08
Pentingnya Perlindungan Saksi Transnational Organized Crime
14
Profil Tasman Gultom
27
30 Negara Ikuti Konferensi Internasional LPSK
36
Pimpinan DPR Usul Kaji Ulang UU LPSk
KESAKSIAN Media Informasi Perlindungan Saksi dan Korban
Transnational Organized Crime www.lpsk.go.id
Buletin Berkala LPSK Edisi No. III Tahun 2012
Daftar Isi
Editorial
Bersinergi Melindungi Saksi
Topik Utama
04-13
Kejahatan transnasional adalah kejahatan yang tidak mengenal batas teritorial suatu negara. Modus operandi, bentuk atau jenisnya, serta locus tempus delicti-nya melibatkan beberapa negara beserta sistem hukumnya. Indonesia termasuk negara yang meratifikasi konvensi PBB mengenai kejahatan transnasional. Kondisi geografis dengan empat selat sebagai jalur utama lalu lintas perdagangan dunia, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makassar menjadikan Indonesia rawan atas kejahatan ini.
08 31 14 03
26
Editorial
38 21
Topik Utama
04
Transnational Organized Crime Membayangi
08
Pentingnya Perlindungan Saksi Transnational Organized Crime
10 14
Diserang Balik Setelah Bongkar Pembalakan Liar
22
Memberi Titik Terang tentang Whistleblower Opini
24
Profil
26
Pernik
Tasman Gultom : Kekuatan Internal Kunci Keberhasilan Pelayanan
31 32
Pojok Unik
35 38
Warta Terkini
Menengok Pola Perlindungan Saksi Negara Sahabat
Dikurung dan Disiksa Gara-Gara Menawar Barang Antik
lainnya. Kerjasama itu harus terus diperkuat dalam komunikasi dan koordinasi yang erat, sehingga bisa efektif. Masing-masing institusi juga perlu meningkatkan kinerjanya. Sinergi yang baik di dalam negeri akan menjadi modal penting ketika melakukan kerjasama regional maupun internasional. Sebaliknya, kerjasama di kancah regional maupun internasional juga harus berdampak positif bagi peningkatan pelayanan di dalam negeri. Indonesia harus menjalin kerjasama internasional karena ancaman kejahatan transnasional adalah nyata. Sejauh ini Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang mengikat: United Nation Cenvention Againts Transnational Organized Crime pada Desember 2003 dan United Nation Convention Againts Corruption pada September 2003, juga banyak berperan aktif dalam berbagai forum internasional dan sejumlah International Working Groups terkait penanganan kejahatan. Berkaitan dengan upaya peningkatan pelayanan perlindungan saksi dan/atau korban, LPSK bersama beberapa instansi menggelar konferensi internasional di Bali. Dari sana diharapkan bisa memunculkan working group di tingkat regional, sehingga dapat merumuskan bentuk kerjasama perlindungan saksi dan korban transnational organized crime. Sekalipun mutlak diperlukan, kerjasama harus matang. Dalam merumuskan bentuk kerjasama regional maupun internasional, harus diperhatikan banyak hal seperti sistem peradilan, mekanisme perlindungan, maupun aturan hukum yang ada. Sebab, tiap negara memiliki sistem hukum masing-masing. Dan tentunya sudah jamak kita dengar ataupun lihat betapa banyak kerjasama pelayanan ditandatangani tapi hanya sampai di atas meja, tanpa implementasi yang kentara dampaknya bagi peningkatan pelayanan. Karenanya butuh komitmen kuat untuk memperbaiki kinerja, dalam hal ini perlindungan saksi demi mendukung penegakan hukum dan terwujudnya keadilan. Dengan dilandasi komitmen yang kuat itu, maka sinergi dan kerjasama dalam program perlindungan saksi dan/atau korban dalam skala nasional, regional, maupun internasional akan berdampak positif bagi tercapainya penegakkan hukum dan pencegahan kejahatan. Pada akhirnya, kehidupan yang berkeadilan bisa diwujudkan lebih baik. (Rahmat)
Resensi
Pentingnya Komunikasi Efektif nan Humanistis Bagi Saksi dan Korban
Testimoni
20
35
A
danya jaminan keselamatan menjadi tidak bisa ditawar lagi, bila ingin program perlindungan saksi dan/atau korban berhasil. Sayangnya, sederet persoalan menghadang untuk mewujudkan jaminan tersebut. Pada banyak kasus, tidak gampang untuk membuat seorang saksi dan/atau korban bersedia bersaksi. Meski ada beragam alasan, semuanya bisa ditarik garis merah yakni rasa takut. Takut dikriminalisasikan, takut disakiti, takut dibunuh, dan sederet ketakutan lain. Ketakutan-ketakutan itu biasanya semakin besar bila kasus yang dihadapi juga kelas kakap. Terlebih jika kejahatan itu terorganisir dan bersifat transnasional atau lintas negara (transnational organized crime). Padahal angka kejahatan transnasional setiap tahunnya cukup tinggi. Di Indonesia misalnya, Mabes Polri mencatat kenaikan kejahatan transnasional terorganisir mencapai 35,28 persen pada tahun 2011 dengan jumlah 16.138 kasus dari sebelumnya 10.444 kasus di tahun 2010. Sementara itu harus disadari bahwa untuk memberantas kejahatan harus ada kesaksian, dan untuk mendapat kesaksian yang benar diperlukan saksi dan/korban yang berani bersaksi secara jujur, dan supaya tidak takut berkata jujur harus diberikan perlindungan. Karenanya, perlindungan bagi saksi dan/korban adalah mutlak dalam rangka mewujudkan rule of law. Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harus diakui telah memberi harapan terwujudnya perlindungan yang lebih baik karena hal itu menjadi tugas utama lembaga ini. Tetapi, program perlindungan terlalu berat untuk bisa ditangani sendiri. Harus ada kerjasama, baik dalam skala nasional, regional, maupun internasional. Hal tersebut sudah disadari LPSK dengan menjalin kerjasama dengan institusi lain yang berkaitan dengan penegakan hukum, seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, POLRI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta masih banyak
Maharani Siti Shopia
Sosialisasi
Dunia Hiburan
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) DEWAN REDAKSI Abdul Haris Semendawai, S.H,.LL.M, Lies Sulistiani, S.H,.M.H, Lili PIntauli Siregar, S.H, R.M Sindhu Krishno, Bc.IP, S.H,.M.H, Prof. Dr. H. Teguh Soedarsono, S.IK,.S.H,.M.Si, Hotma David Nixon, S.H,.M.Hum, Tasman Gultom, S.H.,M.H,.AAAI.K | PENANGGUNG JAWAB Abdul Haris Semendawai, S.H,.LL.M | PEMIMPIN REDAKSI Hotma David Nixon, S.H., M.Hum | REDAKTUR PELAKSANA Maharani Siti Shopia, S.H | SENIOR EDITOR M. Nur | SEKRETARIS REDAKSI Endira Paramita | REDAKTUR M. Rahmat, Haryanto | STAF REDAKSI Hakim, Yudha, Yusuf | ARTISTIK Ahmad Faly, Rendy | SIRKULASI & DISTRIBUSI Salahudin
PENERBIT Humas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban | ALAMAT REDAKSI Gedung Perintis Kemerdekaan (Gedung Pola) Lantai 1 Jl. Proklamasi No. 56 Jakarta Pusat 10320, Telp/Fax : 021 - 31927881, Email :
[email protected], Website : www.lpsk.go.id KONSULTAN
www.desainkomunikasi.com | COVER Al Capone www.freevector.com
Topik Utama
Topik Utama
Transnational Organized Crime Membayangi Di era globalisasi, perpaduan kemajuan teknologi informasi dengan ketidakstabilan ekonomi dan politik ternyata bisa melahirkan ancaman yang mahaluas; kejahatan transnasional terorganisasi (transnational organized crime). Inilah ancaman tidak saja bagi kedaulatan suatu negara, tapi juga masyarakat internasional.
4
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
foto | http://massachusetts.rehab-center.com
P
Uang kotor milik kelompok Al Capone oleh Mayer Lansky diputihkan dengan mengembangkan pusat perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan malam di Las Vegas (Nevada) dan dikembangkan lagi melalui offshore banking di Havana (Cuba) dan Bahama. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan kelompok ini menjadikan Mayer Lansky dijuluki bapak Money Laundering Modern. Setelah memasuki tahun 1980-an kegiatan ini semakin menjadi dengan banyaknya penjualan obat bius.
endapat yang dikemukakan M. Cherif Bassiouni (1986), penulis buku International Criminal Law, menyebutkan bahwa kejahatan transnasional adalah suatu tindak pidana internasional yang mengandung tiga unsur yakni unsur internasional, unsur transnasional, dan unsur kebutuhan (necessity). Unsur internasional meliputi unsur ancaman secara langsung terhadap perdamaian dunia, ancaman secara tidak langsung atas perdamaian dan keamanan di dunia, dan menggoyahkan perasaan kemanusiaan. Sementara unsur transnasional meliputi unsur atau tindakan yang memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara, tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara dari lebih satu negara, dan sarana prasarana serta metode-metode yang dipergunakan melampaui batas teritorial suatu negara. Adapun unsur kebutuhan (necessity) termasuk ke dalam unsur kebutuhan akan kerjasama antara negara-negara untuk melakukan penanggulangan. Dengan pengertian ini dapat dilihat bahwa kejahatan transnasional adalah kejahatan yang tidak mengenal batas teritorial suatu negara (borderless). Modus operandi, bentuk atau jenisnya, serta locus tempus delicti nya melibatkan beberapa negara dan sistem hukum pelbagai negara. Secara konsep, transnational crime merupakan tindak pidana atau kejahatan lintas batas dan diperkenalkan pertama kali secara internasional pada era 1990-an saat pertemuan bangsa-bangsa yang membahas pencegahan kejahatan. Di tahun 1995, PBB telah mengindetifikasi 18 jenis kejahatan transnasional yaitu money laundering (pencucian uang), terrorism (terorisme), theft of art and cultural objects (pencurian objek seni dan kebudayaan), theft of intellectual property (pencurian karya intelektual), illicit arms trafficking (perdagangan gelap tentara dan senjata), aircraft hijacking (pembajakan pesawat), sea piracy (bajak laut), insurance fraud (penipuan), computer crime (kejahatan cyber), environmental crime (kejahatan terhadap lingkungan), trafficking in persons (penyelundupan manusia), trade in human body parts (perdagangan bagian tubuh manusia), illicit drug trafficking (penyelundupan obat bius), fraudulent bankruptcy (kecurangan), infiltration of legal business (penyusupan bisnis legal), corruption (korupsi), bribery of public. (penyogokan pejabat publik), and bribery of party officials (penyogokan pejabat partai). PBB selanjutnya mensahkan UN Convention Against Transnational Organized Crime (Uncatoc) atau yang dikenal dengan sebutan Palermo Convention pada plenary meeting ke-62, 15 November 2000. Uncatoc kemudian mensyaratkan suatu negara mengatur empat jenis kejahatan yaitu, peran serta dalam criminal organized group, money laundering, korupsi, dan obstruction of justice (misalnya pemberian alat bukti maupun kesaksian padahal tidak diminta). Kasus money laundering di dunia misalnya, menurut Mahmoeddin As dalam bukunya Analisis Kejahatan Perbankan yang dikutip oleh Munir Fuady, mengemukakan bahwa dalam sejarah hukum bisnis, munculnya money laundering dimulai dari negara Amerika Serikat sejak tahun 1830. Ketika itu, menurutnya, banyak orang yang membeli perusahaan dengan uang hasil kejahatan (uang panas) seperti hasil perjudian, penjualan narkotika, minuman keras secara illegal dan hasil pelacuran. Pusat-pusat gangster besar yang piawai masalah pencucian
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
5
Topik Utama
(Atas) Mantan Presiden Fillipina, Ferdinand Marcos yang menyimpan uang hasil tindak pidana korupsinya di Bank Credit Suisse. (Bawah) Mantan Presiden Panama, Noriega yang dipenjara di Amerika karena melakukan perdagangan obat bius dan kegiatan pencucian uang.
6
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
uang di Amerika Serikat terkenal dengan nama kelompok legendaries Al Capone (Chicago). Uang kotor milik kelompok Al Capone itu kemudian oleh Mayer Lansky diputihkan dengan mengembangkan pusat perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan malam di Las Vegas (Nevada) dan dikembangkan lagi offshore banking di Havana (Cuba) dan Bahama. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh kelompok ini akhirnya menjadikan Mayer Lansky dijuluki sebagai bapak Money Laundering Modern. Setelah memasuki tahun 1980-an kegiatan ini semakin jadi dengan banyaknya penjualan obat bius. Mengantisipasi kejahatan ini, dunia internasional kemudian bersepakat melarang kejahatan yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang dalam bentuk konvensi The United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugsand Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan The Vienna Convention atau lazim disebut pula UN Drug Convention 1988. Tiap anggotanya wajib menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money laundering. Sejumlah kasus besar di dunia terkait money laundering misalnya kasus yang melibatkan mantan Presiden Phillipina Ferdinand Marcos yang menyimpan uang hasil tindak pidana korupsinya di Bank Credit Suisse. Ada pula mantan Presiden negara Panama yaitu Noriega yang melakukan perdagangan obat bius dan kegiatan money laundering sampai ke Amerika Serikat hingga akhirnya dia dipenjara di Amerika. Keseriusan PBB dalam penanganan kejahatan transnasional juga tergambar dari fatwa Sekretaris Jendral (Sekjen) PBB Ban Ki-Moon dalam pertemuan tingkat tinggi di Majelis Umum PBB pada 17 Juni 2010 yang menekankan pentingnya peningkatan kerjasama internasional secara efektif karena kemampuan sebuah negara yang terbatas dalam menanggulangi tindak pidana ini. Sejumlah negara kemudian menindaklanjutinya dengan meratifikasi konvensi PBB mengenai kejahatan transnasional. Indonesia termasuk negara yang meratifikasi konvensi tersebut. Sebab, kondisi geografis yang memiliki empat selat sebagai jalur utama lalu lintas perdagangan dunia, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makassar menjadikan Indonesia rawan atas kejahatan ini. Data ditunjukkan International Organization for Migration (IOM) menyebutkan setidaknya sebanyak 4.067 orang, umumnya perempuan dan anak-anak, menjadi korban kejahatan human trafficking (perdagangan orang) di Indonesia sepanjang Maret 2005 hingga akhir 2011. Jumlah itu hanyalah mereka yang melapor dan menerima bantuan dari IOM. Diperkirakan masih banyak korban yang tidak melaporkan kejahatan diterimanya dengan berbagai alasan, termasuk karena merasa bingung harus berbuat apa. “Sebanyak 80 persen diantaranya adalah perempuan dan anak-anak. Jumlah ini baru yang ditangani IOM. Bisa jadi masih banyak yang kasus yang tidak tertangani karena tidak mengenal IOM atau faktor lainnya. Tahun ini saja setidaknya sudah 300 kasus dilaporkan ke IOM,” kata Nurul Qoiriah, National Project Coordinator Counter Traficking and Labour Migration IOM. Sementara untuk terorisme, berbagai pengungkapan dan penangkapan hingga penembakan terhadap para pelaku teroris membuktikan bahwa Indonesia masih menjadi sasaran
kejahatan ini. Indonesia seperti diketahui memiliki kenangan pahit terhadap aksi terorisme yang memakan ribuan jiwa, seperti bom Bali 1 dan 2, bom JW Marriot 1 dan 2, bom di Kedutaan Australia hingga bom di sejumlah gereja. Meski saat ini kondisi Bali menurut Wakapolda Bali Brigjen I Ketut Untung Yoga Ana telah semakin baik, namun pengalaman kelam yang diabadikan melalui monumen tersebut tentunya membuat masyarakat Bali dan aparat kepolisian setempat, dibantu Mabes Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), semakin mewaspadai munculnya embrio baru kejahatan terorganisir ini. Peran Pemerintah Daerah tentunya juga sangat penting dalam penanganan kasus terorisme. Di Bali misalnya, Pemda setempat yang tahun ini memberi bantuan dua alat deteksi bahan peledak untuk mengantisipasi kejahatan teroris. Sebelumnya Polda bali hanya mempunyai satu alat sejenis dari Mabes Polri yang bergerak mobile di tempat-tempat ramai dan obyek vital. Tak hanya di Bali, kepolisian melalui Densus 88 terus melakukan pengungkapan kasus terorisme untuk memutus rantai jaringan terorisme di Indonesia. Tak sedikit para pelaku terorisme yang ditangkap atau terpaksa ditembak mati karena berusaha melawan, termasuk gembong teroris Dr Azhari, Noordin M Top, Ibrahim hingga Dulmatin. Indonesia juga membuktikan komitmen pemberantasan terorisme dengan mengeksekusi terpidana Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Gufron alias Muchlas. Seperti halnya terorisme dan perdagangan orang, penyelundupan dan peredaran narkoba di berbagai daerah termasuk Bali sebagai jendela wisata mancanegara, tentunya turut menjadi perhatian serius bagi pemerintah Indonesia. Terlebih jumlah korban akibat penyalahgunaan narkoba yang terus meningkat. Badan Narkotika Nasional mencatat setidaknya 3,8 juta orang menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Sementara data lain menyebutkan setidaknya 5 juta orang yang telah menjadi korban. Ketua Gerakan Nasional Anti Narkotika dan obat Terlarang (Granat) Hendriyoso Diningrat bahkan menyebutkan sebanyak 50 orang tewas akibat penyalahgunaan narkotika. Pemberantasan tindak pidana kejahatan lintas negara terorganisasi tentunya tak lepas dari peran saksi dan korban kejahatan itu sendiri. Sayangnya, banyak saksi dari kejahatan ini yang akhirnya memilih bungkam karena takut keselamatan jiwanya maupun keluarga terancam. Di Eropa, perlindungan korban kejahatan transnasional terorganisasi sebenarnya telah terbentuk. Sebut saja Europol yang diantara negaranegara anggotanya seperti Italia, Austria, Jerman dan lainnya telah melakukan kerjasama, bahkan hingga tingkat pemberian rumah aman lintas negara. Hal serupa juga dilakukan oleh Amerika Serikat yang
melalui US Marshals Service menanggapi serius pentingnya perlindungan saksi dan korban, termasuk kejahatan terorganisir seperti geng dan lainnya. Amerika Serikat, seperti halnya Indonesia, juga berkomitmen melakukan perang terhadap terorisme, mengingat latar belakang peristiwa “nine eleven” meledaknya Gedung WTC akibat serangan teroris. Demikian pula pemerintah Austalia yang warga negaranya juga menjadi korban targedi bom Bali dan kedutaan besarnya di Indonesia pernah menjadi sasaran aksi terorisme. Kerjasama antara Australia dan Indonesia salah satunya adalah kesepakatan untuk menandatangani persetujuan keamanan baru guna meningkatkan hubungan antara kedua negara. Persetujuan ditandatangani di pulau Lombok, Mataram, bertujuan untuk meningkatkan kerjasama keamanan, intelejen, dan pertahanan diantara kedua negara. (Nur)
foto | http://inhudh.wordpress.com
foto | http://100r.org
foto | http://en.wikipedia.org
Topik Utama
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
7
Topik Utama
foto | Humas LPSK
Topik Utama
Pentingnya Perlindungan Saksi Transnational Organized Crime Dilatarbelakangi meningkatnya kejahatan transnasional terorganisasi, semisal terorisme penyelundupan narkoba, ataupun trafficking, selama 3 hari sejak tanggal 11 hingga 13 Juni lalu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM RI, Kejaksaan Republik Indonesia, POLRI, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), United State Departement of Justice (US DOJ) dan International Organization for Migration (IOM) melakukan konferensi internasional perlindungan saksi kejahatan transnasional terorganisir di Hotel Nusa Dua Beach, Bali. Kegiatan dibuka langsung oleh Wakil Presiden RI Boediono dan Gubernur Bali Made Mangku Pastika.
