PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA DI KABUPATEN BANYUMAS
SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Program Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh: CAHAYA SETIA NUARIDA TRIANA E1A011035
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015
i
LEMBAR PENGESAHAN
ii
PERNYATAAN:
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA DI KABUPATEN BANYUMAS Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Purwokerto,
Februari 2015
Penulis
iii
MOTTO
Hal yang benar-benar kau yakini pasti akan selalu terjadi, dan keyakinan akan suatu hal menyebabkannya terjadi (Frank Loyd Wright).
Empat hal untuk dicantumkan dalam kehidupan: Berpikir jernih tanpa terburu-buru; Menyayangi setiap orang dengan tulus; Bertindak dalam segala hal dengan motif yang termulia; Dan Percaya kepada Tuhan tanpa keraguan sedikitpun. (Hellen Keller).
iv
PERSEMBAHAN
ALLAH SWT, terima kasih atas semua rahmat, nikmat, dan kasih sayang yang selalu dicurahkan dalam kehidupanku…
Bapak (Alm) dan Mamah tercinta terima kasih atas setiap lantunan doa yang selalu mengiringi dalam setiap langkah hidupku, yang tak pernah lelah memberikan bimbingan, semangat, dan bantuan baik moril maupun materiil…
Kakak-kakak ku tersayang terima kasih atas semua dukungan, bantuan dan semua yang telah kalian berikan untukku… Adek Ku Rahmaa terimakasih yaaa atas semangatnyaaa…
Sahabat-sahabatku Opi, Firra, Ayi, Ade Wundy, Mona, Herlina, Elva, Zidny, terimakasih atas kebersamaan, semangat, dan bantuan yang selalu diberikan...
Teman seperjuangan angkatan 2011, Septi Dwi Wahyuni, S.H., Yuli Mega Siahaan, S.H., Natalia Dewi Anggraeni, S.H., Oky Wasrikaningrum, S.H., Dewi Indriyani, S.H., Sani v
Cipti Rianti, S.H., Satrio Samtha Nugraha, S.H., Rizki Nurmayanti, S.H., terima kasih atas kebersamaannya selama menjalani skripsi, nggak sia-sia yaa setiap hari kita nungguin ruang dosen dan Alhamdulillah akhirnya kita semua bisa lulus Mareeeet, jangan lupakan moment-moment kita yaaaa
Terima kasih untuk supportnya dan doanyaaa yaaa Ardhy kekasihku, ha..ha..ha..
vi
Kata Pengantar Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu mencurahkan Rahmat, Hidayah, dan
Kasih Sayang-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA DI KABUPATEN BANYUMAS”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada program Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari dalam penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
2.
Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S. selaku Dosen Pembimbing I sekaligus selaku Dosen Pembimbing Akademik yang berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta selalu memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;
3.
Bapak I Ketut Karmi Nurjaya, S.H.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta selalu memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;
vii
4.
Bapak H. Suyadi, S.H.,M.Hum. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukkan dalam penyempurnaan skripsi ini;
5.
Bapak (Alm) dan Mamah tercinta serta kakak-kakak ku yang selalu memberikan doa, dorongan, dan semangat hingga terselesaikannya skripsi ini;
6.
Para Dosen dan Staff karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman atas bantuan yang diberikan kepada penulis;
7.
Bapak Dian Eri Rahmadi di Dinas Perdagangan, Perindustrian, dan Koperasi Kabupaten Banyumas atas wawancara, bimbingan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis;
8.
Bapak Eko Puncak, S.H. di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang atas wawancara, bimbingan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis;
9.
Rekan-rekan seperjungan di Fakutas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, khususnya angkatan 2011;
10. Semua pihak yang terkait, yang telah memberikan pengarahan dan nasihat dalam penyusunan hingga dapat terselesaikannnya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun penulis berharap agar suatu saat nanti hasil karya ini dapat bermanfaat. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Purwokerto, Februari 2015
Penulis
viii
ABSTRAK Kosmetik telah menjadi kebutuhan pokok bagi manusia, khususnya kaum wanita yang selalu ingin tampil cantik. Keingian seorang wanita untuk selalu tampil cantik banyak dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang beriktikad tidak baik. Saat ini banyak beredar kosmetik yang mengandung bahan berbahaya, khususnya di Kabupaten Banyumas. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kabupaten Banyumas. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundangundangan (Statute Approach) yang bersifat deskriptif. Sumber data penelitian ini menggunakan data sekunder dari bahan kepustakaan yang didukung dengan data primer dari hasil wawancara. Data diuraikan dalam bentuk teks naratif secara sistematis. Metode analisis data yang digunakan adalah metode normatif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya telah dilakukan oleh pemerintah dan jajarannya dengan cara pembinaan dan pengawasan oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang (BBPOM) berdasarkan Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi Dan Peredaran Kosmetika, serta sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pengawasan oleh BBPOM dilakukan dengan dua metode yaitu Pre Market dan Post Market. Pre market adalah pengawasan yang dilakukan sebelum produk kosmetik diedarkan, antara lain penilaian dan pengujian atas mutu keamanan kosmetik. Post Market adalah pengawasan yang dilakukan setelah produk kosmetik diedarkan, antara lain inspeksi sarana produksi dan distribusi, sampling dan uji laboratorium untuk kosmetik di peredaran, penilaian dan pengawasan iklan kosmetik serta informasi edukasi masyarakat dan public warning. Pemerintah dalam hal ini telah melindungi hak-hak konsumen sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kata kunci: Perlindungan hukum, konsumen, kosmetik, bahan berbahaya.
ix
ABSTRACT Cosmetic has became the primary need for the human, especially for the female who always wants to perform beautiful. The female interest to keep always looking beautiful this has been used by the businessman who has bad interest. Recently there are many of the cosmetic that contains the dangerous elements, especially in the Regency of Banyumas. Therefore, the purpose of this research is to find out the protection of law for the female as the consumer to the cosmetic distribution that contains the dangerous elements in the Regency of Banyumas. This research uses the method of normative juridical by using the approach of Statute Approach that has the descriptive characteristic. Data source in this research uses the secondary data from the literature material that is supported with the primary data from the result of interview. Data is explained of narrative texts systematically. Method of data analysis in this research uses the method of qualitative normative. The result of research shows that the protection of law for the female consumer for the cosmetic distribution that contains the dangerous elements has been conducted by the government and its officers by giving the counseling and controlling by Medicine and Food Controller Board (BBPOM Semarang) under the regulation BPOM RI Number HK.03.1.23.12.11.10052 about Supervision Production and Distribution of Cosmetics, and than punishment based on Ordinance Number 36 in 2009 about the Healthy. The controlling by BBPOM is conducted using two methods that are Pre Market and Post Market. Pre Market is the controlling that is conducted before the cosmetic products are distributed such as the adjustment and examination for the safety quality of cosmetic. Post Market is the controlling that is conducted after the cosmetic product is distributed such as inspection of the production and distribution devices, sampling and laboratory examination for the cosmetic that have been distributed, adjustment and controlling of the cosmetic advertisement and education information for the society and public warning. Government in this case has protected the rights of consumer which has been regulated in the Ordinance Number 8 in 1999 about the Consumer Protection.
Keyword: Legal protection, consumer, cosmetics, dangerous elements.
x
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................ iii HALAMAN MOTTO ............................................................................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. v KATA PENGANTAR ............................................................................................ vii ABSTRAK ............................................................................................................. ix ABSTRACT ........................................................................................................... x DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................................ 1 B. Perumusan Masalah ......................................................................................... 7 C. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 7 D. Kegunaan Penelitian ........................................................................................ 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsumen 1. Pengertian Konsumen ................................................................................ 9 2. Hukum Perlindungan Konsumen .............................................................. 12 3. Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha dengan Konsumen .................... 13
xi
4. Pihak-pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen ....................... 15 5. Perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen ...................................... 18 6. Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen .............................................. 21 7. Tujuan Perlindungan Konsumen ............................................................... 22 8. Hak dan Kewajiban Konsumen ................................................................. 23 9. Penyelesaian Sengketa Konsumen ............................................................ 25 B. Pelaku Usaha 1. Pengertian Pelaku Usaha ........................................................................... 27 2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ............................................................ 28 3. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha ........................................... 30 4. Tanggung jawab Pelaku Usaha ................................................................. 32 C. Kosmetik 1. Pengertian Kosmetik ................................................................................. 40 2. Pengawasan Terhadap Peredaran Kosmetik .............................................. 41
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................... 61 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ................................................................................................ 66 B. Pembahasan ..................................................................................................... 103 BAB V PENUTUP A. Simpulan .......................................................................................................... 117 B. Saran ................................................................................................................ 118
xii
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 119 LAMPIRAN ........................................................................................................... 120
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, dalam kehidupan masyarakat modern khususnya kaum wanita mempunyai keinginan untuk tampil cantik. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar, tidak diherankan lagi banyak wanita rela menghabiskan uangnya untuk pergi ke salon, ke klinik-klinik kecantikan ataupun membeli kosmetik untuk memoles wajahnya agar terlihat cantik. Pada era perdagangan bebas sekarang banyak kosmetik yang beredar di pasaran dengan berbagai jenis merek. Keinginan seorang wanita untuk selalu tampil cantik banyak dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dengan memproduksi atau memperdagangkan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan untuk di edarkan kepada masyarakat. Kebanyakan wanita sangat tertarik untuk membeli produk kosmetik dengan harga murah serta hasilnya cepat terlihat. Oleh karena itu, wanita banyak yang memakai jalan alternatif untuk membeli suatu produk walaupun produk kosmetik yang dibelinya tidak memenuhi persyaratan serta tidak terdaftar dalam BPOM. Kosmetik tersebut mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau karena tidak adanya nomor izin edar dari BPOM, tidak adanya label bahan baku kosmetik, dan tidak adanya tanggal kadaluwarsa produk. Karena harganya yang murah, dan dapat dibeli dengan mudah sehingga kosmetik tanpa izin edar ini mudah dikonsumsi oleh masyarakat. Ketidaktahuan konsumen akan efek samping yang ditimbulkan dari kosmetik mengandung bahan berbahaya bisa dijadikan suatu alasan
1
mereka untuk masih tetap menggunakan kosmetik tersebut. Konsumen biasanya tidak meneliti suatu produk sebelum membeli, ini bisa menjadi salah satu faktor mengapa produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya masih diminati oleh para wanita. Mereka umumnya langsung membeli produk kosmetik tanpa pertimbangan terlebih dahulu mengingat produk yang dibeli memberikan efek samping secara langsung. Sehubungan dengan hal tersebut Ahmadi Miru dalam bukunya yang berjudul Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, menyatakan bahwa: Hal tersebut memungkinkan beredar luasnya kosmetik-kosmetik dalam memenuhi kebutuhan pasar yang menjadi ladang bisnis untuk pelaku usaha, baik kosmetik yang memiliki izin edar dari pemerintah sampai yang tidak berizin edar dari pemerintah. Kegiatan seperti ini seringkali dijadikan lahan bisnis bagi pelaku usaha yang mempunyai iktikad buruk akibat posisi konsumen yang lemah karena tidak adanya perlindungan yang seimbang untuk melindungi hak-hak dari konsumen.1
Selanjutnya Gunawan dan Ahmad Yani menyebutkan bahwa: Berbagai cara dilakukan oleh pelaku usaha untuk memasarkan produk kosmetik yang di produksi oleh mereka, misalnya yaitu dengan mencantumkan bahwa produk kosmetik tersebut buatan luar negeri yang di impor langsung ke Indonesia.2
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1175/MenKes/PER/VIII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika, menyebutkan mengenai pengertian kosmetik yaitu: Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, 1
Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hal. 1. 2 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Hal. 12.
2
mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ada sejumlah kosmetik yang mengandung bahan berbahaya, antara lain berupa Bahan Kimia Obat (BKO) yang dapat membahayakan tubuh manusia. Bahan Kimia Obat (BKO) tersebut antara lain seperti obatobatan jenis antibiotik, deksametason, hingga hidrokuinon. Jadi, yang dimaksud dengan bahan berbahaya (Bahan Kimia Obat) dalam kosmetik adalah bahan kimia obat yang dilarang penggunaannya dalam bahan baku pembuatan kosmetik, karena akan merusak organ tubuh manusia. Oleh karena itu penggunaan bahan kimia obat yang mengandung bahan berbahaya dalam pembuatan kosmetik dilarang. Berdasarkan penjelasan Kepala Balai Besar POM Semarang, Dra. Zulaimah MSi Apt, menyatakan bahwa: Pembuatan kosmetik di CV. Dherma Estetika Indonesia yang beralamat di Perumahan Permata Hijau blok 8 No. 57 Kelurahan Bancarkembar, Kecamatan Purwokerto, bahan baku kosmetik yang dipergunakan untuk pembuatan krim antara lain yaitu Bahan Kimia Obat (BKO). Salah satu bahan utama dalam pembuatan kosmetik tersebut yaitu hidrokuinon. Di Indonesia, bahan aktif hidrokuinon sangat dibatasi penggunaannya. Di masa lalu zat aktif hidrokuinon ini memang banyak digunakan untuk bahan baku krim pemutih atau pencerah kulit. Namun setelah banyak kasus masyarakat yang mengeluh terjadinya iritasi dan rasa terbakar pada kulit akibat pemakaian krim pemutih tersebut, maka penggunaan hidrokuinon sangat dibatasi.3
Konsumen yang mengeluh karena terjadi iritasi dan rasa terbakar pada kulit seperti dalam kasus di atas telah mengalami peristiwa yang menyebabkan mereka tidak aman dan
3
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/05/16/mmvzmy-bpom-sita-kosmetik-ilegalmengandung-obat-terlarang (diakses pada tanggal 18 September 2014).
