PERLU STRATEGI PARTISIPATIF MENUNTASKAN TATA BATAS TAMAN NASIONAL SIBERUT∗ Latar Belakang Taman Nasional (TN) Siberut di Kabupaten Kepulauan Mentawai sudah beberapa kali dilakukan penataan batas.
Tahun 1997/1998 Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan
Hutan Padang menata batas 70 km. Tahun 1998/1999 tata batas persekutuan 120 km oleh pihak ketiga PT Barn Cirta Laksana, konsultan yang ditunjuk Badan Planologi Kehutanan. Tahun 2005/2006 ditata batas persekutuan 69 km. Semua hasilnya belum diakui penuh oleh masyarakat adat yang mengklaim kawasan adalah hak ulayatnya.
Mencermati keadaan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebabnya adalah sistem yang digunakan tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat adat Mentawai.
Dalam hal ini tidak melibatkan sepenuhnya masyarakat sejak sosialisasi,
perencanaan kegiatan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasinya.
Atas dasar pencermatan itu, dipandang perlu strategi penataan batas yang lebih partisipatif, banyak memberi kesempatan masyarakat adat pemilik ulayat, serta penguatan dukungan dan peran aktif dari pihak-pihak yang erat keterkaitannya. Untuk itulah tulisan ini dibuat dengan kerangka isinya mulai dari sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi, dan harapannya dapat dijadikan panduan dalam melakukan penataan batas kawasan TN Siberut khususnya, serta dapat menjadi saran masukan bagi Ditjen Planologi Kehutanan untuk menentukan kebijakan tata batas kawasan hutan pada umumnya.
Kerangka Pemikiran Memperhatikan perundang-undangan terkait tata batas kawasan hutan, kondisi riil kawasan TN Siberut, perkembangan sosial budaya masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan, dan fakta-fakta yang mempengaruhi penolakan kegiatan penataan batas oleh masyarakat. Rancang strategi pelaksanaan tata batas didasarkan pada alur pikir pada Gambar 1 di bawah.
∗
1. Hasil penugasan diklat SECEM-2008. 2. Oleh : a. Ahmad Munawir (Balai TN Siberut), dan b. Priyambudi Santoso (Widyaiswara Kehutanan).
1
Gambar 1. Dasar pemikiran rancangan strategi partisipatif tata batas TN Siberut.
Pemahaman Tata Batas Partisipatif Ketergantungan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan terhadap sumbedaya hutan merupakan kondisi sangat umum di Indonesia. Keeratan interaksinya sangat dipengaruhi oleh tatanan budaya yang turun temurun, karena hutan dinilai mampu memberikan kesejahteraan lahir dan batin. Hal ini seirama dengan perundangan, bahwa hutan di Indonesia dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perwujudan misi inilah yang mesti didorong pencapaiannya, antara lain perlu sistem pengelolaan hutan yang benar, moral dan profesionalisme para penyelenggara mesti mantap, dan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya harus mendukung.
Kita semua faham bahwa kawasan hutan itu mantap jika status jelas dan pasti (clear and clean) yang ditandai tanda-tanda batas di lapangan dan pada dokumen administrasi kawasan, ada ketegasan bahwa kawasan telah mempunyai kekuatan hukum yang kuat baik penunjukan maupun penetapan oleh yang berwenang, ada pengakuan masyarakat dan para pihak, bebas dari hak-hak pihak lain, serta dikelola dengan baik dan benar. Terkait di atas, maka kemantapan status dan hukum kawasan hutan merupakan syarat pokok dalam pengelolaan hutan lestari yang salah satu tahapannya melalui proses penataan batas. Namun kenyataannya banyak permasalahan dalam pelaksanaan tata
2
batas, antara lain : 1) masih ada klaim pemilikan masyarakat terhadap kawasan yang mengakibatkan tidak pernah selesainya tata batas, dan 2) masih sering terjadi keberadaan pihak-pihak lain yang seringkali mempengaruhi timbulnya konflik kawasan.
