TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
ADITYA WISNU MULYADI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
ADITYA WISNU MULYADI NIM. 1390561025
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
ADITYA WISNU MULYADI NIM 1390561025
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 18 AGUSTUS 2015
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Dr. I Gede Artha, SH., MH. NIP. 19580127 198503 1 002
Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH. NIP. 19590325 198403 1 002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM. NIP.19611101 198601 2 001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K). NIP. 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 18 Agustus 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 2910/UN14.4/HK/2015, Tanggal 6 Agustus 2015
Ketua
: Dr. I Gede Artha, SH.,MH
Sekretaris
: Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH.
Anggota
: 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS 2. Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH. 3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum.
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini
:
Nama
: Aditya Wisnu Mulyadi
Program Studi
: Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundangundangan yang berlaku.
Denpasar, 18 Agustus 2015 Yang menyatakan,
Aditya Wisnu Mulyadi
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Om Swastyastu, Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER
DAN
JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI”. Dalam penyusunan tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan dan arahan serta dukungan moral dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana; Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana; Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM., selaku Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana; Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra SH., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana. Bapak Dr. I Gede Artha, SH., MH., selaku Pembimbing I yang telah berkenan meluangkan waktu serta tenaganya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini; Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH., selaku
vi
Pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktu serta tenaganya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini; Bapak Dr. Dewa Made Suartha, SH., MH., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan petunjuk dan wejangannya selama penulis menempuh studi di Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana. Bapak dan Ibu Dosen Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah mengajar dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana; Bapak dan Ibu Pegawai Administrasi Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam pengurusan administrasi penulis selama perkuliahan; Bapak dan Ibu Pegawai Perpustakaan Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah sangat banyak membantu dalam administrasi peminjaman buku yang sangat berguna bagi penulisan tesis ini. Ayahanda dan Ibunda tercinta, adik-adik, serta kekasih yang sangat penulis cintai dan banggakan yang telah banyak memberikan semangat dan motivasi dalam penyusunan tesis ini. Teman-teman MH’13 seluruhnya, yang telah banyak memberikan masukan, saran, semangat, dan motivasi dalam penyusunan tesis ini sehingga penyusunan tesis ini selesai tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa materi yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman penulis. Oleh karena keterbatasan tersebut, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kelengkapan dan penyempurnaan tesis ini.
vii
Akhir kata, peneliti harapkan semoga tesis ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi para pembaca. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om Denpasar, 18 Agustus 2015
Penulis
viii
ABSTRAK Persoalan mengenai Whistleblower ataupun Justice Collaborator merupakan persoalan yang rumit sekaligus menarik untuk dibahas dalam suatu konsepsi ataupun legilasinya. Apakah seorang Whistleblower maupun Justice Collaborator merupakan seorang pelaku tindak pidana ataupun bukan pelaku tindak pidana, ataukah diperlukan suatu penghargaan ataupun hukuman khusus mengingat sangat diperlukannya peran Whistleblower maupun Justice Collaborator dalam mengungkap suatu kejahatan-kejahatan luar biasa seperti tindak pidana korupsi. Penegak hukum pun seringkali menjumpai kebuntuan untuk memutus perkara-perkara yang melibatkan seorang Whistleblower atau Justice Collaborator karena belum adanya perangkat hukum yang memadai untuk memfasilitasi jaminan hukum yang akan didapat, sehingga rumusan masalah yang dapat dikemukakan terkait dengan fenomena hukum tersebut yaitu: 1) Bagaimana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Indonesia, dan 2) Bagaimana konsep kebijakan hukum pidana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan komparatif. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dikumpulkan melalui metode sistematis dengan dicatat melalui sistem kartu untuk memudahkan analisis permasalahan. Lalu teknik untuk menganalisis bahan hukum menggunakan teknik deskripsi lalu dikembangkan dan dikaji dengan metode interpretasi, apabila bahan hukum sudah dideskripsikan dan diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan, selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi dan diberikan argumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kurang memadainya perlindungan hukum yang diterima oleh Whistleblower ataupun Justice Collaborator dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena perlindungan hukum kepada Justice Collaborator dan Whistleblower dilakukan ketika melakukan peran serta masyarakat untuk membantu pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi Selain itu, konsep kebijakan hukum pidana terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi pada masa mendatang berorientasi pada dimensi konsep pendekatan non penal berupakan pendekatan keadilan restorative dan perlindungan hukum terhadap orang yang bekerja sama kemudian penjatuhan hukum pidana dengan pidana bersyarat khusus, remisi istimewa dan pelepasan bersyarat yang dipercepat serta beberapa model perlindungan Whistleblower dan Justice Collaborator. Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Whistleblower, Justice Collaborator, Tindak Pidana Korupsi
ix
ABSTRACT The issue of Whistleblower or Justice Collaborator is a complicated issue and appealing to be discussed in a conception or formalization. Whether a Whistleblower and Justice Collaborator is a criminal or non-criminal, or do we need a special award or punishment considering the indispensable role of the Whistleblower and Justice Collaborator in revealing an exceptional crimes such as corruption. Law enforcement was often encounter a deadlock to break cases that involve a Whistleblower or Justice Collaborator because there is no adequate legal tools to facilitate the legal guarantees will be obtained, so that the formulation of the problem that can be put forward relating to the legal phenomenon, are: 1) How does the legal protection of the Whistleblower and Justice Collaborator in Law Corruption crime in Indonesia, and 2) How does the concept of legal protection of criminal law policy to the Whistleblower and Justice Collaborator in the future of corruption in Indonesia. This research is a normative legal research, with legislation approach, the conceptual approach and comparative approach. Legal materials used consisted of primary legal materials, secondary law and tertiary legal materials. Mechanical collection of legal materials collected through systematic method with recorded through the card system to facilitate analysis of the issue. Then the technique for analyzing legal materials using techniques and descriptions developed and assessed by the interpretation method, if the material has been described and interpreted the law in accordance subject matter, further systematized, explained and given argument. These results indicate that the lack of adequate legal protection received by the Whistleblower or Justice Collaborator in Corruption Law due legal protection to Justice Collaborator and Whistleblower done when doing community participation to assist in the prevention and eradication of corruption addition, the concept of policies criminal law against the Whistleblower and justice Collaborator in corruption in the future-oriented dimension of the concept of non-penal approach is the approach of restorative justice and legal protection of people working together then the imposition of criminal law with criminal conditional special, special remission and conditional release accelerated and Whistleblower protection models and Justice Collaborator. Keywords:
Legal protection, Corruption
Whistleblower,
x
Justice
Collaborator,
RINGKASAN Penelitian tentang perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi, disusun dalam lima bab yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut : Bab I menguraikan tentang hal-hal yang melatarbelakangi penyusunan penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian yang terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus, manfaat penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis, orisinalitas penelitian, landasan teoritis dan kerangka berpikir penelitian, serta metode penelitian, dimana metode penelitian berisi 5 bahasan yaitu jenis penelitian, jenis pendekatan yang digunakan, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum dan teknik analisis bahan hukum. Bab II menguraikan tentang tinjauan umum yang berupa tinjauan secara garis besar tentang konsep yang tertuang dalam judul penelitian, yakni perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi Indonesia. Konsekuensi logisnya dalam bab II ini dijelaskan berbagai macam pengertian mengenai Whistleblower dan juga Justice Collaborator, bentuk perlindungan yang akan diterima seorang Whistleblower dan Justice Collaborator dalam sistem peradilan pidana Indonesia, dan pengertian mengenai tindak pidana korupsi dari beberapa sarjana Bab III adalah bab inti yang menguraikan tentang pembahasan rumusan masalah pertama yakni, perlindungan hukum yang diterima oleh Whistleblower dan Justice Collaborator dalam UU Tipikor. Bab ini terdiri dari dua sub bab, dimana sub bab pertama menguraikan tentang urgensi perlindungan hukum terhadap para Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi Indonesia sedangkan sub bab kedua membahas mengenai perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator yang terdapat dalam UU Tipikor. Bab IV adalah bab inti yang menguraikan tentang pembahasan rumusan masalah kedua yakni, konsep kebijakan hukum pidana terhadap perlindungan hukum Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang (Ius Constituendum). Pada sub bab ini terdiri dari 4 bahasan pokok yaitu pertama, konsep pendekatan non penal untuk mewujudkan penanggulangan tindak pidana korupsi. Kedua, membahas mengenai penjatuhan hukuman pidana dengan pidana bersyarat khusus bagi seorang Whistleblower maupun Justice Collaborator. Ketiga, remisi istimewa yang akan diterima dan pelepasan bersyarat yang dipercepat. Lalu terakhir, mengenai model perlindungan terhadap Whistleblower maupun Justice Collaborator. Bab V adalah bab penutup yang terdiri dari sub bab simpulan dan saran. Simpulan merupakan hasil dari pembahasan penelitian baik terhadap rumusan masalah pertama maupun rumusan masalah kedua, sedangkan saran memuat halhal yang dapat direkomendasikan terkait dengan permasalahan dalam penelitian sebagai bentuk jalan keluar atas permasalahan yang dikemukakan, sehingga layak untuk dilaksanakan.
xi
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DALAM ..................................................................
i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ...................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN....................................... ......................................
iii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.................................................
v
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................
vi
ABSTRAK ......................................................................................................
ix
ABSTRACT ......................................................................................................
x
RINGKASAN .................................................................................................
xi
DAFTAR ISI ...................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL............................................................................................
xv
DAFTAR BAGAN .........................................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................
11
1.3. Ruang Lingkup Masalah ............................................................
12
1.4. Tujuan Penelitian .......................................................................
12
1.4.1. Tujuan Umum ................................................................
12
1.4.2. Tujuan Khusus ...............................................................
13
1.5. Manfaat Penelitian .....................................................................
13
1.5.1. Manfaat Teoritis .............................................................
13
1.5.2. Manfaat Praktis ..............................................................
14
1.6. Orisinalitas Penelitian ................................................................
14
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir .................................
20
1.7.1. Landasan Teoritis .............................................................
20
1.7.2. Kerangka Perpikir ............................................................
47
Metode Penelitian ......................................................................
48
1.8.1. Jenis Penelitian ...............................................................
48
1.8.2. Jenis Pendekatan ............................................................
50
1.8.
xii
1.8.3. Sumber Bahan Hukum ...................................................
51
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ..............................
52
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum .......................................
53
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 2.1. Pengertian Whistleblower dan Justice Collaborator ................
55
2.2. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia ....................................................................................
65
2.3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi................. ............................
86
BAB III PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR
DALAM
UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI INDONESIA 3.1. Urgensi Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi .................
89
3.2. Peraturan Yang Berkaitan Dengan Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi .............................
93
3.3. Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Indonesia.....................................................................................
95
BAB IV KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR
DALAM
TINDAK
PIDANA
KORUPSI
DI
INDONESIA PADA MASA MENDATANG (IUS CONSTITUENDUM) 4.1. Konsep Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Masa Mendatang (Ius Constituendum) ...............
xiii
118
4.1.1. Konsep
Pendekatan
Pidana
Non
Penal
Untuk
Mewujudkan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi... 118 4.1.2. Penjatuhan Hukuman Pidana Dengan Pidana Bersyarat Khusus.............................................................................
150
4.1.3. Remisi Istimewa dan Pelepasan Bersyarat Yang Dipercepat .......................................................................
159
4.1.4. Model Perlindungan ........................................................
184
BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan ....................................................................................
192
5.2. Saran ..........................................................................................
193
DAFTAR PUSTAKA
xiv
DAFTAR TABEL 1. Tabel
1.
Whistleblower
dan
Justice
Collaborator
yang Seharusnya
Mendapatkan Hak Asasi. 2. Tabel 2. Kasus-Kasus Korupsi yang Berhubungan Dengan Whistleblower dan Justice Collaborator.
xv
DAFTAR BAGAN
1. Bagan 1. Model Persuatif/Partisipatif Sesuai Sistem Peradilan Pidana Dalam Arti Sempit. 2. Bagan 2. Model Persuasif/Partisipatif Sesuai Sistem Peradilan Pidana Dalam Arti Luas. Bagan 3. Perlindungan Komprehensif bagi Justice Collaborator
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Persoalan mengenai Whistleblower maupun Justice Collaborator merupakan suatu fenomena yang pelik sekaligus menarik dalam suatu konsepsi legalisasi dan regulasinya. Apakah seorang Whistleblower ataupun Justice Collaborator merupakan pelaku tindak pidana ataupun bukan merupakan pelaku tindak pidana, apakah mereka merupakan saksi ataupun pelapor biasa ataukah diperlukan suatu reward (penghargaan) atau punishment (hukuman) khusus karena sangat diperlukan untuk mengungkap suatu kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai serious crime dan scandal crime.
Harus
diakui
bahwa
keberhasilan
penegak
hukum
dalam
mengungkap dan membuktikan suatu kejahatan sangat bergantung pada kesediaan seorang saksi dan/atau korban untuk memberikan keterangan yang sejujur-jujurnya di muka persidangan sebagai saksi. Kedudukan seorang saksi sangat penting dalam sebuah proses peradilan pidana mengingat saksi mempunyai keterangan berdasarkan apa yang dilihat, didengar dan dialaminya tentang atau terkait peristiwa tindak pidana. Keterangan yang dimiliki saksi sangat penting untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil sebagaimana yang dikehendaki dan menjadi tujuan proses peradilan pidana.
1
2
Dikaji dari perspektif terminologis, Whistleblower diartikan sebagai “peniup peluit”, ada juga menyebutnya sebagai “saksi pelapor”, “pengadu”, “pemukul kentongan”, “cooperative whistleblower”, dan “participant whistleblower”.
Sedangkan
Justice
Collaborator
diartikan
sebagai
“pembocor rahasia”, “saksi pelaku yang bekerja sama”, “collaborator with justice”,
“supergrasses”
“pentiti”/“pentito”/“callaboratore
della
giustizia” atau bahkan “pengungkap fakta”.
Mahkamah Agung dalam perkembangan terakhir melalui Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor: 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu disebutkan sebagai pelapor tindak pidana adalah orang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya, sehingga seorang pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.1
Terminologis Whistleblower dalam bahasa Inggris disebut sebagai “peniup peluit” karena dianalogikan sebagai wasit dalam pertandingan
1
Firman Wijaya, 2012, Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta,, h. 23
3
sepakbola atau olahraga lainnya yang meniup peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran sehingga dalam konteks ini diartikan sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada publik adanya sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi, serta tindak pidana lainnya. Selain itu, Whistleblower diartikan sebagai “peniup peluit” juga dimaknai sebagai pelaku kriminal yang membongkar kejahatan (saksi mahkota). 2 Saksi mahkota memang tidak diatur dalam KUHAP, tetapi dalam perspektif empirik saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang di ambil dari salah seorang terdakwa atau tersangka lainnya yang sama-sama melakukan tindak pidana, jadi
pengertiannya hampir sama
dengan seorang
Justice
Collaborator.
Hakikat Whistleblower di Indonesia terdapat dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai orang yang memberi informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Quentin Dempster menyebut Whistleblower sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya malpraktik, atau korupsi.3
2
Indriyanto Seno Adji, 2005, Urgensi Perlindungan Saksi, www.antikorupsi.org, Diakses pada 15 September 2014 3 Firman Wijaya, op.cit, h.7
4
Perkembangan ide Justice Collaborator sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) dimana ditegaskan bahwa, “Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”. (Terjemahan bebas: Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberi kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, memberi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini).
Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan bahwa, “Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from prosecution to a person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”. (Terjemahan bebas: setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsipprinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan dari
5
penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini).4
Dalam ketentuan hukum positif Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Selanjutnya disebut KUHAP) yang disebut-sebut sebagai karya agung dan merupakan salah satu pencapaian tertinggi bangsa Indonesia dibidang hukum,5 telah mencantumkan sedikit ketentuan yang sudah memperhatikan hak asasi tersangka/terdakwa. Hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 108 Ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis. Selain itu pada Pasal 117 Ayat (1) ditentukan bahwa dalam proses peradilan seorang saksi memiliki hak untuk memberikan keterangan kepada penyidik tanpa tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun.6
Lalu pada Pasal 166 perihal pembuktian di muka sidang Pengadilan kepada seorang saksi tidak boleh diajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjerat. Oleh sebab itu berdasarkan uraian diatas di dalam
4
Muhadar, 2009, Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Putra Media Nusantara, Surabaya, h. 50 5 Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana Horizon Pasca Reformasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 9 6 Friedrich, CJ, 2010, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, h. 45
6
KUHAP, tampak bahwa kedudukan saksi dalam hukum acara pidana hanya sekedar memperkuat posisi jaksa belaka guna memperlancar tugasnya mengajukan penuntutan kepada terdakwa. Ironisnya, saksi sama sekali tidak dihiraukan keberadaannya sebagai bagian dari pelaku penting untuk menuntaskan proses peradilan, apalagi hak-hak pelapor yang bekerjasama.
Ketentuan dalam KUHAP tidak memberikan garis koordinasi yang kolaboratif mengenai perlindungan hukum hak pelapor maupun kepada saksi yang bekerjasama untuk mengungkap perkara pidana. Penempatan sebagai pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dalam sistem peradilan yang menjadi masalah adalah dasar hukum untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia. Ketentuannya belum terintegrasi dalam satu sistem sehingga belum dapat diterapkan sepenuhnya, oleh karena itu masih menimbulkan polemik di antara penegak hukum.
Perangkat hukum yang tersedia untuk memberikan perlindungan terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator terdapat dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Selanjutnya disebut UU PSK), Pasal 10A Ayat (1), (2) dan (3) menyatakan bahwa:
(1) Saksi pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan;
7
(2) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa: a. Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; b. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau; c. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya. (3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. keringanan penjatuhan pidana; atau b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
Melihat reward yang ditawarkan pada UU PSK tersebut terhadap seorang Justice Collaborator menimbulkan suatu asumsi yakni kekaburan norma mengenai keringanan penjatuhan pidana, berapa lama terhukum akan mendapatkan keringanan pidana karena secara lebih lanjut tidak di jelaskan, bagaimana pula perlindungan terhadap hak asasi nya selama di persidangan dan di luar persidangan juga tidak dijelaskan secara rinci. Hal ini akan memicu keengganan pula bagi para calon Whistleblower maupun Justice Collaborator karena perlindungan hukum yang ditawarkan masih sangat sumir. Dalam kaitannya dengan UNCAC dan UU PSK, bahwasanya dalam Pasal 37 Ayat (3) disebutkan bahwa diberikannya pertimbangan kekebalan hukum terhadap saksi yang bekerjasama dalam penyelidikan atau
8
penuntutan suatu tindak pidana, hal ini pula telah diatur di dalam UU PSK tetapi kekebalan hukum berupa keringanan penjatuhan pidana masih di anggap sangat sumir demi menjamin perlindungan hukum yang ideal terhadap Whistleblower maupun Justice Collaborator.
Selanjutnya UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Selanjutnya disebut UU Tipikor), dalam Pasal 31 Ayat (1) menyatakan bahwa dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. Hanya hal tersebut yang diatur dalam UU Tipikor, perlindungan hukum yang signifikan menyangkut tentang perlindungan hukum Whistleblower maupun Justice Collaborator tidak diatur. Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, dalam Pasal 15 menentukan
bahwa
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
berkewajiban
memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.
Dalam beberapa ketentuan yang disebutkan diatas, belum memadai mengatur bagaimana mekanisme pemberian perlindungan kepada pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama oleh karena Lembaga
9
Perlindungan Saksi dan Korban sendiri tidak dapat menjangkau penegak hukum yang lain seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan.
Dalam kaitannya dengan perlindungan hak pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama, seperti yang disebutkan diatas telah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) pada point 7 berbunyi bahwa jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dapat memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya.
Sekilas terlihat bahwa SEMA tersebut melihat Pasal 37 Ayat (3) UNCAC mengenai memberikan kekebalan terhadap saksi pelaku yang bekerjasama yang diwujudkan dalam memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringanan pidana. Selain itu apabila dihubungkan dengan ketentuan UU PSK, Pada SEMA tersebut di point 7 dikaitkan dengan frasa “bentuk perlindungan lainnya” belum memberikan kejelasan yang signifikan dalam kedudukan SEMA tersebut apabila dijadikan acuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap Whistleblower maupun Justice Collaborator karena Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tidak termasuk sebagai bagian dari sistem peradilan pidana yang terpadu. Padahal
10
bila menilik dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 8 Ayat (2) menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung yang dalam hal ini termasuk SEMA diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Whistleblower maupun Justice Collaborator dapat berperan besar untuk
mengungkapkan
praktik-praktik
koruptif
lembaga
publik,
pemerintahan maupun perusahaan swasta. Oleh karena itu, implikasinya tanpa adanya sistem pelaporan dan perlindungan Whistleblower dan Justice Collaborator maka partisipasi publik untuk membongkar dugaan tindak pidana menjadi rendah sehingga praktik penyimpangan, pelanggaran, atau kejahatan pun semakin meningkat. Akan tetapi, sebenarnya dimensi Whistleblower dan Justice Collaborator tidak hanya berorientasi sesuai konteks di atas.
Aspek ini lebih luas dapat dikatakan Whistleblower maupun Justice Collaborator dari perspektif formulasi serta praktiknya menimbulkan dilema yaitu dalam posisi bagaimana seseorang ditempatkan sebagai Whistleblower dan Justice Collaborator. Hal ini berarti, dari perspektif sistem peradilan pidana Indonesia pada posisi dimanakah eksistensi seseorang dapat disebut sebagai Whistleblower dan Justice Collaborator
11
apakah parsial ditingkat penyidikan, penuntutan, peradilan, ataukah kolaboratif pada semua tingkat tersebut dimungkinkan. Selain itu, dalam tataran kebijakan formulatif dan aplikatif pada masa kini (Ius Constitutum) terdapat
adanya
kekurangjelasan,
kekurangtegasan
dan
kekurangsempurnaan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dibandingkan dengan pengaturan di beberapa negara baik mengenai lembaga yang mengatur Whistleblower dan Justice Collaborator, pengaturan legislasi, mekanisme, dan lain sebagainya. Sehingga, konsekuensi logis dimensi demikian diperlukan untuk masa mendatang (Ius Constituendum) adanya sebuah konsep ideal perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam rangka menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia.
Konsekuensi logis, dimensi sebagaimana konteks di atas penelitian “Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi”, ingin memberikan perlindungan hukum terhadap para Whistleblower dan Justice Collaborator dari perspektif normatif (Ius Constitutum) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana Indonesia, kemudian dikaji juga konsep ideal mengenai perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator di Indonesia pada masa mendatang (Ius Constituendum).
1.2. Rumusan Masalah
12
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan konteks di atas maka dapat diformulasikan fokus masalah penelitian adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Indonesia? 2) Bagaimana konsep kebijakan hukum pidana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang (Ius Constituendum)?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah dibatasi pada pengaturan perlindungan hukum yang didapat oleh seorang Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Indonesia, apakah seorang saksi pelapor atau saksi pelaku mendapatkan perlindungan hukum yang layak dalam UU Tipikor Sedangkan untuk permasalahan kedua adalah di tekankan pada sebuah konsep kebijakan pidana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang (Ius Constituendum)
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum
13
1. Dapat dijadikan rujukan bagi penelitian dan pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi; 2. Sebagai masukan untuk dijadikan referensi dan bahan pemikiran dalam menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan perlindungan hukum yang diterima oleh Whistleblower dan
Justice
Collaborator
khususnya
dalam
upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. 1.4.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengkaji, memahami dan menemukan hal-hal yang berkaitan dari aspek normatif terhadap perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator masa kini (Ius Constitutum) dalam tindak pidana korupsi dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia; 2. Untuk mengkaji dan menganalis tentang konsep kebijakan pidana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia di masa mendatang (Ius constituendum). 1.5.Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis 1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sebuah sumbangan dan manfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan Hukum Pidana sehingga dapat memperkaya bahan-bahan
14
terutama guna pengembangan dunia peradilan pada khususnya dan ilmu hukum pada umumnya; 2. Diharapkan hasil penelitian ini memberi manfaat bagi arah kebijakan legislasi baru (Ius Constituendum) dalam membuat undang-undang pidana pada umumnya dan khususnya terhadap undang-undang perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator di Indonesia untuk masa mendatang.
1.5.2. Manfaat Praktis 1. Bagi Masyarakat sebagai bahan acuan dalam pelaksanaan kehidupan
berbangsa
dan
pengaturan
perlindungan
bernegara hukum
yang
guna
mengetahui
diberikan
pada
Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi; 2. Bagi Penegak hukum agar dapat menegakkan fungsi peradilan dengan benar dan adil berkaitan dengan penegakan eksistensi perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
1.6. Orisinalitas Penelitian Menyangkut orisinalitas penelitian dalam tesis ini, sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan penelusuran terhadap kesamaan ataupun keterkaitan mengenai judul ataupun masalah hukumnya dari beberapa disertasi dan tesis dari beberapa Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia
15
dapat dinyatakan bahwa penelitian dengan judul ‘Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi’ belum pernah dilakukan oleh penulis-penulis sebelumnya. Akan tetapi permasalahan mengenai perlindungan-perlindungan hukum terhadap Whistleblower ataupun Justice Collaborator telah dilakukan oleh penulis sebelumnya, antara lain: 1. Perlindungan
Hukum
Terhadap
Justice
Collaborator
terkait
Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Tesis di Program Magister Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2014, atas nama Rika Ekayanti); Adapun permasalahan yang dikaji dalam tesis tersebut diatas dikhususkan pada 2 masalah utama, yaitu: a. Bagaimana perumusan pengaturan perlindungan hukum bagi Justice Collaborator dalam hukum positif di Indonesia? b. Bagaimanakah kekuatan pembuktian dari kesaksian yang diberikan oleh seorang Justice Collaborator? Perbedaan utama penelitian tesis diatas dengan penelitian peneliti adalah subyek yang menjadi pembahasan dalam pengaturan perlindungan hukum dalam tindak pidana korupsi di Indonesia, penelitian tesis tersebut hanya bertumpu pada Justice Collaborator ssebagai subyeknya sedangkan penelitian tesis penulis bertumpu pada Justice Collaborator dan juga Whistleblower.
16
Perbedaan mendasar yang signifikan dapat ditemukan dalam rumusan masalah kedua, dimana penulis dalam penelitian ini mengkaji konsep ideal untuk pengaturan perlindungan yang akan datang, agar nantinya perlindungan hukum terhadap Whistleblower maupun Justice Collaborator dapat mencerminkan keadilan dan tidak berat sebelah, juga didukung dengan pendekatan komparatif yaitu membandingkan perlindungan
hukum
terhadap
Whistleblower
maupun
Justice
Collaborator dengan Negara asing yang telah maju seperti Amerika Serikat sehingga diharapkan dapat menemukan konsep perlindungan hukum yang berlandaskan asas keadilan, sedangkan tesis diatas hanya mengkaji mengenai seberapa kuat pembuktian seorang Justice Collaborator. 2. Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) Oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) (Tesis di Program Magister Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2012, atas nama Sigit Artantojati); Adapun masalah yang dibahas dalam tesis tersebut diatas bertumpu pada 4 masalah pokok, yaitu: a. Bagaimanakan perbandingan konsep dan pengaturan perlindungan bagi Justice Collaborator di beberapa Negara? b. Bagaimanakah peran LPSK dalam memberikan perlindungan dan penghargaan bagi Justice Collaborator?
17
c. Bagaimana bentuk kerjasama LPSK dan komponen sistem peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) dalam perlindungan Justice Collaborator? d. Bagaimana
hambatan
dan
peluang
pengaturan
mengenai
perlindungan Justice Collaborator? Perbedaan mendasar bila dibandingkan satu sama lain terlihat dari subyek hukumnya, dalam tesis tersebut hanya menjelaskan tentang perlindungan terhadap Justice Collaborator sedangkan pada tesis penulis mengacu pada Justice Collaborator dan juga pada Whistleblower. Selain itu, dalam tesis tersebut tidak menyinggung mengenai perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator
dalam
UU
Tipikor
Indonesia
dan
juga
tidak
menganalisis mengenai konsep kebijakan hukum pidana. Apakah perlindungan hukum terhadap Justice Collaborator dalam UU tersebut telah mencerminkan nilai keadilan dan selaras dengan jasa yang telah diberikan oleh seorang Justice Collaborator. Aspek inilah yang akan dibahas dalam tesis penulis ini dan tidak terdapat sama sekali dalam tesis yang telah peneliti jabarkan diatas. 3. Kebijakan Legislatif Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) dalam Perkara Pidana di Indonesia
18
(Tesis di Program Magister Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, 2011, atas nama Kholis Badawi); Adapun masalah yang dipaparkan tesis tersebut dibagi menjadi 2 masalah utama, yaitu: a. Apakah ada kelemahan pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pengungkap fakta (Whistleblower) dalam perkara pidana di Indonesia? b. Bagaimanakah prospek pengaturan terhadap saksi pengungkap fakta (Whistleblower) dalam perkara pidana di Indonesia di masa yang akan datang? Perbedaan signifikan yang menjadi tolak ukur pembeda mengenai tesis diatas dengan tesis penulis adalah berpedoman pada rumusan masalah 1 yaitu pengaturan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dalam perkara pidana di Indonesia, masalah tersebut masih luas apabila dibandingkan dengan tesis penulis yang berfokus pada pengaturan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam kejahatan korupsi saja yaitu dalam UU Tipikor Indonesia. Selain itu, dalam rumusan masalah kedua, dalam tesis diatas membahas prospek pengaturan terhadap Whistleblower dalam perkara pidana di masa yang akan datang sedangkan penulis dalam tesis ini mencoba mengemukakan konsep kebijakan hukum pidana yang sesuai dalam upaya perlindungan hukum terhadap
19
Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang.
4. Perlindungan
Hukum
Terhadap
Whistleblower
Kasus
Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Studi Kasus Susno Duadji) (Tesis di Program Magister Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2009, atas nama Imam Turmudhi). Adapun rumusan masalah pokok dalam tesis ini terbagi menjadi 3, antara lain: a. Apakah
Susno
Duadji
termasuk
dalam
kategori
sebagai
Whistleblower yang berhak mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia? b. Bagaimanakah
kedudukan
Whistleblower
(peniup
peluit,
pengungkap fakta) kasus tindak pidana korupsi dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia? c. Bagaimana pelaksanaan dan hambatan yang dihadapi oleh LPSK dalam memberikan perlindungan hukum terhadap Whistleblower yang terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban? Perbedaan utama yang terlihat dalam tesis tersebut dengan tesis penulis adalah subyek hukum yang dibahas, sama seperti
20
orisinalitas
penelitian
tesis
yang
sebelumnya
yaitu
hanya
memfokuskan pada Whistleblower saja, sedangkan tesis penulis mengkaji Whistleblower dan Justice Collaborator sekaligus. Selain itu dalam tesis ini tidak disinggung mengenai konsep kebijakan hukum pidana perlindungan hukum Whistleblower dan Justice Collaborator di masa mendatang dikaji melalui UU PSK. Disimpulkan bahwa judul-judul tesis tersebut memiliki kesamaan sekilas dari judul penelitian, tetapi bila dikonklusikan perbedaan mendasar dan utama tesis-tesis tersebut diatas dengan tesis penulis adalah subyek hukum yang dibahas yaitu Whistleblower dan Justice Collaborator. Selain itu, dalam tesis penulis ini di bahas juga mengenai konsep kebijakan hukum pidana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator yang dikaji melalui UU PSK.
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.7.1. Landasan Teoritis Landasan teori merupakan butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu permasalahan (problem)
yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.7 Melalui landasan teori, maka ditentukan arah penelitian dan dalam memilih konsep yang tepat guna pembentukan analisis dan hasil
7
Endang Komara, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama, Bandung, h. 81
21
penelitian yang dilakukan.8 Dalam landasan teoritis, selain terdapat teori-teori yang digunakan untuk mengupas permasalahan juga terdapat asas, konsep dan doktrin9 yang memiliki korelasi yang erat dengan permasalahan yang dibahas yaitu perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam tindak pidana korupsi.
Asas-asas hukum yang relevan digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah asas Unus Testis Nullus Testis, asas perlindungan saksi dan korban dan asas Justitia Est Ius Suum Cuique Tribuere. Jika berbicara mengenai saksi baik saksi pelapor maupun saksi pelaku tentu tidak dapat mengeyampingkan asas ini. Asas Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukan saksi) merupakan asas yang menolak kesaksian dari satu orang saksi saja. Dalam hukum acara perdata dan acara pidana, keterangan seorang saksi saja tanpa dukungan alat bukti lain tidak boleh dipercaya atau tidak dapat digunakan sebagai dasar bahwa dalil gugatan secara keseluruhan terbukti. Prinsip ini secara tegas diatur dalam Pasal 185 Ayat (2) KUHAP.