3
tidak selamat. Ini berarti hak-hak mereka sebagai konsumen sebagaimana diatur dalam undang-undang menjadi terganggu. Keberadaan Indonesia sebagai negara hukum mengharuskan semua pihak apabila melakukan tindakan harus berlandaskan pada hukum, tidak terkecuali dengan pelaku usaha yang berkecimpung dalam bisnis kosmetik. Tindakan pelaku usaha menjual produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya (Bahan Kimia Obat) merugikan konsumen dan dapat dikatakan bertentangan dengan kewajiban pelaku usaha yang ditentukan dalam pasal 7 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan bahwa: Kewajiban Pelaku Usaha adalah beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan dapat menjamin tercapainya perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia. Perlindungan hukum merupakan salah satu hal terpenting dari unsur suatu negara hukum karena dalam pembentukan suatu negara akan dibentuk pula hukum yang mengatur tiap-tiap warga negaranya. Di sisi lain dapat dirasakan juga bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri, oleh karena itu negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya. Setelah kita mengetahui pentingnya perlindungan hukum, selanjutnya kita perlu juga mengetahui tentang pengertian perlindungan hukum itu sendiri. Beberapa ahli untuk mengungkapkan pendapatnya mengenai pengertian perlindungan hukum, diantaranya: 1. Menurut CST Kansil Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik
4
secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun. 2. Menurut Philipus M. Hadjon Perlindungan Hukum adalah Sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai upaya pemerintah dalam menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar dan bagi yang melanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan hal tersebut di atas dalam kaitannya dengan konsumen, maka UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai kewajiban serta larangan bagi konsumen dan pelaku usaha dalam melakukan kegiatan perdagangan. Ketidaktaatan konsumen dan pelaku usaha dalam kegiatan perdagangan dapat menimbulkan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Sengketa ini dapat berupa salah satu pihak tidak mendapat haknya karena pihak lain tidak memenuhi kewajibannya, misalnya konsumen yang mengalami kerugian setelah mengkonsumsi suatu produk tertentu. Sebagai contoh yaitu konsumen yang mengkonsumsi produk kosmetik dan menyebabkan iritasi pada kulit setelah pemakaian kosmetik tersebut. Sengketa yang timbul antara pelaku usaha dan konsumen dan berawal dari transaksi konsumen disebut sengketa konsumen. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah akhirnya menetapkan pembentukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berdasarkan Peraturan Presiden Republik
5
Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Pasal 67 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013, menyebutkan bahwa: BPOM mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan perlindungan konsumen dan pengawasan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, maka BPOM berusaha melakukan upaya pengawasan dan peringatan kepada pelaku usaha untuk tidak menjual kosmetik yang mengandung bahan berbahaya dan BPOM akan menarik kosmetik tersebut dari peredaran.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang seperti yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu: Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kabupaten Banyumas?
C.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kabupaten Banyumas.
D. 1.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan Teoretis
6
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
pengetahuan
bagi
perkembangan ilmu hukum dalam bidang Hukum Dagang, khususnya Hukum Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2.
Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi kepentingan akademis dan sebagai tambahan bahan kepustakaan, khususnya bagi yang berminat meneliti mengenai hukum perlindungan konsumen.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsumen 1. Pengertian Konsumen Konsumen sebagai istilah yang sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari yang perlu untuk diberikan batasan pengertian agar dapat mempermudah pembahasan tentang perlindungan konsumen. Berbagai pengertian tentang “konsumen” yang dikemukakan baik dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagai upaya ke arah terbentuknya Undang-Undang Perlindungan
Konsumen
maupun
dalam
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen, adalah sebagai berikut:4 Pengertian konsumen dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu: Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali.5
4
Ahmadi Miru, Op. Cit, Hal. 19. Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan Pemikiran Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen, 1981), Hal. 2. 5
8
Sebagai akhir dari usaha pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang di dalamnya dikemukakan pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Penjelasan mengenai pengertian konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 2 menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa : Dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan Konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Dapat diketahui pengertian konsumen dalam UUPK lebih luas daripada pengertian konsumen pada Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, karena dalam UUPK juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain. Hal ini berarti bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan kepada konsumen yang bukan manusia (hewan, maupun tumbuh-tumbuhan). Pengertian yang luas seperti itu, sangat tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas-luasnya kepada konsumen.6
6
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Rajawali Pers, Hal. 4-6.
9
Az. Nasution dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni: a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu; b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial); c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).7
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Hans W.Miklitz, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen yaitu: 1. Konsumen yang terinformasi (well informed) yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Memiliki tingkat pendidikan tertentu; b. Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar bebas; c. Lancar berkomunikasi. 2. Konsumen yang tidak terinformasi yang memiliki ciri-ciri: a. Kurang berpendidikan; b. Termasuk kategori ekonomi kelas menengah ke bawah; c. Tidak lancar dalam berkomunikasi.8
7
Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, Hal.
13. 8
Sidharta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo Edisi Revisi, Hal
3.
10
2. Hukum Perlindungan Konsumen a. Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen Menurut Shidarta dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa: Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering terdengar. Namun belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua “cabang” hukum itu identik.9 A.Z Nasution dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, mengemukakan bahwa: Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian khusus dari hukum konsumen. Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.10
Selanjutnya, Celina Tri Siwi Kristiyanti dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen, juga berpendapat bahwa: Dengan demikian, seyogianya dikatakan, hukum konsumen berskala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan
9
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo, Hal. 9. Az. Nasution, Op. Cit, Hal. 37.
10
11
pihak konsumen di dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan kita mengartikan.11
3. Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha dengan Konsumen a. Hubungan Langsung Menurut Ahmadi Miru dalam bukunya Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, menyatakan sebagai berikut: Hubungan langsung yang dimaksudkan adalah hubungan antara produsen dan konsumen yang terikat secara langsung dengan perjanjian. Tanpa mengabaikan jenis perjanjian-perjanjian lainnya, pengalihan barang dari produsen kepada konsumen, pada umumnya dilakukan dengan perjanjian jual beli, baik yang dilakukan secara lisan maupun tertulis.12
Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu bentuk perjanjian tertulis adalah perjanjian baku. Dimana perjanjian baku didasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yaitu: Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Pengertian “sah” tersebut di atas yaitu telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, sebagai berikut:
11 12
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, Hal. 5. Ahmadi Miru, Op.Cit, Hal. 34.
12
3.
Suatu hal tertentu;
4.
Suatu sebab yang halal.
Sehubungan dengan hal tersebut, R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan, menyatakan bahwa: Namun demikian, dipenuhinya keempat syarat di atas belum menjamin sempurnanya perjanjian yang dimaksud, karena masih ada ketentuan lain yang harus diperhatikan untuk menentukan apakah perjanjian tersebut sah tanpa ada alasan pembatalan, sehingga perjanjian tersebut mengikat sebagaimana mengikatnya undang-undang. Ketentuan yang dimaksud adalah kesempurnaan kata sepakat, karena apabila kata sepakat diberikan dengan adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka perjanjian tersebut tidak sempurna sehingga masih ada kemungkinan dibatalkan.13 b. Hubungan Tidak Langsung Menurut Ahmadi Miru dalam bukunya Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, menyatakan sebagai berikut: Hubungan tidak langsung yang dimaksudkan pada bagian ini adalah hubungan antara produsen dengan konsumen yang tidak secara langsung terikat dengan perjanjian, karena adanya pihak diantara pihak konsumen dengan produsen. Ketiadaan hubungan langsung dalam bentuk perjanjian antara pihak produsen dengan konsumen ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti kerugian kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki hubungan perjanjian, karena dalam hukum perikatan tidak hanya perjanjian yang melahirkan (merupakan sumber) perikatan, akan tetapi dikenal ada dua sumber perikatan, yaitu perjanjian dan undang-undang. Sumber perikatan yang berupa undang-undang ini masih dapat dibagi lagi dalam undang-undang saja dan undang-undang karena perbuatan manusia, yaitu yang sesuai hukum dan yang melanggar hukum. Berdasarkan pembagian sumber perikatan tersebut, maka sumber perikatan yang 13
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 1984, Hukum Perikatan, Surabaya: Bina
Ilmu.
13
terakhir, yaitu undang-undang karena perbuatan manusia yang melanggar hukum merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen.14
4. Pihak-Pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Mengingat kedudukan konsumen yang masih lemah, maka perlindungan konsumen melibatkan beberapa kelompok yang merupakan pihak-pihak dalam perlindungan konsumen, yaitu: a.
Konsumen Pengertian konsumen dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Menurut Celina Tri Siwi Kristiyanti dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa: Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak. Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus menempuh upaya hukum terlebih dahulu. Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihakpihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari
14
Ahmadi Miru, Op.Cit, Hal. 35-36.
14
pihak-pihak yang dipandang merugikan karena mengonsumsi produk itu.15 b. Pelaku Usaha Pelaku Usaha dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa: Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. c.
Menteri Menteri disini yaitu berdasarkan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa: Pengertian menteri dalam undang-undang tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag). Menteri Perindustrian boleh mengizinkan barang dan/atau jasa diproduksi oleh pelaku usaha, tetapi yang menentukan apakah barang dan/atau jaa tersebut layak dikonsumsi dan dapat diedarkan ke dalam masyarakat adalah Menteri Perdagangan.16
15 16
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, Hal. 38. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, Hal. 22.
15
d. Departemen atau Instansi Pemerintah Departemen atau instansi pemerintah disini adalah instansi yang terkait dengan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha bersangkutan dan mempunyai kewenangan dalam perizinan serta penentuan standar produksi. Departemen atau instansi pemerintah yang terkait dengan peredaran kosmetik yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. e.
Lembaga atau Instansi Dalam Perlindungan Konsumen Lembaga atau instansi di sini berperan dalam perlindungan terhadap konsumen untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
5. Perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen Ahmadi Miru dalam bukunya yang berjudul Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, menyebutkan bahwa: Lambannya perkembangan perlindungan konsumen di negara berkembang yang perkembangan industrinya baru pada tahap permulaan karena sikap pemerintah pada umumnya masih melindungi kepentingan industri yang merupakan faktor yang esensial dalam pembangunan suatu negara. Akibat dari perlindungan kepentingan industri pada negara berkembang termasuk Indonesia tersebut, maka ketentuan-ketentuan hukum yang bermaksud untuk memberikan perlindungan kepada konsumen atau anggota masyarakat kurang berfungsi karena tidak diterapkan secara ketat. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa usaha pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen telah dilakukan sejak lama, hanya saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya tindakan tertentu yang dilakukan oleh pemerintah merupakan usaha untuk melindungi kepentingan konsumen. Hal ini dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya berbagai ketentuan perundang-undangan yang apabila dikaji, maka 16
peraturan perundang-undangan tersebut sebenarnya memuat ketentuan yang memberikan perlindungan kepada konsumen, walaupun dalam konsiderans peraturan perundang-undangan tersebut tidak disebutkan untuk tujuan perlindungan konsumen.17
Selanjutnya, untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas produk barang yang dibeli, sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lahir, maka peraturan perundang-undangan yang mengaturnya adalah sebagai berikut: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab UndangUndang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan produk peninggalan penjajahan bangsa Belanda, tetapi telah menjadi pedoman dalam menyelesaikan kasus-kasus untuk melindungi konsumen yang mengalami kerugian atas cacatnya barang yang dibelinya.meskipun KUH Per dan KUHD itu tidak mengenal istilah konsumen, tetapi di dalamnya dijumpai istilah “pembeli”, “penyewa”, “tertanggung”, atau “penumpang”, yang tidak membedakan apakah mereka sebagai konsumen akhir atau konsumen antara; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang. Penerbitan undang-undang ini dimaksudkan untuk menguasai dan mengatur barang-barang apapun yang diperdagangkan di Indonesia; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri. Peraturan pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961. Salah satu tujuan dari standar industry itu adalah meningkatkan mutu dan hasil industry; 4. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 81/M/K/SK/2/1974 tentang Pengesahan Standar Cara-cara Analisis dan Syarat-syarat Mutu Bahan Baku dan Hasil Industri.18
Selanjutnya, dalam perkembangannya pada tanggal 20 April 1999 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan suatu kebijakan baru mengenai perlindungan konsumen dengan diberlakukannya Undang-Undang 17
Ahmadi Miru, 2011, Op. Cit, hal. 67. Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Huku Perlindungan Konsumen, Bogor: Ghalia Indonesia, Hal. 4. 18
17
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 dan Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3821. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000, yang merupakan awal pengakuan perlindungan konsumen dan secara legitimasi formal menjadi sarana kekuatan hukum bagi konsumen dan tanggung jawab pelaku usaha sebagai penyedia/pembuat produk bermutu. Pengertian perlindungan konsumen termaktub dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menegaskan bahwa: Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen/UUPK), Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyebutkan bahwa: Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.19
19
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Op. Cit., Hal. 1.
18
6.
Asas-Asas Hukum Perlindungan Konsumen Asas-asas dalam Hukum Perlindungan Konsumen terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Penjelasan resmi dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa: Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu: 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
7.
Tujuan Perlindungan Konsumen Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan:
19
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa: Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.20
8.
Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut Az.Nasution dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, menyatakan bahwa : Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.21
20 21
Ibid, Hal. 34. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, Hal. 30.
20
Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu: 1.
hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
2.
hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
3.
hak untuk memilih (the right to choose);
4.
hak untuk didengar (the right to be heard).22
Empat hak dasar tersebut di atas diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hak konsumen sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
22
Sidharta, Op. Cit, Hal. 16-27.
21
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kebebasan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya merupakan suatu hak mutlak yang perlu direalisasikan tanpa pembatasan dalam bentuk apapun. Sidharta mengemukakan hal tersebut sebagai berikut: Adanya hak dan kebebasan untuk memenuhi dan mengkonsumsi suatu produk tertentu seara tidak langsung memberikan arti bahwa dengan hak dan kebebasan tersebut berarti konsumen harus dilindungi, karena dalam kondisi seperti itu biasanya konsumen dihadapkan pada kondisi take it or leave it, artinya jika setuju silahkan beli, jika tidak silahkan mencari di tempat lain.23 Kebutuhan hidup setiap orang selalu bertambah, hal tersebut untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Namun, kedudukan konsumen cenderung berada pada posisi yang lemah, dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha. Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh pelaku usaha, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari berbagai aspek. Selanjutnya, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga menyebutkan mengenai kewajiban konsumen sebagai berikut : a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 23
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi Revisi, Jakarta: PT. Grasindo,
Hal. 28.
