PENGAWASAN TERHADAP PEREDARAN SUKU CADANG SEPEDA MOTOR DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI KABUPATEN BANYUMAS BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI Oleh: SATRIO SAMTHA NUGRAHA E1A011029
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015
PENGAWASAN TERHADAP PEREDARAN SUKU CADANG SEPEDA MOTOR DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI KABUPATEN BANYUMAS BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI Oleh: SATRIO SAMTHA NUGRAHA E1A011029
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya,
Nama
:Satrio Samtha Nugraha
NIM
: E1A011029
SKS
: 2011
Program Studi
: Ilmu Hukum
Bagian
: Hukum Perdata Dagang
JUDUL SKRIPSI
: PENGAWASAN TERHADAP PEREDARAN SUKU CADANG
SEPEDA
MOTOR
DALAM
RANGKA
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI
KABUPATEN
UNDANG-UNDANG
BANYUMAS NOMOR
BERDASARKAN 8
TAHUN
1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto,
Februari 2015
Satrio Samtha Nugraha E1A011029
iv
Chairul Tanjung “Kalau gagal, coba lagi, gagal coba lagi, coba lagi. Terus begitu sampai gagalnya menyerah dan tidak datang lagi”
Gita Wirjawan “High risk, high return”
v
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, berkah, rezeki, dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGAWASAN TERHADAP PEREDARAN SUKU CADANG SEPEDA MOTOR DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI KABUPATEN BANYUMAS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”. Ibunda ananda yang tercinta mama Rita Elida dan ayahanda papa Syanmsuddin, S.E. yang telah merawat dan mendidik ananda, yang telah memberikan
dukungan
luar
biasa
kepada
ananda
sehingga
bisa
mempersembahkan karya tulis yang istimewa ini untuk kalian, adik-adik tersayang, Dwiki Muhammad Angkasawan, Fikri Iskandar Dienata, dan Amelia Andani. Terimakasih atas doa dan dukungan kalian selama ini. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah banyak membantu, memberikan dukungan, dan semangat, yaitu: 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan semangat dan izin dalam penyusunan serta penulisan skripsi ini;
vi
2. Bapak H. Suyadi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I sekaligus Dosen Penguji I yang telah memberikan arahan dan bimbingan baik bimbingan akademis maupun bimbingan moral dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas semua dukungan yang telah bapak berikan; 3. Bapak I Ketut Karmi Nurjaya, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Dosen Penguji II yang telah memberikan arahan dan bimbingan serta semangat. Terimaksih atas segala ketelitian dan koreksinya dalam memeriksa setiap uraian dalam skripsi ini, sehingga penulis dapat belajar atas setiap kekeliruan; 4. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. selaku Dosen Penguji pada seminar skripsi dan pendadaran sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan dan masukan dalam penulisan hukum ini serta telah memberikan bimbingan dan nasihat sejak awal perkuliahan; 5. Seluruh dosen pengajar, staf administrasi dan seluruh civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, yang telah membekali dan memberikan kesempatan pada penulis guna menimba ilmu; 6. Seluruh Civitas Akademika Universitas Jenderal Soedirman, yang telah memberikan informasi dalam menyelesaikan penulisan hukum ini; 7. Papa Syamsuddin, S.E. sosok ayah yang tak kenal lelah dalam mendidik dan membimbing penulis. Mama Rita Elida, sosok seorang ibu yang penuh kesabaran dalam mendidik penulis, ibu yang tak kenal lelah yang selalu
vii
menemani perjalanan hidup penulis hingga saat ini. Pengorbanan dari kalian adala harta yang tak ternilai harganya. Serta adik-adik tercinta, Dwiki Muhammad Angkasawan, Fikri Iskandar Dienata, dan Amelia Andani, kalian adalah adik-adik yang luar biasa hebat. Terimakasih atas keceriaan yang telah kalian berikan dalam keluarga selama ini. 8. Datuk Ajian, Nenek Rohama, Atok, Nek Aji, Nek Saimah, Ayuk Merlin, Bunda Len, Om Lan, Wancik, Paman, Etek, Bucik Sus, Om Yazid, Bunda Farida, Cik Tengah, Makdang, Bakdang dan seluruh keluarga besar penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas semuanya selama ini; 9. Ferdian Dwi Jaya, Anrico Daniel Sihombing, Muhammad Widodo, Andika Eka Paksi, Meraldo Tiranggara, Devtra Propanto, Kaka Riyus, dan Pandu Dian Samaran. Kalian sahabat-sahabat SMA yang penuh arti buat penulis. Terimakasih telah memberikan warna dalam kehidupan penulis; 10. Roma Uli Sianturi, seorang sahabat sekaligus partner dalam berbagai hal. Terimakasih atas semua pelajaran hidup yang mendewasakan, menemani, dan menjadi tempat berkeluh kesah selama ini, semoga kesuksesan selalu menyertaimu kawan; 11. Tia Prissilia, Vani Januarti, Rangga Pramana Kennedy, Haris Budiman, Oki Tamandila, Deo Budiargo, serta teman-teman dari Akuntansi A Universitas Bengkulu angkatan Tahun 2010, kebersamaan bersama kalian adalah salah satu hal terindah yang pernah penulis rasakan. Terimakasih atas kebersamaan kita selama ini;
viii
12. Muhammad Lukmanul Hakim, Angga Puja Kesuma, Rendi Andika, Fitri Amadea dan teman-teman Bimbingan Belajar Nurul Fikri cabang Soedirman Palembang serta seluruh staf pengajar Bimbingan Belajar Nurul Fikri cabang Soedirman Palembang. Terimakasih atas semangat yang tak kenal lelah dari kalian demi masuk perguruan tinggi favorit; 13. Fauzi Ikhsan Kamil, Dito Baskoro Al-Aziz, M. Rahmat Yani, dan R. M. Yusri Ali, kalian lebih dari sahabat, pemberi warna dalam kehidupan selama penulis merantau di Purwokerto. Kalian istimewa. Terimakasih atas semua hal, baik suka, duka yang kita lalui bersama-sama dalam beberapa tahun terakhir. “We are Komodo”; 14. Oji, Mamat, Elan, Yoga, Haidar, Mas Jay, Dendi, Kopek, Tito, Purnomo, Dadut, beserta keluarga besar Muria Garden lainnya dari generasi ke generasi. Terimakasih atas kebersamaannya yang penuh arti selama 3,5 tahun ini; 15. David Anugrah, Dimas Wahyu Irawan, Nurul Adhi Nugroho, Elan Katrida, Desti Hariyani, Esnawan Wirayudha, Reza Damayanti, Etri Indriawati Pertiwi, Elsa Refliyasmin dan teman-teman kelas A, B, C, D, dan E Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2011 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas kebersamaannya selama penulis berproses di kampus merah kita tercinta, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 16. Teman-teman PLKH tercinta, khususnya PLKH TUN dan PLKH Perdata, Aiph, Muti, Salim, Sabrina, Putri, Boya, Cipto, Sasa, Krisna, Fira, Zela,
ix
Kekompakan kalian memberikan arti yang mendalam bagi penulis, terimakasih. 17. Septi Dwi Wahyuni, S.H., Natalia Dewi Anggraini, S.H., Cahaya Setia, S.H., Oki Wasrika Ningrum, S.H., Dewi Indriani, S.H., Sani Cipti Rianti, S.H., Yuli Mega Siahaan, S.H., dan Pasukan Hukum Perdata Dagang lainnya, akhirnya kita semua bisa menyelesaikan studi strata satu kita di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman tercinta; 18. Pending Intan Maharani, Indra Ristianto, Aulia Intan Pratiwi, Khairul Fahmi, Tri Panti Yanti, Saskia Vyatarsi, Neptu Islamy, Irma Septyani, Putri Saraswati, perangkat desa serta warga Desa Beji sekalian. Terimakasih atas kebersamaannya selama masa KKN Posdaya Unsoed 2014 di Desa Beji, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara; dan 19. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Hanya uraian doa dan kata terimakasih yang dapat penulis haturkan, semoga kebaikan yang telah dibangun akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya. Purwokerto,
Februari 2015
Satrio Samtha Nugraha E1A011029 x
ABSTRAK Isu tentang peredaran suku cadang palsu sepeda motor di pasaran semakin marak terjadi. Dikhawatirkan peredaran suku cadang palsu sepeda motor tersebut telah menyebar ke berbagai daerah di tanah air, tidak terkecuali di Kabupaten Banyumas. Walaupun belum adanya kasus atau laporan terkait peredaran suku cadang palsu sepeda motor di Kabupaten Banyumas, pengawasan mengenai penyelenggaraan konsumen harus tetap dilakukan, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Untuk itu mengenai pengawasan terhadap barang dan/atau jasa, pengawasan oleh pemerintah diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengawasan terhadap peredaran suku cadang sepeda motor dalam rangka perlindungan hukum terhadap konsumen di Kabupaten Banyumas berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Sumber data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder dari bahan kepustakaan yang didukung dengan data primer dari hasil wawancara. Data berupa uraian yang disusun secara urut dan sistematis. Sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah metode normatif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap peredaran suku cadang sepeda motor di Kabupaten Banyumas dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas yang berupa pengawasan secara berkala dan pengawasan secara khusus merupakan pengawasan yang bersifat langsung, pengawasan tidak langsung, pengawasan preventif, dan pengawasan represif.
Kata Kunci : Pengawasan, Pemerintah, Suku Cadang Sepeda Motor, Konsumen.
xi
ABSTRACT The issue about the distribution of imitation motorcycle spare-part in the market often happens. It is frightening if the distribution of the imitation motorcycle spare-part have been spread in may of regions in this country, not exceptional in Regency of Banyumas. Although there is no any cases or related report about the distribution of the imitation motorcycle spare-part in the Regency of Banyumas, the controlling about the implementation of the consumer must be conducted where it is regulated in the Article 30 Ordinance Number 8 in 1999 about the Consumer Protection. Because of that related through the Regulation of Trade Ministry Number 20/MDAG/PER/5/2009 about the Determining and Procedure of the Controlling Way of the Goods and/or Service. This research aims to find out the controlling for the distribution of the motorcycle spare-part in order to the protection of law for the consumer in the Regency of Banyumas based on the Ordinance Number 8 in 1999 about the Protection of Consumer. This research uses the method of normative juridical research by using the regulation of Ordinance. Data source in this research uses the secondary data from the literatures material that are supported by the primary data from the result of interview. Data is in the form of explanations that have been arranged orderly and systematically. And the method of data analysis in this research uses the method of qualitative normative. The result of research shows that the controlling which is conducted by the government to the distribution of the motorcycle spare-part in the Regency of Banyumas it is conducted by Department of Industry, Trade, and Cooperative in the Regency of Banyumas which it is the controlling periodically and controlling specifically is the controlling that has the direct characteristic, indirect controlling, preventive controlling, and repressive controlling. Keywords: Controlling, Government, Motorcycle Spare-part, Consumer.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................
iii
SURAT PERNYATAAN .......................................................................
iv
MOTTO .................................................................................................
v
PRAKATA .............................................................................................
vi
ABSTRAK
.............................................................................................
xi
ABSTRACT .............................................................................................
xii
DAFTAR ISI ...........................................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................................
1
B. Perumusan Masalah ..........................................................................
7
C. Tujuan Penelitian .............................................................................
8
D. Kegunaan Penelitian .........................................................................
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengawasan 1.
Pengertian Pengawasan .............................................................
10
2.
Beberapa Hal Terkait dengan Pengawasan ..............................
13
3.
Sanksi Terhadap Pengawasan ...................................................
21
B. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen 1.
Penjabaran Hukum ....................................................................
26
2.
Perlindungan Hukum ...............................................................
29
3.
Perlidungan Hukum Terhadap Konsumen
..............................
30
.............................................................
32
C. Konsumen 1. Pengertian Konsumen 2.
Hak dan Kewajiban Konsumen
xiii
...............................................
39
3.
Asas dan Tujuan ......................................................................
41
D. Pelaku Usaha 1.
Pengertian Pelaku Usaha ..........................................................
43
2.
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
45
3.
Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
.......................................... .........................
46
............................................................
47
E. Sepeda Motor 1.
Sejarah Sepeda Motor
2.
Jenis-Jenis Sepeda Motor
.....................................................
49
........................................................
52
F. Suku Cadang 1.
Pengertian Suku Cadang
2.
Pengelompokan Jenis-Jenis Suku Cadang
..............................
52
...............................................................
54
............................................................
54
...................................................................
54
..........................................................................
55
BAB III METODE PENELITIAN 1.
Metode Pendekatan
2.
Spesifikasi Penelitian
3.
Lokasi Penelitian
4.
Sumber Data
5.
Metode Pengumpulan Data
6.
Metode Penyajian Data
7.
Metode Analisis Data
...................................................
56
..........................................................
56
............................................................
56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1.
Data Sekunder
........................................................................
2.
Penunjang Data Sekunder
.....................................................
57 72
B. PEMBAHASAN Pengawasan Terhadap Peredaran Suku Cadang Sepeda Motor Dalam Rangka Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen di Kabupaten
xiv
Banyumas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
.........................................................
75
BAB V PENUTUPAN A. Simpulan B. Saran
...................................................................................... ...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
.............................................................................
xv
99 100 101
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum dan manusia merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. Setiap sisi kehidupan manusia membutuhkan hukum guna menciptakan suatu keteraturan dalam bermasyarakat, sesuai dengan istilah Ubi Societas Ibi Ius, dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Berangkat dari istilah tersebut, hukum menjadi patokan dasar untuk berinteraksi antar sesama manusia, termasuk juga dalam hal pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Aristoteles mengemukakan bahwa manusia itu adalah zoon politicon yang artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Oleh karena itu manusia disebut makhuk sosial.9 Untuk mewujudkan tatanan sosial dalam masyarakat, maka manusia membutuhkan hukum sebagai landasannya. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbungan.10
9 C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 29. 10 Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta, hlm. 71.