K
etua LSPK Abdul Haris Semendawai menuturkan, ancaman yang diterima selama ini kerap membuat saksi menolak atau takut memberi kesaksian. Terlebih jika kejahatan itu terorganisir dan bersifat transnasional atau lintas negara (transnasional organized crime). Dirinya berharap, kegiatan konferensi internasional ini dapat menjadi embrio dari munculnya working group di tingkat regional, sehingga dapat merumuskan bentuk kerjasama perlindungan saksi dan korban transnasional organized crime. “Perlindungan bagi saksi dan korban adalah mutlak dan menjadi alat untuk memberantas kejahatan serius. Lebih jauh lagi untuk mengungkap kejahatan adalah untuk mewujudkan rule of law,” kata Ketua LPSK. Dengan adanya konferensi ini diharapkan juga mampu meningkatkan mutu pelayanan, baik dari pemerintah maupun LPSK terhadap para saksi kejahatan ini, termasuk dalam hal pendanaan operasional. Dari konferensi ini diharapkan dapat menjadi masukan dan pembelajaran untuk memperkuat
8
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
kolaborasi atau koordinasi antara LPSK dengan stake holder terkait perlindungan saksi dan korban. “Kerja sama juga diarahkan agar saling mendukung dalam rangka penguatan antar lembaga dalam rangka menjalankan amanat melindungi saksi dan korban,” urai Semendawai. Tingginya angka kejahatan transnasional setiap tahunnya memang menjadi permasalahan tersendiri. Di Indonesia misalnya, Mabes Polri mencatat kenaikan kejahatan transnasional terorganisir mencapai 35,28 persen pada tahun 2011 dengan jumlah 16.138 kasus dari sebelumnya 10.444 kasus di tahun 2010. Jumlah ini dikhawatirkan akan kembali meningkat di tahun ini. Menurut Kabareskrim Komjen Sutarman, tingginya angka kejahatan transnasional terorganisir tak lepas dari pengaruh jumlah sumber daya manusia dari Polri yang memang tidak sebanding dengan luas negara Indonesia dan banyaknya pintu masuk baik udara, darat dan laut. Hal ini diakuinya menjadi celah
para pelaku, seperti para penyelundup warga negara asing (imigran gelap) yang terkadang tak memikirkan keselamatan hingga terjadi bencana seperti kasus imigran gelap di Jawa Timur beberapa waktu lalu. Kasus transnasional, lanjut Sutarman, terkadang erat berkaitan satu sama lain. Sebagai contoh dirinya memaparkan penangkapan imigran gelap di Ujung Genteng Sukabumi yang ternyata dimanfaatkan sindikat internasional untuk menjadikan mereka sebagai kurir narkoba karena kesulitan ekonomi. Menilik dari besarnya sindikat-sindikat dalam kasus transnasional, Sutarman setuju bahwa peran saksi sangat penting dan adanya kerjasama internasional untuk penanganannya. “Begitu banyaknya sindikat-sindikat kejahatan, maka peran saksi akan menjadi ancaman bagi mereka. Juga diperlukan kerjasama regional maupun internasional untuk menanggulanginya. Namun harus dilihat bagaimana sistem peradilan di negara itu, mekanisme perlindungannya, cocokkah digunakan di Indonesia. Sistem hukum, polisi akan dipengaruhi besar budaya bangsa,” ujar Sutarman yang turut hadir dalam konferensi internasional ini. Indonesia sendiri menyoroti pentingnya perlindungan saksi kejahatan ini. Wapres Boediono dalam sambutannya mengungkapkan peran saksi dan korban sangat penting untuk mengungkap kejahatan serius lintas negara dan kejahatan terorganisir. Untuk itu, dirinya menekankan pentingnya kerja sama yang kuat antarnegara untuk menangani kejahatan transnasional organizes crime atau kejahatan lintas negara terorganisir seperti narkoba, terorisme dan kejahatan dunia maya. “Kejahatan tersebut selain telah menimbulkan kerugian dalam jumlah besar juga menyebabkan jatuhnya korban yang tidak sedikit,” papar Wapres. Boediono menjelaskan, komitmen Indonesia dalam memberantas kejahatan serius dapat dilihat dari diratifikasinya konvensi internasional yang mengikat diantaranya United Nation Cenvention Againts Transnational Organized Crime pada Desember 2003 dan United Nation Convention Againts Corruption, September 2003. Selain meratifikasi konvensi internasional, Indonesia tegas Wapres, juga banyak berperan aktif dalam berbagai forum internasional dan sejumlah International Working Groups terkait penanganan kejahatan. “Partisipasi dan kegiatan kita di berbagai forum kerjasama internasional itu telah memberikan berbagai manfaat bagi kita di Indonesia dalam upaya kita meningkatkan kinerja penegakan hukum di tanah air,” yakinnya. Meski demikian, Wapres mengakui bahwa potensi manfaat kerjasama Internasional itu masih belum dapat dipetik secara penuh untuk memperjuangkan kepentingan negara di arena internasional dan untuk mendorong peningkatan kinerja penegakan hukum di dalam negeri. Hal ini dipengaruhi beberapa aspek, seperti belum sepenuhnya siap dalam memanfaatkan peluang yang terbuka dari kerjasama tersebut. “Menurut hemat saya, kuncinya terletak pada upaya kita untuk membangun kapasitas di masing-masing instansi yang menjadi pihak atau counterpart utama dari setiap kerjasama internasional yang telah kita tandatangani,” tandasnya. Kurangnya komunikasi dan koordinasi antar instansi penegak hukum juga diakuinya belum sepenuhnya berjalan lancar. Hal itu mengakibatkan kasus-kasus yang berdimensi internasional yang sering menuntut kerjasama erat antar instansi, tidak dapat diperjuangankan secara maksimal di tataran internasional. “Saya perkirakan bahwa di waktu mendatang kasus-kasus hukum yang berdimensi internasional itu akan makin banyak kita hadapi,” ucapnya menekankan pentingnya kerja sama erat antarnegara untuk mengatasi kejahatan transnasional atau lintas nasional
(Kiri ke kanan) Gubernur Bali Mangku Pastika, Wakil Presiden Boediono, Ketua LSPK Abdul Haris Semendawai, Kabareskrim Komjen Sutarman (foto dari berbagai sumber)
yang kian hari semakin kompleks. Wapres meyakini, tidak ada satu negara pun secara sendiri dapat membendung tren meningkatnya kualitas ataupun kuantitas kejahatan lintas negara. Pendapat positif atas dilakukannya kegiatan yang dihadiri peserta lebih dari 200 orang dari 18 negara Asia, Eropa dan Amerika ini juga disampaikan Gubernur Bali. Secara khusus, Gubernur Bali Mangku Pastika menyampaikan terima kasih atas dipilihnya Bali sebagai tempat pelaksanaan acara, mengingat Bali adalah salah satu lokasi yang pernah menjadi korban kejahatan transnasional, yaitu tragedi Bom Bali. Menurut Gubernur Bali, sejak peristiwa Bom Bali tahun 2002, kejahatan transnasional sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia, oleh karenanya komunikasi dan kerjasama lintas negara wajib diakomodasi demi menunjang pengungkapan cepat. Terlebih Indonesia khususnya Bali saat ini sering dipakai sebagai tempat transitnya kejahatan narkotika yang pengusutannya membutuhkan kerjasama lintas negara. Penandatanganan MoU Selain bertukar pengalaman dalam program perlindungan saksi kejahatan transnasional terorganisir, konferensi internasional yang berlangsung beberapa hari ini juga ditandai dengan penandatangan nota kesepahaman antara LPSK dengan BNPT serta dengan IOM. Ketua LPSK berpendapat MoU dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sangat penting, mengingat banyaknya kasus terorisme terjadi di Indonesia, dimana saksi maupun korban butuh perlindungan dan ancaman bagi saksi maupun korban terorisme itu nyata. “Bagi saksi, kejahatan ini menimbulkan ketakutan besar hingga tidak ingin bersaksi. Kita berharap selain perlindungan secara fisik, saksi juga bisa menerapkan hal lain untuk menjaga keselamatannya seperti menggunakan teleconference saat memberikan kesaksian dalam persidangan,” kata Semendawai. Sementara kepentingan MoU dengan IOM diharapkan dapat mendorong para saksi atau korban untuk memproses kasus yang mereka alami melalui proses hukum. “Korban trafficking jumlahnya besar dan tindak pidana ini butuh penanganan serius. Diharapkan MoU ini mampu mendorong para saksi atau korban untuk memproses kasus yang mereka alami melalui proses hukum,” harapnya. Menurut Semendawai, selama ini korban umumnya memilih untuk diam karena khawatir mengalami kesulitan, berupa ancaman dan kekerasan dari pelaku. Pasalnya, tak hanya terorganisir atau bisa berbentuk perusahaan, namun para pelaku juga banyak yang merupakan orang-orang dekat korban sehingga ancaman sangat nyata. (Nur)
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
9
Topik Utama
foto | http://geometrx.com
Topik Utama
Menengok Pola Perlindungan Saksi Negara Sahabat Berbagai cara dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Terlebih bagi mereka yang menjadi saksi kunci atas kasus besar seperti transnational organized crime (kejahatan transnasional terorganisir).
10
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
D
alam ulasan berikut ini penulis akan mencoba merangkum beberapa langkah yang dilakukan negara lain seperti Amerika Serikat. Italia, dan Australila dalam memberikan program perlindungan saksi.
Perlindungan Saksi Layaknya Pengamanan Presiden Amerika Serikat adalah salah satu negara yang sangat menganggap pentingnya perlindungan saksi kejahatan. Konsep perlindungan saksi di Amerika terbentuk pada tahun sekitar 1960an dibawah Jaksa Agung Robert F Kennedy. Pada saat itu Robert memiliki kesulitan terutama untuk jaksa, melawan kasus La Costa Nostra (LCN). Jaksa Agung pada saat itu meminta Jaksa yang berada dalam departemen kehakiman bernama Gerald Shur (bapak pendiri atau pencipta program perlindungan saksi di Amerika Serikat) untuk merumuskan apa yang saat ini menjadi UU perlindungan saksi di Amerika Serikat.
Mark Pitela dari United State Marshals Service mengungkapkan, beberapa hal yang sangat diperlukan dalam program, perlindungan saksi yaitu political will, UU yang solid dan kuat harus bisa bersifat meluas, pendanaan besar dan memiliki unit terlatih. Political will menurut Mark berasal dari pengambil keputusan, dimana pemerintah perlu merasakan pentingnya punya program perlindungan saksi. Sementara mengenai UU yang solid dan kuat dijelaskannya harus bisa bersifat meluas dan juga bisa menjaga bahkan mengambangkan program perlindungan saksi. Terkait pendanaan besar, Mark memaparkan hal itu dikarenakan saksi yang akan dilindungi mungkin akan berada dalam program untuk waktu lama. Tak hanya itu, terkadang keluarga dari saksi itupun perlu mendapat perlindungan. Unsur terkahir yang tak kalah penting adalah keberadaan unit terlatih untuk bisa menjalankan prosedur-prosedur tersebut, terutama untuk melakukan parameter pengamanan atau perlindungan terhadap saksi. Di unsur terakhir inilah keberadaan United States Marshals Services dibawah pengawasan Departemen Kehakiman dibutuhkan. Program perlindungan saksi di AS memiliki tiga badan utama yang melengkapi seluruh badan dari perlindungan saksi di AS. Badan pertama adalah Kantor Operasi Penegakan, dimana Jaksa Agung mendelegasikan badan ini sebagai pemimpin untuk melihat apakah seseorang bisa berpartisipasi atau menjadi peserta dari perlindungan saksi. “Ada satu direktur yang akan melihat dan memutuskan apakah layak menjadi saksi dilindungi,” kata Mark saat berbicara dalam Konferensi Internasional Perlindungan Saksi kejahatan Transnasional Terorganisir di Bali beberapa waktu lalu. Badan berikutnya adalah Biro Lapas. Biro ini diangap penting untuk memastikan bahwa justice collaborator yang mendaftar di program perlindungan saksi mendapatkan lingkungan yang aman. Sementara yang ketiga adalah Dinas Marshall yang bertugas melakukan relokasi dan operasi harian. Sesuai dengan UU yang diamandemen pada tahun 1984 karena banyaknya kasus-kasus high profile, program perlindungan oleh Dinas Marshals bisa diberikan seumur hidup asalkan mengikuti aturan. Perlindungan yang diberikanpun menurut Mark dapat disetarakan dengan pengamanan terhadap presiden, tergantung dari peran saksi dalam membongkar kasus dan tingkat ancaman serta jenis kasus yang dianggap sangat penting. Berbagai jenis perlindungan dapat dilakukan mulai dari penggantian identitas, penyediaan rumah aman bahkan penyediaan mobil anti peluru untuk memastikan pengamanan. Hebatnya lagi, pengamanan ternyata juga akan diberikan terhadap keluarga maupun kerabat saksi atau justice collaborator itu jika memang terindikasi menerima ancaman serius. Faktor lain yang tak kalah penting selain pendanaan yang besar, kerahasiaan keberadaan pihak yang dilindungi harus benarbenar terjaga. “Semua inspektur kami, semua petugas kami harus menandatangani kesepakatan kerja bahwa mereka tidak akan membocorkan informasi apapun terkait program ini kepada orang-orang di luar program. Kesepakatan ini harus ditandatangani, dibuat oleh semua orang yang terlibat dalam program perlindungan saksi, termasuk juga petugas lapas,” tukas Mark. “Saksi yang masuk dalam program kami, seringkali keluarganya juga akan dilindungi. Kami akan merelokasi keluarga secara terpisah, kami akan melindungi keluarga saksi. Lapas akan melindungi saksi yang di lapas. Departemen Lapas adalah departemen yang punya yuridiksi terhadap tahanan yang berada dalam protection case. Akan ada petugas keamanan
khusus, petugas keamanan federal yang ditempatkan dalam lapas yang bertugas mengawasi orang-orang dalam program protection,” sambungnya. Mengingat bagaimana ketatnya pengamanan dan besarnya dana dibutuhkan, tentu saja US Marshals Services tak serta merta melindungi setiap saksi yang ada. Saksi yang akan dilindungi akan diseleksi berdasarkan tingkat pernyataannya dalam membongkar kasus. “Apakah kita merasa pernyataan mereka nantinya adalah sesuatu yang sangat penting sekali bagi jaksa untuk mengungkap kasus. Ada ancaman yang diterima. Bisa tidak secara langsung, tetapi melalui keluarga atau kerabatnya,” tuturnya. Untuk kasus terkait Justice Collaborator (JC), menurut Mark memerlukan koordinasi yang kuat. “Di Biro Lapas ada unit penahanan perlindungan. JC akan masuk didalamnya, ini adalah penjara di dalam penjara itu sendiri. Menjadi tanggungjawab Biro Lapas untuk memastikan mereka tidak tercampur dan tetap selamat. Populasi lainnya tidak akan melihat saksi mana yang meninggalkan gedung tersebut,” ucap Mark. “Apabila saksi akan keluar untuk bersaksi maka Dinas Marshall yang kan keluar untuk memberikan transportasi. Menjemput si individu dan kemudian membawanya ke pengadilan untuk bersaksi dengan pengamanan yang ketat dan dikembalikan ke Lapas,” sambungnya. Amerika Serikat bahkan, kata Mark, telah menerapkan hukum yang mengatur pemberian sanksi pidana bagi mereka yang mengancam atau melakukan kekerasan terhadap pihak yang dilindungi. Dan hal ini telah diterapkan beberapa tahun lalu saat terjadi kebocoran informasi kepada organisasi kejahatan hingga akhirnya keberadaaan justice collaborator yang dilindungi di dalam lapas diketahui. Berdasarkan penyelidikan, diketahui bahwa pelaku yang membocorkan rahasia tersebut ternyata adalah salah satu petugas setempat, hingga akhirnya dituntut secara pidana. “Orang tersebut dipidana dan dipenjara. Siapapun yang berusaha menciderai, melukai atau mengancam saksi yang berada dalam program perlindungan kami akan dituntut,” tegasnya. Tingginya tingkat selektif dan keterbatasan yang ada membuat US Marshals Services hanya mampu melindungi satu persen saksi kunci dari 120 kasus besar pada tahun lalu yang berhasil masuk ke dalam program perlindungan saksi. Namun jika dilihat sejak 1970, US Marshall Services telah berhasil melindungi 20 ribu saksi kunci dan keluarganya. US Marshall Services mengamati terjadinya perubahan tren atas saksi kunci yang masuk dalam perlindungan. Jika sebelumnya di tahun 1960 dan 1970 an saksi dilindungi banyak dari kejahatan tradisional terencana, di tahun 1980 dan 1990 an, saksi dilindungi umumnya berasal dari kasus pengungkapan atau pemberantasan narkoba. Sedangkan di tahun 2000-an hingga saat ini, saksi dilindungi umumya berasal dari kasus perang geng dan kekerasan. Data ini diperkuat oleh statistik yang menunjukkan 66 persen saksi dilindungi saat ini berasal dari kasus perang antar geng dan di dalam penjara, 24 persen dari jenis kejahatan kerah putih, korupsi, teroris dan narkoba dan 10 persen dari sindikat kejahatan tradisional. Sejumlah kendala diakui Mark kerap ditemui dalam menjalankan program perlindungan saksi, seperti dalam kasus perang antar geng, saksi dilindungi umumnya masih muda dengan pendidikan rendah dan pengalaman kerja minim, umumnya akrab dengan kekerasan, mempunyai sejarah dipenjara serta kesulitan dalam berbahasa dan kelengkapan dokumen identitas. Terkait pesatnya kemajuan teknologi termasuk penggunaan
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
11
Topik Utama
Topik Utama
Saat ini Kongres di Amerika Serikat tengah membicarakan mengenai kerjasama internasional dalam perlindungan saksi. “UU kami pada saat ini tidak mendikte kami, apakah bisa bekerjasama dengan mitra international untuk melakukan relokasi, kecuali mereka memiliki penyampaian terakhir terhadap proses penuntutan yang ada di AS. Ini sedang dibicarakan di Kongres di AS sekarang dan sudah melalui dua hambatan di kongres, mudah-mudahan tahun ini bisa dilegalisasi sehingga kita bisa mengambil kasus-kasus internasional untuk membantu sekutusekutu kami yang ada di luar negeri,” kata Mark Pitela dari United State Marshals Service.
