PERAN DAN POLA KERJASAMA KADIN DALAM PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI DAERAH 1 Tulus Tambunan Kadin Indonesia, 2008 Visi 2030 dan Roadmap 2010 Kadin mengenai Industri Nasional Visi 2030 dan Roadmap 2010 Kadin Indonesia menekankan pada pembangunan sektor industri. Ada tiga misi utama pembangunan industri nasional atau industrialisasi, yakni (1) Pertumbuhan ekonomi di atas 7% (atau paling tidak sama seperti pertumbuhan rata-rata per tahun pada era Orde Baru), melalui: (a) peningkatan ekspor produk berteknologi tinggi seperti elektronika dan komponen elektronika, otomotif dan komponen otomotif, industri padat modal dan keterampilan sumber daya manusia seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu dan alas kaki; (b) peningkatan kapasitas ekspor produk industri olahan berbasis bahan baku migas dan non-Migas, yang berasal dari eksplorasi sumur minyak dan gas alam yang baru; dan (c) pembangunan 9 (sembilan) refineries yang diintegrasikan dengan pengembangan industri petrokimia, dan pengembangan industri berbasis teknologi yang menyerap banyak tenaga kerja. (2) Peningkatan daya tarik investasi dan daya saing bangsa, melalui: (a) langkah restrukturisasi untuk penciptaan struktur biaya produksi yang kompetitif dengan meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri dari industri pengembang infrastruktur seperti pengembang jalan tol, industri pembangkit sumber enersi, industri telekomunikasi; dan (b).implementasi kebijakan pendalaman struktur industri untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku dan komponen setengah jadi, dengan pengembangan klaster industri pendukung dan jaringan industri komponen, agar terjadi: (i). pengurangan impor bahan baku dan produk komponen setengah jadi, dengan kebijakan stimulus fiskal bagi terciptanya jaringan industri pendukung dan industri komponen pada sektor elektronika dan otomotif, (ii). penciptaan dan implementasi Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk rintangan-rintangan non-tarif bagi produk industri negara lain, (iii). pemberantasan penyelundupan untuk menghilangkan distorsi pasar domestik, (iv) pembenahan infrastruktur jalan raya dari kawasan industri ke pelabuhan bongkar muat dan bandara, untuk penurunan biaya transportasi, logistik dan distribusi produk industri ke pasar, dan (v) modernisasi alat peralatan produksi dengan penggunaan mesin berenergi efisien dan ramah lingkungan. (3) Penciptaan lapangan kerja dan penurunan angka kemiskinan, melalui: (a) langkah pemberdayaan: (i). sektor industri berbasis pertanian dan perkebunan, dan (ii) sektor industri berbasis tradisi dan gbudaya, dan (iii). sektor industri TPT, sebagai motor pencipta lapangan kerja; (b) pelaksanaan reorientasi
1
Acara Rapat Kerja Dinas Perindustrian, Makassar, Maret 2008.
1
kebijakan ekspor, dari orientasi ekspor bahan mentah menjadi orientasi ekspor produk setengah jadi atau produk akhir, dan (c) pelaksanaan langkah restrukturisasi total industri nasional untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas, dengan pengembangan klaster industri dan modernisasi permesinan. Untuk mencapai tiga misi tersebut, ada tiga ujung tombak kebijakan strategis, yakni: (1) kebijakan untuk melakukan restrukturisasi total industri nasional; (2) kebijakan untuk melakukan reorientasi arah kebijakan ekspor bahan mentah; dan (3) kebijakan untuk melakukan penataan ulang tata niaga pasar dalam negeri. Pengembangan industri nasional menurut visi Kadin tersebut (roadmap industri nasional 2010) terfokus pada pengembangan 10 klaster industri dengan pembagian menurut perannya masing-masing sebagi berikut: (1) Empat klaster industri unggulan pendongkrak pertumbuhan ekonomi di atas 7%: - industri tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu dan alas kaki -industri elektronika dan komponen elektronika -industri otomotif dan komponen otomotif -industri perkapalan (2) Tiga klaster industri unggulan peningkatan daya tarik investasi dan daya saing bangsa -industri pengembang infrastruktur, seperti: industri pembangkit sumber energi, industri telekomunikasi, pengembang jalan tol, konstruksi, industri semen, baja dan keramik -industri barang modal dan mesin perkakas -industri petrokimia hulu/antara, termasuk industri pupuk (3) Tiga klaster industri unggulan penggerak penciptaan lapangan kerja dan penurunan jumlah orang miskin: -industri pengolahan hasil laut & kemaritiman -industri pengolahan hasil pertanian, peternakan, kehutanan dan perkebunan, termasuk industri makanan dan minuman -industri berbasis tradisi dan budaya, utamanya : industri Jamu, kerajinan kulit-rotan dan kayu (permebelan), rokok kretek, batik dan tenun ikat Peran Kadin Peran Kadin Indonesia dalam pembangunan dan peningkatan industri nasional dan di daerah pada khususnya ditetapkan dalam beberapa pasal dari UU No.1 1987 tentang Kadin Indonesia. Pertama, pasal 7 (bab IV) mengenai fungsi dan kegiatan, khususnya butir-butir berikut ini: (a) penyampaian informasi mengenai permasalahan dan perkembangan perekonomian dunia, yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomin dan dunia usaha nasional, kepada pemerintah dan para pengusaha; (b) penyaluran
2
aspirasi dan kepentingan para pengusaha di bidang perdagangan, perindustrian, dan jasa dalam rangka keikutsertaannya dalam pembangunan di bidang ekonomi; dan (c) penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan kegiatan-kegiatan lain yang bermanfaat dalam rangka pembinaan dan pengembangan kemampuan pengusaha Indonesia. Kedua, pasal 9 mengenai fungsi (bab IV mengenai fungsi, tugas pokok dan etika bisnis) yang menyatakan sebagai berikut: Kadin berfungsi sebagai wadah dan wahana komunikasi, informasi, representasi, konsultasi, fasilitasi dan advokasi pengusaha Indonesia, antara para pengusaha Indonesia dan pemerintah, dan antara para pengusaha Indonesia dan para pengusaha asing, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perdagangan, perindustrian, dan jasa dalam arti luas yang mencakup seluruh kegiatan ekonomi, dalam rangka membentuk iklim usaha yang bersih, transparan dan profesional, serta mewujudkan sinergi seluruh potensi ekonomi nasional. Sedangkan tugas pokok Kadin ditetapkan di dalam Pasal 10, diantaranya yang sangat penting adalah: (a) memfasilitasi penciptaan sinergi antara pengusaha Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan sumber daya; (b) melaksanakan komunikasi, konsultasi dan advokasi dengan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan dunia usaha; dan (c) mewakili dunia usaha dalam berbagai forum penentuan kebijaksanaan ekonomi. Visi 2030 dan Roadmap 2010 Kadin Indonesia mengenai arah pembangunan industri nasional di masa depan adalah salah satu bagian penting dari peran Kadin selama ini. Di dalam Roadmap tersebut, Kadin mengusulkan enam (6) langkah strategis dan riil sebagai berikut: 1. Dukungan Insentif fiskal dan pendanaan bagi Peningkatan Investasi dan Daya Saing Industri melalui pembenahan dan modernisasi sarana-prasarana, seperti : Pembangkit Listrik dan Sumber Energi Lainnya, Industri Telekomunikasi, Pengembangan Jalan Tol, Konstruksi, Industri Semen, Baja dan Keramik, Industri Barang Modal dan Mesin Perkakas. 2. Dukungan Finansial bagi Industri Pengolahan Hasil Laut dan Kemaritiman, melalui integrasi antara Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Hasil Laut dengan Program Peningkatan Produktivitas Nelayan dan Program Peningkatan Kestabilan Feedstock. Hal ini terkait dengan : • Pengembangan Kawasan/Zona Penangkapan Ikan, Klaster Pelabuhan dan Tempat Pelelangan ikan yang menyediakan fasilitas “cold storage”, SPBU penyedia solar dan bahan bakar bersubsidi bagi perahu nelayan. • Pengembangan kapasitas Laboratorium Uji Produk Perikanan di sentra-sentra produksi. • Pengembangan Pusat Benih Unggul dan Sentra Produksi Pakan Ikan Budi Daya. • Pemberdayaan Industri Perkapalan Dalam Negeri untuk program motorisasi perahu nelayan dan pengembangan Armada Kapal Penangkap Ikan Nasional .
