BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN FILM
3.1
UPAYA
PERLINDUNGAN
KONSUMEN
FILM
DAN
PENEGAKKAN SANKSI HUKUMNYA Kualitas sebuah film ditentukan oleh kreatifitas dari para pelaku usaha perfilman yang menghasilkan ide cerita yang menarik yang dikemas dalam bentuk produk film/reklame film. Kreatifitas para sineas Indonesia pada saat ini berkembang sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produk film/reklame film yang dihasilkan tiap tahunnya semakin meningkat. Kreatifitas adalah hal yang penting dalam menciptakan suatu film, tetapi kreatifitas ini juga harus dibatasi, jangan kebablasan ada hakhak konsumen yang harus dilindungi. Dalam Pasal 4 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditetapkan hak-hak konsumen, seperti, a) hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; b) hak memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c) hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa; d) hak didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan; e) hak mendapatkan advokasi mengenai perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f) hak mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g) hak diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h) hak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i) hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
46
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
47
Sejalan dengan hal tersebut, dalam dunia perfilman hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen film sangatlah penting. Jangan sampai dampak negatif film/reklame film mengganggu kenyamanan, keamanan, dan keselamatan seseorang yang menontonnya. Dalam hal melindungi hak konsumen film tersebut Lembaga sensor film bekerja sama dengan pihak-pihak terkait seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), BP2N, Kepolisian, Pemerintah setempat, dan pihak-pihak lainnya. Untuk menjamin hak-hak konsumen, setiap pelaku usaha perfilman wajib menjalankan kegiatan usaha perfilmannya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perlindungan konsumen, Undang-undang Perfilman, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen pasal 7 diuraikan tentang kewajiban pelaku usaha antara lain: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
48
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasayang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Untuk kegiatan usaha perfilman kewajiban pelaku usaha yang tertuang dalam perlindungan konsumen yang paling pas dibahas adalah kewajiban pelaku usaha untuk menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Dalam hal ini suatu film yang diproduksi atau diedarkan harus memenuhi standar perfilman yang baik ysng telah lulus sensor sesuai pedoman dan kriteria penyensoran, karena masyarakat sebagai konsumen film berhak untuk memilih dan menikmati film yang bermutu.1 Hal ini juga sejalan dengan larangan bagi pelaku usaha
bahwa
pelaku
usaha
dilarang
memproduksi
dan/atau
memperdagangkan barang dan/ atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan.2 Selanjutnya kewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
atas
kerugian
akibat
penggunaan,
pemakaian
dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan adalah hal yang mutlak. Sebagai kompensasi ganti rugi bagi konsumen film, suatu film yang melanggar aturan produksi/ tayang, dapat diberikan sanksi administratif, ditarik dari peredaran, ataupun diberikan sanksi pidana bagi pelaku usahanya.3 Masyarakat sebagai konsumen sering tidak merasa dirugikan dengan siaran film/reklame film atau tayangan lainnya karena produk dan jasanya tidak dapat disentuh dan dirasakan langsung. Tetapi adakalanya masyarakat bersikap kritis atas hadirnya satu film/reklame film yang 1
Indonesia, Undang-undang Tentang Perfilman, UU No. 33 Tahun 2009, LN No.141 Tahun 2009, Pasal 45 huruf b 2 Indonesia, Undang-undang Perlindungan Konsumen.UU No 8 Tahun 1999, Pasal 8 ayat (1) huruf (a) 3 Ibid, Bab XI dan Bab XII
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
49
sifatnya
meresahkan
karena
didalam
film/reklame
film
tersebut
mengandung unsur-unsur yang tidak sesuai dengan norma-norma serta nilai-nilai luhur budaya bangsa yang dapat menimbulkan gangguan keamanan,
ketertiban,
ketentraman,
atau
keselarasan
kehidupan
masyarakat. Untuk menyampaikan aspirasi kritisnya sebagai konsumen tersebut umumnya masyarakat langsung melaporkan pengaduan kepada KPI.4 Berdasarkan data yang diperoleh dari KPI (lihat Lampiran I Arsip Pengaduan Konsumen Ke KPI), sekitar 73%
masyarakat sebagai
konsumen mengeluhkan tentang adegan kekerasan pada film, 12% mengeluhkan adegan yang berbau sex, 11%
mengeluhkan kesalahan/
ketidaktepatan jam tayang, dan sisanya sekitar 4% mengeluhkan masalah klasifikasi film tersebut dan lain-lain. Untuk menangani hal tersebut Komisi Penyiaran Indonesia memberikan sanksi berupa himbauan, permintaan klarifikasi, teguran, peringatan, dan penghentian tayangan film tersebut. Lihat Lampiran II, Rekap Teguran dan Himbauan 2009). Masih berdasarkan arsip pengaduan masyarakat dapat diketahui jenis film yang banyak diprotes adalah sinetron dan film anak-anak.5 Selain dapat melaporkan pengaduannya ke KPI, Pemerintah juga mengakomodir terjaminnya kepentingan konsumen film dalam Undangundang Perlindungan konsumen dengan membentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional6
4
5
Helen Nur Luthfia http://fyablog.wordpress.com/2007/08/22/ptk-dampak-negatif-film/ http//www.kpi.go.id.