12
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
Dana Perlindungan Tak Terbatas Keberadaan program perlindungan saksi (witness protection) mungkin saja berbeda antar negara. Jika Indonesia dan Amerika menempatkannya dibawah Kementerian atau Departemen Hukum, Austalia dan Austria memposisikannya dibawah Depertemen Kepolisian. Namun demikian, kendala yang dialami umumnya sama, yaitu mengenai pendanaan yang cukup besar untuk program ini. Faktor pendanaan merupakan salah satu poin penting sekaligus kendala dalam perlindungan saksi. Pemerintah dituntut mampu menyediakan dana besar bahkan unlimited untuk program perlindungan saksi. Hal ini dikarenakan perlindungan saksi khususnya yang benar-benar terancam, terlebih jika dalam jumlah korban banyak dan memakan waktu lama. Dana tersebut digunakan untuk berbagai hal, mulai dari penggantian identitas pihak dilindungi, rumah aman hingga kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Belum lagi jika mereka yang dilindungi harus direlokasi ke luar negara demi keselamatan. Agent Federal Mark Laing dari Australia Federal Police yang membawahi program perlidungan saksi di Australia menyebutkan, angaran dibutuhkan untuk setiap saksi di tahun pertamanya sebesar 80.000 dolar Australia. Namun seiring dengan besarnya dana digunakan, diperlukan pula laporan pembelanjaan terkait perlindungan saksi kepada parlemen. Hingga saat ini, Parlemen Australia tak mempermasalahkan besarnya anggaran dikeluarkan untuk program perlindungan saksi ini. Senada dengan Mark Laing, perwakilan Prosecutor’s Office of Naples – Italy, Dr. Fausto Zuccarelli menekankan pentingnya kesiapan dana besar untuk program perlindungan saksi. Dirinya mengisahkan pernah dilakukan perlindungan hingga dibutuhkan relokasi terhadap satu desa yang memakan biaya sangat besar. Hal tersebut dikarenakan penduduk kampung merupakan satu keluarga besar. Bisa dibayangkan berapa banyak biaya dikeluarkan pemerintah Italia saat itu untuk program perlindungan saksi yang posisinya dibawah ministry of interior tersebut.
Zuccarelli menggambarkan, selama lima tahun terakhir jumlah justice collaborator di Italia berada di atas angka 800 orang. Di tahun 2011, jumlah justice collaborator dilindungi mencapai 1.093. Angka ini dikhawatirkan meningkat dua kali lipat di tahun 2012. Mengingat jumlah justice collaborator hingga 30 April tahun ini telah berjumlah 1.114 orang. Peningkatan serupa juga terjadi untuk saksi dilindungi di tahun 2012 yang hingga akhir April berjumlah 278 orang. Sementara di tahun lalu dan tahun sebelumnya, jumlah saksi dilindungi sebanyak 2989 orang setiap tahunnya. Dalam segi pengeluaran anggaran, tahun 2011 Italia mengalami penurunan, Jika sebelumnya di tahun 2010 anggaran dikeluarkan untuk program perlindungan saksi dan justice collaborator mencapai 70 juta Euro, sepanjang tahun 2011 dana dibutuhkan hanya sebesar 64,5 juta Euro. Tentu saja angka itu adalah tetap angka yang besar. Zuccarelli memastikan pos anggaran terbesar dalam program perlindungan ini adalah untuk kebutuhan hidup bulanan dan menyewa rumah aman, masing-masing di angka 56 persen dan 33 persen. Sementara untuk health care porsinya hanya 1 persen. Penyebaran Jaringan Perlindungan Internasional Penyebaran jaringan melalui kerjasama dalam forum satu kawasan dipercaya memberi banyak keuntungan, khususnya bagi negara yang memiliki luas wilayah kecil. Austria misalnya, yang memiliki luas wilayah 83.851 kilometer persegi. Program perlindungan saksi di Austria terbentuk pada tahun 1998 dengan kekuatan terbesar adalah kepolisian. “Kepala kepolisian yang membuat keputusan. 2010 melakukan reorganisasi, 1 unit perlindangan saksi, 1 unit perlindungan korban, hanya pada korban yang beresiko tinggi dan Bertanggung jawab secara nasional. Kewenangan ini dipegang oleh kepala Departemen. Bila ada saksi yang datang, keputusan dilindungi atau tidak dibuat oleh Kepala Unit,” ujar Wolfgang JOB, Head of Witness Protection Unit Criminal Intelligence Service Austria. Pria yang telah bertugas selama 30 tahun di kepolisian ini mengungkapkan sebagai negara kecil yang terapit oleh negara lain, Austria memiliki beberapa kekhususan. “Beberapa kekhususan, kami melibatkan klien-klien asing karena beberapa kejadian dilakukan oleh negara asing, seperti dari Eropa Timur. Umumnya 80 persen bukan warga negara Austria,” jelasnya. Sebagai negara dengan luas wilayah kecil, Wolfgang mengakui kendala terbesar adalah menyembunyikan keberadaan saksi dilindungi. “Kami adalah negara kecil. Tidak mungkin menyembunyikan saksi dalam jangka panjang. Kerjasama internasional sangat penting untuk menyembunyikan saksi. Pada tahun 1994, Austria mempertimbangkan unit perlindungan saksi. Ketika itu hanya 3 negara, yaitu Inggris, Jerman dan Italia yang memiliki program perlindungan saksi. Saat ini 22 dari 27 negara Uni Eropa memiliki unit perlindungan saksi. Perlindungan saksi menjadi topik sangat penting di Eropa untuk memberantas kejahatan besar,” katanya. Keuntungan dari jejaring internasional melalui forum kerjasama kawasan seperti di Eropa seperti Europol ucapnya, perwakilan negara anggota dapat saling bertukar pengalaman dalam pertemuan yang dilakukan secara rutin. Hal ini dipercaya mampu meningkatkan kualitas perlindungan saksi di negara masing-masing. Negara anggota juga dapat melakukan latihan bersama secara berkala. Selain dua hal di level strategis tersebut, dalam operasional kerjasama bahkan sangat memungkinkan terjadinya penitipan saksi dilindungi di wilayah negara sesama anggota. Hal ini
foto | www.europol.europa.eu
jejaring sosial, ditekankan Mark dapat berbahaya dan memungkinkan saksi dilindungi terdeteksi keberadaannya. Sistem dokumen dengan program biometric dikhawatirkan juga akan menjadi permasalahan serius untuk pergantian identitas saksi dilindungi. “Perlindungan bukan 24 jam dalam 7 hari tetapi merubah identitas. Cara yang aman untuk mengamankan mereka. Kita punya beberapa safe house di Negara kami. Betapa sulitnya bekerja jika mereka menggunakan media sosial,” urai Mark. Alat pendeteksi wajah, data biometric dari satu negara ke negara lain harus ada contact secure, sehingga identitas saksi tidak diketahui. “Program ini telah menjadi alat efektif bagi jaksa selama 40 tahun terutama dalam memerangi kejahatan teroganisir,” sambungnya. Lebih jauh Mark memaparkan saat ini Kongres di Amerika Serikat tengah membicarakan mengenai kerjasama internasional dalam perlindungan saksi. “UU Kami pada saat ini tidak mendikte kami, apakah kita bisa bekerjasama dengan mitra international untuk melakukan relokasi kecuali mereka punya penyampaian terakhir terhadap proses penuntutan yang ada di AS. Ini sedang dibicarakan di Kongres di AS sekarang. Ini sudah melalui dua hambatan di kongres dan mudah-mudahan tahun ini bisa dilegalisasi sehingga kita bisa mengambil kasuskasus internasional untuk membantu sekutu-sekutu kami yang ada di luar negeri,” imbuhnya.
(Atas) Foto udara kantor pusat Europol di Raamweg, Den Haag. (Bawah) Europol mendukung negara-negara anggota untuk bekerja sama dalam pencegahan kejahatan internasional.
tentunya sangat menguntungkan bagi negara-negara kecil seperti Austria dan lainnya. “Jejaring perlindungan saksi, tidak hanya seluruh Eropa tapi dunia, saksi tidak bisa disembunyikan dalam negeri kami harus memutuskan negara tetangga mana yang bisa membantu,” jelas Wolfgang. Kerjasama internasional ada 2 yakni, pertama kerjasama strategis, melakukan pertemuan antara para pakar, seperti Europol yang setiap tahun membahas trend baru. Pelatihan seperti proyek penanganan terorisme yang didanai Eropa (proyek jangka panjang untuk membantu negara Balkan meningkatkan kemampuan mereka dalam melakukan perlindundungan). Kedua, kerjasama operasional misalnya melakukan relokasi warga negara, bantuan logistik, menyediakan HP, jasa labotarium atau lainnya. Dalam kerjasama internasional diperlukan kerangka hukum yang tepat yang bisa dilakukan oleh kementerian terkait di negara masing-masing. Dalam kesempatan yang sama Wolfgang berpendapat, berdasarkan pengalaman Austria, semakin kecil sebuah negara semakin besar kebutuhan kerjasama internasional untuk perlindungan saksi. (Nur)
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
13
Profil
Profil Bisa diceritakan seperti apa detail pekerjaan Anda sebagai Anggota LPSK Bidang Perlindungan Saksi dan Korban? Per Juni ini saya masuk bulan ketiga sebagai komisioner LPSK. Tugas saya juga sederhana, melindungi saksi dan korban di pengadilan, pada saat mereka diperiksa oleh kepolisian dalam penyidikan. Kita juga melindungi masyarakat yang mengharapkan proteksi diri dan keluarganya. Namun demikian, perlindungan yang bersifat psikologis akan lebih banyak ditangani bidang Bantuan Kompensasi dan Restitusi. Selama tiga bulan pertama Anda menjadi anggota LPSK, adakah kesulitan yang dihadapi, apalagi LPSK sedikit susah bergerak karena sejumlah aturannya belum direvisi?
Tasman Gultom
Kekuatan Internal Kunci Keberhasilan Pelayanan
Saya melihat seperti ini, bahwa tenaga-tenaga perlindungan yang ada di lapangan belum diberikan tanda-tanda khusus yang bisa dilihat oleh masyarakat bahwa mereka ini adalah tenaga pelindung dari LPSK. Bandingkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Saat memeriksa di lapangan, mereka memakai rompi. Sedangkan LPSK masih memakai pakaian bebas. Ini sangat rentan terhadap perlindungan mereka sendiri. Saya pernah mengkritisi salah seorang tenaga pelindung yang memakai high heels saat bekerja. Ini rentan apabila terjadi chaos saat di pengadilan. Terkadang ketika di pengadilan, tak terlihat mana tenaga pelindung LPSK mana yang bukan. Dalam keadaan tertentu orang harus melihat bahwa inilah LPSK. Itu adalah penghargaan kita kepada lembaga. Kalau kita bertemu seorang polisi yang tak berseragam, akan berbeda sikap kita ketika bertemu dengan polisi berseragam. Apakah aturan memakai seragam khusus itu belum ada aturannya?
foto | Humas LPSK
Belum. Harapan saya LPSK harus mampu mengadakan peraturan itu. Itu adalah kreativitas LPSK sendiri. Untuk persoalan ini, tak perlu revisi UU.
K
akek satu cucu ini memiliki motivasi tinggi untuk memperkuat internal LPSK. Dia percaya, tanpa didukung kondisi internal yang baik, maka torehan prestasi gemilang di skup eksternal hanyalah omong kosong belaka. Prinsip yang dia pegang teguh ini bahkan menghantarkannya meraih suara tertinggi saat menjalani fit and proper test seleksi anggota LPSK pengganti di DPR. Dialah Tasman Gultom. Ketiga buah hatinya yang sudah bekerja membuat Tasman bisa lebih fokus terhadap amanahnya sekarang. Sebuah tugas yang dikatakan sederhana secara bahasa, namun memiliki kompleksitas tinggi dalam tataran praktek; melindungi saksi dan korban. Anehnya, Tasman justru menikmati pekerjaan ini. Mengapa begitu? Kepada KESAKSIAN, Tasman menguraikan secara rinci alasan dan ide-idenya tentang penguatan internal LSPK. Berikut petikan wawancaranya.
14
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
Lalu bagaimana untuk memaksimalkan perlindungan terhadap saksi dan korban? Kalau untuk memaksimalkan perlindungan, LPSK itu kan sifatnya public service. Jadi semakin banyak orang yang minta dilindungi, LPSK akan semakin bagus. Nah, kuncinya bagaimana LPSK secara lembaga bisa meyakinkan masyarakat untuk datang dan sadar dalam upaya mengungkap kejahatan. Inti dari pekerjaan LPSK sebenarnya ada dua, yakni bagaimana melindungi whistleblower (peniup peluit) dan justice collaborator (pelaku yang bekerjasama). Nah, image ini harus dibangun. Ketika melakukan perlindungan, kami harus menunjukkan cira khas kami agar masyarakat yakin. Apakah perlindungan terhadap saksi dan korban pada kasus yang ada sekarang sudah maksimal? Harapan saya, untuk di sistem peradilan pidana, sistem itu sudah
harus mengakui LPSK sebagai pihak. Artinya, menjadi bagian dari proses pengadilan. Jadi, kami bisa melakukan intervensi dan eksepsi. Saat ini, ketika saksi diperiksa, yang berhak bertanya hanya jaksa penuntut umum dana pengacara. Sepatutnya, LPSK juga berhak mengajukan keberatan terhadap cara-cara jaksa penuntut umum dan pengacara dalam mengorek keterangan saksi. Apalagi saksi sangat berpotensi untuk menjadi terdakwa. Sekarang belum ke arah sana? Belum, belum ada. Status saksi hanya dalam perlindungan LPSK. Perlindungan lebih pada diri si saksi, bukan pada kasusnya. Saya berharap ada revisi terhadap KUHP yang memasukkan LPSK terlibat aktif di dalam pengadilan. Jika tidak, LPSK hanya menjadi bayang-bayang saja di pengadilan. Dalam satu proses pembuktian, hakim hanya memegang dua prinsip, yakni pembuktian berdasarkan UU dan pembuktian berdasarkan keyakinannya. Sekarang bagaimana LPSK bisa meyakinkan majelis, kalau tak terlibat langsung di dalamnya. Jangan sampai lembaga ini justru untuk melindungi penjahat. Lembaga ini harus dipakai sebagai lembaga pengungkap. Apa yang dilakukan LPSK untuk bisa resisten dari intervensi pihak luar, terutama ketika melindungi whistleblower dan justice collaborator? Saya tak melihat ada peluang untuk intervensi. Karena, kita hanya melindungi kok. Melindungi dari serangan pihak luar. Katakanlah Mindo (Rosalina Manulang). Sekarang dia ada di KPK. Waktu masih di lapas kan yang paling dikhawatirkan adalah tamu. Bisa saja ada yang beniat untuk menghilangkan nyawanya. Pada saat kita melindungi dia, kita bekerjasama dengan aparat. Jadi, kita bisa meminimalisasikan intervensi. Lalu bagaimana jika menghadapi ancaman? Ya, alhamdulillah kita belum menghadapi gangguan yang sifatnya prinsip. Namun, ada kejadian di Bekasi, justru yang mau ditonjok itu polisi. Dia mau ditonjok oleh anaknya si terlindung. Tapi itu kan kejadian crash. Ada satu chaos. Anda terbilang anggota baru di LPSK. Bagaimana cerita mulanya Anda tertarik menjadi Anggota LPSK? Pertama kali tertarik masuk LPSK sewaktu saya menangani kasus pidana. Kasusnya pemukulan terhadap salah satu klien perempuan saya. Kasus itu saya tangani sekitar 2006-2007 atau bersamaan dengan LPSK berdiri. Lalu saya berselancar di internet. Ketemulah LPSK. Kemudian saya menelepon Pak Dawai (Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai). Karena lawan dari klien saya luar biasa, saya dan kawan-kawan advokat merasa harus ada satu kekuatan lain yang bisa mengcover dia. LPSK adalah jawabannya. Selanjutnya, saya mengetahui ada penerimaan calon pengganti anggota
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
15
Profil
Profil
Saat fit and proper test DPR, Anda mendapat suara terbanyak. Apa yang Anda sampaikan saat itu hingga bisa meyakinkan anggota DPR? Saya bilang sama mereka, saya ingin membenahi internal dan eksternal LPSK. Internalnya, saya mengusahakan agar negara memberikan penghargaan lebih kepada pegawai LPSK. Negara juga harus melindungi mereka. Omong kosong kita bisa menang di eksternal kalau kita tak bisa menang di internal. Pegawai-pegawai LPSK harus bangga dulu dengan pekerjaannya. Minimal, angkatlah mereka menjadi pegawai negeri sipil. Bila perlu, beri mereka beasiswa. Harus ada reward yang jelas. Ketika saya menjadi anggota di sini, saya merasa pelindungnya tak dilindungi, sedangkan jualan LPSK adalah melindungi orang. Ini ada satu yang aneh. Sedangkan untuk eksternal, yang pasti UU LPSK harus segera dibenahi. Masyarakat juga harus kita dorong untuk lebih peduli terhadap LPSK, karena tanpa dukungan masyarakat, bagaimana kita bisa membenahinya. Dalam kurun tiga bulan menjadi anggota LPSK, seperti apa upaya Anda dalam mewujudkan janji yang Anda sampaikan sewaktu fit and proper test di DPR, khususnya mengenai sosialisasi LPSK di masyarakat? Nah, di LPSK itu banyak bidang. Sebagai anggota di bidang perlindungan, saya tak bisa berimprovisasi sendiri. Namun, untuk menyosialisasikan perlindungan, yang saya lakukan adalah banyak bergaul dengan kawan-kawan pengacara. Saya memperkenalkan ke mereka bahwa saya sekarang sebagai anggota LPSK. Intinya menebarkan kartu nama sebanyakbanyaknya. Hanya itu yang mungkin bisa saya kerjakan supaya tak overlap dengan bidang lain. Saya harus sopan dan saling menghargai antarbidang. Untungnya, semakin banyak menyebar kartu nama, semakin banyak pengacara yang tahu LPSK. Harapannya, ketika ada kasus, mereka tak segan-segan untuk mendatangi LPSK. Saya juga menyerukan ke mereka, kalau ada saksi yang mereka
Omong kosong kita bisa menang di eksternal kalau kita tak bisa menang di internal. Pegawai-pegawai LPSK harus bangga dulu dengan pekerjaannya.
