MENUNTASKAN KONSENSUS LOKAL-NASIONAL (YANG) BERKELANJUTAN: (Membaca Ulang Rasionalisasi dan Idealisasi Pembangunan Model GBHN) Rendy, M.A. 1
Abstract: Tulisan ini merupakan sebuah telaah kritis dan tinjauan analitis terkait GBHN sebagai instrumen mengelola concencus building dalam rangka memperkuat kembali GBHN sebagai haluan negara yang berhaluan Pancasila. Tulisan ini mencoba meninjau ulang terkait Pembangunan model GBHN;
antara idealisasi dan rasionalisasi. Oleh karena itu, tentu menjadi sangat penting kemudian menghadirkan sebuah konsep yang ideal dan memadai dengan tujuan mengkerangkai model ideal dan rasional tersebut menuju pembangunan Nasional yang berkelanjutan. GBHN merupakan manifestasi doktrin ‘state-led economic development‟2, semacam model pembangunan berencana yang dijadikan basis bagi haluan pembangunan suatu negara. Oleh karena itu, upaya untuk menghadirkan kembali pembangunan model GBHN yang tentu berbeda dengan konteks Orde Baru menjadi penting dan relevan, khususnya GBHN yang berhaluan Pancasila. Ini pada akhirnya penting untuk dijadikan semacam konsep yang ideal dan memadai dengan tujuan mengkerangkai model ideal dan rasional terkait pembangunan Nasional yang berkelanjutan. GBHN model baru adalah proyek bersama untuk menyelaraskan grand design jangka panjang pembangunan Nasional ke depan yang tentunya sangat mengedepankan proses-proses yang diskursif dan demokratis. Memperkuat konteks GBHN yang dibangun dengan basis di atas konsensus yang melibatkan secara aktif dan masif berbagai pihak, khususnya komunitas akademik dan juga komunitas gerakan dan swadaya masyarakat menjadi sangat mendesak dilakukan.
1
2
Penulis adalah Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Bangka Belitung. Lihat Purwo Santoso, 2016. ‘GBHN sebagai Kerangka Penggalangan Konsensus’.
I.
Pendahuluan
Pembangunan
Ini pada gilirannya menjadi dilema model
GBHN3
tersendiri bagi proses tumbuh-kembang
menjadi diskursus publik yang kembali
demokrasi
mencuat, sekaligus juga menjadi arena
pembangunan, baik di aras lokal maupun
perdebatan serius terkait urgensi untuk
nasional yang banyak menemui kondisi
menghadirkan ulang format dan skenario
paradoks yang sangat rumit dan stagnan.
pembangunan berencana yang terarah serta
Konteks ini bisa jadi akibat dari praktik
berkelanjutan. Pembangunan model GBHN
pembangunan yang sarat KKN akibat dari
sendiri dianggap menjadi arena penting
adanya ‘penjahat demokrasi’ dalam setiap
sekaligus sebagai kerangka strategis untuk
ruang
meraih, sekaligus mengelola konsensus
berlangsung.4
dan
dan
demokratisasi
dinamika
proses
yang
Ruang perdebatan terkait konsep
publik. Adanya kehendak untuk kembali
dan konteks sistem ketatanegaraan saat ini
menghidupkan ‘roh’ pembangunan model
memang menjadi relevan untuk menjadi
GBHN bukan tanpa alasan. Beberapa tahun
bahan refleksi dan perdebatan diskursif
pasca
Baru,
semua pihak, khususnya dalam rangka
sekaligus pasca gegap gempita reformasi,
mengupayakan gagasan ide dari semua
terkesan seolah tidak ada haluan jelas dan
pihak untuk pada akhirnya mencapai
terarah pembangunan Nasional. Hal ini
konsensus bersama tentang konteks ideal
diperparah dengan praksis politik dan
dan
demokrasi kekuasaan yang justru tidak
pembangunan
jarang menghadirkan rezim kuasa yang
pendek maupun jangka panjang, khususnya
tidak stabil. Hal tersebut diakibatkan oleh
dalam situasi rezim politik dan kekuasaan
berbagai praktik politik pembangunan yang
yang berubah-ubah. Oleh karena itu, maka
sangat koruptif dan manipulatif.
