PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PRODUK PANGAN IMPOR YANG TIDAK MENCANTUMKAN LABEL BERBAHASA INDONESIA DI KABUPATEN BANYUMAS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh: YULI MEGA ANGGRAENI E1A011190
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015
i
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PRODUK PANGAN IMPOR YANG TIDAK MENCANTUMKAN LABEL BERBAHASA INDONESIA DI KABUPATEN BANYUMAS
SKRIPSI
Disusun oleh: YULI MEGA ANGGRAENI E1A011190
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015
ii
iii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : YULI MEGA ANGGRAENI NIM
: E1A011190 Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PRODUK PANGAN IMPOR
YANG
TIDAK
MENCANTUMKAN
LABEL
BERBAHASA
INDONESIA DI KABUPATEN BANYUMAS adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan semua sumber data serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bila
pernyataan
saya
ini
tidak
benar,
maka
saya
bersedia
mempertanggungjawabkannya sesuai ketentuan yang berlaku.
Purwokerto,
Februari 2015
YULI MEGA ANGGRAENI NIM. E1A011190
iv
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PRODUK PANGAN IMPOR YANG TIDAK MENCANTUMKAN LABEL BERBAHASA INDONESIA DI KABUPATEN BANYUMAS Oleh: Yuli Mega Anggraeni ABSTRAK
Tujuan penggunaan label berbahasa Indonesia pada produk pangan impor adalah konsumen akan lebih mudah memperoleh informasi yang benar, jelas dan baik mengenai kuantitas dan kualitas produk impor serta kemudian dapat menentukan pilihan sebelum membeli atau mengkonsumsi. Peredaran produk pangan impor yang tidak berlabel bahasa Indonesia yang masih beredar di masyarakat, khususnya di Purwokerto, tentu sangat disayangkan karena tidak semua mengerti akan bahasa asing. Sesuai dengan amanat Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pasal 15 Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, label harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidahkaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara normatif kualitatif. Lokasi dari penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dideskripsikan bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen produk pangan impor yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia di Kabupaten Banyumas secara normatif telah terpenuhi sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen khususnya yang berkaitan dengan hak-hak konsumen dalam Pasal 4 huruf a, c, dan h. Namun dalam kenyataannya, hak-hak konsumen tersebut belum dapat terpenuhi secara optimal dikarenakan masih ada pelaku usaha yang tidak memenuhi ketentuan wajib label berbahasa Indonesia pada pangan yang diimpor. Kata kunci
: perlindungan konsumen, label berbahasa Indonesia, pangan impor
v
LEGAL PROTECTION TO CONSUMER FOOD IMPORTS WHICH DOES NOT LABELED IN INDONESIAN LANGUAGE IN THE DISTRICT OF BANYUMAS By: Yuli Mega Anggraeni ABSTRACT
Intended use Indonesian language labeling on food imports is that consumers will be easier to get the right information, clear and well on the quantity and quality of imported products and can then make a choice before buying or consuming imported products. Circulation of food imports that are not labeled Indonesian who is still circulating in the community, especially in Purwokerto, certainly very unfortunate because not all the people understand foreign languages. In accordance with the mandate of Article 97 paragraph (3) of Law Number 18 of 2012 about Food, Article 15 of the Government Regulation of the Republic Indonesia Number 69 Year 1999 about Food Labeling and Advertisement, the label must be translated into Indonesian. The methode which used in this research was juridical normative approach, the research which focusing to assessing the application of a norm in law posistif that done by means of secondary data. The material law analyzed with qualitative normative. The locations of this research in Pusat Informasi Ilmiah (PII) the faculty of law Jenderal Soedirman University and Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang. Based on the reserch result it can be describe that the legal protection to consumer food products which does not labeled in Indonesian language in Banyumas district normatively have already been fulfilled as mandated in Law No. 8 of 1999 about consumer protection which related with the right of consumers in article 4 abjad a, c, and h. However int the fact, the right of consumer unaccomplished because some businessman not mention Indonesian label in the food imports product. Keywords
: Consumer Protection, Indonesian Label, Food Imports.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir guna meraih gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari segala dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Bapak I Ketut Karmi Nurjaya, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I atas bimbingan, masukan dan saran yang berarti bagi kelancaran penulisan skripsi ini serta kesabaran dalam membimbing penulis. 3. Bapak Suyadi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II atas bantuan dan pengarahan bagi kelancaran penulisan skripsi ini. 4. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S., selaku Dosen Penguji atas saran dan masukannya dalam meyempurnakan penulisan skripsi ini. 5. Bapak Agung Suprianto sebagai Kepala Seksi Penyidikan dari pihak Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Semarang. 6. Segenap Dosen dan seluruh staf serta karyawan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. vii
7. Orang tua dan kakak-kakak yang terkasih dan tercinta yang tidak putusputusnya memberikan dukungan dan limpahan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. 8. Rahmadiana dan Vina Muspita teman yang selalu setia memberikan motivasi. 9. Keluarga besar PMK FH UNSOED, atas segala pembelajaran yang telah penulis dapatkan sebagai bekal berharga di masa depan. 10. Seluruh teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum dari berbagai angkatan yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyususnan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran bagi yang membacanya.
Purwokerto,
Penulis
viii
Februari 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL…………………………………………………………….…i HALAMAN JUDUL....................................................................................................ii LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………iii SURAT PERNYATAAN…………………………………………………………....iv ABSTRAK…………………………………………………………………...……….v ABSTRACT…………………………………………………………………………vi KATA PENGANTAR...............................................................................................vii DAFTAR ISI………………………………………………………………………...ix BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang……………………………………………………..........1 B. Perumusan Masalah……………………………………………………..7 C. Tujuan Penelitian……………………………………………………......8 D. Kegunaan Penelitian…………………………………………………….9 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Hukum…………………………………………………..10 B. Perlindungan Konsumen……………………………………………….12 1. Hukum Perlindungan Konsumen……………………………..……12 a. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen……………………….12 b. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen…………………..19 c. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen…………………….21 2. Konsumen………………………………………………………….22 ix
a. Pengertian Konsumen………………………………………….22 b. Hak dan Kewajiban Konsumen………………………………..24 3. Pelaku Usaha…………………………………………………..…..27 a. Pengertian Pelaku Usaha………………………………………27 b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha…………………………......29 c. Larangan Bagi Pelaku Usaha…………………………………..31 d. Tanggung Jawab Pelaku Usaha………………………………..33 4. Hubungan Hukum Konsumen dan Pelaku Usaha………………….35 C. Produk Pangan Impor………………………………………………….37 D. Label…………………………………………………………………...39 1. Pengertian Label…………………………………………………...39 2. Pengaturan Label…………………………………………………..41 3. Pengawasan………………………………………………………..44 a. Pengertian Pengawasan………………………………………..44 b. Jenis-Jenis Pengawasan………………………………………..48 4. Sanksi Bagi Pelaku Usaha…………………………………………51 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Pendekatan…………………………………………………..54 B. Spesifikasi Penelitian…………………………………………………54 C. Lokasi Penelitian……………………………………………………...55 D. Sumber Data…………………………………………………………..55 E. Metode Pengumpulan Data…………………………………………...56 F. Metode Penyajian Data……………………………………………….56 x
G. Metode Analisis Data…………………………………………………57 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian……………………………………………………… 58 1. Data Sekunder…………………………………………………….58 2. Data Primair………………………………………………………90 B. Pembahasan……………………………………………………….…95 BAB V. PENUTUP A. Simpulan……………………………………………………………...110 B. Saran………………………………………………………………….112 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xi
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan dasar manusia adalah sandang, papan, dan pangan. Pangan termasuk kebutuhan dasar yang sangat esensial dalam kehidupan manusia yang sepenuhnya menjadi hak asasi dari rakyat Indonesia. Pangan berkaitan dengan upaya manusia mempertahankan kelangsungan hidupnya, menjaga kesehatan serta berguna untuk mendapatkan energi yang cukup untuk dapat bekerja secara produktif sehingga tanpa pangan manusia tidak akan dapat menjalankan kegiatan sehari-harinya bahkan tidak mungkin dapat untuk bertahan hidup. Pengertian tentang pangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan adalah sebagai berikut: Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Kebutuhan produk pangan di dalam suatu negara dapat dipenuhi oleh produk dalam negeri ataupun produk luar negeri yang biasa dikenal dengan impor. Di era globalisasi, aktivitas perdagangan internasional berupa ekspor dan impor barang dan jasa antar negara sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Sejak diberlakukannya pasar bebas, barang dan jasa dari luar negeri beredar secara
2
bebas di pasar Indonesia dan sebagai konsekuensinya produk-produk impor akan banyak dijumpai di Indonesia. “Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah terlibat dalam aktivitas ekspor maupun impor dengan negara lain. Untuk kegiatan impor Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1990an. Kebutuhan impor barang dan jasa di Indonesia dirasakan meningkat setelah terjadinya krisis ekonomi. Hal ini dikarenakan banyak kebutuhan akan barang dan jasa masyarakat konsumen di Indonesia yang tidak dapat dipenuhi oleh produsen dalam negeri, di samping juga kualitas produk impor dipandang mempunyai kualitas tinggi.”1 Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan produk pangan yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas pangan sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Disisi lain, kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang karena produk pangan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia semakin lama semakin beraneka ragam sehingga timbul kesenjangan terhadap kebenaran informasi suatu produk pangan dan daya tanggap konsumen sebagai akibat tidak dicantumkannya informasi dengan benar dalam bahasa Indonesia. Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak mempunyai gambaran yang keliru atas produk pangan. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, salah satunya dengan mencantumkan label pada kemasan pangan. Informasi pada label kemasan produk pangan sangat diperlukan bagi
1
Irna Nurhayati. 2009. Efektivitas Pengawasan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Terhadap Peredaran Produk Pangan Olahan Impor Dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen. Dalam Jurnal Mimbar Hukum Volume 21. Diunduh pada 7 Oktober 2014.
3
masyarakat agar masing-masing individu secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan mengkonsumsi produk pangan tersebut. “Diantara berbagai informasi tentang produk barang atau jasa yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha terutama dalam bentuk iklan atau label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya.”2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan dalam Pasal 1 angka (3) menyebutkan bahwa: Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan. Pasal 15 dalam Peraturan Pemerintah yang sama, ditegaskan bahwa: Keterangan pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin. Tujuan penggunaan label berbahasa Indonesia pada produk pangan adalah konsumen akan lebih mudah memperoleh informasi yang benar, jelas dan baik mengenai kuantitas dan kualitas produk impor serta kemudian dapat menentukan pilihan sebelum membeli atau mengkonsumsi produk impor tersebut. Selain itu label juga memberikan informasi mengenai nama dan alamat produsen, importir, dan distributor. Khusus untuk produk pangan, melalui label konsumen dapat memperoleh informasi mengenai tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. Hal ini agar
2
Celina Tri Siwi Kristiyanti. 2011. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 71.
4
konsumen makanan atau minuman dapat mengetahui apakah barang tersebut masih layak dikonsumsi atau tidak. Suatu produk impor untuk masuk ke dalam wilayah Indonesia harus memenuhi persyaratan-persyaratan standar yang telah ditetapkan, akan tetapi pelaku usaha dalam memperdagangkan suatu produk pangannya sering melakukan berbagai cara agar produk pangan impor yang dijualnya tersebut laku dalam jumlah yang banyak meskipun terkadang menghalalkan berbagai cara agar konsumen tertarik untuk membelinya. Salah satu perbuatan curang yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah kecurangan dalam hal memperdagangkan produk pangan impor yang tidak berlabel bahasa Indonesia, atau masih menggunakan bahasa asing dalam labelnya. Hal ini dapat ditemukan serta diamati di pusat-pusat perbelanjaan ternama berupa makanan ringan atau snack seperti corn chips dan sweet potato snack yang diimpor dari Korea. Peredaran produk pangan yang tidak berlabel bahasa Indonesia yang masih beredar di masyarakat, khususnya Purwokerto, tentu sangat disayangkan karena tidak semua masyarakat Purwokerto mengerti akan bahasa asing seperti salah satunya bahasa Inggris. Bahasa Inggris sudah diakui sebagai bahasa internasional, namun sesuai dengan amanat Pasal 15 Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, tetap harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional sehingga pada saat masyarakat sebagai konsumen dalam membeli atau mengkonsumsi produk pangan tidak kesulitan dalam membaca informasi yang tertera pada label.
5
Kewajiban menterjemahkan label ke dalam bahasa Indonesia berkaitan dengan upaya untuk memenuhi hak konsumen dalam mendapatkan informasi yang jelas mengenai suatu produk. Sebagaimana diketahui salah satu hak konsumen seperti yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah hak atas rasa kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Mardiah dan Ernawaty yakni: “Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung risiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Seringkali informasi data yang tercantum dalam kemasan produk makanan impor dimanipulasi yaitu dengan menyembunyikan penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya yang terkandung dalam makanan di antaranya formalin, borak, dan rhodamin-b yang biasanya digunakan untuk mengawetkan mayat dan sebagai pewarna makanan. Jika kemasan dalam produk memuat informasi yang tidak benar, maka perbuatan itu memenuhi kriteria kejahatan yang lazim disebut fraudulent misrepresentation. Bentuk kejahatan ini ditandai oleh pemakaian pernyataan yang salah (false statment) dan penyataan yang menyesatkan (mislead).”3 Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka sesungguhnya pangan selain tersedia dalam jumlah yang cukup, harga yang terjangkau, juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu sehat dan aman. Oleh karena itu terlebih dahulu pangan tersebut harus dipastikan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat, artinya pangan tidak boleh mengandung bahan yang berbahaya yang dapat mengganggu keselamatan jiwa manusia.