6
Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No.8 Tahun 1999, LN No.42 Tahun 1999, TLN No.3821, ps 31.
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
50
Selanjutnya konsumen juga dapat mendatangi Sub direktorat (subdit) Pelayanan Pengaduan di direktorat Perlindungan Konsumen, Departemen Perdagangan.
Sebagaimana
dijelaskan dalam website
resminya, konsumen yang akan mengadukan masalahnya bisa melalui fasilitas sebagai berikut :7 a.
Melalui telepon Konsumen dapat mengadukan masalahnya melalui telepon kepada Direktorat Perlindungan Konsumen. Dan selanjutnya Direktorat Perlindungan
Konsumen
akan
menangani
segala
pengaduan
konsumen yang sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. b.
Datang langsung Konsumen bisa membawa permasalahannya langsung ke subdit pelayanan pengaduan di Direktorat Perlindungan Konsumen dengan terlebih dahulu mengisi formulir dan menguraikankronologis singkat permasalah yang dihadapi.
c.
Media massa Pengaduan melalui media massa, khusunya surat pembaca bisa diterima oleh Subdit Pelayanan Pengaduan Direktorat Perlindungan Konsumen. Surat pembaca itu harus memiliki identitas, masalah Yang diajukan mengandung gejolak sosial, apa yang dilakukan berdampak
pada
keamanan,
kenyamanan
dan
keselamatan
konsumen, surat pembaca itu dikumpulkan dalam bentuk kliping sebagai data awal yang akurat, dan perlu mengundang kedua bel;ah pihak baik konsumen maupun pelaku usaha. d.
Internet Pengaduan lewat internet juga diperbolehkan. Pengaduan lewat internet akan ditindaklanjuti dengan cara mengklasifikasikan apa permasalahannya, dilakukan pengecekan identitas agar jelas siapa yang mengadukan, atau bisa juga ditanggapi melalui internet.
7
www. depdag.go.id direktorat/perlindungan+konsumen/
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
51
e.
Bentuk Pengaduan Konsumen bisa mengadukan haknya ke Subdit Pelayanan Pengaduan di direktorat Perlindungan Konsumen, baik dalam bentuk pengaduan tertulis maupun pengaduan secara lisan. Dalam bidang perfilman, biasanya kerugian yang dialami oleh
konsumen bukanlah bersifat ekonomis sehingga kuranglah efektif jika konsumen mengadukan kepada badan penyelesaian sengketa konsumen kecuali jika gugatan yang diajukan tersebut dilakukan oleh sekelompok masyarakat karena banyak biaya dan juga waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen tersebut. Selain itu terdapat banyak faktor posisi yang melemahkan konsumen 8antara lain, menurut hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), faktor-faktor yang melemahkan konsumen yaitu :9 1.
Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya.
2.
Belum
terkondisinya
masyarakat
konsumen
karena
sebagai
masyarakat belum tahu akan hak-hak dan kemana haknya disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekeurangan dari standar barang dan jasa yang sewajarnya. 3.
Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang mempunyai kemauan menuntut hak-haknya.
4.
Proses peradilan yang ruwet dan waktu yang berkepanjangan.
5.
Posisi konsumen yang lemah. Kalau diamati dalam pola sosial yang terjadi, faktor-faktor tersebut
diatas dapat ditambahkan dalam wujud berikut : 1.
Politik pembangunan dinegara kita lebih meleluasakan pelaku usaha, berupa melonggarkan norma-norma hukum dalam penerapan dan penaatan hukum konsumen
8
Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan tanggung jawab produk; Panta Rei. Jakarta. 2005. hal.42-43 9 Nasution, AZ. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar; Daya Widya.1999
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
52
2.
Tidak konsistennya badan peradilan atas putusan-putusannya, dimana kerap terjadi perbedaan putusan pengadilan dalam kasuskasus yang serupa10
3.
Sistem hukum kita masih belum banyak menjamah dan merumuskan kebijakan untuk melindungi konsumen
4.
Tarik-menarik berbagai kepentingan di antara para pelaku ekonomi yang bukan konsumen, pihak mana memiliki akses kuat dalam pelbagai lini, tidak terkecuali kepada pengambil keputusan. Figur ini secara sosiologis berada diluar jangkauan hukum.11 Untuk mengurangi keresahan masyarakat atas kerugian terhadap
peredaran suatu film, LSF tidak punya wewenang menarik film dari peredaran. LSF hanya punya wewenang membatalkan Surat Lulus Sensor (SLS) yang telah dikeluarkan.12 Yang punya wewenang melarang film diedarkan, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan diseluruh atau sebagian wilayah administrasi hanyalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah setempat setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari instansi terkait. Selain itu film dapat ditarik dari peredaran oleh Menteri ( dalam hal ini adalah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) setelah mendengar pertimbangan dan saran tertulis dari badan yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam masalah perfilman (dalam hal ini BP2N). Ketentuan tersebut diatur dalam penjelasan Undang-undang Perfilman No.8 Tahun 1992 Pasal 38 dan Peraturan pemerintah No.6 Tahun 1994 Pasal 33.
