PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN PENGGUNA JAMKESMAS DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA TERKAIT BERLAKUNYA BPJS DI BIDANG KESEHATAN. A. Hubungan Dokter, Pasien Dan Rumah Sakit Dahulu dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dianggap tahu segalanya oleh pasien. Sehingga melahirkan hubungan paternalistic antara dokter dengan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Pola hubungan paternalistic ini identik dengan pola hubungan vertical dimana kedudukan atau posisi antara pemberi jasa pelayanan kesehatan dan penerima jasa pelayanan kesehatan tidak sederajat. 44 Hubungan ini timbul karena pasien mencari pertolongan untuk penyembuhan penyakitnya, dalam hal ini dokter atau rumah sakit. Hal ini mengakibatkan bahwa akibat hubungan pemberian pertolongan ini mempunyai ciri-ciri khas. Karena pasien berada dalam suatu posisi yang lemah dan tergantung kepada dokternya. Seorang dokter mempunyai kedudukan yang lebih kuat, yaitu profesi yang diharapkan dapat menghilangkan penyakit pasien. Setiap orang bisa menjadi pasien termasuk kita semua dan termasuk dokter juga. Namun dokter sebagai profesi mempunyai tugas untuk menyembuhkan penyakit pasiennya. 45 Dengan berkembang pesatnya sarana informasi melalui media massa dan media elektronik, kerahasiaan profesi dokter mulai terbuka, sementara itu ketidaktahuan
pasien
terhadap
kesehatan
mengalami
perubahan
kearah
masyarakat yang terdidik dalam bidang kesehatan. Semakin meningkatnya
44
Anny isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi Dokter Buku I,(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), Hal. 389. 45 J. Guwandi , Dokter, Pasien dan Hukum,(Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003), Hal. 1.
kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap tanggung jawab atas kesehatannya sendiri, mengakibatkan pergeseran paradigma yang berlaku dari kepercayaan yang semula tertuju kepada kemampuan sang dokter secara pribadi sekarang tergeser kearah kemampuan ilmu dari sang pengobat. Dari sinilah timbul kesadaran masyarakat untuk menuntut adanya hubungan seimbang antara dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai pihak penerima jasa pelayanan kesehatan, dimana pasien tidak lagi sepenuhnya pasrah kepada dokter. 46 Perkembangan hubungan antara dokter dan pasien oleh Dassen digambarkan sebagai berikut : 47 a.
Pasien pergi kedokter karena ada merasa sesuatu yang membahayakan
kesehatannya, sehingga memerlukan pertolongan dokter sebagai pribadi yang mempunyai kelebihan karena kemampuan mengobati yang dimilikinya. Dari sudut pandang pasien yang menyerahan nasibnya kepada dokter, dokter dianggap mempunyai peranan yang lebih penting dan kedudukan lebih tinggi dari pasien. b.
Pasien pergi ke dokter karena mengetahui dirinya sakit dan dokter mampu
menyembuhkannya. Pasien mulai menyadari haknya terhadap pelayanan kesehatan yang merupakan kewajiban dokter terhadap dirinya, menganggap kedudukannya sama dengan dokter, tetapi pasien tetap menyadari bahwa peranan dokter lebih penting dari dirinya. c.
Pasien pergi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan yang intensif dan
mengobati penyakityang biasanya diperintahkan oleh pihak ketiga (pihak asuransi). 46 47
Anny isfandyarie, Op. Cit, Hal. 90 Ibid. Hal. 90-91
Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian tentang hubungan dokter dan pasien baik dibidang medis, maupun sosiologis dan antropologis, antara lain antara Russel, Freidson & Darsky, Schwarz & Kart, Kisch & Reeder, serta Szasz & Hollender. 48 a.
Russel menyatakan bahwa hubungan antara dokter dan pasien lebih
merupakan hubungan antara pihak yang memiliki wewenang (dokter) sebagai pihak yang aktif, dengan pasien yang menjalankan peran ketergantungan sebagai pihak yang pasif dan lemah. b.
Freidson dan Darsky menyebutkan bahwa hubungan antara dokter dan pasien
merupakan pelaksanaan kekuasaan medis oleh dokter terhadap pasiennya. c.
Schwarz dan Kart mengungkapkan adanya pengaruh jenis praktik dokter
terhadap perimbangan kekuasaan antara pasien dengan dokter dalam hubungan pelayanan kesehatan. Dalam praktik dokter umum, kendali ada pada pasien karena kedatangan pasien sangat diharapkan oleh dokter umum. Hal ini berarti bahwa hubungan pasien dengan dokter umum lebih seimbang. d.
Kisch dan Reeder meneliti seberapa jauh pasien dapat memegan kendali
hubungan dan menilai penampilan serta mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter kepada pasien. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi peran pasien dalam hubungan pelayanan medis antara lain jenis praktik dokter, atau dokter dalam suatu lembaga kedokteran. Masing-masing kedudukan tersebut merupakan variable yang diperlukan dapat memberikan dampak terhadap mutu pelayanan medis yang diterimanya.
48
Ibid. Hal. 91-92
e.
Szasz dan Hollender mengemukakan tiga jenis hubungan antara dokter dan
pasien yaitu hubungan antara orang tua dengan anak, hubungan orang tua dengan remaja, dan hubungan antar orang dewasa. Menurut Thiroux hubungan pasien dan dokter terbagi dalam tiga sudut pandang, yaitu : 49 a.
Pandangan paternalisme, yaitu menghendaki dokter untuk berperan sebagai
orang tua terhadap pasien atau keluarganya. Dalam pandangan ini, segala keputusan tentang pengobatan dan perawatan berada dalam tangan dokter sebagai pihak yang mempunyao pengetahuan tentang pengobatan, sementara pasien dianggap tidak mempunyai pengetahuan sama sekali dibidang pengobatan. Informasi yang dapat diberikan kepada pasien seluruhnya merupakan kewenangan dokter dan asisten professionalnya, pasien tidak boleh ikut campur di dalam pengobatan yang dianjurkannya. b.
Pandangan individualisme, beranggapan bahwa pasien mempunyai hak
mutlak atas tubuh dan nyawanya sendiri. Oleh karena itu semua keputusan tentang pengobatan dan perawatan sepenuhnya berada di tangan pasien yang mempunyai hak atas dirinya sendiri. c.
Pandangan reciprocal dan collegial, yang mengelompokkan pasien dan
keluarganya sebagai inti dalam kelompok, sedangkan dokter, perawat dan para professional kesehatan lainnya harus bekerja sama untuk melakukan yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Hak pasien atas tubuh dan nyawanya tidak dipandang sebagai hak yang mutlak menjadi kewenangan pasien, tetapi dokter dan staf medis lainya harus memandang tubuh dan nyawa pasien sebagai prioritas 49
Ibid. Hal 92-93
utama yang nebhadi tujuan pelayanan kesehatan yang dilakukannya. Oleh karena itu pasien harys dijelaskan tentang prosedur yang akan diterimanya dan diberikan hak untuk memilih altenatif pengobatan yang dilakukan terhadap dirinya yang dikenal sebagai ’Informed Consent”. Keputusan yang diambil dalam perawatan dan pengobatan harus bersifat reciprocal yang artinya bersifat member dan menerima, dan collegial yang berarti pendekatan yang dilakikan merupakan pendekatan kelompok atau tim yang setiap anggotanya mempunyai masukan dan tujuan yang sama. Dalam pelayanan medis pasien dikenal sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dan pihak rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan. Dari bidang sosiologis dapat dikatakan bahwa pasien maupun tenaga kesehatan memainkan peranan tertentu dalam masyarakat. Dalam hubungan dengan tenaga kesehatan misalnya dokter, tenaga kesehatan mempunyai posisi yang dominan apabila dibandingkan dengan kedudukan pasien dalam bidang kesehatan. Pasien dalam hal ini dituntut untuk mengikuti nasehat dari tenaga kesehatan, dengan demikian pasien senantiasa harus percaya pada kemampuan dokter tempat ia menyerahkan nasibnya. Pasien sebagai konsumen dalam hal ini merasa dirinya bergantung dan aman apabila tenaga kesehatan berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya. 50 Pasien sebagai konsumen jasa dibidang pelayanan medis, dengan melihat perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, resiko yang dihadapi semakin tinggi. Oleh karena itu dalam hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien terdapat kesederajatan. Di samping dokter, maka pasien juga memerlukan 50
Titik triwulan tutik, shita febriana, Perlindungan Hukum Bagi Pasien,(Jakarta, prestasi pustaka, 2010), hal. 23
perlindungan hukum yang proposional yang diatur dalam peraturan perundangundangan. 51 Dengan semakin mengikatnya peranan hukum dalam pelayanan kesehatan, yang antara lain disebabkan karena meningkatnya pendidikan, kesadaran masyarakat antara lain akan kebutuhan kesehatan, maka akan meningkat pula perhatian masyarakat tentang hak-haknya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu dengan pelayanan yang lebih luas dan mendalam. Adanya spesialisasi dan pembagian kerja akan membuat pelayanan kesehatan lebih merupakan kerjasama dengan pertanggungjawaban diantara sesama pemberi bantuan, dan pertanggungjawaban terhadap pasien. Hubungannya dengan rumah sakit, para tenaga pemberi pelayanan kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat, dokter gigi, dan lain sebagainya yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan itu berada didalam hubungan pekerjaan dengan rumah sakit sebagai tempat untuk menyelenggarakan tugas profesinya. Pelayanan kesehatan di rumah sakit berawal dari hubungan dasar antara dokter dan pasien dalam bentuk transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik sebagai suatu transaksi mengikat dokter dan pasien sebagai para pihak dalam transaksi tersebut untuk mematuhi dan memenuhi apa yang telah di perjanjikan, yaitu dokter mengupayakan penyembuhan pasien melalui pencarian terapi yang paling tepat berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, sedangkan pasien berkewajiban menyampaikan secara jujur apa yang dikeluhkannya afar