menjadi harapan besar semua pihak, agar
tumbangnya
rezim
Orde
rasional
bagi
arah
Indonesia,
dan baik
nasib jangka
trajektori pembangunan antar rezim yang 3
Istilah ‘GBHN’ sendiri merupakan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Ini menjadi model dan instrumen utama sebagai pendekatan pembangunan berencana dalam penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan rezim Orde Baru yang saat itu terkenal sangat Jakartasentris, sentralistis, dan otoriter. Tulisan ini dikembangkan dari substansi paparan penulis yang pernah dipresentasikan bersama pihak Tim Pengkajian dari MPR RI, dan kerjasama antara pihak Center for Electoral and Political Parties (CEPP) FISIP UI bersama FISIP UBB pada medio 2016.
4
Istilah ‘penjahat demokrasi’ merupakan adagium yang dikembangkan oleh Verdi Hadiz dalam melihat adanya ancaman serius dan berpotensi besar membajak kehidupan demokrasi dan politik suatu negara akibat dari prilaku aktor atau elit-eli tpenyelenggara negara dari berbagai arena dan level kekuasaan, baik di pemerintahan maupun mereka dunia pebisnis. Baginya, politik dan demokrasi tetap akan menjadi ‘mainan’ elit (baca: ‘Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat’, J.Linz, Juan, 2001)
terus
berubah
saling
Tulisan ini mencoba melakukan
menegasi, akan tetapi saling menopang dan
semacam refleksi kritis terkait dirkursus
memiliki konteks ketersambungan yang
pembangunan
kuat
bermaksud untuk menghadirkan sebuah
dan
tersebut,
selaras
tidak
dengan
visi
misi
pembangunan Nasional jangka panjang. Di
tengah
Indonesia
dalam
gagapnya
berpikir
mempertanyakan,
Tulisan
kritis
menguji,
ini
untuk sekaligus
fase-fase
menimbang ulang GBHN sebagai model
perjalanan politik sebagai hasil pergulatan
yang mengkerangkai sistem perencanaan
panjang amandemen UUD 1945, yang
pembangunan nasional, dan pada saat yang
dalam praktiknya dianggap liberal, tentu
sama juga mencoba menghadirkan petunjuk
ada begitu banyak konteks sistem dan
sekaligus masukan akademis dalam rangka
praksis politik pembangunan yang perlu
menimbang peluang dan tantangan atas
disikapi dan dikritisi bersama. Oleh karena
ikhtiar besar perubahan terkait sistem
itu,
kembali
ketatanegaraan bangsa ini. Lebih lanjut,
memikirkan ulang model praksis yang ideal
tulisan ini mencoba melakukan telaah kritis
dan rasional bagi konteks pembangunan
dalam rangka meninjau ulang terkait
Nasional, khususnya yang berkaitan dengan
dinamika wacana reformulasi perencanaan
perlu tidaknya kita menghadirkan kembali
pembangunan
semacam haluan negara sebagai kerangka
GBHN. Oleh karena itu, tentu menjadi
pembangunan Nasional.
sangat penting kemudian menghadirkan
tentu
Di
menjalani
bangsa
kerangka
Nasional.
menjadi
tengah
perlu
situasi
yang
Nasional
dengan
model
terus
semacam konsep yang ideal dan memadai
berubah, memang tantangan pembangunan
dengan tujuan mengkerangkai model ideal
Nasional terus menghadapi kondisi yang
dan rasional terkait pembangunan Nasional
paradoks dan sangat kompleks. Tentunya,
yang berkelanjutan.
hal tersebut juga berkaitan erat dengan
Konteks Ketatanegaraan
sistem kewenangan lembaga MPR dalam
Debat
wacana
untuk
kembali
situasi perubahan sistem ketatanegaraan
menguatkan model GBHN sebagai isu
yang sudah terjadi selama ini. Untuk itu,
pokok
penting sekali melakukan agenda penataan
merupakan respon diskursif yang berangkat
secara efektif dan reflektif, baik dalam
dari realitas dinamika politik pembangunan
konteks
ketatanegaraan,
yang terkesan bertumbuh secara liar dan tak
maupun yang menyesuaikan dengan realitas
terkendali. Selama ini terkesan seolah telah
sosial historis kehidupan masyarakat.