10
Nasution, AZ, Konsumen dan Hukum; Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995. Nusantara, Abdul Hakim G dan Benny K Harman, Analisa dan Perbandingan Undang-undang Anti Monopoli, PT.Elex Media,Jakarta, 2001. 12 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Lembaga Sensor Film, PP No 7 Tahun 1994. Ps 6 huruf e 11
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
53
Untuk tertibnya peredaran film di tengah masyarakat selain sanksi administratif ada pula sanksi pidana terhadap pelanggaran sensor atau terkait dengan tugas sensor diatur dalam berbagai peraturan, diantaranya: a.
Undang-Undang Tentang Perfilman (Pasal 78,79,80) Dalam hal Pelanggaran sensor film dapat diberikan Sanksi administratif dan sanksi Pidana. Sanksi administratif dapat berupa teguran tertulis, denda administratif, penutupan sementara; dan/atau pembubaran atau pencabutan izin. Sanksi pidananya yaitu bagi setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan, menjual, menyewakan, atau mempertunjukkan kepada khalayak umum, film tanpa lulus sensor padahal diketahui atau patut diduga isinya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).13
b.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1994 (pasal 48) 1.
Perusahaan pertunjukkan film dan perusahaan penayangan film
atau
penyelenggara
pertunjukkan
film
yang
mempertunjukkan atau menayangkan film yang tidak sesuai dengan
ketentuan
penggolongan
usia
penonton
yang
ditetapkan oleh Lembaga Sensor Film bagi film yang bersangkutan atau tidak memberitahukan ketentuan golongan usia penonton yang ditetapkan oleh Lembaga Sensor Film bagi film yang bersangkutan, maka dikenakan denda
13
Pasal 6 Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang: a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; b. menonjolkan pornografi; c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan; d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilainilai agama; e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau f. merendahkan harkat dan martabat manusia
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
54
administrasi sebesar Rp.2.000.000,- untuk setiap pertunjukan atau penayangan film. 2.
Perusahaan pertunjukan film dan perusahan penayangan film atau penyelenggara pertunjukkan film yang melakukan tindak pelanggaran tersebut sampai tiga kali, maka akan dikenakan sanksi pencabutan izin usaha perfilman yang dimilikinya.
3.
Perusahaan penayangan film yang menayangkan film tanpa memperhatikan waktu yang sesuai dengan penggolongan usia penonton, maka dikenakan denda administasi sebesar Rp. 2.000.000,-.
4.
Perusahaan
penayangan
film
yang melakukan
tindak
pelanggaran tersebut sampai 3 (tiga) kali, maka dikenakan pencabutan izin usaha perfilman yang dimilikinya.
3.2
LEMBAGA
SENSOR
MASYARAKAT
FILM
DARI
SEBAGAI
DAMPAK
PELINDUNG
NEGATIF
YANG
DITIMBULKAN OLEH FILM. Salah satu institusi penting dalam mata rantai peredaran produk media citra bergerak (audiovisual) untuk konsumsi publik adalah Lembaga Sensor Film (LSF). Betapa pentingnya lembaga ini memang bertugas untuk melindungi masyarakat dari pengaruh buruk karya kreatif audiovisual. Dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari hampir tidak ada hari yang terlewat oleh seseorang tanpa menonton tayangan baik film, iklan film, berita, atau tayangan-tayangan yang lain. Setiap orang pasti menghabiskan beberapa jam bahkan hampir seharian duduk dan menikmati tayangan –tayangan itu. Televisi menyuguhkan berbagai acara yang beragam dan menarik tanpa kompromi. Artinya, ia hadir di tengahtengah kita dengan sukarela, kapanpun kita ingin menikmatinya, kita hanya menekan sebuah tombol. Ditambah lagi dengan hadirnya 11 stasiun televisi nasional, seolah tidak ada kata bosan, kita merelakan setiap hari waktu kita bersamanya. Kita dapat mengetahui karakter masyarakat
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
55
bangsa kita sendiri dengan ditunjukkan oleh “kegemaran” masyarakat akan program tayangan di televisi. Secara eksplisit diungkapkan, kita tidak dapat mungkiri bahwa masyarakat menyenangi tayangan berbau kekerasan, seks, dan dunia gaib. Tentu tidak bijak menyalahkan masyarakat jika menyenangi tayangan berselera rendah itu. Tanggung jawab moral mengambil peran besar membentuk karakter masyarakat. Tetapi tentu bisnis perfilman adalah permasalahan keuntungan, tanggung jawab moral dibebankan kepada masyarakat untuk menyeleksi sendiri tayangan film yang sesuai “kebaikan” untuk dirinya sendiri. 14 Pengaruh positif tayangan-tayangan televisi terhadap kehidupan kita cukup banyak diantaranya yaitu memudahkan kita untuk mengakses berbagai informasi yang kita butuhkan dengan cepat. Lalu bagaimana dengan pengaruh negatifnya. Kita dapat melihat beberapa pengaruh negatif film yang tentunya dikemas dalam tayangan menarik, misalnya, tayangan berbagai sinetron dengan menampilkan imajinasi kekuatan dunia gaib seperti peri, jin dan makhluk gaib yang membantu tokoh utama untuk “mengalahkan” lawannya, yang biasanya diperuntukkan untuk anak-anak. 15
Tentu saja pihak pengusaha perfilman berharap, ada bimbingan orang tua kepada anak terhadap tayangan ini. Tapi biasanya ini jarang terjadi karena orangtua di Indonesia justru membiarkan anaknya sendiri menonton
televisi
agar
tidak
mengganggu
kegiatannya.
