses pada 11 Maret 2015 dari http://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/3152/2829 Ghifary, Zikry Auliya. “Local Bossism : Indonesia dan Thailand dalam Perspektif Komparatif.” Artikel diakses pada 10 Maret 2015 dari https://www.academia.edu/2612170/Local_Bossism_Indonesia_dan_Thail and_dalam_Perspektif_Komparatif Kompas.com, “Harta Kekayaan Fuad Amin Dianggap Tak Sebanding dengan Penghasilannya,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://nasional.kompas.com/read/2015/05/07/15511691/Harta.Kekayaan.F uad.Amin.Dianggap.Tak.Sebanding.dengan.Penghasilannya Liputan 6, “Warga Bangkalan Menuntut Kembali Fuad Amin Dilantik,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://news.liputan6.com/read/49745/warga-bangkalan-menuntut-kembalifuad-amin-dilantik Merriam-Webster, “Simple Definition of Reformation,” artikel diakses pada tanggal 23 Februari 2016 dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/reformation Portal Kabupaten Bangkalan, “Partai Gerindra Raih Kursi Terbanyak di DPRD,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://bangkalankab.go.id/index.php/80-template-details/general/326komposisi-anggotaan-dprd-hasil-pileg-2014-merata
294
suaramerdeka.com, “Karsa Konsolidasi, Kaji Ubah Tim Sukses,” berita ini diakses dari http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/12/04/42211 /Karsa-Konsolidasi-Kaji-Ubah-Tim-Sukses pada tanggal 26 Februari 2016. Tempo.co, “Nol Suara 20 TPS, Tjahjo Kumolo Turun ke Bangkalan,” berita diakses dari https://www.tempo.co/read/news/2014/07/16/269593520/nolsuara-20-tps-tjahjo-kumolo-turun-ke-bangkalan pada tanggal 26 Februari 2016. Tempo.co, “Polisi Usut Penembakan Aktivis di Bangkalan,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://nasional.tempo.co/read/news/2015/01/20/058636213/polisi-usutpenembakan-aktivis-di-bangkalan Tempo.co, “Pukul 00.00 Jembatan Suramadu Tersambung,” artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari http://nasional.tempo.co/read/news/2009/04/01/058167605/ tempointeraktif, “DPRD Pecat Wakil Bupati Bangkalan,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://tempo.co.id/hg/nusa/jawamadura/2005/02/18/brk,2005021845,id.html Tribunnews.com, “Boni Hargens: Kepala Desa Diancam Bikin Suara Jokowi-JK di Bangkalan Nol,” berita ini diakses dari http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/07/16/boni-hargenskepala-desa-diancam-bikin-suara-jokowi-jk-di-bangkalan-nol pada tanggal 26 Februari 2016. wacanakiri-blogspot, “Memahami Erzat Kapitalisme bersama Yoshihara Kunio,” artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2016 dari http://wacanakiri.blogspot.co.id/2011/07/memahami-erzat-kapitalismebersama.html
Wawancara Wawancara dengan Syukur, Ketua MCW (Madura Corruption Watch), Bangkalan, 17 September 2015. Wawancara dengan Bahiruddin, Koordinator Gempar (Gelora Mahasiswa Penyelamat Rakyat), Bangkalan, 17 September 2015. Wawancara dengan Mathur Husairi, mantan asisten pribadi Fuad Amin, sekaligus Ketua CIDE (Center Islam for Democration). Mathur adalah korban penembakan Fuad Amin. Bangkalan, 18 September 2015.
295
Wawancara dengan Fahrillah, Wakil Ketua MCW dan LIRA. Fahrillah adalah korban pembacokan Fuad Amin. Bangkalan, 18 September 2015. Wawancara dengan Mahmudi, Anggota Dewan DPRD Bangkalan Partai Hanura Komisi A. Bangkalan, 19 September 2015. Wawancara dengan Nanang Hidayat, Ketua Formula (Forum Pemuda Bangkalan). Bangkalan, 20 September 2015. Wawancara dengan Aliman Haris, salah satu tim inisiator pencalonan Fuad Amin di Pilkada 2003, ketua Leksdam (Lembaga Kajian Sosial Demokrasi) dan mantan anggota partai PKPI. Bangkalan 20 September 2015. Wawancara dengan H. Umar Farouq Al-Komi, Ketua DPC Hanura Bangkalan. Bangkalan, 21 September 2015. Wawancara dengan Fauzi, Klebun/Kepala Desa Kokop, Bangkalan 21 September 2015. Wawancara dengan Ahmad Ali Ridho, keponakan Fuad Amin, tim inisiator pencalonan Fuad Amin pada pilkada 2003. Bangkalan, 22 September 2015. Wawancara dengan Imam Bukhori Kholil, keponakan Fuad Amin. Pesaing potensial Fuad. Mantan ketua PCNU Bangkalan. Partai PKNU dan Nasdem. Bangkalan, 23 September 2015. Diskusi dengan Jeffrey Winters di UI pada 10 Desember 2015. Setelah menghadiri acara seminar Benedict Anderson “Anarkisme Nasionalisme”
296
Dan
DAFTAR TERPILIH ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009
NO
PROVINSI
: JAWA TIMUR
KABUPATEN
: BANGKALAN
PARTAI POLITIK
NO. URUT DCT
NAMA CALON TERPILIH
DAPIL
SUARA SAH
2
3
4
5
6
1 1
Partai Hati Nurani Rakyat
1
H. UMAR FAROUQ ALKOMY, SH
02
4,386
2
Partai Hati Nurani Rakyat
1
MUHAMMAD SYAHRUM DAHRIYADI
05
4,093
3
Partai Hati Nurani Rakyat
1
H. SUMAMBRI, ST
06
5,369
4
Partai Gerakan Indonesia Raya
1
IMRON ROSYADI, SE. Msi
02
3,501
5
Partai Keadilan Sejahtera
2
MUJIBURAHMAN, SH
05
5,374
6
Partai Amanat Nasional
3
H. MUHAMMAD SUDARMO, S.Th.1
01
3,564
7
Partai Amanat Nasional
1
MOH. MAKMUN IBNU FUAD
05
8,083
8
Partai Amanat Nasional
2
SOLIHIN, SE
06
5,307
9
Partai Persatuan Daerah
1
ROKIB, SE
01
4,405
10
Partai Persatuan Daerah
1
Hj. SITI FATHONAH RACHMANIYAH, ST
04
5,956
11
Partai Kebangkitan Bangsa
1
HUMRON MAULA MUHAMMAD,S.HI.