Tetapi dalam perkembangannya asas ini sering diartikan salah oleh sebagian orang karena jika asas ini benar-benar diterapkan secara lurus, berdampak pada sulitnya pembuktian sebuah kasus pidana.
8
Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum. Refleksi Kritis Terhadap Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 13 9 Hans Kelsen, 2012, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, h. 23
22
Padahal, keterangan satu saksi bisa diperkuat dengan kesaksian yang lain dan menjadi sebuah alat bukti yang sah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (4) KUHAP, “Mengenai kesaksian berantai (kettingbewijs) bahwa keterangan beberapa saksi yang berdiri sendirisendiri dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu saling berhubungan satu sama lain sehingga membenarkan suatu kejadian”.
Asas yang bersinggungan dan terkadang sering diabaikan dalam perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator merupakan asas perlindungan saksi dan korban. Perlindungan saksi dan korban adalah merupakan persoalan penting dalam setiap kasus kejahatan. Asas perlindungan saksi dan korban di khususkan untuk menimbulkan rasa aman baik kepada saksi ataupun korban. Urgensi atas perlindungan saksi dan korban ini adalah karena jenis kejahatan yang terjadi dan pelaku yang selalu mempunyai kekuatan dan sumber daya yang luar biasa untuk melakukan upaya-upaya intimidasi dan tekanan kepada korban maupun saksi. Seperti halnya dengan tindak pidana korupsi, pelaku nya memiliki kekuasaan (power) yang besar sehingga kejahatan seperti ini sangat sulit di lacak dan diungkap siapa saja yang terlibat di dalamnya. Oleh sebab itu, peran Whistleblower dan Justice Collaborator disini sangat menentukan untuk mengungkap jenis kejahatan yang termasuk serious crime ini, oleh sebab itu di perlukan
23
adanya suatu pengaturan kebijakan pidana yang memadai dalam perlindungan saksi dan korban tersebut.
Asas yang berhubungan lainnya dengan penelitian ini adalah Justitia Est Ius Suum Cuique Tribuere.10 Asas ini diartikan bahwa keadilan diberikan kepada tiap orang yang menjadi haknya. Seseorang yang menjadi whistleblower ataupun justice collaborator harus diperhatikan pula haknya sehingga mewujudkan suatu keadilan yang menyeluruh.
Mengarah pada Konsep-konsep hukum yang digunakan dan relevan dalam penelitian ini karena memiliki hubungan dengan permasalahan yang dibahas adalah adalah Konsep Negara Hukum dan Penegakan Hukum. Mengenai Konsep Negara Hukum11 sebenarnya Pemikiran tentang negara hukum telah muncul jauh sebelum terjadinya Revolusi tahun 1688 di Inggris, tetapi baru muncul kembali pada Abad XVII dan mulai populer pada Abad XIX. Latar belakang timbulnya pemikiran negara hukum itu merupakan reaksi terhadap kesewenangwenangan di masa lampau. Muhammad Tahir Azhary menyebutkan secara konsepsional terdapat 5 (lima) konsep utama negara hukum yaitu
10
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum (Edisi Revisi), Rineka Cipta, Bandung, h. 34 Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, Penerbit UII Press, Yogyakarta, H. 95 11
24
“Rechtsstaat, Rule of Law, Socialist Legality, Nomokrasi Islam, dan Negara Hukum Pancasila”.12
Konsep “Rechtsstaat” diawali oleh pemikiran Immanuel Kant tentang negara hukum dalam arti sempit (formal) yang menempatkan fungsi “Rechts” pada “staat” hanya sebagai alat bagi perlindungan hak-hak asasi individual dan pengaturan kekuasaan negara secara pasif, yakni hanya bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Konsep Immanuel Kant ini, terkenal dengan sebutan “Nachtwakerstaat”
atau
“Nachtwachterstaat”.
Perkembangan
berikutnya, konsepsi Immanuel Kant diarahkan menjadi konsep “Rechtsstaat” dalam artian luas sebagai negara yang berwawasan kesejahteraan dan kemakmuran (welvaarstaat dan verzorgingsstaat) dengan variasi unsur-unsur utamanya adalah:
a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, pemisahaan kekuasaan negara berdasarkan prinsip trias politica, penyelenggara pemerintah menurut undang-undang (wetmatig bestuur) dan peradilan administrasi negara; b. Kepastian hukum, persamaan, demokrasi dan pemerintah yang melayani kepentingan umum;
12
Muhammad Tahir Azhary, 2004, Negara Hukum (Suatu Studi Tentang PrinsipPrinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini), Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, h. 73-74
25
c. Pemerintah menurut hukum (wetmatig bestuur), hak-hak asasi, pembagian kekuasaan pengawasan oleh kekuasaan peradilan; d. Pemerintahan menurut hukum, jaminan terhadap hak-hak asasi, pembagian
kekuasaan,
dan
pengawasan
yustisial
terhadap
pemerintah. Konsep Negara hukum negara-negara Anglo Saxon merupakan bagian tak terpisahkan dari doktrin rule of law dari A.V. Dicey yang terdiri atas 3 (tiga) unsur yaitu supremasi hukum atau supremacy of law, persamaan di depan hukum atau equality before the law dan konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perseorangan atau the constitution based on individual rights.13 Bahwa pada hakikatnya negara hukum sedikitnya terdiri 4 (empat) unsur sebagai eksistensi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Keempat unsur tersebut adalah; a) Semua tindakan pemerintah haruslah berdasarkan atas hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; c) Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan/kekuatan lain apapun juga; dan d) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara. Pemerintahan berdasarkan hukum merupakan pemerintahan yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan tidak berorientasi kepada 13
Ibid, h. 80
26
kekuasaan. Pada negara berdasarkan atas hukum maka hukum ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahannya (supremasi hukum) sehingga dianut tentang “ajaran kedaulatan hukum” yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut UUD 1945) Amandemen Ketiga. Secara konseptual teori negara hukum menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum (rechts zekerheids) dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (human rights). Pada dasarnya, suatu negara berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Korelasi dengan aspek tersebut di atas, Pembukaan UUD 1945 menentukan tujuan hukum diformulasikan mencakup pelbagai dimensi melalui konsepsi yang bersifat futuristik, yaitu hukum ditujukan untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.14
14
Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, h. 143
27
Substansi elementer dalam suatu negara hukum selain terdapat persamaan (equality) juga pembatasan (restriction). Batas-batas kekuasaan ini juga berubah-ubah, bergantung kepada keadaan. Namun, sarana yang dipergunakan untuk membatasi kedua kepentingan itu adalah hukum. Baik negara maupun individu adalah subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Oleh karena itu, dalam suatu negara hukum, kedudukan dan hubungan individu dengan negara senantiasa dalam keseimbangan. Kedua-duanya mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum. Secara teoritis konsepsi negara hukum yang dianut Indonesia tidak dari dimensi formal, melainkan dalam arti materiil atau lazim dipergunakan terminologi Negara Kesejahteraan (Welfare State)15 atau “Negara Kemakmuran”. Oleh karena itu, selaras konteks di atas maka tujuan yang hendak dicapai Negara Indonesia adalah terwujudnya masyarakat adil dan makmur baik spiritual maupun materiel berdasarkan Pancasila, sehingga “disebut juga sebagai negara hukum yang memiliki karakteristik mandiri”. Konkritnya, tersebut
dikaji
kemandirian
dari perspektif penerapan konsep dan pola negara
hukum pada umumnya sesuai kondisi bangsa Indonesia dengan tolok
15
Muladi, 2002, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, h. 55
28
ukur berupa Pancasila. Oleh karena itu Negara Indonesia ialah Negara Hukum (rechtsstaat) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.16 Konsep
Negara
hukum
sebagaimana
konteks
di
atas
diimplementasikan dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi, maka hukum dapat dijadikan sarana untuk memaksa dan menertibkan agar pelaku diperiksa dan diadili sesuai dengan perangkat hukum yang adil17 (asas equality before the law dan asas equality before the justice) karena dalam hal pengungkapan suatu kasus yang rumit seperti tindak pidana korupsi teramat sulit tanpa adanya peran Whistleblower dan Justice Collaborator. Konsekuensi logis demikian, diperlukan adanya peranan Whistleblower dan Justice Collaborator untuk mengungkapkan kasus. Akan tetapi di sisi lainnya, tentu saja diperlukan suatu perangkat hukum bagaimana kebijakan formulasi dapat mengatur untuk dapat memberi jaminan hak dan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator ketika mengungkapkan kasus tersebut. Sehingga, dengan demikian diharapkan kasus-kasus rumit seperti tindak pidana korupsi dapat diungkap berdasarkan peran Whistleblower dan Justice Collaborator, kemudian pelakunya (offender/daders) diadili melalui mekanisme beban pembuktian yang tetap mengkedepankan
16
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, 2012, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 367 17 Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktis, dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung, h. 28
29
Hak Asasi Manusia (HAM), sesuai ketentuan hukum acara dan konvenan internasional sedangkan di sisi lainnya Whistleblower dan Justice Collaborator diberikan pula perlindungan hukum. Konsep yang kedua adalah Konsep Penegakan Hukum, menilik pada tujuan daripada penegakan hukum tersebut sendiri adalah mewujudkan suatu keadilan. Karenanya dengan penegakan hukum tersebut, hukum tersebut menjadi kenyataan yang ditaati oleh setiap masyarakat. Tanpa adanya penegakan hukum, hukum tersebut hanya merupakan rumusan konseptual yang tidak bernyali dan tidak memiliki kekuatan mengikat apapun. Dalam konsep penegakan hukum, dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu: a. Total Enforcement Concept; Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada di belakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali b. Full Enforcement Concept; dan Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual. c. Actual Enforcement Concept. Konsep penegakan hukum actual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan
30
hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan saranaprasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat. Konsep yang bersifat full menghendaki perlunya pembatasan dari konsep total dengan suatu hukum formil dalam rangka perlindungan kepentingan individual. Konsep penegakan hukum aktual muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan yang ada dan kurangnya peran serta masyarakat. Bila dikaitkan dengan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi dimana dalam hukum dalam konspsi penegakan hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk memberikan perlindungan hukum yang adil terhadap para Whistleblower dan Justice Collaborator agar mereka mau
bekerjasama
dengan
aparat
penegak
hukum
untuk
membongkar/mengungkap fakta mengenai kejahatan yang lebih besar lagi ke depannya. Doktrin-doktrin yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengacu pada judul penelitian yaitu Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi. Secara gramatikal, perlindungan adalah a) tempat berlindung; atau b) hal
(perbuatan)
memperlindungi.
Perlindungan
hukum
adalah
31
perlindungan akan harkat dan martabat serta pengakuan terhadap hak asasi manusia yang, dimiliki oleh subyek hukum dalam Negara hukum dari kesewenang-wenangan.18 Dalam hal ini, perlindungan hukum wajib diberikan kepada Whistleblower dan Justice Collaborator mengingat
mereka
kesaksiannya
sangat
merupakan diperlukan
saksi untuk
pengungkap membongkar
fakta
yang
kejahatan-
kejahatan yang lebih besar lagi. Mengenai peristilahan tentang Whistleblower, bertitik tolak pada pendapat Quentin Dempster, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Whistleblower adalah peniup peluit, disebut demikian karena seperti wasit dalam pertandingan sepak bola atau olah raga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran, atau polisi lalu lintas yang hendak menilang seseorang di jalan raya karena orang itu melanggar aturan, atau seperti pengintai dalam peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan musuh dengan bersiul, berceloteh, membocorkan atau mengungkapkan fakta kejahatan, kekerasan atau pelanggaran. Lebih lanjut, Quentin Dempster menyebutkan bahwa pengertian Whistleblower adalah orang yang mengungkap fakta kepada public mengenai sebuah skandal, bahaya mal praktik atau korupsi.
18
Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Peradaban, Jakarta, h. 205
32
Mardjono Reksodiputro mengartikan Whistleblower adalah pembocor rahasia atau pengadu.19 Menurut sudut pandang Hadistanto, Whistleblower merupakan istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja anggota suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melawan ketentuan kepada pihak yang berwenang. Mulyana Wirakusumah, menyebutkan Whistleblower sebenarnya bukan hanya dikenal dalam sistem peradilan pidana, akan tetapi juga dalam lingkungan lain, seperti perusahaan sebagai upaya mewujudkan good corporate governance. Para Whistleblower bukan sekadar ‘tukang mengadu’ akan tetapi saksi suatu kejahatan. Beberapa lembaga seperti KPK (Komis Pemberatasan Korupsi) sudah mengembangkan sistem online pelaporan whistleblower, LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
juga
mengembangkan
Whistleblower
System.
Whistleblower merupakan orang dalam Kementerian/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau lembaga lain yang memiliki akses informasi dan mengadukan perbuatan terindikasi penyimpangan. Jadi bila dirangkum berdasarkan pendapat sarjana trsebut diatas Whistleblower merupakan orang, yang merupakan karyawan ataupun mantan karyawan ataupun pekerja anggota suatu institusi yang melaporkan suatu tindakan yang melawan hukum ke hadapan public seperti kasus-kasus serious crime.
19
Firman Wijaya, Op.Cit, h.8
33
Istilah mengenai Justice Collaborator sebenarnya telah terdapat di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 yaitu seseorang yang merupakan salah satu dari pelaku tindak pidana, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan yang sangat signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar dan mengembalikan asetaset/hasil suatu tindak pidana. Firman Wijaya berpendapat bahwa istilah Justice Collaborator dapat disebut juga sebagai pembocor rahasia atau peniup peluit yang mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum. Si pembocor rahasia haruslah orang yang ada di dalam organisasi yang dapat saja terlibat atau tidak terlibat di dalam tindak pidana yang dilaporkan itu.20 Bila dirangkum berdasarkan pendapat tersebut diatas dapat di konklusikan bahwa Justice Collaborator merupakan pelaku yang bekerjasama yaitu orang baik dalam status saksi, pelapor atau informan yang memberikan bantuan kepada penegak hukum misalnya dalam bentuk pemberian informasi penting, bukti-bukti yang kuat atau keterangan/kesaksian di bawah sumpah, yang dapat mengungkap suatu tindak pidana, di mana orang tersebut terlibat di dalam tindak pidana yang dilaporkannya tersebut atau bahkan suatu tindak pidana lainnya. 20
Ibid. h. 11
34
Tindak pidana korupsi sendiri merupakan suatu fenomena sosial yang merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang serta membahayakan masyarakat dan Negara. Dilihat dari sudut terminologis, istilah korupsi berasal dari kata “curruptio”
dalam
bahasa
latin
yang berarti
kerusakan
atau
keboborokan, dan dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaan atau perbuatan yang busuk. Menurut Henry Campbell Black yang dikutip oleh Elwi Danil,21 mengartikan korupsi sebagai “An act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of others” (Terjemahan Bebas: Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dngan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain). Termasuk pula dalam pengertian korupsi adalah perbuatan seorang pejabat yang secara melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatu keuntungan yang berlawanan dngan kewajibannya. Pengertian istilah korupsi memang memiliki keanekaragaman yang dapat mengakibatkan timbulnya kesulitan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan korupsi. Bahkan, menurut Robert O. Tilman, seperti halnya keindahan
21
H. Elwi Danil, 2011, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 2
35
pengertian korupsi yang sesungguhnya tergantung dari cara dan dari sudut mana orang memandangnya. Selain menilik pada asas, konsep, maupun doktrin-doktrin para sarjana, dalam mengupas permasalahan dalam penelitian ini digunakan beberapa teori, antara lain Teori Keadilan (John Rawls), Teori Kemanfaatan (Jeremy Bentham), Teori Perlindungan Hukum (Philipus Hadjon) dan Teori Hukum Pembangunan (Mochtar Kusumaatmadja). Konsistensi Teori Keadilan dan Teori Perlindungan Hukum digunakan sebagai pisau analisis untuk membahas permasalahan mengenai pengaturan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam UU Tipikor sedangkan Teori Kemanfaatan dan Teori Hukum Pembangunan digunakan untuk mengupas permasalahan kedua mengenai rumusan konsep kebijakan pidana perlindungan hukum Whistleblower dan Justice Collaborator di masa mendatang. 1) Teori Keadilan (John Rawls) Teori Keadilan digunakan dalam penelitian ini dikarenakan bahwa pada negara hukum Indonesia, penjatuhan pidana dan proses persidangan haruslah tetap dalam rangka koridor hukum berdasarkan asas keadilan. Peran Whistleblower dan Justice Collaborator mengungkapkan kasus diharapkan dapat menjadi dasar bagaimana hakim menjatuhkan pidana kepada pelaku yang sesungguhnya (actor intelectual). Selain itu, dalam negara hukum Indonesia juga harus diberikan adanya perlindungan sekaligus reward terhadap peran
36
Whistleblower dan Justice Collaborator dalam mengungkapkan kasus sehingga dengan demikian diharapkan nantinya banyak orang yang berani serta bersedia untuk menjadi seorang Whistleblower dan Justice Collaborator. Aspek dan dimensi ini patut dikedepankan, oleh karena dalam suatu negara hukum diharapkan semua orang yang melanggar hukum harus dapat diadili sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dengan tetap bertitik tolak kepada dimensi keadilan. Hakim dalam mengadili perkara dengan pelibatan seorang Whistleblower dan Justice Collaborator hendaknya wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat mempunyai makna serupa dengan pendapat Eugen Erlich dengan teori living law, yaitu hukum yang berkembang dan masih di taati oleh anggota masyarakat adat disekitar daerah tersebut. 22 Selain itu, ketika hakim mengadili perkara pelibatan seorang Whistleblower dan Justice Collaborator hendaknya putusan hakim tersebut mencerminkan dan juga berdimensi keadilan (gerechtigkeit), selain
kepastian
(zweckmassigkeit)
hukum
(rechtszekerheid)
sebagaimana
diintrodusir
dan Gustav
kemanfaatan Radbruch.
Berbicara dimensi keadilan, John Rawls menegaskan gagasan keadilan
22
Romli Atmasasmita, 2013, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, h. 133
37
sebagai fairness, suatu teori keadilan berdasarkan konsepsi tradisional tentang kontrak sosial ke level abstraksi yang lebih tinggi. Menurut John Rawls23 sekurangnya terdapat dua prinsip pokok yang mengatur keadilan. Pertama, prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh sistem kebebasan pokok yang sama yang seluas-luasnya, yang dapat diselaraskan dengan sistem yang sama baik orang lain.
Kedua,
menyatakan bahwa ketimpangan (ketidaksamaan) sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa agar menghasilkan manfaat seoptimal mungkin bagi mereka yang paling kurang (tidak) beruntung, dan menyediakan suatu sistem akses yang sama untuk semua jabatan dalam kesamaan peluang.24 Melalui sistem John Rawls ini dapat dipahami suatu konsepsi umum tentang keadilan (fairness), karena menempatkan aspek kesamaan, baik secara umum (the principle of greatest equal liberty), maupun persamaan kesempatan (the principle of fair equality of opportunity), dan ketimpangan atau ketidaksamaan (the diffrence principle) secara fair, sehingga teorinya disebut juga “keadilan sebagai fairness”. Konklusi dan esensi dasar negara hukum, pendapat Eugen Erlich, Gustav Radbruch dan John Rawls maka ketika hakim
23
John Rawls, 2011, A Theory of Justice, (Penterjemah: Uzair Fauzan & Heru Prasetyo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 49 24 Darji Darmodiharjo & Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia Cet. Ke VI, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 137
38
mengadili perkara dengan pelibatan seorang Whistleblower dan Justice Collaborator hendaknya putusan hakim harus mencerminkan dan berdimensi keadilan, selain kepastian hukum dan kemanfaatan. Aspek dan dimensi ini sangat diperlukan agar orang menjadi berani, tidak takut, mau dan bersedia untuk menjadi seorang Whistleblower dan Justice Collaborator sehingga kasus dapat terungkap lebih peran seorang Whistleblower dan Justice Collaborator serta dalam konteks negara hukum tentunya dengan tetap bertitik tolak pada asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), semua orang sama dihadapan hukum (equality before the law), dan adanya kesamaan hukum yang adil (equality before the justice). 2) Teori Kemanfaatan (Jeremy Bentham) Teori Kemanfaatan (Utilitarian Theory) dikembangkan pertama kali oleh Jeremy Bentham. Persoalan yang dihadapi adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijakan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Dengan kata lain bagimana menilai suatu kebijakan publik yang mempunyai dampak kepada banyak orang secara moral. Berpijak dari hal tersebut, Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait. Bila dikaitkan dengan apa yang dinyatakan Bentham pada hukum atau
39
kebijakan-kebijakan, maka baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru bisa di nilai baik, jika akibatakibat
yang
dihasilkan
dari
penerapannya
adalah
kebaikan,
kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan kurangnya penderitaan. Dan sebaliknya di nilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibatakibat yang tidak adil, kerugian dan hanya memperbesar penderitaan. Sehingga tidak salah tidak ada para ahli menyatakan bahwa teori kemanfaatan ini sebagai dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan Negara.25 Diposisikannya teori kemanfaaatan sebagai pisau analisis untuk membahas permasalahan kedua mengenai konsep kebijakan hukum pidana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice
Collaborator
dirasa
tepat
karena
Teori
kemanfaatan
memberikan penjelasan bahwa apabila dalam suatu persidangan hakim memandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum
25
Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, h. 79-80
40
akan tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen masyarakat merasa keberatan. Jadi sebagai pertimbangan hakim dengan melihat segi kemanfaatan maka terdakwa tidak diberikan sanksi akan tetapi hanya diberikan tindakan rehabilitasi kepada terdakwa agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dibandingkan dengan Negara-negara maju seperti Amerika Serikat
maupun
Jerman
dan
Italia,
perlindungan
terhadap
Whistleblower dan Justice Collaborator telah dimuat dan dampaknya dapat memberikan jaminan hukum yang adil bagi siapapun yang bersedia bersaksi di muka Pengadilan. Disusunnya konsep ideal ini dikhususkan untuk memberikan suatu gambaran konsep kebijakan hukum yang lebih memperhatikan hak asasi manusia yang dalam hal ini merupakan seorang saksi agar tercapainya suatu tujuan hukum yang menurut teori Jeremy Bentham ini adalah memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi sebagian rakyat ataupun seluruh rakyat daripada dampak proses penerapan hukum tersebut. 3) Teori Perlindungan Hukum (Philipus Hadjon) Teori Perlindungan Hukum digunakan dalam penelitian ini bertitik tolak pada rumusan masalah utama yang hendak dibahas yaitu mengenai perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi. Teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran
41
ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Menurut pendapat Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.26 Perlindungan hukum yang preventif merupakan perlindungan
hukum
yang
sifatnya
pencegahan.
Perlindungan
memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitive. Sehingga, perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dan dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong
pemerintah
untuk
berhati-hati
dalam
mengambil
keputusan, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. Perlindungan
hukum
yang
represif
berfungsi
untuk
menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara parsial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi dua badan, yaitu: a)
26
H. Salim & Erlies Septiana Nurnani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 264
42
Pengadilan dalam lingkup peradilan umum; dan b) Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi. Berhubungan
dengan
perlindungan
hukum
terhadap
Whistleblower maupun Justice Collaborator dalam sistem peradilan pidana di Indonesia pada hakikatnya seseorang yang dengan sukarela menjadi Whistleblower dan Justice Collaborator hendaknya diberikan suatu perlindungan yang dapat berupa sebuah reward ataupun pengurangan hukuman dan bebas dari hukuman ataupun tuntutan agar seorang Justice Collaborator pada khususnya dapat memberikan informasi yang akurat tanpa ditutupi. 4) Teori Hukum Pembangunan (Mochtar Kusumaatmadja) Teori Hukum Pembangunan yang dicetuskan oleh Mochtar Kusumaatmadja digunakan untuk mengupas permasalahan kedua dikarenakan berkaitan dengan merumuskan konsep ideal untuk perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator di masa mendatang. Inti ajaran atau prinsip dari teori Hukum Pembangunan bertumpu pada 5 premis, yaitu: a. Semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan dan hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur menurut Mochtar, dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan Pengadilan atau kombinasi keduanya. Beliau
43
menolak perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata; b. Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan awal dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu sarana (bukan alat) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan; c. Fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban melalui kepastian hukum dan juga hukum (sebagai kaidah sosial) harus dapat mengatur (membantu) proses perubahan dalam masyarakat; d. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu; e. Implementasi
fungsi
hukum
tersebut
diatas
hanya
dapat
diwujudkan jika hukum dijalankan oleh suatu kekuasaan, akan tetapi kekuasaan itu sendiri harus berjalan dalam batas ramburambu yang ditentukan dalam hukum itu.27 Romli Atmasasmita menyebutkan bahwa kelima inti teori hukum pembangunan tersebut mencerminkan suatu pemikiran tentang hukum, sebagai berikut:
27
Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publisihing, Yogyakarta, h. 65-66
44
a. Hukum hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat, berbeda dengan pemikiran Savigny, bahwa hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat. Perkembangan hukum dimaksud sejalan dengan pandangan aliran sociological jurisprudence,
yaitu
satu-satunya
cermin
perkembangan
masyarakat hanya terdapat pada putusan Pengadilan dengan asumi bahwa
putusan
Pengadilan
selalu
mengandung
nilai-nilai
kebenaran yang diakui masyarakat dimana hukum itu hidup dan berkembang; b. Karena
alasan
historis
sistem
hukum
Indonesia,
bahwa
perkembangan hukum yang sejalan dengan perkembangan masyarakat
juga
dapat
diciptakan
melalui
pembentukan
perundang-undangan, tidak hanya putusan Pengadilan. Masalah krusial dalam sistem hukum Indonesia yang mengutamakan undang-undang sebagai sumber hukum daripada yurisprudensi adalah setiap undang-undang merupakan produk politik yang tidak terlepas dari kepentingan pengaruh kekuasaan. Atas dasar alasan tersebut, maka John Rawls, menegahi perbedaan sudut pandang ini dengan menegakan bahwa keadilan yang diciptakan oleh hukum itu haruss dilandaskan pada nilai-nilai yang fair; c. Mochtar
mengemukakan
hukum
sebagai
sarana
dalam
pembangunan bukan alat (tools) agar pembangunan dapat dilakukan secara tertib dan teratur; hukum sedemikian ini hanya
45
dapat berfungsi jika hukum itu sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat dan merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat; d. Bahwa kepastian hukum tidak boleh dipertentangkan dengan keadilan dan keadilan tidak boleh hanya ditetapkan sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan, melainkan harus sesuai dengan nilai-nilai (baik) yang berkembang dalam masyarakat. Teori Hukum Pembangunan menurut Mochtar Kusumaatmadja tidak meninggalkan
sepenuhnya
pandangan
aliran
analytical
jurisprudence, bahkan telah “merangkul” aliran “analytical jurisprudence” , aliran “sociological jurisprudence” dan aliran “pragmatic legal realism”.28 Pandangan
Mochtar
berbeda
dengan
Pound
dalam
pemahaman mengenai konsep hukum dan fungsi hukum. Pound menegaskan bahwa tugas hukum adalah “social engineering”. Pandangan Pound tentang hukum sebagai social engineering dilandaskan
pendekatan
instrumentalisme
hukum
yang
mengemukakan pandangan organistik dengan ide sebagai berikut: a. Hukum memuat dalam dirinya sumber doctrinal dalam bentuk nilai-nilai dan asas- asas yang memberikan isi dan bentuk pada perkembangan hukum;
28
Ibid. h. 67-68
46
b. Hukum merupakan momentum perubahan secara alamiah selalu dalam keadaan berkembang (bersifat dinamis tidak statis); c. Perkembangan hukum merupakan perubahan yang teratur dalam suatu sitem hukum untuk mengahadapi tuntutan manusia melalui penasehat hukum dan hakim; d. Tugas hukum adalah memelihara dan menjaga agar proses perkembangan hukum teratur dan bekerja secara bebas. Pengaruh pandangan instrumentalisme hukum inilah yang menjadi latar belakang perbedaan Mochtar dan Pound dalam menempatkan fungsi dan peranan hukum dalam pembaruan dan perkembangan masyarakat. Atas dasar perbedaan tersebut, Mochtar telah menerjemahkan pengertian istilah “tools” sebagai sarana bukan alat sebagaimana dipahami oleh Pound. Perkembangan pandangan “sociological jurisprudence” dengan merujuk pada pandangan Pound tentang konsep hukum dan fungsi hukum, sekalipun ditujukan terhadap keperluan reformasi sistem peradilan di Amerika Serikat, ternyata Mochtar dengan tepat menggunakan pendekatan tersebut di dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia. Hasil rekayasa pemikiran Pound oleh Mochtar kemudian diberi nama teori pembangunan hukum sebagai sarana pembaharuan mayarakat. Dikaitkan penelitian
ini
perlindungan
dengan
permasalahan
dimaksudkan hukum
terhadap
bahwa
yang dibahas
konsep
Whistleblower
ideal
dalam
mengenai
maupun
Justice
47
Collaborator dapat membawa perubahan yang positif kedepannya dimana hukum diposisikan sebagai sarana untuk memperbaharui, dikarenakan disatu sisi masalah reward yang ditawarkan dalam UU PSK mengenai pengurangan hukuman apakah akan efektif bila ditawarkan kepada seorang justice collaborator untuk mengungkap suatu fakta yang lebih besar lagi.
1.7.2. Kerangka Berpikir Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi Ketidakjelasan dan kekuranglengkapan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam UU Tipikor (Pasal 31 Ayat 1) dan UU PSK (Pasal 10) Tidak disebutkan secara spesifik jaminan hukumnya Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam UU Tipikor Indonesia?
Bagaimana konsep kebijakan hukum pidana perlindungan hukum Whistleblower dan Justice Collaborator di masa mendatang?
Ditelusuri melalui Teori Keadilan dan Teori Perlindungan Hukum
Dikaji dengan Teori Kemanfaatan dan Teori Hukum Pembangunan
Asas
: Unus Testis Nullus Testis; Perlindungan Saksi dan Korban; dan Justitia Est Ius Suum Cuique Tribuere Konsep : Negara Hukum; dan Penegakan Hukum Doktrin : Perlindungan Hukum; Whistleblower; Justice Collaborator; dan Tindak Pidana Korupsi
Bahan Hukum Sekunder
48
Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Tersier
Sasaran Penelitian 1.8.Metode Penelitian 1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Menurut William H. Putman, “Legal Research is a part of the legal analysis process. It is that part of the legal analysis process that involves finding the law that applies to the legal question raised by the facts of client’s case.”29 (Terjemahan bebas: Penelitian hukum adalah bagian dari proses analisis hukum termasuk mencakup dalam hal menemukan hukum yang dapat diaplikasikan dalam pertanyaan hukum yang diajukan berdasarkan fakta-fakta dari kasus-kasus). Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu dan beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya.30 Jadi lebih singkat penulis berpendapat bahwa penelitian hukum merupakan proses untuk 29
William H. Putman, 2009, Legal research: Second Edition, Delmar, United States of America, h. 372 30 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 18
49
menemukan hukum yang dapat diaplikasikan dalam hal menjawab masalah-masalah hukum berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Penelitian hukum mengenal adanya dualisme, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa penelitian hukum normatif merupakan suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.31 Amiruddin dan H. Zinal Asikin berpandangan bahwa penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doctrinal karena dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (Law in books).32 Sementara Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad berpandangan bahwa tipe penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang pada kenyataannya dibuat dan diterapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat.33 Singkatnya kehadiran hukum di masyarakat tidak terlepas dari peranan masyarakat disekitarnya, keadaan sosial masyarakat dan perilaku masyarakat yang terkait dengan lembaga hukum.34
31
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 35 32 Amiruddin & H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 118 33 Fajar Mukti & Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil Komunika, Yogyakarta, h. 32 34 R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum. Sinar Grafika, Jakarta, h. 29
50
Hakikatnya
masalah
mendasar
penelitian
ini
adalah
perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi. Konsekuensi logis aspek di atas maka tipe penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum dogmatik (dogmatic law research) atau penelitian doktrinal.