3
Mardiah dan Ernawaty. Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Produk Makanan Impor Oleh Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan (BPOM) Di Kota Pekanbaru. Jurnal diuduh dari http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/view/2275/2217 pada 10 Oktober 2014.
6
Berdasarkan hal tersebut diatas, perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, mengingat arus produk pangan impor yang beredar sudah sedemikian meningkat dan perkembangan zaman yang semakin mengglobal dimana ekonomi Indonesia juga telah terkait dengan ekonomi dunia. Masyarakat harus dilindungi keselamatan dan kesehatannya dari pangan yang tidak memenuhi syarat serta kerugian akibat dari perdagangan yang tidak jujur. Dengan kata lain, pangan harus aman dan layak untuk dikonsumsi. Konsumen berhak mendapatkan keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi pangan impor, dalam hal ini makanan, di mana produk pangan tidak boleh membahayakan jika di konsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani maupun secara rohani. Peran serta pemerintah Republik Indonesia yang nyata dalam hal yang berkaitan dengan pangan untuk melindungi konsumen adalah dengan dibuatnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Bentuk peran serta pemerintah yang lainnya adalah dengan melakukan pengawasan terhadap produk pangan yang beredar di pasar adalah dengan adanya lembaga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Hal tersebut mulai diwujudkan oleh pemerintah, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2013. Badan Pengawas Obat
7
dan Makanan (BPOM) yang dalam pelaksanaan tugasnya berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan. Sebagai lembaga pemerintah yang memiliki tugas kewenangan melaksanakan fungsi pengawasan di bidang obat dan makanan, seluruh program dan kegiatan BPOM memiliki tujuan yang esensial yaitu untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen atas mutu, keamanan dan kemanfaatan produk obat dan makanan yang beredar. Label pada produk pangan impor yang tidak mencantumkan
bahasa
Indonesia sudah sering terjadi sehingga hak-hak yang seharusnya diperoleh konsumen telah dilanggar. Banyak diantara konsumen yang tidak tahu harus melakukan apa ketika mereka berada dalam kondisi seperti itu. Sistem peradilan yang dinilai “rumit”, dan relatif mahal turut “mengaburkan” hak-hak konsumen dan kewajban pelaku usaha, sehingga masyarakat sendiri tidak mengetahui dengan jelas apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai konsumen dan bagaimana tanggung jawab pelaku usaha serta dengan siapa konsumen tersebut berhubungan hukum. Berdasarkan
pemaparan
yang
telah
dijelaskan,
penulis
tertarik
mengangkatnya dalam sebuah penelitian guna penyusunan skripsi yang diberi judul: “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Produk Pangan Impor Yang Tidak Mencantumkan Label Berbahasa Indonesia Di Kabupaten Banyumas .”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dirumuskan suatu masalah sebagai berikut:
8
Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen produk pangan impor yang tidak mencatumkan label berbahasa Indonesia di Kabupaten Banyumas, khususnya berkaitan dengan hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a, c, dan h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum bagi masyarakat luas selaku konsumen produk pangan impor yang tidak mencatumkan label berbahasa Indonesia di Kabupaten Banyumas, khususnya berkaitan dengan hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a dan c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi pengembangan disiplin ilmu hukum dagang pada umumnya dan hukum perlindungan konsumen pada khususnya mengenai perlindungan hukum bagi konsumen pangan impor terhadap label yang tidak berbahasa Indonesia.
9
2. Secara Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dengan jelas dan ilmiah mengenai implementasi hak-hak konsumen dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. b. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang berguna bagi masyarakat luas dan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam meningkatkan pengawasan terhadap wajib label berbahasa Indonesia pada produk pangan impor.
10
BAB II TINJUAN PUSTAKA
A. Perlindungan Hukum
Hukum tercipta karena adanya kumpulan manusia yang disebut masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Setiap individu dalam masyarakat tersebut mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan semuanya berusaha untuk memenuhi kepentingannya. Hukum mempunyai peranan besar yaitu sebagai kaidah untuk mengatur tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingannya, dengan adanya hukum diharapkan tidak akan terjadi bentrokan kepentingan antara individu yang satu dengan yang lain. Surojo Wignojodiputro berpendapat bahwa: “Hukum mempunyai peranan dalam mengatur dan menjaga ketertiban masyarakat, yang diantaranya adalah mengatur hubungan antara sesama warga masyarakat yang satu dengan yang lain. Hubungan tersebut harus dilakukan menurut norma atau kaidah hukum yang berlaku. Adanya kaidah hukum itu bertujuan mengusahakan kepentingan-kepentingan yang terdapat dalam masyarakat sehingga dapat dihindarkan kekacauan dalam masyarakat.”4 Utrecht memberikan batasan hukum yakni himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.5 Sarjana Hukum Indonesia juga memberikan rumusan tentang apakah yang dimaksud dengan hukum itu, yaitu antara lain:6
4
Surojo Wignojodiputro. 1974. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, hlm. 1. C.S.T. Kansil. 1999. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 11. 6 Ibid. 5
11
1. S.M. Amin, S.H. Hukum dirumuskan sebagai kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. 2. J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto, S.H. Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu. 3. M.H. Tirtaadmadja Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam semua tingkah laku dan tindakan-tindakan dalam pergulan hidup dengan ancaman mengganti kerugian. Jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya. Perlindungan hukum merupakan salah satu upaya agar tujuan hukum dapat tercapai. Tujuan hukum yang dimaksud yaitu terpeliharanya keamanan dan ketertiban sehingga dapat menjamin adanya kepastian hukum, dengan demikian dapat menghindarkan tindakan kesewenangan pihak-pihak tertentu. Iswanto dalam
bukunya Pengantar Ilmu Hukum memberikan gambaran terhadap
pengertian perlindungan hukum sebagai berikut: “Perlindungan hukum adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman. Berdasarkan pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa perlindungan hukum adalah segala upaya untuk memberikan rasa aman bagi seseorang dengan membatasi hak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat berdasarkan sekumpulan peraturan yang mengatur tata tertib bertingkah laku dalam masyarakat.” 7 Konsumen pada umumnya tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk itu dibuat, bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang dijalankan untuk mendistribusikannya sehingga diperlukan kaidah hukum yang dapat 7
Iswanto. Pengantar Ilmu Hukum. Purwokerto: Unsoed, hlm. 40.
12
melindungi konsumen agar terhindar dari kerugian yang dapat menimpanya. Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi menyeimbangkan kedudukan konsumen dan pengusaha, dengan siapa mereka saling berhubungan dan saling membutuhkan.
B. Perlindungan Konsumen
1. Hukum Perlindungan Konsumen a. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Materi Hukum Perlindungan Konsumen adalah untuk melindungi kepentingan konsumen. Materi ini ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku yang salah satunya adalah UndangUndang Perlindungan Konsumen yang berlaku setahun sejak disahkannya (tanggal 20 April 2000). Di samping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen juga “ditemukan” di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku umum. Perundang-undangan umum yang dimaksudkan adalah semua peraturan perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan yang berwenang untuk itu, baik di pusat maupun di daerah. Meskipun perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen, setidaktidaknya peraturan perundangan tersebut juga merupakan sumber dari hukum perlindungan konsumen. Beberapa diantaranya diuraikan sebagai berikut:
13
1. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea IV: “… kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia…”. Berdasarkan kutipan tersebut, adanya kata yang menunjukkan asas dalam perlindungan konsumen yaitu pada kata “segenap bangsa”. Perlindungan konsumen dimaksudkan untuk segenap bangsa Indonesia tanpa terkecuali termasuk didalamnya pelaku usaha dan konsumen. Di samping itu, kata “melindungi” menurut Az. Nasution didalamnya terkandung pula asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tersebut. 2. Undang-Undang Dasar 1945, antara lain: a) Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Penjelasan dari pasal ini yakni ketentuan mengenai hak warga negara. Hak warga negara yang dinyatakan dalam penjelasan pasal ini adalah hak warga negara yang menjamin agar mereka dapat hidup sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya hak-hak yang bersifat fisik dan material tetapi juga hak psikis. Penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak semua orang dan merupakan hak dasar bagi rakyat Indonesia secara menyeluruh.
14
b) Pasal 28 UUD 1945 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan pasal ini berkaitan dengan kedudukan warga negara. Pasal ini memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokrasi dan hendak menyelenggarakan keadilan sosial. Berbagai hak yang dimiliki konsumen telah dimuat dalam kedua pasal tersebut, sehingga dapat dikatakan UndangUndang
Dasar
1945
merupakan
sumber
hukum
bagi
perlindungan konsumen. 3. Ketetapan MPR 1993 “…meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi kepentingan konsumen”. Kata “melindungi kepentingan konsumen” terlihat lebih jelas arahan MPR tentang kekhususan kepentingan pelaku usaha dan kepentingan konsumen 4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal-pasal yang mengatur antara lain: a) Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai,
15
atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Pasal ini menyatakan bahwa wanprestasi terjadi karena adanya perjanjian dengan pihak lawan akan tetapi pihak lawan tidak memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan atau mungkin memenuhi tetapi tidak sebagaimana mestinya. b) Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga. Menurut Subekti, pasal ini memberikan pilihan pada kreditur untuk menuntut kepada debitur karena perbuatan wanprestasi yang dilakukan debitur, bahwa kepada kreditur dapat memilih tuntutan sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5)
8
Pemenuhan perjanjian Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi Ganti rugi saja Pembatalan perjanjian Pembatalan disertai ganti kerugian.8
Subekti. 1991. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, hlm. 53.
16
c) Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3) Suatu hal tertentu 4) Suatu sebab yang halal d) Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal ini mengatur tentang bentuk tanggung jawab dan tuntutan ganti rugi yang diakibatkan perbuatan melawan hukum
(onrechtmatigedaad)
sehingga
pasal
ini
dapat
digunakan untuk melindungi hak konsumen. 5. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, baik Buku kesatu maupun Buku kedua yang mengatur tentang hak dan kewajiban yang terbit dari, khususnya (jasa) perasuransian dan pelayaran. 6. Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana
Buku
III
tentang
pelanggaran, yaitu Pasal 204, 205, 359, 360, 382, 382 bis, 383, dan 390 KUHP. 7. Berbagai Peraturan Perundang-Undangan Lainya, antara lain:
17
a) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 Tentang Barang menjadi Undang-Undang. b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal. c) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. d) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian. e) Undang-Undang
Nomor
15
Tahun
1985
Tentang
Ketenagalistrikan. f) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 Tentang Kamar Dagang dan Industri. g) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1996 Tentang Hygiene. h) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. i) Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaan. j) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. k) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. l) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. m) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
18
Penjelasan
resmi
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
menyatakan bahwa dikemudian hari masih dapat terbuka kemungkinan terbentuknya
undang-undang yang baru yang pada dasarnya memuat
ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan payung hukum (umbrella act) yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum dibidang perlindungan konsumen. Suyadi dalam bukunya mendefinisikan payung tersebut sebagai: 1. UUPK kedudukannya tidak diatas undang-undang yang lain. 2. UUPK hanya mengintegrasikan undang-undang yang lain, artinya apabila ada hak konsumen yang dilanggar tetapi undangundang yang lain tidak atau kurang memberi perlindungan maka disini koridor UUPK dapat masuk untuk melindungi konsumen. Dalam penjelasan UUPK juga dikatakan bahwa UUPK dalam melindungi konsumen bukan sebagai awal dan akhir. Artinya sebelum ada UUPK sudah ada undang-undang yang melindungi konsumen, setelah adanya UUPK masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen.9 Menurut Az. Nasution yang dikutip oleh Celina Tri Siwi K, menyatakan bahwa:10 “Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen.”
9
Suyadi. 2007. Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Purwokerto: UNSOED,
hlm. 8. 10
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. cit., hlm. 13.
19
b. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Mengacu pada pengertian perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Iswanto, maka perlindungan konsumen adalah segala upaya untuk memberikan rasa aman kepada konsumen sebagai pengguna suatu barang dan/atau jasa dengan menjamin adanya kepastian hukum. Suyadi juga memberikan definisi mengenai Hukum Perlindungan Konsumen yaitu: “Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan peraturanperaturaan yang mengatur segala tingkah laku manusia yang berhubungan dengan pihak konsumen, pelaku usaha dan pihak lain yang berkaitan dengan masalah konsumen yang disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya.”11 Menurut Az. Nasution diperlukan suatu pembatasan mengenai hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen bahwa: “Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunaannya dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan batasan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai bagian khusus dari hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunaannya dalam kehidupan bermasyarakat.”12
11
Suyadi, Op.Cit., hlm. 1. Az. Nasution. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media, hlm. 37. 12
20
Keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dibuat sebagai piranti hukum yang bertujuan untuk
melindungi
kepentingan
konsumen.
Meskipun
demikian,
didalamnya tidak hanya menitikberatkan pada kepentingan konsumen saja, pelaku usaha dan pemerintah juga ikut dilibatkan. Pengertian perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan definisi sebagai berikut: Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. “Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.”13 Individu dalam anggota masyarakat pada dasarnya adalah konsumen dari barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang
13
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2011. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 1.