16
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
tangani ingin membongkar suatu kejahatan, mari datang ke LPSK. Itu yang saya kerjakan secara individual. Anda pernah bergabung di parpol, juga menjadi in house lawyer, apakah pengalaman itu memperkaya pengetahuan Anda saat menjadi anggota? Dulu saya jadi advokat, ya. Paralegal, ya. Saya juga pernah bergaul di parpol. Tapi setelah saya menjadi advokat, saya keluar dari parpol. Fakta ini saya buka saat menjalani fit and proper test di panitia seleksi maupun di Komisi III DPR. Bahkan ada pertanyaan, apakah LPSK juga bisa korupsi. Saya bilang LPSK dibiayai APBN. Selama dibiayai negara, potensi untuk ke arah sana pasti ada. Jadi, bergantung moralnya. Bagaimana Anda beradaptasi dengan lima anggota lain yang terlebih dulu sudah ada di LPSK? Gak ada masalah. Kebetulan di sini saya datang berdua dengan David (Anggota LPSK pengganti David Nixon). Lima anggota yang ada duluan, tiga orang suka bernyanyi, saya juga suka. Satu orang suka diskusi, saya juga. Dan seorang lagi kebetulan penampilannya Jawa, istri saya juga orang Jawa. Jadi interaksinya jalan. Saya harus bisa memainkan kunci apa yang saya pakai untuk bergaul dengan orang lain. Paling gampang nyanyi bareng kalau ada kesempatan. Atau nyanyi acapela. Jadi tak ada masalah. Sebagai anggota pengganti, sehingga tidak bisa memberikan kontribusi dalam satu periode penuh, adakah motivasi untuk menjadi anggota LPSK kembali? Mari kita sama-sama berdoa. Mudah-mudahan saya mau. Karena saya bilang ke kawan-kawan, saya belum berpikir melanjutkan. Dalam 1,5 tahun ke depan, saya hanya ingin bekerja sungguhsungguh dulu. Tapi kalau dibilang tertarik sih, tertarik karena LPSK ini kan pekerjaaanya ibadah. Ketika ditanya anggota DPR kenapa tertarik masuk LPSK, saya menjawab karena LPSK tugasnya melindungi. Jadi, kenapa ketika negara menyediakan lembaga perlindungan, kita tak mau bekerja di dalamnya. Anda tidak khawatir keluarga keberatan karena waktu untuk bersama mereka menjadi berkurang? Saya punya tiga anak. Kebetulan ketiganya sudah kerja. Mereka sudah memilih profesinya masing-masing. Paling tidak saya tak berpikir lagi menghidupi mereka sehari-hari. Saya tak perlu jungkir balik mencari uang. Saya tahu bekerja di LPSK itu pengabdian. Jadi, cukuplah untuk saya dan istri saya dengan gaji di LPSK. Dan saya menikmati pekerjaan ini. (Rahmat)
foto | www.pecintawisata.wordpress.com
LPSK. Dan saya semakin ingin masuk ke sana karena dalam proses acara pidana, saksi adalah alat bukti yang paling prima. Keterangan saksi itulah yang benar-benar dijadikan majelis untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak. Baik saksi korban, saksi, atau saksi ahli.
Termotivasi Patung Proklamator
M
eja kerja yang menghadap ke Tugu Proklamasi dan pintu ruang kerja yang harus senantiasa terbuka. Itulah dua pesan Tasman Gultom ketika pertama memulai bekerja sebagai Anggota LPSK, sekitar tiga bulan silam. Bagi banyak orang, barangkali permintaan itu terkesan remeh temeh nan nyeleneh. Buat apa coba meja kerja menghadap patung? Dan bukankah ruang kerja pejabat sudah lazim selalu tertutup? Tapi Tasman punya pandangan berbeda. “Saya harus menghargai beliau sebagai pendiri bangsa ini. Walaupun hanya patung, semua nilai kebangsaan ada di sana,” katanya sembari menunjuk dua patung sang Proklamator. Pintu ruang kerja yang selalu terbuka bertujuan agar dia bisa mendengar apa yang diperbincangkan para stafnya di Bidang Perlindungan Saksi dan Korban. Tasman memiliki enam staf dan satu tenaga ahli. Tasman merasa seperti katak dalam tempurung jika pintu tertutup. Apalagi dia tergolong orang baru di lingkungan LPSK. Sementara para stafnya rata-rata sudah berkecimpung di sana sekitar 3,5 tahun. “Jadi, saya bilang ke kawan-kawan, tolong diskusi sama saya. Kerja saya itu diskusi dan diskusi, lama-lama saya mengerti,” tuturnya. Sebagai anggota pengganti yang baru tiga bulan di LPSK, ayah tiga anak ini mengaku tak banyak tahu soal istilah teknis pekerjaannya. Ditambah, baru kali ini dia duduk di lembaga pemerintahan yang penuh dengan istilah birokratis seperti Rapim, Konsinyering, rakor, maupun rapat paripurna. “Beruntung staf-staf saya dengan sabar menjelaskan istilah teknis yang ada di LPSK dan lembaga pemerintahan umumnya,” kata Tasman. Dalam satu bulan pertama, Tasman sudah menguasai istilahistilah itu serta praktiknya. Tanpa bantuan dari para stafnya,
tak mungkin dia bisa cepat mengerti. “Jangankan itu, untuk menganalisi perkara dengan model perlindungan pun, saya sempat tidak mengerti,” jelas penyuka setelan polos putih dan hitam ini. Keberadaan staf pun tak hanya dimanfaatkan untuk menjelaskan istilah-istilah teknis. Suami dari Rita Murniana ini membangun suasana bekerja di Bidang Perlindungan Saksi dan Korban seperti kantor pengacara yang pernah dia miliki. Dia percaya, kerja tim di bidang hukum adalah kunci sukses menguak perkara. Jadi, ketika ada pengajuan perlindungan dari masyarakat, Tasman selalu memberikan kasus-kasus itu kepada enam stafnya agar mereka juga belajar menganalisa. Mereka cukup sibuk karena tren permohonan perlindungan ke LPSK yang semakin meningkat, bisa mencapai rata-rata 24 permohonan per hari. Apalagi seluruh stafnya merupakan lulusan sarjana hukum, sedangkan satu staf ahlinya meraih gelar master hukum. Dari analisis para stafnya, Tasman kemudian mempelajari dan membawanya ke rapat paripurna anggota. Tasman mengaku, sudah menjadi sifatnya untuk terbuka terhadap kritik dan saran. Dia orang yang siap dikoreksi dan mengoreksi. Tasman menekankan pentingnya kerja tim. Dia mengibaratkan permainan basket, dimana untuk menang harus mempunyai the dream team. “Jangan pernah berpikir untuk menjadi Superman,” tegasnya. Prinsip ini tertanam kuat tak lepas karena pengaruh latar belakangnya sebagai advokat. Tasman menerangkan, pekerjaan advokat adalah pekerjaan tim. Seorang pengacara selalu menyertakan kawan-kawannya dalam setiap pendirian
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
17
Profil
kantor, termasuk Tasman Gultom dan rekan. Inilah, kata dia, bedanya pengacara dengan tukang bakso. Seorang tukang bakso akan belanja sendiri dan masak sendiri, tapi tidak dengan pengacara. Lelaki yang masih setia melayani tamu untuk berkonsultasi tanpa memungut biaya itu berjanji akan terus menyosialisasikan LPSK ke masyarakat. Menurutnya, LPSK akan menjadi sangat berarti kalau masyarakat menyatakan sangat membutuhkan lembaga ini. “LPSK ini berdiri bukan karena keinginan pemerintah. Idenya datang dari koalisi LSM. Jadi, keberadaannya merupakan usulan dari masyarakat langsung,” jelasnya. Untuk itu, Tasman tak lelahnya meminta pemangku kebijakan untuk memberikan penghargaan lebih kepada para pegawainya. Dia yakin, ketika pegawai mendapatkan penghargaan terhadap hasil kerjanya, maka LSPK akan lebih cepat maju. “Kalau pun saat ini ada moratorium PNS, ya sudah sahkan saja yang ada sekarang. Agar statusnya jelas, jangan honorer terus,” kata pria yang sudah pernah tinggal beberapa tahun di Papua. Pengalamannya di Papua menempa Tasman untuk peduli terhadap orang lain. Dia tak henti-hentinya tercengang dengan keindonesiaan orang Papua. “Ke pelosok mana pun saya pergi, orang-orang di sana berbicara memakai bahasa Indonesia,” kata anak ke delapan dari 13 bersaudara putra-putri pasangan KP Gultom dan N Br Silitonga ini. Dia kagum betapa masyarakat Papua menghormati para pendatang. Sejak kecil, Tasman dididik berdisiplin. Bapaknya seorang tentara. Dia diajarkan untuk tak gampang menyerah dalam mengejar sesuatu. Tasman mengaku selalu digenjot oleh ayahnya untuk menerapkan prinsipprinsip perjuangan. “Coba, coba, dan coba lagi. Kalau Jatuh, berdiri, dan lari lagi,” kenangnya. Ada fakta lain yang membuat dia bisa dikatakan istimewa. Pantang bagi Tasman untuk menjadi pengacara membela koruptor. Dia mengaku pernah membela saksi di KPK dengan kasus yang cukup besar. Namun, kasus yang dia tangani adalah persoalan asuransi KPU. “Di luar itu banyak sekali yang menawari saya untuk menjadi pengacara koruptor. Apalagi lima tahun ke belakang ini. Tapi saya tolak semua,” katanya. Alih-alih membela para koruptor, Tasman yang kelahiran Medan itu justru tertarik untuk membuka sekolah khusus hukum. Dia teringat dengan pernyataan Soemitro Djojohadikusumo yang menyatakan bahwa belajar itu harus sampai kedip mata terakhir. Pernyataan itulah yang membuatnya termotivasi untuk terus belajar walaupun usianya sudah berkepala lima. “Saya pengen punya sekolah advokat. Saya lebih suka disebut pendidik daripada pengajar. Saya banyak menjadi mentor di pendidikan khusus profesi advokat. Pesertanya calon advokat,” kata sosok yang mengidolakan almarhum Baharuddin Lopa, Bismar Siregar, dan Adnan Buyung Nasution itu. (Rahmat)
Biodata Tasman Gultom Nama Alamat Lahir Agama Pekerjaan Perkawinan Istri Anak Nama Orang Tua Nama Mertua
: Tasman Gultom, S.H., AAAI K. : Komplek Imigrasi Nomor 12, Cengkareng Barat Jalan Daan Mogot KM 14,5, Jakarta Barat, 11730 : Medan, 30 Desember 1957 : Islam : Advokat dan Konsultan Hukum : Kawin dengan Tiga Anak : Rita Murniana binti Soedarno Sosroamidjojo : Redho R. Nugroho Gultom, Putri Angginamora Gultom Angky Liobrian Gultom : KP Gultom (ayah) dan N Br Silitonga (ibu) : Soedarno Sosroamidjojo (laki-laki), dan Suharmina (perempuan)
Riwayat Pendidikan • SD Yayasan Saudara, Medan • SMP Negeri III, Medan • SMA Yosua, Medan • Fakultas Ilmu Hukum Ekonomi dan Sosial, Universitas Cenderawasih, Papua • Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ekstensi) • Magister Ilmu Hukum (Konsentrasi Hukum Pidana), Universitas Trisaksi Riwayat Pekerjaan: • Staf Logistik di PT Eurindo Combined (1981-1982) • Sales Departement di PT Astra Motor Sales (1982-1986) • Marketing Manager di PT Asuransi Timah Jauh (19861999) • Para Legal di Kantor Hukum ATJ (1998-2005) • Managing Partner di Kantor Hukum Tasman Gultom CS (2005 sampai sekarang) • Direktur Operasional di 74 Law Institute-PKPA (2010 sampai sekarang) Organisasi Profesi: • Ketua Departemen Organisasi Dewan Pengurus Nasional Perhimpinan • Advokat Indonesia (DPN Peradi) • Anggota Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) • Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Himpunan • Advokat/Pengacara Indonesia (DPP HAPI) • Anggota Tim Pengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat • Anggota Indonesia Lawyer Club
Organisasi Almamater dan Kegiatan Pekerja Hukum: • Anggota Departemen Pelatihan dan Edukasi, Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (20042008) • Wakil Sekretaris Jenderal di Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2008-2011) • Anggota Departemen Pelatihan dan Edukasi di Ikatan Kekeluargaan Advokat Universitas Indonesia (2009-2014) • Wakil Ketua di Lembaga Penyuluhan dan Pembelaan Hukum Pemuda Pancasila DKI Jakarta (2002-2005) • Tim Advokasi Pekerja Malam dan Terminal (1995 sampai sekarang) • Tim Advokasi dan HAM Forkabi Cengkareng, Jakarta Barat (1995 sampai sekarang) • Direktur Pusat Kajian Hukum dan Advokasi (1996-2000) • Wakil Ketua Indonesia Law Enforcement Watch, Jakarta (1999-2003) Pengalaman Kerja sebagai Advokat: • Kuasa dan mewakili dalam perkara-perkara perdata • Penasihat hukum dalam perkara-perkara pidana • Mewakili dan sebagai penasihat hukum keluarga • In House Lawyer di PT Bumida Bumi Putera (2004-2008) • Pernah mendampingi suatu perkara di Komisi Pemberantasan Korupsi • Pernah mendampingi suatu perkara di Komisi Pengawas Persaingan Usaha • In House Lawyer di PT Avia Jaya Indah. Khusus tentang kontrak perjanjian dan penyelesaian perselisiah hubungan industrial • In House Lawyer di PT Kharisma Persada Buana. Khusus tentang kontrak perjanjian, kerjasama kemitraan dengan artis sinetron, layar lebar, dan musisi.
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
19
Testimoni
Testimoni
Diserang Balik Setelah Bongkar Pembalakan Liar
Sudah empat tahun berlalu, namun rasa ngilu di bagian rusuk masih terus dirasakan Undang. Karenanya hingga sekarang dia masih harus terus menjalani pengobatan atas sakit yang didapatnya dari kantor Polisi itu.
N
iatnya untuk membeli barang antik di Medan tak disangka justeru pada akhirnya menjerumuskan dirinya ke dalam sel. Dia bercerita, kala itu dirinya datang ke rumah salah seorang untuk menawar barang antik berupa piring. Namun sang empunya tidak menjualnya, sehingga Undang yang datang bersama rekannya kembali pulang. Setelah beberapa waktu, Undang kembali mendatangi rumah itu dengan tujuan yang sama. Tetapi jawaban pemiliknya juga tidak berubah; barang tidak dijual. Dua kali kecele, Undang pun tidak lagi mendatangi rumah itu untuk beberapa lama waktunya. Namun, pada suatu ketika Undang menerima kabar untuk datang ke rumah itu karena barang hendak di jual. Jaraknya rumah Undang ke pemilik tidaklah dekat, bahkan Undang harus menginap di rumah mertuanya agar lebih dekat ke tujuan. Dia pergi bersama saudaranya. Dalam perjanjian itu, pertemuan tidak akan dilakukan di tempat perdagangan. Pagi-pagi dari rumah mertua dia berangkat agar tidak telat. Namun, dia tidak mendapati barang antik yang ingin dia beli itu. “Saya diberi tahu barang itu hilang,” katanya. Alhasil, Undang harus pulang dengan tangan hampa. Tapi, kesialan seolah membuntutinya. “Barang itu hilang dan aku disangka (pencurinya). Hingga kemudian datanglah polisi dan kami diambil,” kenangnya. Undang di bawa ke kantor polisi dengan alasan untuk dimintai keterangan. “Aku dipukuli. Aku dipaksa mengaku (sebagai pencurinya). Apa yang harus aku akui, saya tidak pernah melihat barang itu. Ngeri sekali,” jelas Undang. Bahkan,
20
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
keluarganya di rumah tak luput dari perlakuan kejam. Walau sudah mengaku tidak tahu menahu tentang keberadaan barang antik tersebut, tetap saja Undang tidak dilepaskan. Hingga kemudian ada enam orang yang mengaku sebagai pengambil piring antik tersebut, dan Undang dilepaskan. “Aku dikurung tiga bulan, disiksa. Anehnya, orang yang terangterangan mengaku mengambil itu tidak ditangkap,” kata Undang sembari memertanyakan keadilan. Meski bebas, bukan berarti persoalan kelar. Undang masih tetap dirundung persoalan. Penyiksaan di dalam tahanan masih menyisakan rasa ngilu di bagian rusuk dan punggung hingga sekarang. “Aku juga sekarang menjadi sering lupa,” tutur dia. Bahkan, Undang sekarang belum berani pulang ke rumahnya. Oleh orang yang mengaku kehilangan barang antik itu dia diancam akan disakiti jika berani kembali ke kampungnya. Dia pun mau tak mau, betah tak betah harus tinggal di rumah mertuanya sampai batas waktu yang dia sendiri tidak tahu. Sebagai korban salah tangkap dan penyiksaan, kemudian setelah melalui prosedur, Undang mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sudah setahun ini ia mendapatkan pelayanan perlindungan. Undang mengaku, berulang kali anggota LPSK mengunjunginya memberikan pendampingan. “Aku mendapat pelayanan pengobatan dan ada psikolog juga,” sebutnya. Tidak inginkah Undang menggugat atas salah tangkap itu? “Aku itu bingung di mana keadilan. Bantullah, tolong tunjukkan keadilan. Demi Tuhan aku bukan manusia pencuri. Sampai sekarang pun aku tidak pernah melihat barang itu (apalagi mencuri),” tutup Undang tidak lupa berharap agar keadilan segera didapatkan. (Rahmat)
Tony Wong masih ingat di luar kepala tentang awal mula bagaimana dirinya bisa mendekam di balik jeruji besi selama 5 tahun, 1 bulan, 18 hari. Laporannya ke polisi tentang adanya pembalakan liar di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat dia yakini sebagai penyebab dirinya berurusan dengan hukum.