1.8.2. Jenis Pendekatan Didalam penelitian hukum terdapat berbagai macam pendekatan antara lain pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).35 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual
(conceptual
approach)
dan
pendekatan
komparatif
(comparative approach). Pendekatan perundangan-undangan dan konseptual digunakan untuk mengetahui secara lebih intens, detail dan terperinci terhadap adanya konsistensi, kesesuaian dan eksistensi serta sejarah perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi. Telaah mengenai peraturan 35
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 37.
51
perundang-undangan dikhususkan untuk mengkaji UU PSK dan UU Tipikor. Pendekatan komparatif dimaksudkan untuk membandingkan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam hukum positif Indonesia yang terkait dengan masalah yang dibahas dan hukum positif Negara-negara lain. Pada dasarnya, pendekatan sebagaimana yang telah diuraikan konteks di atas dalam kerangka untuk membentuk polarisasi pemikiran yang lebih lengkap dan detail terhadap pokok permasalahan penelitian perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam tindak pidana korupsi, praktek perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator di Indonesia dan beberapa negara asing serta pula membangun konsep kebijakan pidana terhadap perlindungan hukum Whistleblower dan Justice Collaborator di Indonesia untuk masa mendatang.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang akan dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.36 a. Bahan hukum primer (primary resource atau authooritative records) adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat.37 36
26
Sutrisno Hadi, 2010, Methodelogi Research I, Gadjah Mada University, Semarang, h.
52
Yaitu berupa berupa UUD 1945, Ketetapan MPR, UU dan Kitab UU Hukum Pidana Negara Indonesia dan Negara Asing, peraturan perundang-undangan beserta pelaksanaannya khusus terhadap perlindungan hukum Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi; b. Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not authoritative records), berupa memberikan
bahan-bahan
kejelasan
hukum
yang
dapat
terhadap bahan hukum primer, seperti
literatur, hasil-hasil penelitian, putusan pengadilan, makalahmakalah dalam seminar, artikel-artikel berkaitan dengan pengaturan dan
implementasi
terhadap
perlindungan
hukum
terhadap
Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi; dan c. Bahan hukum tersier (tertiary resource), berupa bahan-bahan hukum yang dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti berasal dari kamus/leksikon, ensiklopedia dan sebagainya yang terutama berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi . 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
37
H. Salim & Erlies Septiana Nurnani, Op.Cit, h. 16
53
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan yang merupakan bahan hukum utama penelitian yang dikumpulkan melalui metode sistematis dengan dicatat melalui sistem kartu
(card
system)
guna
untuk
lebih
memudahkan
analisis
permasalahan. Adapun bahan-bahan tersebut yang dicatat dalam kartu antara lain permasalahannya, asas-asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh, alternatif pemecahannya dan lain sebagainya. Kemudian mengenai kepustakaan yang dominan dipergunakan adalah kepustakaan dalam bidang hukum pidana khususnya Hukum Pidana Khusus, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia dan beberapa negara asing, Undang-Undang yang berkorelasi dengan Whistlebower dan Justice Collaborator baik di Indonesia maupun di beberapa negara asing.
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum Dalam hal menganalisis bahan-bahan hukum dalam penelitian ini digunakan teknik deskripsi, argumentasi, interpretasi dan sistematisasi. Deskripsi dilakukan terhadap “isi maupun struktur hukum positif” yang berkaitan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi. Bahan hukum yang telah dideskripsikan selanjutnya ditentukan maknanya melalui metode interpretasi dalam usaha memberikan penjelasan atas kata atau istilah
54
yang kurang jelas maksudnya dalam suatu bahan hukum terkait pokok permasalahan yang diteliti sehingga orang lain dapat memahaminya. 38 Mengkaji berbagai metode interpretasi yang dikembangkan secara doktriner, dalam pemaparan suatu aturan hukum pada penelitian ini diterapkan interpretasi gramatikal dengan mengartikan suatu istilah hukum atau suatu bagian kalimat menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum, interpretasi sistematis yang bertitik tolak dari sistem aturan yang mengartikan suatu ketentuan hukum,39 serta interpretasi otentik yang didasarkan pada arti kata atau istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan bersangkutan.40 Bahan hukum yang
telah
dideskripsikan
dan
diinterpretasikan
sesuai
pokok
permasalahan selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi, dan diberikan argumentasi. Langkah sistematisasi dilakukan untuk memaparkan isi dan struktur hukum atau hubungan hirarkis antara aturan-aturan hukum yang ada. Pada tahap eksplanasi dijelaskan mengenai makna yang terkandung dalam aturan-aturan hukum sehubungan dengan isu hukum dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis. Sedangkan pada tahap
38
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, h. 20. 39 Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Penerbit UUI Press, Yogyakarta, h. 77 40 Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, h. 57
55
argumentasi diberikan penilaian terhadap bahan hukum dari hasil penelitian untuk selanjutnya ditemukan kesimpulan.41
Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Tersier
Kesimpulan dan Saran 41
Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 17
Agar perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam tindak pidana korupsi lebih mencerminkan asas keadilan dan Penghargaan yang ditawarkan berbanding lurus dengan jasa yang diberikan
56
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
2.1 Pengertian Whistleblower dan Justice Collaborator Menurut sejarahnya, munculnya istilah Whistleblower berasal dari praktek petugas Inggris yang akan meniup peluit ketika mereka melihat kejahatan, peluit juga akan memberitahu aparat penegak hukum lainnya dan masyarakat umum dari bahaya.42 Sehingga kemudian Whistleblower dikonotasikan sebagai “peniup peluit”. Apabila dikontekstualisasikan di Indonesia, bisa dianalogikan sebagai “pemukul kentongan”, dimana pemukulan kentongan aparat pengamanan tradisional (patroli keliling) memberikan tanda pemberitahuan bahwa telah terjadi suatu peristiwa baik berupa kejahatan (pencurian, perampokan, dll) maupun bencana (kebakaran, banjir, dll). Oleh karena itu berdasarkan kedua konotasi (peniup peluit atau pemukul kentongan) tersebut dapat dikatakan bahwa Whistleblower identik dengan pengungkap fakta atau pembocor rahasia dari suatu peristiwa kejahatan.
42
Imam Thurmudhi, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Kasus Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Studi Kasus Susno Duadji), Tesis, Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Indonesia, h. 30
55
57
Floriano C. Roa43 menyebutkan bahwa, “A whistleblower is someone in an organization who witnesses behavior by members that is either contrary to the mission of the oranization, or threatening to the public interest, and who decides to speak out publicly about it”. (Terjemahan bebas: Peniup peluit adalah seseorang dalam suatu organisasi yang menyaksikan perilaku anggota organisasi yang dapat bertentangan dengan tujuan organisasi atau perilakunya merupakan ancaman terhadap kepentingan umum dan peniup peluit memutuskan untuk menyampaikan hal-hal tersebut). Menurut Mulyana Wirakusumah,44 Whistleblower sebenarnya bukan hanya dikenal dalam sistem peradilan pidana, akan tetapi juga dalam lingkungan lain, seperti perusahaan sebagai upaya mewujudkan good corporate governance. Para Whistleblower bukan sekadar ‘tukang mengadu’ akan tetapi saksi suatu kejahatan. Beberapa lembaga seperti KPK sudah mengembangkan sistem online pelaporan Whistleblower, LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) juga mengembangkan Whistleblower System. Whistleblower merupakan orang dalam Kementerian/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau lembaga lain yang memiliki akses informasi dan mengadukan perbuatan terindikasi penyimpangan.
43
Floriano C. Roa, 2007, Business Ethis and Social Responsibility, Philippine Copyright, Fist Edition, Manila, h. 145 44 Buletin Kesaksian, Edisi 2 Tahun 2012
58
Quentin Dempster,45 berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Whistleblower adalah peniup peluit, disebut demikian karena seperti wasit dalam pertandingan sepak bola atau olah raga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran, atau polisi lalu lintas yang hendak menilang seseorang di jalan raya karena orang itu melanggar aturan, atau seperti pengintai dalam peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan musuh dengan bersiul, berceloteh, membocorkan atau mengungkapkan fakta kejahatan, kekerasan atau pelanggaran. Lebih lanjut Quentin Dempster46 menyebut Whistleblower sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya mal praktik, atau korupsi. Sementara itu, Mardjono Reksodiputro menyebut Whistleblower sebagai pembocor rahasia atau pengadu.47 Adapun yang dimaksud pembocor
rahasia
atau
pengadu
tersebut
adalah
seorang
yang
membocorkan informasi yang sebenarnya bersifat rahasia di kalangan dimana informasi itu berada. Tempat dimana informasi itu berada maupun jenis informasi itu bermacam-macam. Di Indonesia, informasi yang diharapkan dibocorkan adalah informasi tentang kegiatan-kegiatan yang tidak sah, melawan hukum ataupun bertentangan dengan moral yang baik. Si pembocor sendiri adalah “orang dalam” di organisasi tersebut, dia dapat 45
Quentin Dempster, 2006, Whistleblower (Para Pengungkap Fakta), Elsam, Jakarta, h. 1 Firman Wijaya, Op.Cit, h. 7 47 Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/Wistle Blowers dan Penyadapan (Wiretapping, Electronic Interception) Dalam Menanggulangi Kejahatan Di Indonesia, Wacana Goverminyboard, Jakarta, h. 13 46
59
terlibat ataupun tidak dalam kegiatan dibocorkan. Karena dia adalah “orang dalam” maka dia menempuh resiko dengan perbuatannya. Imam Thurmudhi,48 berpendapat bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai Whistleblower pada dasarnya adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri suatu tindak pidana atau pelanggaran, sehingga dengan itikad baik mengungkapkan kepada publik atau melaporkan kepada pejabat yang berwenang. Namun demikian penilaian itikad baik yang dimaksudkan disini memiliki nilai yang sangat subyektif, bisa saja ada niat atau kepentingan tertentu yang mendasari pengungkapan fakta yang dilakukan oleh Whistleblower, dengan perhitungan untung rugi dari pengungkapan tersebut bisa saja seseorang terdorong untuk menjadi Whistleblower. Floriano C. Roa49 menyebutkan beberapa jenis Whistleblower, yaitu: 1. Internal whistle blowing occurs within the organization. It is going “over the head of immediate superviors to inform higher management of the wrongdoing”. (Terjemahan bebas: Peniup peluit internal dilakukan dalam organisasi. Pelaporan tersebut disampaikan kepada atasan langsung yang bertugas sebagai supervisor agar kesalahan tersebut dapat diinformasikan kepada manajemen atasannya).
48
Imam Thurmudhi, Op. Cit, h. 33 Floriano C. Roa, Op. Cit, h. 146
49
60
2. External whistle blowing occurs outside the organization. It is revealing illegal and immoral activities within the organization to outside individuals or groups, regulatory body or non government organizations. (Terjemahan bebas: Peniup eksternal dilakukan di luar organisasi. Peniup peluit membuka kegiatan ilegal atau kegiatan immoral dalam suatu organisasi yang disampaikan kepada individu atau kelompok di luar organisasi tersebut, badan pengawas di luar organisasi atau lembaga swadaya masyarakat. a) Current-those who blow the wistle on present employers. (Anggota organisasi: mereka yang meniup peluit mengenai manajer organisasinya). b) Alumni-those who blow the whistle on former employers. (Alumni: mereka yang meniup peluit mengenai mantan manajernya) c) Open-whistle blower discloses his identity. (Terbuka: peniup peluit yang membuka identitasnya) d) Anonymus-whistle blower who does not disclose his identity. (Anonimus:
peniup
peluit
yang
menyembunyikan
identitasnya)50 Sebagaimana uraian di atas, beberapa sarjana memiliki pendapat yang beragam terkait pengertian Whistleblower. Ada yang berpendapat 50
Sholehuddin, 2010, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Penerbit PT. RajaGrafisindo Persada, Jakarta, h. 132
61
bahwa Whistleblower adalah pelapor atau pengungkap fakta yang tidak terlibat dalam kejahatan (bukan termasuk pelaku). Pendapat lain mengatakan bahwa Whistleblower yang diartikan sebagai “peniup peluit” ini juga dimaknai sebagai pelaku kriminal yang membongkar kejahatan (saksi mahkota). Terhadap pemaknaan pendapat kedua ini, kategorisasi Whistleblower jenis ini juga dimaknai sebagai Justice Collaborator. Selain pendapat tersebut, Mardjono Reksodiputro membedakan definisi dari saksi mahkota, Whistleblowers, dan Justice Collaborator. Saksi mahkota adalah saksi utama dari jaksa, Whistleblower adalah orang yang membocorkan rahasia/pengadu. Baik saksi mahkota maupun Whistleblower adalah Justice Collaborator yaitu orang yang bekerjasama dengan penegak hukum.51 Selain definisi berdasarkan pendapat dari para sarjana tersebut di atas, pada dasarnya pengertian Whistleblower dalam peraturan perundangundangan di Indonesia tidak memberikan pengertian secara tegas sebagai pengungkap fakta, namun secara tersirat dapat dimaknai sebagai Whistleblower. Misalnya Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah orang yang memberikan suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi. 51
Sigit Artantojati, 2012, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Callaborators) Oleh Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK), Tesis, Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Indonesia, h. 56
62
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo UndangUndang Nomor 31 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak memberikan
pengertian
secara
spesifik
tentang
Whistleblower
(pengungkap fakta), hanya memberikan pengertian tentang saksi dan pelapor.52 Sementara itu SEMA Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, Pengertian Whistleblower dengan Justice Collaborator yang dimaknai oleh SEMA ini adalah berbeda. Whistleblower diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporannya. Sementara itu Justice Collaborator dimaknai sebagai saksi pelaku yang bekerjasama, dimana yang bersangkutan bukanlah pelaku utama dan mengakui kesalahannya. Sebagai perbandingan, Whistleblower di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Afrika Selatan, Canada, Australia dan Inggris diatur dalam bentuk undang-undang. Pada negara Amerika Serikat diatur dalam Whistleblower Act 1989, the Whistleblower Protection Enhancement Act of 2007 yang pada pokoknya melindungi peniup peluit yang bekerja pada pemerintah federal pada bagian pengawasan dengan tujuan mencegah peniup peluit mendapatkan pembalasan dari tempatnya bekerja karena 52
Imam Thurmudhi, Op Cit, h. 30
63
telah mengungkapkan informasi tentang adanya pelanggaran hukum, penyalahgunaan
wewenang,
penyalahgunaan
peraturan,
dan
lain
sebagainya. Kemudian di Afrika Selatan diatur dalam Pasal 3 Protected Disclosures Act Nomor 26 Tahun 2000 yang memberi perlindungan terhadap accupational detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan. Pada negara Canada diatur dalam Section 425.1 Criminal Code of Canada yang pokoknya mengatur Whistleblower yang dilindungi dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindakan apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan informasi. Negara Australia melalui Pasal 20 dan Pasal 21 Protected Dadosures Act 1994 dimana Whistleblower identitasnya dirahasiakan, tidak ada pertanggungjawaban secara pidana dan perdata, perlindungan dari pencemaran nama baik, perlindungan dari pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media dan Inggris diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interes Disvlouse Act 1998 dimana Whistleblower tidak boleh dipecah dan dilindungi dari viktimisasi serta perlakuan yang merugikan. Kemudian Justice Collaborator dalam Recommendation Rec (2005) 9 of the Committee of Ministers to member states on the rotection
64
of witnesses and collaborators of justice disebutkan bahwa, “collaborator of justice” means any person who faces criminal charges, or has been convicted of taking part in a criminal association or other criminal organisation of any kind, or in offences of corruption, but who agrees to cooperate with criminal justice authorities, particularly by giving testimony about a criminal association or organisation, or about any offence connected with corruption or other serious crimes”. (Terjemahan bebas: Justice Collaborator adalah setiap orang yang menghadapi tuntutan criminal atau sudah ditetapkan untuk ambil bagian dalam asosiasi tindak pidana atau organisasi tindak pidana lainnya atau khususnya korupsi, tetapi dia setuju untuk bekerjasama dengan pejabat-pejabat peradilan pidana dengan memberikan kesaksian mengenai asosiasi atau organisasi tindak pidana atau tentang segala tindak pidana yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi dan kejahatan-kejahatan serius lainnya) Kemudian
dalam
Undang-Undang
Perlindungan
Justice
Collaborator dan Saksi Republik Albania (Republic of Albania The Assembly Law No. 9205, Dated 15/03/2004 On The Justice Callaborators and Witness Protection), dalam chapter 1 article 2 didefinisikan bahwa: “A callaborator of justice is considered a person that serves a criminal sentence or a defendant in a criminal proceeding, toward whom special measures of protection have been applied due to callaboration, notifications and declarations made during the criminal proceeding on the offences provided in letter “e” of this article, and for these reasons is in a real, concrete or serious danger”.
65
Pada dasarnya Justice Collaborator dalam undang-undang Republik Albania diartikan sebagai seorang yang sedang menjalani hukuman pidana atau seorang tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana, yang memerlukan penanganan perlindungan yang khusus karena yang bersangkutan telah bekerjasama, memberikan keterangan, dan pernyataan yang dilakukan selama proses persidangan pidana dimana yang bersangkutan mengalami situasi bahaya yang riil, nyata, dan serius. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum mendefinisikan Justice Callaborator sebagai pelaku yang bekerja sama yaitu (baik dalam status saksi, pelapor, atau informan) yang memberikan bantuan kepada penegak hukum dalam bentuk, misalnya pemberian informasi penting, bukti-bukti yang kuat, atau keterangan/kesaksian di bawah sumpah, yang dapat mengungkapkan suatu tindak pidana dimana orang tersebut terlibat di dalam tindak pidana yang dilaporkannya tersebut (atau bahkan suatu tindak pidana lainnya).53 Praktek perlindungan Whistleblower dan Justice Collabolator di Indonesia dilakukan terhadap Vincentius Amin Sutanto, Agus Condro Prayitno, Yohanes Waworuntu dan Endin Wahyudin.54 Kemudian di
53
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, 2011, Perlindungan Terhadap Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Callaborators), Usulan Dalam Rangka Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, h. 3 54 Vincentius Amin Sutanto mantan financial controller di Asina Agri Group melakukan pembobolan uang Asian Agri dengan membuat dua aplikasi transfer fiktif dari PT Asian Agri Oils and Fats Ltd ke Bank Fortis, Singapura dengan memalsukan tanda tangan dan kemudian memberi keterangan tentang penggelapan yang dilakukan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Kemudian Agus Condro Prayitno dalam kasus dugaan suap BI kepada Hamka Yandu, Yohanes Waworuntu
66
negara asing, misalnya pada Colen Rowey (Amerika Serikat), Jeffrey Wigand (Amerika Serikat), Shanmughan Manjunath (India), Yoichi Mitzuni (Jepang)55, dan lain sebagainya
2.2. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai setiap bentuk perlindungan yang diatur dan didasarkan oleh peraturan perundangundangan berdasarkan kepastian hukum.56 Secara umum makna atau pengertian perlindungan dalam beberapa peraturan perundang-undangan diatur secara berbeda, diantaranya: menurut Pasal 1 PP Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa “Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.”
mengenai masalah Sisminbankum dan Endin Wahyudin tentang kasus yang melibatkan suap terhadap tiga hakim agung. 55 Colen Rowey adalah seorang agen khusus FBI yang mengungkapkan kelambanan FBI yang mungkin menyebabkan terjadnya serangan teroris pada tanggal 11 September 2001 di World Trade Center dan pentagon. Jeffrey Wigand seorang direksi di Bagian Riset dan Pengembangan (1988-1993) perusahaan rokok Brown and Williamson Tobacoo Coorporation yang memberi laporan atau kesaksian atas praktik manipulasi kadar nikotin rokok yang diduga terjadi diperusahaan itu kemudian kisah ini diangkat dilayar lebar (1996) dengan judul film ”The Insider” dimana film tersebut memenangi Piala Oscar 1996. Shanmughan Manjunath seorang manajer diperusahaan minyak milik negara India yang mengungkapkan skema penjualan bensin tidak murni, dan Yoichi Mitzutani seorang presiden direktur perusahaan penyimpanan Nishinomiya Reizo di Jepang yang melaporkan mengenai penipuan yang dilakukan oleh Snow Brand Food Co. Snow telah melakukan pelabelan palsu. 56 Faisal, 2012, Menerobos Positivisme Hukum, Gramata Publishing, Bekasi, h. 73
67
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 2003 menyebutkan bahwa “perlindungan adalah jaminan rasa aman yang diberikan oleh negara kepada Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dari kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam perkara tindak pidana terorisme.” Perlindungan
hukum
terhadap
Whistleblower
dan
Justice
Collaborator secara komprehensif seharusnya berlaku baik pada semua tahap peradilan (mulai dari tahap pelaporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan) maupun setelah proses peradilan selesai. Hal ini disebabkan terkadang dalam kondisi tertentu pada suatu tindak pidana tertentu, ancaman dan teror bagi setiap Whistleblower dan Justice Collaborator akan tetap mengikuti setelah proses peradilan pidana selesai. Munculnya dendam kesumat terdakwa atau
terpidana
yang
telah
dilaporkan
tindak
pidananya,
relatif
dimungkinkan membuat ketidaknyamanan dan membuat bahaya bagi kehidupan Whistleblower dan Justice Collaborator yang terkait. Selain itu perlindungan hukum juga perlu diberikan tidak hanya bagi Whistleblower dan Justice Collaborator saja tetapi akan lebih baik juga meliputi keluarganya, karena keamanan dan kenyamanan terhadap keluarga mereka akan berpengaruh langsung bagi ketenangan dan kenyamanan dalam menjalankan fungsinya sebagai pengungkap fakta. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka secara umum terdapat empat
bentuk perlindungan
terhadap
Whistleblower
atau
Justice
68
Collaborator diantaranya perlindungan terhadap fisik dan psikis, penanganan khusus, perlindungan hukum dan penghargaan. Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut: a) Perlindungan Terhadap fisik dan psikis Merupakan sebuah keniscayaan bahwa setiap orang yang mewaqafkan dirinya sebagai seorang Whistleblower dan/atau Justice Collaborator akan menghadapi berbagai ancaman, teror bahkan kekerasan terhadap diri, jiwa, psikis dan harta serta keluarganya. Keputusan untuk menjadi seorang Whistleblower dan/atau Justice Collaborator merupakan keputusan tersulit bagi hidup mereka, karena segala kenyamanan dan keamanan diri dan keluarganya akan menjadi terganggu. Apalagi jika tindak pidana yang diungkapnya adalah tindak pidana yang berjenis tindak pidana korupsi, yang notabene para aktor utama dan intelektualnya adalah orang yang berpengaruh dan memiliki massa atau pengikut yang besar serta memiliki kedudukan atau jabatan yang strategis dipemerintahan, maka sudah tentu intimidasi tidak hanya berasal dari pelaku saja tetapi juga berasal dari keluarga pelaku maupun orang-orang yang tidak terima akan tindakan pengungkapan fakta oleh para Whistleblower dan/atau Justice Collaborator. Konsekuensi logis adalah bahwa pengorbanan para Whistleblower dan/atau Justice Collaborator harus diapresiasi oleh hukum melalui kebijakan formulasi perlindungan terhadap rasa aman bagi mereka. Selain itu mengingat pembongkaran fakta tentang tindak pidana yang dilaporkan
69
mereka akan menjadi sarana efektif bagi penegak hukum untuk menangani tindak pidana, khususnya yang berjenis tindak pidana korupsi. Dengan demikian komitmen penegak hukum dalam memberikan perlindungan terhadap rasa aman bagi para Whistleblower dan/atau Justice Collaborator akan berdampak bagi efektifitas dan efisiennya proses penyelesaian perkara pidana. Perlindungan terhadap rasa aman yang dapat diberikan kepada Whistleblower dan/atau Justice Collaborator dapat berupa perlindungan terhadap fisik dan psikis mereka. Perlindungan fisik dan psikis tersebut tidak hanya diberlakukan untuk keamanan pribadi berupa perlindungan dari segala macam ancaman, teror, kekerasan, tekanan, gangguan terhadap diri, jiwa dan harta mereka dari pihak manapun, namun juga harus meliputi jaminan perlindungan fisik dan psikis bagi keluarga mereka.57 Tegasnya, Whistleblower dan/atau Justice Collaborator dapat lebih aman, tenang dan nyaman serta tanpa beban/tekanan selama proses penyampaian laporan,
informasi, kesaksian
pada semua tahapan
pemeriksaan peradilan. Dalam konteks perlindungan terhadap rasa aman maka
secara
teknis
dibutuhkan
perlindungan
fisik
dan
psikis
Whistleblower dan/atau Justice Collaborator serta keluarganya sedapat mungkin dapat disesuaikan dengan UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 menegaskan bahwa seorang Saksi berhak: 57
Hamdan, 2012, Alasan Penghapus Pidana. Teori dan Studi Kasus, Refika Aditama, Bandung, h. 82
70
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru; j. mendapatkan tempat kediaman baru; k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum; dan/atau m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. n. Mendapatkan pendampingan dalam penyidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan; o. Mendapatkan tempat kediaman sementara dan/atau p. Tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana, administrasi maupun perdata atas kesaksian, informasi lain yang akan, sedang atau telah diberikannya. Sayangnya perlindungan sebagaimana dijelaskan di atas hanya berlaku bagi saksi, yakni orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.58 Tidak termasuk didalamnya Whistleblower yang hanya berperan sebagai pelapor yang hanya melaporkan atau memberikan informasi mengenai tindak pidana. Selain itu pula perlu direvisi terkait ketentuan yang menyebutkan bahwa saksi tindak pidana yang dapat diberikan perlindungan hanya
58
Pasal 1 angka (2) UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
71
sebatas saksi tindak pidana dalam “kasus-kasus tertentu” sesuai dengan “keputusan LPSK”.59 Jadi di luar dari pada keputusan LPSK tersebut, maka tidak dapat diberikan perlindungan secara maksimal. Terlebih dengan adanya sistem pengajuan permohonan perlindungan terlebih dahulu kepada LPSK, yang kemudian dilanjutkan dengan proses penilaian yang memakan waktu dan energi dari para Whistleblower dan/atau Justice Collaborator sehingga birokratisasi yang demikian akan menyulitkan bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses misalnya yang berada di pelosok daerah yang notabene jauh dari Kantor LPSK di Jakarta maka hal ini tentu akan membuat pelayanan perlindungan terhadap mereka kurang efektif dan efisien. Dengan demikian apabila eksistensi LPSK ini tetap dipertahankan dan secara fungsional juga dibutuhkan sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana sebagaimana penegak hukum yang lain (guna menguatkan LPSK diakomodir dan dikuatkan kewenangannya dalam reformulasi pembaharuan hukum acara pidana agar tidak terjadi tumpang tindih dengan penegak hukum dan menghilangkan anggapan saling intervensi), maka perlu didirikan kantor-kantor LPSK di daerah, bahkan bila perlu disetiap Kabupaten dan Kota. Namun apabila eksistensi LPSK yang notabene adalah ad hock tersebut dan keberadaannya hanyalah sementara sembari menunggu proses perbaikan paradigma perlindungan saksi, pelapor dan Justice Collaborator dari penegak hukum maka sudah 59
Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
72
tentu kantor-kantor perwakilan LPSK di daerah tersebut tidak diperlukan, mengingat anggaran Negara yang dikeluarkan akan sangat besar sekali. Ditinjau dari perspektif asas peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan, penggemukan institusi sistem peradilan pidana ini secara lambat laun akan memperlambat proses penyelesaian perkara pidana. Sehingga
kewenangan
perlindungan
saksi,
pelapor
dan
Justice
Collaborator tersebut dilekatkan pada unit internal dari penegak hukum. Misalnya seperti unit perlindungan khusus di kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Secara teknis, mekanisme koordinasi perlindungan fisik dan psikis dalam perkembangannya diatur dalam Peraturan Bersama. Dimensi peraturan bersama ini mengatur mekanisme koordinasi berkaitan permohonan perlindungan fisik dan psikis bagi pelapor atau saksi pelapor diajukan oleh Pelapor atau saksi pelapor kepada LPSK, atau kepada aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya (penyidik, penuntut umum atau hakim) untuk diteruskan kepada LPSK, atau dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam permohonan perlindungan diterima oleh LPSK, maka LPSK wajib memberikan perlindungan yang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan aparat penegak hukum. Dalam hal permohonan perlindungan diterima oleh penegak hukum, maka aparat penegak hukum wajib berkoordinasi dengan LPSK. Sedangkan mekanisme perlindungan fisik dan psikis bagi justice
73
collaborator diajukan oleh aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya (penyidik, penuntut umum atau hakim) kepada LPSK. Perlindungan fisik dan psikis bagi saksi pelaku yang bekerjasama diputuskan oleh LPSK berdasarkan rekomendasi dari aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya (penyidik, penuntut umum atau hakim).60
b) Penanganan Khusus Selain diberikan fasilitas perlindungan terhadap fisik dan psikis sebagaimana dijelaskan di atas maka untuk mendukung upaya pemberian perlindungan
rasa
aman
terhadap
Whistleblower
dan
Justice
Collaborator61 yang memberikan kesaksian di persidangan maka dimungkinkan diberikan penanganan khusus sebagaimana ketentuan Pasal 10A UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 tahun 2014 berupa: (a) Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; (b) Pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diuangkapkannya; dan/atau; (c) Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
60
Sigit Artantojati, Op. Cit, h. 96 Perlindungan dalam bentuk penanganan secara khusus bagi justice collaborator diberikan setelah adanya persetujuan dari aparat penegak hukum sesuai dengan tahap penanganannya (penyidik, penuntut umum atau hakim). 61
74
c) Perlindungan Hukum Perlindungan hukum yang dimaksud dalam sub bab ini adalah perlindungan terhadap “status hukum”, sebagaimana yang dimaksud dalam PP Nomor 71 Tahun 2000. Adapun bentuk perlindungan terhadap status hukum ini secara teknis diantaranya adalah tidak dilanjutkannya terlebih dahulu laporan pencemaran nama baik oleh tersangka tindak pidana korupsi terhadap saksi pelapor sebelum ada proses hukum terhadap kasus korupsi itu selesai terlebih dahulu.
