UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PEMERKOSAAN (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan Nomor Perkara: 425 /Pid.B/2010/PN Semarang)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : GHUFRON MUSTOFA NIM: 0 7 2 2 1 1 0 2 2
JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012 i
Drs. Rokhmadi, M.Ag
Jl. Jatiluhur Ngesrep Banyumanik Semarang Drs. H. Nur Syamsudin, M.Ag
Jl. Mandasia III No. 354 Krapyak Semarang. PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eks.
Kepada Yth.
Hal
Dekan Fakultas Syariah
: Naskah Skripsi
A.n. Sdr. Ghufron Mustofa
IAIN Walisongo Semarang Di Semarang
Assalamualaikum Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim naskah skripsi saudara : Nama
: Ghufron Mustofa
Nim
: 072211022
Jurusan
: Siyasah Jinayah
Judul Skripsi : Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban Pemerkosaan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara Nomor: 425 /Pid.B/2010/PN. Semarang)
Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima diucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Semarang, 12 Juni 2012
ii
KEMENTRIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG Jl.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
BERITA ACARA MUNAQOSAH Nama
: Ghufron Mustofa
Nim
: 072211022
Jurusan
: Siyasah Jinayah
Judul Skripsi : Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban Pemerkosaan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan Perkara Nomor: 425 /Pid.B/2010/PN. Semarang)
Telah dimunaqosahkan oleh dewan penguji fakultas syariah institut agama islam walisongo semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup, pada tanggal : 20 Juni 2012. Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 tahun akademik 2011/2012. Semarang, 20 Juni 2012
iii
MOTTO 1
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan, Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya. (Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 415.
iv
PERSEMBAHAN Terucap syukur aku persembahkan kepada Allah SWT. Setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan hingga meneteskan air mata disaat gundah dan gelisah aku persembahkan karya tulis ini untuk orang-orang yang aku cintai dan aku sayangi, aku persembahkan bagi mereka yang selalu menemani dikala susah dan senang khusunya buat: Bapak dan Ibu tercinta, yang telah memberikan kasih sayang dan sabar memperjuangkan mulai dari kecil hingga dewasa ini demi memperoleh ilmu Allah. (KH. Umar), yang tidak mengenal lelah dalam mendoakan cucu-cucunya setiap waktu, sehingga terselesaikan skripsi ini. Dosen Pembimbing Drs. Rokhmadi, Mag. dan Drs. H. Nur Syamsudin, Mag. yang telah dengan sabar membimbing dan membantu menyelesaikan karya Ilmiah berupa skripsi ini. Adik-adik yang Tersayang “Hasan, Luluk, Hanif, Mahza, Mala, Farida, dan adik yang Paling Kecil Hadaniyal Muttaqi” Kakak-kakakku “Mbak Azizah, Mbak Eli, Mbak Puput, Mbak Naja” Pakde, dan Bude, De Su’ud, De Dikin, De Is dan De Narti Pak Lek, Bu Lek “ Lek Zanah, Lek Mad, LekKarim, Lek Sub, dan Lek Narko, Lek Inzana, Lek Elvi, Lek Syifa. Teman-teman seperjuangan semuanya, Senyum, Canda dan Tawa kalian semua tak akan pernah terlupakan walau 1000 Pulau memisahkan kita. Q doakan semoga dimasa mendatang kita bisa menjadi orang yang “BERMANFAAT dan SUKSES” Semuanya Aku Ucapkan Terima Kasih Karena Sudah Memberikan Motivasi dan Semangat Sehingga Karya Ilmiah Berupa Skripsi Ini Bisa Terselesaikan.!!!!!
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah atau pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Dengan demikian skripsi ini tidak berisi satupun pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang menjadi bahan rujukan.
Semarang, 12 Juni 2012 Deklarator,
GHUFRON MUSTOFA NIM. 0 7 2 1 1 1 0 2 2
vi
ABSTRAK Sesuai dengan obyek studi yang diangkat, maka pembahasan dititik beratkan pada ganti rugi terhadap korban perkosaan, dalam hukum pidana Islam maupun hukum pidana Indonesia, terutama hukum pidana Islam yang diharapkan akan mampu memberikan suatu nuansa perlindungan hukum bagi korban perkosaan, yang sampai sekarang belum maksimal dikarenakan KUHP tidak mengatur ganti rugi untuk korban tindak pidana perkosaan, padahal korban perkosaan merupakan pihak yang sangat dirugikan baik secara fisik maupun psikis yang berkepanjangan, belum lagi mereka masih dituntut untuk menjadi saksi di persidangan dalam kasusnya. Berdasarkan halhal tersebut diatas, dalam kesempatan ini penulis mencoba menuangkannya dalam tugas akhir yang berbentuk skripsi dengan mengangkat beberapa permasalahan, yaitu Bagaimana upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum pidana Positif dan hukum pidana Islam. Tujuan penulis dengan mengangkat permasalahan yang ada adalah untuk mengetahui perlindungan hukum dalam bentuk ganti rugi bagi korban perkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum pidana Positif dan hukum pidana Islam. Sedangkan untuk menemukan suatu solusi permasalahan yang ada penulis menggali data-data dari berbagai referensi kepustakaan yang relevan dengan permasalahan kemudian dianalisa. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis menggunakan metode analisa deskriptif analisis. Adapun hasil analisis/pembahasan secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: Perlindungan hukum terhadap korban perkosaan dalam putusan PN semarang No.425 /Pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum positif seharusnya mengacu pada KUHPidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 dengan hukuman maksimal 12 tahun dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 81 ayat (1) dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara. Karena dalam KUHP maupun Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tidak menyebutkan adanya ganti rugi bagi korban pemerkosaan maka korban diberikan hak untuk melakukan upaya-upaya hukum yang diatur secara prosedural dalam: pasal 98 KUHAP dan Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sedangkan para penegak hukum diharapkan untuk mampu melayani para korban perkosaan melalui sosialisasi-sosialisasi. Perlindungan hukum menurut hukum pidana Islam adalah berprinsip pada keadilan, kasetaraan (equality before the law) dan kemanusiaan. Dalam Hukum pidana Islam perkosaan (al Wath bi al Ikrah) fiqih jinayat, pada umumya dikategorikan sebagai jarimah hudud, perzinaan yang hukumnya berupa dera atau rajam, maupun dikenakan qishas-diat (melukai), berupa ganti rugi yang dituntut oleh korban dan ditentukan oleh hakim. Oleh karena itu berkaitan dengan prospek hukum pidana Islam dapat diterapkan terhadap korban perkosaan, dalam hukum Pidana Islam pelaku selain diancam dengan hukuman yang berat berupa had, Rajam dan diasingkan selama satu tahun, pelaku juga dikenakan beban ganti rugi berupa mahar atau qishas-diyat (melukai) yang ditentukan oleh hakim. Kata Kunci: Korban Perkosaan, Ganti Rugi, Perlindungan Hukum.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat salam selalu tercurah kehadirat Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia pada perubahann dari zaman jahiliyah menuju zaman yang beradap yang penuh dengan perubahan. Penulis menyadari dalam penbyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa dukungan semua pihak dengan berbagai bentuk. Sehingga dalam kesempatan ini, penulis dengan sepenuhnya mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat : 1. Yang terhormat Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Yang terhormat Bapak DR. H. Imam Yahya, M.Ag, selaku dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarag. 3. Bapak Drs. Mohammad Solek, M.Ag., selaku ketua jurusan (Kajur) Siyasah Jinayah dan Bapak Rustam Dahar KAH, M.Ag., selaku sekretaris jurusan (Sekjur) Siyasah Jinayah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, yang telah memberikan izin kepada penyusun untuk mengkaji masalah yang penyusun ajukan dalam bentuk skripsi ini. 4. Bapak Drs. Rokhmadi, M.Ag., selaku pembimbing I dan Bapak Drs. Nur Syamsudin, M.ag., selaku pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penyusun dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dosen pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang dengan tulus, ikhlas tanpa pamrih memberikan bekal keilmuan kepada penyusun selama masa kuliah, serta anggota civitas Akademika Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 6. Bapak/Ibu dan seluruh karyawan perpustakaan IAIN Walisongo Semarang maupun perpustakan fakkultas di lingkungan IAIN Walisongo Semarang. Serta
viii
lebih khusus perpustakaan Fakultas IAIN Walisongo, terimakasih atas pinjaman buku-buku referensi.. 7. Ayahanda (Mukari) dan Ibunda (Muslimah) tercinta, yang telah memberikan kesempatan kepada ananda untuk belajar di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, serta do’a dan motifasi beliau dan kasih sayang-Nya. 8. Keluarga Besar Pondok Pesantren Roudlotul Muta’alimin Boja Kendal, khususnya kepada KH. Wa’id Wahib Salim Aziz beserta keluarga selaku pengasuh yang telah memberikan ilmu, nasehat serta do’a agar sukses, sholeh, selamat dunia akhirat. 9. Rekan-rekan dan teman-temanku di Pon-Pes Roudlotul Muta’alimin ( kg daroji, kg indris, pak amin, kg dayat, kg nasoha, kg tris, kg arif, eko, anas jahlul, toni, dll) dan semua temen-temen yang berada di seluruh iain walisongo semarang khususnya satu paket SjB angkaktan 2007 (Sesepuh Yi Faqih, Yanze, Tompel, Ibad kadabra, Arif, Nasron, Tonying, Cukong, Kholisudin, Fajrin, Nita, Nunik, kumaidah), Temen Alumni HI Hotel Islam (Tuwek, Menyun, Gendut, Nawir), Kos Ringin sari serta kelompok RFC Ringin Sari Futsal Club (sesepuh Yi Muhajir, Latif, Lutfi, Jenggot, Jiki, Jirin, Opat, Dahklan, Darsin, Doni dll), JVC (Jolinggo Voly Club) dan BSC (Boja Sales Club). Atas semua kebaikannya penyusun hannya mampu berdo’a semoga Allah menerima sebagai amal kebaikan dan membalasnya dengan balasan yang lebih baik. Penyusun juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semua itu penyusun mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi sepurnanya skripsi ini. Akhirnya penyusun berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penyusun khususnya dan para pembaca umumnya. Amin-amin ya Robbal ‘Alamin.
Semarang, 27 April 2010 Penulis
Ghufron Mustofa Nim : 072211022
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................
iii
HALAMAN DEKLARASI .......................................................................
iv
HALAMAN ABSTRAK ...........................................................................
v
HALAMAN MOTTO ................................................................................
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................
vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ...........................................................
viii
DAFTAR ISI..............................................................................................
xiv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................
1
B. Rumusan Masalah.....................................................................
7
C. Tujuan Penelitian ......................................................................
8
D. Telaah Pustaka .........................................................................
9
E. Metode Penelitian .....................................................................
12
F. Sistematika Penulisan ...............................................................
17
BAB II : UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PEMERKOSAAN A. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Hukum Positif.................
19
1. Pengertian Tindak Pidana Pemerkosaan dan Jenis-jenisnya .
19
2. Unsur-unsur Tindak pidana..................................................
28
3. Ketentuan Ganti Rugi Dalam Hukum Pidana Positif ............
32
B. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Hukum Pidana Islam ......
31
1. Definisi Jarimah ..................................................................
31
2. Pembagian Jarimah .............................................................
33
3. Tindak Pidana Zina .............................................................
42
x
4. Zina Karena Dipaksa ...........................................................
51
5. Ganti Kerugian (Diyat)........................................................
55
BAB III : PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG:NO.425/Pid.D/2010/PN SEMARANG A. Profil Pengadilan Negeri Semarang ..........................................
60
B. Tugas dan Wewenang Pengadilan Negeri Semarang .................
62
C. Proses Penyelesaian Perkara No.425/Pid.B/2010/PN Semarang
65
BAB IV : ANALISIS UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PEMERKOSAAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG : NO. 425/Pid.B/2010/PN SEMARANG A. Analisis Tindak Pidana Pemerkosaan .......................................
80
B. Analisis Ganti Rugi Terhadap Korban Pemerkosaan ................
94
1. Analisis Terhadap Amar Putusan PN Semarang ..................
94
2. Implikasi Ganti Rugi .......................................................... 106 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 126 B. Saran-Saran............................................................................... 128 C. Penutup..................................................................................... 129 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masalah hukum pidana memang banyak dibicarakan baik dalam teori maupun praktek bahkan ada usaha untuk memperbaharui KUHP sebagai usaha pembaharuan hukum Nasional yang bertugas untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan yang ada dalam KUHP karena dianggap sudah atau kurang sesuai dengan perubahan dan tuntutan perkembangan masyarakat Indonesia pada umumnya.1 Pembaharuan hukum ini juga melibatkan hukum Islam (Fiqh) yang secara umum diakui sebagai sumber selain dari hukum adat dan hukum barat, karena ketiganya mempunyai kedudukan yang sama sebagai pembentukan hukum nasional.2 Dalam hal ini hukum Islam sebagai sumber hukum telah mengatur hak-hak yang harus dilindungi oleh setiap manusia agar mendapatkan jaminan dalam hidupnya di antaranya hak-hak yang paling utama yang dijamin oleh Islam adalah hak hidup, hak pemilikan, hak memelihara kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan dan hak ilmu pengetahuan.3 1
Ahmad Bahiej, dkk, Pemikiran Hukum Pidana Islam Kontemporer. (Yogyakarta: Pokja Akademik, 2006) hlm. 115. 2 Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1996), hlm. 135. 3 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1996), hlm. 5.
1
2
Keterangan mengenai hak-hak yang harus dilindungi diatas sesuai dengan prinsip dasar Islam dengan mengutip ucapan Al-Ghazali dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Al-Ghazali dalam bukunya yang terkenal al-Mustasfha min ‘Ilm al-Ushul mengatakan:4 “Tujuan agama adalah melindungi kepentingan (kemaslahatan) ada lima hal: keyakinan, jiwa, akal, keturunan/kehormatan, dan harta benda” Dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90 sebagai berikut:5
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan, Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Dan dalam Surat an-Nisa’ ayat 58 sebagai berikut:6
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
4
KH. Husain Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 48. 5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya. (Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 415. 6 Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 128.
3
dengan adil, Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepadamu, Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” Ayat diatas menerangkan bahwa keadilan tidak hanya sebagai hak tetapi sekaligus sebagai kewajiban, karena perlindungan hukum dalam konsep hukum pidana Islam berprinsip pada keadilan, kasetaraan (Equality before the law) dan kemanusiaan. Maka setiap perbuatan yang melanggar hukum harus diberikan sanksi yang seadil-adilnya. Prinsip Islam diatas sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur hak-hak asasi manusia pada pasal 28 d ayat 1, berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Dan pasal 28 g ayat (1), berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, maratabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Dari kedua Pasal diatas bisa dipahami bahwa Negara menjamin atas perlindungan bagi setiap warga negaranya berupa perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta bendanya. Terkait dengan perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan yang kurang mendapatkan perhatian dan keadilan dari negara yang akhir-akhir ini sering diberitakan diberbagai media masa seperti Koran, Majalah, Radio dan Televise, dalam pemberitaan itu perempuan merupakan salah satu pihak yang
4
paling dirugikan, karena selain menderita luka fisik, mereka juga mengalami keadaan traumatik yang mengganggu psikisnya. Selain itu penderitaan perempuan (korban) tidak berhenti pada saat kejahatan itu selesai melainkan mereka (korban) masih harus berusaha sendiri untuk menyembuhkan lukanya dan juga masih menyediakan dana dan upaya untuk berperan dalam proses peradilan pidana pada kasusnya. Di lain pihak perhatian terhadap KUHP pada Hak Asasi Manusia lebih banyak mengarah pada tersangka atau pelaku kejahatan dan penjatuhan pidana terhadap pelaku terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek penjeraan bagi pelaku maupun calon pelaku sedangkan korban kejahatan (perkosaan) tidak mendapatkan perhatian yang memuaskan. Padahal, didalam hukum positif seperti Negara Inggris, Belanda, dan Prancis perhatian terhadap korban kejahatan dalam bentuk ganti rugi sudah berlangsung cukup lama, pemberian ganti rugi tersebut biasa diberikan oleh wakil dari pelaku atau biasa di sebut Vicarous Liability (pertanggung jawaban pengganti) dimana pertanggungjawaban yang dibebankan kepada seorang atau perbuatan pelaku.7 Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban dalam pasal 7 mengenai perlindungan hak saksi dan korban, pasal 7 tersebut berbunyi: 8
7
Lidya Suryani Widyanti, Sri Wurdani dan Heru Wibowo Sukaten, Mereka yang Terlupakan Para Korban Kejahatan Perkosaan,(Bulletin Penalaran Mahasiswa UGM Vol.3,No.1Februari1997), hlm. 23. http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=98, di akses pada tanggal 20 Januari 2011. 8 Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
5
1. Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. 2. Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan peraturan pemerintah. Sedangkan dalam KUHP sendiri tidak ada sedikitpun aturan yang mengatur tentang ketentuan ganti kerugian bagi korban kejahatan khususnya korban pemerkosaan, khusus untuk tindak pidana pemerkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi:9 “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Isi Pasal 285 KUHP tersebut jelas menggambarkan bahwa korban perkosaan belum mendapatkan perlindungan hukum terutama mengenai kerugian yang dialami korban yang tidak bisa dikembalikan walaupun pelaku dihukum, dalam hukum Islam ganti rugi kepada korban kejahatan adalah hukuman denda kepada pelaku tindak pidana, hukuman ini dinamakan qishas dan diyat (melukai), lebih jelasnya hukum qishas maupun diyat merupakan hukuman yang tidak ditentukan batasanya, tidak ada batasan terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan antara korban dan walinya.10
9
Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 98. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm.74. 10
6
Bentuk perlindungan yang terkait dengan tindak pidana perkosaan dalam Islam di kenal dengan konsep (al Wath bi al Ikrah) zina karena di paksa,11 pada umumya dikategorikan sebagai jarimah hudud, untuk kejahatan perkosaan ini, hanya orang yang melakukan pemaksaan saja yang di jatuhi hukuman had, para ahli hukum Islam berpendapat bahwa hukuman si pemaksa itu bisa dijatuhkan baik untuk lelaki maupun untuk perempuan. 12 Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam skripsi ini, bahwa perkosaan merupakan bentuk kekerasan primitif yang terdapat pada masyarakat manapun,13 perkosaan adalah tindak kekerasan atau kejahatan seksual yang berupa hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan kondisi sebagai berikut: mengancam si korban dan perbuatan tersebut tanpa dikehendaki si korban. Menurut Adam Chazawi, perkosaan adalah pemaksaan dan kekerasan yang sering berakibat trauma yang berkepanjangan pada si korban,14 apalagi korbanya adalah anak yang masih dibawah umur. Apabila merujuk pada beberapa pengertian diatas maka tindak pidana perkosaan merupakan tindak pidana yang didalamnya ada unsur pemaksaan dari pelaku, baik pemaksaan itu disertai dengan pemukulan atau hanya
11
Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Advokasi ats Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hlm. 137. 12 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm.125. 13 Eko Prasetyo, Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offest, 1997), hlm. 5. 14 Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 63.
7
sekedar ancaman, dan orang yang dipaksa bisa disebut dengan korban yang umumya adalah perempuan yang berhak mendapatkan perhatian serta perlindungan hukum baik yang bersifat fisik maupun psikis. Dibawah ini adalah satu contoh kasus dari sekian ribu kasus perkosaan yang ada di Indonesia yang didalamnya ada unsur pemaksaan dengan ancaman kekerasan, kasus tersebut sudah diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang
dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Semarang:
No.425
/pid.B/2010/PN Semarang yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Aryono Bin Parto Dikromo memaksa anak yaitu Nova Nurwanti Binti Susanto berusia 10 tahun untuk melakukan persetubuhan denganya secara berturut-turut sebanyak 3 (tiga) kali. Setelah sidang di Pengadilan Negeri Semarang, Hakim memutuskan menjatuhkan pidana kepada terdakwa Aryono bin Parto Dikromo dengan dengan pidana penjara 7 tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,(enam puluh juta rupiah) apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 6 (enam) bulan.15 Dari latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti lebih detail mengenai ganti rugi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban perkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan Nomer Perkara: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang.
15
Isi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara Nomor: 425 /pid.B/2010/PN Semarang.
8
B. Pokok Permasalahan Berangkat dari latar belakang tersebut, maka ada beberapa pokok masalah yang bisa dikembangkan dan dicari pangkal penyelesaianya, sehingga dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum Positif? 2. Bagaimana upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum Islam? C. Tujuan Penulisan Skripsi Sesuai dengan pokok permasalahan di atas, maka setiap karya ilmiah pasti ada dasar dan tujuan tertentu, sehingga terwujud tujuan yang di harapkan. 1. Tujuan Penulisan Skripsi Adapun tujuan penulisan Skripsi yang penulis harapkan dari proposal ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara Nomor: 425 /pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum positif. b. Untuk mengetahui mengenai ketentuan upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan dalam Putusan
9
Pengadilan Negeri Semarang Perkara Nomor: 425 /pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum Islam. 2. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian yang penyusun harapkan dari penyusunan proposal ini adalah sebagai berikut: a. Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam kajian hukum pidana Islam. b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat yang ingin memperdalam tentang masalah hukum yang berkembang saat ini. D. Telaah Pustaka Mengetahui sejauh mana obyek penelitian dan kajian terhadap masalah pemberian ganti rugi bagi korban pemerkosaan dalam konsep Islam, peneliti telah melakukan pra penelitian (telaah) terhadap sejumlah literature, hal ini di lakukan untuk memastikan apakah ada penelitian dengan tema dan kajian yang sama, sehingga nanti tidak terjadi pengulangan (repitisi) yang mirip dengan penelitian sebelumnya. M Khasbun dalam sekripsinya yang berjudul “Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kendal Nomor 187/Pid.B/2006/Pn.Kdl Tentang “Tindak Pidana Pemerkosaan Yang Menyebabkan Kematian” dalam karyanya di jelaskan bahwa Pengadilan Negeri Kendal telah memeriksa dan mengadili kasus pemerkosaan dengan amar putusan selama 4 (empat) tahun penjara, dikarenakan pemerkosaan yang menyebabkan kematian. Hukuman 4 (empat)
10
tahun penjara, menurut hukum Islam termasuk dalam jarimah ta’zir, akan tetapi hukuman ta’zir belum sesuai karena si korban sampai meninggal dunia. Untuk itu hukuman yang sesuai terhadap terdakwa termasuk jarimah qishasdiyat yaitu pembunuhan semi sengaja (al-qatl sibh al-‘amd) dengan hukumannya adalah diyat atau ganti rugi berupa seratus ekor unta/ dua ratus ekor sapi yang diberikan kepada pihak si korban atau keluarganya dan membayar kifarat yakni memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut,16 skripsi ini hanya membahas tentang ganti rugi karena adanya kematian pihak korban yang diperkosa, namun dalam skripsi ini tidak membahas ganti rugi bagi korban pemerkosaan yang menderita luka fisik maupun psikis yang berkepanjangan. Subhan dalam skripsi yang berjudul “Studi Hukum Islam Terhadap Kejahatan Perkosaan Yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur, (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 647 Pid B 2005 Tentang Kejahatan Kesusilaan.” Dalam skripsinya diterangkan bahwa pelaku tindak pidana dihukum ringan yaitu dikembalikan kepada orang tuanya untuk dididik dan dibina dibawah bimbingan dan pengawasan dari balai pemasyarakatan kota semarang. Vonis yang dijatuhkan Majelis kepada pelaku perkosaan yang masih dibawah umur tersebut masih kurang tepat karena tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami wanita korban perkosaan baik secara fisik
16
M. Khasbun, Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kendal Nomor 187/Pid.B/2006/Pn.Kdl Tentang Tindak Pidana Pemerkosaan Yang Menyebabkan Kematian, (Semarang: Skripsi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo), 2010.