01
2,687
12
Partai Kebangkitan Bangsa
2
HOTIB MARZUKI, SE
02
3,511
13
Partai Kebangkitan Bangsa
1
ABDUL KHALIK AMIN
03
7,681
14
Partai Kebangkitan Bangsa
2
H. SYAFIUDDIN ASMORO
03
11,319
15
Partai Kebangkitan Bangsa
7
AHSAN
03
3,786
16
Partai Kebangkitan Bangsa
1
H. ALI WAHDIN
04
4,662
17
Partai Kebangkitan Bangsa
2
HM. NASIR MUNIR ROWI
04
5,410
18
Partai Kebangkitan Bangsa
3
MOHAMAD IMAM SUPARDI,S.Ag
05
9,021
19
Partai Kebangkitan Bangsa
1
ABD. ROFIK
06
6,327
20
Partai Kebangkitan Bangsa
5
AHMAD HARIYANTO, S.Sos
06
4,930
21
Partai Demokrasi Pembaruan
1
NUR HASAN, S.Pd,M.Si
03
5,806
22
Partai Republika Nusantara
1
R.H. ZULKIFLI, S.E.
01
4,198
23
Partai Republika Nusantara
1
MAHMUDI
06
3,804
24
Partai Golongan Karya
1
A. MUFID SOBAR
01
1,869
25
Partai Persatuan Pembangunan
4
Drs.Ec. MUNAWAR CHOLIL
01
3,414
26
Partai Persatuan Pembangunan
1
SYAIFULLAH, S.Ag.
02
3,445
27
Partai Persatuan Pembangunan
4
MUSADDAT
04
3,841
28
Partai Persatuan Pembangunan
2
H. MAHMUD , SE.
05
3,489
29
Partai Persatuan Pembangunan
1
Drs. HOSYAN, SH.
06
3,398
30
Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia
1
KH. MUKAFFI, SH.,Msi.
02
6,422
31
Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia
1
SYAIFUL RIZAL FAKHAL, SH.
03
6,437
32
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
1
MOHAMMAD IDRIS, SE
01
1,973
33
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
1
FATKUR RAHMAN
06
4,215
34
Partai Bintang Reformasi
1
H. MUKAFFI
02
4,494
35
Partai Bintang Reformasi
1
Ir. H. EKA HADI PRIYANTO
04
4,728
36
Partai Bintang Reformasi
1
AKHMAD SAFRUDIN
05
2,504
37
Partai Demokrat
2
H.ISMAIL HASAN, BA
01
2,690
NO
1
PARTAI POLITIK
NO. URUT DCT
NAMA CALON TERPILIH
DAPIL
SUARA SAH
2
3
4
5
6
38
Partai Demokrat
5
MOCHDOR, S.Si
02
2,708
39
Partai Demokrat
2
H.ABDURRAHMAN
03
4,588
40
Partai Demokrat
1
Ir. RISKI
04
3,109
41
Partai Kebangkitan Nasional Ulama
8
MATWAR, S.Pd
02
1,671
42
Partai Kebangkitan Nasional Ulama
1
H. MUSAWWIR,SH
03
2,700
43
Partai Kebangkitan Nasional Ulama
1
H. NURHASAN
04
2,519
44
Partai Kebangkitan Nasional Ulama
1
SOFIULLOH SYARIP, S.PdI
05
3,447
45
Partai Kebangkitan Nasional Ulama
5
USRO' UDIN, S.IP
06
3,432
Hasil Pemilu/
No.
Result of
ABRI PPP
Golkar
PDI-P PAU PKB
Demokrat
Pembaharuan
P2N PKNU RPR
Jumlah/ Total
General Election
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
1.
Bangkalan 1982
8
23
11
3
-
-
-
-
-
-
-
45
2.
Bangkalan 1987
9
17
18
1
-
-
-
-
-
-
-
45
3.
Bangkalan 1992
9
13
22
1
-
-
-
-
-
-
-
45
4.
Bangkalan 1997
9
15
21
-
-
-
-
-
-
-
-
45
5.
Bangkalan 1999
5
-
3
7
5
25
-
-
-
-
-
45
6.
Bangkalan 2004
-
9
-
-
-
25
-
11
-
-
-
45
7.
Revisi 2006
-
9
-
-
-
25
-
11
-
-
-
45
8.
Revisi 2007
-
9
-
-
-
25
-
11
-
-
-
45
9.
Revisi 2008
-
9
-
-
-
25
-
11
-
-
-
45
10.
Bangkalan 2009
-
5
-
-
-
15
4
-
7
5
9
45
Sumber Data : Sekretariat DPRD Kabupaten Bangkalan Data Source : DPRD Secretariat of Bangkalan Regency