3
3. A. Dukungan prioritas kebijakan ekonomi bagi terwujudnya kemampuan Pengolahan Hasil Pertanian dan Perkebunan di dalam negeri,
melalui integrasi antara Klaster Industri Pengolahan Hasil
Pertanian dan Perkebunan dengan Program Peningkatan dan Kestabilan Feedstock yang berkualitas tinggi. B. Dukungan Peningkatan Kepastian Hukum dan Jaminan Keamanan untuk Pengembangan Hutan Tanaman Industri serta Pencegahan Illegal Logging, bagi terwujudnya integrasi Industri Kehutanan (Pengolahan Kayu, Pulp & Kertas dan Industri Mebel) dengan jaminan Feedstock Hal ini juga terkait dengan Program Peningkatan Produktivitas Lahan, Penggunaan Benih Unggul, Pupuk
Majemuk dan Pupuk Nutrisi, Pembenahan Infrastruktur Irigasi dan Skema Pembiayaan
Pertanian. 4. Restrukturisasi, Modernisasi dan Pendalaman Struktur Industri Padat Modal dan Teknologi. Modernisasikan mesin/peralatan produksi Industri Tekstil dan Produk Tekstil. Kembangankan Industri Komponen dan Pendukung (Supporting Industries) Elektronika dan Otomotif. Diperlukan Insentif-insentif untuk Investasi yang berorientasi pada pengembangan Industri Komponen dan Supporting Industry, modernisasi permesinan dan peningkatan kandungan teknologi produk. Misal : modernisasi permesinan untuk Industri Tekstil dan Produk Tekstil, perpindahan Teknologi dari Analog ke Digital untuk Industri Elektronika yang diikuti dengan Pengembangan Industri Komponen dan Supporting Industry. Pengembangan basis “global value chain” untuk Industri Otomotif. 5. Reorientasi Pendekatan Hubungan Dagang Bilateral, Regional dan Multilateral serta Penguatan JaringJaring Pengaman Pasar Domestik untuk Menciptakan Persaingan yang Adil bagi Pertumbuhan Industri Dalam Negeri Lebih selektif dalam liberalisasi perdagangan internasional dengan memperhatikan kondisi objektif industri dalam negeri, terutama faktor-faktor eksternal yang menghadang perkembangan dunia usaha. Merekomendasikan agar Pemerintah melakukan Langkah-langkah Proaktif untuk mengatur pola kompetisi pasar domestik. Perlindungan Pasar Domestik dari penetrasi barang ilegal (selundupan, barang palsu/tiruan), produk impor yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia, Barang-barang Bekas yang Membahayakan Kesehatan dan Lingkungan. 6. Reorientasi Kebijakan Ekspor Produk Bahan Mentah MIGAS dan Non MIGAS. Laksanakan proses “shifting” kebijakan ekspor bahan mentah, menjadi kebijakan ekspor produk bernilai tambah tinggi melalui proses produksi di dalam negeri Kembangkan klaster Petrokimia terintegrasi yang terdiri dari jejaring Industri Pengolah Crude Oil (Refineries) dan Gas Alam dengan industri Olefin, Aromatik dan Pupuk serta Industri Hilir seperti Tekstil, Plastik sebagai bahan baku Industri Komponen Elektronika, Otomotif, Perkapalan dan Industri
4
Packaging. Bangun industri Bio-Fuel berbasis CPO dan Etanol untuk sustainability sumber energi bagi masa depan industri
Kekuatan Daya Saing Industri Daerah Kemampuan Indonesia atau daerah pada khususnya untuk menembus pasar global atau meningkatkan ekspornya atau memenangi persaingan dengan produk-produk impor ditentukan oleh suatu kombinasi dari sejumlah faktor keunggulan relatif yang dimiliki masing-masing perusahaan di daerah atas pesaingpesaingnya dari negara-negara lain. Dalam konteks ekonomi/perdagangan internasional pengertian daripada keunggulan relatif dapat didekati dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Suatu negara atau wilayah memiliki keunggulan bisa secara alami (natural advantages) atau yang dikembangkan (acquired advantages). Keunggulan alami yang dimiliki Indonesia adalah jumlah tenaga kerja, khususnya dari golongan berpendidikan rendah dan bahan baku yang berlimpah. Kondisi ini membuat upah tenaga kerja dan harga bahan baku di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan di negara-negara lain yang penduduknya sedikit dan miskin SDA. Keunggulan alamih ini sangat mendukung perkembangan ekspor komoditas-komoditas primer Indonesia seperti minyak dan pertanian dan sebagian besar ekspor manufaktur khususnya yang padat karya dan berbasis SDA (seperti produk-prduk dari kulit, bambu, kayu dan rotan) hingga saat ini. Sedangkan yang dimaksud dengan keunggulan yang dikembangkan adalah misalnya tenaga kerja yang walaupun jumlahnya seidkit memiliki pendidikan atau keterampilan yang tinggi dan penguasaan teknologi sehingga mampu membuat bahan baku sintesis yang kualitasnya lebih baik daripada bahan baku asli, atau berproduksi secara lebih efisien dibandingkan negara lain yang kaya SDA. Inti daripada paradigma keunggulan kompetitif adalah bahwa keunggulan suatu industri di suatu wilayah dalam