51
Ibid. Hal. 24
dapat ditemukan beberapa alternatif pilihan terapi untuk akhirnya pasien memilih terapi yang paling tepat untuk penyembuhannya. 52 Dalam mencari/menemukan upaya penyembuhan itu harus dilakukan dengan
cermat
dan
hati-hati
dan
kerena
nya
merupakan
suatu
Inspanningsverbintenis. Ini berarti bahwa objek perikatan bukan suatu hasil yang pasti, sehingga kalau hasilnya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, maka salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat menggugat. 53 Dalam transaksi terapeutik yang diperjanjikan adalah upaya mencari atau menemukan terapi yang paling tepat untuk upaya penyembuhan yang harus dilakukannya dengan cermat dan hati-hati karena merupakan suatu Inspanning verbintenis (perjanjian upaya). 54 1. Inspanning Verbintenis dalam Hubungan Hukum Pasien, Dokter dan Rumah Sakit. Hubungan antara pasien dengan dokter maupun rumah sakit dikenal sebagai perikatan. Dasar dari perikatan yang berbentuk antara pasien dengan dokter biasanya adalah perjanjian, tetapi dapat saja berbentuk perikatan berdasarkan undang-undang. 55 Dalam hukum perikatan sebagaimana diatur didalam KUHPerdata, dikenal adanya dua macam perjanjian, yaitu : 56 a. Inspaningverbintenis, yakni perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan. 52
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran,(Bandung: Citra Aditya bakti,1998),hal. 100-101 53 Ibid. 54 Ibid. 55 Wila Chandrawila Supriadi, Op.cit. Hal. 29 56 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal.13
b. Resultaatverbintenis, yakni perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan suatu resultaat, yaitu suatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Perjanjian
antara
dokter
dan
pasien
termasuk
pada
perjanjian
Inspanningverbintenis atau perikatan usaha, sebab dalam konsep ini seorang dokter hanya berkewajiban melakukan pelayanan kesehatan dengan penuh kesungguhan, dengan mengarahkan seluruh kemampuannya dan perhatiannya sesuai dengan standard profesinya. 57 Perjanjian yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan yaitu perjanjian terapeutik. Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya untuk penyembuhan pasien. 58 Pada umumnya perjanjian terapiutik merupakan Inspanningverbintenis. Dalam hal ini secara hati-hati dan teliti dokter berusaha menyembuhkan pasien. Hasil usaha yang dilakukan oleh dokter tidak pasti ada kemungkinan pasien sembuh, tetap sakit ataupun meninggal dunia. Dokter tidak dapat menjamin hasil usaha yang dilakukan dalam memberikan palayanan kesehatan. 59 Transaksi terapeutik merupakan hubungan antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medik scara profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu dibidang kedokteran. Transaksi terapeutik merupakan kegiatan didalam penyelenggaraan praktek dokter berupa
57
Ibid. Ibid. Hal. 11. 59 Y.A Triana Ohoiwutun,Bunga Rampai Hukum Kedokteran,(Malang, Bayumedia Publishing, 2007) hal. 11 58
pembrian pelayanan medis itu sendiri merupakan bagiann pokok dari kegiatan upaya kesehatan yang menyangkut sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaraannya, yang harus tetap dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya. 60 Menurut Fred Ameln, perjanjian terapeutik adalah kontrak dimana pihak dokter
berupaya
secara
maksimal
menyembuhkan
pasien
(Inspanningverbintenis). 61 Hermien Hadiati Koeswadji mengatakan Perjanjian terapeutik adalah transaksi untuk menentukan/mencari terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter. Dalam transaksi terapeutik tersebut kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat tertentu, dan bila transaksi sudah terjadi maka kedua belah pihak terikat akan hak dan kewajiban sebagaimana yang telah disepakati keduanya. 62 Perjanjian terapeutik merupakan perjanjian yang bersifat istemewa (khusus) dan objeknya berupa pelayanan kesehatan. Keistimewaan perjanjian terapeutik adalah sebagai berikut : 63 a. Kedudukan antara para pihak (dokter dengan pasien) tidak seimbang karena dokter dipandang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan upaya kesehatan, sedangkan pasien tidak mengetahui tentang keadaan kesehatannya. b. Dalam tindakan medis tertentu ada informed consent sebagai hak pasien untuk menyetujui secara sepihak. Hal tersebut dapat dibatalkan
60
Veronica Komalawati, Peranan informend consent Dalam Transaksi Terapeutik, (Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002), hal 14. 61 Sunarto Ady Wibowo, Hukum Kontrak terapeutik Di Indonesia,(Medan, Pustaka Bangsa Press, 2009), hal. 19 62 Ibid. Hal 20 63 Y.A Triana Ohoiwutun, Op.cit., hal. 12
setiap saat sebelum dilakukannya tindakan medis yang telah disepakati. c. Hasil perjanjian yang belum pasti dalam pelayanan medis. 1.
Asas-Asas Dalam Transaksi Terapeutik Oleh karena transaksi terapeutik merupakan hubungan hukum antara
dokter dan pasien, maka dalam transaksi terapeutik berlaku bebrapa asas hukum yang mendasari, yang menurut Veronica Komalawati disimpulkan sebagai berikut: 64 a.
Asas Legalitas Asas ini tersirat dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor 23 tentang
Kesehatan yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan brtugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan keahlian atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa pelayanan medik hanya dapat terselenggara apabila tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat perizinan yang diatur dalam peraturan perUndang-undangan, antara lain telah memiliki Surat Tanda Registrasi Surat Izin Praktik. b. Asas Keseimbangan Menurut
asas
ini,
penyelenggaraan
pelayanan
kesehatan
harus
diselenggrakan secara seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiil dan spiritual. Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil serta antara manfaat dan resiko yang ditimbulkan dari upaya yang ditimbulkan dari upaya medis yang dilakukan. c. Asas Tepat Waktu
64
Veronica Komalawati, Op.cit., hal. 126.
Asas ini cukup penting karena keterlambatan dokter menangani pasien dapat menimbulkan kerugian bagi pasien dan bahkan bias mengancam nyawa pasien itu sendiri. d. Asas Itikad Baik Asas ini berpegangan teguh pada prinsip etis pada berbuat baik yag perlu diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien. Hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang selaluu berpegang teguh kepada standart profesi. e.
Asas Kejujuran Asas ini merupakan dasar dari terlaksananya penyampaian informasi yang
benar, baik oeh pasien maupun dokter dalam berkomunikas. Kejujuran dalam menyampaikan informasi akan sangat membantu dalam kesembuhan pasien. Kebenaran informasi ini terkait erat dengan setiap manusia untuk mengetahui kebenaran. f.
Asas Kehati-hatian Sebagai seorang professional dibidang medik, tindakan dokter harus
didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya, karena kecerobohan dalam bertindak dapat berakibat terancamnya jiwa pasien. g.
Asas Keterbukaan Pelayanan medik yang berdayaguna dan berhasilguna hanya dapat tercapai
apabila ada keterbukaan dan kerjasama yang baik antara dokter dan pasien dengan berlandaskan sikap saling percaya. Sikap ini dapat tumbuh jika terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan pasien dimana pasien memperoleh penjelasan atau informasi dari dokter dalam komunikasi yang transpara ini.
2.
Dasar Hukum Terjadinya Perjanjian Terapeutik. KUHPerdata memuat berbagai kaidah berkaitan dengan hubungan-hubungan
hukum dan masalah-masalah pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dan konsumen pengguna barang atau jasa tersebut. Hubungan antara pasien dengan dokter maupun rumah sakit adalah apa yang dikenal sebagai perikatan (verbintenis). Dasar dari perikatan yang berbentuk antara dokter pasien biasanya adalah perjanjian, tetapi dapat saja terbentuk perikatan berdasarkan undangundang. 65 Perikatan antara rumah sakit/dokter dan pasien dapat diartikan sebagai perikatan usaha (inspanning verbintenis) atau perikatan hasil (resultaats verbintenis). Disebutkan perikatan usaha (inspanning verbinbentis) karena didasarkan atas kewajiban berusaha, misalnya dokter harus dengan segala daya usahanya untuk menyembuhkan pasien. Dokter wajib memberikan perawatan dengan penuh kehati-hatian dan penuh perhatian sesuai dengan standar profesinya (met zoorg en inspanning). Sedangkan perikatan hasil (resultaats verbintenis) adalah merupakan perikatan dimana seorang dokter berkewajiban menghasilkan suatu hasil yang diharapkan, misalnya seorang dokter gigi yang menambal gigi yang berlubang, pembuatan gigi palsu, dan lain sebagainya. 66 Perjanjian yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan yaitu perjanjian (transaksi) terapeutik. Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya 65
66
Wila Chandrawila Supriadi, Op. Cit.,. hal.29.
