ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP BAHAN-BAHAN BERBAHAYA PADA PRODUK MAKANAN DI INDONESIA
TESIS
Oleh
ABDILLAH SINAGA 077005063/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP BAHAN-BAHAN BERBAHAYA PADA PRODUK MAKANAN DI INDONESIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ABDILLAH SINAGA 077005063/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP BAHAN-BAHAN BERBAHAYA PADA PRODUK MAKANAN DI INDONESIA : Abdillah Sinaga : 077005063 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Dr. Sunarmi , SH, M.Hum) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 19 Agustus 2009
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Telah diuji pada Tanggal 19 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
: 1. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum 2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS 4. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
ABSTRAK
Makanan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak azasi setiap rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia cukup waktu, aman, bermutu, bergizi dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Untuk mencapai semua itu, perlu diselenggarakan suatu sistim pangan yang memberikan perlindungan baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengkonsumsi makanan, serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Suatu produk makanan untuk sampai kepada konsumen tidak terjadi secara langsung tetapi melalui jalur pemasaran yaitu pelaku usaha atau produsen (media perantara). Akibat proses industrialisasi dalam memproses produk makanan timbul permasalahan sehubungan dengan adanya barang-barang atau produk makanan yang mengandung bahan-bahan berbahaya yang merugikan pihak konsumen, baik dalam arti finansial maupun non finansial bahkan kerugian jiwa. Perlindungan hukum bagi konsumen makanan menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan belum terwujud sebagaimana mestinya, karena ketiadaan pengetahuan konsumen yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan yang mengatur standarisasi mutu makanan. Sehingga konsumen tidak dapat mempergunakan hak-haknya secara wajar untuk mendapatkan penggantian kerugian dari produsen. Upaya produsen mewujudkan perlindungan hukum bagi konsumen dengan jalan memproduksi makanan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan Undang-undang dengan memperhatikan mutu pangan, sarana produksi dan distribusi serta kondisi produknya yang beredar di pasaran. Mengenai hal tersebut maka dalam Pasal 19 angka (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa, ”pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Pasal tersebut di atas mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkannya. Dikatakan pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas: kerusakan, pencemaran, kerusakan dan kerugian konsumen, pencemaran dan kerugian konsumen. Pasal 41 angka (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dikatakan “badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perorangan dalam badan usaha diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggungjawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi makanan tersebut”. Pasal 41 angka (1) tersebut menegaskan bahwa pelaku usaha pangan baik berupa badan usahanya maupun orang perorangan yang diberi tanggung jawab atas usaha itu, adalah bertanggungjawab atas keamanan pangan yang diproduksinya.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Pasal ini memberi penegasan bahwa harus ada pihak yang bertanggung jawab atas keamanan pangan (produk), jika ternyata menimbulkan kerugian kepada pihak lain (konsumen).
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Bahan-bahan Berbahaya, Produk Makanan, Tanggung Jawab Produsen
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
ABSTRACT
Food as the basic necessity of humans whose fulfilment is the basic right of the people of indonesia must be in stock any time, safe, nutritious, various, in good quality and have affordable price. To realize this, a food system which can protect both producers and consumers and is not which can common belief needs to be executed. A food product that receipt by consumers has to experience marketing, they are manufacturer or distributor. The effect of industrialization in processing food product is the law problem in connection with the defect food products that cause loos to the consumers, financially or not and even physically. The is no clarity about who is liable to that matter. Legal protection for food under Law No. 7 Year 1996 on food is not yet accordingly realized or implemented because the consumers do not have any knowlegde of provisions and regulation that regulate the standarization of food quality. This factor causes the consumers cannot use their rights the way they should to get compensation from the producers. Producers have attemted to realize legal protection for consumers by producing food in accordance with the requirements regulated by the law as well as paying attention to food quality, production and distribution facilities, and the condition of their products which are currently on the market. Consumers Protection Act No. 8 Year 1999 Section 19 (1): manufacturer is liable to give compensation to defect, pollution, and/or consumer’s loos in the effect of consume the product and /or service that is produced or sold”. This section regulates manufacturer’s liability on the product that he produces or sells. Manufacturer is liable to give compensation on: defect, pollution, defect and consumer’s loss, and consumer’s loss. Food Act No. 7 Year 1996 Section 41 (1): a corporate that produce dairy product to distribute and/or each person in that corporate is given that liability to perform that business, liable for health guaranty to people who consume that food”. This section explicitly shows that there must be a liable to the food security that he produces. This section explicitly shows that there must be a liable party to the food security (product), if it defects other party (consumer).
Key words :
Consumer Protection, Dangerous Containt’s, Food’s Product, Perspective of Consumer
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang karena berkat dan rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk melengkapi salah satu syarat menyelesaikan program studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Judul
tesis
ini
adalah
:
“ASPEK
HUKUM
PERLINDUNGAN
KONSUMEN TERHADAP BAHAN-BAHAN BERBAHAYA PADA PRODUK MAKANAN DI INDONESIA”. Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna dan masih banyak kelemahan serta kekurangan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan dan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan tesis ini. Pada penulisan tesis ini, Penulis telah banyak memperoleh masukan dan menerima bantuan dari berbagai pihak. Atas saran, masukan dan bantuan baik moril maupun materil, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada: 1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K), Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister;
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
2. Prof. Dr. Ir. T Chairun Nisa B., MSc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus pembimbing utama yang telah memberi arahan dan membantu Penulis dalam penyempurnaan tesis ini; 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH., CN, M.Hum, dan Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., selaku komisi pembimbing dengan penuh perhatian memberi dorongan dan bimbingan kepada Penulis dalam penyelesaian tesis ini; 5. Prof. Dr. Tan Kamello, SH., M.S, dan Syafruddin S. Hasibuan, SH., M.H, DFM., selaku penguji, terima kasih atas masukan dan pendapatnya; 6. Seluruh Guru Besar serta dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan ilmu pengetahuan kepada Penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 7. Rekan-rekan dan Staf Pegawai dari Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Rafika, Ibu Juli, Ibu Fitri, Ibu Suganti, Ibu Isniar, Abang Udin, Abang Herman, Abang Hendra, Abang Hendri, Abang Iwan, Abang Ican dan Juliman yang selalu memberikan semangat dan dorongan serta bantuan pada Penulis
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
untuk kelancaran menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 8. Teman-teman seperjuangan dan sepermainan Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Elon Unedo P Pasaribu, Reza Syahputra, Andrie Ginting, Yos Arnold Tarigan, Roy Indrawan Sitepu, Alex Sebayang, Agnes Lestari Ginting, Intan, Ika, Hotmarini Siregar, Yamitema Laoly, Ucok Olan Pasaribu, Salomo Sianipar, Torang, Aswin Ribbeck, Dharma Syahputra. 9. Teman-teman seperjuangan Mahasiswa/i Kelas Reguler Pagi dan Kelas Hukum Bisnis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Elfira Fitriyani Pakpahan, Mega Kartika, Didie, Parlin Doni Sipayung, Rahmat Fauzi Pulungan, Dat Janwarta Ginting, Bona Fernandez, Handoko, Allan H Baskara, Pamela Tampubolon, Eli Eka Sari, Rise Karmila, Gilang Medina, Nia Avena Sari, Arif Sahlevi, Guntur Sitepu, Grace Nathalia, Fitri Wahyuni, Helwan Kasra, Rudi Saut, Bapak Supardi, Bapak Jawakil Butar-Butar, Bapak Lahmuddin, Bapak Ali Amran Tanjung, Bapak Verry, dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 10. Semua pihak yang telah membantu Penulis yang tidak dapat disebutkan nama dan jabatannya satu persatu. Terima kasih yang tak terhingga juga disampaikan kepada ke dua orangtua tercinta Bapak Dr. H. MHD. Makmur Sinaga, MSc dan Mama Drg. Hj. Berliana Hutabarat, serta Kakak Dr. Marina Cilvani Sinaga dan Adik-adik tercinta MHD. Abduh Luthfi Sinaga dan Afifah Nur Adinda Sinaga, karena atas kasih sayangnya,
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
perhatian, dorongan dan doa yang diberikannya kepada penulis, yang tidak dapat dibayar dengan apapun itu nilainya, sehingga penulis dapat mengecap pendidikan Sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.
Medan, 20 Agustus 2009 Penulis
ABDILLAH SINAGA
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Abdillah Sinaga
Tempat/Tgl. Lahir
: Medan, 11 November 1984
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Pendidikan
:-
Sekolah Dasar Al-Azhar, Medan Lulus Tahun 1996
-
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Dharma Wanita, Medan Lulus Tahun 1999
-
Sekolah Menengah Umum Dharma Pancasila, Medan Lulus Tahun 2002
-
Fakultas Hukum, Jurusan Perdata Datang Universitas Sumatera Utara, Medan Lulus Tahun 2006
-
Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2009
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ............................................................................................................
i
ABSTRACT ........................................................................................................
iii
KATA PENGANTAR .........................................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP..............................................................................................
viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………
1
A. Latar Belakang …………………………………………………...
1
B. Perumusan Masalah ………………………………………...........
10
C. Tujuan Penelitian …………………………………………...........
10
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………….
11
E. Keaslian Penelitian ………………….............................................
12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……………………………...........
12
G. Metode Penelitian ………………………………………………..
19
BAB II KETENTUAN DAN STANDAR MUTU SUATU PRODUK MAKANAN DIGOLONGKAN KEPADA MAKANAN YANG MENGANDUNG BAHAN-BAHAN BERBAHAYA ..........
23
A. Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Tentang Produk Makanan Yang Mengandung Bahan-Bahan Berbahaya..................
23
B. Lembaga Yang Berwenang Mengatur Produk Makanan Yang Mengandung Bahan- Bahan Berbahaya ........................................
31
C. Akibat Hukum Dari Produk Makanan Yang Mengandung Bahan-Bahan Berbahaya ......... ......................................................
39
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT PRODUK MAKANAN YANG MENGANDUNG BAHAN-BAHAN BERBAHAYA ...................................................
42
A. Perlindungan Konsumen ...............................................................
42
B. Hak dan Kewajiban Konsumen ....................................................
48
C. Hubungan Antara Konsumen Dengan Produsen ..........................
53
D. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Akibat Produk Makanan Yang Mengandung Bahan-Bahan Berbahaya ..............
59
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PRODUSEN ATAU PELAKU USAHA TERHADAP PRODUK MAKANAN YANG MENGANDUNG BAHAN- BAHAN BERBAHAYA ....................
69
1. Pengertian Produsen Atau Pelaku Usaha .......................................
69
2. Hak dan Kewajban Produsen atau Pelaku Usaha ...........................
71
3. Tanggung Jawab Produsen atau Pelaku Usaha ..............................
74
4. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Produsen Dalam Ilmu Hukum ....
86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................
104
1. Kesimpulan ....................................................................................
104
2. Saran ...............................................................................................
106
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
107
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan
nasional
merupakan
pencerminan
kehendak
untuk
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara adil dan merata dalam segala aspek kehidupan, baik materil maupun spritual, yaitu dengan tersedianya kebutuhan pokok : sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (perumahan) yang layak, sebagai wujud dari pembangunan yang berperikemanusiaan sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945.1 Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan. Untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan itu, diperlukan penyediaan pangan (makanan) yang sehat dan bergizi dalam jumlah yang cukup dan berkualitas. 2 Makanan dapat diperoleh dari alam atau secara alami dan adapula yang harus melalui bantuan teknologi (industri). Pertumbuhan dan perkembangan industri makanan yang berskala besar maupun kecil di satu pihak membawa dampak positif
1
Tujuan pembangunan nasional sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 alinea keempat : “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. 2 Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
dan negatif terhadap konsumen. 3 Dampak positifnya antara lain dapat disebutkan : tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang mencukupi, mutunya yang lebih baik, serta adanya alternatif pilihan bagi konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya. Sedangkan dampak negatifnya, yaitu dampak penggunaan dari teknologi itu sendiri serta perilaku bisnis yang timbul karena makin ketatnya persaingan yang mempengaruhi masyarakat konsumen, dimana para produsen atau pelaku usaha berusaha mencari keuntungan yang setinggi-tingginya dengan mengabaikan standarisasi mutu makanan. Prasasto Sudyatmiko mengemukakan 4 (empat) contoh elemen
yang
mempengaruhi perilaku bisnis menjadi tidak sehat, yaitu: konglomerasi, kartel/trust, insider trading, dan persaingan tidak sehat/curang. 4 Makanan adalah kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki, oleh karena itu pemenuhan akan kebutuhannya merupakan hak asasi setiap orang. Dalam hal ini yang dimaksud dengan makanan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku makanan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan dan minuman. 5 Suatu produk makanan untuk sampai kepada konsumen tidak terjadi secara langsung tetapi melalui jalur pemasaran yaitu pelaku usaha atau media perantara. 3
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Medan: Paulinus Josua, 1999), hlm. 1. 4 Adrianus Meliala, Praktik Bisnis Curang, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hlm. 140. 5 Sukiman Said Umar, Peraturan Perundang-undangan Bidang Keamanan Pangan, makalah disampaikan pada Pelatihan TOT keamanan Pangan untuk Petugas Dinas Kesehatan se Propinsi Sumatera Utara, tanggal 5-10 Mei 2003, hlm. 1.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Akibat proses industrialisasi dalam memproses produk makanan timbul permasalahan hukum sehubungan dengan adanya barang-barang atau produk makanan yang cacat dan berbahaya yang merugikan konsumen, baik dalam arti finansial maupun non finansial bahkan kerugian jiwa. Mengenai hal tersebut tidak ada kejelasan siapa yang bertanggungjawab. 6 Penyediaan makanan yang aman, bergizi dan cukup merupakan strategi yang penting untuk mencapai sasaran dalam bidang kesehatan. Mutu dan keamanan makanan tidak hanya berpengaruh langsung terhadap produktivitas ekonomi dan perkembangan sosial baik individu, masyarakat maupun negara. Selain itu persaingan internasional yang semakin ketat dalam bidang perdagangan makanan menuntut diproduksinya makanan yang lebih bermutu, aman dan sehat, dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat secara adil dan merata. 7 Seiring dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang melanda dunia, posisi konsumen semakin hari semakin sulit. Dalam arti bahwa produk-produk yang ditawarkan dan disodorkan kepada konsumen semakin beragam, baik dari segi harga, mutu atau kualitas dari barang-barang tersebut. Oleh karena itu, konsumen harus berhati-hati dalam menggunakan suatu produk karena dapat berdampak buruk terhadap kesehatan.
6
Muhammad Eggi H Suzetta, Pengetahuan Hukum untuk Konsumen, http://www.pikiran rakyat.com/cetak/1204/20/teropong/konsul-hukum.htm, 2003-2004, hlm. 1. 7 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Bagian Penjelasan Umum.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Untuk mencapai semua itu perlu diselenggarakan suatu sistem jaminan mutu makanan yang memberikan perlindungan baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengkonsumsi makanan serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Untuk mewujudkan sistem pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang efektif dibidang makanan serta melindungi masyarakat dari makanan yang dapat membahayakan kesehatan, diperlukan antara lain peraturan yang dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi peraturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran dan atau perdagangan makanan. 8 Di Indonesia, upaya-upaya yang berkaitan dengan gerakan perlindungan konsumen sudah mulai bergema sejak tahun 1970 an terutama sejak berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973, sebagai lembaga “independent” yang mengkhususkan pada kepentingan konsumen. Namun demikian, beberapa tahun terakhir ini kerugian konsumen masih saja terjadi dimanamana, karena banyaknya konsumen yang tidak melaporkannya kepada aparat.9 Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu dengan yang lain yang mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha dan pemerintah. 10
8 9 10
Sukiman Said Umar, Op.Cit, hlm. 2. Muhammad Eggi Suzetta, Op. Cit, hlm. 2. AZ. Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 19.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Sebelum adanya Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen ini, sangat sulit bagi para konsumen untuk menuntut kerugiannya. Dalam hal terjadinya kerugian bagi konsumen, produsen atau pelaku usaha bertanggungjawab untuk menanggung segala kerugian yang diderita oleh konsumen hanyalah berdasarkan perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1365 KUHPerdata yang menentukan bahwa “tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menertibkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” 11 Sekarang dengan adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang diberlakukan pemerintah Indonesia mulai tanggal 20 April 2000, kebutuhan masyarakat akan hukum terjawab dan timbul kepastian terhadap perlindungan konsumen. Berkaitan dengan hal-hal di atas, maka konsumen perlu dilindungi secara hukum dari kemungkinan kerugian yang dialaminya karena praktik bisnis curang itu. Harkat dan martabat konsumen perlu ditingkatkan melalui peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya sendiri yang ditegaskan dalam pengesahan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
12
Undang-undang ini sekaligus
menumbuhkembangkan sikap produsen atau pelaku usaha yang bertanggungjawab. Dalam pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa, ”Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti 11 12
Pasal 1365 KUHPerdata. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Bagian Penjelasan
Umum.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.” 13 Dalam Pasal 7 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, juga menyebutkan bahwa “produsen atau pelaku usaha diwajibkan memberikan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan. Selain itu produsen atau pelaku usaha juga diwajibkan memberikan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaaaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”. 14 Kerugian konsumen yang mengkonsumsi makanan/minuman yang tidak memenuhi standar mutu dan gizi pangan (makanan) juga telah ditetapkan dalam Undang Undang No 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, tercantum dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 dan Pasal 28, 15 serta tidak memenuhi persyaratan kesehatan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, 16 perlu mendapatkan perhatian kita bersama, karena masyarakat konsumen sulit mengetahui kerugian hal tersebut. Sedangkan peraturan perundangundangan yang menjadi dasar bagi pengambilan tindakan atau penghukuman atas perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian atau bahaya pada konsumen bersifat baku.