Tegasnya, dengan lain perkataan
proses hukum kasus korupsi harus didahulukan daripada tuntutan pencemaran nama baik oleh tersangka terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi. Namun perlindungan terhadap “status hukum” tersebut dibatalkan apabila dari hasil penyelidikan dan penyidikan terdapat bukti cukup yang memperkuat keterlibatan saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan dan disaksikannya tersebut. Maka dalam hal ini terhadap saksi pelapor yang demikian hanya diberikan perlindungan terhadap rasa aman selama proses pemeriksaan peradilan pidana korupsi. Pengaturan perlindungan terhadap status hukum yang diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 senada dengan pengaturan yang ada dalam pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 tahun 2014, yang menyebutkan bahwa: (1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; (2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah
75
dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Pada dasarnya bentuk perlindungan antara Whistleblower dengan Justice Collaborator memiliki perlindungan berbeda satu sama lain. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 10 UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 sebagaimana disebutkan di atas. Pasal itu menyebutkan, histleblower atau saksi pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau yang telah diberikan. Sedangkan Justice Collaborator atau saksi sekaligus tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Namun, kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidananya. Perlindungan hukum dapat berupa kekebalan yang diberikan kepada pelapor dan saksi untuk tidak dapat digugat secara perdata atau dituntut secara pidana sepanjang yang bersangkutan memberikan kesaksian atau laporan dengan itikad baik atau yang bersangkutan tidak sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri. Penerapan konsep protection of cooperating person sebagaimana terdapat dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 tahun 2014 merupakan kebijakan hukum pidana (penal policy) yang sudah sangat tepat mengingat untuk pembuktian suatu tindak pidana yang dilakukan dengan modus operandi yang sistematis dan terorganisir. Tugas yang dirasakan berat oleh penuntut
76
umum atau polisi jikalau dalam suatu tindak pidana sangat sulit untuk mengumpulkan alat bukti berupa saksi yang melihat sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri suatu tindak pidana dimana pelaku melakukan perbuatannya dengan rapi dan terorganisir.62 Selain itu seringkali terjadi “serangan balik” dari para pelaku utama suatu tindak pidana ketika mereka dilaporkan oleh Whistleblower maupun Justice Collaborator dengan jalan melaporkan tindak pidana pencemaran
nama
baik
maupun
tindak
pidana
perbuatan
tidak
menyenangkan, bahkan ada juga yang dilaporkan baik secara pidana maupun perdata. Terhadap fenomena tersebut, ketentuan pasal 10 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 dapat menjadi “angin segar” bagi para Whistleblower maupun Justice Collaborator untuk tetap focus mengungkapkan fakta terjadinya tindak pidana tanpa terbebani oleh kasus hukum yang dilaporkan oleh terlapor. Apalagi ketentuan tersebut dipertegas lagi oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 mengatur bahwa bilamana pelapor tindak pidana dilaporkan pula oleh terlapor maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh pelapor tindak pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 telah memberikan mandat kepada LPSK untuk memastikan perlindungan terhadap Whistleblower agar kesaksian dan laporannya tidak 62
Imam Thurmudhi, Op. Cit, h. 60
77
dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata. Tapi, dalam praktiknya rumusan Pasal ini belum memberikan pengertian jelas, baik persyaratannya maupun implementasinya. Selama ini beberapa persoalan yang biasa muncul antara lain, sering muncul pertanyaan; dalam hal apa saja saksi pelapor tidak dapat dituntut secara hukum pidana maupun perdata atas laporan yang telah diberikannya? Pengertian soal persyaratan seorang pelapor yang dilindungi atau dalam pengungkapan atau pelaporan, atau persyaratan menyangkut kriteria kasus dan mengenai kontribusi dari pelapor tersebut, juga belum jelas diatur. Begitu juga dengan apresiasi aparat
penegak
hukum
terhadap
keputusan
LPSK
memberikan
perlindungan terhadap pelapor juga minim. Sebab, menurut Abdul Haris Semendawai, LPSK dianggap melakukan intervensi kewenangan aparat penegak hukum.63 Oleh sebab itu, dibutuhkan kebijakan reformulasi yang mengatur lebih jelas dan lebih komprehensif terkait beberapa persoalan-persoalan tersebut. Dalam hal ini revisi UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 menjadi momentum tepat untuk mengaturnya secara rinci agar tumpang tindih atau ketidaksinkronan antara aparat penegak hukum dengan LPSK dapat diminimalisir. Penyamaan pemahaman antar penegak hukum dan LPSK dalam menjalankan ketentuan perlindungan terhadap “status hukum” ini dapat diwujudkan melalui rapat-rapat koordinasi antar pimpinan lembaga yang terkait dan diterbitkannya nota-nota kesepahaman 63
Buletin Kesaksian, Edisi 2 Tahun 2012, h. 12
78
yang dapat dijadikan pedoman bersama sebelum adanya revisi Undangundang. Sementara itu untuk Justice Collaborator, ketentuan pasal 10A ayat (2)
UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 menjadi
payung hukum untuk mendapatkan penghargaan berupa keringanan hukuman. Untuk Justice Collaborator yang notabenenya Whistleblower yang juga sebagai pelaku tindak pidana diduga kuat telah melakukan kesalahan dan karenanya sangat mudah untuk membuktikannya di pengadilan. Yang memungkinkan baginya adalah lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana terdapat dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Hanya saja untuk lepas dari segala tuntutan hukum juga sulit karena Whistleblower yang juga sebagai pelaku tindak pidana yang diduga kuat telah melakukan kesalahan, tindakannya tidak termasuk dalam kerangka dasar penghapusan pidana.64 Oleh karena itu ketentuan ini mendatangkan beberapa persoalan dan kelemahan. Terdapat beberapa pendapat mengenai persoalan eksistensi dari ketentuan ini. Menurut Eddy O.S Hiariej, pasal 10 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 adalah bertentangan dengan semangat Whistleblower, karena pasal ini tidak memenuhi prinsip 64
Imam Thurmudhi, Op Cit, h. 64
79
perlindungan terhadap seorang Whistleblower, dimana yang bersangkutan tetap akan dijatuhi hukuman pidana bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut, lebih lanjut Eddy O.S Hiariej memberikan penilaian bahwa pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2006 terdapat 3 (tiga) kerancuan:65 a. Saksi
yang
juga
tersangka
dalam
kasus
yang
sama
akan
menghilangkan hak eksekutif terdakwa, hal ini merupakan salah satu unsur objektivitas peradilan. Ketika Whistleblower sebagai saksi di pengadilan, maka keterangannya sah sabagai alat bukti jika diucapkan dibawah sumpah, namun apabila Whistleblower berstatus sebagai terdakwa, maka keterangan yang diberikan tidak di bawah sumpah; b. Whistleblower yang memiliki dua status yang berbeda yaitu sebagai saksi sekaligus sebagai tersangka menyebabkan menjadi ambigu, siapakah yang akan disidangkan terlebih dahulu atau disidangkan secara bersamaan; c. Ketentuan pasal 10 ayat (2) UU Nomor13 Tahun 2006 bersifat contra legem dengan ayat (1) dalam pasal dan Undang-Undang yang sama, pada hakikatnya menyebutkan bahwa saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana atas laporan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 membuat pemahaman
65
Eddy O.S Hiariej, 2010, Tetap Dijatuhi Pidana Bilamana Terlibat dalam Kejahatan, Newsletter Komisi Hukum Nasional (KHN), Jakarta, h. 14
80
terhadap saksi yang juga tersangka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan hukum baik pidana maupun perdata. Hal ini berarti bisa saja pada waktu bersamaan seorang saksi menjadi tersangka, meskipun menurut pasal 10 ayat (2) ini, memungkinkan akan memberikan keringanan hukuman bagi Whistleblower, namun kemungkinan tersebut
tetap
tidak
dapat
membuat
seorang
yang
menjadi
Whistleblower akan bernafas lega atau bahkan sama sekali tidak membuat seseorang tertarik untuk menjadi Whistleblower. Sementara itu menurut Supriyadi Widodo Edyono, pasal 10 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 memiliki kelemahan, diantaranya:66 1. Apa yang dimaksud dengan “seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama”. Maksud dari kalimat ini mengisyaratkan bahwa, seorang yang dapat diposisikan sebagai Justice Collaborator adalah pertama kalinya ia haruslah seorang saksi yang juga tersangka, ini berarti posisi dari orang tersebut haruslah sebagai saksi seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, yakni saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri, yang dalam posisi lainnya 66
Supriyadi Widodo Eddyono, 2011, Prospek Perlindungan Justice Collaborator di Indonesia: Perbandingan di Amerika dan Eropa, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 No. 1, h. 110
81
juga adalah seorang tersangka. Ini berarti menegaskan bahwa seorang pelaku yang bekerjasama haruslah saksi dan tersangka. Pengertian ini tentunya belumlah mencakup pelaku bekerjasama yang kapasitasnya sebagai seorang pelapor atau informan, yang mungkin tidak masuk dalam pengertian saksi diatas, namun memiliki peran yang signifikan dalam memberikan informasi tentang kasus tersebut. Atau pelaku bekerjasama yang berstatus narapidana. Kalimat “seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama.....” ini juga terhubung dengan kalimat “kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim” yang mensyaratkan pula bahwa seorang saksi tersebut haruslah memberikan keterangannya dalam persidangan atau keterangannya tersebut paling tidak tercatat dalam persidangan. Ini mengakibatkan hanya saksi tersangka yang dibawa dan diambil keterangannya di pengadilan yang dapat masuk dalam kategori pelaku yang bekerjasama. Bagaimana dengan seorang yang keterangannya tidak dijadikan oleh hakim sebagai dasar pengambilan keputusan? Walaupun dalam proses penyidikan dan pra penuntutan informasi dan keterangan yang diberikan orang yang bersangkutan justru sangat membantu proses penuntutan dan pemeriksaan di persidangan? Tentunya posisi orang tersebut tidak masuk kategori sebagai seorang pelaku yang bekerjasama dan akibatnya tidak dapat dijaikan dasar pemberian reward.
82
2. Apa makna istilah “kasus yang sama tersebut”? Undang-Undang tidak satupun memberikan panduan mengenai hal tersebut. Sehingga dibutuhkan penafsiran atas ketentuan ini. Kasus yang sama mungkin ditafsirkan “kasus-kasus dimana posisi saksi juga sekaligus tersangka dalam kasus yang sama” sehingga dalam suatu tindak pidana yang terjadi, posisi seorang saksi tersebut dengan posisinya sebagai tersangka memiliki kaitan yang tak terpisahkan. Jadi ada hubungan langsung antar posisi saksi dan posisi tersangka dalam kasus tersebut. Tentunya hal ini dapat dilihat dari sejarah kasus saat mulainya penyelidikan tindak pidana yang dilakukan. Model pengaturan yang demikian dalam praktek di berbagai negara justru tidak dapt dipraktekkan
secara
maksimal,
karena
justru
dalam
praktek
perlindungan pelaku yang bekrjasama yang telah diakui saat ini syarat “dalam kasus yang sama” tidak dipergunakan lagi. Titik berat pada perlindungan ini yang terpenting, justru pemberian “informasi dan keterangannya” bukan di ranah “terkait dalam kasus yang sama” karena dalam prakteknya banyak calon pelaku yang bekerjasama akan memberikan kontribusi namun posisinya sebagai pelaku bukan”dalam kasus yang sama” 3. Jika melihat kalimat “tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan terhadapnya” maksud dari kalimat ini
83
menimbulkan arti bahwa bentuk dan sifat perlindungannya yang diberikan kepada pelaku yang bekerjasama hanyalah terbatas pada pengurangan hukuman, pelaku yang bekerjasama tidak dapat diberikan “kebebasan dari tuntutan hukum”. Ini berarti perlindungan kepada pelaku
yang
bekerjasama
dalam
rumusan
Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban ini, tidak pula mencakup perlindungan lainnya seperti yang dirumuskan dalam pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Intinya perlindungan yang dapat diberikan kepada seorang pelaku yang bekerjasama hanyalah pengurangan hukuman semata. Disamping itu kata “kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim” menunjukkan bahwa sifat rewardnya yang fakultatif (bukan kewajiban) sehingga tidak ada jaminan atau tidak ada kepastian hukum bahwa reward tersebut dapat diberikan kepada seorang pelaku yang bekerjasama. Oleh karena itulah maka perlindungan ini tidak dapat diprediksi sejak awal apakah perlindungan tersebut dapat diperoleh, memang dalam prakteknya kontribusi harus diberikan terlebih dahulu baru perhitungan reward akan diberikan, namun ketiadaan mekanisme dan prosedur penilaian reward dan pengajuannya menyebabkan pemberian perlindungan ini digantungkan kepada nasib baik dan kemampuan hakim yang memeriksa (karena hakim memiliki kebebasan dalam memutus perkara)
84
Berdasarkan persoalan di atas, maka untuk memberikan pedoman bagi perlindungan “status hukum” dan pelaksanaan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014, maka Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011. Langkah progresif dari Mahkamah Agung ini sangat tepat mengingat ketentuan pasal 10 tersebut masih perlu pedoman lebih lanjut didalam penerapannya. Mahkamah Agung dalam SEMA ini meminta kepada para hakim agar jika menemukan tentang adanya orangorang yang dapat dikategorikan sebagai pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dapat diberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya. Secara teknis, untuk saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator), SEMA ini memberikan kriteria yang bersangkutan yaitu bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut dan dia mengakui kejahatan yang dilakukannya serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. Selain itu juga dipersyaratkan bahwa diperlukan adanya pernyataan dari jaksa penuntut umum bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
85
Atas bantuannya tersebut maka Justice Collaborator dapat mempertimbangkan penjatuhan pidana dengan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau menjatuhkan pidana penjara yang lebih ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah. Namun dalam hal pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Selain itu Ketua Pengadilan dihimbau untuk mendistribusikan perkara yang terkait dengan perkaraperkara yang diungkap oleh saksi pelaku yang bekerjasama kepada majelis hakim yang sama sejauh memungkinkan dan mendahulukan perkaraperkara lain yang diungkap oleh saksi pelaku yang bekerjasama.
4. Penghargaan Perlindungan dalam bentuk penghargaan bagi para Whistleblower dan Justice Collaborator sangat penting keberadaannya bagi upaya menciptakan iklim kondusif bagi pengungkapan tindak pidana korupsi dalam konteks pelibatan masyarakat. Penghargaan layak diberikan sebagai penegasan bahwa yang bersangkutan telah berjasa bagi upaya penegakan hukum, implikasinya bilamana terdapat penghargaan terhadap mereka masyarakat yang lain dapat berani juga mengungkapkan suatu tindak pidana kepada penegak hukum. Bagi Whistleblower yang tidak tersangkut sebagai pelaku, penghargaan terhadap mereka telah diatur dalam peraturan perundangan. Salah satu diantaranya adalah PP Nomor 71 Tahun 2000 dan Pasal 10A UU Nomor 13 tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014.
86
Perlindungan dalam bentuk penghargaan bagi Justice Collaborator dapat berupa keringanan penjatuhan pidana, pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai perundang-undangan yang berlaku apabila Saksi Pelaku yang bekerjasama adalah seorang narapidana. Untuk memperoleh penghargaan berupa keringan penjatuhan pidana, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim. Untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan remisi tambahan, dan hak narapidana lain, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Secara teknis perlindungan dalam bentuk penghargaan bagi Justice Collaborator dilakukan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bersama sebagai berikut: Permohonan diajukan oleh pelaku sendiri kepada Jaksa Agung atau pimpinan KPK; LPSK dapat mengajukan rekomendasi terhadap saksi pelaku yang bekerjasama untuk kemudian dipertimbangkan oleh Jaksa Agung atau Pimpindan KPK; Permohonan memuat identitas saksi pelaku yang bekerjasama, alas an dan bentuk penghargaan yang diharapkan; Jaksa Agung atau pimpinan KPK memutuskan untuk memberikan atau menolak penghargaan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.67 Selanjutnya dalam hal Jaksa Agung atau Pimpinan KPK mengabulkan 67
permohonan
Sigit Artantojati, Op Cit, h. 97
penghargaan,
Penuntut
Umum
wajib
87
menyatakan dalam tuntutannya mengenai peran yang dilakukan oleh Justice Collaborator dalam membantu proses penegakan hukum agar dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.68 Kemudian dalam hal penghargaan berupa remisi dan/atau pembebasan bersyarat maka permohonan diajukan oleh saksi pelaku yang bekerjasama, Jaksa Agung, Pimpinan KPK dan/atau LPSK kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk kemudian diproses sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.69
2.3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Mengenai aspek pengertian Tindak Pidana Korupsi
yang
dimaksudkan di sini semata-mata ditujukan kepada eksistensi UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai
Hukum
Positif
(Ius
Consitutum/Ius
Operatum)
dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Apabila disimak pengertian Tindak Pidana Korupsi secara harfiah, maka berasal dari kata “Tindak Pidana” dan “Korupsi”. Istilah “Tindak Pidana” merupakan istilah teknis-yuridis dari kata bahasa Belanda “Stafbaar feit” atau “Delict” dengan pengertian perbuatan yang dilarang oleh peraturan
hokum pidana dan tentu saja
dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Dalam kepustakaan ilmu hukum pidana istilah “Stafbaar feit” atau “Delict” ini 68
Ibid. Ibid.
69
88
ada yang menerjemahkan dengan istilah-istilah: “Peristiwa Pidana” (Pasal 14 ayat (1) KRIS dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950), kemudian “Perbuatan Pidana”, “Perbuatan yang Boleh Dihukum”, dan “Pelanggaran Pidana”.70 Kemudian istilah “Korupsi” berasal dari bahasa latin Corruptie atau Corruptus. Selanjutnya, disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata Corrumpore, suatu kata latin yang tua. Dari bahasan latin inilah turun kebanyak bahasa Eropa, seperti Inggris: Corruption, Corrupt; Perancis: Corruption; dan Belanda Corruptie (korruptie). Kemudian Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan: Korupsi (dari Lat. ”Corruptio = penyuapan; dari corrumpore = merusak). Sedangkan arti harfiah dari “korupsi” dapat berupa: 1. kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejadan dan ketidakjujuran.71 2. perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.72 3. perbuatan-perbuatan yang kenyataan yang menimbulkan keadaan yang bersifat buruk. Perilaku yang jahat dan tercela, atau kebejadan moral. Penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran. Sesuatu yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat. Pengaruhpengaruh yang korup.73
70
MH. Tirtaamidjaja, 2005, Pokok-Pokok Hukum Pidana: Edisi Revisi, Fasco, Jakarta, h.
18 71
S. Wojowasito & W.J.S. Poerwadarminta, 1981, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Hasta, Bandung, h. 33 dan h. 150 72 W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit: PN Balai Pustaka, h. 468 73 Soedjono Dirdjosisworo, 2000, Fungsi Perundang-Undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 17
89
Sedangkan secara Yuridis-Formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan 20, Bab II tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21 sampai dengan 24 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
90
BAB III PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI INDONESIA
3.1 Urgensi Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Callaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi
Sehubungan dengan sifat dasar dari kasus-kasus tindak pidana korupsi, maka kasus tersebut lebih sulit untuk dibuktikan daripada kasus tindak pidana kriminal lainnya. Menurut Supriyadi Widodo Eddyono terdapat beberapa pertimbangan halangan yang sering ditemukan, diantaranya:74
1. Sulit mengetahui siapa pelaku utama kejahatannya 2. Dalam kebanyakan kasus, mereka yang mengetahui mengenai kejahatan seperti ini juga terkait didalamnya, dan mendapatkan keuntungan dari kejahatan itu sehingga sangat tidak mungkin melaporkannya kepada aparat yang berwenang 3. Kebanyakan pelaku kejahatan menggunakan hubungan antara beberapa pelaku kunci dan sifat dasar dari hubungan seperti ini hanya dapat dibuktikan melalui pertolongan pelaku yang terlibat dalam hubungan yang dimaksud 4. Dalam kebanyakan kasus, sangat sulit atau bahkan tidak ada “tempat kejadian perkara” yang pasti atau minim bukti forensik untuk menolong mengidentifikasi pelaku 5. Bukti fisik dari kejahatan besar, seperti dokumen transaksi dan aset yang dibeli dengan hasil korupsi, dapat disembunyikan, dihancurkan, dialihkan atau dipercayakan kepada orang lain 6. Dalam banyak kasus, pelaku merupakan orang yang berkuasa, yang dapat menggunakan pengaruh mereka untuk mencampuri penyidikan, 74
Supriyadi Widodo Eddyono, 2008, Tantangan Perlindungan Justice Collaborator dalam UU No. 13 Tahun 2006, Koalisi Perlindungan Saksi dan korban, Jakarta, h.11
89
91
mengintimidasi para saksi atau menghalangi saksi bekerjasama dengan aparat penegak hukum 7. Seringkali para penegak hukum baru mengetahui mengenai tindak kejahatan ini lama setelah terjadi, sehingga jejak yang ada sudah kabur, bukti-bukti susah untuk dilacak dan para saksi telah dibayar atau memiliki kesempatan untuk membuat alibi-alibi palsu. Halangan-halangan sebagaimana disebutkan di atas, dapat diatasi apabila Whistleblower maupun Justice Collaborator turut berpartisipasi bersama aparat penegak hukum membongkar tindak pidana korupsi. Oleh karena itu sangat penting jaminan perlindungan hukum maupun perlindungan khusus bagi mereka. Perlindungan bagi para pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) ini merupakan salah satu refleksi “penghargaan terhadap pihak-pihak yang memberikan kontribusi dalam upaya mengungkap kejahatan yang complicated dan serius akibatnya sehingga memerlukan treatment khusus dan insentif untuk mereka yang berjasa.”75 Penghargaan terhadap mereka adalah sebanding dengan beban penderitaan yang dialami mereka ketika mereka konsisten berpartisipasi membantu aparat penegak hukum. Sesungguhnya, tidak mudah menjadi seorang Whistleblower maupun Justice Collaborator. Ana Radelat dalam kajiannya terhadap fenomena para pengungkap fakta (Whistleblower) menggambarkan beberapa tahap yang harus dijalani para pengungkap fakta. Terungkap tujuh tahap yang harus dijalani para pengungkap fakta, mulai dari penemuan kasus penyimpangan, 75
Djoko Sarwoko, 18-22 September 2014, Reward bagi “Whistleblower” (Pelapor Tindak pidana) dan “Justice Collaborator” (Saksi Pelaku yang Bekerjasama) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, Makalah yang disampaikan dalam Rakernas Mahkamah Agung dan Pengadilan Seluruh Indonesia, Jakarta, h. 13
92
refleksi terhadap langkah-langkah yang diambil, konfrontasi dengan atasan mereka, resiko balas dendam dari pihak yang dilaporkan, proses hukum yang panjang, berakhirnya kasus hingga tahap memasuki kehidupan yang baru setelah kehilangan pekerjaan. Keputusan untuk mengungkap fakta kepada publik akan membawa dampak (konsekuensi) yang akan dialami seseorang. Tidak semua tahap akan mudah dilalui para pengungkap fakta (Whistleblower) bahkan terkadang karena terlalu panjangnya tahapan yang harus dilalui tidak jarang diantara mereka sampai harus mengalami pertolongan psikiatris maupun medis akibat tekanan-tekanan psikis yang harus mereka tanggung.76 Lebih lanjut Ana Radelat menyatakan bahwa Berdasarkan survey terhadap 233 pengungkap fakta (Whistleblower), 90 persen dari mereka harus kehilangan pekerjaan setelah mengungkap fakta kepada publik dan hanya 16 persen yang menyatakan berhenti untuk menjadi Whistleblower sementara sisanya mengungkapkan akan tetap menjadi Whistleblower, mereka adalah para pegawai yang berprestasi, memiliki komitmen tinggi dalam bekerja dan rata-rata berangkat dari latar belakang Agama yang kuat.77 Sementara itu Glazer dan Glazer melakukan studi terhadap 55 pengungkap fakta (Whistleblower) untuk mengungkap motif mereka menjadi pengungkap fakta menyatakan bahwa mereka memutuskan untuk mengungkap fakta berdasarkan keyakinan individual. Pengungkap fakta 76
Achmad Zainal Arifin, 2005, Fenomena Whistle Blower dan Pemberantasan Korupsi, Kompas, diakses pada hari Senin, 20 April 2015, Jam 11 AM 77 Ibid
93
(Whistleblower) berasumsi suatu sistem yang korup hanya akan terjadi bila para individu yang menjalankan sistem itu juga korup. Dihadapkan pada dua pilihan, menjadi bagian dari proses korupsi itu atau menjadi kekuatan yang menentangnya. Umumnya bisa dikatakan, keyakinan individual yang dimiliki para pengungkap fakta (Whistleblower) bersumber pada tiga hal yakni : nilai-nilai keagamaan (religius value), etika profesional (profesional ethics)
dan
rasa
tanggungjawab
terhadap
masyarakat
(social
responsibility).78 Sejarah perkembangan para pengungkap fakta (Whistleblower) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa tidak sedikit diantara mereka harus rela menanggung resiko kehilangan pekerjaan hingga beberapa tahun, bahkan beberapa diantara mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan baru karena dipandang sebagai trouble maker (pembuat kekacauan) yang dikhawatirkan akan melakukan hal yang sama pada perusahaan atau institusi yang akan ditempatinya.79 Dengan demikian maka tidak sedikit dari para pengungkap fakta tersebut mengalami penurunan kualitas hidup disebabkan minimnya penghargaan dan perlindungan setelah proses peradilan pidana selesai. Oleh karena itu perlindungan yang diberikan kepada Whistleblower maupun Justice Collaborator harus komprehensif, tidak saja sebatas perlindungan hukum dan perlindungan khusus yang berlaku selama proses peradilan pidana saja, namun juga perlu diberlakukan saat setelah proses
78
Ibid Ibid
79
94
peradilan. Sebagaimana di Korea Selatan misalnya, selain mendapatkan perlindungan hukum dan perlindungan khusus selama persidangan, Whistleblower diberikan penghargaan secara materi dan perlindungan setelah proses peradilan pidana.80 Hal ini dapat dijadikan contoh di negeri kita dan apabila diterapkan dengan baik maka besar harapan tindak pidana korupsi dapat diberantas secara optimal melalui penciptaan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan para pengungkap fakta Whistleblower maupun Justice Collaborator.
3.2 Peraturan
Yang
Berkaitan
Dengan
Whistleblower
dan
Justice
Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi Sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana Telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
Ketentuan yang menjadi dasar hak saksi untuk memberikan laporan rumusan yang dapat menjadi dasar hak asasi untuk memberikan laporan tentang tindak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 31 Ayat (1) UU Tipikor yang menyatakan bahwa dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
80
Todung Mulya Lubis, 2005, Catatan Hukum: Mengapa Saya Mencintai Negeri Ini?, Kompas, diakses pada hari Senin, 20 April 2015, Jam 10 AM
95
UU Tindak Pidana Korupsi ini memang mengenal istilah “Saksi” dan “Pelapor” sebagai dua peran yang berbeda. Walaupun keduanya berperan dalam pengungkapan atau pembuktian tindak pidana korupsi, akan tetapi “pelapor” hanya bermain di “belakang layar” dalam pengungkapan tindak pidana korupsi ini. Sehingga ia tidak secara resmi dimasukkan sebagai salah satu alat bukti dalam pembuktian dimuka sidang pengadilan. Ia bahkan tidak harus menghadiri persidangan. Dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa pelapor adalah: “orang yang memberi informasi kepada Penegak Hukum mengenai terjadinya suatu Tindak Pidana Korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana”. Saksi adalah mereka yang dimintai keterangannya tentang tindak pidana korupsi ini, sehingga idenitasnya juga akan diketahui oleh umum. Konklusi dasarnya, diatur selintas mengenai perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Perlindungan hukum kepada Justice Collaborator dan Whistleblower dilakukan
ketika
memberi
perlindungan
dalam
penyidikan
dan
pemeriksaan di sidang pengadilan dimana saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau
96
alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
3.3 Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Indonesia Masalah perlindungan hukum terhadap hak Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) di Indonesia masih merupakan masalah yang kontroversial karena di satu sisi semangat untuk melindungi saksi dan korban sangat tinggi dan di lain sisi ketentuan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) belum memadai. Praktek
perlindungan
terhadap
Pelapor
Tindak
Pidana
(Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) versi Indonesia dikenal dengan perlindungan saksi dan korban dan sampai saat ini masih tersebar dari berbagai peraturan perundang-undangan. Perlindungan saksi dan korban yang berlaku dan tersebar itu adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang sebelumnya masih tersebar diberbagai ketentuan perundang-undangan yaitu untuk tindak pidana korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, UU Nomor 30 Tahun 2002), PP Nomor 71 Tahun 2000, Perlindungan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU Nomor 8 Tahun 2010), PP Nomor 57 tahun 2003,
97
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2005, Tindak Pidana Pelanggaran HAM Yang Berat (UU Nomor 26 Tahun 2000) dan PP Nomor 2 Tahun 2002 dan Tindak Pidana Terorisme (UU Nomor 15 Tahun 2003) dan PP Nomor 24 Tahun 2003. Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi meskipun hak dan kewajiban masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi telah di atur berdasarkan Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta ketentuan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun pelindungan hukum hanya diberikan kepada orang-orang yang murni sebagai pelapor, sedangkan bagi pelapor yang terlibat dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkannya (participant Whistleblower) tidak di berikan perlindungan, begitu juga terhadap pelapor yang melakukan tindak pidana lain dari tindak pidana yang dilaporkannya. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang diantaranya juga memberikan perlindungan terhadap para pelapor tindak
pidana (Whistleblower), tetapi undang-undang tersebut
dianggap masih belum memadai, karena hanya memberikan perlindungan kepada pelapor tindak pidana (Whistleblower) yang bukan pelaku tindak pidana yang dilaporkan. Padahal harus diakui bahwa untuk konteks
98
Indonesia saat ini melindungi pelapor tindak pidana (Whistleblower) yang sekaligus merupakan pelaku juga sangat diperlukan, karena potensi-potensi kejahatan besar, khususnya korupsi justru akan terungkap melalui saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) melalui jenis ini, karena umumnya mereka tidak mau didiskriminasi, harus memikul tanggung jawab sendiri. Berkaitan dengan problematika keengganan orang yang mengalami atau mengetahui suatu tindak pidana menjadi saksi hal ini karena tidak adanya jaminan perlindungan hukum yang memadai, terutama atas jaminan tertentu mekanisme tertentu untuk bersaksi karena para saksi ini sering kali menerima intimidasi, kriminalisasi dan tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang berkaitan yang diberikannya dan akhirnya menjadi tersangka, terdakwa dan bahkan terpidana. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
perkara yang cukup fenomenal adalah
perlindungan hukum terhadap Khairiansyah Salman seorang auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditetapkan sebagai salah satu tersangka bersama 3 rekannya yang lain dalam kasus korupsi Dana Abadi Umat dan biaya penyelenggaraan haji yang merupakan Whistleblower/saksi pelapor atas kasus penyuapan yang melibatkan Mulyana Wira Kusumah. Khairiansyah Salman adalah saksi pelapor yang melaporkan dan berkoordinasi dengan KPK untuk mengungkap dan menangkap tangan aksi penyuapan yang dilakukan oleh Mulyana Wira Kusumah (selaku Ketua
99
Panitia Pengadaan kotak suara untuk Pemilu tahun 2004) kepada Ketua Sub Tim Pemeriksa Investigasi BPK (Khairiansyah Salman) terkait dengan rencana bantuan untuk penghilangan indikasi penyimpangan dalam hasil laporan pemeriksaan investigasi BPK atas pengadaan kotak suara Pemilu 2004. Praktek perlindungan hukum pada kasus ini cukup menimbulkan kontroversi terkait dengan keterbatasan pengaturan perlindungan terhadap Whistleblower yang notabene secara progresif diterapkan oleh KPK pada waktu itu. Perlindungan terhadap Khairiansyah Salman telah dilakukan sebelum dan sesudah penangkapan tangan terhadap pelaku penyuapan. Penangkapan tangan atas tindak pidana penyuapan ini mirip dengan metode penjebakan yang notabene pada waktu itu masih terbatas pengaturannya untuk tindak pidana narkotika dan psikotropika (Pasal 56 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1997 dan Pasal 68 UU Nomor 22 tahun 1997) dikenal istilah teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pembelian terselubung. Meskipun pada dasarnya aksi penjebakan pada tindak pidana penyuapan/korupsi ini telah melibatkan KPK sejak awal, permasalahan kemudian muncul terkait dengan posisi Khairiansyah Salman yang berperan sebagai orang yang disuap, menurut ketentuan umum tentang tindak pidana suap (UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak pidana Suap) seharusnya yang disuap pun dapat ditetapkan sebagai pelaku juga dan dikenakan hukuman. Namun kenyataannya proses hukum terhadap Khairiansyah Salman selaku pihak yang berperan sebagai penerima suap ini tidak
100
diindahkan oleh KPK karena pada dasarnya yang bersangkutan berperan demikian atas arahan dan koordinasi KPK yang notabene memiliki kewenangan untuk memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 15 huruf a UU Nomor 30 Tahun 2002. Perlindungan yang demikian juga merupakan implementasi dari perlindungan terhadap status hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) PP Nomor 71 Tahun 2000, bentuk perlindungan terhadap status hukum ini secara teknis diantaranya adalah tidak dilanjutkannya terlebih dahulu laporan pencemaran nama baik oleh tersangka tindak pidana korupsi terhadap saksi pelapor sebelum ada proses hukum terhadap kasus korupsi itu selesai terlebih dahulu. Tegasnya, dengan kata lain proses hukum kasus korupsi itu harus didahulukan daripada tuntutan pencemaran nama baik oleh tersangka terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi. Selain itu juga terdapat jaminan untuk tidak mengubah status pelapor menjadi tersangka. Jaminan perlindungan demikian adalah hal wajar karena sesuai dengan tujuan dibentuknya ketentuan peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni membantu, mempermudah atau memperlancar dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Apabila tidak diberikan jaminan tersebut maka harapan untuk memperoleh partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sia-sia belaka.