11
maupun
psikologis
yang
berkepanjangan,
seharusnya
pelaku
tidak
dikembalikan kepada orang tuanya walupun dia masih dibawah umur.17 Skripsi ini hampir sama dengan skripsi yang sedang dibahas dengan obyek pemberatan hukuman bagi pelaku pemerkosaan, akan tetapi dalam skripsi ini tidak membahas tentang hak-hak wanita korban perkosaan untuk mendapatkan ganti kerugian baik secara fisik maupun psikis. Dalam tesis karya Ira Idawati, S.H., yang berjudul “Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan dalam peradilan pidana” dijelaskan bahwa kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaianya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan pidana tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan itu, juga kesulitan dalam pemubuktianya misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain. Walaupun sudah diproses sampai ke pengadilan tetapi kasus-kaus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (pasal 285). Permasalahan yang dihadapi oleh korban tindak pidana perkosaan tidak
17
Subhan, Studi Hukum Islam Terhadap Kejahatan Perkosaan Yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur, (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 647 Pid B 2005 Tentang Kejahatan Kesusilaan.” (Semarang: Skripsi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo), 2007.
12
hanya yang terjadi pada dirinya, namun juga terjadi dalam proses hukum terhadap kasus yang menimpanya. Korban tindak pidana pemerkosaan bisa menjadi korban ganda dalam proses persidangan dan juga bisa mendapat perlakuan yang tidak adil dalam proses untuk mencari keadilan itu sendiri. Dalam tesis ini menjelaskan tentang perlindungan bagi korban permerkosaan pada saat proses peradilan itu berjalan yang dimana aparat penegak hukum masih memperlakukan perempuan korban kekerasan (perkosaan) sebagai obyek, bukan subyek yang harus didengarkan dan dihormati hak-hak hukumnya dan sesudah proses persidangan itu selesai korban berhak untuk mendapatkan restitusi dan kompensasi, konseling, pelayanan/bantuan medis. Akan tatapi dalam skripsi ini penulis akan meneliti tentang upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan menurut hukum Islam.18 E. Metode Penelitian Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Berdasarkan jenisnya penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan penelitian kepustakaan (Library
18
Ira Dwiati, Perlindugan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Peradilan Pidana, (Semarang: Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro), 2007.
13
Research),19 yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber sumber tertulis,20 dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti buku, majalah, jurnal yang ada hubunganya dengan judul skripsi yaitu upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban perkosaan. 2. Sifat penelitian Berdasarkan sifatnya penelitian ini bersifat diskriptif,21yaitu memaparkan dan menjelaskan data yang berkaitan dengan pokok pembahasan, kemudian menguraikan segala sesuatunya dengan cermat dan terarah mengenai upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan. 3. Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data itu diperoleh,22 data yang penulis gunakan adalah data Kualitatif, yaitu data yang tidak berbentuk angka,23 data tersebut ada 2 macam yaitu:
19
Library Research menurut Bambang Waluyo adalah metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif. 20 Bambang Waluyo, S.H., Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 50. 21 Soeharso dan Ana Retnonongsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya Karya, 2005), hlm. 121. 22 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 13, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 129. 23 Rianto Adi, Metodologi Pelitian Social Dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004, Cet. 1), hlm. 56.
14
a.
Data primer, yaitu penelusuran dan inventarisasi data yang bersumber pada literarur yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti guna mendapatkan konsep tentang persoalan yang akan dijadikan obyek pelelitian,24 yaitu Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang.
b.
Data sekunder, yaitu data yang sudah dalam bentuk jadi, seperti data dalam bentuk dokumen dan publikasi, misalnya buku-buku, suratsurat, catatan harian, laporan, dan sebagainya,25 yang ada kaitanya dengan tema yang sedang dibahas yakni ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan.
4. Pengumpulan Data Dan ini penulis menggunakan pengumpulan data sebagai berikut: a. Observasi Metode ilmiah biasa diartikan sebagai pengamatan, pencatatan dengan sistematik melalui fenomena-fenomena yang diselidiki,26yaitu metode pengumpulan data dengan pengamatan dokumen yang ada hubungannya dengan pokok pembahasan berupa arsip, peraturan perundang-undangan, catatan buku-buku, surat-kabar atau majalah dan lain sebagainya.
24
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset, Cet. 7, (Bandung: Mandar Maju, 1996),
hlm. 33. 25
Rianto Adi, Op, Cit, hlm. 61. Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid.2, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas UGM, 1998), hlm. 136. 26
15
b. Dokumentasi Metode pengumpulan data melalui benda-benda tertulis yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa; (Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang), perundang-undangan, catatan buku-buku, surat kabar atau majalah, notulen, agenda, dan lain-lain yang dapat memberikan gambaran fakta,27 metode dokumentasi ini digunakan untuk memperoleh data yang diperlukan dari dokumen. 5. Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan dalam Putusan Pengadilan
Negeri
Semarang:
No.425
/pid.B/2010/PN
Semarang
menggunakan metode deskriptif analisis yaitu metode yang menjelaskan suatu obyek permasalahan secara sistematis, memberikan analisa secara cermat, kritis, luas dan mendalam terhadap obyek kajian,28 dengan cara berfikir dengan metode sebagai berikut: a. Metode Deduktif Berfikir deduksi adalah proses pendekatan yang berangkat dari kebenaran umum suatu fenomena (teori) mengenaralisasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri sama
27
Suharsimi Arikunto, Op, Cit, hlm. 231. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 4, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1993), hlm. 63. 28
16
dengan fenomena yang bersangkutan (prediksi).29 Dengan kata lain deduksi berarti faktor yang bersifat umum, kemudian diterapkan kepada kenyataan yang bersifat khusus yaitu disimpulkan dalam pengertian khusus.30 Metode ini digunakan pada bab II, III dan IV. b. Metode Induktif Berfikir induksi adalah metode berfikir berangkat dari faktor-faktor yang bersifat khusus dan peristiwa-peristiwa konkrit, kemudian dari faktor-faktor yang bersifat khusus dan peristiwa-peristiwa konkrit tersebut ditarik
generalisasi-generalisasi
yang mempunyai sifat
umum,31 metode ini digunakan pada bab III dan IV. c. Metode Content Analisis Metode conten analisis adalah metode yang digunakan untuk analisis data dan pengolahan data secara ilmiah tentang isi sebuah pesan dari suatu komunikasi,32 metode ini digunakan pada bab IV. Sedangkan metode analisis dengan pendekatan yang digunakan untuk analisis data yaitu upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang berdasarkan teori hukum adalah dengan menggunakan metode pendekatan normatif, yaitu suatu 29
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Cet. 3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.
40. 30
Sutrisno Hadi, Op, Cit., hlm. 36. Ibid, hlm. 42. 32 Noeng Muhadjir, Motode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hlm. 31
49.
17
prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.33 Metode analisis dengan pendekatan ini digunakan dalam bab IV. F. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan kemudahan terhadap pembahasan yang teliti, penyusun akan mensistematika skripsi ini dengan membagi tema menjadi beberapa bagian. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan beberapa katagori dalam pembahasan sebagai berikut: 1. Bagian Muka Bagian muka ini terdiri dari: halaman judul, halaman nota Pembimbing, halaman nota pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman deklarasi, halaman abstrak, halaman kata pengantar, dan halaman daftar isi. 2. Bagian Isi, terdiri dari: Bab I: Pendahuluan. bab ini meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, telaah pustaka, tujuan penulisan skripsi, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. Bab II: Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Bagi Korban Pemerkosaan Dalam Hukum Positif dan Hukum Islam, A. Tindak pidana pemerkosaan menurut hukum Positif, sub bab ini meliputi:
33
Johni Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normative, (Maltang: Bayu Media Publising, 2005), hlm. 57.
18
pengertian tindak pidana perkosaan dan jenis-jenisnya, pengertian korban pemerkosaan dan jenis-jenisnya, ketentuan ganti rugi dalam hukum Positif, B. Tindak pidana zina menurut hukum Islam, sub bab ini meliputi: definisi jarimah, tindak pidana zina, zina karena dipaksa, ganti rugi (diyat). Bab III: Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan Nomer Perkara: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang. bab ini, meliputi tentang profil Pengadilan Negeri Semarang, tugas dan kewenangan Pengadilan Negeri Semarang, proses penyelesaian perkara Nomor.425/pid.B/2010/PN Semarang. Bab IV: Analisis ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban perkosaan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Semarang dengan nomer perkara: 425 /pid.B/2010/PN Semarang. bab ini, meliputi: analisis tindak pidana pemerkosaan. Analisis ganti rugi terhadap korban perkosaan dengan sub bab meliputi analisa terhadap amar putusan Pengadilan Negeri No.425 /pid.B/2010/PN Semarang, implikasi ganti rugi. Bab V: Penutup. Merupakan bab terakhir yang berisi: kesimpulan, saran-saran dan diakhiri dengan penutup. 3. Bagian Akhir Bagian Akhir terdiri dari: Daftar pustaka, daftar riwayat pendidikan penulis dan lampiran-lampiran.
BAB II UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PEMERKOSAAN
A. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Hukum Positif 1. Pengertian Tindak Pidana Pemerkosaan Dan Jenis-Jenisnya Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan di dalam pasal 285 KUHP disebutkan bahwa:1 "barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan". Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi, pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan tetapi masuk dalam kategori pencabulan,2 tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP itu ternyata hanya mempunyai unsur-unsur
1
Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm 89. http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Pelaku%20Pemerkosaan%20Pantas%20Di hukum%20Berat&&nomorurut_artikel=452/di akses tgl 6 Januari 2012. 2
19
20
obyektif, yaitu: unsur barang siapa, dengan kekerasan, dengan ancaman akan memakai kekerasan, memaksa, seorang wanita, mengadakan hubungan kelamin diluar perkawinan, dengan dirinya.3 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S Poerwadarminta, pengertian perkosaan dilihat dari/ asal kata yang apat diuraikan sebagai berikut:4 a. Perkosa
: gagah; paksa; kekerasan; perkasa
b. Memperkosa : 1) Menundukan dan sebagainya dengan kekerasan. 2) Melanggar (menyerang dsb) dengan kekerasan c. Perkosaan
: 1) Perbuatan memperkosa, penggagahan dengan paksaan 2) Pelanggaran dengan kekerasan.
Kata
perkosaan
sebagai
terjemahan
dari
aslinya
(Belanda)
“verkarchting” yakni perkosaan untuk bersetubuh, oleh karena itu menurut beliau kualifikasi yang tepat untuk Pasal 285 KUHP ini adalah perkosaan untuk bersetubuh. Apabila rumusan perkosaan ini dirinci terdiri dari unsurunsur sebagai berikut: 5 a. Perbuatanya
: memaksa
b. Caranya
: 1) dengan kekerasan 2) ancaman kekerasan
3
P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus, Tindak-Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 108. 4 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 741. 5 Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 63.
21
c. Objek
: seorang perempuan bukan istrinya
d. Bersetubuh dengan dia Menurut Soetandyo Wingnjosoebroto bahwa “perkosaan” adalah suatu usaha melampiaskan hawa nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan/ atau hukum yang berlaku adalah melanggar hukum.6 Wirdjono Prodjodikoro, mengungkapkan bahwa perkosaan adalah: Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu.7 Nursyahbani Kantjasungkana, berpendapat bahwa perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan terhadap kepentingan laki-laki.8 Back’s Law Dictionary, yang dikutip oleh Topo Santoso, merumuskan perkosaan atau rape sebagai berikut: 9 “Hubungan seksual yang melawan hukum/tidak sah dengan seorang perempuan tanpa persetujuannya, persetubuhan secara melawan hukum/tidak sah terhadap seorang perempuan oleh seorang laki-laki dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendaknya, tindak persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan bukan istrinya dan tanpa persetujuannya,
6
Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset, 1997), hlm. 25. 7 Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1986), hlm. 117. 8 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hlm. 65. 9 Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND. HILL-CO, 1997), hlm. 17.
22
dilakukan ketika perlawanan perempuan tersebut diatasi dengan kekuatan dan ketakutan atau di bawah keadaan penghalang.” Walaupun didalam rumusanya Pasal 285 KUHP tidak mensyaratkan adanya unsur kesengajaan akan tetapi dicantumkan unsur “memaksa” maka tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. Karena seperti yang telah diketahui dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja maka dengan sendirinya kesengajaan itu harus dibuktikan oleh penuntut umum atau hakim di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku bahwa telah didakwa melanggar larangan yang diatur dalam pasal KUHP.10 Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekankan kehendak orang lain itu agar orang lain itu tadi menerima kehendak orang yang menekan atau dengan kehendaknya sendiri. 11 Perbuatan memaksa menurut Pasal 285, yakni bersetubuh dengan dia, atau bersedia di setubuhi, demikian juga memaksa pada Pasal 289 dalam hal membiarkan dilakukan perbuatan cabul, sementara itu untuk yang kedua misalnya terdapat pada Pasal 368 (pemerasan), Pasal 369 (pengancaman) dimana perbuatan memaksa ditujukan agar orang yang dipaksa melakukan
10 11
P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm. 109. Adam Chazawi, Lok, Cit.
23
perbuatan yang sama dengan kehendaknya, yakni menghapuskan piutang dan membuat utang.12 Jenis-jenis pemerkosaan dapat digolongkan sebagai berikut: 13 1) Sadistic Rape Yakni perkosaan pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban; 2) Anger Rape Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas yang menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan rasa geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban disini seakan- akan merupakan obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frustasifrustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya; 3) Domination Rape Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban, tujuannya adalah penaklukan seksual pelaku menyakiti korban namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual; 4) Seductive Rape Yakni suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang 12 13
Lok, Cit. Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Op, Cit, hlm. 103.
24
merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh persenggamaan, pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena
tanpa
itu
tidak
mempunyai perasaan bersalah yang menyangkut seks; 5) Victim Precipitated Rape Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya; 6) Exploitation Rape Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan
yang
berlawanan
dengan
posisi perempuan
yang
bergantung padanya secara ekonomis dan social. Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib. Beberapa macam karakteristik umum tindak pidana perkosaan: 14 1) Agresivitas, merupakan sifat yang melekat pada setiap perkosaan. 2) Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi seksual semata-mata. 3) Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung 14
Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hlm. 48.
25
masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu. 4) Tindak pidana perkosaan dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu: anger rape, power rape dan sadistis rape. Dan ini direduksi dari anger dan violation, control and domination, erotis. 5) Ciri pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengalaman buruk khususnya dalam hubungan personal (cinta), terasing dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidakseimbangan emosional. 6) Korban perkosaan adalah partisipatif. Menurut Meier dan Miethe, 419% tindak pidana perkosaan terjadi karena kelalaian (partisipasi) korban. 7) Tindak pidana perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan. Jenis-jenis perkosaan juga dapat dibedakan menjadi:15 1) Perkosaan yang pelakunya sudah dikenal korban a) Perkosaan oleh suami atau mantan suami Perkosaan juga dapat terjadi dalam suatu perkawinan, karena suami maerasa berhak untuk memaksa istrinya berhubungan seks kapan saja sesuai dengan keinginannya tanpa mempedulikan keinginan sang istri. Bahkan tidak jarang terjadi banyak mantan suami yang merasa masih berhak untuk memaksakan hubungan seks pada mantan istrinya;
15
Ira Dwiati, Perlindugan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Peradilan Pidana, (Semarang: Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2007), hlm. 41-42.
26
b) Perkosaan oleh teman kencan atau pacar Teman
kencan
berhubungan
atau
seks
pacar
dengan
bisa
memaksa korban
berbagai
dalih
karena
ia
untuk sudah
menghabiskan uang untuk menyenangkan korban, karena mereka pernah berhubungan seks sebelum itu, karena korban dianggap sengaja memancing birahi, atau karena si pacar sudah berjanji akan mengawini korban. Ajakan untuk berhubungan seks masih termasuk wajar bila si perempuan masih punya kesempatan untuk menolak dan penolakannya itu dihormati oleh pacarnya. Bujuk rayu pun masih bisa dianggap normal bila kegagalan membujuk tidak diikuti oleh tindakan pemaksaan tetapi kalau pacar perempuan itu sampai memaksakan kehendaknya, itu sudah berarti suatu kasus perkosaan, sekalipun oleh pacar sendiri, jika perempuan itu sudah menolak dan berkata “tidak” tapi pacarnya neka melakukann yaitu berarti perkosaan. Kasus perkosaan seperti ini sangat jarang didengar orang lain karena korban malu dan takut dipersalahkan orang. c) Perkosaan oleh atasan/majikan Perkosaan terjadi antara lain bila seorang perempuan dipaksa berhubungan seks oleh atasan atau majikannya dengan ancaman akan di PHK bila menolak, atau dengan ancaman-ancaman lain yang berkaitan dengan kekuasaan si atasan atau majikan. d) Penganiayaan seksual terhadap anak-anak
27
Seorang anak perempuan atau anak laki-laki dapat diperkosa oleh lelaki dewasa dan masalah ini sangat peka dan sulit karena anak-anak yang menjadi korban tidak sepenuhnya paham akan apa yang menimpa mereka, khususnya bila anak itu mempercayai pelaku. Kalaupun si anak melapor kepada ibu, nenek atau anggota keluarga yang lain, besar kemungkinan laporannya tidak digubris, tak dipercaya, bahkan dituduh berbohong dan berkhayal, biasanya mereka menyangkal kejadian itu hanya dengan alasan “tidak” mungkin bapak/kakek/paman/dsb tega berbuat begitu”. 2) Perkosaan oleh orang tak dikenal16 Jenis perkosaan ini sangat menakutkan, namun lebih jarang terjadi dari pada perkosaan dimana pelakunya dikenal oleh korban, jenis perkosaan ini dapat dibedakan, yaitu: a) Perkosaan beramai-ramai Seorang perempuan bisa disergap dan diperkosa secara bergiliran oleh sekelompok orang yang tidak dikenal. Ada kalanya terjadi perkosaan oleh satu orang tidak dikenal kemudian orang-orang lain yang menyaksikan kejadian tersebut ikut melakukannya. Seringkali terjadi beberapa orang remaja memperkosa seorang gadis dengan tujuan agar
mereka
membuktikan “kelelakian” nya.
16
Ibid, hlm. 42.
dianggap
“jantan”
atau
untuk
28
b) Perkosaan di penjara Di seluruh dunia banyak perempuan diperkosa oleh polisi atau penjaga penjara setelah mereka ditahan atau divonis kurungan. Bahkan perkosaan juga umum terjadi antar penghuni lembaga pemasyarakatan laki-laki untuk menunjukkan bahwa si pemerkosa lebih kuat dan berkuasa daripada korbannya. c) Perkosaan dalam perang atau kerusuhan Para serdadu yang sedang berada di tengah kancah pertempuran sering memperkosa perempuan di wilayah yang mereka duduki, untuk menakut-nakuti musuh atau untuk mempermalukan mereka. Perkosaan beramai-ramai dan perkosaan yang sistematis (sengaja dilakukan demi memenuhi tujuan politis atau taktis tertentu), misalnya kejadian yang menimpa kaum perempuan Muslim Bosnia. Tujuan perkosaan semacam ini adalah untuk unjuk kekuatan dan kekuasaan di hadapan musuh. 2. Pengertian Korban Perkosaan dan Jenis-Jenisnya Resolusi PBB No. 40/43 Tahun 1985 mendefinisikan korban sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/kerugian psikis maupun ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.17Menurut pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, korban adalah
17
Faqihudin, Perlindungan Terhadap Korban Pemerkosaan Anak Dibawah Umur, (Semarang: Makalah Viktimologi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2010), hlm. 2.
29
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/ kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.18 Menurut kamus bahasa Umum Bahasa Indonesia, korban adalah orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan hawa nafsu sendiri atau orang lain.19 Didalam bukunya Arif Gosita diterangkan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah maupun rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Mereka disini dapat berarti: individu, atau kelompok baik swasta maupun pemerintah. Selain itu korban juga diartikan bukan hanya terbatas pada perseorangan atau kelompok yang mengalaminya secara langsung tetapi juga menyangkut orang secara tidak lansung seperti keluarga korban yang menjadi tanggunganya.20 Khusus untuk korban perkosaan, derita yang dialaminya tidak dapat dibandingkan dengan korban perampokan, pencurian, atau penjambretan. Korban semacam ini umumnya terbatas kehilangan harta benda, relative tidak menderita batin dan tekanan social berkepanjangan. Namun sebaliknya korban perkosaan, mereka kehilangan harga kehormatan, harga diri yang tidak mungkin bisa diganti, dibeli atau disembuhkan sekalipun mencincang
18
Indonesia, Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
19
W.J.S. Poerwadarminta, Loc. Cit. Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Persindo, 1983), hlm. 41.
hlm. 3. 20
30
pelaku hingga mati.21 Lebih-lebih korban perkosaan adalah anak-anak dibawah umur, mereka akan mengalami penderitaan yang lebih berat lagi, sebab kekerasan yang dialaminya akan menjadi trauma yang membayangi perjalanan hidupnya, kalau bertemu dengan kaum laki-laki, mereka tidak hanya membencinya, tapi juga takut menjalin relasi denganya.22 Perkembangan ilmu viktimologi mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban kejahatan juga memilah-milah jenis korban kejahatan hingga kemudian munculah berbagai jenis korban, yaitu: 23 1) Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan; 2) Latent Victims, yaitu mereka mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban; 3) Participating
victims,
yaitu
mereka
yang
dengan
perilakunya
memudahkan dirinya menjadi korban; 4) Proacative victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban; 5) False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya; Menurut Arif Gosita, jenis-jenis korban perkosaan adalah sebagai berikut: 24 21
Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Op, Cit, hlm. 102. Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm.79. 23 Dikdik M. Arief, d a n Mansur Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan- Antara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2007), hlm. 49. 22
31
1) Korban murni a) Korban perkosaan yang belum pernah berhubungan dengan pelaku sebelum perkosaan. b) Korban perkosaan yang pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum perkosaan. 2) Korban Ganda Adalah korban perkosaan selain mengalami penderitaan selama diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosia, misalnya: mengalami ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya, mendapat pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaaan pengadilan, tidak mendapat ganti kerugian, mengeluarkan uang pengobatan, dikusilkan dari masyarakat karena sudah cacat khusus, dan lain-lain. 3) Korban Semu Adalah korban yang sebenarnya sekaligus juga pelaku, ia berlagak diperkosa dengan tujuan mendapat sesuatu dari pelaku. Khusus untuk korban kejahatan perkosaan, baik dari jenis korban murni, korban ganda, dan korban semu, posisi wanita masih selalu berada pada pihak yang dilematis karena kalau menuntut melalui jalur hukum, mengundang konsekuensi selain sering berbelit-belit juga merasa malu karena terpublikasikan, selain itu sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti kerugian bagi korban perkosaan, jadi posisi
24
Ira Dwiati, Op, Cit, hlm. 48.
32
wanita dalam hal ini wanita korban perkosaan tetap pada posisi tidak diuntungkan sebagai korban kejahatan.25 3. Ketentuan Ganti Rugi Dalam Hukum Pidana Positif Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana namun antara keduanya memiliki perbedaan, Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian yang akan dibicarakan dalam skripsi kali ini adalah ganti kerugian dalam hukum Pidana. Ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti kerugian dalam hukum pidana karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian immaterial. Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum
25
Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Op, Cit, hlm. 166.