13 14 15 16
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 24, 25, 27, 28 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Khusus pembahasan tentang tanggungjawab produsen atau pelaku usaha terhadap konsumen atas produk makanan yang berbahaya dapat ditinjau dari Pasal 41 angka (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan sebagai berikut : “Badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perorangan dalam badan usaha diberi tanggungjawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggungjawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi makanan tersebut”.17 Pasal 41 angka (1) tersebut menegaskan bahwa produsen atau pelaku usaha pangan baik berupa badan usahanya maupun orang perorangan yang diberi tanggungjawab atas usaha itu, adalah bertanggungjawab atas keamanan pangan yang diproduksinya. Pasal ini memberi penegasan bahwa harus ada pihak yang bertanggungjawab atas keamanan pangan (produk), jika ternyata menimbulkan kerugian kepada pihak lain (konsumen). 18 Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan atau jasa kebutuhan serta mempertahankan atau membela
17
Pasal 41 angka (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Medan: Fak Hukum UNIKA St. Thomas, 2002), hlm. 148. 18
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku produsen atau pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen. 19 Lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada hakikatnya dilandasi oleh pemikiran bahwa konsumen sering sekali berada di posisi yang tidak menguntungkan apabila dihadapkan dengan produsen atau pelaku usaha yang mempunyai orientasi dan kekuasaan yang tidak seimbang dengan konsumen. Perlindungan atas kepentingan konsumen tersebut diperlukan mengingat kenyataan bahwa pada umumnya konsumen selalu berada di pihak yang dirugikan, akibat perbuatan curang produsen/pelaku usaha yang menimbulkan kerugian bagi konsumen seperti makanan/minuman yang tidak memenuhi standar mutu dan gizi pangan, biskuit beracun, makanan yang kadaluarsa dan makanan yang diharamkan, serta ditemukannya bahan-bahan berbahaya kedalam makanan seperti, pengawet, pewarna, pengenyal, pemutih, pemanis, dan semacamnya. Kasus pemakaian bahanbahan kimia berbahaya itu juga sering ditemukan, terutama pada produk makanan industri rumah tangga. 20 Bermacam bahan pangan baik sayuran, buah-buahan, maupun makanan pokok seperti beras yang ada di Indonesia ternyata masih banyak mengandung bahan berbahaya. Bahan-bahan cemaran itu antara lain residu pestisida, cemaran mikroba, dan kontaminasi Cadmium (Cd). Dengan demikian, Indonesia
19
AZ. Nasution, Perlindungan Konsumen; Tinjauan Pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, (Depok: Makalah disampaikan pada seminar UU No. 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum UI, 29 Februari 2000), hlm. 3. 20 Lusiana Indriasari, “Waspadai Bahan Kimia Lain Dalam Makanan”, http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0601/15/113636.htm, diakses 3 Oktober 2008.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
dipastikan masih mempunyai masalah serius dalam keamanan pangan. 21 Kemudian, ditemukannya produk makanan yang mengandung susu melamin dari Tiongkok menambah daftar panjang makanan yang tidak layak dikonsumsi. yang menimbulkan kerugian materil maupun moril. 22 Hak konsumen sering sekali diabaikan dan dirugikan oleh produsen atau pelaku usaha, sehingga dalam mempertahankan hak-haknya konsumen dapat menempuh jalur pengadilan baik secara perdata maupun pidana. Hal ini disebabkan masalah perlindungan konsumen tidak hanya mengandung unsur perdata saja, tetapi juga ada unsur publiknya. Oleh karena itu selain hukum acara perdata dibutuhkan pula penerapan hukum acara pidana. Di samping itu tidak menutup kemungkinan munculnya aflikatif penyelesaian sengketa perlindungan konsumen, dimana UndangUndang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah menggariskan kewenangan yang diberikan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). 23
21
Setyo Rahardjo, “Bermacam Pangan di Indonesia Belum Aman Dari Bahan Berbahaya”, http://kmit.faperta.ugm.ac.id/Artikel%20_%20Bahan%20Berbahaya.html, diakses 28 September 2008. 22 Nurheti Yuliarti, “Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan“, http://www.andipublisher.com/?buku-komputer&p=productsMore&iProduct=1043, diakses 1 Oktober 2008. 23 Pasal 47 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan Tentang Prinsip dibentuknya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan yang diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi yang diderita oleh konsumen.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah ketentuan dan standar mutu suatu produk makanan digolongkan kepada makanan yang mengandung bahan berbahaya ? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk makanan yang mengandung bahan berbahaya ? 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban produsen atau pelaku usaha terhadap produk makanan yang mengandung bahan berbahaya ?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui ketentuan dan standar mutu suatu produk makanan digolongkan kepada makanan yang mengandung bahan berbahaya. 2. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk makanan yang mengandung bahan berbahaya. 3. Untuk mengetahui pertanggung jawaban produsen atau pelaku usaha terhadap produk makanan yang mengadung bagan berbahaya.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teori maupun secara praktik antara lain : 1. Secara Teoritis: Sebagai bahan informasi, bahwa hasil penelitian akan meningkatkan kesadaran dan memperjelas bahwa konsumen mempunyai sejumlah hak yang patut mendapat perlindungan dan juga sebagai informasi bagi konsumen tentang sanksi, hukuman dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban produsen dan perlindungan terhadap konsumen dalam kaitannya dengan produk makanan berbahaya yang beredar di masyarakat sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 2. Secara Praktis: a. Pelaku Usaha atau Produsen, hasil penelitian akan meningkatkan kepedulian pelaku usaha atau produsen terhadap konsumen terutama dalam hal tanggungjawab dan perlindungannya kepada konsumen terhadap produk makanan yang dihasilkannya.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
b. Pemerintah,
agar
dapat
menyusun/merumuskan
menjadi
peraturan
bahan
dan
masukan
sekaligus
di
kebijakan
dalam yang
menyangkut perlindungan konsumen sehingga akan melahirkan rasa aman dan kepastian hukum bagi konsumen makanan. c. Mahasiswa, hasil penelitian berguna sebagai bahan kajian bagi akademisi, untuk menambah wawasan ilmu terutama dalam bidang hukum bisnis, khususnya dalam hal aspek hukum perlindungan konsumen terhadap produk makanan berbahaya.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan
penelusuran
kepustakaan
dalam
lingkungan
Universitas
Sumatera Utara (USU), penelitian tesis mengenai “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Makanan Berbahaya di Indonesia Menurut UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Objek kajian dalam penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang belum mendapatkan kajian komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan dan kritik yang konstruktif terkait dengan data dan analisis dalam penelitian ini.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Dalam pembangunan nasional ada 3 (tiga) hal penting yang mendasar yaitu,
berdaya saing tinggi, barang yang makin bermutu, dan bernilai tambah tinggi. Ketiga hal tersebut berkaitan erat dengan masalah tanggung jawab produsen atau pelaku usaha karena adanya kesadaran dari para produsen atau pelaku usaha terhadap tanggung jawabnya secara hukum (product liability) akan berakibat pada adanya sikap penuh kehati-hatian (precision), baik dalam menjaga kualitas produk, penggunaan bahan, maupun dalam kehati-hatian kerja. Tidak adanya atau kurangnya kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai produsen atau pelaku usaha akan kredibilitas usahanya. Rendahnya kualitas produk atau adanya cacat (defect) pada produk yang dipasarkan sehingga menyebabkan kerugian bagi konsumen, di samping akan menghadapi tuntutan kompensasi (ganti rugi) juga akan berakibat bahwa produk tersebut akan kalah bersaing dalam merebut pasar. 24 Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan oleh undangundang tentang perlindungan konsumen dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen maka setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang
24
Erman Rajagukguk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000),
hlm. 42.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikan serta menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen. 25 Harkristuti Harkrisnowo membedakan berbagai perilaku yang merugikan konsumen yaitu merupakan perbuatan yang melawan hukum (sebagai kasus perdata) dan tindak pidana. Undang-undang perlindungan konsumen telah memberikan akses dan kemudahan bagi hak-hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi dan sejumlah tuntutan yang menyangkut kepentingan konsumen dengan dirumuskan sistem pertanggungjawaban pelaku usaha (product liability). 26 Oleh karena itu kualifikasi gugatan yang lazim digunakan secara konvensional didasarkan atas adanya dalil wanprestasi (default) dan perbuatan melawan hukum (tort / fault). Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut : 27 a.
Kesalahan (liability based on fault);
b.
Praduga selalu bertanggungjawab (presumption of liability);
c.
Praduga selalu tidak bertanggungjawab (presumption of non liability);
d.
Tanggung jawab mutlak (stricht liability);
e.
Pembatasan tanggung jawab (limitation liability);
25
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 3. 26 Harkristuti Harkrisnowo, Perlindungan Konsumen Dalam Kerangka Sistem Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Lokakarya Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 1996), hlm. 6. 27 Ibid.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan hukum perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1337 KUH Perdata, prinsip ini dipegang teguh. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukan. Menurut Pasal 1365 KUH Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, adanya unsur kesalahan mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok yaitu : 28 a. b. c. d.
Adanya perbuatan; Adanya unsur kesalahan; Adanya kerugian yang diderita; Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian;
Secara common sense, asas tanggungjawab ini didapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (presumption of liability principle) sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah, dengan demikian beban pembuktian ada pada si penggugat. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab adalah kebalikan dari prinsip di atas. Prinsip Praduga selalu tidak bertanggungjawab (presumption of non 28
Pasal 1365 KUHPerdata.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
liability) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Prinsip tanggungjawab mutlak (stricht liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggungjawab absolut (absolute liability). Prinsip ini adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian yang memungkinkan untuk bertanggung, misalnya kondisi force
majeure.
Sebaiknya
prinsip
tanggungjawab
absolut
adalah
prinsip
tanggungjawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian. Pasal 45 Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan : 29 (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum; (2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa; (3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang – undang; (4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa;
Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada umumnya dalam setiap proses penyelesaian sengketa, selalu diupayakan untuk 29
Pasal 45 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
menyelesaikannya secara damai di antara kedua belah pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen, dan tidak bertentangan dengan Unndang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2.
Kerangka Konsepsi Kerangka konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan
penafsiran yang keliru dan memberikan arah dalam penelitian ini, maka dirasa perlu untuk memberikan batasan judul penelitian yaitu sebagai berikut : Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 30 Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.. 31 Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia,
30 31
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 32 Produk adalah barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhirnya dari proses produksi tersebut. 33 Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan, dalam proses penyiapan, pengolaha, dan atau pembuatan makanan dan minuman. 34 Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan. 35 Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakn kesehatan manusia. 36 Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan mengubah bentuk pangan. 37
32
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 254. 34 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan 35 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan 36 Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan 37 Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. 33
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Perdagangan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan atau pembelian pangan, termasuk penawaran untuk menjual pangan, dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan pangan dengan memperoleh imbalan. 38 Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan, dan minuman. 39 Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. 40 Bahan tambahan pangan/makanan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan. 41 Sedangkan produk berbahaya adalah setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredaran, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaan sebagaimana diharapkan orang. 42
38
Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. 40 Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan 41 Nurheti Yuliarti, Awas! Bahaya di Balik Lezatnya Makanan (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2007), hlm. 7. 42 Ema Suratman, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang Tanggung Jawab Produsen di Bidang Farmasi Terhadap Konsumen, (Jakarta: Jurnal Departemen Kehakiman RI, 1990-1991), hlm. 9. 39
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
G. Metode Penelitian 1.
Spesifikasi Penelitian Penelitian mengenai aspek hukum perlindungan konsumen terhadap produk
makanan berbahaya di Indonesia menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menggunakan tipe penelitian yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan asas-asa hukum serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, seperti peraturan perundangundangan tentang perlindungan konsumen, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis, yang bertujuan untuk menggambarkan, menginventarisasikan, dan menganalisis teori-teori dan peraturanperaturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
2.
Alat Pengumpulan Data Dalam penelitian kepustakaan yuridis normatif, sumber data selurunhya
menggunakan data sekunder, jenis data sekunder yang digunakan oleh penulis dalam penulisan tesis ini adalah : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum yang diperoleh melalui kepustakaan (library research) yaitu sebagai teknik untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran peraturan perundangundangan, bacaan-bacaan lain yang ada relevansinya dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Pangan, dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, berupa literatur bahan bacaan berupa buku, artikel, dan kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan.
c. Bahan Hukum Tertier Bahan-bahan yang bersifat menjelaskan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.
3. Teknik Pengumpulan Data Mengingat penelitian ini adalah memusatkan perhatian pada data sekunder maka pengumpulan data utama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen-dokumen, yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Menginventarisir dan menilai peraturan perundang-undangan yang terkait dan relevan dengan penulisan tesis ini. b. Menginventarisir dan menilai serta memilih secara selektif bahan-bahan bacaan lainnya seperti majalah, surat kabar, bulletin yang menunjang dan memperkaya penulisan tesis ini.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
4. Analisis Data Data yang telah terkumpul diolah dengan mengimplementasikan data menurut jenisnya berdasarkan masalah pokok. Karena datanya mengarah pada kajian yang bersifat teoritis mengenai konsepsi, doktrin-doktrin dan norma-norma atau kaidah hukum, maka analisi data dilakukan dengan cara normatif kualitatif, artinya penulis berusaha menggambarkan keadaan yang ada dengan berdasarkan kepada data-data yang diperoleh melalui studi pustaka (bahan sekunder). Kemudian data dianalisis dengan dihubungkan kepada pendapat para ahli dan teori-teori yang mendudkung dalam pembahasan sehingga dapat ditarik kesimpulan secara indikatif yang penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus menuju kepada hal yang bersifat umum.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
BAB II KETENTUAN DAN STANDAR MUTU SUATU PRODUK MAKANAN DIGOLONGKAN KEPADA MAKANAN YANG MENGANDUNG BAHAN-BAHAN BERBAHAYA
A. Peraturan Perundang-undangan Yang Mengatur Tentang Produk Makanan Yang Mengandung Bahan-Bahan Berbahaya
Untuk menyatukan persepsi dalam pembahasan maka perlu diberikan pembatasan pengertian tentang makanan dan pangan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men.Kes/Per/XII/76 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan, Makanan adalah: “Barang yang digunakan sebagai makanan atau minuman manusia, termasuk permen karet dan sejenisnya akan tetapi bukan obat”. 43 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 180/Men.Kes/Per/IV/85 Tentang Makanan Daluarsa, Makanan adalah: “Barang yang diwadahi dan diberikan 43
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men.Kes/Per/XII/76 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
label dan yang digunakan sebagai makanan atau minuman manusia akan tetapi bukan obat”. 44 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 382/Men.Kes/Per/IV/89 tentang Pendaftaran Makanan, Makanan adalah: “Barang yang dimaksudkan untuk dimakan atau diminum oleh manusia serta semua bahan yang digunakan pada produksi makanan dan minuman”. 45 Pengertian pangan dapat dilihat pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan : 46 “(1) Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari : sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumen manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain digunakan dalam proses penyiapan, pengelolaan, dan atau pembuatan makanan atau minuman”. Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan nasional. Oleh karena itu, dibutuhkan makanan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan tersedia secara cukup. Dengan demikian, pengadaan dan pendistribusiannya pun harus dilakukan secara jujur dan bertanggungjawab sehingga tersedia makanan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Berkaitan dengan pengadaan makanan dimaksud, tidak tertutup kemungkinan beredarnyan makanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan: aman, 44
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 180/Men.Kes/Per/IV/85 Tentang Makanan Daluarsa. 45 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 382/Men.Kes/Per/IV/89 Tentang Pendaftaran Makanan 46 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
bermutu, dan bergizi, seperti tersebut di atas sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen. 47 Sebagai antisipasi para konsumen dituntut untuk bersikap kritis dan cerdas dalam mencermati makanan-makanan yang dihadapi. Selain itu pula, masih ada beberapa penjelasan mengenai berbagai kesalahan penanganan, perlakuan, serta pengolahan makanan yang sering terjadi sehingga mengakibatkan bahan tambahan makanan yang semula tidak berbahaya justru menjadi berbahaya bagi konsumen. Bahan-Bahan tersebut diatas kemudian dikenal dengan istilah Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau sering pula disebut Bahan Tambahan Pangan (BTP). 48 Bahan tambahan makanan (BTM) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan. Bahan tambahan makanan itu bisa memiliki nilai gizi, tetapi bisa pula tidak. Menurut ketentuan yang ditetapkan, ada beberapa kategori Bahan Tambahan Makanan (BTM) ini, 49 Pertama, Bahan Tambahan Makanan yang bersifat aman, dengan dosis yang tidak dibatasi, misalnya pati. Kedua, Bahan Tambahan Makanan yang digunakan dengan dosis tertentu, dan dengan demikian dosis maksimum penggunaannya juga telah ditetapkan. Ketiga, Bahan Tambahan Makanan yang aman dan dalam dosis yang tepat, serta telah mendapatkan izin beredar dari instansi yang berwenang, misalnya zat pewarna yang sudah dilengkapi sertifikat aman.
