Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN DAN PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN ASAS PERSAMAAN DI MUKA HUKUM (EQUALITY BEFORE THE LAW) DARI PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA Adhi Wibowo Fakultas Hukum Universitas Ekasakti, Padang
[email protected] Abstract The reality of the application of legal protection given Indonesia's criminal justice system (criminal justice system), both to the criminal who although in a limited manner specified in the legislation but has not been consistent, resulting in the absence of legal certainty for offenders. Moreover, legal protection for victims who are still very few settings in the legislation is still far from the expected to the fulfillment of the rights of victims even though existing legislation witness and victim protection, but should the principle of equality before the law should be used as an underlying principle law enforcement officers in carrying out the functions, duties and authorities, because everyone is equal before the law so that the law is not permitted to take measures that discriminate against people (discriminatory). Keywords: (criminal justice system), equality before the law, diskriminatif Abstrak Realitas penerapan perlindungan hukum yang diberikan system peradilan pidana Indonesia (criminal justice system), baik kepada pelaku tindak pidana yang sungguhpun sudah ditentukan secara limitatif dalam peraturan perundang-undangan namun belum konsisten, sehingga berakibat tidak adanya kepastian hukum bagi pelaku. Apalagi perlindungan hukum bagi korban yang masih sangat sedikit pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan masih jauh dari yang diharapkan untuk terpenuhinya hak-hak korban sungguhpun telah ada undang-undang perlindungan saksi dan korban, padahal semestinya asas equality before the law harus dijadikan sebagai asas yang mendasari aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya, karena semua orang sama di hadapan hukum sehingga hukum tidak boleh melakukan tindakan yang membeda-bedakan orang (diskriminatif). Kata Kunci: (criminal justice system), equality before the law, diskriminatif A.
Pendahuluan Manusia sebagai pribadi akan memiliki arti serta dapat mengembangkan hidupnya
sendiri apabila ia ada bersama-sama dengan manusia lainnya sehingga tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk yang sosial, tentu seseorang itu tidak dapat melepaskan dirinya dalam pergaulan kemasyarakatan tersebut.1 1
Chainur Arrasjid, Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminil, (Medan : Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1999), hal. 28
133
Adhi Wibowo : Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Pelaku Tindak Pidana… Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tentunya membawa konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan melalui kehidupan saling menghormati dan menghargai bahwa diantara mereka terkandung adanya hak dan kewajiban.2 Keberadaan manusia yang memiliki hak dan kewajibannya masing-masing tidak dapat dipandang sebagai individu yang berdaulat sehingga dapat mempertahankan hak serta kewajiban secara mutlak, melainkan haruslah dipandang sebagai personal sosial, yaitu suatu oknum pribadi sosial yang dibina oleh masyarakat, serta mengendalikan hak asasi dan hakhak lain dimana hak itu timbul karena hak hidupnya dalam masyarakat dan penggunaannya harus diselaraskan dengan kepentingan masyarakat pula. Manusia dilahirkan kemuka bumi dengan membawa hak-hak dasar yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa atau lazim disebut dengan hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia diberikan kepada setiap individu didunia tanpa pandang bulu dan tanpa memandang adanya perbedaan diantara manusia itu. Hak ini tidak akan pernah lepas dan akan tetap melekat pada diri pribadi manusia itu sendiri. Demikian pentingnya hak asasi itu bagi manusia sehingga eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dilindungi, diantaranya melalui produk perundang- undangan. Adanya pengakuan terhadap eksistensi hak asasi manusia tentu membawa konsekuensi pada perlunya diupayakan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang dapat merugikan manusia itu sendiri, baik dilakukan oleh manusia lainnya atau oleh pemerintah. Atas dasar pemikiran bahwa hak asasi manusia merupakan pemberian ataupun anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak seorangpun atau lembaga apapun yang dapat mencabut atau mengurangi hak asasi seseorang kecuali ada alasan yang dapat dibenarkan misalnya undang-undang mengatur atau memerintahkan. Demikian juga masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. Meskipun sudah diatur dalam ketentuan undang-undang, selalu saja dari berbagai media ada dibahas ketidakadilan yang muncul dalam proses penegakan hukum, khususnya hukum pidana. Dalam hukum pidana ini sendiri dikenal dengan adanya asas-asas yang berlaku spesifik, seperti asas fair trial atau asas peradilan yang berimbang. Asas peradilan yang
2
Dikdik M. Arief Mansur dan Eliatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita, (Jakarta :Rajawali Pers, 2007), hal. 157
134
