BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DI LUAR UU NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Di
samping
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen,
upaya
perlindungan terhadap konsumen juga terdapat dalam berbagai undang-undang lain. Walaupun undang-undang tersebut tidak dikhususkan untuk konsumen, tetapi dapat dijadikan dasar bagi perlindungan konsumen. 55 Undang-undang tersebut di antaranya adalah : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tahun tentang Usaha Perasuransian; 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat; 5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Keseluruhan Undang-undang tersebut di atas sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, maka sangat dibutuhkan pengaturan mengenai jaminan perlindungan atas hak-hak masyarakat. Namun, disamping itu, masyarakat juga harus mengetahui kewajiban-kewajibannya dan dapat melindungi dirinya sendiri agar hak-hak tersebut tidak terganggu dan keseimbangan dalam masyarakat dapat tetap terjaga. Kata ‘konsumen’ tidak secara implisit disebutkan dalam undangundang tersebut di atas. Ada beberapa undang-undang yang memang 55
Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, suatu makalah tidak bertanggal, 2005, hal. 3 dalam Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal. 69
Universitas Sumatera Utara
mencantumkan kata ‘konsumen’ di dalamnya, akan tetapi di beberapa undangundang lain disebutkan pula kata ‘setiap orang, manusia, dan masyarakat’. Namun, pengertiannya tetap saja mengandung makna konsumen, karena seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya dalam pengertian konsumen terkandung juga pengertian kata ‘setiap orang, manusia, dan masyarakat’. Berikut akan dijelaskan ketentuan sanksi pidana bagi pelanggar hak-hak konsumen, masyarakat, manusia yang terkandung dalam undang-undang yang telah disebutkan di atas sebagai berikut :
F. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang ini, yang dimaksud dengan metrologi legal adalah metrologi yang mengelola satuan-satuan ukuran, metodametoda pengukuran dan alat-alat ukur, yang menyangkut persyaratan teknik dan peraturan berdasarkan Undang-undang yang bertujuan melindungi kepentingan umum dalam hal kebenaran pengukuran. Undang-undang ini memang tidak ada penyebutan kata konsumen sebagai pengguna barang dan jasa, akan tetapi isi dari Undang-undang ini menyiratkan perlindungan terhadap konsumen sebagai penikmat barang, dimana setiap barang yang hendak dipasarkan, diedarkan, dijual, ditawarkan atau pun dipamerkan harus sesuai dengan prosedur sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Undang-
undang ini maupun peraturan pelaksananya. Undang-undang ini diperuntukan guna melindungi kepentingan umum sebagai penikmat barang.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang ini menyebutkan adanya perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang dilarang tersebut dibedakan antara yang tergolong dengan kejahatan dan pelanggaran. Menurut Pasal 33 ayat (1) termasuk kejahatan adalah: 1. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 25, dilarang mempunyai, menaruh, memamerkan, memakai atau menyuruh memakai: a. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengakapannya yang bertanda batal; b. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang tidak bertanda tera sah yang berlaku atau tidak disertai keterangan pengesahan yang berlaku; c. alat-alat ukur, takar, timbang, dan atau perlengkapannya yang tanda teranya rusak; d. alat-alat ukur, takar, timbang, dan atau perlengkapannya yang setelah dilakukan perbaikan atau perubahan yang dapat mempengaruhi panjang, isi, berat atau penunjukkannya, yang sebelum dipakai kembali tidak disahkan oleh pegawai yang berhak; e. alat-alat ukur, takar, timbang, dan atau perlengkapannya yang panjang, isi, berat atau penunjukkannya menyimpang dari nilai yang diizinkan; f. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang mempunyai tanda khusus yang memungkinkan orang menentukan ukuran, takaran, atau timbangan menurut dasar dan sebutan lain daripada yang dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7;