2
Menjadi makhluk sosial tentu membuat manusia semakin banyak berinteraksi antar sesama, salah satunya interaksi dalam proses jual-beli. Proses ini tentu tidak dapat dipisahkan dari hubungan hukum yang melibatkan antara pihak konsumen dan pelaku usaha. Hubungan jual beli antar manusia membuktikan bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Perdagangan antar manusia sebenarnya sudah terjalin sejak lama, dari yang pada awalnya menggunakan istilah barter/tukar menukar dalam memenuhi kebutuhannya sampai pada penggunaan uang sebagai alat transaksi jual-beli. Di era globalisasi seperti saat ini, peran dan pengaruh globalisasi yang begitu luas menciptakan suatu hubungan hukum yang semakin kompleks antara masyarakat dengan proses pemenuhan kebutuhan kesehariannya dan ikut menyebabkan batasan-batasan antar negara menjadi semakin tipis. Keadaaan yang universal ini cenderung menciptakan suatu sistem ekonomi yang bersifat pasar bebas. Pada situasi perekonomian global yang menganut era perdagangan bebas, upaya untuk mempertahankan pelanggan/konsumen atau mempertahankan pasar atau memperoleh kawasan pasar baru yang lebih luas merupakan dambaan setiap produsen, mengingat makin ketatnya persaingan untuk berusaha. Persaingan yang semakin ketat ini yang apabila tidak diawasi dapat memberikan dampak negatif terhadap konsumen pada umumnya.11
Pengaruh globalisasi dan pasar bebas semakin menunjukkan adanya jarak dan berbagai kelemahan pada konsumen sehingga tidak mempunyai kedudukan yang aman. Pengaruh tersebut mengakibatkan konsumen juga membutuhkan suatu perlindungan hukum yang bersifat universal. Mengingat masih lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan 11
dengan kedudukan
Celina Tri Kristiyanti, S.H., M.Hum. 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6.
3
produsen/pelaku usaha yang relatif lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan mengenai perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual untuk dikaji. Perkembangan kebutuhan masyarakat modern semakin menunjukkan tren perubahan. Tuntutan akan kebutuhan yang semakin beraneka ragam tidak hanya menuntut mereka untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat pokok (primer) saja melainkan kebutuhan lain yang bersifat sekunder bahkan tersier. Fenomena tersebut turut andil dalam meningkatnya perilaku masyarakat yang semakin konsumtif. Salah satunya adalah kebutuhan masayarakat akan kendaraan, khususnya sepeda motor. Seiring berjalannya waktu, sepeda motor telah bertransformasi menjadi bagian penting dari masyarakat dan menjadi salah satu alat transportasi utama bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Keberadaan jumlah kendaraan di Indonesia bisa dilihat dari pernyataan berikut: Data Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia mencatat, jumlah kendaraan yang masih beroperasi di seluruh Indonesia pada 2013 mencapai 104.211 juta unit, naik 11 persen dari tahun sebelumnya (2012) yang cuma 94.299 juta unit. Dari jumlah itu, populasi terbanyak masih disumbang oleh sepeda motor dengan jumlah 86.253 juta unit di seluruh Indonesia, naik 11 persen dari tahun sebelumnya 77.755 juta unit. Jelas Kepala Koprs Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Inspektur Jenderal polisi Pudji Hartono, di Sunter, Jakarta Utara.12 Data AISI (Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia) menyebutkan bahwa indeks pertumbuhan kendaraan sepeda motor di Indonesia pada tahun 2013 lalu mencapai sekitar 7,7 juta unit kendaraan.13
12
Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Inspektur Jenderal Polisi Pudji Hartono, Jumlah Kendaraan di Indonesia capai 104.211 Juta Unit, http://www.tribunnews.com/otomotif/2014/04/15/jumlah-kendaraan-di-indonesia-capai-104211juta-unit. Diakses pada tanggal 14 September 2014 13 Data Statistik AISI, http://www.aisi.or.id/statistic Diakses pada tanggal 14 September 2014
4
Keberadaan sepeda motor yang begitu menjamur turut berperan besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain membuka banyak lapangan kerja, keberadaan industri sepeda motor Indonesia turut mendongkrak nilai ekspor kendaraan Indonesia ke beberapa negara di kawasan. Kontribusi yang begitu besar tersebut tampaknya menjadi lahan subur bagi pelaku industri otomotif nasional khususnya sepeda motor. Situasi yang demikian tentu akan menciptakan suatu iklim investasi yang baik terhadap perekonomian nasional. Akan tetapi, tren positif itu juga turut dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan pribadi. Prasasto Sudyatmiko mengemukakan empat contoh elemen yang mempengaruhi perilaku bisnis tidak sehat, yaitu konglomerasi, kartel/trust, insider tranding, dan persaingan tidak sehat/curang.14 Keberadaan suku cadang sepeda motor sebagai kebutuhan vital dalam perawatan purna jual sepeda motor menjadi sesuatu yang menggiurkan untuk disalah gunakan. Hal inilah yang tampaknya banyak disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan celah tersebut dalam bertindak secara tidak patut, dengan menjual suku cadang yang tidak layak edar untuk meraup keuntungan pribadi. Sebagaimana yang diutarakan oleh Ahmad Ramli (Dirjen HAKI) sebagai berikut: Sekitar 30 persen onderdil yang ada beredar di Indonesia palsu, jelas Ahmad Ramli, Dirjen Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di tengah pembukaan seminar Inttelectual Property Right di City Grand Ballroom, Grand Mercure, Jakarta sekaligus memperingati 9th Federation of Asian Motorcycle Industries (FAMI).15 14
Adrius Meliala (peny), Praktik Bisnis Curang, Jakarta, Sinar harapan, hlm. 140. Ahmad Ramli, Dirjen Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) http://m.motorplusonline.com/m_read/H3bT3BQRsAu3s33V3bdPztLGrFT31eCHh5w_YE-31A4/17/0/AsosiasiIndustri-Sepeda-Motor-Indonesia-Ungkapkan-Pemalsuan-Komponen-Motor-Sebesar-20-30Persen, oleh motorplus/Hend/diakses pada tanggal 14 September 2014 15
5
Besaran angka yang menyebutkan bahwa besarnya angka penjualan suku cadang palsu di Indonesia mencapai 30 persen tentu sangat memprihatinkan. Disaat pemerintah tengah gencarnya berupaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, kebaradaan suku cadang palsu seperti mencoreng wajah industri otomotif nasional. Ahmad Ramli (Dirjen HAKI) pada seminar Inttelectual Property Right di City Grand Ballroom, Grand Mercure, Jakarta sekaligus memperingati 9th Federation of Asian Motorcycle Industries (FAMI) mengatakan sebagai berikut: Jelas ini salah satu tindak kejahatan yang berefek luas, pasalnya suku cadang palsu juga jadi salah satu penyebab kecelakaan lalu lintas. Jenis komponen fast moving yang paling banyak dipalsukan, seperti oli, busi, dan kampas rem dan masih banyak lagi. Alasan harga yang sedikit lebih murah menjadi pola pikir kebanyakan masyarakat menengah ke bawah, padahal ini sangat berbahaya, lifetime serta kualitas sangat beda dengan onderdil asli.16
Pengawasan yang minim dilakukan oleh pemerintah turut menyebabkan makin merebaknya penjualan suku cadang palsu sepeda motor di pasaran. Keberadaan dan peredaran suku cadang yang bersifat fast moving atau suku cadang yang sifatnya paling cepat habis masa pakainya dan harus diganti secara rutin dan berkala, seperti oli, busi, kampas rem, dan lain-lain menjadi suku cadang yang paling sering dipalsukan. Angka tersebut menunjukkan gambaran bahwa peredaran terhadap suku cadang sepeda motor di pasaran sudah memprihatinkan dan bahkan bukan tidak mungkin peredaran suku cadang palsu tersebut sudah menyebar keberbagai daerah di tanah air. Tentu konsumen yang paling dirugikan
16
Ibid.
6
akan hal ini. Posisi konsumen menjadi perhatian khusus, karena berada pada posisi yang lemah. Pembinaan dan pengawasan terhadap barang dan jasa di pasaran sebenarnya menjadi sebuah langkah penting untuk dilakukan dalam rangka penyelenggaraan perlindungan konsumen. Pengawasan terhadap barang dan jasa yang berdar di pasar itu sendiri dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan/atau LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat). Untuk pengawasan oleh pemerintah, baik pusat dan daerah, pengawasan barang dan jasa dilakukan oleh Menteri Perdagangan terkait barang dan jasa yang beredar, kecuali barang-barang yang diawasi khusus oleh badan-badan terkait seperti badan POM yang mengawasi mengenai makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik yang beredar di pasaran. Kemudian kewenangan tersebut dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi melalui Gubernur untuk mengkoordinasikan pelaksanaan pengawasan di wilayahnya dan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui Bupati/Walikota untuk melaksanakan pengawasan atas barang dan jasa yang beredar di wilayah kerjanya dengan bekerjasama dengan instansi-instansi terkait seperti pihak kepolisian. Pembinaan dan pengawasan yang demikian sebagaimana yang digambarkan di atas merupakan bentuk pengawasan yang diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain pengaturan pengawasan sebagaimana dijelasakan dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, para pelaku usaha yang terlibat dalam penjualan suku cadang palsu dapat dijerat
7
dengan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan juga dapat dijerat dengan Pasal 90 sampai dengan Pasal 94 yang terdapat dalam BAB XIV menganai ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Berdasarkan pernyataan dari Ahmad Ramli (Dirjen HAKI) yang dikutip oleh www.motorplus-online.com menyebutkan bahwa, 30 persen onderdil motor di Indonesia palsu, menjadi penyebab kecelakaan. Di Kabupaten Banyumas sendiri hingga kini memang belum terdengar adanya kasus atau laporan dari masyarakat terkait beredarnya suku cadang palsu sepeda motor di pasaran. Tapi bukan tidak mungkin bahwa penyebaran suku cadang palsu tersebut juga sudah menyebar ke area Kabupaten Banyumas. Hal itu tentu membutuhkan pengawasan sebagai langkah preventif untuk melindungi hak-hak konsumen dan juga ikut menciptakan iklim investasi yang sehat di Indonesia. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk membahas masalah ini khususnya mengenai pengawasan terhadap peredaran suku cadang sepeda motor di Kabupaten Banyumas. Penulis yakin bahwa dalam hal ini penulis melihat akan banyak dijumpai persoalanpersoalan yang berkaitan dengan hukum yang nantinya akan bermanfaat bagi konsumen, pelaku usaha suku cadang sepeda motor serta masyarakat luas tentunya. B. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini penulis kemukakan permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
8
Bagaimana pengawasan terhadap peredaran suku cadang sepeda motor dalam rangka perlindungan hukum terhadap konsumen di Kabupaten Banyumas berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan bertujuan: Untuk mengetahui pengawasan terhadap peredaran suku cadang sepeda motor dalam rangka perlindungan hukum terhadap konsumen di Kabupaten Banyumas berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen D. Kegunaan Penelitian Adapun yang menjadi kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Kegunaan Teoretis Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan kepustakaan hukum secara khusus mengenai pengawasan terhadap peredaran suku cadang sepeda motor dalam rangka perlindungan hukum terhadap konsumen di Kabupaten Banyumas berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
9
2.
Kegunaan Praktis Secara praktis hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan gambaran kepada masyarakat umum khususnya para pengguna kendaraan sepeda motor tentang pengawasan terhadap peredaran suku cadang sepeda motor dalam rangka perlindungan hukum terhadap konsumen di Kabupaten Banyumas berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengawasan 1. Pengertian Pengawasan Hukum diciptakan untuk mengatur, agar tercipta suatu keteraturan dalam masyarakat. Untuk itu suatu hukum akan efektif bila bekerja sesuai dengan fungsinya. Menurut Lawrence M. Friedman, hukum berfungsi sebagai: a.
Pengawasan/pengendalian sosial (social control);
b.
Penyelesaian sengketa (dispute settlement);
c.
Rekayasa sosial (social engineering).17
Salah satu fungsi hukum adalah bertindak sebagai alat pengawasan atau sebagai kontrol sosial, dimana hukum akan bertindak untuk mengontrol pola perilaku masyarakat. Pengawasan memiliki pengertian yang luas. Secara terminologis, istilah pengawasan disebut juga dengan istilah controlling, evaluating, appraising, correcting maupun control. Istilah pengawasan dalam Bahasa Belanda disebut toetsing yang berarti pengujian, sedangkan dalam kamus istilah hukum, toetsing diartikan lebih lanjut sebagai penelitian dan penilaian apakah perbuatan ataupun hal-hal sesuai dengan norma-norma yang lebih tinggi.18 Kata pengawasan dipakai sebagai arti harfiah dari kata controlling. Pengertian pengawasan meliputi segala kegiatan penelitian, pengamatan dan pengukuran terhadap jalannya organisasi berdasarkan rencana yang telah ditetapkan, penafsiran dan perbandingan hasil yang dicapai dengan standar yang diminta, melakukan tindakan koreksi penyimpangan dan perbandingan antara hasil (output) yang dicapai dengan masukan (Input) yang digunakan.19
17
Lawrence M. Friedmann, 1977, Law and Society an Introduction, Prentice Hall, New Jersey. hlm. 11-12. Dikutip dari Ishaq, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 10. 18 N.E. Algra dkk, 1983, Kamus Istilah Hukum Foekema Andreae, Binacipta, Bandung, hlm. 571. 19 Muhammad, 2005, Manajemen Bank Syariah, edisi revisi, unit penerbit dan percetakan (UPP) AMP YPKN, Yogyakarta, hlm 213-214.
11
Pengawasan dalam organisasi pemerintahan adalah suatu usaha untuk menjamin: a.
Keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintah oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dan
b.
Kelancaran penyelenggaraan pemerintah secara berdaya guna dan berhasil guna.20
Robert J. Mockler memberikan pengertian bahwa pengawasan adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuantujuan perencanaan, merancang sistem informasi maupun umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya yang dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan.21 Ditinjau dari perspektif hukum, tujuan pengawasan adalah untuk menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, sebagai suatu usaha preventif, atau juga untuk memperbaiki apabila sudah terjadi kekeliruan itu sebagai suatu usaha represif. Dalam praktik adanya kontrol itu sering dilihat sebagai sarana mencegah timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari apa yang telah digariskan. Disinilah letak inti atau hakikat dari suatu pengawasan.22 Dapat disimpulkan bahwa proses pengawasan terdiri dari: a. b. c. d.
20
Menentukan standar sebagai ukuran pengawasan; Pengukuran dan pengamatan terhadap jalannya operasi berdasarkan rencana yang telah ditetapkan; Penafsiran dan perbandingan hasil yang dicapai dengan standar yang diminta; Melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan;
C.S.T, Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2005, Sistem Pemerintahan Indonesia, edisi revisi cetakan kedua. Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 154. 21 Robert J. Mockler, 1991. The Management Control Proces. Dikutip dari T. Hani Handoko, Managemen, BPFE,Yogyakarta, hlm. 30. 22 Paulus Effendi Lotulung, 1986, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Bhuana Pancakarsa, Jakarta, hlm. xv.