21
“aman”. Oleh karena itu, secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal.
c. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen Hubungan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah yang seimbang menjadi harapan bagi terwujudnya perlindungan konsumen di Indonesia. Pasal 2 UUPK menyebutkan bahwa: Perlindungan
konsumen
berasaskan
manfaat,
keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Perlindungan konsumen diselenggrakan sebagai usaha bersama berdasarkan asas-asas yang relevan dalam pembangunan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam penjelasan Pasal 2 UUPK, yaitu: 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
22
Tujuan perlindungan konsumen itu sendiri diatur dalam Pasal 3 UUPK yang antara lain: 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. 2. Konsumen a. Pengertian Konsumen “Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument/konsument (Belanda). Pengertian consumer atau consument tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.”14 Ade Maman Suherman dalam bukunya Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global mengutip definisi konsumen yang dikemukakan Kotler, yakni sebagai berikut:15 “Consumers are individuals and households or personal use, producers are individual and organizations buying for the purposes of producing. (Konsumen adalah individu dan kaum rumah tangga yang 14
AZ. Nasution dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hlm. 22. Ade Maman Suherman. 2002. Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global. Jakarta: Ghalia Indonesia. hlm. 63. 15
23
melakukan pembelian untuk tujuan penggunaan personal, produsen adalah individu atau organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi).” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam penjelasan Pasal 1 angka (2) tersebut juga dikenal dengan istilah dalam kepustakaan ekonomi yakni konsumen akhir dan konsumen antara. Az. Nasution didalam buku Celina Tri Siwi Kristiyanti menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni:16 1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu; 2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersil); 3. konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersil). “Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk yang cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli tetapi juga korban yang bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai. Sedangkan di Eropa pengertian korban bersumber dari Product Liability Directive (selanjutnya disebut Directive). Berdasarkan Directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri.”17
16 17
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hlm. 25. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 7.
24
Konsumen disini tidak terbatas mengacu pada pembeli, melainkan juga masih ada subjek hukum lain yaitu semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang tersedia dan tidak untuk diperdagangkan. Pada konsumen akhir biasanya barang dan/atau jasa itu adalah barang dan/atau jasa yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang pada umumnya digunakan didalam rumah tangga masyarakat. Konsumen tidak semata-mata mengukur nilai komersil sebagaimana yang dilakukan oleh pelaku usaha.
b. Hak dan Kewajiban Konsumen Setiap individu diberikan hak dan kewajibannya masing-masing tidak terkecuali hak dan kewajiban sebagai pengguna barang dan/atau jasa. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. “Tatanan yang diciptakan oleh hukum itu baru menjadi kenyataan apabila kepada subyek hukum diberi hak dan dibebani kewajiban. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya disatu pihak hak, sedang dipihak lain kewajiban. Tiada hak tanpa kewajiban, sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. Hak itu memberikan kenikmatan dan keleluasaan pada individu dalam melaksanakannya, sedangkan kewajiban merupakan pembatasan dan beban sehingga yang menonjol ialah segi aktif dalam hubungan hukum itu, yaitu hak.”18 Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen yang dapat dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-
18
Suyadi. Op.Cit., hlm. 19.
25
hak tersebut. Hak konsumen sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut: 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya 9. Hak-hak yang diatur dalam ketetntuan peraturan perundangundangan lainnya. Masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan kesehatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunaannya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang
26
merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, konpensasi sampai ganti rugi. Ada 4 hak dasar konsumen yang dikenal secara umum dan diakui secara internasional yang mana dicetuskan oleh John F. Kennedy dalam Kongres Gabungan Negara-Negara Bagian di Amerika Serikat, meliputi:19 a) Hak untuk memperoleh keamanan, b) Hak memilih, c) Hak mendapat informasi, d) Hak untuk didengar.
Organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) dalam perkembangannya menambahkan lagi beberapa hak seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan
hak mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak-hak konsumen yang dicetuskan oleh John F. Kennedy tersebut dimasukkan dalam program konsumen European Economic Community (EEC) yang meliputi:20 1. 2. 3. 4. 5.
19
Hak perlindungan kesehatan dan keamanan, Hak perlindungan kepentingan ekonomi, Hak untuk memperoleh ganti rugi, Hak atas penerangan, Hak untuk didengar.
Adrian Sutedi. 2008. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia, hlm. 49. 20 Ibid.
27
Konsumen juga memiliki kewaiban yang harus dipenuhi selain daripada pemenuhan haknya. Kewajiban tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan: 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo:21 “Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan daan keselamatan, merupakan hal yang penting mendapat pengaturan. Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya.” Pentingnya pengaturan kewajiban bagi konsumen memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut.
3. Pelaku Usaha a. Pengertian Pelaku Usaha Pihak yang terkait dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selain konsumen adalah pelaku usaha. Pelaku usaha atau produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang 21
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 47.
28
menghasilkan barang dan jasa. Produsen tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaian atau peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen, atau dapat dikatakan produsen dalam arti yang lain. Menurut Az. Nasution, kelompok penyedia barang dan/atau jasa pada umumnya terdiri dari pihak-pihak sebagai berikut:22 1. Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang dan/atau jasa (investor) 2. Penghasil atau pembuat barang atau jasa (produsen) 3. Penyakur barang atau jasa (distributor) Pengertian Pelaku Usaha sebagiamana yang tertuang dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah: Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Berdasarkan penjelasan dari pasal tersebut bahwa yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Hal ini bermakna bahwa tidak hanya produsen pabrikan yang menghasilkan barang dan/atau jasa yang tunduk pada undang-undang ini, melainkan juga para rekanan, termasuk para agen, distributor serta jaringan-jaringan yang melaksanakan 22
Az. Nasution, Op.Cit., hlm. 20.
29
fungsi pendistribusian dan pemasaran barang dan/atau jasa kepada masyarakat luas selaku pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa. “Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UU No.8 Tahun 1999 cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama Negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah: pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu; importir suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan.”23 Ketentuan normatif lainnya yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga memuat definisi tentang pelaku usaha pangan yaitu dalam Pasal 1 angka (39) yang berbunyi: Pelaku Usaha Pangan adalah Setiap Orang yang bergerak pada satu atau lebih subsistem agribisnis Pangan, yaitu penyedia masukan produksi, proses produksi, pengolahan, pemasaran, perdagangan, dan penunjang.
b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Hak-hak
diberikan
kepada
konsumen
untuk
menciptakan
kenyamanan dalam menikmatai suatu barang atau jasa. Sebagai keseimbangan dari hak konsumen, maka kepada pelaku usaha juga diberikan hak. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
23
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. Opcit., hlm. 8.
30
tentang Perlindungan Konsumen, produsen sebagai pelaku usaha mempunyai hak: 1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; 3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; 4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Konsekuensi dari hak-hak yang didapat oleh pelaku usaha, maka dibebankan pula kewajiban. Pasal 7 UUPK mengatur kewajiban bagi pelaku usaha, antara lain sebagai berikut: 1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Berdasarkan penjabaran kewajiban pelaku usaha seperti tersebut diatas, terlihat bahwa kewajiban-kewajiban yang melekat pada pelaku
31
usaha adalah sisi lain dari hak-hak konsumen yang ditujukan untuk menciptakan budaya tanggung jawab pada diri pelaku usaha agar tujuan yang dicita-citakan UUPK dapat tercapai.
c. Larangan Bagi Pelaku Usaha Larangan bagi pelaku usaha perlu diatur dalam sebuah ketentuan undang-undang. Hal ini sebagai upaya untuk menghindarkan akibat atau dampak negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa dari aktivitas atau kegiatan pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dan membawa akibat negatif, serta untuk mendorong para pelaku usaha agar tetap beritikad baik dalam menjalankan usahanya. Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
dalam
Pasal
8
memberikan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan; b) tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c) tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
32
f) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g) tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label; i) tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; j) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. 3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. 4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Pasal tersebut diatas pada initnya tertuju pada dua hal yaitu larangan memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang dimaksud. Larangan ini hakikatnya untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya.
33
d. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimasud dengan tanggung jawab adalah: “Keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apaapa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya).” Ada beberapa prinsip tanggung gugat yang perlu diperhatikan oleh para pihak dalam melakukan kegitan bisnis. Shidarta dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia mengemukakan secara umum prinsip tanggung gugat sebagai berikut:24 1. Kesalahan (liability based on fault), 2. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability), 3. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability), 4. Tanggung jawab mutlak (strict liability), 5. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability). Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
mengatur
masalah
tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana dituangkan dalam Pasal 19 yang secara lebih terperinci berbunyi sebagai berikut: 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
24
Adrian Sutedi. Op.Cit., hlm. 81.
34
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Memperhatikan substansi pasal 19 ayat (1), menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo tanggung jawab pelaku usaha meliputi:25 1. Tanggung jawab ganti kerugian atas keruskan; 2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan 3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen. Dalam rangka memberikan perlindungan kepada konsumen, importir juga harus bertanggung jawab sebagai pembuat barang impor dan/atau sebagai penyedia jasa asing. Tanggung jawab importir diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa: 1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. 2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
25
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. Op.Cit., hlm. 125.
35
4. Hubungan Hukum Konsumen dan Pelaku Usaha Hubungan hukum dalam suatu lapangan hukum perdata dapat disebut sebagai perikatan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1233 menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dibagi lagi menjadi dua yaitu perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat tindakan manusia. Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat tindakan manusia tersebut dapat berupa tindakan yang tidak melawan hukum dan tindakan manusia yang melawan hukum. Undang-undang sebagai sumber perikatan menurut J. Satrio:26 “Perikatan antara orang/pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, tanpa orang-orang yang bersangkutan menghendakinya atau lebih tepatnya tanpa memperhitungkan kehendak mereka. Bahkan bisa saja terjadi bahwa perikatan timbul tanpa orang-orang/pihak melakukan suatu perbuatan tertentu; perikatan bisa lahir karena dua pihak berada dalam keadaan tertentu atau mempunyai kedudukan tertentu.” Perikatan dalam arti luas meliputi semua hubungan hukum antara dua pihak, dimana di satu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban. Hak dan kewajiban antara yang satu dengan yang lainnya tidak boleh saling merugikan. Unsur-unsur dari perikatan salah satunya adalah adanya hubungan hukum. Hubungan hukum menurut J. Satrio dalam bukunya Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Undang-undang menyatakan bahwa: “Hubungan hukum merupakan hubungan antara para pihak yang mendapat pengaturannya di dalam hukum. Para pihak dapat meminta bantuan hukum jika terjadi bahwa hak dan kewajiban yang muncul dari hubungan itu 26
40.
J. Satrio. 1999. Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya. Bandung: PT. Alumni, hlm.
36
tidak dapat dilaksanakan dengan cara sebagaimana mestinya. Hubungan hukum yang diatur adalah hubungan antara para pihak yang terlibat dalam perikatan yang bersangkutan, jadi ia merupakan hukum yang mengatur hubungan antara persoon dengan persoon tertentu.”27 Sulistyandari dalam diktatnya yang berjudul Perbuatan Melawan Hukum memberikan pengertian hubungan hukum, yaitu:28 “Hubungan hukum adalah hubungan antara dua orang atau lebih, yang diberi akibat hukum, artinya hak dan kewajiban yang muncul dari hubungan itu diatur oleh hukum.” Ahmadi Miru membagi hubungan hukum menjadi dua yang terdiri dari: a. Hubungan Langsung “Hubungan langsung yang dimaksudkan adalah hubungan antara produsen dan konsumen yang terikat secara langsung dengan perjanjian. Tanpa mengabaikan jenis perjanjian-perjanjiaan lainnya, pengalihan barang dari produsen kepada konsumen, pada umumnya dilakukan dengan perjanjian jual beli, baik yang dilakukan secara lisan maupun tertulis.” b. Hubungan Tidak Langsung “Hubungan tidak langsung yang dimaksudkan pada bagian ini adalah hubungan antara produsen dengan konsumen yang tidak secara langsung terikat dengan perjanjian, karena adanya pihak diantara produsen dengan konsumen. Ketiadaan hubungan langsung dalam bentuk perjanjian antara pihak produsen dengan konsumen ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut rugi kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki hubungan perjanjian, karena dalam hukum perikatan tidak hanya perjanjian yang melahirkan (merupakan sumber) perikatan, akan tetapi dikenal ada dua sumber perikatan, yaitu perjanjian dan undang-undang. Sumber perikatan yang berupa undang-undang ini masih dapat dibagi lagi dalam undang-undang saja dan undangundang karena perbuatan manusia, yaitu yang sesuai hukum dan yang melanggar hukum. Berdasarkan pembagian sumber perikatan tersebut, maka sumber perikatan yang terakhir, yaitu undang-undang 27
J. Satrio. 1993. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Undang-undang. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 2. 28 Sulistyandari. 2012. Perbuatan Melawan Hukum. Purwokerto: UNSOED, hlm. 3.
37
karena perbuatan manusia yang melanggar hukum merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen.” 29
Seseorang yang bertindak sebagai konsumen mempunyai hubungan hukum berupa perjanjian dengan pihak lain, ketika pihak lain tersebut melanggar perjanjian yang disepakati bersama maka konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan dalih melakukan wanprestasi (ingkar janji). Apabila sebelumnya tidak ada perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata, yakni melalui ketentuan perbuatan melawan hukum. Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa didunia untuk dapat mewujudkannya.
Mewujudkan
perlindungan
konsumen
adalah
mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain memiliki keterikatan dan saling ketergantungan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah.
C. Produk Pangan Impor
Makanan merupakan kebutuhan manusia yang paling mendasar. Tanpa makanan, manusia tidak dapat bertahan hidup karena pasokan energi bagi manusia bersumber dari makanan. Pengertian makanan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: 29
Ahmadi Miru. 2011. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, hlm 34-36.