33
dan karena perbuatan terdakwa.26 Pada umumnya ganti kerugian dalam proses pidana berkenaan dengan penangkapan dan penahanan serta tindakan-tindakan lainya yang bertentangan dengan hukum, yang dilakukan oleh aparat penegak hukum diatur dalam pasal 9 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970, pasal ini menyediakan prosedur ganti rugi bagi mereka yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili,27 selanjutnya diatur dalam Pasal 95 KUHAP Ayat 1 dan 2.28 Sedang ganti kerugian bagi mereka yang menjadi korban pelanggaran hukum pidana (victim of crime), biasanya dikategorikan sebagai masalah Perdata29 padahal apabila mengacu pada hukum pidana materiil antara lain ketentuan yang berkaitan dengan pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal 14 c KUHP. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat dengan syarat umum dan syarat khusus yang
26
http://wawasanhukum.blogspot.com/2007/06/ganti-kerugian-dan-rehabilitasi.html, Di tulis oleh: Diah Lestari P dan Theodora YSP, diakses pada tangga l 2 April 2012. 27 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Siatem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1997), hlm. 183. 28 Pasal 95 ayat 1: tersangka terdakwa atau terpidana berhak menuntut, gati kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan tindakan lain, tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan. Ayat 2: tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimna dimaksud dalam ayat 1 yang perkaranya diajukan ke pengadilan negri, diputus disidang pra peradilan sebagaimana dimaksus dalam pasal 77 ayat 3: tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersagkutan. Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: SInar Grafika, 2007), hlm. 237-238. 29 Djoko Prakoso, Masalah Ganti Rugi Dalam KUHAP, (Jakarta: Bina Akasara, 1988), hlm. 106.
34
harus dipenuhi selama masa percobaan.30 Selanjutnya dalam undang-undang No. 3 tahun 1971.31Adapun ketentuan ganti kerugian lainya dapat dijumpai dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Nomor 76, terutama dalam Pasal 1 ayat 10 c, Pasal 1 butir 22.32 Selanjutnya ketentuan ganti kerugian kepada korban kejahatan diatur dalam pasal 98 KUHAP Ayat 1 dan 2,33 yang menyebutkan bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara ganti kerugian itu kepada perkara pidana. Asas penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi ini bercorak perdata, merupakan hal baru dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, gugatan ganti rugi perdata ini berupa:34
30
Syarat khusus tersebut berupa kewajiban bagi terpidana untuk mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam waktu tertentu. Lihat: Prof. Dr. Muladi, S.H, Ibid, hlm. 183. 31 Terdapat pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Muladi, Ibid, hlm. 184. 32 Pasal 1 ayat 10 c: pra peradilan adalah wewenang pengadilan negri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Pasal 1 butir 22: ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutanya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang ini atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau huku yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini. Presiden Indonesia,Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana,(Jakarta: 1981). 33 Asmawi, M. Hanafi, Ganti Rugi Dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1992), hlm. 6. 34 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 46.
35
1) Kerugian yang dialami korban sebagai akibat lansung dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa, misalnya kerugian yang timbul akibat pelanggaran lalu lintas. 2) Jumlah besarnya ganti rugi yang dapat diminta hanya terbatas sebesar kerugian materiil yang diderita korban (pasal 98). 3) Penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi yang bersifat perdata dapat diajukan pihak korban sampai proses perkara pidana belum memasuki taraf penuntut umum memajukan rekuisitur. Terkait dengan penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi maka perlu kiranya penulis catumkan ketentuan ganti kerugian berdasarkan undang-undang diluar
KUHAP
yang terdapat
dalam
Pasal
1365
KUHPerdata sebagai berikut:35 “Jika seseorang telah melakukan suatu perbuatan melanggar hukum dan telah terbukti kesalahanya, maka terhadap dirinya dapat dilakukan penututan mengganti kerugian.” Maka Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melanggar hukum, Wirjono Prodjodikoro dalam hal ini menyatakan:36 “Bagi orang-orang Indonesia asli tetap berlaku Hukum Adat yang juga mengenal hakekat hukum, seperti yang tercantum dalam Pasal 1365 BW itu, yaitu bahwa orang yang secara bersalah melakukan perbuatan melanggar hukum dan dengan itu merugikan orang lain, adalah wajib memberi ganti kerugian.”
35 36
hlm. 18.
http://www.ziddu.com/download/2663135/KUHPerdata.pdf.html. Martiman Prodjodikoro, Ganti Rugi Dan Rehabilitasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982),
36
Sedangkan ganti kerugian berdasarkan konteks undang-undang perlindungan saksi dan korban adalah penggantian kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban sebagai salah satu bentuk pertanggung jawaban pelaku, pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan berdasarkan ketentuan Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 7 Ayat 1 dan 2 yaitu:37 (1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: a. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. b. Hak atas restitusi dang anti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. (2)Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. Ganti rugi dalam konteks Undang-Undang No 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 7 ayat 1 b tersebut adalah penggantian kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban sebagai salah satu bentuk pertanggung jawaban pelaku.37 Sementara ketentuan ganti kerugian dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana tahun 2010 Bagian Ketiga Putusan Pengadilan Tentang Ganti KerugianTerhadap Korban Pasal 133:38 1) Apabila terdakwa dijatuhi pidana dan terdapat korban yang menderita kerugian materiel akibat tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, hakim mengharuskan terpidana membayar ganti
37
Indonesia, Undang-Undang Nomer 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. 37
Komnas Perempuan, Perlindungan Terhadap Saksi Dan Korban, (Jakarta:
[email protected], 2009), hlm. 38. 38 Indonesia, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Tahun 2010, hlm. 40.
37
2) 3)
4) 5)
kerugian kepada korban yang besaranya ditentukan dalam putusanya. Apbila terpidana tidak membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), harta benda terpidana disita dan dilelang untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Apabila terdakwa berupaya menghindar untuk membayar kompensasi kepada korban, terpidana tidak berhak memdapatkan pengurangan masa pidana dan tidak mendaptkan pembebasan bersyarat. Dalam penjatuhan pidana bersyarat dapat ditentukan syarat khusus berupa kewajiban terpidana untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyitaan dan pelelangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan ganti rugi yang di uraikan diatas merupakan ketentuan ganti kerugian kepada korban kejahatan menurut hukum positif, bahwa korban kejahatan memang benar-benar harus diperhatikan hak-haknya. Mengenai ganti kerugian korban pemerkosaan dan tata cara pembayaran ganti rugi serta besaran biaya yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada korban kejahatan maupun korban perkosaan akan dibahas pada bab selanjutnya. B. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Hukum Pidana Islam 1. Definisi Jarimah Jarimah Menurut bahasa adalah ( )ﺟﺮمyang sinonimnya (وﻗﻄﻠﻊ
)ﻛﺴﺐ
artinya: berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha disini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang di benci oleh manusia.dari pengertian disini dapat ditarik suatu definisi yang jelas, bahwa jarimah itu adalah
38
ارﺗﻜﺎ ب ﻛﻞ ﻣﺎ ھﻮ ﻣﺨﺎﻟﻒ ﻟﻠﺤﻖ واﻟﻌﺪل واﻟﻄﺮﯾﻖ اﻟﻤﺴﺘﻘﯿﻢ Artinya: “melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran keadilan, dan jalan yang lurus (agama)”. Dari keterangan ini jelaslah bahwa jarimah menurut bahasa adalah melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak baik, dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan jalan yang lurus (agama). Pengertian jarimah tersebut diatas adalah pengertian yang umum, dimana jarimah itu disamakan dengan
()اﻟﺪﻧﺐ
(dosa) dan
()اﻟﺨﻄﯿﺌﺔ
(kesalahan), karena pengertian kata-kata tersebut adalah pelanggaran terhadap perintah dan larangan agama, baik pelanggaran tersebut mengakibatkan hukuman duniawi maupun ukhrawi.39 Jarimah menurut istilah adalah seperti yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi sebagai berikut:40
.اﻟﺠﺮاﺋﻢ ﻣﺤﻈﻮرات ﺷﺮﻋﯿﺔ زﺟﺮﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﮭﺎ ﺑﺤﺪ اوﺗﻌﺰﯾﺮ Artinya: “Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.” 2. Pembagian Jarimah Dalam aturan hukum pidana Islam apabila ditinjau dari berat ringanya sanksi hukuman maka perbuatan Jarimah dapat di kelompokkan menjadi
39
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 9. 40 Ibid.
39
tiga golongan antara lain: jarimah hudud, jarimah qishash dan diyat, dan jarimah ta’zir. a. Jarimah Hudud Hudud (bentuk jamak dari kata had yang artinya batas, rintangan, halangan dan pagar).41 Pernyataan Abdul Qadir Audah sebagai berikut:42
ﺣﻘﺎ ﺗﻌﺎﻟﻰ.واﻟﺤﺪ ھﻮ اﻟﻌﻘﻮ ﺑﺔ اﻟﻤﻘﺪرة.ﺟ َ ﺮ َ اﺋﻢ اﻟﻤﻌﺎﻗﺐ ﻋﻠﯿﮭﺎﺑﺤﺪ Artinya: “Jarimah yang diancam padanya dengan hukuman had, dan had adalah` hukuman yang telah ditentukan oleh Allah.” Jarimah hudud ada tujuh, yaitu, zina, qadzaf, minuman keras, mencuri, hirabah (pembegalan, perampokan, gangguan keamanan), murtad, dan pemberontakan (al-Baghyu).43 b. Jarimah Qishas Diyat Jarimah qishas diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishas atau diyat, baik qishas maupun diyat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaanya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak allah (hak masyarakat), sedangkan qishas dan diyat adalah hak manusia (individual), adapun 41
Lihat: Dalam al Qur’an, hudud atau hadd sering diartikan sebagai hukum atau ketetapan Allah SWT. misalnya dalam surat Al Baqarah ayat 187, 229, dan 230 surah An Nisa’ ayat 13 dan 14; surat At Taubah Ayat 97 dan 112; Surat al Mujadalah ayat 4; dan surat at Talaq ayat 1. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeven, tt), hlm. 126 42 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri, al-Jina’y al-Islami, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1992), hlm.78. 43 Ibid, hlm. 79.
40
yang di maksud dengan hak manusia sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah sebagai berikut:
. ﻓﮭﻮ ﻣﺎ ﺗﻌﻠﻖ ﺑﮫ ﻧﻔﻊ ﺧﺎ ص ﻟﻮاﺣﺪ ﻣﻌﯿﻦ ﻣﻦ اﻟﻨﺎ س: ﺣﻖ اﻟﻌﺒﺪ "hak manusia adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada seseorang." Jarimah qishas dan diyat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan, namun apabila diperluas maka ada Lima macam,
yaitu:
pembunuhan
sengaja
()اﻟﻘﺘﻞ اﻟﻌﻤﺪ, pembunuhan
menyerupai sengaja ()اﻟﻘﺘﻞ ﺷﺒﮫ اﻟﻌﻤﺪ, pembunuhan karena kesalahan اﻟﻘﺘﻞ
()اﻟﺨﻄﺎء, penganiayaan sengaja ()اﻟﺠﺮح اﻟﻌﻤﺪ, penganiayaan tidak sengaja. ()اﻟﺠﺮح اﻟﺨﻄﺎء.44 Pernyataan Abdul Qadir Audah:45
وﻛﻞ ﻣﻦ ﻗﺼﺎص واﻟﺪﯾﺔ ﻋﻘﻮ,ﺟﺮاﺋﻢ اﻟﺘﻲ ﯾﻌﺎﻗﺐ ﻋﻠﯿﮭﺎ ﺑﻘﺼﺎص اودﯾﺔ .ﺑﺔ ﻣﻘﺪرة ﺣﻘﺎ ﻟﻞ اﻓﺮاد Artinya: “Jarimah yang diancam kepadanya hukuman qishas atau diyat adalah hukuman yang telah ditentukan batasannya dan menjadi hak perseorangan.” Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah: 178 adalah sebagai berikut:46
44
Ahmad Wardi Muslich, Op, Cit, hlm.18-19 Abdul Qadir Audah, Lok ,Cit. 46 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 43. 45
41
ُ ﯾَﺎ أَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠﺬ ِﯾﻦ َ آَﻣ َ ﻨُﻮا ﻛ ُ ﺘِﺐ َ ﻋ َ ﻠَﯿْﻜ ُ ﻢ ُ اﻟْﻘِﺼ َ ﺎص ُ ﻓِﻲ اﻟْﻘَﺘْﻠَﻰ اﻟْﺤ ُﺮ ﱡ ﺑِﺎﻟْﺤ ُ ﺮ ﱢ و َ اﻟْﻌ َ ﺒْﺪ ِ ﺑِﺎﻟْﻌ َ ﺒْﺪ ِ و َ اﻷ ْ ُﻧْﺜَﻰ ﺑِﺎﻷ ْ ُﻧْﺜَﻰ ﻓَﻤ َﻦ ْ ﻋ ُ ﻔِﻲ َ ﻟَﮫُ ﻣ ِﻦ ْ أَﺧ ِﯿﮫِ ﺷ َﻲ ْ ء ٌ ﻓَﺎﺗﱢﺒَﺎع ٌ ﺑِﺎﻟْﻤ َ ﻌ ْ ﺮ ُوف ُو َ أَد َاء ٌ إِﻟَﯿْﮫِ ﻟِﺑِﺈﻚ َِﺣ ْﺗﺴَﺨ َْﺎﻔن ٍِﯿﻒذ َ ٌ ﻣ ِﻦ ْ ر َ ﺑﱢﻜ ُ ﻢ ْ و َ ر َ ﺣ ْ ﻤ َ ﺔٌ ﻓَﻤ َ ﻦ ِ اﻋ ْ ﺘَﺪ َى ﺑَﻌ ْ ﺪ َ ذ َ ﻟِﻚ َ ﻓَﻠَﮫ (178 :ﻋ َ ﺬ َاب ٌ أَﻟِﯿﻢ ٌ )اﻟﺒﻘﺮه Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Dan saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dimaafkan) maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” c. Jarimah Ta’zir Jarimah ta’zir adalah jarimah yang di ancam dengan hukuman ta’zir, pengertian ta’zir menurut bahasa ialah ta’dib atau memberi pelajaran, ta’zir juga diartikan ar-Rad wa al-Man’u, artinya menolak dan mencegah akan tetapi menurut istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi, pengertianya adalah sebagai berikut.47
.واﻟﺘﻌﺰﯾﺮ ﺗﺎء دﯾﺐ ﻋﻠﻰ دﻧﻮب ﻟﻢ ﺗﺸﺮع ﻓﯿﮭﺎ اﻟﺤﺪود Artinya: “Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumanya oleh syara”. 3. Tindak Pidana Zina Di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Israa’ Ayat 32 sebagai berikut:48
47
Ahmad Wardi Muslich, Lok Cit. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 429. 48
42
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” Dari ayat diatas penulis ingin memaparkan permasalahan yang berkaitan dengan zina agar lebih jelas dan tidak terjadi kebingungan dalam memahami teks ayat tersebut. Dibawah ini adalah keterangan menegenai pengertian zina. Pengertian zina secara umum adalah persetubuhan pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang syah.49 Dalam pandangan Islam bila perbuatan zina dibiarkan begitu saja tanpa tali pengekang maka anak yang lahir dari hasil zina tidak akan dapat diketahui asal usul keturunanya.50 Untuk menghindari adanya perbuatan zina maka Islam menghapus pergaulan bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat sebelum menjatuhkan hukuman terhadap pezina, Islam menutup rapat-rapat pintu dan kesempatan dari terlaksananya perzinaan51 dan bahkan mendekatinya saja.52 Diterangkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 15 adalah sebagai berikut:53
49
Abul A’la al Maududi, Kejamkah Hukum Islam, (Gema Insani Press, 2010), hlm. 38. Ibid, hlm. 43. 51 Ibid, hlm. 45. 52 Z Kasijan, Tinjauan Psikologis Larangan Mendekati Zina Dalam al Qur’an, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1982), hlm.13. 53 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 118. 50
43
ِ ◌Artinya: “Dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”. Perbuatan keji menurut jumhur Mufassirin yang dimaksud perbuatan keji ialah perbuatan zina, sedang menurut Pendapat yang lain ialah segala perbuatan mesum seperti: zina, homo sex dan yang sejenisnya. Menurut pendapat Muslim dan Mujahid yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita). Menurut Jumhur Mufassirin jalan yang lain itu ialah dengan turunnya ayat 2 surat an-Nuur. Pengertian zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji, zina dalam pengertian secara istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dan perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Para Fuqoha’ (ahli hukum Islam) mengartikan zina, yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukan zakar (kelamin pria) ke dalam vagina yang dinyatakan haram, bukan karena syubhat, dan atas dasar
44
syahwat.54 Pendapat para Fuqoha’ (ahli hukum Islam) itu dapat dikualifikasikan sebagai berikut:55 1) Menurut Hanafiah
اﺳﻢ ﻟﻠﻮطء اﻟﺤﺮام ﻓﻲ ﻗﺒﻞ اﻟﻤﺮاءة اﻟﺤﯿﺔ ﻓﻲ ﺣﺎ ﻟﺔ اﻻ ﺧﺘﯿﺎ ر ﻓﻲ دار اﻟﻌﺪل ﻣﻤﻦ اﻟﺘﺰم اﺣﻜﺎم اﻻﺳﻼم اﻟﻌﺎري ﻋﻦ ﺣﻘﯿﻘﺔ اﻟﻤﻠﻚ وﻋﻦ ﺷﺒﮭﺘﮫ .اﻻﺷﺘﺒﺎه ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ اﻻﺷﺘﺒﺎه ﻓﻲ اﻟﻤﻠﻚ واﻟﻨﻜﺎح ﺟﻤﯿﻌﺎ “Mewathi’ perempuan yang masih hidup melalui qubulnya tanpa terikat akad nikah atau bukan muliknya dan tidak ada syubhat baik dalam milik atau pernikahan, dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa di wilayah yang ditegakkan hukum Islam.” 2) Menurut Malikiah
.وطء ﻣﻜﻠﻒ ﻣﺴﻠﻢ ﻓﺮج ادﻣﻲ ﻻﻣﻠﻚ ﻟﮫ ﻓﯿﮫ ﺑﺎﺗﻔﺎق ﺗﻌﻤﺪا “Seorang muslim mukallaf (kena taklif) me-wathi’ farji manusia yang bukan miliknya dengan sengaja, ketiadaan milik tersebut harus disepakati oleh para imam.” 3) Menurut Syafi’iah
اﯾﻼج ﺣﺸﻔﺔ او ﻗﺪرھﺎ ﻣﻦ اﻟﺪﻛﺮ اﻟﻤﺘﺼﻞ اﻻﺻﻞ ﻣﻦ اﻻدﻣﻲ ﺑﻔﺮج .ﻣﺤﺮم ﻟﻌﯿﻨﮫ ﺧﺎل ﻣﻦ اﻟﺸﺒﮭﺔ ﻣﺸﺘﮭﻰ “Masuknya hasyafah (kepala penis) atau seukurnya yang tidak terputus (bukan penis sintetis) terhadap farji yang diharamkan, tiada syubhat, dan secara naluri memuaskan hawa nafsu (disenangi).” 4) Menurut Hanabilah
.وطء اﻣﺮاة ﻓﻲ ﻗﺒﻠﮭﺎ اودﺑﺮھﺎ وطﺎء ﺣﺮام ﻻﺷﺒﮭﺔ ﻟﮫ وطءھﺎ 54
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 37. Jaih Mubarok, dan Enceng Arif Faisal, Kaidah Fiqh Jinayah, Asas-Asas hukum Pidana Islam (Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2004), hlm.117. 55
45
“Mewathi’ perempuan melalui qubulnya atau duburnya dengan wathi’ haram dan tiada syubhat dalam me-wathi’nya.” Dalam ilmu tafsir menyebutkan bahwa zina adalah perbuatan hubungan sex antara laki-laki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak saling terikat oleh perkawinan.56 Islam sangat tegas mengatur hubungan sex antara laki-laki dan perempuan seperti yang sudah di jelaskan dalam al-Qur’an Surat an-Nur Ayat 3 adalah sebagai berikut:57
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”. Maksud ayat ini ialah bahwa Islam memerintahkan adanya kebersihan tentang hubungan sex, bagi laki-laki dan perempuan, pada setiap waktu sebelum perkawinan, selama dalam perkawinan maupun sesudah putusnya hubungan perkawinan, mereka yang melakukan perbuatan terlarang itu dikeluarkan dari lingkungan perkawinan laki-laki dan perempuan terhormat,
56
Abdul Yusuf Ali, Alqur'an Terjemah dan Tafsirnya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),
hlm. 884. 57
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya. (Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 543.
46
lebih jelasnya tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.58 Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa’i dan Imam Hakim semuanya telah mengetengahkan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Amr Ibnu Syu’aib yang ia terima dari ayahnya, yang telah menceritakan bahwa seorang laki-laki yang dikenal dengan panggilan nama Marsyad; ia adalah seorang kuli yang datang dari Al Anbar yang datang ke Mekkah. Ketika itu ia datang ke Mekkah ia berkenalan dengan seorang wanita yang di kenal dengan panggilan Inaq, maka Marsyad meminta izin kepada Nabi SAW. untuk menikahinya akan tetapi Nabi SAW. tidak memberikan jawaban sepatah katapun kepadanya sehingga turun surat an-Nur Ayat 3.59 Demikianlah pengertian zina menurut para ahli Fiqh yang diambil dari al-Qur’an maupun Hadits, bahwa zina merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama dan merupakan perbuatan yang sangat keji dan buruk, bahkan kita di anjurkan untuk tidak mendekatinya dan apabila kita mau berhubungan sex kita diwajibkan untuk membuat ikatan perjanjian yaitu hubungan pernikahan yang sah. Mengenai hukuman bagi pelaku zina seperti yang diterangkan dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 2 adalah sebagai berikut:60
58
Abdul Yusuf Ali, Op, Cit,, hlm. 884. Ibid, hlm. 885. 60 Dep. Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahanya, ( Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an, 1985), hlm. 543. 59
47
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. Pada permulaan Islam hukuman perzinaan bagi seorang wanita ialah hukuman tahanan rumah sampai mati, hal ini bila perzinaanya itu ditetapkan dengan keterangan empat orang saksi yang adil dari kaum laki-laki. Adapun kaum laki-laki diberi hukuman caci maki, dipermalukan di muka khalayak ramai, dan dipukul dengan sepatu, seperti yang sudah diterangkan dalam surat an -Nisa’ ayat 15 bahwa Ibnu Katsir berkata bahwa menurut keterangan Ibnu Abbas, hukuman itu telah berlaku sedemikian rupa, hingga Allah menurunkan surat an -Nur ayat 2 yang menyatakan hukuman jilid atau cambuk sebanyak 100 kali atau Hadits mengenai rajam (dilempar dengan batu), sehingga surat an-Nisa’ayat 15 dinasakh (diubah hukumnya) dengan surat an-Nur ayat 2.61 Syarat-syarat hukuman yang ditetapkan atas diri seseorang yang berzina adalah berakal waras, sudah cukup umur atau baligh, zina dilakukan
61
Ibnu Mas’ud dan H. Zainal Abidin S, Op, C it, hlm. 547-548.
