Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia Lilik Mulyadi³⁴ Abstrak Tulisan ini mengkaji lebih detail model ideal perlindungan hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime di Indonesia untuk masa yang akan datang (ius cons tuendum). Model ideal perlindungan hukum bagi Whistleblower dan Jus ce Collaborator ini harus berorientasi kepada model hak-hak prosedural, par sipasi langsung, atau ak f. Model ideal ini juga berbentuk model pelayanan atau model par sipasi dak langsung atau model pasif (the service model), model persuasif atau par sipasi, model perlindungan komprehensif, model penjatuhan pidana bersyarat dan model perlindungan melalui teleconference. Kata Kunci: jus ce collabolator, perlindungan hukum, organized crime, whistleblower, hakhak prosedural.
Legal Protec on of Whistleblower and Jus ce Collaborator to Eradicate Organized Crime in Indonesia Abstract This paper examines the ideal model of legal protec on of Whistleblower and Jus ce Collaborator to eradicate organized crime in the future Indonesia (ius cons tuendum). The proposed ideal models shall refer to procedural rights model, direct or ac ve par cip on model. The other ideal models are: services model; persuasive or par cipatory model; comperhesive protec on model; criminal punishment model; and teleconference based model . Keywords: jus ce collaborator, legal protec ons, organized crime, whistleblower, procedural rights.
A. Pendahuluan Secara terminologi, whistleblower dan jus ce collaborator diar kan kedalam berbagai penger an.¹ Pada perkembangan terakhir, Mahkamah Agung melalui Surat 34 Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara, Jl. Laksmana R. E. Martadinata No. 4 Jakarta Utara,
[email protected], S.H., M.H. (Universitas Udayana), Dr. (Universitas Padjadjaran). 1 Whistleblower diar kan sebagai saksi pelapor. Whistleblower dan jus ce collaborator diar kan sebagai “peniup peluit”, ada juga menyebutnya sebagai “saksi pelapor”, “pengadu”, “pembocor rahasia”, “saksi pelaku yang bekerja sama”, “pemukul kentongan”, “saksi mahkota”, “coopera ve whistleblower”, “par cipant whistleblower”, “collaborator with jus ce”, “supergrasses”, “pen ”/“pen to”/“callaboratore della gius zia”, atau bahkan “pengungkap fakta”.
578
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, menyebutkan pelapor ndak pidana adalah orang yang mengetahui dan melaporkan ndak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Seorang pelaku yang bekerja sama (jus ce collaborator) merupakan salah satu pelaku ndak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Berikutnya, whistleblower berkembang di berbagai negara baik negara Anglo Saxon, Eropa Kon nental maupun negara Quasi Anglo Saxon dan Eropa Kon nental, antara lain Amerika Serikat melalui Whistleblower Act 1989 yang melindungi whistleblower dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhen an sementara, ancaman, gangguan dan ndakan diskriminasi; Afrika Selatan melalui Pasal 3 Protected Disclosures Act Nomor 26 Tahun 2000 yang memberi perlindungan bagi whistleblower dari occupa onal detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan; Kanada melalui Sec on 425.1 Criminal Code of Canada, dinyatakan bahwa whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan ndakan apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan informasi; Australia melalui Pasal 20 dan Pasal 21 Protected Disclosures Act 1994 yang merahasiakan iden tas whistleblower, dak ada pertanggungjawaban secara pidana dan perdata, perlindungan dari pencemaran nama baik, perlindungan dari pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media; dan Inggris dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interest Disclosures Act 1998 diatur bahwa whistleblower dak boleh dipecat dan dilindungi dari vik misasi serta perlakuan yang merugikan. Di Indonesia, pengaturan mengenai whistleblower dan jus ce collaborator diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik undang-undang, peraturan pemerintah, surat edaran Mahkamah Agung, peraturan Kapolri, peraturan bersama, surat edaran Menteri, dan lain sebagainya.² Perkembangan ide jus ce collaborator
2
Dalam ketentuan hukum posi f Indonesia, whistleblower dan jus ce collaborator selintas diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006, UNCAC, UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, UU Nomor 8 Tahun 2010, UU Nomor 30 Tahun 2002, UU Nomor 5 Tahun 1997, UU Nomor 35 Tahun 2009, UU Nomor 26 Tahun 2000, UU Nomor 15 Tahun 2003, UU Nomor 5 Tahun 2009, UU Nomor 21 Tahun 2007, PP Nomor 2 Tahun 2002, PP Nomor 57 Tahun 2003, PP Nomor 24 Tahun 2003, PP Nomor 9 Tahun 2008, PP Nomor 99 Tahun 2012, Peraturan Kapolri Nopol 5 Tahun 2005, Peraturan Kapolri Nopol 3 Tahun 2008, Peraturan Bersama Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th. 2011 Nomor: PER-045/A/JA/12/2011, Nomor: 1
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
579
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
sebenarnya ber k tolak dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) United Na ons Conven on Against Corrup on (UNCAC) Tahun 2003 yang telah dira fikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Na ons Conven on Against Corrup on (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa An Korupsi 2003) ditegaskan bahwa: “Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mi ga ng punishment of an accused person who provides substan al coopera on in the inves ga on or prosecu on of an offence established in accordance with this Conven on”. (Se ap negara peserta wajib memper mbangkan kemungkinan, dalam kasus-kasus tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini). Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan bahwa: “Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental principles of its domes c law, of gran ng immunity from prosecu on to a person who provides substan al coopera on in the inves ga on or prosecu on of an offence established in accordance with this Conven on” (Se ap negara peserta wajib memper mbangkan kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (jus ce collaborator) suatu ndak pidana yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini). Selanjutnya, dalam Surat Keputusan Bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th. 2011 Nomor: PER-045/A/JA/12/2011, Nomor: 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor: 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang bekerjasama, jus ce collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerja sama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya. Hakikatnya, whistleblower dan jus ce collaborator dapat berperan besar untuk mengungkap prak k-prak k korup f lembaga publik, pemerintahan maupun Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011 Nomor: 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 8/M.PAN-RB/06/12 tanggal 29 Juni 2012, Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan agi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Jus ce Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu dan lain sebagainya.
