PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK SAKSI DAN KORBAN Enik Isnaini Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan. Abstrak Korban dalam terjadinya kejahatan memiliki peranan dan tanggungjawab yang fungsional. Peranan fungsional pihak korban berdasarkan situasi dan kondisi korban yang dapat mendorong pelaku kejahatan melakukan kejahatan kepada dirinya, contoh kasus pencurian kendaraan bermotor dikarenakan korban tidak memarkir ditempat yang aman, maka sikorban secara tidak sadar mendorong pelaku kejahatan melakukan kejahatan terhadap dirinya. Jadi tanpa korban tidak akan terjadi suatu kejahatan,begitupun sebaliknya. Korban dalam kejahatan perlu mendapat perhatian dari Negara maupun masyarakat, dan perhatian kepada korban diberikan dalam bentuk Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan UndangUndang tersebut juga memberikan perlindungan kepada Saksi, karena Saksi adalah orang yang menyaksikan terjadinya kejahatan dan timbulnya Korban. Berdasarkan hasil penelitian,Kompetensi Lembaga perlindungan Saksi dan Korban kurang maksimal memberi perlindungan kepada saksi dan korban terutama kasus HAM, dan UndangUndang nomor 13 Tahun 2006 kurang memberi perlindungan untuk pelapor, padahal pelapor berhak mendapat perlindungan lakyaknya Saksi dan Korban. Kata kunci : saksi dan korban, perlindungan hukum 1. PENDAHULUAN Korban memiliki peran yang fungsional dalam terjadinya kejahatan, peran fungsional korban dapat dilihat dari situasi dan kondisi pihak korban dalam terjadinya kejahatan, contohnya seseorang yang memarkirkan sepeda motornya di tempat yang kurang aman, secara tidak langsung sikorban mendorong pihak pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan terhadap diri korban tersebut dan membuat sikorban menjadi korban pencurian. Jadi tanpa korban tidak akan terjadi kejahatan dan begitupun sebaliknya. contoh tersebut menerangkan bahwa korban memilki peran fungsional yang aktif dalam terjadinya kejahatan, karena secara tidak langsung sikorban telah mendorong pihak pelaku kejahatan untuk melakukan pencurian sepeda motor sikorban. Korban dalam kejahatan perlu mendapatkan perhatian dari Negara maupun masyarkat dan perhatian tersebut diberikan dalam bentuk peraturan hukum Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,yang tentang
korban diatur dalam Pasal 1 ayat(2) yang berbunyi sebagai beikut: “korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi dikarenakan perbuatan tindak pidana” Dan pihak lain yang perlu juga mendapatkan perhatian berupa perlindungan adalah Saksi, penonton/penggemar,1 dimana saksi adalah orang yang menyaksikan terjadinya kejahatan dan timbulnya korban. dan Negara memberikan pula perlindungan kepada saksi dalam bentuk peraturan hukum Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang tentang saksi diatur dalam Pasal 1 ayat(1) yang berbunyi sebagai berikut: “saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di 1
Ray Pratama Siadari. Peranan Korban Atas Terjadinya Kejahatan_File:///D :/.2013. htm.
sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri”
sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri
Dalam hal melakukan perlindungan atas hak-hak Saksi dan Korban, pemerintah membentuk suatu lembaga yang disebut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Permohonan agar terlindunginya hak-hak Saksi atau Korban dapat diajukan ke Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban tersebut.2Yang mana lembaga tersebut di atur dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 3 angka 3 yang menyatakan bahwa:
dan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi dikarenakan perbuatan tindak pidana. saksi dan korban memerlukan perlindungan, dimana memberikan perlindungan merupakan tujuan darin Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban yang tertuang dalam Pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut: “Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa mana kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana”.
“lembaga perlindungan saksi dan korban yang selanjutnya disebut LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini”.
Dari latar belakang permasalahan tersebut, maka dikemukakan dua permasalahan, yaitu 1. Bagaimanakah Kompetensi Perlindungan Saksi dan Korban? dan yang ke 2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap Saksi dan Korban menurut Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban.