Pengalaman penataan batas TN Siberut memperlihatkan kurangnya perhatian terhadap keberadaan serta pemenuhan kebutuhan masyarakat di dalam dan di sekitarnya. Sumbernya konflik adalah 1) tidak adanya pengakuan hak penguasaan lahan untuk masyarakat setempat/lokal, 2) tata cara pembuatan batas yang ada belum melibatkan sepenuhnya semua pihak dan belum cukup memberikan landasan operasional secara menyeluruh khususnya mengenai mekanisme dan legalitas keterlibatan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, 3) pemancangan patok batas sebagai bagian dari rangkaian kegiatan tata batas dilakukan tanpa ketuntasan sosialisasi/dialog yang memadai dan menyeluruh dengan warga masyarakat, 4)
adanya beberapa sumber permasalahan
teknis, seperti pelaksanaan tata batas berdasarkan pada peraturan dan pedoman yang masih belum sepenuhnya dihargai oleh semua pihak, belum didukung secara total oleh kondisi nyata di lapangan, dan peyelesaian masalah masih dirasakan kuatnya “Top Down Process” yang berakibat terhadap kecilnya kesempatan dan inisiatif masyarakat untuk ikut serta secara aktif dalam pengelolaan yang berkesinambungan.
Penyelesaian kondisi tersebut di atas memerlukan persamaan cara pandang, terutama yang berkaitan dengan adanya hak-hak pihak ketiga, mengutamakan kepentingan masyarakat luas, kebersamaan melalui duduk bersama dan niat baik untuk sepakat memecahkan permasalahan, hal ini dengan melibatkan masyarakat secara penuh mulai sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi. Demikianlah prinsip dasar “Partisipasi Masyarakat” dalam kegiatan tata batas yang partisiptif. Dengan begitu, dapat diharapkan 1) adanya keterlibatan masyarakat secara aktif dalam tahapan penetapan tata batas, 2) proses tata batas hutan benar-benar akomodatif, 3) penyelesaian sengketa dan pengelolaan kawasan hutan bersifat kolaboratif, dan 4) menjamin kawasan hutan yang aman terhadap konflik kepentingan, terpelihara secara baik dan berkelanjutan.
Penataan batas partisipatif kawasan hutan pada dasarnya perlu dan harus, yang tahapan prosesnya sebagai berikut : 1. Perencanaan; hal ini mesti didahului dengan pengumpulan informasi meliputi penggunaan lahan baik oleh masyarakat maupun non kehutanan, Rencana Tata Ruang Wilayah, sampai dengan mempelajari sejarah penguasaan lahan/hutan.
3
2. Identifikasi; dilakukan dengan ”participatory-method” untuk memperoleh gambaran kondisi fisik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Pelaksanaannya meliputi : a) sejarah desa guna mengetahui sejarah masyarakat pada kawasan hutan, b) pola kearifan lokal penggunaan lahan oleh masyarakat, c) sistim penguasaan sumberdaya alam guna mengetahui akses masyarakat
terhadap
kawasan hutan serta norma-norma adat yang masih berlaku di masyarakat, dan d) tingkat ketergantungan terhadap sumber daya alam. 3. Pengkajian ekologis terkait
sistem pelestarian
sumber daya alam
berdasar
kearifan lokal, dan kondisi sosial budaya yang terkait norma adat yang berlaku. 4. Sosialisasi; melalui penyebaran infomasi kepada masyarakat guna penyelesaian konflik atau tumpang tindih penguasaan lahan melalui diskusi kelompok, penyuluhan, atau metode pendekatan lainnya yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Proses ini memerlukan penjelasan-penjelasan. 5. Negosiasi yang merupakan kegiatan tawar menawar dalam menyepakati suatu kawasan, tahapan ini bisa memberikan peluang masyarakat untuk melakukan tawarmenawar melalui : a) saresehan untuk mencapai kesepakatan, b) penyampaian usulan - usulan masyarakat, c) perumusan kesepakatan, d) penyiapan dokumentasi kesepakatan, dan e) penyusunan rencana tindak lanjutnya. 6. Kesepakatan merupakan proses yang memberikan posisi tawar kepada masyarakat setempat dalam penentuan pilihan bentuk pengelolaan hutan secara kolaboratif. 7. Proses rekomendasi/usulan daerah yang merupakan peyampaian hasil penelitian lapangan melalui negosiasi dan kesepakatan terhadap kawasan
yang telah
teridentifikasi, dan Bupati (ketua Panitia Tata Batas/PTB) memproses penyelenggaraan penataan batas hutan.