47
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 122. 48 Nurheti Yuliarti, Op. Cit, hlm. 7. 49 Ibid. hlm. 7.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Agar konsumen dapat memilih bahan tambahan makanan yang akan digunakan, ada baiknya konsumen mengenal beberapa bahan tambahan makanan yang aman digunakan, yakni yang telah diizinkan oleh Badan Pengawasan obat dan Makanan (BPOM), diantaranya : 50 1. Pengawet, seperti : asam benzoat, asam propionat, asam sorbat, natrium benzoat, dan nisin. 2.
Pewarna, seperti : tartrazine.
3. Pemanis, seperti : aspartam, sakarin, dan siklamat. 4. Penyedap Rasa dan Aroma, seperti : monosodium glutamat. 5. Antikempal, seperti : alumunium silikat, magnesium karbonat, dan trikalsium fosfat. 6. Antioksidan, seperti : asam askorbat, dan alfa tokoferol. 7. Pengemulsi, pemantap, dan pengental, seperti : lesitin, sodium laktat, dan potasium laktat. Sangat disayangkan, banyak sekali bahan kimia berbahaya yang bukan ditujukan untuk makanan atau bukan merupakan bahan tambahan makanan yang justru ditambahkan ke dalam makanan. Hal ini tentu saja sangat membahayakan konsumen. Mengapa hal ini terjadi? Banyak hal yang ingin dicapai, di antaranya pedagang ingin makanannya menjadi awet, sementara ia tidak mempunyai pengetahuan mengenai cara pengawetan makanan yang benar. Selain itu, mungkin
50
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Men.Kes/Per/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan yang aman digunakan.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
saja ia mengetahuinya bahwa suatu pengawet (formalin) berbahaya untuk ditambahkan ke dalam makanan, tetapi tetap saja dilakukan mengingat harganya yang sangat murah. Di samping itu juga disebabkan oleh ketidaktahuan konsumen terhadap berbagai jenis bahan berbahaya yang ada. Terlebih lagi konsumen tidak bisa membedakan ciri-ciri makanan yang mengandung bahan berbahaya sehingga bahanbahan tersebut makin sering ditambahkan ke dalam makanan.
51
Hal lain yang
menyebabkan produsen menambahkan bahan berbahaya adalah tingkah laku konsumen itu sendiri. Sejumlah konsumen ingin makanan dengan warna mencolok sehingga produsen terdorong menambahkan pewarna tekstil untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, mengingat pewarna makanan hanya memberikan warna yang lebih lembut, tidak semencolok pewarna tekstil ataupun kertas. Sejumlah produsen atau pelaku usaha juga ingin bakso kenyal yang tahan berhari-hari sehingga produsen menambahkan formalin ke dalam bakso yang dijualnya. 52 Dengan kenyataan ini sebenarnya yang dirugikan tidak hanya konsumen, melainkan juga para pedagang yang bersih, yaitu yang tidak menambahkan bahan berbahaya untuk makanan yang mereka jual. Mengapa turut merugikan? Karena dengan berkembangnya berbagai isu yang ada maka dagangan mereka ikut tidak laku seperti halnya barang dagangan pedagang nakal yang menambahkan bahan berbahaya ke dalam makanan yang mereka jual. 53
51 52 53
Nurheti Yuliarti, Ibid, hlm. 8. Ibid, hlm. 9. Ibid, hlm. 10.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Beberapa bahan kimia berbahaya yang dilarang digunakan dalam makanan, di antaranya adalah : 54 1. Natrium Tetraboraks (boraks); 2. Formalin (formaldehid); 3. Minyak nabati yang dibrominasi; 4. Kloramfenikol, kalium klorat; 5. Nitrofurazoa, dietilpilokarbonat; 6. Asam salisilat beserta garamnya; 7. Rhodamin B (pewarna merah); 8. Methanyl yellow (pewarna kuning); 9. Kalsium bromat (pengeras); Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan juga diatur tentang bahan-bahan tambahan pangan/makanan, antara lain: Pasal 10: (1)
Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); 55
(2)
Dalam Pasal 11 juga disebutkan:
54
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Men.Kes/Per/1999 Tentang Bahan Tambahan Makanan yang dilarang. 55 Pasal 10 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
“...Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamananya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari pemerintah....”. 56 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan Pasal 1 angka 6 menyatakan ketentuan yang berkenaan dengan standar mutu makanan/minuman: “standar mutu adalah suatu ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan mengenai nama, bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, komposisi, wadah, pembungkus serta ketentuan lain untuk pengujian tiap jenis makanan/minuman”. 57 Bagi produsen atau pelaku usaha makanan/minuman yang melanggar Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan dikenakan penindakan. Pasal 34 menyatakan: “pelanggaran terhadap ketentuan yang ditetapkan dalam pasal 2, 10, 21, 22, dan 23 peraturan ini yang berhubungan dengan perbuatan pidana dihukum berdasarkan Pasal 204, 205, 212 KUH Pidana dan Pasal 386 KUH Perdata”. 58 Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.
382/Men-
Kes/Per/VI/1989 Tentang Pendaftaran Makanan dalam Pasal 19 menyatakan: “terhadap makanan yang telah mendapat persetujuan pendaftaran dapat dilakukan
56
Pasal 11 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan 58 Pasal 34 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan menyatakan “pelanggaran terhadap ketentuan yang ditetapkan dalam pasal 2, 10, 21, 22, dan 23 peraturan ini yang berhubungan dengan perbuatan pidana dihukum berdasarkan Pasal 204, 205, 212 KUH Pidana dan Pasal 386 KUH Perdata. 57
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
penilaian kembali apabila berdasarkan perkembangan ilmu dan teknologi ditemukan hal-hal yang tidak sesuai”. 59 Pasal 20 juga menyatakan: 60 (1). Perusahaan atau importir yang melanggar Pasal 19 atau Pasal 51 peraturan ini, atau makanan yang diproduksi atau diedarkan ternyata membahayakan atau mengganggu kesehatan, wajib menarik makanan yang bersangkutan dari peredaran dan melaporkan pelaksanaannya kepada Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk menggunakan formulir M6; (2). Jika dalam waktu 2 (dua) bulan produsen atau importir tidak melaksanakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan dikenakan pencabutan nomor pendaftaran atau hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (3). Keputusan tentang sanksi tersebut di atas diumumkan kepada masyarakat luas; Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 180/Men-Kes/VI/1985 Tentang Makanan Daluarsa Pasal 3 menyatakan: 61 “makanan yang rusak, baik sebelum maupun sesudah tanggal daluarsa dinyatakan sebagai bahan berbahaya”. Dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan: 62 “pelanggaran terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 dikenakan sanksi administratif dan atau sanksi hukum lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Keputusan Menteri Republik Indonesia No. 82/Men-Kes/KS/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Label Makanan dalam Pasal 5 menyatakan: 63
59
Pasal 19 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 382/Men-Kes/Per/VI/1989 Tentang Pendaftaran Makanan. 60 Pasal 20 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 382/Men-Kes/Per/VI/1989 Tentang Pendaftaran Makanan. 61 Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 180/Men-Kes/VI/1985 Tentang Makanan Daluarsa 62 Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 180/Men-Kes/VI/1985 Tentang Makanan Daluarsa 63 Pasal 5 Keputusan Menteri Republik Indonesia No. 82/Men-Kes/KS/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Label Makanan
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
“Produsen atau importir yang mencantumkan tulisan “halal” harus bertanggung jawab terhadap halalnya makanan tersebut”. Pasal 16 juga menyatakan: 64 (1). Pelanggaran terhadap ketentuan dalam keputusan ini dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan atau KUH Pidana; (2). Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam KUH Pidana dan atau UndangUndang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi administratif;
B.
Lembaga Yang Berwenang Mengatur Mengandung Bahan-Bahan Berbahaya
Produk
Makanan
Yang
Perusahaan makanan dan minuman kemasan di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa banyak sekali makanan kemasan yang diproduksi hanya mementingkan aspek selera konsumen tanpa mengindahkan aspek kesehatan. Makanan kemasan memang sangat menolong bagi konsumen yang memliki kesibukan sangat padat. Dengan makanan kemasan pula konsumen tidak lagi merasakan repotnya membuat mie goreng atau rebus, mengingat saat ini telah ada mie instan yang dapat disajikan dengan cepat dan rasanya pun tak kalah dengan mie tradisional. Makanan kemasan yang siap saji dan instan itu dikenal dengan istilah Junk Food. Junk Food adalah kata lain untuk makanan yang jumlah kandungan nutrisinya terbatas. Umumnya yang termasuk dalam golongan junk food
64
Pasal 16 Keputusan Menteri Republik Indonesia No. 82/Men-Kes/KS/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Label Makanan
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
adalah makanan yang kandungan garam, gula, lemak dan kalorinya tinggi, tetapi kandungan gizinya sedikit. 65 Peranan bahan tambahan makanan (BTM) atau yang sering disebut pula bahan tambahan pangan (BTP) sangatlah besar untuk menghasilkan produk-produk kemasan. Keberadaan bahan tambahan makanan (BTM) bertujuan membuat makanan tampak lebih berkualitas, lebih menarik, dengan rasa dan tekstur lebih sempurna. Pada intinya penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) yang telah terbukti aman sebenarnya tidak membahayakan kesehatan. Namun demikian, penggunaannya dalam dosis yang terlalu tinggi atau melebihi ambang yang diizinkan mungkin akan menimbulkan problem kesehatan yang serius. Hal yang menjadi permasalahan berat di negeri ini adalah banyak sekali kebohongan publik yang dilakukan oleh produsen makanan kemasan. Seringkali produsen atau pelaku usaha tidak memberikan informasi yang benar dari produk yang mereka hasilkan, misalnya memberikan label komposisi yang berbeda dengan kandungan yang sebenarnya, baik itu jumlah maupun jensi bahan yang ditambahkan, membuat iklan-iklan yang terlalu melebihlebihkan produk mereka, misalnya sejumlah minuman yang berkhasiat untuk kesehatan padahal sebenarnya minuman tersebut hanya sekedar pelepas dahaga tanpa khasiat yang luar biasa bagi kesehatan. 66 Semakin meningkatnya jumlah kasus keracunan makanan disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, perubahan pola konsumsi masyarakat yang lebih 65
Reni Wulan Sari, Bahaya Makanan Cepat saji dan Gaya Hidup Sehat, (Yogyakarta: Penerbit O2, 2008), hlm. 111. 66 Ibid, hlm. 62.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
cenderung untuk menyukai makanan siap santap yang disediakan oleh katering atau rumah makan, makin meningkatnya jumlah manusia yang rentan terhadap penyakit karena faktor umur, kondisi kesehatan dan pola hidup, sistem komunikasi yang lebih maju, dan kepedulian yang semakin meningkat terhadap keamanan pangan. Dari data yang ada, ternyata kasus keracunan yang muncul pada umumnya terjadi pada makanan siap santap yang diolah secara massal. Makanan ini ternyata lebih berpeluang untuk terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen. Dari berbagai kasus keracunan tersebut, ternyata yang menjadi penyebabnya adalah rendahnya kebersihan individu maupun sanitasi lingkungan. 67 Keracunan dapat terjadi karena beberapa hal, di antaranya aktivitas mikroorganisme. Keracunan akibat mikroorganisme ini dapat dibedakan menjadi food intoxication dan food infection. Food intoxication adalah keracunan yang terjadi karena tercemarinya makanan oleh toksin yang ada dalam makanan. Kasus ini bisa disebabkan oleh tercemarnya makanan tersebut oleh eksotoksin yang dihasilkan Clostridium botulinum maupun enterotoksin yang dihasilkan staphylococci. Adapun food infection terjadi karena makanan terkontaminasi oleh parasit, protozoa atau bakteri patogen (penyebab sakit) seperti Salmonella, Proteus, Escherchia, dan Pseudomonas yang ada dalam makanan tersebut. Lebih lanjut, untuk menghindari keracunan makanan akibat pencemaran mikroorganisme, diharapkan mengkonsumsi
67
F.G. Winarno, Kimia Pangan dan Gizi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 228.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
makanan yang telah dimasak atau diolah secara sempurna. Pemasakan secara sempurna mampu mengatasi terjadinya kontaminasi bakteri ataupun toksin di atas. 68 Kasus keracunan makanan dapat pula disebabkan oleh bahan kimia. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya semua bahan kimia adalah beracun. Ketika masuk ke dalam tubuh manusia zat kimia ini akan menimbulkan efek yang berbeda-beda, tergantung jenis dan jumlah zat kimia yang masuk ke dalam tubuh. Contoh zat kimia beracun ini adalah senyawa merkuri yang dapat menimbulkan kelainan genetik atau keracunan. Adapun senyawa organik yang mengandung cincin benzena, senyawa nikel, dan chrom dapat bersifat karsinogenik atau menyebabkan terjadinya kanker, sakit kepala, gangguan pencernaan. dll. Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Berbagai jenis zat dapat menjadi racun bagi konsumen. Berbagai senyawa kimia lain juga bukan merupakan bahan tambahan makanan, tetapi sering digunakan di Indonesia, di antaranya Dulsin Nitrofurazon, Asam Salisilat, Diethylpyrocarbonate (DEPC), serta Pottasium Bromat. Manifestasi keracunan makanan dapat bersifat akut maupun kronis. Keracunan yang bersifat akut antara lain diare, muntah, dan penyakit gastrointestinal lain, sementara yang bersifat kronis dapat mengakibatkan gangguan syaraf sampai kanker. 69 Terhadap hal-hal di atas pemerintah segera membentuk suatu
68 69
Ibid. Ibid, hlm. 229.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
lembaga-lembaga yang bertugas sebagai pengawas sekaligus mengatur tentang bahan-bahan berbahaya yang terkandung dalam produk makanan tersebut, antara lain: 1. Departemen Perindustrian dan Perdagangan (DEPERINDAG) Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 1458/KP/XII/1984 Tentang Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Tanggal 19 Desember 1984 menyatakan bahwa usaha di bidang industri dibedakan atas 3 (tiga) golongan yaitu: 70 golongan kecil, sedang (menengah) dan besar. Perbedaan ini ditentukan oleh besarnya modal kerja yang ditanamkan dan kekayaan bersih perusahaan. Deperindag adalah suatu instansi yang berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan secara teknis terhadap semua industri. Deperindag juga berwenang melaksanakan penertiban Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) bagi setiap jenis usaha yang menjalankan usahanya dibidang perdagangan, termasuk didalamnya usaha industri dan usaha perdagangan makanan dan minuman, setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Pembinaan dan pengawasan oleh Deperindag terhadap perusahaan industri dilakukan sejak pendirian sampai pada saat beroperasinya industri tersebut. Pada saat beroperasinya industri, pembinaan dan pengawasan terus dilakukan, baik melalui laporan maupun melalui pemeriksaan ke lokasi industri. Selama industri berjalan (beroperasi) dilakukan pengawasan dan pemeriksaan melalui laporan berkala yang harus disampaikan oleh pengusaha dan melalui pemeriksaan ke lokasi industri secara
70
Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 1458/KP/XII/1984 Tentang Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Tanggal 19 Desember 1984
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
insidental. Deperindag berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut memanggil pengusaha dan memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang harus dilakukan perusahaan industri, dan memberikan sanksi sesuai dengan pelanggaran atau kesalahan yang diperbuatnya. Dalam hal ini Deperindag bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Dalam melakukan tindakan pengawasan terhadap produsen atau pelaku usaha makanan dan minuman untuk dapatnya perusahaan itu beroperasi, Deperindag merujuk kepada Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M/SK/5/1976 Tentang Standarisasi Industri Serta Pengendalian Mutu Barang dan Hasil Industri, 71 dan SK Menteri Perindustrian No. 210 Tahun 1979 Tentang Penetapan Izin Industri. 72
2.