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 berimbang ini tidak dapat dilepaskan dari asas equality before the law yang merupakan asas hukum umum dan dasar dari prinsip keseimbangan antara hak-hak seorang tersangka, terdakwa dan terpidana untuk membela dirinya dengan hak-hak yang dimiliki oleh korban dari suatu kejahatan.3 Realitas tersebut membawa kesimpulan bahwa ada masalah ketidakseimbangan terhadap tersangka dan korban, baik dalam tataran kebijakan legislatif maupun dalam kebijakan aplikatif dalam perlindungan kepada pelaku dan korban kejahatan.4 Asumsi ini barangkali hanya berada dalam lingkup kepuasan moril, akan tetapi jika dihubungkan dengan keadaan korban yang menderita luka fisik, terutama bagi korban yang tidak mampu secara finansial, maka dengan pemenuhan aspek kepuasan moril saja belum dapat dikatakan sebagai adanya suatu keseimbangan perlakuan antara pelaku dan korban.5 Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kedudukan terhadap pelaku kejahatan sebagai individu yang mempunyai hak asasi manusia semakin memperoleh perhatian utama. Ironisnya, dengan banyaknya materi KUHAP yang mengatur tentang perlindungan pelaku kejahatan mengakibatkan porsi perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan terkesan menjadi tidak memadai bahkan terabaikan. Padahal sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan dan pelaku kejahatan adalah seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan sebagaimana asas setiap orang bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap
3
M. Sofyan Lubis, Prinsip“Miranda Rule” Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010), hal. 105 4 Berkaitan dengan masalah ketidakseimbangan perlakuan terhadap tersangka dan korban Arif Gosita mengatakan bahwa: “pelayanan keadilan terhadap para pencari keadilan di peradilan pidana, khususnya pihak korban tindak pidana hingga saat ini belum memuaskan. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh Undang- Undang kepada pelaku kejahatan. Selain itu, hukum pidana yang sekarang berlaku, seperti mengasumsikan bahwa pihak korban telah memperoleh kepuasan keadilan dengan dipidananya pelaku kejahatan, karena pelaku kejahatan dalam hal ini telah merasakan juga penderitaan sebagaimana yang dialami/diderita oleh korban” (Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), hal. 216). 5 “Perlindungan Hukum Atas Korban dalam Pelanggaran HAM”, http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=105 &Itemid , 28 Mei 2015
135
Adhi Wibowo : Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Pelaku Tindak Pidana… korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar.6 Kurangnya perlindungan yang diberikan kepada saksi dan atau korban mendorong lahirnya Undangundang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sehingga seorang saksi dan korban mendapat keyakinan akan perlindungan yang diberikan ketika ia dihadapkan di depan persidangan. Seorang korban diberikan jaminan ketika ia memberi kesaksiannya di depan persidangan baik ia sebagai korban dalam suatu peristiwa pidana maupun yang sudah berstatus tersangka akan tetapi ia didudukkan sebagai saksi dalam kasus yang sama tapi berkas terpisah. Sebenarnya perlindungan hukum kepada korban sebelum adanya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 ini sudah diakomodir melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurut Bambang Waluyo, perlindungan korban dalam undang-undang anti terorisme ini bisa dilihat pada ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa: “dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana terorisme dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan diketahuinya identitas pelapor”.7 Perlindungan yang diberikan dalam beberapa undang-undang sebelum disahkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 sudah cukup melegakan pihak korban karena atas diri mereka sudah diberikan perlindungan dan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 semakin mempertegas perlindungan tersebut dengan adanya lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada korban dan atau saksi yang dinamakan dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Namun dengan lahirnya undang-undang ini dalam penyelesaian perkara pidana masih banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya materiil maupun immaterial, misalnya korban kekerasan seksual belum sepenuhnya mendapat perlindungan dari kemungkinan publikasi identitas dan hak-hak pribadi (privacy) lainnya, karena masih banyak media yang mencantumkan identitas dan foto korban kejahatan seksual khususnya perempuan. Akibatnya, privasi para korban tak terlindungi meskipun ada payung hukum perlindungan bagi mereka. 6 7
Ibid Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011), hal. 92
136