terjadi overlapping concencus Nasional-
politis-yuridis
dalam
konteks
ketatanegaraan
Lokal terkait diskursus model perencanaan
pembangunan dengan
yang
berbagai
terlanjur
terlekati
ketidakjelasan
ketidakberesan:
dan
pembangunan menjadi
Lokal-Nasional.
masalah
yaitu,
realitas
Yang arah
pragmatis-oportunis,
pembangunan dalam satu dasawarsa lebih
boros-mubazir,
ini, tepatnya saat uforia arus otonomi
inefisiensi-inefektifitas, penerabasan aturan
daerah terus berjalan, malahan menjadi
main dan entah apapun itu yang terlekati
tidak jelas, tidak terarah, seperti berjalan
oleh berbagai stereotip negatif.
sendiri-sendiri, hebat sendiri-sendiri, dan
koruptif-manipulatif,
Tentu menjadi penting dan relevan
ironisnya bagus dan berhasil menurut versi
untuk didiskusikan ulang terkait GBHN
sendiri-sendiri pula. Kondisi ini diperparah
sebagai
doktrin
dengan realitas kepemimpinan di aras lokal
‘state-led economic development‟5 melalui
yang cenderung lebih banyak didominasi
pembangunan berencana tersebut, apakah
oleh orang-orang bermasalah.
semacam
kemudian
masih
manifestasi
relevan
atau
tidak?
Kondisi
tersebut
tentunya
akan
kalaupun iya, apa yang mesti dikoreksi dan
berpengaruh sedikit banyak terhadap upaya
dievaluasi? Apakah dan kemudian dengan
penataan
konteks kekiniannya, apakah memang ada
pembangunan yang sejalan dengan konteks
harapan
untuk
Pancasilais. Konteks yang memastikan
haluan
sebesar-besar peluang bagi semua pihak,
pembangunan yang relevan dengan konteks
tanpa pembedaan dan dikotomi kelas atau
penguatan
dan
strata sosial ekonomi, agar semua penduduk
bernegara untuk jangka panjang, khususnya
di berbagai wilayah dan daerah di Indonesia
yang berkorelasi kuat dengan konteks
mampu merasakan konteks pembangunan
penguatan nilai-nilai Pancasila.
berkeadilan yang digelorakan pemerintah
dan
menghadirkan
peluang
semacam
kehidupan
Bahwa,
besar
model
berbangsa
dan
paradigma
dan
penguatan
ruang
pusat maupun daerah dalam berbagai
pembangunan lokal-Nasional yang sejauh
bidang
kehidupan
ini telah banyak memunculkan kondisi
berbangsa, dan bernegara.
paradoksal, khususnya sejak bergulirnya
Persoalan
ini
bermasyarakat,
tentu
tidak
bisa
era otonomi daerah, itu mungkin tidak bisa
dilepaskan begitu saja dengan konteks
disangkal. Tulisan ini tidak dimaksudkan
pragmatisme politik elit di berbagai aras
untuk
membabi-buta
yang selama ini jamak ditemukan lebih
tentang model GBHN sebagai model ideal
banyak yang terjebak pada sikap prilaku
atau
politik yang pragmatis dan oportunis. Hal
membela
formula
secara
terbaik
terkait
sistem
Lihat Purwo Santoso, 2016. ‘GBHN sebagai Kerangka Penggalangan Konsensus’. 5
ini terjelaskan, misalnya saat sebagian besar para pejabat daerah yang terpilih, justru
mereka
sibuk
terlibat
pada
mobilitas
pada pilihan yang sulit dan rumit oleh
kampanye normatif yang tidak idealogis
beragam model fragmentasi. Demikianlah
dan tidak jelas dan kuat visi misinya.