48
bukan dalam keadaan terpaksa.62 Dilihat dari segi hukumanya, zina di bagi menjadi dua yaitu: hukuman bagi zina gairu mukshon dan hukuman bagi zina mukshon. Zina ghairu mukshon adalah zina yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang belum berkeluarga. Hukuman untuk zina ghoiru mukhson ada dua macam, yaitu:63 1) Didera seratus kali 2) Pengasingan selama satu tahun Sedangkan syarat-syarat berlakunya had zina sebagaimana tersebut pelaku zina, yaitu baligh dan melakukanya bukan karena terpaksa, dan atas bukti kuat, seperti pengakuan sendiri atau saksi, yaitu empat orang laki-laki yang adil. Bagi seorang hamba hukumanya hanya separuh dari hukuman orang yang merdeka dan terhadap anak-anak hanya dikenakan hukuman ta’zir.64 Adapun mengenai ditambahkanya hukuman seperti kurungan atau diasingkan hanya bersifat ta’zir bukan keaslian sangsi hukuman. Artinya, sekiranya hakim benar-benar mengetahui bahwa pezina laki-laki dan perempuan mempunyai kepribadian buruk dan hubungan di antara keduanya
62
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Darul Fath, 2004), hlm. 319. Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2005), hlm. 29. 64 H. Zainudin Ali, Op, Cit, hlm. 49. 63
49
sangat intim maka hakim berhak menvonis mereka dengan di asingkan keduanya ke luar daerah.65 Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh HR. Muslim adalah sebagai berikut:66
ﺧﺬوا ﻋﻨﻰ ﻗﺪ ﺟﻌﻞ ﷲ: م. ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ص:ﻋﻦ ﻋﺒﺎ دة ﺑﻦ اﻟﺼﺎﻣﺖ ﻗﺎل اﻟﺒﻜﺮ ﺑﺎﻟﺒﻜﺮ ﺟﻠﺪ ﻣﺎﺋﺔ وﻧﻔﻰ ﺳﻨﺔ واﻟﺜﯿﺐ ﺑﺎﻟﺜﯿﺐ ﺟﻠﺪﻣﺎﺋﺔ واﻟﺮﺟﻢ.ﻟﮭﻦ ﺳﺒﯿﻼ ()رواه ﻣﺴﻠﻢ Artinya: “dari Ubadah bin Ash-Shamid ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda:“Ambilah dari diriku, ambilah dari diriku, sesunggunya Allah memberikan jalan keluar ( hukuman bagi mereka ( pezina ), jejaka dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun, sedangkan duda dan janda hukumanya dera seratus kali dan rajam.” Sanad Hadits diatas tersebut shahih, namun dibanyak riwayat yang shahih juga dijelaskan bahwa hal demikian belum pernah dilakukan oleh Rosulullah SAW. dan pada masa kehidupan para Khulafa’ Ar-Rasyidin serta para Fuqoha’, tidak satu yang berfatwa dengan riwayat ini.67
65
Abul A’la al Maududi, Op, Cit, hlm. 74. Ahmad Wardi Muslih, Op, Cit, hlm. 28. 67 Akan tetapi ada Jamaah meriwayatkan hadist yang berasal dari Abi Hurairah dan Zaid bin Khalid Al Juhai Ra bahwa seorang laki-laki telah menghadap rasulullah Saw. dan berkata kepada beliau. “Wahai Rosulullah, anakku ini telah bekerja di tempat orang ini (sambil menunjuk kepada salah seorang yang sama-sama menghadap beliau). Kemudian anakku berzina dengan istrinya, aku sendiri telah memberikan budak wanita dan seratus ekor domba kepada dia sebagai tebusan. Tetapi aku menanyakan persoalan ini kepada orang yang mengerti. Lantas mereka berkata bahwa anakku akan dikenai sangsi hukuman dera seratus kali dan diasingkan selama setahun sedangkan si wanitanya akan dirajam. Oleh karena itu, wahai Rosulullah hukumilah dengan kitabullah.”Kemudian Rosulullah menanggapinya. “Demi Zat yang jiwaku ada dalam gengamaNya, akan kuhukumi masalah kalian berdua dengan kitabullah.” Mengenai budak wanita dan seratus ekor domba akan dikembalikan padamu, sedangkan anakmu maka baginya hukuman dera seratus kali, dan diasingkan selama setahun”. Kemudian Rosulullah berbalik dan berkata kepada salah seorang sahabatnya dari bani Aslam. Katanya, “Pergilah menemui isteri orang ini apabila dia mengakui perbuatanya maka rajamlah”. Si wanita mengakui perbuatanya itu maka dirajamlah ia. Abul A’la al Maududi, Op, Cit, hlm. 75-76. 66
50
Zina mukhson adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah berkeluarga (bersuami atau beristri). Hukuman untuk pelaku zina mukhson ini ada dua macam, yaitu: 68 1) Rajam Hukum rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu dan sejenisnya. Para Ulama’ sepakat, bahwa hukuman yang dikenakan atas diri pelaku zina mukhson (janda, duda, laki-laki yang masih beristri atau perempuan yang masih bersuami) adalah wajib di rajam sampai mati. Pendapat ini didasarkan atas Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:
آﺗﻰ رﺟﻞ ﻣﻦ اﻟﻤﺴﻠﻤﯿﻦ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ:وﻋﻦ اﺑﻰ ھﺮﯾﺮة أﻧﮫ ﻗﺎل . ﯾﺎرﺳﻮل ﷲ اﻧﻰ زﻧﯿﺖ: ﻓﻘﺎل. ﻓﻨﺎداه.ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ وھﻮ ﻓﻰ اﻟﻤﺴﺠﺪ ﯾﺎ رﺳﻮل ﷲ اﻧﻰ زﻧﯿﺖ: ﻓﻘﺎل ﻟﮫ.ﻓﺎﻋﺮض ﻋﻨﮫ ﻓﺘﻨﺤﻰ ﺗﻠﻘﺎء وﺟﮭﮫ ﻓﻠﻤﺎ ﺷﮭﺪ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﮫ أرﺑﻊ, ﺣﺘﻰ ﺋﻨﻰ ذﻟﻚ ﻋﻠﯿﮫ أرﺑﻊ ﻣﺮات.ﻓﺎﻋﺮض ﻋﻨﮫ : أﺑﻚ ﺟﻨﻮن ﻗﻞ:ﺷﮭﺎدات دﻋﺎء رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎل ﻓﻘﺎل رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ. ﻧﻌﻢ: ﻓﮭﻞ اﺣﺼﻨﺖ ﻗﺎل:ﻻﻗﺎل ()رواه ﻣﺴﻠﻢ. اذھﺒﻮاﺑﮫ ﻓﺎرﺟﻤﻮه Artinya: “Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah SAW. ketika beliau sedang berada di dalam masjid. Laki-laki itu memanggil-manggil Nabi seraya mengatakan: Hai Rasulullah, aku telah berbuat zina, tapi aku menyesal. Ucapan itu diulanginya sampai empat kali diulanginya itu, lalu beliaupun memanggilnya, seraya bertanya “apakah engkau ini gila?” “tidak”, jawab laki-laki itu. Nabi bertanya lagi “apakah engkau ini orang yang mukhson?”,“ya”, jawabnya. Kemudian Nabi bersabda lagi “bawalah laki-laki ini dan langsung rajam olehmu sekalian.” (HR. Muslim). 68
160.
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut Libanon: Darul Kutub Al-Alamiah, Juz II), hlm.
51
2) Dera seratus kali Dera adalah hukuman kedua bagi pelaku zina mukhson.
Para
Fuqoha’ berbeda pendapat apakah hukuman bagi mukhson adalah rajam saja atau rajam dan dera. Mereka yang mewajibkan dera dan rajam beralasan bahwa al-Qur’an telah menjadikan dera sebagai hukuman utama zina.69 4. Zina Karena Dipaksa Dalam hukum Islam tidak mengenal pemerkosaan akan tetapi zina karena adanya paksaan entah pemaksaan itu dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, zina semacam ini juga bisa disebut dengan tindak pidana pemerkosaan dalam hukum positif Indonesia. Pengertian ikrah (paksaan) menurut bahasa adalah membebankan suatu pekerjaan kepada seseorang yang orang itu sendiri tidak ingin melakukan pekerjaan itu. Dalam kamus istilah fiqh juga disebutkan, paksaan berarti sesuatu perbuatan/sikap yang membuat seseorang tidak berdaya menghadapi atau menghindari dari padanya.70 Muhammad Khudhari memberikan definisi paksaan sebagai berikut: 71
.اﻻ ﻛﺮاه ﺣﻤﻞ اﻻ ﻧﺴﺎن ﻏﯿﺮه ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻻ ﯾﺮﺿﺎه ﻗﻮﻻ اوﻓﻌﻼ Artinya: “Paksaan adalah mendorong orang lain atas sesuatu yang tidak diridainya baik berupa ucapan atau perbuatan”. 69
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy bil Qonunil Wad’iy, (PT. Kharisma Ilmu, Juz. IV.), hlm. 182. 70 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm.137. 71 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 177.
52
Sedangkan paksaan terbagi menjadi dua, yaitu paksaan absolute (ikrah tam atau mulji’) dan paksaan relative (ikrah ghayr tam atau ghayr mulji’).72 Beberapa syarat pemaksaan (ikrah) antara lain: pelaku pemaksaan memiliki kekuasaan untuk merealisasikan ancamanya. Sebaliknya pelaku obyek pemaksaan (korban) tidak memiliki kemampuan untuk untuk menolaknya disertai dengan dugaan kuat bahwa penolakan atasnya akan mengakibatkan ancaman tersebut benar-benar dilaksanakan, padahal ancaman tersebut berupa hal-hal yang membahayakan, seperti membunuh, menghajar, memukul, mengikat, dan memenjarakanya dalam tempo cukup lama atau menhancurkan harta bendanya.73 Perempuan yang terpaksa berzina, yaitu perempuan yang diperkosa dan sebagainya tidaklah menanggung dosanya karena dosanya hanya atas yang memaksa saja.74 Para ulama’ telah sepakat bahwa tidak ada hukuman had bagi wanita yang telah dipaksa untuk melakukan persetubuhan yang dilarang (zina).75 Dalam hal ini keadaan tersebut dapat digolongkan dalam
72
Paksaan absolute adalah paksaan yang menghilangkan kerelaan dan pilihan karena ada ancaman yang membahayakan jiwa seperti pemukulan dan pembunuhan. Sedangkan paksaan relatif adalah paksaan yang menghilangkan kerelaan tetapi tidak sampai menghilangkan pilihan karena ancamannya tidak sampai menghilangkan jiwa seperti diikat atau dipenjarakan.Jaih Mubarok, Enceng Arif Faisal, Op, Cit, hlm. 87. 73 KH. Husain Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 161. 74 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Op, Cit, hlm. 555. 75 Abdul Qodir Audah, Op, Cit, hlm. 165.
53
keadaan darurat. Alasanya adalah firman Allah SWT. dalam surat alBaqarah ayat 173 dan surat al-An’am ayat 119:76
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” Dan dalam surat al-An’am ayat 119 adalah sebagai berikut:77
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.”
76
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 42. 77 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 207.
54
Ayat-ayat sebagaimana dimaksud diatas menunjukan dasar hukum mengenai suatu keterpaksaan melakukan atau memilih berbuat sesuatu yang sebenarnya hukum dasarnya adalah diharamkan oleh Allah SWT. Namun Allah memaafkan perbuatan itu, karena adanya kondisi sulit, terpaksa atau tidak adanya pilihan lain yang lebih baik dan menyelamatkan dirnya. Bahkan pembelaan diri terhadap ancaman perkosaan dengan kemungkinan membunuh sekalipun, dalam prespektif Islam dapat dibenarkan. Diterangkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 194 sebagai berikut:78
Artinya: “Barang siapa yang menyerang kam, maka seranglah seimbang dengan seranganya. Bertaqwalah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” Atas dasar ayat tersebut diatas seluruh ahli fiqh sepakat, bahwa perempuan yang diserang kehormatanya (diperkosa), wajib melakukan pembelaan diri, sebisa mungkin, meskipun terpaksa harus membunuhnya dan terhadap perempuan itu tidak dikenakan hukuman apa-apa. 79 Imam Bukhori juga telah meriwayatkan secara ta’liq, sedang yang lain meriwayatkan dengan sanad tersambung (maushul), dari Syafiyyah binti
78
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya. (Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 47. 79 Husain Muhammad, Op,Cit, hlm, 163.
55
Abi Ubaid, bahwa salah seorang budak yang bekerja pada kantor gubernur telah
memperkosa seorang wanita peranakan
dari
Khoma untuk
melampiaskan syahwatnya kemudian Umar memvonis pemerkosa dengan hukuman cambuk dan mengasingkanya dari kota. Tetapi beliau tidak mencambuk budak wanita yang diperkosa, karena dipaksa.80 Karena dengan adanya fakta-fakta dari al-Qur’an diatas maka tidak ada perselisihan pendapat dalam undang-undang hukum Islam mengenai sanksi terhadap wanita-wanita yang di perkosa. Namun kemudian timbul khilafiah terhadap laki-laki yang dipaksa berzina. Menurut pendapat yang marjuh (lemah) didalam mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali dan Syi’ah Zaidiyah, ia harus dikenai hukuman had. Alasan mereka adalah kalau yang dipaksa itu wanita kemugkinanya besar sekali, karena wanita itu tugasnya menyerahkan diri. Baru apabila alat kelaminya tidak menegang tetapi tetap dipaksa maka seorang laki-laki yang dipaksa tetap tidak dikenakan hukuman had.81 5. Ganti Kerugian (Diyat) Diyat adalah hukuman pokok untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiyaan menyerupai sengaja dan tidak sengaja (khata’). Meskipun bersifat hukuman, namun harta yang diberikan kepada korban atau keluarganya, bukan kepada perbendaharaan Negara. Dari segi ini diyat lebih
80 81
Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm.138. Ahamd Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 21-22.
56
mirip dengan ganti kerugian, apalagi besarnya dapat berbeda-beda menurut perbedaan sengaja atau tidaknya jarimah yang dilakukan oleh pelaku.82 Diyat wajib dibayarkan disebabkan sebuah tindak kejahatan dan diberikan kepada si korban dan walinya,83diyat bisa juga disebut dengan hukuman pengganti pertama dari hukuman kisas.84Diyat, baik sebagai hukuman pokok maupun pengganti, jika dimutlakan berarti diyat yang sempurna, yaitu seratus ekor unta. Adapun diyat yang kurang dari diyat sempurna biasa disebut arsy (denda). 85 1. Tindak pidana yang wajib diyat sempurna ada lima jenis, yaitu: 86 a. Jenis yang pertama: anggota badan yang memiliki persamaan dalam tubuh. Yang termasuk jenis ini adalah hidung, lidah, kemaluan, tulang rusuk, saluran air seni, saluran buang air besar, kulit, rambut kepala, dan jenggot. b. Jenis yang kedua: anggota badan yang didalam tubuh ada dua, yaitu dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga, dua bibir, dua alis mata, dua payu dara perempuan, dua buah pelir laki-laki, dua bibir (labia) vagina, dua pantat dan dua tulang dagu.
82
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 155. Ahmad Al-Mursi Husai Jauhari, Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 82. 84 Sebagaimana hukumana tindak pidana penganiyaan, diat adalah hukuman pengganti ketika ia menduduki posisi kisas. Ia merupakan tindak pidana penganiyaan disengaja. Diat menjadi hukuman pokok jika tindak pidananya menyerupai disengaja, bukan disengaja murni. Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 66. 85 Ibid, hlm. 66. 86 Ibid, hlm. 67. 83
57
c. Jenis ketiga: anggota badan yang dalam tubuh ada empat, yaitu kedua kelopak mata yaitu tempat tumbuhnya bulu mata. d. Jenis keempat: anggota badan yang didalam tubuh ada sepuluh, yaitu jari-jari kedua tangan dan jari-jari kedua kaki. e. Jika manfaat beberapa anggota badan hilang, juga wajib diyat sempurna, menghilangkan manfaat akal, penglihatan, penciuman, pendengaran, perasa, senggama, reproduksi, berjalan, kekuatan untuk senggama. 2. Diyat (arsy) yang belum ditentukan atau kebijakan Denda tidak ditentukan wajib dalam tindak pidana atas selain jiwa dari tindak pidana yang tidak memiliki qishas dan tidak memiliki denda yang ditentukan. Dalam istilah para fuqoha, denda yang tidak ditentukan ini disebut hukumah atau hukumah al‘adl. Arti hukumah menurut imam yang empat adalah menentukan nilai korban sebagai hamba sebelum dilukai kemudian nilai tersebut diukur sesudah luka dan setelah sembuh darinya. Setelah itu diketahui prasentase kekuranganya lalu diyat diambil sesuai kekurangan prosentase kekurangan tersebut. Diyat sejumlah itulah yang menjadi hak korban. Akan tetapi, hukumah disyaratkan tidak mencapai denda luka seperti yang sudah ditentukan. Contoh, jika luka belum mencapai
58
mudihah, misalnya, samhaq,87 hukumanya tidak boleh sama dengan luka mudihah.88 Semua jenis pemukulan dan pencederaan (melukai) pasti ada ganti ruginya berupa diyat sempurna atau denda (arsy), karena Allah telah menjadikan sanksi sesuai dengan akibat tersebut, tanpa memperhatikan apakah si pelaku kejahatan menyengajanya atau tidak. Apabila pencederaan atau pemukulan menyebabkan kematian maka hal tersebut sudah menjadi tindak pemukulan yang menyebabkan kematian, apabila tindakan pemukulan menyebabkan gangguan berkepanjangan, maka hal tersebut menjadi tindak pidana. Jika tindak pemukulan tersebut menyebabkan
penyakit
atau
ketidakmampuan
untuk
melakukan
pekerjaan layaknya manusia normal, maka hal ini menjadi pelanggaran hukum sesuai dengan tingkat penyakit atau ketidakmampuan tersebut. Yang dimaksud dengan pencederaan adalah segala perbuatan memotong atau membelah anggota tubuh yang terjadi akibat penggunaan alat atau benda tajam, termasuk menumbuk sampai hancur, membuat luka lecet, menggigit, memecahkan, membakar, dan luka dalam.
87
Mudihah (menampakan); pencederaan yang menampakan tulang hingga benar-benar terlihat keluar. Sedangkan simhaq (selaput tulang); pencederaan yang memotong daging dan memampakkan kulit, serta kulit halus antara daging dan tulang. Daging ini dinamakan simhaq. Dalam pencederaan ini terdapat kewajiban membayar empat ekor unta. Ahmad Al-Mursi Husai Jauhari, Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.65. 88 Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 86.
59
Tindak pemukulan adalah semua bekas yang ada di tubuh manusia yang terjadi akibat penggunaan alat yang tidak dapat digunakan untuk memotong. Pemukulan tidak dapat terjadi meski tidak meninggalkan bekas yang terlihat, baik berupa darah atau mengalirnya darah termasuk juga segala bentuk penabrakan menarik, menekan anggota tubuh, dan mencekik.89 Sementara ganti rugi menurut yang diberikan kepada korban perkosaan menurut pendapat para fuqoha’, yaitu: bisa ditemukan dalam kitab fiqh Ala Madzahibul Arba’ah karangan Abdurrahman Al Jaziri, Menurut Ulama’ mazhab Syafi’iah apabila ada seorang laki-laki memaksa perempuan untuk melakukan zina maka wajib bagi perempuan itu menerima mahar yang sesuai baik itu perempuan merdeka atau budak. 90 Imam Malik mengatakan wajib bagi lelaki untuk memberikan mas kawin kepada perempuan yang diperkosanya. Diriwayatkan dari Malik dari kitab al-Muwatha’ dari Syihab bahwa Abdul Malik bin Marwan telah memberi keputusan atas kasus perempuan yang diperkosa (berbuat zina) dengan mewajibkan lelaki yang memperkosanya untuk memberikan mas kawin kepada perempuan itu.91
89
Ahmad Al-Mursi Husai Jauhari, Op, Cit, hlm. 62. Abdur Rahman Al-Jaziri, Kitabul Ala Madzahibul Arba’ah, (Beirut: tt, Juz.II), hlm.73. 91 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm. 340. 90
BAB III PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG NO.425/PID.B/2010/PN.SMG
A. Profil Pengadilan Negeri Semarang Sejarah berdirinya Pengadilan Negeri Semarang menurut dokumen yang tersimpan didalam Arsip Pengadilan Negeri Semarang adalah sebagai berikut: Sebelum perang dunia II, di Semarang terdapat Raad va justitie yang artinya sama dengan Pengadilan Tinggi sekarang, di mana gedungnya pada saat itu ada di Tugu Muda sekarang, yang ditempati oleh kodam, disamping itu terdapat pula Langerecht dan Landgeraad. Landgerecht mengadili perkara-perkara novies, yaitu pelanggaran lalu lintas, pelanggaran Peraturan Daerah (Perda). Sedangkan landgeraad mengadili perkara-perkara berat, setelah perang selesai Landgerecht dan Landgeraad kemudian menjadi menjadi Pengadilan Negeri yang berkedudukan di jalan Raden Patah Semarang.1 Sebagai pimpinan Pengadilan Negeri Semarang adalah ketua, dimana pimpinan tersebut dapat diketahui setelah tahun 1950 adalah sebagai berikut: a. Soerjadi, SH. b. Soebiono Tjitrowinoto, SH. 1
Dokumentasi Situasi Daerah Hukum Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri Jawa Tengah, Situasi Daerah Hukum Pengadilan Negeri Semarang, (Jakarta: Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, 2001), hlm. 48-49.
60
61
c. Worjanto, SH. d. Poewoto Gandaesoebrata, SH. e. Soekanto Poerwasaputro, SH. f. Soekotjo, SH. g. Soemadi Aloei, SH. h. Hasan Ghasim Shahab, SH. i. R. Padmo Soerasmo, SH. j. Soegijo Soemarjo, SH. k. Ohim Padmadisastra, SH. l. R. Saragih, SH. m. S.M. Binti, SH. n. Monang Siringo Ringo, SH. o. Soeharso, SH. p. R. Soenarto, SH. q. Suparno, SH. r. Subardi, SH. s. Mohamad saleh, SH. t. HR. Soekandar, SH. u. Abid Saleh Mendrofo, SH. Untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan, dirasakan bahwa gedung Pengadilan Negeri Semarang yang terletak di Jalan Raden Patah Semarang sudah tidak memenuhi syarat lagi, maka sejak
62
bulan Desember 1977 Pengadilan Negeri Semarang telah menempati gedung yang baru yang terletak di jalan Siliwangi No.512 (Krapyak) Semarang yang berdiri diatas tanah seluas 4.000 m2, dan dengan luas wilayah Hukum kurang lebih 371,52 km2 yang terdiri dari 16 (enam belas) kecamatan, yaitu kecamatan : Gajah Mungkur, Mijen, Candisari, Tugu, Gunungpati, Ngalian, Banyumanik, Tembalang, Gayamsari, Semarang Utara, Semarang Barat, Pedurungan, Genuk, Semarang Selatan, Semarang Tengah, dan Kecamatan Semarang Timur. Sedangkan gedung yang lama untuk sementara dipergunakan untuk menyimpan arsip, sambil menunggu selesainya ruang arsip di gedung yang baru. Dan pada tahun 1992 ruang arsip di gedung baru telah selesai kemudian secara bertahap berkas perkara yang sudah arsip dipindahkan ke ruang arsip yang baru dan telah diadakan pembenahan dan penataan agar arsip lebih rapi dan tertib sesuai dengan pedoman yang telah ditentukan oleh Mahkamah Agung RI, sehingga akan memudahkan pencariannya mengingat arsip adalah dokumen Negara yang sangat penting.2 B. Tugas dan Wewenang Pengadilan Negeri Semarang Untuk diketahui bersama bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh Peradilan dalam lingkungan Peradilan umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.
