www.parlemen.net
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Denny Indrayana Workshop, ICW, 31 Agustus 2005
Format LPSK •
Menurut RUU Usul Inisiatif DPR
•
Perbandingan dengan Amerika Serikat dan Afrika Selatan
•
Bagaimana sebaiknya?
BAB III LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
(1) (2)
Pasal 11 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban merupakan lembaga yang mandiri Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dibentuk sekurang-kurangnya di setiap ibukota provinsi dan di wilayah kabupaten/kota yang dianggap perlu oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Pasal 12 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bertanggungjawab menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Pasal 13 (1)
Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terdiri atas 7 (tujuh) orang yang masing-masing berasal dari unsur Komnas HAM, Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Kehakiman dan HAM, Akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
(2)
Ketua dan Sekretaris Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dipilih dari dan oleh anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
(3)
Kriteria anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan tata cara pemilihan Ketua dan Sekretaris diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16 (1)
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bertanggungjawab kepada Presiden.
(2)
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban membuat pertanggungjawaban secara berkala kepada Dewan Perwakilan Rakyat sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Kehakiman dan HAM.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menurut RUU Inisiatif DPR dapat diklasifikasikan sebagai jenis lembaga nonstruktural. Menurut perhitungan Kompas (30 April 2005) saat ini ada 45 macam, dengan nama Komisi, Komite, Badan, Dewan atau Lembaga. Dasar hukum lembaga nonstruktural itu bermacam-macam: UU (23 persen), PP (7 persen) dan Keppres (70 persen).
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Meski berbeda dari sisi dasar hukum, semua lembaga nonstruktural itu mempunyai satu kesamaan, yaitu 100% dibiayai oleh APBN, tidak terkecuali usulan pembentukan LPSK. Usulan LPSK sendiri makin menegaskan kecenderungan pembentukkan lembaga nonstruktural di era transisi; masa dimana kepercayaan terhadap institusi formal-konvensional relatif rendah.
Kecenderungan pembentukan lembaga nonstruktural di hampir setiap proses legislasi sebaiknya tidak dilanggengkan. Bagaimanapun, lembaga nonstruktural harus dibentuk secara lebih selektif dengan memperhatikan urgensinya dan beban anggaran yang mungkin timbul. Untuk lembaga nonstruktural yang terbukti tidak efektif dan hanya menambah kompleksitas struktur kenegaraan (menambah berbelit birokrasi), sebaiknya dipertimbangkan untuk dilikuidasi.
Meskipun demikian, untuk LPSK urgensi kehadirannya relatif sulit dielakkan. Meletakkan LPSK ke dalam institusi lain – seperti Departemen Kehakiman sebagaimana di Amerika Serikat dan Afrika Selatan – misalnya, bukan pilihan yang menarik untuk konteks Indonesia. Diperlukan LPSK yang lebih mandiri dan bergigi untuk menciptakan satu sistem penegakan hukum – misalnya pemberantasan korupsi – yang komprehensif.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Alternatif kedua, dalam konteks pemberantasan korupsi meletakkan LPSK di dalam struktur KPK sebenarnya adalah salah satu alternatif, satu dan lain hal karena kinerja KPK yang saat ini relatif lebih menjanjikan dibandingkan lembaga penegakkan hukum lainnya. Namun pilihan tersebut juga kurang tepat karena: perlindungan saksi tidak melulu berkait dengan masalah korupsi, tetapi juga berhubungan dengan masalah pelanggaran HAM, narkoba dll.
Alternatif ketiga, yang juga menarik untuk dielaborasi adalah meletakkan LPSK ke dalam instansi kepolisian. Kelebihan dari sistem ini adalah infrastruktur serta tugas kepolisian yang sudah ada untuk melakukan proteksi kepada saksi dan korban. Kekurangan sistem ini adalah masih tidak profesionalnya kerja aparat kepolisian, yang sering kali menyebabkan saksi dan korban justru merasa tidak terlindungi.
LPSK, dan lembaga nonstruktural lainnya, yang didisain menjadi lembaga yang mandiri seharusnya direalisasikan dengan kewenangan yang juga bebas intervensi, baik langsung maupun tidak langsung. Artinya, LPSK seharusnya tidak hanya menjadi lembaga pemberi rekomendasi, tetapi punya kekuatan eksekusi untuk kerja-kerja perlindungan saksi korban tersebut.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Ke depan, masalah pembentukkan lembaga negara nonstruktural harus diatur secara terencana dalam satu disain sistem ketatanegaraan yang utuh, tidak responsif dan tambal sulam. Dalam konteks ini, kehadiran UU Kementerian Negara yang didalamnya mengatur tentang struktur dasar institusi kenegaraan – termasuk tentang kehadiran lembaga-lembaga negara nonstruktural – menjadi amat penting.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net