K
ala itu, ceritanya, Tony melaporkan secara tidak resmi ke Mabes Polri atas illegal logging tersebut. Kasus pembalakan liar yang hendak dibongkarnya itu tergolong besar sehingga mendapat atensi luar biasa dari pusat. Bahkan, kata Tony, oleh Kementerian Kehutanan kasus tersebut diklaim sebagai kasus terbesar yang pernah terbongkar. Laporan itu ternyata ditindaklanjuti dengan turunnya tim pencari fakta dari Mabes Polri ke lokasi. “Di situlah terjadi Polda Kalbar marah terhadap saya,” kenangnya. Kemarahan itu kemudian berlanjut. Ada pihak-pihak yang mencoba mencari-cari kesalahan Tony supaya bisa menyerang balik dan itu berhasil. Kriminalisasi pun terjadi. Tony diseret untuk kasus pajak Provisi Sumber Dana Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Saat itu Tony memiliki kekurangan dalam melakukan pembayaran. “Kalaupun ada kekurangan, itu ada denda. Itu kasus perdata, tapi karena ada dendam maka dipaksakan menjadi kasus pidana,” tuturnya. Tony mengaku mendapat ancaman hingga kemudian ditangkap dan dipermalukan di depan umum. “Saya dikekang tidak boleh ketemu media. Dapat serangan bertubi-tubi sepihak tanpa bisa membela,” ceritanya. Kala itu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) belum memiliki komisioner. Karenanya dirinya mencoba meminta perlindungan kepada Kapolri, DPR, hingga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Kasus itu pun terus bergulir di meja hijau, hingga akhirnya Tony Wong divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara. Tony menganggap apa yang dialaminya adalah bentuk ketidakadilan dalam penegakan hukum. Hukum dijalankan penuh dengan kepentingan orang-orang yang punya kuasa untuk menyerang dirinya. “Jadi kalau kita laporkan kejahatan yang melibatkan aparat atau orang penting, kita akan jadi bulan-bulanan,” kata Tony. Setelah lama menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan, Tony kemudian mengajukan permohonan perlindungan kepada LPSK. Oleh LPSK, permohonan itu
foto | www. chathamhouse.wordpress.com
foto | www.123rf.com
Dikurung dan Disiksa Gara-Gara Menawar Barang Antik
direspon dan setelah melalui proses seleksi permohonan dikabulkan pada 15 April 2012. Atas pemberian perlindungan ini, Tony merasa beruntung meski dia mengakui perlindungan datang cukup terlambat. “Sekarang saya statusnya dapat perlindungan. Kalau saya dapat teror bisa lapor ke LPSK, jadi selalu dipantau,” sebutnya. Bagi Tony perlindungan yang paling penting adalah bukan perlindungan fisik, tetapi psikologis. Dirinya merasa tidak perlu tinggal di rumah aman. “Yang saya takutkan adalah serangan atas nama hukum. Kalau serangan atas nama fisik, itu kita serahkan pada Tuhan,” tuturnya. Dia menilai keberadaan LPSK penting karena dapat membantu korban secara psikologis. “Unsur penegak hukum pun akan berfikir dua kali untuk sewenang-wenang,” cetus Tony. Tidak saja perlindungan fisik dan psikologis, gara-gara mendapat perlindungan dari LPSK, Tony bisa bebas dari lembaga pemasyarakatan sebelum masa penahanannya habis. “Saya mendapat rekomendasi pembebasan bersyarat. Tanpa LPSK tidak mungkin saya keluar pada 25 Juni 2012,” sebutnya sembari membeberkan bahwa dirinya telah menjalani masa penahanan 5 tahun, 1 bulan, 18 hari. Dari kejadian yang menimpanya ini, Tony berkeyakinan bahwa keberadaan LPSK penting bagi pelaksanaan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Bahkan, LPSK patut untuk diperkuat. “UU-nya diperkuat supaya pelapor tidak mendapat serangan balik seperti yang saya alami,” usulnya. Tony mengharapkan semua penegak hukum memiliki komitmen yang sama untuk dukung LPSK. Sekarang ini, kata dia, hal itu belum terwujud. “Semua elemen harus satu persepsi. LPSK bisa membangunkan setiap anak bangsa untuk melaporkan kejahatan yang diketahuinya tanpa takut. Sekarang, tahu ada kejahatan belum tentu mau lapor,” imbuhnya seraya mengaku tidak kapok atas apa yang dialaminya itu. (Rahmat)
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
21
Resensi
Resensi
Memberi Titik Terang tentang Whistleblower Istilah whistleblower menjadi populer dan banyak disebut oleh berbagai kalangan dalam beberapa tahun terakhir. Istilah ini makin sering digunakan sejak kasus Susno Duaji mencuat. Susno Duadji yang pada saat itu mengungkap adanya mafia pajak dianggap sebagai whistleblower. Namun demikian hingga kini belum ditemukan padanan yang pas dalam Bahasa Indonesia untuk istilah tersebut. Ada pakar yang memadankan istilah whistleblower sebagai “peniup peluit”, ada juga yang menyebutkan “saksi pelapor” atau bahkan “pengungkap fakta”. foto | www.lpsk.go.id
P
ada perkembangan terakhir, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah RI Nomor 4 Tahun 2011 memberi terjemahan whistleblower sebagai pelapor tindak pidana yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Namun demikian pemahaman mengenai konsep whistleblower pun masih minim dan hanya dipahami oleh kalangan tertentu. Lebih jauh lagi literatur dan bahan bacaan mengenai whistleblower juga masih minim di Indonesia. Namun demikian, dengan keterbatasan literatur itulah kemudian LPSK sebagai lembaga yang mempunyai mandat untuk melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban menerbitkan buku berjudul “Memahami Whistleblower”. Buku ini tidak saja akan menguraikan mengenai ranah kerja LPSK dalam konteks perlindungan terhadap whistleblower (konteks hukum pidana), tetapi juga mengenai whistleblower dalam konteks sistem pelaporan untuk mengungkap pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan pemerintahan, kelembagaan dan perusahaan. Selain itu buku ini juga mengulas perkembangan baru mengenai pengaturan whistleblower ini. Mahkamah Agung pada tanggal 10 Agustus 2011 yang lalu menerbitkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan
22
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
Saksi Pelaku yang Bekerjasama Di Dalam Tindak Pidana Tertentu. Surat edaran ini menjadi pemecah “gunung es” sementara untuk memberikan arahan bagi aparat penegak hukum dalam memberikan perlakuan khusus atau reward terhadap whistleblower. Buku ini terdiri dari lima bab yang menguraikan mengenai pemahaman awal mengenai whistleblower, sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower, praktik pelaporan dan perlindungan terhadap whistleblower, perlindungan whistleblower di Indonesia di masa mendatang, serta profil tokoh whistleblower. Buku ini dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami dan populer sehingga semua kalangan dapat membaca buku ini. Selain itu buku ini juga sangat penting untuk dapat memberikan informasi awal mengenai whistleblower dan juga dapat mempengaruhi masyarakat secara luas agar bersedia menjadi whistleblower untuk mengungkap kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang diketahuinya serta dapat menginspirasi kehadiran buku-buku lainnya untuk memperkaya literatur dan bacaan tentang whistleblower. Yang menarik dari buku yang diterbitkan oleh LPSK ini, mengungkap bagaimana berbagai negara menggunakan istilah whistleblower. Sejak awal 1990-an banyak negara di dunia telah membuat peraturan perundangan-undangan yang melindungi pegawai yang “mengungkapkan” untuk kepentingan publik maupun privat. Peraturan perundangundangan yang melindungi whistleblower ini telah diatur dalam Undang-Undang Korporasi, Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Konsumen dan Keuangan. Negara-negara ini antara lain Australia, Kanada, Perancis, India, Jepang, Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat. Kemudian sistem dan mekanisme pelaporan whistleblower di berbagai negara, di dalam buku tersebut dicontohkan peraturan whistleblower mulai diperkenalkan di Amerika dengan dikeluarkannya UU Reformasi Pegawai Negeri 1978 (Civil Service Reform Act of 1978). UU ini merupakan bagian utama dari UU yang melindungi pegawai federal yang mengungkapkan informasi (whistleblowing) terhadap kesalahan yang dilakukan pemerintah. Kemudian pada bagian dari buku ini juga disajikan profil para whistleblower dari berbagai negara. Penyajian narasi ketokohan para peniup peluit ini ditujukan supaya dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk mengenal lebih dekat sosok-sosok tersebut. Profil whistleblower yang ditampilkan berasal dari Amerika Serikat, China, Jepang, India, Korea Selatan, Indonesia, dan Australia. Para peniup peluit tersebut bekerja di berbagai sektor publik. Mulai dari seorang polisi analis pertahanan, dokter hingga direktur utama bayangan. Tak kalah pentingnya dalam buku ini, juga mengungkap perlindungan whistleblower di Indonesia terkait praktik whistleblower perusahaan swasta. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi dan keuangan pada 1997-1998, beberapa pakar dan praktisi ekonomi menganalisis bahwa sumber masalahnya bukan hanya pada persaingan ekonomi antar negara, tetapi juga karena persaingan antar perusahaan atau corporate antar negara. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Tata kelola perusahaan yang baik sebenarnya menentukan bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut bergerak
dan bersaing di pasar, yang kemudian turut menentukan perkembangan perekonomian di suatu negara. Sayangnya, faktor ini tidak banyak diperhatikan oleh para ekonom dan pelaku ekonomi Indonesia sampai terjadinya krisis ekonomi. Alhasil, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami dampak paling buruk dari krisis ekonomi di Asia pada tahun 1997-1998. Menurut penelitian dari Booz Allen di Asia Timur pada 1998, negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki indeks terendah di dunia untuk pelaksanaan good corporate governance. Hasil penelitian lainnya mengungkapkan bahwa tidak adanya good corporate governance di suatu perusahaan membuat banyaknya pelanggaran (fraud) yang dilakukan oleh pihak internal perusahaan baik terhadap aturan-aturan internal perusahaan maupun peraturan perundang-undangan. Hal lainnya adalah kecurangan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan di perusahaan. Rezim berkuasa mengontrol perusahaan dengan memprioritaskan kepentingan keluarga dan kroni untuk masuk dan memiliki pengaruh di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Modus ini dipakai sebagai konsensi perusahaan untuk mendapatkan kemudahan akses terhadap sumberdaya atau keistimewaan dari rezim berkuasa. (Nur)
Judul Buku Memahami Whistleblower Diterbitkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pada 2011 Penulis • Abdul Haris Semendawai, SH., LLM. • Ferry Santoso • Wahyu Wagiman • Betty Itha Omas • Susilaningtias • Syahrial Martanto Wiryawan Editor • Lies Sulistiani, SH., MH. • Widiyanto Desain/layout Alang-alang Cetakan Cetakan I Desember, 2011 Penerbit Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Gedung Perintis Kemerdekaan (Gedung Pola) Lantai 1 Jl. Proklamasi No. 56 Jakarta Pusat 10320
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
23
foto | Humas LPSK
Opini
Opini
Pentingnya Komunikasi Efektif nan Humanistis Bagi Saksi dan Korban Endira Paramita S, S.I.Kom Staf Bidang Hukum, Diseminasi dan Humas LPSK
“Aspek perasaan dan kepekaan dalam menghadapi saksi dan/atau korban melalui bahasa tubuh juga penting untuk dikedepankan. Komunikasi seperti ini dapat menguntungkan, karena pihak saksi dan korban bisa nyaman dalam memberikan informasi yang diperlukan LPSK.”
24
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
K
eberadaan saksi merupakan salah satu kunci keberhasilan proses penyidikan, penyelidikan hingga penuntasan suatu kejahatan tindak pidana. Tanpa saksi yang mengetahui terjadinya suatu peristiwa, mustahil tindak kejahatan dapat terungkap secara tuntas. Sayangnya, keberadaan saksi ini masih saja dianggap sebelah mata dan rentan untuk mendapatkan perlakuan diskriminasi, ketidakadilan, bahkan kerugian, baik materil maupun non materil. Seorang saksi yang kemudian dijadikan tersangka hanya karena permainan hukum oleh kalangan tertentu, misalnya. Hal ini tentu patut menjadi perhatian. Sebab, pada akhirnya banyak saksi yang enggan memberikan keterangan atas suatu peristiwa yang diketahuinya, sehingga korban yang sudah trauma pun harus mengulang cerita yang pernah dialaminya dengan beban psikologis tersendiri. Tentu saja kita tidak ingin kasus-kasus hukum yang banyak terjadi di lingkungan masyarakat berakhir tanpa keadilan. Karenanya, keamanan dan kenyamanan bersaksi mutlak diperlukan agar mereka bersedia memberi keterangan tanpa rasa takut, guna terciptanya proses keadilan yang baik dan berkompeten. Lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membawa pencerahan bagi setiap individu yang menjadi saksi dan/atau korban untuk bisa memberikan keterangan secara benar tanpa takut akan intimidasi dan ancaman dari pihakpihak yang berkepentingan terhadap kasus yang menjeratnya. Sebab, sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, lembaga ini memiliki tugas dan kewenangan memberikan perlindungan terhadap saksi dan/ atau korban dari segala bentuk ancaman, intimidasi, perlakuan diskriminatif hingga kekerasan, baik fisik maupun non fisik. Tugas ini tidak mudah untuk dijalankan dengan sempurna karena kompleksitas kasus yang menjerat maupun latar belakang dari para saksi dan/atau korban. Para petugas LPSK juga harus mementingkan kondisi psikologis saksi dengan cara menyampaikan informasi yang tepat dan akurat kepada mereka. Terkadang dalam kondisi tertekan seorang saksi dan korban sangat sulit untuk dimintai keterangan dan menceritakan kejadian yang menimpa mereka. Untuk itu diperlukan keahlian
dari setiap satgas maupun pertugas yang berhadapan langsung dengan saksi korban agar mengetahui bentuk komunikasi verbal maupun non verbal yang mereka gunakan. Komunikasi verbal dapat disimpulkan sebagai komunikasi yang menggunakan kata-kata secara lisan dengan secara sadar dilakukan oleh manusia untuk berhubungan dengan individu lain. Dasar komunikasi verbal ini adalah interaksi secara langsung yang dibangun antara petugas LPSK dengan pemohon (saksi dan/atau korban) dengan maksud untuk menyatukan pikiran, perasaan dan maksud yang dituju. Sedangkan komunikasi non verbal adalah komunikasi yang menggunakan pesanpesan nonverbal. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Sebagai contoh, seorang petugas harus mampu membaca pesan kinesik seperti membaca gerak wajah melalui air mata yang mengindikasikan seseorang dalam keadaan sedih, takut, ekspresi senang maupun tidak senang, pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Terkadang komunikasi non verbal mempunyai fungsi yang lebih kuat untuk mencapai kualitas komunikasi yang tinggi, komunikasi non verbal memberikan informasi tambahan yang dapat memperjelas maksud dan makna pesan. Namun faktanya, cukup sulit untuk mengetahui pesan non verbal yang disampaikan oleh saksi dan/atau korban yang mengalami kondisi tidak baik karena individu tersebut tidak secara langsung menyampaikan apa yang dirasakannya kepada orang lain secara terbuka. Untuk itu seorang petugas juga harus peka atau memiliki empati yang tinggi untuk mengenal mereka dan yang paling penting adalah menempatkan posisi setara antara petugas dan pemohon sehingga tercipta rasa saling memiliki dan ikut merasakan penderitaan yang dialami saksi korban. Berperspektif Humanistis Menurut Everett M. Rogers & Lawrence Kincaid menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain yang pada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam. Proses komunikasi melibatkan banyak faktor yang mencakup pelaku atau peserta, pesan (meliputi bentuk, isi dan cara penyampaian), saluran atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan, waktu, tempat, hasil atau akibat yang terjadi. Pakar komunikasi lain, Joseph De Vito mengemukakan komunikasi sebagai transaksi. Transaksi yang dimaksudkannya bahwa komunikasi merupakan suatu proses dimana komponenkomponennya saling terkait dan bahwa para komunikatornya beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan dan keseluruhan. Dalam setiap proses transaksi, setiap elemen berkaitan secara integral dengan elemen lain. Antara satu individu dengan individu lain diharapkan dapat membawa hasil pertukaran informasi dan saling pengertian (mutual understanding). Konsep komunikasi bagi saksi korban tindak pidana perlu digagas sedari awal, latar belakang dari saksi dan korban yang beragam dimana terdiri dari suku, agama, budaya serta tingkat pendidikan yang berbeda serta kondisi psikologis yang memprihatinkan perlu mendapat perhatian lebih dari satgas atau petugas LPSK. Lazimnya, seorang petugas harus dapat mengenal kondisi saksi atau korban yang datang dengan segudang permasalahan, tingkah laku serta perasaan yang akan muncul tidak terduga. Bagaimanapun, saksi dan korban akan sangat sensitif sehingga petugas perlu melakukan pendekatan secara
kemanusiaan terlebih dahulu. Pendekatan humanistis membangun suasana kesetaraan, tidak ada indikasi pembedaan warna kulit, agama, tingkatan ekonomi, bahkan status sosial. Lebih singkatnya pendekatan humanistis lebih menekankan antara hati ke hati dimana manusia sebagai subjek utama dalam konteks penanganan saksi dan/atau korban. Maka, sangat tepat jika komunikasi bagi saksi dan korban mengacu pada konsep Joseph De Vito tentang Komunikasi Interpersonal yang efektif dari sudut pandang humanistis. Dalam pandangan ini untuk menghasilkan komunikasi yang efektif diperlukan adanya keterbukaan, sikap empati, sikap mendukung, sikap positif serta kesetaraan dari pihak–pihak yang berkomunikasi. Efektivitas komunikasi berperspektif humanistis ini dapat dijadikan pedoman bagi setiap satgas LPSK untuk melayani para pemohon agar bersedia menceritakan peristiwa yang diketahuinya secara nyaman dan memberikan keterangan secara jujur tanpa adanya perasaan takut atau terancam. Perspektif humanistis ini meliputi sifat-sifat keterbukaan (openness), perilaku suportif (supportiveness), perilaku positif, empati (empathy), dan kesamaan (equality). Aspek pertama keterbukaan bahwa kita harus terbuka kepada orang-orang yang berinteraksi dengan kita, aspek kedua menunjuk kepada kemauan kita untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain dengan jujur dan terus terang tentang segala sesuatu yang dikatakannya. Perilaku suportif yakni situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung efektif. Perilaku positif yaitu seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif. Empati adalah kemauan seseorang untuk menempatkan dirinya pada peranan atau posisi lain. Sedangkan kesamaan mencakup dua hal yaitu kesamaan bidang pengalaman di antara para pelaku komunikasi, kedua dalam komunikasi antar pribadi harus ada kesamaan dalam hal mengirim dan menerima pesan. Dalam melakukan komunikasi baik secara verbal maupun non verbal, perlu lebih cermat dalam pemilihan bahasa agar mudah dipahami dengan melihat latar belakang saksi dan/ atau korban. Aspek perasaan dan kepekaan dalam menghadapi saksi dan/atau korban melalui bahasa tubuh berupa isyarat tangan, gerakan kepala, postur tubuh hingga ekspresi wajah, juga penting untuk dikedepankan. Komunikasi seperti ini dapat menguntungkan kedua belah pihak, dalam hal ini LPSK dan saksi dan/atau korban, karena pihak saksi dan korban bisa nyaman dalam memberikan informasi yang diperlukan LPSK. Dan di sisi lain, LPSK akan mendapat data-data saksi dan/atau korban secara lengkap sesuai kebutuhan. Sementara itu, penerapan komunikasi berperspektif humanistis akan memudahkan terjadinya interaksi yang baik satu sama lain. Dengan mengedepankan prinsip keterbukaan, perilaku suportif, perilaku positif, rasa empati yang tinggi serta kesamaan dalam mengirim dan menerima pesan serta berbagi pengalaman pada akhirnya dapat memberikan perlindungan yang maksimal bagi saksi dan/atau korban. Komunikasi dua arah yang efektif antara LPSK dan saksi korban perlu dibangun. Sebab, LPSK di samping harus mengurus masalah substansi terkait perlindungan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana berupa perlindungan hukum, medis psikologis, maupun pendampingan, juga harus membangun efektifitas komunikasi bagi saksi korban secara humanistis. Bagaimanapun, LPSK dijadikan sandaran terakhir bagi saksi dan/atau korban jika lembaga atau aparat penegak hukum lain juga tak dapat melindungi mereka. (Rahmat)
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
25
Pernik