2
Ibid, hlm. 35-41
63
Pengadilan pada keempat peradilan tersebut memiliki cakupan dan batasan kekuasaan masing-masing dalam menangani suatu permasalahan hukum. Kewenangan pada masing-masing lingkungan terdiri atas kekuasaan relatif (relative competentie) dan kekuasaan mutlak (absolute competentie).3 kekuasaan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding, artinya cakupan dan batasan kekuasaan relatif pengadilan adalah meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan kekuasaan absolute berhubungan dengan daerah hukum suatu peradilan, artinya cakupan dan batasan kekuasaan absolute masing-masing peradilan sudah ditentukan oleh bidang yuridiksi yang dilimpahkan undang-undang.4 Kekuasaan relative yang di dimiliki oleh Pengadilan Negeri Semarang meliputi daerah dengan wilayah hukum kota semarang. Sedangkan kekuasaan absolute yang dimiliki Pengadilan Negeri Semarang adalah pengadilan yang menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara perdata dan perkara pidana bagi warga negara yang mencari keadilan dan haknya dirampas kecuali undang-undang menentukan lain (UU No. 4 tahun 2004), kemudian wewenang dari Pengadilan Negeri sendiri adalah meliputi perkara pidana maupun perdata. Hal ini menambah tugas yang baru diemban oleh pengadilan Negeri sebagai institusi pemerintahan.
3
Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm.102. M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 101-102. 4
64
Pengadilan Negeri diperuntukan bagi semua pemeluk agama yang ada di Indonesia. Karena masalahnya begitu kompleks, maka dalam peraturannya terdapat bermacam-macam kitab undang-undang seperti kitab undang-undang hukum acara pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara perdata, dan lain-lain. Yang menjadi landasan hukum keberadaan Pengadilan Negeri ini tercantum dalam Undang–Undang No. 8 tahun 2004, yaitu: a. Pasal 2 Undang-Undang No. 8 tahun 2004, “Pengadilan umum adalah dalam data pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya”. b. Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang No. 8 tahun 2004, “Kekuasaan di lingkungan atau pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan dengan pengadilan tinggi”. c. Kekuasaan kehakiman di lingkungan pengadilan umum berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Kaitannya dengan tugas dan wewenang pengadilan negeri maka tidak terlepas dari proses beracara dalam suatu persidangan, dimana dalam hukum acara pidana dijelaskan mengenai aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh penegak hukum dan orang-orang yang terlibat di dalamnya (tersangka, terdakwa, penasehat hukum, dan saksi).
65
C. Proses Penyelesaian Perkara Nomor: 425/PID.B/2010/PN. Semarang Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa telah menjatuhkan putusan dalam perkara terdakwa Nama lengkap
: Aryono bin Parto Dikromo
Tempat lahir
: Boyolali
Umur/tgl lahir
: 56 tahun/ 27 Juli 1953
Jenis kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Alamat
: Jl. Batursari III Rt.01 Rw.09 Sawah Besar Gayam Sari Kota Semarang
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Karyawan/Swasta
Pendidikan
: SD
Terdakwa berada dalam tahanan: 1) Penyidik sejak 08 Pebruari 2010 sampai dengan tanggal 27 Pebruari 2010 2) Perpanjangan penuntut umum sejak tanggal 23 Pebruari 2010 sampai dengan tanggal 08 April 2010 3) Penuntut umum sejak tanggal 06 Mei sampai dengan tanggal 25 Mei 2010. 4) Majelis Hakim sejak tanggal 15 Nopember 2006 sampai dengan tanggal 19 Mei 2010 s/d 25 Mei 2010
66
5) Perpanjangan wakil ketua Pengadilan Negeri Semarang sejak tanggal 30 Nopember 2006 sampai dengan tanggal 30 Desember 2006 6) Pengadilan Negeri tersebut - Telah membaca penetapan Majelis Hakim No. 425/Pid.B/2010/PN Semarang. tanggal 19 Mei 2010 - Telah membaca berkas perkara yang diajukan dipersidangan - Telah mendengar keterangan saksi-saksi dipersidangan - Telah mendengar keterangan terdakwa di persidangan - Telah memperhatikan barang bukti yang diajukan di persidangan - Telah mendengar tututan pidana dari jaksa Penuntut Umum. 1. Dakwaan Pertama Primair Perbuatan itu dalakukan sejak bulan September 2009 sampai bulan Pebruari 2010 bertempat dirumahnya terdakwa di Jl. Batusari III Rt. 01 Rw. 09 Sawah Besar Gayamsari, Kota Semarang. Perbuatan itu dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali oleh Aryono Bin Parto Dikromo. Perbuatan yang pertama, dilakukan ketika rumah Aryono dalam keadaan sepi karena sedang ditinggal mudik oleh anak dan istrinya di Sumedang. Aryono dikenal baik oleh Nova Susan Nurwanti karena hubungan ketetanggaan, pada saat itu Aryono memanggil Nova untuk datang kerumahnya kemudian Nova pun datang kerumah Aryono, kemudian Aryono menyuruh Nova untuk membelikan cabai di warung sambil Aryono mengatakan kepada Susan nanti diberi uang jajan sebesar Rp 5000 sampai
67
Rp 9000. Setelah Nova membelikan cabai diwarung terus Aryono menyuruh Nova mencuci piring, setelah itu Aryono menyuruh Nova untuk masuk ke kamar tidur milik menantu Aryono, akan tetapi Nova tidak mau/ menolaknya. Selanjutnya terdakwa menarik tangan Nova dengan paksa dan setelah sampai dikamar, korban dijatuhkan ke tempat tidur dan celana panjang korban ditarik kebawah oleh Aryono sehingga celana Nova terbuka, selanjutnya Nova melawan akan tetapi tidak berdaya hingga Nova pun akhirnya menangis karena kamar ditutup maka tangisanya tidak ada yang mendengar. Selanjutnya Aryono membuka celana dalamnya dan kemudian penis Aryono yang telah tegang digesek-gesekan di permukaan vagina Nova selanjutnya dengan paksa Aryono memasukan penisnya dengan paksa ke dalam vagina Nova dan karena korban merasa sakit akhirnya korban mencakar muka Aryono dan menggigit tangan Aryono dan Nova berhasil melarikan diri dan segera memakai celana. Ketika Nova hendak pergi / melarikan diri Aryono mengancam agar tidak memberitahukan kepada orang tuanya / orang lain apabila Nova memberitahukanya maka akan dibunuh. Perbuatan yang kedua, dilakukan pada bulan Desember modusnya sama dengan perbuatan yang pertama yakni Nova disuruh untuk mencuci piring dirumahnya selanjutnya Aryono melancarkan aksinya lagi.
68
Perbuatan yang ketiga, dilakukan pada bulan Pebruari 2010 modusnya sama dengan perbuatan yang pertama dan yang kedua yakni Nova disuruh untuk mencuci baju selanjut Aryono melancarkan aksinya lagi, akan tetapi Nova berhasil melarikan diri. Akibat perbuatan Aryono, Nova merasakan sakit pada alat kelaminya hal ini sesuai dengan Visum ET Repertum No.16/VER/PPKPA/II/2010/Dokpol tanggal 07 Pebruari 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh dokter Nanung Budi P, yang bekerja pada rumah sakit Bayangkara Semarang. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam sesuai dengan Pasal 81 Ayat (1) UU. RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 Ayat (10) KUHP. 2. Tuntutan
Jaksa
Penuntut
Umum
No.
Reg.
Perkara:
PDM-
137/SEMAR/Ep.2/04/2010 tanggal 9 Juni 2010 Selengkapnya sebagaimana yang dibacakan dan diserahkan dalam persidangan tanggal 9 Juni 2010 yang pada pokoknya menuntut supaya majelais hakim Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan: a. Membebaskan terdakwa ARYONO BIN PARTO DIKROMO karena tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana datur dalam Pasal 81 Ayat (1) UU RI No.23 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP seperti dakwaan pertama Primair
69
b. Menyatakan bahwa ARYONO BIN PARTO DIKROMO terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal (2) UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP seperti dakwaan subsidair ARYONO BIN PARTO DIKROMO dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dikurangi masa tahanan sementara dengan perintah Terdakwa tetap ditahan dan denda Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) Subsider 6 (enam) bulan kurungan c. Menetapkan agar terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp. 2500.(dua ribu lima ratus rupiah) 3. Barang Bukti - 1 (satu) sprei warna merah - 1 (satua) buah celana pendek dan celana dalam Terdakwa - 1 (satu) buah celana dalam korban warna putih - Visum ET Repertum No.16/VER/PPKPA/II/2010/Dokpol tanggal 07 Pebruari 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh dokter Nanung Budi P, yang bekerja pada rumah sakit Bayangkara Semarang. 4. Saksi-Saksi a. Saksi yang memberatkan dari Jaksa penuntut umum 1) Pujiwanti Bahwa saksi adalah ibu kandung dari saksi korban (saksi Nova Susan Nurwanti)
70
2) Nova Susan Nurwanti binti Budi Susanto Bahwa saksi disetubuhi terdakwa pada bulan September 2009 sekitar jam 11.00 wib, Bulan Desember 2009 jam 11.00 WIB dan bulan Pebruari jam 11.00 wib dan dilakukan dikamar mbak Ana. 3) Juminten Binti Sali Bahwa rumah saksi berdekatan dengan Nova yakni bersebelahan, dan saksi tahu bermula pada pengakuan Nova pada tanggal 6 Pebruari 2010 sekitar jam 17.30 WIB. bahwa ia telah disetubuhi oleh Terdakwa 4) Nining Surati binti Kusuma Bahwa saksi adalah anggota LSM KJ HAM yang mendampingi Nova dan berkantor di jl. Panda Barat III No. 1 Semarang. Dan saksi melakukan interogasi dirumah saksi Nova, dirumah Nova saksi diterima oleh ibu kandung Nova karena Nova tidak mau dengan saksi. 5) Sumadi binti Ngadima Bahwa saksi bertentangga dengan terdakwa dan rumah saksi dengan terdakwa berjarak 50 meter. b. Saksi yang meirngankan dari penasihat hukum Terdakwa 1) Soenarto Bahwa saksi menjadi RW 09 kel sawah Besar sejak tanggal 1 Januari 2009, di RW 09 Kel. Sawah Besar. 2) Mat Takul Anam
71
Bahwa saksi menjadi Rt 01 Kel. Sawah Besar sejak tanggal 6 Januari 2010 dan saksi tinggal di Rt 01 Rw 09 Kel. Sawah Besar. 3) Umi Chotimah Bahwa saksi sebagai isteri Rw 09 bertugas ikut serta dalam kegiatan PKK dan membina ibu-ibu Rw 09 Kel. Sawah Besar Semarang. 4) Wiyono 5. Pertimbangan Hukumnya Menimbang, bahwa dipersidangan telah diajukan dan doperlihatkan barang bukti. Bahwa dari keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan dalam perkara ini, Majelis mendapatkan fakta-fakta. Bahwa
selamjutnya
majelis
akan
mempertimbangkan
apakah
perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dari dakwaan penuntut umum yang didakwakan kepadanya Bahwa tedakwa oleh penuntut umum telah didakwa melakukan pebuatan yang diatur dan diancam dalam dakwaan: PERTAMA: Primair: Pasal 81 Ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP; Subsidair: Pasal 81 (2) UU RI No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
72
Kedua: Pasal 82 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Ketiga: Pasal 287 Ayat (1) KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Oleh karena surat dakwaan disusun secara alternative maka majelis akan mempertimbangkan dakwaan yang menurut majelis terbukti, yaitu dakwaan Pertama. Bahwa dakwaan pertama yaitu: Primair: Pasal 81 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP; Subsidair: Pasal 81 ayat (2) UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. a. Dakwaan Pertama Primair Dakwaan pertama disusun secara subsidairitas maka Majelis akan mempertimbangkan dakwaan pertama Subsidair. Untuk dakwaan pertama Primair adalah sebagai berikut: Pasal 81 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP, unsur-unsurnya adalah - Setiap orang - Dengan sengaja melakukan kekerasa atau ancaman kekerasan - Memaksa anak melakukan perstubuhan denganya atau dengan orang lain - Merupakan suatu perbuatan berlanjut Berdasarkan dakwaan Primair diatas dbawah ini adalah penjelasan dari unsur-unsur tersebut, yaitu:
73
1) Unsur “Setiap Orang” Bahwa yang dimaksud dengan setiap orang adalah siapa saja orang perseorangan sebagai subyek hukum yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatanya Bahwa dalam perkara ini telah diajukan kepersidangan seorang terdakwa, yang atas pertanyaan Majelis mengaku bernama Aryono bin Parto Dikromo yang ternyata sesuai dengan identitasnya yang tercantum dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum Bahwa selama persidangan Majelis tidak menemukan kelainan dalam diri Terdakwa sebagai manusia biasa, manusia normal yang sadar akan perbuatanya, yang bersangkutan dapat menjawab pertanyaan yang diajukan dengan jelas. 2) Unsur “dengan sengaja melakukan kekerasa atau ancaman kekerasan” Bahwa dari fakta dipersidangan Terdakwa dalam melakukan perbuatanya tidak dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan akan tetapi dilakukan dengan memanggil saksi Nova dan menyuruhnya membeli cabai, mencuci piring, dan mencuci baju, semuanya dijanjikan akan diberi upah atau diberi uang sehinnga saksi Nova mau disuruh oleh Terdakwa. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas Majelis berpendapat bahwa unsur “dengan sengaja melakukan atas ancaman kekerasan” tidak terbukti.
74
Oleh karena salah satu unsur tidak terpenuhi maka dakwaan pertama primair tidak terbukti dan Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan pertama primair tersebur. Karena pertama primair tidak terbukti, maka Majelis akan mempertimbangkan dakwaan pertama Subsidair b. Dakwaan Pertama Subsidair Pasal 81 (2) UU RI No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya adalah - Setiap orang - Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak - Melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain - Merupakan satu berbuatan berlanjut Berdasarkan dakwaan Primair diatas dbawah ini adalah penjelasan dari unsur-unsur tersebut, yaitu: 1) Unsur “setiap orang” Bahwa dalam unsur “setiap” orang” dalam dakwaan pertama Primair majelis telah mempertimbangkan unsur tersebut, dan unsur “setiap orang” dalam dakwaan pertama Primair telah terpenuhi. 2) Unsur
“dengan
sengaja
melakukan
kebohongan, atau membujuk anak”.
tipu
muslihat,
serangkaian
75
Yang dimaksud dengan sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan, orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki apa yang dulakukan dan orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu ia mengetahui atau menyadari perbuatan yang ia lakukan. Bahwa menurut R. Susilo dalam penjelasan KUHP yang dimaksud dengan tipu muslihat adalah suatu tipu yang yang demikian liciknya sehingga orang yang berpikiran normal dapat tertipu, suatu tipu muslihat sudah cukup asal cukup liciknya. Dan yang dimaksud dengan karangan perkataan bohong adalah satu kata bohong tidak cukup disini harus dipakai banyak kata-kata bohong yang tersusun sedemikian rupa sehingga kebohongan yang satu dapat ditutup dengan kebohongan yang lain, sehingga keseluruhanya merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar. Sedangkan yang dimaksud dengan membujuk adalah melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya tidak akan berbuat demikian Bahwa dari keterangan saksi-saksi dan terdakwa, pada saat itu memanggil saksi Nova yang sedang bermain didekat rumah terdakwa disuruh untuk memberikan cabai dan menyuruh mencuci piring dan mencuci baju kemudian diberi uang Rp 5000,-,
76
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas majelis berpendapat unsur kedua telah terpenuhi 3) Unsur “melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain” Bahwa dari fakta persidangan pada awal bulan September 2009 terdakwa sedang sendirian dirumahnya di Jl, Batursari III Rt. 01 Rw. 09 Kel. Sawah Besar Kec. Gayam Sari Semarang, kemudian terdakwa memanggil saksi Nova dimana saat itu rumah terdakwa dalam keadaan sepi, kemudian terdakwa menyuruh saksi Nova untuk membeli cabai,menyuci piring dan baju kemudian terdakwa menyruh masuk kamar namun Nova menolak dan selanjutnya Nova ditarik tanganya setelah dikamar dijatuhkan ditempat tidur dan celananya ditarik kebawah sehingga terbuka, saksi Nova melawan dan menangis namun karena pintu tertutup suara tangisanya tidak ada yang mendengarnya. Bahwa setelah kejadian tersebut saksi Nova selalu terlihat melamu, ketakutan, gelisah dan menagis/trauma didepan rumah saksi Juminten. Bahwa dari keterangan saksi Nova juga dibenarkan oleh Terdakwa. Bahwa dipersidangan saksi Nova sangat ketakutan kalau ketemu terdakwa bahkan tidak mau memasuki ruang siding kalau didampingi oleh pendamping yang dalam hal ini adalah dari LSM PPT Sahabat Perempuan Pedurungan sedang dengan yang lain saksi Nova tidak merasa takut, hanya dengan (DE NO) nama panggilan terdakwa dikampungnya Nova merasa takut, sehingga pada waktu saksi Nova memberikan keterangan di persidangan tidak berani melihat terdakwa.
77
4) Unsur “merupakan suatu perbuatan berlanjut” Menimbang, bahwa berdasarkan fakta dipersidangan perbuatan terdakwa tersebut dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada sekitar bulan September 2009, Desember 2009, dan pada sekitar bulan Pebruari 2010. Bahwa oleh karena semua unsur dari dakwaan pertama Subsidair telah terpenuhi, maka majelis berkesimpulan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan seperti tersebut dalam dakwaan pertama. Bahwa oleh karena terdakwa terbukti melakukan perbuatan seperti tersebut dalam dakwaan pertama Subsidair, maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan pertama Primair. Bahwa sebelum menjatuhkan pidana kepada terdakwa, terlebih dahulu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan.: a. Hal-hal yang memberatkan 1) Terdakwa tidak mengakui terus terang perbuatanya 2) Perbuatan terdakwa mengakibatkan korban menderita trauma 3) Perbuatan terdakwa merusak masa depan korban yang masih anak b. Hal-hal yang meringankan 1) Terdakwa belum pernah dihukum 6. Putusanya Mengingat, ketentuan Pasal 81 Ayat (2) UU RI No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 Ayat (1), serta peraturan hukum
78
lainya yangbersangkutan dan telah Melewati beberapa proses persidangan, dengan beberapa pertimbangan hukum, maka hakim memutuskan seadiladilnya bahwa: 1. Menyatakan terdakwa Aryono Bin Parto Dikromo tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti tersebut dalam dakwaan primair. 2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan primair. 3. Menyatakan terdakwa Aryono bin Parto Dikromo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan tipu muslihat dan membujuk anak melakukan persetubuhan denganya secara berlanjut” 4. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Aryono bin Parto dikromo dengan pidana penjara selama tujuh tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,(enam puluh juta rupiah) apabila denda tidak dibayar diganti dengan hukuman kurungan selama (enam) bulan. 5. Menetapkan masa penahanan yang dijalani terdakwa berkuatan hukum tetap, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 6. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan 7. Memerintahkan barang bukti berupa: 1 (satu) buah sprei warna merah 1 (satu) buah celana pendek dan 1(satu) buah selana dalam terdakwa 1 (satu) buah celana dalam korban warna putih
79
Dirampas untuk dimusnahkan.6 8. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2500,(dua ribu lima ratus) Demikianlah
isi
dari
Putusan
Pengadilan
Negeri
Semarang:
No.425/Pid.B/2010/PN.Smg akan dianalisis dalam bab IV (empat).
6
Isi Putusan Perkara Pidana Nomor: 425 /pid.B/2010/PN Semarang.
BAB IV ANALISIS UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PERKOSAAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG: NO. 425 /PID.B/2010/PN SEMARANG.
A. Analisis Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam hukum Positif tindak pidana perkosaan termasuk dalam tindak pidana mengenai kesopanan dalam hal persetubuhan, tindak pidana ini tidak masuk dalam jenis pelanggaran akan tetapi masuk pada jenis kejahatan. Kejahatan yang dimaksudkan ini dimuat dalam 5 pasal, yakni 284 (perzinaan), 285 (perkosaan), 286 (bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya yang dalam keadaan pingsan), 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum berumur lima belas tahun yang bukan istrinya), dan pasal 288 (bersetubuh dalam perkawinan dengan perempuan yang belum waktunya dikawin dan menimbulkan luka atau kematian).1 Khusus untuk kejahatan perkosaan telah dikenal dan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam bab XIV tentang kejahatan kesusilaan.2 Perkosaan sendiri diatur dalam Pasal 285 KUHP, yang berbunyi:3
1
Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 56. 2 Ibid. hlm. 62-63. 3 KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 98.
80
81
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Selanjutnya berdasarkan Pasal 291 Ayat (2) KUHP, jika pemerkosaan tersebut mengakibatkan matinya perempuan itu, ancamanya menjadi lima belas tahun penjara. Rumusan KUHP Pasal 285 dan 291 tersebut rencananya akan diganti berdasarkan RUU KUHP yang merumuskanya pada Pasal 389 yang bunyinya sebagai berikut: Pertama, “Dipidana penjara paling lama 12 tahun dan paling rendah 3 tahun karena melakukan perkosaan”, adalah sebagai berikut: 1. Seorang pria melakukan persetubuhan dengan wanita bertentangan dengan kehendak wanita tersebut 2. Seorang pria melakukan persetubuhan dengan wanita tanpa persetubuhan wanita tersebut 3. Seorang pria melakukan persetubuhan dengan wanita dengan persetujuan wanita tersebut tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai 4. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan wanita dengan persetujuan wanita tersebut karena wanita tersebut percaya bahwa ia adalah suaminya yang sah atau ia adalah orang yang seharusnya di setubuhinya 5. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan seorang wanita yang berusia dibawah 14 tahun dengan persetujuanya. Kedua, dianggap juga telah melakukan tindak pidana perkosaan dengan pidana paling lama 12 tahun dan paling rendah 3 tahun apabila dalam keadaan yang tersebut dalam ayat (1) ke-1 sampai dengan ke-5 diatas: 1. Sorang laki-laki memasukan alat kelaminya ke dalam anus atau mulut seorang wanita
82
2. Barang siapa memasukan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya kedalam vagina atau anus seorang wanita.4 Penjelasan Pasal 285 KUHP diatas bahwa suatu perbuatan dikatakan terbukti secara sah melakukan kejahatan perkosaan seperti dalam pasal 285 KUHP apabila pelaku telah memenuhi syarat unsur-unsur sebagai berikut:5 1. Barang siapa 2. Dengan kekerasan 3. Dengan ancaman akan memakai kekerasan 4. Memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin diluar nikah 5. Dengan dirinya Perbuatan memaksa menurut Pasal 285 KUHP, yakni bersetubuh dengan dia, atau bersedia disetubuhi. Cara-cara memaksa disini hanya hanya terbatas dengan dua cara, yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met geweld). Dua cara tersebut tidak diterangkan lansung dalam undangundang. Hanya mengenai kekerasan, ada pada Pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan, yaitu “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. R. Susilo memberi arti kekerasan dengan kata-kata mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah. Menurut Satocid kekerasan
4
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika,2008), hlm. 49-50. 5 P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan Dan Norma-Norma Kepatutan, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 108.
83
adalah setiap perbuatan yang terdiri atas digunakanya kekuatan badan yang tidak ringan atau berat.6 Walaupun didalam rumusanya Pasal 285 KUHP tidak mensyaratkan adanya unsur “kesengajaan” akan tetapi dicantumkan unsur “memaksa” maka tindak pidana perkosaan seperti yang dicantumkan dalam pasal itu harus dilakukan dengan “sengaja”. Karena seperti yang telah diketahui dalam pasal itu harus dilakukan dengan sengaja maka dengan sendirinya kesengajaan itu harus dibuktikan oleh penuntut umum atau hakim di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku bahwa telah didakwa melanggar larangan yang diatur dalam KUHP.7 Unsur “kesengajaan” itu sebenarnya ada dalam kasus yang sudah diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang: No. 425/Pid.B/2010/PN. Semarang dengan terdakwa Aryono bin Parto Dikromo telah melakukan persetubuhan dengan anak di bawah umur yaitu Nova Susan Nurwanti umur 10 tahun. Terdakwa dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp 60.000.000,- karena melanggar Pasal 81 Ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP tantang perbuatan berlanjut. Alasan hakim dalam memutus perkara tersebut adalah karena tidak terbuktinya unsur-unsur yang ada dalam dakwaan pertama Primair tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primair pertama tersebut. Unsur yang tidak terpenuhi itu adalah “dengan sengaja melakukan 6 7
Adam Chazawi, Op, Cit, hlm. 64. P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm. 109.
