PERKIRAAN DAMPAK DARI KENAIKAN HARGA BBM 2005 DAN 2007 TERHADAP INFLASI DAN PERTUMBUHAN PDB. Tulus Tambunan Kadin Indonesia, 2007
Kenaikan Harga BBM 2005 -Dampak terhadap inflasi Pemerintah dan kelompok kerja dari anggaran (APBN) dari DPR sepakat bahwa akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tanggal 1 Oktober 2005 inflasi pada akhir tahun ini akan mencapai antara 8%8,6%, sedangkan Bank Indonesia memperkirakan jika harga BBM naik 50% maka inflasi akhir tahun akan mencapai 9%, sedangkan jika harga BBM naik 80% inflasi bisa menembus dua digit atau tepatnya 12%. Namun apakah perkiraan ini benar-benar akan terwujud, sangat tergantung pada empat hal utama. Pertama, apa dampak dari kenaikan harga BBM terhadap biaya produksi. Kedua, langkah-langkah penyesuaian apa yang akan diambil oleh dunia usaha, apakah akan meningkatkan efisiensi pemakaian energi BBM atau mengurangi volume produksi sehingga bisa mengurangi tekanan inflasi. Ketiga, apa reaksi dari masyarakat atau rumah tangga sebagai pemakai terbesar BBM, apakah akan mengurangi pemakaian BBM. Keempat, apa reaksi dunia usaha, khususnya investor terhadap kenaikan harga BBM. Untuk memperkirakan berapa besar kemungkinan dampak inflasi dan dampak pertumbuhan dari kenaikan harga BBM, ada baiknya sedikit melihat sejarah kenaikan harga BBM yang telah terjadi beberapa kali ini sejak reformasi dan perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang mencerminkan laju inflasi dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) (Tabel 1 dan Gambar 1).
Tabel 1: Kenaikan harga BBM, Indeks Harga Konsumen (IHK), dan pertumbuhan per tahun Periode 4 May 1998
Besarnya kenaikan harga BBM 71% (yang membuat akhirnya Soeharto turun)
IHK 77,63% Desember
Pertumbuhan PDB per tahun -13.1%/tahun
Oktober 2000
12%
7,97% Oktober 9,35% Desember
5,1% September 4.,9%/tahun
Juni 2001
30%
12,11% Juni 12,55% Desember
3,8% Juni 3,8%/tahun
Januari 2003
22% (namun dibatalkan karena demonstrasi)
Maret 2005
30%
Juli 2005 Agustus 2005
115% (untuk industri) 93% - 150% (untuk industri)
8,74% Januari 5,06% Desember 8,81% Maret (kenaikan 1,91%)* 8,12% April 7,40% Mei 7,84% Juli 8,33% Agustus**
5,5% Maret 4,9%/tahun 6,4% Maret 5,5% Juni 5,9% (I-05/I-04) 2,4% (I-05/II-04)
Keterangan: *) menurut perhitungan LPEM-UI, jika harga BBM waktu itu naik 50%, inflasi diprediksi akan naik 2,5%. **) Biaya produksi diperkirakan naik 10%-30%
1
Gambar 1: Perkembangan Harga Minyak Domestik, IHK dan Pertumbuhan PDB di Indonesia 90 80 70 60
%
50 40 30 20 10 0 -10
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005 Juni
-20 Pertumbuhan PDB riil
IHK
HP
HD
HK
Keterangan: HP = harga premium; HD = harga diesel; HK harge kerosene. Semua dalam bentuk rasio terhadap harga pada tahun 1997 (tanpa dikali 100). Sumber: BPS
-Dampak terhadap pertumbuhan. Pada semester I 2005 pertumbuhan ekonomi mencapai hanya 5,9%. Dengan kondisi suku bunga Bank Indonesia (BI) 10%, diperkirakan pertumbuhan PDB Indonesia akan melemah, walaupun penurunannya sangat kecil, ke 5,7%. Ini berarti bahwa dengan tingkat suku bunga 11%, tanpa memperhitungkan dampak dari kenaikan harga BBM, pertumbuhan ekonomi rata-rata dalam tahun 2005 akan sekitar 5,5%, karena investasi, terutama investasi langsung, diperkirakan akan melambat. Berdasarkan berbagai sumber (Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Citigroup), ekonomi Indonesia setelah kenaikan harga BBM hingga Agustus 2005 diperkirakan akan tumbuh 5,6% tahun 2005 dan 5,9% tahun 2006 (Tabel 2); tentu dengan asumsi tidak ada goncangan-goncangan lainnya yang bisa sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan atau stabilitas ekonomi nasional. Namun demikian, realisasi dari perkiraan di atas itu sangat tergantung pada banyak faktor yang juga harus diprediksi arah pergerakannya atau kemungkinan perubahannya, diantaranya adalah insentif dari pemerintah yang bisa menggairahkan sisi permintaan (konsumsi masyarakat) dan mengurangi dampak peningkatan biaya akibat kenaikan BBM di sisi penawaran/produksi, dan empat faktor lainnya yang dibahas di bagian berikutnya dari makalah ini.