Dapat
dibayangkan, imajinasi anak akan berkembang seperti dalam sinetron itu dan hal itu jelas-jelas bertentangan dengan realitas. Ditambah lagi maraknya penayangan infotainment, anak dapat dengan mudah mengetahui masalah orang dewasa. Misalnya, percintaan, perselingkuhan, perceraian, dan lain-lain yang membuat cara berpikir anak seolah jauh di atas usia mereka yang sebenarnya. Namun tanpa konsep
14 15
Helen Nur Luthfia, Opcit. Ibid
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
56
berpikir yang benar dan tanpa melalui tahapan proses berpikir yang berjenjang. Pengaruh negatif usaha perfilman lewat sikap hidup konsumtif mencengkeram ABG (anak baru gede), yang harus senantiasa mengikuti mode. Tentu saja ini semua menuntut biaya yang tinggi. Sampai-sampai beberapa ABG yang memaksa diri hidup dengan standar sedemikian tinggi, menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginannya. Kecenderungan lain adalah anak-anak dan para remaja merasa bergengsi bila makan makanan yang sering muncul di dalam film-filim di layar TV. Makanan fast food seperti fried chiken, pizza, hamburger, dan jenis makanan lainnya yang di negara asalnya merupakan makanan biasa menjadi makanan luar biasa (bergengsi). Anak-anak mulai tahu bahkan paham betul merek-merek dagang terkenal dan lux, termasuk merk mobil atau hp yang mungkin mustahil terjangkau oleh kocek orang tuanya. Lebih mengkhawatirkan lagi mereka lebih suka nonton tayangan film di depan TV, dibandingkan belajar, membaca, atau mengerjakan pekerjaan rumah dari gurunya. Hal-hal itu semua mereka lihat dan pelajari dari tayangan sinetron dan film, yang mengisahkan gaya hidup mewah tanpa disertai latar belakang memadai tentang kerja keras dan jujur untuk mencapai kesuksesan. Dapat disimpulkan, ada proses belajar sosial di tengah masyarakat dan guru yang paling baik dan menarik adalah tayangantayangan di televisi seperti film, berita ataupun iklan. 16 Tayangan film untuk anak-anak juga tidak bisa dipisahkan dengan film kartun, karena jenis film ini sangat populer di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa yang menyukai film ini. Jika kita perhatikan, film kartun masih didominasi oleh produk film import. Tokoh seperti Batman, Superman, Popeye, Mighty Mouse, Tom and Jerry, atau Woody Woodpecker begitu akrab di kalangan anak-anak. Begitu pula film kartun Jepang, seperti Doraemon, Dragon Ball, dst. sangat populer dan bahkan mendominasi tayangan film di stasiun televisi kita. Sayangnya 16
Ibid
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
57
dibalik keakraban tersebut tersembunyi ancaman. Jika kita perhatikan dalam film kartun yang bertemakan kepahlawanan misalnya, pemecahan masalah tokohnya cenderung dilakukan dengan cepat dan mudah melalui tindakan kekerasan. Cara-cara seperti ini relatif sama dilakukan oleh musuhnya (tokoh antagonis). Ini berarti tersirat pesan bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan. Idealnya, para orang tua selalu menjadi pendamping anak dalam menonton film. Acara-acara mana yang pantas ditonton mereka. Begitu pula mereka diberikan penjelasan mengenai adegan/peristiwa dalam film termasuk adegan fiktif. Namun masalahnya, apakah sanggup para orang tua mendampingi putra-putrinya nonton TV. Kini si kecil dimungkinkan nonton setiap saat dengan berbagai acara termasuk film adegan kekerasan/sadisme. Sementara itu para orang tua sibuk dengan tugas pekerjaan sehari-harinya. 17 Gencarnya tayangan televisi yang dapat dikonsumsi oleh anakanak membuat khawatir masyarakat terutama para orang tua. Karena manusia adalah mahluk peniru dan imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada anak-anak dan remaja. Kekhawatiran orang tua juga disebabkan oleh kemampuan berpikir anak masih relatif sederhana. Mereka cenderung menganggap apa yang ditampilkan dalam film sesuai dengan yang sebenarnya. Mereka masih sulit membedakan mana perilaku/tayangan yang fiktif dan mana yang memang kisah nyata. Mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan nilai dan norma agama dan kepribadian bangsa. Adegan kekerasan, kejahatan, konsumtif, termasuk perilaku seksual diduga kuat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku rakyat. Dampak film terhadap perilaku anak-anak, telah lama menjadi perhatian berbagai kalangan dalam masyarakat. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa perilaku kejam dan agresif pada anak-anak banyak dipengaruhi oleh adegan dan pesan yang disajikan dalam film. Diantara kalangan tersebut juga ada yang menuduh bahwa film merupakan satu 17
Ibid
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
58