38
a) Segala apa yang boleh dimakan (seperti panganan, lauk-pauk, kue); b) Segala bahan yang kita makan/masuk ke dalam tubuh yang membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberikan tenaga, atau mengatur semua proses didalam tubuh. Pengertian pangan menurut Pasal 1 angka ke 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan jo Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label Dan Iklan Pangan menyebutkan bahwa: Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Pengertian Impor Pangan dapat dilihat dalam Pasal 1 angka (25) UndangUndang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menyebutkan bahwa: Impor Pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan ke dalam daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen. Kegiatan impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Impor pangan pokok juga dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi. Pangan yang diimpor harus benar-benar memenuhi kandungan gizi dan standar keamanan bagi kesehatan karena kesehatan merupakan hak asasi setiap
39
orang. Pasal 48 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa melalui kegiatan pengamanan makanan dan minuman merupakan salah satu cara untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggitingginya. Dalam Pasal 7 undang-undang yang sama, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan pula bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, konsumen perlu dilindungi dari pangan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kesehatan.
D. Label
1. Pengertian Label Label pada kemasan produk pangan bukan sekedar hiasan setiap kali hendak membeli produk makanan dalam kemasan, yang pertama kali dilihat calon konsumen adalah kemasan dan label kemasan yang sangat beragam bentuk dan bahannya. Namun, yang lebih penting adalah label yang terdapat dalam kemasan. Dari label inilah konsumen mengetahui banyak hal soal produk di dalam kemasan tersebut. Pengertian label berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: a. Sepotong kertas (kain, logam, kayu, dan sebagainya) yang ditempelkan pada barang, nama pemilik, tujuan alamat, dan sebagainya; b. Etiket; merek dagang; c. Petunjuk singkat tentang zat-zat yang terkandung dalam obat tersebut; d. Petunjuk kata, sumber kata dan sebagainya dalam kamus;
40
e. Catatan analisis pengujian mutu fisik, fisiologik dan genetik dari benih tersebut. Label menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Dan Iklan Pangan: Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan. Secara rasional, konsumen akan memilih produk yang sesuai dengan keinginan dan memaksimalkan nilai uang yang telah dikeluarkan. Dengan kata lain, konsumen akan membeli produk yang dapat memberikan nilai yang besar. Nilai besar dari produk yang dikemas dapat diketahui melalui label yang tercantum dalam kemasan. Label mempunyai fungsi yang sangat penting, sehingga dapat disimpulkan bahwa peraturan pelabelan akan berfungsi untuk:30 a. Membantu konsumen secara langsung saat membeli. Peraturan pelabelan yang baik akan memberikan informasi yang mendasar mengenai produk dan meningkatkan jumlah informasi yang dapat diakses konsumen dalam membuat keputusan. b. Membantu konsumen dalam mengingat dan konsisten terhadap produk tertentu. Pelabelan juga akan menentukan parameter dan evaluasi periklanan. c. Jaminan pengawasan dari pemerintah. Jaminan ini akan meyakinkan konsumen bahwa apa yang tertulis pada label produk akan meyakinkan konsumen bahwa produk yang beredar di pasaran adalah produk yang berkualitas. d. Salah satu media pendidikan konsumen. Misalnya, bagaimana cara pemakaian dan penyimpanan produk yang baik serta informasi kandungan atau komposisi yang ada di dalam produk.
30
Suyadi, Op.Cit., hlm. 92.
41
Label pada pangan impor adalah sumber informasi bagi konsumen tentang produk pangan tersebut karena konsumen tidak dapat bertemu langsung dengan produsen. Banyak label pada pangan impor masih berbahasa asing atau dapat dikatakan tidak menggunakan bahasa Indonesia sehingga masyarakat sebagai konsumen tidak dapat mengetahui dengan jelas apa saja kandungan dalam pangan impor tersebut.
2. Pengaturan Label Salah satu hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Informasi barang dan/atau jasa yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha terutama dalam bentuk iklan atau label.31 Menurut Shidarta, setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan diberbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).32 Peraturan yang mengatur tentang label antara lain: a. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, BAB VIII yaitu dari Pasal 96 sampai dengan Pasal 103. 31 32
23-24.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hlm. 71. Shidarta, 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo, hlm.
42
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu Pasal 4 mengenai hak-hak konsumen dan Pasal 8 ayat (1) mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. c. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Dan Iklan Pangan, yaitu BAB II dari Pasal 2 sampai Pasal 43. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: a. Setiap orang yang memproduksi atau menghasilkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. b. Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca. Berkaitan dengan penginformasian yang harus dilakukan oleh pelaku usaha kepada konsumen tentang segala hal mengenai produk yang dihasilkan, Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Dan Iklan Pangan menyebutkan bahwa keterangan yang ada dalam label diantaranya: a. b. c. d.
nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia; e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa. Pengaturan yang lebih lengkap berkaitan dengan penginformasian yang harus dilakukan oleh pelaku usaha kepada konsumen diatur dalam Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa Pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan ditulis
43
atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai: a. b. c. d. e. f. g. h. i.
nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; halal bagi yang dipersyaratkan; tanggal dan kode produksi; tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa; nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan asal usul bahan Pangan tertentu.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Dan Iklan Pangan Pasal 15: Keterangan pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin. Label pada produk pangan, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia harus menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Hal ini agar memudahkan para konsumen untuk menggunakan petunjuk informasi pemakaian produk pangan jika pada label tersebut dicantumkan atau diterjemahkan kedalam bentuk bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penggunaan bahasa Indonesia pada label tidak hanya bermanfaat bagi konsumen sehingga informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat, melainkan juga akan memudahkan pengawasan produk pangan yang beredar. Namun, khusus untuk pangan olahan untuk diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan tersebut.
44
3. Pengawasan a. Pengertian Pengawasan Pangan merupakan salah satu hal yang sangat penting didalam kehidupan manusia karena pangan berfungsi memberikan tenaga atau energi pada tubuh dan pelindung tubuh terhadap penyakit. Makanan dan minuman yang menarik, nikmat, dan tinggi gizinya, tidak akan berarti sama sekali jika tidak aman untuk dikonsumsi. Untuk mendapatkan pangan yang aman dan memenuhi syarat kesehatan, maka perlu diwujudkan suatu sistem pembinaan dan pengawasan yang efektif terhadap pangan tersebut. Pembinaan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa: 1. Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. 2. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. 3. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. 4. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk: a) terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b) berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; c) meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
45
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut: 1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. 3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. 4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. 6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menegaskan peran pemerintah dalam pengawasan. Pasal 8 peraturan pemerintah tersebut menyebutkan bahwa: 1. Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa. 2. Pengawasan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa. 3. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat.
46
4. Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan/atau Menteri Teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masingmasing. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga mengatur yang berkaitan dengan pengawasan pangan termasuk salah satunya pengawasan persyaratan label dan iklan pangan. Undang-Undang Pangan menyebutkan secara tegas tentang kewenangan bagi pengawas dalam Pasal 110 yaitu antara lain: 1. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan Perdagangan Pangan untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh Pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau Perdagangan Pangan; 2. menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau patut diduga yang digunakan dalam pengangkutan Pangan serta mengambil dan memeriksa contoh Pangan; 3. membuka dan meneliti Kemasan Pangan; 4. memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau Perdagangan Pangan, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; dan 5. memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha atau dokumen lain yang sejenis. Pasal
30
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan Konsumen, Pasal 110 Undang-Undang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen memberikan kekuasaan kepada lembaga-lembaga pemerintah untuk melakukan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen demi terjaminnya hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha. Oleh karena itu,
47
pengawasan merupakan unsur yang penting dalam hal terlaksananya perlindungan konsumen. Pengawasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata awas sehingga pengawasan merupakan kegiatan mengawasi saja, dalam arti melihat sesuatu dengan seksama yang kemudian dilaporkan. “Pengawasan adalah salah satu fungsi organik manajemen, yang merupakan proses kegiatan pimpinan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan dan sasaran serta tugas-tugas organisasi akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana, kebijaksanaan, instruksi dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan yang berlaku. Pengawasan sebagai fungsi manajemen sepenuhnya adalah tanggung jawab setiap pimpinan pada tingkat manapun. Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas-tugas organisasi.”33 Sondang
P.
Siagian
dalam
bukunya
Filsafat
Administrasi,
menyatakan bahwa:34 “Pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.” Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengawasan merupakan usaha untuk menjamin terlaksananya segala ketentuan kebijaksanaan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.
33
Lembaga Administrasi Negara. 1997. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT Toko Gunung Agung, hlm. 159. 34 Sondang P. Siagian. 1985. Filsafat Administrasi. Jakarta: Haji Mas Agung, hlm. 135.
48
b. Jenis-Jenis Pengawasan Pengawasan merupakan hal yang sangat penting bagi suatu negara yang sedang
berkembang.
Administrasi
negara
dalam
menyelenggarakan
pemerintahan mempunyai beberapa keleluasaan demi terselenggaranya kesejahteraan masyarakat untuk mencapai tujuan negara. Untuk mencapai tujuan negara tersebut, maka dalam hal pengawasan dapat diklasifikasikan berdasarkan:35 1. Subyek yang melakukan pengawasan a) Pengawasan Melekat Yaitu pengawasan yang dilakukan oleh setiap pimpinan terhadap bawahan dan satuan kerja yang di pimpinnya. b) Pengawasan Fungsional Yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang tugas pokoknya melakukan pengawasan. c) Pengawasan Legislatif Yaitu pengawasan yang dilakukan oleh DPR maaupun DPRD. Pengawasan ini merupakan pengawasan politik. d) Pengawasan Masyarakat Yaitu pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, seperti yang termuat dalam media massa. Pengawasan ini sering juga disebut sosial kontrol (social control).
35
Lembaga Administrasi Negara. Op.Cit., hlm. 160.
49
Pengawasan, dilihat dari subyek yang melakukan pengawasan, dapat dibedakan sebagai pengawasan intern dan pengawasan ekstern. a) Pengawasan intern yaitu pengawasan yang dilakukan oleh satu badan yang secara struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintahan sendiri. 1) Pengawasan melekat. Dilakukan oleh atasan langsung, baik di tingkat pusat maupun daerah. 2) Pengawasan fungsional. Dilakukan secara fungsional oleh aparat pengawasan. b) Pengawasan
ekstern
yaitu
pengawasan
yang
dilakukan
oleh
organ/lembaga secara organisatoris/struktural berada diluar pemerintah (dalam arti eksekutif). 2. Cara pelaksanaan pengawasan a) Pengawasan langsung yaitu pengawasan yang dilaksanakan di tempat kegiatan berlangsung dengan mengadakan inspeksi dan pemeriksaan. b) Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan yang dilaksanakan dengan mengadakan pemantauan dan pengkajian laporan dari pejabat/satuan kerja yang bersangkutan, aparat pengawasan fungsional, pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat 3. Waktu pelaksanaan a) Pengawasan dilakukan sebelum kegiatan dimulai yang dilakukan dengan mengadakan pemeriksaan dan persetujuan rencana kerja dan rencana anggarannya, penetapan Petunjuk Operasional, persetujuan
50
atas rancangan
peraturan perundangan yang akan ditetapkan oleh
pejabat/instansi yang lebih rendah. Pengawasan ini bersifat preventif. b) Pengawasan dilakukan selama pekerjaan berlangsung. c) Pengawasan dilakukan sesudah pekerjaan selesai dilaksanakan yang dilakukan dengan cara membandingkan antara rencana dan hasil Pengawasan ini bersifat persuasif. 4. Pengawasan dari segi sifatnya Pengawasan terhadap aparatur pemerintah apabila dilihat dari segi sifat pengawasan itu, terhadap objek yang diawasi dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu : a) Pengawasan dari segi hukum (rechtmatigheidstoetsing) misalnya pengawasan yang dilakukan oleh badan peradilan pada prinsipnya hanya menitikberatkan pada segi legalitas. Contoh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas menilai sah tidaknya suatu ketetapan pemerintah. Selain itu tugas hakim adalah memberikan perlindungan (law proteciton) bagi rakyat dalam hubungan hukum yang ada diantarra negara/pemerintah dengan warga masyarakat. b) Pengawasan dari segi kemanfaatan (doelmatigheidstoetsing) yaitu pengawasan teknis administratif intern dalam lingkungan pemerintah sendiri (builtincontrol) selain bersifat legalitas juga lebih menitik beratkan pada segi penilaian kemanfaatan dari tindakan yang bersangkutan.
51
Sehubungan dengan arti pengawasan dalam hukum administrasi negara maka hal ini sangat erat kaitannya dengan peranan aparatur pemerintah sebagai penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintah dan pembangunan. Bentuk peran serta pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap produk pangan yang beredar di pasar adalah dengan adanya lembaga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Hal tersebut mulai diwujudkan oleh pemerintah, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2013. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang dalam pelaksanaan tugasnya berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan. Sebagai lembaga pemerintah yang memiliki tugas kewenangan melaksanakan fungsi pengawasan di bidang obat dan makanan, seluruh program dan kegiatan BPOM memiliki tujuan yang esensial yaitu untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen atas mutu, keamanan dan kemanfaatan produk obat dan makanan yang beredar.