Dengan proses di atas, maka manfaat dari hasil penataan batas partisipatif bagi masyarakat dan pemerintah tidak akan disangsikan, yang dalam hal ini adalah : a) bagi pemerintah dapat tercipta kepastian untuk bahan pengukuhan kawasan, kejelasan luas kawasan hutan yang diakui masyarakat setempat, lengkapnya dokumen yang membantu proses legalisasi kawasan, jaminan keamanan kawasan secara dini, dan terpenuhinya kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari, dan b) bagi masyarakat adalah penting terhadap pengakuan hak-hak atas tanah, kenyamanan berusaha, dan aman dari konflik lahan yang tertuang dalam rumusan-rumusan kesepakatan.
TN Siberut dan Desa-Desa di Dalam dan di Sekitarnya Tahun 1976 pemerintah memulai program konservasi P. Siberut dengan menunjuk kawasan Suaka Margasatwa (SM) Tetei Batti seluas 6.500 ha. Tahun 1978 Menteri 4
Pertanian dengan Keputusan No : 758/Kws/Um/12/1978 tanggal 5 Desember 1978 memperluas menjadi 56.000 ha dengan statusnya Suaka Alam. Pada tahun 1981 melalui program Man and Biosfer-UNESCO, Pulau Siberut ditetapkan sebagai Cagar Biosfer. Selanjutnya, berdasarkan rekomendasi hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan WWF, maka pada tahun 1993 kawasan konservasi P. Siberut diperluas, oleh pemerintah seperti pada Keputusan Menteri Kehutanan No.: 407/Kpts-II/1993 tanggal 10 Agustus 1993 yang menunjuk TN Siberut seluas ± 190.500 ha, berasal dari gabungan Suaka Alam, Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas dan Tetap.
Pada
perkembangannya Ditjen PHKA menetapkan Zonasi melalui keputusan No.: 14/Kpts/DJV/2001 yaitu; zona inti seluas ± 46.533 ha, zona rimba seluas ± 99.555 ha, zona pemanfaatan intensif seluas 20 ha dan zona pemanfaatan tradisional seluas ± 44.392 ha.
Nilai-nilai dan daya tarik TN Siberut diantaranya : 1) keterisolasian Kepulauan Mentawai semenjak 500.000 tahun lalu dari daratan Sumatra menghasilkan sejumlah bentuk endemik flora dan fauna, 2) keanekaragaman hayatinya a.l. ; mamalia 28 jenis, burung 134 jenis, kupu-Kupu 46 jenis, tupai 7 jenis, dan tikus 3 jenis, 3) kekayaan flora 869 jenis dengan 131 famili, 4)TN Siberut memiliki luasan hutan yang belum terganggu dari keseluruhan hutan hujan tersisa di Kepulauan Mentawai 65 %, 5) Cagar Biosfer Siberut merupakan kawasan potensial untuk tempat penelitian lingkungan, 6) Kebudayaan tradisional masyarakat masih sangat kuat dan diperkirakan sebagai salah satu kebudayaan tertua di Indonesia, bersama TN dan sosial budayanya dapat saling memberikan keuntungan. 7) Masyarakat Siberut ± 80 % petani dan pengumpul hasil hutan atau sangat bergantung pada hutan karena kebutuhan hidup diambil dan diramu dari hutan seperti : rotan, gaharu, obat-obatan, dan pemenuhan kebutuhan protein.
Berdasarkan analisa citra satelit, dan data lapangan Badan Pertanahan Nasional (2002) diperoleh gambaran tentang pola penggunaan tanah TN Siberut : 1) 94,00% atau158.600 ha masih berupa hutan lebat, hutan belukar, hutan rawa, hutan sejenis alami, dan hutan sejenis buatan, 2) 5,27% atau 8.900 ha telah dimanfaatkan oleh masyarakat berupa perkampungan seluas 120 ha, dan pertanian 8.780 ha, dan 3) 0,03% atau 50 ha berupa tanah terbuka dan semak yang harus direhabilitasi. Selain itu, penggunaan tanah di sekitar TN merupakan daerah buffer zone masih didominasi hutan lebat dan hutan belukar. Tanah yang sudah dimanfaatkan secara intensif berasal dari desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar TN Siberut.