Departemen Kesehatan (DEPKES) dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Pengawasan dan pemeriksaan dibidang pengolahan dan peredaran makanan dan
minuman dilaksanakan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). BPOM melakukan pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan (Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992) dan Undang-Undang Pangan (UndangUndang No. 7 Tahun 1996). Pengawasan dan pemeriksaan terhadap makanan dan minuman itu meliputi antara lain:
71
Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M/SK/5/1976 Tentang Standarisasi Industri Serta Pengendalian Mutu Barang dan Hasil Industri. 72 SK Menteri Perindustrian No. 210 Tahun 1979 Tentang Penetapan Izin Industri.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
1. pemeriksaan terhadap tempat kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan pangan (makanan dan minuman); 2. pemeriksaan atas keamanan, mutu dan gizi pangan untuk kepentingan kesehatan konsumen; 3. pemeriksaan atas buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau perdagangan pangan, termasuk juga mengutip keterangan atau menggandakannya; 4. pemeriksaan atas izin usaha atau dokumen lain sejenis; 5. pemeriksaan atas penggunaan bahan-bahan tambahan yang dinyatakan terlarang atau melampaui batas maksimal yang telah ditetapkan; 6. pemeriksaan terhadap penggunaan bahan kemasan makanan/minuman yang dinyatakan terlarang karena dikhawatirkan dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan konsumen; Pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPOM secara berkala yaitu 1 kali 3 bulan, langsung ke setiap lokasi pengolahan makanan dan minuman dan ke tempat-tempat sarana peredarannya. Dalam melaksanakan pemeriksaan makanan dan minuman yang beredar di pasaran, BPOM
memeriksa secara berkala pada
perusahaan makanan dan minuman tersebut langsung ke pabrik maupun ke lapangan atau toko-toko makanan, swalayan, kedai-kedai atau warung-warung yang menjual makanan dan minuman berdasarkan kepada aturan yang telah ditetapkan oleh
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/PER/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan. 73 BPOM juga melakukan pemeriksaan langsung ke produsen atau pelaku usaha makanan dan minuman untuk melihat secara dekat bagaimana cara memproduksi makanan dan minuman yang sehat dan higiene sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, berdasarkan kepada Ketetapan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 23/Men-Kes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan Halal Pada label Makanan. 74 BPOM juga melakukan pemeriksaan secara insidentil, yaitu berdasarkan pengaduan atau laporan dari masyarakat secara langsung. BPOM juga memeriksa berdasarkan permintaan dari instansi pemerintah atau lembaga non formal lainnya, dan juga dari produsen atau pelaku usaha makanan dan minuman itu sendiri, bahkan berdasarkan mass media. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah membuka suatu Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) kepada masyarakat. ULPK adalah unit layanan yang dibentuk untuk menampung pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan mutu, keamanan, dan aspek legalitas produk seperti : 75 a. Obat; b. Makanan dan Minuman; 73
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/PER/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan. 74 Ketetapan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 23/Men-Kes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan Halal Pada label Makanan. 75 http://www.badan pengawas obat dan makanan (BPOM).go.id.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
c. Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT); b. Obat Tradisional; c. Narkoba ; Adapun cara masyarakat menyampaikan pengaduannya adalah dengan menghubungi atau datang langsung ke kantor sekretariat masing-masing Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di wilayah tempat dimana konsumen berada, atau konsumen yang merasa hak-haknya telah dilanggar perlu mengadukannya kepada lembaga yang berwenang. Konsumen juga dapat meminta bantuan kepada Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya masyarakat (LPKSM) untuk meninta bantuan hukum atau bisa langsung menyelesaikannya ke Badan Penyelesaian Konsumen (BPSK). Disamping itu, konsumen juga bisa mendatangi sub direktorat (subdit) pelayanan pengaduan di Direktorat Perlindungan Konsumen, Departemen Perdagangan, sebagaimana dijelaskan dalam website resminya http://www.pkditjenpdn.depdag.go.id. 76
C. Akibat Hukum Dari Produk Makanan Yang Mengandung Bahan-Bahan Berbahaya Pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan maupun peraturan yang berkaitan dengan kemananan makanan baik di tingkat produksi maupun di tingkat distribusi. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bagi pengambilan 76
tindakan
atau
penghukuman
atas
perbuatan-perbuatan
yang
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008),
hlm. 57.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
menimbulkan kerugian atau bahaya kepada konsumen dalam berbagai bentuk perundangan-perundangan, yang telah ada seperti : 1. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, antara lain: 77 a. Pasal 21 ayat (3), yaitu: “makanan dan minuman yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan dan atau membahayakan kesehatan dilarang diedarkan, ditarik dari peredaran dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan”; b. Pasal 80 ayat (4), yaitu: “barang siapa dengan sengaja mengedarkan makanan dan atau minuman yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan dan atau membahayakan kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000; (tiga ratus juta rupiah); 2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, antara lain: 78 a. Pasal 8 yaitu: “setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran makanan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi; b. Pasal 20 ayat (1): “setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi”; c. Pasal 21 huruf (a): “setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia”; d. Pasal 26 huruf (b): “setiap orang dilarang memperdagangkan pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama dengan mutu yang dijanjikan”; e. Pasal 55 yaitu: “barang siapa dengan sengaja bertentangan dengan Pasal 8, Pasal 21 huruf (a), Pasal 26 huruf (b) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000; (enam ratus juta rupiah); 3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, antara lain: 79 77
Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 80 ayat (4) Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan 78
Pasal 8, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 huruf (a), Pasal 26 huruf (b), Pasal 55 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan 79 Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
a. Pasal 8 ayat (1) yaitu: “pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: 1. tidak memenuhi atau sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan pada label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; 3. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; 4. tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atau barang tertentu; 5. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; 6. tidak memasang label atau memuat informasi penjelasan mengenai barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat samping, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; 7. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentua perundang-undangan yang berlaku; b. Pasal 62 ayat (1) yaitu: “pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000; (dua milyar rupiah);
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT PRODUK MAKANAN YANG MENGANDUNG BAHAN-BAHAN BERBAHAYA
A. Perlindungan Konsumen
Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 ayat (2) yang dimaksud dengan konsumen adalah : 80 “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
80
Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Pengertian konsumen dalam penjelasan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir bukan konsumen antara sebagaimana yang terdapat dalam kepustakaan ekonomi. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produksi lain. Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai terakhir dari benda atau jasa (Uiteindelijke gebruiker van goerderen en diesten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (ondernamer). 81 Kata konsumen merupakan alih bahasa dari kata “consumer” (InggrisAmerika), atau consument/konsument (Belanda), secara harfiah arti kata consumer adalah setiap orang yang menggunakan barang. Pengertian konsumen secara harfiah berarti “seseorang yang membeli barang atau jasa”, atau “seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”. Dalam arti lain konsumen dikenal juga dengan pengertian “setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”. 82 . Pengertian masyarakat umum saat ini, bahwa konsumen itu adalah pembeli, penyewa, nasabah (penerima kredit), lembaga jasa perbankan atau asuransi, penumpang angkutan umum, pada pokoknya langganan dari para pengusaha. Pengertian ini tidaklah salah sebab secara yuridis, dalam Kitab Undang-Undang
81
BPHN, 1986, Hasil-Hasil Pertemuan Ilmiah (Simposium, Seminar, Lokakarya), Jakarta,
hlm. 57. 82
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, (Jakarta : Diadit Media, 2002), hlm. 3.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Hukum Perdata, terdapat subjek-subjek hukum dalam hukum perikatan (Buku Ketiga) yang bernama pembeli, penyewa, peminjam pakai. Dalam Kitab UndangUndang Hukum Dagang juga ditemukan istilah penumpang yang pengertiannya juga dikelompokkan pada konsumen (pemakai jasa). Konsumen dapat dibedakan berdasarkan unsur kegunaan yang dikenal dengan konsumen antara dan konsumen akhir. Perbedaan itu tergantung untuk kegunaan apakah suatu barang atau jasa itu diperlukan. Apabila kegunaan itu untuk tujuan memproduksi barang/jasa untuk dijual kembali (tujuan komersial), maka konsumen itu adalah konsumen antara. Begitu pula jika kegunaannya untuk tujuan memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangga serta tidak untuk dijual kembali, maka konsumen tersebut adalah konsumen akhir. Dari hal-hal yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pengertian konsumen : 1. Konsumen yang menggunakan barang/jasa untuk keperluan komersial; 2. Konsumen yang menggunakan barang/jasa untuk keperluan diri sendiri/keluarga dan non komersial; Menurut AZ. Nasution, konsumen adalah “setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegunaan tertentu”. 83 Darodjatun memberikan pengertian konsumen dalam tanggapannya terhadap Rancangan Akademik Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen yaitu :
83
AZ. Nasution, Konsumen dan Hukum, Cetakan Pertama, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 69.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Konsumen adalah “pemakai barang atau pihak-pihak yang mendapat barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau untuk diserahkan kepada pihak lain”. Dalam berbagai perundang-undangan di negara-negara lain, secara tegas ditetapkan siapa yang dimaksud dengan konsumen yang harus dilindungi : 84 a. Undang-Undang Konsumen India, menentukan bahwa konsumen adalah “setiap orang
pembeli
barang
yang
disepakati,
menyangkut
harga
dan
cara
pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersil”; b. Dari Undang-Undang Jaminan Produk di Amerika serikat menunjukkan bahwa konsumen itu adalah : “setiap pembeli produk produsen, yang tidak untuk dijual kembali, dan pada umumnya digunakan untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah tangga”; c. BW baru Belanda (NBW) mengartikan konsumen sebagai “orang alamiah (yang dalam mengadakan perjanjian) tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi atau perusahaan”; d. Hukum Inggris, tidak secara tegas menentukan batasan dari konsumen itu Tetapi dari berbagai peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan konsumen akhir diartikan sebagai pembeli pribadi (private purchaser) yang pada saat membeli barang tertentu, tidak menjalankan bisnis dagang atau keuangan baik sebagian maupun seutuhnya, dari barang tertentu yang dibelinya itu; 84
Ibid, hlm. 722.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Tinjauan pada perundang-undangan di negara tersebut menunjukkan bahwa konsumen yang dirumuskan di dalam masing-masing perundang-undangan adalah sesuai dengan konsumen akhir, atau end user sebagaimana yang diuraikan dalam literatur ekonomi. Berbagai studi dilakukan berkaitan dengan perlindungan konsumen telah berhasil membuat batasan tentang konsumen (akhir) antara lain: 85 a. Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak untuk diperjual belikan; b. Pemakai barang atau jasa yang tersedia atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali; c. Setiap orang atau keluarga yang mendapat barang untuk dipakai dan tidak diperdagangkan; Perlindungan konsumen adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen, dalam kegiatannya untuk memenuhi kebuthan hidup dan hal-hal yang dapat merugika konsumen itu sendiri. Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah-masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup”. 86
85 86
Ibid, hlm. 71. Ibid, hlm. 64.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Perlindungan konsumen merupakan bagian dari Hukum Konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen.
87
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut. Perlindungan konsumen berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (1) yaitu : 88 “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Perlindungan konsumen yang diberikan produsen/pelaku usaha oleh berbagai penulis diberi istilah product liability dalam bahasa Inggris, misalnya oleh Charles O. Smith dalam bukunya Product Liability, yang menyatakan sebagai berikut : “The term products liability also includes commercial loss by a consumer operation due to alleged failure or inadeguate performance of a product”. 89 tanggungjawab
produk
adalah
istilah
yang
sah
yang
Maksudnya
menguraikan
aksi
(tanggungjawab) bilamana pihak yang dirugikan mencari atau menemukan kerusakan atas kerugian diri atau hilangnya penghasilan bila pihak tersebut menduga bahwa kerusakan produk menyebabkan kerugian. 87 88
Ibid, hlm. 65. Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. 89
Charles O. Smith, Product Liability, (New Jersey Prentice Hall: Englewood cliff, 1920),
hlm. 1.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Dalam
bahasa
Indonesia
“product
liability”
diterjemahkan
menjadi
tanggungjawab produk. Sedangkan menurut Sudargo Gautama dalam pembahasannya mengenai Konvensi Den Haag Tahun 1972, secara bergantian memakai terjemahan yang berbeda-beda, yaitu dengan “tanggungjawab untuk hasil produksi” dan “tanggungjawab produsen terhadap hasil produksinya”. 90 Agnes M. Toar memberikan batasan pemahaman tentang tanggungjawab produk sebagai berikut: “Tanggungjawab produk ialah tanggungjawab para produsen untuk
produk
yang
telah
dibawanya
ke
dalam
peredaran,
yang
menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. 91 Uraian di atas menunjukkan bahwa istilah tanggungjawab dan perlindungan konsumen merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan hanya dapat dibedakan, tanggungjawab produk merupakan sebagian dari cakupan pengertian perlindungan konsumen.