4. Sanksi Bagi Pelaku Usaha Importir sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat. Oleh karena itu, kepada importir dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban tersebut, yaitu melalui penerapan norma-norma hukum, kepatutan, dan kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia usaha. Pelaku usaha yang
52
melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi sebagai akibat hukum dari pelanggaran tersebut. Pemberian sanksi sebagai akibat hukum pelanggaran ini penting, karena sanksi merupakan salah satu alat untuk mengembalikan kepada keadaan semula apabila telah terjadi pelanggaran sekaligus sebagai alat preventif bagi importir lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan curang. Berkaitan dengan pelanggaran pada label produk pangan yang dilakukan pelaku usaha, terdapat sanksi sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999. Sanksi yang diatur dalam Pasal 61 yang menyebutkan antara lain: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dikenakan tindakan administratif. (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. peringatan secara tertulis; b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran; c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; d. penghentian produksi untuk sementara waktu; e. pengenaan denda paling tinggi Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah); dan atau f. pencabutan izin produksi atau izin usaha. (3) Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, c, d, e, dan f hanya dapat dilakukan setelah peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan sebanyakbanyaknya 3 (tiga) kali. (4) Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) hanya dapat dilakukan oleh Menteri Teknis sesuai dengan kewenangan berdasarkan masukan dari Menteri Kesehatan. Sanksi yang lebih tegas diatur dalam Pasal 143 dan Pasal 144 UndangUndang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan berkaitan dengan label pangan yang menegaskan bahwa:
53
Pasal 143 Setiap Orang yang dengan sengaja menghapus, mencabut, menutup, mengganti label, melabel kembali, dan/atau menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa Pangan yang diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Pasal 144 Setiap Orang yang dengan sengaja memberikan keterangan atau pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan pada label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode
pendekatan
yang digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.36 Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.37
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan dari suatu obyek atau masalah yang akan diteliti secara sistematis tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang sifatnya umum.38
36
Jhony Ibrahim. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia, hlm. 295. 37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: CV. Rajawali, hlm. 15. 38 Rony Hanitijo Soemitro. 1988. Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri. Jakarta: Alumni, hlm. 14.
55
C. Lokasi Penelitian Lokasi dari penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang.
D. Sumber Data 1. Data Sekunder Bahan Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:39 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari: 1. Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, 2. Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya jurnal hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
39
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op cit., hlm. 14.
56
2. Data Primer Data primer adalah berupa wawancara langsung dengan pihak atau staf yang bidang kerjanya berkaitan dengan masalah yang diteliti di lingkungan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang.
E. Metode Pengumpulan Data 1. Data Sekunder Bahan hukum yang diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi peraturan undang-undangan, buku-buku literatur, karya ilmiah sarjana maupun jurnal, surat kabar, serta internet browsing yang berkaitan dengan penelitian ini. 2. Data Primer Data primer diperoleh dengan melakukan penelitian lapangan langsung pada objek yang dijadikan masalah yaitu dengan melakukan wawancara dengan pihak atau staf di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang.
F. Metode Penyajian Data Data penelitian yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks deskriptif naratif yang disusun secara sistematis sebagai suatu kesatuan yang utuh, yang didahului dengan pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, analisa data dan hasil pembahasan, serta diakhiri dengan kesimpulan.
57
G. Metode Analisis Data Bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara normatif kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan cara memahami dan merangkai bahan hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis dan diuraikan dalam kalimat yang teratur, runtut, logis, kemudian diakhir ditarik kesimpulan.
58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Semarang, maka diperoleh data sebagai berikut: 1. Data Sekunder 1.1
Pengertian a. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. (Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) b. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan. (Pasal 1 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka
59
BPOM
Nomor
Hk.03.1.5.12.11.09955
Tahun
2011
tentang
Pendaftaran Pangan Olahan) c. Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label. (Pasal 1 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) d. Pendaftaran adalah prosedur Penilaian keamanan, mutu, dan gizi Pangan Olahan untuk mendapat Surat Persetujuan Pendaftaran. (Pasal 1 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) e. Surat Persetujuan Pendaftaran adalah persetujuan hasil Penilaian Pangan Olahan yang diterbitkan oleh Kepala Badan dalam rangka peredaran Pangan Olahan. (Pasal 1 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013
tentang
Perubahan
Atas
Perka
BPOM
Nomor
Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) f. Produsen adalah perorangan dan/atau badan usaha yang membuat, mengolah, mengubah bentuk, mengawetkan, mengemas kembali
60
Pangan Olahan untuk diedarkan. (Pasal 1 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) g. Importir adalah perorangan dan/atau badan usaha yang memasukkan Pangan Olahan ke dalam wilayah Indonesia. (Pasal 1 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) h. Distributor
adalah
perorangan
dan/atau
badan
usaha
yang
mengedarkan Pangan Olahan di wilayah Indonesia. (Pasal 1 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) i. Nomor Pendaftaran Pangan adalah nomor yang diberikan bagi Pangan Olahan dalam rangka peredaran Pangan yang tercantum pada Surat Persetujuan Pendaftaran. (Pasal 1 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) j. Pengawasan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh petugas pengawas untuk memastikan kesesuaian barang dan/atau jasa dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa,
61
pencantuman label, klausula baku, cara menjual, pengiklanan, pelayanan purna jual, dan kebenaran peruntukkan distribusinya. (Pasal
1
Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor
20/M-
Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) k. Pengawasan berkala adalah pengawasan barang dan/atau jasa yang dilakukan dalam waktu tertentu berdasarkan prioritas barang dan/atau jasa yang akan diawasi sesuai program. (Pasal 1 Permendag Nomor 20/M-Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) l. Pengawasan khusus adalah pengawasan yang dilakukan sewaktuwaktu berdasarkan adanya temuan indikasi pelanggaran, laporan pengaduan konsumen atau masyarakat, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) atau tindak lanjut dari hasil pengawasan berkala atau adanya informasi, baik yang berasal dari media cetak, media elektronik maupun media lainnya. (Pasal 1 Permendag Nomor 20/M-Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa)
1.2
Tata Cara Pelabelan Produk Berdasarkan Lampiran pada Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan:
62
a. Ketentuan Umum Pelabelan Produk 1. Pangan Olahan yang diproduksi di dalam negeri atau dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam kemasan, wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan/atau di kemasan pangan. 2. Keterangan dan atau pernyataan tentang pangan olahan dalam label harus benar dan tidak menyesatkan baik mengenai tulisan, gambar atau bentuk apapun lainnya. 3. Label memuat tulisan yang jelas, dapat mudah dibaca, teratur dan tidak berdesak-desakan. 4. Penggunaan latar belakang, baik berupa gambar, warna maupun desain lainnya tidak boleh mengaburkan tulisan pada Label. 5. Pelabelan dilakukan sedemikian rupa sehingga: a) Tidak mudah lepas dari kemasan; b) Tidak mudah luntur atau rusak; dan c) Terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca. 6. Selain ketentuan sebagaimana tercantum pada angka 5, Label yang melekat atau ditempelkan pada kemasan harus melekat kuat sehingga jika dilepas akan merusak label/kemasan aslinya. 7. Label pangan olahan terdiri dari bagian utama dan bagian lain. 8. Label pangan olahan paling sedikit harus mencantumkan: a) Nama pangan olahan;
63
b) Berat bersih atau isi bersih; c) Nama
dan
alamat
pihak
yang
memproduksi
atau
memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; d) Daftar bahan yang digunakan; e) Nomor pendaftaran pangan; f) Keterangan kedaluwarsa; dan g) Kode produksi. 9. Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada data sekunder angka 8, pada label pangan olahan juga harus dicantumkan keterangan sebagai berikut: a) Keterangan tentang kandungan gizi, b) Keterangan tentang iradiasi pangan, c) Keterangan tentang Pangan organik, d) Keterangan tentang Pangan rekayasa genetika, e) Keterangan tentang pangan yang dibuat dari bahan baku alamiah, f) Petunjuk penggunaan/penyiapan, g) Petunjuk tentang cara penyimpanan, h) Keterangan tentang petunjuk atau saran penyajian, i) Keterangan tentang peruntukan, j) Keterangan lain yang perlu diketahui mengenai dampak pangan terhadap kesehatan manusia, k) Peringatan.
64
b. Tulisan pada Label 1. Bahasa, Huruf dan Angka a) Keterangan sebagaimana dimaksud pada data sekunder huruf a angka 8 dan angka 9, ditulis dan dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin. b) Penggunaan istilah asing dalam keterangan sebagaimana dimaksud pada data sekunder huruf a angka 8 dan angka 9 dapat dilakukan sepanjang tidak ada padanannya, tidak dapat diciptakan padanannya atau digunakan untuk kepentingan perdagangan pangan ke luar negeri. c) Istilah asing adalah bahasa, angka atau huruf selain bahasa Indonesia, angka Arab atau huruf Latin serta istilah teknis atau ilmiah, misalnya rumus kimia untuk menyebutkan suatu jenis bahan yang digunakan dalam komposisi. d) Dalam label dengan keterangan sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan huruf b) dapat ditambahkan keterangan yang sama dalam bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin. 2. Ukuran Huruf dan Tulisan a) Huruf dan angka yang digunakan pada label harus jelas dan mudah dibaca serta proporsional dengan luas permukaan label.
65
b) Ukuran huruf minimal sama dengan atau lebih besar dari huruf kecil “o” pada jenis huruf Arial dengan ukuran 1 mm (Arial 6 point), kecuali untuk keterangan tertentu. c) Keterangan dalam bahasa Indonesia harus ditulis dengan ukuran huruf yang proporsional dengan bahasa lain dan tidak kurang dari 1 mm. d) Ukuran huruf untuk nama jenis harus proporsional terhadap ukuran huruf untuk nama dagang. e) Ukuran huruf keterangan sebagaimana dimaksud pada huruf d tidak boleh lebih kecil dari huruf kecil “o” pada jenis huruf Arial dengan ukuran 2 mm atau sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; f) Pengecualian terhadap ketentuan pelabelan diberikan kepada pangan olahan yang kemasannya terlalu kecil, sehingga secara teknis sulit memuat seluruh keterangan yang diwajibkan sebagaimana berlaku bagi pangan olahan lainnya, dengan persyaratan: 1) ukuran kecil yang dimaksud adalah luas permukaan label sama atau kurang dari 10 cm2; 2) memuat keterangan paling sedikit nama dan alamat pihak yang memproduksi; dan
66
3) pangan tersebut dimasukkan ke dalam kemasan yang lebih
besar
yang
memungkinkan
untuk
memuat
keterangan yang harus dicantumkan. g) Untuk label pangan yang luas permukaannya mempunyai ukuran sama atau lebih kecil dari 10 cm2, ukuran huruf dan angka yang dicantumkan tidak boleh lebih kecil dari 0,75 mm. c. Gambar pada Label 1. Gambar harus menunjukkan keadaan sebenarnya, termasuk sifat dan/atau keadaan pangan olahan serta tidak boleh menyesatkan; 2. Gambar buah, daging, ikan atau bahan pangan lainnya hanya boleh dicantumkan apabila pangan mengandung bahan tersebut, bukan sebagai perisa (termasuk perisa alami, perisa identik alami, dan perisa artifisial). Pada bagian komposisi harus dicantumkan jumlah bahan yang digunakan tersebut. 3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 di atas tidak berlaku untuk ketentuan pencantuman gambar sebagai saran penyajian. 4. Untuk pangan olahan yang memerlukan atau mempunyai petunjuk
penyajian
atau
petunjuk
penggunaan
dapat
mencantumkan gambar bahan pangan lainnya sesuai dengan penjelasan petunjuk penyajian atau petunjuk penggunaan.
67
d. Bagian Utama Label 1. Bagian utama label adalah bagian dari label yang memuat keterangan paling penting untuk diketahui oleh konsumen. 2. Bagian utama label terletak pada sisi kemasan yang paling mudah dilihat, diamati dan atau dibaca oleh masyarakat pada umumnya. 3. Keterangan yang harus dicantumkan pada bagian utama label paling sedikit: a) Nama jenis, dan bila ada nama dagang. b) Berat bersih atau isi bersih. c) Nama
dan
alamat
pihak
yang
memproduksi
atau
memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia. e. Pencantuman Keterangan Pada Label 1. Nama Pangan Olahan Nama jenis pada label harus dicantumkan pada bagian utama label. 2. Daftar Bahan yang Digunakan a) Pencantuman daftar bahan yang digunakan atau komposisi pada label wajib menggunakan nama lazim yang lengkap dan tidak berupa singkatan. b) Keterangan tentang komposisi atau daftar bahan yang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan
68
dicantumkan pada label secara lengkap dan berurutan mulai dari jumlah terbanyak. 3. Keterangan tentang Berat Bersih atau Isi Bersih Keterangan tentang berat bersih atau isi bersih dan bobot tuntas harus ditempatkan pada bagian utama label. 4. Keterangan tentang Nama dan Alamat a) Pencantuman keterangan tentang nama dan alamat pihak yang memproduksi pangan pada label pangan olahan yang dimasukan ke wilayah Indonesia: 1) Keterangan yang harus dicantumkan meliputi nama dan alamat pihak yang memproduksi di luar negeri. 2) Alamat perusahaan paling sedikit mencantumkan nama kota dan nama negara. 3) Jika pangan merupakan pangan olahan lisensi atau pangan olahan yang dikemas kembali, maka harus dicantumkan informasi yang menghubungkan antara pihak yang memproduksi dengan pihak pemberi lisensi dan atau pihak yang melakukan pengemasan kembali. 4) Jika pangan merupakan pangan olahan yang diproduksi berdasarkan kontrak, maka harus dicantumkan informasi yang menghubungkan antara pihak yang memproduksi dengan pihak yang memberi kontrak, seperti “diproduksi oleh .... untuk .....“.
69
b) Pencantuman keterangan tentang nama dan alamat pihak yang memasukkan pangan pada label pangan olahan: 1) Keterangan yang harus dicantumkan meliputi nama dan alamat importir. 2) Jika
pihak
yang
mengajukan
pendaftaran
bukan
merupakan importir, maka nama dan alamat yang dicantumkan mencakup nama dan alamat importir dan nama dan alamat pihak yang mendaftarkan disertai informasi yang menghubungkan antara nama perusahaan yang mengajukan pendaftaran dengan importir, seperti “diimpor oleh .... untuk....“ atau “diimpor oleh ..... dan didistribusikan oleh .......“. 3) Alamat perusahaan paling sedikit mencantumkan nama kota, kode pos dan Indonesia, kecuali jika nama dan alamat perusahaan tersebut tidak terdaftar pada direktori kota atau buku telepon tempat perusahaan tersebut berdomisili,
maka
harus
mencantumkan
alamat
perusahaan secara jelas dan lengkap. 5. Pangan Halal Tulisan atau keterangan tentang ”halal” dapat dicantumkan pada bagian utama label dan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
70
6. Keterangan Kedaluwarsa Produsen
wajib
mencantumkan
keterangan
keterangan
kedaluwarsa pada label pangan. 7. Nomor Pendaftaran Pangan Untuk pangan olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia diberi tanda ”BPOM RI ML”.