persaingan global selain ditentukan oleh keunggulan komparatif yang dimilikinya, yang diperkuat dengan proteksi atau bantuan dari pemerintah (terutama pemerintah daerah), juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya. Faktor-faktor keungggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan/pengusaha nasional dan Brebes pada khususnya untuk dapat unggul dalam persaingan di pasar dunia adalah diantaranya yang paling penting: 1) Penguasaan teknologi dan know-how; 2) SDM (pekerja, manajer, insinyur, saintis) dengan kualitas tinggi, dan memiliki etos kerja, kreativitas dan motivasi yang tinggi, dan inovatif; 3) Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi dalam proses produksi; 4) Kualitas serta mutu yang baik dari barang yang dihasilkan; 5) Promosi yang luas dan agresif;
5
6) Sistem manajemen dan struktur organisasi yang baik; 7) Pelayanan teknikel maupun non-teknikel yang baik (service after sale); 8) Adanya skala ekonomis dalam proses produksi; 9) Modal dan sarana serta prasarana lainnya yang cukup; 10) Memiliki jaringan bisnis di dalam dan terutama di luar negeri yang baik; 11) proses produksi yang dilakukan dengan sistem just in time; 12) tingkat entrepreneurship yang tinggi, yakni seorang pengusaha yang sangat inovatif, inventif, kreatif dan memiliki visi yang luas mengenai produknya dan lingkungan sekitar usahanya (ekonomi, sosial, politik, dll.), dan bagaimana cara yang tepat (efisien dan efektif) dalam menghadapi persaingan yang ketat di pasar global. 13) Birokrasi yang efisien dan kondusif bagi pengembangan usaha. Secara teoritis (hipotesis), faktor-faktor yang diduga punya pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja ekspor Indonesia dapat dibedakan antara faktor-faktor dari sisi permintaan dan faktor-faktor dari sisi penawarannya. Dari sisi permintaan pasar adalah terutama pendapatan dan selera masyarakat dunia (atau negara tujuan ekspor), yang merupakan dua faktor eksternal yang tidak dapat dipengaruhi oleh pengusaha itu sendiri (negara/daerah eksportir), Sedangkan dari sisi penawaran, sebagian adalah faktor-faktor yang hingga tingkat tertentu dapat dipengaruhi oleh pengusaha bersangkutan seperti dalam hal peningkatan SDM, penyediaan modal, dan penguasaan atau pengembangan teknologi.2 Dari sekian faktor daya saing di atas, kemampuan daerah mengembangkan atau menguasai teknologi, SDM dan kewirausahaan, merupakan tiga faktor terpenting. Dalam proses globalisasi saat ini, dunia kini bergerak semakin cepat menciptakan sistem ekonomi baru yang berbasis pengetahuan, yang umum disebut knowledge economy, dengan terobosan teknologi khususnya di bidang mikroelektronika, bioteknologi, nanoteknologi, telekomunikasi, komputer dan robotik. Sayangnya, hingga saat ini Indonesia masih lemah dalam penguasaan/pengembangan teknologi. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya posisi Indonesia di dalam Indeks Pencapaian Teknologi, yakni pada posisi ke 60 dari 63 negara yang masuk di dalam survei. Demikian juga dalam pengembangan SDM, posisi Indonesia masih rendah di dalam Indeks Pembangunan Manusia (HDI) dari UNDP; misalnya pada tahun 2004 posisi Indonesia pada peringkat ke 108 dari lebih dari 133 negara yang masuk di dalam penelitiannya (Zuhal, 2008). 2
Baik di sisi permintaan maupun di sisi penawaran, tidak semua faktor-faktor tersebut merupakan variabel-variabel bebas, melainkan terdapat sejumlah interdependent variables, yakni saling mempengaruhi satu sama lainnya. Bahkan saling mempengaruhi antar variabel tidak hanya terjadi di dalam kelompok masing-masing, tetapi juga lintas kelompok. Misalnya, dari sisi permintaan, kebijakan WTO mengenai lingkungan yang dikaitkan dengan perdagangan dunia (misalnya dalam konteks ISO) membuat teknologi dan SDM menjadi dua faktor produksi dari sisi penawaran yang sangat penting. Dalam perkataan lain, apabila perusahaan-perusahaan Indonesia tidak bisa memenuhi ketetapan-ketetapan yang terkandung di dalam, misalnya ISO 14000 karena kekurangan teknologi dan SDM, maka mereka akan mengalami kesulitan dalam pemasaran produk-produknya di pasar global.
6
Namun demikian, Indonesia atau daerah pada khususnya tidak akan berhasil mengembangkan ketiga faktor utama tersebut, apabila tidak didukung sepenuhnya oleh perubahan budaya masyarakat di dalam negeri. Sejarah dunia menunjukkan bahwa sebuah masyarakat maju adalah masyarakat yang bisa atau mau membebaskan diri dari dogma dan segala jenis hambatan budaya, yang memudahkan individu-individu di dalam masyarakat tersebut mengembangkan dirinya secara bebas sesuai keterarikannya terhadap profesi tertentu dan kemampuannya.