media yang menyebabkan masuknya budaya asing ke dalam budaya asli sehingga mengancam kelestariannya. Sedangkan, sebagian lainnya menganggap bahwa film dapat dimanfaatkan sebagai media pendidikan anak-anak. Adanya pendapat dan anggapan yang bersifat pro dan kontra menyangkut dampak film terhadap perilaku anak-anak telah mendorong para ahli dan peneliti untuk mengembangkan teori-teori dan mempelajari masalah tersebut secara lebih mendalam.18 Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan dampak film terhadap perilaku penontonnya adalah teori belajar melalui pengamatan (observational learning theory) yang dikembangkan oleh Bandura (1963) . Teori ini didasari oleh asumsi bahwa anak-anak dapat belajar mengenai perilaku tertentu dengan cara mengamati perilaku orang lain yang dicontohkan dalam film dan pada kondisi tertentu meniru contoh perilaku tersebut. Menurut teori ini, contoh perilaku yang disajikan dalam film dapat meningkatkan kemungkinan dilakukannya perilaku tersebut oleh anak-anak yang mencontohnya, tidak saja dengan cara memberikan kesempatan kepada mereka untuk belajar perilaku tertentu, akan tetapi juga dengan cara menunjukkan tokoh-tokoh yang melakukan contoh perilaku tersebut. Proses belajar mendasar yang dilalui anak-anak dalam mempelajari semua bentuk perilaku baru juga dapat mempelajari pola perilaku baru dengan cara mengamati perilaku orang lain disekelilingnya, anak-anak juga dapat mempelajari bentuk-bentuk perilaku baru dengan mengamati tokoh-tokoh dalam film.19 Disamping teori tersebut, terdapat juga beberapa teori yang dapat digunakan uuntuk menjelaskan dampak film terhadap perilaku anak-anak. Di antaranya adalah teori katarsis atau penyaluran (catharsis theory) yang dikembangkan oleh Fesbach (1961), teori rangsangan kekerasan (aggresive cues theory) yang dikembangkan oleh Berkowitz (1992) , teori 18
Ibid Bandura, Albert. Psychological Mechanism of Agression. Dalam G.Gaen dan Edward I Donnerstein (eds), Aggression, Theoritical and Empirical Review (Volume I). New York: Academic Press,1983. 19
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
59
penguatan (reinforcement theory) yang dikembangkan oleh Klapper (1960),
dan
teori
penanaman
konsep
(cultivation
theory)
yang
dikembangkan oleh George Gerbner. Secara umum, teori-teori tersebut menjelaskan hubungan antara terpaan (exposure) contoh perilaku tertentu dengan perilaku yang dilakukan sasarannya.20 Film sebagai salah satu produk budaya, dapat dipahami sebagai suatu sistem referensi. Secara selektif film yang merupakan gabungan dari rekaman kenyataan dan pemberian bentuk dari daya imajinasi manusia (dewan film nasional, 1980 :17) dapat menjadi suatu pedoman bagi masyarakat yang menjadi pendukungnya, baik dalam melakukan tindakan sehari-hari maupun dalam usaha mengenal lingkungan dimana ia menjadi bagian darinya. Penafsiran makna film bersifat relatif dan subyektif karena banyak ditentukan oleh penafsiran pihak yang berkepentingan. Hal ini tidak lepas dari nilai, norma, dan pandangan hidup dari pemakainya21 Kondisi seperti ini yang menuntut agar Lembaga Sensor Film kiranya dapat berperan dalam melindungi konsumen dari dampak-dampak negatif film tersebut. Dalam hal ini Lembaga Sensor film melakukan penyensoran terhadap adegan-adegan yang bertentangan dengan nilai-nilai serta norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Berikut ini adalah deskripsi contoh potongan-potongan film yang disensor demi melindungi masyarakat Indonesia sebagai konsumen film dari dampak-dampak negative film tersebut:22 1. Film Tiga hari untuk selamanya (Three Days Forever) film diluluskan dengan potongan film pada tanggal 29 Desember 2006 untuk dewasa, panjang filmnya 2535 meter, yang LSF potong 59,1 meter. Antara lain yang dipotong proses penghisapan ganja, dialog vulgar, ciuman birahi,
20
Ibid Ibid 22 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 29/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang perfilman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2008. 21
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
60
adegan seorang perempuan muslimah berdoa secara katolik didepan arca bunda maria. 2.
Film Long Road to Heaven dengan panjang 3.282 meter dan yang dipotong oleh Lembaga sensor 16,2 meter atau 0,5% dari panjang film tersebut. Film ini dilarang dipertunjukkan di Provinsi Bali oleh pemerintah Bali karena akan membuka luka lama, memicu konflik horizontal yang berlatar belakang SARA dan menghambat recovery Bali.Adapun yang LSF potong ntara lain pemakaian ayat-ayat suci untuk melakukan pembunuhan melalui bom dan ada beberapa hal yaitu lakum dinukum waliyadin, agamaku adalah agamaku, agamamu adalah agamamu. Jiwa daripada ayat tersebut adalah kerukunan beragama. Hal ini antagonis sekali dengan apa yang dilakukan oleh mereka yang membacakan ayat tersebut justru melakukan pemboman dan menewaskan ratusan jiwa.