12
e.
Perbandingan hasil akhir (output) dengan masukan (Input) yang digunakan.23
Terdapat beberapa unsur yang mempengaruhi keefektifan pengawasan yang akan dilakukan, antara lain: a.
Kebijakan dan Prosedur Kebijakan adalah ketentuan/pedoman/petunjuk yang ditetapkan untuk diberlakukan dalam suatu organisasi dalam upaya mengarahkan pelaksanaan kegiatannya agar sesuai dengan tujuan organisasi dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan dapat berasal dari dalam organisasi yaitu berupa instruksi, pedoman, petunjuk teknis, dan lain-lain. Adapun kebijakan yang berasal dari luar organisasi, antara lain: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, dan lain sebagainya. Kebijakan merupakan unsur pengawasan preventif dan represif. Prosedur adalah langkah/tahap yang seharusnya dilakukan sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan, misalnya:
b.
c.
d.
23
1) Prosedur penerimaan dan pemberhentian pegawai; 2) Prosedur pengajuan APBD; 3) Prosedur pengadaan barang dan jasa, daln lain-lain. Cara/metode pengawasan yang digunakan Cara/metode pengawasan yang digunakan dapat berupa pengawasan langsung, pengawasan melekat, dan pengawasan fungsional. Alat pengawasan Pengawasan dapat dilakukan dengan berbagai alat, berupa bentuk organisasi dengan suatu sistem pengendalian manajemen, pencatatan dan pelaporan, dokumen perencanaan. Bentuk organisasi dengan adanya pemisahan fungsi otorisasi, pelaksanaan dan pengendalian, disertai dengan uraian tugas yang jelas dari masing-masing fungsi (preventif) untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Sistem pengendalian manajemen adalah suatu sistem yang dibentuk dalam organisasi agar ada saling kendali/pengawasan antara unsur/fungsi organisasi yang satu dengan yang lain. Bentuk pengawasan Bentuk pengawasan dilihat dari sudut di dalam dan di luar organisasi, yaitu ada pengawasan intern dan pengawasan ekstern. Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang/unit yang berada dalam organisasi yang hasilnya untuk kepentingan organisasi tersebut. Muhammad, Op. Cit, hlm. 214.
13
e.
adapun pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang/unit yang berada di luar organisasi dan hasilnya biasanya ditujukan kepada pihak yang berkepentingan dengan organisasi tersebut serta dapat digunakan oleh organisasi yang bersangkutan. Pelaku pengawasan Pelaku pengawasan adalah personil/organisasi yang melakukan pengawasan terhadap suatu organisasi, baik operasional organisasi, suatu kegiatan, atau suatu kasus/permasalahan tertentu. Pelaku pengawasan dimaksud antara lain: 1) Pimpinan tertinggi dari suatu organisasi, atau orang yang ditunjuk olehnya; 2) Orang/unit yang berada dalam organisasi itu sendiri, seperti Inspektorat Departemen/Lembaga/SPI/Bawasda; 3) Masyarakat; 4) Legislatif.24
2. Beberapa Hal Terkait Dengan Pengawasan Menurut T.Hani Handoko ada beberapa tipe pengawasan, yaitu: a.
b.
c.
24
Pengawasan Pendahuluan (Feeforward control) Pengawasan pendahuluan atau sering disebut dengan steering control, dirancang untuk mengantisipasi masalah-masalah atau penyimpanganpenyimpangan dari standar atau tujuan dan memungkinkan koreksi dibuat sebelum kegiatan terselesaikan. Pengawasan Concurrent (Concurrent control) Pengawasan yang dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan (current control). Disebut juga pengawasan “ya-tidak”, “screening control” atau “berhenti-terus”, dilakukan selama kegiatan berlangsung. Tipe pengawasan ini merupakan proses dimana aspek tertentu dari suatu prosedur harus disetujui dahulu, atau syarat tertentu harus dipenuhi dulu sebelum kegiatan-kegiatan bisa dilakukan, atau menjadi semacam peralatan “double-check” yang lebih menjamin ketepatan suatu kegiatan. Pengawasan umpan balik (feedback control) Pengawasan umpan balik, juga dikenal sebagai past-action controls, mengukur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang telah diselesaikan. Sebab-sebab penyimpangan dari rencana atau standar ditentukan, dan penemuan-penemuan diterapkan untuk kegiatan-kegiatannya serupa di
Adrian Sutedi. 2008. Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa. Sinar Grafika. Jakarta. hlm. 263-264.
14
masa yang akan datang. Pengawasan ini bersifat historis, pengukuran dilakukan setelah kejadian .25
Sebagai wujud dalam mencapai tujuan negara atau organisasi, menurut Victor M. Situmorang dan Yusuf Juhir, pengawasan dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai hal, yaitu: a. Pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung 1) Pengawasan langsung Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot” di tempat pekerjaan dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksana. Hal ini dilakukan dengan inspeksi. 2) Pengawasan tidak langsung Pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporanlaporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tertulis, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan sebagainya tanpa pengawasan “on the spot”. b. Pengawasan preventif dan pengawasan represif Walaupun prinsip pengawasan adalah preventif, namun bila dihubungkan dengan waktu pelaksanaan pekerjaan, dapat dibedakan antara pengawasan preventif dan pengawasan represif. 1) Pengawasan preventif Pengawasan preventif dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan-persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain. 2) Pengawasan represif dilakukan melalui post audit, dengan pemeriksaaan terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya. c. Pengawasan intern dan ekstern 1) Pengawasan intern Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. 2) Pengawasan ekstern Pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi itu sendiri.26
25
T.Hani Handoko, Op. Cit, hlm. 361-362. Victor M. Situmorang dan Yusuf Juhir, 1993. Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam lingkungan Aparatur Pemerintah. Rineka cipta, Jakarta. hlm. 21. 26
15
Piranti Hukum Perlindungan Konsumen diciptakan tidak untuk mematikan pelaku usaha, justru sebaliknya guna mendorong tumbuhnya iklim berusaha yang sehat yang pada gilirannya dapat melahirkan pelaku usaha yang tangguh dalam menghadapi persaingan usaha yang sehat melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas, memenuhi aspek keamanan, kesehatan dan keselamatan. Untuk itu perlu dilakukannya suatu bentuk pembinaan dan pengawasan terhadap para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Pembinaan dan pengawasan dalam rangka penyelenggaraan perlindungan konsumen sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada BAB VII tentang Pembinaan dan Pengawasan. Bagian Pertama mengenai Pembinaan diatur dalam Pasal 29 dan Bagian Kedua mengenai Pengawasan diatur dalam Pasal 30. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen: Pembinaan 1.
2.
3. 4.
Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk: a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
16
c.
5.
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen; Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : Pengawasan 1.
2. 3.
4.
5.
6.
Pengawasan terhadap konsumen penyelenggara perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundangundangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangkan yang berlaku. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebar luaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis terkait. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pengawasan yang dilakukan oleh unsur pemerintah bermaksud untuk memastikan terselenggaranya perlindungan kepada konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan swadaya masyarakat dapat dilakukan melalui penelitian, pengujian, dan/atau pernyurveian terhadap barang-barang yang beredar dipasar. Pelaksanaan mengenai pembinaan dan pengawasan tersebut penerapannya diatur
17
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Proses pembinaan dan pengawasan tersebut diharapkan agar para produsen/pelaku usaha ikut serta dalam menciptakan iklim berusaha yang sehat. Selain itu guna terselenggaranya sarana dan prasarana produksi yang baik serta terpenuhinya hak-hak konsumen. Oleh karena itu, objek pelaksanaan pembinaan dan pengawasan meliputi: 1.
Diri pelaku usaha;
2.
Sarana dan prasarana produksi;
3.
Iklim usaha secara keseluruhan;
4.
Konsumen.27
Undang-undang Perlindungan Konsumen merupakan suatu payung hukum yang saling berhubungan dengan aturan-aturan lain yang terkait. Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa: Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undangundang ini. Ketentuan tersebut diibaratkan sebagai jembatan penghubung antara Undang-undang Perlindungan Konsumen dengan Undang-undang lain yang saling berhubungan. Dengan merujuk pada Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 27
Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 164.
18
1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur mengenai ketentuan peralihan maka dapat dipahami secara implisit bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan ketentuan khusus (lex specialis) terhadap ketentuan
peraturan
perundang-undangan
yang
sudah
ada
sebelum
diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sesuai asas lex specialis derogat legi generali. Penerapan Undang-undang Perlindungan konsumen, selain sebagai jembatan penghubung, juga sebagai undang-undang payung terhadap ketentuanketentuan lain yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Berdasarkan penjelasan dalam Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai aturan peralihan maka mengenai pengawasan terhadap peredaran barang juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Peran perdagangan dianggap sangat penting dalam meningkatkan pembangunan ekonomi nasional, tetapi dalam perkembangannya belum memenuhi kebutuhan untuk menghadapi tantangan pembangunan nasional guna menyikapi perkembangan situasi perdagangan era globalisasi pada masa kini dan masa depan. Seperti yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan pada BAB XIV mengenai tugas dan wewenang pemerintah di bidang perdagangan. Pasal 93 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan: Tugas Pemerintah di bidang perdagangan mencakup: a.
Merumuskan dan menetapkan kebijakan di bidang Perdagangan;
19
b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.
Merumuskan standar nasional; Merumuskan dan menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang Perdagangan; Menetapkan sistem perizinan di bidang perdagangan; Mengendalikan ketersediaan, stabilisasi harga, dan distribusi barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting; Melaksanakan kerja sama perdagangan internasional; Mengelola informasi di bidang perdagangan; Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan di bidang perdagangan; Mendorong pengembangan ekspor nasional; Menciptakan iklim usaha yang kondusif; Mengembangkan logistik nasional; dan Tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan mengenai pengawasannya sendiri diatur dalam: Pasal 98 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan: 1) Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan. 2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah menetapkan kebijakan pengawasan di bidang perdagangan. Pasal 99 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan: 1) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dilakukan oleh menteri. 2) Menteri dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai wewenang melakukan: a. Pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk menarik barang dari distribusi atau menghentikan kegiatan jasa yang diperdagangkan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan, dan/atau b. Pencabutan perizinan di bidang perdagangan. Pemerintah sebenarnya memegang peranan penting terkait dengan peredaran barang dan jasa yang ada di masyarakat. Pemerintah berperan dalam
20
penetapan standarisasi produk, pembinaan dan pengawasan produksi, serta wajib melakukan edukasi kepada konsumen agar menjadi konsumen yang cerdas. Namun kenyataannya, selalu ada kemungkinan terjadi perilaku menyimpang dari para pelaku usaha. Hakikat dari pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, dan kegagalan, serta agar pengadaan dilaksanakan secara efisien, efektif, hemat dan tertib. Dilihat dari segi hubungan hukumnya, sebenarnya permasalahan pengawasan merupakan suatu hubungan antara pihak yang berwenang mengawasi atau yang melakukan pengawasan dengan pihak yang diawasi. Dalam hal ini berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur mengenai pengawasan, pada ayat (1) disebutkan bahwa: Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa adanya hubungan hukum antara pemerintah,
masyarakat
dan
lembaga
perlindungan
konsumen
swadaya
masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap para pelaku usaha. Hubungan hukum yang terjadi yaitu berupa suatu perikatan yang mendasarkan pada ketentuan undang-undang. Terkait akan hal itu, mengenai hubungan hukum yang
21
ada dalam hal peredaran barang dan jasa, yang menjadi objek pengawasan adalah pihak produsen atau pelaku usaha. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah merupakan pengawasan yang paling pokok, karena disini pemerintah sebagai alat kontrol langsung yang berbentuk
suatu
organisasi
terkait,
seperti
Kementerian
Perdagangan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, dan kementerian terkait lainnya terkait peredaran barang dan jasa. Oleh karena itu pengawasan merupakan unsur yang paling penting dalam terlaksananya perlindungan konsumen. Dengan dilakukannya
pengawasan
diharapkan
pemenuhan-pemenuhan
hak-hak
konsumen dapat terjamin dan sebaliknya, pemenuhan akan kewajiban-kewajiban pelaku usaha dapat dipastikan. 3. Sanksi Terhadap Pengawasan Pengawasan merupakan bagian penting dalam proses penyelenggaraan perlindungan konsumen. Fungsi pengawasan akan menjadi efektif, bila hasil pengawasan yang telah dilaksanakan ditindak lanjuti oleh instansi pemerintah yang bersangkutan. Penerapan sanksi menjadi salah satu langkah yang dilakukan setelah melakukan pengawasan. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar, tepatnya BAB XIII diatur mengenai sanksi yang berupa sanksi administratif dan sanksi pidana. Mengenai sanksi administratif di jelaskan dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan:
22
1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26. 2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai sanksi pidana diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 61 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan: Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Ketentuan di atas memperhatikan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang tidak saja dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaan. Hal ini menurut Nurmadjito merupakan upaya yang bertujuan menciptakan sistem bagi perlindungan konsumen.28 Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan: 1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana engan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliyar rupiah). 2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan Huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) 28
Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, 2011. Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ketujuh, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 276.
23
tahun atau pidana penjara paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Ketentuan Pasal 62 ini memberlakukan dua aturan hukum sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sementara di luar dari tingkat pelanggaran tersebut berlaku ketentuan pidana tersebut dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian, terhadap ilustrasi yang dikemukakan berkenaan dengan ketentuan Pasal 61 sebelumnya, persoalan pidananya diselesaikan berdasarkan ketentuan KUHP sepanjang akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku usaha sebagai subjek hukum, memenuhi kualifikasi luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian.29 Hal lain yang dapat diketahui dari ketentuan ini, bahwa sanksi pidana dikenal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ada dua tingkatan, yaitu sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) dan sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).30 Khusus menyangkut istilah pelanggaran yang dipergunakan dalam Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan 29 30
Ibid, hlm. 288. Ibid, hlm. 288.
24
Konsumen masih perlu ditinjau kembali karena akibat-akibat dari pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3) tersebut, di dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dikualifikasikan sebagai kejahatan.31 Pasal 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan: Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhi hukuman tambahan berupa: a. b. c. d.
Perampasan barang tertentu; Pengumuman keputusan hakim; Pembayaran ganti rugi; Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau Pencabutan izin usaha.
e. f.