22
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
9. Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada dunia perdagangan antara konsumen dan pelaku usaha mempunyai kepentingan yang berbeda. Adanya perbedaan kepentingan tersebut sehingga dapat menimbulkan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Untuk menyelesaikan sengketa konsumen maka dibutuhkan upaya penyelesaian sengketa. Berkaitan dengan penyelesaian sengketa, Ahmadi Miru menyatakan bahwa: Penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa dia pernah terlibat dalam suatu sengketa.24
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengatur penyelesaian sengketa sebagai berikut: (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. (2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. (3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang. (4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
24
Ahmadi Miru, 2011, Op. Cit, Hal. 155.
23
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Sejalan dengan hal tersebut, di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur dalam Pasal 52 UUPK, sebagai berikut: Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi: a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
24
B. Pelaku Usaha 1. Pengertian Pelaku Usaha Istilah “Pelaku Usaha” terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai berikut: Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Sehubungan dengan hal
tersebut
Az. Nasution
dalam bukunya
menyatakan bahwa : Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.25
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen maka kepada pelaku usaha juga diberikan hak sebagai berikut: a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
25
Az. Nasution, Op. Cit, Hal. 17.
25
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Adapun dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha juga dibebankan pula mengenai kewajiban pelaku usaha yaitu sebagai berikut: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Berdasarkan kewajiban-kewajiban pelaku usaha tersebut merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan untuk menciptakan budaya tanggung jawab pada diri pelaku usaha itu sendiri.
26
3. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:
Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, maka undang-undang menentukan berbagai larangan sebagai berikut:26
Pasal 8 (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label; i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, 26
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, Hal. 63.
27
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. (2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. (3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. (4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Pada intinya substansi pasal ini tertuju pada dua hal, yaitu larangan memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa. Larangan-larangan yang dimaksudkan ini hakikatnya menurut Numardjito yaitu: Untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya.27 Berbeda dengan produk-produk lainnya, terhadap barang-barang yang berupa sediaan farmasi mendapat perlakuan khusus, karena barang jenis tersebut jika rusak, cacat atau bekas, tercemar maka dilarang untuk diperdagangkan, walaupun disertai dengan informasi yang lengkap dan benar atas barang tersebut. Larangan-larangan yang tertuju pada “produk” sebagaimana dimaksudkan di atas 27
Numardjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju, Hal. 18.
28
adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan/harta konsumen dari penggunaan barang dengan kualitas yang di bawah standar atau kualitas yang lebih rendah daripada nilai harga yang dibayar. Dengan adanya perlindungan yang demikian, maka konsumen tidak akan diberikan barang dengan kualitas yang lebih rendah daripada harga yang dibayarnya, atau yang tidak sesuai dengan informasi yang diperolehnya.
4. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya yang berjudul Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa: Jika berbicara soal pertanggungjawaban hukum, mau tidak mau, kita harus berbicara soal ada tidaknya suatu kerugian yang telah diderita oleh suatu pihak sebagai akibat (dalam hal hubungan konsumen-pelaku usaha) dari penggunaan, pemanfaatan, serta pemakaian oleh konsumen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha tertentu.28
Seorang konsumen yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa kemudian menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka dapat menggugat atau meminta ganti rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak yang menimbulkan kerugian di sini yaitu bisa produsen, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk, tergantung dari pihak yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Berkaitan dengan hal tersebut Gunawan dan Ahmad Yani menyebutkan bahwa:
28
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., Hal 59.
29
Seperti telah disinggung dalam Bab I, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas tentang definisi dari jenis barang yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan, dan sampai seberapa jauh suatu pertanggungjawaban atas barang tertentu dapat dikenakan bagi pelaku usaha tertentu atas hubungan hukumnya dengan konsumen. Hal ini erat kaitannya dengan konsep Product Liability yang banyak dianut oleh negara-negara maju.29
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka ada dua hak konsumen yang berhubungan dengan Product Liability sebagaimana Adrian Sutedi dalam bukunya Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa: 1. Hak untuk mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas yang baik serta aman. Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi untuk mendapatkan barang dengan kuantitas dan kualitas yang bermutu. Ketidaktahuan konsumen atas suatu produk barang yang dibelinya sering kali diperdayakan oleh pelaku usaha. Konsumen sering dihadapkan pada kondisi “jika setuu beli, jika tidak silahkan cari di tempat yang lain”. Dalam situasi yang demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari produk alternatif (bila masih ada), yang mungkin kualitasnya lebih buruk. 2. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian. Jika barang yang dibelinya dirasakan cacat, rusak, atau telah membahayakan konsumen, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Namun, jenis ganti kerugian yang diklaimnya untuk barang yang cacat atau rusak, tentunya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak, artinya konsumen tidak dapat menuntut secara berlebihan dari barang yang dibelinya dengan harga yang dibayarnya, kecuali barang yang dikonsumsinya itu menimbulkan gangguan pada tubuh atau mengakibatkan cacat pada tubuh konsumen, maka tuntutan konsumen dapat melebihi dari harga barang yang dibelinya.30
29 30
Ibid. Adrian Sutedi, Op. Cit, Hal 51-52.
30
Berdasarkan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka setiap penyedia barang dan/atau jasa memiliki tanggung jawab terhadap konsumen. Hal tersebut diatur pada Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Berikut
merupakan
pasal-pasal
yang mengatur
pertanggungjawaban pelaku usaha berdasarkan ketentuan yang ada pada UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen: Pasal 19 (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. (3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Substansi Pasal 19 ayat (1) menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya mengemukakan tanggung jawab pelaku usaha, meliputi: 1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan; 2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; 3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
31
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, juga menyebutkan bahwa: Pasal 19 mengatur tentang pertanggungjawaban pelaku usaha pabrikan dan/atau distributor pada umumnya, untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi.31
Pasal 24 (1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila: a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut; b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi. (2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Adanya pengaturan Pasal 24 ayat (1) tersebut maka Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, dalam bukunya mengemukakan bahwa: Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain akan tetap bertanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian dan/atau gugatan konsumen sekalipun tidak memiliki hubungan kontraktual dengan konsumen yang bersangkutan. Tanggung jawab yang dimaksudkan oleh pasal ini adalah tanggung jawab berdasarkan perbuatan melanggar hukum. 31
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., Hal 65-66.
32
Dasar pertanggungjawaban ini terutama karena adanya syarat yang ditentukan di dalam pasal tersebut, yaitu; apabila pelaku usaha lain yang menjual barang dan/atau jasa hasil produksinya kepada konsumen tidak melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut, atau apabila pelaku usaha lain yang melakukan transaksi jual beli dengan produsen, tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh produsen, atau produsen yang bersangkutan telah memproduksi barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi yang diperjanjikan sebelumnya.32
Berkaitan dengan Pasal 24 ayat (2,) Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani mengemukakan bahwa: Jika pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut, maka tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen dibebankan sepenuhnya kepada pelaku usaha lain yang telah melakukan perubahan tersebut.33 Selanjutnya, berkaitan dengan dua pasal lainnya Gunawan dan Ahmad Yani menyebutkan bahwa: Pasal 25 dan pasal 26 berhubungan dengan layanan purna jual oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Dalam hal ini pelaku usaha diwajibkan untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas jaminan dan/atau garansi yang diberikan, serta penyedia suku cadang atau perbaikan.34
Pasal 27 Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila: a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; b. cacat barang timbul pada kemudian hari; c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; 32
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., Hal. 155-156. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., Hal 67. 34 Ibid. 33
33
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Pasal 27 tersebut merupakan pasal “penolong” bagi pelaku usaha yang melepaskannya dari tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi pada konsumen, sebagaimana disebutkan oleh Gunawan dan Ahmad Yani dalam bukunya yaitu: Pasal 27 menyatakan secara jelas bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, jika: a. Barang tersebut terbukti jika seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; b. Cacat barang timbul pada kemudian hari; c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibelinya atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.35
Berkaitan dengan hal tersebut apabila dikaitkan pada asas umum hukum perdata, dapat dikatakan bahwa siapapun yang tindakannya merugikan pihak lain, wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut. Jika berbicara mengenai konsep dan teori dalam ilmu hukum, menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya menyebutkan bahwa perbuatan yang merugikan tersebut dapat lahir karena: 1. Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat (yang pada umumnya dikenal dengan istilah wanprestasi); atau 2. Semata-mata lahir karena suatu perbuatan tersebut (atau dikenal dengan perbuatan melawan hukum).36 Akibat dari kerugian yang diderita oleh konsumen maka gugatan yang lazim digunakan biasanya adalah wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
35 36
Ibid., Hal. 67-68. Ibid,. Hal. 62.
34
Apabila ada hubungan kontraktuil antara konsumen dengan pelaku usaha, maka gugatannya adalah wanprestasi. Kerugian yang dialami konsumen dikarenakan tidak dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha atau pelaku usaha. Apabila konsumen menggunakan gugatan perbuatan melawan hukum, maka hubungan kontraktuil antara konsumen dengan pelaku usaha tidaklah disyaratkan. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu: Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk hanya digolongkan menjadi dua kategori, yaitu: a. Tuntutan Berdasarkan Wanprestasi Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (produsen dengan konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi. b. Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi, tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen. Dengan demikian, pihak ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian.37
37
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., Hal 127-129.
35
C. Kosmetik 1. Pengertian Kosmetik Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian mengenai kosmetik dan kosmetika, yaitu: Kosmetik adalah obat (bahan) untuk mempercantik wajah, kulit, rambut, dan sebagainya seperti bedak dan pemerah bibir. Sedangkan kosmetika adalah ilmu kecantikan, ilmu tata cara mempercantik wajah, kulit dan rambut.38
Menurut Syarif M. Wasitaatmadja, mengemukakan mengenai pengertian kosmetik, yaitu: Kosmetik dalam bahasa Yunani yaitu “kosmetikos” berarti keterampilan menghias, sedang “kosmos” berarti hiasan.39
Selanjutnya, menurut Federal Food and Cosmetic Act (1958) pengertian kosmetik yaitu: Kosmetik adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan, atau disemprotkan pada, dimasukkan dalam, dipergunakan pada badan manusia dengan maksud untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik dan mengubah rupa dan tidak termasuk golongan obat. Zat tersebut tidak boleh mengganggu kulit atau kesehatan tubuh secara keseluruhan. Dalam definisi tersebut jelas dibedakan antara kosmetik dengan obat yang dapat mempengaruhi struktur dan faal tubuh.40
38
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. 39 Syarif M. Wasitaatmadja, 1997, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, Depok: UI Press, Hal. 26-27. 40 Ny. Lies Yul Achyar, Dasar-Dasar Kosmetologi Kedokteran, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, http;//www.scribd.com diakses tanggal 12 Desember 2014.
36
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1175 / MenKes / PER / VIII / 2010 tentang Notifikasi Kosmetika, menyebutkan juga mengenai pengertian kosmetik yaitu: Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
2. Pengawasan Terhadap Peredaran Kosmetik a. Pengertian dan Tujuan Pengawasan Pengawasan terhadap peredaran kosmetik mempunyai permasalahan yang luas, cenderung kompleks, dan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat sebagai konsumen, dan pelaku usaha. Peran serta masyarakat dan pelaku usaha dalam pengawasan peredaran kosmetik mempunyai arti penting dan perlu ditingkatkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengenai pengertian pengawasan yaitu berasal dari kata “awas” yang artinya adalah sebagai berikut: Awas adalah memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu dengan cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi laporan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang diawas.41 Jika memperhatikan lebih jauh, yang menjadi pokok permasalahan dari pengawasan peredaran kosmetik adalah sesuatu yang telah direncanakan 41
Ibid.
37
terlebih dahulu apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan renana semula dan apakah tujuannya telah tercapai. Terselenggaranya pengawasan dalam sebuah institusi atau departemen yaitu untuk menilai kinerja suatu institusi atau departemen dan untuk memperbaiki kinerja sebuah institusi atau departemen. Oleh karena itu, dalam setiap institusi atau departemen mutlak, bahkan rutin adanya sistem pengawasan. Dengan demikian, pengawasan merupakan instrumen pengendalian yang melekat pada suatu instansi atau departemen untuk mencapai tujuannya. Pengawasan
dilakukan
terhadap
perencanaan
dan
kegiatan
pelaksanaanya. Kegiatan pengawasan bermaksud untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan yang terjadi setelah kegiatan tersebut dilaksanakan. Keberhasilan
dalam
kegiatan
pengawasan
peredaran
kosmetik
perlu
dipertahankan atau ditingkatkan, sebaliknya setiap kegagalan dalam kegiatan tersebut harus diperbaiki dengan menghindari penyebabnya baik dalam menyusun rencana pengawasan atau pelaksanaannya. Untuk itulah, fungsi pengawasan dilaksanakan agar diperoleh umpan balik (feed back) untuk melaksanakan perbaikan bila terdapat penyimpangan pada kegiatan peredaran kosmetik sebelum menjadi lebih buruk. Terdapat berbagai macam pengertian pengawasan menurut pendapat para sarjana. Menurut Prayudi dalam bukunya Hukum Administrasi Negara, mengemukakan pengertian pengawasan yaitu:
38
Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperhatikan.42
Selanjutnya, Saiful Anwar dalam bukunya yang berjudul Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, menyatakan bahwa: Pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan.43
Dilain pihak, menurut Harold Koonz,dkk, yang dikutip oleh John Salinderbo menyebutkan bahwa, pengawasan adalah: Pengukuran dan pembetulan terhadap kegiatan para bawahan untuk menjamin bahwa apa yang terlaksana itu cocok dengan rencana. Jadi pengawasan itu mengukur pelaksanaan dibandingkan dengan cita-cita dan renana, memperlihatkan dimana ada penyimpangan yang negatif dan dengan menggerakkan tindakan-tindakan untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan, membantu menjamin tercapainya rencana-rencana.44
Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para sarjana di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengawasan adalah proses kegiatan yang terusmenerus dilaksanakan
untuk
mengetahui
pekerjaan apa
yang sudah
dilaksanakan, kemudian mengkoreksi apakah pelaksanaannya sudah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. Selain itu, pengawasan merupakan proses
42
Prayudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal. 80. Saiful Anwar, 2004, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press, Hal. 127. 44 Jhon Salindeho, 1998, Tata Laksana Dalam Manajemen, Jakarta: Sinar Grafika, Hal. 39. 43
39
pengkoreksian pelaksanaan pekerjaan agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dengan kata lain, hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai mana kegiatan tersebut berjalan atau dilakukan, sehingga mencegah secara dini kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan. Berbicara mengenai arti pengawasan, maka hal ini sangat erat kaitannya dengan peran pemerintah. Supaya peredaran kosmetik di masyarakat dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan, maka hendaknya diperlukan pengawasan yang lebih efektif disamping untuk mengendalikan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di daerah Kabupaten Banyumas khususnya. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah pusat dalam hal melakukan pengawasan di daerah dengan melakukan pelimpahan bidang pengawasan ini kepada Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta Badan Pengawas Obat dan Makanan atau dinas-dinas terkait yang ada disetiap daerah. Hakikat pengawasan itu sendiri menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia yaitu: Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan, dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas-tugas organisasi.45 Selanjutnya disebutkan juga mengenai sasaran pengawasan yaitu sebagai berikut:
45
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 1997, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, Hal. 159.