101
Selain perlindungan hukum berupa perlindungan terhadap status hukum demikian, Khairiansyah Salman juga mendapatkan perlindungan terhadap rasa aman sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) PP Nomor71 Tahun 2000. Perlindungan terhadap rasa aman ini dibebankan pada pihak Kepolisian setempat dan aparat Kepolisian tersebut wajib memberikan perlindungan dari ancaman-ancaman, seperti ancaman kekerasan maupun kekerasan dari pihak manapun terhadap Pelapor maupun Keluarganya. Meskipun oleh undang-undang tidak dijelaskan secara rinci atau detail mengenai bentuk-bentuk maupun tata cara perlindungan, petugas penyidik KPK melakukan perlindungan terhadap Khairiansyah Salman berupa: 1) Pemasangan alat rekam di depan rumah Khairiansyah Salman mulai awal persidangan hingga akhir persidangan. Alat rekam tersebut selalu diganti setiap minggunya oleh penyidik KPK; 2) Relokasi terhadap saksi pelapor beserta keluarganya selama satu bulan di tempat yang aman. Namun karena yang bersangkutan tidak berkenan maka relokasi tidak dilaksanakan; 3) Penyediaan pengawal yang disediakan (dibayar) oleh KPK. Adapun petugas pengawal tersebut bertugas melindungi saksi pelapor secara langsung selama proses persidangan hingga akhir persidangan; 4) Meminta bantuan atau berkoordinasi dengan Kepolisian sektor setempat dimana saksi pelapor tinggal.81
81
Lilik Mulyadi, Op.Cit, h. 111-114
102
Berikutnya perkara yang terjadi setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu perkara saudara Vincentius Amin Sutanto, mantan eksekutif top Asian Agri, yang melaporkan dugaan manipulasi pajak di tempat kerjanya. Beberapa kasus ini memiliki satu kesamaan: berbuah ”serangan balik” dari pihak yang dilaporkan. Dalam kasus Endin, misalnya, mendapat serangan balik dari hakim dengan mengadukannya. Ia dituding telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Sang hakim kemudian bebas dari hukuman, sementara sang pelapor dihukum oleh pengadilan. Kasus Vincent merupakan kasus paling menarik, karena melibatkan orang dalam dari satu pihak yang diduga melakukan suatu kejahatan. Berbeda dengan kasus lain, Vincent terlebih dahulu dinyatakan sebagai tersangka dalam melakukan pembobolan sekitar Rp 28 milyar milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd. di Singapura, salah satu anak perusahaan Asian Agri Group. Pada saat menjadi tersangka dan buron itulah Vincent kabur ke Singapura. Ia sempat berencana bunuh diri dan akan menyerahkan diri ke polisi di sana, karena merasa keselamatannya terancam di Indonesia. Namun, berkat bantuan wartawan Tempo, Vincent kemudian dihubungkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hanya KPK yang waktu itu dipercayai Vincent untuk menerima laporannya. Selanjutnya Vincent menyerahkan diri dan melaporkan dugaan pengemplangan pajak Asian Agri yang diduga merugikan negara sedikitnya Rp 1,3 Triliun.
103
Penghukuman
terhadap
Vincent
atas
kasus
pembobolan
perusahaannya berlangsung begitu lancar. Ia dijerat dengan dengan dakwaan kumulatif tindak pidana pencucian uang dan pemalsuan surat. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang menyatakan Vincent bersalah dan dihukum sebelas tahun penjara, diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Serangan terhadap Vincent tak hanya dalam satu kasus saja, aparat penyidik Polda Metro Jaya, sempat akan menjerat Vincent dengan perkara tindak pidana pemalsuan paspor yang dilakukannya pada Oktober 2006 di Singkawang, Kalimantan Barat. Perkaranya sudah dilimpahkan ke Kepolisian Resor Singkawang. Kasus Vincent menjadi menarik karena berkaitan dengan dengan masalah perlindungan saksi. Ia telah memberikan informasi atas satu kejahatan sangat besar pada saat Undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah diberlakukan. Di Indonesia juga telah berlaku Undang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dan peraturan pelaksanaannya. Kasus Vincentius Amain Sutanto, adalah orang yang banyak mengetahui tindak pidana yang diproses oleh Dirjen Pajak, yang di duga merugikan keuangan negara sangat besar. Dan hanya dengan kesaksiannya, akan dapat diungkap kasus tersebut, dan uang negara diselamatkan. Peran Vincent dalam mengugkap kasus tersebut, ternyata tidak diimbangi dengan perlindungan yang memadai. Vincent pada akhirnnya harus meringkuk dalam penjara, dengan tuduhan melakukan
104
tindak pidana pencucian uang. Oleh Pengadilan, Vincent diganjar 11 tahun penjara. Putusan
ini kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung. Berikutnya Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pada dua terdakwa korupsi pengadaan solar home system (SHS) atau listrik untuk perdesaan. Kasus ini terjadi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada periode 2007-2008. Kerugian negara pada kasus ini mencapai Rp 80 miliar. Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Jacob Purwono, selaku terdakwa pertama divonis 9 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Sedangkan anak buahnya, mantan Kepala Sub-usaha Energi Terbarukan Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kosasih Abbas, divonis penjara empat tahun dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan. Perkara ini ditangani majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang terdiri atas Sudjatmiko, Aviantara, Joko Subagiyo, Made Hendra, dan Anas Mustakim. “Menyatakan terdakwa satu Jacob Purnowo dan Kosasih Abbas terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagai perbuatan berbarengan sebagaimana dalam dakwaan subsider,” kata hakim Sudjatmiko.Kedua terdakwa terbukti melakukan korupsi dalam dakwaan subsider, yakni Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 65 ayat 1
105
KUHP. Kedua terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti, senilai keuntungan yang diterima dari korupsi ini. Jacob diharuskan membayar uang pengganti Rp 1 miliar dan Rp 30 juta, sedangkan Kosasih harus mengembalikan Rp 550 juta. Selambatlambatnya, uang pengganti harus dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, atau subsider dua tahun penjara untuk Jacob dan 1 tahun penjara untuk Kosasih. Hukuman Kosasih Abbas lebih ringan karena posisinya hanya anak buah, bersikap kooperatif, dan mengakui kesalahannya. Namun, hakim tidak menempatkan Kosasih sebagai justice collaborator alias pelaku yang bekerja sama mengungkap kejahatan lebih besar. Kedua terdakwa dinyatakan terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan dan pemasangan SHS. Keduanya dinyatakan terbukti mengatur perusahaan pemenang lelang pengadaan dan pemasangan SHS, selama 2007-2008. Mereka juga dinyatakan terbukti menerima hadiah uang daripara pemenang lelang. “Sebelum dimulainya pelaksanaan dan pemasangan SHS, terdakwa 1 (Jacob) memberi arahan kepada terdakwa 2 (Kosasih) agar melaksanakan tender sesuai dengan ketentuan dan kalau ada pemberian uang dari rekanan diterima saja karena Ditjen LPE sedang butuh dana untuk pembahasan RUU (rancangan undang-undang) ketenagalistrikan di DPR,” ungkap anggota majelis Made Hendra. Tuntutan Jaksa kepada Kosasi 4 (empat) tahun penjara dan denda Rp.250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) subsider 3 bulan
106
kurungan dan uang pengganti Rp. 2.854 milyar. Jaksa dalam tuntutannya menyebutkan bahwa Kosasih berprilaku kooperatif sehingga ditetapkan KPK menjadi “Justice Collaborator”. Hakim menjatuhkan vonis 4 tahun penjara denda Rp.150 juta subsider 3 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 550 juta.82 Berkali-kali para (Whistleblower) korupsi memang dikecewakan tapi karena tetap divonis maksimal padahal telah membantu membongkar korupsi. Akibatnya, para aktivis anti korupsi menduga minat untuk menjadi menurun. Berikutnya Kasus Komjen Pol. Susno Duadji pernah meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Permohonan perlindungan Susno terkait dengan pengungkapannya kasus Gayus Tambunan dan PT. Salmah Arwana Lestari (SAL), permohonan Susno disampaikan pada LPSK tanggal 4 Mei 2010 dan saat itu yang bersangkutan masih sebagai saksi, sedangkan seminggu kemudian atau 11 Mei 2010 Susno ditetapkan sebagi tersangka. Perlu diingat, jika dikaitkan dengan kasus pembukaan blokir rekening atau yang dikenal dengan kasus mafia hukum pajak, Susno Duadji harus diposisikan sebagai orang yang telah berjasa dalam bidang penegakan hukum karena mengungkap kasus tersebut. Tanpa peran Susno, tidak akan mungkin kasus tersebut terungkap. Dengan diungkapnya kasus tersebut, kita juga dapat mengetahui secara nyata adanya mafia hukum dalam kasus tersebut. Jika merujuk pada pengertian saksi menurut undang-undang, posisi 82
Harian Kompas, 2014, h. 3
107
Susno dapat dikatakan sebagai saksi. Sebab, dengan jabatan yang disandang saat itu, dia adalah orang yang sangat banyak tahu mengenai barang bukti yang terkait dengan pembukaan blokir rekening dan penanganan kasus yang melibatkan Gayus Tambunan. Hal itu sesuai dengan isi Pasal 1 butir 1 UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal itu menyebutkan, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan
pemeriksaan di
sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Menurut pendapat Rudi Satrio, Susno Duadji berhak untuk mengajukan perlindungan dengan posisi sebagai saksi. Selanjutnya, menjadi kewajiban negara melalui LPSK meresponsnya. Meskipun ketika Susno Duadji dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus PT Salmah Arowana Lestari dan kasus pilkada Jabar, tetap memperoleh hak untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK, asal memenuhi syarat untuk memperoleh perlindungan. Menurut Pasal 28 UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, perlindungan yang diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana mempertimbangkan syarat-syarat sebagai berikut: a. Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban; b. Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban; c. Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban;
108
d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban. Hal itu diperkuat Pasal 10 Ayat 2 UU No 13 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila dia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Tetapi, kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Jadi, seorang saksi dan sekaligus sebagai seorang tersangka (terdakwa) mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan dari LPSK. Hanya, Susno tetap dapat dituntut ke persidangan. Namun, bagi Susno terdapat jaminan bahwa atas kesaksiannya akan memperoleh keringanan hukuman. Karena itu, meski Susno berstatus tersangka dan ditahan di rumah tahanan negara (rutan), dia mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan saksi dan dapat menempati safe house. Posisi negara wajib untuk memberikan perlindungan sepanjang memenuhi syarat untuk hal tersebut. Itulah porsi yang dapat negara berikan kepada Susno Duadji dan sekaligus itulah porsi hak yang dimiliki oleh Susno Duadji. Menindaklanjuti permohonan perlindungan Susno Duadji yang diajukan pada 4 Mei 2010, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sejak awal Mei 2010 mulai mengumpulkan informasi dan buktibukti untuk memverifikasi apakah jenderal bintang tiga ini memang memenuhi syarat untuk diberi perlindungan atau tidak. Pengumpulan informasi dan bukti-bukti untuk memverifikasi apakah Susno Duadji dapat
109
dilindungi atau tidak dilakukan LPSK dengan cara melakukan koordinasi dengan beberapa pihak terkait seperti Tim Penyidik Polri, Pengacara Susno Duadji, Susno Duadji sendiri, dan beberapa pihak lainnya yang berhubungan dengan kasus ini. Setelah data-data yang dikumpulkan itu dipelajari dan dianggap cukup, pada tanggal 24 Mei 2010, Jam 15.45 WIB Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menggelar Rapat Paripurna untuk membahas apakah Susno Duadji bisa dilindungi atau tidak. Rapat Paripurna yang dihadiri oleh 5 Anggota LPSK tersebut kemudian memutuskan bahwa Susno Duadji terlibat dalam 4 (empat) kasus yaitu: (1) Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang yang diduga dilakukan oleh tersangka Gayus Tambunan, (2) Tindak Pidana Laporan Pencemaran Nama Baik, (3) Pelanggaran Kode Etik Polri, dan (4) Tindak Pidana Korupsi/Suap PT Salmah Arowana Lestari (SAL). Berdasarkan pemilahan di atas, disimpulkan bahwa: a. Untuk Kasus (1) Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang yang diduga dilakukan oleh Tersangka Gayus Tambunan, LPSK menilai bahwa Susno Duadji dapat diberi perlindungan fisik, hukum, dan pemenuhan hak-hak prosedural sebagai saksi dan Whistleblower (Pasal 5 Ayat 1 UU No 13 Tahun 2006 Jo Pasal 10 Ayat 1); b. Untuk Kasus (4) Tindak Pidana Korupsi/Suap PT Salmah Arowana Lestari (SAL), LPSK menilai bahwa posisi Susno Duadji adalah sebagai tersangka, saksi, dan Whistleblower. Dalam kasus ini LPSK akan
110
memberikan perlindungan fisik, hukum, dan pemenuhan hak-hak prosedural kepada Susno Duadji sebagai saksi dan Whistleblower. Perlindungan yang diberikan LPSK dalam kasus ini tidak berarti menganulir status Susno Duadji sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Keterangan atau kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya dapat dijadikan pertimbangan Hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan; c. Untuk Kasus (2) Tindak Pidana Laporan Pencemaran Nama Baik, LPSK menilai bahwa Susno Duadji adalah Pelapor yang dilaporkan balik. d. Untuk Kasus (3) Pelanggaran Kode Etik Polri, LPSK menilai bahwa itu adalah wewenang Polri, LPSK tidak bisa mengintervensi karena itu bukan ranah LPSK. Alasan diberikannya perlindungan fisik, hukum, dan pemenuhan hak-hak prosedural kepada Susno Duadji karena: a. Susno Duadji telah mengajukan permohonan perlindungan secara tertulis; b. LPSK menilai bahwa keterangan Susno Duadji penting untuk mengungkap kasus tersebut; c. LPSK menilai adanya unsur ancaman/teror yang dialami oleh Susno Duadji, di mana dirinya dan istrinya diikuti oleh orang yang tidak dikenal; d. LPSK menilai bahwa perlindungan yang diberikan kepada Susno Duadji dalam kasus korupsi didasarkan pada Pasal 5 Ayat (1) UU No.
111
13 Tahun 2006, beliau cukup membuktikan bahwa ada potensi ancaman yang beliau dan keluarganya terima. Untuk itu, Rapat Paripurna LPSK memutuskan bahwa: a. Permohonan Perlindungan Susno Duadji dinyatakan berhak untuk mendapatkan perlindungan fisik bagi pemohon dan keluarganya, perlindungan hukum, dan pemenuhan hak-hak prosedural; b. Keputusan ini akan disampaikan kepada yang bersangkutan. Mengenai bentuk perlindungan fisik akan ditawarkan kepada Susno Duadji untuk ikut menentukan bentuk perlindungan seperti apa yang diinginkannya. Kemudian dalam pelaksanaan perlindungan fisik yang diberikan LPSK yaitu berupa penempatan di rumah aman, terkendala dengan Mabes Polri karena yang bersangkutan juga terkena perkara lain yakni korupsi Pilkada Jawa Barat dan oleh Mabes Polri ditempatkan di Rutan Mako Brimob, sehingga LPSK tidak dapat menempatkan Susno Duadji di rumah aman. Penahanan terhadap Susno Duadji menurut penyidik Mabes Polri, bahwa berdasarkan pemeriksaan beberapa saksi diperoleh bukti permulaan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh Susno Duadji, yaitu telah menerima suap dari Syahril Djohan dalam proses hukum kasus PT Salmah Arwana Lestari dan pemotongan dana bantuan pengamanan pemilu saat menjadi Kapolda Jawa Barat, sehingga oleh penyidik ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua. Sedangkan tidak ditempatkannya di tempat aman sesuai permintaan LPSK, pihak Mabes Polri tidak dapat memenuhinya, hal ini menurut
112
penjelasan Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Zainuri Lubis menyatakan bahwa safe house (tempat aman) hanya ditujukan bagi saksi dan korban yang memenuhi syarat. Sedangkan, seseorang yang sudah berstatus tersangka seharusnya berada di rumah tahanan negara Selanjutnya, dalam proses peradilan dan putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Susno Duadji dengan hukuman 3 tahun 6 bulan penjara ditambah denda Rp 200 juta dengan subsider 6 bulan kurungan. Majelis Hakim yang di ketuai oleh Charis Mardiyanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada tanggal 24 Maret 2011 menilai bahwa Terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sesuai dakwaan kedua dan dakwaan pertama alternatif kelima. Selain itu Susno Duadji juga harus membayar uang pengganti senilai Rp 4 miliar yang harus dibayar dalam jangka waktu 1 bulan. Jika tidak dibayar, akan disita harta bendanya atau diganti dengan kurungan selama 1 tahun. Susno Duadji terbukti menerima suap Rp 500 juta dari Haposan Hutagalung melalui Sjahril Djohan dalam penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari. Susno juga terbukti menyalahgunakan wewenang saat menjabat Kepala Polda Jabar dengan memerintahkan pemotongan dana pengamanan Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat pada tahun 2008 untuk penggunaan yang tidak semestinya. Majelis hakim menilai, perbuatannya tersebut merugikan negara sebesar Rp 8,1 miliar. Susno terbukti melanggar Pasal 11 jo.Pasal 18 UU tentang Pemberantasan
113
Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 jo. Pasal 18 dalam undang-undang yang sama. Adapun hal-hal yang meringankan terdakwa adalah Susno Duadji mengungkap adanya penyimpangan di Mabes Polri dan berada dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap Whistleblower telah sesuai sebagaimana yang diamanatkan Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dilaksanakan oleh LPSK, walaupun masih belum sesuai dengan harapan banyak pihak, yang menginginkan bahwa seorang Whistleblower dibebaskan dari segala tuntutan pidana atau divonis dengan seringan-ringannya sebagai wujud penghargaan
atas
pengorbanan
yang
telah
dilakukan
dengan
mengungkapkan adanya tindak pidana ke publik atau kepada pihak yang berwenang (penegak hukum).83 Berikutnya kasus Agus Chondro Prayitno pada 4 Juli 2008 Agus Condro diperiksa oleh Penyidik KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan suap BI kepada Hamka Yandu. Di dalam pemeriksaan tersebut, Agus Condro menyatakan bahwa dia tidak pernah menerima uang dari Hamka Yandu, tetapi ia mengakui bahwa ia pernah menerima uang Rp500 juta dalam bentuk 10 (sepuluh) lembar travel cheque (@ Rp. 50 juta) dari Dudhie Makmun Murod. Uang itu diberikan sehari setelah pemilihan Deputi Gubernur BI di Komisi IX DPR RI yang dimenangi oleh Miranda Gultom. 83
Imam Thurmudi, Op.Cit.,h. 112-118
114
Atas keterangan yang disampaikan olehnya, penyidik kemudian meminta keterangan lebih detail terkait peristiwa pada saat terjadinya pemberian uang oleh Dudhie Makmun Murod dalam berkas tersendiri (tidak terkait dengan kasus Hamka Yandu). Pada saat itu, Penyidik menyatakan bahwa dengan menyampaikan keterangan tersebut, Agus Condro sebenarnya telah memberikan laporan tentang terjadinya dugaan suap terkait pemilihan Deputi Senior Gubernur BI. Berdasarkan laporan Agus Condro, akhirnya KPK menetapkan 4 (empat) tersangka, yakni Dudhie Makmun Murod, Uju Juhaeri, Endin Sofi hara, dan Hamka Yandu. Mereka pun telah dijatuhisanksi pidana. Pada akhir bulan September 2010, Agus Condro ikut ditetapkan sebagai tersangka beserta 25 penerima travel cheque lainnya. Pada Juni 2011 Agus Condro divonis 1 tahun 3 penjara. Vonis yang dikecam banyak pihak mengingat perannya sebagai Whistleblower skandal pemilihan Deputi Gubernur BI. Dalam Putusan No.14/Pid.B/TPK/2011/PN.Jkt.Pst dihukum selama 1(satu) tahun 3 (tiga) bulan. Dari
kasus-kasus
korupsi
yang
seharusnya
mendapatkan
perlindungan hak asasi sebagai Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan pelaku yang bekerjasama dalam tabel sebagai berikut :
(Justice Collaborator) dapat dideskripsikan
115
Tabel
1.
Whistleblower
dan
Justice
Collaborator
yang
Seharusnya
Mendapatkan Hak Asasi84 No
Nama
Perkara
1
Khairiansyah Salman
melaporkan dan berkoordinasi dengan KPK untuk mengungkap dan menangkap tangan aksi penyuapan yang dilakukan oleh Mulyana Wira Kusumah (selaku Ketua Panitia Pengadaan kotak suara untuk Pemilu tahun 2004
2.
Vincentius Amin Sutanto
Melaporkan dugaan pengemplangan pajak Asian Agri yang diduga merugikan negara sedikitnya Rp 1,3 Triliun
3.
Kosasih Abbas
Terdakwa korupsi pengadaan solar home system (SHS) atau listrik untuk perdesaan. Kasus ini terjadi di Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral pada periode 2007-2008. Kerugian Negara pada kasis ini mencapai 80 Miliar sebelum dimulainya pelaksanaan dan pemasangan SHS, terdakwa 1 (Jacob) memberi arahan kepada terdakwa 2 (Kosasih) agar melaksanakan tender sesuai dengan ketentuan dan kalau ada pemberian uang dari rekanan diterima saja karena Ditjen LPE sedang butuh dana untuk pembahasan RUU (rancangan undang-undang) ketenagalistrikan di DPR Susno Duadji terbukti menerima suap Rp 500 juta dari Haposan Hutagalung melalui Sjahril Djohan dalam penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari. Susno juga terbukti menyalahgunakan wewenang saat menjabat Kepala Polda Jabar dengan memerintahkan
4
Komjen Pol. Susno Duadji
84
Tah un 2004
2006
2007 2008
2010
Keterangan Perlindungan terhadap Khairiansyah Salman telah dilakukan sebelum dan sesudah penangkapan tangan terhadap pelaku penyuapan. Selaku pihak yang berperan sebagai penerima suap ini tidak diindahkan oleh KPK karena pada dasarnya yang bersangkutan berperan demikian atas arahan dan koordinasi KPK yang notabene memiliki kewenangan untuk memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 15 huruf a UU Nomor 30 Tahun 2002.Khairiansyah Salman tidak dijadikan tersangka/terdakwa dan bahkan diberikan perlindungan oleh KPK. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang menyatakan Vincent bersalah dan dihukum 11 (sebelas) tahun penjara, diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakartadan Mahkamah Agung. Peran Vincent dalam mengugkap kasus tersebut, ternyata tidak diimbangi dengan perlindungan yang memadai. hakim tidak menempatkan Kosasih sebagai justice collaborator alias pelaku yang bekerja sama mengungkap kejahatan lebih besar. Tuntutan Jaksa kepada Kosasi 4 (empat) tahun penjara dan denda Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) subsider 3 bulan kurungan dan uang pengganti Rp. 2.854 milyar. Jaksa dalam tuntutannya menyebutkan bahwa Kosasih berprilaku kooperatif sehingga ditetapkan KPK menjadi “Justice Collaborattor” Hakim mejatuhkan vonis 4 tahun penjara denda Rp.150 juta subsider 3 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 550 juta
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Susno Duadji dengan hukuman 3 tahun 6 bulan penjara ditambah denda Rp 200 juta dengan subsider 6 bulan kurungan Susno Duadji juga harus membayar uang pengganti senilai Rp 4 miliar yang harus dibayar dalam jangka waktu 1 bulan, jka tidak dibayar, akan disita harta bendanya atau diganti dengan kurungan selama 1 tahun
Ali Abdullah, 2014, Hak Asasi Pengungkap Fakta Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Disertasi, Program Studi Doktor (S3) Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, h. 217
116
5.
Agus Chondro
pemotongan dana pengamanan Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat pada tahun 2008 untuk penggunaan yang tidak semestinya. Majelis hakim menilai, perbuatannya tersebut merugikan negara sebesar Rp 8,1 miliar. Susno terbukti melanggar Pasal 11 joPasal 18 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 jo Pasal 18 dalam undangundang yang sama. Permohonan perlindungan Susno terkait dengan pengungkapannya kasus Gayus Tambunan dan PT. Salmah Arwana Lestari (SAL), permohonan Susno disampaikan pada LPSK tanggal 4 Mei 2010 dan saat itu yang bersangkutan masih sebagai saksi, sedangkan seminggu kemudian atau 11 Mei 2010 Susno ditetapkan sebagi tersangka. Telah memberikan laporan tentang terjadinya dugaan suap terkait pemilihan Deputi Senior Gubernur BI. Berdasarkan laporan Agus Condro, akhirnya KPK menetapkan 4 (empat) tersangka, yakni Dudhie Makmun Murod, Uju Juhaeri, Endin Sofi hara, dan Hamka Yandu.
2011
Dalam Putusan Perkara Nomor 14/Pid.B/TPK/2011/PN.Jkt.Pst Agus Chondro divonis 1 tahun 3 penjara Vonis tersebut dikecam banyak pihak mengingat perannya sebagai whistleblower skandal pemilihan Deputi Gubernur BI
Pada kasus-kasus korupsi lain yang berkaitan dengan Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) yang mendapat sorotann berupa ancaman, intimidasi, dan pemidanaan di deskripsikan dalam tabel sebagai berikut:
117
Tabel 2: Kasus-Kasus korupsi yang berhubungan Dengan Whistleblower dan Justice Collaborator85 No 1
Nama Arifin Wardianto
Perkara Dugaan Korupsi oleh YO urusan perijinan wartel di Yogyakarta
Tahun 1996
2
Maria Leonita
Dugaan suap yang melibatkan Zaenal Agus, Direktur Perdata MA
2001
3
Endin Wahyudin
2001
4
Arief Rahman
5
Roy Suryo Notodiprojo
Dugaan suap yang melibatkan hakim agung Ny. Marnis Kahar dan Ny. Supraptini Sutarto, serta Yahya Harahap Sejumlah dugaan kasus korupsi di kabupaten Flores Timur yang melibatkan Bupati Felik Fernandez Dugaan Korupsi Pengadaan teknologi informasi di KPU
6
Ali Basuki, Koordinator Pusat telaah Informasi Regionall (Pattiro) dan Koordinator Forum Peduli Anggaran Kota Solo
Dugaan Korupsi APBD Kota Solo 2003 yang melibatkan Darsono, Bandung Joko Suryanto dan Ipmawan M. Iqbal
2005
7
Simon (Ketua Lembaga Pengawasan Pembanguna n Mamasa)
2006
8
Sugianto
Dugaan Korupsi oleh Pemkab Mamasa dan DPRD Kabupaten Mamasa TA 2003 (Dilaporkan Des 2004, Feb. 2005, dan Jan. 2006 ke Kejagung dan KPK). Dugaan Korupsi Beasiswa Pendidikan di Semarang
85
Ibid, h. 215
Keterangan Arifin diadukan pencemaran nama baik oleh terlapor. PN Yogya memvonis 2 bulan penjara. PT DIY menyatakan tidak terbukti bersalah dan membebaskan dari hukuman penjara. Kasasi MA menghukum 2 bulan penjara. (Dugaan korupsi yang melibatkan terlapor tidak pernah diproses kepolisian) Leonita justru diajukan pencemaran nama baik oleh Edy Handoyo (pihak yang juga dilaporkan Leonita) PN Jak-Sel menghentikan perkara karena Surat Dakwaan dari JPU dinyatakan tidak diterima. (Zaenal Agus dibebaskan oleh PN Jak-Sel, karena dakwaan JPU batal demi hukum) Endin diadukan pencemaran nama baik oleh Ny. Marnis Kahar dan Ny. Supraptini Sutarto dan divonis 3 bulan kurungan dengan masa percobaan 6 bulan oleh PN Jak-Pus(24-102001).
2003
Arif rahman anggota DPRD NTT asal Flotim, diadukan pencemaran nama baik oleh Bupati Felik Fernandez, dan oleh PN Larantuka divonis 3 bulan penjara
2004
Roy Suryo pakar multimedia, dilaporkan pencemaran nama baik ke Polda Metro Jaya oleh anggota KPU Chusnul Mariyah (Roy sempat diperiksa polisi tetapi perkaranya tidak jelas hingga saat ini) Ketiga anggota DPRD Kota Solo 1999-2004 terhukum dua setengah tahun penjara kasus korupsi yang dilaporkan Alif Basuki itu menggugat ganti rugi secara perdata Alif Basuki ke PN Surakarta sebesar 3 milliar, Alif dituduh telah mencemarkan nama baik ketiganya., karena sebelumnya membuat pernyataan di media massa bahwa terjadi praktek mafia peradilan dalam perkara korupsi dana APBD yang mengadili 10 anggota DPRD Kota Solo 1999-2004, termasuk ketiga penggugat. Perkembangan terkahir gugatan ini belum jelas. Bupati MAMASA PADA Februari 2006 melaporkan Simo ke Polres Mamasa karena dugaan pencemaran nama baik. Hingga saat ini terlapor sudah beberapa kali menjalani pemeriksaan kasus dugaan pencemaran nama baik. Simon hingga saat ini tidak jelas perkembangannya.
2005
Kendaraan yang ditumpangi oleh anak dari Sugianto (pelapor kasus dugaan Korupsi tersebut) sengaja ditabrak oleh orang yang
118
tidak dikenal hingga masuk ke jurang di Semarang, akibatnya korban sempat dirawat di rumah sakit. 9
61 Pejabat Pemda Temanggung
Dugaan Korupsi yang dilakukan oleh Bupati Temanggung
2005 Januari
10
Lembaga penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) Poso dan Pusat Rekonsiliasi Konflik Poso (PRKP) Kamzul Abar, Aktivis Forum Peduli Nurani Rakyat (FPNR) Sulit Air
Dugaan Korupsi Dana Kemanusiaan pengungsi Poso
2005
Dugaan korupsi yang dilakukan oleh Firdaus Kahar, Wali NAGARI Sulit Air Kabupaten Solok, Sumbar
2006
11
61Pejabat di lingkungan Pemda Kab. Temanggung memilih mundur karena merasa mendapat intimidasi dari Bupati karena kasus dugaan korupsi yang dilakukan. Bupati melarang para pejabat didaerahnya untuk memenuhi panggilan sebagai saksi oleh Kepolisian. (Perkara dugaan korupsi Bupati Temanggung saat ini masih tahap Kasasi MA, di tingkat PN dan PT dinyatakan bersalah) Kantor LPMS dan PRKP di bom oleh orang tidak dikenal. Teror ini diduga karena aktivitas kedua lembaga ini dalam upaya mengungkap korupsi dana kemanusiaan pengungsi Poso
Abrar sempat diculik selama 5 hari (2-7 Juni 2006) oleh sejumlah orang yang tidak dikenal. Penculikan dikaitkan dengan aktivitas Abrar dalam mengungkap kasus korupsi yang dilakukan oleh Wali Nagari Sulit Air, Kabupaten Solok, Sumbar. Pihak kepolisian belum melakukan penyelidikan atas kasus penculikan tersebut.
119
BAB IV KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA PADA MASA MENDATANG (IUS CONSTITUENDUM) 4.1.Konsep Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi Masa Mendatang (Ius Constituendum) 4.1.1. Konsep Pendekatan Pidana Non Penal untuk
mewujudkan
Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi A. Konsep Pendekatan Restoratif (Restorative Justice Approach) Konsep keadilan restoratif
dalam sistem peradilan
pidana di
Indonesia belum dikenal, namun dalam praketeknya konsep ini sudah sering dilakukan oleh penegak hukum dalam perkara-perkara pidana tertentu.
Konsep
pendekatan restorative
justice merupakan
suatu
pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang.86
86
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, 2013, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 82
118
120
Melihat proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatankesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting, karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya
hanya
bermuara
pada
putusan
pemidanaan
atau punishment tanpa melihat esensi.87 Dalam negara kesejahteraan seperti Belanda, kebijakan hukum pidana dan peradilan pidana adalah perlindungan kesehatan masayarakat, kesejahteraan pembagian kekayaan yang seimbang, lebih besar dari pada
87
Jecky Tengens, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-idalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-, diakses pada hari selasa, 21 April 2015, jam 11.42 AM
121
perlindungan terhadap kepentingan perorangan dan kecendrungan untuk menyeimbangkan kedudukan kepentingan negara dan kepentingan publik dan meminimalisasi padangan individualisme, kepentingan tersangka dan menyeimbangkannya
dengan
kepentingan
korban.