Sunarto Adi Wibowo, Pertanggungjawaban Rumah Sakit dalam Kontrak Teraupetik (Studi Kasus Antara Rumah Sakit dan Pasien di R.S.U. Dr. Pirngadi, R.S.U. Haji dan R.S.U. Sundari), 2005, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, hal. 38-39.
atau terapi untuk penyembuhan pasien. 67 Sebagaimana umumnya suatu perikatan, dalam transaksi terapeutik juga terdapat para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan atau perjanjian, yakni dokter sebagai pihak yang melaksanakan atau memberikan pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan medis. Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang unsur-unsurnya sebagai berikut: a. adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya (toesteming van degenen die zich verbinder); b. adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan); c. mengenai sesuatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); d. suatu sebab yang diperbolehkan (een geoorloofdeoorzaak). Berdasarkan perjanjian terapeutik, dasar untuk pertanggungjawaban medis adalah wanprestasi (Pasal 1234 KUHPerdata) dan onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum) yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Terdapat perbedaan antara pengertian wanprestasi dengan perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad). Wanprestasi (ingkar janji) adalah suatu keadaan dimana
67
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal.11
debitur dalam hal ini rumah sakit dan/atau tenaga medis tidak melakukan kewajibannya bukan karena keadaan memaksa (overmacht). Seorang pasien atau keluarganya yang menganggap bahwa dokter tidak melakukan kewajiban-kewajiban kontraktualnya dapat menggugat dengan alasan wanprestasi dan menuntut agar meraka memenuhi syarat-syarat tersebut. Pasien juga dapat menuntut kompensasi secara materiil dan immaterial atas kerugian yang dideritanya. Namun jika perbuatan atau tindakan dokter yang bersangkutan berakibat merugikan pasien dan merupakan perbuatan yang melawan hukum, maka dokter tersebut bertanggung jawab untuk mengganti kerugian kepada pasien walaupun tidak adanya hubunga kontraktual. Mengenai pertanggungjawab rumah sakit terhadap perbuatan dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya, Fred Almen melihat dari hubungan kontrak pekerjaan antara rumah sakit dengan dokter tersebut. Dokter bila dilihat dari hubungan kontrak pekerjaan dengan rumah sakit dibagi menjadi dokter (dokter yang bekerja penuh melakukan kegiatan di rumah sakit dan menerima gaji atau disebut dokter purna waktu) dan dokter (dokter tamu). Untuk dokter tetap, rumah sakit bertanggung jawab atas semua tindakan dokter tersebut, sedangkan untuk dokter tamu, tanggung jawab bukan pada rumah sakit tetapi hanya pada dokter tamu itu sendiri. 3.
Syarat Sahnya Transaksi Terapeutik Didalam membuat suatu pejanjian para pihak harus memenuhi ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian yaitu: a.
Adanya kata sepakat antara para pihak.
b.
Kecakapan para pihak dalam hukum.
c.
Suatu hal tertentu.
d.
Suatu sebab yang halal. Oleh sebab itu dalam perjanjian diperlukan kata sepakat, sebagai langkah
awal sahnya suatu perjanjian yang diikuti dengan syarat-syarat lainnya maka setelah perjanjian yang diikuti dengan syarat-syarat lainnya maka setelah perjanjian tersebut akan berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihaknya hal itu diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Disamping asas diatas ada suatu faktor utama yang harus dimiliki oleh para pihak yaitu adanya suatu itikad baik dari masing-masing pihak untuk melaksanakan perjanjian. Asas tentang itikad baik itu diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi: “ Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Pada umumnya, perjanjian atau kontrak diterima sebagai sumber dari hubungan antara dokter dan pasien, sehingga transaksi terapeutik disebut pula dengan istilah Perjanjian atau Kontrak terapeutik. Akan tetapi dengan semakin meningkatnya kepekaan terhadap martabat manusia, maka penataan hubungan antar manusia, termasuk hubungan yang timbul dari transaksi terapeutik juga dihubungkan dengan hak manusia. 4.
Berakhirnya Perjanjian Terapeutik Untuk menentukan kapan berakhirnya hubungan dokter dengan pasien
sangatlah penting, karena segala hak dan kewajiban dokter juga akan ikut berakhir. Dengan berakhirnya hubungan ini, maka akan menimbulkan kewajiban
bagi pasien untuk membayar pelayanan pengobatan yang diberikannya. Berakhirnya hubungan ini dapat disebabkan karena: 68 1. Sembuhnya pasien Kesembuhan pasien dari keadaan sakitnya dan menganggap dokter sudah tidak diperlukannya lagi untuk mengobati penyakitnya dan pasien maupun keluarganya sudah menganggap bahwa penyakit yang dideritanya sudah benarbenar sembuh, maka pasien dapat mengakhiri hubungan transaksi terapeutik dengan dokter atau Rumah Sakit yang merawatnya. 2.
Dokter mengundurkan diri Seorang dokter boleh mengundurkan diri dari hubungan antara dokter
dengan pasien dengan alasan sebagai berikut: 69 a.
Pasien menyetujui pengunduran dirinya tersebut.
b.
Kepada pasien diberi informasi yang cukup,sehingga ia bisa memperoleh pengobatan dati dokter lain.
c.
Karena
dokter
merekomendasikan
kepada
dokter
lain
yang
sama
kopetensinya untuk menggantikan dokter semula itu dengan persetujuan pasien. d.
Karena dokter tersebut merekomendasikan Dokter lain atau Rumah Sakit lain yang lebih ahli dengan fasilitas yang lebih baik dan lengkap.
3.
Pengakhiran oleh pasien Adalah hak pasien untuk menentukan pilihannya akan meneruskan
pengobatan dengan dokternya atau memilih pindah ke dokter lain atau Rumah
68
Dahlan Sofwan, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Dalam Profesi Dokter, Universitas Diponegoro, Semarang, 1999, hal 42. 69 J Guwandi, Op.cit. Hal. 35.
Sakit lain. Dalam hal ini sepenuhnya terserah pasien karena kesembuhan dirinya juga merupakan tangung jawabnya sendiri. 4. Meninggalkan pasien 5. Sudah selesainya kewajiban dokter seperti ditentukan dalam kontrak. 6. Didalam kasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter pilihan pasien sudah datang, atau terdapat penghentian keadaan kegawat daruratan. 7.
Lewat jangka waktu, apabila kontrak medis itu ditentukan jangka waktu tertentu.
2. Hak Dan Kewajiban Pasien, Dokter Dan Rumah Sakit. a. Hak dan Kewajiban Pasien 1) Hak Pasien Hak pasien yang dihubungkan dengan pelayanan kesehatan, hak utama dari pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memenuhi criteria tertentu, yaitu agar pasien mendapatkan upaya kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan dari tenaga kesehatan yang memenuhi standar pelayanan kesehatan yang optimal. 70 Berbagai dokrin dikemukakan oleh pakar hukum kesehatan tentang isi dari hak pasien. Beberapa hak pasien yang menonjol dan juga merupakan hak asasi dari pasien antara lain : a) Hak atas informasi Hak atas informasi adalah hak pasien untuk mendapatkan informasi dari dokter, tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatannya, dalam hal ini
70
Wila chandrawila supriadi, Op. Cit. Hal.12.
terjadi hubungan dokter-pasien. 71 Pada mulanya hak ini hanya mendapatkan pengakuan dalam etika kedokteran yaitu tindakan yang baik bila dokter menginformasikan kepada pasien tentang kesehatannya. Dokter di tuntut untuk memberikan informasi yang wajar, benar dan bijak. 72 Inti dari hak atas informasi ini adalah hak pasien untuk memperoleh informasi yang sejelas-jelasnya tentang yang berhubungan dengan penyakitnya. Dalam hal ini terjadi hubungan dokter dengan pasien, hak pasien atas informasi ini secara otomatis menjadi kewajiban dokter untuk dijalankan baik diminta maupun tidak diminta oleh pihak pasien. 73 Informasi yang harus diberitahukan dokter kepada pasien yaitu: 74 i) Diagnose / diagnosa ii) Resiko dari tindakan medik iii) Alternatif terapi, termasuk keuntungan dan kerugian dari setiap alternatif terapi iv) Cara kerja dokter dalam proses tindakan medik v) Keuntungan dan kerugian tiap alternatif terapi secara luas. vi) Kemungkinan rasa sakit setelah tindakan medik. b) Hak atas persetujuan Hak untuk menentukan diri sendiri juga terproses sejalan dengan perkembangan dari hak asasi manusia. Dihubungakan dengan tindakan medik, maka hak untuk menentukan diri sendiri diformulasikan dengan apa yang dikenal dengan persetujuan atas dasar informasi. Hak asasi pasien untuk menerima atau 71
M. Sofyan lubis, Mengenal Hak Konsumen dan pasien, (Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2009), Hal. 38 72 Wila Chandrawila Supriadi, Op. Cit., Hal 15 73 Anny Isfandyarie, Op. Cit. Hal. 99 74 Wila chandrawila supriadi, Op. Cit., Hal 16
menolak tindakan medik ditawarkan oleh dokter setelah dokter memberikan informasi. Pasien harus menerima informasi dulu sebelum memberikan persetujuan. 75 Persetujuan ini bisa secara tertulis bisa juga secara lisan. Persetujuan tertulis diperlukan untuk setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi, ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Yang memberikan persetujuan adalah pasien itu sendiri. Kecuali pasien dibawah umur (belum dewasa)/ tidak sadar/tidak cakap melaksanakan perbuatan hukum, maka persetujuan diberikan oleh wali. Dalam ha pasien tidak sadar/pingsan, serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat, secara medik berada dalam keadaan gawat darurat dan atau darurat, yang segera memerlukan tindakan medic, maka tidak diperlukan persetujuan siapapun. 76 Dengan melaksanakan persetujuan atas dasar informasi, berarti dokter telah melaksanakan kewajibannya memberikan informasi dan mendapatkan persetujuan. Dokter telah memenuhi kewajibannya, yaitu menghormati hak pasien dan bekerja sesuai dengan standar profesi dokter. 77 Dalam hal pasien menolak tindakan medik yang ditawarkan dokter, dokter tidak boleh memaksakan kehendaknya, walaupun dokter tahu bahwa penolakan tersebut dapat memberikan dampak negative bagi kesembuhan pasiennya. Pemaksaan kehendak dokter terhadap pasien untuk melakukan tindakan medik tertentu
75
terhadap
tubuh
pasien,
walaupun
M. Sofyan Lubis, Op. Cit., Hal 39 Wila Chandrawila supriadi, Op. Cit., Hal. 18 77 Ibid. Hal. 19 76
dokter
berniat
baik
untuk
menyelamatkan nyawa pasien, akan dapat berakibat dituntut nya dokter atas tuduhan malpraktik. 78 c) Hak atas rahasia kedokteran Keterangan yang diperoleh dokter dalam melaksanakan profesinya, dikenal
dengan
nama
rahasia
kedokteran.