Jumlah desa yang wilayahnya sebagian
berada di dalam TN Siberut adalah 12 desa, 5 desa berada di Kecamatan Siberut Selatan dan 7 desa di kecamatan Siberut Utara (lihat Tabel 1).
5
Tabel 1. Desa-desa yang sebagian wilayahnya berada dalam kawasan TN Siberut Desa di Kecamatan Siberut Utara 1. Bojakan 2. Cimpungan 3. Malancan
Luas Desa (ha) Di dalam Prosen TN Siberut (%) 27.990
Desa di Kecamatan Siberut Selatan
Luas Desa (ha) Di dalam Prosen TN Siberut (%)
91,05
1. Pasakiattaileleu
5.370
18,47
400
4,57
2. Sagulubbek
38.350
97,56
7.850
32,87
3. Saibi
6.030
28,35
4. Sigapokna
4.190
20,31
4. Saliguma
410
3,08
5. Simalegi
33.050
100,0
5. Sararaiket
8.130
60,85
6. Simatalu
30.620
100,0
7. Sirilogui 5.230 0,04 Sumber : Laporan rencana pengelolaan TN Siberut tahun 1998
Dari Tabel di atas terlihat bahwa ada dua desa yang tumpang tindih atau 100% wilayahnya berada di dalam taman nasional yaitu desa Simalegi dan Simatalu.
Gambar 2. Peta Taman Nasional Siberut.
6
Kondisi Penataan Batas TN Siberut dan Permasalahannya Panjang garis batas kawasan TN Siberut ± 290 km, terdiri dari
± 100 km batas alam
dan ± 190 batas buatan. Sampai saat ini telah dilakukan penataan batas sebanyak 3 kali. Adapun rincian dan kondisi permasalahannya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kronologi dan keadaan pelaksanaan tata batas TN Siberut di lapangan. No 1
Tahun 19971998
Kegiatan Penataan batas ± 70 Km
Hasil Pelaksanaan 1. 2. 3.
2
1998 1999
Penataan batas persekutuan ± 120 Km
1. 2. 3.
4.
3
2005 2006
Penataan batas persekutuan ± 70 km
5. 1.
2. 3.
4.
5. 6. 7.
Pelaksanaan
tata
batas
TN
Dilaksanakan oleh SUB BIPHUT Padang, Sumatera Barat. Trayek batas mulai dari Taileleu Matotonan - Sirisurak Pengesahan BATB tanggal 23 Maret 1998 (jumlah pal kayu 630 buah, pal beton 70 buah dan plat seng 70 buah).
Dilaksanakan oleh konsultan PT. BARN CITRA LAKSANA. Trayek dari Bojakan - Tarekkan – Simalegi. Jumlah Pal batas yang dipasang 1200 buah (120 pal beton dan 1080 pal kayu). Penataan batas sementara selesai 100%. Sedang penataan batas defenitif realisasinya sekitar 87%, sekitar 13% -nya ditolak oleh sebagian masyarakat, mereka menganggap pal batas tersebut dipasang pada tanah ulayat . Laporan akhir pelaksanaan. Dilaksanakan oleh konsultan PT BARN CITRA LAKSANA, didampingi PTB (a.l.: BPKH Medan, Dinas Kehutanan, Kecamatan, TN Siberut). Telah dilakukan tata batas sepanjang 69,111,27 meter . Trayek batas dari Matotonan Taileleu dan dari Matotonan ke Desa Saibi Samukop (Sirisurak). Pal batas kayu awet lokal berukuran diameter 15-20 cm, dengan panjang 150 cm. Dipancang 554 pal. BATB telah ditandatangani PTB. Proses peta batas defenitif masih dalam penyelesaian.