Universitas Sumatera Utara
g. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya untuk keperluan lain di tempat usaha, di tempat untuk menentukan ukuran atau timbangan untuk kepentingan umum, di tempat melakukan penyerahan-penyerahan, di tempat menentukan pungutan atau upah yang didasarkan pada ukuran atau timbangan. 2. Ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal 26, yaitu menawarkan untuk dibeli, menjual, menawarkan untuk disewa, menyewakan, mengadakan persediaan untuk dijual, disewakan atau diserahkan atau memperdagangkan secara bagaimanapun juga alat ukur, takar, timbang, dan atau alat perlengkapannya yang bertanda tera batal, yang tidak bertanda tera sah, yang tanda jaminannya rusak. 3. Ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal 27 yaitu memasang alat ukur, alat penunjuk atau alat lainnya sebagai tambahan pada alat-alat ukur, takar atau timbang yang sudah ditera atau yang sudah ditera ulang serta alat-alat ukur, takar atau timbang yang diubah atau ditambah yang tidak ditera atau tidak ditera ulang. Sedangkan yang termasuk dalam pelanggaran adalah sebagaimana yang termuat dalam Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-undang ini yaitu dilarang: 1. menjual, menawarkan untuk dibeli, atau memperdagangkan dengan cara apapun juga, semua barang menurut ukuran, takaran, timbangan atau jumlah selain menurut ukuran yang sebenarnya, isi bersih, berat bersih atau jumlah yang sebenarnya; dan
Universitas Sumatera Utara
2. membuat, mengedarkan, membungkus atau menyimpan untuk dijual, atau menawarkan untuk dibeli, semua barang dalam keadaan terbungkus yang ukuran, isi bersih,berat bersih atau jumlah hitungannya kurang daripada yang tercantum pada bungkus atau labelnya, atau yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 22 Undang-undang ini. Ketentuan pidana yang terdapat dalam undang-undang ini terdapat dalam pasal 32 sampai dengan Pasal 35, bunyi lengkap pasal-pasal tersebut adalah : Pasal 32 1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tercantum dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-undang ini dipidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). 2) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tercantum dalam Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-undang ini dipidana penjara selama-lamanya 6 (enam) bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). 3) Pelanggaran terhadap perbuatan yang tercantum dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 129 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang ini dipidana kurungan selamalamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 33 Undang-undang ini hanya menyebutkan tentang pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dan mengenai perampasan barang yang menjadi bukti kejahatan atau pelanggaran yang dapat dirampas untuk kepentingan negara. Pasal
34
Undang-undang
ini
menyebutkan
bahwa
adanya
pertanggungjawaban korporasi dimana pihak yang dapat dituntut dengan hukuman adalah : a. Pengurus, apabila berbentuk badan hukum; b. Sekutu aktif, apabila berbentuk persekutuan /perkumpulan orang-orang;
Universitas Sumatera Utara
c. Pengurus, apabila berbentuk yayasan; d. Wakil atau kuasanya di Indonesia, apabila kantor pusatnya berkedudukan di luar wilayah Republik Indonesia. Undang-undang ini telah menjamin kepentingan konsumen yang dalam kesehariannya selalu berhubungan dengan pasar yang menuntut untuk terus mengkonsumsi barang di pasaran baik dalam bentuk kemasan maupun dalam bentuk timbangan (tidak dikemas). Undang-undang ini menuntut untuk adanya sikap jujur kepada pelaku usaha dalam membuat, memasarkan, mengedarkan, mempromosikan suatu barang dan kegiatan lain yang sejalan dengan itu.
G. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Kegiatan usaha perasuransian, khususnya usaha asuransi, merupakan jenis yang termasuk dalam kategori kegiatan usaha yang sangat diatur oleh pemerintah. Hal ini dilakukan karena usaha asuransi sangat berkaitan dengan pengumpulan dana masyarakat. Namun, meskipun kegiatan usaha perasuransian telah berlangsung cukup lama, kita baru mempunyai Undang-undang yang khusus mengatur mengenai jenis kegiatan usaha ini sejak tanggal 11 Februari 1992, yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. 56 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan asuransi ataupun pertanggungan adalah “Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hokum kepada 56
http://www.djlk.depkeu.go.id/asuransi/hal_3.htm, diakses hari Rabu, 27 Januari 2009
Universitas Sumatera Utara
pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang mungkin timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan ata meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”
Keterikatan hubungan konsumen (tertanggung/pemegang polis) dengan pihak perusahaan asuransi jiwa (penanggung) muncul sejak adanya kata sepakat dari pihak konsumen kepada perusahaan asuransi. Secara umum, inilah yang disebut perjanjian konsensual.terbitnya polis menandakan secara serta merta, konsumen tunduk pada ketentuan/syarat-syarat umum polis yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan asuransi. 57 Hubungan hukum yang terjadi dalam penyelenggaraan asuransi adalah antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis. 58 Ketentuan pidana dalam Undang-undang ini terdapat dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 24. Perbuatan yang dilarang dan dapat dihukum pidana adalah: a. Pasal 21 menyebutkan bahwa “menjalankan atau menyuruh menjalankan kegiatan usaha perasuransian tanpa izin usaha dari Menteri, kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial diancam pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah)”; b. Pasal 22 menyebutkan bahwa “menggelapkan premi asuransi diancam pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah)”; c. Pasal 23 menyebutkan bahwa “menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan dan atau menggunakan tanpa hak kekayaan Perusahaan Asuransian Jiwa atau Perusahaan Asuransi Kerugian, atau Perusahaan Reasuransi diancam pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah)”;
57
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 157 58 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 39
Universitas Sumatera Utara
d. Pasal 22 menyebutkan bahwa “menerima, menadah, mengagunkan, membeli, atau menjual kembali kekayaan perusahaan yang diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa barang-barang tersebut adalah kekayaan perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan reasuransi diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”; e. Pasal 23 menyebutkan bahwa “melakukan pemalsuan atas dokumen kekayaan perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan reasuransi diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”; f. Pasal 24 menyebutkan bahwa perusahaan asuransi yang tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang perasuransian serta peraturan pelaksananya;
Hal sebagaimana disebutkan dalam point a merupakan jenis kejahatan. Seluruh tindak pidana tersebut di ancam hukuman penjara dan hukuman denda. Jadi, ketentuan sanksi pidananya merupakan pidana kumulatif, dimana pelakunya dikenakan ancaman hukuman pidana serta pidana denda sekaligus. Namun bagi perusahaan asuransi yang melanggar ketentuan Undang-Undang serta peraturan pelaksananya dikenakan sanksi administratif, ganti rugi atau denda. Dalam Point a diatas, Pihak yang dapat dimintai pertanggungjawabanya adalah orang
perorangan baik
atas nama
diri sendiri
maupun
yang
mengatasnamakan badan usaha yang merupakan badan hokum maupun yang bukan badan hukum. Seluruh perbuatan yang dilarang dalam Undang-undang Usaha Perasuransian dan dapat dikenakan sanksi pidana merupakan bentuk perlindungan terhadap nasabah perasuransian. Peta permasalahan yang dialami konsumen asuransi jiwa dapat diringkaskan berikut ini: 59 1. Penyelewengan uang pembayaran premi konsumen oleh petugas asuransi, yang berakibat dilakukannya ‘pemutihan’ polis asuransi konsumen dengan
59
Yusuf Shofie, Op. Cit., hal. 163
Universitas Sumatera Utara
kondisi yang baru. Premi yang akan dibayarkan menjadi lebih tinggi dari sebelum dilakukan pemutihan. 2. ketidakadilan substansi syarat-syarat/ketentuan umum polis, yaitu: bila tertanggung mengalami kecelakaan yang berakibat cacat tetap sebagian, diberikan santunan sesuai persentase dalam table polis, sebaliknya bila berakibat cacat total tetap, tidak diberikan santunan apapun; 3. penetapan atau pematokan kurs secara sepihak terhadap klaim bilai tunai (menjual polis) dan klaim jatuh tempo (berakhirnya masa pertanggungan) pada polis asuransi jiwa yang dipertanggungkan dengan mata uang asing, padahal polis dan syarat-syarat ketentuan umum polis menentukan bahwa pembayaran premi asuransi atau klaim asuransi diperhitungkan menurut kurs tengah Bank Indonesia.
H. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Menurut Pasal 1 angka 1 UU Pangan, yang dimaksud dengan Pangan adalah : “Segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dala proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.”