Dokter
berkewajiban
untuk
merahasiakan keterangan tentang pasien dan penyakit pasien. 79 Dokter berkewajiban merahasiakan keterangan tentang pasien, penyakit pasien. Kewajiban dokter ini menjadi hak pasien. Hak atas rahasia kedokteran, adalah hak individu dari pasien. Hak individu ini dikesampingkan dalam hal hak masyarakat menuntut. Misalnya penyakit pasien akan membahayakan masyarakat (penyakit menular), meskipun pasien menolak untuk membuka rahasia kedokterannya, maka dokter mempunyai kewajiban untuk membuka rahasia tersebut epada pihak yang berwenang. 80 d) Hak atas pendapat yang kedua Hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan kepercayaan. Dalam praktek seringkali dokter merasa tersinggung dalam hal pasien menginginkan pendapat dokter lain tentang penyakitnya. Dokter merasa pasien meragukan hasil pekerjaannya. 81 Hak atas pendapat kedua terkadang terjadi perbedaan pendapat antara dokter pertama dengan dokter kedua. Bisa saja seorang pasien diam-diam pergi sendiri ke dokter kedua tanpa sepengetahuan dokter pertama. 82
78
Anny Isfandyarie, Op.Cit. Hal. 100 Sofyan Lubis. Op. Cit. Hal 39 80 Anny isfandyarie,Op.cit. Hal. 20 81 Ibid. Hal. 21 82 Sofyan Lubis. Op. Cit. Hal 40 79
Hak atas pendapat kedua yaitu adanya kerjasama antara dokter pertama dan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua. Kerja sama ini bukan atas inisiatif dokter pertama, tetapi atas inisiatif pasien. Dalam hak atas pendapat yang kedua, dokter yang kedua akan mempelajari hasil kerja dari dokter yang pertama dan bila melihat perbedaan pendapat maka dokter kedua akan menghubungi doter pertama untuk membicarakan tentang perbedaan diagnosa yang dibuatnya. 83 Hak atas pendapat kedua ini sebagai hak pasien, keuntungan yang didapat pasien yaitu pasien tidak perlu mengulangi pemeriksaan rutin lagi, dan dokter pertama akan berkomunikasi dengan dokter kedua sehingga dengan keterbukaan dari para pakar yang setingkat kemampuannya dapat mnghasilkan pendapat yang lebih baik. 84 e) Hak untuk melihat rekam medik Pasien adalah pemilik isi rekam medik, tetapi dokter atau rumah sakit adalah pemilik berkas rekam medik serta bertanggung jawab sepenuhnya atas rekam medik tersebut. Apabila pasien menghendaki keluarga atau pengacaranya mengetahui isi rekam medik tersebut, maka pasien harus membuat ijin tertulis atau surat kuasa untuk itu. Berdasarkan ijin itu, dokter atau rumah sakit dapat memberikan ringkasan atau fotocopi rekam medik tersebut, meskipun begitu dokter atau rumah sakit harus tetap menjaga rekam medik tersebut dari orang yang tidak berhak. 85 f) Hak untuk memilih dokter atau rumah sakit.
83
Anny isfandyarie, Op.Cit. Hal. 21 Ibid. 85 Chrisdiono M. Achadiat, Pernik-pernik hukum kedokteran, melindungi pasien dan dokter, (Jakarta : widya medika, 1996), Hal. 7 84
Pada dasarnya setiap dokter dianggap memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan tindakan medik dalam bidangnya, namun pasien tetap berhak memilih dokter atau rumah sakit yang dikehendakinya. Hak ini dapat dilaksanakan oleh pasien tentu saja dengan berbagai konsekuensi yang harus ditanggungnya. 86 g) Hak untuk menolak pengobatan atau perawatan serta tindak medik Hak ini sebagai hak untuk memutuskan hubungan doter dengan pasien dan hal ini memberikan keleluasaan epada pasien untuk memperoleh alternative tindak medik yang lain. Hak ini merupakan perwujudan pasien untuk menenttuan nasibnya sendiri. Dengan demikian dokter atau rumah sakit tidak boleh memaksa pasien untuk menerima suatu tindak medic tertentu, melainkan dokter harus menjelaskan resiko atau kemungkinan yang terjadi bila tindak medik itu tidak dilakukan. Bila setelah menerima penjelasan tersebut pasien tetap menolak, maka pasien harus menandatangani penolakannya itu. 87 2) Kewajiban pasien Selain memiliki hak, seorang pasien juga dibebani kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, karena pada hakikatnya keseimbangan hak dan kewajiban adalah tolak ukur rasa keadilan terhadap diri seseorang. Dalam hal hubungan dari dua pihak, maka pihak satu akan diimbangi oleh kewajiban pihak lain demikian pula sebaliknya. 88 Beberapa kewajiban pasien antara lain : a) Kewajiban memberikan informasi medik
86
Chrisdiono M. Achadiat, Ibid., Hal. 6 Ibid. Hal. 6-7 88 Ibid. Hal 8 87
Informasi medik yang diperoleh melalui wawancara merupakan salah satu unsure utama dalam penegakan diagnosis penyakit yang diderita seorang pasien dan selanjutnya diagnosis ini sangat penting untuk menentukan suatu tindakan medik. Jika pasien secara sengaja menyembunyikan informasi yang salah dan kemudian timbul cedera, maka dokter dapat terlepas dari kesalahan. Hal ini erat pula kaitannya dengan apa yang disebut itikad baik dari pasien. 89 b) Kewajiban menaati petunjuk atau nasihat dokter Kewajiban ini penting karena beraitan langsung dengan keberhasilan tindak medik yang diambil dokter. Seperti halnya kewajiban memberikan informasi medik, segala akibat yang timbul karena tidak dipenuhinya petunjuk atau nasihat dokter, tentu terlepas dari tanggung jawab dokter yang merawatnya tersebut. Selain itu dokterpun berhak memutuskan hubungan antara dokter dengan pasien, apabila dinilainya bahwa kerjasama pasien sudah tidak ada gunanya lagi. 90
c) Kewajiban memenuhi aturan-aturan prasarana kesehatan Kewajiban pasien ini termasuk kewajiban menyelesaikan administrasi, keuangan dan sebagainya. Juga termasuk hal-hal mengenai jam kunjungan pasien, penunggu pasien, makanan yang boleh atau tidak boleh dan lainnya. 91 d) Kewajiban memberikan imbalan jasa kepada dokter. Kewajiban ini perlu ditegakkan untuk tercapainya keseimbangan hukum dalam hubungan dokter-pasien, dimana segala jerih payah dokter harus dihargai dengan sepantasnya sejauh keadaan pasien memungkinkan. 92 e) Kewajiban berterus terang 89
Ibid. Ibid. Hal 9 91 Ibid. 92 Ibid. 90
Kewajiban ini apabila selama perawatan dokter atau rumah sakit timbul masalah, misalnya pasien tidak puas atas pelayanan dan pengobatan yang diberikan, maka pasien wajib menyampaikan kepada dokter yang merawatnya. 93 3) Hak dan kewajiban pasien berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. a)
Hak dan kewajiban pasien berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Hak dan kewajiban setiap orang dalam hal kesehatan dapat dilihat di pasal 4, 5, 6 ,7, 8, 9, 10, 11, 12 dan pasal 13 UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Hak setiap orang dalam hal kesehatan yaitu : Pasal 4 Setiap orang berhak atas kesehatan. Pasal 5 1. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. 2. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. 3. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Pasal 6 Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. Pasal 7 93
Ibid.
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. Pasal 8 Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan. Sedangkan kewajiban seseorang dalam hal kesehatan yaitu : Pasal 9 (1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan. Pasal 10 Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial. Pasal 11 Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya. Pasal 12 Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya. Pasal 13 (1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. (2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Undang-undang tentang kesehatan ini mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang secara umum dalam bidang kesehatan, juga memberikan pengaturan khusus mengenai perlindungan terhadap pasien, yang terdapat pada Bab IV bagian kedua paragraf kedua tentang perlindungan pasien yang menyebutkan : Pasal 56 (1) Setiap orang berhak menerima atau menola sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengeni tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada : a. Penderita penyakit yang dapat secara cepat menulat ke dalam masyarakat yang ebih luas; b. Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; c. Gangguan mental berat. (3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 57 (1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. (2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal : a. Perintah undang-undang; b. Perintah pengadilan; c. Izin yang bersangkutan; d. Kepentingan masyarakat; e. Kepentingan orang tesebut. Pasal 58 (1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian aibat esalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melaukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
b. Hak dan kewajiban pasien berdasarkan UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Praktik kedokteran adalah rangkaian egiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Dalam pelaksanaan praktik kedokteran, pasien dalam menerima pelayanan praktik kedokteran mempunyai hak : a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis; b. Meminta pendapat dokter ataupun dokter gigilain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d. Menolak tindakan medis; e. Mendapatkan isi rekam medik. 94 Sedangkan kewajiban pasien yaitu : a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. 95 c.