Pernik kewajiban bersama negara-negara dan bangsa di dunia. Inisiatif dunia internasional dalam memerangi kejahatan ini sudah dilakukan, namun lebih menitik beratkan pada pelaku kejahatan. Dengan adanya inisatif baru ini dimaksudkan untuk membangun kerjasama dunia internasional dalam rangka penanganan dan perlindungan terhadap Saksi dan Korban. “Perlindungan saksi dan korban itu sendiri sebenarnya merupakan hal baru di Indonesia, tetapi tidak bagi Negara-negara lainnya yang telah mengawalinya di abad 20 sebagai respon atas makin berkembangnya kejahatan serius di dunia, yang mengakibatkan kerusakan yang luar biasa dan menimbulkan korban yang massif,” terang Haris. Data Polri 2011 menunjukkan ada tiga kejahatan transnasional menonjol yakni, kejahatan dunia maya (cyber crime), narkoba, dan terorisme. Jika sebelumnya di tahun 2010 tindak pidana transnasional crime terjadi sebanyak 10.444, pada tahun 2011 meningkat 5.694 kasus (35,28 persen) menjadi 16.138 kasus. Adapun hasil penelitian yang dilakukan BNN bersama Universitas Indonesia pada tahun 2011 menyebutkan setidaknya pengguna narkoba di Indonesia mencapai 3,8 orang. Sementara
L
embaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menggagas working group kerjasama perlindungan saksi dan korban kejahatan lintas negara yang terorganisir (transnational organized crime). Pasalnya kejahatan ini diprediksi akan terus meningkat. Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, berbagai upaya telah dilakukan berbagai negara untuk mencegah, mengurangi dan memberantas tindak pidana transnational organized crime. Namun seringkali upaya tersebut tidak dapat berjalan efektif apabila hanya dilakukan oleh satu pihak, dalam hal ini negara. “Perlu dilakukan kerjasama yang melibatkan kedua belah pihak baik antara negara dengan masyarakat/ bangsa, maupun antara negara dengan negara untuk melawan kejahatan tersebut,” katanya. Sebagai langkah awal untuk memulai kerjasama dan dapat lebih dikonkritkan dengan membentuk working group, LPSK menggelar konferensi internasional selama tiga hari di Bali. Dalam konferensi itu, para peserta menyiapkan rumusan kerjasama untuk dijadikan sebagai konsep awal kerjasama perlindungan saksi dan korban. “Kerjasama ini tidak saja dalam hal aktivitas perlindungan terhadap saksi dan korban, tetapi juga penguatan terhadap lembaga yang melindungi saksi dan korban di masing-masing negara karena penguatan lembaga menjadi salah satu syarat kelayakan sebuah lembaga untuk melakukan aktivitas perlindungan saksi dan korban. Hal lainnya bisa saja kerjasama tersebut dalam hal penguatan dukungan finansial atas aktivitas tersebut serta dukungan aparat penegak hukum di masing-masing negara,” kata Ketua LPSK. Lebih jauh Ketua LPSK memaparkan, konferensi internasional perlindungan saksi dan korban tindak pidana lintas nasional terorganisasi ini diselenggarakan sebagai kelanjutan dan pengembangan konferensi perlindungan saksi dan korban pertama di Bali pada tahun 2010. Pada konferensi tersebut mulai dibangun jaringan kelembagaan perlindungan saksi dan korban di berbagai negara. “Konferensi ini merupakan konferensi internasional pertama yang membahas mengenai perlindungan saksi dan korban,dan ini merupakan gagasan dari LPSK. Namun demikian penyelenggaraan konferensi ini tidak dilakukan sendiri oleh LPSK. LPSK menggandeng beberapa instansi/lembaga negara atau lembaga terkait untuk bekerja sama, yaitu Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan, Badan Nasional Penanggulangan
26
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
Terorisme, dan United Stated Department of Justice (US DOJ) dan International Organization for Migration (IOM),” tuturnya. Diharapkan, dengan adanya konferensi Internasional ini dapat menjadi forum komunikasi untuk membangun kerjasama antar negara dalam berbagai aktivitas perlindungan pelapor, saksi dan korban kejahatan lintas negara yang terorganisir untuk mendukung proses peradilan pada setiap tahapan serta untuk pemenuhan hak-hak korban kejahatan. Konferensi ini selain diikuti oleh berbagai unsur Pimpinan dari instansi Penegak hukum se-Indonesia yaitu para Kepala Kepolisian Daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi, Ketua Pengadilan Tinggi, Kepala Kantor Wilayah Hukum dan HAM, serta Pimpinan Pemerintah Daerah se-Indonesia dan turut pula diikuti Lembaga-lembaga terkait dalam aktifitas Perlindungan Saksi dan Korban. Sebenarnya komitmen antar negara dan bangsa untuk melawan kejahatan itu tercermin dari lahirnya United Nation Convention Against Transnational Organized Crime pada Desember 2000 dan United Nation Convention Against Corruption pada September 2003, serta sejumlah kebijakan dan regulasi yang terkait dengan penanganan hal tersebut. Selain itu ada beberapa inisiatif lain kerjasama internasional dalam rangka memberantas kejahatan serius diantaranya, Perjanjian Pertukaran Informasi (Memorandum of Understanding on Exchange Information/MoU), Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance/MLA), ekstradisi, dan Perjanjian Pemindahan Terpidana (Transfer of Sentenced Person). Ada juga kerjasama seperti Interpol untuk menangani pelaku kejahatan serius. Dalam rangka untuk memberantas kejahatan tersebut, peran saksi dan korban sangat penting untuk dapat mengungkap kejahatan serius yang terjadi. Sementara faktanya seringkali saksi dan korban sulit untuk bersaksi karena diancam atau diintimidasi. Sehingga kebutuhan akan perlindungan saksi dan korban adalah mutlak. Bahkan perlindungan tersebut merupakan alat utama untuk memberantas kejahatan serius. Lebih jauh lagi mengungkap kejahatan adalah untuk mewujudkan rule of law. Atas kepentingan tersebut, United Nation Convention Against Transnational Organized Crime juga meminta kepada negaranegara agar mengambil langkah yang tepat untuk melindungi saksi dalam proses peradilan pidana serta untuk memperkuat kerja sama internasional. Selain itu kerjasama internasional juga perlu dilakukan untuk pemenuhan hak-hak korban agar penanganan terhadap korban kejahatan lintas negara menjadi
30 Negara Ikuti Konferensi Internasional LPSK
foto | Humas LPSK
foto | Humas LPSK
Transnational Organized Crime Digagas Working Group Perlindungan Saksi dan Korban
Yayasan Kesatuan Peduli Masyarakat (Kelima) DKI Jakarta mengungkapkan hingga tahun 2012 ini jumlah pengguna narkotika dan obat terlarang mencapai 5 juta orang. Untuk kasus terorisme, Indonesia diketahui memiliki beberapa kali kenangan pahit, mulai dari Bom Bali I dan II, hingga Bom Marriot 2010 lalu. Kasus penyelundupan manusia (people smuggling) di Indonesia juga menjadi sorotan serius. Data Mabes Polri memaparkan terjadinya peningkatan pada tahun lalu, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Tercatat sebanyak 23 kasus penyeludupan manusia di Indonesia di sepanjang tahun 2011. Sementara pada tahun ini terhitung dari bulan Januari-April telah terungkap enam kasus, salah satunya adalah tertangkapnya 124 warga Afghanistan di Banten. Diindikasikan masih banyak kasus lainnya yang tak terungkap karena luasnya wilayah Indonesia yang merupakan perairan dan kepulauan. Daerahdaerah perbatasan di Indonesia, seperti Kepri, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara dan beberapa daerah di Jawa dijadikan jalur bagi penyeludupan manusia sebelum melanjutkan ke negara tujuan. (Nur)
L
embaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) menyelenggarakan Konferensi Internasional Perlindungan Saksi dan Korban dalam Tindak Pidana Terorganisir Lintas Negara. Kegiatan ini untuk meningkatkan kerjasama internasional pencegahan dan pemberantasan kejahatan terorganisir lintas negara. Prof. Teguh Soedarsono, Anggota LPSK Penanggung Jawab Bidang Kerjasama dan Diklat menuturkan, acara konferensi internasional ini dihadiri lebih dari 30 negara peserta konferensi dan dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden Boediono. Konferensi ini, kata dia, amat penting terutama untuk mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana terorganisir. “Peran saksi dan korban dalam kejahatan terorganisir sangat diperlukan untuk mengungkap pelaku kejahatan sampai tingkat mastermind (pelaku utama),” ungkapnya. Para peserta dari 30 negara tersebut merupakan bagian dari unsur lembaga perlindungan saksi di negara bersangkutan, lembaga non pemerintah (NGO), dan tim ahli mengenai perlindungan saksi. Diantaranya merupakan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Austria, Italia, dan negara Asia lainnya yang telah memiliki lembaga perlindungan saksi serupa. “Materi yang dibahas dalam pertemuan tersebut diantaranya mengenai hak-hak perlindungan bagi pelapor, saksi dan korban, dan kerjasama perlindungan saksi dan korban dalam melawan
tindak pidana lintas negara yang terorganisasi,” jelas Teguh. Acara yang berlangsung selama tiga hari (11-13/6) di Nusa Dua Beach Hotel ini, turut menghadirkan perwakilan seluruh aparat penegak hukum di seluruh Indonesia. Adapun para pembicaranya adalah orang-orang yang berkompeten pada bidang ini seperti, Job Wolfgang (Head of the Austrian Witness Protection Departement), Carl W. Caulk (Deputy Assistance US Marshall Services), Mark Laing (Federal Agent Witness Protection), Martin Menez (Director Witness Protection Program Department of Justice Philipines), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyad Mbai, Ketua KPK Abraham Samad, Kepala PPATK. Anggota LPSK Penanggung Jawab Bidang Hukum, Diseminasi dan Humas LPSK Hotma David Nixon menambahkan, tujuan konferensi ini meningkatkan wawasan mengenai kejahatan transnasional terorganisir di beberapa negara, pertukaran informasi dan pengalaman, dan membangun kerjasama kelembagaan terkait program perlindungan saksi dan korban kejahatan transnasional terorganisir. Sebagai langkah konkrit pelaksanaan kerjasama, di akhir acara konferensi akan dilakukan penandatanganan MoU beberapa lembaga diantaranya, BNPT, International Organization of Migration (IOM), Witness Protection Unit Kingdom of Malaysia, dan penandatanganan deklarasi pembentukan asosiasi/perkumpulan lembaga perlindungan saksi dan korban di dunia. (Nur)
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
27
Pernik
Pernik
LPSK-UII Kerjasama Penguatan Perlindungan Saksi
K
foto | Humas LPSK
L
embaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus berupaya memerkuat perlindungan saksi, diantaranya melalui kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi di daerah. Salah satunya adalah dengan Universitas Islam Indonesia (UII) yang penandatanganan kerjasamanya dilakukan pada 26 Mei 2012 di Yogyakarta. Menurut Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, SH, LL.M, perguruan tinggi memiliki peran strategis bagi penguatan lembaga baru seperti LPSK dalam meningkatkan perannya memberikan perlindungan kepada saksi dan korban. Kerjasama dengan UII yang dituangkan dalam nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MOU) merupakan langkah konkrit untuk merancang program kedepan. “UII memiliki kapasitas dan kemampuan yang luar biasa dalam pelaksanaan kerjasama pengembangan dan penelitian serta bantuan hukum demi keadilan saksi dan korban,” ungkap Haris. Lebih lanjut Ketua LPSK mengatakan ruang lingkup MoU itu meliputi kegiatan pendidikan, pengajaran dan pelatihan perlindungan saksi dan/atau korban, penelitian dan pengembangan perlindungan saksi dan/atau korban, dan pengabdian masyarakat dalam upaya perlindungan saksi dan/ atau korban. “Dengan adanya kerjasama ini diharapkan UII menjadi contoh bagi perguruan tinggi lainnya di Indonesia dalam memberikan kontribusi penguatan peran perlindungan saksi dan korban di daerah,” harap dia. Kerjasama ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat di tengah tuntutan pembentukan LPSK di daerah. “UII tentunya memiliki peran signifikan untuk mengkaji format kelembagaan ideal pembentukan LPSK daerah,” ungkapnya. Karenanya jalinan kerjasama LPSK-UII ini diyakini dapat menyebarkan virus positif bagi reformasi peradilan pidana kedepan, terutama pengembangan keilmuan perlindungan
saksi dan korban pada kurikulum hukum pidana di fakultas hukum UII. Selain penandatanganan MoU, acara yang berlangsung di Hotel Santika Premier Yogyakarta ini juga menggelar diskusi ilmiah bertema Penguatan Peran dan Fungsi LPSK Menuju Optimalisasi Perlindungan Saksi Dalam Perannya Sebagai Whistleblower dan Justice Collabolator. “LPSK menilai bahwa optimalisasi perlindungan terhadap whistleblower penting karena ancaman serangan balik terhadap mereka sanggat tinggi baik itu dikriminalisasi, diancam atau diintimidasi, bahkan sampai pada dihilangkan hak-hak kepegawaiannya. Selain itu Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collabolator) juga penting untuk dilindungi karena yang bersangkutan rentan akan ancaman yang membahayakan jiwa mereka terutama dari para pelaku kejahatan lain,” kata Ketua LSPK. Hadir sebagai narasumber dalam acara diskusi tersebut, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, SH, LL.M, Anggota LPSK Penangung Jawab Bidang Kerjasama dan Diklat Prof. Teguh Soedarsono, Ahli Hukum Pidana dan Viktimologi UII DrM Arief Setiawan, SH, MH, serta Praktisi Hukum H KRH Henry Yosodiningrat, SH. (Nur)
Mahasiswa Pakuan Kembali Kunjungi LPSK
S
foto | Humas LPSK
ebanyak 75 Mahasiswa Viktimologi Universitas Pakuan mengunjungi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Selasa (19/6). Kunjungan tersebut merupakan kali kedua setelah kunjungannya tahun 2011.
28
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
foto | Humas LPSK
LPSK Maksimalkan Pemenuhan Hak Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu orban pelanggaran HAM masa lalu kian mengalami frustasi, akibat ketidakjelasan penanganan proses hukum atas tindak pidana pelanggaran HAM berat masa lalu yang mereka alami. Hal ini mendorong LPSK untuk membantu meringankan beban psikologis dan fisik para saksi dan korban merujuk pada ketentuan yang terdapat didalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. “LPSK mengundang sejumlah korban, pendamping, dan LSM pemerhati HAM, institusi pemerintah dan beberapa komisi guna mengambil langkah strategis dalam rangka memetakan potensi dan memaksimalkan upaya pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu,” ungkap Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai. Hadir dalam pertemuan yang dilaksanakan di kantor LPSK (30/5) tersebut, perwakilan dari korban Tanjung Priok tahun 1984, korban penghilangan paksa tahun 1997-1998, korban tahanan politik (tapol), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Kontras, LBH Masyarakat, PULIH, Ikatan Orang Hilang (IKOHI), Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Sosial RI. “Para korban dan pendamping selama ini menemukan kendala pada proses birokrasi yang kerap menghambat, misalnya pemberian surat keterangan dari Komnas HAM yang menyatakan bahwa korban adalah korban pelanggaran HAM berat, sebagai salah satu syarat administrasi yang harus dipenuhi korban untuk mengakses dan memperoleh hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi,” ungkap Supriyadi Widodo Eddyono, Tenaga Ahli Bidang Bantuan, Kompensasi dan Restitusi LPSK. Terhadap kendala tersebut, Ketua LPSK mengatakan pihaknya berkomitmen untuk mempercepat proses penanganan dan meminimalisir kendala tersebut, meski LPSK juga terkendala dengan batasan ketentuan Undang-Undang. “Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, LPSK dapat memberikan bantuan setelah adanya surat keterangan dari Komnas HAM agar penerima hak tersebut merupakan korban yang sudah terverifikasi dan memang berhak memperoleh hak tersebut,” ungkapnya. Untuk itu, Ketua LPSK dalam pertemuan tersebut mendorong agar Komnas HAM segera mengagendakan pertemuan dengan pimpinan Komnas HAM untuk membicarakan hal tersebut, bahkan lebih dari itu, pihaknya berharap komnas HAM menyepakati upaya percepatan penanganan terhadap korban. “Perlu ada terobosan yang lebih strategis untuk mempercepat proses penanganan terhadap saksi dan korban pelanggaran HAM masa lalu,” ungkap Ketua LPSK. Seperti diketahui, LPSK dapat memberikan perlindungan kepada saksi dan memberikan pelayanan medis dan psikologis serta memfasilitasi pemberian kompensasi terhadap para korban pelanggaran HAM yang berat. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal, 5, 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. ”LPSK dan Komnas HAM seharusnya dapat memaksimalkan perannya di tengah kelemahan peraturan perundang-undangan yang ada,” ungkap Supriyadi. Lebih lanjut Ketua LPSK mengatakan, pertemuan tersebut merupakan langkah awal dan perlu ditindaklanjuti dengan langkah konkrit selanjutnya. “LPSK dengan institusi pemerinytah lainnya perlu segera mengambil langkah konkrit dan responsif untuk meringankan beban yang diderita korban pelanggaran HAM berat sambil menunggu kejelasan proses penyelesaian secara hukum atau cara lain,” ungkap Ketua LPSK. (Nur)
Menurut Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, wacana perlindungan saksi dan korban telah menjadi materi penting dalam kurikulum viktimologi di beberapa universitas. “Meski terbilang baru, kajian perlindungan saksi dan korban sudah selayaknya mendapatkan tempat strategis dalam kajian ilmu hukum pidana. Perlindungan saksi dan korban merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dalam hukum pidana di Indonesia,” ungkap Ketua LPSK. Pada pertemuan itu, hadir sebagai narasumber dalam diskusi yakni Anggota LPSK Penanggung Jawab Bidang Hukum, Diseminasi dan Humas, Hotma David Nixon, SH, MHum yang
memberikan paparan tentang tugas pokok dan fungsi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Ada juga Tasman Gultom,SH, MH, AAAI.K, Anggota LPSK Penanggung Jawab Bidang Perlindungan yang memberikan paparan tentang Perlindungan dan Peran whistleblower dalam Pengungkapan Tindak Pidana Serius. David menilai, animo mahasiswa cukup besar. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan mengenai tugas yang dilakukan oleh LPSK, istilah whistleblower dan justice collabolator, kedudukan LPSK dalam undang-undang, serta penjelasan lebih rinci mengenai bentuk perlindungan yang diberikan oleh LPSK. (Nur)
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
29
Pojok Unik
Pernik
B
foto | Humas LPSK
30
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
embaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyambut baik mandat dari Pengadilan Negeri Bekasi untuk melindungi saksi dan korban kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) Tuti Mujiarti. Mandat itu diberikan setelah terbit surat penetapan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi No.01/Pen.Perl.K/ Pid.B/2012/PN.Bks. Menurut Tasman Gultom, Anggota LPSK Penanggung Jawab Bidang Perlindungan, mandat itu diterima meski Tuti masih berstatus tahanan rumah. “Perlindungan yang akan diberikan berupa perlindungan rumah aman, pendampingan hukum dan pendampingan psikologi,” ungkapnya. Penetapan tersebut, kata dia, memuat beberapa poin seperti pemohon berhak dilindungi dan mendapat perlindungan rumah aman, pendampingan hukum dan pendampingan psikologi, dan LPSK berwenang memberikan perlindungan kepada pemohon meskipun pemohon dalam status tahanan rumah. Surat itu menegaskan bahwa lembaga yang melaksanakan perlindungan terhadap pemohon adalah LPSK. Atas dikeluarkannya penetapan tersebut, lanjut dia, bentuk perlindungan terhadap korban KDRT harus didasarkan kepada pentingnya perlindungan korban. Dalam hal ini perlindungan yang dimaksud yaitu, korban tidak mengalami penderitaan untuk kedua kalinya serta bebas dari tahanan, ancaman maupun tindakan diskriminasi dalam proses hukum yang dijalaninya. “Status tahanan rumah yang sebelumnya telah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Bekasi tidak menyurutkan niat LPSK untuk tetap melindungi korban. Dengan adanya penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Bekasi, LPSK memiliki wewenang untuk melindungi korban agar korban dapat merasa aman, dan bila sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang membahayakan jiwa korban LPSK jelas akan mengambil tindakan khusus,” ungkap Tasman. Pihaknya berharap, aparat penegak hukum maupun pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kasus ini dapat mendukung dan menghormati segala keputusan yang telah ditetapkan. Sehingga, kasus ini berjalan dengan baik. (Nur)
foto | www.autotraderclassics.com
L
nda pasti tahu manusia kelelawar dari kota Gotham, Batman. Seorang pengusaha jejaring makanan di College Park Georgia, S Truett Cathy, memutuskan membeli mobil Batman (Batmobile) seharga US$250 ribu atau 2,25 miliar rupiah. ***
P
residen Rusia periode 2008-2012 Dmitry Medvedev ternyata memiliki cheerleaders (pemandu sorak) pribadi. Bukannya didampingi oleh bodyguard dengan setelan jas rapi, badan kekar, dan dilengkapi senjata canggih, para gadis pemandu sorak Medvedev ini berbadan tinggi langsing, memakai rok mini, dan baju seksi. Mereka dinamai Medvedev Girls. Kira-kira, setelah menjabat sebagai Perdana Menteri Rusia saat ini, Medvedev masih didampingi gadis-gadis seksi itu tidak ya?