Hal
terakhir
mengakibatkan dalam sistem peradilan di Belanda, kepentingan korban merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur atau komponen peradilan pidana yang telah lama diakui (tersangka/terdakwa/terpidana, polisi, penuntut umum, hakim, petugas penjara.88 Sistem peradilan Pidana di Jepang yang bertolak pada paham yang universal
pola
penyelesaian
pidana
dalam
sistem
peran
lebih
mengutamakan kesepakatan atau musyawarah.89 Dasar pemikiran Jepang terhadap hukum tidak bertolak pada paham yang universal melainkan bersandar pada paham yang khusus (particular) karena dengan cara ini Jepang dapat menekan angka kriminalitas menjadi terendah diseluruh dunia. Praktek penegekan hukum di Jepang lebih mengutamakan kesepakatan atau musyawarah di banding dengan penyelesaian melalui litigasi semata-mata, sebagaimana dikemukakan oleh Scherer sebagai berikut: “Even when taken to court, the judge would often send a case back to the litigants ordering them to coma to an argreement”90
88
Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 60 89 J. Djohansjah, 2008, Reformasi Independensi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Jakarta, h. 52 90 Romli Atmasasmita, Op.Cit, h. 113
122
Jaksa Amerika (US Attoney, Countri Attorney, District Attorney dan State Attorney) hampir otonom dalam melaksanakan diskresi (discretionary power) sejak awal penyidikan sampai pada pasca persidangan. Keputusan untuk menuntut ataukah tidak hampir bebas sepenuhnya dari orang-orang atau badan lain. Ia dapat menghentikan penuntutan atau berkompromi atau yang disebut plea baigaining. Terdakwa dapat mengaku bersalah sebelum persidangan dimulai. Jika jaksa setuju maka ia dapat mengurangi dakwaan atau memberi rekomendasi kepada pengadilan agar menjatuhkan pidana yang lebih ringan. Dalam plea bargaining system yang dianut oleh Amerika Serikat, dimungkinkan terjadi negosiasi antara penuntut umum dengan pelaku kejahatan untuk menyepakati hukuman yang akan diterima oleh pelaku kejahatan selama pelaku kejahatan mau bekerjasama dengan baik dan mengakui kejahatannya. Penuntut umum dapat dimungkinkan untuk melakukan penyidikan bahkan dengan plea bargaining penuntut umum berwenang untuk melakukan negosiasi dengan pelaku kejahatan dengan tujuan untuk mempercepat proses penyelesaian perkara. Berdasarkan pada beberapa batasan “plea bargaining” tersebut dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :91
91
Ibid, h. 130
123
1. Bahwa “plea bargaining” ini pada hakekatnya merupakan suatu negosiasi antara pihak penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya; 2. Motivasi negosiasi tersebut yang paling utama ialah untuk mempercepat proses penanganan perkara pidana; 3. Sifat negosiasi harus dilandaskan pada “kesukarelaan” tertuduh untuk mengakui kesalahannya dan kesediaan penuntut umum memberikan ancaman hukuman yang dikehendaki oleh tertuduh atau pembelanya; 4. Keikutsertaan hakim sebagai wasit yang tidak memihak dalam negosiasi dimaksud tidak diperkenankan. Menilik sistem akusator atau “adversarial system” para pihak, terdakwa dan penasehat hukum dan penyidik polisi dan pentuntut umum, memiliki kedudukan sejajar satu sama lain. Para pihak memilki hak yang sama secara optimal untuk mengajukan bantahan dan bukti-bukti yang menguntungkan bagi masing-masing pihak. Tidak ada hakim penyidik (investigating judge) dalam menemukan kebenaran kecuali retorika tentang imparsialitas penuntutan. Sistem “plea bargaining” diperluas untuk menghasilkan kesepakatan mengenai penuntutan dan penghukuman antara penuntut umum dan terdakwa.92
92
Howard Zehr, 1985, Retributive Justice, Restorative Justice, New Perspectives on Crime and Justice: Occasional papers of the MCC Canada Victims Offender Ministeries Program the MCC, U.s. Office of Criminal Justice, Nomor 4, Canada Victim Offender Ministries Program, Ontario, h. 32
124
Doktrin dan praktik hukum di negara Anglo Saxon dikenal sebagai “Plea bargaining System”. Dalam Praktek plea bargaining dilakukan dengan membuat pernyataan bersalah atau dikenal dengan terminologi “guilty plea”, sehingga dengan pernyataan bersalah seorang terdakwa akan mendapat pengurangan hukuman.93 John Sprack menyebutkan lebih lanjut bahwa: “It can mean an agreement between the judge and the accused that if he pleads guilty to some or all of the offences charged against him the sentence will or will not take a certain form…….. Second, plea bargaining can mean an undertaking by the prosecution that if the accused will admit to certain charges they will refrain from putting more serious charge into the indictment or will ask the judge to impose relatively light sentence……. Thirdly, plea bargaining may refer to the prosecution agreeing with the defence that if the accused pleads guilty to a lesser offence they accept the plea…. Lastly, it may refer to the prosecution agreeing not to proceed on one or more counts in the indictment against the accused if he will plead guilty to the remainder” (Terjemahan bebas: hal ini berarti perjanjian antara hakim dengan tersangka atau terdakwa bila melakukan pengakuan bersalah maka sebagian atau seluruh dakwaan maupun tuntutan tidak dilaksanakan.... Kedua, plea bargaining berarti bila tersangka mengakui kesalahan maka penuntut mengurangi dakwaan maupun tuntutan atau meminta hakim untuk menghukum dengan hukuman yang ringan. Ketiga, penuntut akan sependapat dengan pembelaan dan menuntut terhadap suatu kesalahan yang lebih ringan... Terakhir, penuntut setuju untuk tidak menuntut pada satu atau lebih atas kesalahan terdakwa yang ada dalam dakwaan.94 Jika dibandingkan dengan sistem peradilan pidana Indonesia yang menganut “mixed system of criminal justice” (Sistem peradilan Pidana Campuran) dan sistem peradilan pidana yang inkuisator dan akusator satu sama lain, terbukti bahwa sistem peradilan pidana Indonesia dengan 93
Andrew Ashworth, 2000, Sentencing and Criminal Justice, Third Edition, Butterworths, h. 24 94 John Sprack, 2002, Emmins on Criminal Procedur, Ninth Edition, Oxford University, h. 251
125
“mixed system” dari transisi sistem civil law ke arah common law, tidak mampu mencegah dan mengatasi akses negatif dalam praktek sejak berlakunya KUHAP. Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang menganut sistem “mixed system yang telah dimodifikasi, hal mana terwujud dari peran kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, selanjutnya perkara yang disidik tersebut dilimpahkan kepada ke penuntut umum melalui kejaksaan dan oleh penuntut umum dilimpahkan kepada pengadilan untuk mencari bukti materiil dan diakhiri dengan putusan. Sudah saatnya KUHAP membuka pandangannya untuk melakukan perbandingan hukum untuk merubah dirinya, dengan melakukan modifikasi yang relevan sesuai dengan keadilan yang dirasakan oleh masayarakat terutama dalam perlindungan hak asasi manusia terhadap pelaku yang berani mengungkapkan tindak pidana korupsi. UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 dan SEMA Nomor 4 Tahun 2011 belum memadai untuk memberikan perlidungan kepada pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) karena belum ada perangkat hukum acara pidana yang mengandung sinergitas dintara penegak hukum. Melalui
Program
perlindungan
bagi
pelapor
tindak
pidana
(Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) yang tertuang di dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 belum memadai juga sebagai landasan/pijakan hukum bagi aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada
126
pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice
Collaborator).
Ketentuan
lain
yang
diharapkan
dapat
menanggulangi kejahatan korupsi sebagai scandal crime atau serious crime dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 namun belum juga memberikan perlindungan yang memadai bagi pengungkap kasus korupsi. Pada dasarnya, ide Justice Collaborator sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) dimana ditegaskan bahwa, “Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”. (Terjemahan bebas: Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberi kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, memberi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini). Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan bahwa, “Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental principles of its domestic law, of granting
127
immunity from prosecution to a person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”, (Terjemahan bebas: setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsipprinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini). Prinsip-Prinsip hukum yang dikandung dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi tersebut diserahkan kepada negara masingmasing peserta untuk memberikan kekebalan penuntutan bagi orang yang bekerjasama untuk mengungkapkan suatu tindak pidana yang bersifat scandal crime atau serious crime. Untuk mendapatkan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan serta perlindungan hak asasi manusia, hukum harus melakukan perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat. Hukum dalam konteks pembaharuan hukum acara pidana digunakan untuk melakukan perubahan-perubahan mengingat kebutuhan hukum semakin berkembang. Perlunya payung hukum yang kuat untuk melindungi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dengan melakukan modifikasi yang tepat yang sejalan
128
dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi tersebut.95 Untuk dapat menyelesaian penanggulangan tindak pidana korupsi dapat menggunakan model pendekatan restorative juctice yang dimodifikasi dengan
menerapkan
keadilan
yang
memperhatikan keseimbangan masyarakat,
berkeseimbangan
dengan
keseimbangan negara dan
keseimbangan pelaku tindak pidana. Model penyelesaian restorative juctice ini tidak bertentangan dengan budaya musyawarah yang terkandung dalam nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Nilai-nilai musyawarah ini merupakan bagian dari nilai-nilai luhur sebagai dasar negara yaitu Pancasila. Penyelesaian perkara dengan musyawarah sudah tumbuh sejak nenek moyang suku-suku bangsa Indonesia. Budaya musyawarah dan tenggang rasa/tepa selira yang selama ini ditonjolkan dalam masyarakat Indonesia atau merupakan ciri khas yang diunggulkan dibandingkan dengan budaya individualis ternyata sekarang ini cenderung menjadi nilai-nilai yang semu dan artifisial. Oleh karena itu sudah seharusnya budaya musyawarah sangat tepat dimasukan dalam pembaharuan hukum acara pidana. Menurut Mohammad Noor Syam96, bahwa sosial-budaya-struktur bangsa Indonesia itu berpuncak pada asas kerohanian yang dimulai dari
95
M. Arief Amrullah, 2003, Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, CV Bayu Media, Malang, h. 112 96 Mohammad Noor Syam, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya , PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 112
129
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kekeluargaan, musyawarah mufakat dan gotong royong. Kesemuanya secara mendasar tersirat dalam sila-sila pancasila seutuhnya. Intisari ajarannya meliputi asas normatif yang mengajarkan antar-hubungan manusia sebagai pribadi dan subjek moral sekaligus subjek budaya adalah anugerah dan amanat sebagaimana juga adanya keseimbangan antara hak asasi manusia (HAM) dengan kewajiban asasi. Dalam kaitan dengan masalah pemidanaan, maka yang diruntut oleh asas
keseimbangan
ini
adalah
bahwa
pemidanaan
itu
harus
mengakomodasi kepentingan masyarakat, pelaku dan juga korban. Pemidanaan tidak boleh hanya menekankan pada salah satu kepentingan. Atau seperti dikatakan Roeslan Saleh97, pemidanaan tidak bisa hanya memperhatikan
kepentingan-kepentingan
masyarakat
saja,
atau
kepentingan pembuat saja, atau juga hanya memperhatikan perasaan korban dan keluarganya. Pemidanaan dalam perspektif keseimbangan, adalah ketiga-tiganya : kepentingan masyarakat, pelaku, dan korban. Hanya menekankan kepentingan masyarakat, akan memberi sebuah sosok pemidanaan yang menempatkan pelaku hanya sebagai objek belaka. Pada sebelah lain, hanya memperdulikan kepentingan pelakunya, akan memperoleh, sebuah gambaran
pemidanaan
yang
sangat
individualistis
yang
hanya
memperhatikan hak pelaku dan mengabaikan kewajibannya. Sedangkan 97
Ibid, h. 113
130
terlalu menekankan kepentingan korban saja, akan memunculkan sosok pemidanaan yang hanya menjangkau kepentingan yang sangat terbatas, tanpa dapat mengakomodasi kepentingan pelaku dan masyarakat secara umum. Pemidanaan dalam perspektif keseimbangan harus di arahkan sedemikian rupa agar terhukum tidak hanya dilihat sebagai objek, tetapi harus ditempatkan sebagai subjek hukum yang utuh yang mengemban hak dan kewajiban sebagai individu, sebagai orang yang bersalah, dan sebagai warga
negara-bangsa-masyarakat
pandangan
hidup
bangsa
sekaligus.
Indonesia,
yang
Disinilah menurut
titik
tolak
Soediman
Kartohadiprodjo98 adalah keyakinan bahwa manusia itu diciptakan dalam kebersamaan
dengan sesamanya, individu dan kesatuan pergaulan
hidupnya (masyarakat) merupakan suatu kedwitunggalan. Oleh sebab itu adalah unsur hakiki dalam eksistensi manusia. Lilik Mulyadi99, keadilan restoratif yang dikedepankan, yaitu: 1) Bahwa dalam hal penanganan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi relatif tidak dapat diterapkan asas equality before the law dan asas non-impunity karena tindak pidana yang bersifat tindak pidana korupsi terlalu kompleks, multi dimensional dan
98
Ibid Lilik Mulyadi, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, Penelitian Oleh Balitbangkumdil mahkamah Agung RI, Jakarta, h. 174-176 99
131
melintasi batas negara dimana untuk pengungkapannya mutlak memerlukan adanya Whistleblower dan Justice Collaborator sehingga konsekuensi logisnya tidak semua orang harus diperlakuan sama karena ada aspek tertentu yang membedakan orang tersebut dengan orang lain sehingga perbedaan itu membuka ruang dan dimensi seseorang dapat saja tidak dijatuhi pidana asal bertanggung jawab atas perbuatannya dengan melakukan pemulihan keseimbangan seperti keadaan semula (restitutio in integrum) akibat perbuatan yang telah dilakukannya. Tegasnya, dalam hal ini diterapkan asas kesamaan hukum yang adil (equality before the justice); 2) Konsep pendekatan restorative justice berlandaskan pada asas ketidaksamaan sebagai keadilan. Kontribusi yang diberikan oleh Justice Collaborator dalam mengungkap kasus korupsi ini dijadikan dasar yang membedakannya dengan koruptor biasa. Sehingga, kontribusinya ini menjadi dasar untuk menghindarkannya dari pemidanaan; 3) Pengungkapan kasus-kasus yang pelik dengan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice approach) akan memberikan rangsangan, berani mengungkapkan kebenaran, serta perasaan tidak takut sehingga diharapkan nantinya berdampak orang akan berlomba-lomba untuk menjadi seorang Whistleblower dan Justice Collaborator;
132
4) Penjatuhan pidana terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam perkara yang termasuk tindak pidana korupsi pada hakikatnya adalah untuk memanusiakan manusia agar menjadi orang yang baik. Aspek dan dimensi ini pararel dengan eksistensi UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan dimana lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk membuat narapidana menjadi orang yang baik. Filsafat pemidanaan dan penjatuhan pidana di Indonesia bukan berdasarkan filsafat retributif, melainkan filsafat integratif. Oleh karena ini, untuk masa kini hendaknya pendekatan keadilan restoratif yang paling harus dikedepankan Indonesia; dan 5) Konsep pendekatan restorative justice di satu sisi dengan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi di sisi lainnya, kemudian adanya reward dan sekaligus melekat tanggung jawab bagi Whistleblower
dan
Justice
Collaborator
diharapkan
dapat
mengungkapkan secara signifikan terhadap perkara yang berdimensi tindak pidana korupsi. Dalam dimensi ini, memang diperlukan perlindungan khusus bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Mengapa demikian, tiada lain karena para Whistleblower dan Justice Collaborator tidak akan berani memberikan keterangan apa yang dilihat dan dialami karena ancaman tekanan dan intimidasi bahkan terancam keselamatan jiwanya, sementara itu tindak pidana korupsi tersebut menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas
133
ekonomi, perdagangan, ancaman dan ketertiban masyarakat, sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Pada dasarnya, konsep pendekatan keadilan restoratif (restorative justice approach) membangun dimensi agar seseorang berani untuk menjadi seorang Whistleblower dan Justice Collaborator dalam perkara yang termasuk tindak pidana korupsi. Keputusan dan pendirian seseorang akan menjadi seorang Whistleblower dan Justice Collaborator perlu diapresiasi dengan baik sehingga membangun kesadaran dan polarisasi berfikir bahwa keputusan tersebut akan sangat berguna dan mempunyai jasa dalam rangka mengungkapkan perkara tindak pidana korupsi. Konsekuensi logisnya, penjatuhan pidana yang akan dijatuhkan hakim kepada seorang
Whistleblower dan Justice Collaborator mempunyai
dimensi keadilan. Pemidanaan yang berdimensi keadilan di satu sisi, pararel dengan pengungkapan kasus yang bersifat tindak pidana korupsi di sisi lainnya, membawa pemidanaan seseorang sesuai asas pemasyarakatan, memanusiakan narapidana atau pelaku tindak pidana (offender) menjadi manusia yang baik. Dalam konteks penyelesaian kasus korupsi apabila terdapat saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) yang bukan sebagai pelaku utama dan ingin membantu pihak penyidik, penuntut umum dan pengadilan apalagi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dapat mengembalikan aset-aset dari hasil korupsi maka dapat diselesaikan
134
dengan menggunakan konsep restorative justice seperti yang dilakukan oleh Negara-Negara Amerika, Jepang, Pilipina dan negara-negara lainnya. Dengan demikian orang yang
bertindak
sebagai pelaku yang
bekerjasama (Justice Collaborator) dalam membongkar suatu kasus korupsi dan bersedia mengembalikan aset-aset yang telah di korupsi yang menyatakan bahwa ia telah bersalah perlu mendapatkan apresiasi berupa pengurangan hukuman yang signifikan dan bila perlu menurut penulis tidak perlu dihukum dengan hukuman penjara. Disamping itu pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator) hak asasinya harus dilindungi dari acaman dan keselamatan jiwa serta keluarganya. Pendekatan
model
keadilan
restoratif
(restorative
justice
approach) ini dapat diterapkan terhadap perkara saudara Vencentius Amin Sutanto, Agus Condro Prayitno dan Kossasih Abbas, akan tetapi ternyata terhadap kasus Agus Condro hanya mendapatkan keringanan hukuman dibanding terdakwa lain, sedangkan Vencentius Amin Sutanto, Kossasih Abbas sama sekali tidak mendapatkan keringanan hukuman karena tuntutan jaksa dengan pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim sama. Terhadap penyelesaian kasus tersebut solusi yang ditawarkan melalui pendekatan restorative justice baik penyidik maupun penuntut umum dapat melakukan bargaining dengan tersangka/terdakwa yang bertindak sebagai Justice Collaborator asalkan ke saksiannya dapat membongkar
kasus
korupsi
yang
di
lakukannya
dan
mengembalikan aset yang telah di korupsi bersama kelompoknya.
bersedia
135
Menurut konteks diatas kebijakan pidana (penal policy) menurut Ancel, sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana” Konkretnya, menurut Jeremy Bentham, janganlah hukum pidana dikenakan/digunakan apabila groundless, needless, unprofitable or inefficacious. Demikian pula Packer pernah mengingatkan bahwa penggunaan
sanksi
pidana
bulu/menyamaratakan
secara
sembarangan/tidak
pandang
dan digunakan secara paksa (coercively) akan
menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu “pengancam yang utama” (prime
theatener).
Karena
keterbatasan
penal,
maka
dalam
penanggulangan kejahatan (politik kriminal) hendaknya dimanfaatkan dua kebijakan
yaitu kebijakan penal dengan menggunakan sanksi pidana
(termasuk bidang politik hukum pidana)
dan kebijakan non penal
(termasuk menggunakan sanksi administrasi, sanksi perdata dan lainnya. Kedua kebijakan itu dilakukan melalui pendekatan terpadu (integrated approach) antara politik, kriminal dan sosial serta keterpaduan (integritas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan non penal.100 Kebijakan
pidana
dalam
perlindungan
hukum
terhadap
kerjasama pelaku (Justice Collaborator) di Indonesia saat ini belum ada. Hal ini dapat dilihat dari segi: pertama, kenyataan yang menunjukkan bahwa para Justice Collaborator seperti saudara Agus Condro Prayitno, 100
Lilik Mulyadi, 2006, Pergeseran Perspektif Praktek Dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan, Majalah Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun ke XXI No.246, Jakarta, h. 13-14
136
Vincent dan Kosasih Abbas turut dijadikan tersangka atas kasus korupsi yang dilaporkannya ; Kedua, Ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama; dan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama di dalam perkara tindak pidana tertentu yang tidak menghapuskan pemidanaan bagi Justice Collaborator, namun mendapatkan keringanan hukuman dan setelah menjalankan hukuman di lembaga pemasyarakatan akan diperlakukan secara istimewa dan dapat dilakukan pembebasannya dipercepat, maka dengan demikian maka komponen sistem peradilan pidana masing-masing instansi berjalan dengan baik, tidak seperti selama ini terkesan masing-masing jalan sendiri sehingga yang dirugikan adalah tersangka/terdakwa/terpidana sebagai Justice Collaborator. Kontribusi saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dalam mengungkap kasus korupsi membedakannya dengan koruptor biasa sehingga menjadi dasar untuk menghindarkannya dari pemidanaan. Penghapusan tuntutan terhadap pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator)
akan
menyebabkan
koruptor
berlomba-lomba
mengungkapkan kasus korupsi yang dilakukannya. Sehingga, kasus korupsi akan terbongkar secara masif dan signifikan.
137
Oleh karena itu dengan adanya konsep restorative justice dalam kaitannya dengan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collobarotor) kedepan Yutirsa Yunus101 mengharapkan : 1. Menghapuskan tuntutan pemidanaan atas kasus korupsi yang dilaporkan oleh Justice Collaborator sebagai wujud implementasi konsep restorative justice; 2. Membentuk peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan hukum bagi Justice Collaborator; 3. Membentuk dan meningkatkan kerja sama antara aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan hukum kolaboratif dan komprehensif bagi Justice Collaborator; 4. Memperluas kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi Justice Collaborator; 5. Membentuk
mekanisme
pelaporan
Whistleblower
di
institusi
pemerintah maupun swasta untuk menjaring laporan dari para Justice Collaborator; 6. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai perlindungan hukum bagi Justice Collaborator; 7. Melibatkan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengawasi tindak lanjut atas laporan yang disampaikan oleh Justice Collaborator. 101
Yutirsa Yunus, 2013, Rekomendasi Kebijakan Perlindungan Hukum Justice Callaborator: Solusi Akselerasi Pelaporan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Konferensi Kebijakan Perencanaan Pembangunan Nasional, Paper, h. 22
138
Menurut Bagir Manan102 bahwa terlepas dari aspek-aspek positif “restorative justice” sebagai upaya “menambal” berbagai kekurangan atau kegagalan penegakan hukum pidana perlu ditambahkan beberapa catatan. Pertama, “restorative justice” hanya dapat dijalankan
pada
pelaku yang mengakui atau diketahui pasti sebagai pelaku. Bagi pelaku yang
tidak
mengakui
perbuatannya
sulit
sekali
membayangkan,
menjalankan cara dan prinsip “restorative justice”, karena “restorative justice” membutuhkan partisipasi pelaku. Kalaupun dapat dilakukan harus terlebih dahulu dibuktikan bahwa yang bersangkutan adalah pelaku. Kalau pembuktian didapat atas putusan hakim, apakah masih dapat ditempuh cara dan prinsip “restorative justice”. Bukankah putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde) harus dijalankan, kecuali karena keadaan tertentu, seperti pelaku meninggal dunia (setelah putusan diucapkan), Kedua, sejauh mana “restorative justice” dapat dijalankan untuk perkara-perkara besar (capital crime), seperti menghilangkan nyawa orang lain, korupsi, pelanggaran HAM berat, atau kejahatan serius lainnya. Pada bagian lain Lilik Mulyadi103 yang berkaitan dengan pengembalian aset ini menyatakan bahwa tindakan restorative yang salah satunya adalah pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi berupa
102
Bagir Manan, 2006, Restorative Justice (Suatu Perkenalan), Majalah Varia Peradilan Tahun XX No. 247, Jakarta, h. 16 103 Lilik Mulyadi, 2012, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus Indonesia Dalam Teori dan Praktik, PT Alumni, Bandung, h. 358-359
139
tindakan hukum pidana, gugatan perdata berupa Perampasan In Rem yaitu tindakan negara mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih kuat bahwa aset tersebut diduga berasal dari tindak pidana mapun kerjasama internasional dalam bantuan timbal balik masalah pidana (mutual assistance ini criminal matters) antara negara korban korupsi atau negara asal (country of origin) dan negara penyimpan aset korupsi atau negara ketempatan (custodial state). Kerugian masyarakat dan negara sebagai akibat dari perbuatan korupsi Justice Collaborator sangatlah besar. Namun bila menggunakan perspektif ke depan (forward looking), maka kerugian ini dapat diatasi oleh kelebihan dari adanya pembebasan bagi Justice Collaborator. Dimana pembebasan tersebut akan (1) mendorong terungkapnya kasus korupsi dalam jumlah masif; dan (2) membuat masyarakat takut untuk melakukan korupsi. Sehingga, kerugian materil dan sosial negara dapat dikompensasi melalui keuntungan materil dan sosial yang akan ditimbulkan oleh Justice Collaborator; Korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), justru harus diatasi dengan cara luar biasa pula.104 Cara konvensional yang menekankan pemidanaan sebagai pembalasan (retributive) terbukti tidak mampu menurunkan angka korupsi. Sehingga dibutuhkan cara luar biasa
104
Bagir Manan, 2005, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH UII Press, Yogyakarta, h. 35
140
yang menekankan pada pemulihan (restorative) yaitu hukuman restoratif yang memberikan tanggung jawab kepada Justice Collaborator untuk memulihkan kerugian negara melalui: (1) pengembalian uang negara yang dikorupsinya; dan (2) bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam membongkar kasus korupsi yang dilaporkannya. Hukuman restoratif ini merupakan ganti dari hukuman penjara. Dalam hal ini Justice Collaborator dianggap sudah dihukum melalui hukuman restoratif sehingga Justice Collaborator dapat dibebaskan dari pemidanaan. Prinsip non-impunity yang diterapkan dalam hukum pidana konvensional menyatakan bahwa Justice Collaborator tidak dapat dibebaskan. Namun, prinsip ini sebenarnya dapat dikesampingkan oleh konsep restorative justice ini karena konsep ini sebagai konsep baru dalam hukum pidana yang lebih mengutamakan pemulihan kerugian ketimbang menghukum saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator).105 Berdasarkan pemikiran di atas pembebasan dapat diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dengan syarat bahwa Justice Collaborator harus mengembalikan uang negara yang telah dikorupsi. Pembebasan bagi saksi pelaku yang berkerja sama (Justice Collaborator) ini dapat dimungkinkan karena menurut konsep restorative justice yang menganggap bahwa sistem pemidanaan dan pemenjaraan tidak relevan untuk diterapkan terhadap hal-hal tertentu. Restorative
105
Tolib Effendi, Op.Cit, h. 101
141
justice dan saksi pelaku yang berkerja sama (Justice Collaborator) sebagai dua hal yang baru muncul pada abad ke-20 harus dipandang sebagai suatu perkembangan yang harus diterapkan satu sama lain mengingat sistem hukum pidana konvensional yang berorientasi pada pembalasan sudah tidak lagi relevan diterapkan terhadap saksi pelaku yang berkerja sama (Justice Collaborator).106
B. Konsep
Protection of Cooperating Person (Perlindungan
Terhadap Orang Yang Bekerjasama) Konsep Protection of Cooperating Person ini mirip dengan penyampingan perkara dengan alasan untuk kentingan umum (asas oportunitas). Dalam sistem peradilan Pidana di Indonesia versi KUHAP tidak mengenal penyelesaian perkara pidana seperti di Jepang dan di Belanda maupun Amerika yang dapat diselesaikan mengutamakan kesepakatan atau musyawarah. Di Indonesia mengenal penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan
hanya
dengan cara penyampingan
perkara (asas oportunitas) sepenuhnya dilaksanakan oleh penuntut umum yang diberikan diskresi untuk melakukan penghentian penuntutan (deponering,
seponeering),
sedangkan
kewenangan
penghentian
penuntutan ini ada pada Jaksa Agung demi kepentingan umum.107
106
Yutirsa Yunus, Op.Cit., h. 21 Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “ kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya 107
142
Penghentian perkara pidana dapat dilakukan melalui penyidik dengan SP3 (Surat Penetapan Penghentian Penyidikan)
dan pentutut
umum dengan SKP2 (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan). Penetapan SP3 dan SKP2 sepenuhnya merupakan kewenangan penyidik dan penuntut umum sesui dengan alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 109 ayat (2)108 dan Pasal 140 yata (2)109 KUHAP. Rambu-rambu penerapan asas oportunitas di dunia adalah : a. Trevial case (perkara ringan); b. Old age (terdakwa sudah tua) c. Damage has been settled (kerugian sudah diganti)110 Dalam sistem peradilan Pidana di Belanda (sitem hukum civil law), polisi dan penuntut umum memiliki wewenang setiap saat untuk menghentikan perkara dengan alasan kepentingan umum. Pola ini berujung pada penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement)
dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. 108 Pasal 109 ayat (2) berbunyi : Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak dapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. 109 Pasal 140 ayat (2) berbunyi : a. Dalam penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam suarat ketetapan. b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib ia segera dibebaskan. c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasitahat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru , penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. 110 Andi Hamzah, 2006, Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Acara Pidana, Perbandingan Dengan Beberapa Negara, Universitas Trisakti, Jakarta, h. 38
143
dengan syarat atau tidak dengan syarat (condicionally transactie or uncondicionally transactie). Menurut
Andi
Hamzah,
Belanda
yang
menganut
Asas
Oportunitas, dalam suatu laporan tahunan 1980 Ministerie van Justitie (Kejaksaan) disebutkan bahwa lebih dari 50 %
perkara disana tidak
diteruskan oleh Kejaksaan kepengadilan. Dari jumlah itu, 90 % karena alasan teknis (umumnya karena tidak cukup bukti). Secara karegori ada 3 kategori penyampingan perkara di Belanda, yaitu : a. Perkara dikesampingkan karena alasan kebijakan (policy), yang meliputi perkara ringan, umur terdakwa sudah lanjut (tua) dan kerusakan telah diperbaiki/kerugian sudah diganti; b. Karena alasan teknis (tidak cukup bukti, lewat waktu dan lain-lain); c. Karena perkara digabung dengan perkara lain.111 Penyampingan perkara merupakan hak Jaksa Agung sehingga prosedurnya memakan waktu yang lama, disamping itu KPK dan Kepolisian tidak diberikan wewenang
menyampingkan suatu perkara
dalam kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator). Konsep ini pernah diterapkan terhadap kasus Khairiansyah Salman yang bersangkutan melaporkan dan berkoordinasi dengan KPK untuk mengungkap dan menangkap tangan aksi penyuapan yang dilakukan oleh Mulyana Wira Kusumah selaku Ketua Panitia Pengadaan kotak suara 111
Ibid, h. 38
144
untuk Pemilu tahun 2004. Khairiansyah Salman tidak menjalankan hukuman atas perkara yang dilaporkan kepada KPK tersebut, akan tetapi diposisikan sebagai saksi. Memberikan perlindungan kepada koruptor yang ingin memberikan kesaksian dan bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu perkara korupsi sesungguhnya mendekati arah konsep United Nation Convention Against Corruption tahun 2003, sebagai salah satu sumber hukum yang memberikan justifikasi atas perlindungan hukum yang mengikat beberapa negara termasuk Indonesia dalam Pasal 37 ayat 2 tentang Protection of Cooperating Person. Salah satu perlindungan terhadap orang-orang yang bekerjasama dengan penegak hukum diberikan kekebalan dari penuntutan (imunity from Prosecution) dan pengurangan hukuman (migiting of punishment), dengan memperhatikan asas-asas hukum nasional negara peserta. Negara-negara yang telah memodernisasi sistem hukumnya memberikan batasan model terhadap Anglo Saxon dan Eropa Kontinental, selain model eks sosialis yang mulai tertinggal. Begitu pula dalam penuntutan
dalam perkara pidana. Namun demikian, pengaruh kedua
model ini sangat mempengaruhi kehidupan sistem peradilan masingmasing negara. Indonesia sebagai pengaruh korkondansi Belanda ternyata memiliki sistem penuntutan yang berbeda dengan negara-negara tetangganya. Pengaruh sistem negara Malaysia, Singapura dan Australia lebih ditetapkan sebagai konsepsi Anglo Saxon, dan sebaliknya pengaruh
145
Belanda dengan sistem Eropa Kontinental memberikan dasar konsepsi yang dominan. Konsepsi Anglo Saxon mempengaruhi KUHAP manakala Jaksa di kesampingkan dari kewenangan penyidikan, tetapi beberapa negara dari United Kingdom of Great Britain justru mengarah kepada sistem Eropa Kontinental karena memberikan suatu kewenangan penuntutan kepada Jaksa dinamakan Crown Prosecutor Services (CPS) yang sebelum tahun 1986 (Inggris) kewenangan melakukan penuntutan dilakukan oleh Kepolisian. Pada umumnya dengan 2 sistem dan model tersebut diatas memiliki pengaruh dengan konsepsi penuntutan, yaitu model yang mengakui : (1) Asas Oportunitas, yaitu suatu beleid dari penuntut umum yang memperbolehkan memutuskan untuk menuntut atau tidak menuntut, baik dengan syarat maupun tidak dengan syarat (Belanda, Norwegia, Inggris dan negara-negara dengan Anglo Saxon, seperti Australia). Kebebasan yang independent inilah yang menetapkan penuntut umum di Belanda sebagai judge (memilki kewenangan setengah hakim). Di lain sisi dikenal : (2) Asas Legalitas (dalam penuntutan, seperti Jerman, Austria, Spanyol), artinya penuntut umum tidak memiliki kewenangan untuk mengesampingkan
suatu perkara, karena penganutan
mengharuskan suatu perkara
asas ini tetap
untuk dilimpahkan ke pengadilan, tanpa
memilki suatu sikap eksepsionalitas. Model Protection of Cooperating Person dalam suatu proses peradilan pidana, yaitu ide tentang perlindungan hukum bagi para koruptor
146
yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam kaitannya dengan pengembalian uang Negara, yaitu mengembalikan uang negara yang berpotensi akan raib bila proses peradilan berkelanjutan dibandingkan dengan sikap kooperatif pelaku mengembalikan uang negara tanpa proses peradilan. Kita harus akui bahwa model Protection of Cooperating Person memang ada kesan akan menimbulkan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) karena ada “kolaborasi”, karena adanya pertemuan antara penegak hukum dengan pelanggar hukum. Kriteria atau acuan itu dalam penerapan konsep ini, misalnya dilakukan dalam hal peranan tersangka atau terdakwa tersebut tidak begitu penting dalam suatu tindak pidana, tersangka atau terdakwa mengakui terus terang perbuatannya atau menceritakan kronologis perbuatan pidana dan siapa saja pelaku yang terlibat, atau tersangka atau terdakwa mengembalikan uang kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi. Terhadap perkara pidana saudara Kosasih Abass, Agus Condro yang telah membuka kasus korupsi dan bersedia bekerjasama yang menceritakan siapa saja teman pelaku dalam melakukan tindak pidana korupsi serta bersedia mengembalikan aset yang telah dikorupsi menurut penulis sesungguhnya dapat diterapkan model Protection of Cooperating Person ini. Pelaku kejahatan korupsi itu dapat berasal dari individu yang memiliki intelektual dan memiliki strata sosial yang tinggi di masyarakat, pejabat publik, badan hukum bahkan mafia yang paling ditakuti dan
147
dihormati di masyarakat. Korupsi yang kita mengenal dengan istilah white collar crime (kejahatan kerah putih) saat ini sudah sedemikian rapi dan terorganisir dalam melakukan perbuatannya, bahkan akibat perkembangan kejahatan itu, kejahatan korporasi dan kejahatan dilakukan secara terorganisir (berjamaah). Kejahatan korupsi yang terorganisir dengan modus operandi yang cukup
canggih
tentunya
hanya
diketahui
oleh
orang
dalam
mengungkapkan fakta perbuatan pidana dimaksud di persidangan atau kepada publik ketika proses hukum terjadi, mengungkap dan membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi tidaklah mudah karena kecerdikan dan keahlian pelaku dalam memutarbalikkan fakta dengan menghilangkan dokumen (surat-surat) sebagai barang bukti seolah-olah tidak terjadi tindak pidana yang dilakukannya. Saat ini terdapat perubahan politik hukum pidana dalam pemberantasan korupsi sejak berlakunya Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001, perbuatan suap dalam KUHP telah kehilangan arti dan maknanya sebagai tindak pidana umum, melainkan harus diperhatikan sebagai tindak pidana khusus. Perbuatan suap harus diartikan sebagai mata rantai dari suatu tindak pidana korupsi atau dengan kata lain perbuatan suap adalah embrio dari korupsi sehingga suap dan korupsi merupakan kembar, yaitu perbuatan yang serupa tetapi tidak sama karena dengan suap maka penerima suap sudah barang tentu akan memberi imbalan untuk
148
melakukan sesuatu di luar tugas dan wewenang yang diberikan undangundang kepadanya atau sama sekali tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan kewajiban yang dibebankan undang-undang kepada yang bersangkutan.112 Harus di akui bahwa tugas penyidik atau penuntut umum dalam suatu tindak pidana sangat sulit untuk mengumpulkan alat bukti berupa saksi yang melihat sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana dimana para pelaku melakukan perbuatannya dengan rapi dan terorganisir, maka bagi penyidik atau penuntut umum dapat membuka peluang sebesar-besarnya kepada saksi yang mau bekerjasama membongkar kasus korupsi dan memberikan perlindungan. Keberhasilan membuka tabir kejahatan yang sistemik dan terorganisir tidaklah ditandai dengan pengajuan satu atau dua pelaku dihadapan proses peradilan pidana, peran membuka tabir kejahatan sebagai suatu balanced of bargaining terhadap pelaku tersebut yang akan diberikan suatu reward berupa perlindungan hukum. Oleh karena itu menurut penulis memasukkan kedalam penjara terhadap seseorang yang telah mengakui perbuatannya dan mau bekerjasama untuk mengungkapkan suatu kejahatan korupsi bukan satu-satunya solusi dalam proses penegakan hukum, sebab tujuan pemidanaan adalah untuk memberikan efek jera kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana. Efek jera tidak harus dengan hukuman badan atau berupa balas dendam sehingga orang 112
Romli Atmasasmita, Op.Cit., h. 57-58
149
harus dimasukan di dalam penjara, tetapi dengan telah membuka kasus dan mau bekerjasama serta mengembalikan aset negara
yang telah
dikorupsi sesungguhnya ketika itu sudah memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan korupsi tersebut. Sebab ketika orang sudah dimasukan dalam penjara tentu merupakan beban dan tanggung jawab negara selama orang tersebut didalam penjara dan tidak menutup kemungkinan setelah orang tersebut keluar dari penjara bukan bertambah baik bahkan juga malahan akan bertambah jahat, karena didalam penjara bergaul dengan penjahat-penjahat yang lainnya. Dengan demikian dengan tidak memasukan orang yang telah bekerjasama dalam membuka kasus (Justice Collaborator) apalagi telah mengembalikan aset-aset yang telah dikorupsi sudah menerapkan model yang ditawarkan oleh Muladi sebagai model keseimbangan “daad-dader strafrecht” antara negara, tersangka/terdakwa dan korban. Oleh karena itu modifikasi perlindungan
pembaharuan
KUHAP
sudah
saatnya
memikirkan
hak asasi saksi pelaku yang bekerjasama (Justice
Collaborator), korban, tersangka dan hak terdakwa yang bertolak pada model keseimbangan. Putusan hakim dengan pedoman pemidanaan juga bertitik tolak kepada aspek tujuan pemidanaan yang bertolak pada model sistem peradilan pidana yang mengacu pada “daad-dader strafrecht” yaitu model keseimbangan kepentingan, hal ini telah memenuhi kepentingan negara, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan
150
korban
kejahatan.