40
sebagai bagian dari aktivitas dan tanggung jawab pimpinan, sasaran pengawasan
adalah
mewujudkan
dan
meningkatkan
efisiensi,
efektivitas, rasionalitas, dan ketertiban dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas-tugas organisasi.46
Menurut Sukarno pengawasan tersebut mempunyai tujuan, yaitu sebagai berikut: a. Untuk mengetahui apakah sesuatu berjalan sesuai dengan renana yang digariskan. b. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu dilaksanakan sesuai dengan instruksi serta asas-asas yang telah diinstruksikan. c. Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan dalam bekerja. d. Untuk mengetahui segala sesuatu apakah berjalan dengan efisien. e. Untuk mencari jalan keluar, bila ternyata dijumpai kesulitankesulitan, kelemahan-kelemahan atau kegagalan-kegagalan kea rah perbaikan.47
Berkaitan dengan hal tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengawasan bertujuan untuk mengoreksi kesalahan yang terjadi agar nantinya dapat menjadi pedoman untuk mengambil kebijakan guna mencapai sasaran yang optimal. Mengawasi bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan, akan tetapi suatu pekerjaan yang memerlukan kecakapan, ketelitian, kepandaian, bahkan harus disertai dengan pengalaman. b. Jenis-Jenis Pengawasan Saiful
Anwar
menyebutkan
bahwa
berdasarkan
pengawasan dapat dibedakan sebagai berikut: 46 47
Ibid. Sukarno K., 1992, Dasar-Dasar Managemen, Jakarta: Miswar, Hal. 105.
41
terbentuknya
1. Pengawasan internal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan atau organ yang secara organisatoris/struktural termasuk dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri. Misalnya pengawasan yang dilakukan pejabat atasan terhadap bawahannya sendri. 2. Pengawasan eksternal dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang seara organisatoris/structural berada di luar pemerintah dalam arti eksekutif. Misalnya pengawasan keuangan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).48 Selanjutnya, pengawasan juga dapat diklasifikasikan atas beberapa jenis dengan tinjauan dari beberapa segi, antara lain: 1.
2.
48 49
Pengawasan dilihat dari segi cara pelaksanaannya dibedakan atas: a. Pengawasan langsung Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan dengan cara mendatangi atau melakukan pemeriksaan di tempat terhadap objek yang diawasi. b. Pengawasan tidak langsung Pengawasan tidak langsung adalah kebalikan dari pengawasan langsung, yaitu dilakukan tanpa mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan atau objek yang diawasi. Pengawasan ini dilakukan dengan mempelajari dan menganalisa dokumen yang menyangkut objek yang diawasi yang disampaikan oleh pelaksana ataupun sumber lain. Dokumen-dokumen tersebut bisa berupa: Laporan pelaksanaan pekerjaan, baik laporan berkala maupun laporan insidentil. Surat pengaduan dari masyarakat. Berita atau artikel dari media massa. Pengawasan dilihat dari segi kewenangan a. Pengawasan formal Pengawasan formal adalah pengawasan resmi oleh lembagalembaga pengawasan maupun oleh aparat pengawasan yang mempunyai legalitas tugas dalam bidang pengawasan. b. Pengawasan non formal Pengawasan non formal adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Pengawasan ini sering juga disebut sosial kontrol (soial control), misalnya pengawasan melalui surat pengaduan masyarakat melalui berita atau artikel di media massa.49
Saiful Anwar, Op. Cit, Hal. 127. http://nuwrileardkhiyari.blogdetik.com/2013/12/01/monitoring, diakses pada tanggal 20 Desember
2014.
42
Pengawasan menurut waktu pelaksanaannya dalam buku Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, disebutkan sebagai berikut: a. Pengawasan Preventif Pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan dimulai. Pengawasan ini antara lain dilakukan dengan mengadakan pemeriksaan dan persetujuan rencana kera dan rencana anggarannya, penetapan Petunjuk Operasional (PO), persetujuan atas rancangan peraturan perundangan yang akan ditetapkan oleh pejabat/instansi yang lebih rendah. Pengawasan ini bersifat preventif dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, kesalahan, terjadinya hambatan dan kegagalan. b. Pengawasan yang dilakukan selama pekerjaan sedang berlangsung Pengawasan ini dilakukan dengan tujuan membandingkan antara hasil yang nyata-nyata dicapai dengan yang seharusnya telah dan yang harus dicapai dalam waktu selanjutnya. Demikian pentingnya pengawasan ini, sehingga perlu dikembangkan sistem monitoring yang mampu mendeteksi atau mengetahui secara dini kemungkinan-kemungkinan timbulnya penyimpanganpenyimpangan, kesalahan-kesalahan dan kegagalan. c. Pengawasan Represif Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan pada akhir kegiatan atau pengawasan yang dilakukan setelah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan.50
Sebagai langkah awal dari pengawasan tersebut, pelaksanaannya harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab karena dengan pengawasan yang terarah dapat mencegah kemungkinan buruk yang akan terjadi atau yang tidak diinginkan. Disamping itu juga perlu dikembangkan pengawasan berbagai bidang atau sektor di daerah yang lebih konsisten.
50
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Op.Cit, Hal. 162.
43
c.
Sistem dan Proses Pengawasan Usaha yang sangat penting untuk dilakukan dalam melakukan pengawasan agar lebih efektif dan efisien adalah dengan kerja keras dan bertanggung jawab. Dalam pengawasan perlu diadakan koordinasi antara instansi vertikal yang terkait agar proses pengawasan lebih maksimal. Kesemuanya harus diserasikan agar pelaksanaan pengawasan tersebut tidak tumpang tindih. Kemudian dalam sistem pengawasan yang akan dilakukan harus terkoordinasi dengan baik sesuai dengan aturan yang telah dikeluarkan oleh instansi yang ada di atasnya, serta memperhatikan pula kebijakankebijakan yang telah dikeluarkan oleh instansi terkait.
Menurut M. Manullang proses pengawasan secara umum terdiri dari tiga fase, yaitu: 1. Menetapkan alat pengukur/standard Bila seseorang hendak menilai suatu pekerjaan, hal ini baru dapat dilakukan bila terdapat alat pengukur atau penilainya. Alat pengukur atau penilai tadi harus ditetapkan terlebih dahulu. Demikian juga halnya dalam pengawasan. Dalam pelaksanaan pengawasan alat pengukur atau penilainya adalah merupakan standard, yaitu dapat berupa renana, program kerja, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini adalah merupakan fase pertama dari pengawasan. 2. Mengadakan penilaian Pada fase kedua, mengadakan proses penilaian. Penilaian ini berarti membandingkan hasil suatu pekerjaan atau kegiatan dengan alat pengukur tadi. Dalam fase inilah akan terlihat apakah suatu pekerjaan atau kegiatan sesuai dengan rencana, kebijakan, atau peraturan perundang-undangan atau tidak. 3. Mengadakan perbaikan Pada fase ketiga, mengadakan perbaikan. Tindakan perbaikan ini merupakan konsekuensi dari tahap kedua. Maksudnya, apabila pada fase kedua ditemukan ketidaksesuaian antara rencana, kebijaksanaan, atau bertentangan dengan peraturan perundang44
undangan dengan kenyataan dari suatu hasil pekerjaan atau kegiatan, atau dengan kata lain berdasarkan penilaian pada fase kedua ditemukan penyimpangan atau penyelewengan. Tindakan perbaikan tersebut menurut M. Manullang diartikan sebagai tindakan yang diambil untuk menyesuaikan hasil suatu pekerjaan yang menyimpang agar sesuai dengan standard atau rencana yang telah ditentukan sebelumnya.51
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa tindakan perbaikan adalah konsekuensi dari hasil pengawasan, yaitu setelah diadakan penilaian ditemukan adanya penyimpangan. Oleh karena itu, tindakan perbaikan yang dimaksud di atas adalah tindak lanjut pengawasan dalam arti yang lebih luas. Dapat dikatakan demikian karena tindak lanjut pengawasan di samping mengadakan tindakan perbaikan juga memberikan sanksi kepada subyek yang melakukan penyimpangan. Berkaitan dengan proses pengawasan yang diatur dalam peraturan pemerintah tersebut, kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga diatur mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan tujuan untuk melindungi kepentingan konsumen dari segala akibat buruk yang ditimbulkan peredaran suatu barang dan/atau jasa. Pasal 29 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai pembinaan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, sebagai berikut: (1) Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. 51
M. Manullang, 1995, Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal.18.
45
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. (3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. (4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk: a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; c. meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 29 UUPK tersebut, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo mengemukakan bahwa: Dalam penjelasan umum pada pasal tersebut menentukan, faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran akan haknya masih rendah, yang terutama disebabkan oleh pendidikan yang masih rendah. Oleh karena itu, UUPK dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (selanjutnya disingat, LPKSM). Berdasarkan Penjelasan Umum UUPK di atas, maka dengan adanya tanggung jawab pemerintah atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk memberdayakan konsumen untuk memperoleh hak-haknya sebagai konsumen. Pemberdayaan konsumen tersebut sesuai dengan asas keadilan dan keseimbangan, tidak boleh merugikan kepentingan pelaku usaha. Dalam usaha untuk melindungi kepentingan konsumen tidak dimaksudkan bertujuan mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi sebaliknya dengan melalui perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang
46
sehat, dan lahirnya perusahaan-perusahaan yang baik untuk menghasilkan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Terkait dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut, telah dijabarkan lebih lanjut mengenai tugas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, penjabarannya yaitu dengan rincian sebagai berikut: (1) menciptakan iklim usaha sehat antara pelaku usaha dan konsumen, dijabarkan dalam Pasal 4 bahwa upaya tersebut dilakukan atas koordinasi Menteri dengan menteri teknis terkait dalam hal: a. penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen; b. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen; c. peningkatan peranan BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga; d. peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing; e. peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan, keterampilan; f. penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang menyangkut perlindungan konsumen; g. peningkatan kualitas barang dan/atau jasa; h. peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa; dan; i. peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi standar mutu produksi kbarang dan/atau jasa serta pencantuman label dan klausula baku. (2) Berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, dijabarkan dalam Pasal 5 bahwa upaya tersebut dilakukan atas koordinasi Menteri dengan menteri teknis terkait dalam hal : a. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen; b. pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan. 47
(3) Berbagai upaya yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen, dijabarkan dalam Pasal 6 bahwa upaya tersebut dilakukan atas koordinasi Menteri dengan menteri teknis terkait, dalam hal : a. peningkatan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di bidang perlindungan konsumen; b. peningkatan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang dan/atau jasa; c. pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu barang; dan d. penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa serta penerapannya. Berdasarkan
penjabaran
dalam
peraturan
pemerintah
tersebut
menentukan bahwa pembinaan perlindungan konsumen diselenggarakan oleh Pemerintah yaitu sebagai upaya untuk menjamin hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban masing-masing sesuai dengan asas keadilan dan/atau asas keseimbangan yang dianut dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Selanjutnya, dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai pengawasan, yaitu sebagai berikut: (1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. (2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. (3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. (4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang 48
berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. (6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan dari Pasal 30 undang-undang tersebut adalah sebagai berikut: Ayat (2) Yang bertanggung jawab dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya. Ayat (3) Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
Ketentuan Pasal 30 tersebut cukup menjanjikan bagi upaya perlindungan konsumen yaitu melalui masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat di samping pemerintah sendiri melalui menteri yang terkait dengan dalam bidangnya. Sehubungan dengan hal tersebut, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa:
49
Apabila diperhatikan substansi Pasal 30 undang-undang tersebut, juga tampak bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, disbanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan/atau menteri teknis yang terkait. Seperti terlihat dalam pasal tersebut, pemerintah diserahi tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundangundangannya. Sementara pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, selain tugas yang sama dengan apa yang menjadi tugas pemerintah di atas, juga diserahi tugas pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Ayat 4 dari pasal tersebut juga menentukan bahwa, apabila pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ternyata mendapatkan hal-hal yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti, untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang beredar di pasar, pemerintah sepenuhnya menyerahkan dan menanti laporan masyarakat dan/atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, untuk kemudian diambil tindakan.52
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menghubungkan hal tersebut di atas dengan penjelasan Pasal 3 ayat (3), sebagai berikut: Pengawasan yang dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan/atau survei, terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang diisyaratkan oleh ketentuan peraturan perundangundangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha tersebut menuntut upaya pemahaman dan peningkatan kesadaran terhadap apa yang menjadi hak-haknya menjadi sangat penting. Upaya yang dimaksudkan ini, bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan jika dihubungkan dengan kondisi masyarakat (konsumen) pada umumnya, khususnya tingkat pendidikan yang masih rendah yang sekaligus mempengaruhi tingkat kesadaran hukumnya.53
52 53
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, Hal. 185. Ibid,Hal. 185-186.