mengapa justru para elit akan lebih banyak
Hal tersebut terkait sekali dengan
menghabiskan banyak energi untuk mencari
persoalan visi misi yang dibuat di daerah
rasionalitas
yang acapkali sangat formal-normatif dan
sekaligus
kaku sekali. Visi misi nyaris tak pernah
kepentingan pribadi, dan kelompoknya
dijadikan instrumen penting, bahkan visi
dalam
misi yang ada hanya bersifat teknokratis
memaksa mereka untuk saling berebut dan
dan lebih sibuk pada isu-isu seksi yang
memastikan diri jadi pemenang dalam
punya daya market yang kuat. Makanya,
setiap ruang kontestasi dan kompetisi.6
tidak heran ketika ada begitu banyak kepala daerah
yang setelah
dilantik,
mereka
berhadapan
visi dengan
misalnya
harus
regulasi,
misinya
relasi
banyak
lebih
setting
liberal
mendahulukan, menguntungkan
yang
memang
secara Cermat. Munculnya desakan di berbagai
karena
aras, terkait diskursus GBHN sebagai
persoalan;
model dan acuan mendasar dalam sistem
dengan
perencanaan pembangunan Nasional, tentu
sosial,
sangat bertalian kuat dengan isu sentralisasi
berhadapan dan
lebih
Menelaah Kembali Model GBHN
linglung kebingungan, dan bahkan gagal menjalankan
yang
realitas
konektivitas anggaran dengan pusat, dan
pemerintahan.
berbagai persoalan demografis, dan lain
beragam ekspresi, di satu sisi ada yang
sebagainya.
juga
menangkap ini sebagai pertanda buruk bagi
berbagai
konflik
menguatnya kembali hasrat sentralisasi
pribadi
maupun
yang pernah mendominasi begitu lama
Hal
diakibatkan
oleh
kepentingan,
tersebut
baik
tentu
kelompok yang memiliki fragmentasi yang
Belakangan
ini
muncul
sejak rezim Orde Baru.
sangat bermacam ragam.
Nyaris tidak ada peluang atau ruang
Lebih lanjut, hal ini tentunya juga
sedikitpun waktu itu bagi konteks lokalitas
sangat terkait dengan beban para elit di
untuk bisa berdaya dan berkreativitas. Ini
daerah
demi
juga menandai betapa lemah dan buruknya
menyatukan kepentingan kolektif. Inilah
daulat rakyat. Yang pasti, semuanya seolah
konsekuensi
kondisi
serba dikendalikan oleh Jakarta. Sementara
pemerintahan yang dalam kondisi tidak
itu, di sisi lain, ada yang menangkap ini
koheren,
sebagai
dengan tanggung jawab
dari
tidak
warisan
seintegralistik
yang
momentum
dibayangkan sebelumnya. Jadi, siapapun elit yang berperan, maka akan dihadapkan
6
Purwo Santoso, 2012.
besar
untuk
mengembalikan ruh pembangunan yang
juga dalam rangka kepentingan lokal. di
lebih terkonsolidasi untuk jangkauan nasib
antara kepentingan daerah yang penting itu
bangsa dan negara dalam jangka panjang.
diantaranya yaitu terwujudnya persamaan
Ini diharapkan menjadi ruang lebar dan
politik (political equality), pemerintahan
leluasa bagi proses deliberasi politik yang
lokal
berbasis kedaultan rakyat.7
Ini semua
accountability), responsifitas masyarakat
berangkat dari realitas perpolitikan pada
setempat (local responsiveness) terhadap
masa Orde Baru yang sudah terlampau
berbagai persoalan publik di aras lokal.
lama melumpuhkan daulat rakyat untuk ikut
terlibat
menentukan
nasib,
yang bertanggung jawab
Persoalannya perencanaan
adalah
dan
model
pemtumbuhan
kepentingan, dan apa saja yang baik untuk
pembangunan
mereka.