Hak dan kewajiban pasien berdasarkan UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Kewajiban dan Hak setiap pasien dalam hal kesehatan dapat dilihat di pasal 31 dan pasal 32 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Hak setiap pasien yaitu : Pasal 31 1. Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang diterimanya. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 32 Setiap pasien mempunyai hak: a. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; b. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien; c. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
94 95
Pasal 52 Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang pratik kedokteran Pasal 53 Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang pratik kedokteran
d. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; e. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; f. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan; g. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; h. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit; i. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya; j. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan; k. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; l. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis; m. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya; n. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit; o. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya; p. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; q. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secaraperdata ataupun pidana; dan r. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. B. Hak Dan Kewajiban Dokter 1) Hak Dokter Pada dasarnya hak-hak dokter dalam profesi medic juga bersumber dari hak dasar manusia. Hak-hak dokter ini tidak perlu ditonjolkan karena pada seseorang dokter harus menonjolkan kewajibannya dalam melaksanakan profesi medik. Hak-hak dokter tersebut adalah : a)
Hak Membela diri
Dalam hal menghadapi keluhan pasien yang merasa tidak puas terhadapnya atau bermasalah, dokter mempunyai hak membela diri dalam lembaga tempat dia bekerja, dalam perkumpulan ia menjadi anggota atau di pengadilan jika telah diajukan gugatan. 96 b)
Hak untuk menolak bekerja diluar SPM Tindakan medic yang dilakukan menyimpang dari SPM sebenarnya tidak
dapat dipertanggungjawabkan oleh dokter. Dengan adanya hak ini, setiap dokter mendapatkan kepastian bahwa tindakan-tindakannya tetap dipercayai sebagai tindakan medik yang professional. 97 c)
Hak untuk menolak tindakan yang bertentangan dengan kode etik profesi kedokteran. Hak ini perlu diberikan kepada dokter agar para doter tetap menjaga
keluhuran profesinya
dan dengan demikian
martabat profesinya
dapat
dipertahankan. 98 d)
Hak untuk memilih pasien dan mengakhiri hubungan profesionalnya dengan pasien. Hak ini merupakan perwujudan hak pribadi dokter berdasarkan
pertimbangan dokter itu sendiri, disamping itu hak ini juga seimbang dengan hak pasien untuk memilih dokter atau rumah sakit. Sedangan hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasien, dapat dipergunakan bila dokter menilai bahwa hubungan ini akan mengganggu integritas dan martabat profesi kedokteran, atau pasien sama sekali tidak menunjukkan itikad baik dalam hubungan professional.
96
M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir, Etika KEdokteran & hukum kesehatan,(Jakarta: buku kedokteran ECG,2009), hal. 56 97 Chrisdiono M. Achadiat. Op. Cit. Hal. 12 98 Ibid.
Pada dalam keadaan darurat, hak ini secara otomatis gugur dan dalam situasi demikian dokter tidak punya pilihan lain kecuali piha lain yang dianggap lebih mampu untuk itu. 99 e)
Hak atas privasi Hak ini merupakan keseimbangan dengan hak pasien untuk menjaga
kerahasiaan pribadinya. Pasien mengetahui kehidupan pribadi dokter, perlu menahan diri untuk tidak menyebar luaskan hal –hal yang sangat bersifat pribadi dari dokternya. 100 f)
Hak atas Fairplay Dalam hal ini pasien yang merasa tidak puas dengan perawatan yang
diberikan oleh dokter, maka dokter yang merawat berhak memperoleh pemberitahuan yang pertama untuk peristiwa tersebut, karena hubungan professional dokter-pasien dimulai oleh kemauan dan itikad bail dari kedua belah pihak. 101 g)
Hak atas imbalan jasa. Hak ini sesuai dengan persetujuan atau kontrak terapiutik yang terbentuk
pada saat terjalinnya hubungan professional dokter-pasien. Yang perlu ditekankan bahwa besar atau kecil imbalan, sama sekali tidak boleh mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dan tidak terpengaruh oleh ada tidaknya imbalan tersebut. 102 h)
Hak ketentraman bekerja
99
Ibid. Hal 13 M. Jusuf Hanafiah, Op.Cit. hal. 55 101 Chrisdiono M. Achadiat, .Loc .Cit. 102 Ibid. 100
Seorang dokter memerlukan suasana tentram agar dapat bekerja dengan baik. Permintaan yang tidak wajar dan sering diajukan oleh pasien atau keluarga, bahkan disertai dengan tekanan psikis atau fisik, tidak akan membantu dokter dalam memelihara keluhuran profesinya. Sebaliknya dokter akan bekerja dengan tentram jika dokter sendiri memegang teguh prinsip-prinsip ilmiha dan moral/etika profesi. 103
2) Kewajiban dokter Sejak mulai adanya hubungan pasien-dokter, hukum menetapkan kewajiban-kewajiban sebagai berikut : a) Kewajiban dokter untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan profesinya. Apabila seseorang sudah menyandang gelar dokter dan sudah memperoleh izin praktik, maka dirinya harus dapat diharapkan, setidaknya ia mempunyai kemampuan, kepandaian dan keterampilan dari seorang dokter. Jika ia seorang spesialis maka tolak ukurnya juga dari seorang spesialis di bidangnya. 104 Sumber pengetahuan dan keterampilan medik diperoleh dari : 105 1. Fakultas kedokteran sewaktu masih kuliah dan praktek klinik. 2. Hasil mengikuti perkembangan bidan profesinya dengan melakukan penelitian dan membaca kepustakaan, menghadiri seminar, kinferensi dan konvensi-konvensi internasional. 3. Hasil diskusi dengan para teman, mengadakan observasi dari aktifitas dokter-dokter lain dirumah sakit, klinik, dll.
103
M. Jusuf Hanafiah, Loc.Cit. J. Guwandi, Op. Cit . Hal 27 105 Ibid. 104
b) Kewajiban untuk mempergunakan ilmu pengetahuan dan keterampilannya dengan hati-hati, wajat dan teliti sebagaimana dilakukan oleh dokter-dokter lain dalam situasi dan kondisi yang sama. Untuk mengetahui apakah dokter telah melakukan
kewajibannya
berdasarkan standard profesi atau tidak, telah bertindak dengan hati-hati dan teliti, harus memakai tolak ukur seorang dokter lain di daerah lokasi yang sama. Dalam hal ini tolak ukur yang dipergunakan termasuk juga keadaan lokasi setempat yang mungkin berlainan. 106 c) Kewajiban seorang dokter harus memakai pertimbangan yang terbaik. Dokter mempunyai pilihan dalam menentukan manajemen pengobatan yang akan diterapkannya kepada pasien. Bisa saja memberi obat-obat dan juga pembedahan. Didalam pemilihan obat, seorang dokter bebas memilih diantara sekian banyak obat yang terdapat dipasaran. Ia harus memakai penilaian dan pertimbangan yang terbaik untuk menyembuhkan penyakit pasiennya. 107 d) Kewajiban memberikan informasi tentang tindak medic yang akan dilakukan terhadap pasien. Kewajiban ini berdasarkan hak pasien untuk mengetahui semua informasi medic yang dipahaminya, sehingga kemudian ia dapat memutuskan menerima atau tidak tindak medis atas dirinya itu. Dalam keadaaan tertentu dokter dapat menahan informasi tersebut, yakni dalam hal informasi tersebut akan memperlemah daya tahan pasien. 108 e) Kewajiban menolong pasien gawat darurat. 106 107 108
Ibid. Hal. 28 Ibid. Hal 29 Chrisdiono M. Achadiat, Op. Cit. Hal. 10
Sebenarnya kewajiban ini terdapat pada semua manusia, yakni menolong sesama manusia yang berada didalam keadaan darurat, tetapi pada diri dokter hal ini lebih menonjol karena dokter lebih menguasai ilmu tentang manusia dan kesehatan. Pada saat keadaan darurat dokter dapat bertindak tanpa persetujuan pasien, sedangkan gugatan terhadap dokter dalam keadaan darurat ditiadakan, meskipun dalam kasus ini dokter telah bertindak tanpa ijin pasien. 109 3) Hak dan kewajiban Dokter berdasarkan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran. Didalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, terdapat hak dokter yang terdapat di pasal 50 yang berbunyi : Pasal 50 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak : a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional; c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan d. menerima imbalan jasa.