3. Film Gie , film ini cukup panjang 4.021 meter yang LSF potong 12 meter, yaitu adegan yang menampilkan penggunaan narkotika dan adegan ciuman So Hok Gie, sebagaimana diketahui adalah figure pejuang angkatan 1966. 4. Film Perempuan Punya cerita, panjangnya 3.156 meter dan dipotong oleh lembaga sensor sepanjang 102 meter atau 3,1% , adegan yang dipotong yaitu remaja dengan jilbab merokok di depan umum. 5. Film Jakarta Undercover, di dalamnya terdapat adegan-adegan erotis, striptease, perkosaan yang dilakukan beramai-ramai. Adegan ini merupakan pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 dan film itu juga memperlihatkan wadam yang disodomi. 6. Film Detik Terakhir didalamnya terdapat adegan seks sesame jenis yang berlawanan, dan itu adalah pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994. 7. Film Killing Me Softly, House of Wax, Saw adalah contoh film impor yang syarat dengan adegan-adegan yang tidak seronok dan kekerasan.
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
61
Adegan-adegan film tersebut diatas merupakan perwakilan cerminan perilaku masyarakat kita yang tidak baik, dan tidaklah pantas untuk ditonton oleh kita sebagai masyarakat yang berbudaya, oleh karena itu dibutuhkan penyensoran. Selain melakukan penyensoran, upaya perlindungan konsumen film juga didukung dengan adanya pengklasifikasian film berdasarkan penggolongan usia penonton yang ditetapkan oleh Lembaga sensor Film bagi suatu film/reklame film yang akan ditayangkan. Penggolongan usia penonton yang dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif film dalam rangka pembinaan keluarga ini dapat dilihat dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman, dimana Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton film yang meliputi film: a. untuk penonton semua umur; b. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih; c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
III.3
KENDALA-KENDALA BAGI LEMBAGA SENSOR FILM DALAM MENJALANKAN PERANANNYA. LSF hadir untuk melindungi masyarakat dan memelihara nilai-nilai luhur budaya bangsa , maka sudah seharusnya dianggap sebagai sahabat yang bisa sharing oleh para sineas tentang bagaimana membangun bangsa dan watak / kepribadian dengan maksud untuk mencegah pemikiranpemikiran yang terdistorsi oleh faham luar sehingga tidak terkonstruksi dalam bingkai keindonesiaan. Namun terkadang dalam menjalankan peranannya tersebut terdapat berbagai macam kendala yang mesti dihadapi oleh lembaga sensor film, diantaranya adalah pertama, adanya pro dan kontra atas kehadiran
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
62
Lembaga Sensor Film. Keberadaan LSF bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi penting untuk melindungi masyarakat. Disisi lain LSF sering dianggap merusak karya kreatif pembuat film. Pro dan kontra terhadap keberadaan LSF selalu muncul di tengah masyarakat.23 Bukan hanya sekedar polemik, pro dan kontra itu telah melangkah lebih jauh. Tahun 2007 sekelompok praktisi dan peminat film yang menamai dirinya Masyarakat Film Indonesia (MFI) mengajukan uji materi terhadap Undang-undang perfilman ke mahkamah konstitusi. Pihak pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi meninjau keberadaan Pasalpasal dalam UU Perfilman No.8 Tahun 1992 mengenai LSF, karena dinilai tidak sesuai dengan semangat UUD 45, Pemohon uji materi menilai mekanisme kerja dan penunjukan anggota LSF telah melanggar hak konstitusional warganegara. Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi itu, dan LSF tetap dipertahankan hingga saat ini.24 Permasalahan (Masyarakat
Film
hukum Indonesia)
yang
dipersoalkan
adalah
menurut
oleh mereka
Pemohon ketentuan
penyensoran film yang tercantum dalam pasal 1 angka 4, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 40, dan Pasal 41 UU perfilman merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh Pasal 28 C ayat 1 dan Pasal 28F UUD 1945. Dari permohonan yang diajukan, pada intinya para pemohon, menginginkan agar 1) kegiatan sensor film harus ditiadakan, dan 2) Lembaga Sensor Film sebaiknya diganti menjadi Lembaga Klasifikasi Film (LKF), karena para pemohon menganggap telah dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya sensor film, yakni menderita kerugian material berupa hilangnya biaya produksi akibat proses penyensoran dan kerugian immaterial yang berupa terhambatnya kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi, serta hak cipta film yang utuh.25
23
Ismail Usmar, Mengupas Film, Sinar harapan, Jakarta; 2007, Ibid 25 Mahkamah Konstitusi, Op Cit hal 220 24
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
63
Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan pokok-pokok persoalan tersebut sebagai berikut: 26 -
Film merupakan sebuah karya seni. Seni merupakan salah sau kreasi manusia (seniman) yang dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mengaktualisasikan diri. Dalam proses penciptaan karya seni, kebebasan berkreasi seniman tidak boleh dihambat, dihalanghalangi apalagi dilarang.