dengan berbagai irisan kebijakan dan arah
Demikianlah mengapa pada konteks selanjutnya
terkesan
terpisah
pembangunan lokal yang berbeda-beda
tarik-menarik
pula, terkesan seolah tidak ada tujuan dan
kepentingan yang begitu kuat antara pusat
proyek bersama demi kemajuan lokal-
dan daerah, hingga akhirnya munculnya
nasional yang seimbang dan setara. Inilah
ledakan gerakan yang menghendaki adanya
kemudian yang dianggap sebagai gagalnya
pemencaran desentralisasi,
muncul
justru
(local
kekuasaan atau
lewat
proyek
concencus building dalam kancah politik
kemudian
disebut
pembangunan di negeri ini.
sebagai otonomi daerah. Persoalan lain
Lalu, dengan berbagai motif sebagai
yang kemudian muncul juga tidak kalah
latar
kompleks, apalagi jika merujuk Smith8,
menggejala dengan sangat kuat. Yang pasti,
yang mengungkapkan bahwa pelaksanaan
realitas
desentralisasi tidak hanya ditujukan untuk
beberapa tahun terakhir memang telah
kepentingan pemerintah pusat, melainkan
menghadirkan paradoks tersendiri terkait
7
model perencanaan model pembangunan
Ruang baru yang dimaksud yaitu spirit dan model yang tentunya harus jauh lebih berbeda dibandingkan saat diberlakukan pada konteks rezim Orde Baru, yang faktanya jika mengutip hasil kajian Samsduddin Haris (2002) yang menyatakan bahwa hal itu justru telah mengakumulasi kekecewaan rakyat terhadap arah dan kecenderungan pembangunan yang ekspolitatif, memarjinalkan peran serta kontribusi publik lokal di dalamnya di satu pihak, serta rasa keadilan masyarakat di lain pihak. 8 Lihat dalam Samsuddin Haris (2002).,”Otonomi Daerah, Demokratisasi, dan Pendekatan Alternatif Resolusi Konflik Pusat-Daerah”.
belakangnya,
politik
fenomena
pembangunan
ini
dalam
yang terkesan yang gampang berubah-ubah, terkesan adanya inkonsistensi dari setiap adanya perubahan rezim. Dengan model GBHN, maka muncul harapan dan desakan di berbagai aras. Dengan begitu, setiap kebijakan yang
terlahir
dari
pusat
pemerintah
Nasional di Jakarta, maka akan bisa diikuti
oleh daerah. Itu tentu dilandasi oleh konsensus
bersama
Lokal-Nasional.
Termasuk dalam memperlakukan daerah
Lalu, Resentralisasi Macam Apa Lagi ? Spirit dan ikhtiar terkait wacana
yang berkarakteristik berbeda-beda tentu
reformulasi
harus dikerangkai secara kuat dengan
Nasional
model pembangunan Nasional yang sensitif
prinsipnya bisa ditangkap sebagai upaya
lokal. Hal ini hanya bisa dilakukan secara
pemerintah
optimal jika ruang intervensi tersebut betul-
berlangsungnya
betul mampu pada akhirnya membuka
politik yang bisa saling mendorong dan
ruang diskursif dan ‘deliberatif’
9
bagi
khalayak publik.
tersebut
pembangunan
dengan model
GBHN pada
pusat
untuk
periode
mendorong kepemimpinan
berkontribusi secara aktif dan masif pula demi mengakselerasi tujuan-tujuan krusial
Upaya pembangunan
perencanaan
penyatuan Nasional
pada
model
sistem
pembangunan
GBHN
mengapa muncul gagasan diskursif terkait
sangat
pentingnya
gilirannya
Nasional.
model
Untuk
perencanaan
itulah
dan
menghendaki hadirnya proses membangun
kebijakan yang berkelanjutan (sustainable
konsensus secara masif. Hal ini tentunya
policy). Pada akhirnya, kebijakan tersebut
harus melibatkan banyak aktor, tidak hanya
diarahkan mampu memberi petunjuk jelas
di lingkungan pemerintahan, akan tetapi
terkait bagaimana kebijakan pada semua
juga instrumen di luar pemerintahan, seperti
level pemerintahan bisa bersumbu pada
elemen-elemen
‘Civil
Society‟10,
dan
sebagainya.