50
Sehubungan dengan tingkat pendidikan konsumen yang masih rendah dan berkaitan dengan sikap acuh tak acuh dari konsumen sendiri atas permasalahan yang ada, konsumen baru akan bertindak setelah timbul permasalahan atau persoalan. Misalnya, iritasi akibat pemakaian suatu produk kosmetik yang tidak layak diedarkan atau tidak layak untuk dikonsumsi. Dengan adanya persoalan tersebut, barulah masyarakat bertindak dengan cara mengadukan hal tersebut pada pemerintah atau instansi yang berwenang untuk menangani masalah tersebut, hanya saja untuk pengawasan dengan cara penelitian, pengujian, dan/atau survei, terhadap aspek pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lainnya tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sehingga pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat sesuai dengan ketentuan Pasal 30 UUPK bukan merupakan tugas yang mudah dilakukan. Seiring berjalannya waktu kemudian lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, yang di dalamnya yaitu pemerintah telah berperan aktif dalam melakukan pengawasan. Untuk lebih jelasnya bentuk pengawasan tersebut diatur di dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001, bahwa: (1) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, penantuman label dan klausa baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa. Pelayanan purna jual yang dimaksud,
51
pelayanan yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap konsumen, misalnya tersedianya suku cadang dan jaminan atau garansi. (2) Pengawasan sebagaimana dmaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa. (3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat. (4) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
Selanjutnya, menyangkut bentuk pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat juga ada pengaturannya dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, ditentukan bahwa: (1) Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan atau survei. (3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. (4) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen, mengemukakan bahwa: Ketentuan tentang pengawasan yang diperankan oleh masyarakat tersebut sama dengan ketentuan pengawasan yang diperankan oleh LPKSM, hanya saja yang terakhir ini menysaratkan bahwa penelitian, pengujian dan/atau survei yang dilakukan oleh LPKSM harus 52
didasarkan pada adanya dugaan bahwa produk yang menjadi penelitian, pengujian dan/atau survei tidak memenuhi unsure keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen. Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen juga mengatur seara konkrit pengawasan yang dilakukan pihak Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, yaitu: (1) Pengawasan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Di samping dapat juga berdasarkan laporan dan pengaduan dari masyarakat baik yang bersifat perseorangan maupun kelompok. (3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. (4) Penelitian, pengujian dan/atau survei sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen. Adapun pelaksanaannya, dapat dilakukan baik sebelum atau sesudah terjadi hal-hal yang membahayakan keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen. (5) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksuddalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. Dari pasal-pasal yang telah diuraikan tersebut, telah menunjukkan bahwa perlindungan konsumen dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, karena banyaknya jenis barang dan/atau jasa yang beredar di pasar serta wilayah Indonesia yang luas. Kemudian pembinaan pelaku usaha dan pengawasan terhadap peredaran barang dan/atau jasa di pasaran tidak hanya ditujukkan untuk melindungi
53
kepentingan konsumen saja, tetapi memberikan manfaat bagi pelaku usaha untuk meningkatkan daya saing perdagangan barang dan/atau jasa. Selain itu, diharapkan adanya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen agar dapat menciptakan iklim dunia usaha yang sehat.
54
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yaitu metode pendekatan dengan perundang-undangan.54 Menurut Ronny Hanitijo disebutkan bahwa: Penelitian dengan pendekatan perundang-undangan yang menggunakan konsepsi legal positivis bahwa hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.55
Sehubungan dengan metode yuridis normatif, Sunaryati Hartono menyatakan: Metode ini juga digunakan agar dapat melakukan penelusuran terhadap normanorma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen yang berlaku, serta memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya.56
Amiruddin dan Zainal Asikin dalam bukunya yang berjudul Pengantar Metode Penelitian Hukum, menyatakan bahwa:
54
Ronny Hanitijo Soemitro, 1992, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 11. Ibid., hal 13. 56 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20. Bandung: Alumni, hal. 139. 55
55
Penelitian hukum normatif sering kali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah berpatokan pada perilaku manusia yang dianggap pantas.57
B. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini menggunakan spesifikasi deskriptif, yaitu menguraikan secara jelas kemudian dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang dihubungkan dengan penelitian yang dilakukan.
C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyumas, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang, UPT Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman, dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
D. Sumber Data 1. Data Sekunder Sumber data dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang merupakan data pokok dalam penelitian ini. Data sekunder adalah data pustaka yang mencakup peraturan perundang-undangan, buku-buku kepustakaan, karya ilmiah, artikelartikel, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. Menurut
57
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hal. 118.
56
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji dalam bukunya Peneliatian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, menyatakan bahwa data sekunder meliputi: a. Bahan hukum primer yaitu bahan yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, meliputi hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, buku-buku literatur, karya ilmiah dari para sarjana, dan dokumen resmi yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti; c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya kamus.58 2. Data Primer Data yang berupa hasil wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pengendalian Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan Penyidik Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang.
E. Metode Pengumpulan Data 1. Data Sekunder Data Sekunder diperoleh dengan pada penelitian ini yaitu dengan cara melakukan studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku kepustakaan, karya ilmiah yang terkait dengan materi penelitian dan pokok masalah yang diteliti, untuk kemudian dikaji sebagai pedoman untuk penyususnan data. 2. Data Primer
58
Seorjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali, Hal. 14-15.
57
Data primer diperoleh dari hasil wawancara secara bebas terpimpin dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pengendalian Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan Penyidik Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang.
F. Metode Pengolahan Data Data yang sudah terkumpul dari hasil penelitian disusun secara sistematis untuk mendapatkan gambaran umum dari obyek penelitian sebagai pedoman untuk membahas masalah yang diteliti.
G. Metode Penyajian Data Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, yang didahului dengan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian,tinjauan pustaka, metode penelitian dan diteruskan dengan analisis data dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan.
H. Metode Analisis Data Data yang sudah terkumpul dari hasil penelitian kemudian dianalisis secara normatif kualitatif yaitu dengan menjabarkan dan menafsirkan data yang akan disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau peraturan-peraturan lainnya. Selanjutnya, Ronny Hanitijo menyebutkan bahwa: Metode ini dapat dikatakan normatif karena penelitian ini bertolak dari peraturanperaturan hukum yang ada sehingga merupakan norma hukum positif. Data yang diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu dengan menjabarkan dan menafsirkan data berdasarkan doktrin hukum yang relevan dengan pokok permasalahan, sehingga tidak menggunakan rumus-rumus atau angka-angka. Jadi maksud dari metode normatif kualitatif yaitu penjabaran dan pembahasan terhadap 58
hasil penelitian yang didasarkan pada norma atau kaida-kaidah hukum maupun doktrin hukum yang relevan dengan pokok permasalahan.59
59
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit, hal. 11.
59
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Banyumas dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang, maka diperoleh hasil penelitian dengan data-data sebagai berikut: 1.
Data Sekunder 1.1
Pengertian a.
Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
b.
Kosmetik kontrak adalah kosmetik yang produksinya dilimpahkan kepada produsen lain berdasarkan kontrak. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
60
c.
Bahan kosmetik adalah bahan atau campuran bahan yang berasal dari alam dan atau sintetik yang merupakan komponen kosmetik. (Pasal 1 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik).
d.
Bahan pewarna adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk memberi dan atau memperbaiki warna pada kosmetik. (Pasal 1 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik).
e.
Bahan pengawet adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk
mencegah
kerusakan
kosmetik
yang
disebabkan
oleh
mikrooganisme. (Pasal 1 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik). f.
Bahan tabir surya adalah bahan yang digunakan untuk melindungi kulit dari radiasi sinar ultra violet dengan cara menyerap, memancarkan, dan menghamburkan. (Pasal 1 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik).
g.
Wadah adalah kemasan yang bersentuhan langsung dengan isi. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
h.
Pembungkus adalah kemasan yang tidak bersentuhan langsung dengan isi.
(Pasal
1
Keputusan
Kepala
HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
61
Badan
POM
RI
Nomor
i.
Penandaan adalah keterangan yang cukup mengenai manfaat, keamanan dan cara penggunaan serta informasi lain yang dicantumkan pada etiket dan atau brosur atau bentuk lain yang disertakan pada kosmetik. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
j.
Etiket adalah keterangan berupa tulisan dengan atau tanpa gambar yang dilekatkan, dicetak, diukir, dicantumkan dengan cara apapun pada wadah atau dan pembungkus. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
k.
Kepala Badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
l.
Deputi adalah Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
m. Pemeriksa adalah petugas yang ditunjuk oleh Kepala Badan untuk melakukan Pemeriksaan. (Pasal 1 Keputusan Kepala POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik). n.
Izin Produksi adalah izin yang harus dimiliki oleh pabrik kosmetika untuk melakukan kegiatan pembuatan kosmetika. (Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika). 62
o.
Industri Kosmetika adalah industri yang memproduksi kosmetika yang telah memiliki izin usaha industri atau tanda daftar industri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).
1.2
Bahan kosmetik Bahan kosmetik yang dilarang, terdiri dari bahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik.
1. 3 Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik (CPKB) 1.3.1 Industri yang akan memproduksi kosmetik harus menerapkan CPKB dalam pembuatan kosmetik. Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik, yang selanjutnya disingkat CPKB adalah seluruh aspek kegiatan pembuatan kosmetik yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPKB sebagai berikut: a.
Penerapan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan kemampuan industri kosmetik. (Pasal 9 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
63
b.
CPKB sebgaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan oleh Menteri. (Pasal 9 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
c.
Pemberian
bimbingan
terhadap
penyelenggaraan
kegiatan
produksi, impor, peredaran dan penggunaan kosmetik dilakukan oleh Kepala Badan. (Pasal 32 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik). d.
Pemberian bimbingan diarahkan untuk: 1. menjamin mutu dan keamanan kosmetik yang beredar; 2. meningkatkan kemampuan teknik dan penerapan CPKB; 3. mengembangkan usaha di bidang kosmetik. (Pasal 9 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
1.3.2 Konsumen yang mengeluh akibat kerusakan produk kosmetik maka perusahaan
harus
melakukan
konsumen.
Penanganan
penanganan
terhadap
hasil
terhadap
keluhan
pengamatan
produk
diperedaran adalah sebagai berikut: a. Keluhan dan laporan masyarakat yang menyangkut mutu, keamanan dan hal lain yang merugikan atau menimbulkan masalah
hendaknya
dicatat,
diperiksa,
dievaluasi,
dan
ditindaklanjuti. b. Kosmetik yang terbukti menimbulkan efek samping yang merugikan dan keamanannya tidak memadai lagi harus ditarik dari 64
peredaran dan dimusnahkan. (Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 965/Menkes/SK/XI/1992 tentang Cara Produksi Kosmetik Yang Baik).
1.4
Persyaratan untuk menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan kosmetik Pelaku usaha yang akan mengedarkan kosmetik harus memenuhi persyaratan dasar
untuk menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan
dari kosmetik yang akan diproduksi. Persyaratannya antara lain: a.
(1)
Industri kosmetik harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik.
(2)
Industri yang memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik diberikan Sertifikat oleh Kepala Badan. (Pasal 8 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
b.
Langkah utama untuk menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan kosmetik bagi pemakainya adalah dengan menerapkan CPKB pada seluruh aspek dan rangkaian produksi. CPKB merupakan salah satu faktor penting untuk dapat menghasilkan produk kosmetik yang memenuhi standar mutu dan keamanan. (Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.3870 tentang Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik).
1.5
Izin produksi kosmetik 65
Perusahaan yang akan memproduksi kosmetik harus mempunyai izin produksi
terlebih
dahulu
sebelum
perusahaan
melakukan
kegiatan
pembuatan kosmetik. Prosedur perizinan produksi kosmetik tersebut sebagai berikut: a.
Pembuatan kosmetika hanya dapat dilakukan oleh industri kosmetika. (Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).
b.
(1) Industri kosmetika yang akan membuat kosmetika harus memiliki izin produksi. (2)
Izin produksi sebagaimana dimaksud pada huruf d angka (1) diberikan oleh Direktur Jenderal. (Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).
c.
Izin produksi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi ketentuan yang berlaku. (Pasal 5 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).
d.
(1) Izin produksi kosmetika diberikan sesuai bentuk dan jenis sediaan kosmetika yang akan dibuat. (2)
Izin produksi sebagaimana dimaksud pada huruf f angka (1), dibedakan atas 2 (dua) golongan sebagai berikut: a.
golongan A yaitu izin produksi untuk industri kosmetika
66
yang dapat membuat semua bentuk dan jenis sediaan kosmetika; b.
golongan B yaitu izin produksi untuk industri kosmetika yang dapat membuat bentuk dan jenis sediaan kosmetika tertentu dengan menggunakan teknologi sederhana.
(3)
Bentuk dan jenis sediaan kosmetika tertentu sebagaimana dimaksud huruf f angka (2), ditetapkan oleh Kepala Badan. (Pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).
e.
(1)
Izin produksi industri kosmetika Golongan A diberikan dengan persyaratan: a.
Memiliki apoteker sebagai penanggung jawab;
b.
Memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produk yang akan dibuat;
(2)
c.
Memiliki fasilitas laboratorium; dan
d.
Wajib menerapkan CPKB.
Izin produksi industri kosmetika Golongan B diberikan dengan persyaratan: a.
Memiliki sekurang-kurangnya tenaga teknis kefarmasian sebagai penanggung jawab;
b.
Memiliki fasilitas produksi dengan teknologi sederhana sesuai produk yang akan dibuat; dan
67
c.
Mampu menerapkan higiene sanitasi dan dokumentasi sesuai CPKB.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin produksi sebagaimana dimaksud huruf g angka (1) dan angka (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal. (Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).
1.6
Wadah dan pembungkus kosmetik Wadah dan pembungkus kosmetik harus diberi penandaan yang berisi informasi mengenai kosmetik agar konsumen mengenal produk atau mengetahui mengenai produk yang akan dikonsumsinya. a.
(1) Wadah kosmetik harus dapat : melindungi isi terhadap pengaruh dari luar. Menjamin mutu, keutuhan dan keaslian isinya (2) Wadah sebagaimana dimaksud pada huruf a angka (1) harus dibuat dengan mempertimbangkan keamanan pemakai dan dibuat dari bahan yang tidak mengeluarkan atau menghasilkan bahan berbahaya atau suatu bahan yang dapat mengganggu kesehatan, dan tidak mempengaruhi mutu.
68
(3) Tutup wadah harus memenuhi persyaratan huruf a angka (1) dan (2). (Pasal 17 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik). b.
Wadah dan pembungkus harus diberikan penandaan yang berisi informasi yang lengkap, objektif dan tidak menyesatkan. (Pasal 19 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).
c.
(1) Penandaan harus berisi informasi yang sesuai dengan data pendaftaran yang telah disetujui. (2)
Penandaan selain dari penandaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Kepala Badan. (Pasal 20 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik). d.