580
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
perusahaan swasta. Oleh karena itu, tanpa adanya sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower dan jus ce collaborator maka par sipasi publik untuk membongkar dugaan ndak pidana menjadi rendah sehingga prak k penyimpangan, pelanggaran, maupun kejahatan semakin meningkat. Hal ini dikemukakan oleh Abdul Haris Semendawai yang pada pokoknya menyatakan bahwa peran whistleblower di Indonesia perlu terus didorong, disosialisasikan, dan diterapkan, baik di perusahaan, lembaga pemerintah, dan ins tusi publik lain. Bagaimana peran whistleblower di Indonesia dibangun dan dikembangkan memang membutuhkan waktu dan sebuah proses. Namun, prak k pelaporan dan perlindungan terhadap whistleblower bukan tanpa tantangan. Di tengah minimnya perlindungan hukum Indonesia, seorang whistleblower dapat terancam karena laporan atau kesaksiannya atas dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan kemungkinan besar akan memberikan perlawanan untuk mencegah whistleblower memberikan laporan atau kesaksian. Bahkan tak menutup kemungkinan mereka yang merasa dirugikan dapat mengancam dan melakukan pembalasan dendam. Untuk itu, agar prak k pelaporan dan pengungkapan fakta oleh whistleblower dapat berjalan lebih efek f, dibutuhkan perubahan pengaturan di dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 pen ng untuk diterapkan oleh semua hakim dalam memutus perkara dan selalu dimonitor pelaksanaannya.³ Pada dasarnya, lahirnya undang-undang yang memfasilitasi jus ce collaborator dengan penegak hukum diperkenalkan pertama kali di Amerika Serikat tahun 1970an. Fasilitas tersebut tak lain untuk menghadapi para mafia, yang sejak lama telah menerapkan omerta (sumpah tutup mulut sekaligus merupakan hukum tertua dalam dunia Mafioso Sicilia). Untuk kejahatan terorisme, penggunaan jus ce collaborator diprak kkan di Italia (1979), Portugal (1980), Irlandia Utara, Spanyol (1981), Perancis (1986) dan Jerman (1989) sedangkan untuk kejahatan narkoba diterapkan di Yunani (1970), Perancis, Luksemburg dan Jerman. Terminologi jus ce collaborator dipergunakan berbeda di negara-negara tersebut seper “supergrasses” (Irlandia), “pen ” atau “pen to” (Italia) yang berar “mereka telah bertobat” atau disebut “callaboratore della gius zia”. Di Indonesia, prak k perlindungan whistleblower dan jus ce collabolator dilakukan terhadap Vincen us Amin Sutanto, Agus Condro Prayitno, Yohanes Waworuntu, Susno Duadji, dan Endin Wahyudin.⁴ Kemudian di negara asing, 3 4
Abdul Haris Semendawai (et.al.), Memahami Whistleblower, Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 2011, hlm. xiv-xv. Vincen us Amin Sutanto, mantan financial controller di Asian Agri Group, melakukan pembobolan uang Asian Agri dengan membuat dua aplikasi transfer fik f dari PT. Asian Agri Oils and Fats Ltd. ke Bank For s, Singapura
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
581
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
misalnya pada Colen Rowey (Amerika Serikat), Jeffrey Wigand (Amerika Serikat), Shanmughan Manjunath (India), Yoichi Mitzuni (Jepang)⁵, dan sebagainya. Lazimnya, praktik perlindungan tersebut diberikan kepada kejahatan terorganisasi (organized crime). Berdasarkan pologi kejahatan, organized crime adalah kejahatan yang paling rumit dan sulit pengungkapannya. Dalam kejahatan ini dimungkinkan juga jenis kejahatan lain seper white collar crime, corporate crime dan transnational crime serta interna onal crime. Para pelaku organized crime tentunya adalah orang-orang yang mempunyai keahlian di bidangnya yang mampu mengorganisasi peran, mo f dan tugas serta fungsinya masing-masing, baik sebelum kejahatan dilakukan hingga penghilangan jejak setelah kejahatan dilakukan. Jika dipandang dari jenis pelaku kejahatan, organized crime dapat juga digolongkan sebagai white collar crime. Di sisi lain, organized crime dalam hal penggunaan metode pelaksanaan kejahatannya juga dimungkinkan menggunakan sarana berupa korporasi-korporasi yang sengaja diorganisasi sedemikian rupa untuk melakukan kejahatan. Jika dipandang dari jenis sarananya, maka organized crime dapat juga digolongkan sebagai corporate crime. Selain itu terdapat juga organized crime yang dalam melakukan kejahatannya melipu lintas batas negara sehingga juga tergolong sebagai transna onal crime. Bahkan ada juga organized crime melipu interna onal crime karena jenis kejahatan yang diorganisasi oleh pelaku termasuk dalam kejahatan-kejahatan yang telah ditetapkan oleh konvensi internasional sebagai interna onal crime. Demikian kompleksnya dimensi kejahatan organized crime hingga dalam hal pendefinisiannya pun para ahli mengalami kesulitan. Pierre Hauck dan Sven Peterke menyatakan bahwa:⁶ ”Kejahatan terorganisir dapat digunakan untuk merujuk pada jenis tertentu kegiatan kriminal yang rumit dan kompleks. Senjata, narko ka, dan perdagangan manusia sering dikaitkan dengan serangkaian enabling
5
6
dengan memalsukan tanda tangan dan kemudian memberi keterangan tentang penggelapan yang dilakukan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Kemudian Agus Condro Prayitno dalam kasus dugaan suap Bank Indonesia (BI) kepada Hamka Yandu, Yohanes Waworuntu mengenai masalah Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) dan Endin Wahyudin tentang kasus yang melibatkan suap terhadap ga hakim agung. Colen Rowey adalah seorang agen khusus FBI yang mengungkapkan kelambanan FBI yang mungkin menyebabkan terjadinya serangan teroris pada tanggal 11 September 2001 di World Trade Center dan Pentagon. Jeffrey Wigand, seorang direksi di Bagian Riset dan Pengembangan (1988-1993) perusahaan rokok Brown and Williamson Tobacco Corpora on, yang memberi laporan atau kesaksian atas prak k manipulasi kadar niko n rokok yang diduga terjadi di perusahaan itu kemudian kisah ini diangkat ke layar lebar (1996) dengan judul film ”The Insider” yang memenangkan Piala Oscar 1996. Shanmughan Manjunath, seorang manajer di perusahaan minyak milik negara India, yang mengungkapkan skema penjualan bensin dak murni dan Yoichi Mitzutani, seorang presiden direktur perusahaan penyimpanan Nishinomiya Reizo di Jepang, yang melaporkan mengenai penipuan yang dilakukan oleh Snow Brand Food Co. telah melakukan pelabelan palsu. Pierre Hauck dan Sven Peterke, “Kejahatan Terorganisir dan Kekerasan Geng dalam Hukum Nasional dan Internasional”, Interna onal Review of The Red Cross, Volume 92, Number 878, June 2010, hlm. 45.