2
Tabel 2: Realisasi Pergerakan Sejumlah Variabel Ekonomi Indonesia dan Prediksi 2005 dan 2006
Sumber: IMF, ADB, Citigroup.
-Beberapa Faktor Pertama: Dampak terhadap Biaya Produksi. Untuk mengetahui berapa besar efek dari kenaikan harga BBM terhadap biaya produksi, perlu diketahui terlebih dahulu berapa sebenarnya kontribusi pemakaian energi BBM terhadap total biaya input atau produksi di kalangan dunia usaha secara agregat; walaupun rasio ini sangat bervariasi antar jenis usaha. Banyak sekali pendapat mengenai atau perkiraan dampak dari kenaikan harga BBM terhadap kegiatan ekonomi, khususnya industri, dari sisi produksi (suplai). Misalnya, diperkirakan biaya produksi di Jawa Timur akan naik lebih dari 30%. Pada saat harga BBM untuk industri naik pada bulan Agustus 2005 sebesar 93% (bensin) dan 150% (minyak tanah), biaya produksi naik antara 10%-30%. 1 Menurut hasil penelitian dari Ekuitas AAA Securities, yang paling terpengaruh oleh kenaikan harga BBM adalah sektor barang konsumsi, farmasi, dan otomotif. Akibat kenaikan harga BBM bulan Oktober ini, diperkirakan penjualan kendaraan roda empat hanya tumbuh 20%, sedangkan untuk roda dua diperkirakan pertumbuhannya akan turun dari perkiraan semula (sebelum kenaikan BBM) 30%-35% ke 25%-28%. 2
1
Runik Sri Astuti dan Agustina Liliasari (2005), “Industri di Jatim Mulai Loyo. Butuh Intensif Pajak, Penyederhanaan Administrasi, dan Kepastian Usaha”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Jumat 30 September, halaman 27. 2 Kompas, Bisnis & Keuangan, “Pasar Optimistis Indeks Harga Saham Melonjak Tidak Langsung Berpengaruh ke Industri”, Sabtu, 1 Oktober 2005, halaman 19.