Penandaan kosmetik tidak boleh berisi informasi seolah-olah sebagai obat. (Pasal 21 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).
e.
(1) Penulisan pernyataan atau keterangan dalam penandaan harus jelas dan mudah dibaca menggunakan huruf latin dan angka arab. (2) Penandaan yang ditulis dengan bahasa asing, harus disertai keterangan mengenai kegunaan, cara penggunaan dan keterangan
69
lain dalam Bahasa Indonesia. (Pasal 22 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik). f.
(1) Pada etiket wadah dan atau pembungkus harus dicantumkan informasi/ keterangan mengenai : a. nama produk; b. nama dan alamat produsen atau importir / penyalur; c. ukuran, isi atau berat bersih; d. komposisi dengan nama bahan sesuai dengan kodeks kosmetik indonesia atau nomenklatur lainnya yang berlaku; e. nomor izin edar; f. nomor batch /kode produksi; g. kegunaan dan cara penggunaan kecuali untuk produk yang sudah jelas penggunaannya; h. bulan dan tahun kadaluwarsa bagi produk yang stabilitasnya kurang dari 30 bulan; i. penandaan lain yang berkaitan dengan keamanan dan atau mutu. (2) Apabila seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada angka (1) tidak memungkinkan untuk dicantumkan pada etiket wadah, maka dapat menggunakan etiket gantung atau pita yang dilekatkan pada wadah atau brosur. (Pasal 23 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).
70
g.
(1) Nama produsen atau importir/penyalur harus dicantumkan
secara
lengkap. (2) Bagi kosmetik impor, selain nama importir harus dicantumkan pula nama produsen. (3) Bagi
kosmetik
lisensi,
disamping
nama
produsen
yang
memproduksi, harus dicantumkan pula nama pemberi lisensi. (4) Bagi
kosmetik
kontrak,
disamping
nama
produsen
yang
memproduksi, harus dicantumkan pula nama pemberi kontrak. (Pasal 25 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik). 1.7
Persyaratan produksi dan peredaran kosmetik Kosmetik yang diproduksi atau diedarkan harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: a.
Persyaratan produksi kosmetik (1)
Menggunakan bahan yang memenuhi standar dan
persyaratan
mutu serta persyaratan lain yang ditetapkan. (2)
Diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan yang baik.
(3)
Terdaftar pada dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. (Pasal 2 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).
71
b.
Peredaran kosmetik (1)
Kosmetika yang beredar harus memenuhi persyaratan
mutu,
keamanan dan kemanfaatan. (2)
Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud pada angka (1) sesuai dengan Kodeks Kosmetika Indonesia dan persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri. (Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).
1.8
Pendaftaran produk kosmetik Kosmetik yang akan diedarkan harus memiliki izin edar atau nomor pendaftaran agar dapat diawasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Peraturan yang berkaitan dengan pendaftaran produk kosmetik yaitu: a.
Alat kesehatan, kosmetika, dan perbekalan rumah tangga yang diedarkan atau dijual di wilayah Indonesia harus didaftarkan pada Departemen Kesehatan cq.Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan.
(Pasal
2
140/Menkes/Per/III/1991
Peraturan tentang
Menteri Wajib
Kesehatan
Daftar
kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga).
72
Alat
Nomor kesehatan,
b.
Alat kesehatan, kosmetika, dan perbekalan rumah tangga yang terdaftar harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Khasiat dan keamanan Untuk kosmetik, keamanan yang cukup, yaitu tidak menggunakan bahan yang dilarang, tidak melebihi batas kadar yang ditetapkan untuk bahan, zat pengawet dan tabir surya yang diizinkan dengan pembatasan, menggunakan zat warna yang diinginkan sesuai dengan daerah penggunaannya. 2.
Mutu Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari cara produksi yang baik dan hanya menggunakan bahan dengan spesifikasi yang sesuai untuk kesehatan, kosmetika, dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
3.
Penandaan Untuk alat kesehatan dan kosmetika, penandaan yang cukup yang dapat mencegah terjadinya salah pengertian atau salah penggunaan. (Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 140/Menkes/Per/III/1991 trntang Wajib Daftar Alat kesehatan, kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga).
c.
Pendaftaran kosmetik produksi dalam negeri dilakukan oleh produsen kosmetik dalam negeri yang telah mendapat izin produksi dari Menteri Kesehatan. (Kepuusan Direktur Jenderal Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Nomor 1447/C/SK/1991 tentang Petunjuk 73
Peksanaan Wajib Daftar Alat Kesehatan Kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga). d.
Permohonan
pendaftaran
dilakukan
dengan
mengisi
formulir
pendaftaran secara lengkap, kemudian diajukan langsung kepada Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan cq. Direktorat Jenderal Pengawasan Kosmetika dan alat kesehatan. Bila permohonan belum diisi secara lengkap, pemohon akan menerima pemberitahuan kekurangan kelengkapan permohonan. (Kepuusan Direktur Jenderal Pengawas
Obat
dan
Makanan
Departemen
Kesehatan
Nomor
1447/C/SK/1991 tentang Petunjuk Peksanaan Wajib Daftar Alat Kesehatan Kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga). e.
Yang berhak mendaftarkan kosmetik di wilayah Indonesia adalah: 1. produsen kosmetik yang mendapat izin usaha Industri; 2. perusahaan yang bertanggungjawab atas pemasaran; 3. badan hukum yang ditunjuk atau diberi kuasa oleh perusahaan dari negara
asal.
(Pasal
10
Keputusan
Badan
POM
Nomor
HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).
1.9
Pengawasan terhadap peredaran kosmetik Peredaran
adalah
pengadaan,
pengangkutan,
pemberian,
penyerahan, penjualan dan penyediaan di tempat serta penyimpanan, baik untuk perdagangan atau bukan perdagangan.
74
a. Pengawasan terhadap peredaran kosmetik mempunyai permasalahan yang luas, cenderung kompleks dan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat sebagai konsumen, dan pelaku usaha. Peran serta masyarakat dan juga pelaku usaha dalam pengawasan peredaran kosmetik mempunyai arti penting dan perlu ditingkatkan. Pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan tindakan dalam rangka meningkatkan pengamanan kosmetik, antara lain mencakup: 1.
Pendaftaran, penilaian, dan penguji terhadap produk kosmetik sebelum beredar ke masyarakat Registrasi mempunyai arti penting dalam pengawasan kosmetik karena dalam proses registrasi tersebut dilakukan evaluasi dan pengujian secara seksama yang meliputi mutu bahan, formulasi, metode produksi, maupun aspek keamanan penggunaan. Melalui evaluasi dan pengujian dalam system registrasi maka secara awal akan dapat diketahui mutu dan keamanan kosmetiksebelum beredar di masyarakat. Kosmetik yang nyata mengandung bahan-bahan berbahaya, tidak akan diberi nomor registrasi dan dinyatakan beredar di Indonesia.
2.
Pembinaan dan pemeriksaan terhadap cara produksi dan distribusi serta pengujian mutu Guna meningkatkan penerapan cara-cara produksi yang baik maka Departemen Kesehatan dan BPOM melakukan upaya 75
pembinaan terutama terhadap industri kosmetik yang sedang dalam tahap berkembang. Disamping itu pemeriksaan terhadap sarana produksi dan distribusi akan ditingkatkan terus terutama untuk mencegah beredarnya produk-produk yang tidak memenuhi syarat. Oleh karena itu, dalam keadaan pemeriksaan terhadap sarana produksi dilakukan pula pengambilan contoh (sampling) untuk dilakukan penguji mutu di laboraturium. 3.
Penetapan spesifikasi dan pembakuan mutu Departemen Kesehatan telah menerbitkan Buku Kodeks Kosmetik Indonesia yang berisi uraian dan persyaratan bahan kosmetik. Kodeks Kosmetik merupakan pedoman yang harus digunakan dalam pemilihan bahan produksi kosmetik di Indonesia.
4.
Monitoring efek samping kosmetik Terhadap produk-produk kosmetik yang telah terdaftar dan beredar di masyarakat dilakukan pemantauan/monitoring terutama mengenai efek samping yang mungkin timbul dalam penggunanya oleh masyarakat. Pemantauan terhadap efek samping ini dilakukan kerja sama dengan rumah sakit dan melibatkan para dokter ahli kulit. Hasil monitoring ini sangat penting terutama untuk reevaluasi terhadap produk-produk yang ada dalam peredaran.
5.
Penyuluhan dan penyebaran informasi kepada masyarakat
76
Penyuluhan dan penyebaran informasi dipandang perlu untuk terus ditingkatkan agar masyarakat dapat menggunakan kosmetik secara tepat, benar, dan aman. Demikian pula dengan tenaga-tenaga di bidang produksi dan distribusi kosmetik perlu terus ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan memberikan informasi-informasi mutakhir tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan kemajuan dan perkembangan kosmetik. b.
Pengaturan mengenai pengawasan terhadap peredaran kosmetika yaitu sebagai berikut: (1)
Pengawasan terhadap produk kosmetik dilakukan oleh Kepala Badan. (Pasal 19 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).
(2)
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila tenaga pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat perintah pemeriksaan. (Pasal 20 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).
(3)
Setiap kosmetika yang beredar wajib: (a) memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, manfaat, mutu, penandaan, klaim; dan
77
(b) dinotifikasi. (Pasal 2 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor
HK.03.1.23.12.11.10052
Tahun
2011
tentang
Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika).
(4)
Pengawasan dilakukan melalui pemeriksaan terhadap: (a) sarana; dan (b) kosmetika. (Pasal 3 Keputusan Kepala Badab POM RI Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika).
(5)
Pengawasan kosmetika sebagaimana dimaksud dalam angka (4) huruf b antara lain meliputi : (a) legalitas kosmetika; (b) keamanan, kemanfaatan dan mutu; (c) penandaan dan klaim; dan (d) promosi dan iklan. (Pasal 5 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor
HK.03.1.23.12.11.10052
Tahun
2011
tentang
Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika).
(6)
Pemeriksaan dilakukan oleh petugas secara: a. rutin Pemeriksaan rutin sebagaimana dimaksud pada dilakukan untuk mengetahui pemenuhan standar dan/atau persyaratan. b. khusus. 78
Pemeriksaan khusus dilakukan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan dan/atau informasi adanya indikasi pelanggaran. (Pasal
6 Keputusan
Kepala
Badab POM RI Nomor
HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika). (7)
Dalam melaksanakan tugas pengawasan, petugas pengawas dapat: a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan kosmetika untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembuatan, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan kosmetika; b. memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat keterangan
mengenai
pengangkutan
dan
kegiatan
produksi,
perdagangan
penyimpanan,
kosmetika,
termasuk
menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; c. memeriksa penerapan CPKB; d. memeriksa penandaan dan klaim kosmetika; e. memeriksa promosi dan iklan kosmetika; f. mengambil
contoh/sampling
untuk
dilakukan
pengujian
laboratorium, dan; g. melakukan pemantauan hasil penarikan dan pemusnahan kosmetika tidak memenuhi persyaratan. (Pasal 8 Keputusan
79
Kepala Badab POM RI Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika). (8)
Apabila hasil pemeriksaan oleh pemeriksa menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya tindak pidana di bidang kosmetik segera dilakukan penyidikan oleh penyidik Badan Pengawas Obat dan Makanan. (Pasal 38 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
c.
Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan: Tugas BPOM: 1.
Penilaian
khasiat/kemanfaatan,
keamanan,
mutu,
dan
penandaanserta analisis laboratorium dalam rangka pemberian izin edar obat termasuk narkotika, bahan obat, tradisional, kosmetik, dan makanan; 2.
Pemeriksaan setempat dalam rangka pembinaan dan pengawasan di bidang produksi dan distribusi obat termasuk narkotika, bahan obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, dan makanan, serta sertifikasi cara pembuatan yang baik;
3.
Pengambilan contoh dan pengujian laboratorium terhadap obat termasuk narkotika, bahan obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, dan makanan yang beredar;
80
4.
Pemberian peringatan kepada pihak yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang menyangkut obat termasuk narkotika, bahan obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, dan makanan;
Fungsi BPOM: 1.
Penilaian dan pemantauan promosi dan iklan bahan obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, dan makanan;
2.
Pelaksanaan monitoring efek samping dan pemberian informasi;
Kewenangan BPOM: 1.
Penarikan kembali dari peredaran dan pemusnahan obat termasuk narkotika, bahan obat yang beresiko tinggi, obat tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, dan makanan yang tidak memenuhi syarat;
2.
Penyusunan standar dan persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan produk yang berupa Kodeks Kosmetik Indonesia untuk ditetapkan oleh Menteri Kesehatan;
3.
Penetapan pedoman teknis penilaian dan pengujian laboratorium obat termasuk bahan obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan
81
kesehatan rumah tangga dan makanan serta pemeriksaan sarana produksi dan distribusinya; 4.
Penyidikan tindak pidana di bidang obat termasuk narkotika dan psikotropika, bahan obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, dan makanan. (Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 264A / MENKES / SKB / VII / 2003 tentang Tugas, Fungsi, dan Kewenangan di bidang Pengawasan Obat dan Makanan).
1.10 Sanksi a. Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). b. Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). (Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan).
82
1.11 Pemberian Ganti Rugi Setiap orang mempunyai hak untuk mendapat ganti rugi apabila sediaan farmasi dan alat kesehatan yang digunakan mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat, dan kematian yang terjadi karena sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan. (Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan). 2. Data Primer 2.1
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Dian Eri Rahmadi, beliau sebagai Kepala Seksi Pembinaan dan Pengendalian di Dinas Perdagangan dan Perindustrian, maka dapat diperoleh data sebagai berikut: 2.1.1
Penyebab kosmetik tanpa izin edar dapat beredar di masyarakat Kosmetik tanpa izin edar dapat beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat dikarenakan barang atau produk kosmetik yang beredar di pasaran ada ribuan item sehingga tidak memungkinkan untuk melihat satu persatu kelayakan atau keamanan dari produk atau barang tersebut, oleh karena itu pengawasannya tidak bisa optimal dan efektif serta jumlah tenaga yang terbatas untuk mengawasi seluruh kabupaten Banyumas.