Daya Saing Global Indonesia versi World Economic Forum (WEF)
Kadin Indonesia juga bekerjasama dengan berbagai lembaga asing dalam upaya meningkatkan daya saing industri pada khususnya dan ekonomi Indonesia pada umumnya. Salah satunya dengan World Economic Forum di Geneva, sebuah lembaga peringkat daya saing negara di dunia, dalam melakukan survei tahunan di Indonesia untuk laporan tahunannya mengenai daya saing global. Laporannya tahun 2008, The Global Competitiveness Report 2007-2008, menunjukkan bahwa tingkat daya saing Indonesia berada pada peringkat ke 54 dari 131 negara yang masuk di dalam sampel survei, dibandingkan peringkat ke 50 dari 125 negara yang disurvei untuk laporan periode 2006-2007 (Tabel 1). 3 Tabel 1: Peringkat Indeks Daya Saing Global (GCI) Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2007-2008 Amerika Serikat Swiss Denmark Sweden Jerman Finlandia Singapura Jepang Inggris Belanda
2006-2007 Swiss Finlandia Sweden Denmark Singapura Amerika Serikat Jepang Jerman Belanda Inggris
2005-2006 Amerika Serikat Finlandia Denmark Swiss Singapura Jerman Sweden Taiwan, China Inggris Jepang
Indonesia (54)
Indonesia (50)
Indonesia (69)
Sumber: WEF (2007, 2006, 2005)
Daya saing dalam pengertian WEF ini adalah daya saing suatu negara/ekonomi, bukan daya saing suatu produk. Tentu daya saing yang tinggi dari suatu negara akan sangat membantu daya saing dari produkproduk dari negara tersebut; namun demikian daya saing suatu produk juga ditentukan oleh sejumlah faktor baik internal seperti nilai tukar (walaupun pergerakan nilai tukar tidak sepenuhnya internal), tingkat suku 3
Dalam melakukan survei, WEF bermitra dengan sebuah lembaga di masing-masing negara, dan di Indonesia bermitra dengan Kadin Indonesia sejak 1996 yang kegiatan surveinya dilakukan oleh Tulus Tambunan hingga saat ini. Untuk laporan 2007-2008 ini, survei di Indonesia dilakukan pada tahun 2007 dan yang disurvei adalah pengusaha/pimpinan perusahaan/manajer/ceo lebih dari 200 perusahaan dari semua skala usaha di semua sektor ekonomi di hampir semua propinsi di tanah air..
7
bunga yang mempengaruhi biaya produksi/investasi, produktivitas, dll. dan eksternal seperti struktur pasar global. Metodologi yang digunakan oleh WEF untuk menentukan daya saing global sebuah negara adalah suatu kombinasi antara analisis data sekunder dan data primer yang meliputi sejumlah aspek (lihat pembahasan di bawah) yang secara teoritis dianggap sangat berpengaruh terhadap tingkat daya saing suatu negara/ekonomi, dan dalam penghitungan dengan rumus-rumus tertentu masing-masing aspek/faktor tersebut diberi bobotbobot tertentu yang besarannya didasarkan pada `signifikansi dari pengaruh dari aspek bersangkutan. Data sekunder diambil dari Biro Pusat Statistik (BPS) dan sumber-sumber lainnya, sedangkan data primer adalah hasil survei dari pengusaha-pengusaha seperti yang telah dijelaskan di atas, disebut Executive Opinion Survey. Ada tiga kolompok faktor yang menentukan tingkat daya saing sebuah negara (Gambar 1). Pertama, persyaratan-persyaratan dasar seperti kelembagaan, infrastruktur, kondisi ekonomi makro dan tingkat pendidikan serta kesehatan masyarakat. Faktor-faktor ini dianggap sebagai motor utama penggerak proses/pertumbuhan ekonomi. Secara empiris, faktor-faktor ini sudah terbukti berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kelompok kedua adalah faktor-faktor yang bisa meningkatkan efisiensi (atau produktivitas) ekonomi seperti pendidikan tinggi dan pelatihan (kualitas sumber daya manusia), kinerja pasar yang efisien, dan kesiapan teknologi di tingkat nasional maupun perusahaan secara individu. Kelompok ketiga adalah faktor-faktor inovasi dan kecanggihan proses produksi di dalam perusahaan yang secara bersama menentukan tingkat inovasi suatu negara. Tabel 2 menunjukkan posisi Indonesia untuk ketiga kelompok faktor tersebut. Untuk persyaratanpersyaratan dasar yang merupakan faktor-faktor kunci penggerak ekonomi, posisi Indonesia relatif memburuk dari 68 (2006-2007) menjadi 82 (2007-2008). Untuk faktor-faktor kunci peningkatan efisiensi, peringkat Indonesia 37 dibandingkan 50 setahun yang lalu. Sedangkan untuk faktor-faktor yang menentukan kemampuan suatu negara membuat inovasi, Indonesia juga sedikit lebih baik, di 34 dibandingkan 41 untuk periode 2006-2007. Dari