1.3
Pemasukan Pangan ke Dalam Wilayah Indonesia a. Setiap Pangan Olahan baik yang diproduksi di dalam negeri atau yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam
kemasan
eceran
wajib
memiliki
Surat
Persetujuan
Pendaftaran. Surat Persetujuan Pendaftaran tersebut diterbitkan oleh Kepala Badan. (Pasal 2 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) b. Pendaftaran Pangan Olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia diajukan oleh Importir atau Distributor. 1. Importir atau Distributor harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) memiliki izin di bidang importasi atau distribusi Pangan; b) memiliki surat penunjukan dari Perusahaan asal di luar negeri; dan
71
c) memenuhi persyaratan cara distribusi Pangan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 9 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) c. Surat Persetujuan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas disertai dengan rancangan Label yang telah disetujui. (Pasal 26 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) d. Surat Persetujuan Pendaftaran untuk Pangan Olahan diterbitkan dengan mencantumkan Nomor Pendaftaran Pangan. 1. Nomor Pendaftaran Pangan sebagaimana dimaksud, untuk Pangan Olahan produksi luar negeri berupa tulisan ”BPOM RI ML” yang diikuti dengan digit angka. 2. Digit angka sebagaimana dimaksud berisi informasi identitas pangan olahan yang meliputi perusahaan, lokasi produsen, nomor urut produk, jenis kemasan, dan jenis pangan. 3. Nomor Pendaftaran Pangan wajib dicantumkan pada Label sedemikian rupa sehingga mudah dilihat dan dibaca oleh konsumen. (Pasal 27 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang
Perubahan
Atas
Perka
BPOM
Nomor
72
Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) e.
1.
Sebelum melakukan Pendaftaran Pangan Olahan, Pendaftar wajib mengajukan permohonan audit sarana produksi atau sarana distribusi kepada Kepala Balai setempat.
2. Hasil audit sarana produksi atau sarana distribusi diberikan oleh Kepala Balai kepada Pendaftar dengan tembusan kepada Direktur dan Direktur Inspeksi dan Sertifikasi Pangan. (Pasal 11 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) f. 1. Pangan olahan yang diedarkan harus sesuai dengan kriteria keamanan, mutu dan gizi dan persyaratan Label yang disetujui pada saat pendaftaran. 2. Label Pangan Olahan yang beredar harus sesuai dengan rancangan Label yang disetujui pada saat pendaftaran. (Pasal 35 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan)
73
1.4
Perbuatan yang dilarang Bagi Pelaku Usaha Berdasarkan Lampiran pada Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan: Pernyataan, gambar atau keterangan yang dilarang dicantumkan pada Label meliputi: a. Pernyataan atau keterangan yang tidak benar. Keterangan tidak benar adalah suatu keterangan yang isinya bertentangan dengan kenyataan sebenarnya atau tidak memuat keterangan yang diperlukan agar keterangan tersebut dapat memberikan gambaran atau kesan yang sebenarnya tentang pangan. b. Pernyataan atau keterangan yang menyesatkan. Keterangan yang menyesatkan adalah pernyataan yang berkaitan dengan hal-hal seperti sifat, harga, bahan, mutu, komposisi, manfaat atau keamanan pangan yang meskipun benar dapat menimbulkan gambaran yang menyesatkan pemahaman mengenai pangan yang bersangkutan. c. Pencantuman pernyataan bahwa pangan olahan mengandung suatu zat gizi lebih unggul daripada pangan olahan lain yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. d. Pernyataan bahwa pangan olahan dapat menyehatkan. e. Pernyataan atau keterangan dalam bentuk apapun bahwa pangan olahan yang bersangkutan dapat berfungsi sebagai obat. f. Gambar tenaga kesehatan atau seolah-olah sebagai tenaga kesehatan.
74
g. Pernyataan bahwa pangan olahan dapat meningkatkan kecerdasan atau IQ. h. Pernyataan keunggulan pada pangan olahan jika keunggulan tersebut tidak seluruhnya berasal dari pangan tersebut tetapi sebagian diberikan dari pangan lain yang dapat dikonsumsi bersama-sama. i. Pernyataan yang memuat ketiadaan suatu komponen yang secara alami
tidak ada dalam
pendukung/standar umum
pangan
olahan,
pangan olahan
kecuali
ada data
yang mengandung
komponen tersebut. j. Pernyataan bebas bahan tertentu tetapi mengandung bahan tertentu tersebut baik tidak disengaja maupun sebagai bahan / senyawa ikutan. k. Keterangan yang menyatakan pangan olahan bersifat tonik, hanya karena pangan tersebut mengandung alkohol, gula atau karbohidrat lain, protein, kafein, atau zat yang berasal dari hidrolisis protein atau turunan purin. Pencantuman kata “tonik” hanya dapat digunakan untuk “anggur tonikum kinina“. l. Tulisan atau gambar seolah-olah pemanis buatan berasal dari alam. m. Nama, logo atau identitas lembaga yang melakukan analisis tentang pangan olahan. n. Menggunakan nama dan gambar tokoh yang telah menjadi milik umum, kecuali mendapat izin dari yang bersangkutan.
75
o. Mencantumkan nama tempat, negara, kota, provinsi, suku dan sejenisnya dalam bentuk apapun apabila tidak ada kaitannya dengan pangan olahan tersebut (antara lain nama jenis, asal bahan atau tempat produksi). p. Pernyataan atau keterangan yang secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa pihak lain. q. Pernyataan yang bersifat referensi, nasihat, peringatan atau pernyataan dari tenaga kesehatan atau seolah-olah sebagai tenaga kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan penjualan baik secara langsung atau tidak langsung. r. Keterangan, tulisan atau gambar yang menyinggung suku, agama, ras dan/atau golongan tertentu. s. Pencantuman keterangan mengenai undian, sayembara, hadiah dan tulisan atau gambar apapun yang tidak sesuai dengan label yang disetujui pada persetujuan pendaftaran produk pangan atau persetujuan perubahan data pangan olahan. t. Keterangan, tulisan atau gambar lainnya yang bertentangan dan dilarang oleh ketentuan perundang-undangan.
1.5
Tanggung Jawab Pelaku Usaha a. Pendaftar bertanggung jawab terhadap kelengkapan, kebenaran, dan keabsahan dokumen yang diajukan saat Pendaftaran Pangan Olahan. (Pasal 15 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan
76
Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) b. Perusahaan bertanggung jawab atas keamanan, mutu, dan gizi serta Label Pangan Olahan yang diedarkan sesuai dengan informasi yang disetujui pada saat Pendaftaran. (Pasal 37 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan) c. Tanggung jawab dalam huruf b, untuk Pangan Olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia berada di pihak Importir atau Distributor yang melakukan Pendaftaran. (Pasal 37 Perka BPOM Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perka BPOM Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan)
1.6
Pembinaan a. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. (Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen)
77
b.
1. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait, yang meliputi upaya untuk : a) terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b) berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; dan c) meningkatnya
kualitas
sumber
daya
manusia
serta
meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. 2. Menteri teknis terkait bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuai dengan bidang tugas masing-masing. (Pasal 3 PP Nomor 58 Tahun 2001 tentang
Pembinaan
dan
Pengawasan
Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen) c. Dalam upaya untuk menciptakan iklim usaha dan menumbuhkan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, Menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal: 1. penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen; 2. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen;
78
3. peningkatan peranan BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga; 4. peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing; 5. peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan, keterampilan; 6. penelitian
terhadap
barang
dan/atau
jasa
beredar
yang
menyangkut perlindungan konsumen; 7. peningkatan kualitas barang dan/atau jasa; 8. peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku usaha
dalam
memproduksi,menawarkan,
mempromosikan,
mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa; dan; 9. peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan klausula baku. (Pasal 4 PP Nomor 58 Tahun
2001
tentang
Pembinaan
dan
Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen) d. Dalam upaya untuk mengembangkan LPKSM, Menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal: 1. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen;
79
2. pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan. (Pasal 5 PP Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen) e. Dalam upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan
konsumen,
Menteri
melakukan
koordinasi
penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal : 1. peningkatan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di bidang perlindungan konsumen; 2. peningkatan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang dan/atau jasa; 3. pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu barang; dan 4. penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa serta penerapannya. (Pasal 6 PP Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen)
1.7
Pengawasan terhadap Label a. Pengawasan dilakukan oleh pemerintah terhadap barang dan/atau jasa yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri/impor.
80
Pengawasan oleh pemerintah dilakukan oleh Menteri. (Pasal 2,3 Permendag Nomor 20/M-Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) b. Pengawasan oleh Menteri dilakukan terhadap: 1. barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dalam memenuhi: a) standar; b) label; c) klausula baku; d) pelayanan purna jual; e) cara menjual; dan/atau f) pengiklanan. 2. barang yang dilarang beredar di pasar; 3. barang yang diatur tata niaganya; 4. perdagangan barang-barang dalam pengawasan; dan 5. distribusi. (Pasal 4 Permendag Nomor 20/M-Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) c. 1. Menteri melimpahkan kewenangan pengawasan terhadap barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada: a) Gubernur, untuk melakukan koordinasi dan pengawasan sesuai dengan wilayah kerjanya; b) Gubernur DKI Jakarta, untuk melaksanakan pengawasan di daerah Provinsi DKI Jakarta;
81
c) Bupati/Walikota, kecuali Provinsi DKI Jakarta, untuk melaksanakan pengawasan sesuai dengan wilayah kerjanya; dan d) Dirjen PDN, untuk melakukan pembinaan, koordinasi, dan pelaksanaan
pengawasan
di
daerah
provinsi
dan
kabupaten/kota. 2. Gubernur, Gubernur DKI Jakarta, dan Bupati/Walikota dalam melaksanakan pengawasan dilakukan oleh Kepala Unit Kerja yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan. (Pasal 15 Permendag Nomor 20/M-Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) d. Dalam membantu pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Kepala Unit Kerja yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan, Dirjen PDN dalam hal ini Direktur PBBJ, dapat melakukan pengawasan langsung dan/atau meminta informasi kepada Kepala Unit Kerja di daerah dan/atau unit/instansi teknis terkait lainnya. (Pasal 16 Permendag Nomor 20/M-Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) e.
Menteri menugaskan Dirjen PDN untuk melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan di provinsi dan kabupaten/kota serta berkoordinasi dengan unit/instansi teknis terkait lainnya.
82
(Pasal 17 Permendag Nomor 20/M-Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) f. 1.
Pejabat yang berwenang sebagaimana dalam huruf c diatas,
dalam melaksanakan pengawasan barang dan/atau jasa menugaskan kepada: a) PPBJ dan/atau PPNS-PK untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud huruf b; dan/atau b) pegawai atau pejabat yang bertugas pada unit yang membidangi perdagangan dalam negeri untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam huruf b. 2. Pegawai atau pejabat
yang bertugas pada unit
yang
membidangi perdagangan dalam negeri dalam melakukan pengawasan, ditugasi oleh pejabat yang berwenang yakni Gubernur,
Gubernur
Bupati/Walikota.
DKI
(Pasal
18
Jakarta,
Dirjen
Permendag
PDN
Nomor
dan 20/M-
Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) g.
1. Pelaksanaan pengawasan terhadap: barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dalam memenuhi: standar; label; klausula baku; pelayanan purna jual; cara menjual; dan/atau pengiklanan dilakukan secara berkala dan secara khusus.