sumbu pemerintahan pusat di Jakarta. Seluruh visi misi lokal harus sejalan dan bernalar selaras beriringan dengan konteks
9
Model ini tentu berkiblat pada model demokrasi deliberatif yang digagas oleh Jurgen Habermas terkait ruang deliberatif sebagai ruang publik. Kalau Irish Marion Young, lebih menyebutnya sebagai communicative democracy, sementara John S Dryzek, menyebutnya sebagai discursive democracy. Ini bisa dimaknai sebagai peluang positif bagi berdayanya people power (Lihat F.Budi Hardiman:2009; Larry Diamond:2003). 10 Berbicara soal Civil Society tentu tidak sekedar dari aspek aksi kolektif saja, akan tetapi perlu juga melihat ‘kepadatan asosiasi sipil’ model Touevillean. Termasuk dalam konteks ini bisa berkiblat dari pengalaman efektivitas pemerintahan daerah di Italia Utara yang demokratis dengan padatnya jaringan kerja keterlibatan sipil yang dikembangkan oleh asosiasi sipil setempat. Lihat pengantar Sutoro Eko dalam buku Larry Diamond (2003), ‘Developing Democracy: Toward Consolidation” (terjemahan).
yang ada di pusat. Memang harus diakui pula bahwa selama ini faktanya, justru ada banyak kepala daerah yang visi misinya di daerah justru bertolak belakang dengan visi misi Presiden. Ada visi misi di daerah yang tidak konek dengan pusat. Untuk itu, perlu adanya penguatan koneksi atas relasi pusat dan daerah. Ikhtiar pemerintah yang termaktub dalam Undang-Undang Otonomi Daerah No.32 Tahun 2005 yang arasnya adalah
bermaksud untuk memangkas otoritas lokal
Penutup
di daerah, khususnya daerah tingkat II.
Beberapa poin penting yang bisa
Kemudian, mengembalikan otoritas yang
menjadi rujukan dalam rangkaian dari
dipangkas tersebut ke pemerintah provinsi.
penulisan ini, diantaranya yaitu:
Ini artinya level pemerintah daerah akan
Pertama, MPR pada gilirannya
sangat kuat berada di level gubernur, yang
memang perlu diberi wewenang kembali
sekaligus
sebagai
untuk menyusun GBHN untuk kemudian
perpanjangan tangan presiden. Bisa jadi
ditetapkan bersama sebagai haluan negara
kalau
dalam
juga
begini,
diskursus
soal
berfungsi
akan
muncul
kemungkinan
konflik akan
kembalinya Pilkada ke konteks parlemen.
melakukan
pembangunan
berbagai
Nasional.
program
Tentu
model
GBHN ini sangat berbeda dibandingkan
Yang menarik dicermati di sini
dengan konteks Orde Baru. Bedanya,
yaitu terkait isi dan substansi dari revisi UU
GBHN dalam konteks saat ini dan nanti
N.32 Tahun 2015 yang dianggap sebagai
tentu harus diupayakan menjadi model
babakan baru untuk kembali menguatkan
GBHN yang berhaluan Pancasila.
isu resentralisasi politik. Jadi ada semacam
Untuk itu, tentu sangat diperlukan
mobilisasi wacana untuk menarik lagi
sinergitas model kontrol dan kerjasama
kewenangan ke pusat. Nanti kebijakan
yang kuat dan konsolidatif agar GBHN
harus didasarkan pada konsensus bersama
benar-benar mampu menggiring model
yang sudah termaktub di dalam GBHN.
perencanaan pembangunan yang sensitif
Dengan begitu, daerah tidak lagi
lokal
dan
berkelanjutan.