Selain sanksi pidana sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, para pelaku usaha dapat juga dikenai sanksi tambahan tergantung sebarapa berat pelanggaran yang dibuat. Masalah mengenai peradaran suku cadang sepeda motor yang banyak terjadi dimasyarakat menuntut semua pihak yang terlibat agar berkoordinasi dalam melakukan pengawasan. Terkait berbagai masalah mengenai peredaran barang dan jasa yang terjadi di masyarakat, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juga mengatur mengenai ketentuan sanksi, yaitu berupa sanksi pidana, sebagaimana yang termuat dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 116.
31
Ibid, hlm. 289.
25
Peredaran suku cadang sepeda motor di pasaran yang semakin menjamur juga turut diawasi peraderannya, seperti contoh pemalsuan suku cadang sepeda motor yang belakangan semakin marak terjadi, para pelaku usaha yang sengaja melakukan pemalsuan terhadap merek suatu produk tertentu juga dapat dikenai sanksi terhadap pelangaran Merek, sebagaimana yang diatur dalam BAB XIV mengenai ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan: Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya mengenai merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah). Pasal 91 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan: Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 92 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan: 1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pasa keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah). 2) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana
26
dengan pidana penjara paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). 3) Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 93 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan: Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 94 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan: 1) Barang siapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen 1. Penjabaran Hukum Hukum merupakan bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Fungsi sistem sosial ini adalah untuk mengintegrasikan kepentingan anggota masyarakat, sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib. Keberadaan hukum di tengah-tengah
27
masyarakat menjadikan hukum memiliki peran yang penting. Tidak ada masyarakat yang hidup tanpa hukum, bahkan sejak perabadan awal manusiapun hukum sudah menjadi bagian penting dalam masyarakat. Keberadaan hukum yang begitu penting dalam masyarakat ditunjukkan dengan suatu asas hukum yang berbunyi “Ubi Societas Ibi Ius” yang bermakna dimana ada masyarakat maka di situ ada hukum. Dalam pengertiannya sendiri, hukum memiliki pengertian yang berbeda-beda, pendapat mengenai pengertian hukum sudah banyak dikemukakan oleh para ahli pikir pada masa lampau seperti Aristoteles, plato, grotius, dan lainnya. Utrecht dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Dalam Hukum Indonesia” memberikan mengenai batasan hukum sebagai berikut: Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu. Selain utrecht, beberapa sarjana hukum Indonesia merumuskan apakah hukum itu? Di antaranya sebagai berikut: a.
S.H. Amin, S.H. Dalam buku beliau yang berjudul “Bertamasya ke Alam Hukum” merumuskan hukum sebagai berikut: Kumpulan-kumpulan peraturan-aturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
28
b.
J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropramono, S.H. Dalam buku yang disusun bersama berjudul “Pelajaran Hukum Indonesia” telah diberikan definisi hukum seperti berikut: Hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.
c.
M.H. Tirtaatmidjaja, S.H. Dalam bukunya yang berjudul “Pokok-Pokok Hukum Perniagaan” ditegaskan bahwa Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.32
Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan para sarjana di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu: 1.
Peraturan
mengenai
tingkah
laku
manusia
dalam
pergaulan
masyarakat; 2.
Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
3.
Peraturan itu bersifat memaksa;
4.
Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.33
Van Apeldoorn juga memberikan pengertian hukum sebagai suatu gejala sosial, tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi
32 33
C.S.T Kansil, 1989, Op, Cit, hlm. 38. Ibid.hlm. 38-39.
29
suatu aspek dari kebudayaan seperti agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan. 2. Perlindungan Hukum Perlindungan hukum merupakan salah satu hal terpenting dari unsur suatu negara hukum. Dianggap penting karena dalam pembentukan suatu negara, akan dibentuk pula hukum yang mengatur tiap-tiap warga negaranya. Dalam suatu negara akan terjadi hubungan timbal balik antara warga negaranya sendiri yang akan melahiran suatu hak dan kewajiban satu sama lain. Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara formal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Menurutnya perlindungan hukum adalah segala upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum berdasarkan pada keseluruhan peraturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan ini dapat dilihat baik di Undang-undang, ratifikasi maupun konvensi internasional.34 Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep universal, dalam arti dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang mengedepankan diri sebagai negara hukum, namun seperti disebutkan Paulus E.Lotulung, masing-masing negara mempunyai cara dan mekanismenya sendiri tentang bagaimana mewujudkan perlindungan hukum tersebut, dan juga sampai seberapa jauh perlindungan hukum itu diberikan.35
34 35
Sudikno Mertokusumo, 1999, Op, Cit, hlm. 20. Paulus Effendi Lotulung, Op, Cit, hlm 123.
30
3. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dilihat dari beberapa pengertian perlindungan hukum di atas dapat disimpulkan bahwa sejatinya perlindungan hukum terhadap konsumen merupakan suatu perlindungan hukum yang diberikan negara terhadap konsumen pemakai barang dan jasa. Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Oleh sebab itu membicarakan perlindungan konsumen berarti mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen.36 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan: Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua aspek itu dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau 36
Janus Sidabalok, Op, Cit, hlm. 7.
31
melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk, dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga persoalan tentang bagaimana konsumen mendapatkan pengganti jika timbul kerugian karena memakai atau mengkonsumsi produk yang tidak sesuai. b. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purna jual, dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.37 Aspek yang pertama mencakup persoalan barang atau jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan, dimasukkan dalam cakupan tanggung jawab produk yaitu tanggung jawab yang dibebankan kepada produsen-pelaku usaha karena barang yang diserahkan kepada konsumen itu mengandung cacat di dalamnya sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen. Sedangkan aspek yang kedua mencakup cara konsumen memperoleh barang dan atau jasa, yang dikelompokkan dalam cakupan standar kontrak yang mempersoalkan syarat-syarat perjanjian yang diberlakukan oleh produsen-pelaku usaha kepada konsumen pada waktu konsumen hendak mendapatkan barang atau jasa kebutuhannya.38
37 38
Ibid, hlm. 8. Ibid, hlm. 8.
32
Berdasarkan hasil inventarisasi terhadap peraturan-peraturan yang memuat materi perlindungan konsumen, pengaturan tentang perlindungan konsumen mencakup delapan bidang, yakni: a. b. c. d. e. f. g. h.
Obat-obatan dan bahan berbahaya; Makanan dan minuman; Alat-alat elektronika; Kendaraan bermotor; Metrology dan tera; Industri; Pengawasan mutu barang; Lingkungan hidup.39
C. Konsumen 1. Pengertian Konsumen Konsumen menjadi topik yang hangat untuk dibahas dalam beberapa waktu terakhir. Bukan hanya karena perkembangan masyarakat yang begitu dimanis sehingga hubungan antar individu atau golongan semakin pesat, melainkan keberadaan konsumen sebagai aktor utama dalam dunia usaha. Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap orang dan atau suatu badan yang melakukan kegiatan usaha pasti tujuan utamanya adalah untuk mengincar para konsumen. Keberadaan konsumen yang begitu vital dalam menunjang dunia usaha menjadi pembahasan hangat untuk di kupas. Saat ini sasaran setiap negara atau perusahaan (setiap produsen) adalah menuju pada pemasaran global. Orientasi pemasaran global pada dasarnya dapat mengubah konsep, cara pandang dan cara pendekatan mengenai banyak hal termasuk mengenai strategi pemasaran. Perubahan tersebut
39
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, hlm. 11.
33
membawa pengaruh pula pada konsep perlindungan konsumen secara global. Untuk lebih memudahkan dalam memahami konsumen, terlebih dahulu akan dijelaskan secara singkat arti atau definisi dari konsumen. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (InggrisAmerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang mengenakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. begitu pula Kamus Besar Bahasa Inggris-Indonesia memberikan arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.40 Pada hakekatnya manusia sebagai konsumen dimulai sejak lahir sampai dengan meninggal dunia, bahkan sejak masih dalam kandunganpun manusia sudah menjadi konsumen. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, belum ada definisi pasti yang menyebutkan pengertian konsumen secara yuridis. Oleh sebab itu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi titik tolak pengaturan konsumen di Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam kamus hukum juga disebutkan pengertian dari konsumen yaitu:
40
Az.Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media Jakarta, hlm. 3.
34
Pihak yang memakai atau menggunakan barang dan jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.41 Unsur-unsur definisi dari konsumen adalah a. Setiap Orang Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. b.
Pemakai Sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual-beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract). Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper) tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa, jadi yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam
41
Marwan dan Jimmy, 2009, Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition, Realita Publisher, Surabaya, hlm. 378.
35
menggunakannya. Transaksi konsumen memiliki banyak sekali metode. Dewasa ini sudah lazim terjadi sebelum suatu produk dipasarkan, terlebih dahulu dilakukan pengenalan produk kepada konsumen atau yang biasa dikenal dengan istilah product knowledge. Untuk itu, dibagikan sampel yang diproduksi khusus dan sengaja tidak diperjualbelikan. c.
Barang dan/atau Jasa Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan sebagai kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang. Dalam dunia perbankan, misalnya istilah produk dipakai juga untuk menamakan jenis-jenis layanan perbankan.
d.
Yang Tersedia dalam Masyarakat Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya perusahaan pengembang (developer) perusahaan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading, keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan suatu yang diutamakan.
36
e.
Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam
definisi
itu
mencoba
untuk
memperluas
pengertian
kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya). Oleh sebab itu penguraian unsur itu tidak menambah makna apa-apa karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang dan/atau jasa (terlepas ditujukan untuk siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi. f.
Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan Pengertian
konsumen
dalam
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen dipertegas yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Secara teoretis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya sulit menetapkan batas-batas seperti itu.42 Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni: 1. 2.
42
Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu; Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial); Sidharta, Op, Cit, hlm 4-9.
37
3.
Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).43
Penjelasan yang terdapat dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lebih mengarah kepada pengertian “Konsumen Akhir” yang berbunyi: Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir dan konsumen antara. konsumen akhir adalah pengguna atau pemenfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Prof. Hans W. Micklitz membedakan konsumen secara garis besar menjadi dua tipe, yaitu: 1.
2.
Konsumen terinformasi (well informed), ciri-cirinya antara lain: a. Memiliki tingkat pendidikan tertentu; b. Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar; dan c. Lancar berkomunikasi. Konsumen tidak terinformasi, ciri-cirinya antara lain: a. Kurang berpendidikan; b. Termasuk kelas menengah ke bawah; dan c. Tidak lancar berkomunikasi.44
Konsumen sering dijadikan objek aktivitas bagi pelaku usaha melalui promosi, cara penjualan, janji-janji kosong, dan lain-lain. Konsumen dianggap sebagai pihak yang kedudukannya lemah apabila dibandingkan dengan pelaku usaha, maka dari itu konsumen perlu dilindungi secara hukum dari kemungkinan kerugian yang dialami karena praktik-praktik bisnis tidak sehat yang terjadi di masyarakat. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Perlindungan Konsumen 43 44
A.Z. Nasution, Op, Cit., hlm. 13. Sidharta, 2006, Op, Cit, hlm. 25.
38
disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha, yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat merugikan kepentingan konsumen secara langsung maupun tidak langsung. Dengan pemahaman bahwa semua masyarakat adalah konsumen, melindungin konsumen juga berarti melindungi seluruh masyarakat. Jika konsumen atau masyarakat adalah pelaksana pembangunan yang sekaligus sumber pemupukan modal bagi pembangunan, maka untuk kelangsungan pembangunan nasional mutlak diperlukan perlindungan terhadap konsumen. Dengan demikian ada empat alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi: 1) Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional
menurut
Pembukaan
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif pembangunan teknologi;
39
3) Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembbangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional; 4) Melindungi
konsumen
perlu
untuk
menjamin
sumber
dana
pembangunan yang berasal dari masyarakat konsumen.45
2. Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.46 Van Apeldoorn mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht” bahwa hak adalah hukum yang dihubungkan dengan seorang manusia atau subjek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi suatu kekuasaan dan suatu hak timbul apabila hukum mulai bergerak.47 Dilihat dari sejarahnya, dikenal dua macam pembedaan dan pengelompokan hak, yaitu hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai manusia (hak asasi) dan hak yang ada pada manusia akibat adanya peraturan (hak hukum).48
45
Janus Sidabalok, Op, Cit, hlm.5. Sudikno Mertokusumo, Op, Cit, hlm. 40. 47 C.S.T. Kansil, Op, Cit, hlm. 120. 48 Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum, Kanisius, Jakarta, hlm. 94-95. 46
40
Menurut mantan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dalam pidatonya dihadapan kongres Amerika Serikat pada tahun 1962, menyebutkan empat hak konsumen yang perlu mendapat perlindungan secara hukum, yaitu: a.
Hak memperoleh keamanan (The right to safety);
b.
Hak memilih (The right to choose);
c.
Hak mendapat informasi (The right to be informed);
d.
Hak untuk didengar (The right to be heard).49
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan sejumlah hak konsumen yang mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum, yaitu: a. b.
c. d. e. f. g. h.
i.
49
Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Mariam Darus, 1990, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau dari Segi Standar Kontrak (Baku), makalah simposium Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen, BPHNBinacipta, hlm. 59-60
41
Konsumen dalam kedudukannya memang masih berada di bawah bayangbayang pelaku usaha. Oleh karena itu, dengan adanya peraturan-peraturan terkait, diharapkan mampu menempatkan konsumen sejajar dengan para pelaku usaha. Konsumen perlu mendapat advokasi, perlindungan serta upaya penyelesaian sengketa secara patut atas hak-haknya. Konsumen juga behak mendapatkan pembinaan dan pendidikan mengenai bagaimana menjadi konsumen yang cerdas (smart Consumer). Para produsen selaku pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar dan mendidik sehingga konsumen makin dewasa bertindak dalam memenuhi kebutuhannya. Kewajiban konsumen sendiri diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi: a.
b. c. d.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pamakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; Mengikuti upaya penyesuaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
3. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak terkait yaitu masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah yang berdasarkan pada lima asas, sebagaimana yang tertera dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
42
Perlindungan Konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Penjelasan mengenai asas di atas berupa: Perlindunggan Konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu: 1.
2.
3.
4.
5.
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas keadilan dimaksudkan agar pertisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materil ataupun spiritual. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan pemakaian dan pemenfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjabarkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk: 1. 2. 3. 4.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
43
5.
6.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang bertanggung jawab dalam berusaha; Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
pentingnya jujur dan menjamin kesehatan,
D. Pelaku Usaha 1. Pengertian Pelaku Usaha Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya mengatur mengenai konsumen saja, melainkan pelaku usaha juga turut diatur dalam Undang-Undang ini. Meskipun undang-undang ini disebut dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian. Dalam kenyataannya pun para pelaku usaha turut ikut menentukan perekonomian nasional. Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa: Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.