84
kekerasan atau ancaman kekerasan”.8 Selanjutnya hakim mempertimbangkan dakwaan pertama Subsidair yang memuat unsur sebagai berikut:9 1. Setiap orang 2. Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak 3. Melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain 4. Merupakan suatu perbuatan berlanjut Dalam dakwaan pertama Primair maupun subsidair didalamnya terdapat unsur sengaja melakukan pemaksaan untuk bersetubuh oleh pelaku kejahatan dalam unsur “melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain” unsur pemaksaan itu, ketika pelaku menyuruh korban membelikan cabai Rp 1.000,- kemudian terdakwa menyuruhnya masuk ke kamar namun korban “menolak”, selanjutnya korban “ditarik” tanganya langsung dibawa kekamar, setelah dikamar dijatuhkan ditempat tidur dan celananya ditarik kebawah sehingga terbuka, korban berusaha “melawan” dan “menangis” namun karena pintu tertutup suara tangisanya tidak terdengar keluar. Pada waktu itu pelaku mengenakan celana dalam biru, dan korban “ditindih” dibawah akhirnya kemaluan pelaku yang sudah tegang digesek gesekan dikemaluan korban terus dimasukan dikemaluan korban.10
8
Isi Putusan Nomor: 425 /pid.B/2010/PN Semarang, hlm. 25. Ibid, hlm. 26. 10 Ibid, hlm. 27. 9
85
Dalam kronologi kasus tersebut sangat jelas terlihat bahwa didalamnya termuat adanya unsur paksaan dari pelaku, yaitu “ketika korban menolak, korban ditarik, korban melawan, dan korban ditindih”. Jadi bisa dikatakan perbuatan pelaku tersebut sudah memenuhi unsur dakwaan pertama primair yang didalamnya memuat unsur seperti yang dimaksud dalam pasal 285 KUHP. Yang pertama, ketika korban “menolak, melawan” dan “ditarik, ditindih, apabila merujuk pada The Encyclopedia American Internasional Edition, volume 23, yang dikutip oleh Topo Santoso, dikatakan bahwa: “Perkosaan (rape) dalam hukum adalah suatu perbuatan seksual yang bertentangan dengan hukum dimana terjadi persetubuhan tanpa adanya persetujuan dari korban.” Pengaturan dari unsur-unsurnya dan hukuman bagi perbuatan tersebut diatur dalam peraturan dan hukum yang berbeda-beda dari tiap-tiap Negara. Tetapi inti dari perbuatan tersebut adalah tidak adanya persetujuan atau penolakan dari si korban.11 Back’s Law Dictionary, merumuskan perkosaan atau rape sebagai berikut: “Hubungan seksual yang melawan hukum/tidak sah dengan seorang perempuan tanpa persetujuannya. Persetubuhan secara melawan hukum/tidak sah terhadap seorang perempuan oleh seorang laki-laki dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendaknya. Tindak persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika perlawanan perempuan tersebut diyatasi dengan kekuatan dan ketakutan, atau di bawah keadaan penghalang.” 11
Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND. HILL-CO,1997), hlm. 16.
86
Dalam kamus tersebut dijelaskan bahwa: seorang laki-laki yang melakukan “sexual intercourse” dengan seorang perempuan yang bukan istrinya dinyatakan bersalah jika: 1. Dia memaksa perempuan itu untuk tunduk/menyerah dengan paksa atau dengan ancaman akan segera dibunuh, dilukai berat, disakiti atau diculik, akan dibebankan pada orang lain 2. Dia telah menghalangi kekuatan perempuan itu untuk menilai atau mengontrol
perbuatanya
dengan
memberikan
obat-obatan,
tanpa
pengetahuanya, racun atau bahan-bahan lain dengan tujuan untuk mencegah perlawananya 3. Perempuan itu dalam keadaan tidak sadar 4. Perempuan itu dibawah usia 10 tahun12 Hal ini dapat dipahami dengan analogi sebagai berikut: “B seorang remaja putri, dengan tiba-tiba digumuli seorang laki-laki bernama P sehingga tubuh B dapat dirobohkan. Antara B dan P terjadi adu tenaga. Karena B tenaganya kalah dengan maka P dapat menyetubuhinya. Pada contoh tersebut, B tenaganya kalah sehingga tak berdaya. Dengan demikian, lebih tepat menafsirkan “memaksa” sebagai suatu perbuatan yang demikian rupa sehingga tak berdaya untuk menghindarinya.13
12 13
Topo Santoso, Ibid, hlm. 17. Leden Marpaung, Op, Cit, hlm. 52.
87
Adapun tanda-tanda atau bukti yang dapat menguatkan bahwa telah terjadi perkosaan antara lain: robeknya selaput dara atau hymen dalam hal wanitanya sebelum diperkosa masih dalam keadaan perawan bentuk robeknya selaput dara (hymen) akan berbeda antara hubungan kelamin yang dilakukan atas dasar suka sama suka dengan hubungan kelamin yang dilakukan dengan paksa, umunya bentuk robekan hymen itu tidak beraturan bila hubungan dilakukan secara paksa dan lebih tidak beraturan bila korban gigih melakukan pembelaan atau perlawanan.14 Hal ini dikuatkan dengan adanya Visum ET Repertum No.16/VER/PPKPA/II/2010/Dokpol tanggal 07 Pebruari 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh dokter Nanung Budi P, yang bekerja pada rumah sakit Bayangkara Semarang. Akibat perbuatan pelaku, korban merasakan sakit pada alat kelaminya. Selanjutnya dalam perkara nomor: 425/PID.B/2010/PN. Semarang, juga termuat adanya unsur yang dimaksud dalam Pasal 287 KUHP yaitu bersetubuh dengan wanita yang umurnya belum mencapai 15 tahun maka seharusnya
hakim juga mempertimbangkan unsur-unsur yang ada dalam Pasal 287 KUHP tersebut. Mengenai persetubuhan terhadap anak dibawah umur apabila mengacu pada kepustakaan hukum pidana asing maka akan ditemukan jenis perkosaan
14
Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hlm. 113.
88
“forcible rape” dan “statutory rape”,15 aturan yang mirip juga dapat ditemukan pada KUHP Austria Pasal 127.16 akan tetapi dalam hukum pidana Indonesia “Statutory rape” tadi tidak dikualifikasikan sebagai perkosaan (tapi dalam rancangan KUHP Nasional sudah dikualifikasikan sebagai perkosaan juga. Menurut Topo Santoso, pengkualifikasian “statutory rape” kedalam tindak pidana perkosaan akan lebih melindungi wanita remaja dari kejahatan seksual. Lagi pula persetujuan yang diberikan wanita mungkin disebabkan ketidaktahuan, kepolosan atau karena bujukan dan sebagainya. Saat ini sering kita baca anak-anak menjadi korban perbuatan seksual baik lewat ancaman maupun bujukan, bahkan anak-anak laki-laki pun juga menjadi korban perbuatan sodomi (homoseksual). Seorang wanita dewasa dapat setuju untuk bersetubuh, yang berarti bahwa penolakanya untuk melakukan hal tersebut menjadi unsur kunci didalam kasus perkosaan biasa. Sebaliknya seorang wanita dibawah usia, dalam banyak hukum pidana dianggap tidak dapat memberikan persetujuan (secara hukum) untuk bersetubuh. Istilah “statutory rape” merupakan istilah yang paling umum untuk kejahatan semacam ini. Dengan perkataan lain, seorang anak wanita (a
15
Forcible Rape adalah segala upaya atau serangan untuk memperkosa perempuan dibawah umur secara paksa dan melawan kehendaknya. abcnews.go.com/blogs/politics/2011/12/fbi-tochange-definition-of-forcible-rape.html. Ditulis oleh: Virginia, Diakses pada tanggal 10 Mei 2012. Sedangkan Statutory Rape adalah hubungan seksual dengan seorang (gadis atau anak laki-laki) yang belum mencapai usia dewasa (bahkan berpartisipasi rela). www.artikata.com/arti-175512statutory+rape.html. diakses Pada Tanggal 10 Mei 2012. 16 KUHP Austria pasal 127 dengan rumusan”dalam keadaan tidak dapat membela diri atau tidak sadar, atau yang belum mencapai umur 14 tahun, juga dianggap sebagai perkosaan”. Topo Santoso, Lok, Cit.
89
female juvenile) dapat secara pribadi setuju untuk berhubungan sex, tetapi hukum tidak mengakui kemampuan untuk “setuju” oleh karena itu, seorang pria yang bersetubuh denganya dianggap “tanpa persetujuan si wanita” 17 Dalam hukum Islam sendiri perkosaan dikenal dengan konsep (ikrah) persetubuhan karena adanya paksaan dari pelaku baik itu laki-laki maupun perempuan umumnya dikategorikan dalam tindak pidana zina dan tergolong dalam jarimah hudud yang hukumanya bagi pelaku zina mukhson adalah rajam dan bagi pelaku zina ghairu mukhson adalah 100 kali dera dan diasingkan atau diusir keluar daerah. Seperti yang sudah diterangkan dalam al-Qur’an maupun hadits, dalam Q.S an-Nur ayat 2, Allah SWT berfirman:
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. Penafsiran Ayat: Bahwa Islam memerintahkan adanya kebersihan tentang hubungan sex, bagi laki-laki dan perempuan, pada setiap waktu sebelum perkawinan, selama dalam perkawinan maupun sesudah putusnya hubungan perkawinan. Mereka 17
Ibid, hlm. 21.
90
yang melakukan perbuatan terlarang itu dikeluarkan dari lingkungan perkawinan laki-laki dan perempuan terhormat.18 Sedangkan dalam Kitab Tafsir Jalalain yang menjelaskan asbabun nuzul ayat diatas bahwa ayat ini diturunkan tatkala orang-orang miskin dikalangan sahabat Muhajirin berniat mengawini para pelacur orang musrik, karena mereka orang kaya. Kaum muhajirin menyangka bahwa kekayaan yang dimiliknya itu akan dapat menanggun nafkah mereka. Karena itu dikatakan bahwa pengahraman ini khusus ditujukan kepada para sahabat Muhajirin yang miskin tadi.19 Dan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh HR Muslim, adalah sebagai berikut:
ﺧﺬوا ﻋﻨﻰ ﻗﺪ ﺟﻌﻞ ﷲ ﻟﮭﻦ: م. ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ص:ﻋﻦ ﻋﺒﺎ دة ﺑﻦ اﻟﺼﺎﻣﺖ ﻗﺎل اﻟﺒﻜﺮ ﺑﺎﻟﺒﻜﺮ ﺟﻠﺪ ﻣﺎﺋﺔ وﻧﻔﻰ ﺳﻨﺔ واﻟﺜﯿﺐ ﺑﺎﻟﺜﯿﺐ ﺟﻠﺪﻣﺎﺋﺔ واﻟﺮﺟﻢ )رواه.ﺳﺒﯿﻼ (ﻣﺴﻠﻢ Artinya: “dari Ubadah bin Ash-Shamid ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda:“Ambilah dari diriku, ambilah dari diriku, sesunggunya Allah memberikan jalan keluar ( hukuman bagi mereka ( pezina ), jejaka dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun, sedangkan duda dan janda hukumanya dera seratus kali dan rajam.” Ayat al-Qur’an dan hadits diatas mengindikasikan bahwa perzinaan harus dihilangkan dimuka bumi dan bagi seseorang yang melanggarnya sudah disiapkan oleh Syara’ yaitu hukuman yang sangat berat. 18
Abdul Yusuf Ali, AlQur’an Dan Terjemahanya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm.
884. 19
Imam Jalaludin Almahali dan Imam Jalaludi Asuyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm. 1452.
91
Menurut Dr. Satria Efendi M. bahwa persoalan yang tampak dari kejahatan perkosaan bukan sekedar zina saja, namun juga mengadung unsur pemaksaan dari pelaku terhadap korbanya sementara zina dapat dilakukan suka sama suka. Menarik untuk dicatat dalam bahasa Arab pun, istilah bagi pemerkosaan bukanlah zina, tetapi li-hurmat an-nisa (perampasan kehormatan wanita). Dan ini akan berimplikasi bukan hanya pada cara pembuktian, tetapi juga pemberian hukuman bagi pelaku perkosaan.20 Mengenai kejahatan perkosaan itu sendiri menurut Abdul Salam Arief bahwa hukum Islam mengkategorikan perkosaan sebagai zina yang dipaksakan (al-wath bi al-ikrah) yang pelakunya bisa dikenakan hukuman yang sangat berat berat yaitu had21 dan para ulama’ telah sepakat tidak ada hukuman had bagi yang dipaksa.22 Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa paksaan tersebut bisa berupa paksaan yang nyata (al-ikrah al-mulji), ancaman akan dibunuh, atau kondisi yang membahayakan dirinya.23 Ikrah ini didefinisikan oleh sebagian fuqoha’ adalah sebagai berikut:
.ﺑﺎﻧﮫ ﻓﻌﻞ ﯾﻔﻌﻠﮫ اﻻ ﻧﺴﺎن ﺑﻐﯿﺮه ﻓﯿﺰول رﺿﺎه اوﯾﻔﺴﺪا ﺧﺘﯿﺎره Artinya: “Paksaan ialah perbuatan yang dilakukan manusia karena (paksaan) orang lain sehingga hilang keridloanya serta merusak pilihanya” 24 20
Luthfi Asyaukanie, Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqh Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, Cet.I), hlm. 41-42. 21 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 136. 22 Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy bil Qonunil Wad’iy, (PT. Kharisma Ilmu, Juz. IV.), hlm. 164. 23 Jaih Mubarok, Enceng Arif Faisal, Kaidah Fiqh Jinayah, Asas-Asas hukum Pidana Islam (Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2004), hlm. 94. 24 Juhaya S. Praja dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1982), hlm. 105.
92
Untuk memperjelas definisi Ikrah diatas bisa dilihat menurut pendapat para ulama’ dalam kaidah fiqh jinayah berkenaan dengan menghilangkan kemadharatan yaitu “ اﻟﻀﺮورات اﻟﻤﺨﻈﻮراتkemadharatan membolehkan seseorang melakukan hal-hal yang terlarang” kemadharatan atau keadaan darurat adalah kekhawatiran akan adanya kerusakan jiwa atau sebagian anggota badan baik secara keyakinan atau dugaan. Seperti kemadharatan yang ditimbulkan karena adanya paksaan dari pelaku perkosaan yang dapat menghilangkan kerelaan dan merusak pilihan dari korban.25 Kemudian mengenai sifat paksaan dalam tindak pidana, Islam sudah mengaturnya dalam kaidah Fiqh tentang menghilangkan kemadharatan , yaitu: Yang pertama, “ اﻻ ﻛﺮا ه ﯾﻘﺘﻀﻰ ﺷﯿﺎء ﻣﻦ اﻟﻌﺪابPaksaan menuntut adanya paksaan” Maksudnya bahwa suatu paksaan itu harus disertai dengan tindakantindakan nyata seperti pemukulan, cekikan atau tendangan. Sedangkan menurut ulama’ Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah, paksaan tidak menuntut adanya perbuatan nyata, melainkan sekedar ancaman. Yang kedua, “ اﻟﻮﻋﯿﺪ ﺑﻤﻔﺮاد اﻛﺮاهAncaman semata-mata merupakan paksaan”, kaidah ini mengandung bahwa ancaman semata sudah merupakan paksaan, ia tidak memerlukan perbuatan nyata seperti pemukulan atau cekikan. Hal ini disebabkan yang dimaksud paksaan tersebut adalah untuk menimbulkan rasa takut kepada orang yang dipaksa.26 Kemudian mengenai hukuman had
25 26
Ibid, hlm, 86. Ibid, hlm, 88.
93
bagi pelaku yang memaksa zina sama halnya dengan ketentuan laki-laki dewasa yang menyetubuhi perempuan yang masih kecil (belum dewasa). 27 Jadi, menurut penulis bahwa vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 60.000.000,- yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa pelaku perkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No. 425/PID.B/2010/PN. Semarang, menurut penulis masih kurang dapat melindungi kepentingan korban mengingat korban yang masih dibawah umur dan akibat yang ditimbulkan dari kejahatan itu, korban akan mengalami penderitaan yang lebih berat lagi sebab kekerasan yang dialaminya akan menjadi trauma yang membayangi perjalanan hidupnya, kalau bertemu dengan kaum laki-laki, \mereka tidak hanya membencinya, tapi juga takut menjalani relasi denganya.28 Apabila hal ini ditinjau dari segi hukum Islam, jelas bahwa pelaku diancam dengan hukuman yang sangat berat yaitu had dan korbanya tidak dijatuhi hukuman sama sekali. Menurut penulis vonis yang dijatuhkan kepada pelaku belumlah sebanding dengan penderitaan yang dialami korban, seharusnya perlu juga dipertimbangkan mengenai kepentingan dan hak-hak korban, lebih-lebih dapat mengupayakan adanya ganti rugi berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi para korban perkosaan yang mengalami penderitaan secara fisik maupun psikologis. Upaya seperti itu akan lebih dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak korban maupun dapat memberikan citra baik untuk penegakan hukum di Indonesia. 27 28
Ibid, hlm, 128. Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 79.
94
B. Analisis Ganti Rugi Terhadap Korban Pemerkosaan 1. Analisis terhadap Amar Putusan PN Semarang Kita semua sudah mengetahui bahwa asas persamaan didepan hukum (equality before the law) merupakan salah satu ciri Negara hukum. Demikian pula terhadap korban yang harus mendapat pelayanan hukum berupa perlindungan hukum bukan hanya tersangka atau terdakwa saja yang dilindungi hak-haknya, tetapi korban juga harus dilindungi. Kiranya wajar jika ada keseimbangan
(balance)
perlindungan
tersangka/terdakwa
dengan
perlindungan korban. 29 Menurut Aliran Klasik (Deklasieke Schol) bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa negara demi memperjuangkan hukum pidana yang lebih adil, obyektif dengan penjatuhan pidana yang lebih menghormati individu. Sedangkan menurut aliran modern (kriminologis) bahwa tujuan hukum pidana adalah memperkembangkan penyelidikan terhadap kejahatan dan penjahat, asal usul, cara pencegahan, hukum pidana yang bermanfaat agar masyarakat terlindungi dari kejahatan.30 Dalam
amar
Putusan
Pengadilan
Negeri
Semarang:
No.
425/Pid.B/2010/PN. Smg. dengan terdakwa Aryono bin Parto Dikromo telah melakukan persetubuhan dengan anak di bawah umur yaitu Nova Susan Nurwanti umur 10 tahun. Setelah sidang di pengadilan Majelis memutuskan 29
Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011), hlm. 8. 30 Bambang Waluyo, Narapidana dan Proses Pemasyarakatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1990), hlm. 19.
95
terdakwa dikenakan dengan dasar hukum Subsideir: Pasal 81 ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 200231 Tentang Perlindungan Anak jo pasal 64 ayat (1) KUHP32 tentang perbuatan berlanjut. Dengan isi putusanya terdakwa dijatuhi hukuman 7 tujuh tahun penjara dan denda Rp 60.000.000,Dalam memutuskan perkara tersebut majelis menggunakan beberapa pertimbangan hukum, yaitu: 1) Hal-hal yang memberatkan a) Terdakwa tidak mengakui terus terang perbuatanya b) Perbuatan terdakwa mengakibatkan korban menderita trauma c) Perbuatan terdakwa merusak masa depan korban yang masih anak 2) Hal-hal yang meringankan a) Terdakwa belum pernah dihukum Sebelum menganalisis putusan tersebut penulis akan menjabarkan terlebih dahulu tentang alat bukti yang digunakan majelis hakim dalam
31
Bunyi Pasal 81 Ayat 1 dan 2: (1) Setiap yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,-(enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain. Indonesia, Undang-Undang Perlindangan Anak (UU RI No.23 Th. 2002), (Jakarata: Sinar Grafika, 2011, Cet. V), hlm. 29. 32 Bunyi Pasal 64 Ayat (1) KUHP: (1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masingmasing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubunganya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda maka yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 26.
96
memutus perkara terebut. Alat bukti yang digunakan oleh hakim dalam membuktikan perkara tersebut antara lain: 1) Keterangan saksi itu terdiri dari keterangan saksi yang meringankan dan yang memberatkan, antara lain: a) Keterangan saksi yang meringankan itu antara lain: Pujiwawanti, Nova Susan Norwanti Binti Susanto, Juminten Binti Sali, Nining Surati Binti Sukma dan Sumadi Bin Ngadiman. b) Keterangan saksi yang memberatkan antara lain: Soenarto, Mat Takul Anam, Umi Chotimah, Wiyono. 2) Barang bukti yang berupa: 1 (satu) buah sprei warna merah, 1 (satu) buah celana pendek dan celana dalam terdakwa, 1 (satu) buah celana dalam korban warna putih. 3) Keterangan terdakwa yang telah menyatakan bahwa telah melakukan perbuatan perkosaan dengan Nova Susan Norwanti Binti Susanto.33 Dari alat-alat bukti yang digunakan majelis diatas sudah memenuhi ketentuan Pasal 183 KUHAP yang bunyinya: 34 “Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya. dari alat-alat bukti dan pertimbangan hukum diatas terbukti bahwa terdakwa memang benar-benar bersalah dan melanggar hukum.
33 34
Isi Putusan Pengadilan Semarang Perkara Nomor: 425/Pid.B/2010/PN. Semarang. Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 271.
97
Seperti yang diterangkan dalam Pasal 81 Ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa seorang yang melakukan pemaksaan dan ancaman kekerasan untuk melakukan persetubuhan pidananya 15 (lima belas) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan (paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Dari pasal ini bisa diuraikan sebagai berikut: 1) Adanya unsur ancaman dan kekerasan untuk melakukan persetubuhan, ini berarti unsur perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 81 UU Perlindungan Anak sesuai dengan unsur perbuatan yang ada dalam Pasal 285 KUHP yaitu kejahatan perkosaan yang diancam dengan pidana 12 tahun penjara. 2) Dipidana 15 (tahun) dan denda Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah), ini berarti hukuman yang di terapkan adalah pidana pokok yang mengacu pada Pasal 64 ayat (1) KUHP35 tentang perbuatan berlanjut. Akan tetapi apabila dicermati dari unsur-unsur yang ada dalam UndangUndang Pelindungan Anak Pasal 81 Ayat (2) sebenarnya sama dengan unsur yang ada dalam Pasal 285 KUHP, yaitu disebutkanya unsur ancaman dan kekerasan untuk melakukan persetubuhan, namun Pasal 285 KUHP tidak menyebutkan pidana pokok berupa denda, jadi Pasal 81 Ayat (2) UU RI tentang Perlindungan Anak masih lebih baik dari pada pasal 285 KUHP.
35
Pasal 64 ayat 1 KUHP “ Jika anatara beberapa perbuatan , meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubunganya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda beda yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. Ibid. hlm. 22.
98
Walaupun Pasal 81 Ayat (2) tentang Perlindungan Anak telah mencantumkan pidana pokok berupa denda akan tetapi belum sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap hak-hak korban perkosaan apalagi yang menjadi korban adalah anak dibawah umur dan uang dari pembayaran denda itu masuk kas Negara jadi yang diuntungkan dari penjatuhan pidana denda ini adalah negara bukan korban.36 Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur hak-hak asasi manusia pada pasal 28 d ayat 1, berbunyi: 37 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Dan pasal 28 g ayat (1), berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, maratabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Dari kedua Pasal diatas bisa dipahami bahwa Negara menjamin atas perlindungan bagi setiap warga negaranya berupa perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta bendanya. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga dijelaskan bahwa perlindungan didefinisikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga social, 36
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 68. 37 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, Op, Cit, hlm. 34.