3
Hasil pengolahan data statistik industri menunjukkan bahwa dari total input industri skala menengah dan besar di Indonesia pada tahun 2003, bahan bakar minyak ternyata merupakan input dengan porsi terkecil, yakni hanya sekitar 3,68% rata-rata dari total input industri. Implikasinya adalah bahwa jika harga BBM naik 80%, maka biaya input industri naik hanya 2,94%. Data statistik terakhir menunjukkan bahwa pangsa dari biaya energi (minyak, gas dan listrik) di dalam total biaya industri sekitar 6,6% rata-rata. Tiga industri manufaktur yang memiliki porsi yang tinggi dari biaya energi adalah semen, perkapuran dan gips (46%), barang-barang dari batu bara (24%), dan mebel (22%). Sedangkan, industri tekstil, yang padat karya, porsi biaya energinya hanya sekitar 12% (Gambar 2). Jadi, berdasarkan data ini, diperkirakan dampak dari kenaikan harga BBM terhadap kenaikan harga dari prodk-produk manufaktur tidak akan besar, terkecuali industri-industri yang pangsa dari biaya energinya cukup tinggi seperti industri semen. Tentu cara penghitungan ini tidak sepenuhnya sempurna, karena input produksi juga menyangkut biaya transportasi yang menggunakan BBM sebagai inputnya. Penelitian dari LPEM-UI menunjukkan bahwa biaya BBM di dalam rata-rata biaya transportasi juga kecil. 3 Dengan memakai Tabel Input-Output (IO), hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa biaya BBM untuk bus angkutan kota sekitar 22,2%, atau lebih rendah dibandingkan biaya penyusutan dengan proporsi 33,9% dari total biaya sektor transportasi. Dengan demikian, jika hanya diperhitungka kenaikan harga BBM (biaya-biaya lain konstan), secara rasional kenaikan input produksi sektor transportasi pada kenaikan harga BBM awal Maret yang lalu hanya sekitar 6,44%. 4 Menurut BPS, ada sekitar 14 jenis barang dan jasa yang mana harganya dikontrol oleh pemerintah. Secara total, barang-barang dan jasa-jasa terebut mempunyai timbangan sekitar 20,74% di dalam Indeks Harga Konsumen (IHK), dengan beras memiliki porsi terbesar sekitar 4,72%, disusul oleh transportasi 4,43%, listrik 2,96%, telefon 2,71% dan bahan bakar 1,95%. Jadi, hasil simulasi menunjukkan bahwa dampak dari harga BBM yang lebih tinggi terhadap inflasi IHK sekitar 0,3%-0,5% untuk setiap 10% kenaikan harga BBM; walaupun harus dibedakan antara kenaikan harga bahan bakar minyak dengan kenaikan harga bahan bakar disel, karena timbangan dari jenis bahan bakar yang terakhir ini di dalam keranjang konsumsi tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 0,07%, dibandingkan 1,95% untuk bahan bakar
3
Syarif Syahrial (2005), “Redam Ekspektasi Kenaikan Harga”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Sabtu, 1 Oktober, halaman 21. Walaupun dalam kenyataannya, inflasi sektor transportasi yang ditunjukkan dengan pertumbuhan Indeks Harga Konsumen (IHK) transportasi bulan Maret dibandingkan bulan Februari mencapai 15,44%. Menurut Syahrial dari LPEM-UI, perbedaan ini, atau kenaikan yang lebih tinggi dari seharusnya disebabkan oleh faktor ekspektasi masyarakat yang berlebihan akan kenaikan harga-harga akibat kenaikan harga BBM. Hasil survei konsumen Bank Indonesia pada Agustus 2005 menunjukkan 80% konsumen (responden) menyatakan ekspektasi akan terjadinya kenaikan harga secara umum jika harga BBM dinaikkan pada awal Oktober lalu, dan hanya 3,5% yang menyatakan sebaliknya. Sedangkan hasil survei untuk September 2005 menunjukkan indeks keyakinan konsumen menurun 9,6 poin dari 99,7 menjadi 90,1 yang berarti berada pada kondisi pesimistis (di bawah 100).
4
4
minyak. Perkiraan kecilnya dampak dari kenaikkan harga BBM terhadap inflasi juga didasarkan asumsi bahwa pemerintah akan menepati janjinya untuk tidak menaikkan tariff listrik tahun ini. Gambar 2: Pangsa dari Biaya Energi menurut Sejumlah Industri
Sumber: BPS.
Kedua: Penyesuaian dari Dunia Bisnis Sebelum kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005, telah terjadi kenaikan harga BBM untuk industri pada bulan Juli dan Agustus (lihat Tabel 1). Namun, banyak industri yang tidak menaikan harga produk mereka, karena mereka sedang dalam proses pengurangan stok. Sekarang pertanyaan, langkah apa yang akan diambil oleh dunia usaha/industri kali ini. Selama stok masih banyak, kemungkinan kenaikan harga barang akan kecil, terkecuali kenaikan yang sengaja dilakukan oleh penjual untuk mencari keuntungan walaupun barang yang dijual adalah dari stok lama. Ini sangat mungkin bisa terjadi melihat kenyataan bahwa persepsi masyarakat terhadap akan naiknya harga-harga akibat kenaikan harga BBM sudah sangat besar (pesimis masyarakat sudah sangat kuat) yang memberi kesempatan bagi penjual untuk menaikkan harganya. Jika pengusaha terpaksa menaikkan harga jual, dalam arti setelah dilakukan peningkatan efisiensi di segala bidang namun biaya produksi terpaksa naik, maka dampaknya terhadap inflasi sangat tergantung apakah barang-barang tersebut merupakan kebutuhan pokok yang tidak ada alternatif penggantinya yang berarti elastisitas permintaannya sangat kecil atau praktis nol (seperti bensin premium) atau barang-barang bukan kebutuhan pokok (misalnya barang mewah) yang elastisitasnya sangat besar, sehingga kenaikan harga akan mengurangi permintaan terhadap barang tersebut. Jika barang-barang pokok yang tidak bisa disubstitusi, maka kenaikan harga dari barang-barang tersebut bisa berdampak terhadap inflasi.