2.1.2
Akibat dari pelaku usaha yang memproduksi kosmetik tanpa izin edar
83
Pelaku usaha yang memproduksi kosmetik yang mengandung bahan berbahaya serta tidak memiliki izin edar akan diberi surat peringatan 1 (satu) kali, 2 (dua) kali, tetapi kalau sampai diberi surat peringatan 3 (tiga) kali apabila pabrik tersebut tetap memproduksi kosmetik illegal maka izin usahanya akan dicabut dan jika tertangkap tangan oleh dinas-dinas yang mengawasi maka pabrik pembuatan kosmetik langsung ditutup. Peredaran barang atau produk yang bersentuhan dengan kulit apabila tidak mencantumkan label dan tangggal kadaluwarsa maka produk tersebut bisa disita dan dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan, setelah itu menjadi kewenanangan negara apakah barang atau produk tersebut akan dimusnahkan atau dibakar. 2.1.3
Bentuk ganti rugi apabila konsumen mengalami kerugian akibat
peredaran
kosmetik
yang
mengandung
bahan
berbahaya Konsumen yang mengalami kerugian akibat penggunaan kosmetik mengandung berbahaya maka diselesaikan melalui mediasi terlebih dahulu untuk mencari solusinya. Ganti rugi tersebut tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak karena merupakan sengketa konsumen di luar pengadilan. 2.1.4
Tanggung
jawab
pemerintah
daerah
dalam
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya
84
peredaran
Tanggung jawab pemerintah daerah dalam peredaran kosmetik ilegal, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyumas sebagai dinas yang berfungsi sebagai pengawasan barang
yang
beredar
maka
melakukan
pembinaan.
Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyumas melakukan pembinaan dengan cara sosialisasi kepada pelaku usaha. 2.2
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Eko Puncak, S.H, beliau sebagai Penyidik di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang, maka dapat diperoleh data sebagai berikut: 2.2.1 Penyebab kosmetik yang mengandung bahan berbahaya dan tanpa izin edar dapat beredar di masyarakat Hal ini merupakan study lapangan. Kasus tersebut produsen atau pelaku usahanya belum mempunyai izin produksi dan pabriknya juga ilegal. Jika pabrik pembuatan kosmetik tersebut ilegal, apabila berbicara ius poenandi (kewenangan negara), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak bisa mengetahui bahwa di tempat tersebut ada sebuah tempat produksi, tiba-tiba barang tersebut sudah beredar di pasaran. Bahkan tentang kasus ini, temuannya ada di pasaran dan terdengar permasalahan masyarakat kemudian ditindaklanjuti dan dilakukan investigasi ternyata di tempat tersebut ada sebuah rumah yang digunakan untuk memproduksi kosmetik ilegal, setelah mendapat keterangan yang pasti
tim
penyidikan 85
melakukan
operasi
penertiban.
Kesimpulannya, BPOM atau negara hanya bisa memantau pelaku usaha yang mempunyai legalitas, apabila tidak mempunyai legalitas maka BPOM tidak bisa mengetahui bahwa di tempat tersebut ada pabrik kosmetik. Tetapi apabila mempunyai legalitas pelaku usaha akan melapor ke Dinas Kesehatan Propinsi lalu di dinas tersebut mempunyai data base yang kemudian dilaporkan ke BPOM, sehingga BPOM bisa melakukan pengawasan ke tempat produksi. 2.2.2 Jenis bahan kimia obat yang mengandung bahan berbahaya Bahan kimia obat yang sering dipakai dalam pembuatan kosmetik berbahaya yaitu mercury, yang sering digunakan pada pemutih wajah. Kecuali hidrokuinon yang dipakai pada cat kuku dan pewarna rambut. Tetapi kalau untuk kosmetik yang dioles di kulit tidak boleh ditambahkan dengan hidrokuinon. 2.2.3 Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya Kasus tersebut perlindungan hukumnya dapat menuntut ganti kerugian tetapi dalam hal ganti rugi tersebut bukan merupakan tugas pokok dari BPOM, karena BPOM hanya melakukan pengawasan. Apabila penyegelan terhadap sarana, BPOM tidak mempunyai kewenangan tetapi hanya melakukan pengawasan terhadap produk, yang mempunyai kewenangan adalah Dinas
86
Perindustrian dan Perdagangan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk penyelesaian sengketa konsumen ada lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. 2.2.4 Sanksi
yang
dikenakan
kepada
Pelaku
Usaha
yang
memproduksi kosmetik mengandung bahan berbahaya dan tanpa izin edar Berbicara ius poenali (hukum positif yang ada dalam peraturan perundang-undangan), dasar hukumnya yaitu UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu: 1. Untuk kosmetik yang tidak memenuhi ketentuan yaitu kosmetik mengandung bahan berbahaya seperti kasus ini, maka dapat dikenakan Pasal 196 dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 2. Untuk kosmetik yang tidak mempunyai izin edar atau belum terdaftar maka dapat dikenakan Pasal 197 dengan ancaman pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Kasus tersebut dikenakan 2 (dua) pasal untuk pelaku usahanya yaitu Pasal 196 dan Pasal 197 karena kosmetik yang
87
diedarkan tidak mempunyai izin edar dari BPOM dan mengandung bahan berbahaya. Pada saat ada penggerebekan di tempat tersebut juga sedang dilangsungkan kegiatan produksi, dan CV. Dherma Estetika Indonesia sekarang sudah ditutup. 2.2.4 Pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap peredaran produk kosmetik di tiap-tiap daerah Pengawasan yang dilakukan terhadap peredaran produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di masyarakat adalah untuk menjamin mutu. Pengawasan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ada 2 macam:
1. Pre Market Pre Market adalah pengawasan yang dilakukan serta penilaian dan pengujian atas mutu keamanan sebelum kosmetik diedarkan. 2. Post Market Post Market adalah pengawasan yang dilakukan setelah produk kosmetik diedarkan di masyarakat, antara lain inspeksi sarana produksi dan distribusi, monitoring efek samping kosmetik, sampling dan uji laboratorium untuk kosmetik di peredaran, penilaian dan pengawasan iklan kosmetik atau promosi, serta penyebaran informasi melalui edukasi masyarakat dan public warning. 88
BPOM dalam melakukan pengawasan, berkaitan dengan ius poenandi apabila ditemukan kosmetik yang mengandung bahan berbahaya maka kosmetik itu akan disita dan apabila sudah mendapatkan persetujuan dari Pengadilan kemudian penyidik melakukan pemusnahan untuk kemudian dibakar di tempat pembuangan akhir. Pengawasan yang dilakukan oleh BPOM hanya melakukan pengamanan produk dan penyitaan terhadap produk atau barangnya. Berbicara mengenai prioritas utama yaitu bahan berbahaya dalam pembuatan kosmetik maka harus mencantumkan tanggal kadaluwarsa. Sepanjang untuk pengobatan di klinik tanpa adanya tanggal kadaluwarsa itu diperbolehkan karena di klinik terdapat takaran dokter dan berfungsi sebagai pengobatan dan resepnyapun obat maka kalau di klinik bukan merupakan kosmetik tetapi sebagai obat. Apabila sudah diedarkan sampai ke toko dimana orang yang membeli itu tidak bisa bertanya ke pemilik toko maka harus diberi informasi yang jelas. Misalnya, A datang ke klinik diperiksa dokter, meskipun itu klinik kecantikan namun produknya adalah obat, bukan kosmetik. Berbeda jika sudah masuk ke toko atau sudah berada di toko itu dinamakan kosmetik karena jika sudah masuk ke toko harus didaftarkan di BPOM. Produk kosmetik yang tidak ada izin edarnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 89
1.
Sistim pemesanannya biasanya dengan cara dikirim Misalnya: A memesan kosmetik, karena tidak mungkin diambil di tempat tersebut lalu produk kosmetik tersebut dikirim oleh ekspedisi.
2.
Apabila membeli produk kosmetik tersebut dalam jumlah banyak maka akan ditanya macam-macam oleh si pelaku usaha. Berbicara mengenai law enforcement, misalnya toko A
menjual kosmetik yang mengandung bahan berbahaya maka terhadap pemilik toko tersebut akan dilakukan: a. Diperingatkan Pelaku usaha yang menjual kosmetik atau yang mempunyai toko diperingatkan dengan surat pernyataan bahwa benar telah menjual kosmetik tanpa izin edar dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Apabila setelah membuat surat pernyataan ternyata masih menjual kosmetik yang mengandung bahan
berbahaya
terpaksa
orang
yang
menjual
akan
diperkarakan dan tokonya tidak ditutup karena terhadap sarananya bukan merupakan kewenangan BPOM. b. Pembinaan Pelaku Usaha Pembinaan pelaku usaha terdapat penyuluhan terhadap pelaku usaha. Pelaku usaha di sini dianggap cakap karena untuk memperoleh izin mempunyai tahapan yang rumit.
90
BPOM bermaksud memberikan aspek jera berbasis pembinaan artinya apabila orang tersebut melakukan kejahatan bukan berarti semuanya dirampas dan dia tidak bisa bekerja, karena dia dituntut di pengadilan untuk orang yang tidak biasa melakukan kejahatan itu merupakan obat yang sangat pahit dan terhadap toko tersebut tetap tidak dilakukan penyegelan dengan harapan keluarganya meneruskan usahanya untuk melanjutkan penjualan teetapi dengan syarat toko tersebut menjual barangbarang yang legal. Apabila selama menjalani proses ini pelaku usaha tertangkap tangan lagi, maka hukumannya lebih berat yaitu dengan pemberatan. c. Pemusnahan terhadap barang atau produk Pemusnahan ini dilakukan pada pabrik kosmetik ilegal yaitu apabila setelah diperiksa dari hasil laboratorium ternyata tidak sesuai ketentuan dalam pembuatan kosmetik, maka yang disegel atau dimusnahkan di tempat adalah barang atau produk yang illegal. Dalam pembuatan kosmetik tidak ada industri rumahan, berbeda dengan pangan. Industri kosmetik memerlukan tenaga ahli dalam pembuatannya, tetapi jika pangan ada industri rumahan. Karena kosmetik merupakan industri yang besar maka pelaku usahanya harus mempunyai izin untuk pembuatan kosmetik yaitu pelaku usaha mengajukan permohonan ke BPOM untuk 91
mendapatkan izin, kemudian BPOM melampirkan persyaratan lulus CPKB (Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik) meliputi alur dan bahan baku, lalu setelah memenuhi semua persyaratan keluarlah izin edar serta notifikasi kosmetika. 2.2.5 Kendala pengawasan terhadap kosmetik di daerah Di daerah dalam pengawasan peredaran kosmetik mengalami kendala, yaitu: a.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan pemilik toko masih rendah sehingga mereka belum bisa membedakan kosmetik legal dan ilegal.
b.
Sales kosmetik biasanya lebih cenderung sekedar mencari target atau keuntungan penjualan daripada berpikir tentang keamanan kosmetik. Bahkan sales ini sedikit banyak sudah mengetahui kosmetik tersebut ilegal tetapi tetap dijual.
c.
Pemilik toko tidak bisa menerima hal tersebut karena kurangnya pengetahuan tadi ketika kosmetik dimusnahkan.
92
B. Pembahasan Perlindungan hukum bagi konsumen pada dasarnya adalah melindungi hak-hak konsumen. Hak-hak konsumen sebenarnya sudah dirumuskan secara jelas dan terinci di dalam peraturan perundang-undangan yang semestinya diperhatikan dan dilindungi oleh pihak pelaku usaha, hanya dalam prakteknya hal ini sering terabaikan karena iktikad tidak baik dari pelaku usaha serta dalam melakukan usaha hanya didorong untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Peristiwa tidak terpuji yang merugikan konsumen ditemukan pada tahun 2013, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Semarang bersama Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas menggerebek sebuah rumah di Perumahan Permata Hijau blok 8 No. 57 Kelurahan Bancarkembar, Kecamatan Purwokerto Utara, Banyumas, Jawa Tengah. Rumah mewah yang dijadikan pabrik pembuatan produk kosmetik ilegal tersebut menggunakan nama CV Dherma Estetika Indonesia. Ribuan wadah dan bahan kosmetik disita. Petugas mengamankan bahan-bahan pembuat kosmetik seperti hydrokinon, silikon, antibiotik berupa clindamisin dan cloramfenikol, dan ratusan jiriken bahan campuran produk pembuatan kosmetik. Berdasarkan laporan masyarakat, produk kosmetik tanpa menggunakan merk tersebut dapat membuat iritasi di kulit dan membuat kulit menjadi belang-belang. Diantaranya adalah krim malam dan krim siang. Pangsa pasar produk ini adalah mahasiswa dan pelajar karena harganya terjangkau. Izin perusahaan kosmetik tersebut yang terdiri dari izin HO, SIUP, TDP juga tidak ada. Berdasarkan
kasus
tersebut,
konsumen
akibat
peredaran
kosmetik
yang
mengandung bahn berbahaya harus dilindungi. Pengertian Konsumen dalam Pasal 1 angka (2) UUPK, yaitu:
93
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani mengemukakan mengenai pengertian konsumen yaitu: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.60
Berdasarkan data sekunder nomor 1.3.2 tentang keluhan konsumen apabila dikaitkan dengan pasal 1 angka (2) UUPK dan pendapat Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani maka dapat dideskripsikan bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir, yang artinya pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Apabila kita melihat pada kasus ini dapat ditarik kesimpulan bahwa konsumen di sini adalah pengguna kosmetik tersebut.
Pasal 1 angka (3) UUPK mengartikan pelaku usaha sebagai berikut: Pelaku Usaha adalah setiap orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Ahmadi Miru dalam bukunya Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia menyebutkan pengertian pelaku usaha atau produsen yaitu: 60
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, Hal. 5.