1.1 Tujuan Peneliti Berdasarkan rumusan masalah tersebut penulis memiliki tujuan peneliti dalam karya ilmiah ini, tujuan peneliti tersebut adalah: 1. Untuk mengetahui tentang kompetensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan 2. Untuk mengatahui tentang Perlindungan hukum terhadap Saksi dan Korban menurut UndangUndang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
1.3 Kajian teori dan Relevan Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di 2
Khafid Documentary. 2011/05/09./ Bentuk Perlindungan Saksi Dan Korban Menurut Undangundang nomor 13 tahun 2006./File;////D:/
saksi dan korban memerlukan perlindungan dari Negara maupun dari masyarakat dan yang perlu dilindungi adalah hak-hak korban dan saksi dalam mengungkapkan terjadinya kejahatan yaitu dari ancaman dan hal lainnya yang mungkin dilakukan dari pihak pelaku. Dalam hal perlindungan, perlindungan dilakukan oleh suatu lembaga yang lembaga tersebut disebut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana diatur dalam UndangUndang nomor 13 Tahun 2006 tentang perllindungan Saksi dan Korban yang tertuang dalam Pasal 3 ayat 3 yang berbunyi sebagai berikut: “lembaga perlindungan saksi dan korban yang selanjutnya disebut LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini”. 2. METODE PENELITIAN 2.1 Tipe Penelitian Tipe penelitian atau model penelitian ini adalah model penelitian yuridis normatife, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi normatifnya.3 2.2 Pendekatan Masalah dalam Penelitian ini juga terdapat pendekatan model penelitian, yang pendekatan penelitian 3
Johny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publising, Malang 2006, h. 57
tersebut dilakukan dengan beberapa model pendekatan, yaitu model pendekatan perundangundangan dan model pendekatan konsep. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah Undang-Undang yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang dihadapi. dan pendekatan konsep adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin di dalam ilmu hukum peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang di hadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang di hadapi.4 Jadi karena penelitian ini adalah tentang Perlindungan hukum terhadap Saksi dan Korban menurut Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006, maka Undang-Undang yang ditelaah adalah Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan korban. dan juga menggunakan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi, yang mana tentang perlindungan hukum untuk saksi dan korban, Karena penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum untuk saksi dan korban, baik dari undang-undangnya maupun dari lembaganya. 2.3 Sumber dan Jenis Data sumber dan jenis data yang digunakan dapat disebut dengan bahan hukum yang digunakan dalam pembuatan karya ilmiah, dan bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahanhukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoriatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan , catatan-catatan resmi , atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim. Dan jenis data primer adalah: a. Undang-undang Dasar 1945
b. Undang-undang Ham nomor 39 Tahun 1999 c.Undang-undang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban d.PERPRES RI nomor 13 Tahun 2007 tentang susunan panitia seleksi,tata cara pelaksanaan seleksi dan pemilihan calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. dan bahan hukum sekunder adalah berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,kamuskamus hukum , jurnal-jurnal hukum ,dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.5 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. pembentukan UndangUndang perlindungan Saksi dan Korban ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana, dan lahirnya Undang-Undang ini memakan waktu yang cukup panjang yang mana sebelumnya terdapat Rancangan Undang-Undang sebelum disahkan menjadi Undang-Undang. minimnya perhatian yang serius oleh aparat penegak hukum terhadap Saksi-Korban membuat Rancangan UndangUndang(RUU) ini selalu didesakkan hampir setiap tahun sejak 2001 hingga 2005 agar masuk dalam rencana Program legislasi nasional (prolegnas). tahun 2001 undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juni 2002 Badan Legislasi DPR RI mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai Rancangan UndangUndang usul inisiatif DPR. Awal Februari 2006 komisi III DPR RI membentuk Panitia Krja yang terdiri dari 22 orang untuk membahas RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Pada bulan Juli 2006, Rapat Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Perlindungan Saksi
4
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Universitas Air Langga. Surabaya. h. 93.