Tegasnya
bertitik
tolak
pada
keseimbangan
monodualistik antara “perlindungan masyarakat” yang mengacu pada “asas legalitas” dan perlindungan individu yang bertitik tolak pada “asas culpabilitas”. Pada pokoknya terhadap “perlindungan masyarakat”, maka termaktub adanya ide individualisasi pidana yang memiliki beberapa karateristik
berupa:
pertanggungjawaban
(pidana)
bersifat
pribadi/perorangan (asas personal) dan pidana harus disesuaikan dengan karateristik
dan
kondisi
si
pelaku,
ini
berarti
harus
ada
kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.113 Konsepsi dan aplikasi pemidanaan dan hukum berorientasi pada keadilan. Menurut Aristoteles dan the ethics of Aristoteles maka pada dasarnya ada 2 (dua) teori tentang keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif/komutatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan bagian kepada setiap orang menurut jasanya, dan pembagian mana tidak didasarkan bagian yang sama akan tetapi atas keseimbangan. Sedangkan keadilan korektif/komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa seseorang. Selanjutnya Weber menyatakan bahwa rasionalitas substantif hukum dimaksudkan bila keputusan-keputusan hukum berlandaskan pada 113
Lilik Mulyadi, Op.Cit., h. 528
151
asas-asas umum yang diambil dari luar sistem hukum itu sendiri. Ciri pokoknya adalah hukum tidak lagi sewenang-wenang, namun berdasarkan keadilan substantif dan expendiency (manfaat) politik. Terbentuknya hukum baru adalah bagaimana hukum dipengaruhi
oleh kepentingan-
kepentingan, baik material, ideal, dan cara berpikir kelas sosial serta kelompok-kelompok ahli hukum.114
4.2.2 Penjatuhan Hukuman Pidana dengan Pidana Bersyarat Khusus Penjatuhan pidana dengan pidana bersyarat ini dapat dilakukan oleh hakim apabila terdakwa sejak dari awal sudah menunjukkan keinginannya untuk bekerja sama dengan penyidik dan mau mengakui perbuatan korupsi yang dilakukannya, namun demikian bukan sebagai pelaku utama dalam perbuatan korupsi tersebut. Berdasarkan keterangan saksi yang ingin bekerja sama ini baik penyidik maupun penuntut umum telah menemukan bukti-buti yang signifikan sehingga dapat membongkar pelaku-pelaku korupsi lainnya. Tentu saja saksi pelaku yang ingin bekerjasama ini mempunyai peran yang sangat besar apalagi aset-aset yang berada padanya sebagai hasil korupsi dikembalikan untuk negara. Pelaku
tindak
pidana
mau
bekerja
sama
sebagai
Justice
Collaborator, Yutirsa Yunus menyatakan dapat diputus secara integratif bahwa dalam hal pengadilan memutuskan bahwa tindak pidana korupsi yang dilaporkan oleh Justice Collaborator terbukti, maka putusan 114
Satjipto Raharjo, 2009, Hukum Progressif: Sebuah Sketsa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 27
152
pengadilan tersebut harus berisi dua hal, yakni: (1) pemidanaan bagi terdakwa tindak pidana korupsi; dan (2) pembebasan bersyarat Justice Collaborator. Dalam hal ini, Justice Collaborator dibebaskan dari tindak pidana korupsi yang di laporkannya dengan syarat harus mengembalikan semua uang/aset negara yang telah dikorupsinya. Pembebasan bersyarat bagi Justice Collaborator baru dapat diberikan setelah terlebih dahulu melalui proses persidangan di pengadilan. Dimana pembebasan bersyarat bagi Justice Collaborator ini dilakukan secara integratif, artinya pembebasan bersyarat tersebut diintegrasikan ke dalam putusan pengadilan yang memidana terdakwa atas tindak pidana korupsi. Adapun putusan pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah putusan yang bersifat inkracht van gewijsde. Yaitu putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan tetap dan tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum terhadapnya.115 Menurut SEMA No. 4 Tahun 2011 pada angka 9 huruf c. bagian i, bahwa terhadap pelaku yang bekerjasama saja (Justice Collaborator) ini atas jasa-jasanya oleh hakim diberi kompensasi dapat di jatuhkan dengan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau menjatuhkan pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam
115
Yutirsa Yunus, Op.Cit., h. 19-20
153
perkara tersebut. Dalam pemberian perlakuan khusus berupa keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan keadilan masyarakat.116 Penjatuhan pidana dengan bersyarat ini sejalan dengan ketentuan Pasal 14 a ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi : Apabila dijatuhkan penjara yang selama-lamanya satu tahun dan apabila dijatuhkan dengan pidana kurungan yang didalamnya tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda, maka hakim boleh memerintahkan bahwa pidana itu tak akan dijalankan, kecuali jikalau kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim yaitu karena orang yang dipidana itu melakukan perbuatan yang boleh dipidana sebelum masa percobaan yang akan ditentukan dalam perintah pertama itu berakhir atau dalam masa percobaan itu ia tidak mencukupi suatu syarat yang khusus yang sekirannya diadakan dalam perintah itu. Dalam KUHP dan penjelasannya R. Sugandi117 menyatakan bahwa pada pokoknya hukuman itu dijatuhkan, tetapi si terhukum tidak usah menjalani hukum tersebut, kecuali jika ternyata dikemudian hari siter hukum belum habis masa percobaan melakukan tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian yang diadakan dengan hakim, maka ia harus menjalani keputusan itu. Jelasnya bila seorang diberi hukuman percobaan 6 bulan, kemudian sebelum 6 bulan melakukan tindak pidana lagi, maka hukuman percobaan itu segera dicabut dan orang itu segera masuk penjara. Maksud dari vonis hukuman percobaan itu untuk memberi kesempatan kepada terhukum supaya dalam masa percobaan itu ia dapat memperbaiki diri dan tidak melakukan
116
tindak pidana atau melanggar perjanjian
yang telah
Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral, & Keadilan., Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 34 117 R. Sugandi, 2001, KUHP Dan Penjelesannya, Usaha Nasional, Surabaya, h. 19
154
diadakan, dengan harapan apabila berhasil, hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya itu tidak usah dijalankan untuk selama-lamanya. Harus diakui bahwa ketentuan
Pasal 14 a ayat (1) ini masa
percobaan hanya dapat dijatuhkan selama-lamanya satu tahun dan apakah boleh hakim menjatuhkan pidana percobaan diatas satu tahun, hal ini hakim dapat saja melakukan itu dengan berani melakukan suatu terobosan hukum dengan
menggunakan
berbagai
penafsiran
hukum
dengan
mengesampingkan asas legalitas karena hakim telah diberikan kekuasaan untuk memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya wajib memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tantang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim wajib menggali mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Bahwasanya hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka hakim disini wajib melakukan penghalusan hukum, melakukan konstruksi hukum, menafsirkan hukum yang telah ada dan bahkan wajib menciptakan hukum,
melakukan
penemuan hukum sehingga tidak ada alasan bagi
hakim bahwa perkara yang tengah diadili itu tidak ada hukumnya atau belum ada peraturan yang mengaturnya. Hubungan penemuan hukum ini Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa Pengadilan dilarang menolak
155
untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang dijatuhkan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan demikian terhadap hukuman bersyarat yang akan dijatuhkan hakim kepada terdakwa dimana terdakwa telah memberikan bantuan yang besar atas dibongkarnya
perkara
yang
tengah diadili maka hakim harus berani melakukan terobosan hukum dalam mengadili suatu perkara apabila menurut keyakinannya sesuai dengan keadilan yang diharapkan oleh masyarakat. Hakim selain harus memiliki kemampuan intelektualitas yang memadai, moralitas dan integritas serta pemihakan kepada nilai kebenaran, kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, maka hakim juga harus memiliki keberanian untuk keluar dari belenggu norma hukum statis dalam bentuk undang-undang, jika materi muatan undang-undang tersebut justru dapat menjadi penghalang keadilan
dan
penghambat hak asasi manusia.118 Konteks hukuman bersyarat ini tentu saja dalam dakwaan dan tuntutan penuntut umum harus dinyatakan bahwa terdakwa merupakan pelaku yang berkerjasama (Justice Collaborator) selanjutnya hakim akan mempertimbangkan untuk menjatuhkan hukuman bersyarat. Hakekat penjatuhan dengan hukuman bersyarat ini sudah sejalan ketentuan Pasal 37 ayat (2) UNCAC/Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang berbunyi, “Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate
118
Zainal Arifin Hoesein, 2013, Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Imperium, Yogyakarta, h. 174
156
cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”. (Terjemahan bebas: Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberi kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, memberi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan
kerjasama
yang substansial
dalam
penyelidikan
atau
penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini). Dalam sistem hukum common law, kaidah hukum didasarkan pada putusan hakim yang disertai dengan prinsip precedent, dan menempatkan hukum yang hidup (living law) menjadi rujukan dalam perumusan hukumnya. Sistem hukum ini, hak merupakan nilai yang lebih penting dari pada kewajiban, persamaan lebih penting dari pada pengawasan dan tanggung jawab lebih penting dari pada paternalisme.119 Tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault principle) merupakan prinsip yang lebih dominan dibandingkan dengan tanggung jawab mutlak (strict liability) yang dicerminkan pada pendekatan perlindungan terhadap nilai-ilai individualistik dan kebebasan. Oleh karena itu, dalam paham sistem common law, baik warga negara maupun para pejabat negara memiliki persamaan dihadapan hukum. Konsekuensi lebih lanjut adalah dalam
hal
pembentukan
hukum,
hakim
merupakan
figur
sentral
pembentukan hukum, sehingga badan peradilan ditempatkan sebagai
119
h. 57
Sidik Sunaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang,
157
lembaga perlindungan terhadap hak-hak individual sebagai bagian dari hak asasi manusia.120 Sejalan dengan penegasan Pasal 24 UUD 1945, bahwa peradilan yang dapat melakukan fungsi sebagai lembaga penegak hukum maupun fungsi penemuan hukum (rechts vinding), dan bahkan menciptakan hukum dalam kerangka penegakan hak asasi manusia, adalah peradilan yang dapat menjalankan kekuasaanya secara bebas, mandiri dan terlepas dari intervensi kekuasaan negara lainnya (independence of judiciary). Terhadap penjatuhan pidana dengan hukuman bersyarat tersebut telah dilakukan oleh Mahkamah Agung RI melalui Putusan Nomor 920K/Pid.Sus/2013 terhadap terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi dengan ratio decidendi Putusan Mahkamah Agung tersebut membenarkan alasan kasasi terdakwa sebagai Justice Collaborator kemudian Mahkamah Agung membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi, mengadili sendiri dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 1 (satu) tahun dengan ketentuan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jikalau dikemudian hari terdakwa melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan selama 2 (dua) tahun berakhir. Putusan Mahkamah Agung ini menerobos ketentuan pidana minimal selama 5 (lima) tahun sesuai ketentuan Pasal 114 ayat (1) UU 35 Tahun 2009 yang didakwakan kepada terdakwa.121 dan atas putusan ini
120
Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia. Alumni, Bandung, h. 97 121 Lilik Mulyadi, Op.Cit., h. 186
158
hakim telah melakukan keberanian untuk keluar dari belenggu norma hukum tertulis. Mahkamah Agung telah menerapkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2011 dan hakim Mahkamah Agung telah melakukan penafsiran hukum dengan cara melakukan terobosan hukum terhadap pasal 14 a ayat (1) KUHP dan Pasal 114 ayat (1) UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang telah menjatuhkan pidana bersyarat kepada Thomas Claudius Ali Junaidi tersebut. Kebutuhan hukum terhadap penjatuhan pidana bersyarat tersebut
tentu saja bukan terhadap kasus
Narkotika saja, terhadap tindak pidana tertentu lainnya seperti korupsi dapat dijatuhkan dengan pidana bersyarat asalkan terdakwa mau bekerjasama. Keberanian untuk melepaskan belenggu norma hukum tertulis, dan mencari makna hukum baru atas peristiwa hukum tersebut merupakan tuntutan
kepada
hakim
dalam
menerapkan,
menemukan
bahkan
menciptakan hukum. Dalam konstruksi seperti ini, hakim merupakan figur yang mampu menjadi pembaharu hukum, dan sekaligus berperan sebagai lokomotif pembaharuan lembaga peradilan. Memang ini menjadi masalah bagi hakim dalam melakukan terobosan hukum ketika akan memutuskan suatu perkara yang menyangkut saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) apabila tidak ada permintaan dari penuntut umum bahwa perkara yang diajukan itu sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) tidak disebutkan oleh
159
penuntut umum dalam surat dakwaan atau surat tuntutannya hakim tidak mungkin menentukan sendiri bahwa terdakwa sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) yang harus dilindungi. Menurut SEMA No.4 Tahun 2011 pada angka 9 huruf b tersebut harus ada permintaan lebih dahulu dari jaksa penuntut umum yang harus dinyatakan dalam dakwaan jaksa penuntut umum maupun didalam tuntutannya bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana. Dengan informasi dan fakta-fakta yang diuraikan oleh penuntut umum dalam surat dakwaan
maupun
tuntutannya itu maka hakim dapat menempatkan
terdakwa sebagai Justice Collaborator, sebab apabila hakim hanya menggunakan keyakinannya menempatkan seseorang menjadi Justice Collaborator maka tidak menutup kemungkinan putusan hakim tersebut akan menimbulkan polemik di masyarakat. Pembaharuan hukum pada dasarnya perubahan paradigma hukum dan penerapannya yaitu pemikiran-pemikiran yang komprehensif tentang hukum. Perubahan paradigma hukum dan cara menerapkan hukum tersebut diharapkan mampu menjadi lokomotif perubahan sosial, apabila ditunjang oleh kelembagaan hukum yang kuat, dan berwibawa yang dilengkapi
160
dengan managemen dan sumber daya yang handal dan integritas yang tinggi.122 Dalam rancangan KUHP diperkenalkan “pardon hakim”, atau “rechtelijke pardon” artinya jika perkara ringan memerhatikan keadaan pelaku pada waktu melakukan kejahatan dan sesudahnya maka hakim dapat menyatakan
bahwa
terdakwa
terbukti
melakukan
perbuatan
yang
didakwakan dan bersalah. Tentu saja berbeda dengan putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum, karena dalam hal “pardon” terdakwa tercatat sebagai records di pengadilan, bahwa dia telah melakukan kejahatan. Dengan sendirinya jika dia melakukan kejahatan lagi, berlaku ketentuan residivisme dan pidananya akan ditambah sepertiganya.
4.2.3 Remisi Istimewa dan Pelepasan Bersyarat yang dipercepat Pelaksanaan putusan pengadilan adalah bagian terakhir dalam sistem peradilan pidana. Putusan pengadilan dilaksanakan oleh Jaksa sebagaimana diatur oleh Pasal 270 KUHAP. Pidana penjara dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai salah satu komponen
dalam sistem peradilan
pidana. Lembaga
Pemasyarakatan
sebagai
sistem
pemasyarakatan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem peradilan pidana, dan juga merupakan rangkaian dari penegakan hukum, bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan
122
Zainal Arifin Hoesein, Op.Cit, h. 175
161
menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat , dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Secara struktural organisasi, lembaga pemasyarakatan berada dibawah subordinasi Kementerian Hukum dan HAM, namun didalam pelaksanaan tugasnya lembaga pemasyarakatan mengadakan hubungan koordinasi dengan lembaga-lembaga diluar kementerian hukum dan hak asasi
manusia,
dengan
pihak
kejaksaan
misalnya. 123
Lembaga
pemasyarakatan merupakan salah satu komponen sistem peradilan pidana di Indonesia maka tugas dan fungsinya tidak dapat dilepaskan dari sistem peradilan pidana. Sistem pemasyarakatan yang menjadi dasar hukum di Indonesia adalah Undang-Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang merupakan pelaksanaan dari pidana penjara yang merupakan perubahan ide dari sistem kepenjaraan menjadi menekankan dengan
sistem
pada unsur
balas
pemasyarakatan. Sistem kepenjaraan dendam dan penjeraan yang disertai
lembaga “rumah penjara” secara
sebagai suatu sistem dan sarana
berangsur-angsur dipandang
yang tidak sejalan dengan konsep
rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar masyarakat menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi
123
Thalib Effendi, 2013, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 180-181
162
warga masyarakat yang bertangung jawab bagi dirinya, keluarga dan lingkungannya. Pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi warga binaan pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang dinamakan sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan merupakan suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan
agar menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.124 Pemasyarakatan
yang
merupakan
bagian
akhir
dari
sistem
pemidanaan dalam tata peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan terpadu (integrated criminal justice system). Dengan demikian pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan, dan perugas pemasyarakatan, merupakan bagian tak terpisahkan dari satu rangkaian proses penegakan hukum.125 Diperlukan keseriusan luar biasa untuk benar-benar mewujudkan penjara sebagai tempat mengkoreksi 124
Dwidja Priyatno, 2009, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, h.3 125 Ibid, h. 109
163
pelanggar hukum dan bukannya sebagai tempat mengkoreksi pelanggar hukum dan bukannya sebagai tempat buangan yang melahirkan penjahatpenjahat baru. Pemerintah harus lebih serius mengurusi penjara. Keadaan suatu bangsa rasanya ditentukan salah satunya dengan cara mereka memperlakukan para pelaggar hukum, terutama yang berasal dari kalangan masyarakat bawah. Bahwasanya dari segi hukum pelaksanaan pidana, posisi aspek pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan (corectional service) sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana (SPP), yaitu reintegrasi sosial pelanggar hukum, bahkan sampai pada upaya penanggulangan kejahatan. Meskipun posisinya terletak diakhir proses SPP, namun dalam tataran teknis operasional lembaga pemasyarakatan (Lapas) sudah berperan sejak tahap awal proses peradilan (pra adjudikasi) yang dilakukan oleh Lembaga Rumah Tahanan (Rutan), Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan), dan Balai Persinggahan (Bapas). Bertolak dari pemahaman mengenai sistem pemasyarakatan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari pembinaan narapidana itu sendiri tidak lain adalah rehabilitasi dan resosialisasi narapidana, dengan menyertakan unsur-unsur edukatif, korektif dan defensif. Tujuan pembinaan ini menunjukan bahwa tindakan-tindakan yang tidak bernilai edukatif, korektif dan defensif dalam proses pembinaan tidak dibenarkan, apalagi tindakan-tindakan yang memenuhi tindak pidana seperti halnya penyiksaan ataupun penganiayaan.
164
Tindak pidana yang kerap kali menimpa narapidana di dalam penjara adalah tindak pidana yang melibatkan unsur-unsur kekerasan didalamnya, baik yang dilakukan oleh sesama narapidana, maupun oleh petugas LP. Dalam Declaration Against Torture And Other Cruel In Human Degrading Treatment Or Punishment (Adobted By The General Assembly, 9 Desember 1975) dengan tegas melarang semua bentuk. “penganiayaan atau tindakan kejam lain, perlakuan dan pidana yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dan merupakan pelanggaran hak-hak dasar manusia” Pembinaan
narapidana
mengandung
makna
memperlakukan
seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budipekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi luhur dan bermoral tinggi. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Selanjutnya dalam Pasal 3 disebutkan bahwa sistem pemasyarakatan
165
berfungsi
menyiapkan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan
agar
dapat
berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Menghindari tindakan-tindakan yang mengandung penyiksaan atau bentuk kekerasan lainnya, maka pembinaan narapidana harus didasarkan atas pedoman-pedoman yang telah diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pengayoman; Persamaan perlakuan dan pelayanan; Pendidikan; Pembimbingan; Penghormatan harkat dan mertabat manusia; Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu. Pemasyarakatan merupakan suatu proses pembinaan narapidana
yang sering disebut theurapetics proccess, yakni membina narapidana dalam arti menyembuhkan seseorang yang tersesat hidupnya karena kelemahan-kelemahan tertentu, maka apabila dianalogikakan sebagai orang sakit, tentunya masing-masing narapidana mempunyai penyakit yang berbeda-beda, dan proses penyembuhannya dan obatnya pun berbeda juga. Demikian pula halnya dengan pembinaan yang juga disesuaikan dengan kondisi dari narapidana itu sendiri, tanpa adanya tindakan-tindakan pembinaan diluar kewajaran. Karena HAM berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan (humanistis), maka sistem pemidanaan berorientasi
pada perlindungan HAM
dapat
diartikan sebagai sistem pemidanaan humanistis atau sistem pemidanaan
166
yang berorientasi pada ide individualisasi pidana. Dianutnya asas culpabilitas seperti dikemukakan diatas, merupakan salah satu ciri pemidanaan humanistis. Tidaklah manusiawi apabila pidana diberikan kepada orang yang tidak bersalah. Ciri lain dari pemidanaan yang manusiawi ialah, harus dimungkinkan adanya fleksibilitas/elastisitas pemidanaan dan modifikasi perubahan/penyesuaian pemidanaan. Dengan sistem demikian diberi kemungkinan bagi hakim untuk memilih pidana yang dianggapnya yang paling sesuai dengan karateristik/kondisi sipelaku dan dimungkinkan adanya perubahan pelaksanaan pidana yang disesuaikan perkembangan/kemajuan si terpidana. Dengan kemungkinannya perubahan/penyesuaian pidana maka dapat dikatakan, bahwa konsep tidak menganut prinsip pemidanaan yang bersifat absolut. Fleksibilitas/elastisitas dan modifikasi pemidanaan dalam konsep pemidanaan antara lain diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan sebagai berikut : a. Sanksi yang tersedia dalam konsep berupa “pidana” (terdiri dan pidana pokok dan pidana tambahan) dan “tindakan”. Namun, dalam penerapannya ada pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan berbagai alternatif sanksi; b. Pada prinsipnya sanksi yang dapat dijatuhkan adalah pidana pokok yang tercantum dalam perumusan delik. Namun, hakim dapat juga
167
menjatuhkan sanksi lainnya yang tidak tercantum, sepanjang diperbolehkan menurut aturan umum (buku I); c. Walaupun sanksi pidana diancam secara tunggal, namun ada pedoman bagi hakim untuk dapat memilih alternatif pidana lain yang tidak tercantum dalam perumusan delik yang bersangkutan (Pasal 55, 56); d. Walaupun sanksi pidana diancam secara alternatif, namun ada pedoman bagi hakim untuk menerapkan pidana secara kumulatif (Pasal 57); e. Walaupun sanksi yang dijatuhkan sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, tetapi dalam pelaksanaannya masih dilakukan perubahan/penyesuaian
kembali
sesuai
dengan
perkembangan/kemajuan terpidana (Pasal 54).; f. Walaupun seorang sudah terbukti bersalah melakukan tindak pidana, namun dengan pertimbangan-peritmbangan tertentu hakim dapat memberi maaf (dikenal dengan istilah “Rechterlijpardon”) atau memberi pengampunan kepada terdakwa tanpa pidana/tindakan apa pun (Pasal 52); g. Dalam hal terpidana seumur hidup telah menjalani pidana minimal 10 tahun dengan berkelakukan baik, pidana penjara seumur hidup dapat diubah menjadi penjara paling lama 15 tahun (Pasal 62 Ayat 5). Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan bagi “Napi Seumur Hidup” untuk memperoleh “pelepasan bersyarat”;
168
h. Pidana mati dapat ditunda pelaksanaannya dengan masa percobaan 10 tahun. Apabila dalam masa percobaan itu terpidana menunjukkan sikap/tindakan yang terpuji, maka pidana mati itu dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau 20 tahun (Pasal 80) . Bahkan walaupun pidana mati sudah dijatuhkan dan permohonan grasi ditolak, namun apabila eksekusi pidana mati itu tidak dilaksanakan dalam waktu 10 tahun, maka pidana mati itu dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup (Pasal 81).126 Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusiawi seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tidak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dalam rangka mencapai tujuan pembinaan narapidana, sistem kepenjaraan ini memberi pedoman yang disebut “sepuluh prinsip pemasyarakatan”, antara ialah: 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagi warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat; 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara;
126
Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 58-60
169
3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan bimbingan; 4. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum ia masuk lembaga. Sistem pemasyarakatan di Indonesia seringkali mendapatkan kritikan tajam, karena dianggap tidak berhasil dalam menyelenggarakan pembinaan pada para narapidana dan masih menyisakan metode-metode kolonial, sehingga melanggar HAM dari narpidana. Ditinjau dari hukum positif Indonesia
(baik
Undang-undang
HAM
dan
Undang-undang
pemasyarakatan), sebenarnya perlindungan hukum HAM narapidana sebagian besar telah diatur dalam kedua Undang-undang tersebut. Dengan kata lain, kedua Undang-undang tersebut telah cukup memberikan perlindungan bagi narapidana. Terjadinya praktek-praktek kekerasan terhadap para narapidana, perlu dipahami kembali bahwa keberhasilan sistem peradilan pidana tidak hanya ditentukan oleh kualitas dari hukum substantifnya saja, melainkan juga ditentukan oleh kualitas perilaku para penegak hukum atau pelaksana hukum itu sendiri. Bukanlah hukum itu tidak lain adalah “it doesn’t matter what the law says. what matters is what the guy behind the desk interprets the law says”. Artinya tidak lain adalah bahwa hukum juga tergantung pada para penegak hukum/pelaksana hukum dalam mengintepretasikan hukum itu sendiri.