94
Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen.61
Az. Nasution menggolongkan pelaku usaha sebagai berikut: a. Pelaku usaha sebagai pencipta atau pembuat barang yang menjadi sumber terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan konsumen. b. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen. c. Pengusaha jasa (Pelaku usaha yang memberi pelayanan dan atau menjual sebuah prestasi kepada konsumen).62
Berdasarkan data sekunder nomor 1.1 huruf o tentang industri kosmetika dan nomor 1.4 tentang persyaratan untuk menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan kosmetik serta didukung dengan data primer nomor 2.2.1 apabila dikaitkan dengan Pasal 1 angka (3) UUPK dan pendapat Ahmadi Miru serta Az. Nasution maka dapat dideskripsikan bahwa pemilik pabrik kosmetik dalam kasus tersebut disebut sebagai pelaku usaha. Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Mengenal Hukum Suatu Pengantar, mengemukakan bahwa: Perlindungan hukum yaitu segala upaya yang dilakukan menjamin adanya kepastian hukum berdasarkan pada keseluruhan peraturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan ini dapat terlihat baik dalam Undang-Undang maupun dalam ratifikasi atau konvensi internasional.63
61 62
Ahmadi Miru, Op. Cit, Hal. 21-22. Az. Nasution, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, Hal.
10. 63
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, Hal. 20.
95
Perlindungan konsumen menurut Shidarta dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, yaitu: Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebihlebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.64
Berdasarkan pendapat Sudikno Mertokusumo dan Shidarta, maka dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen merupakan perlindungan terhadap hak-hak konsumen yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hak konsumen dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai berikut: a.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
b. c. d. e. f. g. h.
i.
Berdasarkan pendapat Sudikno dan Shidarta yang dijabarkan di atas, maka yang dimaksud perlindungan konsumen adalah melindungi hak-hak konsumen seperti yang 64
Shidarta, Op.Cit, hal. 19.
96
diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Khusus dalam penelitian ini, yang akan dibahas adalah perlindungan terhadap hak-hak konsumen seperti yang diatur pada Pasal 4 huruf a, c, d, e, yaitu sebagai berikut: a.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa Pasal 4 huruf a UUPK, menyatakan bahwa: Hak konsumen adalah : a. hak
atas
kenyamanan,
keamanan,
dan
keselamatan
dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani menyatakan bahwa: Dari Sembilan butir hak konsumen di atas terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat.65 Berdasarkan data sekunder nomor 1.2 tentang Bahan Kosmetik apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf a UUPK dan pendapat Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani maka dapat dideskripsikan bahwa kosmetik yang mengandung mercury dan hidrokuinon dalam kasus ini tidak aman untuk digunakan karena bahan kosmetika dinyatakan bahwa mercury dan hidrokuinon merupakan bahan kosmetik yang dilarang dalam pembuatan kosmetik. Dapat disimpukan bahwa kosmetik yang mengandung bahan berbahaya serta tidak mempunyai izin edar dari
65
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op.Cit, Hal.30.
97
BPOM tidak aman untuk digunakan dan dapat mengancam keselamatan konsumen. Kosmetik tersebut tidak layak untuk diedarkan di masyarakat karena melanggar hak konsumen sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 4 huruf a UUPK, mengenai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Berdasarkan data sekunder nomor 1.9 tentang pengawasan terhadap peredaran kosmetik apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf a UUPK dan kasus ini dapat dideskripsikan bahwa produk kosmetik yang tidak memenuhi syarat dan mengakibatkan terganggunya kesehatan konsumen maka Badan Pengawas Obat dan Makanan dapat menarik produk kosmetik dari peredaran dan melakukan pemusnahan. Konsumen kosmetik yang mengalami kerugian berhak mendapatkan ganti rugi akibat pemakaian produk kosmetik tersebut dan pelaku usahanya dapat dikenai sanksi.
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani dalam bukunya yang berjudul Hukum Tentang Perlindungan Konsumen mengemukakan bahwa: Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-undang Perlindungan Konsumen memungkinkan dilakukannya penuntutan pidan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.66 Berdasarkan data sekunder nomor 1.10 tentang sanksi dan diperkuat dengan data primer nomor 2.2.4 apabila dikaitkan dengan pendapat Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani maka dapat dideskripsikan bahwa dengan adanya 66
Ibid, Hal. 84-85.
98
sanksi dari pemerintah maka konsumen akan merasa aman, sehingga pemerintah dalam hal ini telah memberikan kenyamanan dan keamanan kepada konsumen. c.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa Hak untuk memperoleh informasi atas barang atau produk yang akan dibeli ini sangat penting, dimaksudkan agar konsumen dapat mengetahui informasi yang jelas tentang suatu produk yang akan dikonsumsi karena dengan informasi tersebut konsumen dapat memilih produk yang sesuai dengan kebutuhannya serta dapat terhindar dari kerugian apabila produk tersebut tidak layak untuk dikonsumsi. Pasal 4 huruf c UUPK menyebutkan bahwa: Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pasal 7 UUPK menyebutkan bahwa: Kewajiban pelaku usaha adalah : a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
99
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani dalam bukunya mengemukakan bahwa: Untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur.67
Berdasarkan data sekunder nomor 1.6 huruf f tentang wadah dan pembungkus kosmetik apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf a dan b UUPK dan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, maka dapat dideskripsikan bahwa konsumen harus memperoleh informasi mengenai barang dan/atau jasa yang akan mereka konsumsi. Namun, dalam kasus ini konsumen tidak mengetahui informasi mengenai barang atau produk kosmetik tersebut. Produk kosmetik tersebut tidak mencantumkan label mengenai informasi kosmetik tersebut sehingga konsumen tidak mengetahui manfaat produk, tanggal kadaluwarsa bahkan efek samping dari penggunaan kosmetik tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak beriktikad baik dalam melakukan kegiatan
67
Ibid, Hal.30.
100
usahannya dalam memproduksi kosmetik. Jadi, dalam kasus ini konsumen tidak mendapatkan hak atas informasi yang benar dan jelas mengenai kondisi barang atau produk kosmetik yang dikonsumsi.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan Setiap konsumen yang mengalami kerugian akibat pemakaian barang atau produk maka harus didengar keluhan dan pendapatnya. Misalnya konsumen yang mengkonsumsi produk kosmetik lalu mengalami iritasi setelah mengkonsumsinya maka harus didengar keluhannya.
Pasal 4 huruf d UUPK, menyebutkan bahwa: Hak
atas
informasi
yang
benar,
jelas,
dan
jujur
mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa: Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk atau berupa pernyataan atau pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.68
Berdasarkan data sekunder nomor 1.3.2 tentang keluhan konsumen dan didukung dengan data primer nomor 2.2.1 apabila dikaitkan dengan pasal 4 huruf
68
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, Hal. 43.
101
d UUPK dan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dapat dideskripsikan bahwa pelaku usaha dalam kasus ini tidak menanggapi keluhan konsumen dan dalam kasus ini konsumen tidak memperoleh haknya untuk didengar pendapat dan keluhannya atas produk barang dan/atau jasa yang digunakan. Sehingga, konsumen menyampaikan keluhan akibat pemakaian kosmetik tersebut kepada Layanan Informasi Konsumen Badan Pengawas Obat dan Makanan. Adanya Layanan Informasi Konsumen BPOM maka pemerintah dalam hal ini telah melindungi hak konsumen kosmetik untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. e.
Hak
untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa serta perlindungan konsumen secara patut Hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen pengguna suatu barang dan/atau jasa yang telah dirugikan. Konsumen kosmetik dalam kasus ini yang mengalami kerugian akibat peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya berhak mendapatkan perlindungan hukum dan upaya penyelesaian sengketa dapat diselesaikan di luar pengadilan atau melalui pengadilan. Konsumen yang dirugikan akibat peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya berhak memperoleh ganti rugi.
Pasal 4 huruf e UUPK, menyatakan bahwa: Hak
untuk
mendapatkan
advokasi,
perlindungan,
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, mengemukakan bahwa: 102
dan
upaya
Hak atas ganti kerugian dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak akibat adanya penggunaan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini terkait dengan penggunaan yang telah merugikan konsumen baik berupa kerugian materi maupun kerugian menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen.69
Berdasarkan data sekunder nomor 1.3 tentang CPKB, nomor 1.5 tentang izin produksi kosmetik, nomor 1.8 tentang pendaftaran produk kosmetik, dan nomor 1.9 tentang pengawasan terhadap peredaran kosmetik serta didukung dengan data primer nomor 2.1.1 dan 2.2.1 apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf e UUPK dan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dapat dideskripikan bahwa banyaknya produk kosmetik yang beredar di pasaran mengakibatkan pemerintah tidak optimal dan efisien dalam melakukan pengawasan. Terlebih apabila pabrik pembuatan kosmetik tersebut illegal maka pemerintah tidak bisa melakukan pengawasan terhadap pembuatan kosmetik pada pabrik tersebut karena tidak mengetahui bahwa di tempat tersebut ada pabrik kosmetik. Apabila mempunyai legalitas maka pemerintah dapat melakukan pengawasan dan pembinaan ke tempat produksi. Negara hanya bisa memantau pelaku usaha yang mempunyai legalitas. Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah mengenai Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik bertujuan agar dalam pembuatan kosmetik tidak menggunakan bahan yang berbahaya dan merupakan bentuk perlindungan hukum yang ditujukkan untuk melindungi konsumen kosmetik.
Akibat dari perbuatan pelaku usaha yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam kasus ini, Pasal 19 UUPK menyebutkan bahwa: 69
Ibid, Hal. 44.
103
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UUPK menyebutkan mengenai penyelesaian sengketa sebagai berikut: Pasal 45 (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. (2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.2 tentang bahan kosmetik dan 1.11 tentang pemberian ganti rugi serta didukung dengan data primer nomor 2.1.3 apabila dikaitkan dengan Pasal 19 dan Pasal 45 ayat (1) dan (2) UUPK serta pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dapat dideskripsikan bahwa konsumen yang mengalami kerugian akibat penggunaan kosmetik yang mengandung bahan berbahaya maka upaya penyelesaian sengketa dalam kasus ini melalui fasilitas mediasi terlebih dahulu untuk mencari solusinya, kemudian
104
bentuk dan jumlah ganti rugi tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak yang bersengketa. Lembaga yang menangani penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Apabila pihak pelaku usaha tidak bersedia bertanggung jawab secara sukarela atau proses non litigasi tidak membuahkan hasil maka konsumen dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
105
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka peneliti dapat memberikan kesimpulan bahwa: a.
Perlindungan hukum terhadap konsumen kosmetik agar merasa nyaman, aman, dan selamat berkaitan dengan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya secara normatif sebenarnya sudah diupayakan oleh pemerintah dan jajarannya dengan menetapkan peraturan-peraturan mengenai pembinaan dan pengawasan berdasarkan Keputusan Badan POM RI Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika dan sanksi berdasarkan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang diharapkan dapat membuat para pelaku usaha sadar sehingga melakukan usaha dengan iktikad baik.
b.
Perlindungan terhadap hak konsumen kosmetik atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dalam Peraturan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 Tentang Kosmetik sebenarnya sudah diatur secara jelas berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha untuk memberi informasi yang selengkaplengkapnya untuk menghindari timbulnya kerugian pada pihak konsumen kosmetik.
c.
Bagi konsumen kosmetik yang menderita kerugian, berdasarkan Pasal 19 UUPK pelaku usaha diwajibkan untuk memberi ganti rugi. Sedangkan dari pihak pemerintah
106
punya tanggung jawab untuk membina, mengawasi, dan memfasilitasi agar konsumen kosmetik mendapatkan apa yang menjadi haknya. B. Saran 1.
Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya seyogyanya menunjukkan iktikad baik dan memberikan informasi yang jelas atas barang dan atau jasa yang diedarkan serta berupaya memperhatikan hak-hak konsumen dan kewajibannya sebagai pelaku usaha yang telah dirumuskan dalam UUPK.
2.
Pemerintah seyogyanya meningkatkan pengawasan terhadap peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kabupaten Banyumas untuk meminimalisir kerugiankerugian yang diderita oleh masyarakat.
3.
Konsumen kosmetik hendaknya lebih hati-hati dalam membeli dan menggunakan produk kosmetik agar terhindar dari bahaya.
107
DAFTAR PUSTAKA
Buku Literatur Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Anwar, Saiful, 2004, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora: Madani Press. Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Alumni. Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 1997, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung. Manullang, M, 1995, Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: Ghalia Indonesia. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty. Miru, Ahmadi, 2011, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Miru Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Rajawali Pers. Nasution, Az, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media. Nasution, Az, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media. Numardjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung. Prayudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia. R. Prawirohamidjojo Soetojo dan Marthalena Pohan, 1984, Hukum Perikatan, Surabaya: Bina Ilmu. Salindeho, Jhon, 1998, Tata Laksana Dalam Manajemen, Jakarta: Sinar Grafika. Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo. Sidharta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo Edisi Revisi. Soekanto Seorjono dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Soemitro, Ronny Hanitijo, 1992, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia. Sukarno, 1992, Dasar-Dasar Managemen, Jakarta: Miswar.
108
Sutedi, Adrian, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Huku Perlindungan Konsumen, Bogor: Ghalia Indonesia. Widjaja Gunawan dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Syarif M. Wasitaatmadja, 1997, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, Depok: UI Press. Yayasan Lembaga Konsumen, 1981, Perlindungan Konsumen Indonesia Suatu Sumbangan Pemikiran Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1175/MenKes/PER/VIII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 140/Menkes/Per/III/1991 trntang Wajib Daftar Alat kesehatan, kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 965/Menkes/SK/XI/1992 tentang Cara Produksi Kosmetik Yang Baik. Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 264A / MENKES / SKB / VII / 2003 tentang Tugas, Fungsi, dan Kewenangan di bidang Pengawasan Obat dan Makanan Keputusan Direktur Jenderal Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Nomor 1447/C/SK/1991 tentang Petunjuk Peksanaan Wajib Daftar Alat Kesehatan Kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.3870 tentang Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik.
109
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2013 tentang Persyaratan Teknis Kosmetika. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.42.2995 tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik.
Sumber lain Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Wawancara Bapak Dian Eri Rahmadi (Kepala Seksi Pembinaan dan Pengendalian di Dinas Perdagangan dan Perindustrian). Bapak Eko Puncak, S.H, (Penyidik di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang).
Online http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/05/16/mmvzmy-bpom-sita-kosmetikilegal-mengandung-obat-terlarang (diakses pada tanggal 18 September 2014). Ny. Lies Yul Achyar, Dasar-Dasar Kosmetologi Kedokteran, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, http;//www.scribd.com diakses tanggal 12 Desember 2014. http://nuwrileardkhiyari.blogdetik.com/2013/12/01/monitoring, diakses pada tanggal 20 Desember 2014.
110