582
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
ac vi es seper (ancaman) kekerasan, korupsi, dan pencucian uang. Kejahatan terorganisasi dapat digunakan dalam ar organisasi kriminal seper kartel narko ka Kolombia dan Meksiko, yakuza Jepang, triad Cina atau mafia Italia dan Amerika Serikat.” Kompleksitas dimensi organized crime, berimplikasi pada jarangnya pengaturan tentang kejahatan terorganisasi dalam hukum pidana nasional suatu negara. Sebagai contoh, dapat ditemukan pada hukum pidana India dalam Maharashtra Control of Organized Crime Act India Tahun 1999 yang mendefinisikan kejahatan terorganisasi sebagai:⁷ ”Kegiatan yang melanggar hukum secara terus-menerus oleh seorang individu, secara sendiri atau bersama-sama, baik sebagai anggota sindikat kejahatan terorganisasi atau atas nama sindikat tersebut, dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau in midasi atau pemaksaan, atau cara lain yang melanggar hukum, dengan tujuan mendapatkan manfaat berupa uang, atau mendapatkan keuntungan ekonomi atau lainnya yang dak semes nya untuk dirinya sendiri atau orang lain atau mempromosikan pemberontakan (insurgency)”. Meskipun cukup sulit untuk memberikan definisi organized crime dalam konteks ini, organized crime dapat didefinisikan sebagai suatu kejahatan dilakukan oleh lebih dari dua orang melalui sebuah persekongkolan atau pemufakatan bersama untuk ber ndak jahat sesuai dengan peran dan tugas masing-masing (notabene telah terbagi) yang kemudian hasil dari kejahatan tersebut dibagi-bagi. Adapun pemufakatan dan persekongkolan yang dimaksud termasuk di dalamnya melakukan, membantu, turut serta, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, konsultasi, dan lain-lain yang terkait dengan ak vitas manajerial dalam operasionalisasi kejahatan. Berdasarkan latar belakang diatas, tulisan ini mengkaji lebih detail model ideal perlindungan hukum whistleblower dan jus ce collabolator dalam upaya penanggulangan organized crime di Indonesia untuk masa mendatang (ius cons tuendum). Diharapkan, nan nya ditemukan formulasi dan regulasi ideal bagi kebijakan legislasi untuk melakukan pembaharuan hukum pidana khusus dan hukum acara pidana untuk diterapkan pada praktik perlindungan hukum terhadap whistleblower dan jus ce collabolator yang terjadi di Indonesia mengacu pada model ideal tersebut. B. Orientasi Perlindungan terhadap Whistleblower dan Jus ce Collabolator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia 7
SATP,“Maharashtra Control of Organised Crime Act Pasal (e)”,
, diunduh tanggal 25 Mei 2013.
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
583
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
1. Lembaga Perlindungan Persoalan krusial dan substansial lembaga perlindungan pada masa mendatang (ius cons tuendum) adalah dimensi tentang eksistensi lembaga yang kiranya paling ideal untuk menangani dan memberikan perlindungan terhadap seorang whistleblower maupun jus ce collaborator. Dimensi ini perlu mendapat perha an khusus, karena berkorelasi dengan proses penanganan laporan agar dapat ditangani secara tepat, cepat, dan efek f. Seorang whistleblower maupun jus ce collaborator harus mendapat perlindungan serta jaminan keamanan atas informasi yang diberikannya. Dikaji dari peraturan perundang-undangan saat ini seorang whistleblower maupun jus ce collaborator dapat melapor kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Yudisial, Ombudsman Republik Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Kejaksaan. Permasalahan yang kemudian muncul dalam konteks ini yaitu banyaknya lembaga yang dapat menerima laporan dari seorang whistleblower maupun jus ce collaborator. Dari perspek f sistem peradilan pidana, dimensi ini berkorelasi dengan lembaga-lembaga yang berada di luar sistem peradilan pidana yang mempunyai legi masi dalam memberikan keringanan hukuman terhadap seorang whistleblower maupun jus ce collaborator. Kemudian dari perspek f banyaknya lembaga yang berwenang menangani laporan seorang whistleblower maupun jus ce collaborator, akan menimbulkan masalah tersendiri seper konflik kewenangan antara aparat penegak hukum atau lembaga satu dengan lainnya. Misalnya, dalam pelaksanaan UU Nomor 13 Tahun 2006 terkait pemahaman atas fungsi, tugas dan kewenangan LPSK dalam konteks pemberian perlindungan terhadap seorang whistleblower maupun jus ce collaborator. Pelaksanaan tugas tersebut potensial bersinggungan dengan kewenangan penegak hukum lain (kepolisian, kejaksaan dan KPK) khususnya terkait pelaksanaan Pasal 10 UU Nomor 13 Tahun 2006. Konsekuensi logisnya, diperlukan suatu penegasan atas kewenangan, fungsi dan tugas serta koordinasi antar lembaga untuk melakukan perlindungan terhadap whistleblower maupun jus ce collaborator sehingga diharapkan hubungan dan koordinasi antar lembaga tersebut dak megalami kendala ke ka dilakukan implementasi praktik dan pelaporan terhadap seorang whistleblower maupun jus ce collaborator. Adanya sistem pengajuan permohonan perlindungan terlebih dahulu kepada LPSK yang kemudian dilanjutkan dengan proses penilaian, akan memakan waktu dan energi para whistleblower dan/atau jus ce collaborator sehingga birokrasi demikian akan menyulitkan mereka yang memiliki keterbatasan akses misalnya berada di daerah pelosok yang jauh dari Kantor LPSK di Jakarta. Hal ini tentu akan membuat pelayanan perlindungan mereka menjadi kurang efek f dan efisien. Oleh karena itu,
584
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