Begitu
juga
bisa ‘macam-macam’ atau dalam artian
kaitannya dengan konteks otonomi daerah,
tidak begitu patuh dan sejalan dengan
tentu dengan model GBHN ini, nantinya
tujuan jangka panjang pemerintahan secara
akan mampu mengurangi tensi dan potensi
Nasional. Model kepatuhan yang dibangun
konflik horizontal antar unsur pemerintah
bukanlah sentralisasi yang represif dan
daerah.
kaku, yang seolah dipaksa menerima begitu
Kedua, perlu sekali mengkerangkai
saja apa yang dipikirkan di Jakarta sehingga
model pembangunan yang fokusnya kuat,
terkesan tidak sensitif dan tidak menerima
yang dikerangkai dengan konsep Repelita
berbagai inisiatif yang terlahir di tingkat
yang ada dalam GBHN. Pun demikian itu
lokal. Adapun model ideal yang hendak
semua
dibangun semestinya merupakan model
dikerangkai dengan pelibatan komunitas
ideal yang dibangun dari spirit deliberasi
akademik secara serius dan masif, termasuk
politik yang diseriusi secara mendalam.
juga
harus
dalam
tetap
diseriusi
menangkap
serta
sekaligus
memahami
sedalam
mungkin
realitas
pendelegasian wewenang dalam rangka
makna dan harapan yang perlu telaah
memperkuat
akademik untuk memahami „real need‟ dari
lokalitas
masyarakat yang beragam itu sendiri. Jadi
pembangunan Nasional. Untuk itu, perlu
tidak
dibangun konsensus secara serius dan
akan
memadai
jikalau
hanya
mengandalkan nalar para anggota parlemen dalam
merumuskan
sebuah
isu
prakarsa
dalam
dan
kreativitas
mengakselerasi
tujuan
mendalam.
dan
Kelima, perlu dan mendesak sekali
kebijakan strategis tanpa adanya mobilisasi
untuk
pendekatan akademis yang ‘teliti dan hati-
(partnership) dengan semua stakeholders di
hati’.
pemerintahan maupun swasta, termasuk Ketiga, perlu ikhtiar serius semua
memperkuat
dalam
untuk sepenuh hati dan tulus dalam
mengakselerasi
mengapresiasi kehadiran ‘ruang’ politik
Nasional.
untuk
dimanfaatkan
dan
kemudian
kemitraan
dengan pihak masyarakat pemangku adat
pihak, khususnya institusi politik formal
informal
basis
rangka
bisa
mengafirmasi tujuan
sekaligus
pembangunan
Penutup
diinstitusionalisasi
Semestinya memang seluruh ikhtiar
kultur dan watak berpikirnya yang selama
pembangunan bisa berjalan sinergis dan
ini jelas sekali begitu efektif, dan sangat
berkelanjutan
sensitif terhadap berbagai
kepemimpinan politik berubah. Oleh karena
kepentingan
itu,
menjelatahkan
memperkuat posisi, eksistensi, tugas dan
secara
serius
dan
kemudian
periode
publik yang sangat plural. Intinya, perlu diri
perlu
walaupun
wewenang
terbangun di ruang-ruang informal, seperti
lembaga tertinggi negara yang bertugas
misalnya: di warung kopi, di ruang-terbuka
menyususn dan menetapkan GBHN yang
yang sangat memungkin publik dengan
kemudian
berbagai keragaman dan kerumitan yang
bentum Repelita.
mampu
menghasilkan
derajat
konsensus yang lebih bermutu tinggi.
sebagai
kembali
mendalam terkait model diskursif yang
ada,
MPR
untuk
salah
diimplementasikan
satu
dalam
Menjadi penting dan mendesak juga kemudian untuk menghadirkan konteks
Keempat, perlu sekali mendorong
GBHN yang berhaluan Pancasila, agar
semua pihak di berbagai aras untuk bisa
model pembangunan ini bisa berkontribusi
menghadirkan
kuat dalam menyelaraskan berbagai ikhtiar
sekaligus
memperkuat
model kepemimpinan yang kuat ‘sense of
pembangunan
public
dengan
dilakukan
accountability-nya’. dengan
tetap
Itu
bisa
melakukan
fisik
menjadikan
maupun setiap
nir-fisik nilai-nilai
Pancasila yang terkandung dalam setiap
silanya bisa terejahwantahkan secara kuat
perencanaan pembangunan yang benar-
dan bermakna, dan tentunya dengan tetap
benar
memastikan setiap proses yang berlangsung
berbagai gagasan deliberatif dan diskursif
bisa berdimensi demokratis.