170
Melalui Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan tanggal 12 November 2012 Pemerintah memperketat Remisi, Asimilasi, dan Bebas Bersyarat Napi Koruptor, Narkoba, dan Terorisme dengan alasan bahwa kejahatan yang dilakukannya merupakan kejahatan luar biasa yang mengakibatkan kerugian besar bagi negara atau masyarakat, dan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, Pemerintah resmi memperketat pemberian hak remisi, asimilasi dan bebas bersyarat bagi narapidana (Napi) tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional lainnya. Ketentuan yang memperketat pemberian remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat bagi Napi tindak pidana terorisme, korupsi, Narkoba (termasuk di dalamnya narkotika dan prekursor narkotika, dan psikotropika) kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisir lainnya itu. Surat Edaran dengan Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberlakuan PP No. 99 Tahun 2012 sebagai berikut: Memperhatikan berbagai penafsiran terhadap berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, khususnya berkaitan dengan pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat bagi pelaku tindak pidana terorisme, narkotika, dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia
171
yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, dengan ini kami jelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 diberlakukan bagi narapidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap setelah tanggal 12 November 2012. Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa PP No. 99 Tahun 2012 seharusnya diberlakukan bagi narapidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap setelah 12 November 2012. PP No. 99/2012 yang merupakan perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 ini, hanya merubah ketentuan Pasal 34 tentang tata cara mendapatkan remisi, Pasal 36 tentang tata cara mendapatkan asimilasi, Pasal 39 tentang pencabutan asimilasi, dan Pasal 43 tentang Pembebasan Bersyarat. Dalam hal pemberian remisi, Pasal 34 PP No. 99/2012 masih memuat ketentuan sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 yaitu remisi diberikan kepada Napi dan Anak Pidana yang telah memenuhi syarat: a) berkelakuan baik; dan b) telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. Namun PP No. 99/2012 menambahkan ketentuan, bahwa persyaratan berkelakuan baik harus dibuktikan dengan: a. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir terhitung tanggal pemberian remisi; dan b. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat baik. Pemberian Remisi bagi Napi tindak pidana terorisme, narkoba, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus
172
memenuhi ketentuan Pasal 34 PP No. 99/2012 di atas, juga harus memenuhi persyaratan: 1) Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; 2) Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan; 3) Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar kesetiaan kepada NKRI secara tertulis, atau tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis untuk Napi WNA. Untuk Napi Narkoba pemberian remisi hanya berlaku untuk Napi yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun,” bunyi Pasal 34A Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tersebut. Disebutkan dalam PP itu, Remisi diberikan oleh Menteri Hukum dan HAM setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait (tadinya hanya Dirjen Pemasyarakatan). Pasal 34C PP No. 99/2012 ini juga menegaskan, Menteri Hukum dan HAM dapat memberikan Remisi kepada Anak Napi dan Napi selain Napi yang dipidana karena melakukan tindak pidana terkait narkoba, korupsi, terorisme, kejahatan HAM berat, atau kejahatan transnasional terorganisir lainnya atas Napi a. dipidana dengan masa pidana paling lama
173
1 (satu) tahun; b. berusia di atas 70 (tujuh puluh) tahun; atau c. menderita sakit berkepanjangan. Selanjutnya
dalam
ketentuan
Pasal
43A
dapat
diberikan
pembebasan persyarat kepada pelaku korupsi yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya dan telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan dan apabila telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. Pasal 43A Ayat (1) berbunyi : Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
terorisme, narkotika dan prekursor narkotika,
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 Ayat (2) juga harus memenuhi persyaratan: a. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; b. Telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan; c. Telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani; dan
174
d. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar: i.
Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
ii.
Tidak akan mengulangi perbuatan tindak
pidana terorisme
secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme. Sementara itu hak-hak saksi dan korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 diatur dalam Pasal 5 ayat (1) berbunyi berikut : a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. Ikut serta dalam memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penterjemah; e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. Mendapat identitas baru; j. Mendapatkan tempat kediaman baru; k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. Mendapat nasehat hukum; m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Pelaku tindak pidana yang telah bekerjasama membongkar kasus korupsi (Justice Collaborator) dalam ketentuan tersebut belum memberikan perlindungan dari aspek pemasyarakatan, oleh karena itu perlu dipikirkan perlindungan hak asasi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator)
175
dalam hal perlindungan dalam bentuk penempatan di kamar khusus dan mendapatkan tambahan remisi istimewa atau pelepasan bersyarat yang di percepat. Perlindungan dan hak saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) harus di pertimbangkan dari aspek pemasyarakatan, yang meliputi landasan hukum, proses penahanan di Rutan, dan proses pelaksanaaan pidana penjara. Terhadap kasus
Agus Condro Prayitno,
Komjen Pol (Purn) Susno Duadji dan Kosasih Abbas, oleh karena sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No.13 Tahun 1986 karena terbukti secara sah dan meyakinkan dipertimbangkan meringankan
bersalah
dan kesaksiannya dapat
pidana yang dijatuhkan, maka setelah
menjalankan hukuman atas putusan hakim mereka dapat diberikan perlakukan istimewa selama didalam Lembaga Pemasyarakatan dan pelepasan bersyarat dipercepat. Penempatan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) harus memenuhi dua ketentuan : a. Penempatan Justice Collaborator di blok khusus (blok register H) serta b. Pengawasan khusus dalam pemenuhan hak-hak : i.
Menjalankan ibadah;
ii.
Menerima kunjungan;
iii.
Pelayanan makanan;
iv.
Pelayanan kesehatan;
v.
Memperoleh informasi (bacaan dan siaran media massa) dan;
vi.
Politik dan keperdataan.
176
Hak-hak saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) yang menjalani pidana penjara apabila terbukti bersalah dan terlibat dalam perbuatan pidana yang dihadapinya. Meskipun demikian sesuai dengan ketentuan yang berlaku ia tetapi memperoleh perlindungan keamanan dan pemenuhan hak-haknya, meliputi : a. Perlindungan atas keamanan pribadi saksi pelaku yang berekerjasama (Justice Collaborator), berupa: 1) Penempatan di Lapas tertentu, dan 2) Penempatan di blok khusus (blok register H) Pengawasan khusus dalam pemenuhan hak-hak Justice Collaborator sebagai nara pidana meliputi : a. Melakukan ibadah; b. Mendapatkan perawatan jasmani dan rohani; c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. Mendapatkan kesehatan dan makanan yang layak; e. Menyampaikan keluhan; f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang tidak dilarang; g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu lainnya; i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk “cuti mengunjungi keluarga”;
177
k. Mendapatkan pembebasan bersyarat; l. Mendapatkan cuti menjelang bebas “(CMB); dan m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan yang berlaku.127 Mengacu pada ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Keputusan Presiden RI No.174 Tahun 1999 tentang Remisi, dikenal jenis-jenis/bentuk remisi yaitu: 1. Remisi Umum adalah remisi yang diberikan pada Hari Peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus Besarnya pemberian remisi umum adalah : a) 1 (satu) bulan bagi narapidana dan anak pidana yang telah menjalani pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan; dan; b) 2 (dua) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih. (Pasal 4 ayat 1) Pemberian remisi umum dilaksanakan sebagai berikut : a) Pada tahun pertama diberikan sebagaimana dimaksud pada ketentuan diatas; b) Pada tahun kedua diberikan remisi 3 (tiga) bulan; c) Pada tahun ketiga diberikan remisi 4 (empat) bulan; d) Pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi 5 (lima) bulan; dan e) Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6 (enam) bulan setiap tahun. (Pasal 4 ayat 2).
127
Firman Wijaya, Op.Cit, h. 46-47
178
2. Remisi Khusus adalah remisi yang diberikan pada hari keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan. Berdasarkan Keputusan
Menteri
hukum
dan
Perundang-Undangan
RI
No.
M.09.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No.174 Tahun 1999, Pasal 3 ayat 2 dinyatakan, bahwa pemberian remisi khusus diberikan pada: a) Setiap Hari Raya Idul Fitri bagi Narapidana dan anak pidana yang beragama Islam; b) Setiap Hari Raya Natal bagi Narapidana dan anak pidana yang beragama Kristen; c) Setiap Hari Raya Galungan bagi Narapidana dan anak pidana yang beragama Hindu; d) Setiap Hari Raya Waisak bagi Narapidana dan anak pidana yang beragama Budha; Besarnya remisi khusus adalah: a) 15 (lima belas) hari bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan; dan b) 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih (Pasal 5 ayat 1). Pemberian remisi khusus diberikan sebagai berikut :
179
a) Pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) b) Pada tahun kedua dan ketiga masing-masing diberikan remisi 1 (satu) bulan; c) Pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi 1 (satu) bulan 15 (lima belas) hari; dan d) Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 2 (dua) bulan setiap tahun (Pasal 5 ayat 2). 3. Remisi Tambahan adalah remisi yang diberikan apabila Narapidana atau Anak Pidana yang bersangkutan selama menjalani pidana: a. Berbuat jasa kepada negara; b. Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi Negara atau kemanusiaan; atau c. Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga pemasyarakatan Remisi yang diberikan apabila Narapidana atau Anak Pidana yang bersangkutan selama menjalani pidana berbuat jasa kepada Negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi Negara atau kemanusiaan atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga pemasyarakatan. Besarnya remisi tambahan adalah : a. ½ (satu perdua) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan bagi Narapidana atau Anak Pidana yang berbuat jasa
180
kepada Negara atau melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; dan b. 1/3 (satu pertiga) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan bagi Narapidana dan
Narapidana Anak
yang telah
dilakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai pemuka. Remisi tambahan tidak diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana, yang: a. Dipidana kurang dari 6 (enam) bulan; b. Dikenakan hukuman disiplin dan didaftar pada buku pelanggaran tata tertib
Lembaga
pemasyarakatan
dalam
kurun
waktu
yang
diperhitungkan pada pemberian remisi; c. Sedang menjalani cuti menjelang bebas; atau d. Dijatuhi pidana kurungan sebagai pengganti denda (Pasal 12). Prosedur
pengajuan
remisi
diajukan
oleh
Kepala
Lembaga
Pemasyarakatan kepada Menteri Hukum dan HAM melalui Kepala Kanwil Hukum dan HAM yang diberitahukan kepada Narapidana dan Anak Pidana pada hari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, bagi yang diberikan remisi pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI atau pada hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana atau Anak Pidana yang besangkutan. 4. Remisi Dasawarsa diberikan bertepatan dengan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus, tiap 10 (sepuluh) tahun sekali.
181
Dalam kaitannya
dengan penahanan Agus Chondro sebagai justice
collaborator telah mendapatkan penanganan khusus dan penghargaan terhadap dirinya berupa : a. Diberikan untuk memilih tempat dilaksanakannya pidana yaitu mendekatkan
bersangkutan
kepada
keluarganya,
dengan
cara
pemindahan dari Rutan Polda Metro Jaya ke LP Alas Roban, Jawa Tengah, pemindahan tersebut berdasarkan permintaan Agus Condro yang disetujui Menteri Hukum dan HAM saat itu Patrialis Akbar. b. Diberikan ruang khusus kepada bersangkutan selama menjalani pidana. Pemberian ruang khusus ini juga sebagai bentuk pemberian perlindungan kepada bersangkutan terhadap kemungkinan adanya ancaman
atau
tindakan
yang
membahayakan
keselamatan
bersangkutan. c. Diberikan keringanan tuntutan hukuman, Agus Chondro mendapatkan vonis 1 tahun 3 bulan denda senilai Rp. 50 juta subsider 3 bulan penjara dari tuntutan penuntut umum 1 tahun 6 bulan denda senilai Rp.50 juta subsider 3 bulan penjara, lebih ringan dari para terdakwa lain dalam satu berkas yaitu Rusman Lumbatoruan dan Max Moein yang mendapatkan vonis 1 tahun 8 bulan denda senilai 50 juta subsider 3 bulan penjara dari tuntutan 2,5 tahun penjara dengan membayar denda sebilai Rp.50 juta subsider 3 bulan penjara, dan terdakwa Willem Max Tutuarima yang divonis 1 tahun 6 bulan penjara denda senilai Rp.50 juta subsider 3 bulan penjara.
182
d. Diberikan percepatan dalam proses pemberian hak-haknya, seperti hak mendapatkan pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), cuti bersyarat (CB), ataupun remisi. Terhitung setelah mulai penahanannya pada 28 Januari 2011 sebanyak 1 bulan 15 hari dan telah menjalani 2/3 masa pidana, oleh karenanya berhak untuk menjalani pembebasan bersyarat e. Diberikan perlindungan baik terbuka maupun tertutup bekerjasama dengan lembaga terkait (seperti LPSK) selama menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara.128 Alternatif lain pemidanaan juga seharusnya dimuat dalam rancangan undang-undang KUHAP. Kondisi lembaga pemasyarakatan tidak juga semakin membaik. Dapat saja diberlakukan pidana kerja sosial atau pidana penjara paruh waktu, Senin sampai jumat dapat bekerja seperti biasa, namun hari sabtu minggu dipenjara kata Koodinator Program Hukum The Asia Fundation
Leopord Sudaryono. Dalam
diskusi diadakan tanggal 11 Juni 2014 bertajuk Kebijakan Penahanan Dalam KUHAP dan Perlindungan Hak Tahanan. Konsekwensinya pidana penjara yang seharusnya tiga tahun menjadi lima tahun. Ahli pidana dari Unversitas Diponegoro, Barda Nawawi Arief, juga mendukung ada alternatif penahanan prasidang. Dalam enam bulan terakhir, jumlah tahanan dalam tanggung jawab Ditjen Pemasyarakatan
128
Sigit Artantojati, Op.Cit., h. 89
183
naik 10.000.000 orang. Total tahanan dan narapidana di Indonesia mencapai 254.101 orang. Pasal 199
dan
Pasal 200 RUU KUHAP yang mengatur
pemeriksaan jalur khusus dan penyampingan perkara kepada pelaku tindak pidana yang yang paling ringan diposisikan menjadi saksi mahkota tidak mengatur bagaimana perlindungan Justice Collaborator setelah putusan hakim dilaksanakan, padahal Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu komponen dari sistem peradilan pidana yang terpadu. Dalam RUU KUHAP hanya diatur ketentuan hakim pengawas dan pengamat
untuk mengawasi putusan sebagaimana diatur dalam
Pasal 278 yang berbunyi : (1)
(2)
(3) (4)
Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya. Pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidananya. Pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 berlaku bagi pemidanaan bersyarat.
Selanjutnya Pasal 279 berbunyi : Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut. Akibat hukum diberikannya Remisi :
184
Akibat-akibat hukum pemberian remisi sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden
No.174 Tahun 1999, dapat dikemukakan sebagai
berikut : 1. Pengurangan masa pidana yang dijalani narapidana atau anak pidana; 2. Pemberian remisi mengakibatkan berkurangnya masa pidana yang masih harus dijalani oleh Narapidana; 3. Pengurangan masa pidana yang menyebabkan pembebasan seketika; 4. Pembebasan diberikan kepada narapidana yang setelah dikurangi remisi umum maupun remisi khusus maupun remisi tambahan, masa pidana yang harus dijalani ternyata mengakibatkan masa pidananya habis, tepat pada saat pemberian
remisi yaitu pada tanggal 17
Agustus pada tahun yang bersangkutan; 5. Masa pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana yang telah menjalani masa pidananya selama 2/3, sekurang-kurangnya telah menjalani pidananya selama 9 (sembilan) bulan. Maka dengan pemberian remisi akan mengurangi masa pidana dari narapidana yang bersangkutan, hal ini akan mengakibatkan masa pembebasan bersyarat akan lebih singkat; 6. Akibat hukum lainnya adalah remisi yang di dalamnya mengatur pula ketentuan tentang komutasi atau perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana sementara waktu 15 tahun, dengan syarat antara lain narapidan tersebut telah menjalani pidana paling
185
sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut dan berkelakuan baik (Pasal 9 Kepres No.174 Tahun 1999).129
4.2.4 Model Perlindungan A. Model hak-hak prosedural atau model partisipasi langsung atau aktif (the procedural rights model/partie civile model/civil action system) Model ini memungkinkan berperan aktifnya (saksi korban/pelapor) dalam proses peradilan pidana seperti membantu Jaksa/Penuntut Umum, dilibatkan dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara, wajib didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat, memberi pertimbangan dalam menentukan pidana (victim opinion statement) dan lain sebagainya. Akan tetapi, dengan adanya keterlibatan saksi korban/pelapor mempunyai segi positif dalam penegakan hukum seperti memenuhi semangat pembalasan saksi korban/pelapor serta meningkatkan arus informasi kepada hakim. Akan tetapi ada juga segi negatif karena partisipasi aktif saksi korban/pelapor
dalam
pelaksanaan
proses
peradilan
pidana
dapat
menyebabkan terciptanya konflik antara kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi saksi korban/pelapor yang dapat memicu dendam baru yang menjurus pada “secondary victimization”. Pada hakikatnya, model ini pada negara-negara Anglo Saxon yang sistem peradilan pidananya dibangun atas dasar “Adversary or Battle
129
Dwidja Priyatno, Op.Cit, h. 140-141
186
Model” akan menimbulkan kesulitan untuk melibatkan peranan pihak ketiga (korban). Dalam sistem Eropa Kontinental dimana berlaku sistem Inquisitur lebih terbuka kemungkinan untuk memberikan ruang gerak kepada kontribusi korban selama persidangan karena persidangan bukan merupakan “legal contest” antara jaksa dan pengacara/pelaku.130
B. Model pelayanan atau model partisipasi secara tidak langsung atau model pasif (the services model) Dimensi ini menekankan pada pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi, restitusi dan upaya pengambilan kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut dan tertekan akibat kejahatan.131Model ini penekanannya diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan (saksi korban/pelapor), yang dapat digunakan oleh polisi. Contoh pembinaan disini yakni dalam bentuk pedoman dalam rangka notifikasi kepada korban atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan saksi korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain. Keuntungan model ini adalah bahwa model ini dapat digunakan sebagai sarana pengembalian apa yang dinamakan integrity of the system of institutionalized trust, dalam kerangka perspektif 130
Lilik Mulyadi, Op. Cit, h. 154 Ibid, h. 157
131
187
komunal. Saksi dan atau korban (saksi korban/pelapor) akan merasa dijamin kembali kepentingannya dalam suasana tertib sosial yang adil sehingga diciptakan suasana tertib, terkendali, dan saling mempercayai. Keuntungan yang lainnya pada model ini dianggap dapat menghemat biaya sebab dengan bantuan pedoman yang baku, peradilan pidana dapat mempertimbangkan kerugian-kerugian yang diderita oleh saksi dan atau korban dalam rangka menentukan kompensasi bagi si korban. Kelemahan model semacam ini antara lain: kewajiban-keajiban yang di bebankan kepada polisi, jaksa dan pengadilan untuk selalu melakukan tindakan-tindakan tertentu kepada saksi dan atau korban, dianggap akan membebani aparat penegak hukum karena semuanya didasarkan atas sarana dan prasarana yang sama. Efisiensi dianggap juga akan terganggu, sebab pekerjaan yang bersifat profesional tidak mungkin digabungkan dengan urusan-urusan yang dianggap dapat mengganggu efesiensi. Model ini menentukan standar baku tentang pelayanan terhadap saksi korban yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim, misalnya: Pelayanan kesehatan, pendampingan, pemberian kompensasi dan ganti rugi serta restitusi. Masalah yang timbul dalam model ini adalah sulit untuk memantau, apakah pelayanan itu benar-benar diterima saksi dan korban.132
132
Imam Turmudhi, Op. Cit., h. 51-52
188
C. Model Persuasif/Partisipatif Model persuasif/partisipatif merupakan perlindungan terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator yang bersifat menyeluruh yang melibatkan komponen Sistem Peradilan Pidana yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan/pemasyarakatan dan KPK untuk perkara korupsi. Pada pokoknya tugas dan kewenangan dari Kepolisian sebagai lembaga penyidikan terhadap perkara pidana umum dan pidana khusus. Lembaga Kejaksaan merupakan lembaga yang melakukan penuntutan terhadap perkara pidana umum dan khusus yang dilimpahkan oleh lembaga Kepolisian. Kemudian KPK merupakan lembaga yang berwenang melakukan penyidikan dan sekaligus penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang bersifat extra ordinary crime ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Berikutnya lembaga pengadilan yang mempunyai tugas dan kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata, tindak pidana umum dan tindak pidana khusus yang diajukan kepadanya. Akhirnya, lembaga pemasyarakatan/pemasyarakatan merupakan lembaga pelaksana pidana dengan tugas dan wewenang sebagai tempat pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan
masyarakat
untuk
meningkatkan
kualitas
Warga
Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
189
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dimensi ini dilakukan karena konsisten dengan alur bagan dari Sistem Peradilan Pidana baik secara teoretis maupun sesuai pandangan doktrina. Model persuasif/partisipatif sesuai Sistem Peradilan Pidana dalam arti sempit ini terlihat dari bagan 1 berikut ini.
Bagan 1. Model Persuasif/Partisipatif Sesuai
Sistem Peradilan
Pidana
Dalam Arti Sempit
Kepolisian
Lembaga Pemasyarakatan
Collaborator/Whistleblower
Kejaksaan
Pengadilan
Dalam dimensi ini, timbul permasalahan bagaimana dengan LPSK? Apabila eksistensi LPSK sebagaimana ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 masih tetap dipertahankan, atau LPSK dimodefikasi dengan memperluas kewenangannya, maka hendaknya harus juga dimasukan dalam komponen Sistem Peradilan Pidana yang diperluas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara masa mendatang. Begitu pula
190
halnya, apabila ingin membangun lembaga baru bersifat independen dan mandiri yang khusus menangani mengenai Whistleblower dan Justice Collaborator sebagaimana dikenal di negara AS, Jerman, Belanda, dan lainlain. Model persuasif/partisipatif sesuai Sistem Peradilan Pidana dalam arti luas terlihat dari model bagan 2 berikut ini.
Bagan 2. Model Persuasif/Partisipatif Sesuai Sistem Peradilan Pidana Dalam Arti Luas
Kepolisian
LPSK / Lembaga Baru
KPK
Justice Collaborator/Whistleblower
Lembaga Pemasyarakatan
Pengadilan
Kejaksaan
Model persuasif/partisipatif baik sesuai dengan Sistem Peradilan Pidana dalam arti sempit maupun arti luas bersifat integral dimana antara komponen tersebut saling berkorelasi antara satu dengan lainnya. Apabila seorang Whistleblower dan Justice Collaborator melapor kepada satu lembaga saja, maka keseluruhan komponen lembaga tersebut akan melindungi. Aspek positif dapat dikedepankan dalam dimensi ini relatif dapat dihindarkan adanya kriminalisasi terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator sehingga model perlindungan persuasif/partisipatif ini akan
191
memberi dimensi rasa aman, menghindarkan rasa takut terhadap tuntutan pidana dan/atau perdata serta mempunyai dimensi kepastian hukum (rechtszekerheid) kepada Whistleblower dan Justice Collaborator.
D. Model Perlindungan Komprehensif Model perlindungan komprehensif ini direkomendasikan oleh Yutirsa Yunus. Perlindungan Justice Collaborator harus dilakukan secara komprehensif atau menyeluruh mulai dari: (1) tahap pemberian laporan oleh Justice Collaborator; (2) tahap penindaklanjutan laporan yang terdiri atas penyelidikan, penyidikan, hingga pengadilan; dan (3) tahap putusan oleh pengadilan atas kasus korupsi yang dilaporkan tersebut. Dimensi ini dapat dilihat sebagaimana bagan 3 berikut ini: Bagan 3. Perlindungan Komprehensif bagi Justice Collaborator LAPORAN JUSTICE COLLABORATOR
Penindaklanjutan Laporan Penyelidikan Penyidikan Penuntutan
Pengadilan
Putusan Pengadilan
Perlindungan Komprehensif
192
Perlindungan
komprehensif
ini
dimaksudkan
agar
Justice
Collaborator dituntut oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan atas laporannya. Tuntutan balik tersebut memberikan dampak negatif terhadap upaya pemberantasan korupsi, oleh karenanya Justice Collaborator jatuhnya putusan pengadilan yang bersifat tetap (Inkracht) atas kasus yang dilaporkannya tersebut.133
133
Yutirsa Yunus, Op. Cit., h. 19
193
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Berdasarkan pemaparan yang telah di paparkan dalam penelitian tersebut diatas makan dapat dikemukakan 2 pokok simpulan, antara lain:
1) Perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Perlindungan hukum terhadap Justice Collaborator dan Whistleblower di fokuskan dalam tahap penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor; 2) Konsep
kebijakan
hukum
pidana
perlindungan
hukum
terhadap
Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang (Ius Constituendum) berorientasi kepada dimensi konsep pendekatan pidana non penal untuk
mewujudkan
penanggulangan Tindak Pidana Korupsi berupa pendekatan keadilan restoratif (restorative justice approach) dan Protection of Cooperating Person (Perlindungan Hukum Terhadap Orang Yang Bekerjasama), kemudian penjatuhan hukuman pidana dengan pidana bersyarat khusus, remisi istimewa dan pelepasan bersyarat yang dipercepat, serta model 192
194
perlindungan yang terdiri dari model hak-hak prosedural atau model partisipasi langsung atau aktif (the procedural rights model/partie civile model/civil action system), model pelayanan atau model partisipasi secara tidak
langsung atau
model
pasif
(the
services
model),
model
persuasif/partisipatif dan model perlindungan komprehensif.
5.2 Saran Adapun Saran-saran yang dapat diberikan untuk menyempurnakan penelitian ini antara lain:
1) Agar dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 mengatur secara tegas dalam pasal tersendiri mengenai eksistensi perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator; 2) Agar diberikan adanya reward dan punishment yang diatur secara konktret, tegas dan eksplisit tentang mekanisme, tata cara dan prosedur perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator sehingga banyak orang yang bersedia menjadi Whistleblower dan Justice Collaborator pada perkara Tindak Pidana Korupsi pada khususnya dan dalam rangka penegakan hukum pada umumnya.
195
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Ali, Achmad, 2008, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Amiruddin & Asikin, H. Zainal, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta Amrullah, M. Arief, 2003, Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, CV Bayu Media, Malang Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta -----------------------, 2012, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publisihing, Yogyakarta -----------------------, 2013, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung Arief, Barda Nawawi, 2007, Masalah penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Ashworth, Andrew, 2000, Sentencing and Criminal Justice, Third Edition, Butterworths Azhary, Muhammad Tahir, 2004, Negara Hukum (Suatu Studi Tentang PrinsipPrinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini), Penerbit Bulan Bintang, Jakarta CJ, Friedrich, 2010, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung
196
Danil, H. Elwi, 2011, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Darmodiharjo, Darji & Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia Cet. Ke VI, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Dempster, Quentin, 2006, Whistleblower (Para Pengungkap Fakta), Elsam, Jakarta Dirdjosisworo, Soedjono, 2000, Fungsi Perundang-Undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar Baru, Bandung Djohansjah, J, Reformasi Independensi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Jakarta. 2008. Effendi, Thalib, 2013, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Pustaka Yustisia, Yogyakarta Erwin, Muhamad, 2011, Filsafat Hukum. Refleksi Kritis Terhadap Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta Faisal, 2012, Menerobos Positivisme Hukum, Gramata Publishing, Bekasi Hadi, Sutrisno, 2010, Methodelogi Research I, Gadjah Mada University Hamzah, Andi, 2006, Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Acara Pidana, Perbandingan Dengan Beberapa Negara, Universitas Trisakti, Jakarta Hiariej, Eddy O.S, 2010, Tetap Dijatuhi Pidana Bilamana Terlibat dalam Kejahatan, Newsletter Komisi Hukum Nasional (KHN), Jakarta Hoesein, Zainal Arifin, 2013, Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Imperium, Yogyakarta Huda, Ni’matul, 2005, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, Penerbit UII Press, Yogyakarta Hutauruk, Rufinus Hotmaulana, 2013, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan hukum, Sinar Grafika, Jakarta
197
Kelsen, Hans, 2012, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung Komara, Endang, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama, Bandung Manan, Bagir, 2005, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH UII Press, Yogyakarta Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Mertokusumo, Sudikno, 2004, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum (Edisi Revisi), Rineka Cipta, Bandung Muhadar, 2009, Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Putra Media Nusantara, Surabaya Muladi, 2002, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Mulyadi, Lilik, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktis, dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung -----------------, 2012,
Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus
Indonesia Dalam Teori dan Praktik, PT Alumni, Bandung Mukti, Fajar dan Achmad, Yulianto, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil Komunika, Yogyakarta Prasetyo, Teguh & Barkatullah, Abdul Halim, 2012, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Priyatno, Dwidja, 2009, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung Putman, William H, 2009, Legal research: Second Edition, Delmar, United States of America Raharjo, Satjipto, 2009, Hukum Progressif: Sebuah Sketsa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta Rasjidi, Lili & Putra, I.B. Wyasa, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung
198
Rawls, John, 2011, A Theory of Justice, (Penterjemah: Uzair Fauzan & Heru Prasetyo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta Reksodiputro, Mardjono, Pembocor Rahasia/Whistle Blowers dan Penyadapan (Wiretapping,
Electronic
Interception)
Dalam
Menanggulangi
Kejahatan Di Indonesia, Wacana Goverminyboard, Jakarta Roa, Floriano C., 2007, Business Ethis and Social Responsibility, Philippine Copyright, Fist Edition, Manila Salim, H. & Nurnani, Erlies Septiana, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Santoso, Agus, 2012,
Hukum, Moral, & Keadilan., Kencana Prenada Media
Group, Jakarta Sapardjaja, Komariah Emong, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia. Alumni, Bandung Soekanto, Soerjono & Mamudji, Sri, 2006, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Soeroso, R, 2011, Pengantar Ilmu Hukum. Sinar Grafika, Jakarta Sholehuddin, 2010, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta Sprack, John, 2002, Emmins on Criminal Procedur, Ninth Edition, Oxford University Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung Sulistia, Teguh, dan Zurnetti, Aria, 2011, Hukum Pidana Horizon Pasca Reformasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta Sunaryo, Sidik,, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang Sutiyoso, Bambang, 2006, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Penerbit UUI Press, Yogyakarta
199
Syam, Mohammad Noor, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya , PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta Tirtaamidjaja, MH., 2005, Pokok-Pokok Hukum Pidana: Edisi Revisi, Fasco, Jakarta Wijaya, Firman, 2012, Whistle Blower dan Justice Calloborator Dalam Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta Zehr, Howard, 1985, Retributive Justice, Restorative Justice, New Perspectives on Crime and Justice: Occasional papers of the MCC Canada Victims Offender Ministeries Program the MCC, U.s. Office of Criminal Justice, Nomor 4, Canada Victim Offender Ministries Program, Ontario PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250)
200
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator)
KAMUS DAN ENSIKLOPEDI Wojowasito, S.
& Poerwadarminta, W.J.S., 1981, Kamus Lengkap Inggris-
Indonesia, Indonesia-Inggris, Hasta, Bandung Poerwadarminta, W.J.S., 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit: PN Balai Pustaka TESIS/DISERTASI Abdullah, Ali, 2014, Hak Asasi Pengungkap Fakta Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Disertasi, Program Studi Doktor (S3) Fakultas Hukum Universitas Jayabaya Artantojati, Sigit, 2012, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Callaborators) Oleh Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK), Tesis, Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Indonesia Thurmudhi, Imam, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Kasus Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Studi Kasus Susno Duadji), Tesis, Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Indonesia
201
JURNAL Eddyono, Supriyadi Widodo, 2011, Prospek Perlindungan Justice Collaborator di Indonesia: Perbandingan di Amerika dan Eropa,
Jurnal
Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 No. 1, H. 110 ARTIKEL DALAM FORMAT ELEKTRONIK Adji, Indriyanto Seno, 2005, Urgensi Perlindungan Saksi, www.antikorupsi.org, Accessed 15 September 2014 Arifin, Achmad Zainal, 2005, Fenomena Whistle Blower dan Pemberantasan Korupsi, Kompas, Accessed 20 April 2015 Lubis, Todung Mulya, 2005, Catatan Hukum: Mengapa Saya Mencintai Negeri Ini?, Kompas, Acscessed 20 April 2015 Tengens, Jecky, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekata n-irestorative-justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jeckytengens--sh-, Accessed 21 April 2015 DOKUMEN LAINNYA Manan, Bagir, 2006, Restorative Justice (Suatu Perkenalan), Majalah Varia Peradilan Tahun XX No. 247, Jakarta Mulyadi, Lilik, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, Penelitian Oleh Balitbangkumdil mahkamah Agung RI, Jakarta, h. 174-176 -----------------, 2006, Pergeseran Perspektif Praktek Dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan, Majalah Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun ke XXI No.246, Jakarta Yunus, Yutirsa, 2013, Rekomendasi Kebijakan Perlindungan Hukum Justice Callaborator: Solusi Akselerasi Pelaporan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Konferensi Kebijakan Perencanaan Pembangunan Nasional, Paper, h. 22