99
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Sedangkan perlindungan yang tertuang dalam PP No.2 Tahun 2002 adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi , dari ancaman, gangguan teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan disidang pengadilan.38 Apabila merujuk pada kedua undangundang diatas maka sangat pantas bila terdakwa divonis hukuman yang lebih berat dari yang sudah diputus oleh majelis hakim. Untuk menjawab permasalahan hukuman bagi pelaku diatas yang diterapkan oleh majelis hakim dalam Pengadilan Negeri Semarang: No. 425/Pid.B/2010/PN.Semarang maka perlu juga diterapkan teori hukuman (straftheorien) dari aliran pemikiran kriminologis (aliran modern) yang terbagi dalam 3 golongan besar, adalah sebagai berikutt: 1) Teori absolut atau teori pembalasan Teori ini menjelaskan bahwa didalam kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang hendak dicapai, hal ini merupakan tuntutan keadilan. Jadi, menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-semata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. 38
Ditulis oleh Prakoso, www.prasko.com/2011/02/pengertian-perlindungan-hukum.html, diakses Pada Tanggal 03 Mei 2012.
100
2) Teori relative atau teori tujuan Menurut teori ini diterangkan bahwa suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu tindak pidana. Untuk itu tidaklah cukup dengan adanya suatu kejahatan melainkan harus dipersoalkan pula manfaat pidana bagi masyarakat maupun bagi terpidana itu. 3) Teori gabungan Aliran ini lahir sebagai jalan keluar dari teori absolut dan teori relatif yang dapat memberikan hasil yang memuaskan. Aliran ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang diterapkan secara terpadu.39 Dari tiga golongan teori diatas, bisa disimpulkan bahwa hukum pidana Indonesia bertujuan untuk melindungi korban dari suatu tindak kejahatan seperti kejahatan perkosaan, terutama dalam bentuk pemidanaan terhadap pihak yang dinyatakan bersalah sebagai pelaku tindak pidana. Penghukuman yang dijatuhkan kepada pelaku, merupakan salah satu hak yang dituntut oleh pihak korban.40 Apabila kita menganut pada teori gabungan yang dianut oleh aliran pemikiran modern (kriminologis) ini maka tuntutan pemberatan hukuman seperti hukuman mati terhadap pemerkosa dan penanganan secara manusiawi terhadap korban perkosaan, terutama anak-anak dibawah umur wajib mendapatkan prioritas baik secara yuridis maupun sosiologis seperti pemberian (kompensasi, ganti rugi dan rehabilitasi dan perlakuan sosial 39 40
Niniek Suparni, Op, Cit, hlm. 16-19. Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 154.
101
terhadap harkat kewanitaan) merupakan hukuman yang paling tepat untuk terdakwa pelaku kejahatan perkosaan ini.41 Terkait dengan permasalahan ganti rugi bagi korban perkosaan tampaknya bukan menjadi hal yang baru lagi, di beberapa Negara seperti Inggris (1964), Belanda, Selandia Baru (1964), dan Negara-negara lainya, korban bisa mendapat ganti rugi. Di Australia dimulai dari Negara bagian News South Wales, dan diikuti oleh Negara bagian Queensland, South Australia
dan
Western
Australia
(1970)
melalui
Criminal
Injuries
Compentation, dari Negara bagian Tasmania (1970) korban telah mendapat restitusi dan kompensasi. Begitu pula di Canada melalui Compensation Injuries (1967) dan di Jepang lewat Criminal Indemnity. Bahkan dibeberapa Negara bagian Amerika sudah dipakai sebagai pertimbangan penjatuhan pidana bagi pelaku. Permasalahan yang menjadi pertanyaan bagi setiap pencari keadilan adalah bagaimanakah jika jaksa dalam kasus tersebut tidak mengajukan banding, apakah hak korban dalam situasi seperti ini bisa mengajukan banding. Menurut topo santoso “perlu diperjuangkan perlindungan terhadap korban perkosaan, baik dalam pertimbangan penjatuhan pidana, ganti rugi, bahkan perlu suatu perlindungan khusus, misalnya perpindahan sekolah bagi perempuan dibawah umur, tempat tinggal, atau pekerjaan baru untuk “proses penyembuhan” kehidupanya. Meskipun tampaknya untuk situasi Indonesia
41
Ibid, hlm. 19.
102
memang masih agak berat untuk merealisasikannya, tapi hal itu menjadi kewajiban pemerintah”.42 Dalam hukum pidana Islam, hukuman tidak hanya berfungsi sebagai pembalasan, tetapi juga memiliki fungsi pencegahan (umum maupun khusus) dan juga perbaikan. Dan dalam kenyataanya pula sangat melindungi masyarakat dari tindakan jahat masyarakat seperti pelanggaran hukum (fungsi perlindungan). Didalam hukum pidana Islam (Islamic penal system) dikenal tiga jenis hukuman (punishment), yaitu had, qishas, ta’zir. Karena dalam skripsi ini membahas tentang perkosaan yang termasuk dalam tindak pidana zina yang hukumanya adalah had maka tujuan dari hukuman ini adalah pembalasan, pencegahan dan perbaikan. Pertama, tujuan pembalasan yaitu kerasnya hukuman, dan larangan setiap bentuk mediasi berkenaan dengan hal ini, dengan perkataan lain, wajib dijalankan jika kejahatan ini terbukti. Menurut Muhammad Qutb, kerasnya hukuman itu didasarkan pada pertimbangan psikologis, dengan maksud untuk memerangi kecenderungan para penjahat dalam melanggar hukum, Islam menentukan hukuman keras yang menggambarkan perhatian terhadap akibatakibat kejahatan. Kedua, dikenalnya tujuan pencegahan dalam system hukum pidana Islam adalah lebih dalam dan lebih tegas disbanding system-sistem lain. Disini 42
Topo Santoso, Op, Cit, hlm. 43.
103
pencegahan dikenal sebagai justifikasi utama untuk penghukuman khususnya untuk hukuman had, Mawardi mendefinisikan hudud sebagai “hukumanhukuman pencegahan yang ditetapkan tuhan untuk mencegah manusia dari melakukan apa yang Ia larang dan dari melalaikan apa yang Ia perintahkan”. Ketiga, tujuan perbaikan, menurut Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa hukuman had ialah bernilai baik dengan perbaikan (reformative), pembalasan (retributive) maupun pencegahan (deference).43 Menurut A. Djazuli dalam fiqh Jinayat bahwa hukuman itu diterapkan untuk memperbaiki individu, menjaga keseimbangan masyarakat dan tertib sosial, jadi hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan tidak sematamata bertujuan membuat jera, membalas dan mendidik pelaku agar menyadari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya serta mau bertaubat, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat, khususnya korban kejahatan, yang merupakan anggota masyarakat dan hukuman yang dijatuhkan bukan hanya untuk kepentingan prifat namun juga untuk kepentingan publik. Berkaitan dengan masalah perkosaan, jenis hukuman yang bisa dikenakan dan dieksekusi kepada pelaku adalah dapat berpijak pada had yang dijatuhkan semasa Rosulullah (dalam kasus perkosaan terhadap wanita yang akan menjalankan sholat malam), yakni merajam pelakunya. Memang dalam kasus itu tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian rajam yang dilakukan kepada pelaku perkosaan, namun tetap dapat
43
Ibid, hlm. 51-52.
104
di interprestasikan bahwa rajam yang diterapkan itu tidak berbeda dengan jenis rajam yang diterapkan dalam kasus perzinaan mukhson, meskipun demikian jika dikaitkan dengan jenis kasusnya yang termasuk perzinaan dengan paksaan, maka hukuman rajam (melempar dengan batu kepada pelakunya sampai meninggal dunia) cukup pantas diterapkan. Model eksekusi yang memiliki bobot yang cukup tinggi dalam dalam kaitanya dengan mencegah maraknya kejahatan itu diterapkan secara bermacam-macam oleh kalangan penegak hukum seperti halnya had yang berkaitan dengan kejahatan perzinaan misalnya soal pengasingan diganti dengan pemenjaraan, sedangkan perajaman difokuskan pada hukuman mati dengan cara ditembak, disuntik, diestrum pakai listrik, dipenggal kepalanya maupun yang lainya. Sebagai contoh, kerajaan Saudi Arabia, pada bulan Nopember 1977 melaksanakan pidana mati atas pelaku zina, yaitu terhadap Putri Misha dan Muslih Al-Shaer, Terhadap putri Misha ditembakkan ketubuhnya tiga kali tembakan dengan pistol dari jarak dekat, dan terhadap Muslih dilakukan potong leher dengan pedang oleh seorang algojo dalam posisi berjongkok dengan kepala tegak agak kedepan. Apabila ditinjau dari kepentinganya kepada korban kejahatan, seperti korban kejahatan perkosaan, maka model hukuman mati seperti cara ditembak, diestrum, dan dipancung, rasanya sudah memenuhi kepentingan korban. Pihak korban sudah dipenuhi dan dijembatani hak-hak asasinya secara yuridis, yakni
105
menghukum pelaku yang telah menjatuhkan dan melecehkan martabat kewanitaanya.44 Dalam hal hukuman, Satria Effendi, berpendapat bahwa hukuman perkosaan pun berbeda dengan perzinaan yang dilakukan suka sama suka. Jika sanksi zina adalah had (dera atau rajam), untuk perkosaan sanksinya adalah had disertai hukuman tambahan (ta’zir) yang ditentukan majelis hakim dengan cara pembuktian dan sanksi diyatas.45 Menurut penulis vonis yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Semarang
dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Semarang:
No.
425/Pid.B/2010/PN. Smg. seharusnya hukuman pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa pelaku perkosaan lebih berat lagi seperti hukuman had dalam hukum Islam dan hukuman pidana pokok berupa denda bisa diganti dengan hukuman tambahan berupa ganti kerugian karena hukuman denda berupa uang kebanyakan masuk pada Negara bukan kepada korban. Apabila dibenturkan dengan konsep diyat dalam hukum Islam, hal ini jelas sangat bertentangan karena diyat/denda dalam hukum Islam diberikan oleh pelaku kepada korban bukan kepada Negara, jadi dalam Perkara: No. 425/PID.B/2010/PN Smg. korban perkosaan belum mendapatkan perhatian dan perlindungan oleh penegak hukum terutama menyangkut hak-hak dan kepentingan korban.
44 45
Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 146. Luthfi Asyaukanie, Op, Cit, hlm. 41-42.
106
2. Implikasi Ganti Rugi Dalam rangka konsep pengaturan terhadap korban kejahatan khususnya korban perkosaan, maka pertama-tama yang diperhatikan adalah kerugian yang diderita si korban, ternyata essensi kerugian tersebut tidak hanya bersifat material atau penderitaan fisik saja melainkan juga yang bersifat psikologis, hal ini dalam bentuk trauma kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat dan ketertiban umum. Sindrom tersebut dapat berupa kegelisahan, rasa curiga, sinisme, depresi, kesepian, dan pelbagai perilaku penghindaran yang lain.46 Apa lagi korban dari kejahatan perkosaan dalam hal ini yang menjadi korban adalah anak yang masih dibawah umur, umunya mereka akan mengalami penderitaan yang lebih berat lagi, sebab kekerasan yang dialaminya akan menjadi trauma yang membayangi perjalanan hidupnya, kalau bertemu dengan kaum laki-laki, mereka tidak hanya membencinya, tapi juga takut menjalin relasi denganya.47 Menurut Arif Gosita bahwa anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, Organisasi swasta maupun pemerintah) baik secara langsung maupun tidak langsung.48 Upaya ganti rugi kepada mereka yang menjadi korban perkosaan merupakan suatu langkah untuk melindungi hak-hak bagi mereka wanita
46
Muladi, Dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1992), hlm. 79. 47 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 79. 48 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam System Peradilan Anak Di Indonesisa, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hlm. 2.
107
korban perkosaan karena perlindungan terhadap korban tindak pidana dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah dialami korban tindak pidana.49 Berkaitan dengan ganti rugi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan maka ada beberapa peraturan perundang-undangan yang bisa diterapkan berkenaan dengan hak-hak umum yang dimiliki oleh korban dan keluarganya apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa korban berhak untuk memperoleh ganti kerugian atas penederitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian itu dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainya, seperti Negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban kejahatan.50 Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan khususnya dalam proses peradilan, yaitu: 1. Compassion, respect and recognition; 2. Receive information and explanation about the progress of the case; 3. Provide information; 4. Providing proper assistance; 5. Protection of privacy and physical safety; 6. Restitution and compensation; 49
http://realitamasakini.wordpress.com. Rahmat Illahi Besri, Perlindungan Korban Perkosaan, diakses pada tanggal 5 Mei 2012. 50 Dikdik M. Arief Mansur, dan Elisatris Gultom, Op Cit, hlm. 54-55.
108
7. To access to the mechanism of justice system. Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai mulai dari bantuan keuangan hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan. Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain:51 1. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan) 2. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana 3. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang 4. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku 5. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya 6. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya penanggulangan kejahatan
51
Ibid, hlm. 54-55.
109
7. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi. Dari hak-hak korban diatas maka upaya memberikan perlindungan berupa ganti rugi kepada korban perkosaan menjadi sesuatu yang harus dilakukan apalagi jika melihat perlindungan yang diberikan oleh hukum dalam ketentuan Pasal 14 c ayat (1) KUHP telah memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan, pasal tersebut berbunyi: “Pada perintah yang tersebut dalam pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.” Menurut ketentuan pasal 14c ayat (1), majelis dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban.52 Kaitanya dengan upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan kepada korban kejahatan khususnya korban kejahatan perkosaan. Maka dalam rangka pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan tersebut, secara mendasar dikenal dengan dua model pengaturan yakni: (1) model hak-hak prosedural (The Procedural Rights Model) dan (2) model pelayanan (The services Model). Yang pertama, Model Prosedural (The Procedural Rights Model) ini penekanan diberikan pada kemungkinanya si korban untuk memainkan peranan 52
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1997), hlm. 184.
110
aktif didalam proses criminal atau didalam jalanya proses peradilan. Dalam hal ini si korban diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau untukmembantu jaksa atau hak untuk dihadirkan dan didengar disetiap tingakatan siding pengadilan dimana kepentinganya terkait didalamnya. 53 Dengan menggunakan model procedural ini perlindungan diberikan oleh undang-undang bertujuan agar korban lebih berperan aktif dalam proses pidana maka jalan yang bisa ditempuh menggunakan model ini adalah mengacu pada Pasal 98 KUHAP dan Undang-Undang N0 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) dalam pasal 77 diatur tentang kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus ganti rugi dan rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, Kemudian Pasal 98 KUHAP diatur tentang kemungkinan penggabungan perkara gugatan ganti dan ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan.54 Dalam hal ini korban bisa menuntut ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku,55 Pasal 98 KUHAP ini tidak saja memperhatikan hak dari pelaku tindak pidana, tetapi juga hak dari orang yang menderita kerugian “materiil” yang disebabkan dilakukanya suatu tidak pidana.56 Hal ini dikuatkan dalam konsep rancangan KUHP Baru tahun 1987/1988 dalam pasal 64 ayat 4 ke 4 konsep), yang antara 53
Muladi, dan Barda Nawawi Arif, Op, Cit, hlm. 79-80. Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 88. 55 Asmawi, M. Hanafi, Ganti Rugi Dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1992), hlm. 6. 56 Djoko Prakoso, Masalah Ganti Rugi Dalam KUHAP, (Jakarta: Bina Akasara, 1988), hlm. 109. 54
111
lain menyatakan pencantuman pemenuhan ganti kerugian sebagai pidana tambahan.57 Penggabungan perkara ganti rugi ini merupakan hal baru dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, KUHAP memberikan prosedur hukum bagi “korban” tindak pidana, untuk menggugat ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung,58tanpa menunggu putusan perkara pidananya terlebih dahulu. Selanjutnya mengenai syarat-syarat untuk melakukan penggabungan tersebut. diatur dalam pasal 98 ayat (2), yakni selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan, dalam hal penuntut umum tidak hadir maka pengertian tidak hadirnya penuntut umum dalam perkara pidana ini karena perkara tersebut diputus dengan acara pemeriksaan cepat. Adapun hukum acara untuk melakukan tuntutan ganti kerugian ini berlaku Hukum Acara Perdata, sebagaimana diatur dalam HIR (Pasal 101 KUHAP). Sebagaimana kesimpulan dari Pasal 98 diatas maka ketentuan tersebut mensyaratkan:
57
Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 89. Pidana Tambahan dalam rancangan undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 1991 ini terdiri dari: (1) pencabutan hak-hak tertentu, (2) perampasan barang-barang tertentu dan tagihan, (3) pembayaran ganti rugi, (4) pemenuhan kewajiban adat. Niniek Suparni, Op, Cit, hlm. 33. 58 M. Yahya Harahap, Op, Cit, hlm. 46.
112
a. Adanya permintaan dari yang dirugikan b. Benar-benar ada kerugian yang diakibatkan dari perbuatan/tindakan terdakwa c. Permintaan tuntutan ganti kerugian ini selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. Setelah syarat-syarat ini terpenuhi maka Pasal 99 KUHAP mewajibkan Pengadilan Negeri menimbang tentang kewenanganya untuk mengadili gugatan tersebut, yakni tentang kebenaran gugatan dan tentang hukum penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan, putusan mengenai ganti rugi dengan sendirinya akan memperoleh kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya memperoleh kekuatan hukum yang tetap pula. Kemudian dalam Pasal 100 KUHAP menjelaskan: (1) apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan pada tingkat banding. (2) apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.59 Dari keseluruhan aplikasi yang diberikan oleh hukum yaitu KUHAP menunjukan bahwa penggabungan gugatan tersebut pada perkara pidananya bertujuan agar gugatan itu dapat diperiksa dan diputus sekaligus dengan perkara pidananya, sehingga dengan demikian dalam prosedur untuk beracarapun tidak dilakukan sendiri akan tetapi dari prosedur yang diberikan
59
Djoko Prakoso, Op, Cit, hlm. 110-111.
113
oleh hukum dalam Pasal 98 KUHAP tersebut dalam praktiknya kurang efektif diterapkan,60 mengingat masih banyaknya kelemahan-kelemahan dalam ketentuan mengenai syarat-syarat yang di tetapkan, yakni tidak disebutkanya kerugian yang bersifat “immateriil” yang tidak dapat dimintakan lewat prosedur ini.61 Selanjutnya model prosedural diberikan berdasarkan ketentuan UndangUndang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebelum membahas bentuk perlindungan secara prosedural yang diberikan oleh undangundang PSK ini terlebih dahulu kita lihat dalam konvensi PBB, yakni Convention Against Transnasional Organized Crime, Assembly Resolution 55/25, annex I, entered into force on 29 September 2003 (Konfensi PBB melawan kejahatan transnasional terorganisasi, Resolusi Majelis Nomor 55/25, lampiran berlaku 29 September 2003). Dalam Pasal 24 antara lain disebutkan agar Negara anggota melakukan upaya-upaya pantas memberikan perlindungan yang efektif terhadap pembalasan atau intimidasi bagi saksi dan korban. Penjabaran HAM berkaitan dengan perlindungan korban dan saksi tertuang dalam beberapa undang-undang, salah satu undang-undang tersebut seperti yang ada dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, disebutkan bahwa perlindungan saksi dan korban berdasarkan pada62 penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa
60
Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, Op, Cit, hlm. 4. Djoko Prakoso, Op, Cit, hlm. 113. 62 Bambang Waluyo, Op, Cit, hlm. 36. 61
114
aman, keadilan, tidak diskriminatif, kepastian hukum.63 Berdasarkan UndangUndang PSK pasal 5 ini bahwa setiap saksi dan korban berhak: a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan sedang, atau telah diberikanya b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan c. Memberikan keterangan tanpa tekanan d. Mendapatkan penerjemah e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kaus g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan i. Mendapat identitas baru j. Mendapatkan kediaman baru k. Mendapatkan nasehat hukum l. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batasan waktu perlindungan berakhir. Hak-hak khusus saksi dan korban yang diberikan oleh undang-undang PSK dalam Pasal 5 diatas dilakukan diluar pengadilan dan dalam proses peradilan jika yang bersangkutan menjadi saksi. Mengenai Hak yang diberikan 63
KomnasPerempuan, Perlindungan
[email protected], 2009), hlm. 70.
Terhadap
Saksi
Dan
Korban,
(Jakarta:
115
dalam proses peradilan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok waktu yaitu: hak yang harus diberikan pada proses peradilan, hak selama proses peradilan dan hak selama berakhirnya proses peradilan.64 Pemberian hak-hak tersebut secara selektif dan prosedural diberikan melalui LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).65 Namun dalam Pasal 5 ini hak-hak yang dimaksudkan hanya pada kasus-kasus tertentu seperti: “tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, terorisme, dan tindak pidana yang mengakibatkan posisi korban dihadapkan pada situasi yang membahayakan jiwanya.66 Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 menegaskan bahwa tujuan perlindungan adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Jika asas tujuan perlindungan dilaksanakan secara baik, bukan saja korban dan saksi yang mendapat perlindungan tetapi lebih luas lagi tentu saja masyarakat, bangsa, dan negara terlindungi kemudian negara akan dianggap telah melaksanakan kewajibanya melindungi warganya dengan baik. Hal ini merupakan salah satu tujuan Negara yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: “…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
64
Komnas Perempuan, Ibid, hlm. 38. Bambang Waluyo, Op, Cit, hlm. 41. 66 Ibid, hlm. 41. 65
116
Bukan hanya itu saja, perlindungan di atas merupakan bagian politik hukum pidana yang selama ini terlihat lebih banyak memihak ke tersangka/terdakwa.67 Selanjutnya bentuk perlindungan yang ditandai dengan pemberian kompensasi bagi korban dalam kasus pelanggaran HAM berat bisa dilihat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, yaitu:68 1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: a) Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. b) Hak atas restitusi dan ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. 2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. Maksud
pemberian
ganti
rugi
dalam
konteks
Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 7 b adalah penggantian kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban sebagai salah satu bentuk pertanggung jawaban pelaku tindak pidana. Sementara Pasal 7a Negara hanya akan bertanggung jawab untuk memberikan kompensasi bagi korban dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tidak untuk kasus lainya.69 Dari ketentuan Pasal 7a diatas dapat disimpulkan bahwa yang berhak mengajukan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi adalah “seorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan kerugian ekonomi yang diakibatkan
67
Ibid, hlm. 38-39. Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia, No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 69 Komnas Perempuan, Op, Cit, hlm. 38. 68
117
oleh suatu tindak pidana”, yang dalam ketentuan ini dikhususkan pada korban pelanggaran HAM berat dan tindak pidana.70 Menurut Arif Gosita diterangkan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah maupun rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.71 Khusus untuk wanita korban perkosaan, derita yang dialaminya tidak dapat dibandingkan dengan korban perampokan, pencurian, atau penjambretan, korban semacam ini umumnya terbatas kehilangan harta benda, relative tidak menderita batin dan tekanan social berkepanjangan namun sebaliknya korban perkosaan, mereka kehilangan harga kehormatan, harga diri yang tidak mungkin bisa diganti, dibeli atau disembuhkan sekalipun mencincang pelaku hingga mati.72 Lebih-lebih korban perkosaan anak-anak dibawah umur, mereka akan mengalami penderitaan yang lebih berat lagi, sebab kekerasan yang dialaminya akan menjadi trauma yang membayangi perjalanan hidupnya, kalau bertemu dengan kaum laki-laki, mereka tidak hanya membencinya, tapi juga takut menjalin relasi denganya.73
70
Pasal 1 angka 2 jo Pasal 7 ayat (1) UU No.13 Tahun 2006. Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Persindo, 1983), hlm. 41. 72 Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset, 1997), hlm. 102. 73 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 79. 71
118
Sebagai contoh dari kasus perkosaan pelanggaran HAM berat yaitu pada kasus Adrei Chikatilo (57 tahun) yang dikenal dengan “Jagal Rostov” (Rostov Ripper) yaitu seorang yang melakukan perkosaan selama 52 kali dan diikuti dengan kejahatan pembunuhan selama 12 tahun di Selat Rusia, Ukraina dan Usbekistan Ia dijatuhi hukuman mati. Kemudian kasus pelanggaran HAM berat tersebut bisa dilihat dalam kasus komunitas etnis Albania Kosovo”dari kota ke kota dari desa ke desa, pasukan Serbia terus melancarkan pemburuan terhadap wanita muda untuk diperkosa. Pemerkosaan secara sitematis dan besar-besaran itu dilakukan ketika para serdadu Serbia itu melakukan penjarahan, pengosongan, dan pembakaran terhadap etnis Albania Kosovo, ribuan wanita berjuang matimatian untuk bisa meloloskan diri dari sergapan serdadu-serdadu gila itu. ”74 Terkait dengan tindak pidana perkosaan yang perlu juga diperhatikan adalah bahwa kejahatan perkosaan ini sudah termasuk dalam kategori pelanggaran HAM yang cukup serius karena kejahatan ini jelas-jelas merupakan bentuk perilaku primitive yang menonjolkan nafsu, dendam dan superioritas, yakni siapa yang kuat yang berhak mengorbankan orang lain oleh hakim.75 Nursyahbani Kantjasungkana mengemukakan “masalah perkosaan tidak dapat lagi dipandang sebagai masalah individu belaka, tetapi merupakan problem social yang terkait dengan masalah hak asasi manusia, khususnya 74 75
Ibid, hlm. 16-17. Ibid, hlm. 62.