dari publik. Oleh karena itu, diperlukan
Pun demikian, tentu harus terjalin
sensitif
dan
terbuka
terhadap
konsolidasi di berbagai aras dan penegasan
konsolidasi serius dan sepenuh hati yang
kembali
haluan
negara
agar
bisa menjadi arus utama dalam kerangka
penyelenggaraan negara, dari pusat hingga
berpikir dan praksis politik para anggota
daerah, berjalan lebih fokus dan kompak.
parlemen. Ini tentunya harus diikuti ikhtiar
GBHN model baru adalah proyek
semua pihak, khususnya dalam harmonisasi
bersama untuk menyelaraskan grand design
politik parlemen, eksekutif di aras lokal dan
jangka panjang pembangunan Nasional.
nasional. Ini tentu menjadi proyek ambisius
Memperkuat
untuk modeling otonomi daerah ideal yang
dibangun dengan basis di atas konsensus
tetap dikerangkai dengan model GBHN. Itu
yang melibatkan secara aktif dan masif
artinya akan ada dan memang perlu
berbagai
dilakukannya amandemen konstitusi oleh
akademik dan juga komunitas gerakan dan
MPR RI.
swadaya
Model
perencanaan
pembangunan
konteks
pihak,
GBHN
khususnya
masyarakat
yang
komunitas
menjadi
sangat
mendesak dilakukan.
nasional menjadi sebuah ruang pertaruhan jangka panjang bagi nasib pembangunan di berbagai aras. Inkonsistensi pembangunan oleh perubahan rezim akan menyebabkan nasib
pembangunan
terjebak
dalam
kemandegan pembangunan yang tak jelas arah. Oleh karena itu, hadirnya wacara reformulasi
perencanaan
pembangunan
Daftar Pusataka Sumber buku: Diamond, Larry, 2003 (terjemahan)., “Developing Democracy: Toward Consolidation, IRE Press, Yogyakarta.
nasional model GBHN sebaiknya dijadikan momentum untuk lebih menjadikan nalar pembangunan sebagai bagian sakral yang sangat mementingkan rasionalitas jangka panjang
pembangunan.
Untuk
itu,
diperlukan komitmen kuat semua pihak untuk konsensus
terus-menerus bersama
membangun terkait
model
F.Budi
Hardiman, 2009., “Demokrasi Deliberatif: Menimbang „Negara Hukum‟ dan „Ruang Publik‟ dalam Teori Diskursus Jurgen Haberman, Pustaka FilsafatKanisius, Yogyakarta.
Riswandha Imawan, dkk, 2002., “Konflik dan Kinerja Pemerintah
Daerah”, Jurnal Ilmu Politik AIPI, Jakarta. Abdul Munir Mulkhan, dkk, 2007., “Teori Demokrasi Deliberatif”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fisipol UGM Vol.11, No.1 Juli 2007, Yogyakarta J.Linz, Juan, 2001, ‘Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Belajar dari Kekeliruan Negara-Negara Lain. Mizan, Bandung. J. Linz, Juan, 2001, Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Belajar dari Kekeliruan Negara-Negara Lain. Bandung, Mizan
Sumber internet: Purwo Santoso. “Melepas Bingkai Pemikiran Patologis: Membaca Ulang Dinamika Elit Lokal Dalam Pemerintahan Daerah”, didownload dari http://www.academia.edu/paperu pload/melepas-bingkaipemikiran-patologis: membacaulang–dinamika-elit-lokal-dalampemerintahan-daerah.html; didownload pada Minggu, 17 April 2016, 19.00. Purwo Santoso, https://www.academia.edu/24503 010/GBHN_Sebagai_Kerangka_ Penggalangan_Konsensus. Didownload pada 19 Juni 2017. Pkul 13.18. http://www.ugm.ac.id/id/berita/4481pakar:. gbhn.dihapus.pembangunan.nasi onal.mengalami.kemunduran; didownload pada Jumat, 15 April 2016, 19.25 http://m.suarakarya.id/2015/09/15/negaratanpahaluan.html?replytocom=7507, didownload pada 17 April 2016, 19.30.