kelompok faktor-faktor persyaratan dasar, posisi Indonesia tidak bagus, karena berada di luar 50% pertama dari jumlah negara yang disurvei. Untuk kualitas kelembagaan, jumlah dan kualitas infrastruktur, stabilitas ekonomi makro, dan kesehatan dan pendidikan primer masyarakat, peringkat Indonesia memburuk tahun ini dibandingkan periode sebelumnya (Tabel 3). Dari kelompok faktor-faktor penggerak efisiensi, posisi Indonesia tidak tidak tambah bagus, terkecuali untuk luas pasar karena jumlah penduduk Indonesia sangat besar maka dengan sendirinya skornya termasuk bagus. Tentu untuk luas pasar, Indonesia tidak bisa dengan sendirinya berada pada peringkat pertama, atau kedua, atau lebih baik daripada 15, karena pendapatan per kapita juga merupakan faktor penting penentu
8
pasar, yang mana Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan misalnya Singapura, Malaysia dan Thailand (Tabel 4). Gambar 1: Tiga Kelompok Faktor Utama Penentu Daya Saing Negara versi M. Porter
Sumber: WEF (2007)
Tabel 2: Tiga Sub-indeks dari GCI Indonesia Periode Persyaratan dasar 2006-007 68 2007-008 82 Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Efisiensi 50 37
Inovasi 41 34
Tabel 3: Empat Sub-indeks dari Persyaratan Dasar, Indonesia Periode Kelembagaan 2006-007 52 2007-008 63 Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Infrastruktur 89 91
Stabilitas ekonomi makro 57 89
Kesehatan & pendidikan primer 72 78
Tabel 4: Empat Sub-indeks dari Penggerak Efisiensi, Indonesia Periode 2006-007 2007-008
Pendidikan tinggi & pelatihan 53 65
Efisiensi pasar 27 -pasar barang: 23 -pasar buruh: 31 -pasar keuangan: 50 (kecanggihan)
Kesiapan teknologi 72 75
Luas pasar 15
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Untuk inovasi dan kecanggihan bisnis, posisi Indonesia memang masih di dalam 50% pertama dari jumlah negara yang disurvei (Tabel 5). Namun demikian, keadaan Indonesia masih termasuk buruk. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Indonesia adalah sebuah negara besar dengan potensi sumber daya
9
manusia (SDM) yang sangat besar, yang berarti seharusnya Indonesia harus lebih unggul dibandingkan misalnya Singapura dalam kemampuan membuat berbagai inovasi. Tabel 5: Dua Sub-indeks dari Inovasi, Indonesia Periode 2006-007 2007-008 Sumber: (WEF, 2006, 2007).
Kecanggihan Bisnis 42 33
Inovasi 37 41
Lebih jelasnya, Indonesia berada di posisi ke 51 dibandingkan misalnya Malasyia pada peringkat 22 atau Singapura pada peringkat 23 dalam hal kemampuan melakukan sendiri inovasi. Peringkat pertama dipegang oleh Jerman. Di dalam kelompok ASEAN, Malaysia, Singapura dan Vietnam lebih baik dibandingkan Indonesia (Gambar 2). Hasil survei ini tentu sangat memprihatinkan, karena kemampuan inovasi merupakan salah satu atau mungkin faktor kunci terpenting dalam menentukan kemampuan suatu negara untuk bisa unggul di dalam persaingan di pasar global saat ini, dan terlebih lagi di masa depan. Gambar 2: Kapasitas untuk Inovasi Kambodia
113 60
Filipina Thailand
56
Indonesia
51 41
Vietnam Singapura
23
Malaysia
22
Jerman
1 0
20
40
60
80
100
120
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Kemampuan suatu negara melakukan inovasi tercerminkan oleh kemampuan melakukan inovasi dari perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga penelitian dan universitas di negara itu. Kemampuan suatu perusahaan melakukan sendiri inovasi, baik produk maupun proses, ditentukan oleh sejumlah faktor, termasuk besarnya pengeluaran atau anggaran yang khusus disiapkan perusahaan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pengembangan dan penelitian (atau R&D) di dalam perusahaan. Sedangkan kemampuan lembaga-lembaga R&D melakukan inovasi mencerminkan kualitas dari lembaga-lembaga tersebut. Hipotesisnya sangat sederhana: semakin banyak inovasi bisa dihasilkan oleh sebuah lembaga R&D berarti semakin bagus kualitasnya; atau, kebalikannya, semakin bagus kualitas dari suatu universitas semakin banyak inovasi yang dihasilkannya. Selain itu, hubungan yang erat atau kerjasama yang baik antara lembaga-lembaga R&D (atau universitas) dan dunia usaha, di satu sisi, dan kualitas yang tinggi dari
10