B. Hak Dan Kewajiban Konsumen Berkaitan dengan perlindungan konsumen, maka hak-hak konsumen yang perlu mendapat perlindungan sebagaimana yang dikemukakan oleh Presiden Amerika
90
Sudargo Gautama, Kapita Selekta Hukum Perdata Internasional, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 105. 91 Agnes M. Toar, Tanggungjawab Produk dan Sejarah Perkembangannya di Beberapa Negara, (Yogyakarta: Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia dengan Belanda, 1988), hlm. 2.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Serikat Jhon. F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas: 92 a. Hak memperoleh keamanan (the right to safety); Aspek ini terutama ditujukan pada perlindungan konsumen terhadap pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan jiwa atau diri konsumen. Dalam rangka penggunaan hal ini, pemerintah mempunyai peranan dan tanggung jawab yang sangat penting. Berbagai bentuk peraturan perundang-undangan harus ada dan telah dibentuk untuk penanggulangannya, sekalipun dibanding dengan mengikatnya produksi, karena pembangunan ribuan jenis barang dan/atau jasa dirasakan peraturan untuk menjaga keselamatan dan keamanan tersebut masih kurang. b. Hak memilih (the right to choose); Hak ini bagi konsumen sebenarnya ditujukan pada apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkannya. c. Hak mendapat informasi (the right to be informed); Hak yang sangat fundamental bagi konsumen tentang informasi yang lengkap mengenai barang dan/atau jasa yang akan dibelinya, baik secara langsung maupun secara umum melalui media komunikasi agar tidak menyesatkan. d. Hak untuk didengar (the right to be heard);
92
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: P.T.Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.39.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kepada konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam pola kebijaksanaan pemerintah termasuk didalamnya turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut. Dalam pada itu Masyarakat Ekonomi Eropa (Europese Economische Gemeenschape) atau EEG juga telah menetapkan hak dasar konsumen yang perlu mendapat perlindungan sebagai berikut : 93 a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid); b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen); c. Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding); d. Hak atas penerangan (recht op voorlichting vorming); e. Hak untuk didengar (recht om te worden gehoord); Dalam laporan akhir simposium aspek-aspek hukum masalah perlindungan konsumen yang diselenggarakan oleh BPHN pada tanggal 16-18 Oktober 1980 di Jakarta menyebutkan sebagai berikut : Usaha melindungi konsumen pertama-tama harus dilakukan melalui hukum. Harus diciptakan peraturan hukum yang melindungi konsumen serta tanggungjawab produsen. Perlu diperhatikan adanya jaminan hukum terhadap hak-hak konsumen yang sudah diakui secara universal yaitu : 94 a. Hak atas keamanan dan keselamatan;
93 94
BPHN, op.cit, hlm. 61. Ibid, hlm. 61.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
b. Hak atas informasi; c. Hak untuk memilih; d. Hak untuk didengar; Dalam pembangunan hukum masyarakat Indonesia yang berkenaan dengan perlindungan konsumen dewasa ini, perlu diperjuangkan dan dijaminnya hak-hak sebagai berikut : a. Hak untuk memperoleh hidup yang layak; b. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen; c. Hak untuk mendapatkan ganti rugi; Dengan adanya hak-hak konsumen yang merupakan peraturan perlindungan konsumen, maka diharapkan disatu pihak dapat menghindarkan hal-hal yang merugikan konsumen, dilain pihak dapat mendukung kegiatan produsen, dalam hal ini dapat : a. Mencegah beredarnya barang dan jasa yang tidak memenuhi syarat; b. Mencegah terjadinya persaingan yang tidak wajar diantara produsen baik melalui iklan maupun secara lainnya; c. Memberikan jaminan kepada konsumen sehingga kepercayaan masyarakat akan menguntungkan produsen dalam pemanfaatan modal; Hak-hak konsumen yang ada dan diakui sekarang bermula dari perkembangan hak-hak konsumen yang terasa masih sederhana. Setelah begitu besar perhatian masyarakat dunia terhadap masalah perlindungan konsumen tersebut, seperti
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
diadakannya resolusi PBB mengenai perlindungan konsumen tahun 1985, maka hakhak konsumen yang sekarang terdiri dari : 95 a. Hak atas keamanan dan keselamatan; b. Hak mendapatkan informasi yang benar; c. Hak memilih; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya; e. Hak atas lingkungan hidup; Hak-hak konsumen sekarang telah ditetapkan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 menyatakan : 96 a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keseluruhan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa; b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan /atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan /atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya;
95
Muhammad Djumhana, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 338. 96 Lihat Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Mengingat keberadaan hak sangat erat hubungannya dengan kewajiban maka Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 5 juga telah dinyatakan kewajiban konsumen sebagai berikut : 97 a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang lebih disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut; Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan, kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak dengan unsurnya berupa perlindungan kepentingan dan kehendak. Keberadaan hak sangat erat hubungannya dengan kewajiban, yang satu mencerminkan adanya yang lain. Disinilah pengakuan hak pada pihak-pihak yang terkait dalam hubungan kewajiban. 98 Hubungan timbal balik yang terajdi pada suatu peristiwa, berupa hak-hak konsumen merupakan kewajiban pengusaha. Konsekwensinya, adalah bahwa setiap perbuatan yang melanggar, merupakn suatu perbuatan melanggar hukum. Dengan demikian maka konsumen yang dilanggar haknya dapat meggugat produsen/pelaku usaha guna pemenuhan atas haknya atau untuk mganti rugi.
97 98
Lihat Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Muhammad Djumhana, op.cit, hlm. 338.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
C. Hubungan Antara Konsumen Dengan Produsen Secara umum hubungan hukum antara produsen atau pelaku usaha dengan konsumen (pemakai akhir) dari suatu produk merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan mana terjadi karena adanya saling keterkaitan kebutuhan antara pihak produsen dengan konsumen. Menurut Sudaryatmo, hubungan hukum antara produsen dengan konsumen karena keduanya menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lain. 99 Produsen membutuhkan dan bergantung kepada dukungan konsumen sebagai pelanggan, dimana tanpa adanya dukungan konsumen maka tidak mungkin produsen dapat menjamin kelangsungan usahanya, sebaliknya konsumen membutuhkan barang dari hasil produksi produsen. Saling ketergantungan kebutuhan tersebut di atas dapat menciptakan suatu hubungan yang terus dan berkesinambungan sepanjang masa. Hubungan hukum antara produsen dengan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi, pemasaran dan penawaran. 100 Secara individu hubungan hukum antara konsumen dengan produsen adalah bersifat keperdataan, yaitu karena perjanjian jual beli, sewa beli, penitipan dan sebagainya. Namun oleh karena produk yang dihasilkan oleh produsen tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang banyak, maka secara kolektif hubungan hukum antara konsumen dengan produsen tidak lagi hanya menyangkut bidang hukum perdata, 99
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Grafika, 1996),
100
Basu Swastia dan Irawan, Manajemen Modern, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hlm.25.
hlm.23.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
akan tetapi juga memasuki bidang hukum publik, seperti hukum pidana, hukum administrasi negara dan sebagainya. Dari hubungan hukum secara individu antara konsumen dengan pelaku usaha telah melahirkan beberapa doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, sebagai berikut: a. Let the Buyer Beware; Doktrin ini berasumsi bahwa antara pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang, sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Menurut doktrin ini, dalam hubungan jual beli keperdataan yang wajib berhati-hati adalah pembeli (konsumen). Dengan demikian akan menjadi kesalahan dan tanggung jawab konsumen itu sendiri bila ia sampai membeli dan mengkonsumsi produk yang tidak layak. Doktrin ini banyak ditentang oleh gerakan perlindungan konsumen. b. The Due Care Theory; Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produknya, baik barang maupun jasa, dan selama berhati-hati maka pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan bila terjadi kerugian yang diderita oleh konsumen. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk menyalahkan pelaku usaha, seseorang (konsumen) harus dapat membuktikan bahwa pelaku usaha tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian. c. The Privity of Contract; Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
terjadi suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas halhal di luar yang telah diperjanjikan, artinya konsumen boleh menggugat pelaku usaha berdasarkan wanprestasi (contractual liability). Dalam pengaturan UUPK, dari hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha telah melahirkan 2 (dua) bentuk tanggung jawab, yaitu: tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab profesional (profesional liability), ketentuan tersebut terdapat dalam Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UUPK. 101
H.E.Saefullah mengatakan sebagai berikut: 102 ”Tanggung jawab produk yang biasa disebut “product liability” adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (produk manufacurer) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembier) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut”. Nahattands v. Lambock seperti dikutip oleh Nurmardjito mengatakan sebagai berikut: 103
101
Lihat Bab VI Pasal 19 s/d Pasal 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 102 H.E.Saefullah, Tanggung jawab Produsen terhadap Akibat Hukum yang ditimbulkan dari Produk dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 1998. hlm.5. 103 Nurmardjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah dalam Seminar Nasional Perspektif
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
”Tanggung jawab (tanggung gugat) produk merupakan terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia secara populer sering disebut dengan “product liability” adalah suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan memberikazn perlindungan kepada konsumen yaitu dengan jalan membebaskan konsumen dari beban untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab produsen untuk memberikan ganti rugi”. Konsepsi tanggung jawab dalam pengaturan UUPK secara mendasar mempunyai perbedaan dengan pengaturan tanggung jawab dalam KUH Perdata. Menurut KUH Perdata bahwa tanggung jawab pelaku usaha (produsen) untuk memberikan ganti kerugian didapat setelah konsumen yang menderita kerugian dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul merupakan kesalahan dari pelaku usaha (vide Pasal 1365 KUH Perdata jo Pasal 163 HIR/283 Rbg). 104 Sedangkan dalam UUPK mengatur kewajiban sebaliknya, dimana pelaku usaha berkewajiban membuktikan bahwa kerugian yang diderita konsumen bukan merupakan dari akibat kesalahan/kelalaian dari pelaku usaha, sekalipun dalam hal ini pihak konsumen yang pertama mengajukan dalil kerugian tersebut (vide Pasal 19 s/d 28 UUPK), dan inilah yang dikenal dengan tanggung jawab mutlak (strict liability). Konsep tanggung jawab mutlak (strict liability) yang ada dalam UUPK itu sendiri di Amerika Serikat telah dikenal dan diberlakukan sejak tahun 1960 an. Dimana dengan diterapkannya prinsip Hukum Perlindungan Konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan, Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 1998. hlm.17. 104 Lihat Pasal 1365 KUHPerdata Jo Pasal 163 HIR/283 Rbg.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
tanggung jawab mutlak ini semua orang/konsumen yang dirugikan akibat suatu produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan pada pihak produsen. Dua kasus utama yang merupakan prinsip tanggung jawab mutlak, yang kemudian diikuti oleh pengadilan-pengadilan lain adalah kasus Spence V Theree Rivers Builders and Mansory Supply Inc 1959. 105 Dalam sistem hukum Amerika Serikat untuk menjerat produsen agar bertanggung jawab terhadap produk yang merugikan konsumen, maka dimungkinkan untuk menerapkan asas “strict liability” atau digunakan istilah tanggung jawab tidak terbatas menurut Robert N. Gorley sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap, strict liability ditegakkan pada prinsip: 106 a. Pertanggung jawaban hukum atas setiap perbuatan atau aktivitas yang menimbulkan kerugian jiwa atau harta terhadap orang lain; b. Pertanggung jawaban hukum tanpa mempersoalkan kesalahan baik yang berupa kesengajaan maupun kelalaian; Alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diterapkan dalam hukum product liability adalah: 107
105
D.L.Dann, Strict Liabilityin The USA, dalam Aviation products and Grounding Liability Symposium, (London: The Royal Acrunautical Sociaty, 1972), hlm.15. 106 M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm.22. 107 Ibid, hlm.16-17.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
a. Diantara korban/konsumen disatu pihak dan produsen dilain pihak beban kerugian
(resiko)
seharusnya
ditanggung
oleh
pihak
yang
memproduksi/mengeluarkan barang-barang di pasaran; b. Dengan menerapkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bila mana terbukti tidak demikian maka produsen harus bertanggung jawab; c. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak produsen yang melakukan kesalahan dapat dituntut melalui proses tuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pedagang eceran kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang cukup panjang ini;
D. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Akibat Produk Makanan Yang Mengandung Bahan-Bahan Berbahaya Untuk memenuhi tujuan dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap terselenggaranya perlindungan konsumen secara memadai. Oleh karena itu, pembinaan dan pengawasan meliputi : 108 1. Diri pelaku usaha; 2. Sarana dan prasarana produksi; 3. Iklim usaha secara keseluruhan;
108
Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
4. Konsumen. Dengan pembinaaan dan pengawasan ini diharapkan pemenuhan hak-hak konsumen dapat terjamin dan sebaliknya pemenuhan kewajiban-kewajiban pelaku usaha sebagai produsen dapat dipastikan. Tanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen secara keseluruhan berada di tangan pemerintah (Pasal 29 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Sehubungan dengan penyelenggaraan perlindungan konsumen, maka menteri-menteri yang terkait bertugas untuk menyelenggarakan pembinaan ini adalah : 109 1. Menteri Perindustrian dan Perdagangan; 2. Menteri Kesehatan; 3. Menteri Lingkungan Hidup; 4. Menteri-menteri lain yang mengurusi kesejahteraan rakyat; Dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
disebutkan
bahwa
pembinaan
penyelenggaraan
perlindungan konsumen dimaksudkan untuk : 110 1. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; 2. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
109 110
Pasal 29 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun Tentang Perlindungan Konsumen
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
3. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen; Menurut Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan pelaksanaan ketentuan perundang-undangan dilaksanakan oleh : 111 1. Pemerintah; 2. Masyarakat; 3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; Berbeda dengan pembinaan, maka dalam pelaksanaan tugas pengawasan selain dibebankan kepada pemerintah, juga dilimpahkan kepada masyarakat, baik berupa kelompok, perorangan, maupun lembaga swadaya masyarakat. Masyarakat dapat melakukan penelitian, pengujian, dan/atau pensurveian terhadap barang-barang yang beredar di pasar. Aspek pengawasan yang dilakukan masyarakat ini meliputi : pemuatan informasi tentang resiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Kalau ketentuan pembinaan dan pengawasan di atas berlaku untuk seluruh kegiatan usaha yang memproduksi dan mengedarkan barang dan jasa, untuk produk pangan (makanan) ada peraturan khusus yang berlaku, yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Ketentuan tentang pembinaan terdapat dalam Bab VII 111
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Pasal 49, 112 dan ketentuan tentang pengawasan terdapat dalam Bab IX Pasal 53 dan Pasal 54. 113 Dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan disebutkan bahwa, “Tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan adalah : 114 1. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kesehatan manusia; 2. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab; 3. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat; Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan menyebutkan bahwa, pemerintah melaksanakan pembinaan yang meliputi upaya : 115 a. Pengembangan sumber daya manusia di bidang pangan melalui kegiatan pendidilan dan pelatihan, terutama usaha kecil; b. Untuk mendorong dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kemampuan usaha kecil, penyuluhan dibidang pangan, serta penganekaragaman pangan; c. Untuk mendorong dan mengarahkan peran serta asosiasi dan organisasi profesi dibidang pangan; 112
Bab VII Tentang Pembinaan Pangan Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang
Pangan 113
Bab IX Tentang Pengawasan Pangan Pasal 53 dan 54 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan 114 Pasal 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. 115 Lihat Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
d. Untuk mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan atau pengembangan teknologi bidang pangan; e. Penyebarluasan pengetahuan dan penyuluhan dibidang pangan f. Pembinaan kerja sama internasional di bidang pangan, sesuai dengan kepentingan nasional; g. Untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat serta pemantap mutu pangan tradisional; Pembinaan yang dimaksud dalam praktiknya dilakukan oleh Dinas Kesehatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia). Pasal 53 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan mengatakan bahwa yang berwenang melakukan pengawasan atas pemenuhan ketentuan perundang-undangan pangan ini adalah pemerintah. 116 Dalam rangka pengawasan ini, tugas pengawasan dilakukan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (Balai POM) di tiap-tiap provinsi sebagai bagian dari Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, yang berwenang dalam melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan (ayat (1)). Jadi, perlu diperhatikan bahwa tugas pembinaan di bidang pangan dilakukan oleh Dinas Kesehatan, sedangkan tugas pengawasan dilakukan oleh Balai POM, kedua-duanya adalah bagian dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
116
Lihat Pasal 53 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Perlindungan hukum terhadap konsumen didasarkan pada pemahaman umum masyarakat tentang kepentingan mereka sebagai konsumen, maka bahasan tentang kepentingan konsumen ini dilakukan dengan menggunakan pengelompokan yaitu : 117 a. Kepentingan fisik; b. Kepentingan sosial ekonomi; c. Kepentingan hukum konsumen d. Kepentingan fisik konsumen; Berbagai kepentingan konsumen sebagaimana telah disepakati bersama oleh semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Resolusi tentang Pedoman Perlindungan Konsumen (Resolusi 39/248) memerlukan prasarana dan sarana hukum untuk dapat diwujudkan bagi kepentingan rakyat. 118 Yayasan
Lembaga
Konsumen
Indonesia
(YLKI)
mengelompokkan
kepentingan hukum konsumen tercermin dalam bentuk berbagai hak konsumen sebagai berikut : a. Hak atas keamanan dan keselamatan; b. Hak Informasi; c. Hak untuk memilih; d. Hak Untuk di dengar; e. Hak atas lingkungan hidup yang baik; 117
Selain itu juga prinsip strict liability bertujuan untuk membebaskan penggugat *yang dalam hal ini konsumen) dari beban kewajiban pembuktian, dengan demikian konsumen hanya mengungkapkan faktanya saja, sementara produsen yang membuktikan bahwa produksinya aman pada saat dipasarkan pada konsumen, Page Keeton, Case Materialis on Fort on Accident Law, (USA, 1989), hlm.664. 118 AZ. Nasution, op.cit, hlm. 61.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa gangguan pada kepentingan konsumen dapat terjadi karena : a. Terjadinya gangguan atas fisik, jiwa, atau harta benda konsumen; b. Tidak diperolehnya keuntungan optimum dari penggunaan sumebr ekonomi konsumen (antara lain gaji, upah, honor dan sebagainya) dalam perolehan barang/jasa kebutuhan konsumen; c. Seharusnya hukum yang melindungi konsumen; Gangguan kepentingan konsumen tersebut dapat menimbulkan kerugian pada konsumen, baik dalam bentuk kerugian harta, gangguan pada kesehatan tubuh dan atau ancaman atas keamanan/kesehatan jiwa konsumen. Gangguan pada kepentingan konsumen ini, secara langsung atau tidak langsung, terpengaruh pula oleh ”miskinnya” hukum yang dapat dimanfaatkan konsumen untuk mengakkan hak dan atau melindungi kepentingannya. Penyebab gangguan atas kepentingan konsumen itu antara lain adalah : a. Kelemahan yang melekat didiri konsumen (penyebab intern); Kelemahan konsumen adalah dari segi pendidikan, kemampuan ekonomis atau daya tawar dan juga dari segi organisasinya. Resolusi PBB 39/284 memberikan gambaran kelemahan tersebut sebagai ”imbalances in economic terms, educational levels and bargaining power”. Karena kelemahan-kelemahan itu, konsumen sering berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam hubungannya dengan para penyedia barang dan jasa konsumen. Bahkan karena ”miskinnya hukum indonesia” berkenaan dengan perlindungan pada kepentingan
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
konsumen ini, tidak jarang konsumen yang dirugikan tanpa kesalahan pada pihaknya dalam berhubungan dengan penyedia barang atau jasa, hampir dapat dikatakan ”tidak mampu” menuntut ganti rugi dan atau mengakkan hak-haknya. b. Sesuatu bentuk praktek niaga tertentu (penyebab ekstern); Praktek-praktek niaga yang merugikan konsumen (perilaku bisnis niaga negatif) memerlukan pengaturan dan perlindungan dari pemerintah. Resolusi PBB tentang Perlindungan Konsumen antara lain menyebutkan (butir 14 s/d 19, Resolusi PBB 39/248) : 119 1. Perbuatan-perbuatan yang tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan; 2. Praktek perdagangan yang merugikan konsumen; 3. Pertanggungjawaban produsen yang tidak jelas; 4. Persaingan yang tidak sehat, sehingga pilihan konsumen dipersempit dan dengan harga yang menjadi tidak murah; 5. Tidak tersedianya suku cadang dan pelayanan purna jual; 6. Kontrak baku sepihak dan penghilangan hak-hak essensial dari konsumen dan 7. Persyaratan kredit yang tidak adil. Kepentingan konsumen yang lebih rinci termuat dalam Resolusi PBB 39/248 tahun 1985. Dalam Guidlines for Consumer Protection, bagian II (General
119
Lihat Butir 14 s/d 19 Resolusi PBB 39/248.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Principles), angka 3, digariskan kepentingan konsumen (legitimate needs) yang dimaksudkan, yaitu : 120 a. Perlindungan
konsumen
dari
bahaya-bahaya
terhadap
kesehatan
dan
keamanannya; b. Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen; c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan mereka kemampuan melakukan pilihan yang tepat
sesuai kehendak dan kebutuhan
pribadi; d. Pendidikan konsumen; e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Ruang lingkup perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis perundang-undangan seperti Undang-undang Perlindungan
Konsumen
(UUPK).