Manusia dalam kesehariannya selalu berhubungan dengan pangan sebagai pemenuhan kebutuhan agar dapat bertahan hidup. Masyarakat merupakan korban
Universitas Sumatera Utara
dari perilaku pelasu usaha yang tidak/kurang teliti dalam memproduksi bahan makanan, seperti dalam hal keracunan makanan. Kasus keracunan makanan di Indonesia biasanya diberikan santunan, bukan ganti rugi. Santunan lebih bermotif belas kasihan yang pelaksanaannya tidak bias dipaksakan, artinya pemberian sejumlah uang kepada korban bukan merupakan kewajiban melainkan lebih karena kepedulian atau kebaikan hati. Santunan dalam kasus keracunan makanan semakin memperlemah posisi korban. Korban/konsumen seolah ibarat objek yang lemah, perlu dikasihani, disini terjadi objektifitas terhadap korban. Padahal, antara korban dan produsen, masing-masing melekat hak dan kewajiban. 60 Undang-undang ini sendiri lahir mempunyai tujuan (Pasal 3), yaitu : a. tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia; b. terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab; dan c. terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. UU Pangan tidak menyebutkan kata konsumen secara gamblang, tapi konsumen digantikan dengan kata ‘setiap orang’ yang mana pengertian setiap orang ini terdapat dalam Pasal 1 angka 18, yaitu setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak. Subjek hukum dalam UU ini berbeda dengan subjek dalam KUHP, karena KUHP hanya menyebutkan manusia sebagai subjek hukumnya, sedangkan badan usaha
60
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 1996, hal. 42-43
Universitas Sumatera Utara
belum termasuk pihak yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya dalam KUHP. Ketentuan sanksi pidana termuat juga dalam Pasal 55 sampai dengan Pasal 59 UU Pangan. Berikut ini akan dijelaskan satu per satu: 1. Pasal 55 Pasal ini memuat ketentuan sanksi pidana penjara berupa pidana penjara paling lama 5 (lima tahun) dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) barang siapa yang dengan sengaja: a. menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; b. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan atau menggunakan bahan tambahan pangan secara melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 10 ayat (1); c. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan dan atau bahan apapun yang dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1); d. mengedarkan pangan yang dilarang untuk diedarkan, sebagaimana dikmaksud dalam Pasal 21 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e; e. memperdagangkan pangan yang dilarang untuk diedarkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a; f. memperdagangkan pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama dengan mutu pangan yang dijanjikan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 26 huruf b; g. memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi mutu pangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c; h. mengganti, melabel kembali atau menukar tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa pangan yang diedarkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
Pasal 55 terdapat unsur kesengajaan dari si pelaku. Dilihat berdasarkan isi Pasal 55 tersebut di atas, maka dapat dikualifikasikan tindakan yang dilarang dan dapat dikenakan ancaman pidana seperti :
Universitas Sumatera Utara
a. menyelenggarakan proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan yang tidak memenuhi syarat; b. menggunakan bahan tambahan pangan yang terlarang atau melampaui batas maksimal yang ditetapkan; c. menggunakan bahan kemasan pangan yang
dilarang dan dapat
membahayakan kesehatan manusia; d. mengedarkan pangan yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia; mengandung cemaran yang melampaui batas maksimal yang ditetapkan; mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam proses produksi; mengandung bahan kotor, busuk, tengik, terurai atau mengandung bahan nabati yang berpenyakit dan atau dari bangkai sehingga pangan tidak layak dikonsumsi; pangan yang sudah kadaluwarsa; e. memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya,
pangan yang mutunya tidak
sama dengan yang dijanjikan; pangan yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi mutu pangan; f. mengganti, melabel kembali atau menukar tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa pangan yang diedarkan. 2. Pasal 56, menentukan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah), bagi barangsiapa yang karena kelalaiannya: a. menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 8;
Universitas Sumatera Utara
b. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan atau menggunakan bahan tambahan pangan secara melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1); c. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan dan atau apa pun yang dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1); d. mengedarkan pangan yang dilarang untuk diedarkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, atau huruf e.