44
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juga memuat pengertian mengenai pelaku usaha, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berikut:. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan. Kajian atas perlindungan terhadap konsumen tidak dapat dipisahkan dari telaah terhadap hak-hak dan kewajiban produsen. Berdasarkan Directive, pengertian produsen meliputi: 1.
2. 3.
Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat, termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya; Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk; Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tandatanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari suatu barang.50
Produsen tidak hanya diartikan sebagai pelaku usaha pembuat/pabrik yang menghasilkan
produk
saja,
tetapi
juga
mereka
yang
terkait
dengan
penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen. Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen.
50 Agus Brotosusilo, 1998, Makalah “Aspek-Aspek Perlindungan terhadap Konsumen dalam Sistem Hukum di Indonesia” dalam percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum, editor Yusuf Shofie, YLKI-USAID, Jakarta, hlm. 46. Dikutip dari Celina Tri Kristiyanti, Op, Cit, hlm. 41-42.
45
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Hak seseorang merupakan sesuatu yang di miliki sejak lahir, hal tersebut juga disebutkan dalam dasar konstitusi kita UUD 1945. Keberadaan hak pelaku usaha juga tak luput dari aturan hukum. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan beberapa hak dari pelaku usaha, yakni sebagai berikut: 1.
2. 3. 4.
5.
Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi: 1. 2.
3. 4.
5.
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; Memberikan informasi yang benar, jelas dan mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentauan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
46
6.
7.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
3. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Kewajiban pelaku usaha sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya sebatas memproduksi dan memperdagangkan barang dan jasa saja. Dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Konsumen juga mengatur tentang sejumlah larangan kepada pelaku usaha, antara lain: a.
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: 1) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2) Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etika barang tersebut; 3) Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; 4) Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; 5) Tidak sesuai dengan mutu, tingkatanm komposisi, proses pengolaan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan berang dan/atau jasa tersebut; 6) Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, atiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; 7) Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; 8) Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
47
b.
c.
d.
9) Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat. 10) Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuuk pengunaan barang dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang tersebut; Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar; Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut wajib menariknya dari peredaran.
E. Sepeda Motor Geliat industri otomotif nasional menunjukkan tren yang positif, keberadaan perusahaan-perusahaan otomotif dunia, terutama yang berasal dari negeri Jepang berperan besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Keberadaan perusahaan otomotif Jepang di tanah air mempunyai arti yang sangat penting bagi terbukanya lapangan pekerjaan. Pembukaan lapangan kerja yang cukup besar berdampak positif pada pengurangan angka pengangguran di Indonesia. Pertumbuhan industri otomotif nasional khususnya sepeda motor sering diibaratkan jamur yang tumbuh di musim hujan. Sebagai kendaraan dengan jumlah paling banyak di Indonesia, sepeda motor berhasil menempatkan dirinya di hati masyarakat Indonesia. 1. Sejarah Sepeda Motor Sepeda motor merupakan pengembangan dari sepeda konvensional yang lebih dahulu ditemukan. Pada tahun 1868, Michaux ex Cie, suatu perusahaan
48
pertama di dunia yang memproduksi sepeda dalam skala besar, mulai mengembangkan mesin uap sebagai tenaga penggerak sepeda. Namun usaha tersebut masih belum berhasil dan kemudian dilanjutkan oleh Edward Butler, seorang penemu asal Inggris. Butler membuat kendaraan roda tiga dengan suatu motor melalui pembakaran dalam. Sejak penemuan tersebut, semakin banyak dilakukan percobaan untuk membuat motor dan mobil. Salah satunya dilakukan oleh Gottlieb Daimler dan Wilhelm Maybach dari Jerman. Kedua penemu tersebut bertemu ketika bekerja bersama di Deutz-AGGasmotorenfabrik, produsen mesin stasioner terbesar pada tahun 1872. Pemilik Deutz-AG-Gasmotorenfabrik yang bernama Nikolaus Otto berhasil membuat mesin empat langkah atau yang disebut juga mesin empat tak dan penemuan tersebut dipatenkan pada tahun 1877. Walaupun mesin empat tak tersebut masih terlalu sederhana dan kurang efisien, namun mesin tersebut diharapkan dapat menggantikan mesin uap. Pada tahun 1880, Daimler dan Maybach dipecat dari perusahaan tersebut dan keduanya mendirikan sebuah bengkel di Suttgart. Pada tahun 1885, keduanya menciptakan karburator untuk mencampur bensin dan udara sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar mesin empat tak ciptaan Otto. Mereka mengembangkan mesin empat tak tersebut menjadi silinder 100 cc dan meletakkan mesin tersebut pada sebuah sepeda kayu. Sepeda kayu bermesin tersebut disebut sebagai Reitwagen ("riding car") dan menjadi sepeda motor pertama di dunia.
49
2. Jenis-Jenis Sepeda Motor a.
Sepeda Motor Sport Merupakan tipe sepeda motor yang dikhususkan untuk penggunaan balap dan kecepatan tinggi. Pengemudi yang mengemudikan sepeda motor berjenis sport ini relatif membungkuk ke depan dan posisi kaki yang sedikit ke belakang, posisi tersebut digunakan pada sepeda motor seperti ini agar tekananan angin dari arah depan yang berlawanan tidak menghantam tubuh pengendara yang membuat sepeda motor ini bisa melaju dengan kecepatan tinggi. Bodi sepeda motor seperti ini juga memiliki jarak yang dekat dengan tanah yang menyebabkan sepeda motor ini rendah, hal ini dikarenakan untuk menambah unsur aerodinamis sepeda motor pada kecepatan tinggi di sirkuit. Contoh dari sepeda motor jenis ini adalah Honda CBR 1000 RR, Yamaha YZF-R1, Kawasaski ZX-10 R, Suzuki GSX-R1000
b.
Sepeda Motor Road Bike Sport/Standard Merupakan tipe sepeda motor berkopling dan memiliki jarak bodi dari tanah yang tinggi, sepeda motor tipe ini merupakan sepeda motor yang tidak digunakan untuk ajang balap/kecepatan tinggi namun desain bodi dan performa mesin yang lebih bertenaga dan kuat. Tipe sepeda motor ini digunakan dalam keperluan sehari-hari dan dapat dikendarai pada medan berbatu/berkerikil namun tidak off-road secara
50
penuh. Contoh dari sepeda motor jenis ini adalah Honda Tiger, Yamaha Scorpio, Suzuki Thunder. c.
Sepeda Motor Cruiser Merupakan tipe sepeda motor yang memiliki torsi mesin yang besar dan mempunyai kemampuan menarik beban besar. Biasanya motor jenis ini identik dengan mesin 2 silinder, riding position yang santai dan bergaya Chopper. Posisi tangan pengendara lebih tinggi daripada posisi duduk dan posisi kaki yang selonjor ke depan. Contoh dari sepeda motor jenis ini banyak ditemukan pada sepeda motor keluaran Harley Davidson yang bergaya chooper.
d.
Sepeda Motor Trail/Off-Road Merupakan tipe sepeda motor yang dikhususkan untuk melibas medan berat. Misalnya medan berbatu dan berlumpur. Sepeda Motor jenis ini mempunyai ciri kontur ban kasar, menyerupai pacul/bergerigi kotakkotak. Motor jenis ini mempunyai torsi besar dan tahan banting. Jarak bodi dari tanah relatif tinggi. Sepeda Motor jenis ini tidak mengejar top speed, namun akselerasi. Sepeda Motor jenis ini memiliki jenis suspensi yang lebih daripada motor lain karena penggunaannya di medan berat. Sepeda motor jenis ini juga biasa di sebut dengan istilah “garuk tanah” atau yang diproduksi untuk menghadapi medan tanah dan bebatuan. Contoh dari sepeda motor jenis ini adalah Honda CRF250R, Kawasaki KLX250.
51
e.
Sepeda Motor Moped/Bebek/Cub Merupakan tipe sepeda motor manual berkopling dan juga bisa tanpa kopling yang memiliki Kapasitas Silinder (CC) kecil. Tipe sepeda motor ini yaitu model bodi yang bercorak dari jok pengendara ke bawah kemudian naik ke stang kemudi. Posisi pengendara untuk sepeda motor ini tegak. Sepeda motor ini rata-rata diperuntukkan untuk pasar Asia yang rata-rata postur tubuhnya kecil. Contoh sepeda motor tipe ini yaitu: Honda Supra X 125, Honda Revo, Honda Blade, Honda Astrea, Yamaha Jupiter Z.
f.
Sepeda Motor Skuter Matik Merupakan tipe sepeda motor otomatis yang tidak menggunakan operan gigi manual dan hanya cukup dengan satu akselerasi, sepeda motor ini memiliki kapasitas silinder (CC) kecil dan posisi pengemudi yang tegak, ukuran sepeda motor ini lebih kecil dan ringan daripada tipe bebek. Sepeda motor ini memiliki ruang kosong di antara kemudi dan pengendara yang memungkinkan untuk kaki bisa diletakan di tempat tersebut. Sepeda motor ini sangat cocok untuk wanita dan ini digunakan untuk keperluan dalam kota/wilayah. Sepeda motor tipe ini memiliki dimensi ukuran ban dan roda yang cukup kecil. Contoh sepeda motor tipe ini yaitu: Honda Beat, Honda Vario, Honda Scoopy, Honda Spacy Helm-in, Vespa Piaggio, Yamaha Mio.
52
F. Suku Cadang 1. Pengertian Suku Cadang Suku cadang memiliki pengertian yang luas, sehingga dapat didefinisikan sebagai berikut: berbagai perlengkapan, onderdil dan kemudahan pencarian, keorisinilan dan keterjangkauan harganya, ketersediaan suku cadang yang dimaksud untuk memberi sinyal akan kemudahan pasca penjualan dari seorang penjual atau kelompok penjual dan untuk membedakannya dari barang yang dihasilkan pesaing.51 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, suku cadang memiliki arti alat-alat (diperalatan teknik) yang merupakan bagian dari mesin. 2. Pengelompokan Jenis-Jenis Suku Cadang Pasar sepeda motor nasional yang besar memberi konsekuensi ketersediaan suku cadang yang besar pula. Besarnya pasar diikuti pula oleh tingginya peredaran komponen sepeda motor. Pengelompokan suku cadang sepeda motor dikelompokkan berdasarkan kriteria antara lain: a. Kelompok rangka dan bodi; b. Kelompok engine; c. Kelompok electrial parts; d. Kelompok komponen universal. Kualitas dari suatu barang ditentukan berdasarkan oleh beberapa hal, seperti tingkat keawetan, lama masa pakai, keindahan, dan lain sebagainya. Begitu juga dalam hal suku cadang sepeda motor. Sepeda motor yang terdiri dari 51
http :// digilib.unimus.ac.id, diakses pada tanggal 29 September 2014
53
beberapa macam suku cadang mempunyai beberapa tingkatan level berdasarkan kualitas dan/atau keaslian. Stratifikasi pembagian kelas dalam suku cadang sepeda motor terdiri dari: a.
Genuine (asli pabrikan);
b.
OEM (Original Equipment Manufacturing);
c.
AM (After Market);
d.
Palsu.
Ketersediaan wadah menjadi suatu hal yang penting dalam suatu organisasi. Untuk itu, para produsen suku cadang sendiri membutuhkan suatu wadah dalam mendukung kegiatan produksi mereka. Atas dasar itulah dibentuklah suatu organisasi yang menaungi mereka. Organisasi yang mewadahi aktivitas mereka baik itu industri mobil maupun motor adalah GIAMM (Gabungan Industri Alat-alat Mobil dan Motor). Peredaran suku cadang palsu tidak hanya berasal dari produsen ataupun pelaku usaha dalam menyebarkan/mendistrbusikan komponen suku cadang palsu tersebut, malainkan peran masyarakat juga ikut sangat berperan dalam hal ini. seperti teori ekonomi yang dikenal dengan istilah suplay and demand (pemintaan dan penawaran). Permintaan masyarakat terhadap komponen suku cadang palsu yang tinggi menyebabkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab berlombalomba menyediakan komponen suku cadang palsu.
BAB III Metode Penelitian 1.
Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legal positif. Konsep ini memandang hukum sebagai norma-norma yang tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenanang dan konsep ini mamandang hukum sebagai sistem normatif yang otonom tertutup dan terlepas dari kehidupan dan mengabulkan norma lain selain norma hukum.
2.
Spesifikasi Penelitian Spesifikasi dalam penelitain ini adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang menggambarkan keadaan atau gejala dari objek akan diteliti juga dengan keyakinan-keyanikan tertentu, mengambil kesimpulan dari bahan-bahan tentang objek masalah yang akan diteliti dengan kayakinankayakinan tertentu.52
3.
Lokasi Penelitian Sumber bahan penelitian ini adalah data sekunder, dimana bahan hukum yang diperoleh adalah lebih menjurus pada peneltian kepustakaan, maka ditetapkan lokasi penelitiannya adalah di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan Universitas Jendera Soedirman, pusat Informasi Ilmiah (PII) dan di dinas-dinas terkait di wilayah Kabupaten Banyumas. 52
Soerjono Sukamto, 1981,Pengantar Penelitian Hukum.UI Press,Jakarta, hlm. 10
55
4. Sumber Data Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan data sekunder yang terbagi dalam tiga bahan hukum, yaitu: a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang bersifat mengikat, terdiri dari: Peraturan perundang-undangan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan,Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari: -
Pustaka di bidang ilmu hukum;
-
Hasil penelitian di bidang hukum;
-
Artikel-artikel ilmiah, baik dari koran, majalah maupun internet.
c) Bahan Hukum Tertier, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan maupun petunjuk terhadap bahan hukum primer maupun bahan sekunder, terdiri dari: -
Kamus Hukum;
-
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
56
5.
Metode Pengumpulan Data Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan, literatur dan dokumen yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.
6.
Metode Penyajian Data Metode penyajian data dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.
7. Metode Analisis Data Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara normatif yakni dengan membahas dan menjabarkan bahan hukum yang digunakan dengan berlandaskan pada norma hukum yang digunakan, teori-teori serta doktrin yang berkaitan dengan materi yang diteliti, dengan menggunakan logika deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan data yang diperoleh selama penelitian dengan melakukan studi kepustakaan yang berhubungan langsung dengan materi yang diteliti, diperoleh data sebagai berikut: 1.