Hukum
perlindungan
konsumen
selalu
berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai cabang dan bidang hukum lain, karena pada setiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berprediket sebagai “konsumen”. Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlkindungan
120
Lihat Resolusi PBB 39/248 Tahun 1985. Dalam Guidlines for Consumer Protection, bagian II (General Principles), angka 3.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
konsumen Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional kita, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Menurut Nurmardjito, bahwa pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan: 121 a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum; b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha; c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa; d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan menyesatkan; e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang- bidang lain; Adapun norma-norma perlindungan terhadap konsumen dalam UUPK dapat kita jumpai dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 1 Angka 1 menyebutkan : 122 “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.
121
Husni Syawali dan Neni Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang perlindungan Konsumen di Indonesia, Cetakan Pertama, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 7. 122 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Pasal 2 menyebutkan : 123 “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PRODUSEN ATAU PELAKU USAHA TERHADAP PRODUK MAKANAN YANG MENGANDUNG BAHAN-BAHAN BERBAHAYA
A. Pengertian Produsen Atau Pelaku Usaha Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leverensir dan
123
Lihat Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
pengecer profesional, 124 yaitu setiap orang atau badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. 125 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, tidak memakai istilah produsen, melainkan menggunakan kata pelaku usaha, sekalipun pada dasarnya apa yang dimaksudkan dengan pelaku usaha dalam UUPK sama dengan cakupan produsen yang dikenal di Belanda. 126 Dalam Pasal 1 ayat 3 UUPK menjelaskan, apa yang dimaksud dengan pelaku usaha sebagai berikut: 127 “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negar Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi”.
Apabila diikuti pola distribusi yag dikenal dalam ilmu manajemen pemasaran maka akan diperoleh gambaran sebagai berikut: 128 1. Pelaku Usaha -------------------------------------------------------- Konsumen 2. Pelaku Usaha --- Pengecer ----------------------------------------- Konsumen 3. Pelaku Usaha – Pedagang Besar --- Pengecer ------------------ Konsumen
124
Agnes M.Toar, Tanggung jawab Produk, Sejarah dan perkembangannya di beberapa Negara, (Yogyakarta: Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda-Indonesia, 1988), hlm. 2. 125 Harry Duintjer Tebbens, International Product Liability, (Netherland: Sijttof dan Noordhof International Publishers, 1980), hlm.4. 126 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum perlindungan Consumen, (Yakarta: P.T.Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 9. 127 Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 128 Basu DH Swastha, Ibnu Sukotjo W, Pengantar Bisnis Modern, Edisi 3, (Yogyakarta: Liberty, 1993), h. 202.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
4. Pelaku Usaha --- Agen --- Pedagang Besar ---- Pengecer ----- Konsumen 5. Pelaku Usaha – Agen --- Pengecer ------------------------------- Konsumen Sebagai perbandingan di Eropa, seperti yang dikutip oleh Rachmadi Usman dalam Directive on Product Liability yaitu suatu ketentuan perundang-undangan yang dibuat oleh Dewan Kementrian Eropa, di dalam Pasal 3 disebutkan yang dimaksud dengan produsen adalah meliputi: 129 a. Pihak pembuat suatu produk akhir atau bagian komponennya yang berupa produk-produk manufacture; b. Produsen dari tiap bahan mentah apapun; c. Tiap orang, yang dengan membubuhkan nama, merek dagang ataupun ciri pembeda lainnya pada suatu produk adalah mewakili dirinya sendiri sebagai produsen barang atau produk tersebut; d. Setiap orang yang mengimpor suatu produk ke dalam lingkungan Economic Community, apakah untuk dijual, disewakan, dikontrakkan atau bentuk distribusi lain di dalam perdagangan bisnisnya dianggap sebagai produsen dan harus bertanggung jawab sebagai produsen; Dari kedua peraturan tersebut dapat dilihat perbedaan batasan-batasan tentang produsen. Dalam Directive on Product Liability, sudah jelas diatur siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai produsen. Sementara dalam UUPK definisi pelaku usaha di definisikan secara luas.
129
Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm.
206.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Pelaku usaha yang dimaksudkan dalam UUPK tidak hanya membatasi produsen hanya sebagai pabrikan saja, tetapi juga orang perorangan atau badan usaha yang melakukan kegiatan ekonomi, termasuk pedagang, distributor (dan jaringannya), serta termasuk juga korporasi, BUMN, koperasi, importir dan lain-lain. 130
B. Hak Dan Kewajiban Produsen atau Pelaku Usaha Secara tegas di dalam UUPK telah diatur hak dan kewajiban produsen atau pelaku usaha. Dimana pengaturan tentang hak produsen atau pelaku usaha terdapat dalam pasal 6, yang menentukan sebagai berikut: 131 1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan 2. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik 3. Hak untuk melakukan pembelaan dari sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen 4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan 5. Hak-hak yang diatur dalam perundang-undangan lainnya.
130
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia pustaka Utama, 2003), hlm. 5. 131 Lihat Pasal 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Masyarakat Ekonomi Eropa memberikan hak bagi produsen atau pelaku usaha untuk membebaskan diri dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen meskipun kerugian tersebut muncul karena cacatnya produk, dengan ketentuan apabila: 2. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan; 3. Cacat timbul dikemudian hari; 4. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen; 5. barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi; 6. Cacat timbul sebagai akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa; Disamping pengaturan hak dari produsen atau pelaku usaha, UUPK juga mengatur tentang kewajiban dari produsen atau pelaku usaha yang ditentukan secara tegas dalam Pasal 7 UUPK sebagai berikut : 132
1. Beritikad baik dalam menjalankan usaha; 2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi, jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; 3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif; 132
Lihat Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; 6. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian
dan
pemanfaatan
barang
dan/atau
jasa
yang
diperdagangkan; 7. Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan;
C. Tanggung Jawab Produsen atau Pelaku Usaha Tanggung jawab terdiri dari kata tanggung dan jawab, yang kemudian terbentuk beberapa kata seperti bertanggung jawab, mempertanggung jawabkan, penanggung jawab dan pertanggung jawaban.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tanggung jawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). 133 Selanjutnya dari kata tanggung jawab tersebut diturunkan kata-kata sebagai berikut: a. Bertanggung jawab berarti kewajiban memegang, memikul tanggung jawab; b. Mempertanggung jawabkan berarti memberi jawab dan menanggung segala akibatnya kalau ada kesalahan; 134 Dari penggunaan sehari-hari kata tanggung jawab cenderung menerangkan kewajiban. Kecenderungan ini terlihat pada penggunaan kata “pertanggungjawaban” sebuah kata bentukan yang berasal dari kata dasar tanggung jawab. Dalam ilmu hukum ada dikenal dua macam tanggung jawab, yang pertama adalah tanggung jawab dalam arti sempit, yaitu tanggung jawab tanpa sanksi, dan yang kedua tanggung jawab dalam arti luas, yaitu tanggung jawab dengan sanksi. 135 Finer menyebutkan bahwa berdasarkan pengalaman dikenal adanya dua jenis tanggung jawab moral (moral responsibility) dan tanggung jawab politik (political responsibility). 136 Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produsen) baru dikenal sekitar tahun 60-an yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran, baik kalangan produsen (producer and 133
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm.899. 134 Ibid, hlm.901. 135 Harun Al Rasjid, Hubungan antara Presiden dan Majelis Permusyawaratan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm.9. 136 Finer, The Convewmen of Modern Eura Per and Raw, (Newyork: Publisher, tt), hlm.2.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan barangbarangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk makanan yang mengandung bahan-bahan berbahaya yang menimbulkan kerugian terhadap konsumen.
Tentang pengertian product liablity dapat dikemukakan defenisi sebagai berikut: 137 Menurut Hursh : Product Liability ”adalah suatu tanggungjawab secara hukum dari produsen yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang bergerak dalam proses untuk menghasilkan suatu produk, atau orang/badan yang menjual produk tersebut”. Perkins Coie menyatakan: Product Liability ”adalah tanggungjawab hukum dari produsen atau orang-orang yang terlibat dalam distribusi suatu produk kepada para pemakai produk yang terluka karena menggunakan produk tersebut”. Konvensi mengenai penerapan hukum terhadap tanggungjawab produk (Konvensi Hague), Pasal 3 menyatakan : 1. Produsen/ pelaku usaha membuat pembuat jadi atau produk jadi atau produk komponen/bagian; 2. Penghasil produk alam; 3. Penyalur produk; 4. Orang lain, termasuk orang yang memperbaiki dan orang yang bertugas di gudang, yang terkait dalam rangkaian komersial yang mempersiapkan distribusi suatu produk, tanggung jawab produk juga berlaku kepada agen atau para pekerja; 137
Ibid, Saefullah, hlm. 46.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Dengan demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggungjawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (produer, manufacturer) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Konsumen dan pengusaha adalah ibarat sekeping mata uang dengan dua sisinya yang berbeda. Konsumen membutuhkan produk (barang/jasa) hasil kegiatan pengusaha, tetapi kegiatan pengusaha itu akan mubazir apabila tidak ada konsumen yang menyerap/membeli hasil usahanya. Karena itu keseimbangan dalam segala segi, menyangkut kepentingan dari kedua pihak merupakan hal yang ideal dan harus diperhitungkan. Ketidakseimbangan atau gangguan pada kepentingan konsumen lambat atau cepat akan berpengaruh pula kepada kepentingan-kepentingan pihak lainnya. Pendapat para pakar ekonomi Indonesia yang menegaskan bahwa konsumen adalah ”lembaga ekonomi yang sangat penting dalam proses ekonomi”. Hal ini karena proses ekonomi dalam kehidupan ekonomi suatu bangsa terangkai dalam kegiatankegiatan investasi, produksi, distribusi, dan konsumsi. Bila salah satu pelaku kegiatan dalam proses ekonomi itu tidak ada atau karena satu dan lain tidak menjalankan atau menunda kegiatannya, maka prestasi para pelaku unsur lainnya akan menjadi sia-sia dengan segala akibatnya, seperti gagal memanfaatkan kesempatan berusaha, hilangnya kesempatan kerja (pengangguran).
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Proses produksi barang kebutuhan masyarakat yang kini berkembang karena kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, diikuti oleh teknik promosi yang makin canggih dan pola distribusi produk yang meluas sampai ke seluruh pelosok tanah air. Pada sisi lain keadaan ini menguntungkan masyarakat karena tersedianya barang/jasa kebutuhan mereka, tetapi dari sisi lain menyangkut mutu, syarat-syarat penjualan, dan pelayanan kondisi purna jual dari barang atau jasa konsumen yang pada umumnya lemah. Sehingga mau tidak mau konsumen ”menggantungkan nasib dan kepercayaan sepenuhnya kepada pengusaha”. Keadaan ini menimbulkan masalah tanggungjawab produk oleh perusahaan. Mengenai mutu produk misalnya, produsenlah yang semata-mata megetahui bahan-bahan baku atau bahan penolong dan bahan tambahan apa yang digunakan dalam pembuatannya. Bagaimana susunan/komposisi produk serta segala sesuatu yang berkaitan dengan itu, tentunya konsumen sama sekali tidak turut atau tidak mungkin menentukan apa-apa. Apabila suatu produk dinyatakan berkualitas ekspor, atau telah memenuhi standarisasi yang ditetapkan oleh Departemen Perdagangan dan Perindustrian,
sepenuhnya
terpulang
kepada
pengusaha
(produsen)
yang
bersangkutan. Berkaitan dengan tanggung jawab produk dikategorikan produk yang cacad dan berbahaya, dapat diklasifikasikan menurut tahap-tahap produksinya sebagai berikut : a. Kerusakan produksi;
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
b. Kerusakan desain; c. Informasi yang tidak memadai; Untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacad atau berbahaya, maka perlu ditetapkan standarisasi minimal yang harus dipedomani dalam berproduksi untuk menghasilkan makanan yang layak dan aman untuk dikonsumsi. Standarisasi adalah proses penyusunan dan penerangan peraturan dalam pendekatan secara teratur bagi kegiatan tertentu untuk kemanfaatan dan dengan kerja sama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan. Dengan standarisasi akan diperoleh manfaat sebagai berikut : a.