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 Penderitaan korban kejahatan seksual acapkali bertambah karena peran media yang mengungkap secara jelas identitas korban, bahkan ada media yang memuat foto korban dengan hanya menghitamkan bagian mata. Aliansi Jurnalis Indonesia melihat tanggung jawab besar media dalam upaya perlindungan kejahatan seksual. Jurnalis yang menulis kasus kejahatan seksual juga perlu menyadari publikasi harus diarahkan untuk mengurangi jumlah kasus atau memberikan pencegahan tindakan kejahatan seksual. Jika identitas korban kejahatan seksual diungkap, trauma korban berpotensi semakin besar karena masyarakat mengetahui masalah yang dihadapi korban.8 Terhadap pelaku kejahatan juga ada kecenderungan hak-hak pelaku (tersangka atau terdakwa) sebagaimana diatur dalam undang-undang sangat jauh dari yang diharapkan. Banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum atas diri si pelaku ketika ia dihadapkan pada serentetan prosedur hukum dari berbagai tingkat pemeriksaan. Pelanggaran atas hak-hak dari si pelaku kejahatan ini sendiri dapat ditemukan pada tingkat penyidikan oleh Kepolisian, tingkat penuntutan oleh Kejaksaan dan juga tingkat pemeriksaan di sidang Pengadilan. Sungguhpun hukum pidana Indonesia lebih berorientasi pada perlindungan terhadap pelaku tindak pidana dibandingkan dengan perlindungan terhadap korban tindak pidana, namun dalam praktik masih dijumpai aparat penegak hukum yang tidak profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sehingga mengabaikan hak-hak tersangka dan terdakwa. Contohnya pada penanganan kasus Prita Mulyasari terkait dengan tulisan yang dibuat oleh Prita atas kekecewaannya terhadap pelayanan kesehatan oleh RS. Omni Tangerang dan masih banyak kasus-kasus lainnya yang menunjukan bahwa masih adanya kesenjangan yang sangat jauh antara perlindungan yang diberikan kepada korban maupun kepada pelaku tindak pidana di Indonesia. Berdasarkan pemikiran di atas, maka permasalahan yang hendak dibahas adalah bagaimanakah perbandingan perlindungan hukum terhadap korban dan pelaku tindak pidana berdasarkan asas persamaan di muka hukum (equality before the law) dalam sistem peradilan pidana Indonesia? Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan studi kepustakaan yang disajikan secara deskriptif yaitu hanya akan menggambarkan tentang perlindungan hukum terhadap korban dan pelaku tindak pidana
8
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f0d1de04a6f9/privasi-korban-kejahatan-seksual-belumterlindung, 28 Mei2015
137
Adhi Wibowo : Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Pelaku Tindak Pidana… berdasarkan asas persamaan di muka hukum equality before the law dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Adapun data yang digunakan adalah data sekunder dengan bahan hukum primer, antara lain: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undangundang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, bahan hukum sekunder seperti buku-buku yng membahas masalah korban dan sistem peradilan pidana serta bahan hukum tersier seperti media internet.
B.
Pembahasan Perlindungan hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Perbuatan (hal
tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku” 9Pada umumnya perlindungan hukum merupakan bentuk pelayanan kepada seseorang dalam usaha pemulihan secara emosional. Sedangkan menurut Philipus M Hadjon, perlindungan hukum dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif, dimana pemerintah sebagai titik sentral. Perlindungan hukum preventif adalah saat dimana diberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian, perlindungan hukum yang preventif mempunyai tujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang berdasarkan diskresi. Dengan demikian, penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan umum di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum represif.10 Berdasarkan Deklarasi PBB dalam “Declaration of Basic Principles of Justice for 9
W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (akarta: Balai Pustaka, 1986), hal. 874. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hal. 2-
10
3
138
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 Victim of Crime and Abuse of Power 1985” pada angka 1 disebutkan bahwa Korban adalah orang-orang yang secara individu atau kolektif telah mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik dan mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis atau pengurangan substansial hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran yang melanggar hukum pidana yang berlaku di Negara- negara anggota yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang.11 Arief Gosita memberikan pengertian korban adalah “Mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan.”12 Sedangkan Muladi mengatakan bahwa: “korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhaddap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hokum pidana di masingmasing Negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan”.13 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat menyebutkan bahwa “Korban adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan pihak manapun”. 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa “Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Istilah sistem peradilan pidana dalam berbagai referensi digunakan sebagai padanan dari criminal justice system, yaitu sistem penegakan hukum, yang terdiri dari polisi, jaksa penuntut umum, hakim, advokat dan lembaga pemasyarakatan. Disamping itu pengertian di atas juga menekankan kepada fungsi komponen untuk ”menegakkan hukum pidana”, yaitu fungsi penyidikan, proses peradilan dan pelaksanaan pidananya. Berbeda dengan pengertian di atas, Muladi mengatakan bahwa: “sistem peradilan