Data Sekunder 1.1. Pengertian 1.1.1. Barang adalah benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. (Pasal 1 angka 1
Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor
20/M-
DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.1.2. Barang dan/atau jasa yang beredar di pasar adalah barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk ditawarkan, dipromosikan, diiklankan,
diperdagangkan
di
pasar
tradisional,
pusat
perbelanjaan, toko modern dan/atau pengecer lainnya, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen termasuk yang disimpan di dalam gudang atau tempat penyimpanan lainnya yang berada di wilayah Republik Indonesia, baik yang berasal
58
dari produksi dalam negeri maupun impor. (Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.1.3. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. (Pasal 1 angka 11 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.1.4. Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) yang berlaku secara nasional. (Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.1.5. Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib yang selanjutnya disebut SNI wajib adalah pemberlakuan SNI secara wajib di seluruh Indonesia yang ditetapkan oleh menteri atau menteri teknis terkait. (Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Perdagangan
59
Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.1.6. Badan Standardisasi Nasional (BSN) adalah badan yang membantu presiden dalam menyelanggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.1.7. Label adalah setiap keterangan mengenai barang yang berbentuk gambar, tulisan, atau kombinasi keduanya atau bentuk lain yang memuat informasi tentang barang dan keterangan pelaku usaha serta informasi lainnya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor
67/M-DAG/PER/11/2013
tentang
Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia pada Barang) 1.1.8. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. (Pasal 1 angka 15 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa)
60
1.1.9. Pelayanan purna jual adalah pelayanan yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang dijual dalam hal jaminan mutu, daya tahan, kehandalan operasional sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun. (Pasal 1 angka 16 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.1.10. Cara menjual adalah kegiatan atau upaya pelaku usaha untuk menawarkan dan mempromosikan barang dan/atau jasa kepada orang lain atau konsumen, baik melalui pemberian hadiah, obral, lelang, pesanan maupun cara-cara lain dengan maksud untuk menjual dan memperoleh imbalan. (Pasal 1 angka 17 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.1.11. Pengiklanan adalah proses, perbuatan, cara memberitahukan, atau memperkenalkan sesuatu kepada umum melalui berita atau pesan yang mendorong, membujuk halayak ramai, agar tertarik kepada barang dan/atau jasa yang ditawarkan, dipasang dalam media massa, medua elektronika, dan/atau media lainnya. (Pasal 1 angka 20 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa)
61
1.1.12. Pengawasan berkala adalah pengawasan barang dan/atau jasa yang dilakukan dalam waktu tertentu berdasarkan prioritas barang dan/atau jasa yang akan diawasi sesuai program. (Pasal 1 angka 22 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.1.13. Pengawasan khusus adalah pengawasan yang dilakukan sewaktu-waktu
berdasarkan
adanya
temuan
indikasi
pelanggaran, laporan pengaduan konsumen atau masyarakat, Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat
(LPKSM) atau tindak lanjut dari hasil pengawasan berkala atau adanya informasi, baik yang berasal dari pengawasan berkala atau adanya informasi, baik yang berasal dari media cetak, media elektronik maupun media lainnya. (Pasal 1 angka 23 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.1.14. Petugas Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ) adalah pegawai negeri sipil yang berada di lingkungan unit atau organisasi yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pengawasan barang dan/atau jasa atau penyelenggaraan perlindungan konsumen di bidang perdagangan yang ditunjuk dan diangkat oleh pejabat yang berwenang. (Pasal 1 angka 24 Peraturan Menteri
62
Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.1.15. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNSPK) adalah pejabat atau pegawai negeri sipil tertentu baik yang ada di pusat maupun daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan telah diangkat sebagai penyidik oleh Menteri Hukum dan HAM. (Pasal 1 anga 25 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.1.16. Pengambilan sampel secara acak adalah cara pengambilan sampel di mana setiap unsur dalam po;pulasi memiliki peluang untuk terpilih sebagai sampel. (Pasal 1 angka 27 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.1.17. Kepala Unit Kerja adalah: a.
Kepala Dinas yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan di daerah provinsi atau kabupaten/kota; dan/atau
b.
Direktur Pengawasan Barang Beredar dan Jasa yang disebut Direktur PBBJ.
63
(Pasal 1 angka 28 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.1.18. Menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya. Sebagaimana termuat dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa. 1.1.19. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan. (Pasal 1 angka 32 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.2. Ruang Lingkup Pengawasan 1.2.1 Ruang lingkup pengawasan meliputi: a.
Barang dan/atau jasa yang beredar di pasar;
b.
Barang yang dilarang beredar di pasar;
c.
Barang yang diatur tata niaganya;
d.
Perdagangan barang-barang dalam pengawasan; dan
e.
Distribusi.
(Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa)
64
1.2.2. Pengawasan barang dan/atau jasa terhadap barang dan/jasa yang beredar di pasar dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan/atau LPKSM. (Pasal 3 ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.2.3. Pengawasan oleh pemerintah dilakukan oleh menteri. (Pasal 3 ayat
3
Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor
20/M-
DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.2.4. Pengawasan oleh menteri dilakukan terhadap: a.
Barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dalam memenuhi: 1.
Standar;
2.
Label;
3.
Klausula baku
4.
Pelayanan purna jual;
5.
Cara menjual; dan/atau
6.
Pengiklanan.
b.
Barang yang dilarang beredar di pasar;
c.
Barang yang dkiatur tata niaganya;
d.
Perdagangan barang-barang dalam pengawasan; dan
e.
Distribusi.
65
(Pasal 4 ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.3. Pembinaan 1.3.1 Sekretariat Jenderal Pusat Standardisasi berkoordinasi dengan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang perdagangan melakukan pembinaan terhadap pelaku usaha dan masyarakat meliputi bantuan teknis, pelatihan, konsultasi, analisa pasar, promosi, dan diseminasi di bidang standardisasi. (Pasal 29 Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor
14/M-DAG/PER/3/2007
tentang
Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan) 1.3.2. Pembinaan
dilakukan
dalam
bentuk
pelayanan
dan
penyebarluasan informasi, edukasi, dan konsultasi secara langsung dan tidak langsung kepada pelaku usaha dan/atau konsumen. (Pasal 18 ayat 4 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
67/M-DAG/PER/11/2013
tentang
Kewajiban
Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia pada Barang) 1.3.3. Pembinaan dilaksanakan melalui konsultasi, edukasi, dan penyebarluasan informasi, baik kepada pelaku usaha maupun konsumen. (Pasal 8 ayat 3 Peraturan Menteri Perdagangan
66
Nomor 35/M-DAG/PER/7/2013 tentang Pencantuman Harga Barang dan Tarif Jasa yang Diperdagangkan) 1.4. Kewanangan Pengawasan 1.4.1. Menteri melimpahkan pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar, barang yang dilarang beredar di pasar, barang yang diatur tata niaganya, perdagangan barangbarang dalam pengawasan, dan distribusi kepada: a.
Gubernur, untuk melakukan koordinasi dan pengawasan sesuai dengan wilayah kerjanya;
b.
Bupati/Walikota, untuk melaksanakan pengawasan sesuai dengan wilayah kerjanya; dan
c.
Dirjen PDN, untuk melakukan pembinaan, koordinasi, dan pelaksanaan
pengawasan
di
daerah
provinsi
dan
kabupaten/kota. (Pasal 15 ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.4.2. Gubernur
dan
Bupati/Walikota
dalam
melaksanakan
pengawasan dilakukan oleh kepala unit kerja yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan. (Pasal 15 ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa)
67
1.4.3. Pejabat yang berwenang dalam melaksanakan pengawasan barang dan/atau jasa menugaskan kepada: PPBJ dan/atau PPNS-PK untuk melakukan pengawasan terhadap barang yang beredar di pasar, barang yang dilarang beredar di pasar, barang yang diatur tata niaganya, perdagangan barang-barang dalam pengawasan, dan distribusi; dan/atau (Pasal 18 ayat 1a Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.4.4. Pelaksanaan pengawasan oleh menteri terhadap barang dan/atau jasa yang beredar dipasar dilakukan secara berkala dan secara khusus. (Pasal 19 ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.4.5. Pengawasan secara berkala dilakukan oleh PPBJ dan/atau PPNS-PK. (Pasal 19 ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.4.6. Pengawasan secara khusus dilakukan oleh PPBJ dan PPNS-PK. (Pasal 19 ayat 3 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa)
68
1.5. Cara Pengawasan Berkala 1.5.1. Pengawasan berlaka terhadap barang yang beredar di pasar dalam memenuhi standar mutu dilakukan dengan cara pengambilan sampel barang melalui pembelian di pasar secara acak. (Pasal 23 ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.5.2. Pengawasan berkala terhadap barang yang beredar di pasar dalam memenuhi ketentuan pencantuman label dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Melakukan pengambilan sampel dengan pembelian contoh barang di pasar secara acak b. Melakukan pengamatan kasat mata terhadap keterangan yang tercantum pada label, dan c. Memastikan kebenaran antara keterangan yang tercantum pada label dengan kondisi barang yang sebenarnya. (Pasal 24 ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.5.3. Pengawasan berkala terhadap pemenuhan ketentuan klausula baku pada dokumen dan/atau perjanjian dilakukan dengan cara membeli barang dan/atau jasa, meminta formulir/blanko dokumen, dan/atau perjanjian untuk dilakukan pengecekan guna
69
mengetahui adanya klausula baku. (Pasal 26 ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.5.4. Pengawasan berkala terhadap pelaksanaan pelayanan purna jual. Dilakukan dengan cara: a. Pengecekan ketersediaan atau keberadaan suku cadang dan fasilitas
perbaikan
untuk
barang
tertentu
yang
pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurangkurangnya 1 (satu) tahun; b. Pengecekan dilakukan berdasarkan keterangan dari pelaku usaha
yang
memperdagangkan,
mengimpor,
dan/atau
memproduksi barang; dan c. Pengecekan terhadap adanya petunjuk penggunaan dan jaminan/garansi dalam Bahasa Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 27 ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.5.5. Pengawasan berkala terhadap penjualan malaui penawaran, promosi, pemberian hadiah, obral, dan lelang dilakukan dengan cara meminta keterangan dan pengamatan kasat mata terhadap pelaku usaha dalam menawarkan, mempromosikan, menjanjikan pemberian hadiah, obral, dan lelang. (Pasal 28 ayat 1 Peraturan
70
Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.5.6. Pengawasan dalam pengiklanan, baik melalui media cetak, media elektronik, maupun media lainnya dilakukan dengan pengamatan kasat mata dan pengecekan terhadap kesesuaian materi iklan dengan kondisi barang yang sebenarnya. (Pasal 29 ayat
1
Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor
20/M-
DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.5.7. Pengamatan terhadap kesesuaian materi iklan dengan kondisi barang dilakukan dengan cara meminta bukti-bukti kepada pelaku
usaha
yang
memesan,
memproduksi,
dan/atau
menayangkan iklan di media setempat. (Pasal 29 ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.6. Cara pengawasan khusus 1.6.1. Pengawasan secara khusus dilakukan berdasarkan: a.
Tindak lanjut hasil pengawasan berlaka;
b.
Pengaduan masyarakat atau LPKSM; atau
c.
Adanya temuan, informasi yang berasal dari media cetak, media elektronik, atau media lainnya.
71
(Pasal 22 ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) 1.6.2. Pengawasan khusus oleh PPBJ dan PPNS-PK dilakukan melalui pentahapan sebagai berikut: a.
Melakukan pengambilan sampel ulang di satu wilayah di 3 (tiga) lokasi untuk jenis barang yang sama berdasarkan hasil pengawasan berkala, apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
Melakukan pengambilan sampel di satu wilayah di 3 (tiga) lokasi untuk jenis barang berdasarkan pengaduan oleh konsumen/masyarakat atau LPKSM;
c.
Melakukan uji laboratorium dan pengecekan ulang terhadap barang dan/atau jasa hasil pengawasan berkala bersama pelaku usaha, baik dalam pemenuhan standar, pencantuman label, klausula baku, pelayanan purna jual, cara menjual dan/atau pengiklanan;
d.
Hasil uji dan/atau pengecekan ulang disampaikan kepada kepala unit kerja yang bersangkutan untuk dilakukan evaluasi;
e.
Apabila hasil evaluasi menyatakan tidak melanggar atau tidak terjadi tindak pidana di bidang perlindungan
72
konsumen, maka kepala unit kerja yang bersangkutan dapat mempublikasikan kepada masyarakat; dan f.
Apabila hasil evaluasi menyatakan melanggar atau terjadi tindak pidana, maka kepala unit kerja meminta PPNS-PK untuk segera melakukan penyidikan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
2.
Data Primer Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Bapak Sardi, selaku staf
bagian Seksi Perlindungan Konsumen dan Metrologi di Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas yang digunakan untuk memperjelas data sekunder yang didapat selama penelitian, diperoleh data sebagai berikut: 2.1. Langkah pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap peredaran suku cadang sepeda motor di Kabupaten Banyumas Pada dasarnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah terkait peredaran barang dan/atau jasa dalam hal ini mengenai peredaran suku cadang sepeda motor di Kabupaten Banyumas, dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas. Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi akan melakukan pengawasan secara berkala dan pengawasan khusus. Namun selama ini pihak Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas belum pernah melakukan pengawasan baik pengawasan secara berkala maupun pengawasan khusus. Pihak Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi
73
Kabupaten Banyumas rutin melakukan pembinaan berupa sosialisasi kepada masyarakat
terkait
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen
dengan
mencanangkan gerakan konsumen cerdas/koncer dan pelaku usaha yang ada di Kabupaten Banyumas. 2.2. Kendala dalam melakukan pengawasan terhadap peredaran suku cadang sepeda motor di kabupaten Banyumas a. Masih terbatasnya jumlah personil Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi dalam melakukan pengawasan, mengingat jumlah suku cadang sepeda motor yang beredar di kabupaten Banyumas jumlahnya mancapai ribuan item. b. Terbatasnya anggaran yang diberikan oleh pemerintah dalam hal pengawasan, karena pengawasan suku cadang sepeda motor selama ini dianggap belum merupakan prioritas utama untuk diawasi, sehingga dalam melakukan pengawasan pihak Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi masih terkendala masalah pendanaan. c. Belum adanya Laboratorium yang terakreditasi di Kabupaten Banyumas, sehingga apabila akan melakukan uji laboratorium, maka sampel harus dikirim ke laboratorium teeakreditasi terdekat, biasanya uji laboratorium dilakukan di Kota Semarang atau Kota Yogyakarta. d. Masih rendahnya kesadaran dan ketelitian konsumen dalam membeli suku cadang yang berkualitas dan memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Mereka hanya mengutamakan harga yang murah ketimbang kualitas yang bagus. Pola pikir yang seperti ini cenderung menuntut para pelaku usaha
74
penjual suku cadang sepeda motor untuk terus menyediakan suku cadang dengan harga murah yang pada akhirnya mengesampingkan sisi kualitasnya. Bahkan tidak mungkin suku cadang palsu juga turut diperdagangkan mengingat pola pikir masyarakat yang demikian. Masyarakat menganggap kualitas adalah nomor sekian, yang penting harga murah dan bisa dipakai. e. Terkait
masalah
pembinaan
yang
dilakukan
oleh
pihak
Dinas
Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas, pihak Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi sebenarnya rutin melakukan pembinaan baik terhadap konsumen maupun pelaku usaha, namun masih banyaknya pelaku usaha yang tidak hadir ketika diadakannya sosialisasi mengenai pembinaan masih menjadi kendala.