5
Ketiga; Reaksi Masyarakat Dampak dari kenaikan harga BBM terhadap inflasi sangat ditentukan oleh reaksi masyarakat: apakah masyarakat akan mengurangi pembelian atau melakukan substitusi dengan barang lain yang lebih murah. Setelah seminggu kenaikan harga BBM, tidak kelihatan adanya pengurangan yang signifikan terhadap permintaan BBM seperti premium oleh pemilik kendaraan bermotor. Kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005 lalu yang akan membuat terjadinya penyesuaian harga di manamana, terutama industri dan transportasi, berbarengan dengan akan datangnya Idul Fitri yang biasanya mengakibatkan kenaikan harga. Kombinasi dari dua kejadian ini (kenaikan BBM 1 Oktober dan kenaikan harga menjelang Idul Fitri) akan menghasilkan efek gabungan yang lebih kecil daripada efek parsial dari masing-masing kejadian secara sendiri-snediri. Disini ada pengaruh dari sikap penjual. Misalnya, jika tidak ada kenaikan harga BBM 1 Oktober, seperti biasanya setiap tahun, menjelang lebaran, harga cabe akan naik sekitar 25%. Sedangkan, Jika kenaikan harga BBM dilakukan jauh sebelum Lebaran (misalnya Januari 2005), maka harga cabe akan naik, misalnya 15%. Maka setelah Lebaran, total kenaikan harga cabe menjadi 40%. Sekarang, dengan kenaikan harga BBM menjelang Lebaran membuat harga cabe naik, misalnya 15%, maka si penjual tahun akan mengurangi kenaikan harga cabenya menjelang lebaran menjadi, misalnya, 20%, karena dia baru saja menaikkan cabenya 15%. Oleh karena itu setelah Lebaran, kenaikan harga cabe menjadi 35%. Keempat: Reaksi Investor Reaksi para investor terhadap suatu kebijakan pemerintah sangat krusial, karena reaksi mereka sangat menentukan besar kecilnya dampak dari kebijakan tersebut terhadap perekonomian. Jika reaksi para investor terhadap kenaikan harga BBM negatif, maka berarti arus investasi menurun yang selanjutnya dalam jangka menengah dan panjang akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jika positif atau paling tidak ”netral”, maka dampak negatif dari kebijakan menaikkan harga BBM akan diredam. Pada hari Jumat 30 September pasar saham menunjukkan sangat bergairah. Optimisme ini bahwa pemerintah akan mengurangi subsidi bahan bakar minyak secara signifikan masih diimbuhi aksi window dressing pada hari tersebut, sehingga IHSG melaju 30,973 poin atau 2,95% dan ditutup pada posisi 1.079,275. Nilai tukar rupiah pada hari yang sama juga menguat ke posisi Rp 10.290 dari sehari sebelumnya sebesar Rp 10.305. Data terakhir dari BKPM menunjukkan bahwa selama Januari-September 2005, nilai investasi PMA mencapai 7,64 miliar dollar AS, atau mencapai 223,93% dari target realisasi investasi pemerintah pada tahun 2005 yang dipatok sebesar 3,4 miliar dollar AS. Kelihatannya, walaupun ada kenaikan harga BBM
6
selama tahun ini (sudah beberapa kali), kekuatan pasar domestik Indonesia masih sangat menarik bagi PMA, khususnya pada sektor-sektor unggulan seperti telekomunikasi, transportasi, konstruksi, logam dan mesin. Paling tidak secara teori, kenaikan harga BBM tidak akan berdampak negatif terhadap peningkatan PMA atau investasi secara umum, karena kenaikan harga BBM merupakan peristiwa yang bersifat global. Dalam perkataan lain, pengusaha/investor memang tidak ada pilihan lain selain harus menghadapi fakta tersebut dengan kepintarannya untuk melakukan berbagai penyesuaian.