Dan dokter juga memiliki kewajiban yang tercantum didalam pasal 51 yang berbunyi : Pasal 51 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban : a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; 109
Ibid. Hal 12
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Selain beberapa kewajiban dokter terhadap pasien yang telah diuraikan di atas, UU praktik kedokteran masih memberikan beberapa kewajiban kepada dokter, antara lain : a) Kewajiban untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan Kewajiban mengikiti pendidikan dan pelatihan terdapat di dalam pasal 28 ayat (1) dan pasal 51 e sebagai berikut : Pasal 28 Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lainyang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi. Pasal 51 e Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. b) Kewajiban mengurus Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP). Dokter berkewajiban mengurus surat tanda registrasi dan surat izin praktik sebagai syarat untuk dapat melakukan praktik kedokteran. 1) Surat tanda registrasi Tercantum didalam pasal pasal 29 ayat (1) yang berbunyi : Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
2) Surat izin praktik Tercantum didalam pasal 36, pasal 37 dan pasal 38 UU praktik kedokteran Pasal 36 Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik. Pasal 37 (1) Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan. (2) Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat. (3) Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik. Pasal 38 (1) Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau dokter gigi harus : a. memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31, dan Pasal 32; b. mempunyai tempat praktik; dan c. memiliki rekomendasi dari organisasi profesi. (2) Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang : a. surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi masih berlaku; dan b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin praktik c)
Kewajiban dalam pelaksanaan praktik kedokteran Dalam penyelenggaraan praktik kedokteran diatur didalam pasal 39, 40,
41, 42, 43, 44, 45, 46 dan pasal 47 UU praktik kedokteranyang berbunyi : Pasal 39 Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Dari bunyi pasal 39 tersebut, maka setiap dokter atau dokter gigi menyelenggarakan prakti kedokteran harus mempunyai prinsip atau dasar sebagai berikut : 110 a. Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan kesepakatan. Hal ini berarti bahwa dokter tidak memaksakan kehendaknya kepada pasien, dokter juga harus mendengarkan keluhan dan pendapat pasien. Demikian pula sebaliknya pasien menyampaikan informasi yang jujur dan mempunyai itikad baik dalam mematuhi instruksi dan nasihat dari dokter guna kesembuhan dirinya. b. Praktik kedokteran harus berupaya untuk pemeliharaan kesehatan, tidak hanya pengobatan penyakit saja, tetapi dalam melaksanakan praktik kedokteran, dokter dan dokter gigi juga harus melakukan pencegahan
penyakit,
meningkatkan
kesehatan
dan
berupaya
memulihkan kesehatan pasien yang memeriksakan dirinya kepadanya. Pasal 40 (1) Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti. (2) Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dokter atau dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa jika dokter atau dokter gigi yang melaksanakan
praktik
tersebut
berhalangan
menyelenggarakan
praktik
kedokteran. Misalnya dokter yang bersangkutan sakit, atau harus melakukan tugas kedinasan/kenegaraan, dokter atau dokter gigi tersebut menginformasikan kepada pasien yang bersangkutan untuk menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti. 111
110 111
Anny Isfandyarie. Op.Cit. Hal 110 Ibid. Hal 111
Pasal 41 (1) Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran. (2) Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran. Pasal 42 (1) Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut. Pasal 43 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan praktik kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 44 (1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. (2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan. (3) Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Yang dimaksud dengan standar pelayanan adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran. Yang dimaksud dengan strata sarana pelayanan adalah tingkatan pelayanan kesehatan yang standar tenaga peralatannya sesuai dengan kemampuan yang diberikan. 112 Pasal 45 (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup : a. diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dan risikonya; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan 112
Ibid.
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. (5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. (6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 46 (1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis. (2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan. (3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. Pasal 47 (1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien. (2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan. (3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. d) Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Kewajiban untuk menyimpan rahasia kedokteran tercantum di dalam pasal 48 ayat (1) yang berbunyi : Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. Selain tercantum dalam pasal 48 ayat (1), pasal 51 c juga memberikan kewajiban dokter untuk merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan setelah pasien itu meninggal dunia. 113 e)
Kewajiban menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.
113
Ibid. Hal. 112
Kewajiban untuk menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biasa yang melaksanakan praktik kedokteran dapat dilakukan audit medis, seperti yang tercantum di pasal 49 UU praktik kedokteran. Pasal 49 (1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya. (2) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan audit medis. (3) Pembinaan dan pengawasan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh organisasi profesi.
Kendali mutu adalah suatu system pemberian pelayanan yang efisien, efektif dan berkualitas yang memenuhi kebutuhan pasien. Sedangkan kendali biaya dapat diartikan sebagai pembiayaan pelayanan kesehatan yang dibebankan kepada pasien benar-benar sesuai dengan kebutuhan medis pasien didasarkan pola tariff yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. 114 C. Hak dan Kewajiban Rumah Sakit a. Hak dan kewajiban Rumah Sakit menurut UU No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit Hak-hak rumah sakit terdapat dalam pasal 30 ayat (1) undang-undang No. 44 tahun 2009 yaitu : Pasal 30 (1) Setiap Rumah Sakit mempunyai hak: a. menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit; b. menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan pelayanan;
114
Ibid. Hal 116
d. menerima bantuan dari pihak lain sesua dengan ketentuan peraturan perundangundangan; e. menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian; f. mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan; g. mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan h. mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan.
Dan kewajiban rumah sakit terdapat dalam pasal 29 Undang-undang No. 44 tahun 2009 yaitu : Pasal 29 (1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban : a. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat; b. memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit; c. memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya; d. berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya; e. menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin; f. melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpauang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan; g. membuat, melaksanakan, dan menjaga standard mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien; h. menyelenggarakan rekam medis; i. menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia; j. melaksanakan sistem rujukan; k. menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan; l. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien; m. menghormati dan melindungi hak-hak pasien; n. melaksanakan etika Rumah Sakit; o. memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;
p. melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional; q. membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya; r. menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws); s. melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan t. memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok. Rumah sakit memberikan hak pasien, juga harus menjaga keselamatan pasien sesuai dengan standar keselamatan pasien. Standard keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan. 115 Selain itu rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadapt semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Jadi apabila pasien tidak mendapatkan haknya karena kelalaian dari tenaga kesehatan, maka pihak rumah sakit wajib bertanggung jawab atas kerugian pasien tersebut. Untuk mengetahui keluhan pasien terhadap pelayanan rumah sakit biasanya di beberapa rumah sakit terdapat unit pengaduan pasien yang berfungsi sebagai tempat mengadu pasien atas tindakan dan kelalaian dari tenaga kesehatan dan ketidakpuasan atas pelayanan rumah sakit. 3. Tanggung Jawab Dokter Dan Rumah Sakit. a. Pertanggung Jawaban Dokter Dalam Hukum Pertanggung jawaban hukum seorang dokter sebagai profesi, dokter harus bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya. Karena tanggung jawab dokter dalam hukum, maka dokter juga harus mengerti dan memahami ketentuan-
115
Pasal 43 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit.
ketentuan hukum yang berlaku dalam pelaksanaan profesinya. 116 Tanggung jawab hukum akan sangat membantu dokter dalam mengantisipasi kemungkinan tuntutan pasien yang dapat terjadi dalam upaya medis yang dilakukan dokter. 117 Kesadaran dokter terhadap kewajiban hukumnya baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain dalam menjalankan profesinya harus benar-benar dipahami oleh dokter sebagai pengemban hak dan kewajiban. Kewajiban hukum pada intinya menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seorang dokter, atau apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan dalam menjalankan profesi dokter. Kewajiban hukum dokter mencakup kewajiban hukum yang timbul karena profesi dan kewajiban yang timbul dari kontrak terapiutik ( penyembuhan ) yang dilakukan dalam hubungan dokter dan pasien. Kewajiban itu mengikat setiap dokter yang selanjutnya menimbulkan tanggung jawab hukum bagi diri dokter yang bersangkutan. Dalam menjalankan kewajiban hukumnya, diperlukan adanya ketaatan dan kesungguhan dari dokter tersebut dalam melaksanakan kewajiban sebagai pengemban profesi. Kesadaran hukum yang dimiliki dokter harus berperan dalam diri dokter tersebut bisa mengendalikan dirinya sehingga tidak melakukan kesalahan profesi agar terhindar dari sanksi yang diberikan oleh hukum. 118 Kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh seorang dokter, selain dapat dituntut melalui unsur-unsur pidana, juga dapat digugat ganti rugi secara perdata dalam hal pasien menderita kerugian. Penuntutan dalam hukum oidana hanya dapat dituntut dalam hal pasien menderita cacat
116
Anny Isfandyarie, Op.Cit. Hal 3 Ibid. Hal 4 118 Ibid. Hal. 5 117
permanen atau meninggal dunia, tetapi gugatan secara perdata dapat dilakukan jika pasien menderita kerugian meskipun terjadi kesalahan kecil. 119 Keterikatan
dokter
terhadap
ketentuan-ketentuan
hukum
dalam
menjalankan professinyamerupakan tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi dokter yang pada dasarnya meliputi 3 bentuk pertanggung jawaban, yaitu : 120 a. Bidang hukum administrasi dimuat didalam undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran b. Bidang hukum pidana yang terdiri dari : 1) Kitab undang-undang hukum pidana 2) Ketentuan pidana dalam undang-undang 36 tahun 2009 tentang kesehatan. 3) Ketentuan pidana dalam undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran. c. Bidang hukum perdata, yang terdiri dari : 1) Buku III BW tentang perikatan 2) Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. a.
Pertanggung jawaban dokter dalam hukum pidana Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana, apabila secara teoritis paling sedikit mengandung 3 unsur, yaitu : 1) Melanggar norma hukum pidana tertulis. 2) Bertentangan dengan norma hukum 3) Berdasarkan suatu kelalaian atau kesalahan besar.
119 120
Wila Chandrawila Supriadi. Op Cit. Hal. 43 Anny Isfandyarie, Op Cit.. Hal 6
Hukum pidana termasuk dalam hukum yang berlaku umum, dimana setiap orang harus tunduk kepada peraturan dan pelaksanaan perauran ini. Setiap masyarakat (termasuk dokter) tanpa kecuali harus taat, juga termasuk orang asing yang berada di Indonesia. Ukuran yang digunakan dalam hukum pidana adalah kesalahan atau kelalaian, bukan kelalaian ringan seperti hukum perdata. Penilaiannya adalah terhadap seseorang/dokter dengan tingkat kepandaian dan keterampilan yang rata-rata. Dengan demikian kelalaian atau kesalahan besar itu seharusnya tidak dilakukan apabila dokter bertindak secara wajar dan hati-hati. 121 b.