83
2. Pengawasan secara berkala dilakukan oleh PPBJ dan/atau PPNS-PK. 3. Pengawasan secara khusus dilakukan oleh PPBJ dan PPNS-PK. (Pasal 19 Permendag Nomor 20/M-Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) h. 1. Pengawasan secara berkala dilakukan terhadap barang dan/atau jasa dengan kriteria: sering terjadi pengelabuan atau penyesatan dalam pemenuhan ketentuan standar, label, klausula baku, pengiklanan, pelayanan purna jual, cara menjual melalui pemaksaan, baik fisik maupun psikis serta kandungan/kadar tertentu yang merugikan konsumen. 2. Pengawasan secara khusus dilakukan berdasarkan: a) tindak lanjut hasil pengawasan berkala; b) pengaduan masyarakat atau LPKSM; atau c) adanya temuan, informasi yang berasal dari media cetak, media elektronik, atau media lainnya. (Pasal 22 Permendag Nomor 20/M-Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) i. 1. Pengawasan berkala terhadap barang yang beredar di pasar dalam memenuhi ketentuan pencantuman label dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
84
a) melakukan pengambilan sampel dengan pembelian contoh barang di pasar secara acak untuk jenis barang yang sama di satu kabupaten/kota pada 3 (tiga) pengecer. Barang yang sama meliputi jenis, tipe, merek, dan kode produksi yang sama. Pengambilan sampel barang dilakukan di 1 (satu) wilayah di 3 (tiga) lokasi; b) melakukan pengamatan kasat mata terhadap keterangan yang tercantum pada label; dan c) memastikan kebenaran antara keterangan yang tercantum pada label dengan kondisi barang yang sebenarnya. 2. Dalam memastikan kebenaran pada huruf c) diatas, apabila terkait dengan spesifikasi teknis barang, dilakukan pengujian di laboratorium uji yang terakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri teknis yang berwenang. 3. Hasil pengamatan dan/atau pengujian sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 disampaikan kepada Kepala Unit Kerja untuk dilakukan evaluasi. 4. Hasil evaluasi apabila: a) label pada barang dan/atau hasil uji laboratorium atas barang telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, Kepala Unit Kerja dapat mempublikasikan kepada masyarakat; atau
85
b) label dengan kondisi barang yang sebenarnya tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Kepala Unit Kerja: 1) mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan kepada instansi teknis pembina terkait; 2) meminta penjelasan mengenai barang kepada pelaku usaha
yang
memperdagangkan
barang
tersebut;
dan/atau 3) menyerahkan kepada PPNS-PK, apabila diduga terjadi tindak pidana di bidang perlindungan konsumen yang didukung dengan bukti permulaan yang cukup untuk dilakukan penindakan. Bukti permulaan yang cukup berupa hasil uji laboratorium, barang yang diawasi, bukti pembelian, penjelasan dari pelaku usaha, dan sekurang-kurangnya didukung adanya 2 (dua) orang saksi. 5. Apabila barang membahayakan keselamatan, keamanan, kesehatan
konsumen,
dan
lingkungan
hidup,
dapat
dipublikasikan dan ditarik dari peredaran. (Pasal 23 Permendag Nomor 20/M-Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) j. Pengawasan khusus oleh PPBJ dan PPNS-PK dilakukan melalui pentahapan sebagai berikut:
86
1. melakukan pengambilan sampel ulang di satu wilayah di 3 (tiga) lokasi untuk jenis barang yang sama berdasarkan hasil pengawasan berkala, apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. melakukan pengambilan sampel di satu wilayah di 3 (tiga) lokasi untuk jenis barang berdasarkan pengaduan oleh konsumen/masyarakat atau LPKSM; 3. melakukan uji laboratorium dan pengecekan ulang terhadap barang dan/atau jasa hasil pengawasan berkala sebagaimana dimaksud pada angka 1 bersama pelaku usaha, baik dalam pemenuhan standar, pencantuman label, klausula baku, pelayanan purna jual, cara menjual dan/atau pengiklanan; 4. hasil uji dan/atau pengecekan ulang disampaikan kepada Kepala Unit Kerja yang bersangkutan untuk dilakukan evaluasi; 5. apabila hasil evaluasi menyatakan tidak melanggar atau tidak terjadi tindak pidana di bidang perlindungan konsumen, maka Kepala Unit Kerja yang bersangkutan dapat mempublikasikan kepada masyarakat; dan 6. apabila hasil evaluasi menyatakan melanggar atau terjadi tindak pidana, maka Kepala Unit Kerja meminta PPNS-PK untuk segera melakukan penyidikan sesuai prosedur yang berlaku. (Pasal 31 Permendag Nomor 20/M-Dag/Per/5/2009
87
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa) k.
1. Menteri memerintahkan kepada pelaku usaha untuk menarik barang dari peredaran, apabila berdasarkan hasil pengawasan khusus atas barang dan sesuai hasil uji laboratorium serta berdasarkan hasil pengawasan berkala, terbukti: a) membahayakan
keselamatan,
keamanan,
kesehatan
konsumen, atau lingkungan hidup; b) merugikan konsumen atau mengakibatkan terjadinya korban; c) tidak sesuai dengan persyaratan yang telah diberlakukan SNI wajib; d) tidak sesuai dengan SNI yang diterapkan oleh pelaku usaha; atau e) tidak
sesuai
dengan
persyaratan
teknis
lain
yang
diberlakukan wajib oleh instansi teknis yang berwenang. 2. Penarikan barang dilakukan terhadap: a) barang yang memiliki kode produksi yang sama; atau b) barang yang jenis, tipe, dan merek sama, apabila tidak tercantum kode produksi. 3. Perintah penarikan barang dilakukan setelah dikoordinasikan dengan unit/instansi teknis terkait.
88
4. Kepala Unit Kerja dapat mempublikasikan barang yang ditarik dari
peredaran
kepada
masyarakat
untuk
menghindari
terjadinya kerugian atau korban. (Pasal 35 Permendag Nomor 20/M-Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa)
1.8
Sanksi Sanksi Administratif di atur dalam Pasal 39 Perka BPOM Nomor 42 Tahun
2013
tentang
Perubahan
Atas
Perka
BPOM
Nomor
Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan: a. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini dapat dikenai sanksi administratif berupa: 1. Peringatan tertulis; 2. Pelarangan untuk mengedarkan sementara waktu; 3. Penangguhan proses pendaftaran Pangan Olahan; 4. Penghentian sementara kegiatan; atau 5. Pencabutan Surat Persetujuan Pendaftaran. b. Sanksi administratif berupa Penghentian sementara kegiatan dapat dikenai berdasarkan atau dalam hal: 1. hasil Penilaian kembali ditemukan hal yang tidak memenuhi persyaratan keamanan;
89
2. Pangan Olahan yang beredar tidak sesuai dengan data yang disetujui pada waktu memperoleh Surat Persetujuan Pendaftaran atau persetujuan perubahan data; 3. Pangan Olahan diiklankan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; 4. putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang berkaitan dengan Pangan Olahan; 5. perusahaan melakukan pelanggaran di bidang produksi dan/atau distribusi Pangan; 6. importir
atau
Distributor
pemegang
Surat
Persetujuan
Pendaftaran sudah tidak mendapat penunjukan dari pabrik asal di luar negeri; 7. izin usaha industri Pangan untuk memproduksi, izin Importir, dan/atau izin Distributor dicabut; 8. lokasi Importir tidak sesuai dengan yang tertera pada Surat Persetujuan Pendaftaran atau persetujuan perubahan data; 9. lokasi sarana produksi tidak sesuai dengan yang tertera pada Surat Persetujuan Pendaftaran atau persetujuan perubahan data; dan/atau 10. atas permohonan pemegang Surat Persetujuan Pendaftaran. c. Pengenaan
sanksi
adminstratif
berupa
penangguhan
proses
pendaftaran Pangan Olahan dikenakan terhadap Perusahaan yang melakukan pelanggaran yaitu importir atau Distributor pemegang
90
Surat
Persetujuan
Pendaftaran
yang
sudah
tidak
mendapat
penunjukan dari pabrik asal di luar negeri. d. Perusahaan bertanggung jawab terhadap Pangan Olahan yang masih berada di peredaran yang telah dicabut Surat Persetujuan Pendaftarannya. e. Nama dagang Pangan Olahan yang telah dicabut persetujuan pendaftarannya, tidak dapat digunakan untuk pangan olahan yang sama.
2. Data Primair Berdasarkan wawancara yang diadakan dengan Bapak Agung Suprianto sebagai Kepala Seksi Penyidikan dari pihak Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Semarang, maka diperoleh data sebagai berikut: 2.1
Pendaftaran Pangan Produk pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan harus diregistrasi atau didaftarkan terlebih dahulu untuk mendapatkan nomor pendaftaran pangan berupa tulisan “BPOM RI ML”. Registrasi ML bertujuan untuk menyatakan bahwa produk impor sudah memiliki izin edar untuk diperjualbelikan di Indonesia. Importir yang belum memiliki nomor pendaftaran pangan terlebih dahulu harus mengkarantina produk impornya, di bea cukai atau gudang sendiri, kemudian mengajukan permohonan pendaftaran
91
secara tertulis ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan mengisi formulir pendaftaran yang disertai dengan kelengkapan dokumen pendaftaran. Dokumen pendaftaran salah satunya memuat rancangan design label berupa gambar dan/atau tulisan yang kemudian oleh BPOM akan diberikan penilaian untuk mengeluarkan surat izin persetujuan. Semua label produk pangan atau obat harus ada persetujuan dari BPOM. Apabila BPOM memberikan persetujuan maka makanan impor dapat dikeluarkan dari karantina. 2.2
Kewajiban importir antara lain : a. Mendaftarkan produknya untuk mendapatkan nomor pendaftaran pangan b. Mencantumkan design label yang mana informasi dalam label tersebut sudah harus dalam bahasa Indonesia sesuai dengan semangat YLKI atau lembaga konsumen.
2.3
Kewajiban memberi label berbahasa Indonesia pada makanan impor yang belum terdaftar di Indonesia dilakukan oleh importir dengan mendapatkan nomor pendaftaran pangan setelah mengikuti persyaratan pelabelan yang ditentukan oleh Indonesia.
2.4
Pemberian label berbahasa Indonesia dilakukan ketika sudah memasuki wilayah Negara Republik Indonesia. Label berbahasa Indonesia harus di tempelkan atau diganti pada makanan impor yang diedarkan untuk diperjualbelikan. Syarat pelabelan mengikuti UndangUndang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, kecuali untuk
92
makanan yang produk kemasannya terlalu kecil sehingga tidak memungkinkan mencantumkan semua informasi yang diwajibkan dapat memakai syarat label yang di atur dalam PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. 2.5
Penggunaan stiker sebagai label diperbolehkan jika stiker memenuhi syarat antara lain sebagai berikut: a. Melekat kuat sehingga tidak mudah lepas b. Menggunakan bahan kemasan yang tulisannya mudah dibaca c. Tidak mudah luntur.
2.6
Penerjemah label ke dalam bahasa Indonesia tidak harus memiliki surat izin resmi sebagai penerjemah karena BPOM yang akan meneliti kata-kata yang dicantumkan pada makanan impor. Kata-kata dalam makanan tidak boleh berkonotasi sebagai obat atau menyembuhkan.
2.7
Informasi pada label dibutuhkan masyarakat sehingga label harus jelas terbaca. Antara luas kemasan dan ukuran label harus proporsional. Jika ukuran label tidak sesuai atau tidak proporsional dengan luas kemasan, maka pihak Badan POM akan memberikan teguran.
2.8
Perlindungan hukum yang dilakukan BPOM adalah dengan melakukan
pengawasan
rutin
dan
sampling
atau
pengujian.
Pengawasan rutin berupa pemeriksaan sarana produksi dan distribusi. Pemeriksaan sarana, dalam hal makanan impor, terhadap importirnya. Pemeriksaan distribusi merupakan pengawasan terhadap peredaran produk dari segi kualitas.
93
Dengan keterbatasan yang dimiliki Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Semarang, pengawasan diutamakan terhadap makanan yang memiliki resiko tinggi. Skala prioritas yang didahulukan untuk di awasi peredarannya yaitu terhadap makanan untuk anak-anak, orangorang yang sudah tua dan makanan yang banyak dibutuhkan masyarakat. Bentuk pengawasan lainnya adalah dengan melakukan kerjasama dengan dinas kabupaten/kota. Kerjasama dengan dinas kabupaten/kota dilakukan rutin dari bulan Januari sampai Desember dengan cara turun ke daerah. Namun menjelang hari raya pengawasan lebih intensif karena daya konsumsi masyarakat semakin tinggi. Untuk Purwokerto, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Semarang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Banyumas. Sampling atau pengujian. Produk yang tidak ada nomor izin edarnya akan diuji karena dianggap produk yang bermasalah dan harus segera ditarik dari peredaran untuk diamankan. Pengujian juga dilakukan terhadap imporitr apakah telah mengikuti syarat sewaktu pendaftaran. 2.9
Badan khusus memeriksa makanan adalah BPOM pada bagian pemeriksaan dan penyidikan. Pemeriksan dilakukan dengan cara turun langsung.
2.10
BPOM, dalam hal ini bidang sertifikasi dan layanan informasi konsumen, telah memberikan penyuluhan kepada importir terkait dengan syarat pemasukan makanan ke dalam wilayah Indonesia
94
termasuk didalamnya mengenai kewajiban label berbahasa Indonesia. Sertifikasi berkaitan dengan perizinan dan layanan informasi konsumen berkaitan dengan pengaduan. 2.11
Pengaduan dapat diajukan ke BPOM atau YLKI. Tindak lanjut apabila terjadi pengaduan yaitu dengan cara BPOM memeriksa kembali dokumen importir pada saat awal mengajukan izin registrasi atau izin pendaftaran. Makanan impor tersebut akan diamankan apabila tidak ada nomor registrasi. Apabila ada nomor registrasi tetapi tidak berlabel bahasa Indonesia maka BPOM akan memberikan teguran secara tertulis kepada importir.
2.12
Pihak yang bertanggung jawab atas kerugian sebagai akibat tidak dicantumkannya label berbahasa Indonesia adalah importir dan swalayan yang mengedarkan makanan tanpa izin edar tersebut. Makanan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia secara illegal maka tidak ada pihak pelaku usaha yang bertindak sebagai importir, oleh karena itu swalayan yang mengedarkan dianggap juga bertanggung jawab.
Swalayan wajib mengetahui bahwa makanan
sebelum diedarkan harus memiliki nomor izin edar makanan. 2.14
Sanksi terhadap produk makanan impor yang labelnya tidak berbahasa Indonesia adalah produk harus ditarik yang kemudian untuk diganti labelnya. Akan tetapi apabila mengganti label akan merusak produk, label
tidak
diperbolehkan
untuk
diganti
dan
produk
harus
dimusnahkan. Pemusnahan ini tergantung kebijakan Kepala BPOM.
95
2.15
Izin edar ML mutlak harus ada pada produk impor. Apabila tidak memiliki izin edar maka pelaku usaha tidak dapat untuk melanjutkan produksinya. Pelaku usaha pada produk makanan impor yang tidak memiliki izin edar ML dapat dikenakan Pasal 142 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dengan sanksi pidana penjara 2 tahun. Terhadap izin edar yang sudah dicabut dapat mengajukan izin baru tetapi dengan memperhatikan catatan pada izin sebelumnya dan izin yang baru ini yang akan diprioritaskan pengawasannya.