lembaga-lembaga R&D, di sisi lain, membuat semakin besar kemampuan perusahaan-perusahaan melakukan inovasi. Untuk kualitas dari lembaga-lembaga R&D dan besarnya pengeluaran perusahaan untuk membiayai kegiatan R&D di dalam perusahaan, dan di dalam kelompok ASEAN, posisi Indonesia dibawah Malaysia dan Singapura dan peringkat pertama dipegang oleh Swiss (Gambar 3 dan Gambar 4). Sedangkan untuk kerjasama antara dunia usaha dan akademis, posisi Indonesia lebih buruk dan di dalam kelompok ASEAN berada di bawah selain dua negara anggota yang sama tersebut juga dibawah Thailand. Salah satu contoh dari kerjasama dalam kegiatan R&D yang erat antara dunia akademis dan dunia usaha yang sangat dikenal di dunia adalah di Amerika Serikat (AS), dan memang dalam laporan WEF ini, AS berada pada posisi pertama (Gambar 5). Gambar 3: Kualitas dari Lembaga R&D 118
Kambodia 94
Vietnam 85
Filipina 45
Thailand 28
Indonesia 17
Malaysia 13
Singapura 1
Swiss 0
20
40
60
80
100
120
140
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Gambar 4: Pengeluaran Perusahaan untuk R&D 66
Kambodia 57
Vietnam 53
Filipina 43
Thailand 27
Indonesia 11
Malaysia
10
Singapura 1
Swiss 0
10
20
30
40
50
60
70
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Dua isu lainnya yang juga menjadi perhatian besar dari survei WEF yang juga sangat erat kaitannya dengan kemampuan negara atau perusahaan melakukan inovasi adalah kemampuan perusahaan menyerap teknologi dan ketersediaan teknologi baru di dalam negeri. Untuk isu pertama itu, posisi Indonesia di dalam
11
kelompok ASEAN sangat buruk, hanya di atas Kambodia (Gambar 6). Sedangkan untuk isu kedua tersebut, di dalam kelompok ASEAN, Indonesia dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand (Gambar 7).. Gambar 5: Kerjasama antara Universitas dan Perusahaan 93
Kambodia 78
Vietnam 67
Filipina 64
Indonesia 28
Thailand 16
Malaysia 7
Singapura 1
AS 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Gambar 6: Kemampuan perusahaan menyerap teknologi 102
Kambodia 67
Indonesia 52
Filipina 46
Vietnam
44
Thailand 15
Malaysia 9
Singapura 1
Iceland 0
20
40
60
80
100
120
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Gambar 7: Ketersediaan teknologi baru 104
Kambodia 84
Vietnam 58
Filipina 51
Indonesia 41
Thailand 22
Malaysia 12
Singapura 1
Sweden 0
20
40
60
80
100
120
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
12
Salah satu faktor penting dari persyaratan-persyaratan dasar untuk menggerakkan ekonomi atau mendorong pertumbuhan ekonomi adalah kelembagaan. Seperti yang telah diperlihatkan di Tabel 3, untuk kelembagaan, Indonesia berada pada peringkat ke 63. Dari aspek kelembagaan, ada sejumlah isu yang disurvei oleh WEF, diantaranya: (a) hak kekayaan (apakah didefinisikan secara baik dan dilindungi oleh undang-undang), (b) perlindungan kekayaan intelektual (apakah perlindungannya kuat dan dijalankan sepenuhnya), (c) kepercayaan masyarakat terhadap kejujuran pejabat dalam hal keuangan, dan (d) kemandirian judisial (dari pengaruh politik dari pejabat pemerintah, masyarakat dan perusahaan). Untuk kelima isu tersebut, seperti hal-hal lainnya, Indonesia tidak pada posisi teratas dalam kelompok ASEAN (Gambar 8 s/d 11). Gambar 8: Hak Kekayaan 115
Indonesia
111
Kambodia 79
Vietnam 75
Filipina 50
Thailand 23
Malaysia 5
Singapura 1
Jerman 0
20
40
60
80
100
120
140
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Gambar 9: Perlindungan Kekayaan Intelektual 112
Kambodia 101
Vietnam 90
Filipina 87
Indonesia Thailand
44
Malaysia
25
Singapura
5
Jerman
1 0
20
40
60
80
100
120
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Salah satu yang menarik dari hasil survey perushaaan-perusahaan ini adalah mengenai permasalahanpermasalahan utama yang dihadapi pengusaha-pengusaha di Indonesia. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 12, hasil survei 2006-2007 menunjukkan bahwa menurut 20% dari 123 pengusaha yang mengisih
13
daftar pertanyaan, masalah paling besar adalah keterbatasan infrastruktur. Mereka pada umumnya mengatakan bahwa kualitas jalan raya, transportasi, kereta api, dan fasilitas telekomunikasi serta listrik dibawah nilai rata-rata, yang artinya buruk. Kelompok kedua dan ketiga, masing-masing hampir 15% mengatakan bahwa masalah bisnis terbesar adalah birokrasi pemerintah yang tidak efisien yang mengakibatkan biaya tinggi dan ketidakstabilan politik. Gambaran ini relatif tidak terlalu beruba dengan hasil survei 2007-2008, khususnya dalam dua persoalan terbesar. Seperti yang ditunjukkan di Gambar 13, infrastruktur yang buruk (dalam arti kuantitas terbatas dan kualitas buruk) tetap pada peringkat pertama, dan birokrasi pemerintah yang tidak efisien pada peringkat kedua. Jika dalam survei tahun lalu keterbatasan akses keuangan tidak merupakan suatu problem serius, hasil survei tahun ini masalah itu berada di peringkat ketiga. Gambar 10: Kepercayaan Masyarakat terhadap Pejabat 112