foto | www.camaro5.com
ebanyak 140 mahasiswa dan tujuh dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pamulang mengunjungi kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Senin (18/6). Kunjungan itu untuk menambah wacana dan wawasan mengenai peran serta tugas dan pokok LPSK. Kunjungan yang dipimpin Ketua Program Studi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pamulang, Drs Subarto, M.Pd itu ditemui Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai,SH,LLM. Pada kesempatan itu, beberapa anggota LPSK menjadi narasumber seperti, Anggota LPSK Penanggung Jawab Bidang Hukum, Diseminasi dan Humas, Hotma David Nixon, SH, M.Hum, dan Anggota LPSK Penanggung Jawab Bidang Bantuan, Kompensasi dan Restitusi, Lili Pintauli, SH. Para narasumber memberikan materi mengenai tugas dan fungsi LPSK dan Peran Strategis LPSK dalam pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan korban. Hasilnya, para mahasiswa Universitas Pamulang cukup antusias. Terbukti, banyak pertanyaan yang dilontarkan kepada narasumber terkait tugas dan fungsi LPSK. Abdul Haris berharap, kunjungan ini dapat menambah wawasan para calon guru di Indonesia. “Sehingga wacana perlindungan saksi dan korban dapat dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kedepan,” katanya. Sementara itu Subarto mengatakan, kedatangannya ke LPSK untuk memperdalam informasi dan wawasan mengenai peran LPSK dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan korban yang saat ini masuk ke dalam mata kuliah kewarganegaraan di Universitas Pamulang. “Kami berharap anak didik kami dapat meningkatkan wawasannya mengenai hak-hak korban dan saksi dalam proses peradilan pidana,” ungkap Subarto. Animo mahasiswa terhadap LPSK cukup besar terbukti dari banyaknya pertanyaan yang terkait kelembagaan LPSK dan pentingnya perlindungan saksi dan korban. “Setelah adanya kegiatan ini, diharapkan pengetahuan dan wawasan mahasiswa Universitas Pamulang meningkat terutama para calon pendidik di Indonesia,” tambah David. (Nur)
PN Bekasi Mandatkan LPSK Lindungi Korban KDRT foto | www.zastavki.com
S
***
A
P
ara narapidana di Norwegia sepertinya akan betah tinggal di penjara. Alih-alih ruangan sempit dan kotor, penjara khusus bagi para pembunuh dan pemerkosa di Norwegia layaknya hotel berbintang. Penjara yang pembangunannya menghabiskan biaya sekitar 200 miliar rupiah ini memiliki luas 75 hektar dan setiap sel dilengkapi kulkas, TV layar datar, kamar mandi mewah, dan jendela tanpa jeruji besi. Fasilitas lain adalah dapur umum, area lounge, pusat kebugaran, studio mewah, dan perpustakaan. Penjara ini diklaim sebagai penjara paling manuasiawi dengan para penjaga perempuan karena diyakini akan menurunkan agresi.
***
foto | www.totravelling.com
Calon Guru Unpam Tertarik Isu Perlindungan Saksi Dan Korban
***
***
S
eberapa pun luasnya rumah anda, barangkali tak bisa menyamai luas rumah Sultan Brunei Darussalam Hasan al Bolkiah. Rumahnya yang terletak di Istana Nurul Iman memiliki 250 kamar tidur, garasi berdaya tampung 110 kendaraan, dan sebuah masjid yang bisa menampung 1.500 jamaah. Alhasil, rumah itu tercatat sebagai pemegang rekor tempat tinggal keluarga terluas di dunia. Akan lebih luas lagi tentunya jika garasi ditambah sesuai jumlah koleksi mobilnya yang mencapai 1.900 unit.
foto | www.whatsonxiamen.com
foto | Humas LPSK
erbagai peristiwa unik terjadi di dunia, baik berupa benda, peristiwa ataupun sifat dan kebiasaankebiasaan tertentu. Keunikan yang terkadang merupakan anugrah dapat dialami oleh siapapun, bahkan para tokoh negara sekalipun. Berikut beberapa keunikan yang kami rangkum,
B
erapa hari Anda pernah tidak mandi? Kailash Singh, pria India berusia 65 tahun ini tak pernah mandi selama 37 tahun. Padahal, sehari-hari dia bekerja merawat sapi. Kaliash lebih senang melakukan ritual ‘mandi api’ setiap malam, yaitu merokok ganja sambil berdoa kepada Dewa Siwa dan menari mengelilingi api unggun yang ia percaya bisa membersihkan dirinya. Kailash sengaja melakukan kebiasaan ini dengan harapan dikaruniai anak laki-laki. Dan ternyata kini dia memiliki tujuh orang anak perempuan. Tapi gara-gara kebiasaannya itupula Kailash dinobatkan sebagai pria terbau di dunia. (Rahmat)
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
31
Sosialisasi
NOTA KESEPAHAMAN ANTARA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: NK-003/1.6/LPSK/IV/2011 NOMOR: KEP-069/A/JA/04/2011
TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Pada hari ini Rabu, tanggal 20 (dua puluh), bulan April, tahun 2011 (dua ribu sebelas) bertempat di Jakarta, yang bertandatangan di bawah ini : 1. Nama : Abdul Haris Semendawai Jabatan : Ketua LPSK Alamat : Gedung Perintis Kemerdekaan, Jalan Proklamasi No. 56, Jakarta Pusat dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA; 2. Nama : Basrief Arief Jabatan : Jaksa Agung Republik Indonesia Alamat : Jalan Sultan Hasanuddin No. 1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Kejaksaan RI, yang selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA, secara bersama-sama selanjutnya disebut PARA PIHAK, menerangkan terlebih dahulu sebagai berikut : a. bahwa PIHAK PERTAMA adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban; b. bahwa PIHAK KEDUA adalah Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang; bahwa PARA PIHAK dalam menjalankan tugas dan wewenang perlindungan saksi dan korban perlu menjalin kerja sama secara sinergis dan berupaya meningkatkan kapasitasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan mengingat pada peraturan perundang-undangan sebagai berikut : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
32
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
Sosialisasi
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401); 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 sebagaimana diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan KUHAP (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 3; Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3250); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 84; Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4860). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, PARA PIHAK menyatakan sepakat menjalin kerjasama dalam perlindungan kepada saksi dan/atau korban untuk mewujudkan hak-hak saksi dan/atau korban berdasarkan ketentuan yang tertuang di bawah ini : BAB I TUJUAN Pasal 1 Kesepahaman ini bertujuan untuk : a. Mewujudkan terlaksananya aktivitas perlindungan, yaitu segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam peradilan pidana sesuai dengan tugas dan wewenang PARA PIHAK; b. Penyelesaian bersama permasalahan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara yang dihadapi oleh PIHAK PERTAMA. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 Kesepahaman ini dibatasi dengan ruang lingkup sebagai berikut: a. menangani permohonan perlindungan saksi dan korban dalam kasus Korupsi, Terorisme, Narkotika, dan Pelanggaran HAM yang Berat, dan Tindak Pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya; b. melakukan perlindungan saksi, korban, dan pelapor; c. memberikan dukungan kepada korban dalam proses kompensasi, restitusi, ganti kerugian, dan bantuan medis dan psikososial; d. menjaga aspek kerahasiaan dalam aktivitas perlindungan saksi dan korban, meliputi aspek administrasi dan pelaksanaan teknis;
e. kerjasama dalam upaya memberikan informasi tentang perkembangan kasus kepada saksi dan korban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; f. menyelenggarakan sosialisasi dalam aktivitas perlindungan saksi dan korban; g. menyelenggarakan koordinasi dan komunikasi dalam pelaksanaan aktivitas perlindungan saksi dan korban; h. memberikan bantuan hukum dan pertimbangan hukum dalam penyelesaian sengketa hukum di bidang perdata dan tata usaha negara di lingkungan LPSK; i. mengembangkan kapasitas kelembagaan dan kemampuan personil dalam aktivitas perlindungan saksi dan korban. BAB III PENANGANAN PERMOHONAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Pasal 3 (1) Pengajuan permohonan perlindungan saksi dan korban diselenggarakan dalam kaitannya dengan kelangsungan dan keberlanjutan aktivitas perlindungan saksi dan korban. (2) PIHAK KEDUA dapat mengajukan permohonan perlindungan saksi dan korban kepada PIHAK PERTAMA sesuai tugas, kewajiban serta kewenangan yang dimiliki sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. BAB IV AKTIVITAS PERLINDUNGAN SAKSI Pasal 4 (1) Perlindungan saksi dilakukan oleh PIHAK PERTAMA terhadap pribadi, keluarga, dan harta benda yang bersangkutan dengan kesaksian / keterangan yang akan, sedang, akan atau telah diberikan sesuai hak yang ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan. (2) PIHAK PERTAMA dalam melaksanakan ayat (1) berkewajiban untuk menyiapkan berbagai kemampuan dan fasilitas yang diperlukan. (3) PIHAK KEDUA mendukung pelaksanaan perlindungan saksi yang dilakukan oleh PIHAK PERTAMA. (4) PIHAK KEDUA dapat dimintakan pertimbangannya berkaitan dengan materi perjanjian yang dibuat PIHAK PERTAMA dengan saksi dan/atau korban dalam layanan perlindungan. BAB V AKTIVITAS PEMBERIAN BANTUAN KEPADA KORBAN Pasal 5 (1) Pemberian bantuan kepada korban dilakukan oleh PIHAK PERTAMA dengan dukungan PIHAK KEDUA berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Permohonan kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat yang diajukan oleh korban melalui PIHAK PERTAMA diajukan kepada PIHAK KEDUA untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (3) Permohonan restitusi dan/ atau ganti kerugian yang diajukan
oleh korban melalui PIHAK PERTAMA diajukan kepada PIHAK KEDUA untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (4) Pelaksanaan putusan pemberian kompensasi, restitusi, dan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditindaklanjuti oleh PARA PIHAK sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. BAB VI ASPEK KERAHASIAAN DALAM AKTIVITAS PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Pasal 6 (1) PARA PIHAK berkoordinasi dalam menjaga kerahasiaan keseluruhan aktivitas perlindungan saksi dan korban dalam peradilan. (2) PARA PIHAK menjaga kerahasiaan dalam perlindungan saksi dan korban agar terwujud kondisi aman bagi saksi dan korban agar berani mengungkapkan kebenaran dalam menyatakan keterangan. BAB VII AKTIFITAS PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DI DALAM PROSES HUKUM Pasal 7 (1) PIHAK PERTAMA membantu menghadirkan dan bersikap netral terhadap saksi dan atau korban dalam memberikan keterangan terkait pembuktian perkara yang ditangani oleh PIHAK KEDUA. (2) Perlindungan yang dilakukan oleh pihak pertama tidak menghambat penyelesaian perkara yang sedang ditangani oleh PIHAK KEDUA. BAB VIII KERJASAMA PEMBERIAN INFORMASI TENTANG PERKEMBANGAN KASUS KEPADA SAKSI DAN KORBAN Pasal 8 (1) Guna mengetahui perkembangan proses penanganan kasus dan putusan pengadilan, yang berkaitan dengan aktivitas perlindungan saksi dan korban, PIHAK PERTAMA dapat meminta informasi kepada PIHAK KEDUA. (2) PIHAK PERTAMA wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari PIHAK KEDUA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) PIHAK PERTAMA wajib menyampaikan informasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) kepada saksi dan korban sesuai kondisi dan peruntukkannya. BAB IX PENYELENGGARAAN SOSIALISASI DALAM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (1) PARA
PIHAK
secara
Pasal 9 bersama
atau
sendiri-sendiri
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
33
Warta Terkini
BAB X PENYELENGGARAAN KOORDINASI DAN KOMUNIKASI Pasal 10 (1) Koordinasi dan komunikasi bertujuan menyamakan persepsi mengenai tata laksana dalam aktivitas perlindungan saksi dan korban. (2) PARA PIHAK secara bertahap berusaha menyiapkan sarana, prasarana, dan kemampuan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam rangka menunjang aktivitas perlindungan saksi dan korban. BAB XI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DAN PERTIMBANGAN HUKUM Pasal 11 (1) PIHAK PERTAMA dapat meminta bantuan hukum dan pertimbangan hukum kepada PIHAK KEDUA dalam rangka aktivitas perlindungan saksi dan korban. (2) Dalam hal PIHAK PERTAMA meminta bantuan hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) maka PIHAK PERTAMA mengajukan permohonan tertulis disertai Surat Kuasa Khusus kepada PIHAK KEDUA. (3) Dalam hal PIHAK PERTAMA meminta pertimbangan hukum sebagaimana dimaksud ayat (1), PIHAK PERTAMA mengajukan permohonan secara tertulis disertai dokumendokumen hukumnya. (4) Biaya operasional proses pemberian bantuan hukum dan pertimbangan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara yang dibutuhkan dan digunakan oleh PIHAK KEDUA, menjadi tanggungan PIHAK PERTAMA. BAB XII PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN DAN KEMAMPUAN PERSONIL Pasal 12 (1) PARA PIHAK berkewajiban mengembangkan kapasitas kelembagaan dan kemampuan personil dalam aktivitas perlindungan saksi dan korban, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing pihak. (2) PARA PIHAK berusaha untuk mewujudkan dan memberdayakan kapasitas kelembagaan dan kemampuan personil dalam aktivitas perlindungan saksi dan korban di daerah.
34
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
BAB XIII PEMBIAYAAN Pasal 13 Selain biaya yang diatur dalam Pasal 10, segala biaya yang ditimbulkan sehubungan dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini menjadi beban dan tanggung jawab PARA PIHAK, secara proporsional sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab yang ditetapkan Undang-undang.