Berbeda dengan Pasal 55 di atas, dalam Pasal 56 ini seseorang dihukum karena kelalaiannya. Pasal 26 huruf a, huruf b, dan huruf c serta pasal 32 yang terdapat dalam Pasal 55 diatas, tidak termasuk kelalaian dalam Pasal 56 ini. 3. Pasal 57 menyebutkan bahwa pasal 55 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d serta Pasal 56 yang telah disebutkan di atas merupakan jenis pelanggaran dan apabila meimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, pidananya dapat ditambah seperempat atau apabila menimbulkan kematian ditambah sepetiga dari pidana pokok. 4. Pasal 58 Pasal ini akan menghukum dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah) bagi barangsiapa yang : a. menggunakan suatu bahan sebagai bahan tambahan pangan dan mengedarkan pangan tersebut secara bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 11; b. mengedarkan pangan yang diproduksi atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika, tanpa lebih dahulu memeriksakan keamanan pangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
Universitas Sumatera Utara
c. menggunakan iradiasi dalam kegiatan atau proses produksi pangan tanpa izin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); d. menggunakan suatu bahan sebagai kemasan pangan untuk doedarkan secara bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 17; e. membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan memperdagangkannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1); f. mengedarkan pangan tertentu yang diperdagangkan tanpa lebih dahulu diuji secara laboratories, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2); g. memproduksi pangan tanpa memenuhi persyaratan tentang gizi pangan yang ditetapkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4); h. memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan tanpa mencantumkan label, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 atau pasal 31; i. memberikan keterangan atau pernyataan secara tidak benar dan atau menyesatkan mengenai pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label dan atau iklan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2); j. memberikan pernyataan dan keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai menurut persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1); k. memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia pangan yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksananya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2); l. menghambat kelancaran proses pemeriksaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53.
5. Pasal 59 terdapat lima hal yang dapat dikenakan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 480.000.000,00 (empat ratus delapan puluh juta rupiah), yaitu bagi barangsiapa yang : a. tidak menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan yang memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan, dan atau keselamatan manusia, atau tidak menyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala, atau tidak menyelenggarakan pengawasan atas pemenuhan persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; b. tidak memenuhi persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; c. tidak melaksanakan tata cara pengemasan pangan yang ditetapkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3);
Universitas Sumatera Utara
d. tidak menyelenggarakan sistem jaminan mutu yang ditetapkan dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1); e. tidak memuat keterangan yang wajib dicantumkan pada label, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) Perlindungan terhadap korban juga dapat dilihat dengan adanya pemberian ganti rugi sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) bagi setiap orang yang dirugikan kesehatannya atau kematian yang ditimbulkan (Pasal 41 ayat (5)). Dalam ketentuan sanksi pidana Undang-undang Pangan ini juga sama dengan pada Undang-Undang Kesehatan, yaitu menganut double track system dan menerapkan pidana maksimal. Selain sanksi pidana, pemerintah juga menerapkan tindakan administratif yang tercantum dalam Pasal 54 UU Pangan yang berbunyi: (1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pelanggaran ketentuan undang-undang ini. (2) Tindakan administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa: a. peringatan secara tertulis; b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran apabila terdapat risiko tercemarnya pangan atau pangan tidak aman bagi kesehatan manusia; c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; d. penghentian produksi untuk sementara waktu; e. pengenaan denda paling tinggi Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); dan atau f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.
I. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di zaman era perdagangan bebas sekarang ini, menimbulkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat dan perbuatan monopoli yang merupakan
Universitas Sumatera Utara
gambaran telah terjadinya konsentrasi kekuatan ekonomi yang dikontrol oleh beberapa pihak saja. Konsentrasi pemusatan kekuatan ekonomi oleh beberapa pelaku usaha memberikan pengaruh buruk pada kepentingan umum dan masyarakat. Hal ini disebabkan karena konsentrasi pemusatan kekuatan ekonomi secara langsung akan berakibat pada pasar dan keinginan untuk bersaing. 61 Hal tersebut tentu saja merugikan masyarakat sebagai konsumen karena kehilangan kesempatan untuk membeli suatu produk dengan harga yang bersaing dan terbatasnya akses pilihan untuk mendapatkan barang dengan kualitas terbaik, pasokan juga terbatas serta pilihan yang kurang beraneka ragam. 62 Menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 5 Tahun 1999 ini, yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap pemakai barang dan atau pengguna barang atau jasa sesuai kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain. Dalam Pasal undang-undang ini melarang pelaku usaha menggunakan posisi dominan untuk menyalahgunakan kedudukannya baik secara langsung ataupun tidak langsung. Penyalahgunaan ini dapat dilakukan melalui jabatan rangkap, pemilikan saham maupun melalui penggabungan, peleburan dan pengambilalihan. Pelaku usaha yang memiliki posisi dominant pada satu pasar dilarang menggunakan posisi dominant baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; 61
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hal. 5 62 Ibid., hal. 6
Universitas Sumatera Utara
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Undang-undang ini terdiri dari tiga jenis sanksi, yaitu : 1. tindakan administratif yang terdapat dalam Pasal 47 ayat (2); Tindakan Administratif yang dapat diambil menurut ketentuan undang-undang adalah: 63 a. penetapan pembatalan perjanjian yang dilarang oleh Undang-undang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13, Pasal 15 dan Pasal 16 yaitu sebagai berikut : 1)
perjanjian untuk menguasai produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2)
perjanjian yang menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang bersangkutan yang sama;
3)
perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama;
4)
perjanjian yang membuat suatu penetapan harga dibawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat;
5)
perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau
63
Ahmad Yani dan Gunawan, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, Rajawali Press, Jakarta, 2006, hal. 66
Universitas Sumatera Utara
jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada
harga
yang
telah
diperjanjikan
sehingga
dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat; 6)
perjanjian yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
7)
perjanjian yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri;
8)
perjanjian dengan maksud untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
9)
perjanjian dengan tujuan untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
10) perjanjian kerjasama untuk membentuk gabungan perusahaan atau perseroan
yang
lebih
besar,
dengan
tetap
menjaga
dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat;
Universitas Sumatera Utara
b.
perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan pembuatan atau pelaksanaan perjanjian yang menyebabkan terjadinya integrasi vertikal yang antara lain dilaksanakan dengan pembatalan perjanjian, pengalihan sebagian perusahaan kepada pelaku usaha lain, atau perubahan bentuk rangkaian produksinya yang dilarang oleh ketentuan Pasal 14 Undang-undang; dan/atau
c.
perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat, berupa tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan; dan/atau
d.
perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominant; dan/atau
e.
penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28 Undang-undang; dan/atau
f.
pembayaran ganti rugi kepada pelaku usaha dan kepada pihak lain yang dirugikan; dan/atau
g.
pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
2. sanksi pidana pokok yang terdapat dalam Pasal 48: a. pelanggaran-pelanggaran
terhadap
ketentuan
Pasal
4
mengenai
penguasaan produksi, Pasal 9 mengenai pembagian wilayah, Pasal 10 yang
Universitas Sumatera Utara