Siberut
kenyataannya
Permasalahan 1. Peta defenitif oleh PTB sepanjang 70 km belum tuntas secara hukum. 2. Ada penolakan masyarakat Desa Matotonan (Surat Kades No. 0157/MTT/1997 tanggal 11 November 1997 1. Tidak selesainya penataan batas karena ada penolakan dari masyarakat (pengusiran tim di lakukan masyarakat Dusun Tarekan Hulu) 2. Tidak dibuat BATB dan peta definitif tata batas
Tindak Lanjut 1. Diusulkan penyelesaian peta tata batas yang telah ditandatangani PTB. 2. Perlu pendekatan kembalidengan masyarakat Desa Matotonan
1. Perlu melakukan sosialisasi dan kesepakatan bersama di tingkat masyarakat akan fungsi dan manfaat tata batas kawasan. 2. Meminta agar PT Barn Citra Laksana menyelesaikan / melanjutkan pekerjaan.
1. Ada pengusiran tim 1. Melakukan rapat dan kesepakatan tata batas yang dengan melalui jalur trayek masyarakat Desa Matotonan – tentang fungsi Sirisurak oleh batas kawasan masyarakat. dan tugas 2. Masyarakat kegiatan Tim Tata meminta ganti rugi Batas beserta sebesar 34 juta rupiah bila tim tetap PTB. melanjutkan tata 2. Melibatkan batas masyarakat / tokoh / suku di dalam masyarakat desa untuk penyelenggaraan tata batas
belum/tidak
selesai
secara
administratif, walaupun tanda batas definitif telah dipancang sebesar ± 80%.
Selain
permasalahan pada Tabel 2 di atas, secara mendasar nampaknya belum ada keserasian dengan keputusan paduserasi RTRWP dengan TGHK Propinsi Sumatera Barat sebagaimana Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.422/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999. Karena hampir seluruh kawasan TN Siberut termasuk fungsi hutan produksi. Keadaan yang makin mempengaruhi lamanya penyelesaian penataan batas adalah adanya pemekaran daerah dengan terbitnya UU No. 49 Tahun 1999 tentang
7
Pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai, dan UU No. 9 Tahun 2000 tentang Perubahan Pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Dalam hal ini, administrasi Kabupaten Kepulauan Mentawai menjadi terpisah dari Kabupaten Padang Pariaman. Selain itu dukungan pembiayaan diperkirakan juga dapat mempengaruhi, karena “Asian Development Bank” yang semula mensupport menghentikannya pada tahun 1999.
Sementara permasalahan lain yang besar pengaruhnya adalah belum tuntasnya (tidak selesainya) secara total/keseluruhan dokumen administratif oleh panitia tata batas TN Siberut. Informasi di atas telah diklarifikasi dan pada dasarnya dapat dibenarkan oleh Badan Planologi Kehutanan (bagian pengukuhan kawasan hutan di Bogor), karena hasil penataan batas TN Siberut tahun 1997/1998 dan 1998/1999 belum pernah diterima oleh bagian pengukuhan hutan di Bogor, sehingga sampai saat ini kawasan TN Siberut dapat dikatakan belum tuntas proses pengukuhannya.
Akumulasi permasalahan TN Siberut dengan masyarakat dapat dikatakan berawal dari proses penunjukan kawasan yang belum secara penuh melibatkan masyarakat selaku pengguna dan pemilik hak atas tanah (existing land use and ownership), mereka merasa dibatasi aksesnya terhadap sumberdaya alam yang ada dalam kawasan TN Siberut. Perjalanan berikutnya, dapat dirasakan bahwa penentuan kebijakan pemerintah terkesan kurang konsisten, tahun 1993 untuk P. Siberut tidak diperkenankan lagi kegiatan logging skala besar, namum kenyataan tahun 1999 pemerintah memberi ijin konsesi kepada perusahaan melakukan eksploitasi kayu skala besar dalam bentuk Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Alam (IUPHHKA). Hal inilah yang cenderung menjadikan masyarakat lebih menyukai perusahaan IPK dan IUPHHKA, karena terdapat kompensasi-kompensasi yang diperoleh dari perusahaan serta secara instant memenuhi kebutuhan mereka dalam bentuk cash money.