Pertanggung jawaban dokter dalam hukum perdata. Sehubungan dengan tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum
perdata, maka ada 2 bentuk pertanggung jawaban, maka ada 2 bentuk pertanggung jawaban pokok, yaitu : 122 a) Pertanggung jawaban
atas
kerugian
yang
disebabkan
karena
wanprestasi. b) Pertanggung jawaban atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum. Pertanggung jawaban perdata bertujuan memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita disamping untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu dasar untuk menuntut tanggung jawab dokter dianggap telah merugikan pasiennya adalah perbuatan melawan hukum dan wanprestasi.yang memberikan hak kepada yang dirugikan untuk menerima
121 122
Chrisdiono M. Achadiat, Op Cit. Hal 25 Anny isfandyarie. Loc. Cit. Hal. 6
konpensasi dari pihak lain yang mempunyai kewajiban terhadap pihak yang menderita kerugian tersebut. 123 Safitri hariyani dalam sengketa medik, membagi pertanggung jawaban dalam bidang hukum perdata sebagai berikut : 1) Pertanggung jawaban atas kerugian yang disebabkan karena wanprestasi. (1239 KUHPerdata) Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi kewajibannya dimana seseirang tidak memenuhi kewajibannya yang berdasarkan perjanjian atau kontrak. Menurut ilmu hukum perdata, seseorang dianggap melakukan wanprestasi apabila : 124 a) Tidak melakukan yang disanggupi b) Terlambat melakukan apa yang dijanjikan c) Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sesuai dengan yang dijanjikan d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Gugatan yang berkaitan dengan wanprestasi ini biasanya berupa gugatan ganti rugi terhadap dokter yang dianggap telah melakukan perbuatan yang merugikan pasien. Dalam gugatan wanprestasi ini, pasien harus mempunyai buktibukti kerugian sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dokter terhadap dirinya sebagaimana yang telah dijanjikan dokter tersebut. 125 2) Pertanggung jawaban atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
123
Ibid. Ibid. Hal 8 125 Ibid. Hal 10 124
Tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum dapat diajukan berdasarkan asal 1365 KUHPerdata. Beda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perikatan yang lahir karena perjanjian(wanprestasi), maka perbuatan melawan hukum tidak harus didahului adanya perjanjian. Unsur-unsur yang dapat dipakai sebagai dasar pengajuan tuntutan perbuatan melawan hukum adalah : 126 a) Adanya perbuatan melawan hukum b) Adanya kerugian c) Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian d) Adanya kesalahan. Berdasarkan yurisprudensi 1919, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah tindakan atau kelalaian yang memenuhi kriteria sebagai berikut : 127 a) Melanggar hak orang lain b) Bertentangan dengan kewajiban hukum diri sendiri c) Menyalahi pandangan etis umumnya dianut (adat istiadat yang baik) atau kesusilaan yang baik. d) Berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain. Untuk dapat menuntut dokter dengan tuntutan perbuatan melawan hukum, pasien harus dapat menunjukkan adanya kesalahan dokter karena kelalaiannya dalam menjalankan kewajiban profesionalnya, menimbulkan kerugian bagi 126 127
Ibid. Hal 11 Ibid.
pasien. Kerugian yang terjadi harus dapat dijelaskan sebagai akibat dari tindakan dokter yang lalai, atau dengan kata lain ada hubungan sebab akibat yang jelas serta tidak ada alasan pembenar. 128 Seorang dokter dapat dinyatakan melakukan kesalahan dan harus membayar ganti rugi, bila antara kerugian yang ditimbulkan terdapat hubungan yang erat dengan kesalahan yang dilakukan dokter tersebut. Dalam menentukan kesalahan dokter, kita harus mengacu kepada standar profesi, sehingga dalam pelaksanaan praktik kedokteran, perbuatan melawan hukum dapat di identikkan dengan perbuatan dokter yang bertentangan atau tidak sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi pengemban profesi dibidang kedokteran. 129 Untuk praktik kedokteran yang dilaksanakan di rumah sakit, biasanya dokter tidak bekerja sendiri seperti pada praktik kedokteran perorangan, terutama dalam penanganan rawat inap. Sehubungan dengan penanganan pasien rawat inap, dokter memerlukan bantuan tenaga kesehatan lainnya dibawah perintahnya, yaitu bidan, perawat, dokter asisten maupun peserta pendidikan spesialis, dan sebagainya. Kesalahan seorang perawat karena perintah dokter, menjadi tanggung jawab dokter yang memberikan perintah tersebut. Penanggung jawab seperti ini menganut dokrin majikan-karyawan, dimana dokter merupakan majikan yang harus
mempertanggung
jawabkan
perbuatan
pengawasannya. 130 b. Pertanggung Jawaban Rumah Sakit Dalam Hukum
128
Ibid. Hal 12 Ibid. Hal 13 130 Ibid. 129
karyawan
dibawah
Rumah sakit adalah organisasi penyelenggara pelayanan public yang mempunyai tanggung jawab atas setiap pelayanan jasa kesehatan yang diselenggarakan. Tanggung jawab tersebut yaitu menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau berdasarkan prinsip aman, menyeluruh, non diskriminatif, partisipatif, dan memberikan perlindungan bagi masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan. 131 Sebagai pusat penyelenggara pelayanan kesehatan, maka rumah sakit sebagai organisasi dituntut untuk menyelenggarakan pelayanan yang bermutu bagi masyarakat. Menurut keputusan Menteri kesehatan republic Indonesia nomor 722/menkes/SK/XII/2002 tentang pedoman internal rumah sakit, bahwa rumah sakit merupakan suatu yang pada pokoknya dikelompokkan menjadi pelayanan medis dalam arti luas yang menyangkut kegiatan Promotif (peningkatan), preventif (pencegahan), Kuratif (penyembuhan), dan rehabilitatif ( penyembuhan). Berdasarkan ketentuan tersebut pada dasarnya terdapat empat bagian yang berkaitan dengan tanggung jawab rumah sakit selaku pelayanan medis, yaitu : 132 a. Tanggung jawab terhadap personalia b. Tanggung jawab professional terhadap mutu c. Tanggung jawab terhadap sarana/peralatan d. Tanggung jawab terhadap keamanan bangunan dan perawatannya. Tanggung jawab Hukum rumah sakit, Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
131
Syahrul Machmud,Penegakkan hukum dan perlindungan bagi dokter yang diduga melakukan malpraktik,(Bandung:Karya putra darwati, 2012), hal. 161 132 Titik tri wulan, perlindungan hukum bagi pasien,(Jakarta:prestasi pustaka,2010), Hal. 51
dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. 133 Tanggung jawab hukum rumah sakit dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan terhadap pasien dapat dilihat dari hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi. a.
Pertanggung jawaban rumah sakit dalam hukum pidana. Dalam hukum pidana dianut asas “tiada pidana tanpa kesalahan”,
selanjutnya dalam pasal 2 kitab undang-undang hukum pidana disebutkan “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setia orang yang berada dalam wilayah Indonesia, dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana atas kesalahan yang dibuatnya. Hubungan rumah sakit dan pasien dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan adalah adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pihak rumah sakityang memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana sebagaimana diatur didalam ketentuan pidana. Perbuatan pidana rumah sakit terhadap pasien dapat berupa kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh seorang dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang menyebabkan kerusakan/cacat pada tubuh korban, dimana kesalahan atau kelalaian tersebut merupakan suatu kesengajaan. Perbuatan pidana ini akan melahirkan tanggung jawab pidana berupa denda dan pencabutan izin operasional rumah sakit. 134 b.
Pertanggungjawaban rumah sakit dalam hukum perdata Hubungan hukum rumah sakit-pasien adalah sebuah hubungan yang
menekankan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak secara timbale balik. Rumah sakit berkewajiban untuk memenuhi hak-hak pasien dan sebaliknya pasien memenuhi hak-hak rumah sakit. Kegagalan salah satu 133
Lihat pasal 46 Undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit. http://drampera.blogspot.com/2011/04/tanggung-jawab-pelayanan-publik-rumah.html, diakses pada tanggal 1 september 2014 134
pihak memenuhi hak-hak pihak lain, apakah karena wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum akan berakibat pada gugatan atau tuntutan perdata yang berupa ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh pasien.
135
Dalam
tanggung jawab perdata, mengenai tanggung jawab diatur pada pasal 1367 KUHPerdata sebagai penjabaran tentang meengenai siapa dan apa saja yang dibawah tanggung jawabnya. Tanggung jawab hukum perdata ini membawa akibat bahwa yang bersalah (yaitu yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain) harus membayar ganti rugi. Secara perdata pasien yang merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi berdasarkan pasal 1365 jo 1367 KUHPerdata. c.