5
Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit. hal. 141
dan Korban menjadi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Sepuluh fraksi di DPR RI mendukung keberadaan UndangUndang tersebut. 11 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64). Salah satu amanat yang ada dalam UndangUndang Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk paling lambat setahun setelah Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008.6 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah Lembaga yang mandiri, sebagaimana hal ini diatur oleh Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 11 ayat(1) yang berbunyi sebagai berikut: “LPSK merupakan lembaga yang mandiri” Karena merupakan Lembaga yang mandiri maka kemudian Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tidak meletakkan struktur Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berada di bawah instansi manapun baik instansi pemerintah (eksekutif) maupun lembaga negara lainnya. Walaupun dari segi finansial lembaga ini didukung sepenuhnya dari keuangan negara. Pilihan Undang-Undang terhadap model lembaga seperti ini tentunya menyerupai berbagai lembaga negara yang telah ada seperti: Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain sebagainya. Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memprioritaskan kedudukan LPSK ini berada di ibukota negara Republik Indonesia,hal ini diatur dalam Undang-Undangnomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban Pasal 11 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: “LPSK berkedudukan di ibu Kota Negara Republik Indonesia”. Namun di samping berkedudukan di ibukota negara, Undang-Undang juga memberikan keleluasaan bagi LPSK untukmembentuk
6
Pembentukan LPSK,file///D:/pembentukan LPSK. htm
perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK. Pilihan Undang-Undang untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan adalah pilihan yang tepatkarena dari segi geografis wilayah republik Indonesia yang lumayan luas dan akses informasi maupunkomunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota dengan wilayah lainnya. Lagi pula kasus-kasus intimidasi terhadap saksi yang terjadi selama ini justru paling banyak di luar wilayah ibu kotaNegara Republik Indonesia (RI).7 3.2 Kompetensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lembaga yang menangani perlindungan terhadap Saksi dan Korban, setidaknya memberi angin segar bagi masyarakat yang selama ini menjadi korban pelanggaran HAM atau Saksi Korban tindak kejahatan. LPSK menjadi aktor penting yang merupakan bagian dari fungsi pemerintah untuk menciptakan terungkapnya kebenaran dan tegaknya keadilan bagi Saksi dan Korban dalam system peradilan pidana di indonesia.8 Salah satu wujud hubungan hukum dengan kekuasaan Negara, di bentuklah suatu lembaga Negara yang berdasarkan Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang LPSK ini dan ditentukan Visi LPSK, yakni “terwujudnya perlindungan Saksi dan Korban dalam system peradilan pidana”, dan dari Visi LPSK selanjutnya dibangun Misi LPSK yang terdiri dari beberapa hal, yaitu mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi Saksi dan Korban dalam peradilan pidana, mewujudkan kelembagaan yang profesional dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak Saksi dan Korban. Berdasarkan Misi LPSK maka di tetapkan sejumlah fungsi LPSK. Pengertian fungsi ini dapat di artikan sebagai sejumlah pekerjaan atau tugas-tugas LPSK yang meliputi:
7
Supriyadi Widodo Eddyono.Lembaga Perlindungan Bagi Saksi dan Korban di Indonesia:sebuah pemetaan awal. Jakarta: Indonesia Corruption watch.2007. hal 11 8 Dr. H. Siswanto Sunarso. Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana.Jakarta :Sinar Grafika, 2012.h. 17