11
Arif Gosita, Op. Cit., hal. 46 Ibid, hal. 63 13 Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op. Cit., hal. 47. 14 Farhana dan Mimin Mintarsih, “Upaya Perlindungan Korban Terhadap Perdagangan Perempuan (Trafficking) di Indonesia”, Jurnal Mimbar Ilmiah Hukum Universitas Islam Jakarta; Reformasi Hukum, Universitas Islam Jakarta, Vol. XI No. 1 Juni 2008, hal. 46-47 12
139
Adhi Wibowo : Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Pelaku Tindak Pidana… pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana”.15 Pengertian yang dikemukakan Muladi tersebut, disamping memberi penekanan pada suatu ”jaringan” peradilan, juga menekankan adanya penggunaan hukum pidana oleh jaringan dalam melaksanakan tugasnya secara menyeluruh, baik hukum pidana substantif, hukum acara pidana maupun hukum penitensier untuk mencapai tujuan jaringan tersebut,
sedangkan
dalam
pengertian
Black’s
terlihat
lebih
menekankan
pada
kelembagaannya (komponen). Pemahaman pengertian “sistem” dalam pendapat yang lain menurut Gordon B. Davis sebagaimana dikutip Muladi, dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system, dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system, dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan. 16 Dari pemahaman tersebut, pengertian “sistem” dalam sistem peradilan pidana meliputi keterpaduan bekerjanya elemen-elemen pendukung peradilan pidana maupun gagasan-gagasan yang tersistimatis. Definisi yang lain seperti dikemukakan Remington dan Ohlin sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita dikatakan bahwa: “criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.17 Terkait dengan pengertian di atas, oleh Hagan seperti dikutip Romli Atmasasmita, membedakan pengertian antara criminal justice system dan criminal justice process. Menurut Hagan, criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang dihadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.18 Peradilan pidana sebagai ”proses” menurut pengertian Hagan, didalamnya terdapat pentahapan penanganan oleh komponen-komponen terkait yang masing-masing memberikan 15
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro (Undip), 1995), hal. 4 16 Ibid, hal. 15 17 Romli Atmasasmita, Sistim Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung : Binacipta, 1996), hal. 14 18 Ibid, hal. 15
140
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 suatu keputusan hingga ada penentuan status hukum bagi tersangka/terdakwa. Sedangkan peradilan pidana sebagai ”sistem” didalamnya terdapat keterkaitan hubungan keputusan yang dibuat setiap komponen terkait dalam prosesnya kearah suatu tujuan.19 Mardjono Reksodipoetro mengemukakan bahwa: “Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.20 Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.21 Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu sebagai berikut: a. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana. b. Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik criminal (criminal policy). c. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (social policy).22 Sedangkan menurut Romli Atmasasmita tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut:23 1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. 2. Menyelesaikan kasus yang kejahatan terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. 3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
19
Ibid., hal. 16 Ibid., hal. 17 21 Muladi, Op.Cit., hal. 15 22 Petrus Irawan Panjaitan, Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Peradilan Pidana (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 54 23 Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 17 20
dalam Perspektif Sistem
141
Adhi Wibowo : Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Pelaku Tindak Pidana… B.1.
Perlindungan Hukum Kepada Pelaku Tindak Pidana Apabila memperhatikan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), perlindungan hukum kepada pelaku kejahatan pada dasarnya sudah diberikan pada saat pelaku (tersangka) ditangkap atau ditahan, yaitu dalam bentuk pemberian bantuan hukum oleh penasihat hukum (pendampingan selama pemeriksaan) bahkan dengan diperhatikannya
surat
tugas
serta
surat
perintah
penangkapan
yang didalamnya
mencantumkan identitas tersangka, dan menyebutkan alasan dilakukannya penangkapan, serta uraian singkat kejahatan yang disangkakan kepada pelaku/tersangka, maka pemberian perlindungan hukum kepada tersangka/pelaku sudah mulai diberikan. Pemberian perlindungan hukum kepada pelaku kejahatan tidaklah berhenti setelah selesainya pemeriksaan terhadap pelaku di tingkat penyidikan, tetapi masih terus diberikan sampai dengan diperiksa dan diadilinya pelaku/tersangka untuk mengajukan berbagai upaya hukum (seperti: banding, kasasi, dan peninjauan kembali) atas suatu putusan pengadilan serta proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana lebih mengutamakan perlindungan kepentingan dari pelaku tindak pidana saja, kondisi ini merupakan proses peradilan pidana yang berorientasi pada aspek “pembalasan kepada pelaku oleh Negara (restibutive justice)”.24 B.2.
Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Dalam pengaturan Hukum Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang paling
dirugikan, selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materill, fisik maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi tercapainya sebuah kepastian hukum, misalnya harus kembali mengemukakan dan mengingat bahkan mengulangi (merekonstruksi) kejahatan yang pernah menimpanya pada saat menjalani proses pemeriksaan baik ditingkat penyidikan maupun di pengadilan. Keberpihakan hukum terhadap korban yang terkesan timpang jika dibandingkan dengan tersangka (terdakwa), terlihat dari adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang lebih banyak memberikan hak istimewa kepada tersangka atau terdakwa dibandingkan kepada korban. 24
Varia Hukum Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia (Majalah Hukum Tahun XXVI Nomor 304 Maret 2011), hal. 13
142
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 Pasal 184 ayat (1) KUHAP mendudukkan saksi atau korban pada posisi kunci sebagai alat bukti utama, hal ini memberikan dampak yang sangat penting dalam penyelesaian suatu perkara pidana. Dengan kata lain keberadaan saksi sangat dibutuhkan dalam penyelesaian suatu perkara pidana. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana telah dimulai sejak dimulainya proses penyidikan. Demikian pula pada tahapan selanjutnya di tingkat penuntutan maupun pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama adalah menjadi acuan bagi hakim dalam memeriksa dan mengadili serta memutus suatu perkara, dengan kata lain saksi dalam suatu proses peradilan pidana memiliki kontribusi yang sangat besar dalam penegakan hukum. Namun, pada saat korban dimintai keterangan di pengadilan, terkesan korban hanya sekadar dijadikan sebagai alat untuk menguatkan apa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Setelah korban memberikan kesaksiannya tidak ada upaya untuk memberikan perlindungan kepada saksi (korban) dan korban dibiarkan pulang begitu saja tanpa memperoleh perlindungan. Dalam konteks ini menarik apa yang dikatakan Dikdik M. Arief Mansur bahwa: “beberapa kasus kejahatan seringkali wujud perlindungan hukum yang diberikan kepada korban hanya terbatas pada aspek materiil saja, misalnya korban diberikan hak menuntut ganti kerugian kepada pelaku. Harapannya setelah ganti rugi diberikan, permasalahan penderitaan yang dialami korban akan selesai. Padahal seharusnya akibat yang diderita oleh seseorang sebagai akibat dari kejahatan yang menimpanya sangat kompleks, tidak hanya kerugian secara materil tapi juga secara fisik dan psikis”.25 Kedudukan saksi atau korban dalam sistem peradilan pidana tampaknya memang jauh dari perhatian para penegak hukum maupun masyarakat. Hal ini adalah konsekuensi dari sistem KUHAP yang menganut akusatif model yakni model sistem peradilan pidana yang melindungi kepentingan pelaku tindak pidana/terdakwa, dan bukan inkusatif model yakni sistem peradilan pidana yang mengutamakan perlindungan terhadap korban tindak pidana.26 Dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan yang secara khusus memberikan perlindungan kepada saksi dan korban berupa pemberian sejumlah hak tertentu seperti halnya yang dimiliki oleh terdakwa. Sebagai ketentuan hukum beracara pidana di Indonesia, KUHAP menentukan pelaku tindak pidana memiliki sejumlah hak yang diatur secara tegas dan rinci dalam suatu bab tersendiri, sedangkan untuk saksi dan saksi korban hanya terdapat 25 26
Dikdik M Arief Mansur dan Eliatris Gultom, Op.Cit, hal 81 Varia Hukum Peradilan, Op. Cit., hal. 14
143
Adhi Wibowo : Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Pelaku Tindak Pidana… pada beberapa pasal saja dimana pemberiannya selalu ada keterkaitannya dengan terdakwa. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa hak yang dimiliki oleh saksi dimiliki pula oleh terdakwa pelaku tindak pidana, namun sebaliknya banyak hak tersangka/terdakwa yang tidak dimiliki oleh saksi termasuk saksi korban. Bila dibandingkan dengan perlindungan hukum terhadap pelaku kejahatan dengan saksi atau korban , maka akan sampai pada suatu pemikiran apakah hak-hak dari pelaku kejahatan diberikan karena kedudukannya yang lemah sehingga dianggap rawan terhadap abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) sementara bagi saksi termasuk saksi korban sebagai warga masyarakat, sebagai pihak yang secara langsung dirugikan kepentingannya, karena dipandang telah diwakili oleh Negara yang berperan sebagai aparat pelaksana hukum, dianggap tidak perlu lagi untuk memiliki sejumlah hak yang memberikan perlindungan bagi dirinya dalam suatu proses peradilan pidana.27 Menurut penulis, untuk mengembalikan proses penegakan hukum pidana ke jalur yang benar dan tepat secara proporsional dan profesional, maka sudah saatnya diberikan perhatian dalam porsi yang lebih besar kepada pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana, yaitu selain tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana dan aparat penegak hukum, adalah pihak saksi termasuk saksi korban dengan mengacu kepada asas kesamaan di muka hukum (equality before the law) yang merupakan salah satu syarat dari suatu Negara hukum.