Kambodia
119
Filipina 67
Kambodia 63
Indonesia
60
Thailand 52
Vietnam 18
Malaysia 1
Singapura 0
20
40
60
80
100
120
140
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Gambar 11: Kemandirian Judisial 118
Kambodia 98
Indonesia 85
Filipina 73
Vietnam Thailand
43
Malaysia
30
Singapura
19
Jerman
1 0
20
40
60
80
100
120
140
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
14
Gambar 12: Masalah-masalah utama dalam melakukan bisnis di Indonesia, 2006-2007
Memang opini pribadi dari para pengusaha Indonesia yang masuik di dalam sampel survei mengenai buruknya infrastruktur di dalam negeri selama ini sejalan dengan kenyataan bahwa Indonesia selalu berada di peringkat rendah, bahkan terendah di dalam kelompok ASEAN. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 14, Indonesia berada di posisi 102, satu poin lebih rendah daripada Filipina. Jika dalam survei WEF selama beberapa tahun berturut-turut belakangan ini menempatkan Indonesia pada posisi sangat buruk untuk infrastruktur, ini berarti memang kondisi infrastruktur di dalam negeri sangat memprihatinkan. Padahal, salah satu penentu utama keberhasilan suatu negara untuk dapat bersaing di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini dan di masa depan adalah jumlah dan kualitas infrastruktur yang mencukupi. Buruknya infrastruktur dengan sendirinya meningkatkan biaya produksi yang pada akhirnya menurunkan daya saing harga dengan konsukwensi ekspor menurun. Konsukwensi lainnya adalah menurunnya niat investor asing (atau PMA) untuk membuka usaha di dalam negeri, dan ini pasti akan berdampak negatif terhadap produksi dan ekspor di dalam negeri.
15
Gambar 13: Masalah-masalah utama dalam melakukan bisnis di Indonesia, 2007-2008 Kriminal & pencurian
0.5
Etik kerja TK buruk
1.8
Pajak terlalu besar
2
Pemerintah yang tidak stabil
2.2 3.7
Regulasi uang asing
4.2
Korupsi Inflasi
5.5
Keterbatasan tenaga kerja terdidik
5.6 8
Regulasi perpajakan tidak kondusif
8.5
Peraturan ketenaga kerjaan yang restriktif Kebijakan tidak stabil
10.7
Akses terbatas untuk pendanaan
10.8 16.1
Birokrasi tidak efisien
20.5
Infrastruktur buruk 0
5
10
15
20
25
Sumber: (WEF, 2007)
Gambar 14: Kualitas Infrastruktur 102
Indonesia
101
Filipina 90
Vietnam 83
Kambodia 28
Thailand 18
Malaysia 3
Singapura 1
Swiss 0
20
40
60
80
100
120
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
16
Daftar Pustaka Friedman, Thomas L. (2002), Memahami Globalisasi. Lexus dan Pohon Zaitun, Penerbit ITB. Fukuyama, Francis (1999), The End of History and The Last Man. Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Edisi Baru, Penerbit Qalam. Giddens, Anthony (2001), Runaway World-Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Halwani, R. Hendra (2002), Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Khor, Martin(2002), Globalisasi & krisis Pembangunan Berkelanjutan, Seri Kajian Global, Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Naisbitt, John (1997), Megatrends Asia 2000, London: Nicholas Brealey Publishing. Porter, M.E. (1980), Competitive Strategy, New York: Free Press. Porter, M.E. (1998a), The Competitive Advantage of Nations: With a New Introduction, New York: The Free Press. Porter, M.E. (1998b), On Competition, Boston: Harvard Business School Press.WEF (2004), The Global Competitiveness Report 2004-2005, Oxford University Press. Tambunan, Tulus (2004), Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia. Tambunan, Tulus (2006), Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis, Jakarta: Pustaka Quantum. Toffler, Alvin (1980), Future Shock, London: Pan Book Ltd. WEF (2005), The Global Competitiveness Report 2005-2006, Geneva: World Economic Forum WEF (2006), The Global Competitiveness Report 2006-2007, Geneva: World Economic Forum WEF (2007), The Global Competitiveness Report 2007-2008, Geneva: World Economic Forum
Zuhal (2008), Kekuatan Daya Saing Indonesia, Jakarta: Kompas.
17