LPSK Khawatir Rebutan Kasus Simulator Ganggu Saksi
BAB XIV JANGKA WAKTU
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendawai mengatakan tumpang-tindih penanganan kasus korupsi pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi antara Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi akan mengganggu program perlindungan saksi. “Tumpang-tindih penanganan perkara membuat posisi kasus ini tidak jelas dan merugikan saksi,” ujarnya di Jakarta, Senin, 6 Agustus 2012. Menurut Semendawai, saksi yang mendapat perlindungan LPSK, Sukotjo S. Bambang, secara psikis akan terpengaruh. “Dia tentu saja akan mengalami kesulitan ketika harus memberikan keterangan yang sama kepada institusi yang berbeda,” katanya. Tumpang-tindih itu juga dikhawatirkan bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. “Nasib Sukotjo selaku justice collaborator atau pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan aparat akan
Pasal 14 (1) Nota Kesepahaman ini berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, terhitung mulai tanggal Nota Kesepahaman ini ditandatangani dan dapat diperpanjang dengan persetujuan PARA PIHAK. (2) Pihak yang berniat mengakhiri Nota Kesepahaman ini sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberitahukan secara tertulis kepada pihak lain paling lambat 2 (dua) bulan sebelumnya. (3) Nota Kesepahaman ini dievaluasi oleh PARA PIHAK secara berkala 6 (enam) bulan atau sesuai dengan kebutuhan. BAB XV PENYELESAIAN PERBEDAAN PENDAPAT Pasal 15 Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam penafsiran dan/atau pelaksanaan Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat oleh PARA PIHAK. BAB XVI PENUTUP Pasal 16 (1) Apabila ada hal yang dipandang perlu baik dalam rangka penyesuaian dengan peraturan perundang-undangan maupun dalam rangka penambahan, penyempurnaan materi dalam Nota Kesepahaman ini, akan diadakan perbaikan (amandemen) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Nota Kesepahaman ini. (2) Demikian Nota Kesepahaman ini dibuat dan ditandatangani pada hari, tanggal, bulan, tahun, dan tempat sebagaimana tersebut di atas dibuat dalam rangkap 2 (dua) yang masingmasing bermaterai cukup dan memiliki kekuatan hukum yang sama. PIHAK PERTAMA
PIHAK KEDUA
TTD ABDUL HARIS SEMENDAWAI
TTD BASRIEF ARIEF
foto | Humas LPSK
melaksanakan sosialisasi dalam perlindungan saksi dan korban di lingkungan instansinya, mitra kerja, dan masyarakat. (2) Sosialisasi yang menyangkut perlindungan saksi dan korban dilakukan dalam bentuk: seminar, lokakarya, pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan penerangan hukum.
foto | www.tempo.co
Sosialisasi
LPSK Ingin Bentuk Satuan Pengaman Khusus Lindungi Saksi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengatakan untuk diberikan kewenangan membentuk satuan pengamanan khusus. Tujuannya agar kerja LPSK lebih maksimal. “LPSK harus memiliki satuan pengamanan khusus di bawah komando LPSK,” ujar Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai usai bertemu dengan Priyo, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (9/8).
tidak jelas, karena ada tarik-menarik kepentingan,” katanya. Akibatnya, saksi bisa menjadi ragu-ragu untuk mengungkapkan informasi yang diketahuinya. “Kondisi yang ada bisa menyurutkan niatnya untuk membongkar kejahatan yang ia ketahui, karena tidak jelas aparat penegak hukum mana sebenarnya yang menangani,” ujarnya. LPSK sendiri akan kesulitan dalam mengeluarkan izin melakukan pemeriksaan atas saksi yang dilindunginya. Lembaganya, kata Semendawai, juga harus memastikan pengamanan dan kesiapan fisik maupun psikis saksi sebelum diperiksa. Mabes Polri diketahui berkukuh akan menyidik kasus korupsi pengadaan simulator ujian SIM yang sudah diperiksa KPK. Alasannya, menurut Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman, tidak ada keputusan peradilan yang menyatakan Polri wajib menyerahkan atau menghentikan perkara tersebut. Lima orang tersangka ditetapkan oleh Polri, lima hari setelah penetapan empat orang tersangka kasus yang sama oleh KPK. Kelima tersangka itu adalah bekas Wakil Kepala Korps Lalu Lintas Brigadir Jenderal Didik Purnomo, Ketua Panitia Pengadaan Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan, Bendahara Korps Lantas Komisaris Legimo, Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo Bambang, dan Direktur Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Santoso. Adapun empat tersangka KPK dalam kasus ini, Didik, Sukotjo, Budi, dan Gubernur Akademi Kepolisian yang juga bekas Kepala Korps Lantas Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo. (Nur)
Haris menambahkan di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, lembaga semacam LPSK berwenang membentuk pasukan pengamanan dengan kemampuan melindungi dan persenjataan khusus. “Kita berharap ada pasukan yang permanen yang bisa dikontrol LPSK,” imbuh dia. Saat ini menurut Haris LPSK masih meminta bantuan Polri dalam hal pengamanan. Persoalannya, petugas Polri yang bertugas melakukan pengamanan sering berganti-ganti sehingga bisa mengganggu kerahasiaan saksi. Selain berharap memiliki kewenangan membentuk pasukan pengamanan sendiri, LPSK juga berharap diberi kewenangan memanggil secara paksa orang-orang yang diperlukan keterangannya untuk diklarifikasi. Hal ini penting untuk memastikan kebenaran laporan intimidasi dari pihak yang meminta perlindungan. “Benar tidak apakah seseorang diintimidasi kan perlu diklarifikasi pada pihak yang bersangkutan,” katanya. Kedua tuntutan LPSK itu menurut Haris akan dimasukan dalam draft revisi Undang-Undang No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sementara itu, Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso akan menindak lanjuti usulan LPSK yang disampaikan kepadanya. “DPR akan menindak lanjuti usulan LPSK untuk merevisi Undangundang,” ujarnya. (Nur)
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
35
Lagi, Justice Collaborator LPSK Dapat Penghargaan Setelah penghargaan diberikan kepada Justice Collaborator Agus Condro, kini terlindung LPSK lainnya yang juga merupakan Justice Collaborator segera menghirup udara bebas. Hasil ini diperoleh saat Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, Anggota LPSK,Lili Pintauli Siregar dan Tasman Gultom menggelar rapat terbatas dengan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Kejaksaaan Agung pada 19 Juni 2012 di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, Kuningan, Jakarta. Agenda rapat membahas pemberian reward bagi Mindo Rosalina Manulang (RM), saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dalam kasus korupsi dan Tony Wong, Justice Collaborator Kasus Kejahatan Kehutanan (illegal logging). ”LPSK dan KPK telah menyampaikan surat secara resmi mengenai pengajuan pembebasan bersyarat RM pada 24 April 2012 lalu, untuk itu perlu ada langkah koordinasi lebih lanjut dengan pimpinan lembaga terkait”, ungkap Ketua LPSK. Terkait surat rekomendasi tersebut, Lili mengatakan, pihaknya telah menerima balasan surat dari Kementerian Hukum dan HAM pada sekitar Mei 2012. Namun menurutnya perlu ada koordinasi lebih lanjut mengenai langkah konkritnya. “Surat tersebut belum menjelaskan secara konkrit pemberian pembebasan bersyarat RM sebagai Justice Collaborator sesuai ketentuan Peraturan Bersama” ungkap Lili. Untuk itu, lanjut Lili, rapat terbatas ini membahas kejelasan pemberian Remisi tersebut. “Hasil dari rapat menyetujui pemberian pembebasan bersyarat bagi Rossa pada bulan Juli ini, berikut syarat asimilasinya,” ungkap Lili. Ketua LPSK mengakui, perolehan pembebasan bersyarat ini butuh perjuangan, ”Perlu ada persamaan persepsi dan komitmen
36
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
Warta Terkini
Pimpinan DPR Usul Kaji Ulang UU LPSK
Sebagai kejahatan transnasional terorganisir, kejahatan narkotika kian mengancam semua negara di dunia. “Jaringan narkotika semakin luas dan kuat, modusnya pun berkembang dan semakin canggih”, ungkap Ahwil Luthan, Konsultan Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam paparannya yang disampaikan pada sosialisasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Pangkal Pinang pada 4 Juli 2012. Acara yang dihadiri seluruh jajaran aparat penegak hukum di Provinsi Bangka Belitung ini mengangkat tema urgensi perlindungan terhadap saksi dan korban dalam kejahatan transnasional terorganisasi yang difokuskan pada kejahatan narkotika. ”Tema ini secara khusus dipilih karena jumlah permohonan perlindungan kasus narkotika yang masuk pada LPSK masih minim, sejak 2008 hanya 1 kasus”, ungkap Hotma David Nixon, Anggota LPSK Penanggung Jawab Bidang Hukum,Diseminasi dan Humas LPSK. Lebih lanjut, Ahwil Luthan mengatakan, ketentuan UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 telah memberikan jaminan perlindungan bagi saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum dan hakim maupun keluarganya yang memeriksa perkara tindak
pidana narkotika. ”BNN dan LPSK telah menjalin kerjasama dengan penandatangan Nota Kesepahaman, sehingga diharapkan LPSK dapat berperan memberikan perlindungan sesuai ketentuan Undang-Undang tersebut”, ujar Ahwil. Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, mengatakan pihaknya memberikan apresiasi terhadap Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, atas peran kerjasamanya dalam pelaksanaan kegiatan sosialisasi LPSK di Pangkal Pinang. ”Selain melakukan kegiatan seminar, kami juga bertemu dengan wakil gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk membicarakan langkah lebih lanjut kemungkinan pembentukan LPSK daerah”, tutur Ketua LPSK. Pelaksanaan sosialisasi yang berlangsung selama dua hari tersebut mengurai berbagai persoalan dan kendala dalam penanganan perlindungan terhadap saksi dan korban dalam kejahatan narkoba. ”Saksi dan pelapor dalam kejahatan narkotika dapat memberikan keterangan tanpa bertatap muka dengan terdakwa atau hadir di persidangan, namun ketentuan tersebut belum banyak dipahami oleh aparat penegak hukum, sehingga penanganan kejahatan tersebut kerap tersendat”, lanjut Ketua LPSK. Terkait hal tersebut, David mengatakan, pemberian perlindungan terhadap saksi dan pelapor dalam kejahatan narkotika ini tidak mungkin dapat berjalan tanpa bekerjasama dengan aparat penegak hukum lain dalam sistem peradilan pidana. “Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK tentu tidak dapat bekerja sendiri, adanya pemahaman dan komitmen yang sama antar penegak hukum tentu akan mendukung berjalannya perlindungan saksi dan korban secara efektif”, kata David. Acara yang menghadirkan 150 Peserta ini dihadiri para narasumber yang berkompeten di bidangnya, yakni Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, S.H,.LL.M, Anggota LPSK Penanggung Jawab Bidang Hukum, Diseminasi dan Humas, Hotma David Nixon, S.H,.M.Hum, Konsultan Ahli Badan Narkotika Nasional, Komjen Pol (purn) Ahwil Lutan, Direktur Narkoba Polda Provinsi Bangka Belitung, Drs. H. Abdul Aziz Djamaladun, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Bangka Belitung, Kharlison Harianja, S.H,.M.H, Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Bangka Belitung, Syamsul Bachri, S.H,.M.M, serta Dosen Universitas Bangka Belitung, Rosmala Dewi, S.H.,M.H. (Nur)
Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso menilai UU 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harus direvisi kembali fungsinya oleh DPR. Ia akan mengusulkan pada sidang anggota DPR berikutnya sebelum 2013. “Nantinya pimpinan DPR akan membicarakan dan membahas ini dengan para anggota DPR usai reses untuk dilakukan perubahan UU 13 tahun 2006,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (9/8/20102). LPSK saat ini sudah memberikan perlindungan kepada saksi dan juga tersangka dalam kasus simulator kemudi, Sukotjo Bambang (SB). Priyo pun mengapresiasi langkah LPSK yang telah dengan cepat memberikan perlindungan kepada saksi SB dalam kasus
simulator. “Sebagai pimpinan DPR tetap apresiasi kerja LPSK yang telah melakukan kerjanya dengan baik,” ucap Priyo. Ia menuturkan, LPSK sudah menjalankan tugasnya dengan baik dengan melindungi saksi dan juga tersangka SB. Persoalan antara KPK dan Polri masih terus berpolemik dan ini yang sebenarnya harus ditengahi terlebih dahulu. Akan tetapi Ketua DPP Partai Golkar ini juga sangat mendukung jika nantinya ada kesepakatan antara keempat lembaga ini. Di mana kesemuanya satu sama lain terkait dalam penanganan kasus simulator. “LPSK akan mengadakan MoU dengan KPK, Kapolri, Jaksa agung dengan kesepakatan yang sama dan itu adalah itikad yang baik,” ujarnya. (Nur)
foto | Humas LPSK
bersama antar penegak hukum terkait untuk memberikan penghargaan kepada seorang justice collaborator, mengingat ketentuan penghargaan ini masih diatur pada peraturan bersama, belum sekuat Undang-Undang.” Meski demikian, lanjut Ketua LPSK, pihaknya telah mengajukan ketentuan penghargaan ini dalam perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Senada dengan hal itu, Tasman Gultom mengatakan, dalam rapat tersebut juga membahas pemberian pembebasan bersyarat bagi Tony Wong, Justice Collaborator kejahatan kehutanan. Menurutnya, LPSK juga telah mengajukan permohonan ke Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan HAM mengenai rekomendasi pemberian pembebasan bersyarat bagi Tony Wong. Rekomendasi juga dilengkapi peran serta kontribusi Tony Wong dalam mengungkap jaringan kejahatan kehutanan di Ketapang. “Hasilnya, Tony Wong disetujui mendapatkan pembebasan bersyarat pada 25 Juni 2012,” Ungkap Tasman. Lebih lanjut, Ketua LPSK mengatakan pihaknya memberikan apresiasi atas terkabulnya permohonan pemberian penghargaan bagi Justice Collaborator untuk kesekian kalinya setelah Agus Condro. “LPSK tentunya tidak dapat bekerja sendiri, komitmen dan dukungan beberapa lembaga terkait memberikan dampak signifikan terhadap pemberian penghargaan bagi Justice Collaborator yang merupakan terlindung LPSK,” ungkapnya. Seperti diketahui, LPSK telah menyatakan menerima permohonan perlindungan RM dan Tony Wong. Dalam menentukan status Justice Collaborator kepada keduanya, LPSK menyatakan keduanya telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM RI, Jaksa Agung RI, Kapolri, KPK dan LPSK, dimana keduanya (RM dan Tony Wong) sangat berperan penting dalam pengungkapan kasus yang lebih besar, serta mau bekerjasama dengan aparat penegak hukum dengan memberikan keterangan yang signifikan dan relevan dalam pengungkapan kasus. “Penghargaan khusus ini merupakan penghargaan yang layak diberikan negara terhadap saksi yang mau bekerjasama dengan aparat penegak hukum, meski kekuatan hukumnya masih sebatas peraturan bersama. Namun ini tidak menghalangi hak seorang saksi yang juga pelaku untuk memperoleh penghargaan atas kontribusinya menyelamatkan uang negara,” ungkap Ketua LPSK. (Nur)
foto | www.attadotcom.wordpress.com
foto | Humas LPSK
Warta Terkini
LPSK: Saksi dan Pelapor Narkotika Wajib Dilindungi
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
37
Dunia Hiburan
Terlibat Narkoba, Artis Alba Fuad Ditangkap
A
rtis cantik yang tenar di tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an, Alba Fuad ditangkap oleh aparat kepolisian Polda Metro Jaya karena keterlibatannya dalam kasus narkoba. Peristiwa itu terjadi ketika Alba Fuad bersama tersangka pembunuh Bos PT Sanex Steel, Tan Harry Tantono alias Ayung, yakni John Kei di Hotel C’One, Pulo Mas, Jakarta Timur pada Jumat malam (17/2). Alba tercatat pernah membintangi sejumlah film layar lebar seperti, film Permainan di Balik Tirai (1988), Siluman Kera (1988), Istri dari Gunung Merapi II (1990), Guntur Tengah Malam (1990), Warisan Terlarang (1990), Pedang Naga Pasa (1990), Menerjang Prahara di Komodo (1991), Tuan, Nyonya dan Pembantu (1991), serta Olga dan Sepatu Roda (1991). Namun karirnya mulai meredup seiring bermunculannya artis-artis pendatang baru. Kehidupan rumah tangganya juga tidak berjalan mulus. Alba yang merupakan kerabat dekat Ahmad Albar dan Camelia Malik ini kini mendekam dalam Rumah Tahanan Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya. Berdasarkan hasil tes urine, Alba Fuad terbukti positif mengkonsumsi narkotika. Beruntung Alba dinyatakan tidak terlibat dalam kasus pembunuhan yang diduga dilakukan oleh John Kei. (Rahmat)
38
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
foto | www.gossip-celebs.com
foto | www.penchenk.com
foto | www.laredso.com
foto | www.foto.kapanlagi.com
Dunia Hiburan
Terlibat Kerusuhan, Aktor Film Harry Porter Dibui 2 Tahun
Indra Bruggman dan Angel Lelga Disomasi Gara-gara Parfum
A
A
ktor pendukung film Harry Potter, Jamie Waylett terbukti terlibat dalam kerusuhan di London, Inggris pada Agustus 2011 lalu dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Pemeran sahabat Draco Malfoy, Vincent Crabbe itu tertangkap kamera CCTV saat beraksi di Chalk Farm Road bersama gengnya. Saat itu, ia berusaha menutupi identitasnya dengan mengenakan hoody. Dalam rekaman video, Jamie terlihat menerima sebotol Champagne dari perusuh lainnya. Sementara di video lainnya, ia juga nampak membawa bom molotov di tangannya. Aktor berusia 22 tahun tersebut telah ditangkap pada 22 September 2011 lalu dan didakwa dengan Undang-Undang Pidana Kerusakan karena tindak kekerasan yang melanggar hukum. Juri di pengadilan Wood Green Crown, London Utara pada Selasa (20/3/2012), menyatakan Jamie bersalah. Meski tak terlibat perusakan, ia terbukti menerima barang curian dan membuat takut orang lain dengan bom molotov-nya. Hakim Simon Carr akhirnya memutuskan menjatuhi hukuman dua tahun penjara untuk sang aktor. Ini bukan pertama kalinya Jamie melanggar hukum karena sebelumnya ia pernah terlibat kasus kepemilikan ganja dan dijatuhi hukuman 120 jam pelayanan masyarakat. (Rahmat)
rtis Indra Bruggman, Angel Lelga, dan Tata Liem disomasi oleh kerabatnya yang juga pemain sinetron, Kumala Sari. Gara-garanya adalah pemeran Ijah dalam sinetron Bidadari ini merasa dirugikan dengan bisnis parfum dalam perusahaan yang dikelola oleh ketiganya. Awalnya, Kumala atau biasa disapa Mala menerima tawaran bisnis tersebut dengan iming-iming untung besar karena parfum itu akan dipromosikan secara besar-besaran di media. Namun, kenyataanya Indra, Angel dan Tata menghindar saat dimintai keterangan kelanjutan bisnis tersebut. Padahal Mala mengaku telah melakukan transfer uang untuk produk tersebut dengan total senilai 224,5 juta rupiah. Jika ditambah biaya promosi, maka total kerugiannya mencapai 300 juta rupiah. Sehingga wanita berusia 29 tahun ini mengambil langkah hukum untuk menyelesaikan masalah itu. Sebagai artis, karir Mala dimulai dari seorang model majalah remaja pada tahun 1998. Pada era itu untuk dapat menjadi artis diawali menjadi cover girl sebuah remaja. Debut akting Mala saat main di sinetron berjudul Parmin bersama Niniek L. Karim. Namanya mulai dikenal saat main di Bidadari sebagai pembantu antagonis. Sejak saat itu peran Mala kerap membuat ibu-ibu jadi gemes. (Rahmat)
Lagi, Snoop Dogg Terjerat Hukum
K
asus hukum sepertinya memang tak pernah lepas dari kehidupan rapper Snoop Dogg. Kini, ia harus menghadapi tuntutan dari promotor Lebanon karena menolak membayar biaya promosi turnya selama di Lebanon. Selain dituduh mangkir dari kewajiban, kepala promotor Roger Kalaouz juga mengajukan tuntutan karena Snoop Dogg telah menghisap sesuatu yang mirip ganja selama berada di Lebanon. Karena Lebanon adalah negara yang melarang ganja, perilaku rapper tersebut praktis ikut mencemarkan nama baik mereka. Pihak promotor pun mengaku telah menghabiskan biaya hingga 7 Miliar rupiah untuk mempromosikan konser Snoop Dogg pada Agustus 2009 lalu. Namun, hingga kini pihak Snoop Dogg belum membayar biaya tersebut. Akibatnya, rapper berkulit hitam ini bakal menghadapi tuntutan berlapis, yaitu penyelewengan kontrak, penipuan dan pencemaran nama baik. Pihak penuntut pun meminta pria bernama asli Calvin Broadus Jr itu untuk membayar setidaknya 7 Miliar rupiah yang sudah menjadi kewajibannya. Sepanjang karirnya, Snoop Dogg memang tidak hentihentinya tersangkut kasus hukum, dimana kebanyakan kasus yang dihadapinya berkaitan dengan penggunaan ganja. (Rahmat)
Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012
39