Kenaikan Harga BBM 2007 - Faktor-faktor Utama Penyebab Pada hari Kamis 8 November 2007, harga minyak di pasar London sudah mencapai 96,94 dollar AS per barrel, turun dari rekor 98,96 dollar AS yang tercatat di New York, Rabu, 7 November 2007. Sejak Agustus 2007 saja, harga minyak dunia sudah meningkat sebanyak 40%, padahal permintaan dunia terhadap komoditas tersebut tetap pada tingkat sekitar 85 juta barrel per hari. Menurut fund manager dari ABN AMRO (dikutip dari Kompas, Jumat 9 November 2007), harga minyak seharusnya sekitar 55 dollar AS per barrel. Ada premium harga akibat geopolitik dan faktor musim dingin sekitar 5-10 dollar AS, sehingga harga yang layak hanya sekitar 60-65 dollar AS per barrel. 5 Logikanya, jika permintaan dunia hingga saat ini tetap tidak berubah atau naik namun tidak terlalu besar (walaupun mungkin akan meningkat pesat menjelang musim dingin di Eropa dan Amerika Utara) seperti yang dijelaskan di atas, dan, dari sisi suplai, sesuai pernyataan OPEC bahwa pasokan minyaknya tidak punya masalah, maka kemungkinan besar (hipotesis) ada dua faktor utama penyebab kenaikkan tersebut, yakni ekspektasi masyarakat atau pedagang pada khsuusnya perihal geopolitik, terutama ketegangan antara Turki dan Irak soal Kurdi, ketegangan antara AS dan Iran soal bom nuklir dan peran spekulan yang telah memainkan pasar. Ulah spekulan tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh melemahnya nilai tukar dollar AS terhadap misalnya euro yang membuat spekulan mencari lahan lain untuk berspekulasi. Menurut harian Inggris The Guardian edisi 29 Oktober 2007 (dikutip dari Kompas, Sabtu, 3 November 2007), dari faktor-faktor tersebut di atas yang diduga sebagai penyebab meroketnya harga minyak di pasar
5
Menurut Kompas, Sabtu, 3 November, ada skenario yang dibuat oleh AS sendiri, yakni pada Agustus 2009, harga BBM akan mencapai 150 dollar AS per barrel. Berdasarkan skenario tersebut, Iran sudah memiliki pabrik nuklir dan oleh karena itu sanksi yang ‘lebih serius’ akan dijatuhkan Barat atas prakarsa AS terhadap negara tersebut. Sebagai reaksi, pemerintah Iran yang didukung oleh pemerintah Venezuela, yang saat ini merupakan sahabat Iran, akan menghukum Barat dengan mengurangi ekspor minyak mentah ke Barat sebesar 700 ribu barrel per hari.