Harapan Para Pihak Terhadap Penyelesaian Permasalahan 1. Pihak masyarakat. Berdasarkan informasi dari wawancara dengan masyarakat terlihat jelas bahwa sistem penataan batas yang diharapkan masyarakat adalah adanya permusyawarahan dengan pemilik hak ulayat sebelum kegiatan tata batas dilaksanakan. Di dalamnya terkandung pentingnya sosialisasi yang menyeluruh, penghargaan/penghormatan terhadap keberadaan adat dan hak ulayat, bahkan menurut Ivonne (2007) sampai dengan mengharap adanya penyewaan/pembelian tanah ulayat yang akan ditata batas (masuk kawasan hutan negara). Harapan lain berdasar analisa konflik batas selama ini; tanah ulayat yang ditata batas tetap menjadi
8
milik suku (masyarakat tetap diberi akses berkegiatan di tanah ulayat mereka), dan perlu kerjasama antara masyarakat dengan pengelola TN dalam melakukan pengelolaan tanah ulayat yang masuk kawasan, serta perlu ada bantuan-bantuan (kompensasi) atas tanah ulayat yang masuk kawasan. 2. Pemerintah Daerah. Berdasarkan hasil konsultasi dengan pihak PTB dan dari Ivonne tahun 2007, maka diperlukan : a) musyawarah dengan masyarakat pemilik ulayat, untuk menjelaskan tujuan penataan batas, jalur yang akan dibatasi, dan kemungkinan akses masyarakat terhadap sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan TN, b) membentuk tim verifikasi untuk sosialisasi dan pelaksanaan koordinasi pada tingkat lapangan, c) pelibatan yang lebih berimbang terhadap masyarakat pemilik ulayat yang akan dilewati jalur dalam pelaksanaan tata batas, dan d) perlu dukungan biaya yang memadai untuk sosialisasi dalam rangka pelaksanaan tata batas. Karena sosialisasi untuk masyarakat Mentawai dipandang penting sampai dari rumah ke rumah. 3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pihak ini berkompeten memberikan tanggapan terhadap tata batas kawasan TN Siberut.
Adapun hasil wawancara
dengan ketua Dewan adalah : a) penjelasan kepada masyarakat terhadap proses penunjukan kawasan, pentingnya kawasan konservasi dan tata aturan zonasi amat diperlukan, b) salah satu penyebab konflik masyarakat dengan pihak TN dalam hal batas kawasan adalah adanya IUPHHKA, c) perlunya sosialisasi batas yang benarbenar menyentuh sampai kepada masyarakat pemilik ulayat. 3. Pihak Lain. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang baik, obyektif dan konsisten pada bidangnya dipandang merupakan bagian yang penting dalam memberikan kontribusi terhadap keberhasilan penyelenggaraan tata batas di TN Siberut. Sebagai contoh adalah LSM Yayasan Citra Mandiri. Tanggapan mereka diantaranya adalah : a) Tata batas kawasan tidak berarti mematikan akses masyarakat terhadap sumberdaya alam yang berada dalam kawasan, mereka mesti tetap diberi hak dalam pemanfaatan yang menjadi kebutuhannya, b) perlu musyawarah dan penjelasan kepada masyarakat pemilik ulayat mengenai tata batas, karena hal tersebut akan berdampak kepada kehidupan mereka mendatang, c) perlu melibatkan dewan adat mitra pemerintah membangun dan merupakan lembaga representatif masyarakat.