1.Mengkoordinasikan fungsi dan peran perlindungan Saksi dan Korban dalam peradilan pidana. 2.Menerima permintaan, penyerahan dari atau permohonan untuk di lakukan perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban dalam kasus perkara pidana tertentu. 3.Menentukan persyaratan dan wujud perlindungan kepada para Saksi dan Korban sesuai perlindungan yang dilakukan LPSK juga memiliki kewenangan yang dengan siapa untuk melindungi Saksi dan Korban, kewenangan tersebut antara lain :1.Memberikan perlindungan dan bantuan kepada Saksi dan Korban di semua tahapan proses peradilan pidana. 2.Melaksanakan tata kerja dan aktivitas administrasi dalam kegiatan perlindungan dan pemberian bantuan kepada para Saksi dan Korban. 3.Mendayagunakan, mensinergikan, mengoptimalkan berbagai kemampuan kelembagaan, fasilitas dan anggaran Negara yang di peruntukan bagi aktivitas perlindungan saksidan korban dengan penuh tanggung jawab.Dan sesuai dengan tugas dan kewenagan yang di berikan kepada LPSK, LPSK mempunyai tanggung jawab yang dimiliki dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan korban. 9 LPSK memiliki syarat dalam pemberian Perlindungan dan Bantuan berdasarkan atas perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana di berikan(diatur dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban Pasal 28),dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1.Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban. 2.Tingkat anacaman yang membahayakan saksi dan/atau korban. 3.Hasil analisis tim medis atau psikologis terhadap saksi dan/atau korban. Rekam jejak kejahatan yang pernah di lakukaan oleh saksi dan/atau korban.10
sudah mencukupi. Namun jika diperhatikan dengan teliti, lembaga ini masih kurang memadai.11 sebenarnya LPSK memerlukan kewenangan yang lebih besar, apalagi kewenangan yang menyangkut tentang perlindungan Saksi pada tindak pidana hak asasi manusia12 dan Korban yang bisa juga mengalami tindak pidana hak asasi manusia. 3.3 Arti Kejahatan dan Kriminologi Kejahatan merupakan suatu fenomena yang sangat kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Dalam pengertian yuridis kejahatan dibatasi sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan suatu sanksi.contohnya tindak pidana pemerkosaan, korupsi, dan lain sebagainya yang telah ditetapkan dalam undang-undang. kejahatan yang dipandang dari sudut sosiologis yang berarti bahwa suatu perbuatan yang melanggar norma-norma yang hidup di dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah perempuan yang melacurkan diri. Jadi kejahatan memiliki pengertian yang luas dari sudut pandang masing-masing, dan tidak ada batasanakan pengertian kejahatan.13
Dalam hal kejahatan, terdapat suatu ilmu yang mempelajari kejahatan,ilmu yang mempelajari kejahatan disebut Kriminologi, Kriminologi adalah secara etimologis kriminologi berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan, dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu
11
Supriyadi Widodo Eddyono. Op.cit. h.14 Randy Christian. kompetensi lembaga perlindungan saksi dan korban terhadap saksi pada tindak pidana hak asasi manusia./2010/file:///G:/ kompetensi lembaga perlindungan saksi dan korban terhadap saksi pada tindak pidana hak asasi manusia.Christian_ skripsi hukum.htm. 12
Kompetensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di nilai berdasarkan Tugas dan Kewenangan yang di miliki oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban(LPSK), dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap LPSK, secara umum terkesan 9
Dr. H. Siswanto Sunarso.Op.cit.h.19-21. Dr. H.Siswanto Sunarso. Op.cit. h. 268
10
13
Ray pratama Siadari.pengertiankejahatan/2013/file:///D:/Pengertian kejahatan_Ray pratama Siadari,S.H.htm
pengetahuan,sehingga kriminologi ilmu/pengetahuan tentang kejahatan.14
adalah
Kriminologi memiliki tujuan, yang secara umum bertujuan untuk mempelajari kejahatan dari berbagai aspek, shingga di harapkan dapat memperoleh pemahaman mengenal fenomena kejahatan dengan lebih baik.15 Secara garis beasrnya obyek studi kriminologi adalah : 1. Kejahatan, yaitu perbuatan yang di sebut sebagai kejahtan. Apa yang di maksud dengan kejahatan (pidana), yaitu norma-norma yang termuat di dalam peraturan pidana. 2. Pelaku, yaitu orang yang melakukan kejahatan atau sering di sebut “penjahat”. Studi terhadap pelaku ini terutama di lakukan oleh kriminologi positivis dengan tujuan untuk mencari sebasebab orang melakukan kejahatan. 3. Reaksi Masyarakat terhadap Kejahatan dan Pelaku. Studi mengenai reaksi masyarakat terhadap kejahatan bertujuan untuk mempelajari pandangan serta tanggapan masyarakaat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang di pandang sebagai merugikan atau membahayakan masyarakat luas,akan tetapi undang-undang belum bisa mengaturnya.16 Dalam kejahatan terdapat hubungan Korban dengan kejahatan. Hubungan penjahat dengan korban merupakan salah satu subyek yang paling diabaikan dalam studi mengenai kejahatan dan dalam pelaksanaan keadilan pidana.korban tidak hanya mengalami terjadinya proses kriminalisasi belaka, tetapi memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran dan memahami masalah kejahatan.17 Kita semua paham bahwa para penjahat dan para korban adalah hasil kreasi satu sama lain .ini adalah penemuan dasar pemikiran Viktimologi dalam Kriminologi. Hal ini memperjelas bahwa kriminologi mempelajari hubungan-hubungan yang mempelajari hubungan antara para peserta pada terjadinya suatu kejahatan.18 14