7
global, melemahnya dollar AS adalah penyebab utama. Hal ini disebabkan oleh perekonomian AS yang melemah 6 yang ada kaitannya antara lain dipicu oleh krisis kredit di sektor perumahan. 7 - Dampaknya Kenaikkan harga minyak tersebut telah memaksa sejumlah negara menaikkan anggaran untuk impor minyak. Kenaikkan anggaran itu akan ditimpakan kepada konsumen di dalam negeri melalui kenaikan harga BBM, seperti yang sudah terjadi di Nigeria, China, Vietnam, dan bahkan Malaysia (Kompas, Jumat, 9 November 2007). Di Indonesia juga kenaikkan anggaran akibat kenaikkan harga minyak tersebut akan terjadi, walaupun pemerintah telah beberapa kali menegaskan bahwa tidak akan ada pengurangan subsidi BBM tahun 2007 maupun tahun 2008. Tetapi, risikonya adalah bahwa dana pemerintah yang sudah disiapkan untuk tujuan-tujuan lain seperti pembangunan infrastruktur bisa hilang, digunakan untuk menutup kenaikkan anggaran tersebut. Kenaikkan harga BBM juga akan memukul industri, 8 seperti industri tekstil dan produk-produknya (TPT), industri otomotif, 9 dan kegiatan-kegiatan ekonomi dari sektor-sektor lainnya, terutama yang minyak merupakan bahan baku utamanya, seperti transportasi. 10 Menurut Direktorat Jenderal Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi (DJM,BB,PB), dari total 60,48 juta kilo liter (kl.) BBM yang terjual di pasar domestik pada tahun 2006, sekitar 11,021 juta kl. (atau 18,06%) ke sektor industri, 31,3 juta kl. ke sektor transportasi, 9,95 6
Yang membuat kepercayaan atau permintaan masyarakat dunia terhadap dollar AS menurun relatif terhadap mata uang-mata uang penting lainnya terutama euro, dan mungkin juga yen. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Economic Outlook, Oktober 2007, perekonomian AS diproyeksi akan tumbuh 2,8% pada tahun 2008, namun setelah kenaikkan harga BBM direvisi menjadi 1,9%. Selain perekonomian AS, pertumbuhan ekonomi zona Eropa juga direvisi dari proyeksi semula 2,5% diturunkan ke 2,1% pada tahun 2008. Untuk tahun yang sama, proyeksi pertumbuhan ekonomi Jepang juga direvisi dari 2,0% ke 1,7%. 7 Menurut The Guardian, para spekulan, terutama para hedge fund, tidak hanya di AS tetapi juga diluar AS mengalami kerugian besar akibat kebangkrutan sektor perumahan di AS. Untuk mengompensasikan kerugian itu, para spekulan melakukan posisi short (yakni aksi mencari untung, walaupun juga bisa rugi, dari transaksi-transaksi spekulatif jangka pendek untuk keuntungan jangka pendek) di bursa berjangka, khususnya komoditas minyak dengan harapan harganya akan naik.. Seperti yang dijelaskan lebih lanjut di harian Inggris tersebut, ketika terjadi kebangkrutan di sektor perumahan tersebut dan, sebagai salah satu akibat selanjutnya, terjadi gejolak harga saham global pada Juli 2007, sejumlah bank sentral menyuntikkan uang ke pasar dengan tujuan mencegah agar krisis itu tidak berkelanjutan. Menurut sumber berita tersebut, jumlah dana yang disuntikkan ke pasar dan sistem perbankan oleh bank sentral – bank sentral dari AS, Inggris, Jepang, Kanada, Eropa dan lainnya mencapai kurang lebih 300 miliar dollar AS. 8 Ketergantungan industri nasional terhadap impor bahan baku dari produk-produk turunan minyak akan menambah besarnya efek negatif dari kenaikkan harga BBM terhadap industri nasional, khususnya manufaktur. 9 Seperti yang dikutip dari Kompas, 3 November 2007, menurut pengalaman dari Grup Indomobil, pada saat kenaikkan harga BBM di dalam negeri tahun 2005 sebesar 129%, industri otomotif nasional sangat terpukul. Hal ini karena harga bahan baku industri otomotif, seperti baja, aluminium, plastic, serta bahan baku cat yang masih harus diimpor memang dengan sendirinya akan ikut naik saat harga BBM di pasar dunia naik. Pada tahun 2005, kenaikkan biaya produksi otomotif, termasuk biaya angkutan bahan baku dan produk, berkisar 5%-10%. Saat ini pukulan terhadap industri otomotif nasional tambah besar akibat penjualan otomotif di dalam negeri saat itu anjlok sebesar 40%. 10 Menurut berita di Kompas, 3 November 2007, akibat kenaikkan harga BBM yang cenderung terus berlangsung dan mendekati 100 dollar AS per barrel, perusahaan pelayaran berencana menaikkan tarif angkutan sebesar 15%-20% dan biaya tambahan bahan bakar 15% dari tariff angkutan. Di subsektor transportasi ini, biaya bahan bakar mencapai 65% dari total biaya operasional. Selain itu, diberitakan oleh Kompas yang sama bahwa tarif pengangkutan produk-produk konvensional, seperti gula dan beras, kemungkinan akan dinaikkan antara 12% hingga 15%.