apabila eksistensi LPSK tetap dipertahankan karena secara fungsional dibutuhkan sebagai salah satu sub-sistem peradilan pidana sebagaimana penegak hukum lain (untuk menguatkan LPSK kewenangan dalam reformulasi hukum acara pidana agar dak terjadi tumpang ndih dengan penegak hukum dan menghilangkan anggapan saling intervensi), maka perlu didirikan kantor-kantor LPSK di daerah, bahkan bila perlu di se ap kabupaten dan kota. Sedangkan, apabila eksistensi LPSK yang notabene adalah ad hoc atau sementara, maka kantor-kantor perwakilan LPSK di daerah tersebut dak diperlukan karena anggaran negara yang dikeluarkan akan besar sekali. Selain itu di njau dari perspek f asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, penggemukan ins tusi sistem peradilan pidana lambat laun akan menghambat proses penyelesaian perkara pidana, sehingga kewenangan perlindungan saksi, pelapor dan jus ce collaborator tersebut dilekatkan pada unit internal dari penegak hukum misalnya unit perlindungan khusus di kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Idealnya dari kajian perspek f perbandingan kelembagaan, dibuat peraturan tentang lembaga yang mengatur, menangani dan berwenang khusus terhadap whistleblower maupun jus ce collaborator secara tersendiri dan bersifat integral seper di Amerika Serikat dengan The US Office of Special Counsel (OSC) sesuai dengan sistem peradilan pidana yang hendak dibangun. Konsekuensi logisnya adalah diperlukannya suatu pembaharuan sistem hukum termasuk ketentuan hukum acara pidana yang sesuai dengan jiwa, sistem, kultur masyarakat Indonesia yang berkorelasi dengan sistem peradilan pidana Indonesia pada khususnya. 2. Konsep Pendekatan Keadilan Restora f (Restora ve Jus ce Approach) Konsep pendekatan keadilan restora f⁸ (restora ve jus ce approach) kiranya rela f
8
Keadilan restora f (restora ve jus ce), yang diperkenalkan pertama kali oleh Albert Eglash, diar kan sebagai suatu alterna f pendekatan res tu f terhadap pendekatan keadilan retribu f dan keadilan rehabilita f (J. Hudson dan Galaway, Res tu on in Criminal Jus ce, Massachusetts, Lexington, USA, 1977, hlm. 95). Oleh karena itu, prinsip-prinsip umum pendekatan restora f adalah prinsip penyelesaian yang adil (due process), perlindungan yang setara, hak-hak korban, proporsionalitas, praduga tak bersalah dan hak bantuan konsultasi atau penasihat hukum (Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan Restora f Suatu Terobosan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 126-136). Pasal 1 angka 6 UU Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan keadilan restora f adalah penyelesaian perkara ndak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Howard Zehr menyebutkan bahwa, “Restora ve jus ce is touded as a long-overdue third model or a new 'lens' a way of hopping off the seesaw, of heading more consistently in a new direc on while enrolling both liberal poli cans who support the welfare model and conserva ves who support the jus ce model” (Howard Zehr, “Retribu ve Jus ce, Restora ve Jus ce, New Perspec ves on Crime and Jus ce: Occasional Papers of the MCC Canada Vic ms Offender Ministeries Program the MCC”, U.S. Office of Criminal Jus ce, No. 4, Canada Vic m Offender Ministries Program, Ontario, 1985, hlm. 10) dan Tony Marshall menyebutkan, “Restora ve jus ce is a process whereby all the par es with a stake in a par cular offence together to resolve collec vely how to deal with
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
585
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
tepat untuk diterapkan pada perlindungan hukum whistleblower dan jus ce collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime di Indonesia pada masa mendatang. Ada beberapa argumentasi yang dapat dikemukakan dalam hal ini mengenai mengapa konsep pendekatan keadilan restora f yang dikedepankan, yaitu:⁹ a. Asas equality before the law dan asas non-impunity dalam hal penanganan perlindungan hukum terhadap whistleblower dan jus ce collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime rela f dak dapat diterapkan karena ndak pidana organized crime terlalu kompleks, mul dimensional dan melintasi batas negara, sehingga pengungkapannya mutlak memerlukan whistleblower dan jus ce collaborator. Konsekuensi logisnya, dak semua orang harus diperlakukan sama karena terdapat aspek tertentu yang membedakan orang tersebut dengan orang lain. Perbedaan itu membuka ruang dan dimensi bahwa seseorang dapat saja dak dijatuhi pidana asal bertanggung jawab atas perbuatannya dengan melakukan pemulihan keseimbangan seper keadaan semula (res tu o in integrum) akibat perbuatan yang telah dilakukannya. Tegasnya, dalam hal ini diterapkan asas kesamaan hukum yang adil (equality before the jus ce); b. Konsep pendekatan restora ve jus ce berlandaskan pada asas ke daksamaan sebagai keadilan. Kontribusi yang diberikan oleh jus ce collaborator dalam mengungkap kasus korupsi ini dijadikan dasar yang membedakannya dengan koruptor biasa, sehingga kontribusi jus ce collaborator ini menjadi dasar untuk menghindarkannya dari pemidanaan; c. Pengungkapan kasus rumit dengan perlindungan hukum terhadap whistleblower dan jus ce collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime melalui pendekatan keadilan restora f (restora ve jus ce approach) akan memberikan dorongan keberanian dalam mengungkapkan kebenaran serta perasaan dak takut, sehingga diharapkan berdampak pada besarnya keinginan orang lain untuk menjadi seorang whistleblower dan jus ce collaborator; d. Penjatuhan pidana terhadap whistleblower dan jus ce collaborator dalam perkara yang termasuk organized crime pada hakikatnya adalah untuk memanusiakan manusia agar menjadi orang yang baik. Hal tersebut sejalan
9
the a ermath of the offence and its implica ons for the future” (Tony Marshall, “Restora ve Jus ce on Trial in Britain, in Restora ve Jus ce on Trial: Pi alls and Poten als of Vic m-Offender Media on-Interna onal Research Perspec ves”, dalam buku yang disusun oleh H. Messmer dan H.U. O o Dordrecht (eds.), Boston: Kluwer Academic Publishers, 1992, hlm. 11). Yu rsa Yunus, “Rekomendasi Kebijakan Perlindungan Hukum Jus ce Callaborator: Solusi Akselerasi Pelaporan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Paper disampaikan dalam Konferensi Kebijakan Perencanaan Pembangunan Nasional 2013, hlm. 16.