Prof.Dr.I.S.Susanto. Kriminologi.Yogyakarta:Genta publishing,2011.hal.1 15 Prof.Dr.I.S.Susanto. Op.Cit h.2 16 Prof.Dr.I.S.Susanto. Op.Cit. h. 33 17 Dr.H.Siswanto Sunarso. Op cit. h. 62 18 Dr.H.Siswanto Sunarso. Op cit. h. 64
Antara pihak korban dan pihak pelaku terdapat hubungan fungsional.bahkan dalam terjadinya kejahatan tertentu pihak korban di katakan bertanggung jawab. Pelaku dan korban kejahatan berkedudukan sebagai peartisipasi, yang terlibat secara aktif atau pasif dalam suatu kejahatan. 19 hal ini dapat dilihat dari Salah satu contoh kasus perkosaan yang dialami oleh SB, 43 tahun, warga jalan Puntodewo Selatan, Malang. SB berhasil diperkosa, setelah dicekoki minuman keras. Korban adalah seorang janda, yang diperkosa dua orang. Dua pelakunya, YAS, 27 tahun, warga jalan Kolonel Sugiono, Malang dan AES, 27 tahun, warga jalan Permadi I, Polehan, Malang. Korban sebelum diperkosa meminum miras terlebih dahulu bersama-sama pelaku, kemudian dia mabuk dan akhirnya tak sadarkan diri. Pelaku tergoda dengan kemolekan tubuh korban hingga nekat memperkosa korban secara bergiliran. Dalam kasus diatas, korban berperan untuk terjadinya kejahatan. Korban termasuk kategori partisipasi aktif, artinya dia berperan aktif dalam terjadinya kejahatan.20 3.4 Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban menurut Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 kepada Saksi dan Korban adalah untuk melindungi saksi dan korban dalam peristiwa pidana yaitu proses peradilan pidananya. Kedudukan saksi dan korban dalam peradilan pidana adalah merupakan kunci untuk mengungkapkan kejahatan yang terjadi. Dalam mekanisme sistem peradilan pidana terpadu keberhasilan pengungkapan suatu kasus pidana sangat bergantung pada adanya alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan sejak awal penyidikan hingga persidangan. Peran saksi sebagai alat bukti sangat menentukan hidup matinya nasib seorang tersangka/terdakwa.Saksi dalam peradilan pidana kedudukannya menempati posisi kunci, sebagaimana terlihat dalam 19
Dr. H. Siswanto Sunarso. Op. Cit. hal. 68 Shinhaji.Viktimisasi-korbanperkosaan.blogspot.com/2011/10/viktimisasikorban-perkosaan.html 20
penempatannya dalam pasal 184 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut:
h.Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan.
“alat bukti yang sah ialah: keterangan saksi, keterangan ahli,surat petunjuk,keterangan terdakwa”
i.Mendapat nasihat hukum dan memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.23
Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh Saksi. Sejak awal proses peradilan pidana saksi telah memiliki peran dan kedudukan yang penting. 21
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang bertugas melindungi Saksi dan Korban dari ancaman dan melindungi keluarga saksi dan korban, Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan pengertian tentang ancaman dan keluarga, hal tersebut tertuang dalam Pasal 1 ayat(4) dan (5) yang berbunyi sebagai berikut:
Landasan hukum bagi perlidungan saksi dan korban adalah Konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,yang mana dalam Pasal 1 UUD 1945, berbunyi sebagai berikut: “1.Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. 2.Kedaulatan beada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. 3.Negara Indonesia adalah Negara hukum”. 22 Sebagai objek perlindungan atas hak Saksi dan Korban,menurut Undang-undang di atur dalam Bab II Pasal 5, Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dengan obyek perlindungan meliputi: a.Memperoleh perindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau lebih di berikannya. b.Ikut serta dalam memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan. c.Memberikan keterangan tanpa tekanan dan Medapat penerjemah. d.Bebas dari pertanyaan yang menjerat. e.Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan. f.Mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan.
“Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan saksi dan/atau korban merasa takut dan/atau di paksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian Kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana”.(ayat 4) “Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan saksi dan/atau korban”(ayat 5). Dan perlindungan terhadap Saksi dan Korban menurut Undang-Undang di berikan Kepada Saksi dan/atau Korban dalam semua tahap proses peradilaan pidana dalam lingkungan peradilan, untuk melindungi atas segala ancaman baik fisik dan/atau psikis.24 sebagaimana hal ini diatur dalam UndangUndang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut: “Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan”. Perlindungan terhadap Saksi dan Korban, yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di
g.Mendapat identitas baru dan Mendapatkan tempat kediaman baru. 21
www.Balitbangham.go.id/index/images/judul_p df/sipol/penelitian/2008/saksi_dan_korban.pdf 22 Dr.H.Siswanto Sunarso.Op.Cit. hal. 210
23 24
Dr.H.Siswanto Sunarso. H. 257 Dr.H.Siswanto Sunarso. Op.cit. h.245
pengadillan tempat perkara tersebut sedang diperiksa,25 hal ini di atur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam pasal 9 ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut: “Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa haadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa” Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) ini mengatur ketentuan pidana dalam hal perlindungan dan pemberian bantuan kepada Saksi dan/Korban yang diatur dalam Pasal 37 yang berbunyi sebagai berikut: “ setiap orang yang memaksakan baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu yang menyebabkan saksi dan/korban tidak memperoleh perlindungan sebagaiman dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a(memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,sedang,atau telah diberikannya) atau huruf d(mendapat penerjemah) sehingga saksi dan/atau korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat manapun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5(lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 40.000.000,00(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,00(dua ratus juta rupiah)” Pentingnya perlindungan saksi dan korban, di latarbelakangi adanya perspektif pergeseran dari keadilan retributif kepada keadilan retroaktif. Penggeseran ini merupakan pergeseran filsafat keadilan dari hukum positif yang mendasarkan kepada asaas hukum materiel dalam system peradilan pidana. 26 Secara substansi , Undang-undang perlindungan saksi dan korban nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengandung kekurangan, yaitu tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi pelapor, perlindungan hanya diberikan kepada 25 26
Dr.H.Siswanto Sunarso. Op.cit. h.260 Dr. H. Siswanto Sunarso.Op.cit. H. 47-48
saksi dan korban, dimana hal ini diatur dalam Undang-Undang perlindungan saksi dan korban nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban Pasal 2,yang berbunyi sebagai berikut: “Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan”. Padahal pelapor seharusnya lebih dilindungi karena memiliki potensi ancaman kekerasan lebih besar, karena dari pelaporan awal suatu perkara dapat mulai diungkapnya terjadinya suatu kejahatan.27 Dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban,hanya ada 1 Pasal yang mengatur perlindungan bagi pelapor, pasal tersebut adalah Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, yang berbunyi sebagai berikut: “saksi,korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan,kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya”. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Perlindungan yang diberikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kepada Saksi dan Korban tindak kejahatan kurang maksimal, dikarenakan LPSK memerlukan kewenangan yang lebih besar dari pada kewenangan ynag telah diberikan oleh UndangUndang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban. dan UndangUndang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban kurang memberikan perlindungan kepada Pelapor, padahal pelapor sangat perlu dilindungi layaknya Saksi dan Korban. 4.2 Saran Perlindungan terhadap Saksi dan Korban perlu ditingkatkan lagi, karena masih banyak kelemahan khususnya untuk saksi dan korban hak asasi manusia yang berat, seperti kasusyang dialami oleh ibu Tuti Koto dan pak makmur amsori yang Keduanya merupakan korban pelanggaran HAM berat dalam kasus tanjung priok 1984. dan bagi masyarakat serta penegak hukum untuk lebih meningkatkan lagi kewaspadaannya 27
Dr. H. Siswanto Sunarso.Op.cit. H. 218
terhadap kejahatan dan lebih mengepentingkan keadaan Saksi dan Korban tindak kejahatan dari pada pelaku kejahatan. 5. DAFTAR PUSTAKA 5.1 Literatur Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Universitas Air Langga. Surabaya. Johny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, Malang 2006. Ray Pratama Siadari, S.H. 2013. Peranan Korban Atas Terjadinya Kejahatan_File:///D :/. Htm Pembentukan LPSK,file///D:/pembentukan LPSK. htm Khafid
Documentary. 2011/05/09./ Bentuk Perlindungan Saksi Dan Korban Menurut Undang-undang nomor 13 tahun 2006. /File;////D:/
Prof.
Dr. I.S. Susanto, SH.Kriminologi, Yogyakarta. Genta Publishing 2011.
Randy Christian. /2010/kompetensi lembaga perlindungan saksi dan korban terhadap saksi pada tindak pidana hak asasi manusia. /file:///G:/kompetensi lembaga perlindungan saksi dan korban terhadap saksi pada tindak pidana hak asasi manusia._ Christian_ skripsi hukum.htm. Shinhaji.Viktimisasi-korbanperkosaan.blogspot.com/2011/10/vikti misasi-korban-perkosaan.html www.Balitbangham.go.id/index/images/judul_p df/sipol/penelitian/2008/saksi_dan_korb an.pdf
5.2 Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban
PERPRES Nomor 13 Tahun 2007 tentang susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan seleksi dan pemilihan calon anggota lembaga perlindungan saksi dan korban