8
juta kl. ke rumah tangga dan 8,69 juta kl. ke pembangkit listrik (Gambar 3). Volume penjualan tahun 2006 tersebut lebih rendah dari tingkat yang tercapai pada tahun 2005 (Gambar 4). Gambar 3: Penjualan BBM di Pasar Domestik menurut Sektor, 2006 (%) Pembangkit listrik, 14,25%
Transportasi, 51,36%
Rumah tangga, 16,39%
Industri, 18,06%
Sumber: DJM,BB,PB.
Gambar 4: Volume Penjualan dan Produksi Dalam Negeri BBM, 1990-2006 (kl.) 80
69.8
70
50 40
60.5
55,8
60 42,8
43.9
45
44.3
44.2
45
42.6
40.3
30
30 20 10 0 1990
1995
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Keterangan: biruh: penjualan; merah: produksi. Sumber: DJM,BB,PB.
Misalnya, jika harga TPT naik, baik karena biaya produksinya naik yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM (efek langsung) maupun akibat biaya transportasi naik (efek tidak langsung), maka permintaan di pasar domestik akan menurun. Bahkan menurut Benny Soetrisno, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) (dikutip dari Kompas, Jumat, 9 November 2007), biaya yang mahal akibat kenaikan BBM sudah mulai terjadi di pelabuhan, saat peti kemas diparkir, dinaikkan ke kapal, hingga diturunkan di pelabuhan tujuan. Bisa saja industri TPT mengalihkan produknya ke pasar dunia, namun ekonomi global juga lesuh karena mendapat dampak yang sama dari kenaikkan harga BBM, sehingga permintaan impor termasuk terhadap produk-produk Indonesia berkurang (atau ekspor Indonesia menurun). Menurut BAPPENAS (dikutip dari Kompas, 9 November 2007), ekspor nonmigas Indonesia berpotensi turun hingga 2 milliar dollar AS, setara Rp 18,2 triliun, pada tahun 2008, atau pertumbuhan nilai ekspor nonmigas akan menurun dari rencana semula 14,5% terhadap nilai ekspor 2007 menjadi 12,7%. Perkiraan ini didasarkan pada kondisi
9
pertumbuhan ekonomi dunia melambat dari 5.2% ke 4.8% (sesuai revisi dari Dana Moneter Internasional) 11 dan gejolak harga BBM di pasar internasional terus berlanjut. 12 Semua ini pada akhirnya akan mengurangi volume produksi dan selanjutnya meningkatkan jumlah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Saat ini ekspor berkontribusi sekitar 30,9% terhadap PDB, dan pada periode Januari-September 2007 ekspor produk-produk manufaktur menyumbang hampir 81,5% dari total nilai ekspor Indonesia (Kompas, 8 November 2007). 13 Penurunan ekspor hingga 2 miliar dollar AS tersebut diperkirakan akan menurunkan pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 0,3% tahun 2008. Menurut data BPS, ekspor barang dan jasa merupakan sumber utama pertumbuhan PDB Indonesia. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2007, yang bersumber dari ekspor barang dan jasa, mencapai sekitar 4,5%. Konsumsi masyarakat berada di peringkat kedua dengan kontribusi sebanyak 2,7%. Efek lainnya yang juga tidak kalah pentingnya adalah inflasi di dalam negeri.14 Hal ini bisa terjadi tidak hanya dari sumber domestik: kenaikkan biaya produksi karena kenaikkan harga BBM, tetapi juga dari sumber luar negeri, yang sering disebut di dalam literatur ekonomi makro sebagai imported inflation: inflasi di luar negeri mempengaruhi inflasi di dalam negeri lewat impor dari barang-barang yang lebih mahal harganya. 15 Kenaikkan harga barang impor cukup berpengaruh pada Indonesia karena sebagian besar barang modal dan perantara dan bahan baku siap pakai (sudah diolah) untuk keperluan kegiatan produksi di dalam negeri berasal dari impor. Juga barang-barang konsumsi yang diimpor selama ini cukup banyak, bahkan cenderung meningkat terus mengikuti peningkatan pendapatan riil per kapita dan jumlah penduduk. Baik kenaikkan inflasi yang bersumber dari dalam negeri maupun lewat impor tidak hanya akan mengurangi permintaan tetapi juga secara langsung mengurangi produksi di dalam negeri. Dampaknya terhadap 11