586
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
dengan eksistensi UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyatakan bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk membuat narapidana menjadi orang yang baik. Filsafat pemidanaan dan penjatuhan pidana di Indonesia bukan berdasarkan filsafat retribu f, melainkan filsafat integra f. Oleh karena itu, pendekatan keadilan restora f harus diutamakan oleh Indonesia; dan e. Konsep pendekatan restora ve jus ce di satu sisi dengan perlindungan hukum whistleblower dan jus ce collaborator. Di sisi lainnya, adanya reward sekaligus tanggung jawab bagi whistleblower dan jus ce collaborator diharapkan dapat mengungkap perkara secara signifikan yang berdimensi organized crime. Dalam dimensi ini, memang diperlukan perlindungan khusus bagi whistleblower dan jus ce collaborator. Hal ini ada lain karena para whistleblower dan jus ce collaborator dak akan berani memberikan keterangan tentang apa yang dilihat dan dialami karena tekanan, in midasi bahkan terancam keselamatan jiwanya. Perlindungan khusus ini pen ng karena organized crime tersebut menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi, perdagangan, ancaman dan keter ban masyarakat yang meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Pada dasarnya, konsep pendekatan restora ve jus ce membuat seseorang berani untuk menjadi seorang whistleblower dan jus ce collaborator dalam perkara yang termasuk organized crime. Keputusan dan pendirian seseorang untuk menjadi seorang whistleblower dan jus ce collaborator perlu diapresiasi dengan baik sehingga membangun kesadaran dan polarisasi berpikir bahwa keputusan tersebut akan sangat berguna dan mempunyai jasa dalam rangka mengungkapkan perkara organized crime. Konsekuensinya, sanksi pidana yang akan dijatuhkan hakim kepada seorang whistleblower dan jus ce collaborator memiliki dimensi keadilan. Pemidanaan yang berdimensi keadilan tersebut, membawa pemidanaan seseorang sesuai asas pemasyarakatan sekaligus memanusiakan narapidana atau pelaku ndak pidana menjadi manusia yang baik. 3. Syarat dan Jenis Perlindungan Syarat dan jenis perlindungan kepada whistleblower dan jus ce collaborator berorientasi pada ketentuan Pasal 37 ayat (3) Konvensi PBB An Korupsi 2003 yang dira fikasi Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Ketentuan tersebut menentukan bahwa: “Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental principles of its domes c law, of gran ng immunity from prosecu on to a person who provides substan al coopera on in the inves ga on or prosecu on of an offence established in accordance with this
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
587
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
Conven on” (Se ap negara peserta wajib memper mbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu ndak pidana yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini). Ide dasar perlindungan berupa imunitas terhadap jus ce collaborator tersebut iden k dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2006. Pemberian imunitas dapat dijadikan sebagai bargain posi on bagi para pelaku ke ka memberikan informasi akurat dan berkualitas kepada aparat penegak hukum. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 32 Konvensi PBB An Korupsi 2003 yang mewajibkan untuk memberikan perlindungan. Pemberian perlindungan kepada jus ce collaborator diharapkan dapat mengungkap jaringan kasus organized crime sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 Konvensi Palermo tentang Transna onal Organize Crime tentang protec on of witnesses atau perlindungan saksi bahwa: a. Each State Party shall take appropriate measures within its means to provide effec ve protec on from poten al retalia on or in mida on for witnesses in criminal proceedings who gives tes mony concerning offences covered by this Conven on and, as appropriate, for their rela ves and other persons close to them. b. The measures envisaged in Paragraph 1 of this ar cle may include, inter alia, without prejudice to the rights of the defendant, including the right of due process: 1) Establishing procedures for the physical protec on of such persons, such as, to the extend necessary and feasible, reloca ng them and permi ng, where appropriate, non disclosure of informa on concerning the iden ty and whereabouts of such persons; 2) Providing eviden ary rules to permit witness tes mony to be given in a manner that ensures the safety of the witness, such as permi ng tes mony to be given through the use of communica ons technology such as video links or other adequate means. c. States Par es shall consider entering into agreements or arrangements with other States for the reloca on of persons referred to in Paragraph 1 of this ar cle. d. The provisions of this ar cle shall also apply to vic ms insofar as they are witnesses. Selanjutnya, konteks di atas memperlihatkan bahwa seorang whistleblower dan jus ce collaborator merupakan pelapor yang diduga melakukan ndak pidana atau pelaku dari ndak pidana yang dilaporkannya. Maka demikian, syarat untuk dapat dilindunginya seorang whistleblower dan jus ce collaborator adalah mengakui keterlibatannya dalam perkara organized crime, mau melakukan kerja sama secara
588
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