C.
Kesimpulan Perbandingan perlindungan hukum terhadap korban dan pelaku kejahatan berdasarkan
asas persamaan di muka hukum (equality before the law) dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan yang secara khusus memberikan perlindungan kepada saksi dan korban berupa pemberian sejumlah hak tertentu seperti halnya yang dimiliki oleh terdakwa, karena sebagai ketentuan hukum acara di Indonesia, KUHAP menentukan pelaku tindak pidana memiliki sejumlah hak yang diatur secara tegas dan rinci dalam suatu bab tersendiri, sedangkan untuk saksi dan saksi korban hanya terdapat pada beberapa pasal saja dimana pemberiannya selalu ada keterkaitannya dengan terdakwa sehingga belum memenuhi asas persamaan di muka hukum. Mendasarkan pada analisis di atas maka semakin urgen untuk melakukan revisi terhadap undang-undang perlindungan saksi dan korban sebagai bentuk penguatan terhadap saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana dengan menempatkan saksi dan korban 27
Ibid, hal 14
144
Law Review Volume XIV, No. 2 – November 2014 sebagai pihak yang sama kedudukannya dengan pelaku dalam hal pemberian hak-haknya serta untuk mengembalikan proses penegakan hukum pidana yang tepat dan adil maka seharusnya penegakan hukum dan perlindungan hukum yang diberikan antara para pihak dalam peristiwa pidana diberikan dengan porsi yang sama sesuai dengan prinsip asas persamaan kedudukan dalam hukum (equlity before the law) sehingga kesan timpang dalam proses penegakan hukum dapat dihapuskan.
DAFTAR PUSTAKA Buku Arrasjid, Chainur. Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminil. Medan : Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1999 Atmasasmita, Romli. Sistim Peradilan Pidana, Abolisionisme. Bandung : Binacipta, 1996
Perspektif
Eksistensialisme
dan
Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Universitas Trisakti, 2009 Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya : PT Bina Ilmu, 1987 Lubis, M. Sofyan. Prinsip “Miranda Rule” Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan. Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010 Mansur, Dikdik M. Arief dan Eliatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita. Jakarta: Rajawali Pers, 2007 Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro (Undip), 1995 Panjaitan, Petrus Irawan dan Pandapotan Simorangkir. Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995 Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1986 Waluyo, Bambang. Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi. Jakarta: Sinar Grafika, 2011 Artikel dalam Jurnal Farhana dan Mimin Mintarsih. “Upaya Perlindungan Korban Terhadap Perdagangan Perempuan (Trafficking) di Indonesia”. Jurnal Mimbar Ilmiah Hukum Universitas Islam Jakarta; Reformasi Hukum, Universitas Islam Jakarta, Vol. XI No. 1 Juni 2008
145
Adhi Wibowo : Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Pelaku Tindak Pidana… Majalah/Koran Varia Hukum Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia (Majalah Hukum Tahun XXVI Nomor 304 Maret 2011) Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP Internet “Perlindungan Hukum Atas Korban dalam Pelanggaran HAM” http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=105 &Itemid http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f0d1de04a6f9/privasi-korban-kejahatanseksual-belum-terlindung
146