Perkiraan IMF ini (dalam laporannya The Global Economic Outlook, Oktober 2007) tergolomg optimistis karena lebih tinggi dibandingkan dengan skenario jangka panjang yakni hanya 4% tahun 2008. Menurut sumber berita yang sama (Kompas, 9 November 2007), jika pertumbuhan ekonomi global memang 4%, penurunan nilai ekspor nonmigas Indonesia bisa tiga kali lebih besar menjadi 6 miliar dollar AS. Skenario pertumbuhan 4% ini hanya bisa terjadi apabila ekonomi AS benar-benar mengalami resesi, yakni jika pertumbuhan ekonominya dibawah 2% dalam dua hingga tiga tahun mendatang berturut-turut. Namun, menurut berita yang sama, karena sebagian dari ekspor nonmigas Indonesia selama ini adalah untuk pasar AS (AS bukan pasar terbesar ekspor Indonesia, melainkan Jepang dan Uni Eropa (UE)), maka agar efek negatifnya bisa dikurangi, ekspor tersebut perlu dialihkan ke pasar lain, misalnya di Asia seperti China, Korea Selatan, dan India yang ekonominya sedang dalam pertumbuhan yang jauh lebih baik daripada di AS, atau ke Timur Tengah, Rusia dan Kazakstan yang selama ini porsi dari ekspor Indonesia ke wilayah-wilayah tersebut hingga saat ini masih relatif kecil. 12 Tentu saat ini selain karena naiknya harga minyak, ada dua faktor lagi yang menyebabkan ketidakpastian perekonomian global, yakni berlanjutnya gejolak keuangan global akibat krisis subprime mortgage di AS, dan pelambatan ekonomi AS. 13 Mesin dan peralatan listrik, bahan bakar mineral, karet dan produk-produknya, kertas dan produk-produknya, tekstil dan produk-produknya (TPT) merupakan komoditas utama ekspor nonmigas Indonesia. Pasar tujuan utama ekspor Indonesia adalah Jepang, UE, dan AS. 14 Ancaman inflasi bisa dicegah dengan menaikkan tingkat suku bunga. Namun, resikonya investasi dan konsumsi bisa berkurang yang akan memperbesar efek negatif dari kenaikkan harga BBM terhadap volume produksi dalam negeri. 15 Sebenarnya imported inflation bisa dicegah atau dikurangi dengan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sebagai mata uang yang banyak digunakan untuk harga barang-barang impor. Hanya resikonya, tingkat daya saing harga dari ekspor Indonesia bisa menurun yang berarti permintaan dunia terhadap ekspor Indonesia bisa berkurang.
10
produksi dalam negeri juga bisa terjadi lewat efek negatifnya terhadap volume investasi dalam negeri: karena input atau bahan baku yang harus diimpor menjadi lebih mahal maka niat investor untuk misalnya membangun pabrik berkurang karena keuntungan akan menipis. Selanjutnya investor akan mengalihkan modalnya ke portofolio instrumen keuangan yang kurang menyerap tenaga kerja, dan yang sifatnya jangka pendek yang setiap saat bisa ditarik kembali. 16 Secara garis besar, proses efek dari kenaikkan harga BBM di pasar internasional terhadap perekonomian Indonesia dijelaskan pada Gambar 5.
16
Hal ini, yang disebut hot money, yang merupakan penyebab utama hancurnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997 yang selanjutnya membuat terjadinya krisis ekonomi 1998.
11
Gambar 5: Proses Dampak Ekonomi dari Kenaikkan Harga BBM di Pasar Global
Ekonomi Global ↓
Harga BBM dunia ↑
Biaya Produksi Domestik ↑
Ekspor ↓
Inflasi di dunia
Biaya Transportasi, dll Domestik ↑
Harga Domestik ↑
Permintaan Domestik ↓
Imported inflation Produksi domestik ↓
Impor ↓
Pengangguran ↑
Kemiskinan ↑
Pengeluaran pemerintah ↓
Defisit APBN ↑
12
13