B. Pembahasan
Istilah konsumen secara yuridis formil ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 1 angka (2) undang-undang tersebut menyebutkan bahwa: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument/konsument (Belanda). Pengertian consumer atau consument tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan produsen) setiap orang yang menggunakan barang.
96
Az. Nasution didalam buku Celina Tri Siwi Kristiyanti memberikan pengertian konsumen sebagai berikut:40 “Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.” Berdasarkan data sekunder nomor 1.1 huruf a tentang pengertian pangan, jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 2 UUPK dan pendapat Az. Nasution maka dapat dideskripsikan yang dimaksud sebagai konsumen dalam hal ini adalah manusia yang memanfaatkan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik diolah maupun tidak diolah, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dengan tujuan diperuntukkan sebagai makanan dan minuman. Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa: Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Berdasarkan data sekunder nomor 1.1 huruf i, huruf j dan penjelasan dari pasal Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa perorangan dan/atau badan usaha yang membuat, mengolah, mengubah bentuk, mengawetkan, mengemas kembali atau yang memasukkan Pangan Olahan ke dalam wilayah Indonesia sebagai kegiatan usaha termasuk dalam pengertian pelaku usaha.
40
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hlm. 25.
97
Perlindungan hukum bagi konsumen merupakan segala bentuk upaya untuk memberikan rasa aman kepada konsumen sebagai pengguna suatu barang dan/atau jasa dengan menjamin adanya kepastian hukum. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan definisi sebagai berikut: Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Iswanto dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum memberikan gambaran terhadap pengertian perlindungan hukum sebagai berikut: “Perlindungan hukum adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa perlindungan hukum adalah segala upaya untuk memberikan rasa aman bagi seseorang dengan membatasi hak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat berdasarkan sekumpulan peraturan yang mengatur tata tertib bertingkah laku dalam masyarakat.” 41 Shidarta memberikan pengertian Perlindungan konsumen sebagai berikut: “Perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum sehingga perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Materi yang mendapatkan perlindungan bukan sekedar fisik, melainkan juga hak-haknya yang bersifat abstrak, dengan kata lain perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.”42 Perlindungan konsumen dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap hakhak konsumen. Hak-hak konsumen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang antara lain: 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 41 42
Iswanto, Op.Cit., hlm. 40. Shidarta, Op.Cit., hlm. 19.
dan
keselamatan
dalam
98
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya 9. Hak-hak yang diatur dalam ketetntuan peraturan perundang-undangan lainnya. Berkaitan dengan pelabelan suatu produk pangan, terdapat berbagai aturan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu Pasal 4 mengenai hak-hak konsumen dan Pasal 8 ayat (1) mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Bab VIII yaitu dari Pasal 96 sampai dengan Pasal 103, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Dan Iklan Pangan, yaitu BAB II dari Pasal 2 sampai Pasal 43 dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan. Analisis hak-hak konsumen menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen khususnya yang berkaitan dengan ketentuan huruf a, c, dan h adalah sebagai berikut:
99
1. Hak konsumen atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur tentang hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam Pasal 4 huruf a yang menyebutkan bahwa hak konsumen adalah: Hak konsumen atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Berdasarkan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: (1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/ataunpersyaratan kesehatan. (2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi: a. Nama produk; b. Daftar bahan yang digunakan; c. Berat bersih atau isi bersih; d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan minuman kedalam wilayah Indonesia; dan e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa. (4) Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara benar dan akurat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian label sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan. Menurut Pasal 97 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 20012 tentang Pangan:
100
(1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan. (2) Setiap Orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (3) Pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai: a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; e. halal bagi yang dipersyaratkan; f. tanggal dan kode produksi; g. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa; h. nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan i. asal usul bahan Pangan tertentu.hukumonline.com (4) Keterangan pada label sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditulis, dicetak, atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat. Berdasarkan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan: Setiap Orang dilarang memperdagangkan Pangan yang tidak sesuai dengan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang tercantum dalam label Kemasan Pangan. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa:43 “Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.”
43
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 41.
101
Berdasarkan data sekunder nomor 1.2 huruf a tentang ketentuan umum pelabelan produk, huruf b tentang tulisan pada label, huruf d tentang bagian utama label, huruf e tentang pencantuman keterangan pada label, 1.3 huruf a tentang wajib memiliki surat persetujuan pendaftaran bagi setiap pangan olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia, huruf b tentang pendaftaran pangan olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia diajukan oleh Importir atau Distributor, huruf c tentang surat persetujuan pendaftaran disertai dengan rancangan label yang telah disetujui, huruf d tentang nomor pendaftaran pangan, huruf e tentang permohonan audit sarana produksi atau sarana distribusi, huruf f tentang pangan olahan yang diedarkan harus sesuai dengan kriteria keamanan, mutu dan gizi dan persyaratan label yang disetujui pada saat pendaftaran, 1.4 tentang perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha, 1.6 tentang pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen, 1.7 huruf b tentang pengawasan oleh Menteri dilakukan terhadap label, huruf c tentang
pelimpahan kewenangan
pengawasan dari Menteri, huruf f tentang penugasan pelaksanaan pengawasan dari pejabat yang berwenang, huruf g tentang Pelaksanaan pengawasan dilakukan secara berkala dan secara khusus, huruf i tentang tahapan pengawasan berkala, huruf j tentang tahapan pengawasan khusus, huruf k tentang penarikan barang dari peredaran yang tidak sesuai aturan, apabila dihubungkan dengan Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 111 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 97 UndangUndang Nomor 18 Tahun 20012 tentang Pangan, dan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012, serta pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, dapat
102
dikatakan bahwa secara normatif pemenuhan hak tentang kenyamanan, keamanan, dan keselamatan sudah terpenuhi. Pemerintah atau badan yang berkaitan dengan pengawasan makanan (BPOM) sudah berusaha memberikan jaminan atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dengan dibuatnya aturan pelabelan secara tegas dan jelas kepada importir yang memasukkan makanan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan melakukan pengawasan secara berkala. Hal ini didukung dengan data primair nomor 2.1 tentang Pendaftaran Pangan, 2.3 tentang Kewajiban memberi label berbahasa Indonesia pada makanan impor yang belum terdaftar di Indonesia oleh importir, 2.4 tentang Pemberian label berbahasa Indonesia dilakukan ketika sudah memasuki wilayah Negara Republik Indonesia, 2.8 tentang pengawasan, 2.9, 2.10 dan nomor 2.14 tentang sanksi terhadap produk makanan impor yang labelnya tidak berbahasa Indonesia. Keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari, namun dalam prakteknya konsumen belum memperoleh pemenuhan hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan secara optimal karena masih ada importir yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia pada makanan impor sehingga konsumen tidak mengetahui bahaya yang kemungkinan timbul dari bahan apa makanan tersebut dibuat.
103
2. Hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur tentang hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur dalam Pasal 4 huruf c yang menyebutkan bahwa hak konsumen adalah: Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa: Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. Berdasarkan Pasal 96 ayat (1), Pasal 97, dan Pasal 100 ayat (2) UndangUndang Nomor 18 Tahun 20012 tentang Pangan: Pasal 96 ayat (1) Pemberian label Pangan bertujuan untuk memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap produk Pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi Pangan. Pasal 97 (1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan. (2) Setiap Orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (3) Pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia.
104
Pasal 100 ayat (2) Setiap Orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan yang tidak benar dan/atau menyesatkan pada label. Berdasarkan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan menyebutkan bahwa: Keterangan pada Label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa:44 “Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan atau sesuai dengan kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.” Celina Tri Siwi Kristiyanti menyatakan bahwa: “Consumer ignorance yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan bisa saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang didalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan diberikan secara tidak diskriminatif.” Berdasarkan data sekunder nomor 1.2 huruf a tentang ketentuan umum Pelabelan produk, huruf b tentang tulisan pada label, huruf c tentang gambar pada label, huruf d tentang bagian utama label, huruf e tentang pencantuman keterangan pada label, dan data sekunder nomor 1.4 tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang apabila dihubungkan dengan Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 96 ayat (1), 44
Loc.cit.
105
Pasal 97, dan Pasal 100 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 20012 tentang Pangan, Pasal 15 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, serta pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, dan Celina Tri Siwi Kristiyanti, yang didukung dengan data primer nomor 2.2, 2.4, 2.5, 2.7, maka dalam prakteknya dapat dideskripsikan bahwa konsumen belum memperoleh pemenuhan hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dikarenakan tidak tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen dalam bahasa Indonesia sehingga konsumen kesulitan dalam membaca informasi yang tertera pada label dan bisa saja mempunyai gambaran yang keliru atas produk makanan impor tersebut. Informasi yang benar dan bertanggung jawab merupakan kebutuhan pokok sebelum konsumen mengambil suatu keputusan untuk mengadakan atau tidak mengadakan transaksi dan dalam hal penginformasian importir telah melanggar kewajiban ketentuan dalam pelabelan yaitu dengan tidak mencantumkannya label berbahasa Indonesia.
3. Hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya Hak ini tercantum pada Pasal 4 huruf h yang menyebutkan bahwa hak konsumen adalah:
106
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur tentang keterlibatan pemerintah dalam pembinaan yaitu pada Pasal 29 yang menyatakan bahwa: 1. Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. 2. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. 3. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. 4. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk: a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; c. meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut: 1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. 3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
107
4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundangundangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. 6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang ganti kerugian yaitu pada Pasal 7 huruf f dan Pasal 19 yang menyatakan bahwa: Pasal 7 huruf f Kewajiban pelaku usaha memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Pasal 19 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
108
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa:45 “Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik yang berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.” Celina Tri Siwi Kristiyanti menyatakan bahwa:46 “Jika konsumen merasakan kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian tersebut tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak.” Berdasarkan data sekunder nomor 1.5 tentang tanggung jawab pelaku usaha, 1.6 tentang pembinaan, 1.7 tentang pengawasan terhadap label, 1.8 tentang sanksi administratif dan data primair nomor 2.14, 2.15 tentang sanksi, apabila dihubungkan dengan Pasal 4 huruf (h), Pasal 29, Pasal 30, Pasal 7 huruf f, Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, dan Celina Tri Siwi Kristiyanti, maka dapat dikatakan bahwa secara normatif pemenuhan hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya sudah terpenuhi, dan pelaku usaha dapat dituntut melakukan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPdt karena sudah melanggar kewajiban yang datangnya dari peraturan perundang-undangan untuk membuat label berbahasa Indonesia. 45 46
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 44 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hlm. 37.
109
Kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat tidak dicantumkannya label berbahasa Indonesia, maka pihak pemerintah memiliki tanggung jawab yang bersifat publik dalam arti tanggung jawab yang arahnya untuk menciptakan suasana yang kondusif dan tidak menimbulkan kerugian dipihak lain. Langkah yang harus dilakukan pemerintah melalui BPOM adalah melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam data sekunder nomor 1.6 dan kemudian melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam data sekunder nomor 1.7. Pengawasan dilakukan agar pihak pelaku usaha melaksanakan semua kewajiban termasuk kewajiban untuk membayar ganti rugi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ganti rugi yang diberikan kepada konsumen karena pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang dilarang dalam menjalankan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan perbuatan yang dilarang tersebut melanggar hak-hak yang seharusnya diterima konsumen. Pihak yang membayar ganti rugi sesuai dengan yang diamanatkan Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah pihak pelaku usaha baik yang diajak berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan konsumen. Dalam hal hubungan hukum secara tidak langsung, konsumen dapat menuntut ke importir selaku pelaku usaha yang memasukkan makanan impor tersebut dengan dalih perbuatan melawan hukum. Sedangkan dalam hubungan antara konsumen dan pelaku usaha yang terikat secara langsung, maka konsumen dapat menunutut swalayan karena telah melakukan wanprestasi. Hal ini didukung dengan data primair nomor 2.12.
110
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen produk pangan impor yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia di Kabupaten Banyumas secara normatif telah terpenuhi sebagaimana yang diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen khususnya yang berkaitan dengan hak-hak konsumen dalam Pasal 4 huruf a, c, dan h. Namun dalam kenyataannya, hak-hak konsumen tersebut belum dapat terpenuhi secara optimal dikarenakan masih ada pelaku usaha yang tidak memenuhi ketentuan wajib label berbahasa Indonesia pada makanan yang diimpor. Adapun penjabarannya sebagai berikut: 1. Hak konsumen atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Perlindungan hukum tersebut sudah terpenuhi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan
111
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 20/M-Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa. 2. Hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Perlindungan hukum tersebut sudah terpenuhi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan, 3. Hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Perlindungan hukum tersebut sudah terpenuhi sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 18 Tahun 20012 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor
58
Tahun
Penyelenggaraan
2001
tentang
Perlindungan
Pembinaan
Konsumen,
dan
Pengawasan
Peraturan
Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 20/M-Dag/Per/5/2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik
112
Indonesia Nomor Nomor 42 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor Hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan.
B. Saran 1. Bagi konsumen Konsumen hendaknya selalu berhati-hati terhadap produk makanan impor yang akan dibeli untuk menghindari timbulnya kerugian, yaitu dengan membeli makanan impor yang memiliki label berbahasa Indonesia. 2. Bagi pelaku usaha Pelaku usaha hendaknya tidak hanya memikirkan keuntungan semata, tetapi juga memperhatikan syarat dan ketentuan mengenai pelabelan serta memperhatikan pemenuhan hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 3. Bagi pemerintah Pemerintah yang terkait, dalam hal ini BPOM, hendaknya lebih meningkatkan sosialisasi dan pengawasan kepada pelaku usaha agar lebih mengerti mengenai aturan wajib label berbahasa Indonesia.