integral, koopera f dan par sipa f dengan aparat penegak hukum dalam mengungkapkan kasus tersebut, serta mau melakukan pengembalian terhadap kerugian yang di mbulkan akibat ndak pidana organized crime tersebut. Kemudian dengan ber k tolak kepada ide dan syarat perlindungan, selanjutnya jenis perlindungan yang mungkin dapat diperoleh seorang whistleblower dan jus ce collaborator adalah perlindungan terhadap tuntutan pidana dan/atau perdata dari laporannya, perlindungan terhadap tuntutan pidana dan/atau perdata atas kasus atau perkara yang telah dilaporkannya, dan perlindungan dari tuntutan pidana dan/atau perdata atas kasus yang lain. C. Model Ideal Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower dan Jus ce Collabolator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia p 1. Model Hak-hak Prosedural atau Model Par sipasi Langsung atau Ak f (The Procedural Rights Model/Par e Civile Model/Civil Ac on System) Model ini memungkinkan peran ak f saksi korban/pelapor dalam proses peradilan pidana seper membantu jaksa/penuntut umum, dilibatkan dalam se ap ngkat pemeriksaan perkara, wajib didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat, memberi per mbangan dalam menentukan pidana (vic m opinion statement) dan sebagainya.¹⁰ Adanya keterlibatan saksi korban/pelapor mempunyai segi posi f dalam penegakan hukum seper memenuhi semangat pembalasan saksi korban/pelapor serta meningkatkan arus informasi kepada hakim. Ada juga segi nega f karena par sipasi ak f saksi korban/pelapor dalam pelaksanaan proses peradilan pidana yaitu dapat menyebabkan konflik antara kepen ngan umum di bawah kepen ngan pribadi saksi korban/pelapor yang dapat memicu dendam baru yang menjurus pada secondary vic miza on. Pada hakikatnya, negara-negara Anglo Saxon yang sistem peradilan pidananya dibangun atas dasar adversary or ba le model, model ini akan menimbulkan kesulitan untuk melibatkan peranan pihak ke ga (korban). Sebaliknya, dalam sistem Eropa Kon nental yang memberlakukan sistem Inquisitur yang lebih terbuka kemungkinan untuk memberikan ruang gerak kepada kontribusi korban selama persidangan karena persidangan bukan merupakan legal 10 Korban kejahatan dipergunakan dalam beberapa terminologi dikaji dari perspek f ilmu kriminologi, vik mologi dan hukum posi f Indonesia (ius cons tutum) sesuai sistem peradilan pidana Indonesia yaitu sebagai pelapor (Pasal 108 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 32-34 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 jo. UU Nomor 15 Tahun 2003, Pasal 83-87 UU Nomor 8 Tahun 2010), pengadu (Pasal 72 KUHAP), saksi korban (Pasal 160 KUHAP), pihak ke ga yang berkepen ngan (Pasal 80, 81 KUHAP), pihak ke ga yang dirugikan (Pasal 98, 99 KUHAP), dan perseorangan, masyarakat dan negara (Pasal 18, 41, 42 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001). Pada hakikatnya, secara konseptual, korban kejahatan dak diakui eksistensinya sebagai pihak yang dirugikan karena kejahatan dalam perspek f hukum pidana sehingga korban bukan merupakan pihak/bagian dari sistem peradilan pidana. Konsekuensi logisnya, ada implikasi dalam sistem peradilan pidana yaitu dak ada korelasi yang jelas antara korban, pelanggar hukum pidana (tersangka, terdakwa, terpidana), polisi dan jaksa penuntut umum.
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
589
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
contest antara jaksa dan pengacara/pelaku.¹¹ 2. Model Pelayanan atau Model Par sipasi secara Tidak Langsung atau Model Pasif (The Services Model) Dimensi ini menekankan pada pemberian gan kerugian dalam bentuk kompensasi, res tusi dan upaya pengambilan kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut dan tertekan akibat kejahatan.¹² Penekanan model ini diletakkan pada perlu diciptakannya standar baku bagi pembinaan korban kejahatan (saksi korban/pelapor) yang dapat digunakan oleh polisi. Contoh pembinaan di sini yakni dalam bentuk pedoman sebagai no fikasi kepada korban atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat res tu f dan dampak pernyataan-pernyataan saksi korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani oleh polisi dan para penegak hukum lain. Keuntungan model ini adalah bahwa model ini dapat digunakan sebagai sarana pengembalian dari yang dinamakan sebagai integrity of the system of ins tu onalized trust dalam kerangka perspek f komunal. Saksi dan/atau korban (saksi korban/pelapor) akan merasa dijamin kepen ngannya dalam suasana ter b sosial yang adil sehingga tercipta suasana ter b, terkendali, dan saling mempercayai. Keuntungan lainnya dari model ini adalah dapat menghemat biaya, karena dengan bantuan pedoman yang baku, peradilan pidana dapat memper mbangkan kerugiankerugian yang diderita oleh saksi dan atau korban dalam rangka menentukan kompensasi bagi korban. Kelemahan model ini antara lain: kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada polisi, jaksa dan pengadilan untuk selalu melakukan ndakan- ndakan tertentu kepada saksi dan atau korban, dianggap membebani aparat penegak hukum karena semuanya didasarkan atas sarana dan prasarana yang sama. Efisiensi juga akan terganggu sebab pekerjaan yang bersifat profesional dak mungkin digabungkan dengan urusan-urusan yang dianggap dapat mengganggu efisiensi. Model ini menentukan standar baku tentang pelayanan terhadap saksi korban yang dilakukan oleh polisi, jaksa, dan hakim, misalnya pelayanan kesehatan, pendampingan, pemberian kompensasi, gan rugi, serta res tusi. Masalah yang mbul dalam model ini adalah untuk memantau apakah pelayanan itu benar-benar diterima oleh saksi dan korban.¹³ 11 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus Indonesia dalam Teori dan Prak k, Bandung: PT. Alumni, 2012, hlm. 211. 12 Ibid. 13 Imam Turmudhi, “Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower Kasus Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Studi Kasus Susno Duadji)”, Jakarta: Program Studi Pasca Sarjana Kekhususan Kejahatan Ekonomi dan An Korupsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011, hlm. 51-52.