-
Namun begitu suatu hasil karya cipta memasuki dan berada di ranah publik, maka kebebasan berkreasi seniman itu harus berkompromi atau memperhatikan bidang-bidang lain serta kepentingan orang lain dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Sebab seni merupakan salah satu komponen (bagian) dari sistem kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Seni tidak dapat lepas dari komponen lainnya seperti ilmu, norma (hukum, etika, dan agama). Seni pun tidak bisa melepaskan diri dari lingkungan sosial, ekonomi, politik dan sejenisnya, yang masingmasing mempunyai rambu-rambu dan kaidah-kaidah sendiri. Dengan demikian, seni termasuk film, jika memasuki ranah publik, perlu dilakukan pembatasan-pembatasan baik secara represif (sesudah karya seni itu beredar), maupun secara preventif (sebelum karya seni itu beredar). Tindakan preventif perlu diadakan karena tanpa adanya tindakan preventif, semua film boleh beredar dahulu, baru apabila terdapat hal-hal yang bertentangan dengan nilai dan norma agama etika, atau hukm dilakukan tidakan represif melalui jalur hukum, maka akibat negatif dari pengedaran film itu telah terlanjur diderita oleh masyarakat.Ibarat anak panah yang terlanjur menancap di badan orang, walaupun anak panah itu telah dicabut secara represif, tetapi luka telah terjadi dan memerlukan upaya untuk memulihkannya. Bayangkan seandainya sebuah film yang sangat berbau pornografi langsung diedarkan tanpa penapis apapun
26
Ibid, Hal 227-230
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
64
terlebih dahulu, maka pengaruh negatifnya telah terlanjur meracuni masyarakat. -
Suatu karya seni berupa film memang seharusnya merupakan satu karya yang utuh, sehingga pemotongan terhadap bagian-bagian tertentu dapat menggangu keutuhan tersebut. Lebih jauh, pemotongan bagian tertentu itu dapat menghilangkan pesan utama yang ingin
disampaikan
sang pencipta
(seniman) kepada
penontonnya. Namun, kadangkala terjadi bahwa film terdapat adegan-adegan sesungguhnya bukan merupakan esensi pesan yang ingin disampaikan atau cara penyampaian pesan dimaksud berlebihan yang bersinggungan dengan norma-norma kesusilaan, kesopanan, agama, maupun hukum. -
Atas dasar itu tindakan preventif sebagai penapis perlu diadakan, yang dapat dilakukan antara lain dengan: a. Membuat klasifikasi film, misalnya dengan menentukan suatu film hanya boleh ditonton oleh semua umur, 17 tahun, 21 tahun dan sebagainya. b. Melakukan sensor terlebih dahulu terhadap film-film yang akan diedarkan
-
Memang idealnya penapisan preventif itu dilakukan sendiri secara internal oleh kalangan insan perfilman (self-censorship). Namun dalam suatu masyarakat dengan sistem sosial dan ragam peradaban apapun, penapis yang bersifat eksternal tetap diperlukan. Hal ini disebabkan tolak ukur yang bersifat subjektif tersebut masih harus disesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup dalam lingkungan sosial berupa kultur, agama, adat, dan lingkungan lainnya (situation gebundenheit)
-
Dalil para pemohon yang menganggap bahwa norma yang mengatur keberadaan sensor dan Lembaga Sensor Film telah
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
65
membatasi kebebasannya untuk berkreasi ( mengembangkan diri) adalah benar. Namun pembatasan demikian dimungkinkan oleh Pasal 28 J ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang intinya bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dan setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya wajib tunduk kepada pembatasan yang telah ditetapkan dengan undang-undang. -
Dengan demikian, suatu institusi yang berfungsi melakukan penilaian atas suatu film yang akan diedarkan ke masyarakat, apapun namanya yang dibentuk oleh negara bersama msyarakat perfilman memang tetap dibutuhkan agar film yang diedarkan tidak mengganggu atau merugikan HAM orang lain;
-
Bahwa institusi penilai film tersebut, dengan nama apapun, haruslah merupakan hasil kesepakatan (konsensus) antara negara yang mewakili masyarakat luas di luar perfilman sendiri, serta mengatur secara jelas mekanisme penilaian dan mekanisme pengajuan keberatan atas penilaian yang dilakukan institusi tersebut oleh mereka yang filmnya diniai. Dengan demikian, akan tercapai
keseimbangan
antara
kebebasan
berekspresi
dan
kewajiban negara untuk melindungi kepentingan masyarakat luas; -
Bahwa apabila ketentuan –ketentuan mengenai sensor dan lembaga sensor yang tercantum dalam UU perfilman dihapuskan pada saat ini, sedangkan undang-undang perfilman yang baru yang memuat ketentuan mengenai sistem penilaian film dengan semangat baru yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi HAM, khususnya kebebasan berekspresi, belum ada, maka penghapusan demikian justru
akan
menimbulkan
kekosongan
hukum
dan
dapat
mengakibatkan ketidakpastian hukum; -
Bahwa oleh karena itu , sebelum institusi penilaian dan penilai film yang ideal yang merupakan hasil konsensus antar negara sebgai wakil masyarakat di luar perfilman dan masyarakat perfilman dapat