75
B. Pembahasan Pengawasan Terhadap Peredaran Suku Cadang Sepeda Motor dalam Rangka Perlindungan Hukum terhadap Konsumen di Kabupaten Banyumas berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang memandang hukum sebagai kaidah-kaidah normatif. Penelitian ini mengkonsepkan hukum sebagai norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan nasional kepada ajaran hukum murni yang mendasarkan bahwa hukum yang berlaku adalah yang tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan (written Law). Melihat dari semakin banyaknya jenis suku cadang sepeda motor yang beredar di pasaran, penelitian ini mengkaji mengenai pengawasan terhadap peredaran suku cadang sepeda motor khususnya di Kabupaten Banyumas. Keberadaan suku cadang sepeda motor yang semakin beragam jenisnya tersebut apabila tidak dilakukan suatu pengawasan dikhawatirkan akan berdampak pada peredaran suku cadang yang semakin tidak terkontrol di pasaran. Dengan tidak terkontrolnya peredaran suku cadang sepeda motor di pasaran khususnya di Kabupaten Banyumas, dikhawatirkan ikut beredarnya suku cadang yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pemerintah, seperti beredarnya suku cadang palsu. Dilakukannya suatu pengawasan adalah sebagai suatu bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen dalam memenuhi hak dan kewajibannya.
76
Suku cadang sebagaimana dimaksud di atas pada dasarnya merupakan bagian dari benda. Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa: Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiaptiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Benda-benda tersebut dapat dibedakan menjadi: 1. Benda tetap ialah benda-benda karena sifatnya, tujuannya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak misalnya bangunan, tanah, mesin pabrik, dll. 2. Benda bergerak ialah benda-benda yang karena sifatnya atau karena penentuan undang-undang dianggap benda bergerak, misalnya alat-alat perkakas, kendaraan, binatang, dll.53 Benda-benda itu juga dapat dibedakan lagi menjadi: 1. Benda berwujud (barang-barang); 2. Benda tak berwujud (bermacam-macam hak).54 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa: Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat
53 54
C.S.T. Kansil, Op, Cit, hlm. 244. Ibid.
77
dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juga menjelasakan pengertian tentang barang, yakni sebagai berikut: Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Berdasarkan data sekunder 1.1.1 apabila dikaitkan dengan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tetang Perdagangan, maka dapat dideskripsikan bahwa suku cadang sepeda motor yang pada dasarnya adalah barang sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan merupakan benda yang berwujud, bergerak, dapat dipakai, digunakan, dan dimanfaatkan oleh konsumen. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen adalah dengan cara melalui pengawasan,
salah
satunya dengan melakukan pengawasan terhadap barang yang beredar di pasar. Berdasarkan data sekunder nomor 1.1.1. mengenai pengertian barang dan data sekunder nomor 1.1.2. mengenai pengertian barang dan/atau jasa yang beredar di
78
pasar apabila dikaitkan dengan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 maka dapat disimpulkan bahwa suku cadang sepeda motor merupakan benda yang berwujud, bergerak, dapat dipakai, digunakan, dan dimanfaatkan oleh konsumen yang ditawarkan, dipromosikan, diiklankan, dan diperdagangkan di pusat perbelanjaan, atau pengecer baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor. Oleh karena itu suku cadang sepeda motor merupakan barang yang beredar di pasar. Permintaan masyarakat akan barang semakin lama semakin tinggi. Masyarakat membutuhkan barang untuk berbagai keperluan hidupnya. Kebutuhan masyarakat akan suatu barang sifatnya adalah mutlak, mereka membutuhkan suatu barang untuk memenuhi kebutuhannya yang bersifat primer, sekunder, bahkan tersier. Salah satu cara agar tuntutan barang untuk kebutuhan masyarakat selalu terpenuhi adalah dengan cara pendistribusian barang. Terpenuhinya kebutuhan masyarakat terhadap barang tergantung dengan pendistribusian barang tersebut. Apakah barang tersebut mudah dijangkau dan tersedia di masyarakat atau tidak. Agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat, maka dalam pendistribusian barang dibutuhkan sumber daya manusia yang mamadai. Sebagai wujud dalam pelaksanaan penyelenggaraan perlindungan konsumen, maka dibutuhkanlah suatu pembinaan baik pembinaan terhadap konsumen maupun terhadap pelaku usaha dalam memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Pembinaan merupakan upaya pemerintah untuk menciptakan kesadaran baik konsumen maupun pelaku usaha dalam rangka menjamin kepastian hukum
79
bagi konsumen sehingga dapat mencegah penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam penyelengaraan perlindungan konsumen. Sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa: 6.
Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
7.
Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait.
8.
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
9.
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk: d.
Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
e.
Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
f.
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen;
80
5.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Konsumen juga menyebutkan bahwa: Pembinaan
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Menteri dan atau Menteri teknis terkait, yang meliputi upaya untuk: a.
Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b.
Berkembangnya
lembaga
perlindungan
konsumen
swadaya
masyarakat; dan c.
Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Dapat diketahui dari penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Konsumen, maka objek dilakukannya kegiatan pembinaan adalah terhadap: 1. Iklim Usaha; 2. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat; 3. Sumber daya manusia; dan 4. Penelitian dan pengembangan.
81
Berdasarkan data sekunder nomor 1.3.1 tentang pembinaan dibidang standardisasi, data sekunder nomor 1.3.2 tentang pembinaan terhadap kewajiban pencantuman label dalam Bahasa Indonesia pada barang, data sekunder nomor 1.3.3. tentang pembinaan terhadap pencantuman harga barang dan tarif jasa yang diperdagangkan, apabila dikaitkan dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Konsumen, maka dapat disimpulkan bahwa pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah berupa bantuan teknis, pelatihan, konsultasi, analisa pasar, promosi, dan diseminasi di bidang standardisasi serta berupa pelayanan dan penyebarluasan informasi, edukasi, dan konsultasi secara langsung dan tidak langsung kepada pelaku usaha dan/atau konsumen merupakan suatu bentuk pembinaan dalam rangka terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen. Pembinaan yang dilakukan tidak selamanya mendatangkan hasil yang optimal, oleh karena itu sebagai langkah lanjutan, maka perlu untuk dilakukannya suatu pengawasan. Pengawasan merupakan unsur yang sangat penting dilakukan melihat jenis dan jumlah suku cadang sepeda motor yang beredar di pasaran sangat banyak jumlahnya. Menurut Lawrence M. Friedman, suatu hukum akan efektif bila bekerja sesuai dengan fungsinya, menurutnya hukum berfungsi sebagai: d.
Pengawasan/pengendalian sosial (social control);
e.
Penyelesaian sengketa (dispute settlement);
82
f.
Rekayasa sosial (social engineering).55
Salah satu fungsi hukum menurut Lawrence M. Friedman adalah pengawasan/pengendalian sosial, oleh karena itu, pengawasan merupakan salah satu unsur mutlak agar suatu hukum bisa bekerja dengan efektif. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen mengatur mengenai pengawasan, yakni sebagai berikut: 7.
Pengawasan konsumen
terhadap serta
konsumen
penerapan
penyelenggara
ketentuan
perlindungan
peraturan
perundang-
undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 8.
Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait.
9.
Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
10. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangkan yang berlaku.
55
Ishaq, Op, Cit, hlm. 10.
83
11. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebar luaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis terkait. 12. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pelaksanaan teknis mengenai pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swasaya masyarakat. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: 1.
Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa.
84
2.
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa.
3.
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat.
4.
Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masingmasing.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa: “ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen cukup menjanjikan upaya perlindungan konsumen melalui pemberdayaan setiap unsur yang ada yaitu masyarakat dan LPKSM disamping pemerintah sendiri melalui menteri dan/atau menteri teknis terkait. Apabila diperhatikan substansi Pasal 30 tersebut, juga tampak bahwa pengawasan lebih banyak menitik beratkan pada peran masyarakat dan LPKSM dibanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait. Seperti terlihat dalam pasal tersebut, pemerintah diserahi tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya. Sementara pengawasan oleh masyarakat dan LPKSM, selain tugas yang sama dengan apa yang menjadi tugas pemerintah di atas, juga diserahi tugas pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Ayat 4 dari Pasal tersebut juga menentukan bahwa, apabila pengawasan oleh masyarakat dan LPKSM ternyata mendapat hal-hal yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang beredar di
85
pasar, pemerintah sepenuhnya menyerahkan dan menanti laporan maayarakat dan/atau LPKSM, untuk kemudian diambil tindakan”.56 Berdasarkan data sekunder nomor 1.2.1. tentang ruang lingkup pengawasan, data sekunder nomor 1.2.2. tentang pengawasan barang dan/atau jasa yang beredar di pasar, data sekunder nomor 1.2.3. tentang pengawasan oleh pemerintah, data sekunder nomor 1.2.4. tentang objek pengawasan oleh menteri, data sekunder nomor 1.4.1 tentang pelimpahan wewenang pengawasan oleh menteri, data sekunder nomor 1.4.2. tentang pelaksanaan pengawasan oleh kepala unit kerja, data sekunder nomor 1.4.3. tentang pelaksanaan pengawasan barang dan/atau jasa, data sekunder nomor 1.4.4. tentang pelaksanaan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar, data sekunder nomor 1.4.5. tentang pengagawasan secara berkala, data sekunder nomor 1.4.6. tentang pengawasan secara khusus dan data primer nomor 2.1. Jika dikaitkan dengan Pasal 30 UndangUndang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, serta pendapat Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, maka dapat diketahui bahwa pengawasan terhadap peredaran suku cadang sepeda motor di Kabupaten Banyumas dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan LPKSM. Pengawasan oleh pemerintah sendiri dilakukan oleh menteri perdagangan yang kemudian melimpahkan wewenang pengawasan kepada Bupati Banyumas untuk melakukan pengawasan yang dilakukan oleh Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas sebagai dinas yang bertugas mengawasi peredaran barang 56
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011. Hukum Perlindungan Konsumen, ketujuh, Rajawali Pers Jakarta, hlm. 185.
cetakan
86
di Kabupaten Banyumas, Kemudian Bupati Banyumas menugaskan kepada PPBJ dan/atau PPNS-PK untuk melakukan pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar, melalui pengawasan secara berkala dan pengawasan secara khusus. Pengawasan merupakan hal yang sangat penting dilakukan terhadap peredaran barang di pasar. Menurut Victor M. Situmorang dan Yusuf Juhir, pengawasan dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, yaitu: d. Pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung 3) Pengawasan langsung Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot” di tempat pekerjaan dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksana. Hal ini dilakukan dengan inspeksi. 4) Pengawasan tidak langsung Pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporanlaporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tertulis, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan sebagainya tanpa pengawasan “on the spot”. e. Pengawasan preventif dan pengawasan represif Walaupun prinsip pengawasan adalah preventif, namun bila dihubungkan dengan waktu pelaksanaan pekerjaan, dapat dibedakan antara pengawasan preventif dan pengawasan represif. 3) Pengawasan preventif Pengawasan preventif dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan-persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain. 4) Pengawasan represif dilakukan melalui post audit, dengan pemeriksaaan terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya. f. Pengawasan intern dan ekstern 3) Pengawasan intern Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. 4) Pengawasan ekstern
87
Pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi itu sendiri.57
Bentuk-bentuk pengawasan terhadap peredaran suku cadang sepeda motor di Kabupaten banyumas dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a.
Pengawasan Langsung Victor M. Situmorang dan Yusuf Juhir menyatakan bahwa: Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot” di tempat pekerjaan dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksana. Hal ini dilakukan dengan inspeksi.58 Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swasaya masyarakat. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: 1.
Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa.
57 58
Victor M. Situmorang dan Yusuf Juhir, Op, Cit, hlm. 21. Ibid, hlm. 21.
88
2.
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa.
3.
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat.
4.
Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masingmasing.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.5.1. tentang cara pengawasan berlaka terhadap barang yang beredar di pasar dalam memenuhi standar mutu, data sekunder nomor 1.5.2. tentang cara pengawasan berkala terhadap barang yang beredar di pasar dalam memenuhi ketentuan pencantuman label, data sekunder nomor 1.5.3. tentang cara pengawasan berkala terhadap pemenuhan ketentuan klausula baku pada dokumen dan/atau perjanjian, data sekunder nomor 1.5.4. tentang cara pengawasan berkala terhadap pelaksanaan pelayanan purna jual, data sekunder nomor 1.5.5. tentang cara pengawasan berkala terhadap penjualan malaui penawaran, promosi, pemberian hadiah, obral, dan lelang, data sekunder nomor 1.5.6. tentang cara pengawasan dalam pengiklanan, baik melalui media cetak, media elektronik, maupun media lainnya, data sekunder nomor 1.5.7. tentang cara pengamatan terhadap kesesuaian materi iklan dengan kondisi barang, apabila dikaitkan dengan pendapat Victor M. Situmorang dan Yusuf Juhir dan Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang
89
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa pengawasan secara berkala yang dilakukan oleh pemerintah terhadap peredaran suku cadang sepeda motor di Kabupaten Banyumas oleh PPBJ dan/atau PPNS-PK melalui pengambilan sampel barang melalui pembelian di pasar secara acak, melakukan pengamatan kasat mata terhadap keterangan yang tercantum, memastikan kebenaran antara keterangan yang tercantum dengan kondisi barang yang sebenarnya, membeli barang dan/atau jasa, meminta formulir/blanko dokumen, dan/atau perjanjian, pengecekan ketersediaan atau keberadaan suku cadang dan fasilitas perbaikan, pengecekan terhadap adanya petunjuk penggunaan dan jaminan/garansi dalam Bahasa Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, pengecekan terhadap kesesuaian materi iklan dengan kondisi barang yang sebenarnya dalam memenuhi ketentuan standar, pencantuman label, klausula baku, pelayanan purna jual, cara menjual, dan pengiklanan merupakan pengawasan yang dilakukan dengan cara terjun langsung kelapangan untuk melakukan pengawasan merupakan pengawasan langsung. Dikatakan demikian, karena berdasarkan pendapat Victor M. Situmorang dan Yusuf Juhir, bahwa pengawasan langsung adalah suatu pengawasan yang bersifat on the spot (turun langsung ke lapangan) yang dilakukan berupa suatu inspeksi (sidak) pasar untuk melakukan pengujian, uji laboratorium dan razia terhadap suku cadang sepeda motor di Kabupaten Banyumas. Jadi semua bentuk pengawasan berkala yang dilakukan oleh pemerintah melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas terhadap peredaran suku
90
cadang sepeda motor di Kabupaten Banyumas merupakan pengawasan yang bersifat langsung. b. Pengawasan tidak langsung Pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporan-laporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tertulis, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan sebagainya tanpa pengawasan “on the spot”. Victor M. Situmorang dan Yusuf Juhir menyatakan bahwa: “Pengawasan tidak langsung adalah kebalikan dari pengawasan langsung, yang dilakukan tanpa mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan atau objek yang diawasi. Pengawasan ini dilakukan dengan mempelajari dan menganalisa dokumen yang menyangkut objek yang diawasi yang disampaikan oleh pelaksana atau pun sumber lain. Dokumen-dokumen tersebut bisa berupa laporan pelaksanaan pekerjaan, baik laporan berkala maupun laporan insidentil, laporan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari perangkat pengawas lainnya, surat pengaduan dari masyarakat, berita atau artikel dari media massa, dan dokumen-dokumen lainnya. Disamping melalui laporan tertulis tersebut pengawasan ini juga dapat dilakukan dengan mempergunakan bahan yang berupa laporan lisan”.59 Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swasaya masyarakat. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: 59
Ibid, hlm. 27-28.
91
1.
Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa.
2.
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa.
3.
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat.
4.
Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masingmasing.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.6.1. tentang pengawasan secara khusus, data sekunder nomor 1.6.2. huruf a, huruf b, dan huruf c, tentang tahapan pengawasan secara khusus, apabila dikaitkan dengan Pendapat Victor M. Situmorang mengenai pengawasan tidak langsung, Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, dapat dikatakan bahwa pengawasan tidak langsung merupakan pengawasan yang dilakukan melalui analisan terhadap dokumen-dokumen dan hasil analisa yang ada. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semua pengawasan secara khusus yang dilakukan oleh pemerintah merupakan pengawasan tidak langsung. Hal itu mendasarkan pada beberapa hal,
92
pertama pengawasan secara khusus dilakukan berdasarkan tindak lanjut dari pengawasan berkala yang mana hal ini mendasarkan pada laporan atas pelaksanaan pekerjaan yang bersifat berkala, artinya pengawasan secara khusus merupakan pengawasan yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari pengawasan yang dilakukan sebelumnya (secara berkala), dengan meneliti hasil/dokumen dari evaluasi terhadap pengawasan berkala. Kedua pengawasan secara khusus mendasarkan pada pengaduan masyarakat atau LPKSM, dalam hal ini yang melakukan pengawasan pendahuluan adalah masyarakat atau LPKSM, yang kemudian memberikan laporan atas pengawasan yang telah dilakukannya kepada pemerintah baik lisan maupun tulisan, kemudian pemerintah menanggapi hal tersebut dengan melakukan pengawasan secara khusus atas laporan hasil pemeriksaan yang diperoleh Masyarakat dan/atau LPKSM, baik berupa surat pengaduan dari masyarakat atau pun secara lisan. Ketiga pengawasan secara khusus dilakukan berdasarkan adanya temuan, informasi yang berasal dari media cetak, media elektronik, atau media lainnya. Dalam hal ini pemerintah melakukan pengawasan secara khusus karena adanya temuan baik yang bersumber dari berita atau artikel dari media massa, dan dokumen-dokumen lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua pengawasan secara khusus yang dilakukan oleh pemerintah merupakan pengawasan tidak langsung. c. Pengawasan Preventif Pengawasan preventif dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan-
93
persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain. Victor M. Sitomorang dan Yusuf Juhir menyatakan bahwa: “Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum pekerjaan mulai dilaksanakan, misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lainnya.60 Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swasaya masyarakat. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: 1.
Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa.
60
Ibid, hlm. 29.
94
2.
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa.
3.
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat.
4.
Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masingmasing.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.5.1. tentang cara pengawasan berlaka terhadap barang yang beredar di pasar dalam memenuhi standar mutu, data sekunder nomor 1.5.2. tentang cara pengawasan berkala terhadap barang yang beredar di pasar dalam memenuhi ketentuan pencantuman label, data sekunder nomor 1.5.3. tentang cara pengawasan berkala terhadap pemenuhan ketentuan klausula baku pada dokumen dan/atau perjanjian, data sekunder nomor 1.5.4. tentang cara pengawasan berkala terhadap pelaksanaan pelayanan purna jual, data sekunder nomor 1.5.5. tentang cara pengawasan berkala terhadap penjualan malaui penawaran, promosi, pemberian hadiah, obral, dan lelang, data sekunder nomor 1.5.6. tentang cara pengawasan dalam pengiklanan, baik melalui media cetak, media elektronik, maupun media lainnya, data sekunder nomor 1.5.7. tentang cara pengamatan terhadap kesesuaian materi iklan dengan kondisi barang apabila dikaitkan dengan pendapat Victor M. Situmorang dan Yusuf Juhir serta Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang
95
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa pengawasan secara berkala yang dilakukan oleh pemerintah berupa pengambilan sampel barang melalui pembelian di pasar secara acak dalam memenuhi standar mutu, pengambilan sampel dengan pembelian contoh barang di pasar secara acak dalam memenuhi ketentuan pencantuman label, membeli barang dan/atau jasa, meminta formulir/blanko dokumen, dan/atau perjanjian untuk dilakukan pengecekan guna mengetahui adanya klausula baku, dan sebagainya terkait upaya dalam memenuhi standar, pencantuman label, klausula baku, pelayanan purna jual, cara menjual dan pengiklanan adalah merupakan suatu bentuk terhadap pengawasan preventif. Pengawasan secara berkala tersebut merupakan suatu upaya/agenda rutin yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas terhadap peredaran suku cadang sepeda motor di Kabupaten Banyumas, yang bersifat pencegahan sebelum terjadinya suatu masalah/laporan terkait hal-hal yang merugikan aspek keselamatan, keamanan, kenyamanan konsumen, dan lingkungan (K3L). Dapat dikatakan bahwa pengawasan secara berkala yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas sifatnya adalah berupa pengawasan pendahuluan, sebelum benar-benar melakukan tindakan akhir berupa penarikan barang dan/atau pemberian sanksi terhadap pelaku usaha yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana yang telah ditetapkan.
96
d. Pengawasan Represif Pengawasan represif dilakukan melalui post audit, dengan pemeriksaaan terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya. Victor M. Situmorang dan Yusuf Juhir menyatakan bahwa: “Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan atau kegiatan tersebut dilaksanakan, hal ini kita ketahui melalui audit dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan pekerjaan di tempat dan meminta laporan pelaksanaan kegiatan”.61 Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swasaya masyarakat. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: 1.
Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa.
61
Ibid, hlm. 29.
97
2.
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa.
3.
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat.
4.
Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masingmasing.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.6.1 tentang pengawasan secara khusus apabila dikaitkan dengan pengawasan represif menurut Victor M. Situmorang dan Yusuf Juhir serta Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan represif merupakan tindak lanjut dari hasil hasil audit dengan pemeriksaan dan laporan pelaksanaan kegiatan, dalam hal ini dapat berupa, hasil tindak lanjut terhadap pengawasan berkala, adanya pengaduan dari masyarakat atau LPKSM, dan adanya temuan informasi baik yang berasal dari media cetak, media elektronik, atau media lainnya, yang mana ketiga hal tersebut merupakan suatu bentuk laporan/audit berupa adanya suatu penyimpangan atau kesalahan. Oleh karena itu dilakukannya pengawasan secara khusus sebagai tindakan untuk memperbaiki agar tidak terjadi penyimpangan atau kesalahan dalam peredaran suku cadang sepeda motor ke depannya. Hal itu perlu dilakukan sebagai wujud dalam memberikan perlindungan hukum terhadap
98
konsumen. Pengawasan secara khusus dapat dikatakan sebagai pengawasan yang bersifat represif. Dapat diketahui berdasarkan penjabaran mengenai macam-macam pengawasan di atas, pemerintah bertanggung jawab atas peredaran suku cadang sepeda motor di Kabupaten Banyumas melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas. Pengawasan terhadap peredaran suku cadang sepeda motor di kabupaten Banyumas dapat dilakukan sebagai wujud pengawasan dalam memenuhi: 1. Standar; 2. Pencantuman label; 3. Klausula baku; 4. Pelayanan purna jual; 5. Cara menjual; 6. Pengiklanan. Berkaitan dengan hasil pengawasan di atas, dapat diketahui bahwa antara pihak pengawas, pelaku usaha, dan konsumen terdapat suatu hubungan hukum yang saling terkait. Hubungan hukum yang ada merupakan hubungan hukum yang lahir dari undang-undang, jadi merupakan hubungan hukum yang bersifat publik.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas terhadap peredaran suku cadang sepeda motor di Kabupaten Banyumas berupa pengawasan langsung, pengawasan tidak langsung, pengawasan preventif, dan pengawasan represif sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/MDAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa telah sesuai dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Pengawasan langsung berupa tindakan yang dilakukan dengan cara turun langsung kelapangan untuk melakukan pengawasan berkala berupa pengambilan sampel barang melalui pembelian di pasar secara acak, melakukan pengamatan kasat mata terhadap keterangan yang tercantum, memastikan kebenaran antara keterangan yang tercantum dengan kondisi barang yang sebenarnya, membeli barang dan/atau jasa, meminta formulir/blanko dokumen, dan/atau perjanjian, pengecekan ketersediaan atau keberadaan suku cadang dan fasilitas perbaikan, pengecekan terhadap adanya petunjuk penggunaan dan jaminan/garansi dalam Bahasa Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, pengecekan terhadap kesesuaian materi iklan dengan kondisi barang yang sebenarnya dalam
100
memenuhi ketentuan standar, pencantuman label, klausula baku, pelayanan purna jual, cara menjual, dan pengiklanan. Pengawasan tidak langsung berupa pengawasan
secara
khusus
yang
dilakukan
oleh
Dinas
Perindustrian,
Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas terhadap peredaran suku cadang sepeda motor di Kabupaten Banyumas berdasarkan hasil dari pengawasan berkala, adanya laporan pengaduan dari masyarakat atau LPKSM dan adanya temuan, informasi yang berasal dari media cetak, media elektronik, atau media lainnya. Pengawasan preventif berupa pengawasan secara berkala yang dilakukan Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas terhadap peredaran suku cadang sepeda motor di Kabupaten Banyumas dalam rangka melakukan pencegahan sebelum terjadi pelanggaran atau kerugian yang diderita masyarakat. Sedangkan pengawasan represif yang dilakukan Dinas Perindustrian, perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas berupa pengawasan secara khusus. B. Saran Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas hendaknya lebih meningkatkan kualitas pengawasan sehingga peredaran barang dan/atau jasa dalam hal ini khususnya suku cadang sepeda motor palsu dapat dicegah atau diminimalisir. Konsumen hendaknya lebih meningkatkan ketelitian dan kewaspadaan dalam membeli barang sehingga dapat terhindar dari kerugian akibat beredarnya suku cadang sepeda motor palsu.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur: Algra, N.E. dkk. 1983, Kamus Istilah Hukum Foekema Andreae, Bandung: Binacipta. Darus, Mariam. 1990, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau dari Segi Standar Kontrak (Baku), makalah simposium Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen, BPHN-Binacipta Handoko, T. Hani. Managemen, Yogyakarta: BPFE. Huijbers, Theo. 1990, Filsafat Hukum, Jakarta: Kanisius. Ishaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. Kansil. C.S.T. 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil. 2005, Sistem Pemerintahan Indonesia, edisi revisi cetakan kedua. Jakarta: Bumi Aksara. Kristiyanti, Celina Tri. 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika. Lotulung, Paulus Effendi. 1986, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Jakarta: Bhuana Pancakarsa. Marwan dan Jimmy. 2009, Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition, Surabaya: Realita Publisher. Meliala, Adrius (peny), Praktik Bisnis Curang, Jakarta: Sinar harapan. Mertokusumo, Sudikno. 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberti. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2011. Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ketujuh, Jakarta: Rajawali Pers. Nasution, Az. 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media Muhammad. 2005, Manajemen Bank Syariah, edisi revisi, Yogyakarta: unit penerbit dan percetakan (UPP) AMP YPKN. Shidarta. 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo.
102
Sidabalok, Janus. 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Situmorang, Victor M. dan Yusuf Juhir. 1993. Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam lingkungan Aparatur Pemerintah. Jakarta: Rineka cipta. Sukamto, Soerjono. 1981, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Sutedi, Adrian. 2008. Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa. Jakarta: Sinar Grafika.
Peraturan Perundang-undangan: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa
tentang
Sumber-Sumber lainnya: Ahmad Ramli, Dirjen Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia Ungkapkan Pemalsuan Komponan Motor Sebesar
20-30%,
http://m.motorplusonline.com/m_read/H3bT3BQRsAu3s33V3bdPztLGrFT31eCH h5w_YE-
31A4/17/0/Asosiasi-Industri-Sepeda-Motor-Indonesia-Ungkapkan-
Pemalsuan-Komponen-Motor-Sebesar-20-30-Persen,oleh motorplus/Hend/diakses pada tanggal 14 September 2014 Data Statistik AISI, http://www.aisi.or.id/statistic Diakses pada tanggal 14 September 2014 http :// digilib.unimus.ac.id, diakses pada tanggal 29 September 2014
103
Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Inspektur Jenderal Polisi Pudji Hartono, Jumlah Kendaraan di Indonesia capai 104.211 Juta Unit, http://www.tribunnews.com/otomotif/2014/04/15/jumlah-kendaraan-diindonesia-capai-104211-juta-unit. Diakses pada tanggal 14 September
2014