590
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
3. Model Persuasif/Par sipa f Model persuasif/par sipa f merupakan perlindungan terhadap whistleblower dan jus ce collaborator yang bersifat menyeluruh yang melibatkan komponen sistem peradilan pidana yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan/pemasyarakatan, dan KPK untuk perkara korupsi. Tugas dan kewenangan dari kepolisian adalah sebagai lembaga penyidikan terhadap perkara pidana umum dan pidana khusus. Lembaga kejaksaan merupakan lembaga yang melakukan penuntutan terhadap perkara pidana umum dan pidana khusus yang dilimpahkan oleh lembaga kepolisian. KPK merupakan lembaga yang berwenang melakukan penyidikan dan sekaligus penuntutan terhadap perkara ndak pidana korupsi yang bersifat extraordinary crime ke pengadilan ndak pidana korupsi. Berikutnya lembaga pengadilan yang mempunyai tugas dan kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perdata, pidana umum, dan pidana khusus yang diajukan kepada KPK. Lembaga pemasyarakatan/pemasyarakatan merupakan lembaga pelaksana pidana dengan tugas dan wewenang sebagai tempat pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan. Model persuasif/par sipa f sesuai sistem peradilan pidana dalam ar sempit ini terlihat dari bagan 1 berikut ini. Bagan 1: Model Persuasif/Par sipa f sesuai Sistem Peradilan Pidana dalam Ar Sempit
Model ini menimbulkan permasalahan terkait dengan eksistensi LPSK. Apabila eksistensi LPSK sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tetap dipertahankan atau LPSK dimodifikasi dengan memperluas kewenangannya, maka
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
591
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
seharusnya LPSK dimasukkan dalam komponen sistem peradilan pidana yang diperluas dalam KUHAP masa mendatang. Hal tersebut juga berlaku apabila ingin membangun lembaga baru bersifat independen dan mandiri yang bertugas untuk menangani secara khusus kasus whistleblower dan jus ce collaborator sebagaimana dikenal di Amerika Serikat, Jerman, Belanda, dan negara-negara lain. Model persuasif atau par sipa f sesuai sistem peradilan pidana dalam ar luas terlihat dari model bagan 2 berikut ini. Bagan 2: Model Persuasif/Par sipa f sesuai Sistem Peradilan Pidana dalam Ar Luas
Model persuasif/par sipa f, baik sesuai dengan sistem peradilan pidana dalam ar sempit maupun ar luas, bersifat integral yang antar komponen-komponen tersebut saling berkorelasi satu dengan lainnya. Apabila seorang whistleblower dan jus ce collaborator melapor kepada satu lembaga saja, maka keseluruhan komponen lembaga tersebut akan melindungi. Aspek posi f dapat dikedepankan dalam dimensi ini sehingga rela f dapat menghindari kriminalisasi whistleblower dan jus ce collaborator. Model perlindungan persuasif/par sipa f ini akan memberi rasa aman, menghindarkan rasa takut terhadap tuntutan pidana dan/atau perdata serta mempunyai dimensi kepas an hukum (rechtszekerheid) kepada whistleblower dan jus ce collaborator. 4. Model Perlindungan Komprehensif Model perlindungan komprehensif ini direkomendasikan oleh Yu rsa Yunus. Perlindungan jus ce collaborator harus dilakukan secara komprehensif atau
592
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
menyeluruh mulai dari: (1) tahap pemberian laporan oleh jus ce collaborator; (2) tahap penindaklanjutan laporan yang terdiri atas penyelidikan, penyidikan, hingga pengadilan; dan (3) tahap putusan oleh pengadilan atas kasus korupsi yang dilaporkan tersebut. Model ini dapat dilihat dalam bagan 3 berikut ini. Bagan 3: Perlindungan Komprehensif bagi Jus ce Collaborator
Perlindungan komprehensif ini dimaksudkan agar jus ce collaborator dituntut oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan atas laporannya. Namun, tuntutan balik tersebut justru memberikan dampak nega f terhadap upaya pemberantasan korupsi, sehingga bagi jus ce collaborator putusan pengadilan yang dijatuhkan bersifat tetap (inkracht) atas kasus yang dilaporkannya tersebut.¹⁴ 5. Model Penjatuhan Pidana Bersyarat Hakikat model penjatuhan pidana bersyarat adalah mengelaborasi SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011 dan ketentuan Pasal 37 ayat (2) UNCAC/Konvensi PBB An Korupsi 2003. 14 Yu rsa Yunus, Op.cit., hlm. 19.
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
593
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
Seorang whistleblower merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan ndak pidana tertentu dan bukan salah satu dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Kemudian terhadap saksi pelaku yang bekerja sama (jus ce collaborator), pelaku merupakan salah satu pelaku ndak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan sebagai pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. Jaksa penuntut umum dalam tuntutan pidananya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan buk -buk yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap ndak pidana secara efek f, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang mempunyai peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu ndak pidana. Atas bantuan tersebut, maka jus ce collaborator dapat dijatuhkan pidana bersayarat khusus dan/atau pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbuk bersalah dalam perkara tersebut. Dalam pemberian perlakuan khusus berupa keringanan pidana, hakim wajib memper mbangkan keadilan masyarakat. Hakikat model ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (2) UNCAC/Konvensi PBB An Korupsi 2003 yang berbunyi, “Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mi ga ng punishment of an accused person who provides substan al coopera on in the inves ga on or prosecu on of an offence established in accordance with this Conven on” (Se ap negara peserta wajib memper mbangkan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, memberi keringanan hukuman bagi seorang pelaku yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan dalam Konvensi ini). Dalam praktiknya, model penjatuhan pidana bersyarat ini telah dilakukan oleh Mahkamah Agung RI melalui Putusan Nomor 920K/Pid.Sus/2013 terhadap terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi dengan ra o decidendi. Putusan Mahkamah Agung tersebut membenarkan alasan kasasi terdakwa sebagai jus ce collaborator, kemudian Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan nggi terkait, mengadili sendiri dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 1 tahun dengan ketentuan pidana tersebut dak perlu dijalani kecuali di kemudian hari terdakwa melakukan ndak pidana sebelum masa percobaan selama 2 tahun berakhir. Putusan Mahkamah Agung ini menerobos ketentuan pidana minimal selama 5 tahun sesuai ketentuan Pasal 114 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 yang didakwakan kepada terdakwa. 6. Model Perlindungan melalui Teleconference Salah satu bentuk perlindungan terhadap whistleblower dan jus ce collaborator yang merasa terancam jiwanya ke ka dilakukan pemeriksaan di persidangan khususnya dalam penanganan perkara organized crime adalah melalui pemeriksaan teleconference. Pemeriksaan demikian dalam hukum posi f Indonesia sebenarnya