bertujuan untuk menghalangi kegiatan usaha dari pelaku usaha lain, Pasal 11 mengenai pengaturan produksi, Pasal 12 mengenai pembentukan kartel usaha, Pasal 13 mengenai penguasaan pasokan secara bersama-sama oleh pelaku usaha, Pasal 14 tentang integrasi vertikal, Pasal 16 tentang perjanjian internasional yang dilarang, Pasal 17 tentang kegiatan monopoli, Pasal 18 tentang monopsoni, Pasal 19 mengenai kegiatan penguasaan pasar, Pasal 25 mengenai posisi dominant, Pasal 27 tentang kepemilikan saham mayoritas, dan pasal 28 tentang penggabungan, peleburan dan pengambil alihan saham, diancam pidana denda serendahrendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan. b. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 tentang penetapan harga secara bersama, Pasal 6 tentang perbedaan harga jual, Pasal 7 tentang penetapan harga di bawah harga pasar, Pasal 8 tentang penentuan batas atau patokan harga tertentu, Pasal 15 tentang perjanjian tertutup dengan pihak ketiga, Pasal 20 tentang penjualan rugi, Pasal 21 tentang perlakuan kecurangan dalam biaya produksi, Pasal 22 sampai dengan Pasal 24 tentang persekongkolan, dan Pasal 26 tentang jabatan rangkap diancap pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan
Universitas Sumatera Utara
c. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 mengenai pemeriksaan terhadap pelaku
usaha
diancam
pidana
1.000.000.000,00 (satu miliar
denda
rupiah)
serendah-rendahnya
dan
Rp
setinggi-tingginya Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan. 3. sanksi pidana tambahan yang terdapat dalam Pasal 49. Di luar sanksi pidana pokok yang dikenakan dalam Pasal 48 ayat (1) sampai dengan ayat 3 (tiga) Undang-undang tersebut di atas ketentuan pasal 49 Undang-undang menetapkan sanksi pidana tambahan dengan menunjuk pada ketentuan Pasal 10 KUHP, terhadap pidana yang dijatuhkan berdasarkan ketentuan Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa : a. pencabutan izin usaha; b. larangan kepada pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain. J. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Undang-undang Kesehatan tidak menggunakan istilah konsumen untuk pemakai, pengguna barang dan/atau pemanfaatan jasa kesehatan. Pengertian masyarakat sebagai mana yang dijelaskan dalam undang-undang ini diartikan
Universitas Sumatera Utara
meliputi perorangan, keluarga, kelompok masyarakat dan masyarakat secara keseluruhan. Masalah kesehatan merupakan masalah yang sangat penting dan erat kaitannya dengan masyarakat. Masyarakat adalah sebagai penikmat jasa di bidang kesehatan mempunyai hak yang dilindungi oleh undang-undang ini sebagaimana seperti yang tercantum dalam Pasal 4 UU Kesehatan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan. Setiap pelanggar dari pada UU Kesehatan ini dapat dikenakan sanksi pidana yang terdapat dalam Pasal 190 sampai Pasal 201 UU Kesehatan. Undang-undang Kesehatan ini telah mencakup seluruh perlindungan bagi masyarakat penikmat barang dan/atau jasa di bidang kesehatan. Kecenderungan kearah industri kesehatan terlihat adanya konflik antara profesi medis dengan profesi manajemen. Satu pihak, digunakan pemdekatan teknis medis, sedangkan di pihak lain ditekankan pada aspek manajerial. Kecenderungan tersebut mengakibatkan sebagian anggota masyarakat konsumen merasakan adanya ‘konflik’ dalam pelayanan kesehatan dalam bentuk perilaku profit oriented dalam pelayanan kesehatan. 64 Perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana menurut Undang-Undang Kesehatan ini adalah: a.
Dalam Pasal 190 ayat (1) disebutkan Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
64
Yusuf Shofie, Op. Cit., hal. 115
Universitas Sumatera Utara
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Dalam ayat (2) disebutkan apabila perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); b. Pasal 191: tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah); c. Pasal 192: dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); d. Pasal 193: dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); e. Pasal 194: dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); f. Pasal 195: dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
Universitas Sumatera Utara
g. Pasal 196: dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); h. Pasal 197: dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah); i.
Pasal 198: orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan
praktik
kefarmasian
pidana
denda
paling
banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah); j.
Pasal 199 ayat (1): memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
k. Pasal 199 ayat (2): melanggar kawasan tanpa rokok dipidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); l.
Pasal 200: menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif dipidana penjara
paling
lama
1
(satu)
tahun
dan
denda
paling
banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi, dapat dijatuhkan pidana denda dengan pemberatan tiga kali serta pidana tambahan berupa
Universitas Sumatera Utara
pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum sedangkan kepada pengurusnya dijatuhkan hukuman pidana penjara dan denda. Ketentuan
sanksi
pidana
dalam
Undang-Undang
Kesehatan
ini
menggunakan sistem kumulatif, yakni dengan menjatuhkan hukuman pidana penjara dan pidana denda kepada pelanggarnya. Pidana yang dikenakan itu merupakan pidana maksimum. Terdapatnya ancaman hukuman pidana yang tegas tersebut diharapkan dapat menanggulangi maraknya kasus tindak pidana di bidang kesehatan ini.
Universitas Sumatera Utara