Strategi Partisipatif Menuntaskan Masalah Batas TN Siberut 1. Pra Pelaksanaan Tata Batas. Hal ini meliputi : a) pengumpulan data dan informasi lapangan yang baru dan benar sampai dengan tokoh-tokoh adat/suku, untuk bahan perencanaan trayek yang akan dilalui batas, pemilik lahan, serta situasi dan kondisi 9
penggunaan lahan oleh masyarakat sepanjang jalur trayek batas. b) penyusunan bahan sosialisasi ntuk keseragaman penyampaian informasi s/d tingkat kecamatan, desa/dusun dan masyarakat adat selaku pemilik hak ulayat. Informasi penting yang perlu disampaikan s/d kemungkinan akses masyarakat terhadap sumberdaya alam. Di dalam pembuatan panduan/bahan sosialisasi, selain mendapat legitimasi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), juga perlu masukan perbaikan oleh PTB (SK Bupati Kepulauan Mentawai No. : 87 tahun 2004), LSM Perkumpulan Siberut Hijau (PASIH), Yayasan Citra Mandiri (YCM), Dewan Adat Siberut, Koperasi Andalas Madani dan PT. Summa Salakai Sejahtera. c) Sosialisasi Rencana Penataan Batas oleh yang berkompeten bersama para-pihak kepada seluruh lapisan yang terkait mulai dari Kecamatan, Desa/Dusun, tokoh-tokoh adat dan suku-suku pemilik tanah ulayat. d) Dari hasil sosialisasi diharap ada kesepakatan-kesepakatan sejak tingkat tokoh adat/suku, dusun/desa sampai dengan tingkat kecamatan yang diantaranya berisi rencana jalur/trayek batas, hak-hak masyarakat pemilik ulayat, akses terhadap sumberdaya alam di dalam kawasan, pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan tata batas, tanggung jawab masyarakat terhadap pemeliharaan keamanan tanda batas. Kesepakatan tersebut dibuat legal (berkekuatan hukum dan dapat dipertanggung jawabkan), dan dimiliki oleh berbagai pihak yang bersepakat serta yang menyaksikan. e) Biaya yang dibutuhkan untuk tahapan pra pelaksanaan seharusnya dapat diakomodir dalam bagian pembiayaan penyelenggaraan tata batas kawasan hutan. f) evaluasi dan monitoring pelaksanaan persiapan tata batas. Hal ini menjadi salah satu acuan apa pelaksanaan tata batas siap dilaksanakan pada tataran pemerintah kecamatan, desa/dusun dan masyarakat pemilik ulayat, dan paling penting yang dievaluasi/dimonitor adalah hasil pelaksanaan sosialisasi yang termasuk butir-butir kesepakatan dengan masyarakat/suku-suku pemilik lahan, serta harus dilakukan secara bersama antara PTB dan pihak yang terlibat pelaksanaan sosialisasi. 2. Pelaksanaan Tata Batas. Waktu pelaksanaan tata batas seyogyanya tidak berselang lama atau langsung setelah selesainya tahap pra pelaksanaan, hal ini akan menghindari kecurigaan terhadap perubahan pendirian dari pihak-pihak yang bersepakat, mengingat dinamika masyarakat terjadi sangat cepat seiring perubahan sosial dan perekonomian secara nasional. Pada dasarnya tahapan pelaksanaan tata batas kawasan telah diatur oleh PP No. 44 tahun 2004 beserta Peraturan-Peraturan pada tingkat Menteri. Namun fleksibilitas dan kondisional lapangan membutuhkan penyesuaian-penyesuaian. Tahapan yang dipandang perlu penyesuaian a.l. adalah: a. Pemancangan patok batas sementara.
Harus sepenuhnya melibatkan suku
pemilik ulayat yang dilalui jalur batas sementara
10
b. Pengumuman hasil pemancangan patok batas sementara.
Harus diketahui
dengan baik oleh suku pemilik ulayat yang dilalui jalur batas sementara c. Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan. Agar benar-benar berdasarkan nota kesepakatan yang telah dibuat pada tahap pra pelaksanaan d. Penyusunan Berita Acara pengakuan oleh masyarakat di sekitar trayek batas atas hasil pemancangan patok batas sementara. e. Penyusunan Berita Acara pemancangan batas sementara. f.
Pemasangan pal batas yang dilengkapi dengan lorong batas.
g. Pemetaan hasil penataan batas. h. Pembuatan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas dan Peta Tata Batas. i.
Pelaporan kepada Menteri dengan tembusan kepada Gubernur.
Catatan : Diharapkan agar pihak-pihak yang berkepentingan di lapangan s/d masyarakat pemilik ulayat yang dilalui jalur batas selalu ikut mendapatkan arsip dokumen legal tata batas (termasuk berita acara dan peta hasil tata batas).
3. Evaluasi dan Monitoring Tahap akhir dari seluruh rangkaian kegiatan adalah mengevaluasi dan memonitor sejauh mana tingkat keberhasilan dan efektifitas pelaksanaannya. Hal ini harus dilakukan secara partisipatif dengan selalu melibatkan masyarakat beserta pihak lain yang berkepentingan.
Hal ini dapat menjadi acuan untuk kemajuan dan upaya
pengembangan bagi pengelolaan kawasan selanjutnya.