594
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
belum diatur, namun pada praktiknya telah dikenal dan dilakukan. Pada awalnya, persidangan menggunakan media teleconference ini mengundang perdebatan panjang. Ada yang menyetujui, namun tak sedikit pula yang menentang. Apabila dilihat dalam prak k dunia peradilan di Indonesia, media teleconference pernah digunakan dalam persidangan Rahardi Ramelan, dalam Pengadilan HAM Ad Hoc, perkara Abu Bakar Ba'asyir dan kasus Bom Bali dengan terdakwa Ali Gufron alias Muhklas (teleconference kesaksian Wan Min bin Wan Mat dari Malaysia). Teleconference sebagai bentuk kemajuan teknologi dalam hukum acara pidana dapat dijadikan salah satu cara untuk mendapatkan kebenaran material sehingga sangat memungkinkan dan rasional untuk dipergunakan dalam pemeriksaan di persidangan terhadap whistleblower dan jus ce collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime di Indonesia pada masa mendatang. Urgensi, eksistensi dan relevansi adanya media teleconference ini diakui oleh M. Mohammad Saleh dalam pernyataannya sebagai berikut: “Pada tahun 2002 ke ka saya menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri/Niaga/HAM Jakarta Pusat dalam memberikan perlindungan pada whistleblower dan jus ce collaborator yaitu pada saat persidangan Abu Bakar Ba'asyir dengan dakwaan melakukan ndak pidana makar. Pemeriksaan saksi-saksi yang berada di Singapura dan Malaysia dengan melalui teleconference saat itu belum diundangkan Undang-Undang Terorisme dan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Saat itu, belum ada undang-undang yang mengakomodasi pembuk an melalui teleconference. Perkembangan teknologi memang lebih cepat dibandingkan dengan perkembangan hukum, oleh karena itu demi mencari kebenaran materiil mendengarkan keterangan saksi-saksi yang berada di Singapura dan Malaysia terutama mereka yang ikut kegiatan yang dilakukan oleh Abu Bakar Ba'asyir di Malaysia dan Singapura pada saat itu (jus ce collaborator). Teleconference tersebut cukup memberikan gambaran bagi majelis tentang kegiatan Abu Bakar Ba'asyir di kedua negara itu”.¹⁵ D. Penutup Model ideal perlindungan hukum bagi whistleblower dan jus ce collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime di Indonesia pada masa mendatang hendaknya berorientasi pada: model hak-hak prosedural atau par sipasi langsung
15 Mohammad Saleh, “Keynote Speech Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial dalam Rapat Koordinasi antara LPSK dengan Unsur Aparat Penegak Hukum dalam Proses Peradilan Pidana dengan Tema ‘Membangun Sistem Perlindungan dan Pemberian Penghargaan kepada Jus ce Collaborator (Saksi Pelaku yang Bekerjasama) pada Tindak Pidana Terorganisasi’”, Majalah Varia Peradilan, Tahun XXVII, No. 333, Agustus 2013, hlm. 8.
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
595
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
atau ak f (the procedural rights model/par e civile model/civil ac on system); model pelayanan atau model par sipasi dak langsung atau model pasif (the service model); model persuasif atau par sipasi, model perlindungan komprehensif; model penjatuhan pidana bersyarat dan model perlindungan melalui teleconference. Perlu dipikirkan secara lebih mendalam mengenai opsi mempertahankan LPSK sesuai status quo atau membentuk LPSK baru dengan kewenangan yang diperluas atau lembaga baru bersifat mandiri dan independen yang mengatur secara khusus tentang whistleblower dan jus ce collaborator sebagaimana dikenal di Amerika Serikat, Afrika Selatan, Belanda, Jerman, Albania dan sebagainya. Selain itu, pen ng dibuat regulasi baru sebagai penyempurnaan dari UU Nomor 13 Tahun 2006 dan hukum posi f Indonesia lainnya yang mengatur mengenai whistleblower dan jus ce collaborator sehingga perlindungan tersebut bersifat lebih lengkap, memadai, dan komprehensif. Per mbangan yang mendalam dari berbagai sudut pandang mengenai perlu atau daknya dilakukan penuntutan atau penjatuhan pidana ringan berupa pidana percobaan terhadap whistleblower dan jus ce collaborator, khususnya dalam upaya penanggulangan organized crime sangat diperlukan.
Da ar Pustaka Buku Abdul Haris Semendawai (et.al.), Memahami Whistleblower, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Jakarta, 2011. Hudson, J. dan Galaway, Res tu on in Criminal Jus ce, Lexington, Massachusetts, USA, 1977. Dokumen Lain Hauck, Pierre dan Sven Peterke, “Kejahatan Terorganisir dan Kekerasan Geng dalam Hukum Nasional dan Internasional”, Interna onal Review of The Red Cross, Volume 92, Number 878, June 2010. Imam Turmudhi, “Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Kasus Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Studi Kasus Susno Djuadji)”, Program Studi Pasca Sarjana Kekhususan Kejahatan Ekonomi dan An Korupsi, Jakarta, Juli 2011. Mohammad Saleh, “Keynote Speech Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial dalam Rapat Koordinasi antara LPSK dengan Unsur Aparat Penegak Hukum dalam Proses Peradilan Pidana dengan Tema 'Membangun Sistem Perlindungan dan Pemberian Penghargaan Kepada Jus ce Collaborator (Saksi Pelaku yang
596
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
Lilik Mulyadi: Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jus ce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia
Bekerjasama) pada Tindak Pidana Terorganisasi'”, Majalah Varia Peradilan, Tahun XXVII, No. 333, Agustus 2013. SATP, “Maharashtra Control of Organised Crime Act (Pasal 2 (e))”, , diunduh tanggal 25 Mei 2013. Yu rsa Yunus, “Rekomendasi Kebijakan Perlindungan Hukum Jus ce Callaborator: Solusi Akselerasi Pelaporan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Paper disampaikan dalam Konferensi Kebijakan Perencanaan Pembangunan Nasional 2013.
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 - Tahun 2014
597