Pemakaian bahan secara ekonomi, perbaikan mutu, penurunan ongkos produksi dan penyerahan yang cepat;
b. Penyederhanaan pengiriman dan penanganan barang; c. Perdagangan yang adil, peningkatan kepuasan langganan; d. Interchangeability komponen memungkinkan subcontracting; e. Keselamatan kehidupan dan harta; Dengan
demikian
standarisasi
membantu
menjembatani
kepentingan
konsumen dan produsen dengan menetapkan standar produk yang tepat yang dapat memenuhi kepentingan dengan mencerminkan aspirasi kedua belah pihak. Dengan adanya standarisasi produk ini akan memberi manfaat optimum pada konsumen dan produsen, tanpa mengurangi hak memilih dari konsumen.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Standarisasi ini berkaitan erat dengan keamanan dan keselamatan konsumen, yang berkaitan dengan kelayakan suatu produk untuk dipakai atau dikonsumsi. Barang yang tidak memenuhi syarat mutu, khususnya makanan, dapat menimbulkan malapetaka bagi konsumen, selain merugikan konsumen dari segi finansial dapat pula mengancam keamanan dan keselamatan mereka dan bahkan keselamatan masyarakat umum. Untuk mencapai tujuan standarisasi itu, maka yang perlu dimasukkan dalam standar produk adalah : a. Terminologi dan definisi yang dapat dipakai sebagai bahasa yang sama-sama dimengerti oleh produsen, penjual distributor dan konsumen; b. Perlu ditetapkan tingkat minimal bagi keselamatan yang ditetapkan secara ahli yang memperhitungkan resiko yang dapat diterima; c. Perlu ditetapkan cara dan produsen untuk menentukan apah memenuhi persyaratan keselamatan minimum; d. Perlu diusahakan kemungkinana dipertukarkan baik bagi produk secara keseluruhan maupun bagi komponennya; e. Perlu ditetapkan kategori atau deret ukur yang cocok bagi konsumen dan juga kemungkinan produsen untuk menghilangkan ragam produk yang tidak perlu; f. Perlu dikembangkan seperangkat cara dan prosedur yang lengkap bagi pengukuran kemampuan dan mutu; Sebagai implementasi dari standarisasi ini maka kepada produk yang sudah memenuhi standar diberikan sertifikat produk (Certification Marking) yang dibuat
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
dengan tanda SNI yang dapat ditempatkan pada produk, kemasan atau dokumennya. Tanda ini dibubuhkan oleh produsen pada barang produknya setelah mendapat izin dari Menteri Perindustrian sesuai dengan SK Menteri Perindustrian No. 210 Tahun 1979.
Dasar pembebanan tanggungjawab produsen terhadap konsumen adalah : 1. Negligence Adalah suatu perilaku yang tidak sesuai dengan kelakuan (standard of conduct) yang ditetapkan oleh undang-undang demi perlindungan anggota masyarakat terhadap resiko yang tidak rasional. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah adanya perbuatan kurang cermat yang merugikan orang lain, yang semestinya seorang penjual atau produsen mempunyai duty of care. Untuk dapat menggunakan negligence sebagai dasar gugatan harus memenuhi syarat-syarat : 138 a.
Adanya suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian yang tidak sesuai dengan sikap hati-hati yang normal;
b.
Yang dibuktikan adalah bahwa tergugat (produsen) lalai dalam duty of care terhadap penggugat (konsumen);
c.
Kelakuan itu sebenarnya penyebab nyata ”(proximate cause)” dari kerugian yang timbul; Adanya duty of care pada produsen mengalahkan asas caveat emptor
(wapadalah 138
pembeli)
yang
berlaku
sebelumnya,
dimana
pembelilah
yang
Agnes M. Toar, op.cit, hlm. 7.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
menanggung resiko yang dideritanya karena mengkonsumsi (memakai) produk yang dibelinya secara tidak hati-hati. Pembuktian adanya negligence mencakup pembuktian atas : 139 a. Kerugian yang dideritanya ditimbulkan oleh cacad yang ada pada produk; b. Bahwa cacad tersebut telah ada pada pernyataan; c. Bahwa cacad pada produksi disebabkan oleh kurang cermatnya produsen;
2. Warranty (Breach of warranty) Gugatan dari konsumen terhadap produsen berdasarkan breach of warranty (pelanggaran janji, jaminan) ini didasarkan pada suatu hubungan kontrak. Produsen secara tegas atau diam-diam memberi jaminan bahwa produknya dapat memenuhi keiniginan/kebutuhan. Pada umumnya warranty (janji, jaminan) itu dpat dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu : 140 a. Express warranty, janji, jaminan yang dinyatakan secara tegas (eksplisit); b. Implied warranty, janji, jaminan yang dinyatakan secara diam-diam (implisist); 3.
Strict Liability (tanggung jawab mutlak); Berkaitan dengan negligence dan warranty, pembeli/konsumen akan
mengalami kesulitan yang besar dalam mengajukan gugatannya, yang ternyata sulit dilakukan dalil-dalil gugatannya, yang ternyata sulit dilakukan dengan cara yang
139 140
Ibid, hlm. 14. Ibid, hlm. 7
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
memuaskan karena konsumen yang tidak dapat memperoleh bukti-bukti (alat bukti) dan tidak memahami liku-liku proses produksi. Gugatan berdasarkan negligence, meskipun tampak sederhana teapi bagi konsumen sulit menunjukkan dengan tepat dimana dan kapan produsen telah melakukan (membuta) kelalaian yang menimbulkan kerugian baginya. Sebaliknya produsen akan lebih mudah mengajukan bukti lawan yang dengan segera mematahkan tuntutan konsumen. 141 Karena kesulitan-kesulitan itu, maka praktek peradilan (case-law), dalam perkembangannya
menemukan
saluran
lain
yang
dengan
membebankan
tanggungjawab mutlak pada produsen yang disebut dengan strict liability. Menurut ketentuan ini produsen langsung bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh produknya yang cacat tanpa konsumen-penggugat terlebih dahulu membuktikan kesalahan produsen-tergugat. Artinya beban penggugat untuk membuktikan kesalahan tergugat dihapuskan, sehingga gugatan cukup hanya membuktikan bahwa ia telah menderita kerugian karena memakai/mengkonsumsi barang dari tergugat. Produsen dibebani pembuktian, artinya produsen sebagai tergugatlah yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah dalam hal memproduksi barang dengan menunjukkan langkah-langkah pengamanan yang telah dilakukannya sudah memenuhi ketentuan yang berlaku.
141
Ibid, hlm. 23.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Bila dicermati lebih lanjut tanggung jawab produsen industri pangan/makanan secara jelas di dalam Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 dinyatakan dalam beberapa pasal : Pasal 41 : (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Badan Usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggungjawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengonsumsi makanan tersebut. Orang Perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli waris dari orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena mengonsumsi pangan olahan yang diedarkan berjah mengajukan gugatan ganti rugi terhadap badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Dalam hal terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan yang dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang, maka badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengganti kerugian yang secara nyata ditimbulkan Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam hal badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha dapat membuktikan bahwa hal tersebut bukan diakibatkan kesalahannya, maka badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha tidak wajib menggati kerugian. Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setinggi-tingginya sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk setiap orang yang dirugikan kesehatannya atau kematian yang ditimbulkan. 142
Pasal 43 :
142
Pasal 41 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
(1)
(2)
Dalam hal kerugian yang ditimbulkan melibatkan jumlah kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit, pemerintah berwenang mengajukan gugatan ganti rugi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2). Gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan untuk kepentingan orang yang mengalami kerugian dan atau musibah. 143 Dalam hal perikatan, khususnya hukum perjanjian, ganti rugi umumnya terdiri
dari tiga unsur, yaitu biaya, rugi dan bunga. Dalam setiap kasus tidak selamanya ketiga unsur itu selalu ada, akan tetapi adakalanya hanya terdiri dari dua unsur saja. Sedangkan dalam kaitannya dengan perbuatan melawan hukum, umumnya ganti rugi terdiri dari unsur rugi dan bunga atau sering disebut dengan keuntungan yang hilang. Kerugian yang diderita oleh seseorang karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum itu dapat dibedakan lagi antara kerugian ekonomis dan kerugian fisik (economic loss dan phisical harm). Economic loos yaitu kerugian berupa hilangnya atau berkurangnya sejumlah harta kekayaan sebagai akibat wanprestasi atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan orang lain. Phisical harm berupa berkurangnya kesehatan seseorang karena akibat dari perbuatan melawan hukum, misalnya luka-luka atau sakit. Kedua jenis kerugian ini sangat berbeda, dimana kerugian yang itu dapat dihitung secara matematis dan diwujudkan dalam bentuk sejumlah uang, sedangkan yang kedua sulit dinilai dengan uang. Untuk menentukan jumlah kerugian yang berkaitan dengan phisical harm, misalnya luka-luka, maka orang terpaksa memperbandingkan dua hal yang tidak sama macamnya, dan satu-satunya cara ialah
143
Pasal 43 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
menaksir nilai harga dari keganjilan itu dengan suatu ukuran yang mungkin terpakai, yaitu dengan memperhitungkan dengan sejumlah uang. 144 Hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian pada tuntutan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum, menunjukkan sejauhmana kerugian yang dapat dituntut dari pelaku perbuatan melawan hukum. Pada dasarnya, bentuk ganti rugi yang lazim dipergunakan ialah uang. Oleh para ahli hukum maupun jurisprudensi dianggap paling praktis dan paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sengketa. Bentuk lain dalam penggantian kerugian yaitu benda dengan benda (in natura). 145 Produsen bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang diderita konsumen, misalnya gangguan kesehatan atau kematian yang disebabkan oleh mengkonsumsi produk pangan yang beracun atau berbahaya. Apabila produsen tidak dapat membuktikan bahwa produk mereka tidak tercemar, maka produsen wajib membayar ganti rugi baik berupa kerugian material maupun immaterial. Pasal 1365 KUHPerdata menentukan bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum, yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menertibkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. 146 Kesimpulan dari pasal ini adalah setiap orang yang dirugikan oleh peristiwa perbuatan/kelalaian, kurang hati-hati, berhak mendapatkan ganti rugi (kompensasi) atas kerugiannya itu. Tetapi untuk mendapatkan hak ganti rugi tersebut undang144 145 146
Wiryono Projodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: Sumur, 1990), hlm. 39. BPHN, op.cit, hlm. 30. Pasal 1365 KUHPerdata
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
undang membebankan pembuktian kesalahan orang lain dalam peristiwa tersebut kepada mereka yang menggugat ganti rugi. Adanya pengakuan terhadap beban pembuktian terbalik akan menguntungkan kepada konsumen, terutama mengenai kesulitan dalam membuktikan bahwa produsen telah melakukan kesalahan dalam bentuk memproduksi/menjual makanan yang mengandung bahan berbahaya. Pertanggungjwaban perbuatan tidak saja merupakan perbuatan sendiri tetapi juga karena kelalaian atau kurang hati-hati seperti yag dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata “Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. 147
D. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Produsen Dalam Ilmu Hukum Dalam ilmu hukum setidaknya ada lima prinsip tanggung jawab yang dikenal, yaitu: 148 a.
Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (the based on fault, liability based on fault principle), yaitu: “Tanggung jawab atas dasar kesalahan adalah prinsip yang umum dianut. Prinsip ini menyatakan “seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika erdapat unsur kesalahan yang dilakukannya”.
147
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 44. 148 Endang Saefullah Wiradipraja, Tanggung jawab Pengangkut dalam Hukum Udara Indonesia, (Bandung: Eresco, 1991), hlm.17.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Tanggung jawab atas dasar kesalahan ini pembuktiannya harus dilakukan oleh penggugat (orang yang dirugikan). Contoh di Indonesia dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata,
(onrechtmatigedaad).
Pasal
ini
tentang
perbuatan
mengharuskan
melawan
pemenuhan
hukum
unsur-unsur
menyediakan suatu perbuatan melanggar hukum dapat dituntut ganti-kerugian yaitu: 1) Adanya perbuatan yang melawan hukum; 2) Adanya kesalahan; 3) Adanya kerugian yang ditimbulkan; 4) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan yang satu dengan kerugian; Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum, pengartian “hukum” tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. b.
Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liability principle); “Prinsip praduga yang dimaksud kemudian oleh beberapa pakar dikategorikan kepada dua macam, yaitu prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, yakni prinsip yang menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah”. Dengan demikian pembuktiannya dibebankan kepada pihak tergugat. Dasar pemikiran dari teori pembuktian beban pembukian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentunya
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum. Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika teori digunakan, maka beban pembuktiannya ada pada pelaku usaha sebagai tergugat. Namun demikian tidak berarti konsumen selalu dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha dengan sesuka hati, karena posisi konsumen selaku penggugat tetap terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha apabila ia gagal menunjukkan kesalahan pelaku usaha sebagai tergugat. Bagian lain dari prinsip praduga adalah prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab. Prinsip ini kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, dimana beban pembuktiannya dibebankan kepada pihak penggugat. c.
Prinsip Praduga untuk tidak selalu Bertanggung Jawab (presumption of non liability); Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (persumption of non liability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab ini, tidak lagi diterapkan secara mutlak, dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi (setinggi-tingginya satu juta rupiah). Artinya, bagasi kabin/bagasi tangan tetap dapat dimintakan pertanggung jawaban sepanjang bukti kesalahan pihak
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
pengangkut (pelaku usaha) dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang (konsumen). c.
Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability, strict liability absolute liability principle); “Dalam prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) memberikan pengertian bahwa tergugat selalu bertanggung jawab tanpa melihat ada atau tidaknya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah, tanggung jawab yang memandang
“kesalahan”
sebagai
sesuatu
yang
tidak
relevan
untuk
dipermasalahkan apakah pada hakekatnya ada atau tidak ada. 149 Namun demikian hal ini tidak selamanyaditerapkan secara mutlak karena dalam tanggung jawab mutlak sekalipun masih tetap ada pengecualian yang membebaskan
tergugat
dari
tanggung
jawabnya.
Pengecualian
yang
dimaksudkan antara lain adalah keadaan force majeure, atau suatu kondisi terpaksa yang terjadi karena keadaan alam dan tidak mungkin untuk dihindari”. d.
Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan; Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha, untuk dicantumkan sebagaimana klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya ditentukan, bila film yang ingin dicuci dan atau dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya
149
Endang Saefullah Wiradipraja, Op. Cit, hlm.33.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip ini biasanya dikombinasikan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab lainnya.
5. Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Terjadinya sengketa akibat adanya perbedaan pandangan atau pendapat antara para pihak tertentu mengenai hal tertentu. Itulah pendapat orang pada umumnya jika ditanya akan apa yang dimaksud dengan sengketa. Sengketa akan timbul apabila salah satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedangkan pihak lain tidak merasa demikian. Menurut Az. Nasution. 150 , sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang dan /atau jasa konsumen tertentu. Sedangkan Sidharta 151 menyatakan bahwa sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata negara. UUPK tidak memberikan batasan yang jelas tentang apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Kata-kata ”sengketa konsumen” dijumpai pada beberapa bagian dari UUPK, yaitu : 152 1. Penyebutan sengketa konsumen sebagai bagian dari sebutan institusi administrasi negara yang mempunyai menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan 150 151 152
Az.Nasution, Op-Cit., hlm.221. Shidarta, Op.Cit., hlm.135. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Bagian Penjelasan
Umum
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
konsumen, dalam hal ini Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Pasal 1 Butir UUPK jo. Bab XI UUPK; 2. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa konsumen secara konsisten, yaitu Pasal 45 Ayat (2) dan Pasal UUPK. Pemahaman pengertian ”sengketa konsumen” dalam kerangka UUPK dapat kita lakukan dengan menggunakan metode penafsiran : Pertama, batasan konsumen dan pelaku usaha menurut UUPK, Berikut kutipan batasan keduanya : ”Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan /atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.(Pasal 1 angka 2 UUPK)”, 153 ”Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.(Pasal 1 angka 3 UUPK). 154 Kedua, batasan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Pasal 1 angka 11 UUPK mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ”Sengketa konsumen, yaitu sengketa pelaku usaha dan konsumen”. Pelaku usaha yang dimaksud adalah : 1. setiap orang atau individu; 2. badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum; Selengkapnya Pasal 1 angka 11 berbunyi : 155 ”Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”
153 154 155
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konssumen
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Jadi, sengketa sesama pelaku usaha adalah bukan sengketa konsumen, karena itu ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPK tidak dapat digunakan untuk menyelesaikannya. Menurut UUPK, penyelesaian sengketa konsumen memiliki kekhasan. Karena sejak awal, para pihak yang berselisih, khususnya dari pihak konsumen,
dimungkinkan
menyelesaikan
sengketa
itu
mengikuti
beberapa
lingkungan peradilan, misalnya peradilan umum dan konsumen dapat memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan. Hal mana dipertegas oleh Pasal 45 Ayat (2) UUPK Tentang Penyelesaian Sengketa, yang mengatakan : 156 Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 45 Ayat (2) UUPK dihubungkan dengan penjelasannya, maka dapat disimpulkan penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut : 157 a. Penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan kosumen) tanpa melibatkan pengadilan atau pihak ketiga yang netral. Penyelesaian sengketa konsumen melalui cara-cara damai tanpa mengacu pada ketentuan Pasal 1851 sampai Pasal 1864 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang pengertian, syarat-syarat dan kekuatan hukum dan mengikat perdamaian (dading); b. Penyelasaian melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan-ketentuan peradilan umum yang berlaku; c. Penyelesaian di luar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
156
Lihat Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. 157
Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Cetakan Pertama, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm.224.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Sebagaimana sengketa hukum pada umumnya, sengketa konsumen harus diselesaikan. Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan menempuh salah satu dari ketiga cara penyelesaian yang ditawarkan oleh Pasal 45 Ayat (2) di atas, sesuai keinginan dan kesepakatan para pihak yang bersengketa sehingga dapat menciptakan hubungan baik antara perusahaan/pelaku usaha dengan konsumen.