Pihak-pihak yang perlu berperan/diikutsertakan dalam proses penataan batas partisipatif TN Siberut adalah : PTB yang dibentuk Bupati Kepulauan Mentawai, serta pihak-pihak yang dipandang penting (UNESCO yang di Indonesia yang berurusan dengan Cagar Biosfer, Koperasi Andalas Madani dan PT. Summa Salaki Sejahtera karena keduanya berbatasan langsung dengan kawasan TN Siberut, LSM Yayasan Citra Mandiri (YCM) dan LSM Perkumpulan Siberut Hijau (PASIH) karena lama bekerja dalam rangka pendampingan masyarakat Siberut, Dewan Adat yang merupakan
bagian dari masyarakat adat yang aktif memperjuangkan hak-hak
masyarakat adat di Siberut).
Simpulan dan Saran 1. Sampai saat ini TN Siberut masih belum kukuh melalui penetapan Menteri Kehutanan karena proses penyelesaian penataan batas kawasan belum tuntas walaupun sudah 3 (tiga) kali dilakukan penegasan batas di lapangan yang selalu mendapat persoalan 11
akibat adanya penolakan dari masyarakat adat yang mengklaim bahwa kawasan TN Siberut adalah hak ulayat mereka. 2. Masyarakat di dalam dan di sekitar TN Siberut bersama para pihak (Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPRD, dan LSM) sangat mengharapkan adanya sistem tata batas yang bisa mengakomodasikan kebutuhan jangka panjang pemerintah dan masyarakat adat sejak dari perencanaan kegiatan s/d monitoring dan evaluasinya, hal ini dapat dicoba dengan melakukan kesepakatan-kesepakatan bersama yang ditaati secara bersama pula. 3. Sosialisasi suatu kegiatan adalah amat penting, dimulai dari bahan untuk sosialisasi s/d pelaksanaan dan monitoring/evaluasinya perlu mendapat legitimasi dari para pihak (BPKH, PTB, LSM terkait, Dewan Adat sampai kepada pihak-pihak yang berperan aktif pada lapisan bawah di tingkat Kecamatan, Desa/Dusun, sampai kepada tokohtokoh adat dan suku-suku pemilik tanah ulayat). 4. Strategi penataan batas partisipatif kawasan TN Siberut pada dasarnya dimulai dari tahap pra pelaksanaan tata batas, pelaksanaan tata batas, dan monitoring serta evaluasi penyelenggaraan tata batas, kesemua tahap tidak hanya tugas dari Panitia Tata Batas, melainkan penting dan perlu melibatkan Dewan Adat Siberut, LSM PASIH dan YCM, Koperasi Andalas Madani dan PT Summa Salaki Sejahtera, serta UNESCO Indonesia yang mengurusi Cagar Biosfer. 5. Selain itu, diharapkan ulasan singkat dan sedikit pada tulisan ini bisa menjadi bahan dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan program besar yang bertujuan menyiapkan dan menjalankan pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang lestari dan masyarakat sejahtera.
Referensi Conservation International (CI). 2002. Economic Valuation of Natural Resources In Siberut Island (A Part of Feasibility Study of Conesevation Concession in Siberut Island). Conservation International Indonesia. Jakarta. Direktorat Penatagunaan Tanah, Badan Pertanahan Nasional. 2002. Pemetaan, Komputerisasi, dan Digitasi Peta dan Penyusunan Analisis Aspek Pertanahan Kawasan Taman Nasional Siberut Provinsi Sumatera Barat Tahun Anggaran 2002. Bagian Proyek Inventarisasi dan Evaluasi Sumber Daya Lahan di Daerah Prioritas, Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional. Padang. Ivonne. M., 2007. Penataan Batas Partisipatif : Salah Satu Solusi Konflik Tata Batas Di Taman Nasional Siberut, Studi kasus di Desa Matotonan, Kecamatan Siberut Selatan. (Skripsi ). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Prasetyo T. 2005. Kelembagaan dan Pengelolaan TN Siberut. Disampaikan pada Lokakarya Evaluasi Kegiatan Balai Taman Nasional Siberut Bersama Mitra dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Siberut. Padang. Rudito B. 1993. Mayarakat Mentawai di Sebelah Barat Sumatera. Di dalam Koentjaraningrat, editor. Masyarakat Terasing di Indonesia. Gramedia. Jakarta.
12