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
66
diwujudkan
melalui
undang-undang
perfilman
yang
baru,
keberadaan mekanisme dan institusi yang ada saat ini, yakni sensor dan LSF, masih dapat dipertahankan dengan catatan mekanisme pelaksanaannya disesuaikan dengan semangat zaman. Memberi kesempatan pembelaan diri kepada komunitas perfilman yang filmnya akan disensor, dan meniadakan nuansa pengekangan kreativitas dalam dunia seni dan perfilman. Berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan diatas, mahkamah memutuskan ” Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak untuk seluruhnya”.27 Mahhkamah Konstitusi menolak pembubaran Lembaga Sensor Film karena dianggap keberadaan Lembaga Sensor Film sesuai dengan konstitusi sepanjang pelaksanaannya dimaknai semangat baru untuk menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia. Keberadaan Lembaga Sensor Film masihlah dibutuhkan untuk menjaga agar karya film tetap bersikap edukatif dan sesuai dengan nilai budaya bangsa. Terhadap usulan agar Lembaga Sensor Film cukup melakukan klasifikasi umur saja tidak perlu melakukan sensor, ahli berpendapat bahwa klasifikasi umur tepat hanya cocok untuk pertimbangan isi dan muatan materi (pesan) film untuk anak-anak, remaja atau dewasa berdasarkan pesan yang disampaikan. Hal inipun hanya ditujukan kepada film yang layak edar (lolos sensor). 28 Klasifikasi umur tidak dapat menjangkau untuk film yang didalamnya mengandung unsur pelanggaran hukum atau pelanggaran hukum pidana atau pelanggaran konstitusi; 1. Film yang diedarkan melanggar hukum administrasi: ijin impor dan ijin produksi (seperti barang-barang produksi lainnya).
27 28
Ibid, Hal 230 Ibid, hal 167
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
67
2. Film yang melanggar hukum pidana dan konstitusi; film porno, pesan subversi/pemberontakan, pemecah belah negara kesatuan Republik Indonesia, menghina agama/suku/ras (sara), provokasi untuk mengganti Pancasila, atau konspirasi dengan negara lain untuk menghancurkan budaya bangsa Indonesia sebagai bagian dari perang untuk penghancuran budaya. Masing-masing negara memiliki nilai budaya dan nilai hukum yang berbeda-beda, bagi negara lain, film porno tidak dilarang, sedangkan bagi Indonesia film porno adalah melanggar hukum pidana dan bertentangan dengan etika dan moral publik. Jika ada kasifikasi umur penonton, sebaiknya ada kriteria film yang ”tidak boleh ditonton bagi semua umur”. Selanjutnya kendala lain yang dihadapi Lembaga Sensor Film adalah peredaran film-film gelap tanpa sensor/ pembajakan film. Maraknya film yang beredar di masyarakat yang biasanya bajakan tanpa disensor terlebih dahulu adalah hal yang meresahkan. Biasanya dalam film bajakan tersebut banyak adegan-adegan yang seharusnya disensor dapat ditonton oleh konsumen film. Hal ini yang menyebabkan upaya Lembaga Sensor Film untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif film terganggu. Untuk mengatasi hal ini biasanya yang menindaklanjuti adalah pihak kepolisian, dengan melakukan razia-razia di tempat-tempat penyewaan film dan penjualan film. Film bajakan sangatlah diminati dan saat ini mulai menjadi gaya hidup, konsumen selain dengan hanya mengeluarkan uang lebih sedikit dibandingkan menonton film original dapat menikmati tontonan film sesuai keinginannya, baik jenis film,waktu tayang, dan kualitas filmnya. Selain adanya dukungan kosumen, LSF sulit untuk menepis fakta bahwa film bajakan itu sulit untuk diberantas, karena dalam usaha film bajakan itu terdapat banyak kepentingan.
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.
68
Selain kepentingan pengusaha film bajakan yang ingin untung besar dengan modal sedikit, kepentingan penjual, kepentingan pemilik gedung yang pedagangnya berjualan film bajakan, serta kepentingan aparat yan terkadang ikut melindungi pengusaha/penjual film bajakan karena mengharapkan upeti pengamanan tiap bulannya adalah faktor yang menghambat penanganan masalah film bajakan ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa pembajakan film di Indonesia sangatlah canggih, dengan alat yang canggih seperti telecine yang bisa memindahkan dari proyektor ke rekaman langsung, didapatkanlah hasil rekaman yang sangat bersih. Bayangkan, film yang baru beberapa hari diputar di bioskop , kasetnya sudah tersedia di tempat penyewaan video. Film yang baru diputar untuk kalangan terbatas, kaset videonya juga sudah muncul. Yang luar biasa, kasus film yang baru lolos sensor dan oleh pengusaha film tersebut baru dijadwalkan main di bioskop. Ternyata, kaset videonya sudah muncul di tempat penyewaan kaset. Untuk mengatasi masalah pembajakan ini hanya ancaman hukuman yang beratlah yang dapat menguranginya.29
29
Moera, Moebanoe, Eko Yuswanto, Melintas Badai Bajakan, Tempo Online: http://majalah.tempointeraktif.com/i
Universitas Indonesia
Peranan lembaga..., Laila Mahariana, FH UI, 2010.