119
berkaitan terhadap segala bentuk penyiksaan dan pengabaian martabat manusia”76 Menurut anggota LPSK Penanggungjawab Bidang Bantuan, Kompensasi dan Restitusi, Lili Pintauli Siregar, “bahwa LPSK memiliki kewajiban dalam memberikan perlindungan dan bantuan terhadap korban perkosaaan, mulai dari perlindungan hukum, fisik dan perlindungan psikis”. 77 Korban tindak pidana perkosaan ini bisa mendapatkan hak-haknya seperti yang dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, karena mereka juga mengalami penderitaan yang sama seperti korban-korban tindak pidana dan korban pelanggaran HAM berat bahkan derita yang dialami lebih berat dari pada derita yang dialami oleh korban dari tindak pidana lain maupun korban dari pelanggaran HAM berat. Tata cara memperoleh perlindungan bagi korban perkosaan yang dimaksud dalam pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban bisa diajukan kepada LPSK adalah sebagai berikut: 1. Mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK 2. LPSK memeriksa permohonan dan paling lambat 7 (tujuh) hari harus ada keputusan tertulis
76
Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Op, Cit, hlm. 178. Ditulis oleh: LPSK: http://www.suarapembaruan.com/home/lpsk-banyak-korbanperkosaan-tak-tahu hak-haknya/11553 di Akses Pada tgl 6 Februari 2012. 77
120
3. Apabila LPSK menerima permohonan, maka korban menandatangani pernyataan kesediaan untuk mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan korban yang memuat: a. Kesediaan korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan b. Kesediaan korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatanya c. Kesediaan korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK d. Kewajiban korban untuk ridak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaanya dibawah perlindungan LPSK e. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK 4. Tata cara pemberian bantuan a. Bantuan diberikan atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakili kepada LPSK b. LPSK menetukan kelayakan diberikanya bantuan kepada korban serta jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan c. Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan harus diberitahukan sesara tertulis kepada yang bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permintaan. Kemudian tata cara memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi korban pelanggaran HAM berat dan bagi korban tindak pidana seperti yang
121
dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban maka mekanisme pemberian ganti rugi dalam bentuk kompensasi, restitusi, dan rehabiliasi ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2008 diatur melalui pasal 2 sampai dengan Pasal 19, yang diajukan melalui LPSK.78 Karena model prosedural ini dianggap kurang bisa memenuhi kepentingan korban dari golongan yang tidak mampu, hal ini dibuktikan dengan keenggananya mereka mengajukan tuntutan ganti rugi79 maka diharapkan para penegak hukum untuk lebih bisa memperhatikan dan melayani kepentingan korban, khususnya kepada korban tindak pidana yang tidak mampu secara fisik, mental, sosial, maupun ekonomi. Yang kedua, yakni model pelayanan (services model), penekanan diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan, yang dapat digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk pedoman dalam rangka notifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam rangka penangananya perkara, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan penegak hukum yang lain.80 Model pelayanan model ini diharapkan mampu memenuhi kepentingan korban dari golongan 78
Bambang Waluyo, Op, Cit, hlm. 100-103. Keengganan menuntut ganti rugi tersebut mempunyai beberapa sebab yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: (1) Tidak ingin mempersuli diri dengan mengadakan tuntutan ganti rugi, (2) hasil jerih payah menuntut ganti rugi ini tidak seimbang dengan kerugian yang diderita, (3) Peristiwa tidak boleh diketahui oleh orang banyak. Arif Gosita, Op, Cit, hlm. 122. 80 Muladi, Op, Cit. hlm. 178. 79
122
yang tidak mampu secara mental, sosial maupun ekonomi. Model pelayanan tersebut antara lain:81 1. Para hakim diharapkan agar tidak segan membuat putusan dalam bentuk pidana tambahan berupa ganti rugi, sehingga hakim dalam menjatuhkan pidana ganti rugi tidak lagi menunggu korban mengajukan pengganbungan perkara pidana, tetapi langsug menjatuhkan bersama pidana pokok. 2. Para jaksa, penuntut umum sebaiknya juga menuntut ganti kerugian untuk kepentingan para pihak korban. 3. Para pengacara supaya memberikan bantuan hukum, mendampingi pihak korban yang tidak mampu untuk memperjuangkan pemenuhan kepentingan korban tindak pidana sebagai hak yang bersangkutan. 4. Para golongan intelektual, para pemimpin agar bersedia mempengaruhi para pembuat kebijakan untuk memikirkan nasib para korban tindak pidana. Sedangkan perlindungan terhadap korban dalam konsep hukum pidana Islam adalah berprinsip pada keadilan, kasetaraan (equality before the law) dan kemanusiaan sedangkan perlindungan hukum bagi korban perkosaan mengacu pada perlindungan terhadap jiwa (Hifd Al-Nafs) yang didalamnya terdapat hak kehidupan, kedamaian dan ketenangan yang harus dilindungi dari tindakan penganiyaan.82 Namun persoaalan yang tersisa adalah apakah korban perkosaan bisa mendapatkan ganti rugi berupa diyat seperti korban dalam hukuman qishas, maka menurut kesepakatan ulama’ bahwa hukuman bagi 81 82
Arif Gosita, Ibid, hlm. 124. Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 90.
123
pelaku perkosaan dengan kekerasan dikenakan hukuman ganda. Pertama, hukuman atas perzinahan, yaitu cambukan 100 kali atau dirajam dihadapan halayak, Kedua, hukuman atas penganiyaan (jika ia melukai atau menganiaya anggota tubuh korbanya) hukuman yang dikenakan yaitu qishas, dibalas dengan hukuman yang sebanding dengan perbuatanya, Ketiga, apabila terbatas pada ancaman, hukumanya adalah ta’zir, dalam hal ini keputusan hakimlah yang menentukanya.83 Berdasarkan ketentuan diatas maka apabila perkosaan dilakukan dengan penganiayaan dan melukai anggota tubuh korbanya, maka korban bisa mendapatkan hukuman pengganti yaitu diyat yang kurang dari sempurna yang biasa disebut dengan arsy,84 misalnya luka damiyah (luka yang mengeluarkan darah) maka wajib membayar diyat satu unta, pada luka badi’ah (luka yang memotong daging) wajib dua unta, dan luka mutalahimah (luka yang membuat daging keluar) wajib diyat tiga unta.85 Selanjutnya jika perkosaan itu mengakibatkan luka yang belum ditentukan oleh syara’ seperti luka lecet pada vagina akibat dari perkosaan maka korban dengan luka semacam ini bisa medapatkan ganti rugi berupa diyat
83
Husain Mahmud, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001, Cet.I), hlm. 161. 84 Arsy ada dua macam : arsy yang ditentukan dan yang belum ditentukan. Arsy yang sudah ditentukan adalah arsy yang kadarnya ditetapkan oleh Allah. Seperti arsy tangan dan kaki. Adapun arsy yang belum ditentukan adalah arsy yang tidak ada nasnya dan ketentuanya diserahkan kepada hakim. Ini yang disebut arsy hukumah (kebijakan). Abdul Qodir Audah, Op, Cit, hlm. 66. 85 Abdul Qodir Audah. Ibid, hlm. 82.
124
namun keputusan mengenai besarnya ganti rugi tersebut ditentukan oleh hakim melalui konsep hukumah al-‘adl.86 Menurut ulama’ mazhab Syafi’iah , mereka berpendapat bahwa apabila ada seorang laki-laki memaksa perempuan untuk melakukan zina maka wajib bagi perempuan itu menerima mahar87 yang sesuai baik itu perempuan merdeka atau budak,88 hukuman pidana dengan cara membebani ganti kerugian secara ekonomi itu ditentukan oleh hakim.89 Ketentuan diatas dikuatkan dengan pendapat Imam Al-Baji, ia berpendapat bahwa hukuman had dan membayar mahar merupakan dua kewajiban untuk pemerkosa. Hukuman had ini terkait dengan hak Allah sementara kewajiban membayar mahar terkait dengan hak mahkluk,90 menurut Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Atha’ dan Az-Zuhri berpendapat bahwa wajib diberikan kepada perempuan yang dipaksa itu mahar mistilnya.91
86
Arti hukumah menurut imam yang empat adalah menentukan nilai korban sebagai hamba sebelum dilukai kemudian nilai tersebut diukur sesudah luka dan setelah sembuh darinya. Ibid, hlm. 86. 87 Dalam kitab Bidayatul Mujtahid dijelaskan bahwa ulama’ yang berpendapat mahar sebagai ganti vagina maka wajib bagi pelaku pemerkosa untuk memberikan mahar kepada perempuan yang diperkosa. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), hlm. 102. 88 Abdur Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahibul Arba’ah, Juz V, (Darut Taqwa, 2003), hlm. 73. 89 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 62. 90 http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/04/pandangan-alkitab-vs-islam-terhadap.html, oleh:EkandariSulistyaningsih, diakses pada tanggal 10 April 2012. 91 Mahar mitsil itu ditafsirkan oleh kalangan ahli hukum Islam sebagai kompensasi ganti kerugian secara material ekonomi yang dibebankan kepada pelaku. Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 62.
125
Jadi menurut penulis sudah seharusnya korban kejahatan khususnya korban perkosaan untuk mendapatkan perlindungan berupa pemberian hakhaknya sebagai korban diantara hak itu adalah adanya ganti kerugian berupa kompensai, restitusi dan rehabilitasi yang diberikan oleh pelaku terhadap korban mengingat dampak yang ditimbulkan akibat perkosaan itu sangat banyak mulai dari dampak fisik, sosial, maupun psikologis. Oleh karena itu berkaitan dengan prospek hukum pidana Islam dapat diterapkan terhadap korban perkosaan, dalam hukum pidana Islam pelaku selain diancam dengan hukuman yang berat berupa had, diasingkan selama satu tahun dan rajam, pelaku juga dikenakan beban ganti rugi berupa mahar kepada korban perkosaan atau qishas-diyat (melukai) yang ditentukan oleh hakim.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis uraikan tentang permasalahan demi permasalahan yang ada kaitanya dengan judul skripsi melalui pembahasan dari bab pertama sampai bab terakhir penulis dapat menyimpulkan beberapa hal diantaranya. 1. Menurut Hukum Positif Putusan pengadilan Negeri Semarang dengan Perkara Nomor: 425/Pid.B/2010/PN. Semarang yang berupa kejahatan kesusilaan yaitu memaksa melakukan persetubuhan dengan wanita yang masih dibawah umur dengan vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 60.000.000,- dalam Pasal 81 (2) UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 Ayat (1), masih kurang obyektif, karena kejahatan yang dilakukan sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 81 Ayat (1) Undang-undang Perlindungan Anak yaitu berupa ”dengan sengaja atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita dibawah umur mengadakan hubungan kelamin”, unsur tersebut sesuai dengan Pasal 285 KUHP tentang kejahatan perkosaan. Seharusnya Vonis yang dapat dijatuhkan kepada pelaku sesuai dengan Pasal 285 KUHP yaitu 12 tahun penjara atau Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan anak yaitu 15 tahun penjara dengan menambahkan kepada
126
127
pelaku ganti kerugian berupa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, mengingat korban yang masih berusia 10 tahun dan akibat yang ditimbulkan dari kejahatan perkosaan tersebut, korban mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis yang berkepanjangan bahkan putus sekolah karena menanggung malu. Adapun bentuk perlindungan kepada korban tindak pidana perkosaan yang dapat diberikan oleh hukum Positif berupa Ganti kerugian kepada korban perkosaan ada 2 (dua) yakni, Pertama, melalui prosedur yang sudah ditentukan yaitu berdasarkan Pasal 98 KUHAP melalui azas penggabungan perkara gugatan ganti rugi dan berdasarkan UndangUndang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban melalui LPSK, Kedua, upaya pelayanan oleh Negara dalam hal ini diwakili oleh aparat penegak hukum khususnya hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pemberian ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku perkosaan, pemberian ganti rugi semacam ini sebagai wujud dan bentuk perlindungan hukum yang paling nyata terhadap korban perkosaan. 2. Menurut Hukum Pidana Islam Sedangkan dalam hukum pidana Islam tindak pidana perkosaan termasuk dalam jarimah zina dan tidak mengenal usia apabila kejahatan yang dilakukan itu sudah memenuhi syarat-syarat berupa ancaman dan paksaan maka tindakan pelaku tersebut sudah tergolong dalam tindak pidana zina karena paksaan (al Wath bi al Ikrah), sedangkan perlindungan
128
yang diberikan kepada korban perkosaan menurut hukum pidana Islam yakni pelaku perkosaan dapat dijatuhi hukuman berat berupa hukuman had yaitu didera 100 kali dan diasingkan selama satu tahun bagi pezina ghoiru mukhson atau dirajam dilempari dengan batu hingga meninggal bagi pezina mukhson sedangkan korban dari zina yang dipaksakan (perkosaan) tidak dihukum sama sekali, bahkan korban wajib diberikan ganti rugi berupa mahar dan apabila perkosaan itu dilakukan dengan penganiayaan maka korban berhak mendapatkan diyat, Sedangkan besarnya ganti rugi tersebut ditentukan oleh hakim melalui konsep hukumah al’adl. B. Saran-Saran Dengan berakhirnya pembahasan ini dari awal hingga akhir maka penulis mempunyai saran kepada pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam pembahasan ini: 1. Negara dalam hal ini yang membuat undang-undang agar meninjau kembali
dan
menyempurnakan
peraturan-peraturan
yang
tidak
memungkinkan dan menjamin pemenuhan hak-hak dan kepentingan para korban tindak pidana, khususnya tindak pidana perkosaan agar lebih memperhatikan korban bukan hanya pelaku saja. 2. Aparat penegak hukum untuk lebih aktif dalam mensosialisasikan kepada korban tindak pidana mengenai gugatan ganti yang sudah diatur dalam Pasal 98 KUHAP dan rugi dan bantuan ganti rugi berupa kompensai,
129
restitusi dan rehabilitasi yang diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dan diharapkan agar aparat penegak hukum memberikan pelayanan kepada korban yang mengalami kesulitan ekonomi, mental, maupun sosial. 3. Apabila dari semua hal ini dijalankan dengan baik maka korban kejahatan pada umumnya akan sangat dilindungi hak-haknya.
C. Penutup Demikianlah pembahas karya ilmiah berupa skripsi ini penulis berharap kerja keras dalam penyusunan sekripsi ini mendapatkan respon dari pembaca baik itu saran maupun kritik demi kesempurnaan penelitian ilmiah berupa skripsi ini. Semoga penelitian ini bisa berguna bagi perkembangan penegakan hukum di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Almahali, Imam Jalaludin, dan Imam Jalaludin Asuyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru, 1990). Asyaukanie, Luthfi, Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqh Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah,1998, Cet I). Asshidiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1996). Asmawi, dan M. Hanafi, Ganti Rugi dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1992). Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Cet. 3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000). Adi, Rianto, Metodologi Pelitian Social dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004, Cet.I). Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri, al-Jina’y al-Islami, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1992). Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ al-Jina’I alIslamiy bil Qonunil Wad’iy), (PT. Kharisma Ilmu, Juz. IV) Al Maududi, Abul A’la, Kejamkah Hukum Islam, (Gema Insani Press, 2010). Ali, Zainudin, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). Ali, Abdul Yusuf, Al-Qur'an Terjemah dan Tafsirnya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994). .
Al-Jaziri, Abdur Rahman, Kitabul Ala Madzahibul Arba’ah, (Beirut: Lebanon, tt, Juz.II), Bahiej, Ahmad, dkk, Pemikiran Hukum Pidana Islam Kontemporer. (Yogyakarta: Pokja Akademik, 2006). Chazawi, Adam, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007). Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971). Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeven, tt). Dokumentasi Situasi Daerah Hukum Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri Jawa Tengah, Situasi Daerah Hukum Pengadilan Negeri Semarang, (Jakarta: Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, 2001). Dwiati, Ira, Perlindugan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Peradilan Pidana, (Semarang: Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro). Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Persindo, 1983). Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam System Peradilan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010). Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas UGM, 1998, Jilid.2). Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000).
Harahap. M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001). Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996). Ibrahim, Johni, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normative, (Malang: Bayu Media Publising, 2005). Jauhari, Ahmad Al-Mursi Husai, Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Amzah, 2009). Kasijan, Z, Tinjauan Psikologis Larangan Mendekati Zina Dalam al-Qur’an, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1982). Khasbun,
M,
Analisis
Putusan
Pengadilan
Negeri
Kendal
Nomor
187/Pid.B/2006/Pn.Kdl Tentang Tindak Pidana Pemerkosaan Yang Menyebabkan Kematian, (Semarang: Skripsi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo). Kartono, Kartini, Pengantar Metodologi Riset, (Bandung: Mandar Maju, 1996, Cet.VI). Lidya Suryani Widyanti, Sri Wurdani dan Heru Wibowo Sukaten, Mereka yang Terlupakan Para Korban Kejahatan Perkosaan, (Bulletin Penalaran Mahasiswa,UGM,Vol.3,No.1Februari1997).http://ilib.ugm.ac.id/jurnal/d ownload.php?dataId=98, di akses pada tanggal 20 Januari 2011. Lamintang, P.A.F, Delik-Delik Khusus Tindak-Tindak Pidana Melanggar NormaNorma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, (Bandung: Mandar Maju, 1990). Muhammad, Husain, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001). Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).
Mubarok, Jaih, Enceng Arif Faisal, Kaidah Fiqh Jinayah, Asas-Asas hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2004). Muhadjir, Noeng, Motode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996). Muslim, Imam, Shahih Muslim, (Beirut: Darul Kutub Al-Alamiah, tt. Juz II). Muhammad, Husain, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001). M. Arief, Dikdik, dan Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 2007). Marpaung, Leden, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). Muladi, Dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1992). Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1997). Mustofa, Ghufron, Perlindungan Terhadap Korban Pemerkosaan Anak Dibawah Umur, (Semarang: Makalah Viktimologi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2010). Muslih, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2005). Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1993, Cet.4). Prasetyo, Eko, dan Suparman Marzuki, Perempuan dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offest, 1997).
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984). Prodjodikoro, Wirdjono, Tindak -Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1986). Prodjodikoro, Martiman, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982). Prakoso, Djoko, Masalah Ganti Rugi Dalam KUHAP, (Jakarta: Bina Akasara, 1988). Perempuan, Komnas, Perlindungan Terhadap Saksi Dan Korban, (Jakarta:
[email protected], 2009), hlm. 70. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006). Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Darul Fath, 2004). Suparni, Niniek, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003). Santoso, Topo, Seksualitas dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND. HILL-CO, 1997). Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), hlm. 102. Soeharso, dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya Karya, 2005, Cet.XIII). S. Praja, Juhaya dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1982), hlm. 105. Subhan, Studi Hukum Islam Terhadap Kejahatan Perkosaan Yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur, (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 647 Pid B 2005 Tentang Kejahatan Kesusilaan.”
(Semarang: Skripsi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo). Waluyo, Bambang, Narapidana dan Proses Pemasyarakatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1990). Waluyo, Bambang, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011). Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004). Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002). Wahid, Abdul, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Advokasi ats Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001). Refrensi Lain Isi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara Nomor: 425 /pid.B/2010/PN Semarang. KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Tahun 2010. Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang: Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, (Jakarta: 1981). Undang - Undang Perlindungan Anak (UU RI No.23 Th. 2002), (Jakarata: Sinar Grafika, 2011, Cet. V). Perlindungan Saksi Dan Korban, (Undang-Undang Republik Indonesia, No 13, Tahun 2006).
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Pelaku%20Pemerkosaan%20Panta s%20Dihukum%20Berat&&nomorurut_artikel=452/di
akses
tgl
6
Januari 2012. http://wawasanhukum.blogspot.com/2007/06/ganti-kerugian-dan-rehabilitasi.html, di Tulis Oleh: Diah Lestari P dan Theodora YSP, di Akses Pada Tangga l 2 April 2012. http://www.ziddu.com/download/2663135/KUHPerdata.pdf.html. www.abcnews.go.com/blogs/politics/2011/12/fbi-to-change-definition-offorcible-rape.html. Ditulis Oleh: Virginia, Diakses Pada Tanggal 10 Mei 2012. www.artikata.com/arti-175512-statutory+rape.html. Diakses Pada Tanggal 10 Mei 2012. www.prasko.com/2011/02/pengertian-perlindungan-hukum.html, Di Tulis Oleh Prakoso, Diakses Pada Tanggal 03 Mei 2012. http://realitamasakini.wordpress.com. Rahmat Illahi Besri, Perlindungan Korban Perkosaan, Diakses Pada Tanggal 5 Mei 2012. http://www.suarapembaruan.com/home/lpsk-banyak-korban-perkosaan-tak-tahu hak-haknya/11553. Ditulis Oleh: LPSK, Diakses Pada Tanggal 6 Februari 2012. http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/04/pandangan-alkitab-vs-islamterhadap.html, oleh: Ekandari Sulistyaningsih, Diakses Pada Tanggal 10 April 2012.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Data Pribadi Nama
: GHUFRON MUSTOFA
Tempat/Tanggal Lahir
: Kendal, 03 Mei 1987
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kewarganegaraan
: Indonesia
Status
: Belum Menikah
Agama
: Islam
Alamat
: Ds. Jolinggo RT. 03/ RW. 03, Kel Getas, Kec. Singorojo, Kab. Demak, Prov. Jawa Tengah
Riwayat Pendidikan Formal
:
1. SD N Negeri Getas
: Tahun lulus 1999
2. Mts NU Al Ma’arif 02 Boja
: Tahun lulus 2002
3. MA NU Al Ma’arif 04 Boja
: Tahun lulus 2005
Riwayat Pendidikan Nonformal
:
1. Pondok Pesantren Roudlotul Muta’allimin Boja Kendal
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya, untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 12 Juni 2012 Penulis,
GHUFRON MUSTOFA NIM. 072211022