Pertanggung jawaban rumah sakit dalam hukum administrasi Hukum administrasi dalam hubungan rumah sakit-pasien adalah
menyangkut
kebijakan-kebijakan
(policy)
atau
ketentuan-ketentuan
yang
merupakan syarat administrasi pelayanan kesehatan yang harus dipenuhi dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang bermutu. Kebijakan atau ketentuan hukum adminstrasi tersebut mengatur tata cara penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang layak dan pantas sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit, standar operasional dan standar profesi. Pelanggaran terhadap kebijakan atau ketentuan hukum administrasi dapat berakibat sanksi hukum administrasi yang berupa pencabutan izin usaha atau pencabutan izin badan hukum bagi rumah sakit, dan bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya dapat berupa teguran lisan atau tertulis, pencabutan surat izin praktik, penundaan gaji. 136 B. Pengaturan Jamkesmas Terkait Dengan Berlakunya Bpjs Kesehatan 135
http://drampera.blogspot.com/2011/04/tanggung-jawab-pelayanan-publik-rumah.html, diakses pada tanggal 1 september 2014 136 http://drampera.blogspot.com/2011/04/tanggung-jawab-pelayanan-publik-rumah.html, diakses pada tanggal 1 september 2014
1. Pengertian Jamkesmas
Jaminan Sosial Masyarakat (JAMKESMAS) adalah bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi fakir miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayar oleh Pemerintah, diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan sejak tahun 2008 dan merupakan perubahan dari Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin /JPKMM atau lebih dikenal dengan program ASKESKIN yang diselenggarakan pada tahun 2005-2007. 137
Perubahan mendasar penyelenggaraan dari Program ASKESKIN ke Program JAMKESMAS didasari atas pertimbangan untuk pengendalian biaya pelayanan
kesehatan,
peningkatan
mutu,
transparansi
dan
akutabilitas
penyelenggaraan program. Perubahan meliputi: 138
a.
pemisahan peran pembayar dengan verifikator melalui penyaluran dana langsung ke Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dari Kas Negara
b.
penggunaan tarif paket Jaminan Kesehatan Masyarakat di Rumah Sakit
c.
penempatan pelaksana verifikasi di setiap Rumah Sakit
d.
pembentukan Tim Pengelola dan Tim Koordinasi di tingkat Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota, serta
e.
penugasan PT Askes (Persero) untuk melaksanakan pengelolaan kepesertaan
Jamkesmas atau Jaminan Kesehatan Masyarakat adalah sebuah program jaminan kesehatan untuk warga Indonesia yang memberikan perlindungan sosial 137
http://www.jamsosindonesia.com/prasjsn/jamkesmas/regulasi,
tanggal 1 september 2014 138 Ibid.
diakses
pada
dibidang kesehatan untuk menjamin masyarakat miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayar oleh pemerintah agar kebutuhan dasar kesehatannya yang layak dapat terpenuhi.Program ini dijalankan oleh Departemen Kesehatan sejak 2008. Program
Jaminan
Kesehatan
Masyarakat
(Jamkesmas)
diselenggarakan
berdasarkan konsep asuransi sosial. Program ini diselenggarakan secara nasional dengan tujuan untuk : 139 b.
mewujudkan portabilitas pelayanan sehingga pelayanan rujukan tertinggi yang disediakan Jamkesmas dapat diakses oleh seluruh peserta dari berbagai wilayah;
c.
agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin Peserta yang dijamin dalam program Jamkesmas tersebut meliputi : 140
1.
Masyarakat miskin dan tidak mampu yang telah ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota mengacu pada: a) Data masyarakat miskin sesuai dengan data BPS 2008 dari Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang telah lengkap dengan nama dan alamat yang jelas (by name by address). b) Sisa kuota: total kuota dikurangi data BPS 2008 untuk kabupaten/kota setempat yang ditetapkan sendiri oleh kabupaten/kota setempat lengkap dengan nama dan alamat (by name by address) yang jelas.
2.
Gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar, masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas.
139
http://id.wikipedia.org/wiki/Jamkesmas, diakses pada tanggal 1 september 2014
140
Ibid.
3.
Peserta Program Keluarga Harapan (PKH) yang tidak memiliki kartu Jamkesmas.
4.
Masyarakat miskin yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Kepesertaan
Nomor
1185/Menkes/SK/XII/2009
Jamkesmas
bagi
Panti
Sosial,
tentang Penghuni
Peningkatan Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara serta Korban Bencana Pasca Tanggap Darurat. Tata laksana pelayanan diatur dengan petunjuk teknis (juknis) tersendiri sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1259/Menkes/SK/XII/2009 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Jamkesmas Bagi Masyarakat Miskin Akibat Bencana, Masyarakat Miskin Penghuni Panti Sosial, dan Masyarakat Miskin Penghuni Lembaga Pemasyarakatan serta Rumah Tahanan Negara 5.
Ibu hamil dan melahirkan serta bayi yang dilahirkan (sampai umur 28 hari) yang tidak memiliki jaminan kesehatan
6.
Penderita Thalassaemia Mayor yang sudah terdaftar pada Yayasan Thalassaemia Indonesia (YTI) atau yang belum terdaftar namun telah mendapat surat keterangan Direktur RS sebagaimana diatur dalam Petunjuk Teknis Jaminan Pelayanan Pengobatan Thalassaemia Fasilitas Kesehatan/Pemberi Pelayanan Kesehatan yang telah memberi
pelayanan kesehatan kepada peserta Jamkesmas membuat pertanggungjawaban Dana pelayanan kesehatan dengan menggunakan Software INA-CBG’s dan selanjutnya diverifikasi oleh Verifikator Independen Jamkesmas 141 2. Landasan Filosofis dan Landasan Yuridis Jamkesmas
141
Ibid.
a. Landasan filosofis Program JAMKESMAS sebagai kelanjutan dari Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin atau dikenal Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (ASKESKIN) diselenggarakan sejak Agenda 100 Hari Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu untuk mengatasi hambatan dan kendala akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan dan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat miskin. Kebijakan JAMKESMAS/ASKESKIN dilaksanakan untuk memenuhi hak dasar setiap individu/semua warga negara termasuk masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Kebijakan ini merujuk pada Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Tahun 1948 dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28 H. 142 Program JAMKESMAS diselenggarakan untuk: 143 1)
Memberikan kemudahan dan akses pelayanan kesehatan kepada peserta di seluruh jaringan fasilitas kesehatan yang melaksanakan program Jamkesmas.
2)
Mendorong peningkatan pelayanan kesehatan yang terstandar dan terkendali mutu dan biayanya.
3)
Terselenggaranya pengelolaan keuangan Negara yang transparan dan akuntabel. Kebijakan
JAMKESEMAS
/
ASKESKIN
diselenggarakan
oleh
Kementerian Kesehatan untuk menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu selama masa transisi pelaksanaan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Selanjutnya, 142
http://www.jamsosindonesia.com/prasjsn/jamkesmas/regulasi,
tanggal 1 september 2014 143 Ibid.
diakses
pada
penyelenggaraan akan diserahkannya kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sesuai UU SJSN. 144 b. Landasan yuridis Keputusan Menteri Kesehatan No. SK No. 1241/Menkes/SK/XI/2004 tentang Penugasan PT Askes (Persero) Dalam Pengelolaan Program Pemeliharaan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin. 145 Peraturan perundang undangan terkait jamkesmas 146 A) Undang-Undang Dasar 1945: 1.
Pasal 28 H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
2.
Pasal 34 ayat (1) bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, sedangkan ayat (3) bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.
B) Pendanaan dan Pengelolaan Dana: 1.
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286)
2.
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 No. 5, Tambahan Lemb. Negara Nomor 4355)
3.
UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4400)
144
Ibid. Ibid. 146 Ibid. 145
4.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637)
5.
UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4920)
6.
UU No. 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4920) a)
PerMen Keuangan No. 134/PMK.6/2005tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
b)
PerMen Keuangan No. 91/PMK.06/2007tentang Bagan Akun Standar
C) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan: 1.
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063)
2.
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
3.
UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Tahun 2004 No. 116, Tambahan Lembaran Negara No. 4431) PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637)
4.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 12 tahun
2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 4844). PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antar Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737). PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4741). 5.
PerPres No. 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006
6.
PerMen Kesehatan No. 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1279/Menkes/Per/XII/2007
3. Jamkesmas Terkait Dengan Berlakunya Bpjs Kesehatan BPJS
Kesehatan
(Badan
Penyelenggara
Jaminan
Sosial
Kesehatan) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan
pemeliharaan kesehatan bagi
seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa. 147
147
2014
http://id.wikipedia.org/wiki/BPJS_Kesehatan, di akses pada tanggal 1 september
BPJS
Kesehatan
bersama BPJS
Ketenagakerjaan (dahulu
bernama
Jamsostek) merupakan program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2014. 148 BPJS Kesehatan sebelumnya bernama Askes (Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014. Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan hampir miskin. Semenjak diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) semenjak 1 Januari 2014, maka program Jamkesmas melebur kedalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Masyarakat miskin dan hampir miskin yang sebelumnya menjadi peserta Jamkesmas akan secara otomatis menjadi peserta JKN ini. 149 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib berdasarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Untuk masyarakat miskin yang tadinya merupakan peserta Jamkesmas, iuran 148
Ibid.
149
http://www.jkn.kemkes.go.id, diakses pada tanggal 1 september 2014
kepesertaannya dibayarkan oleh Pemerintah yang disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI). 150 Dengan berlakunya Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mana Jamkesmas sudah dikelola oleh BPJS Kesehatan, tidak ada perbedaan dalam pelayanan kesehatan sebelum ataupun sesudah dikelola oleh BPJS Kesehatan. Yang berbeda hanya perubahan kebijakan saja. 151 Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS. Ini sesuai pasal 14 UU BPJS. Setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Sedangkan orang atau keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajib mendaftarkan diri dan anggota keluarganya pada BPJS. Setiap peserta BPJS akan ditarik iuran yang besarnya ditentukan kemudian. Menjadi peserta BPJS tidak hanya wajib bagi pekerja di sektor formal, namun juga pekerja informal. Pekerja informal juga wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan. Para pekerja wajib mendaftarkan dirinya dan membayar iuran sesuai dengan tingkatan manfaat yang diinginkan. Jaminan kesehatan secara universal diharapkan bisa dimulai secara bertahap pada 2014 dan pada 2019, diharapkan seluruh warga Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan tersebut. 152
150 151
Ibid. Wawancara dengan Conta Dora, Pegawai BPJS Kesehatan Kota BInjai, 27 November
2014 152
http://id.wikipedia.org/wiki/BPJS_Kesehatan, diakses pada tanggal 1 september 2014