1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Umum Pasal 45 Ayat (2) UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 di atas. Adapun yang berhak melakukan gugatan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha diatur dalam Pasal 46 Ayat (1) UUPK, yaitu : 158 a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Sekelompok konsumen yang mempunya kepentingan yang sama; c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. Pemerintah dan /atau instansi terkait apabila barang dan /atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan /atau korban yang tidak sedikit.
158
Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Perlindungan Konsumen
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Pengaturan yang diberikan oleh Pasal 46 Ayat (1) UUPK maksudnya adalah : 1. Bahwa secara personal (gugatan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan) sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a Pasal 46 Ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana yang ditentukan dalam UUPK atau melalui peradilan di lingkungan peradilan umum; 2. Sedangkan gugtan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana yang dimaksud huruf b, huruf c dan huruf d Pasal 46 Ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum. Penyelesaian melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku saat ini; Mengenai gugatan sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama sebagaimana yang diatur huruf b Pasal 46 Ayat (1) UUPK, dalam Penjelasan Pasal 46 Ayat (1) huruf b UUPK, ditegaskan bahwa : ”Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau Class Action”. “Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum”. Penuntutan penyelesaian sengketa konsumen dengan mengajukan gugatan class action melalui peradilan umum telah dibolehkan sejak keluarnya UUPK yang mengatur class action ini di Indonesia. Tentu saja ini merupakan angin segar yang diharapkan akan membawa perubahan terhadap perlindungan konsumen di Indonesia khususnya perlindungan konsumen di bidang ketenagalistrikan. Gugatan class action akan lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan pelanggaran hukum yang merugikan secara serentak atau sekaligus dan missal terhadap orang banyak. 159
159
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Bagian Menimbang huruf c.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan hanya memungkinkan apabila : 160 a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan atau; b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa; Penyelesaian sengketa konsumen dengan menggunakan hukum acara baik secara perdata, pidana maupun melalui hukum administrasi negara, membawa keuntungan dan kerugian bagi konsumen dalam proses perkaranya. Antara lain tentang beban pembuktian dan biaya pada pihak yang menggugat. Keadaan ini sebenarnya lebih banyak membawa kesulitan bagi konsumen jika berperkara di peradilan umum. Adapun kendala yang dihadapi konsumen dan pelaku usaha dalam penyelesaian sengketa di pengadilan adalah : 161 1. Penyelesaian sengketan melalui pengadilan sangat lambat; 2. Biaya perkara yang mahal; 3. Pengadilan pada umumnya tidak responsif; 4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah; 5. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis. Di antara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yang termasuk banyak dikeluhkan para pencaru keadilan adalah lamanya
160 161
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm.234. Ibid., hlm.237.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
penyelesaian perkara, karena pada umumnya para pihak yang mengharapkan penyelesaian yang cepat terhadap perkara mereka. Usaha-usaha penyelesaian sengketa konsumen secara cepat terhadap gugatan atau tuntutan ganti kerugian oleh konsumen terhadap produser/pelaku usaha telah diatur dalam UUPK yang memberikan kemungkinan setiap konsumen untuk mengajukan penyelesaian sengketanya di luar pengadilan, yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yang dalam undang-undang putusannya dinyatakan final dan mengikat, sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum banding dan kasasi dalam BPSK tersebut ( Pasal 54 Ayat (3) UUPK ). 162 Namun ketentuan yang menyatakan bahwa putusan BPSK adalah bersifat final dan mengikat ternyata bertentangan dengan yang diatur dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK yang memberikan kesepatan pada para pihak yang bersengketa di BPSK untuk mengajukan keberatan atas putusan BPSK yang telah diterima kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. 163
2. Penyelesaian Sengketan Di Luar Peradilan Umum Untuk mengatasi berlikunya proses pengadilan di peradilan umum, maka UUPK memberikan solusi untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan umum. Pasal 45 Ayat (1) UUPK menyebutkan, jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat
162 163
Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang lain yang bersengketa. Ini berarti, penyelesaian sengketa di pengadilan tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan. Pasal 47 UUPK menyebutkan : 164 ”Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan /atau jasa mengenai tindakan tertentu untuk ”menjamin” tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen”. . Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara, yang dapat berupa : artibrase, mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial, settlement conference, serta bentuk lainnya. 165 Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK dalam Pasal 52 Tentang Tugas dan Wewenang BPSK, memberikan 3 (tiga) macam cara penyelesaian sengketa, yaitu : 1. Mediasi 2. Artibrase, dan 3. Konsiliasi
Secara lengkap tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menurut Pasal 52 UUPK, adalah : 166
164
Pasal 47 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Ibid., hlm.233. Mengutip Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: P.T.Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 186. 166 Pasal 52 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 165
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atao konsiliasi; b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. Melakukan penelitian dan pemerikasaan sengketa perlindungan konsumen; g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan./atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana yang dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. Mendapatkan, meneliti dan /atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan /atau pemerikasaan; k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran perlindungan konsumen; m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa BPSK tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan, tetapi juga melakukan kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentanga adanya pelanggaran yang diduga dilakukan oleh pelaku usaha. Adapun keanggotaan dari BPSK terdiri dari 3 (tiga) unsur, seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 49 Ayat (3) dan (4) UUPK, yaitu : 167
167
Pasal 49 ayat (3) dan (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
1. Unsur pemerintah (3-5 orang); 2. Unsur konsumen (3-5 orang); 3. Unsur pelaku usaha (3-5 orang); Adapun yang menjadi pembahasan di sini adalah tugas BPSK untuk menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara-cara : mediasi, arbitrase dan konsiliasi. 1. Mediasi Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, dimana Majelis BPSK bersifat aktif sebagai pemerantara dan atau penasehat. Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses di mana pihak ketiga (a third party), suatu pihak luar yang netral (a neutral outsider) terhadap sengketa, mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang telah disepakati. 168 Sesuai batasan tersebut, mediator berada di tengah-tengah dan tidak memihak pada salah satu pihak. Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakekatnya hanya menolong para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi sehingga hasil penyelesaian terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final, serta tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada itikad baik untuk mematuhinya. Keuntungan yang didapat jika menggunakan mediasi sebagai jalan penyelesaian sengketa adalah : karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi maka pembuktian tidak lagi menjadi bebas 168
Yusuf Shofie, Op. Cit., hlm.23.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
yang memberatkan para pihak, menggunakan cara mediasi berati penyelesaian sengketa cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia (tidak terbuka untuk umum seperti di pengadilan), tidak ada pihak yang menang atau kalah, serta tidak emosional. 169
2. Arbitrase Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. 170 Dalam mencari penyelesaian sengketa, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena keputusannya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase memiliki kekuatan ekseutorial, sehingga apabila pihak yang dikalahkan tidak mematuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke pengadilan. Menurut Rachmadi Usman, lembaga arbitrase memiliki kelebihan, antara lain: 171 a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
169
Ahmadi Miru dan Sutarwan Yodo, Op. Cit., hlm.257. Ibid., mengutip pengertian Arbitrase berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 171 Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, (Jakarta: P.T.Grasindo, 2002), hlm.4-5. 170
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut mereka diyakini mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang relevan dengan masalah yang disengketakan, di samping jujur dan adil; d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya termasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan. Walaupun arbitrase memiliki kelebihan, namun akhir-akhir ini peran arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan digeser oleh alternatif penyelesaian sengketa yang lain, karena : 172 b. Biaya mahal, karena terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan seperti biaya administrasi, honor arbiter, biaya transfortasi dan akomodasi arbiter, serta biaya saksi dan ahli; c. Penyelesaian yang lambat, walau banyak sengketa yang dapat diselesaikan dalam waktu 60 – 90 hari, namun banyak juga sengketa yang memakan waktu yang panjang bahkan bertahun-tahun, apalagi jika ada perbedaan pendapat tentang penunjukan arbitrase serta hukum yang ditetapkan, maka penyelesaiannya akan bertambah rumit
172
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm.250.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
3. Konsiliasi Cara ini ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak di mana Majelis BPSK bertugas sebagai pemerantara antara para pihak yang bersengketa dan Majelis BPSK bersifat pasif. Dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan masalahmasalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan (options) penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu kebersamaan para pihak di mana pada akhirnya kepentingan-kepentingan yang saling mendekat dan selanjutnya dapat dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan aribtrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan para pihak. Namun pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase. Keterikatan para pihak terhadap pendapat dari konsiliator menyebabkan penyelesaian sengketa tergantung pada kesukarelaan para pihak. UUPK menyerahkan wewenang kepada BPSK untuk menyelesaikan setiap sengketa konsumen (di luar pengadilan). UUPK tidak menentukan adanya pemisahan tugas anggota BPSK yang bertindak sebagai mediator, arbitrator ataupun konsiliator sehingga setiap anggita dapat bertindak baik sebagai mediator, arbitrator ataupun konsiliator. Oleh karena tidak adanya pemisahan keanggotaan BPSK tersebut, maka penyelesaian sengketa
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
konsumen sebaiknya diselesaikan secara berjenjang, dalam arti kata bahwa setiap sengketa diusahakan penyelesaiannya melalui mediasi, jika gagal, penyelesaian ditingkatkan melalui konsiliasi dan jika masih gagal juga barulah penyelesaian melalui cara peradilan arbitrase.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan diatur tentang bahan-bahan tambahan pangan/makanan, antara lain:Pasal 10 Ayat (1) : Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan. Ayat (2) :Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dalam Pasal 11 juga disebutkan: ...Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamananya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari pemerintah 2. Keracunan makanan massal yang terjadi di sekolahan, pabrik, kantor, atau setelah perhelatan terjadi karena makanan yang dikonsumsi tercemar dan mengandung bahan-bahan berbahaya seperti senyawa beracun alamiah, senyawa racun dari
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
mikroba dan juga akibat residu atau pencemaran. Ini menunjukkan keamanan pangan, kebersihan dan sanitasi yang masih kurang diperhatikan oleh produsen makanan industri rumah tangga atau industri kecil. Padahal dalam Undang Undang No 7 tentang pangan yang dikeluarkan tahun 1996 telah disebutkan bahwa makanan yang beredar haruslah tidak membahayakan bagi konsumennya. Makanan harus terbebas dari bahan berbahaya, tidak boleh mengandung toksin atau racun atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia. Dampak gangguan terhadap keamanan makanan adalah kerugian ekonomis, sakit atau meninggal pada korban, berkurangnya produktivitas kerja maupun terancamnya status kesehatan masyarakat dalam jangka panjang. 3. Wujud ganti kerugian yang dilakukan oleh pihak pengecer kepada konsumen terdiri dari dua bentuk, yaitu penggantian dengan barang baru atau dengan jumlah dan jenis yang sama dan penggantian sejumlah uang. Penggantian dengan barang yang baru adalah bentuk yang paling banyak dijumpai dan merupakan tindakan utama yang diambil oleh pihak pengecer sedangkan penggantian dengan sejumlah uang, yaitu pengembalian uang harga pembelian, merupakan alternatif yang ditempuh oleh pihak pengecer jika barang yang sama sejenisnya tidak sedang tersedia. Untuk dapat memperoleh penggantian kerugian, disyaratkan supaya konsumen menunjukkan kepada pihak pengecer barang yang mengandung bahanbahan berbahaya itu dan bukti pembelian seperti faktur juga.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
B. Saran 1.
Bagi pemerintah dalam memberlakukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen hendaknya mempertegas prinsip capeat penditor sebagai pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap produk-produk yang dihasilkan.
2. Bagi Seluruh lapisan masyarakat diperlukan sosialisasi melalui penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran hak-hak konsumen sebagai bagian dari hak-hak keperdataannya khususnya mengenai produk yang mengandung bahan-bahan berbahaya. 3. Bagi setiap produsen/pelaku usaha lebihbmeningkatkan mutu pelayanan disertai dengan pertanggungjawaban yuridis terhadap produk makanan yang mengandung bahan-bahan berbahaya.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku Badrul
Zaman, Mariam Darus, Pembentukan Hukum Nasional Dan Permasalahannya (Kumpulan Karangan), Bandung, Alumni, 1981.
Bertens, K, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta, Kanisius, 2000. Gandi, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Pengaturan Standarisasi Hasil Industri, makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, BPHN-Binacipta, Jakarta, 1980 Harkristuti Harkrisnowo, Perlindungan Konsumen Dalam Kerangka Sistem Peradilan di Indonesia, Jakarta : Lokakarya Rancangan UndangUndang tentang Perlindungan Konsumen, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 1996. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994. Long, Nancy, Panduan Makanan Sehat, Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006. Mickliyz, Hans W, Rencana Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Mata Para Pakar Jerman, Warta Konsumen Tahun XXIV No. 12, 1998 Meliala, Adrianus, Praktik Bisnis Curang, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993 Nasution, A.Z., Konsumen dan Hukum, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, 1995. Swastia, Basu dan Irawan, Manajemen Modern, Liberty, Yogyakarata, Liberty, 1997. Suratman, Ema, “Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang Tanggung Jawab Produsen di Bidang Farmasi Terhadap Konsumen, “BPHN Departemen Kehakiman RI, 1990-1991. Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Jakarta, Grafika, 1996. Suhardjo, Perencanaan Pangan Dan Gizi, Jakarta, Bumi Aksara, 2005.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Sajogyo, Goenardi Dkk, Menuju Gizi Yang Merata di Pedesaan Dan di Kota, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1983. Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999. Saefullah, H. E, Tanggung Jawab Produsen Terhadap Akibat Hukum Yang ditimbulkan dari Produk Dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Sistem Hukum Nasional Mengahadapi Rra Perdagangan Bebas, Diselenggarakan oleh Fakultas UNISBA, Bandung, 1998 Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Medan, Paulinus Josua, 1999. Susanto, Happy, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta, Visimedia, 2008. Syawali, Husni, dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar Maju, 2000. Tahir, H. Toto, Kemungkinan Gugatan Class Action dalam Upaya Perlindungan Hukum Pada Era Perdagangan Bebas, Hukum perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, 2000. . Wulan Sari, Reni, Dangerous Junk Food, Yogyakarta, O2, 2008. Winarno, F.G., Kimia Pangan Dan Gizi, Jakarta, Gramedia Pustaka, 1997. Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008. Yuliarti, Nurheti, Awas Bahaya Di balik Lezatnya Makanan, Yogyakarta, Andi, 2007 Yamit, Zulian, Manajemen Kualitas Produk Dan Jasa, Yogyakarta, Ekonisia, 2002.
B. Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1996
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009
Echols, Jhon M. dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1986 Hornby, AS (Gen.Ed), Oxford Advance Learne’s, Dictionary of CurrentEnglish, Oxford University Press, 1987.
B. Internet Lusiana
Indriasari,
“
Waspadai
Bahan
Kimia
Lain
http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0601/15/113636.htm, HU
UH
Dalam Makanan”, diakses 3 Oktober
2008. Setyo Rahardjo, “Bermacam Pangan di Indonesia Belum Aman Dari Bahan Berbahaya”, http://kmit.faperta.ugm.ac.id/Artikel%20_%20Bahan%20Berbahaya.html, diakses 28 September 2008 HU
UH
Nurheti Yuliarti, “ Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan “,http://www.andipublisher.com/?buku-komputer&p=productsMore&iProduct=1043, diakses 1 Oktober 2008. HU
UH
Formalin Dalam Produk Makanan, http://www.bbc.co.uk/indonesian/forum/story/2006/01/060108_formalin.shtm l, 4 Oktober 2008
Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Peraturan Menteri Kesehatan No. 329/Men.Kes/Per/XXII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan Peraturan Menteri Kesehatan No. 382/Men.Kes/Per/VI/1989 Tentang Pendaftaran Makanan.
Abdillah Sinaga : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya Pada Produk Makanan Di Indonesia, 2009